Anda di halaman 1dari 13

RINGKASAN BUKU SOETANTO EFEK UBAH ORANG

BUANGAN MENJADI REBUTAN


Posted on November 10, 2012by ardhy22

Prof. Dr. Ken Kawan Soetanto alias Chen Wen Quan (lahir di Surabaya tahun 1951)
adalah seorang profesor di School of International Liberal Studies (SILS) dan mantan
Dekan Urusan Internasional Divisi Waseda University, dimana ia juga Direktur Klinik
Pendidikan dan Science Research Institute (CLEDSI). Sejak tahun 2005 ia juga menjadi
profesor di Venice International University, Italia. Sebelumnya menjabat posisi fakultas
di Amerika Serikat pada Universitas Drexel dan di Fakultas Kedokteran Universitas
Thomas Jefferson.
Dr Soetanto adalah pakar yang memegang empat gelar doktor dalam disiplin ilmu yang
terpisah (Rekayasa, Kedokteran, Farmasi Sains dan Pendidikan). Ia telah
mempublikasikan secara luas di beberapa bidang, terutama psikologi, pendidikan,
pedagogi, mekanisme motivasi, obat-obatan, DDS, pengukuran dan peralatan, serta
rekayasa biomedis.
Dia adalah anggota fellow dari Society Akustik of America, dan The American Institute of
Ultrasound Kedokteran, serta anggota senior IEEE, dan telah menjabat sebagai
penasihat pemerintah untuk Jepang Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri,
dan sebagai anggota dari Visi Pemerintah Jepang inisiatif abad ke-21.
Kegetiran hidup dalam memperoleh pendidikan ataupun pekerjaan yang dicintainya
telah menempa Ken Kawan Soetanto menjadi akademisi terkemuka di Negeri Matahari
Terbit. Kini, dengan empat gelar doktor dan kemampuan mengajarnya yang menggugah,
banyak lembaga yang berebut menanggapnya.
Puluhan tahun tinggal di Jepang serta mendedikasikan ilmu dan kemampuannya di
Negeri Samurai itu tak mengubah logat Suroboyoan-nya yang kental. Semangatnya yang
tinggi tergambar dari gaya bicaranya, juga dari tiap kata yang ia lontarkan. Tak
mengherankan, meski usianya hampir enam dasawarsa, Ken Kawan Soetanto tetap
tampak fresh dan energik.
Nothing is impossible, itulah moto hidup pria kelahiran Surabaya tahun 1951 ini. “Di
mana ada kemauan, pasti ada jalan. Itu sudah saya buktikan. Waktu saya terbentur
tembok, saya tabrak lagi, sampai keluar darah, sampai bagaimanapun saya tidak
berhenti,” katanya mengenai moto hidupnya itu. “Jadi, jangan takut akan jatuh dan
berdarah. Saya selalu berpikir pasti ada dunia lain yang bagus.”
Terbukti, moto yang selalu ia pegang teguh tersebut telah sukses membawanya pada
pencapaian sekarang. Ia tak hanya menyandang empat gelar doktor, tetapi juga menjadi
profesor di perguruan tinggi ternama di Jepang. Bahkan, Guru Besar Waseda University,
Jepang, ini diangkat sebagai anggota METI Advisory di Japanese Ministry of Economy,
Trade and Industry. Di lembaga itu ia tercatat sebagai satu-satunya orang asing.
Maklum, meskipun sudah 23 tahun di Jepang, Ken tetap setia berkewarganegaraan WNI.
Perjalanan Ken sebelum memutuskan berkelana ke Jepang sesungguhnya amat berliku.
Diceritakannya, semasa kecil hingga besar ia hidup bersama ibu tirinya di Surabaya
karena ayahnya meninggal muda menyusul wafatnya ibu kandungnya. Pada masa itu
masyarakat keturunan Tionghoa seperti dirinya sangat sulit kuliah di perguruan tinggi
negeri di Indonesia. Sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan, ia bekerja
mengembangkan toko elektronik keluarganya. Ia belajar teknik reparasi radio secara
otodidak dan berhasil. Dari sini ia memberanikan diri menerima jasa reparasi elektronik.
Bahkan, ia mencoba membuka kelas kecil tentang elektronik di loteng tokonya. “Waktu
saya mengajar, mereka bilang ‘kamu pandai mengajar’,” ceritanya. “Passion saya
memang ingin mencari sesuatu yang baru dan mengajari orang. Saya senang berbagi
ilmu.”
Meskipun sibuk dengan urusan toko dan mengajar, semangatnya untuk kuliah tak
pernah padam. Ia mencari tahu bagaimana bisa bersekolah di luar negeri seperti ke
Jerman. Alasannya, waktu itu sekolah di sana gratis. Namun, rencana itu tak terealisasi.
Pada usia 24 tahun ia memutuskan pergi ke Jepang. Untuk itu, ia mempersiapkan
dirinya. “Saya mungkin hanya tidur 2-2,5 jam sehari,” ujar anak bungsu dari 7
bersaudara ini mengenang saat itu. Pada 1977 ia akhirnya berhasil diterima di Jurusan
Teknologi Informasi Tokyo University of Agriculture and Technology di Jepang. Kala itu
usianya 26 tahun, usia yang tak lagi muda memulai pendidikan jenjang S-1. Di balik
ketekunannya saat itu, Ken mengaku, semasa kecil sebenarnya ia tergolong nakal.
“Sampai SMP kelas 3 saya tidak pernah belajar,” katanya terus terang.
Menurut Setyono Djuandi Darmono, Presiden Direktur PT Jababeka Tbk. dan salah satu
pendiri President University, Ken kala itu merasa seperti anak terbuang, yang tidak
diinginkan Bapaknya (Republik Indonesia). Setyono mengungkapkan, pada masa Ken
sekolah di Indonesia, sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya dibakar. Inilah yang
mengakibatkan Ken tidak bisa meneruskan sekolahnya dan merantau ke Jepang. “Ia
secara naluriah ingin membuktikan ke Bapaknya (negara ini) bahwa dia adalah anak
yang unggul, berbakti dan tidak pantas dibuang atau disia-siakan,” ujar pria yang
sempat mengundang Ken memberikan kuliah umum di President University beberapa
waktu lalu itu.
Ken mampu menempuh pendidikan S-1 di Jepang hanya dalam tiga tahun. Pada 1980 ia
lulus. Akan tetapi, ia belum puas, pada tahun itu juga ia memutuskan mengambil
pendidikan S-2 bidang teknologi kedokteran di universitas yang sama, dan lulus pada
1982.
Setelah itu, Ken makin semangat untuk berlari kencang. Gelar S-3 (doktor)-nya yang
pertama diraihnya di bidang medical technology pada 1984 dari Tokyo Institute of
Technology. Disertasinya saat itu adalah membuat instrumen yang dapat digunakan
untuk mendeteksi kanker secara dini.
Dari sini tumbuh kepercayaan dirinya. Ken lalu melamar ke sejumlah universitas di
Jepang untuk menjadi tenaga pengajar. Namun, ternyata ia harus menerima kenyataan
tidak satu pun lamarannya dijawab dan tidak ada pula yang menawarinya pekerjaan. “Ini
menjadi sejarah bagi saya. Saya kuliah di Jepang ini kan tidak mudah. Saya bukan orang
berada. Saya menggunakan tabungan saya hasil dari 8 tahun bekerja. Tapi nyatanya
setelah mendapat Ph.D., lamaran saya 100% lebih tidak ada yang dibalas,” ujarnya.
Sebenarnya, saat itu Ken tengah memimpin sebuah proyek penelitian di Jepang yang
merupakan hasil kerja sama antara Tokyo Institute of Technology dan Tohoku
University. “Boleh dibilang penelitian itu dari Dikti-nya Jepang,” kata Ken bangga.
Namun, bekerja sebagai peneliti tanpa menjadi dosen atau pengajar tetap di sebuah
lembaga pendidikan sebenarnya cukup sulit karena Ken hanya mendapatkan
penghasilan dari subsidi Pemerintah Jepang untuk penelitian tersebut.
Namun, pekerjaan penelitian ini memberikan titik terang bagi Ken yang saat itu sempat
berpikir untuk pulang ke Indonesia. Saat itu ia juga sempat menghadiri
sebuah international meeting dan bertemu dengan seorang profesor bidang radiologi
dari Universitas Indonesia yang mengajaknya menjadi dosen. Akan tetapi, profesor
tersebut terkena penyakit sirosis dan akhirnya meninggal sebelum sempat mewujudkan
niatnya mengajak Ken ke Indonesia. Saat itu, di Indonesia memang sesungguhnya masih
sulit bagi Ken untuk menjadi pengajar di universitas negeri terkait statusnya sebagai
warga negara keturunan jika tanpa rekomendasi kuat.
Akhirnya, ia berdiskusi dengan mentornya di Tokyo Institute of Technology yaitu Prof.
Okujima, bagaimana caranya agar ia dapat mengambil program doktor di Tohoku
University. Karena Ken merupakan personel inti penelitian tersebut, ia pun
dipertahankan dan mendapat kesempatan mengambil program doktor di Tohoku
University. “Saya memutuskan melanjutkan perjuangan di Jepang. Kalau pulang,
bukannya saya benci berdagang, tapi saya mau mencari jalan untuk menjadi scientist di
luar negeri. Saya pernah dapat nasihat dari orang imigrasi Jepang, bahwa kita harus
mampu melebihi orang Jepang jika ingin bisa bekerja di Jepang,” ujarnya. Maka, ia pun
mengambil lagi program doktor bidang kedokteran di Tohoku University, dan berhasil
memperoleh gelar Ph.D. yang kedua hanya dalam waktu empat tahun. Ini juga
merupakan prestasi tersendiri mengingat biasanya orang lain membutuhkan waktu
hingga 7 tahun untuk mendapat gelar Ph.D. Karena memiliki riset yang bagus dan
kuantitasnya cukup, ia lulus dalam empat tahun pada 1988. Sebagai gambaran saja,
selama 1982-1988, Ken telah menghasilkan 37 journal paper. Padahal untuk mengambil
S-3, biasanya cukup dengan 2-3 paper.
Setelah menyandang dua gelar doktor dari dua universitas ternama di Jepang, Ken
kembali melamar menjadi pengajar di berbagai universitas di Jepang. Lagi-lagi, kembali
ia harus menelan pil pahit, karena tak satu pun lamarannya yang diterima. Boleh jadi, ini
semata-mata karena asal dan status kewarganegaraannya. Akhirnya, ia mencoba menulis
surat kepada Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, mengenai keinginannya untuk kembali
ke Indonesia dan ide mendirikan universitas di Tanah Air. Ken memang mengenal
beberapa pengusaha dan pejabat Indonesia yang pernah berobat di Jepang. Antara lain,
mertua Mochtar Riady dan Moe’min Ali, pemilik Panin Bank.
Setelah lama menunggu, akhirnya suatu hari Ken memperoleh jawaban dari bos Lippo
ini, yang mengatakan belum waktunya mendirikan universitas. Akan tetapi, Mochtar
menanggapi pertanyaan Ken mengenai keinginannya untuk pulang ke Indonesia.
Menurut Mochtar, Ken tidak akan bisa sukses di Jepang, karena Jepang itu the best
racist country in the world.
Mochtar juga berpandangan, meskipun Ken pulang ke Indonesia dan bisa menjadi
dosen, seumur hidup ia hanya akan menjadi dosen, dan tidak mungkin menjadi guru
besar terkait statusnya sebagai warga negara keturunan Tionghoa. Mochtar pun
mengungkapkan, ada peluang meraih American Dream atau bekerja di Amerika Serikat.
Akan tetapi, mengingat usia Ken yang kala itu sudah 38 tahun, punya tiga anak dan tidak
memiliki banyak uang, Mochtar menilai Ken tidak bakal sukses jika mengambil jalan itu.
Ia pun menawarkan Ken agar kembali ke Indonesia dan bergabung dengannya di bidang
perbankan. “Beliau menawari saya untuk mempelajari perbankan. Menurut beliau, itu
adalah satu-satunya jalan agar saya bisa sukses,” ujar Ken.
Kenyataannya, saat itu Ken mendapat tawaran kerja di AS. Tidak tanggung-tanggung, ia
mendapat dua tawaran menarik, yaitu menjadi asisten profesor dan menjadi manajer di
GE yang akan ditempatkan di Jepang. Tawaran dari GE diakui Ken sangat menarik
karena GE menawarkan gaji tiga kali lipat dibandingkan jika menjadi asisten profesor.
Jika menjadi asisten profesor, ia hanya dibayar US$ 24 ribu per tahun, sedangkan GE
menawarkan gaji sekitar US$ 65 ribu per tahun ditambah fasilitas rumah tinggal dengan
tiga kamar selama enam tahun. “Pada waktu turning point, ternyata saya kok selalu
memilih jalan yang paling menantang,” kata Ken. Pada 1988 ia lebih memilih menjadi
asisten profesor di AS dan membawa keluarganya ke sana.
Apa alasannya? Ia mengaku memang bercita-cita mendaki jenjang karier sebagai
akademisi karena memberikan kepuasan batin bagi dirinya. Selanjutnya hanya dalam
waktu 1,5 tahun ia telah menjadi associates di AS, karena ia memperoleh subsidi dari
National Institute of Health, lembaga riset kanker ternama di dunia.
Suatu hari, salah seorang profesor dari Tokyo Institute of Technology memanggilnya
kembali ke Jepang. “Dia bilang ia mau start program doktor (S-3), dan saya diminta
membantunya. Saya ditawari jadi asisten profesor di Jepang. Tapi saya tidak mau,
karena di AS saja saya telah ditawari menjadi guru besar,” ujar Ken. Akhirnya, ia pun
mengirimkan surat ke PresidenYokohama Toin University. Di sini ia diangkat menjadi
guru besar. Menurut Ken, ini sebuah kejutan mengingat sangat sulit bagi orang asing
untuk mendapat pekerjaan di Jepang dan ia hanya membutuhkan waktu 4,5 tahun dari
saat didapatkannya gelar doktor yang kedua hingga menjadi guru besar. Biasanya
dibutuhkan waktu hingga 10 tahun lebih. Berusia 42 tahun saat itu, Ken telah
menyandang dua gelar doktor dan menjadi guru besar di Jepang.
Beberapa tahun kemudian Ken mendapatkan dana US$ 15 juta untuk proyek
penelitiannya. Semua berjalan lancar hingga tahun 1999. Siapa sangka, proyeknya
disabotase orang. Menurutnya, banyak pihak yang saat itu kurang menyukai statusnya
sebagai orang asing yang memiliki kedudukan cukup penting di Yokohama Toin
University. Dalam periode 1999-2003 ia sempat mengalami depresi berat. Ia pun
mengambil cuti selama setahun dan pada tahun 2000 ia kembali ke Indonesia
(Surabaya) selama sebulan. Waktu itu ia masih memikirkan karyanya yang dihancurkan.
“Selama 2-3 bulan saya berpikir kembali. Namun, kemudian saya putuskan untuk
menghentikan minum obat, saya ingin bangkit dengan kekuatan sendiri. Caranya adalah
dengan memaafkan orang yang pernah berbuat tidak baik kepada saya,” tuturnya.
Saat pulang ke Surabaya ini ia mendapat inspirasi. Hal ini dimulai ketika ia sempat
diminta memberi ceramah di Tunjungan Plaza Convention Center. “Dalam tiga
hari berkumpul 700 orang. Saya memberikan ceramah dalam 2-3 jam, dan melupakan
sakit saya. Waktu itu saya merasa saya bisa kembali lagi. Dan akhirnya saya putuskan
ambil doktor yang ketiga. Saya percaya saya masih bisa,” ungkapnya. Gelar doktornya
yang ketiga tersebut akhirnya ia dapatkan pada tahun 2000 untuk bidang Pharmacy,
Nano tech & Smart Medicine dari Science University of Tokyo. Selanjutnya, ia meraih
gelar doktor yang keempat pada 2003 untuk bidang Education, Pedagogy &
Psychology dari Waseda University. Saat itu usianya 52 tahun.
Kemudian ia pun bergabung dengan Waseda University pada 2003. “Setelah lulus doktor
yang keempat, saya jadi profesor permanen di Waseda University,”ujarnya sambil
menerangkan, ia pernah menjadi profesor tamu pada 2002 di Waseda Universitydan
pengajar tamu di Venice International University. Bagi Ken, ia memperoleh empat
gelar doktor karena kondisi yang memaksa, bukan karena ia jenius. “Jenius itu
bagi saya hanya satu persen, 99 persennya kerja keras,” ujarnya tegas.

Dengan kecemerlangan akademisnya, mestinya kekayaan bukan lagi utopia bagi


Ken. “Kalau mau sukses, saya tinggal ikut Mochtar Riady waktu itu. Tapi, bagi saya,
mengabdi kepada masyarakat itu bisa berbeda, bukan uang melulu. Saya merasa
pilihan saya benar. Saya sekarang merasa lebih bangga,” ujar pria yang terkenal
dengan cara mengajarnya yang disebut para muridnya sebagai Soetanto Mesoda
(Soetanto Method). Soetanto dalam menjalankan proses pendidikan di Jepang tidak
hanya berteori. Namun, ia berusaha benar-benar menggali kepintaran setiap peserta
didik. Metode Soetanto mengajar di Jepang sempat dikenal sebagai ”metode Soetanto”
atau ”efek Soetanto”. Suatu pengajaran yang menyentuh hati setiap peserta didik dan
mengumandangkan motivasi serta pemahaman tujuan yang ingin diraih. ” Manusia
yang sebelumnya bodoh atau tak memiliki semangat belajar sama sekali harus didaur
ulang supaya memiliki motivasi belajar dan bermanfaat bagi sesamanya,” ujarnya.

Pengalaman Soetanto pertama kali mengajar di Jepang adalah di Toin University


of Yokohama pada 1993. Di universitas itu, sekitar 80 persen mahasiswa tidak memiliki
motivasi belajar yang baik. ”Toin University of Yokohama itu universitas ’kelas bebek’,
bukan universitas unggulan, sehingga motivasi belajar para mahasiswanya rendah,”
katanya dan Soetanto berhasil mengubah keadaan. Mekanisme pengajarannya untuk
pencapaian kesadaran penuh mengenai apa yang sedang dijalani siswa, dan
mereka pun mengerti tujuan yang ingin diraih. Tak hanya itu, kemampuannya
menyentuh hati orang-orang yang diajarnya yang disebut sebagai Soetanto
Effect tersebut telah dibukukan dan didokumentasikan di Jepang, karena Metode
perkuliahannya unik dan sangat memotivasi.
Ken agaknya memang memiliki kemampuan mengajar yang luar biasa. Hal ini
disebabkan dalam setiap aktivitas mengajarnya, ia tidak hanya
membagikan knowledge, tetapi juga menyisipkan the way of life. Ken menceritakan,
saat mulai mengajar di Yokohama Toin University, nilai-nilai para mahasiswa yang
ditanganinya rata-rata rendah. Maka ia pun berpikir, bagaimana caranya agar mereka
tetap bisa jadi orang berguna. Nilai rendah itu menurutnya bukan selalu karena
seseorang bodoh, tetapi bisa saja itu karena tidak suka pelajarannya, dan merasa
tertekan. “Jadi saya pikir bagaimana mereka bisa discovering themselves,” ujarnya.
Maka, ia memakai cara dengan memberi inspirasi dan tidak memaksa. “Prinsip saya
adalah I don’t have any power to change you, but I can make alternative
way untuk membuat kamu tidak menyangka cara saya masuk dan you can discover
yourself,” ujarnya. Ia mencoba mengajar dengan menyentuh hati, dan itu bisa
mengoreksi pikiran yang bersangkutan. Dengan cara itu, yang bersangkutan bisa
mengetahui apa yang diinginkannya.
Salah satu terobosan yang dibuat oleh Ken adalah meminta mahasiswanya membuat
pesan tiga baris pada setiap akhir pelajaran. Mahasiswa boleh bebas menulis apa saja
kesan dan pesan mereka selama mengikuti perkuliahan. Dengan metode ini, pada
perkuliahan selanjutnya cara mereka menyimak pelajaran mulai berubah karena setelah
perkuliahan mereka merasakan sesuatu yang harus dikerjakan, mereka harus menulis
apapun yang terjadi sebagai bahan tulisan, akibatnya mereka lebih memperhatikan
pelajaran yang dibawakan selain untuk alasan konservatif, yaitu mendapat nilai
kehadiran selain itu mereka akan lebih fokus menyimak selama pelajaran. Dan bagi Ken
sebagai dosen akan dengan sekuat tenaga membuat proses mengajar menjadi lebih
mudah dimengerti dan menarik. Sebagai seorang dosen, Ken menginginkan dapat
memberikan penampilan yang terbaik di depan mahasiswanya. Dipihak lain Ken
mendapat pesan tiga baris tulisan, yakni kesan dan pesan mereka yang berisi gambaran
pandangan mereka terhadap perkuliahan sehingga saya bisa memperbaiki diri dan
materi dari waktu ke waktu.
Ken menekankan, tidak semua orang memiliki rekam jejak yang lancar. Setiap orang
berbeda dan bisa saja memiliki daya tangkap yang berbeda-beda pula. “Belum tentu
seseorang itu dapat langsung mengerti di umur 18 atau 20 tahun. Mungkin dia
mengertinya belakangan,” katanya. “Orang itu macam-macam, masak semua
harus seperti robot? Apalagi, di Indonesia banyak orang yang bekerja dulu, baru
melanjutkan pendidikan. Orang-orang seperti itu tentu masih punya masa depan untuk
jenjang karier yang sukses.”
Dengan apa yang telah dibuat oleh seorang Ken Kawan Soetanto membuktikan bahwa
orang Indonesia juga memiliki kualitas yang tidak kalah dengan orang-orang dari dunia
internasional, bahkan saat ia harus berkompetisi di tempat yang sangat kompetitif, yaitu
di Jepang. Adapun dalam pandangan Darmono, pendiri President University, Ken adalah
orang yang jenius, multitalenta dan idealis, juga pendidik yang compassionate dan
sangat mencintai Indonesia. Darmono melihat Pemerintah Jepang mau memberi tempat
terhormat bagi Ken karena ia menyandang tugas memperbaiki sistem pendidikan di
Jepang yang terlalu mementingkan sisi materiil dan melupakan anak-anak berbakat
yang terbuang yang perlu disentuh dengan kasih sayang dan perhatian khusus.
Demikian semoga rangkuman ini bisa menginspirasi bagi siapa saja sehingga
dikemudian hari bisa bermunculan Ken Soetanto-Ken Soetanto lainnya.

