Anda di halaman 1dari 8

Anekdot Pendidikan “Reaksi Kimia”

Suatu hari di sekolah dalam mata pelajaran kimia, seorang guru menguji murid-muidnya
dengan memberikan pertanyaan:

Guru : Susi, sebutkan contoh reaksi kimia yang sudah kamu tahu.

Susi : Dalam proses pembuatan bioetanol, glukosa diubah menjadi alcohol melalui proses
fermentasi dengan salah satu rumusan C6H12O6 --- > 2C2H5OH+2CO2+2NADH2+Energi

Guru : Bagus sekali susi, sekarang Juki, sebutkan contoh yang lain!

Juki waktu itu sedang melamun. Maklum ia belum sarapan gara-gara bangun kesiangan,
padahal ibunya membuatkan nasi pecel yang sangat enak untuk sarapan keluarga. Maka, juki
tidak berkonsentrasi dengan pertanyaan gurunya dan iapun menjawab sekenanya.

Juki : beras dimasak menjadi nasi pak, lalu tempe mentah dicampur garam, bawang, dan
ketumbar kemudian digoreng rasanya sangat gurih.

Bila nasi dan tempe ini dipadukan dan ditambah dengan sambal pecel serta rebusan sayur dan
kecambah, perbaduan beberapa unsur tersebut menjadi sarapan yang istimewa pak!

Kontan seluruh kelas riuh karena tertawa

Guru : Tenang…tenang…jangan ramai. Juki, kenapa jawabanmu demikian?

Juki : Itu reaksi kimiawi pak.

Guru : Maksudmu?

Juki : Bukankah bapak bilang bahwa semua proses pembuatan makanan merupakan proses
kimiawi? Saya kira jawaban saya tadi merupakan jawaban yang paling mudah dimengerti
tanpa harus menggunakan lambang rumus kimia yang bikin lapar pak.

Sekali lagi semua murid tertawa melihat kelakuan Juki yang spektakuler.

Sumber : https://gudangpelajaran.com/teks-anekdot-pendidikan/
Anekdot Pendidikan

Di sekolah dasar yang terletak di Kota Semarang sedang dalam kondisi istrirahat
siang. Anak-anak keluar untuk berbagai aktifitas luar ruangan, ada yang pergi ke kantin untuk
makan siang, ada yang bermain bola di lapangan, ada yang di perpustakaan untuk membaca.
Adi dan budi sedang bercakap-cakap di kantin sambil menikmati jajanan mereka.
‘’Bud, tau tidak mengapa pendidikan zaman dulu lebih enak dari pada sekarang ?’’
’’ karena zaman dulu sekolah gratis beda sekarang dikit-dikit dipungut biaya,’’ jawab Budi.
‘’Lalu kenapa zaman dahulu pendidikan gratis Bud?’’. Tanya Adi lagi.
‘’ karena pemerintahnya gak pelit Di. ‘’.
‘’kenapa pemerintahnya gak pelit ?’’ .
‘’ karena pemerintahnya masih kaya’’.
‘’kenapa pemerintahnya kaya ?’’.
’’ kaya kenapa? ‘’.
’’ Kaya mbahmu..’’
akhirnya suasana hening.

Sumber : http://thegorbalsla.com/contoh-teks-anekdot-lucu-singkat/
KULIAH DEMI MENUNTUT ILMU ATAU DEMI SELEMBAR
KERTAS ?

Oleh: Rizqi Akmalludien Yusuf

Ilmu merupakan sesuatu yang perlu kita cari karena ilmu merupakan sebuah hal yang
terpenting demi menunjang potensi diri. Maka dari itu ilmu hukumnya wajib untuk kita cari
dan kita pelajari karena ilmu itu dianalogika kan sebagai mata uang di seluruh dunia. Tanpa
ilmu kita tidak bisa berkarir, dan jika kita tidak berkarir maka kita tidak akan merasakan yang
namanya sebuah kesuksesan. Banyak ilmu yang dapat kita pelajari hampir dari semua
aktifitas pasti memerlukan ilmu. Contohnya jika kita ingin menjadi seorang programmer
maka yang kita perlukan adalah ilmu tentang pemrograman, jika kita ingin menjadi seorang
dokter maka yang kita perlukan adalah ilmu kedokteran dan juga masih banyak lagi profesi
profesi yang memerlukan ilmu.

Secara umum ilmu dicari melalui jalur pendidikan formal maupun informal, dimulai dari
pendidikan anak usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menegah atas
bahkan sampai ke perguruan tinggi. Pendidikan formal yang telah kita jalani apakah itu murni
untuk mencari ilmu kah ? atau hanya untuk selembar kertas kah? , mungkin jawabannya
adalah untuk selembar kertas, mengapa?. Karena pada dasarnya menuntut ilmu itu tidak
hanya melalui institusi pendidikan saja, karena menuntut ilmu itu bisa melalui buku ataupun
melalui internet.

Internet kini sudah menjadi sebuah kampus bagi mahasiswa karena hampir semua mahasiswa
sekarang mencari materi perkuliahan, mengerjakan tugas perkuliahan itu
melalui Google. Jika dibandingkan materi yang diberikan di perkuliahan dengan yang
diberikan internet lebih banyak yang mana? Tentu saja di internet. Materi perkuliahan
sangatlah terbatas karena di perkuliahan memiliki batas waktu. Maka dari itu lebih baik
mencari ilmu di internet atau di buku daripada harus kuliah mahal mahal, tapi masalahnya
apakah dengan kita mempunyai ilmu yang banyak tanpa berkuliah dapat berkarir di dunia
kerja ? mungkin sedikit peluang untuk bisa tapi kebanyakan tidak bisa. Karena jika kita ingin
melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan besar kita harus memiliki “selembar kertas” yang
berisi tulisan lulus dan berisi nilai IPK, pertama tama perusahaan akan melihat kita dari
selembar kertas terlebih dahulu bukan langsung dari ilmu kita.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya kuliah itu untuk kita mencari selembar kertas
yang nantinya akan berguna untuk menunjang karir kita di dunia kerja. Disamping itu juga
bukan berarti ilmu tidak berguna, ilmu pun sama berguna nya namun hal yang paling di
prioritaskan di dunia kerja adalah selembar kertas atau nama keren nya ijazah terlebih dahulu
baru prioritas keduanya adalah ilmu.

Sumber: http://www.umm.ac.id/id/opini/kuliah-demi-menuntut-ilmu-atau-demi-selembar-kert
as-.html
Polemik Mahalnya Uang Kuliah Perguruan Tinggi

Oleh: Suadi. Akses mengenyam pendidikan tinggi setingkat universitas, institut, sekolah
tinggi dan sejenisnya masih terhambat mahalnya biaya kuliah. Terlebih kebijakan biaya
kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) yang disebut uang kuliah tunggal (UKT) yang
memungkinkan hanya mahasiswa berasal dari golongan kaya membayar lebih mahal.
Akibatnya adalah akses pendidikan tinggi terbuka lebar bagi si kaya, namun menghambat
bagi si miskin. Terlebih wacana penghapusan penetapan batas atas biaya kuliah di PTN
yang dianggap mendorong PTN memberatkan mahasiswa dengan menetapkan UKT mahal.

Berdasarkan data UKT tahun 2013 dan 2014, sebanyak 50 persen mahasiswa di PTN
berbadan hukum membayar uang kuliah di atas Rp 4 juta - Rp 10 juta per semester.
Bahkan ada yang membayar Rp 47,5 juta per semester (koran Kompas, 4 Februari 2016).
Keberpihakan kepada orang kaya semakin kentara dengan adanya kebijakan jalur mandiri
di PTN di mana mengalami peningkatan kuota 10 persen dalam penerimaan mahasiswa
baru yang membuka akses luas bagi orang berduit yang tidak lolos SNMPTN dan
SBMPTN untuk menikmati pendidikan perguruan tinggi negeri.

Selama ini PTN membuka tiga jalur penerimaan mahasiswa baru: jalur undangan atau
disebut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) yang mempergunakan nilai
rapor dan kriteria nilai sekolah lain yang menjadi bahan pertimbangan. Kuota penerimaan
mahasiswa jalur ini mencapai 40 persen. Kemudian jalur tes tertulis atau SBMPTN dengan
kuota 30 persen. Terakhir jalur mandiri dengan kuota 30 persen, di mana seb elumnya 20
persen.

PTN menjadi pilihan favorit bagi masyarakat. Selain biaya kuliah dianggap lebih
terjangkau, fasilitas lengkap, plus jaminan tenaga pendidik dosen dan profesor yang
berkualitas. Sebuah prestise tersendiri bisa kuliah dan lulus di PTN. Namun sayang, di
Indonesia hanya ada 78 PTN. Selebihnya, yaitu 4.000 lebih adalah perguruan tinggi swasta
(PTS). Sementara biaya kuliah perguruan tinggi swasta rata-rata lebih mahal dan tidak
semua orang bisa ke sana, terutama mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah.

Akses Adil Pendidikan Tinggi


Menurut Doni Koesoema (kompas, 6 Februari 2016), seleksi masuk PTN harus adil. Ia
menjabarkan keadilan akses pendidikan dengan mengutamakan kalangan miskin dengan
catatan punya kapasitas dan jaminan kemampuan kecerdasan yang baik. Ia menambahkan,
sebaiknya kuota jalur undangan cukup 5 persen sebagai cerminan kandidat mahasiswa
terbaik, berbakat dan istimewa. Kemudian jalur mandiri 10 persen, dan sisanya sebagai
bagian terbesar yaitu 85 persen sebagai wahana bersaing secara adil bagi masyarakat luas
dari berbagai kalangan, terutama menengah ke bawah sebagai representasi populasi
terbesar di negeri ini.

Sulit mengatakan pendidikan harus murah jika diukur dengan parameter dari berbagai sisi,
terutama aspek kebutuhan peningkatan kualitas tenaga pendidik dosen, fasilitas, infrastruk-
tur bangunan dan peningkatan program perguruan tinggi terkait. Di PTS, tentu dibebani
menggaji dosen dengan mahal per SKS (satuan kredit semester). Jika tidak digaji mahal,
dosen bersangkutan lebih memilih PTS lain dengan tawaran gaji menggiurkan, itu sudah
fenomena umum. Sementara, PTS tidak akan berkembang bila mengandalkan dosen-dosen
dengan kuafilikasi rendah, apalagi cuma tamatan S1.

Maka, mau tidak mau harus menggaji dosen dengan mahal dengan konsekuensi menarik
biaya kuliah mahal dari mahasiswa. Itu belum lagi biaya membangun bangunan, fasilitas
pendukung dan staf pegawai administrasi untuk menunjang kelancaran aktivitas
perkuliahan. Di PTS, semua komponen pembiayaan dilalukan secara mandiri, tanpa
intervensi pemerintah. Semuanya serba dikelola sendiri.

Kecenderungan di PTS adalah: semakin maju, terkenal dan bonafit, maka biaya kuliah
semakin mahal. Kepercayaan masyarakat terhadap PTS terbayar manakala lulusan-
lulusannya mudah diterima di bursa kerja, mudah mencari kerja, dipercaya berbagai
institusi dan memiliki kualitas terjamin. Tentu itu tidak murah, butuh modal mahal,
terutama unsur dosen-dosen pendidik berkualitas dengan gaji tinggi. Karena sudah hukum
alam bahwa kesejahteraan ikut memperkuat profesional dan loyalitas. Makin mapan dan
sejahtera, maka dosen makin serius dan menetap mengajar di PTS tersebut.

Demikian pula, makin tidak jelas gaji dan karir masa depan, maka dosen-dosen pun
mencari PTS lain yang lebih menjanjikan. Karena dosen juga manusia yang punya
keluarga, anak, istri yang butuh nafkah ditanggungnya.
Oleh karena itu, PTS merupakan pilihan alternatif terakhir. Memang banyak orang-orang
kuliah di PTS dari keluarga tidak mampu dengan mensiasati kuliah sambil kerja. Kuliah
kelas pagi atau kelas siang, kemudian disambung bekerja mulai siang hingga malam. Atau
sebaliknya. Tapi tidak semua jenis pekerjaan bisa dibarengi nyambi kuliah. Dan tidak
semua mahasiswa pintar membagi waktu antara kerja dan kuliah dan bisa-bisa nilai kuliah
jeblok dan menjadi mahasiswa abadi alias tidak kunjung tamat.

Meski begitu, PTN masih menjadi favorit. Meskipun sistem UKT mahal, namun bila
diterapkan kuota SBMPTN dengan subsidi silang, maka mahasiswa dari kalangan
menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan tinggi.

Pemerintah juga banyak membuka kesempatan dengan program beasiswa seperti


Bidikmisi, beasiswa Unggulan, Dikti, dan lain-lain. Bahkan beasiswa tersebut juga berlaku
bagi mahasiswa yang kuliah di PTS seperti beasiswa dikti. Jadi, masih banyak peluang
bagi masyarakat menengah ke bawah untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Tinggal kerja
keras dan meraih kesempatan tersebut dengan serius dan banyak bertanya.

Pentingnya Pendidikan

Pendidikan sangat penting membuka prospek cerah bagi masa depan seseorang. Meskipun
pendidikan tinggi tidak menjamin sukses dan kaya, namun pendidikan menjamin kapasitas
intelektual dan berguna bagi masyarakat. Bahkan hasil penelitian Bank Dunia pada 1996
mengemukakan adanya korelasi jumlah penduduk bergelar sarjana dengan tingkat kesejah-
teraan masyarakat suatu negara.

Kita bisa melihat jumlah sarjana Indonesia yang hanya sekitar 7-8 juta dari seluruh tenaga
kerja produktif yang mencapai 122 juta orang. Artinya, persentase jumlah sarjana Indone-
sia masih sangat rendah dibandingkan jumlah tamatan SD, SMP dan SMA.

Kita berharap skema penerimaan mahasiswa baru di PTN lebih adil dengan kuota berpihak
kepada masyarakat luas dan PTS menemukan cara solutif agar dapat menampung dan
mengakomodasi mahasiswa dengan tidak membebani uang kuliah mahal tetapi juga tanpa
mengorbankan kualitas. ***

Penulis alumnus UMSU, Mahasiswa S2 Universitas Negeri Semarang


Pendidikan Hanya Menghasilkan Orang Pintar Bukan Orang Terdidik

Saat ini banyak sekali terjadi tindakan-tindakan yang memalukan di negeri ini seperti
korupsi, suap dan masih banyak lagi. Namun, anehnya para pelaku tindakan kejahatan
tersebut adalah orang-orang pintar yang bergelar sarjana dari berbagai lulusan universtas
yang ternama. Melihat fenomena-fenomena yang terjadi saat ini, sepertinya ada yang salah
dengan pola pendidikan formal di Indonesia dan semestinya harus dikaji ulang.

Pola pendidikan formal saat ini hanya mengajarkan ilmu-ilmu dunia sehingga banyak
menghasilkan orang-orang pintar tetapi sayangnya mereka tidak terdidik dan memiliki budi
pekerti yang lemah. Akibatnya orang-orang pintar tersebut malah menjadi orang yang bejat,
maling dan penindak kaum yang lemah. Padahal seharusnya merekalah yang menjadi
penolong dan pemimpin yang baik untuk menciptakan kemaslahatan bagi orang banyak.
Terlebih lagi, saat ini banyak sekali orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mengaku
beragama, tetapi tindakan mereka sangat memalukan dan meresahkan masyarakat sekitar.
Contohnya adalah, para dewan yang ‘’katanya’’ terhormat banyak yang tertangkap tangan
melakukan korupsi atau penyuapan. Parahnya lagi tindakan tersebut dilakukan bersama-sama
dengan teman-teman mereka yang juga “katanya” terhormat. Yang lebih miris saat mereka
tertangkap oleh pihak yang berwajib, mereka malah dengan tenang dan melemparkan senyum
yang lebar kepada masyrakat. Seolah-olah mereka senang dengan apa yang mereka perbuat.
Bukankah mereka malu dengan tindakan tersebut, apakah mereka tidak mengetahui atau tidak
pernah diajari bahwa memakan uang yang bukan haknya adalah perbuatan dosa dan haram
hukumnya bagi mereka dan keluarganya.

Memang mereka itu sudah kehilangan akal sehat dan putus sudah urat malunya. Bahkan ada
saja orang yang jelas-jelas terjerat kasus korupsi yang menjadi ketua atau pemimpin suatu
instansi. Bukankah ini sangat memalukan?
Oleh karean itu, sistem pendidikan formal yang ada saat ini harus segera direvisi dengan
tidak hanya mementingkan hasil, tetapi lebih mementingkan suatu proses untuk mencapai
suatu keberhasilan agar tidak lagi mencetak orang-orang pintar yang memintari, bukannya
orang-orang pintar yang mendidik.

Sumber : https://www.kelasindonesia.com/2015/04/2-contoh-artikel-opini-tentang-
pendidikan-lengkap-terbaru.html

Anda mungkin juga menyukai