Anda di halaman 1dari 12

ANAK GILI YANG UNIK

Oleh:
Lalu Iwan Eko Jakandar*
Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang

Dia Adalah Ibra, anak didik di salah satu Sekolah Dasar (SD) yang berada
di Kabupaten Lombok Utara Provinsi NTB yang kini genap berusia 7 th 8 bulan.
Ia lahir dari keluarga yang tidak begitu agamis, lingkungan rumah yang berada di
daerah wisata gili tepatnya di gili trawangan membentuknya menjadi pribadi yang
akrab dengan suasana dugem (dunia gemerlap) semarak kehidupan malam,
wisatawan yang berpakaian dengan seadanya juga menjadi panorama yang lumrah
bagi anak-anak di desa wisata Gili.
Sadar akan kondisi yang demikian kedua orang tua Ibra berinisiatif untuk
menitipkan anaknya di Lembaga Pendidikan Islam yang menurut mereka terbaik
untuk masa depan putranya, tidak kurang dari 15 km jarak yang harus ditempuh
setiap harinya, menggunakan speedboat untuk menyeberangi lautan setiap pagi
dan siang hari juga menjadi santapannya, namun itu semua tidak menyurutkan
tekad kedua orang tua Ibra untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik bagi
putranya.
Awal mengenal ibra, gurunya mengira ia adalah anak yang introvert,
duduk di bangku terdepan, nampak menyimak penjelasan dengan seksama dan
selalu menghadap ke pengajar (guru) atau ke papan tulis, tidak usil seperti anak
laki-laki lainnya dan sangat pendiam. Hari itu gurunya menanyakan siapa
Namanya…?, namun ia tidak menjawab, teman disampingnya mengangkat tangan
dan menjawabkan namanya untuk sang guru, “namanya Ibra buk guru…!”.
3 (tiga) bulan telah berlalu semenjak Ibra diantarkan pertama kali ke
sekolah oleh ayah dan bundanya, namun belum ada perkembangan yang
signifikan darinya.
Dia nampak memperhatikan penjelasan gurunya dengan seksama di kelas,
namun ia tidak pernah menjawab satupun pertanyaan yang dilontarkan oleh guru
kelasnya di depannya, seringkali gurunya yang mengajar di kelasnya geram
karena ia enggan untuk menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya,
bahkan untuk menjawab pertanyaan “siapa namamu? Pun tidak jawabnya. Semua
guru pengajar mengeluhkan sikapnya di kelas, bukan karena ia nakal atau
mengganggu temannya, tapi karena semua pelajaran yang ditulis di papan oleh
guru kelasnya tidak satupun ia tulis ulang pada buku catatannya.
Bertolak belakang dengan sikapnya kepada guru nya, bersama temannya ia
bermain sebagaimana anak seusianya pada umumnya, ia berdialog dengan
temannya, bercanda dan bahkan tidak jarang ia diadukan temannya karena
mengganggunya saat jam istirahat, ia juga bersosialisasi dengan kakak tingkatnya,
mengikuti kegiatan olahraga dan berbelanja di kantin seperti siswa yang lain.
Apalagi sebagaimana berkas yang diserahkan wali Ibra ketika pendaftaran
masuk di sekolah tersebut, ia menyertakan ijazah TK Islam tempat ia belajar
sebelum mengenyam pendidikan di sekolahnya yang baru, menurut data pihak
sekolah yang didapatkan TK tempat ia belajar sebelumnya adalah salah satu TK
terbaik di kecamatan Pemenang, satu kecamatan dengan tempat tinggalnya, dan
Ini benar-benar membuat pihak sekolah lebih heran akan sikap diamnya di kelas
dan enggan menulis pelajaran.

Pembahasan 1
Jika dilihat kondisi di atas, inilah kekhawatiran tentang sekolah yang mirip
dengan pabrik mencerminkan keprihatinan tentang pendekatan pendidikan yang
terfokus pada produktivitas dan standar massa, yang mungkin mengabaikan
kebutuhan individual dan pengembangan holistik siswa.
Seandainya sekolah dianggap dan dikelola sebagai sebuah pabrik, maka
murid-murid dianggap sebagai pegawai atau karyawan yang akan menjalankan
rutinitas dan harus patuh kepada atasannya. Memang murid-murid tersebut
dianggap sebagai benda hidup, tetapi tidak boleh berpikir kritis, bernalar,
berargumentasi, berbeda pendapat, berbuat salah, dan lainnya. Itu mungkin
penyebab kenapa negara kita belum kompetitif karena masyarakatnya secara
umum belum terbentuk daya saingnya dan keberaniannya dalam mengambil risiko
serta membuat keputusan yang tidak populer.