KEN KAWAN SOETANTO ATAU CHEN WEN QUAN

• Lahir: Surabaya, 1951


• Istri: Jennie Hermanto (58)
• Anak: – Nerrie (32), Jun Adi (29), Ainie (25)
• Pendidikan:
– SD Ta Chung Surabaya (kelas I-II), SD Shi Hwa (kelas II-III), SD Ming Jiang
(kelas IV-VI)
– SMP Chung-Chung – SMA Chung-Chung, sampai kelas I pada 1965
– 1965-1974 tak bersekolah, bekerja mereparasi produk elektronik
-1974: ke Osaka, Jepang
– 1977: S-1 Universitas Tokyo, Fakultas Teknik dan Pertanian
– Meraih doktor di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of
Technology (1985), doktor dalam ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988),
doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan doktor ilmu
pendidikan dari Universitas Waseda (2003)
– 1988-1993: menjadi associate professor di Drexel University dan School of
Medicine, Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, AS
– 1993-kini: guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang
– 1997-kini: Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology
– 2003-kini: guru besar School of International Liberal Studies di Universitas
Waseda
Judul: Soetanto Effect: Ubah Orang
Buangan Jadi Rebutan
Penulis: Ken Kawan Soetanto
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Ketiga, Agustus 2011
Tebal: xx + 184 halaman
ISBN: 978-602-8811-04-0

Rasa bosan dan jenuh biasa menyerang mahasiswa di perguruan tinggi tempat
mereka menimba ilmu. Kejenuhan mengikuti aktivitas belajar di ruang kuliah menjadi
“momok” yang menakutkan. Sehingga tak jarang mahasiswa bolos, meninggalkan kelas
tanpa alasan yang jelas. Mereka lebih suka berkumpul-kumpul dengan komunitasnya
daripada mengikuti perkuliahan. Kebiasaan ini jika dibiarkan akan menjadi “penyakit
mental” yang menjangkiti banyak mahasiswa. Yang tentu sangat berpengaruh terhadap
kehidupan dan masa depan mereka kelak. Bagaimana mereka mau merancang masa
depan yang gemilang, jika motivasi belajarnya saja sudah hilang.

Untuk itu, sangat dibutuhkan kreativitas dari tenaga pengajar yang mampu
mengendalikan kelas. Mengajar dengan penuh spirit, agar peserta didik betah mengikuti
materi sampai selesai. Berusaha terus memotivasi mereka yang low-spirit, sehingga
kembali aktif mengikuti materi pelajaran.

Hal inilah yang dilakukan Ken Kawan Soetanto, WNI pertama yang menjadi Guru
Besar di Jepang dengan 4 gelar doktor dan 3 fellow (award) dari Academic Society (2
dari Amerika dan 1 dari Jepang). Melalui bukunya Ubah Orang Buangan Jadi
Rebutan ini, Soetanto memaparkan pengalaman-pengalamannya selama
menjadi Sensei (guru) di Jepang. Perhatiannya yang sagat besar terhadap dunia
akademik ini membuatnya menjadi orang berpengaruh di Jepang, terutama bagi
mahasiswa-mahasiswa yang diajarinya. Tak heran jika Kementrian Pendidikan
Jepang membiayai riset-risetnya sampai USD 15 juta (Rp.144 miliar) per tahun.
Jumlah yang sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor atau
mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor).
Dalam mengajar, Soetanto dikenal dengan metode “soetanto effect”-nya yang
berhasil mengubah pola pikir peserta didik. Mampu menyalakan semangat mereka
yang nyaris padam dengan motivasi dan sugesti sebelum memulai materi yang
diajarkan. Dengan sekuat tenaga Soetanto berusaha membuat proses belajar menjadi
lebih mudah dimengerti dan menarik.

