Anda di halaman 1dari 23

Membaca adalah proses membuka ilmu pengetahuan.

Kegiatan membaca berarti


sebuah proses menggali pengetahuan baru. Membaca berarti juga membuka
cakrawala ilmu. Hal tersebutlah yang mendasari mengapa manusia perlu membaca.

Begitu banyaknya pengetahuan yang tersebar di dalam kehidupan. Begitu banyak


pula ilmu yang bisa kita dapatkan dalam kehidupan. Namun semua itu seakan
terkunci dan tidak banyak orang ketahui. Bukan karena sulitnya sebuah informasi
didapatkan, melainkan tidak adanya minat mencari pengetahuan dari sebagian
besar rakyat Indonesialah yang menjadikan semua itu begitu terbatas. Berdasarkan
studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central
Connecticut State Univesity pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki
peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di
bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61) (dalam pikiran-rakyat.com).

Ilmu itu gudangnya pengetahuan dan membaca itu adalah kuncinya. Sebesar
apapun gudang yang kita miliki, akan menjadi percuma jika kita tidak pernah
membukanya. Begitu juga pengetahuan. Semakin kita tidak pernah
membukanya,maka akan semakin dangkal pengetahuan yang kita miliki.
Kemampuan seseorang untuk membuka gudang ilmu, akan sangat berkaitan
dengan minat baca. Minat baca seseorang tidak dapat terbentuk secara instan,
melainkan butuh proses yang berkesinambungan agar minat baca seseorang dapat
terbentuk dan menjadi kebuthan dalam kehidupan.

Bukan hal yang mudah mengguagah minat baca seseorang di zaman yang serba
praktis ini. Orang akan lebih memilih mencari ringkasan buku atau hanya melihat
resensi buku yang telah dibuat orang lain dibandingkan dengan harus membeli
buku dan membacanya hingga tuntas. Di era gloalisasi saat ini, perkembangan
teknologi menjadi sebuah hal yang pasti. Bagaimana kemudahan ini pun telah
merasuki generasi muda kita saat ini. Hal tersebut tentu menjadi sebuah tantangan
bagi kami para pengajar dan pendidik untuk menumbuhkan minat baca siswa.

Perlu kita sadari bahwasannya setiap individu siswa itu memiliki keunikan
tersendiri. Semua itu bergantung pada stimulus awal yang didapatkan anak tersebut
dalam perkembangan serta pertumbuhannya di setiap hari. Anak dengan
lingkungan baca yang baik, berasal dari keluarga yang membiasakan membaca
sebagai kebutuhan, pasti akan mendapatkan lingkungan dan pembiasaan membaca
yang baik pula. Namun sebaliknya, apabila seorang anak tidak mendapatkan
pengalaman awal membaca yang cukup, maka penumbuhan minat baca bagi anak
tersebut pun akan mengalami kendala yang cukup besar.

Kita tentu mengetahui bahwasannya pemerintah sedang gencar dalam


meningkatkan minat baca anak. Terutama anak usia sekolah dasar. Berbagai
program pun dicanangkan. Mulai dari program wajib baca, literasi, sampai dengan
program yang didukung oleh pemerintah daerah, WJLRC misalnya. WJLRC
menjadi program literasi unggulan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam
rangka menyukseskan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk
meningkatkan dan menggali potensi membaca siswa sejak dini.

Bahkan program ini telah bekerja sama dengan pihak asing, dalam hal ini adalah
Negara Australia. Adanya kerja sama yang dilakukan tersebut, menjadikan
program-program yang dilakasanakan pun diadopsi dari pelaksanaan program
literasi di Negara bagian Australia Selatan, Adelaide. Premiers Reading Challenge,
itulah namanya. Mengadaptasi dari nama tersebutlah terbentuk sebuah program
literasi Jawa Barat dengan nama WJLRC (West Java Leaders Reading Challenge).

Pada awal pelaksanaan program ini, betapa terasa semangat anak untuk mengkikuti
tantangan ini. Bagaimana tidak, setiap anak yang mampu menyelesaikan membaca
buku dan menganalisisnya dalam berbagai bentuk format analisis, akan
mendapatkan pernghargaan dari Gubernur Jawa Barat. Siapapun anaknya tentu
akan menjadi tergila-gila mendengar berita tersebut.

Betapa reward yang ditawarkan akan menjadi pelecutbagi anak dalam membaca.
Alhasil setengah tahun program ini berjalan, mampu menyedot begitu banyak
minat anak dalam baca. Tidak sedikit siswa yang menjadikan buku sebagai objek
yang mereka harus cari kala mereka pergi berlibur. Setiap minggu menjadi
tantangan buat mereka tentang sebanyak apa buku yang sudah mereka baca.

Hal tersebut tentu sejalan dengan program sekolah yang telah dulu dijalankan.
Hanya saja gaung gerakan literasi lebih terdengar gairahnya tatkala program
WJLRC ini mulai dikumandangkan. 30 menit di awal pembelajaran menjadi waktu
yang harus mereka manfaatkan, khusus untuk membaca. Program yang bukan
main-main memang, bukan hanya tentang sebanyak apa mereka membaca buku,
melainkan sebanyak apa ilmu yang mampu mereka serap dari hasil baca yang
sudah dilakukan. Ini menjadi tantangan lain bagi kami para pendidik.

Kam pun tidak pernah memberikan target yang terlalu tinggi untuk tantangan ini.
"Alah bisa karena biasa." Hal itu yang menjadi target kami saat ini. Biarkan anak
suka membaca, biarkan anak candu membaca, biarkan buku menjadi pemuas
dahaga pengetauan mereka, tanpa harus dibebani dengan berbagai macam tuntutan.

Mereka berlomba untuk mengisi pohon literasi dengan nama mereka, judul buku
yang telah dibaca, dan kemudian mereka bertukar buku dengan teman lainnya.
Sungguh pemandangan yang luar biasa bagi kami para pendidik bisa menyaksikan
momen dimana siswa kami begitu semangat untuk menggali pengetahuan. Ada
yang suka buku cerita, novel, legenda, dongeng, tapi tidak sedikit pula yang
mereka baca adalah ilmu pengetahuan yang pada akhirnya sangat menunjang
mereka dalam pembelajaran setiap hari. Nasional Geographic, Why? dan banyak
buku pengetahuan yang biasa mereka baca dan pada akhirnya menciptakan waktu
untuk berbagi cerita tentang isi buku dan pengalaman seru lainnya. Bagaimana
akhirnya disetiap obrolan mereka terselip pertanyaan, "Kamu tahu judul buku
ini?", atau "Kemarin aku baca buku ini, lo. Isinya tentang ..."

Bukankah itu tujuan utama literasi sesungguhnya? Memberikan peluang yang


sebesar-besarnya kepada anak untuk mengeksploitasi pengetahuan dan pengalaman
baca mereka. Mungkin belum bisa merasuk ke seluruh jiwa siswa, namun dengan
semua program serta dukungan yang kini diberikan, literasi bisa menjadi andalan
bangsa Indonesia dalam mengembangkan sayap ke seluru penjuru dunia. Literasi
bisa menjadi tonggak kebangkitan bangsa sehingga buta literasi bisa kita bumi
hanguskan. Menjadikan generasi yang melek informasi, melek baca dan tidak lagi
bermusuhan dengan pengetahuan.

Tidak perlu risau dengan segala kendala yang dihadapi. Begitu banyak program
pemerintah yang saat ini dikembangkan dalam menunjang terlaksananya program
literasi. Mulai dari bantuan buku dari pihak swasta, bahkan Perpustakaan Pusat,
memiliki banyak program pengayaan buku yang tentu saja sangat menunjang
terlaksananya program literasi, terutama di daerah yang memiliki akses terbatas.
Lebih hebatnya, literasi kini menjadi salah satu program bagi para pendidik
mengembangkan kemampuan bahasa lainnya.

"Ilmu itu adalah buruan, dan menulis adalah ikatannya." Dengan lahirnya program
literasi, tidak sedikit guru yang akhirnya mahir menulis. Menciptakan buku yang
tidak hanya berguna bagi dirinya, namun akan menjadi saksi nyata bagi
pengabdian terhadap ilmu pengetahuan. Bagaimana literasi telah menjadi
pembakar semangat belajar, pendobrak tembok kemalasan, dan penggugah
semangat belajar, tidak hanya bagi siswa, namun guru pun ada di dalamnya.
Berbagai pelatihan yang dilaksanakan, kini tidak lagi sepi pengujung. Bukan hanya
untuk mendapatkan sertifikat (yang bagi sebagian orang dapat menambah "uang
saku"), namun telah menjadi sebuah ladang pengabdian untuk kemajuan anak
bangsa dalam menyediakan bahan baca literasi berkualitas.

Gerakan Literasi Sekolah

Anak generasi saat ini pola pikirnya berbeda dengan generasi zaman dahulu, dimana
dengan adanya kemajuan teknologi, anak semakin terbiasa untuk mengolah pikirannya.
Pikirannya semakin berkembang, tetapi kelemahan generasi saat ini tidak bisa membiasakan
untuk membaca atau menulis. Sepertinya, untuk anak saat ini membaca adalah hal yang sulit
dilakukan terutama membaca buku pelajaran, apalagi dalam kegiatan menulis tidak banyak
yang melakukannya.
Tingkat kegiatan membaca di Indonesia sangat rendah, maka dari itu kita harus
menggerakan literasi terutama di sekolah. Karena kegiatan sekolah tidak bisa dipungkiri oleh
anak-anak, terpaksa tidak terpaksa mereka akan mengikutinya. Dari sinilah, kegiatan ini akan
terus berjalan apabila terlaksana dengan baik. Karenanya, khususnya peserta didik akan
terbiasa untuk membaca dan menulis, setidaknya 15 menit untuk membaca buku
nonpelajaran ataupun informasi lainnya sebelum waktu belajar dimulai.
Dalam menggerakan literasi sekolah, kita sebagai penggegas sekolah bisa melakukan
berbagai cara agar peserta didik terbiasa melakukan kegiatan membaca dan menulis.
Kegiatan ini bisa dengan diadakannya seminar tentang “gerakan literasi sekolah” yang dapat
memotivasi peserta didik, selanjutnya bisa dilaksanakan secara langsung agar peserta didik
merasakan manfaatnya dari pengalamannya sendiri, misalnya dengan mengarahkan peserta
didik ke perpustakaan dengan jadwal yang ditentukan, didalam kelas guru mengarahkan
siswa agar mereka membaca terlebih dahulu sebelum guru menerangkan supaya mereka
memahami apa yang akan disampaikan.
Berbagai cara untuk menggerakan literasi sekolah sangat banyak, tergantung bagaimana
kita mengadakan, mengarahkan, dan mengelola agar kegiatan ini terlaksana dengan baik.
Keterlibatan guru sebagai pendidik sangat dipentingkan untuk menuntun mereka agar terbiasa
membaca, sebelum mereka melanjutkan kegiatan menulis. Selain dari sekolah, biasanya para
siswa dapat termotivasi dari teman, orang tua, dan lingkungannya. Sebagai pendidik, kita
harus bisa menumbuhkan rasa keinginan yang besar pada anak agar terbiasa melakukannya.
Gerakan literasi ini bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis
sehingga terciptanya pembelajaran sepanjang hayat. Kegiatan literasi ini dilaksanakan untuk
menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar
pengetahuan dapat dikuasai dengan baik. Materi bacaan pun harus berisi tentang nilai-nilai
budi pekerti agar peserta didik lebih berkembang sesuai dengan tahapannya.
Sekolah selain untuk menggerakan literasi ini, sekolah pun harus bisa dijadikan sebagai
taman belajar yang menyenangkan dan ramah agar peserta didik dalam mengelola
pengetahuannya berkembang dengan baik, maka sarana penunjang seperti buku bacaan fiksi
maupun nonfiksi harus tersedia demi keberlanjutan pembelajaran peserta didik dan kita harus
memiliki berbagai strategi supaya peserta didik gemar membaca.

Sebenarnya kegiatan literasi ini bukan hanya difokuskan dalam membaca dan menulis
tetapi dalam prinsip keterampilan lainnya seperti, membaca, menulis, berbicara, menyimak.
Itupun termasuk kegiatan yang harus digerakkan dalam literasi ini. Supaya semuanya
berimbang, karena saling keterkaitan satu sama lainnya. Bagaimanapun kembali lagi kepada
peserta didik, apakah mereka termotivasi atau tidak ketika adanya kegiatan literasi ini.

Sekolah juga mengelola sudut baca dengan membuat beberapa ketentuan


yang harus dilakukan siswa, seperti setiap siswa menyumbang satu buku,
ada siswa yang bertugas mengelola administrasi peminjaman buku, siswa
wajib meresume buku yang telah dibaca dan menceritakan ke depan kelas,
dan wali kelas memeriksa resume siswa setiap bulan.
SAAT kita mengajak sesorang untuk membaca, pastilah yang muncul
dalam pikiran kita adalah buku. Sebenarnya, kegiatan membaca tidak
hanya berhubungan dengan buku. Banyak kegiatan membaca yang
tidak berkaitan dengan buku seperti mendongeng, atau bercerita,
berpuisi, menulis karangan, dan merangkai gambar berseri menjadi
suatu cerita. Semua kegiatan tersebut suatu rangkaian kegiatan
literasi.

Literasi merupakan keterampilan penting dalam hidup. Sebagian


besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan
kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri peserta
didik memengaruhi tingkat keberhasilannya, baik di sekolah maupun
dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal yang paling mendasar dalam praktik literasi adalah kegiatan


membaca. Keterampilan membaca merupakan fondasi untuk
mempelajari berbagai ilmu lainnya. Kemampuan ini penting bagi
pertumbuhan intelektual peserta didik, karena dengan membaca
peserta didik dapat menyerap pengetahuan dan mengeksplorasi
dunia yang bermanfaat bagi kehidupannya.

Literasi Sekolah dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada


panduan gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar (SD) adalah
kemampuan mengakses, memahami dan menggunakan sesuatu
secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca,
melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Sedangkan GLS
merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya
literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Untuk itu gerakan
literasi harus didukung penuh karena tujuannya sangat mulia dalam
menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik di sekolah.

Sejalan dengan pengembangan kegiatan literasi sekolah, SDN 15


Ngalau berupaya mengembangkan program literasi sekolah yang
melibatkan seluruh unsur pendidikan, yakni orang tua peserta didik,
alumni, dan tokoh masyarakat yang menjadi komponen penting dalam
GLS.

Pojok Baca Kelas di salah satu ruang kelas di SDN 15 Ngalau Padang Panjang.
Pelaksanaan literasi di SDN 15 Ngalau, dilaksanakan sesuai program
yang telah disusun. Kegiatan ini dijadikan sebagai ‘basic tools’ (alat
dasar belajar) yang melekat dalam proses pembelajaran. Hal ini
memiliki makna bahwa literasi dan pembelajaran adalah hal yang
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Untuk itu literasi di sekolah ini
harus dapat mendukung pembelajaran seutuhnya.

Beberapa tahapan literasi yang telah dilaksanakan di SDN 15 Ngalau


sebagai acuan dalam proses peningkatan gerakan literasi sekolah
adalah tahapan pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.
Tahapan pembiasaan dimulai dari kegiatan membaca, karena
membaca sangat memberikan pengaruh budaya yang sangat kuat
terhadap perkembangan literasi peserta didik. Rendahnya minat
membaca peserta didik di sekolah ini, mendorong kepala sekolah
untuk mengembangkan program literasi sekolah.

Untuk melaksanakan kegiatan GLS, SDN 15 Ngalau menyusun suatu


program kerja yang merupakan panduan Gerakan Literasi Sekolah.
Program ini berisi penjelasan pelaksanaan kegiatan literasi yang
terbagi menjadi tiga tahap, yakni: pembiasaan, pengembangan dan
pembelajaran beserta langkah-langkah operasional pelaksanaan.

Tahapan Pembiasaan

Tahap ini bertujuan untuk menumbuhkan minat peserta didik terhadap


bacaan dan terhadap kegiatan membaca. Kegiatan pembiasaan ini
adalah kecakapan literasi dengan membaca 15 menit sebelum
belajar. Buku-buku yang dibaca adalah buku nonfiksi yang ada di
pojok baca kelas, atau di lorong baca. Untuk siswa kelas rendah,
kecakapan membaca difokuskan pada tahap komunikasi
(mengartikulasikan empati pada tokoh-tokoh cerita) dan tahap berpikir
kritis (memisahkan fakta dan diksi). Sedangkan untuk kelas tinggi,
difokuskan pada tahap komunikasi (mempresentasikan cerita dengan
efektif).

Sekolah juga mengelola sudut baca dengan membuat beberapa


ketentuan yang harus dilakukan siswa, seperti setiap siswa
menyumbang satu buku, ada siswa yang bertugas mengelola
administrasi peminjaman buku, siswa wajib meresume buku yang
telah dibaca dan menceritakan ke depan kelas, wali kelas memeriksa
resume di loker setiap bulan.

Selain itu, kegiatan yang sangat menunjang literasi di SDN 15 Ngalau


ini adalah program kuis membaca pagi. Program ini dimaksudkan
agar peserta didik terbiasa dengan membaca pagi. Media yang
disiapkan sekolah botol minuman bekas sebanyak mata pelajaran.
Botol bekas ini berisi pertanyaan kuis yang dibuat siswa sendiri untuk
dijawab pagi harinya oleh siswa lain yang membaca kuis tersebut.
Pertanyaan tersebut dicari jawabannya dalam buku pada pojok baca.

Untuk mengetahui prioritas tahap pembiasaan sudah berjalan dengan


efektif, kepala sekolah menggunakan tabel ceklis sebagai alat ukur
keterlaksanaan program.

Tahapan Pengembangan

Tahap pengembangan bertujuan untuk mempertahankan minat


terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca, serta
meningkatkan kelancaran dan pemahaman membaca peserta didik.
Pada kelas rendah, kegiatan membaca difokuskan pada kegiatan
menjawab pertanyaan tentang tokoh cerita dan kejadian dalam cerita.
Pada siswa kelas tinggi, kegiatan dapat difokuskan pada membaca
cerita, menggunakan konteks kalimat untuk memaknai kata-kata baru,
memahami cerita fantasi dan cerita rakyat dalam konteks budaya
yang setempat.
Pojok Baca memanfaatkan dinding gang di SDN 15 Ngalau Padang Panjang.
Kegiatan pada tahap pengembangan ini bisa dilakukan guru melalui:
1) membaca nyaring interaktif (Interactive read aloud). Guru
membacakan buku/ bahan bacaan dan mengajak siswa menyimak
dan menanggapi bacaan dengan aktif. Fokus kegiatan membacakan
nyaring interaktif adalah untuk memahami kosa kata baru. 2)
Membaca terpandu (Guided Reading), guru memandu siswa dalam
kelompok kecil (4-6 anak) dalam kegiatan membaca untuk
meningkatkan pemahaman mereka. Fasilitas pendukung: buku untuk
dibaca, alat tulis, kertas besar (flip chart) dan perekat, papan untuk
menempel kertas. 3) Membaca bersama (Shared Reading), guru
mendemonstrasikan cara membaca kepada seluruh peserta didik di
kelas atau kepada satu per satu peserta didik, lalu meminta peserta
didik untuk bergiliran membaca. Metode ini bertujuan untuk
memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk membaca
dengan nyaring dan meningkatkan kefasihan mereka. Fasilitas
pendukung: buku besar (big book, apabila dibacakan kepada banyak
peserta didik), buku bacaan, kertas besar (flip chart) dan alat tulis. 4)
Membaca Mandiri (Independent Reading), siswa memilih bacaan yang
disukainya dan membacanya secara mandiri. Salah satu bentuk
kegiatan membaca mandiri adalah membaca dalam hati (Sustained
Silent Reading).
Tahap Pembelajaran

Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan untuk


mempertahankan minat peserta didik terhadap bacaan dan terhadap
kegiatan membaca, serta meningkatkan kecakapan literasi peserta
didik melalui buku-buku pengayaan dan buku teks pelajaran.

Dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah di SDN 15 Ngalau ini,


sekolah bisa melihat kenaikan jumlah pengunjung dan peminjam buku
di perpustakaan setiap bulannya. Hali ini tentunya dapat dijadikan
tolak ukur untuk peningkatan pengadaan sarana perpustakaan
sekolah dan menambah motivasi sekolah-sekolah lain untuk lebih
meningkatkan perpustakaannya, sehingga perpustakaan akan
menjadi tempat favorit yang banyak diminati peserta didik untuk
dikunjungi. Sehingga akhirnya ketercapaian peningkatan gerakan
literasi sekolah semakin mudah dicapai. (Nurmayeti, S.Pd., Kepala SDN
15 Ngalau Kota PadangPanjang)
Kebiasaan Baik Berubah Menjadi Buruk. Membaca, membaca, dan
membaca. Itulah kegiatan yang paling sering aku lakukan. Aku
memang suka membaca. Sampai-sampai, aku dijuluki ‘si Kutu
Buku’. Sebenarnya aku tidak suka dijuluki seperti itu. Tapi, kalau
dipikirkan lagi, mungkin aku memang harus dijuluki seperti itu.
Karena, aku ini sangat suka membaca. Bahkan, aku tidak mau
lepas dari buku yang aku baca.

Buku itu aku anggap seru. Setiap jam istirahat disekolah, aku selalu
pergi keperpustakaan untuk membaca bahkan meminjam buku.
Satu jam penuh saat istirahat aku pakai untuk membaca buku. Kata
temanku, Penny, aku ini terlalu berlebihan. Masa jam istirahat, (satu
jam penuh) kamu pakai untuk membaca buku. Seharusnya, kamu
pakai untuk istirahat, dong…. Dan bla…bla…bla… Sebenarnya,
aku agak kesal ketika mendengar kata-kata itu. Karena mau
gimana lagi?, itu memang kebiasaanku. Huuh! Sebel, deh.

Suatu hari, saat jam istirahat disekolah…..

“Diva, kita kekantin, yuk! Aku udah lapar banget, nih….“ ajak Penny

“Duuuh…. Gimana, ya? Sebenarnya aku mau keperpustakaan.


Maaf, ya….“ aku menolak ajakkan Penny. Wajah Penny seketika
berubah menjadi cemberut. Aku berpikir, bagaimana cara membuat
Penny ceria kembali. Aha!

“Nanti, kalau masih ada waktu, aku nyusul kekantin. Oke?“ bujukku.

“Ya…. Baiklah,“ Penny terlihat kecewa sekali. Dia pergi begitu saja,
tanpa aku.

Tanpa rasa bersalah, aku pun pergi keperpustakaan dengan riang.


Diperpustakaan, aku masih sibuk memilih buku untuk aku baca.
Hingga akhirnya, aku menemukan buku yang aku inginkan.
RAINBOW AFTER THE RAIN, karya Leonardus Alvin Ferdiansyah.
Buku itu menceritakan tentang kisah anak-anak yang
menginspirasi. Sangat mengasyikkan! Saat sedang asyik
membaca, tiba-tiba….

Teeeet……Teeeeet…..
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Aku belum selesai membacanya.
Dengan terpaksa aku segera pergi kemeja Bu Kelly, penjaga
perpustakaan. Apa yang akan aku lahkukan? Yap! Aku akan
meminjam buku itu.

“Bu, Diva pinjam buku ini. Ini kartunya,“ aku memberikan kartu
anggota perpustakaan kepada Bu Kelly.

“Buku ini dikembalikan pada tanggal 14 September. Tepatnya


minggu depan. Jika kamu melebihi batas waktu peminjaman buku,
maka, kamu akan didenda. Mengerti?“ Jelas Bu Kelly

“Baik, Bu,“ Aku segera meninggalkan perpustakaan dengan buku


ditanganku. Dengan cepat aku berlari menuju kelas.

Ketika aku sampai dikelas, Oouu, tidak… aku terlambat masuk


kelas. Pelajaran Matematika telah dimulai. Dan gurunya adalah Pak
Didi, guru tergarang disekolah ini. Ini adalah keterlambatanku yang
kesekian kalinya. Saat aku masuk kelas, kulihat wajah pak guru
merah karena menahan marah kepadaku.

“Diva, kenapa kamu terlambat lagi?!“ tanya beliau marah

“Eh…a..anu….eee..“ aku tak bisa menjawab pertanyaan Pak-Didi,


karena, aku sangat ketakutan

“Bapak sudah berkali-kali bilang kepada kamu, bahwa saat


pelajaran Bapak dimulai kamu tidak boleh terlambat. Mengapa
kamu tidak pernah melahkukan apa yang bapak katakan?!“ tanya
Pak Didi. Kini, aku diam. Tak mengeluarkan kata sedikit pun.

“Lihatlah, teman-temanmu merasa terganggu pada saat belajar


karena kamu. Sekarang apa alasanmu?“ Pak Didi mengendalikan
emosinya. Sedikit demi sedikit, kemarahan pak didi menghilang

“Eeng… tadi saya membaca buku diperpustakaan. Saat sedang


asyik membaca, bel tanda masuk kelas berbunyi. Saya belum
selesai membaca buku itu. Jadi, saya meminjamnya. Setelah itu,
dengan segera saya berlari menuju kelas. Sesampainya
dikelas,Bapak sudah memulai pelajarannya,“ terangku.
“Diva….. diva….. kebiasaan baikmu berubah menjadi buruk,“ Pak
didi menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitu juga semua teman-
temanku, termasuk Penny.

“Maksudnya?“ tanyaku bingung.

“Maksudnya, kamu suka membacakan? Membaca itu kebiasaan


baikmu. Tapi, kamu terlalu berlebihan. Sehingga, kamu selalu
terlambat saat pelajaran dimulai. Dan itu adalah kebiasaan
burukmu. Jadi, kebiasaan baikmu berubah menjadi buruk.
Mengerti?“ jelas Pak-Didi.

“Iya, Pak. Nanti lagi, saya tidak akan mengulangi kebiasaan buruk
saya lagi,“ kataku pada beliau

“Baiklah, sekarang kamu silahkan duduk. Nah, anak-anak sampai


mana pelajaran kita tadi.Ohya, tadi kita sampai………….“ Pak didi
kembali melanjutkan pelajarannya. Aku duduk dibangkuku.
Tepatnya disebelah Penny. Kulihat wajah Penny kasihan kepadaku.
Aku hanya tersenyum kepadanya. Sekarang, aku sudah merasa
sangat Kapok. Kapok dimarahi Pak-Didi. Hahahahahaha……..
baiklah, mulai besok, aku berjanji untuk tidak melahkukan
kebiasaan burukku lagi. Aku janji!!!!!!!!

-Tamat- Kebiasaan Baik Berubah Menjadi Buruk

“POHON BACA “ MEDIA BERLITERASI DI SDN 6 BARUGA KOTA KENDARI

Oleh: Asmuddin
(Pegiat Literasi Pendidikan, Sosial, dan Budaya Kota Kendari-Sultra)

Berawal dari dialog penulis antara kepala sekolah dan petugas perpustakaan di SDN 6 Baruga
kota Kendari, muncul sebuah ide inovatif penulis terkait kegiatan pengembangan literasi. Ide tersebut
kami sepakat sebut “pohon baca” sebagai tambahan variasi literasi yang sudah ada di sekolah itu.
Pohon tersebut seperti lazimnya pohon, hanya mulai dudukan, dahan, dan daunnya adalah hasil kreasi
guru bersama anak didik di kelas tertentu. Perbedaan lain dari pohon pada umumnya adalah dilihat
dari daunnya berisi tulisan dengan konten atau misi tertentu. Setelah mempersiapkan bahan-bahan
hingga materi bacaannya, dua, tiga anak didik dengan didampingi gurunya membuat atau merakit
“pohon baca” tersebut. Dengan pohon ini anak-anak lebih bergairah membaca dan menulis karena
selama ini kebiasaan anak membaca buku dari halaman ke halaman dapat menjenuhkan.
Setiap “pohon baca” berisikan tulisan-tulisan seperti materi PKn dan pendidikan agama yang
berhubungan dengan nilai-nilai yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti pada
daun paling atas tertulis “pembiasaanku” lalu diikuti di beberapa daun berikutnya tertulis”berdoa,
patuh, bersih, rapi, disiplin, jujur, ...” hingga daun paling bawah. Tulisan-tulisan itu pun warna dan
bentuknya penuh dengan kreasi. Begitu pula pohon yang lain dikerjakan oleh anak didik lain dengan
variasi warna dan isi bacaan dalam pohon tersebut. Kegiatan ini umumnya dilakukan mulai kelas tiga
hingga kelas enam. Kegiatan ini sangat menyenangkan anak didik karena berisi kemasan belajar
sambil bermain dengan bimbingan dan kreasi gurunya.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis bahwa anak didik di SDN 6 Baruga ini menjadikan
“pohon baca” sebagai buku cetak kedua setelah buku cetak pelajaran yang mereka miliki. Pohon baca
ini memungkinkan diserap lebih mudah dan cepat karena kata-kata atau diksi di daun bunga itu
singkat, mudah diingat lagi pula bahasanya mudah dicerna. Kreasi guru dalam membudayakan literasi
di SD sangat menentukan tercapainya program Kemdikbud tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
yang tertuang dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti yang
salah satunya adalah budaya membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Muara dari Permendikbud
tersebut adalah “bagaimana warga sekolah dapat meningkatkan minat baca yang diawali dengan buku
non-pelajaran hingga membaca itu sendiri menjadi sebuah budaya.
Banyak kiat sekolah dalam rangka mengimplementasikan Permendikbud tersebut yang
berorientasi budaya literasi atau Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai ciri pembelajaran abad ke-
21. Disamping menata berbagai slogan dan poster pendidikan di lingkungan sekolah, kiat lainnya
adalah pihak sekolah mendekatkan anak didik berliterasi dengan “pohon baca”. Pohon ini adalah
sebuah media yang sangat cocok di kalangan SD apalagi dikemas dalam bentuk bernmain dan
menantang. Langkah-langkah kegiatannya sebagai berikut:
(1) Guru membagi tugas kepada anak didik untuk menyiapkan bahan baku pohon baca (dudukan pohon,
dahan, ranting dari kayu tertentu, guntingan kertas karton sebagai daun, dan konten tulisan);
(2) Anak-anak dibimbing oleh gurunyanya, mulai proses perakitan tulisan di guntingan kertas karton lalu
dilem hingga membentuk daun;
(3) Pohon baca siap untuk dipampang atau dikoleksi oleh masing-masing kelompok.
Targetnya dalam satu pohon bisa diselesaikan paling lambat seminggu. Pohon-pohon
ini dipampang atau dikoleksi di depan kelas masing-masing sekaligus sebagai motivasi kelas lain
untuk berkreasi. Separuhnya pohon-pohon itu di taruh di kelas yang sekali-kali dapat dimanfaatkan
guru sebgai media belajar. Misalnya ketika belajar PKn, anak-anak secara kelompok diminta
mengamati tulisan-tulisan dalam bunga itu yang berhubungan dengan sikap positif terhadap sesama.
Hasilnya dilaporkan di depan kelas, anak yang lain menambah atau mengomentarinya.
Kiat di atas merupakan wujud kepedulian pihak sekolah dalam menetralisir kondisi nyata
anak didik kita selama ini bahwa kualitas dan kuantitas membacanya sangat rendah. Hal ini dalam
sebuah survai PISA2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan
skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012
menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64dengan skor 396 (skor rata-rata
OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012.
Dari kedua hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum
memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan
semuawarganya menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka sebagai pembelajar sepanjang
hayat. (Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SD, 2016).
Keterangan lain dalam OECD PISA (Program International Student Assessment) bahwa
Indonesia menduduki peringkat 69 dari 79 negara pada tahun 2015. Bahkan Seorang sastrawan
Indonesia, Taufik Ismail pernah meneliti pada tahun 1997 di 13 SMA di berbagai negara mengenai
kewajiban membaca buku, ketersediaan buku wajib di perpustakaan sekolah,bimbingan menulis, dan
pengajaran sastra di sekolah. Hasilnya Indonesia berada di urutan ke-13 dengan kewajiban membaca
0 judul (Dharma:2016). Fakta ini sangatlah tepat bila semua pihak khususnya para penggiat literasi
ambil bagian dalam mendukung dan menginovasi pendekatan-pendekatan berliterasi seperti halnya
dengan “pohon baca” tersebut.
Menurut Sumadi (2016) tantangan dari pihak sekolah adalah bagaimana upaya menjadikan
budaya literasi dapat menciptakan generasi pembelajar abad ke-21? Gerakan Literasi Sekolah
bermuara pada pembentukan karakter dan kompetensi. Pembentukan karakter dan kompetensi dapat
melalui proses beragam literasi seperti literasi dasar sesuai satuan pendidikannya di SD, SMP, dan
SMA/SMK. Pekerjaan berat dari semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan GLS tersebut adalah
mampu menjawab persoalan “Apa dampaknya jika sebuah bangsa tidak memiliki budaya literasi?”
Hal tersebutlah yang akan menguji keyakinan dan intelektual kita apakah budaya literasi
merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa? Pertanyaan mendasar lainnya seperti” Apakah bangsa
atau negara yang maju saat ini ada korelasinya dengan kemampuan literasi mereka? Hal inilah yang
menjadi motivasi warga sekolah untuk dapat bersaing dalam dunia sains dan teknologi tentunya
melalui proses literasi.
Pendekatan membaca anak didik tidak hanya menyediakan koleksi buku fiksi dan non-fiksi di
perpustakaan dan di ruang-ruang kelas, akan tetapi dapat dibiasakan dalam berbagai sarana yang ada
di lingkungan sekitar. Pohon baca ini salah satunya merupakan wadah berliterasi anak secara efektif.
Suguhan-suguhan bacaannya mampu membentuk pola pikir anak didik secara cepat. Mereka
berhadapan dengan kata-kata kunci saja dan bukan sejumlah kata yang terkesan membaca sebuah
buku. Pola-pola membaca dalam “pohon baca” tersebut dapat membantu anak didik juga yang masih
kesulitan membaca seperti di kelas satu dan dua. Karena “pohon baca” ini berfungsi sebagai wadah
bacaan, sangat dituntut kreasi guru memvariasikan konstruksi bacaannya. Hal tersebut diharapkan
anak didik tidak gampang bosan menggunakan “pohon baca” ini sebagai sarana bacaan. Hasil yang
tampak dari ide”pohon baca” untuk menjawab sebuah pertanyaan, “apakah minat membaca anak
didik di SDN 6 Baruga kota Kendari meningkat secara seignifikan? Gerakan ini adalah bagian dari
mendukung GLS yang diamanahkan Kemdikbud.
Kegiatan GLS akan efektif dan tidak terkesan bombastis atau program spektakuler belaka
apabila pihak terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(Dikdasmen), pihak Disdik provinsi, Dikbud kabupaten/kota, komite sekolah, guru, kepala sekolah,
peserta didik bahkan orang tua selaluberkomitmen mendukung dalam bentuk mewadahi
terlaksananya GLS tersebut. Apalagi pembelajaran saat ini diharapkan dapat berbasis literasi dan
PPK, salah satu wujudnya melalui “pohon baca”. Mungkin kita bertanya, apa korelasinya pohon dan
pembentukan karakter dan literasi? Mungkin juga kita bersepakat bahwa di kelas awal seperti di SD
muaranya pada pembiasaan bertanggung jawab, disiplin, dan lainnya. Sebagai ilustrasi bahwa anak-
anak dapat menyelesaikan sebuah pohon baca saja, sudah luar biasa pembentukan karakternya dari
sisi nilai gotong royong bahkan integritasnya. Dengan potongan-potongan tulisan yang berwujud di
daun, ini juga luar biasa. Karena hal ini anak didik diajak menulis lalu merekam tulisan dan
membacanya setiap saat hingga menyatu di hati dan di pikiran. Selanjutnya akan menjadi sebuah
kebiasaan tingkah laku dari produk literasi seperti pohon baca ini.
Pohon-pohon baca ini juga dikembangkan sebagai media memeriahkan peringatan Maulid
Nabi Mahammad SAW di SDN 6 Baruga Kota Kendari yang sarat nilai religiusnya. Saat peringatan,
pohon tersebut dipasang di depan atau di sela-sela tempat duduk anak didik. Konten atau isi literasi di
pohon-pohon ini adalah ajakan memuliakan Nabi Muhammad SAW, pentingnya salawat, dan sejarah
kehidupan nabi lainnya. Hal tersebut pula merupakan inovasi dalam mewadahi anak berliterasi dan
sangat menyenangkan. Hasil pengamatan menunjukkan kalau anak-anak membaca lewat bacaan non-
pelajaran atau non-buku akan lebih efektif dan bermakna dibandingkan dengan membaca buku
langsung.
Model “pohon baca” yang penulis ajukan ini merupakan bagian dari kepedulian sebagai
masyarakat dan orang tua dalam rangka menyukseskan program GLS. Di samping itu juga dapat
berfungsi sebagai wadah pembelajaran dan inspirasi anak-anak didik, baik di rumah maupun di
sekolah. Mungkin juga ke depannya pohon baca ini dapat bernilai “life skill” karena berwujud seni
dan bermakna belajar. Paling tidak keberadaan “pohon baca” ini dapat menjadi sebuah solusi
meningkatkan keterpurukan anak-anak kita dalam berliterasi. Keyakinan kita bahwa dengan
meningkatnya literasi dapat berpengaruh pada peningkatan perestasi anak didik kita. Kenapa tidak?
Seorang anak yang rajin membaca dan menulis sudah tentu pengetahuan, ketererampilan bahkan
sikapnya akan berpengaruh secara signifikan. Ayo...membaca....dengan membaca kita jelajahi
dunia.Tak kalah pentingnya kita juga harus menulis karena dengan tulisan-tulisan itu, kita bisa
dikenang sepanjang masa. Bahkan tulisan-tulisan itu dapat mengubah perilaku seseorang yang negatif
menjadi positif.
Implementasi GLS pada prinsipnya akan menuju pada sasaran berliterasi secara menyeluruh
baik literasi sains, teknologi informasi, finansial, budaya dan kewarganegaraan. Selanjutnya hasil dari
berliterasi yang diawali dengan sebuah gerakan akan memunculkan kompetensi seperti berpikir
kritis/pemecahan masalah, komunikasi, kreativitas, dan kolaborasi. Tujuan akhir dari GLS setelah
menguasai beragam literasi, beragam kompetensi, diharapkan mampu membentuk karakter seperti
rasa ingin tahu, adaptasi, inisiatif, kegigihan, kepemimpinan, dan kepedulian sosial-budaya
(Muhammad: 2016). Model pengembangan literasi tersebut merupakan arah pembelajatan abad ke-21
dengan ciri hots atau berpikir tingkat tinggi. Saat ini masyarakat dan pihak sekolah harus
mendukung program ini yang salah satu wadahnya melalui literasi. Model literasi yang
dikembangkan sekolah dapat bervariasi sesuai karakteristik pembelajaran dan kondisi anak sekaligus
harus memperhitungkan substansi ketercapaian program literasi di sekolah. Model literasi seperti
“pohon baca” dapat berfungsi sebagai peningkatan mutu di SDN 6 Baruga Kota Kendari.
Akhirnya penulis sangat menaruh harapan besar jika “pohon baca” ini dapat dikembangkan
menjadi sebuah model literasi khususnya di SD. “Pohon baca” ini sesungguhnya hanya salah satu
model yang dapat mengantarkan anak menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui
pembudayaan ekosistem sekolah yang diwujudkan dalam gerakan literasi sekolah agar mereka
menjadi pembelajar sepanjang hayat. Strategi berliterasi melalui “pohon baca” tersebut merupakan
bagian lain dari tahap awal pembiasaan berliterasi sebelum sampai pada tahap pengembangan dan
pembelajaran (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud, 10:2016). Terlepas
dari segala kekurangan strategi ini, paling tidak akan menjadi sebuah kreasi guru SD khususnya
mengantarkan anak didiknya berliterasi lagi pula anak diantar ke model pembelajaran empiris. “Pohon
baca” tersebut dapat mengubah paradigma belajar yang awalnya anak didik hanya sebagai objek
belajar akan berubah menjadi subjek belajar. Kiat-kiat guru dan anak didik tersebut sebagai tindak
lanjut Program Ayo Membaca yang dicanangkan Walikota Kendari yang sangat relevan dengan
program Kemdikbud melalui Gerakan Literasi Sekolah sejak tahun 2015 dan diperkuat lagi Surat
Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olah Raga Kota Kendari tertanggal 10 Januari
2017.

Teriakan kekecewaan yang terdengar menyenangkan bagi saya. Lho gimana sih ?
Murid kecewa kok malah seneng ? Tidak. Saya tidak aneh kok hehe. Saya seneng
karena berarti mereka benar-benar memiliki ketertarikan dan minat baca buku yang
cukup tinggi. Kalo tidak tertarik, tentu mereka akan biasa saja ketika saya
menghentikan waktu membaca. Saya sebenernya juga nggak rela membatasi
kesempatan membaca mereka. Tapi kalo sudah saatnya pulang ya mau ga mau
harus dihentikan.

Minat baca yang tinggi seperti itu harusnya tidak hanya berlaku pada anak SD saja
tapi juga kalangan remaja dan orang dewasa. Saya sebagai penyuka buku, cukup
gregetan ketika bertahun-tahun fakta yang selalu beredar adalah minat baca orang
Indonesia rendah. Maka saya ingin sekali menularkan virus minat baca ke orang
lain. Tapi kalo kepada teman-teman sebaya sepertinya sulit. Karena mereka
sepertinya sudah punya ketertarikan lain dibanding membaca.

Nah..... Profesi saya sebagai guru sangat strategis untuk mendorong minat baca
anak-anak. Dengan wewenang yang saya miliki sebagai guru, saya bisa
mengarahkan kegiatan yang mendorong kebiasaan membaca.

Ketika mengawali kiprah di sebuah SDN di Jakarta Pusat, saya cukup prihatin
dengan perpustakaannya. Jumlah bukunya sih cukup memadai. Namun luas
ruangannya kurang ideal dan ternyata tidak ada petugas perpusnya. Aktivitas
literasi pun menjadi tak terlihat. Kalau seperti itu kondisinya akan sulit
mengarahkan siswa agar terbiasa membaca.

Maka saya berpikir, bagaimana caranya agar budaya membaca tetap terwujud.
Akhirnya saya memulainya dari kelas saya dahulu. Saat itu saya mengajar kelas 2.
Saya coba bawa beberapa buku dari perpustakaan ke kelas. Setelah saya
perhatikan, ternyata murid-murid tersebut punya minat baca yang tinggi. Terbukti
mereka antusias ketika saya persilahkan baca buku.

Namun kebiasaan membaca belum berjalan ideal. Waktu belajar yang pendek tidak
memungkinkan menyelipkan waktu khusus untuk membaca di setiap hari. Maka
saya hanya menjadwalkan waktu membaca setiap hari Selasa, menjelang pulang
sekolah. Penempatan buku-buku pun hanya ditumpuk saja. Saya sebenernya juga
ingin menata buku-buku itu, agar di kelas terdapat pojok baca yang permanen.
Tapi keterbatasan tempat, membuatnya tidak memungkinkan.

Saya juga cukup sulit menemukan buku dari perpus yang benar-benar pas untuk
murid. Ada yang terlalu banyak tulisan dan tidak berwarna, ada yang kontennya
terlalu berat untuk anak.

Sebagian anak pun jadinya hanya membuka-buka halaman sebentar lalu


mengembalikannya lagi. Akhirnya saya membelikan 6 buku cerita, kebetulan ada
cuci gudang buku anak di gramedia pondok gede hehehe. Memang hanya sedikit
sih tapi, setidaknya buku yang benar-benar dibaca murid bertambah.

Nah.... sekarang ini barulah kebiasaan membaca di kelas saya berjalan cukup ideal.
Kini saya mengajar kelas 3. Di belakang kelas terdapat meja besar yang
memungkinkan untuk meletakkan buku lebih leluasa, sehingga terwujudlah pojok
baca di kelas. Frekuensi kesempatan membaca pun menjadi setiap hari. Sistem
yang diterapkan adalah siswa yang sudah selesai mengerjakan soal latihan boleh
baca buku. Melihat antusiasme yang begitu tinggi saya juga semangat untuk
membeli buku lagi dan meminjam dari perpus gereja hehe.
Dekatkan Siswa dengan Buku Lewat Pojok Baca Kelas

Perpus gereja sudah vakum dan buku-bukunya terbengkalai. Sayang kan. Yaudah
mending saya pinjem aja untuk murid saya hehehe. Kini terdapat 48 buku dan
semuanya sudah sesuai dan menarik untuk anak.
Walaupun kegiatan membaca ini sudah berlangsung berminggu-minggu,
antusiasme mereka tak surut. Bahkan ketika saya lupa mempersilakan mereka baca
buku, salah satu murid bertanya:

"Pak boleh baca buku nggak ?"

Kebiasaan membaca yang telah berjalan itu, mulai memperlihatkan hasilnya. Saat
itu pelajaran bahasa Indonesia membahas tentang watak tokoh dalam sebuah cerita.
Saya pun mengambil secara random salah satu buku cerita sebagai bahan untuk
membahas watak tokoh bersama murid. Tak disangka, banyak diantara mereka
yang menanggapinya dengan menyebutkan tokoh-tokoh dan jalan ceritanya.

Gurunya saja belum tau isi ceritanya hahaha. Itu membuktikan bahwa saat
diberikan kesempatan membaca, mereka benar-benar membacanya hingga
ceritanya pun masih melekat diingatannya. Sungguh momen yang menyenangkan.
Saya dan murid seperti anggota klub buku yang sedang membedah sebuah buku.

Jadi.... sebenarnya minat baca orang Indonesia bisa saja tinggi jika sejak dini telah
di fasilitasi buku yang memadai. Dari kebiasaan membaca sejak dini, diharapkan
minat baca tetap terjaga sampai dewasa nanti.

Adriana mengatakan, dalam program literasi, para siswa diwajibkan menulis apa saja yang
dibacanya, kemudian nantinya tulisan tersebut digantungkan di pohon literasi.
"Jadi kami tulis mulai dari rumus, kemudian materi pelajaran yang kami baca atau kata
mutiara yang kemudian memotivasi kami untuk terus membaca dan menulis," katanya.
Meskipun baru setengah semester menjalani program literasi, ungkap Adriana, dirinya
merasakan ada dampak yang luar biasa. Dimana sebelumnya afa kemauan dari dalam diri
untuk terus membaca setiap hari.
"Dengan membaca saya merasa ada yang kurang kalau dalam sehari saya tidak membaca.
Dan membaca secara terus menerus membuat saya tau apa yang saya belum ketahui
selama ini," pungkasnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Wanre M. Ludji Wila. Siswa kelas XI IPA itu mengaku,
senang dengan program literasi yang diterapkan sekolahnya. Menurutnya, program literasi
sangat membatunya dalam mengembangkan ide untuk menulis.
"Saya senang dengan program literasi karena setelah kami membaca pasti wawasan kami
bertambah sehingga memudahkan kami untuk menuliskan sesuatu untuk digantungkan
pada pohon literasi," ungkapnya.
Wanre mengatakan, tulisan yang digantungkan pada pohon literasi merupakan perpaduan
ide siswa dengan apa yang didapat pada saat membaca dalam kegiatan literasi. (*)
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Adriana dan Wanre Senang Dengan
Diterapkannya Budaya Literasi
Disekolah, http://kupang.tribunnews.com/2018/10/08/adriana-dan-wanre-senang-dengan-
diterapkannya-budaya-literasi-disekolah.
Penulis: Thomas Mbenu Nulangi
Editor: Ferry Ndoen

Saya tidak paham, kenapa beberapa hari ini begitu banyak bermunculan tema
‘literasi’ di kabar berita akun media sosial saya. Entah itu status, atau artikel yang
dibagi oleh kawan terkait literasi. Apakah bulan ini adalah bulan literasi? Entahlah.
Namun saya menemukan banyak tulisan menarik dan sebagian besar memang
menyoroti tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Terkait hal ini, ingin rasanya
untuk ikut membuat riuh dengan berkisah tentang laku literasi yang terjadi di
Sanggar Anak Alam (SALAM).
Foto: Yanuar Surya.

Literasi memang sedang jadi topik hangat pada beberapa bulan terakhir di Salam.
Sejak akhir semester lalu, SALAM juga sedang menggalakkan literasi dengan
mengoptimalkan peran perpustakaan serta menyelenggarakan serangkaian diskusi
dan bedah buku. Yang terbaru, SalAM juga akan menggiatkan pembacaan dongeng
berkala di jam-jam istirahat. Beberapa orangtua dan fasilitator sudah menyatakan
kesediaannya untuk terlibat. Bahkan beberapa anak juga ingin berperan menjadi
pembaca dongeng untuk teman-temannya.

Sementara bagi saya, literasi menjadi salah satu motivasi untuk bergabung menjadi
fasilitator. Dengan berada di kelas, saya menempatkan diri di salah satu tempat
paling efektif untuk membangun budaya membaca dan menulis. Laku yang saya
tempuh, gagasan besarnya, adalah membawa buku sebagai ‘camilan’ bagi anak-
anak.
Tahun lalu, saya pernah menggugah semangat baca teman-teman kelas 5 dengan
mengajak mereka membaca dari buku-buku di perpustakaan pribadi milik salah satu
orangtua. Tepatnya setelah saya diminta untuk mengisi materi ‘workshop menulis’ di
kelas. Dari workshop tersebut saya memperoleh kesimpulan bahwa dengan banyak
membaca, tulisan seorang anak akan mudah berkembang. Membaca menjadi
suplemen untuk memperkaya kosakata dan diksi.

Ajakan saya sebenarnya sederhana: Pilih satu buku, temukan hal menarik, atau
sebaliknya, temukan hal yang tidak menarik, lalu kapan-kapan kita diskusi.
Hasilnya? Tak ada satu anak pun yang kembali mendatangi saya. Entah untuk
sekedar bertanya, “Enaknya baca apa ya, bu?” atau pertanyaan lain yang lebih
bombastis seperti, “Bu, saya sudah baca nih, kapan kita diskusi?” Sama sekali tidak.

Foto: Yanuar Surya.


Maka, pembiasaan di kelas mungkin jadi salah satu metode yang bisa saya terapkan
lewat fasilitasi kelas 10 kali ini. Namun berharap seorang anak membaca sebuah
buku (hingga tuntas) dan meminta mereka menulis review atas buku tersebut, di
sela kesibukan riset mandiri dan bermain, adalah setengah semu. Target ‘1
semester 2 buku’ rasanya terlalu tinggi mengingat instagram jauh lebih menarik dari
buku, dan mengirim ‘jempol’ lebih mudah daripada menulis jurnal. Maka di semester
ini, fasilitator hanya mengembangkan kebiasaan ‘rekreasi membaca’ sebagai sisipan
kegiatan lain di kelas. Target pun tidak kami pasang tinggi-tinggi. Satu tulisan
pendek untuk dibaca tiap minggu sudah cukup.

Bacaan yang kami ambil bisa dari mana saja. Minggu pertama saya memilih dua
artikel dari buku “Menulis Sosok” nya Pepih Nugraha. Dari diskusi yang berkembang
setelah membaca bergilir, saya melihat beberapa teman sudah memiliki referensi
bacaan sesuai selera masing-masing. Maka minggu berikutnya, kami lantas
membaca beberapa cerpen dari beberapa penulis yang berbeda jaman.Gaya
bahasa penulis menjadi salah satu hal yang kemudian kami cermati dalam diskusi.

Karena siswa kelas 10 masih sangat sedikit dan spektrum pengetahuan dari riset
mandiri belum banyak berkembang, maka kami mulai memilih esai sebagai bahan
bacaan. Sebuah esai pengantar buku “Kuba Melawan Revolusi Hijau” karya pak
Toto Rahardjo menjadi pilihan. Diskusi yang berkembang pada tema kemandirian
pangan, sosialisme dan lain-lain menjadi pemantik berkembangnya spektrum
pengetahuan sosial. Saya kemudian teringat sebuah tulisan di buku “Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia” karya Sigit Susanto saat berkunjung ke Kuba. Esai perjalanan
ini kemudian dipilih teman-teman sebagai bacaan berikutnya. Tidak melulu buku,
kami juga pernah memilih film sebagai ‘bahan bacaan’.

Sementara untuk menulis, saya mengajak teman-teman SMA untuk lebih banyak
menulis bebas, tentang apa saja. Mulai dari acara jalan-jalan, pengalaman ikut
pentas teater, pengalaman merancang riset mandiri hingga wawancara dengan
narasumber riset, bisa menjadi bahan tulisan. Kami juga lantas menginisiasi sebuah
website yang kemudian berkembang menjadi ‘blog bersama’ sebagai wadah tulisan
dan jurnal hasil belajar.

Kami meyakini bahwa sesungguhnya literasi tidak sekedar ‘membaca’ dan ‘menulis’
teks. Pengetahuan dapat hadir dari pembacaan atas peristiwa dan kegiatan sehari-
hari, tamu-tamu yang berkunjung ke sekolah, pribadi-pribadi yang kami wawancara
dan sebagainya. Diskusi yang kemudian kami bangun dalam kelas, menjadi sebuah
alat review untuk membaca ulang dan menstrukturkan hasil bacaan tersebut dalam
pemikiran. Dari diskusi kemudian kami tahu, bahwa pengamatan kami harus lebih
jeli, pertanyaan kami harus lebih tajam, dan jurnal yang kami tulis dapat lebih luas
berkembang.
Foto: Yanuar Surya.

Bahkan setelah saya selami lebih dalam metode “daur belajar” di SALAM lebih
mendasar bicara soal esensi literasi yang tidak hanya sekadar olah pikir, namun
secara terstruktur menemukan pengetahuan yang berasal dari peristiwa nyata
(membaca dan mengolah realita) sehingga melahirkan tulisan deskriptif
yang genuine.

Tentu saja masih sangat dini untuk mengatakan bahwa laku literasi SALAM di kelas
SMA ini berhasil. Bahkan mungkin juga ini sama sekali bukan laku literasi jika
dibandingkan gerakan-gerakan literasi apapun. Namun setiap kali menerbitkan
sebuah tulisan baru di website kelas, saya merasakan sebuah kegembiraan kecil
yang layak untuk dirayakan dengan secangkir kopi.

Anda mungkin juga menyukai