Beberapa kekhawatiran yang mungkin timbul jika sekolah dijalankan
seperti pabrik adalah:
1. Standarisasi yang berlebihan: Jika sekolah dikelola seperti pabrik, ada
kemungkinan bahwa fokus utamanya adalah mencapai hasil standar yang
konsisten. Siswa dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang sangat terstruktur
dan tidak memberi ruang untuk kreativitas atau eksplorasi mandiri.
2. Pengujian berlebihan: Pendekatan pabrik mungkin mendorong praktik
pengujian berlebihan, dengan penekanan yang terlalu besar pada tes standar
untuk mengukur kemajuan siswa. Hal ini dapat menyebabkan tekanan yang
berlebihan pada siswa dan mengurangi kesempatan untuk pembelajaran yang
berarti.
3. Hilangnya individualitas: Jika sekolah beroperasi seperti pabrik, ada risiko
siswa diperlakukan sebagai "produk" yang harus diproduksi dalam serangkaian
langkah yang sama. Kebutuhan dan minat individual mungkin diabaikan, dan
siswa tidak diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan
keunikan mereka.
4. Kekurangan hubungan guru-siswa: Model pabrik mungkin mengurangi
interaksi personal antara guru dan siswa. Jika kelas terlalu besar dan kurikulum
sangat terstruktur, guru mungkin tidak memiliki waktu atau ruang untuk
memberikan perhatian individu kepada setiap siswa. Hubungan yang kuat
antara guru dan siswa penting untuk pembelajaran yang efektif dan
perkembangan pribadi.
5. Kurangnya fokus pada keterampilan kehidupan: Pendekatan pabrik seringkali
mengutamakan pengetahuan akademik daripada keterampilan kehidupan yang
lebih luas. Siswa mungkin tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keterampilan sosial, keterampilan pemecahan masalah, dan kreativitas yang
penting untuk sukses dalam kehidupan.
Kekhawatiran ini juga penting untuk dicatat jika sekolah diperlakukan
seperti pabrik yang memunculkan berbagai ragam pertanyaan dan permasalahan
diantaranya mengabaikan kebutuhan individual siswa, keberagaman dalam gaya
belajar, dan aspek non-akademik dari pendidikan. Oleh karena itu, pendekatan ini
perlu diimbangi dengan perhatian terhadap kebutuhan siswa secara keseluruhan
dan mencakup berbagai metode pengajaran yang mengakomodasi keragaman
siswa.
Kembalikan fungsi sekolah sebagai tempat guru dan murid berinteraksi
dalam rangka menumbuhkembangkan kapasitas intelektual dan kejiwaannya.
Guru diberi otonomi yang luas dalam mendidik, sebaliknya murid diberi
keleluasaan untuk berpikir kritis, bernalar, berbeda pendapat, berargumentasi,
bahkan dalam membuat keputusan yang bertanggung jawab. Guru juga harus
diberi kebebasan untuk mengemukakan prinsipnya dan mempertahankan
prinsipnya agar guru mempunyai wibawa di mata murid-muridnya. Seandainya
prinsip-prinsip tersebut diterapkan secara baik oleh guru dan murid, maka
pembentukan karakter otomatis terwujud. Pemerintah memfasilitasi agar guru dan
murid dapat memperoleh suasana kondusif di sekolah, sedangkan orang tua
diharapkan untuk tidak membebani anak-anaknya dengan ambisi atau target
capaian yang terlalu tinggi. Biarlah proses pendidikan berjalan sesuai hakikatnya,
dan anak-anak kita mempunyai potensinya masing-masing dan mereka pasti akan
berbuat yang terbaik dengan adanya bimbingan guru dan orangtuanya.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua sekolah atau
sistem pendidikan mengadopsi pendekatan seperti pabrik. Banyak sekolah dan
pendidik yang berupaya menciptakan lingkungan yang inklusif, berfokus pada
pengembangan holistik siswa, dan mendorong kreativitas serta minat individu dari
peserta didik tersebut.
Lanjut dari cerita di atas, melihat kondisi yang demikian, akhirnya pihak
sekolah memanggil wali Ibra untuk menghadap, pada kesempatan itu pihak
sekolah menyampaikan sikap Ibra yang sangat kontras antara di kelas dan di luar
kelas, antara bagaimana ia bersikap dengan teman dan juga gurunya, yang paling
sekolah tekankan ketika itu adalah 2 kondisi Ibra; 1) sikap diam tidak mau
menjawab, dan 2) tidak mencatat pelajaran ketia proses belajar mengajar sedang
berlangsung.