Seperti di bagian pertama buku ini, Soetanto memaparkan bagaimana menghadapi


80% mahasiswa yang sudah tidak senang belajar. Bayangkan, lebih dari separuh
anggota kelasnya yang tidak hanya semangat belajarnya menurun, tapi juga “acuh”
dengan materi di kelas yang diajarinya. Soetanto berusaha “mendekati” mereka, agar
bisa percaya diri menghadapi mahasiswa. Menurutnya, dengan percaya diri seorang
guru akan bertambah kuat. Hal itu dilakukan karena di kelas Soetanto banyak
menghadapi mahasiswa “nakal” yang bisa dikatakan remeh terhadap tugas utamanya
sebagai pelajar. Mereka masuk kelas hanya untuk mendapatkan nilai.
Pada bagian selanjutnya, Soetanto menjelaskan tentang bagaimana memunculkan
semangat mahasiswa yang malas atau tidak berminat belajar. Untuk membuat pelajaran
yang bagus dan sukses, menurut Soetanto, harus ada kerja sama antara kedua belah
pihak, yaitu dosen dan mahasiswa. Maka dari itu, seorang dosen atau guru penting
untuk menstimulus semangat belajar peserta didiknya.
Metode “soetanto effect” yang diterapkan Soetanto dalam mengajar bukan hanya
sekadar teori saja. Banyak mahasiswa yang sebelumnya tidak semangat, begitu
mengikuti kelasnya, prestasinya cukup mencengangkan. Begitu juga setelah dia
“mengusir” dua orang mahasiswanya yang tidak mengindahkan perintahnya. Salah satu
dari mereka mendapat nilai tertinggi setelah insiden “pengusiran” itu. “Setelah saya
mengusir kedua mahasiswa itu, ternyata salah seorang di antara mereka tidak pernah
datang lagi ke perkuliahan saya. Akan tetapi, yang seorang lagi hadir pada perkuliahan
saya berikutnya. Saya merasa sangat gembira. Mungkin dia mau mengambil
kesempatan sekali lagi. Dari peristiwa ini dia belajar banyak. Dia
menyalin catatan yang tertinggal dari awal, kemudian pada saat ujian akhir dia
meraih nilai tertinggi. Anak nakal ini ternyata menyesali perbuatannya dan
menebusnya.” (Hal.17)

Lewat buku motivasi yang diangkat dari pengalamannya menjadi Sensei ini,
Soetanto mencoba mengajak guru, dosen, atau siapa pun yang berkecimpung dalam
dunia pendidikan, untuk lebih serius memerhatikan anak didik. Biaya pendidikan yang
tinggi di negeri ini setidaknya menjadi alasan kuat untuk lebih meningkatkan kinerja
pendidik. Memotivasi anak didik agar memiliki semangat yang besar untuk meraih cita-
citanya di masa mendatang.
Dalam buku ini Soetanto seolah-olah ingin meneriakkan “yel-yel” motivasi, agar
pengajar lebih mementingkan tugasnya daripada kepentingan di luar pendidikan itu
sendiri. Mari kita simak salah satu gagasan Soetanto tentang pendidikan ini: “Perguruan
tinggi menerima biaya pendidikan yang tinggi dari orangtua mahasiswa. Oleh karena itu,
kami para dosen mempunyai tanggung jawab utuk membimbing mahasiswa dengan
baik.” (Hal.22)

Buku ini juga dilengkapi lampiran profil kisah kehidupan Soetanto yang dimuat
beberapa media massa. Semua mengupas tuntas perjuangan Soetanto dari nol ketika
hidup di Surabaya sebagai siswa menengah yang “nyambi” jadi karyawan di sebuah toko
elektronik, sampai dia berhasil melalui kesulitan-kesulitan selama perjalanannya ke
Jepang untuk menuntut ilmu. Semua dikupas untuk membangkitkan semangat anak
muda—khususnya anak muda Indonesia—yang selama ini kurang memerhatikan tugas
utamanya sebagai pelajar. Selain itu, buku ini juga disisipi beberapa testimoni para
mahasiswa yang berhasil melewati kesulitan-kesulitan dalam belajar, dan mengubah
mereka yang sebelumnya pasif menjadi aktif.
Buku yang diterbitkan Bentang Pustaka ini memungkinkan pembaca, para civitas
akademika—baik di sekolah tingkat menengah atau perguruan tinggi—lebih
bersemangat dan termotivasi untuk mengembangkan bakat dan kemampuan peserta
didik dengan metode “soetanto effect”, demi meraih cita-cita gemilang di masa
mendatang. (*)
*) Dimuat Radar Surabaya,
Minggu, 16 Oktober 2011
Apa yang perlu dicontoh dari Ken Kawan Soetanto?

