Anda di halaman 1dari 8

A.

IDENTITAS

Mata Kuliah : Literasi Bahasa Indonesia

Jenis : Ujian Tengah Semester (UTS)

Kelas : Pendidikan Reguler A,B,C,D,E, dan F 2023

Waktu :Senin 23 April 2024 pukul 08.30 - 09.30 WIB

Dosen : M.Joharis Lubis

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia

B. PETUNJUK

Baca dan cermatilah artikel dibawah ini kemudian jawab pertanyaan berikut

1. Setelah anda baca Artikel atau wacana di bawah ini apa yang harus anda lakukan untuk
memperbaiki tingkat literasi masyarakat umum dan masyarakat sekolah di Sumatera Utara
2. Tugas kelompok yang diberikan pada anda sebelum UTS apa ? sebutkanlah dan kemudian
coba anda analisis wacana dibawah dan pertanyaannya adakah hubungannya dengan tugas
kelompok saudara? Kalau ada sebutkan kalau tidak anda abaikan saja
3. Seberapa Penting Literasi Digital di Era Milenial? Literasi Dunia Politik menurut anda jelaskan
4. Bagaimana menurut anda Peran Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Literasi Digital
5. Kirimkan jawabannya ke link gogle drive dan tepat waktu . Selamat bekerja

"Data Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat menunjukkan berapa besar kinerja pemerintah dalam
pembangunan literasi. Angka kita itu 51,72 pada tahun 2022. Dan hasil survei Perpustakaan Nasional
pada akhir tahun 2023 kita Sumut di angka 56,10. Artinya, Sumut masih harus berjuang keras, karena
angka literasi rata-rata nasional di atas 64," kata Dwi, saat peluncuran Biografi H. Abdul Wahab
Dalimunthe, S.H., "Birokrat dan Politisi Teladan", di Medan, Sabtu (16/12/2023)
Menurut Dwi, Dinas Perpustakaan dan Arsip Sumut, berupaya mencapai angka rata-rata nasional itu,
seperti menerbitkan buku-buku tentang biografi Tokoh di Sumut. Penerbitan buku tersebut diharapkan
menginspirasi penulisan dan semangat literasi di Sumut.
"Semoga ruang-ruang literasi tidak pernah sunyi. Ini membutuhkan kerja keras dan kolaborasi kita
semua. Kami mengakui Dinas Perpustakaan dan Arsip Sumut tidak akan sanggup mengerjakannya
sendiri. Kami membutuhkan dukungan berbagai pihak," ujarnya.
Kecakapan literasi, numerasi, dan karakter masih menjadi masalah dalam pendidikan anak-anak di
Tanah Air. Berbagai capaian di nasional dan global menunjukkan Indonesia perlu membenahi secara
mendasar pembelajaran untuk memastikan siswa belajar bermakna, terutama dalam memperkuat
kompetensi dasar, yakni literasi, numerasi, dan karakter.
Memiliki literasi berkualitas, salah satunya kemampuan membaca, menjadi fondasi awal untuk
mampu belajar dan berkontribusi dalam kehidupan. Dengan bekal kecakapan literasi yang baik, hal itu
membantu menumbuhkan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bertahan dan berkembang
dalam dunia yang penuh ketidakpastian.
Upaya memastikan siswa Indonesia memiliki kecakapan literasi, numerasi, dan karakter jadi bagian
asesmen nasional (AN) yang akan digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbud Ristek) akhir tahun ini. Tujuannya untuk memetakan siswa di jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang telah menguasai kecakapan dasar yang penting ini.
Hasil AN diprediksi tak jauh beda dari gambaran hasil tes Programme for International Student
Assessment (PISA) 2018 ataupun Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI). Berdasarkan data AKSI
2019 yang digelar Kemendikbud Ristek, sebanyak 55,85 persen siswa kemampuan membaca kurang,
kategori cukup 38,01 persen, dan yang baik hanya 6,14 persen. Di PISA 2018, kemampuan membaca
siswa Indonesia di urutan 71 dari 76 negara.
Tak kuatnya fondasi kemampuan membaca yang dibangun secara benar sejak di pendidikan dasar
berdampak pada rendahnya kemampuan literasi saat dewasa. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja
Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2016, sebagian besar orang dewasa di Jakarta
memiliki kecakapan literasi dan numerasi rendah.
Hampir 70 persen orang dewasa Jakarta di bawah atau level 1 dalam hal literasi. Mereka hanya mampu
membaca teks singkat untuk topik yang dikenal untuk meletakkan sebaris informasi tertentu. Untuk
melaksanakan tugas ini hanya butuh pengetahuan kosakata dasar dan pembaca tidak diminta
memahami struktur kalimat atau paragraf.
Namun, kekeliruan membangun kecakapan literasi justru terjadi di tingkat awal pendidikan. Di jenjang
pendidikan anak usia dini (PAUD), kesiapan literasi anak melompat langsung ke membaca, menulis,
dan menghitung (calistung) demi persiapan sekolah dasar (SD). Bahkan, les membaca anak-anak
menjamur. Padahal, ada tahapan sederhana yang mendasar, yakni membangun kemampuan
menyimak anak. Caranya sederhana, dengan membacakan buku cerita secara menarik dan interaktif.
Di acara ”Pakar Berbagi: Meningkatkan Kemampuan Literasi Anak dengan Membacakan Cerita”, di
Jakarta, Sabtu (31/7/2021), Roosie Setiawan, Pendiri Komunitas Read Aloud, mengatakan, ada yang
keliru dalam pendidikan. Di TK atau PAUD kecakapan literasi dini tidak disiapkan dan di SD tidak
diajarkan membaca, tapi sudah harus bisa membaca.
”Padahal, ada tahapan yang sederhana, dengan orang dewasa membacakan buku untuk anak. Ada
mengeluarkan suara sudah bisa membuat anak nol bulan dan bertahap terbangun kecakapan
literasinya,” ujarnya.
Menurut Roosie, membacakan nyaring akan membangun keterampilan mendengar anak sebelum
bicara. Pemahaman melalui menyimak merupakan jembatan bagi pemahaman membaca. Menyimak
jadi fondasi dari kompetensi literasi lain, yakni berbicara, membaca, dan menulis.
Membacakan nyaring yang dilakukan orangtua di rumah dan di PAUD, lalu menikmati prosesnya,
seperti tanya-jawab, jadi hal fundamental membenahi kekeliruan tentang calistung pada anak usia
dini. ”Mudah dilakukan, bisa dilakukan, dan kini makin mudah akses ke buku elektronik tanpa biaya,”
kata Roosie.
Praktisi Pendidikan Indra Charismiadji membongkar sejumlah mitos dan fakta terkait literasi.
Ketidakmampuan membedakan mitos dan fakta membuat orangtua berlomba-lomba memasukkan
anak ke TK agar dapat membaca, ditambah pula dengan les membaca dengan model drilling. Guru TK
pun melakukan hal yang sama.
Mengajarkan baca tulis sedini mungkin dikatakan akan meningkatkan kemampuan literasi baca tulis
anak secara signifikan. Dari kajian akademis, banyak riset yang menunjukkan anak-anak yang dipaksa
calistung sebelum SD, hasilnya kontraproduktif dan bisa berdampak menurunnya kemampuan literasi
saat dewasa nanti.

Guru membaca
Tak ingin Indonesia terus terpuruk dalam kecakapan literasi yang rendah, sejumlah praktisi pendidikan
bergerak membenahi pembelajaran literasi/membaca di level SD/MI. Gerakan Nasional
Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dengan semangat sukarelawan dimulai dengan
menggelar training of training bagi guru SD/MI, Sabtu (31/7/2021). Sebanyak 20 guru dari Ambon,
Pontianak, Batam, Riau, Bandung, Depok, dan Jakarta ikut pelatihan daring yang interaktif dan praktis,
dimulai dengan topik bergerak membangun guru menjadi pembaca aktif.
Pelatihan dimulai bukan dengan memberi guru tips untuk mengajarkan membaca. Justru, para guru di
SD/MI ini dibekali lebih dahulu pemahaman pentingnya menjadi pembaca aktif. Dimulai dari membaca
untuk kesenangan hingga membaca sebagai kebutuhan untuk terus menjadi guru yang mumpuni. Di
sinilah guru, dengan sepenuh hati memaknai literasi dengan menjadi pembaca aktif yang dapat
menggunakan kecakapan membaca untuk menggunakannya bagi peningkatan kualitas kehidupannya.
Fasilitator Dhitta Puti Sarasvati yang juga Dosen Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna memantik
diskusi dengan pertanyaan tentang pengalaman membaca paling berkesan sejak masa kecil, dalam
rangka membangun perspektif menuju pembahasan substantif tentang membaca. Guru pun
bergantian membagikan kisah berkenalan degan buku dan kesenangan membaca yang ditulis di suatu
aplikasi.
Ketua Presidium Gernas Tastaba Itje Chodidjah mengatakan, peran utama guru SD/MI adalah
membangun alat untuk belajar. ”Itu lebih penting dari penyampaian pengetahuan (knowledge) dan
konten pembelajaran,” kata Itje.
Menurut Itje, guru SD/MI berperan penting dalam memajukan literasi nasional. Peran itu harus
dijalankan para guru pembaca aktif. Guru yang mau menjadi pembaca aktif akan menyelamatkan
Indonesia. Anak-anak akan menghadapi perubahan cepat dan dinamis.
”Ketika mereka tidak hadir dalam kehidupan dinamis, mereka akan tertinggal. Kunci utama ya
membaca. Kita bergerak bersama guru untuk mengajak anak-anak Indonesia membaca bermakna,”
kata Itje.
Dhitta menambahkan, para guru SD/MI harus mengambil banyak sekali keputusan penting sebelum
melaksanakan pembelajaran, karena menyangkut hal-hal krusial dari aspek kesesuaian level ataupun
aspek sosial dan moral. Secara bertahap guru yang memiliki bekal sebagai pembaca aktif dibantu
untuk kembali menguasai pembelajaran dasar yang mampu membangun kecakapan literasi anak yang
bermakna, yang relevan untuk kehidupan.
Lenny Herlina, guru SD dari Pontianak, Kalimantan Barat, menyatakan sangat senang bisa bergabung
dalam ToT Gernas Tastaba. ”Setelah melihat tujuan tadi, menyimak segala hal yang tadi didiskusikan,
saya semakin termotivasi untuk terus menjadi pembaca aktif, agar bisa meningkatkan kualitas peserta
didik,” tulisnya dalam ruang chat di akhir ToT perdana.
Sependapat dengan Lenny, Winyarti Lestari dari Jakarta mengemukakan bahwa guru harus mencari
sumber-sumber bacaan yang relevan dan kontekstual. Selain itu, katanya, guru harus memberi
keteladanan kepada siswa. Teknologi informasi telah memberi banyak kemajuan bagi kehidupan
manusia. Terlebih semakin meningkatnya pemanfaatan komputer dan internet dalam membantu
memudahkan berbagai pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Lewat komputer dan perangkat lain yang
menjadi produk pengembangannya termasuk gawai (gadget), segala jenis informasi bisa diakses dan
disebarluaskan dengan mudah melalui jaringan internet.
Dalam perkembangannya, tidak semua informasi yang tersebar luas di internet positif. Tak sedikit pula
berisi informasi negatif, contohnya penyebaran berita bohong, radikalisme, ujaran kebencian, dan
penipuan. Diperlukan kebijakan dan kemampuan dari setiap pengguna gawai dalam mengendalikan
informasi yang mereka dapat di jaringan internet.
Pemerhati teknologi informasi asal Amerika Serikat, Paul Gilster, memunculkan istilah baru yakni
literasi digital. Ini kemudian menjadi sebuah istilah baku dalam bukunya Digital Literacy yang terbit
pada 1997.
Di dalam perkembangannya, UNESCO memperkuat istilah literasi digital. Menurut Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut, literasi digital
berhubungan dengan kecakapan (life skill) karena tidak hanya melibatkan teknologi, melainkan
meliputi kemampuan untuk belajar, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif untuk menghasilkan
kompetensi digital.
Menurut Yudha Pradana dalam Atribusi Kewargaan Digital dalam Literasi Digital (2018), terdapat
empat prinsip dasar dalam literasi digital. Pertama adalah pemahaman di mana masyarakat memiliki
kemampuan untuk memahami informasi yang tersaji di internet sebagai media komunikasi, baik secara
implisit ataupun eksplisit.
Kemudian terjadi saling ketergantungan dan saling melengkapi terhadap informasi yang tersaji. Lalu
terdapat pula peran sosial di dalamnya dan terakhir adalah kurasi atau kemampuan masyarakat untuk
mengakses, memahami, serta menyimpan informasi untuk diolah sebagai pesan positif.

Saat ini, kemampuan masyarakat dalam memahami informasi di ranah digital yang berkembang dalam
jaringan internet sudah semakin maju. Mereka sudah mulai mampu menyaring informasi mana saja
yang layak untuk dikonsumsi dan apa saja yang kemudian dikategorikan sebagai informasi negatif.
Hal ini diketahui dari hasil pengukuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 yang digelar oleh
Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC). Secara
keseluruhan, Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 mencapai 3.49 dari skala 1-5, atau naik dari
pencapaian tahun sebelumnya 3.46.
Pengukuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 dilakukan melalui survei tatap muka kepada 10.000
responden di 514 kabupaten/kota di Indonesia. Karakteristik responden adalah pengguna internet
berusia 13--70 tahun. Dari survei tersebut ditemukan bahwa budaya digital (digital culture)
mendapatkan skor tertinggi, 3.90.
Diikuti etika digital (digital etics) (3.53), dan kecakapan digital (digital skill) sebesar 3.44. Kemudian
keamanan digital (digital safety) mendapat skor terendah, 3.10 atau sedikit di atas sedang. Pengukuran
indeks literasi digital ini selain untuk mengetahui status literasi digital di Indonesia juga untuk
memastikan upaya peningkatan literasi digital masyarakat makin tepat sasaran.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika
Samuel Abrijani Pangerapan dalam acara Peluncuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 di Jakarta,
Kamis (20/1/2022). “Kita ingin terus mempercepat dan mengawal terus tingkat literasi digital
masyarakat, mengimbangi dengan perkembangan teknologi digital yang cepat dan makin strategis bagi
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini,“ ujarnya.
Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri menjelaskan, bila dibanding tahun sebelumnya, pada
kerangka indeks 2021 terdapat perubahan dalam pengelompokan unsur pembentuk penyusun indeks.
“Ini adalah upaya untuk terus memastikan Indonesia memiliki alat ukur yang ajeg dan kini kita sudah
punya roadmap atau peta jalan yang bisa dijadikan acuan baik dalam pengkuran maupun upaya
peningkatan literasi,” kata Mulya.
Terkait masih rendahnya skor keamanan digital, Mulya berpendapat, ini berhubungan kesadaran
masyarakat akan minimnya pemahaman dari keamanan dalam mengunggah data pribadinya ke publik.
“Kami menemukan misalnya, masih banyak yang tidak menyadari bahaya dari mengunggah data
pribadi,” ujar Mulya.
Seluruh informasi mengenai kegiatan literasi digital dapat diikuti melalui literasidigital.id. Sedang hasil
survei indeks literasi digital dapat dibaca dan diunduh melalui status.literasidigital.id. Sementara itu,
pihak Kominfo bersama lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Universitas
Oxford sedang menggodok pengukuran kecakapan digital dan literasi digital untuk keperluan
pertemuan G20.
"Tujuannya, kita mendorong pengukuran literasi digital dan kecakapan digital itu dapat berlaku untuk
semua negara anggota G20. Jadi, ini sangat relevan dengan pekerjaan yang sedang kita lakukan dalam
menggalakkan literasi digital di Indonesia," kata Juru Bicara Kominfo Dedy Permadi
Dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara G20 2022, Indonesia telah menetapkan literasi
digital sebagai isu utama yang akan dibahas bersama negara-negara peserta. Pengukuran literasi digital
yang nantinya diajukan dalam KTT G20 akan menjadi tolok ukur dari negara untuk menyiapkan
masyarakatnya menghadapi realitas baru di era digital.
Fenomena budaya literasi di Indonesia masih menjadi tantangan yang perlu diatasi. Menurut informasi
dari UNESCO, minat membaca masyarakat Indonesia menunjukkan tingkat keprihatinan yang
signifikan, hanya sekitar 0,001%. Dengan kata lain, dari 1.000 orang masyarakat Indonesia, hanya satu
orang yang secara aktif terlibat dalam kegiatan membaca.

Sebuah penelitian terpisah yang berjudul "World’s Most Literate Nations Ranked," yang dilakukan oleh
Central Connecticut State University pada bulan Maret 2016, menempatkan Indonesia di peringkat ke-
60 dari 61 negara dalam hal minat membaca.
Posisinya tepat di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61). Padahal, jika melihat evaluasi
infrastruktur yang mendukung kegiatan membaca, Indonesia menempati posisi lebih tinggi daripada
beberapa negara Eropa. Fakta ini menandakan bahwa masih ada banyak tugas yang harus diselesaikan
guna meningkatkan tingkat literasi di Indonesia.
Indeks literasi digital nasional pada 2022 memang mengalami peningkatan. Ini menunjukkan bahwa
semakin beragamnya kegiatan masyarakat yang dilakukan secara daring, mengharuskan adanya
keterampilan digital yang unggul.
BACA JUGA: Membangun Budaya Literasi pada Generasi Milenial
Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan juga akses terhadap informasi yang semakin mudah
untuk dijelajahi, keterampilan dalam berliterasi menjadi suatu hal yang sangat diperlukan, supaya
masyarakat indonesia khususnya generasi muda agar dapat lebih bijak dalam menyikapi dan
menggunakan teknologi.
Namun, tingkat penetrasi internet di Indonesia masih belum mampu mengikuti kemampuan literasi
yang baik oleh masyarakat khususnya para generasi muda, sehingga masih terdapat banyak tantangan-
tantangan literasi digital di Indonesia.
Menurut data hasil survei yang dikemukakan oleh Katadata Insight Center (KIC) pada tahun 2022,
menjelaskan bahwa masih ada 11,9% oknum masyarakat Indonesia yang masih menyebarkan hoax
(berita palsu).
Implikasi negatif dari penyebaran hoaks yang provokatif tentu dapat menyebabkan berbagai macam
opini publik, memicu kecemasan masyarakat, bahkan yang paling bahaya dapat mengakibatkan kepada
perpecahan suatu bangsa.
Karena itu, setiap individu dalam masyarakat perlu mengadopsi sikap yang lebih kritis, lebih berhati-
hati, dan lebih waspada ketika menerima informasi, dengan melakukan penyaringan sebaik mungkin,
dengan sumber-sumber informasi yang memiliki kredibilitas tinggi.
Dengan memahami dan memiliki literasi yang baik, membuat kita tidak akan bingung, apalagi sampai
mempercayai semua berita yang berseliweran di media terkhusus di media sosial.
BACA JUGA: Seberapa Penting Literasi Digital di Era Milenial?
Sampai saat ini akses terhadap buku, jaringan internet, dan bahan bacaan berkualitas masih terbatas
di beberapa daerah, terutama di pedesaan. Hal ini tentu menghambat kemampuan masyarakat untuk
mengakses informasi dan pembelajaran.
Selain itu, sarana dan prasarana pendidikan yang belum merata. Salah satu alasan rendahnya tingkat
literasi adalah kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan literasi.
Keterbatasan sarana dan prasarana literasi, seperti perpustakaan yang tidak memenuhi standar dan
kekurangan variasi buku bacaan, dapat menjadi faktor yang mengurangi minat literasi di kalangan
pelajar.

Sarana dan prasarana ini merupakan elemen penting dalam mendukung proses pembelajaran.
Sayangnya, tidak semua sekolah di Indonesia memiliki infrastruktur dan fasilitas yang dapat
mengoptimalkan kegiatan literasi.
Pemerintah memang sudah membuat kebijakan terkait budaya literasi di Indonesia yang diprakarsai
oleh Kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Berlandaskan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2015 mengenai
Penumbuhan Budi Pekerti, Gerakan Literasi Sekolah telah disebarluaskan dan diterapkan di semua
sekolah di Indonesia, yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) penumbuhan minat baca, 2)
meningkatkan kemampuan literasi buku pengayaan, dan 3) meningkatkan kemampuan literasi buku
pelajaran (Kemdikbud, 2016).
BACA JUGA: Literasi Dunia Politik
Akan tetapi ternyata usaha ini sepenuhnya belum berhasil. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Krismanto (2017: 185) menjelaskan bahwa hanya sebanyak 33% yang rutin mengaplikasikan kegiatan
GLS sesuai dengan panduannya dari total 24 sekolah dasar yang diteliti di suatu kota.
Bahkan, terdapat sejumlah 33% sekolah lainnya yang belum pernah mengimplementasikan kegiatan
GLS sesuai panduan dan sisanya tidak konsisten dalam mempraktikkannya.
Oleh karena itu, dalam menghadapi fenomena literasi di Indonesia, perlu dilakukan upaya yang
terintegrasi dan berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah, lembaga
pendidikan, hingga masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, literasi di Indonesia dapat terus
meningkat dan membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa.
Peran Literasi
Kata literasi mungkin tidak asing lagi ditelinga kita, literasi secara umum merupakan kemampuan
seseorang dalam membaca, memahami, mendengarkan, dan menggunakan berbagai jenis informasi
yang disajikan dalam berbagai bentuk, mulai dari teks, gambar, hingga media digital.
Literasi tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup
kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi secara efektif dalam
berbagai konteks kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya istilah literasi tidak
sesederhana yang kita pikirkan selama ini, literasi ternyata jauh lebih komplek dari itu.
Dalam konteks pemilu, literasi pemilu mengacu pada kemampuan seseorang untuk memahami,
menganalisis, dan menyebarkan informasi terkait proses pemilu, calon pemimpin, serta isu-isu politik
yang menjad fokus dalam pemilu.
Di era digital dan perkembangan teknologi informasi saat ini, literasi pemilu dapat dipahami mencakup
kemampuan untuk memilah informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk media sosial
dan platform digital lainnya.
Hal ini menjadi penting untuk mengingat bahwa tingginya penetrasi pengguna internet di Indonesia
yang mencapai 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia yang mencapai 262 juta jiwa.
Dengan demikian, literasi pemilu juga mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi hoaks,
memahami dampak dari informasi yang disebarkan, dan membuat keputusan politik yang lebih
terinformasi dan cerdas.

Penguasaan literasi pemilu menjadi kunci utama dalam partisipasi politik yang berarti bagi generasi
muda menjelang Pemilu 2024. Generasi muda memiliki potensi besar untuk membawa perubahan
positif dalam dinamika politik.
BACA JUGA: Peran Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Literasi Digital
Namun, hal ini hanya dapat terwujud jika partisipasi politik mereka didasarkan pada pemahaman yang
mendalam tentang isu-isu politik, visi dan misi para calon pemimpin, serta konsekuensi dari setiap
pilihan politik yang mereka buat.
Literasi dapat membantu generasi muda dalam memilih dalam pemilu di tahun 2024 ini dengan
meningkatkan pemahaman mereka tentang proses pemilu, prinsip-prinsip dasar yang harus dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan pemilu, serta kinerja dan integritas para calon pemimpin.
Hal ini dapat ditempuh melalui berbagai usaha seperti, pertama, pendidikan literasi pemilu perlu
ditingkatkan di kalangan generasi muda. Pendidikan ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti
seminar, diskusi.
Kedua, pelatihan. Pemerintah perlu memperluas akses informasi terkait pemilu, seperti melalui media
sosial, situs web, dan aplikasi mobile. Hal ini dapat membantu generasi muda memperoleh informasi
yang akurat dan terpercaya.
Ketiga, pemerintah juga perlu mendorong partisipasi generasi muda dalam pemilu. Hal ini dapat
dilakukan melalui berbagai cara, seperti mengadakan kampanye dan debat publik.
Keempat, bahkan masyarakat perlu lebih terlibat dalam upaya meningkatkan literasi pemilu di
Indonesia, seperti dengan membuka perpustakaan desa atau mengadakan kegiatan membaca
bersama; dan kelima, yang paling terpenting adalah pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat
harus meningkatkan kerjasamanya secara keseluruhan dalam meningkatkan literasi pemilu di
Indonesia.
Generasi muda memainkan peran penting dalam Pemilu 2024 ini. Mereka memiliki potensi untuk
membawa perubahan positif dalam dinamika politik.
Generasi muda perlu untuk aktif dalam proses politik, termasuk menggunakan hak pilihnya, menjadi
pemantau pemilu, dan memberikan motivasi bagi generasi muda lainnya.
Dengan berliterasi, generasi muda indonesia penting untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas
dan bertanggung jawab, berdasarkan pemahaman yang baik tentang proses pemilu dan visi serta misi
para calon pemimpin.
Dalam pemberantasan konten hoaks, generasi muda penting sekali untuk ikut berperan serta untuk
menjadi agen perubahan dalam memerangi konten hoaks di ruang digital, serta memilah informasi
dan mengidentifikasi hoaks.
Peran terpenting generasi muda dalam pemilu 2024 ini adalah Generasi muda perlu untuk
menggunakan teknologi dengan bijak, terutama dalam memperoleh informasi yang benar dan inklusif
terkait pemilu.
Dengan peran yang strategis ini, generasi muda diharapkan dapat membantu menciptakan pemilu
yang kondusif, aman, dan nyaman, serta memastikan partisipasi politik yang bermakna dan proses
pemilihan umum yang sehat.
Sehingga literasi dalam pemilu tahun 2024 ini menjadi fondasi utama dalam memastikan bahwa
generasi muda dapat terlibat secara aktif dan cerdas dalam proses politik.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi dalam pemilu di kalangan generasi muda perlu
menjadi prioritas utama bagi semua pihak terkait, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, hingga
masyarakat secara keseluruhan.
Dengan demikian, generasi muda akan menjadi kekuatan positif dalam membangun masa depan
demokrasi Indonesia yang lebih baik untuk Indonesia yang lebih maju.

Anda mungkin juga menyukai