Sang ibu tertunduk sejenak ketika mendengar penjelasan pihak sekolah
terutama guru kelas yang mengajar dan memantaunya setiap hari, kemudian
dengan sedikit pembelaan ia menjawab, “ Ibra sudah pernah kami sekolahkan di
taman kanak-kanak Islam yang ada di dekat rumah”, 1 tahun ia ditempa di tempat
itu tapi perkembangan motorik halusnya berkembang dengan sangat lambat,
mohon maaf atas sikap acuh Ibra, namun sebenarnya ia bukanlah anak yang cuek
apalagi sombong ia anak yang pemalu, ia minder dengan kekurangannya dan ia
mengekspresikannya dengan diamnya dan enggan menjawab pertanyaan guru”.
Sang ibu melanjutkan ceritanya dengan rasa sedih bercampur menyesal,
“…ia bukan tidak mau menulis apa yang gurunya minta, namun bagaimana
hendak menulis jika memegang pensil saja ia belum bisa. Lebih lanjut ibunya
mengatakan 1 tahun kami sekolahkan ia di taman kanak-kanak namun belum ada
perkembangan yang signifikan yang kami lihat darinya, setiap kali kami minta ia
untuk membuat coretan di kertas ia selalu menolak seolah ia phobia dengan alat
tulis, semoga dengan belajar di sini (sekolah barunya), kemampuan akademiknya
bisa berkembang dengan baik”. Bahkan sang ibu sempat berfikir dan
mengutarakan perasaannya…buk guru jika anak saya masih saja belum ada
perkembangan, maka ibra rencana akan saya pindahkan ke Sekolah Luar Biasa
(SLB), saut sang ibu..!
Dari penjelasan yang pihak sekolah dapatkan dari ibunya dapat difahami
mengapa ia enggan menjawab pertanyaan dan mengapa ia tidak pernah mencatat
pelajaran yang diberikan, akhirnya pihak sekolah putuskan untuk memperlakukan
Ibra dengan spesial, ia dipegang khusus oleh seorang guru dan belajar sendirian di
ruangan yang berbeda, apa yang ia pelajari? Melatih jemarinya untuk membuat
coretan-coretan sederhana, garis lurus, lingkaran, menggambar, mewarnai atau
membuat coretan apa saja yang ia suka, kami juga membekalinya dengan
plastisin, slime dan aneka permainan yang merangsang motorik halusnya.
Buku gambar, buku menarik garis, buku mewarnai, buku latihan menulis
alphabet, buku latihan menulis angka, buku latihan menulis hijaiyah yang
seharusnya menjadi materi anak taman kanak-kanak gurunya berikan kepadanya,
buku-buku tersebut menjadi teman ibra sehari-hari selama ia belajar di kelas
barunya.
Ibra nampak menikmati hari-harinya di kelas khusus, hal ini sekolah yakini
setelah ditanyakan psikologis Ibra kepada guru yang mendampingi dan
membimbingnya di kelas dan orang tuanya, menurut ibunya tidak ada perbedaan
yang signifikan sebelum atau setelah Ibra dipindahkan ke kelas khusus dan harus
dipisah dengan teman-temannya, ia tetap semangat ke sekolah, bermain dengan
teman-temannya ketika jam istirahat dan pulang sekolah tetap dengan ceria.
Pembahasan 2
Jika ditelaah dalam situasi demikian, maka ibra bisa diduga mengalami
disleksia. Disleksia adalah hilangnya kemampuan untuk membaca dan menulis.
Hilangnya kemampuan untuk membaca disebut Aleksia dan hilangnya
kemampuan untuk menulis disebut Agrafia (Dardjowidjojo, 2008: 216). Disleksia
merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang
disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis,
(Shaywitz, 2003). Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti
masalah penglihatan, tetapi mengarah pada otak yang telah mengolah dan
memproses informasi yang sedang dibaca.
Para orangtua sering beranggapan bahwa anak-anak usia sekolah yang
belum bisa membaca dan menulis merupakan ukuran ketidakmampuan mereka.
Anak yang sudah bersekolah dan belum lancar membaca dianggap bodoh atau
tertinggal. Bisa saja terjadi anak itu menderita disleksia.
