Anda di halaman 1dari 6

Ken Soetanto

Prof. Dr. Ken Kawan Soetanto alias Chen Wen Quan (lahir di Surabaya tahun 1951) adalah
seorang profesor di School of International Liberal Studies (SILS) dan mantan Dekan Urusan
Internasional Divisi Waseda University, dimana ia juga Direktur Klinik Pendidikan dan Science
Research Institute (CLEDSI). Sejak tahun 2005 ia juga menjadi profesor di Venice International
University, Italia. Sebelumnya menjabat posisi fakultas di Amerika Serikat pada Universitas
Drexel dan di Fakultas Kedokteran Universitas Thomas Jefferson.

Ken Soetanto tak terlepas dari sentimen politik, terutama kebijakan


pemerintah Orde Baru yang meminggirkan hak-hak sipil warga
keturunan Tionghoa. hati Ken Soetanto, pada saat ia terpaksa harus berhenti bersekolah.
Tahun 1965, ketika terjadi gejolak politik, Chung-Chung High School di Surabaya - Jawa Timur
ditutup pemerintah. Padahal waktu itu, ia baru duduk di kelas satu SMA

Maka, selanjutnya ia bekerja di toko milik kakaknya. Sembilan tahun kemudian,


akhirnya ia berhasil berangkat ke Jepang untuk melanjutkan sekolah.

Berbekal semangat belajar tinggi, tekad yang pantang menyerah, serta terus
menggenggam erat mimpi-mimpinya, Ken berhasil meraih gelar profesor dan
empat gelar PhD/Doktor dari empat universitas berbeda di Jepang. Yaitu
PhD di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology
(1985), PhD di bidang kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), kemudian gelar
Doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan Doktor ilmu
pendidikan dari Universitas Waseda (2003). Bahkan dari pengembangan
interdisipliner dari keempat ilmu yang dikuasainya, Soetanto telah menghasilkan 29
paten di Jepang dan dua paten di Amerika Serikat.

Berbagai penghargaan berhasil diraih Soetanto, di antaranya Outstanding


Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of
Greater Philadelphia, AS. Juga predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar
terbaik selama tujuh tahun berturut-turut di Toin University of Yokohama. Sebuah
pencapaian yang bukan hanya sangat luar biasa, akan tetapi bahkan terbilang
nyaris mustahil. Mengingat, sebelumnya begitu banyak rintangan yang harus ia
hadapi. Mulai dari para akademisi Jepang yang meremehkannya sampai kisah masa
kecilnya yang rapuh dan mengidap penyakit TBC saat masih tinggal bersama ibu
tirinya.

Lalu, dari mana semua keberhasilannya itu ia peroleh? Jawabannya, seperti bunyi
pepatah lama "There is no Greatness, without Suffering! Tak ada
KEAGUNGAN tanpa PENDERITAAN". Seperti apa persisnya penderitaan yang di
lalui Soetanto di masa kecilnya
Sukses yang Tertunda

Saat sekolah SMA-nya ditutup, Soetanto terpaksa bekerja sebagai tukang reparasi
radio di toko milik kakaknya. "Setiap tutup toko jam delapan malam, saya belajar
sampai jam lima pagi. Saya terus mengotak-atik radio dan tape. Semangat ini
masih saya bawa sampai sekarang, dan inilah semangat yang kemudian
mendorong saya untuk mengambil sekolah di Jepang," kisahnya kepada majalah
motivasi LuarBiasa. "Setelah saya bisa, kemudian saya mulai muter ke toko-toko
elektronik yang ada di Blawuran, untuk menawarkan reparsi secara cuma-cuma.
Saya ditanya kamu siapa? Apa bisa reparasi? Waktu itu orang belum percaya
kepada saya. Biasanya saya jawab: nanti nggak usah bayar, kalau rusak
komponennya saya ganti. Waktu itu saya keliling memakai sepeda."

Meski tokonya kemudian berkembang sangat pesat, sehingga Soetanto pun berhasil
mengumpulkan banyak sekali uang, akan tetapi panggilan jiwanya tak berhenti
mengusik. Ia tak sedikit pun bermimpi ingin menjadi pedagang, meski bakal
berhasil sekaya apa pun. Keinginannya pada waktu itu hanya satu, yaitu ingin
terus menuntut ilmu, dan menjadi ilmuwan. Akan tetapi dalam suasana sosial
politik di Indonesia pada waktu itu, peluangnya boleh dibilang mustahil. Karena
itulah mimpi berikutnya adalah sekolah di Jepang.

"Untuk biaya sekolah ke Jepang, kebetulan saya punya tabungan dan kakak saya
juga akan membantu separuhnya. Sebetulnya kakak saya menentang, dia bilang:
orang yang lulus S1 saja inginnya menjadi manajer, lha kamu yang punya
perusahaan sendiri kok mau kembali menjadi kere? Saya ingin sekolah lagi karena
saya merasa bahwa selama berusaha mencari uang, perasaan saya hampa,
sehingga hanya berjalan begitu-begitu saja. Saya memerlukan teknik, untuk bisa
mengabdi kepada masyarakat. Sebetulnya saya punya dua pilihan, yaitu sekolah ke
Jerman atau ke Jepang. Tetapi akhirnya saya lebih memilih ke Jepang."

Ketika akhirnya Soetanto berhasil meneruskan sekolah ke Jepang, perjuangan yang


sesungguhnya baru dimulai. "Pada saat mulai belajar bahasa di sana, saya
diremehkan. Sebab, saat sekolah itu umur saya sudah 27 tahun. Dan di sana,
lazimnya pada saat umur 27 tahun, orang sudah lulus S3 dan sudah memperoleh
gelar PhD. Kalau dihitung-hitung, saya sudah telat delapan tahun.
Rencananya saya mau sekolah di Jepang selama satu tahun, tapi akhirnya sampai
empat tahun. Pada saat memasuki tahun ketiga, tiba-tiba perusahaan kakak saya di
Pasar Turi, terbakar. Waktu itu sekitar 3.500 sampai 4.500 toko terbakar habis
dalam waktu 3 hari. Karena itu kakak saya bilang, ‘Maaf saya sudah sudah tidak
bisa membantu biaya kamu lagi, kamu sebaiknya pulang sekarang.' Saya jawab,
‘Saya pasti lulus! Untuk itu, saya tetap akan meneruskan sekolah tanpa kiriman dari
kakak.' Kebetulan saya di Jepang mengajar privat, dengan penghasilan 40 ribu yen,
atau kira-kira sepertiga dari biaya hidup yang saya butuhkan. Singkatnya, never-
never give up, saya kejar terus," kisahnya, tentang masa-masa awal ia menerima
cobaan.

Soetanto berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu empat tahun, S2 selama dua


tahun, dan S3 di Tokyo Institut of Technology selama tiga tahun. "Setelah persis
tiga tahun lulus S3, saya merasa harus pulang ke Indonesia, untuk membawa istri
dan anak saya datang ke Jepang. Kebetulan saya mempunyai dome yang murah,
sehingga bisa mengajak istri dan anak tinggal di Jepang. Tapi ternyata setelah satu
setengah tahun mencari pekerjaan, saya nggak mendapatkannya. Dari lima puluh
surat aplikasi (lamaran) yang saya kirim nggak ada satupun yang dijawab! Saya
sempat heran, Tokyo Institut of Technology sekolah saya itu, merupakan sekolah
yang bagus, setara dengan MIT-nya Jepang. Nilai saya pun juga bagus, tapi
nyatanya kok nggak ada satu pun yang mau membalas lamaran saya. Sampai
akhirnya saya tahu, bahwa ternyata orang Indonesia atau orang luar negeri nggak
mungkin bisa bekerja sebagai akademisi di Jepang. Ada semacam tembok
penghalang yang merintangi.

Saya terus berusaha mencari jalan keluar, sampai kemudian saya berkesimpulan,
bahwa satu-satunya cara agar bisa dapat pekerjaan, saya harus melebihi
kepintaran orang Jepang. Saya harus lebih pintar, lebih jago dari mereka.
Tapi bagaimana caranya?

Soetanto akhirnya kuliah lagi. Kali ini Soetanto mengincar gelar PhD di bidang
kedokteran. "Mestinya, waktu yang saya butuhkan untuk sampai mencapai gelar
PhD sekitar tujuh tahun. Tapi syukurnya, dalam waktu 3,5 tahun saya sudah meraih
gelar Doktor. Dengan mengaintongi dua gelar PhD, saya merasa menjadi orang top.
Kalau istilahnya orang Jepang, seperti ‘hantu yang membawa besi.' Hantu itu sudah
ditakuti, apa lagi masih ditambah membawa besi, maka akan sangat ditakuti dan
kuat. Dalam pikiran saya, pasti saya bakal langsung dapat pekerjaan. Karena saya
merasa seperti layaknya Doktor lulusan Stanford dan Doktor lulusan Harvard di
Amerika. Tapi siapa sangka, pada saat saya kembali mencari pekerjaan, ternyata
saya tidak juga mendapatkannya. Padahal biaya hidup, saya sudah nggak punya.
Sampai anak istri saya ungsikan ke Hong Kong di tempat kakaknya.
Karena tidak punya uang, tempat tinggal saya ganti dengan yang lebih kecil. Dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba ada telepon dari profesor saya, yang saya panggil
dengan sebutan Profesor IT. Profesor ini benar-benar pintar, sangat hebat, patennya
hampir mencapai 900 item, tetapi sangat kejam. Dia menelepon saya, memberi
kabar bahwa dia sudah pensiun. Kemudian ia minta tolong saya, untuk mengurusi
murid-murid kiriman Pak Habibie dari Indonesia.
Singkatnya, pada waktu bertemu dia sempat mengeluh, "Aduh, saya pusing
menjadi Chairman, karena disuruh mencari dosen Biomedical, di Jepang mana ada?'

Maka segera saya jawab, ‘Pak saya ini dari kedokteran dan biomedical.' Dia bingung
mendengar jawaban saya. Profesor ini dulu dosen saya di S1 dan S2. Tak lama
kemudian dia tanya, ‘Apa kamu bisa?' Singkat cerita, saya dikenalkan ke Rektor.
Setelah itu saya dites. Hasilnya? Respektor saya 37, sudah sangat cukup, bahasa
Inggris saya juga cukup. Mereka bilang: Ya sudah, besok kirim aplikasinya."

Seketika Soetanto merasa sangat senang sekali! Akhirnya dia berhasil mendapat
pekerjaan juga. ‘Tuhan memang mangasihi orang-orang yang tidak putus asa',
begitu pikirnya. "Saking senangnya, aplikasi papernya saya buat serapi mingkin.
Sampai saya harus menyiapkan hingga jam lima pagi. Saya nggak berani tidur,
karena jam 7 pagi saya mesti sudah berangkat ke universitas untuk menyerahkan
aplikasinya. Pada saat saya memasuki kampus, orang-orang nggak ada yang
melihat saya. Sudah jam 9, akhirnya saya permisi memperkenalkan diri, ‘Saya ini
Soetanto yang kemarin datang bersama profesor IT.' Sampai saya menunggu
selama 45 menit, semuanya masih pada diam.

Sekali lagi saya buka suara, ‘Saya ini Soetanto muridnya profesor IT yang kemarin
ke sini, Anda kemarin juga ikut menemui saya kan?' Lagi-lagi, semua tetap diam.

Baru sekitar jam setengah 11 siang, profesor keluar dari ruangan, saya senang
sekali. Tiba-tiba, si profesor berkata ‘Tanto, ini bukan di Indonesia, ini Jepang,
lupakan aplikasi kamu!' Wah...saya jadi bingung. ‘Yang menyuruh kan Anda? Yang
mencari dosen kan Anda? Yang suruh bawa aplikasi juga Bapak sendiri kan?'

Dengan dingin dia bilang kepada saya, ‘Kamu ke sini kan untuk belajar dari orang
Jepang.' Mendengar jawaban itu kontan saya menangis. Profesor itu menambahkan.
‘Kamu itu bisa belajar atas bantuan orang Jepang, kok sekarang mau mengajar
orang Jepang? Orang Jepang tidak butuh kamu!' Hati saya benar-benar hancur saat
itu," tutur Soetanto.

Namun, netter yang luar biasa, semua peristiwa pahit yang dialami Soetanto sejak
masih kecil hingga berbagai tekanan yang diterimanya di Jepang, seakan memang
dimaksudkan "kehidupan," untuk mempersiapkannya. Sebagaimana tekanan dan
panas bumi dalam suhu tinggi yang mampu mengubah batu bara biasa, menjadi
berlian yang indah. Begitu pula yang terjadi pada Soetanto. Beliau kini telah
menjelma menjadi "orang besar". Ia adalah orang pertama dari luar Jepang
yang bisa menduduki level jabatan Kepala Divisi di Universitas Waseda-salah satu
universitas paling top di Jepang, bahkan dunia, khususnya dalam hal sains. Tahukah
Anda? Kementerian Pendidikan Jepang bahkan membiayai risetnya hingga 14 juta
dollar AS (sekitar Rp144 miliar) per tahun.

Ken Soetanto juga menjadi salah satu dari tiga pemohon paten paling terkemuka di
Jepang, yang telah mempublikasikan lebih dari 1100 karya ilmiahnya. Kini, ia
menjabat sebagai guru besar School of International Liberal Studies di Universitas
Waseda, guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang, dan anggota
Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology.

Prof Ken Soetanto menggondol gelar profesor dan empat doktor selama
bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di Jepang. Prestasi akademiknya
tersebut diakui di Jepang dan AS dengan menjadi profesor di usia 37
tahun. Pada 1988-1993, Soetanto yang juga direktur Clinical Education
and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi asosiate professor di
Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University,
Philadelphia, USA. Ia juga pernah tercatat sebagai profesor di
Biomedical Engineering Program University of Yokohama (TUY). Saat
ini Prof Ken Sutanto tercatat sebagai prosefor di almameternya, School
of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, dan profesor
tamu di Venice International University, Italia. Gelar itu dirangkap
dengan jabatan wakil dekan di Waseda University. Kemampuan otak
pria kelahiran 1951 ini sungguh brilian karena mampu menggabungkan
empat disiplin ilmu berbeda. Itu terungkap dari empat gelar doktor yang
diperolehnya. Yakni, bidang Applied Electronic Engineering di Tokyo
Institute of Technology, Medical Science dari Tohoku University, dan
Pharmacy Science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah
doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya
mengajar Waseda University. Di luar status kehormatan akademik itu,
Prof Ken Soetanto juga masuk birokrasi di Negeri Sakura dan tercatat
sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Japanese
Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko
Perekonomian di RI). Selain itu juga ikut membidani konsep masa depan
Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision.

Anda mungkin juga menyukai