Orang tua tidak bisa lepas tanggung jawab dengan menyerahkan anaknya
kepada pihak sekolah, lalu sekolah dituntut menentukan masa depan anaknya. Orang
tua pun perlu memahami konsep, filosofis dan sistem pendidikan, agar sebagai
orang yang terlibat intensif dengan peserta didik, mampu menunjang keberhasilan
proses. Hal ini dapat diwujudkan bila terdapat sinergis dengan pihak sekolah..
Bisa jadi kejadian yang sering terjadi, pihak orang tua menyalahkan sekolah,
akan menjadi sebaliknya. Sekolah akan menuntut orang tua bila melakukan
kesalahan dalam proses pendidikan. Kedua belah pihak berada sejajar dan menjadi
mitra demi pencapaian hasil yang optimal.
Bangsa kita memang terbiasa dengan berdoa, namun karena kesalahan proses
pendidikanlah hal tersebut menjadi basa-basi ibadah. Kita harus yakin pada
hakikatnya Allah jua yang merestui ikhtiar kita.
Hal lain yang cukup krusial adalah sistem penilaian pendidikan. Sistem
yang dikembangkan lebih kepada penguasaan hafalan pengetahuan. Penilaian tidak
lagi menjadi alat bantu evaluasi, tapi menjadi goal dan ini berbahaya karena
banyak membuat peserta didik demotivasi, seolah-olah nilai yang buruk menjadi
bencana bagi masa depan. Perlu dikembangkan sistem penilaian komprehensif, yang
menilai perkembangan proses pendidikan seseorang secara menyeluruh.
B. Aplikasi / Implementasi
Dunia pendidikan pun tak terkecuali. Filosofis pendidikan yang kita tengok
dalam dokumen Depdiknas, luar biasa indahnya, namun kalau kita tengok sekolah-
sekolah, jangankan di luar jabotabek, di Jakarta sendiri sulit kita melihat
sekolah dengan filosofis dan konsep pendidikan yang kuat.
C. SDM Kependidikan
Selayaknya setiap calon guru melalui fit & proper test yang mencakup tiga
aspek tersebut. Bagaimana pun mereka memiliki peran cukup penting dalam
pembentukan generasi unggul. Setidaknya 60-70% keberhasilan proses pendidikan
terletak di pundak guru. Guru harus menjadi SDM strategis bangsa ini. Anak-anak
bangsa akan berkompetisi secara ketat bagi profesi ini. Diperlukan satuan tugas
khusus yang menangani profesi guru dengan segala pengembangannya. Guru dituntut
mampu mengaplikasikan konsep, filosofis dan sistem pendidikan dalam tataran
peserta didik.
Sekolah harus dikelola direktur dan manajer handal, melebihi direktur dan
manajer perusahaan, lha wong yang akan dirubah manusia, sedangkan di perusahaan
terkait dengan benda mati dan ukurannya ekonomi.
Tapi mari kita tinggalkan sejenak tentang hakikat pencanangan hari. Ada
hal yang lebih penting yang penulis ingin kemukakan, sekedar sumbang pemikiran.
Sudah tepatkah arah pendidikan bangsa ini? Jawaban akan terdengar klise, jelas
belum memuaskan, untuk menghindari jawaban tepat dan tidak tepat. Ukurannya
sederhana saja, tidak perlu melihat Human Development Indeks (HDI), PERC, dan
lain-lain, tapi betapa miskinnya kepercayaan diri bangsa ini dalam menghadapi
kehidupan. Pola fikir instan, kapitalis, kriminalitas, menjadi bukti kegagalan
pendidikan.
Ketika kecil sebagian besar dari kita sering diingatkan oleh orang tua
tercinta "Nak sekolah yang bener, biar kehidupanmu lebih baik dari Ayah dan Ibu;
Kau harus masuk SMP Favorit, SMA Favorit, lalu masuk ITB, lalu bekerja di
kantoran. Baru Ayah dan Ibu tenang, bisa istirahat".
Ungkapan diatas tentu tidak salah meskipun kurang saleh juga. Namun hal
tersebut tercetus karena yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dalam
dunia nyata seperti itu. Sistem pendidikan kita memang terpola demikian, manusia
potensial Indonesia hanya menjadi objek dari suatu aplikasi sistem pendidikan
dengan satu tujuan akhir yaitu bekerja. Model proses pendidikan hampir sama
dengan proses produksi barang. Dalam proses produksi terkait faktor input,
proses dan output. Walaupun sekarang coba diperbaiki dengan apa yang disebut
manajemen berbasis sekolah (untuk pendidikan formal), namun itu pun tidak
disikapi dengan penyiapan SDM, dan masih terkesan alih tanggung jawab (terutama
masalah pembiayaan pendidikan).
Hal yang disebut diatas baru menyangkut aspek ekonomi. Bagaimana dengan
aspek moral dan kebudayaan bangsa yang katanya akar dari pendidikan nasional?
Jauh lebih parah dari aspek ekonomi. Mereka tidak terdidik dan terbiasa dengan
sikap sabar, tawakal, solidaritas positif, tapi terdidik dengan bagaimana dapat
uang banyak segera tanpa kerja keras.