Anda di halaman 1dari 3

D.

Peran Orang tua/wali

Orang tua tidak bisa lepas tanggung jawab dengan menyerahkan anaknya
kepada pihak sekolah, lalu sekolah dituntut menentukan masa depan anaknya. Orang
tua pun perlu memahami konsep, filosofis dan sistem pendidikan, agar sebagai
orang yang terlibat intensif dengan peserta didik, mampu menunjang keberhasilan
proses. Hal ini dapat diwujudkan bila terdapat sinergis dengan pihak sekolah..
Bisa jadi kejadian yang sering terjadi, pihak orang tua menyalahkan sekolah,
akan menjadi sebaliknya. Sekolah akan menuntut orang tua bila melakukan
kesalahan dalam proses pendidikan. Kedua belah pihak berada sejajar dan menjadi
mitra demi pencapaian hasil yang optimal.

Setelah seluruh pembenahan dilakukan, ada hal penting yang cukup


signifikan yang harus dilakukan. BERDO'A dengan khusyu’ dan konsisten.

Bangsa kita memang terbiasa dengan berdoa, namun karena kesalahan proses
pendidikanlah hal tersebut menjadi basa-basi ibadah. Kita harus yakin pada
hakikatnya Allah jua yang merestui ikhtiar kita.

Abd.Agus@Myquran.Com Page 3 of 3 03/11/2007


Meminjam istilah salah seorang kawan, pendidikan bukanlah sekedar
memberikan (untuk tidak mengatakan menjejali) peserta didik dengan pengetahuan.
Namun bagaimana peserta didik bersikap berpengetahuan. Pendidikan bukan sekedar
mengajar peserta didik tentang berbagai hal matematika, sains, budi pekerti,
namun bagaimana peserta didik bersifat matematician, saintifician, dan moralis.

Sistem pendidikan kita masih menyeragamkan potensi peserta didik. Meskipun


telah diupayakan ada pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, terlihat belum all
out.. Hanya sekedar formalitas. Kalaulah kita tengok, peserta didik pendidikan
kejuruan, rata-rata dari kalangan menengah ke bawah, selain ingin segera
bekerja, juga tidak ada biaya ke PT. Orang tua kalangan atas "emoh"
menyekolahkan anak ke sini, walaupun potensi anak ada pada psikomotorik. Tiada
lain karena belum diposisikan secara sungguh-sungguh proses pendidikan berbasis
potensi. Upaya deteksi dini potensi pun tidak menjadi concern. Padahal inilah
salah satu yang menyebabkan manusia Indonesia baru memanfaatkan 20 % saja dari
kapasitas otaknya.

Hal lain yang cukup krusial adalah sistem penilaian pendidikan. Sistem
yang dikembangkan lebih kepada penguasaan hafalan pengetahuan. Penilaian tidak
lagi menjadi alat bantu evaluasi, tapi menjadi goal dan ini berbahaya karena
banyak membuat peserta didik demotivasi, seolah-olah nilai yang buruk menjadi
bencana bagi masa depan. Perlu dikembangkan sistem penilaian komprehensif, yang
menilai perkembangan proses pendidikan seseorang secara menyeluruh.

Sistem pendidikan pun masih mengabaikan unsur interaksi sosial dan


spiritual. Isi konsep dan sistem pendidikan bagaikan jasad tanpa roh, bagaikan
akan memproduksi barang. Tidak ada sentuhan rasa antara peserta didik dengan SDM
pendidik. Hampir tidak ada siswa yang dengan konsisten mendoakan kebaikan bagi
gurunya, atau guru mendoakan murid-muridnya agar menjadi manusia berguna.

B. Aplikasi / Implementasi

Implementasi konsep dan sistem merupakan salah satu kelemahan bangsa


secara keseluruhan. Tidak hanya terkait dengan dunia pendidikan. Betapa banyak
konsep di setiap department, bahkan Bappenas sebagai "think thank", pasti
memiliki konsep unggul mengenai pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain.

Dunia pendidikan pun tak terkecuali. Filosofis pendidikan yang kita tengok
dalam dokumen Depdiknas, luar biasa indahnya, namun kalau kita tengok sekolah-
sekolah, jangankan di luar jabotabek, di Jakarta sendiri sulit kita melihat
sekolah dengan filosofis dan konsep pendidikan yang kuat.

Tentunya jangan dilihat sekolah-sekolah swasta terpadu, karena bagaimana


pun mereka telah memiliki konsep sendiri. Sosialisasi dari konsep dan filosofis
pendidikan masih dilaksanakan secara birokratis dan tanpa semangat kependidikan.
Manajemen berbasis sekolah diyakini pembuat kebijakan mampu memperkuat aplikasi
pendidikan di sekolah-sekolah. Namun kita harus mencermati SDM-SDM kependidikan
kita, mampukah mengangkat kualitas sekolah tanpa skill up kemampuan?

C. SDM Kependidikan

Operator lapangan yang berinteraksi langsung dalam proses pendidikan


haruslah memahami dunia pendidikan. SDM ini meliputi guru sebagai ujung tombak
dan manajemen pendidikan. Sayangnya dua hal ini pun masih carut marut. Secara
input, saat ini orang yang memilih profesi guru adalah orang yang gagal masuk
PTN favorit, atau yang tidak mendapat pekerjaan lain. Jadi bukan karena pilihan
hidup dan kecintaan pada pendidikan. Menurut pakar pendidikan Dr. Arif Rahman,
minimal ada 3 komponen yang harus dimiliki guru ; Kepribadian, Kemampuan
manajemen kelas, dan Penguasaan materi.

Selayaknya setiap calon guru melalui fit & proper test yang mencakup tiga
aspek tersebut. Bagaimana pun mereka memiliki peran cukup penting dalam
pembentukan generasi unggul. Setidaknya 60-70% keberhasilan proses pendidikan
terletak di pundak guru. Guru harus menjadi SDM strategis bangsa ini. Anak-anak
bangsa akan berkompetisi secara ketat bagi profesi ini. Diperlukan satuan tugas
khusus yang menangani profesi guru dengan segala pengembangannya. Guru dituntut
mampu mengaplikasikan konsep, filosofis dan sistem pendidikan dalam tataran
peserta didik.

Sekolah harus dikelola direktur dan manajer handal, melebihi direktur dan
manajer perusahaan, lha wong yang akan dirubah manusia, sedangkan di perusahaan
terkait dengan benda mati dan ukurannya ekonomi.

Abd.Agus@Myquran.Com Page 2 of 3 03/11/2007


Ada Apa dengan Pendidikan Nasional Kita?

Hari ini berdasarkan konsensus nasional adalah hari pendidikan Nasional.


Suatu hari yang masyarakat sendiri mungkin tidak atau katakanlah kurang
(eufemisme bahasa) menyadari serta memahami apa maksudnya hari pendidikan itu.
Para pejuang kemerdekaan yang dahulu concern terhadap dunia pendidikan pun
mungkin tidak berharap ada hari pendidikan. Mereka hanya ingin melihat dunia
pendidikan kita maju, dan dapat menghantar bangsa ini menjadi jauh lebih baik.

Tapi mari kita tinggalkan sejenak tentang hakikat pencanangan hari. Ada
hal yang lebih penting yang penulis ingin kemukakan, sekedar sumbang pemikiran.
Sudah tepatkah arah pendidikan bangsa ini? Jawaban akan terdengar klise, jelas
belum memuaskan, untuk menghindari jawaban tepat dan tidak tepat. Ukurannya
sederhana saja, tidak perlu melihat Human Development Indeks (HDI), PERC, dan
lain-lain, tapi betapa miskinnya kepercayaan diri bangsa ini dalam menghadapi
kehidupan. Pola fikir instan, kapitalis, kriminalitas, menjadi bukti kegagalan
pendidikan.

Ketika kecil sebagian besar dari kita sering diingatkan oleh orang tua
tercinta "Nak sekolah yang bener, biar kehidupanmu lebih baik dari Ayah dan Ibu;
Kau harus masuk SMP Favorit, SMA Favorit, lalu masuk ITB, lalu bekerja di
kantoran. Baru Ayah dan Ibu tenang, bisa istirahat".

Ungkapan diatas tentu tidak salah meskipun kurang saleh juga. Namun hal
tersebut tercetus karena yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dalam
dunia nyata seperti itu. Sistem pendidikan kita memang terpola demikian, manusia
potensial Indonesia hanya menjadi objek dari suatu aplikasi sistem pendidikan
dengan satu tujuan akhir yaitu bekerja. Model proses pendidikan hampir sama
dengan proses produksi barang. Dalam proses produksi terkait faktor input,
proses dan output. Walaupun sekarang coba diperbaiki dengan apa yang disebut
manajemen berbasis sekolah (untuk pendidikan formal), namun itu pun tidak
disikapi dengan penyiapan SDM, dan masih terkesan alih tanggung jawab (terutama
masalah pembiayaan pendidikan).

Anak-anak usia pendidikan saat ini terbebani bahwa dengan sekolahlah


nantinya dia bisa bekerja. Orang tua pun hingga detik ini masih memegang erat-
erat prinsip ini. Kalau perlu, dibela sampai lembar kertas rupiah terakhir agar
anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi. Bila orang tua berkecukupan
secara ekonomi, tentu tidak masalah. Namun bila menyangkut kaum tak mampu,
cilaka dua belas, sudahlah dia membela mati-matian, kalau perlu berhutang,
ternyata setelah penantian minimal 16 tahun (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3
tahun, PT 4 tahun), anaknya menganggur juga, bahkan tidak mampu minimal seperti
orang tuanya dalam hal ekonomi.

Sebagian orang tua mencoba memperpendek masa sekolah, dengan menyekolahkan


anaknya di sekolah kejuruan (SMK), dengan harapan setelah lulus SMK bisa
bekerja. Alih-alih bisa bekerja, tetangganya yang lulusan PT pun sering
bersamaan melamar untuk pekerjaan yang sama. Anak-anak putus sekolah mencoba
pendidikan luar sekolah di BLK-BLK, setelah lulus, sebagian besar pengusaha
tidak menghargai ijazah BLK, dirasa kurang cocok dengan pekerjaan dunia nyata,
disamping iklim usaha yang kembang kempis.

Hal yang disebut diatas baru menyangkut aspek ekonomi. Bagaimana dengan
aspek moral dan kebudayaan bangsa yang katanya akar dari pendidikan nasional?
Jauh lebih parah dari aspek ekonomi. Mereka tidak terdidik dan terbiasa dengan
sikap sabar, tawakal, solidaritas positif, tapi terdidik dengan bagaimana dapat
uang banyak segera tanpa kerja keras.

Terdapat minimal 4 faktor utama yang masih mengganjal mengenai dunia


pendidikan kita; faktor konsep dan sistem, aplikasi/implementasi, SDM
kependidikan, dan peran orang tua/wali.

A. Konsep dan sistem

Banyaknya ahli pendidikan yang berkumpul di Depdiknas tentunya menjadi


jaminan kualitas pendidikan nasional. Konsep pendidikan nasional menyangkut
visi, misi, tujuan pendidikan, sangat baik. Yang terlupakan dari konsep
pendidikan kita adalah penekanan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan
karakter positif dan integritas dari seseorang.

Abd.Agus@Myquran.Com Page 1 of 3 03/11/2007

Anda mungkin juga menyukai