Anak disleksia akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di
Taman Kanak-Kanak dan tidak belajar membaca di Sekolah Dasar. Tentunya,
Anak tersebut akan semakin ketinggalan dalam hal pelajaran sedangkan guru dan
orangtua merasa semakin heran mengapa anak dengan tingkat kepandaian yang
cukup baik mengalami kesulitan membaca. Walaupun anak telah diajarkan secara
khusus, namun anak tersebut membaca dengan lebih lambat. Ia mengalami
gangguan dalam membaca bahkan bingung mengenali huruf dan angka yang
mirip. Selain itu penderita disleksia akan mengalami gangguan kepercayaan diri.
Melalui pengamatan kesulitan membaca yang dialami anak-anak maka ada
kecenderungan bahwa pemicu disleksia adalah kelainan neurobiologis, yang
ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat, baik dalam
pengejaan dan pengkodean symbol, (Lidwina, 2012). Kesulitan membaca yang
dialami anak disleksia, tidak ada hubungannya dengan tingkat intelegensi mereka.
Bahkan dalam beberapa kasus, anak disleksia jauh lebih cerdas daripada anak
normal lainnya.
Kemampuan yang dimiliki setiap manusia tidaklah sama, begitu pula
dalam kemampuan membaca. Tri (2014: 11) mendefinisikan “kemampuan
membaca merupakan kesanggupan seseorang memahami gagasan – gagasan dan
lambang bunyi bahasa yang ada dalam sebuah teks bacaan yang diinginkan”.
Apabila kemampuan membaca ini mengalami gangguan, begitu pula proses
mendapatkan informasi dalam membaca akan ikut terganggu sehingga bisa timbul
ketertinggalan dalam proses belajar.
Setiap anak memiliki masa perkembangannya, yang terkadang berbeda
untuk setiap anaknya. Hambatan selama masa perkembangan bisa terjadi karena
berbagai hal, salah satunya karena hambatan pada otak. “Dalam masa
perkembangan terkadang akan ada hambatan, kemungkinan terjadi hambatan
tersebut disebabkan oleh hambatan otak (sistem syaraf pusat) pada masa prenatal,
perintal, dan selama usia satu tahun pertama” (Hidayat, 2009). Hambatan yang
disebabkan oleh sebuah gangguan pada syaraf otak dapat mempengaruhi
kemampuan membaca anak. Gangguan ini biasa diketahui sebagai disleksia.
Disleksia bukanlah gangguan yang mempengaruhi kecerdasan seseorang,
anak disleksia tidaklah bodoh, mereka hanya lambat dalam hal belajar, yang
menyebabkan mereka menjadi tertinggal dibandingkan dengan teman – teman
sebayanya, (Haifa, Mulyadi Prana, dan Respati 2020). Kondisi mental mereka
tidak terganggu, tidak perlu orangtua sampai memasukan anaknya ke Sekolah
Luar Biasa (SLB) hanya karena disleksia. Lain cerita bila disleksia ini dibarengi
dengan kebutuhan khusus lainnya.
Vitriani Sumarlis, Wakil Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia mengatakan
bahwa, “anak disleksia tidak cocok masuk SLB, SLB lebih tepatnya untuk anak
berkebutuhan khusus lainnya seperti tunagrahita atau tunarungu. Anak disleksia
rentan stres karena kegagalan akademik, kemudian jika dimasukan ke SLB, justru
mereka akan berpikir bahwa dirinya stupid betul. Yang ada, mereka malah tambah
tidak percaya diri, kok saya disamakan dengan anak SLB..!. Mereka akan syok
dan merasa semakin tidak berarti bila dibandingkan dengan teman – temannya”
Anak disleksia memiliki kecerdasan yang sama bahkan bisa lebih
dibandingkan dengan anak seumurannya. Jangan hanya karena mereka tidak bisa
mengikuti pembelajaran lantas memasukkannya ke SLB, itu merupakan langkah
yang salah karena hanya semakin membuat mereka tidak percaya bahwa dirinya
mampu. Pemahaman mengenai disleksia seperti ini perlu diketahui oleh
masyarakat luas agar tidak terjadi salah langkah dalam penanganan anak disleksia.
Penting untuk diingat bahwa perlakuan yang diberikan oleh sekolah
kepada anak yang mengalami disleksia dapat bervariasi, tergantung pada
kebijakan dan sumber daya sekolah tertentu. Hal tersebut yang mejadi persoalan
di pendidikan kita belum adanya pemerataan dan perhatian dari pemerintah
tentang bagaimana solusi serta penanganan yang diberikan kepada
sekolah-sekolah bila menemukan anak seperti ibra yang diduga mengalami
disleksia.
