Anda di halaman 1dari 4

Komunitas SIGI dan Lentera Negeri

Komunitas Sahabat Indonesia Berbagai (SIGI)merupakan


komunitaskemanusiaan yang bergerak dalam bidang pendidikan khususnya
pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu. Pembentukan komunitas ini
dilatar belakangi oleh si pendiri saat tak sengaja melihat fenomena sosial dimana
masih terdapat anak-anak sekolah yang belum bisa membaca padahal umur
demikian seharusnya sudah bisa membaca. Si pendiri (kak ammi, kak nunu)
berpikiran bahwa anak yang sekolah saja belum bisa membaca, lebih-lebih dengan
mereka yang tidak bersekolah. Akhirnya dengan dibantu beberapa rekannya, si
pendiri membentuk sebuah komunitas relawan yang diberi nama Sahabat Indonesia
Berbagi (SIGI).

Sistem dalam perkumpulan ini cukup sederhana. Meski mereka tetap


memiliki struktur yang jelas, orang-orang yang pernah terlibat dalam kegiatan
mereka telah dianggap sebagai keluarga SIGI. Kegiatan-kegiatan komunitas yang
rutin dilakukan tiap minggu ialah mengajar pada anak-anak kurang mampu di
perkampungan kumuh yang beralamat di Jl. Adiyaksa. Anak-anak tersebut diajari
membaca, berhitung, agama, keterampilan juga bahasa Inggris.

Selain mengajar terdapat pula program-program SIGI lainnya. PB (projek


berbagi) merupakan program seperti halnya bakti sosial namun memiliki tema di
setiap pelaksanaannya. Telling dengan kepanjangan Teater Edukasi Keliling berupa
kegiatan nonton bareng dengan anak-anak pelosok.

Selanjutnya Aksi Sahabat Indonesia Tebar Buku yang disingkat ASITERU


berupa kegiatan kumpul-kumpul buku lalu dibagikan ke anak-anak yang
membutuhkan atau setidaknya membuka lapangan baca.

Terdapat pula program untuk para anggota SIGI dimana mereka setiap
bulannya kumpul sama-sama jika tidak terdapat kesibukan yang mendesak lalu
mengumpulkan receh yang mereka punya yang selanjutnya digunakan dalam
kegiatan komunitas, untuk itu program ini dinamakan Receh Kahuripan (RK).

Terlepas dari komunitas tersebut timbul pertanyaan mengenai pendidikan di


Indonesia. Anak-anak yang tidak bersekolah wajar saja jika belum bisa membaca,
toh mereka memang tidak memperoleh bimbingan demikian, akan tetapi dengan
anak yang bersekolah dan belum bisa membaca merupakan keganjilan yang perlu
diamati. Dapatkah dikatakan sekolah dan tidak sekolah sama saja? Dari sini timbul
lagi pertanyaan adakahyang salah dengan pendidikan di Indonesia? Berdasarkan
narasumber dari komunitas ini, Kak Naya, menurutnya tidak ada masalah dalam
pendidikan Indonesia, hanya saja bergantung pada tenaga pendidik dan sistem di
sekolahnya.

“Sebenarnya tidak ada masalah dengan pendidikan, hanya saja sistemnya


yang kurang baik untuk saat ini,” tutur kak Naya.

Penjelasan kak Naya cukup masuk akal. Akan tetapi yang kak Naya katakan
mungkin saja hanyalah salah satu jawaban atas pendidikan di Indonesia. Mungkin
masih banyak hal-hal tersembunyi yang belum sempat digali mengenai pendidikan
di Indonesia. Menurut penulis pribadi berdasarkan pemahaman dan pengamatan
penulis pada ekpedisi di komunitas SIGI Makassar kemarin menemukan beberapa
hal mengenai ‘Adakah yang salah dengan pendidikan Indonesia?’.

Objek pendidikan dalam hal ini adalah pengajar dan pelajar. Pengajar (guru)
sebelumnya telah dituturkan narasumber mempengaruhi kualitas pendidikan.
Namun dalam segi pelajarnya kadang kala kita lengah dan luput mendalami
pengaruh mereka dalam kondisi pendidikan saat ini. Kemarin di perkampungan
tempat anggota SIGI mengajar, penulis melihat masih terdapat beberapa anak yang
malas-malasan ikut belajar, nah faktor dalam diri anak tersebutlah yang cukup
mempengaruhi kondisi pendidikan. Terlebih lagi dengan kondisi mereka yang
kurang mendukung dimana mereka lebih terbiasa tidak bersekolah dan lebih
memilih membantu orang tua karena dianggapnya lebih berguna daripada belajar.
Selain itu, anak yang bersekolah di perkampungan tersebut yang belum bisa
membaca juga dapat menjadi indikator kurangnya motivasi mereka dalam belajar
dan pengaruh lingkungan terhadap motivasi belajar mereka.

Kak Naya juga sempat mengatakan bahwa anak yang tidak bersekolah di
perkampungan tersebut penyebabnya bergantung pada biaya dan keluarganya.
Masalah biaya yang kurang membuat mereka tidak bersekolah dan menyebabkan
mereka juga harus terlibat dalam mencari nafkah. Anak yang bersekolah di
perkampungan tersebut juga tetap ikut mencari uang seperti memulung atau
mengasong di pinggir jalan. Dalam kondisi ini motivasi anak dalam belajar menurut
penulis pribadi sebenarnya mulai memudar. Di sini dapat dianalogikan mahasiswa
yang kuliah saja lalu mendapat kerja sampingan kadangkala terbersit pemikiran
‘buat apa kuliah? Toh sudah ada pekerjaan’, apalagi dengan mereka yang masih
anak-anak dan notabenenya masih belum paham betul dengan kehidupan.

Komunitas SIGI sendiri menurut narasumber pernah berusaha


menyekolahkan anak-anak yang belum bersekolah di perkampungan tersebut.
Untuk menyekolahkan mereka dibutuhkan donatur tetap. Timbul kekhawatiran
donatur berhenti berdonasi jika si anak yang disekolahkan tidak belajar dengan baik
karena motivai belajar yang rendah karena mereka terlanjur biasa tidak bersekolah
ditambah dengan pemikiran mereka ‘saya harus membantu orang tua’. Penulis
tidak menyalahkan kondisi orang tua disini, akan tetapi seorang anak yang hidup di
perkampungan kumuh seperti itu pemikirannya tidak jauh-jauh dari itu.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, tampak penulis menitikberatkannya pada


kondisi keluarga dan lingkungan anak-anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa
lingkungan (termasuk keluarga) betul-betul berpengaruh pada motivasi anak-anak
perkampungan tersebut dalam belajar. Motivasi inilah yang sebenarnya juga
berpengaruh besar dengan pendidikan di daerah tersebut.

Untuk lebih mendalami lagi apa yang terjadi pada pendidikan di negeri ini,
penulis bersama teman-teman Pers Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang
melakukan ekspedisi selanjutnya di komunitas pendidikan juga yang bernama
Lentera Negeri yang bertempat di perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP) blok
AE. Komunitas ini konsepnya tidak jauh berbeda dengan SIGI hanya saja pada
komunitas ini objeknya bukan di perkampungan kumuh namun di suatu kompleks
dimana yang mereka ajar adalah anak-anak sekitar kompleks yang rata-rata sudah
bersekolah. Komunitas ini bukan saja di BTP namun juga terdapat di tempat-tempat
lain seperti gowa, antang dll.

Lentera Negeri ini lebih pada meningkatkan motivasi belajar anak-anak.


Berbeda dengan SIGI, di komunitas ini kegiatan mengajarnya setiap sore
bergantung dari kesempatan para relawan-relawan Lentera Negeri. Selain mengajar
juga terdapat program-program lain dalam komunitas ini. Dalam pengamatan
penulis, kondisi pendidikan di kompleks tersebut setidaknya lebih baik karena rata-
rata telah bersekolah. Nah, disini komunitas Lentera Negeri berperan meningkatkan
kualitas pendidikan di daerah tersebut. Di komunitas ini, penulis sendiri mengaku
kurang mendapat informasi mengenai problematika pendidikan saat ini sehingga
sulit melanutkan pembahasan sebelumnya.

Terlepas dari itu semua kehadiran SIGI dan Lentera Negeri merupakan
wujud keresahan dari penduduk-penduduk Indonesia yang sempat tersenggol
dengan kondisi pendidikan khususnya bagi anak-anak. Baik di perkampungan
kumuh maupun kompleks di BTP, kedua komunitas tersebut mendapat respon
positif dari orang tua anak-anak dan warga sekitar.Di perkampungan tempat SIGI
mengajar, meski hidup dengan kondisi demikian orang tua tersebut tidak
mempunyai pemikiran bahwa pendidikan hanyalah hal sia-sia belaka. Narasumber
ibu-ibu tersebut mengatakan bahwa kegiatan SIGI tersebut cukup membantu anak-
anak dalam memperoleh ilmu dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.

Anda mungkin juga menyukai