MIMPI. Mimpilah yang menyulut semangat belajarnya yang tidak pernah padam.
Mimpinyalah yang menjadi bara api untuk selalu berfikir positif. Dia bermimpi untuk kuliah
dan meraih ilmu setinggi-tingginya. Dia genggam kuat mimpi itu.

TIDAK PUTUS ASA. Di tengah keterbatasan yang dia miliki, Ken Kawan Soetanto tidak
pernah menyerah, tidak pernah putus asa. Karena putus asa akan membunuh mimpinya.
Dia berjuang untuk membuka pintu-pintu kesempatan. Jika satu pintu tidak bisa terbuka
pasti ada pintu-pintu lain yang bisa diketuk dan dibuka.

DISIPLIN TINGGI. Dia tidak akan mentolerir kebiasan buruk bercokol pada dirinya. Dia
selalu tepat waktu. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Datang kuliah tidak
boleh terlambat. Tugas-tugas harus diselesaikan tepat waktu. Tidak ada kata menunda-
nunda pekerjaan.

TOTALITAS. Dia sudah memilih untuk mewujudkan mimpinya. Maka proses meraih
mimpi tidak bisa dilakukan setengah hati. Dia harus melakukannya secara total. Semua
kemampuan diri harus ekpos keluar agar mewujud nyata. Dalam diri kita ada raksasa
tidur yang harus dibangkitkan. Dan itu hanya bisa dilakukan jika kita belajar sungguh-
sungguh dan bekerja keras dengan hati.

AKTIF. Jika harus menunggu , menunggunya harus aktif. Menunggu pasif adalah satu
bentuk pemborosan bahkan bunuh diri. Aktif adalah kata kunci sukses. Aktif menyambut
keberhasilan dengan sibuk bekerja dan belajar.

FOKUS PADA TUJUAN. Tetapkan tujuan dan fokus untuk meraih tujuan yang telah
ditetapkan. Jangan gampang berpaling dan berubah tujuan. Satu tujuan tercapai baru
focus pada tujuan berikutnya.

SABAR DAN PANTANG MENYERAH. Kesempatan pasti datang pada orang yang
pantang menyerah. Never give up. Walaupun dirundung kemalangan bertubi-tubi, harus
tetap maju dan berusaha hidup.

NOTHING IS IMPOSSIBLE. Jika orang Jepang bisa kenapa kita tidak bisa. Ken Kawan
Soetanto telah membuktikannya. Kecerdasan plus kerja keras yang tidak kenal lelah
telah membuatnya sejajar dengan ilmuwan Jepang.

POSITIVE CIRCLE. Ciptakan lingkaran positif bagi diri kita. Selalu semangati diri
dengan hal-hal positif. Jangan relakan diri kita dimakan oleh kata-kata negative dan
perasaan merusak. Temukan lingkungan, teman pergaulan, dan tontonan-tontonan positif
yang mampu menjaga api semangat juang kita.

POSITIVE EFFECT. Salurkan pengaruh positif pada lingkungan, pada teman sekelas,
teman sejawat dan masyarakat melalui sikap dan perilaku positif-konstruktif kita. Positif
effect yang kita tebarkan akan mencipta jutaan effect yang tidak terkira untuk hidup kita.
Positif effect sekecil apapun yang kita tebar akan mencipta keajaiban bagi diri kita dan
lingkungan. Soetanto membuktikannya dengan kata-kata dan cara mengajarnya yang
menyentuh hati. Dengan positif effect yang ditebarkan melalui proses pembelajarannya
dia telah menggemparkan jagat Jepang. Padahal sebelumnya dia diragukan dapat
mengajar orang Jepang, hanya karena dia orang Indonesia.
PENAJAMAN BUKU SOETANTO FX :

Nilai2 Apa yg bisa diterapkan/ diadaptasi di sekolah kita?

Bentuk praktek/aplikasinya seperti apa..?

Anda mungkin juga menyukai