Lanjut dengan cerita tersebut, kini setelah 6 bulan Ibra diberikan perlakuan
khusus oleh pihak sekolah, ia nampak lebih ceria, sapaan dan pertanyaan guru
mulai di jawabnya, buku catatannya pun mulai dipenuhi dengan coretan dan
gambaran sesuai dengan keinginannya, Ibra yang dulu enggan menulis karena
tidak tahu bagaimana cara memegang pena kini mulai terbiasa untuk menebalkan
garis putus-putus dan meniru huruf atau angka meski ia belum tau bagaimana
menyebutkan huruf atau angka tersebut.
Seminggu kemudian, sekolah mencoba untuk mengembalikan Ibra pada
kelas asalnya, Ibra kembali berkumpul dengan teman-temannya, ketika salah
seorang guru berkesempatan untuk mengisi mata pelajaran bahasa Indonesia di
kelasnya, Ibra nampak sama seperti Ibra yang dulu, duduk di kursi terdepan dan
tetap antusias menghadap ke papan tulis atau pengajar dan menyimak dengan
seksama, hanya bedanya kali ini ia dengan sadar mau menyalin tulisan di papan
tulis pada buku catatannya.
Alhamdulillah Ibra mulai menulis apa yang sudah guru catatkan di papan
tulis, meskipun ia belum mampu membaca secara utuh namun ia sudah mulai
melatih dirinya untuk menulis dengan meniru apa yang termaktub di papan tulis,
guru pun memulai percakapan sederhana dengannya, menanyakan kabarnya,
…nak lebih suka di kelas khusus atau di sni?, Bagaimana kegiatan bermainnya di
luar kelas dan lain-lain. Dan alhamdulillah meskipun ia sedikit malu-malu tapi ia
tetap mau menjawab pertanyaan sederhana guru tersebut, dan ibra pun
menjawab….sy lebih suka disini buk guru…! Jawab ibra..

Pembahasan 3
Dianalisis dari lanjutan uraian cerita di atas, perlu menjadi catatan bagi
sekolah adalah sekolah seharusnya bekerjasama dengan ahli pendidikan yang
terlatih atau mendatangkan psikolog. Anak-anak yang dicurigai disleksia
sebaiknya di tes oleh ahli pendidikan yang terlatih atau psikolog. Dengan
menggunakan beragam tes, penguji akan dapat mengidentifikasi jenis kekeliruan
yang kerap dilakukan anak tersebut. Kemudian, penguji pun dapat mendiagnosis
masalahnya. Adapun jika anak itu memang disleksia, dapat diajukan rekomendasi
untuk penanganannya, seperti tutorial, speech terapi, atau rekomendasi mengenai
penempatan anak tersebut di kelas khusus. Penguji dapat merekomendasikan
pendekatan-pendekatan khusus untuk pelatihan. Karena tidak ada satu metode pun
yang sesuai bagi semua anak., Program remediasi sebaiknya dirancang sebagai
program individual. Pola hubungan anak dengan keluarga, teman sebaya, dan
hubungan dengan guru berpengaruh banyak terhadap hasil pembelajaran. Dalam
lingkungan yang kondusif, peluang keberhasilan anak akan semakin besar.
Dengan pemberian bantuan yang beragam dan teratur, anak disleksia akan
mencapai kemajuan. Anak disleksia yang sudah teridentifikasi sejak dini,
memperoleh dukungan dari keluarga dan teman-temannya, serta mendapatkan
program pelatihan yang cukup memadai, diperkirakan akan meraih kemajuan
yang baik.
Pada hakikatnya, setiap anak, baik pengidap disleksia maupun bukan
memerlukan metode pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan karakteristik
anak tersebut. Dengan orang-orang memahami disleksia itu seperti apa,
diharapkan semakin berkurang pula orang yang memiliki stigma negatif, bahwa
anak itu bodoh ketika belum mampu membaca dan menulis. Terdapat alasan di
balik ketidakmampuan seorang anak. Mereka hanya perlu bimbingan dan
perhatian lebih untuk bisa berkembang. Menyalahkan ketidakmampuan anak
dengan tidak dibarengi dengan pendampingan dari orang tua dan guru, hanya akan
membuat anak semakin tertekan dan tidak mampu berkembang untuk mengikuti
ketertinggalannya dalam pembelajaran. Perlu diingat bahwa setiap anak itu
memiliki keistimewaannya sendiri.
