Terdapat pula program untuk para anggota SIGI dimana mereka setiap
bulannya kumpul sama-sama jika tidak terdapat kesibukan yang mendesak lalu
mengumpulkan receh yang mereka punya yang selanjutnya digunakan dalam
kegiatan komunitas, untuk itu program ini dinamakan Receh Kahuripan (RK).
Penjelasan kak Naya cukup masuk akal. Akan tetapi yang kak Naya katakan
mungkin saja hanyalah salah satu jawaban atas pendidikan di Indonesia. Mungkin
masih banyak hal-hal tersembunyi yang belum sempat digali mengenai pendidikan
di Indonesia. Menurut penulis pribadi berdasarkan pemahaman dan pengamatan
penulis pada ekpedisi di komunitas SIGI Makassar kemarin menemukan beberapa
hal mengenai ‘Adakah yang salah dengan pendidikan Indonesia?’.
Objek pendidikan dalam hal ini adalah pengajar dan pelajar. Pengajar (guru)
sebelumnya telah dituturkan narasumber mempengaruhi kualitas pendidikan.
Namun dalam segi pelajarnya kadang kala kita lengah dan luput mendalami
pengaruh mereka dalam kondisi pendidikan saat ini. Kemarin di perkampungan
tempat anggota SIGI mengajar, penulis melihat masih terdapat beberapa anak yang
malas-malasan ikut belajar, nah faktor dalam diri anak tersebutlah yang cukup
mempengaruhi kondisi pendidikan. Terlebih lagi dengan kondisi mereka yang
kurang mendukung dimana mereka lebih terbiasa tidak bersekolah dan lebih
memilih membantu orang tua karena dianggapnya lebih berguna daripada belajar.
Selain itu, anak yang bersekolah di perkampungan tersebut yang belum bisa
membaca juga dapat menjadi indikator kurangnya motivasi mereka dalam belajar
dan pengaruh lingkungan terhadap motivasi belajar mereka.
Kak Naya juga sempat mengatakan bahwa anak yang tidak bersekolah di
perkampungan tersebut penyebabnya bergantung pada biaya dan keluarganya.
Masalah biaya yang kurang membuat mereka tidak bersekolah dan menyebabkan
mereka juga harus terlibat dalam mencari nafkah. Anak yang bersekolah di
perkampungan tersebut juga tetap ikut mencari uang seperti memulung atau
mengasong di pinggir jalan. Dalam kondisi ini motivasi anak dalam belajar menurut
penulis pribadi sebenarnya mulai memudar. Di sini dapat dianalogikan mahasiswa
yang kuliah saja lalu mendapat kerja sampingan kadangkala terbersit pemikiran
‘buat apa kuliah? Toh sudah ada pekerjaan’, apalagi dengan mereka yang masih
anak-anak dan notabenenya masih belum paham betul dengan kehidupan.
Untuk lebih mendalami lagi apa yang terjadi pada pendidikan di negeri ini,
penulis bersama teman-teman Pers Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang
melakukan ekspedisi selanjutnya di komunitas pendidikan juga yang bernama
Lentera Negeri yang bertempat di perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP) blok
AE. Komunitas ini konsepnya tidak jauh berbeda dengan SIGI hanya saja pada
komunitas ini objeknya bukan di perkampungan kumuh namun di suatu kompleks
dimana yang mereka ajar adalah anak-anak sekitar kompleks yang rata-rata sudah
bersekolah. Komunitas ini bukan saja di BTP namun juga terdapat di tempat-tempat
lain seperti gowa, antang dll.
Terlepas dari itu semua kehadiran SIGI dan Lentera Negeri merupakan
wujud keresahan dari penduduk-penduduk Indonesia yang sempat tersenggol
dengan kondisi pendidikan khususnya bagi anak-anak. Baik di perkampungan
kumuh maupun kompleks di BTP, kedua komunitas tersebut mendapat respon
positif dari orang tua anak-anak dan warga sekitar.Di perkampungan tempat SIGI
mengajar, meski hidup dengan kondisi demikian orang tua tersebut tidak
mempunyai pemikiran bahwa pendidikan hanyalah hal sia-sia belaka. Narasumber
ibu-ibu tersebut mengatakan bahwa kegiatan SIGI tersebut cukup membantu anak-
anak dalam memperoleh ilmu dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.