Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

STRUKTUR SOSIAL DI SEKOLAH

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Hani’atul Milah, M.Pd

Disusun Oleh:

Anggi Anggraini Kurniawati 2106026034


Arij Marsha Nisrina 2106026014
Bagas Aulia Rahman 1906026181
M. Fery Zamroni 2106026001
Muhammad Syahrul Rohman 2106026053
Salsabila Ananda Putri (2106026168)
Ummu Khoer Salma 2106026146

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekolah adalah lembaga pendidikan yang merupakan tempat mencetak insan-insan yang berilmu
pengetahuan. Sekolah juga merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang mempunyai
kepentingan dalam dunia pendidikan. Sekolah mempunyai peran sebagai lembaga pendidikan yaitu
untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki siswa agar mampu menjalankan tugas-tugas
yang ada dalam kehidupan sehari-hari baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat.
Sekolah sebagai organisasi formal memiliki struktur yang berfungsi sebagai lembaga edukatif yang
baik. Masing-masing struktur mempunyai kedudukan tertentu, saling berinteraksi dan menjalankan
peran sesuai dengan kedudukannya.

Pendidikan di sekolah tidak hanya ditentukan oleh usaha siswa secara individual atau interaksi
antara siswa dan guru dalam proses belajar mengajar, melainkan juga interaksi siswa dengan
lingkungan sosial yang dihadapi baik didalam maupun diluar sekolah. Setiap siswa berbeda bukan
hanya pada bakat akan tetapi juga karena pengaruh lingkungan sosialnya.

Pada struktur sosial sekolah, kepala sekolah merupakan posisi paling tinggi dan petugas
kebersihan berada pada posisi paling bawah. Sementara didalam kelas, guru menempati posisi yang
lebih tinggi daripada siswa. Kemudian, siswa pada tingkat rendah merasa lebih rendah daripada siswa
yang berada pada tingkat kelas yang lebih tinggi. Pada lingkungan sekolah kita memiliki bayangan
tentang kedudukan kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, petugas kebersihan, siswa, dan
hubungan dari berbagai kedudukan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya :

1. Apa saja kedudukan masyarakat di sekolah?


2. Bagaimana hubungan antara guru dan murid dalam lingkungan sekolah?
3. Bagaimana hubungan struktur sosial dengan kurikulum?
4. Apa saja macam-macam pengelompokan sekolah?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut terdapat beberapa tujuan penulisan :
1. Untuk mengetahui apa saja kedudukan masyarakat di dalam lingkungan sekolah
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara guru dan murid dalam lingkungan
sekolah
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara struktur sosial dengan kurikulum
4. Untuk mengetahui apa saja macam-macam pengelompokan sekolah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Berbagai Kedudukan Dalam Masyarakat di Sekolah

Sekolah merupakan sebuah institusi atau lembaga sosial. Secara umum, dalam sosiologi term
institusi digunakan untuk merujuk pada sebuah praktek sosial yang berulang-ulang, established
practice: an established law, custom, or practice(Nicholas Abercrombie, 1994). Menyerupai sebuah
peran, institusi merujuk pada pola perilaku yang berulang-ulang, namun term institusi lebih merujuk
pada aturan yang lebih tinggi, umum dan abstrak, yang di dalamnya terdapat peran yang beragam.
Maka, dapat didefenisikan bahwa institusi sosial adalah social institution is an interrelatedsystem of
social roles and social norms,organized around the satisfaction of animportant social need or social
function. Dalam definisi tersebut dapat disarikan bahwa institusi sosial secara umum memiliki
beberapa elemen berupa : a. kelompok masyarakat, b. disatukan oleh kepentingan yang sama c.
memiliki sumber daya material. c. memiliki norma. d. mempunyai tujuan/kebutuhan bersama yang
ingin dicapai.