Berikut beberapa saran menjadi kesimpulan serta perlakuan yang
dilakukan oleh sekolah terhadap siswa dengan kondisi yang sama dialami oleh
ibra atau diduga mengalami disleksia:
1. Evaluasi dan identifikasi: Sekolah biasanya akan melakukan evaluasi khusus
untuk mengidentifikasi adanya disleksia pada siswa. Ini mungkin melibatkan
tes dan pengamatan oleh psikolog atau ahli pendidikan khusus.
2. Pemahaman dan dukungan: Setelah disleksia teridentifikasi, sekolah akan
berupaya memahami kebutuhan dan tantangan siswa tersebut. Mereka akan
berkomunikasi dengan siswa dan orang tua untuk memahami cara terbaik
mendukung siswa dalam belajar.
3. Penyesuaian akademik: Sekolah dapat memberikan penyesuaian akademik
untuk membantu siswa dengan disleksia. Contohnya termasuk memberikan
waktu ekstra untuk mengerjakan tugas, menggunakan alat bantu seperti
perekam suara untuk membantu dengan catatan, atau memperbolehkan
penggunaan alat bantu tulisan seperti komputer atau perangkat lunak pembaca
teks.
4. Pengajaran yang berbeda: Guru dapat mengadopsi strategi pengajaran yang
berbeda untuk membantu siswa dengan disleksia. Misalnya, mereka dapat
menggunakan metode pembelajaran multisensori yang menggabungkan
penglihatan, pendengaran, dan gerakan untuk memperkuat pemahaman dan
mengingat informasi.
5. Dukungan individual: Sekolah dapat menyediakan dukungan individual seperti
guru pendamping atau tutor untuk membantu siswa dengan disleksia dalam
mengatasi tantangan belajar. Dukungan ini dapat berupa sesi tutor tambahan
atau bimbingan dalam mata pelajaran tertentu.
6. Pelatihan dan kesadaran: Sekolah juga dapat menyelenggarakan pelatihan dan
meningkatkan kesadaran bagi guru dan staf sekolah tentang disleksia. Hal ini
bertujuan agar mereka dapat memahami kondisi tersebut dan mengadopsi
pendekatan yang tepat dalam mengajar dan mendukung siswa dengan disleksia.
7. Kolaborasi dengan orang tua: Sekolah akan berkomunikasi secara teratur
dengan orang tua siswa untuk memantau kemajuan siswa dan membahas
strategi yang efektif. Orang tua juga dapat memberikan informasi tambahan
tentang kebutuhan khusus dan kemajuan anak mereka di luar lingkungan
sekolah.
Bagi orang tua, selalu penting untuk berkomunikasi secara aktif dengan
sekolah dan bekerja sama untuk memastikan bahwa siswa dengan disleksia
mendapatkan dukungan yang sesuai untuk mencapai potensi penuh mereka.

REFERENCES:

Bestari, H. (2017). Memahami Disleksia. [Online]. Diakses dari


https://www.ypedulikasihabk.org/2017 /11/06/memahami-disleksia/
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Shaywitz. S. 2003.
Overcoming Dyslexia. New York: Alfred A Knopf.
Haifa, Mulyadiprana, dan Respati. 2020. Pengenalan Anak Pengidap Disleksia.
PEDADIDAKTIKA: JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR.Vol. 7, No. 2 hal. 21-32. Universitas Pendidkan
Indonesia
Hermijanto, O.B. & Valentina V. (2016). DISLEKSIA Bukan Bodoh, Bukan
Malas, Tetapi Berbakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lidwina, S. (2012). Disleksia Berpengaruh pada Kemampuan Membaca dan
Menulis. Jurnal STIE Semarang, 4 (3), hlm.9-17.
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/16/23343631/sekolah.bukan.pabrik.ata
u.kantor.

Biografi
Nama lengkap Penulis Lalu Iwan Eko Jakandar lahir di Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat, Indonesia pada tanggal 10 April
1989. Lalu Iwan menyelesaikan Sarjananya di IKIP Mataram atau
saat ini yang dikenal dengan Universitas Mandalika Mataram
(UNDIKMA) jurusan Teknologi Pendidikan lulus pada tahun 2013, setahun
menjelang itu tepatnya pada tahun 2014 dia melanjutkan magisternya ke
Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dengan jurusan yang sama dan lulus pada
tahun 2016. Sekarang menjadi pengajar di SDI Integrasi Muslim Madani dan
menjadi Dosen di STIT Islamiyah NTB Email: lalujakandar46@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai