Sejarah.
Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran
pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi
kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur
Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace yang artinya adalah Seize the
Day mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup
yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi
fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor
internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris.
Saya juga membedah lukisan School of Athens karya Michelangelo dan
mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal Britania
Raya,
John
Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas Halo! Nama
saya Gea. Saya datang dari Indonesia. Tiga bulan awal saya benar
benar merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk
adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi
pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi,
seiring berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak
manusia dalam beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember
2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri
untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya
Dante.
Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu
ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas
folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai
jawaban. Apa yang saya dan teman teman pahami adalah yang akan
kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat
menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian
saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini
pula yang membuat saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang,
bukan
paksaan
atau
pun
sebuah
keharusan.
Letup
Semangat
yang
Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang
kelas 3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam
bentuk Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api
semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang
dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya
hanya berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk
lulus SMA, murid murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam
bentuk karya ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother
saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya pelukis
Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di
dalam ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman
saya menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu
adalah
apa
yang
kamu
makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah
Sekolah Persatuan
Kita harus kembali ke masalah sekolah jika ingin mengatasi masalah
masyarakat. Petang itu selepas tragedi bom, saya menyimak tayangan
yang membikin hati trenyuh. Di belahan bumi Indonesia ini ada sekolah
yang mengajar toleransi dengan perbuatan. Sekolah tersebut menampung
semua murid tanpa membedakan agama dan suku. Mereka anteng
bersilaturahim meski jurang perbedaan menganga jelas. Murid beragama
kristen berbaur dengan islam lalu yang muslim bersahabat dengan yang
hindu. Sungguh indah memandang mereka berkarib satu sama lain.
Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata. Mereka tidak sekadar
bergantung pada teks galib atau pelajaran moral pancasila (PMP) tapi
berjuang dengan sungguh dan sepenuh jiwa. Sekolah tersebut, izinkan
saya menyebutnya sekolah persatuan, menampar kedegilan kita tentang
makna toleransi. Toleransi tidak sebatas act of thinking yang diretas
lewat piagam-piagam perjanjian dan retreat-retreat klise melainkan act
of doing yang mewujud pada sikap dan tindakan.
Bangsa kita harus berlagak macam bocah lagi. Tak punya pretensi jahat
dan sikap tengil. Kita yang dewasa harus belajar dari mereka yang kecil.
Memupuk toleransi dengan sikap dan perbuatan. Jati diri keagamaan kita
tidak akan luntur jika hanya menghargai mereka yang berbeda keyakinan.
Dimensi kegamaan tak melulu bergerak vertikal (hablum minallah) tapi
juga horizontal (hablum minannas). Niscaya jika Anda mencintai mahluk
Tuhan itu berarti Anda sungguh mencintai sang khalik. Saya jadi teringat
petuah Prof Komarudin Hidayat. Jika ingin membela Tuhan, maka bela
mahluk Tuhan yang kecil agar menjadi besar. Diksi kecil disini ialah orang
miskin, kaum marjinal, dan mereka yang terpinggirkan. Siapa mau bela
mereka? Saya mau karena itu sama dengan membela Tuhan.
katolik ikut merasa tertimpa beban psikologis atas bom laknat tersebut.
Saya mencoba memberi penjelasan kepada kawan saya yang non muslim
atas pemahaman keliru teroris mengenai jihad. Saya kerap berceloteh ke
mereka bahwa itu bukan jihad tapi jahad (baca : jahat) dan mereka juga
mujahid tapi mujahad (baca : mau jahat). Sekali lagi kawan kawan saya
membuktikan ketahanan benteng pluralisme Indonesia. Giliran umat
muslim puasa mereka justru menghargai kami tanpa diminta dengan tidak
mempertontonkan makanan di depan kami. Bila menengok kisah ini
sejujurnya saya ingin menangis gembira melihat toleransi tingkat tinggi ini
(bukan retreat tingkat tinggi). Mereka memang sejumlah kecil tapi berjiwa
besar dan berpikir jernih. Salut!
Mengeja Indonesia
Menyusur pendulum pluralisme Indonesia yang bergerak ke sisi kanan
(konservatif) bisa dicermati dalam hasil riset PPIM UIN : 62% guru agama
islam di sekolah umum jawa menolak non muslim jadi pemimpin publik
dan 30% responden mendukung Pemilu hanya untuk memilih wakil rakyat
yang memperjuangkan syariat Islam. Mahasiswa sebagai garda bangsa
pun mulai terinfiltrasi paham tersebut. Survei GMNI pada 2006 melansir
80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan bernegara hanya
4,5% yang masih memegang pancasila. Kita gerah melihat situasi ini.
Republik ini berdiri kokoh dalam bangunan keberagaman (bukan
penyeragaman). Bangsa ini mulai memutar res privata (urusan privat)
menjadi res publica (urusan publik).
Bangsa ini harus mengerti bahwa tidak boleh ada diktator mayoritas dan
tirani minoritas. Ketika di ground zero akan dibangun mesjid, kebanyakan
masyarakat US menentang. Tapi presiden Obama dan Bloomberg
(Walikota New York) membela pembangunan mesjid tersebut. Di Australia,
Prancis,
dan
sejumlah
negara
eropa
kini
pemakaian
burqa
dipertimbangkan untuk dilarang. Bangsa ini harus bangun dari siuman
panjang. Merajut toleransi beragama bukan soal adu jumlah penganut
umat beragama. Merajut toleransi adalah kesadaran dari relung hati kita
untuk menghargai the others. Menyadari bahwa perbedaan adalah berkah
dan pertentangan adalah musibah. Kita tidak bisa membangun bangsa ini
dari keping-keping penyeragaman. Bangsa ini lahir dengan kata kita
bukan kata kami. Kita tidak perlu belajar lema untuk memahami
perbedaan kita dan kami. Kita hanya perlu bertanya pada diri sendiri :
sudahkah kita menghormati keyakinan orang lain hari ini, esok, dan
selamanya?
Garuda Indonesia harus bisa jadi payung bagi semua golongan bukan satu
dua golongan. Sekolah persatuan mengikuti jejak mereka yang berjuang
di garis depan toleransi. Ingat, GKJ Manahan Solo yang menyediakan buka
puasa bagi mereka yang muslim. Sekolah persatuan merangkai kata
Indonesia dengan sejuk dan telaten. Mereka, anak-anak kecil yang polos,
justru jadi miniatur toleransi Indonesia. Kita tidak perlu malu belajar dari
mereka yang masih bocah. Kedewasaan bukan dilihat dari usia tapi dari
sikap.
oleh
webmaster
Tidak
ada
Komentar
Fakultas
Psikologi,
Annyong haseyo!
Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan
kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti Hai, apa kabar! dalam bahasa
Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka
menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu banyak
juga tambahan kosakata baru seperti Kamsahamnida, (terima kasih),
Sarang haeyo, (I love you) dan sebagainya. Teman-teman saya
(terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama
Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtracknya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang
berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok
produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan
modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah
menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia
gotong royong, paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu
baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun
abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu
budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah
hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang
Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam
budaya yakni perilaku memiliki sekaligus menyebarkan. Paradoks ini
kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita
alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri,
karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran
budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas.
Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan
pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan
barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak
ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon
Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita
penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi
dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada
selayaknya dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya
kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan
nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual
yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi
imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju
ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya
mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan
pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang
yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri
budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali
industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah
melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan
produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang
mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode
penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi
batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta
melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik. Lalu
bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada
pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit.
Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan
simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi
yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada
seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula
media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang
sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih
dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa.
Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara
serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di
televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian
Sejumlah PR
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat
industri yang cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan
menurunkan kualitas budaya, karena menyerahkannya pada selera pasar
yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan misalnya pada dunia
sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya
membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh
karena itu, pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas
produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya
sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-produk
budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke
seluruh dunia, sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron