Anda di halaman 1dari 3

CHELSEA DIVA KOMARA

11191110000018

Sekolah Sebagai Organisasi Sosial

Keyword : Sekolah, Sosial, Pendidikan

Sekolah kalau ditinjau dari peran dan jenisnya ada tiga pola kecenderungan menurut Suyata, pertama
bahwa sekolah can do anything, everything, and anywhere (Suyata, 2014:8). Kecenderungan ini, sekolah
dianggap dan diyakini sebagai lembaga serba bisa dengan dukungan di luar seperti keluarga, masyarakat, dan
pemerintah. Anak cerdas dan baik hanya akan bisa dibentuk di sekolah, nilai-nilai kebajikan hanya bisa
dibangun disekolah. Cara pandang ini menurut Alma Haris dalam karyanya School Improvement menjadikan
sekolah itu adalah harapan (school is hope) (Haris, 2002: 12). Pandangan ini tidak sepenuhnya salah melihat
pola relasi keluarga, masyarakat, dan sekolah hari ini yang tidak sinergetik. Artinya apa yang menjadi wajib baik
di sekolah tidak menjadi wajib baik dirumah, begitu juga sebaliknya atau apa yang menjadi model di rumah
tidak menjadi model di sekolah dan sebaliknya, sehingga sekolah can do anything, everything, and anywhere
akan dapat diwujudkan ketika mendapatkan dukungan dari masyarakat. Peranan sekolah dalam hal ini,
diharapkan dapat melakukan segala hal jika didukung oleh institusi lain. Ciri dari sekolah seperti ini, menurut
Suyata adalah output lulusan jauh lebih baik dari pada input, ini menunjukan bahwa peran dan fungsi sekolah
dapat melakukan segalanya terhadap anak didik. Peran sekolah di atas, merupakan paham modern dari aliran
struktur fungsional, walaupun setelahnya mendapatkan kritikan dari paham postmodern.Seperti yang
dikemukakan oleh Anderson dalam Suyata, bahwa sekolah pada dasarnya lemah secara institusi tetapi ketika
didukung oleh masyarakat menjadi sangat kuat (Suyata, 2014:23).

Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lembaga-lembaga resmi yang mengatur
penyaluran kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Contohnya masyarakat Indian yang tidak perlu meminta
bantuan lembaga sekolah untuk mengajarkan kepandaian memanah kepada generasi penerusnya. Bagi
mereka, cukup dengan uluran tangan dari para ayah dan saudara tuanya maka bisa dipastikan hampir seluruh
remaja-remaja muda mampu menguasai teknik memanah dari tingkat dasar sampai kategori mahir (Horton
dan Hunt, 1999: 333). Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep
pengetahuan dan kemampuan– kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan di masa
yang akan datang. Beberapa faktor telah melatar belakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk
mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, pertumbuhan jumlah populasi manusia yang
mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam, kompleksnya pranata kebudayaan
dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan implikasi tingkat akal budi dan mentalitas
manusia yang kian rasional.

Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang
berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-
topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan
sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas. Dimulai dari pengamatan
CHELSEA DIVA KOMARA
11191110000018

Parson yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Berkaitan
dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga
maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-
nilai dari masyarakat (Robinson, 1981 : 127). Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan
analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan
H.H. Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal
tersebut, Withall, 1949, yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh
situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung
teacher-centred dengan tipologi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua
merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129). Dalam satu
rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya,
semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-
strategi belajarnya sendiri (Robinson, 1981 : 130). Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis
seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini
terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas
ruang kelas. Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller. Bagi Waller,
pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah
diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk
melakukan kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi
sekolah yang mempengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria-kriteria
penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah. Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan
antarguru dan siswa berasal dari dualisme ketegangan peran guru di dalam kelas. Sebagai bawahan kepala
sekolah seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada murid-murid,
namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai pendidik yang sarat dengan kebijaksanaan akan
menghalanghalangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut. Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas
telah terbentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak konsep diferensiasi mengacu pada
praktik organisasi penentuan penghuni kelas berdasarkan prestasi-prestasi siswa. Tentunya implikasi dari
pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya polarisasi antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya,
si pandai, dan si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi
antarkelompok maka proses penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya
apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru semakin mempertegas potensi
disintegrasi antarsiswa. Pada umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti subjektifitas
perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok siswa yang menyenangkan perasaannya. Sekali lagi jika hal
terakhir yang terjadi maka kecemburuan sosial malah menjadi iklim pergulatan sosial di lingkungan kelas. Patut
ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-
sikap seseorang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok atau
aspirasi-aspirasi acuan merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam upaya pembinaan
CHELSEA DIVA KOMARA
11191110000018

tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis di atas, dapat memberikan wawasan sosiologi
kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76).

Anda mungkin juga menyukai