Kembali pada upaya untuk menjelaskan kedudukan dalam masyarakat sekolah. Berangkat pada
konsep di atas, untuk mencapai kebutuhan atau tujun bersama, sebuah institusi sosial haruslah
memiliki aturan yang mengatur berbagai hubungan antar bagian dalam institusi tersebut. Seperangkat
‘aturan’ tersebut pada gilirannya menciptakan peran dan kedudukan, peran dan kedudukan ini
didasarkan atas variasi fungsi atau sumbangsih iap bagian pada keberlanjutan institusi tersebut. Pada
aliran fungsionalis-struktural lazim untuk menganalogikan struktur sosial selayaknya srtuktur
organisme hidup. (Nicholas Abercrombie, 1994).

Dalam sudut pandang sosiologis, sistem pendidikan merupakan sebuah struktur administratif
yang mencakup beragam elemen dan kekuatan. Sekolah, sebagai sub-institusi dari sistem ini
(pendidikan), dapat dievaluasi sebagai organisasi birokratis.(Kornblum dan Julian, 1992) dalam
(Turkkahraman, 2015). Karenanya, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat di mana siswa
belajar, melainkan juga sebagai sebuah entitas sosial di mana individu berkumpul untuk mencapai
tujuan khusus. Lebih jauh, Musgrave menjelaskan dalam (Turkkahraman, 2015)sekolah seperti
organisasi lainnya, sekolah merupakan sebuah entitas yang memiliki lokasi fisik tertentu yang secara
konsisten menerima anggota baru, baik siswa maupun guru, dan melaksanakan kegiatan pendidikan
dan instruksional dengan tata kelola yang terstruktur dan sistematis.
Pada masa lalu, sekolah dianggap sebagai tempat di mana guru mengajar. Namun sekarang,
sekolah telah menjadi sebuah organisasi yang mencakup individu yang berkumpul untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam sekolah sebagai organisasi, siswa, guru, penasihat, petugas, pegawai, dan
anggota asosiasi orangtua-guru membantu sekolah untuk memenuhi fungsinya. Hubungan antara
orang-orang ini dapat dianalisis secara keseluruhan.(Turkkahraman, 2015).

Menyangkut berbagai anggota yang terlibat dalah struktur masyarakat sekolah. Dalam sekolah
formal, biasanya kepala sekolah adalah pemegang kedudukan hiearkis tertinggi kemudian petugas
kebersihan adalah anggota hirarkis terendah. Dalam kelas guru memiliki kedudukan herarkis lebih
tinggi daripada murid. (Norlena, 2015). Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di sekolah. Ia
memiliki wewenang untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan sekolah.
Kepala sekolah juga berperan sebagai penghubung antara sekolah dengan instansi atasan, seperti
Kanwil atau pengurus yayasan.

Kemudian di bawah kepala sekolah ada guru. secara struktural posisi guru berada di bawah
kepala sekolah. Artinya guru juga menerima arahan dan tugas dari atasa berupa kepala sekolah.
Namun dalam kelas guru, dalam budaya ketimuran, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari siswa.
Guru merupakan penentu norma-norma ketika proses belajar-mengajar dilaksanakan. Guru dapat
menuntut siswa untuk melaksanakan berbagai aspek moralitas selama tidak bertentangan dengan
norma yang semestinya. Di sisi lain, guru dipandang oleh wali/orang tua murid sebagai partner dalam
pendidikan siswa. (Norlena, 2015).

Siswa juga merupaka masyarakat sekolah. Berbeda dengan guru, kedudukan siswa hanya berlaku
ke dalam, artinya hanya mengikat pada lingkungan sekolah. Sedangkan guru, di luar sekolah pun
memiliki kedudukan yang lebih mapan secara formal. Dalam kedudukan siswa terdapat hubungan
beradasarkan usia dan tingkat kelas. Pembedaan berdasarkan kelas, cenderung akan menghasilkan
hubungan hirarkis antara kakak dan adik kelas.

Selain itu juga terdapat kedudukan non-fundamental dalam masyarakat sekolah. Karena
keadannya sering bervariasi dalam berbagai lembaga pendidikan. Yaitu Pegawai administrasi, petugas
kebersihan, dan petugas keamanan.Pegawai administrasi berhubungan dengan guru dalam hal
absensi, gaji, perpindahan, dan cuti. Dan ia juga berhubungan dengan murid dalam hal
pengelompokkan, absensi, perpindahan, dan beasiswa.(Rifa'i, 2016). Kemudian ada petugas
kebersihan yang berperan sebagai penyedia hal yang berhubungan dengan fasilitas dan sarana
kegiatan mengajar di sekolah.
B. Hubungan Guru dan Murid

1. Makna Kerja Guru Terhadap Murid

Penjelasan sederhananya guru merupakan sosok yang memberikan pengetahuan serta


pengarahan kepada para peserta didik. Sementara peserta didik adalah orang yang menerima
pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan suatu kegiatan pendidikan.
Keduanya merupakan unsur paling utama di dalam proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses
aktivitas orientasi, serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu
melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana. Hal itu sudah menjadi
syarat mutlak atas terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Berdasar pada pengertian bahwa
pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas
peserta didik. Pendidik dan peserta didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh
manusiauntuk memainkan peran fungsional dalam wilayah yang terbingkai sebagai gambaran
aktivitas dunia pendidikan. Posisi masing-masing yang melekat pada kedua pihak tersebut
mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat peran berbeda sesuai dengan
konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara
pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses
belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan oleh mereka.

Hubungan antara guru dan murid tentunya mempunyai sifat yang cenderung relatif stabil.
Proses ini melibatkan hubungan timbal balik antara keduanya, baik secara langsung ataupun tidak
langsung demi tercapainya suatu tujuan kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dilihat melalui aspek-
aspek yang terjalin antara pendidik dan peserta didik, diantaranya: (1) Terdapat status yang tak
sama antara guru dan murid. Guru secara umum diakui dan dapat dikatakan mempunyai status
yang lebih tinggi sehingga hal itu dapat menuntut para murid untuk menunjukkan sikap yang
sesuai dengan sifat dari hubungan itu sendiri; (2) Dalam hubungan guru dan murid biasanya
hanya murid yang diharapkan mengalami perubahan, hal tersebut merupakan bukti sebagai hasil
dari proses pembelajaran. Setiap para pendidik secara tidak langsung akan selalu mengalami
perubahan dan menambah pengalamannya, akan tetapi murid sebagai peserta didik harus
memperlihatkan dan membuktikan bahwa ia telah mengalami perubahan kelakuan; (3) Aspek
ketiga sangat berkaitan dengan aspek kedua, dimana perubahan kelakuan yang diharapkan adalah
merujuk ke ranah spesifik seperti menguasai bahan pembelajaran, sehingga demi terlaksana hasil
belajar yang diharapkan diketahui seorang guru harus disegani agar memelihara jarak dan dapat
berperan sebagai model bagi para muridnya, sebab pengajaran guru akan selalu mempengaruhi
kelakuan para muridnya.
2. Arti Interaksi Edukatif

Manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan kehadiran manusia lainnya,


sehingga kecenderungan untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa
yang mengandung tindakan dan perbuatan yang akhirnya fenomena tersebut dinamai sebagai
proses interaksi. Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi
interaksi yang bernilai edukatif, yakni interaksi secara dengan sadar meletakkan tujuan untuk
mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam
dunia pendidikan disebut sebagai interaksi edukatif. Interaksi edukatif harus menggambarkan
hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu
merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi edukatif harus berproses
dalam ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, interaksi edukatif adalah suatu gambaran
hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan
pendidikan. Proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma.
Semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajar saja
apabila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi justru dalam penuh makna.
Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan suatu penggabungan antara pengetahuan
dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima
peserta didik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua
arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai
tujuan pendidikan.

3. Ciri-Ciri Interaksi Edukatif

Proses belajar mengajar senantiasa akan mengalami interaksi diantara kedua peran,
sehingga dibutuhkan komponen pendukung agar proses teknis terlaksana. Proses teknis ini tidak
dapat dilepaskan dari segi normatifnya sebagai dasar dari proses pembelajaran. Interaksi edukatif
secara spesifik merupakan proses atau interaksi belajar mengajar yang memiliki ciri-ciri khusus
untuk membedakan dengan bentuk interaksi lain. Djamarah (1980) merinci ciri-ciri interaksi
belajar mengajar tersebut yaitu diantaranya adalah:

a) Interkasi belajar mengajar memiliki tujuan membantu anak dalam perkembangan.


b) Adanya suatu prosedur (jalannya interkasi) yang direncana serta didesain secara sistematis
dan relevan untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan secara optimal.
c) Interaksi belajar mengajar ditandai dengan suatu penggarapan materi yang khusus.
d) Adanya aktivitas siswa sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas
siswa merupakan syarat mutlak berlangsungnya interaksi pembelajaran.
e) Dalam interaksi belejar mengajar, guru berperan sebagai sosok pembimbing.
f) Interkasi belajar mengajar membutuhkan proses disiplin, dimana pola tingkah laku yang
diatur sedemikian rupa dengan ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak.
g) Adanya batas waktu dari setiap tujuan, kapan tujuan itu harus mampu tercapai.

4. Bentuk Interkasi Edukatif

Belajar mengajar adalah sebuah interaksi yang bernilai normatif. Interkasi belajar mengajar
dikatakan bernilai normative karena di dalamnya ada sejumlah nilai. Hal ini menunjukan bahwa wajar
apabila interaksi itu dinilai edukatif, sebab guru dengan sadar berusaha untuk mengubah tingkah laku,
sikap, dan perubahan peserta didik menjadi lebih baik dan bersusila yang cakap, usaha tersebut
menunjukan sikap dan tingkah laku guru yang bernilai edukatif. Ada tiga bentuk komunikasi anatar
guru dan murid dalam proses interkasi edukatif, yakni diantaranya adalah: (1) Komunikasi sebagai
aksi atau komunikasi satu arah menempatkan guru sebagai pemberi aksidan peserta didik sebagai
penerima aksi, pada bentuk ini guru berperan aktif dan peserta didik pasif, proses mengajar dan
memandang sebagai kegiatan menyampaikan bahan pelajaran; (2) Dalam komunikasi sebagai
interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi atau penerima aksi, demikian
pula anak didik bisa sebagai penerima atau pemberi aksi, sehingga antara guru dan murid mengalami
dialog; (3) Dalam komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah, komunikasi tidak
hanya terjadi antara guru dan peserta didik, peserta didik dituntut lebih aktif daripada guru seperti
halnya menjadi sosok guru, sebab dapat berfungsi sebagai sumber belajar bagi peserta didik yang
lain.

5. Kedudukan Guru

a). Tugas Guru

Dalam lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya
maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat dikelompokkan menjadi tiga
yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas kemasyarakatan. Pertama, tugas profesi.
Mendidik (meneruskan dan nilai-nilai hidup), mengajar (mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi), serta melatih (mengembangkan keterampilan dan penerapannya) anak didik adalah
tugas guru sebagai suatu profesi. Kedua, tugas kemanusiaan. Guru harus menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan kepada peserta didik, sehingga menciptakan sifat kesetiakawanan sosial. Tugas guru
dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua.
Ketiga, tugas kemasyarakatan. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar
masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik yaitu bermoral Pancasila sehingga
mencerdaskan bangsa Indonesia.

b). Peran Guru dalam Proses Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran, guru memegang peranan yang sangat penting. Untuk dapat
diharapkan hasil maksimal dari perannya, perlu mencermati perilaku guru, konteks, siswa,
kurikulum, metode, dan sarana. Keenam unsur ini dapat berpengaruh terhadap kualitas
pembelajaran. Namun diantara keenam unsur tersebut, guru merupakan satu-satunya unsur yang
mampu mengubah unsur-unsur lain menjadi bervariasi. Sebaliknya unsur-unsur yang lain tidak
dapat mengubah guru menjadi bervariasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru
merupakan unsur yang mempunyai peran amat penting bagi terwujudnya pembelajaran, menurut
kualitas yang dikehendaki. Dengan cara membandingkan berbagai situasi pembelajaran, yakni
melakukan analisis komponen-komponen situasi pembelajaran itu jika berganti-ganti unsur
seperti guru, siswa kurikulum, metode, sarana dipandang sebagai satu variabel yang
dieksklusifkan.

c). Kepemimpinan Guru Terhadap Murid

Diperlukannya kualitas guru selaku pemimpin serta bagaimana ia mengontrol suatu kelas.
Berikut ragam kepemimpinan diantaranya yaitu: (1) Kepemimpinan otoriter, tujuan umum,
kegiatan khusus dan prosedur kerja kelompok semuanya didikte oleh pemimpin. Di dalam kelas
pemimpin tetap menjaga jarak dari anggota. Partisipasi aktif hanya dilayani apabila menyangkut
masalah tugas formal; (2) Kepemimpinan demokratis, Semua kebijakan, kegiatan dan prosedur
kerjanya ditetapkan oleh kelompok secara keseluruhan, pemimpin ikut aktif dan berusaha
menjadi anggota dengan semangat tanpa melakukan banyak kegiatan; (3) Kepemimpinan laissez-
faire, Dalam gaya kepemimpinan ini ada kebebasan sepenuhnya bagi kelompok maupun individu
untuk menetapkan keputusan, dengan sedikit partisipasi.
C. Struktur Sosial dan Kurikulum

Struktur Sosial di sini diartikan sebagai keseluruhan yang termasuk seperti kedudukan
peranan materi dan beberapa bangunan yang ada di lingkup sekolah. Berbagai struktur sosial di
sekolah memiliki peranan masing masing Dalam kategori yang strukturnya memiliki berbagai
Proporsi. Kurikulum merupan komposisi atau tatanan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah
(pemerintah pendidikan dan kebudayaan) terhadap tenaga pendidik untuk bagaimana mereka
terstruktur dalam mengajar, yang sebagaimana bentuk pengimplentasian guru kepada murid.

Stuktur sosial di sekolah sendiri memiliki peranan dan fungsinya masing masing. Seperti
adanya status kepala sekolah,guru,pegawai, dan siswa. Semua hal itu adalah cakupan dari struktur
sosial sekolah. Fungsi fungsi mereka sudah dijalankan melalui beberapa kategori untuk
mewujudkan peran itu sendiri.

Akan tetapi struktur sosial disetiap bidang juga mempunyai perbedaan. Hal ini
memungkinkan diperngaruhi oleh adanya kurikulum di setiap sekolah. Seperti halnya SD dan MI,
SMA, MA dan SMK. Walaupun mereka memiliki status dan peranan yang sama, namun
perbedaan kurikulum terdapat sangat jelas di setiap tempatnya. Contoh kecilnya seperti siswa
SMA yang lebih terpandang akademis dan SMK sebagai Non akademis. Siswa SMA yang pebih
fokus pada pengajaran Akademis lebih menagcu pada kurikulum dan juga membuat struktur
sosial SMA hanya terdapat keformapan yang ada. Seperti halnya saat mereka setelah menjalnkan
semester 1 mereka diberikan kesempatan untuk memilih jurusan IPA,IPS atau BAHASA.
Sedangkan SMK mereka memiliki banyak pengajar. Salah satunya adalah guru akademik, guru
praktek, dan pengamat. Pada dasarnya SMK sendiri memiliki program PKL atau magang, yang
dimana terlihat jelas perbedaan antara SMA dan SMK. Karena hal itulah yang membuat status
sosial masing masing sekolah tersebut memilki pola pendidik dan komposisi yang berbeda.

Tidak hanya itu, kurikulum juga dapat mempengaruhi struktur sosial sekolah sendiri.
Mengalami perubahan setiap tahunya kurikulum juga memiliki kebijakan dalam sturktur sosial
sekolah. Kebijakan ini mengacu pada bagaimana pendidik akan mengimplementasikan apakah itu
ilmu, praktek, dll. Dengan itu struktur sosial dan kurikulum tak akan berhenti berkesinambungan
yang sebabkan oleh adanya pengelompokan dan pemilihan atas peminatan setiap siswa siswanya.
D. Pengelompokan Sekolah

Pengelompokan di sekolah dalam pemahaman struktur sekolah adalah konsep yang


mencakup bagaimana siswa, guru, dan staf sekolah dikelompokkan, diklasifikasikan, atau
terorganisasi dalam lingkungan pendidikan. Ini dapat mencakup pengelompokkan berdasarkan usia,
tingkat, bakat, atau kebutuhan. Ini membantu dalam memahami struktur di sekolah dan memenuhi
kebutuhan berbagai kelompok secara lebih efektif. Berikut adalah beberapa contoh pengelompokan di
sekolah:
1. Pengelompokan Kelas : Siswa di sekolah seringkali dikelompokkan dalam kelas berdasarkan
tingkat usia dan tingkat pendidikan. Misalnya, ada kelas TK, SD, SMP, dan SMA. Ini membantu
siswa belajar dengan teman sebaya dan materi pelajaran yang sesuai dengan tingkat
perkembangan mereka.
2. Pengelompokan Berdasarkan Kemampuan : Beberapa sekolah membagi siswa ke dalam
kelompok berdasarkan kemampuan akademik. Contohnya ada program kelas reguler, kelas
akselerasi untuk siswa berprestasi tinggi, dan kelas remidi untuk siswa yang memerlukan bantuan
tambahan.
3. Pengelompokan Berdasarkan Minat : Beberapa sekolah juga memungkinkan siswa untuk memilih
mata pelajaran atau proyek berdasarkan minat mereka. Misalnya, ada klub atau ekstrakurikuler
untuk siswa yang tertarik pada olahraga, seni, atau ilmu pengetahuan.
4. Pengelompokan Guru : Di tingkat guru, sekolah dapat membagi guru ke dalam tim berdasarkan
spesialisasi atau tugas tertentu. Misalnya, ada tim guru matematika, tim guru bahasa, dan tim guru
kegiatan ekstrakurikuler.
5. Pengelompokan Administratif : Staf administratif di sekolah juga dapat dikelompokkan
berdasarkan fungsi mereka. Ada staf yang mengurus administrasi akademik, staf yang
bertanggung jawab atas keuangan, dan staf yang mengurus fasilitas sekolah.
6. Pengelompokan Sosial : Beberapa sekolah mungkin membentuk kelompok-kelompok sosial
untuk tujuan tertentu, seperti kelompok dorongan, kelompok anti-pelecehan, atau kelompok kerja
sama siswa.
7. Pengelompokan Berdasarkan Kebutuhan Khusus : Siswa dengan kebutuhan khusus dapat
dikelompokkan dalam kelas khusus yang menawarkan dukungan dan layanan yang sesuai.
Pengelompokan di sekolah adalah metode yang digunakan untuk mengorganisasi dan
mengelola beragam kebutuhan siswa, guru, dan staf. Ini membantu menciptakan struktur yang
memungkinkan sekolah berfungsi secara efisien dan memberikan dukungan yang sesuai kepada
individu-individu yang berbeda dalam komunitas sekolah. Pengelompokan sekolah lebih khusus pada
peserta didik memiliki dampak positif terkait perilaku peserta didik dan motivasi belajar peserta
didik. Selain kepada peserta didik, pengelompokan tersebut juga memiliki dampak positif bagi guru.
Dampak terhadap guru adalah berupa meningkatnya kemampuan serta pengalaman mengajar guru.

Dampak positif dari pengelompokan peserta didik juga dapat membentuk kepercayaan diri
peserta didik. Sedangkan dampak negatif pengelompokan peserta didik juga berkaitan dengan peserta
didik dan juga guru. Namun seluruh dampak negatif tersebut sejauh ini tidak mengganggu proses
pembelajaran secara lama, hanya pada periode awal saja. Oleh karena guru sebagai penanggung
jawab yang utama pada proses pembelajaran harus dapat mengkondisikan kelasnya sekondusif dan
senyaman mungkin agar peserta didik merasa betah mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari materi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan di sekolah bukan hanya ditentukan
oleh usaha murid secara individual atau berkat interaksi murid dan guru dalam proses belajar
mengajar, melainkan juga oleh interaksi murid dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai situasi
sosial yang dihadapinya didalam maupun diluar sekolah. Struktur organisasi sekolah adalah struktur
yang mendasari keputusan para pembina atau pendiri sekolah untuk mengawali suatu proses
perencanaan sekolah yang strategis. Sebuah sekolah harus diorganisasi sebagai lembaga pendidikan
untuk mencapai tujauan institusional tersebut. Untuk itu pengorganisasian sebuah sekolah harus
difokuskan pada usaha mengarahkan semua kemampuan, untuk membantu perkembangan potensi
yang dimiliki anak-anak secara maksimal, agar berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Organisasi sekolah adalah sistem yang bergerak dan berperan dalam merumuskan tujuan
pendewasaan manusia sebagai mahluk sosial agar mampu berinteraksi dengan lingkungan. Struktur
sosial sekolah yaitu kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, petugas kebersihan dan keamanan,
murid laki-laki maupun murid perempuan yang masingmasing memiliki kedudukan dan peranan yang
berbeda, dan saling berinteraksi satu sama lain.

B. Saran

Setelah membaca makalah ini, diharapkan masyarakat sekolah khususnya guru dan murid
memahami akan struktur sosialnya di sekolah. Karena setiap orang memiliki kedudukan dan perannya
masing-masing terutama dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Masing-masing mempunyai
kedudukan tertentu dan menjalankan peranan seperti yang diharapkan menurut kedudukan itu.
Dengan demikian, dapat dicegah berbagai konflik dan dapat dijamin kelancaran segala usaha
pendidikan.
Daftar Pustaka

Hidayat, Rahmat. 2011. Perspektif Sosiologi dengan Kurikulum. Jurnal pendidikan dan Kebudayaan. Vol
17, No 2.

Karsidi, Ravik. (2005). “SOSIOLOGI PENDIDIKAN”. Surakarta: UNS Press dan LPP UNS.

Manajemen dan Supervisi Pendidikan), 1(3), 201-207.

Nasution S, Sosiologi Pendidikan, Cet, I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Nicholas Abercrombie, S. H. (1994). THE PENGUIN DICTIONARY OF SOCIOLOGY 3th edition.


London: Penguin Books Ltd.

Norlena, I. (2015). SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI FORMAL (HUBUNGAN ANTAR


STRUKTUR). TARBIYAH ISLAMIYAH, 43-55.

Pairin, Pairin. (2010). “STRUKTUR SOSIAL DI SEKOLAH”. E-journal IAIN KENDARI.

Panga, Mujiharto. (2013). “Struktur Sosial Sekolah”. Blog Universitas Negeri

Pembelajaran di Sekolah Dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(6), 7721-7727.

Rahmat, Abdul. (2015). “SOSIOLOGI PENDIDIKAN”. Gorontalo: Ideas publishing.

Rifa'i, M. (2016). Sosiologi pendidikan : Struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan .
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi Undip, 14(2), 148-159.

Turkkahraman, M. (2015). Education, Teaching and School as A Social Organization. World Conference
on Learning, Teaching and Educational Leadership (pp. 381 – 387). Prague: Procedia - Social
and Behavioral Sciences .

Wibowo, D. H. (2015). Penerapan Pengelompokan Siswa Berdasarkan Prestasi di Jenjang

Wirda, A., Simbolon, P. J., Neli, N., & Yantoro, Y. (2022). Pengelolaan Kelas dalam Proses

Zakia, M. G. (2017). Sistem pengelompokan peserta didik di sekolah dasar negeri.

Anda mungkin juga menyukai