Anda di halaman 1dari 3

“8 dibagi 4 berapa?

“Nggg... Bentar mbak, ngitung dulu. 2 mbak!”

“Kalau 8 dibagi 3?”

“Eh... Aduh, berapa ya mba. Bentar, bentar. Dua koma enam!!”

Dalam sebuah kegiatan belajar bersama di sudut Kelurahan Ujungbatu,


Kabupaten Jepara, terlihat beberapa anak usia sekolah dasar sedang asyik menghitung
soal pembagian yang diberikan oleh mahasiswa KKN. Seperti percakapan di atas.
Beberapa anak bisa menjawab pertanyaan dengan benar dan cepat, ada yang
menghitung menggunakan ke-20 jarinya, sampai ada yang memilih untuk main karet
dengan temannya karena dia sudah menyerah. Mayoritas dari anak-anak tersebut
memang masih memerlukan waktu ekstra untuk bisa menjawab soal. Apalagi soal yang
jawabannya adalah bilangan desimal.

Hal serupa juga terjadi ketika kami memberikan soal perkalian dan pembagian
sekaligus.

“7 dikali 3?”

“21 mbak!”

“Nah coba kalau 21 dibagi 3? Berapa hasilnya?”

“Hmmmm....... Bentar ya mba. Hasilnya.... 7!”

Pertanyaan di atas sebenarnya sederhana bagi orang dewasa, karena memang


sudah terbiasa ditemui soal seperti ini dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi bagaimana
dengan anak-anak? Dalam diskusi online mengenai Pendidikan Menuju Indonesia Emas
2045 yang diselenggarakan oleh channel youtube PPI TV, narasumber yaitu Prof. Andy
Bangkit menyebutkan bahwa sistem pendidikan yang dianut oleh sekolah di Jepang pada
tahap awal adalah sistem pembelajaran meniru yang diterapkan pada jenjang kelas 1
dan 2 SD.

Pada jenjang tersebut, anak diarahkan untuk meniru dan mengenali apa yang
terjadi di lingkungan sekolah maupung sekitarnya. Anak jadi mengetahui pengetahuan
apa saja yang mereka butuhkan untuk bisa hidup di lingkungannya. Sehingga terlihat
jelas, ada keterkaitan antara apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang mereka
temui secara langsung dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat di sekitarnya. Lalu
dalam hal kemampuan untuk diri sendiri diperkuat pada jenjang kelas 3, 4, dan 5 SD.
Pada jenjang terebut diterapkan sistem pembelajaran mandiri.

Saya yang memang tidak berkecimpung di ilmu kependidikan, tidak banyak


mengetahui mengenai sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia. Namun dengan
adanya beberapa kegiatan sosial yang saya ikuti, khususnya pada bidang pendidikan,
saya melihat bahwa ilmu yang diajarkan di sekolah masih memiliki gap dengan
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, materi yang saya pelajari dulu sewaktu SD-SMA,
menguap begitu saja karena tidak saya aplikasikan di kehidupan sehari-hari. Walaupun
saya masih hafal rumus matematika bagaimana menghitung luas segitiga siku-siku,
tetapi untuk aplikasinya dalam dunia nyata? Jujur, saya tidak tahu pasti. Itulah mengapa,
sangat disayangkan ketika anak usia sekolah mengetahui bahkan sampai bisa menghafal
berbagai ilmu secara teoritis tetapi luput dalam hal praktis.

Di Jepang, pelajaran sekolah disesuaikan dengan kehidupan anak secara pribadi


dan masyarakat ketika mereka hidup berkelompok. Misalnya dalam pelajaran
matematika, guru akan mengenalkan ilmu tentang pembagian kepada anak dengan
konsep amari. Konsep yang sangat menarik karena mengajarkan anak untuk
memecahkan persoalan, bukan secara matematis tetapi sosial. Misalnya, seperti dialog
pembuka tulisan ini, pertayaan matematika dikemas dalam bentuk soal cerita menjadi:
“Ada 8 buah apel yang akan dibagi ke 3 orang anak. Berapa apel yang diterima setiap
anak?”. Jawaban dari soal ini tidak hanya 1. Jawaban yang umum adalah 2,6 potong apel
untuk setiap anak. Sedangkan jawaban yang menggunakan konsep amari adalah, setiap
anak akan mendapat 2 apel dan masih tersisa 2 apel lagi. Soal yang diberikan kepada
anak, sedemikian rupa disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya anak-anak
memiliki buah atau mainan. Benda-benda tersebut sangat dekat dengan anak. Sehingga
ada keterkaitan langsung dan anak pun dapat membayangkan bagaimana proses
pembagian bisa terjadi.

Kondisi di atas berkaitan dengan tingkat literasi masyarakat. Bangsa Jepang


memang memiliki tingkat literasi tinggi yang dibuktikan dengan tidak adanya buta huruf
dan partisipasi tinggi pada jenjang pendidikan. Dasar literasi diterapkan pada saat
mereka mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Selanjutnya kekuatan literasi itu
muncul ketika bangsa Jepang mengetahui bahwa kemampuan literasi merupakan bagian
dari kebutuhan hidup mereka. Bahkan dalam sebuah data yang dikeluarkan oleh
UNESCO Institute for Statistics, disebutkan bahwa tingkat partisipasi bangsa Jepang di
jenjang sekolah dasar, mencapai angka 100%. Sehingga dirasa sangat efektif jika sekolah
dasar menjadi pusat dari pemupukan dan pengembangan kemampuan literasi
masyarakat.

Pada hakikatnya ilmu adalah salah satu ibadah yang tidak dapat berdiri sendiri.
Ilmu dinyatakan sebagai ibadah, jika ada amalan yang mengikutinya. Lalu adanya hadits
Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Tidak akan bergerak kedua kaki
seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima perkara. Di
antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh Nabi saw.: ْ‫عن‬ َ ‫عِلمِ ِْه و‬, ‫ل َماذَا‬
َْ ِ‫عم‬
َ
‫ “ فِيهِ؟‬Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari
ilmunya?”. Sebagai salah satu yang merasakan besarnya manfaat ilmu,
ditambah dengan status sebagai mahasiswa, saya berangan-angan, jika
mahasiswa terpanggil jiwanya untuk melakukan pengabdian pada masyarakat
di daerah tempat tinggalnya atau minimal daerah sekitar kampusnya, maka
kita turut membantu pembangunan di Indonesia. Pengabdian tidaklah harus
berbentuk seperti KKN yang memerlukan biaya besar. Cukup dimulai dengan
hal kecil seperti berbagi ilmu dengan adik-adik di sekitar kita yang memang
tingkat literasinya masih rendah. Hal seperti itupun bisa memberikan manfaat
tersendiri bagi masyarakat. Apalagi jika bisa mengumpulkan mahasiswa-
mahasiswa dari berbagai macam disiplin ilmu. Oleh karena itu, saya tergerak
untuk berkontribusi di bidang pendidikan dan mengajak teman-teman
mahasiswa lain setidaknya untuk mau kembali pulang ke rumah dan peduli
dengan kondisi masyarakat sekitarnya melalui gerakan “Kampung Literasi”.

Anda mungkin juga menyukai