Anda di halaman 1dari 3

Neil Postman: Matinya Pendidikan

Oleh: Krisna Wijaya

Sekolah merupakan tempat yang dipilih oleh mayoritas orang tua untuk menjadi pelarian
utama dalam membelajarkan anak-anaknya. Sebagai rujukan utama yang dipilih oleh para
orang tua, kedudukan sekolah ini tentunya menempati kedudukan yang sangat penting bagi
kehidupan mereka.
Terlebih dengan kehadiran pandemi di tanah air kita, nampak nyata bahwa banyak orang tua
ternyata tidak siap untuk menggantikan peran sekolah dalam mendidik anak-anak mereka.
Sebagai rujukan utama bagi orang tua, Neil Postman memandang bahwa institusi sekolah saat
ini sedang kehilangan maknanya sebagai sebagai wahana pendewasaan bagi anak-anak.
Neil Postman merupakan seorang analis pendidikan dari Inggris yang menulis buku berjudul
The End of Education, serta mengkritisi peran institusi sekolah yang tidak berperan
sebagaimana mestinya dalam mendewasakan anak-anak.

Redefinisi Nilai-Nilai Pendidikan di Sekolah


Pertanyaan di buku itu menggelitiki alam bawah sadarku. Apa bedannya sekolah dengan
ruang penjara apabila ruang-ruang kelasnya justru berperan sebagai pengurung bagi
kebebasan siswanya? Ketika pintu tertutup, seakan-akan suasana kelas beruhan seperti sidang
penghakiman terdakwa sebuah kejahatan.

Bagaimana bisa menjadi wahana pendewasaan yang baik bagi anak-anak, kalau bangku-
bangku sekolahan itu justru memaku tubuh dan kebebasan siswa dalam mengutarakan bahasa
tubuhnya dengan baik. Terlebih ada juga guru-guru yang ketika masuk kelas justru tidak
berperan sebagai seorang pendidik, namun justru berperan seperti sipir penjara.

Kenapa sipir penjara? Karena mereka marah ketika dikritik, menolak ketika ada usulan,
membentak ketika murid melakukan kesalahan, dan bermudah-mudahan memukul ketika
dirasa pantas untuk dipukul.

Di samping hal-hal yang bersifat teknis, pada hal yang berkaitan dengan mata pelajaran pun
hanya sebatas disesakkan ke otak siswa secara paksa. Kesadaran siswa untuk berkembang
hanya diciptakan berdasarkan pola-pola ancaman, keresahan, dan hukuman oleh guru.
Alhasil, berangkat ke sekolah dianggap sebagai beban yang sangat besar bagi para siswa.
Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi seorang siswa untuk tumbuh
berkembang. Di bawah tekanan, ancaman, dan paksaan, apakah siswa mampu memakai
setiap proses pembelajaran yang mereka jalani?

Schwarzer Paedagogic (Pedagogi Hitam)


Pakar pendidikan H.G Wells pada tahun 1981 melalui catatan penelitiannya yang berjudul
The Catastrope of Education mengatakan bahwa, “Semakin tumpulnya etika sosial
masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktik anomali dalam sistem
pendidikan, sebagai salah satu penyebab terbesarnya.”

Hipotesisi Wells ini dilatarbelakangi atas dasar gejolak ketidaknormalan sistem


pemerintahan, sistem sosial, dan terkhusus pada sistem pendidikan di negara-negara
berkembang saat itu. Wells mengkhawatirkan berbagai anomali yang terjadi di dunia
pendidikan ini karena akan memberikan dampak pada berbagai sektor lainnya.

Sekali lagi, sekolah waktu itu menunjukkan anomali-anomalinya sebagai sebuah institusi
yang tidak ideal bagi anak-anak. Di sekolah anak-anak tidak bersemangat dalam belajar,
sedih, takut, tertekan, dan tidak bisa bebas mengutarakan ekspresinya kepada guru.

Di sekolah, Anak-anak itu kehilangan haknya sebagai seorang anak yang seharusnya
menikmati masa-masa bermain sebagai bentuk dari proses pendewasaannya. Mereka
kehilangan kesempatannya untuk menjadi seorang anak yang seharusnya didewasakan
dengan proses bermain dan bercanda.

Prof. Kurt Singer dalam bukunya yang berjudul Jika Sekolah Membuat Sakit telah
menjelaskan panjang lebar mengenai berbagai anomali yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Singer melihat bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk belajar.

Sekolah berubah menjadi sebuah lingkungan yang penuh akan sensor pengawasan kebebasn
siswa yang justru mematahkan bakat dan gairah anak untuk belajar. Prof. Singer menyebut
sekolah yang seperti ini sebagai Schwarzer Paedagogic (Pedagogi Hitam).
Gejala anomali Schwarzer Paedagogic yang di temukan oleh Singer ini setidak-tidaknya
memiliki tiga faktor penyebab. Pertama, banyaknya guru yang berperan sebagai komandan
militer, yang tidak mengenal kata maaf kepada siswa. Kedua, sistem pendidikan yang
diterapkan oleh sekolah cenderung seperti sistem penjara yang tidak pernah memberikan
kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan bergerak sesuai usiannya. Ketiga, dosen atau guru
bermudah-mudahan mengambil alternatif yang mudah dalam hal jual beli nilai kepada siswa.

Segala permasalahan di atas pada dasarnya disebabkan karena pendidikan kala itu melahirkan
generasi yang tunduk pada kultur budaya dunia. Untuk merespon permasalahaan ini, maka
visi pendidikan di masa depan haruslah jelas untuk menghasilkan manusia yang bertuhan.

Pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia robot tanpa tuhan hanya akan menjadi
bibit-bibit tumbuhnya permasalahan baru di masa mendatang. Oleh karena itu, pendidikan
harus dirumuskan untuk mampu melahirkan manusia-manusia yang mengakui adanya
eksistensi ilahi yang mengatur segala penciptaan alam semesta.

Dengan demikian, pendidikan diharapkan tidak hanya bertujuan untuk membentuk lulusan-
lulusan yang pintar saja, namun juga lulusan-lulusan yang religius dan berjiwa humanis.
Alhasil, para pendidik yang berperan sebagai seperti komandan militer itu di masa mendatang
akan tergantikan oleh sosok-sosok yang lebih humanis-religius.

Stakeholders dunia pendidikan yang terdiri dari pihak sekolah, masyarakat, dan pers harus
dioptimalkan untuk membentuk lingkungan learning society yang baik di sekolah. Jika
Stakeholders dunia pendidikan ini dioptimalkan fungsionalnya, maka anomali-anomali
pendidikan akan semakin berkurang ke depannya karena semakin ketatnya kontrol dari
Stakeholders yang bersangkutan.

Alhasil, keberhasilan pendidikan tidak lagi hanya diukur berdasarkan tingginya academic
competency, namun keberhasilan pendidikan akan dinilai berdasarkan baiknya moral
competency peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai