Anda di halaman 1dari 20

Sistem Pendidikan Indonesia Yang Memburu Nilai

Ini gan perbandingan sistem pendidikan yang ada di Indonesia dengan negara lain. Drs. Alexius Akim, MM selaku Kepala Dinas Pendidikan Kalimantan Barat ketika menjadi nara sumber pada seminar Dies Natalis ke-52 Universitas Tanjungpura, 13 Mei 2011 lalu, menyampaikan sebuah kritik konstruktif terhadap sistem pendidikan nasional yang berlangsung hingga saat ini, khususnya sistem pendidikan mengejar/memburu nilai atau pembelajaran berbasis prestasi akademik, sementara pendidikan karakter dan sejenisnya sedikit terabaikan. Pendapat yang sama telah disampaikan oleh para pakar maupun praktisi pendidikan. Sehubungan hal tersebut, di tahun 2011 ini Kementerian Pendidikan Nasional mulai mengimplementasi pendidikan karakter di semua jenis dan jenjang pendidikan. Terkait sistem pendidikan memburu nilai tersebut, Alfie Kohn (2009) dalam bukunya The School-Out Children Deserve menyampaikan kritik tajam dan komprehensif terhadap sistem pendidikan memburu nilai dimana sekolah merasa sangat bangga memperoleh standar test atau nilai yang tinggi. Menurut penulisnya, pendidikan memburu nilai dan pembelajaran berbasis prestasi akademik bukanlah sistem pendidikan yang baik untuk mengantarkan muridnya menjadi manusia pembelajar. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu melatih para pelajar berpikir sendiri dan tidak menerima begitu saja gagasan pertama yang mereka terima dan siswanya menjadi pembelajar sepanjang hayat. Di bagian lain, Alfie Kohn mengemukakan 5 (lima) kesalahan fatal pendidikan memburu nilai; (1) focus pada hasil; (2) lebih menyenangi strategi mengajar berpusat pada guru, faktanya guru berbicara lebih banyak dari seluruh muridnya; (3) pemaksaan pencapaian standar tanpa mengindahkan hakikat pendidikan. Mereka lupa bahwa hak mengajar membutuh persetujuan siswa; (4) memerintahkan jenis dan materi pendidikan tertentu kepada siswanya sekalipun tidak sesuai dengan bakat, minat, talenta dan potensi peserta didik;(5) meyakini sebuah mitos; lebih sulit berarti lebih baik. Thomas Amstrong (2011) dalam bukunya berjudul The Best School menyampaikan beberapa pertanyaan penting dalam pendidikan memburu nilai; (a) Bagaimana kita dapat membantu setiap anak mencapai potensi sejatinya; (b) Bagaimana kita bisa menginspirasi setiap anak untuk menemukan semangat belajarnya; (c) Bagaimana kita bisa menghargai perjalanan unik setiap individu dalam perjalanan hidupnya; (d) Bagaimana kita bisa menginspirasi siswa kita untuk berkembang menjadi manusia dewasa. Dan bukankah tujuan utama sekolah adalah untuk mendidik siswa menjadi manusia seutuhnya dimana kegiatan belajar perlu dilakukan demi belajar itu sendiri. Pendidikan memburu nilai atau pembelajaran berbasis prestasi akademik memandang tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong dan memfasilitasi kemampuan siswa meraih nilai tinggi dan nilai test terstandar dalam pelajaran sekolah, terutama pembelajaran yang termasuk bagian inti kurikuluum yang diuji nasionalkan. Guna memahami lebih jauh tentang sistem pendidikan memburu nilai dikemukakan beberapa asumsi yang mendasarinya, yakni sebagai berikut; (a) muatan akademik dan ketrampilan adalah yang paling penting untuk dipelajari. Edward L. Thondike mengatakan,hanya sains yang dapat menyelamatkan pendidikan dan masyarakat, dan penelitian kuantitatif yang lebih bisa diandalkan dibanding penelitian kualitatif atau pengamatan naturalistik; (b) penilaian prestasi dilakukan melalui angka dan tes standar (kuantitatif). Prestasi sebagai tindakan meraih, menyelesaikan atau mencapai dengan usaha: penyelesaian, pencapaian, dan kinerja yang sukses; (c) cenderung pada

kurikulum akademik yang ketat, seragam, dan wajib bagi semua siswa; (d) berorientasi pada masa depan atau tidak dinilai demi belajar itu sendiri; (e) bersifat selalu membandingkan, baik antar siswa, sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan negara, bukan melihat pada perubahan yang terjadi sejalan ruang dan waktu; (f) mengklaim pada penelitian ilmiah, dan rekomendasi uji coba terkendali; (g) umumnya terjadi di lingkungan atas, yakni individu dengan kekuatan politik yang lebih besar menerapkan program, prosedur dan kebijakan pada individu yang lebih lemah. Kebanyakan dorongan pembelajaran berbasis prestasi akademik bukan berasal dari pendidik yang bekerja di ruang kelas, melainkan dari individu dengan kekuatan politik besar. Mereka juga menciptakan lingkungan yang membuat staf di bawah mereka terpaksa berbicara dengan bahasa yang sama. Pertanyaan sering muncul; Berapa Nilai Ujianmu Kemarin; (h) inti pembelajaran berbasis prestasi akademi adalah peringkat, nilai ujian, dan akhirnya uang. Yang selalu harus diingat adalah; Bukankah kita semua ingin para siswa bekerja keras, belajar banyak, mendapat nilai bagus, dan menjadi seorang yang berguna dalam hidupnya. sumber : http://umum.kompasiana.com/2010/04/16/meneladani-sistem-pendidikan-dinegara-maju/

Walaupun gituh, ane tetep silakan komen gan

sistem pendidikan di Indonesia saat ini


by Kalimantan Barat 1 Aji Bagus Perdana - Parlemen Muda on Monday, October 31, 2011 at 12:56pm

Oke, saya ingin menuliskan sesuatu disini. Sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan yang memang sudah menjadi tugas dalam kampanye para calon kandidat Parlemen Muda. Disini saya tidak akan menjelaskan mengenai pendidikan di bidang anggaran, ataupun sarana dan prasarana. Saya disini ingin lebih menjelaskan dimana sebenarnya manusia itu mulai terdidik. Oke, langsung check it out aja deh ya. Yang saya ingin bicarakan disini adalah sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Indonesia dalam sistem pendidikannya menganut sistem kurikulum. Ya, dari TK hingga SMA bahkan ke jenjang kuliah sekalipun sistem pendidikannya hamper sama, yaitu berbasis kurikulum. Sistem kurikulum disini, mengharuskan seorang anak didik untuk mampu mencapai semua hal yang dicantumkan dalam kurikulum demi mendapatkan nilai yang bagus. Nilai yang bagus disini adalah nilai yang berupa angka, yang diberikan oleh sang pendidik kepada anak muridnya. Semakin tinggi nilai mereka, maka mereka dianggap pintar oleh pendidik mereka, dan juga teman-teman mereka. Benarkah itu? mari kita buktikan. Sistem pendidikan berbasis kurikulum saat ini mengharuskan seorang anak menghapal semua materi yang ada dalam kurikulum tersebut, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka. Kita pasti tahu kan bahwa kemampuan tiap anak pastinya beda-beda. Mereka mempunyai minatnya masing-masing. Namun, dalam sistem pendidikan berbasis kurikulum disini menyamakan cara dalam mengajar anak. Mengapa saya bilang mengajar? Karena kebanyakan disetiap institusi pendidikan di Indonesia melakukan tindak pengajaran, bukan tindak pendidikan. Melanjutkan yang tadi, setiap anak memiliki minat dan kemampuan yang beda-beda, dan apakah mereka harus diperlakukan sama dalam mengajar mereka? Tentu saja tidak. Mungkin saja ada banyak dari mereka yang tidak bisa menerima pelajaran yang diajarkan pendidik mereka. Dan mereka yang dapat menerima pelajaran tersebut, dan sering mendapat nilai yang tinggi, dianggap sebagai anak yang pintar. Salah! Setiap anak memiliki kepintaran di bidang mereka masing-masing. Misalnya, ada yang pintar dalam bidang olahraga, kesenian, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Namun, mengapa masih saja mereka yang tidak mampu dalam pelajaran di sekolah dianggap kurang pintar oleh teman-teman mereka bahkan juga guru mereka? Saya disini tidak ingin menyalahkan sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Tapi, cobalah kita sedikit membuka mata kita masing-masing. Maaf, di Indonesia, orang yang memiliki kreativitas kurang dihargai disini. Malah mereka yang memiliki nilai yang tinggi di sekolah dianggap sebagai orang yang pintar, dengan masa depan yang cerah. Padahal belum tentu. Saya pernah membaca sebuah artikel di salah satu blog yang saya kunjungi, ada cerita mengenai anak si penulis yang padahal masih TK sudah diharuskan menghapal nama menteri dari tiap-tiap Negara, anggota parlemen dan yang berhubungan dengan sistem pemerintahan. Miris. Anak sekecil itu yang seharusnya menikmati masa kecilnya di TK, malah diharuskan menghapal sekian banyaknya. Bukankah anak seumur itu seharusnya tidak dibebani dengan hal-hal semacam itu. Akibatnya, si anak penulis cerita tersebut berubah menjadi anak yang murung, dan kelihatan sangat stress. Padahal pada saat mulai masuk sekolah, ia sangat ceria dan sering bercerita mengenai kegiatan apa saja yang dilakukannya disekolah. Dulu saja saya sewaktu TK, jangankan menghapal nama menteri, menulis saja saya masih acak-acakan. Tapi

yang saya dapat adalah kesenangan saat masa kecil. Masa kecil itu seharusnya tidak dibebani dengan hal-hal yang berat. Ujung-ujungnya, mereka tidak bisa berkreasi dengan apa yang mereka punya di dalam otak mereka. Saya punya sebuah cerita. Cerita ini memang tidak saya buat sendiri. Namun cerita ini sangat menyentuh hati saya. Di suatu sekolah di Indonesia, terdapat sekolah untuk para binatang dengan status disamakan dengan manusia. Kepala sekolahnya sendiri adalah seorang manusia. Karena statusnya yang disamakan dengan manusia, maka kurikulumnya pun juga harus disamakan dengan manusia. Dalam kurikulum tersebut, terdapat 5 mata pelajaran pokok, yaitu terbang, berenang, memanjat, berlari dan menyelam. Dan di setiap mata pelajaran tersebut harus mendapat nilai minimal 8. Di sekolah tersebut, ada beberapa murid yang sangat unggul, yaitu elang, katak, tupai, kuda, dan bebek. Elang sangat unggul dalam pelajaran terbang. Ia dapat terbang dengan cepat dan tak ada hewan lain yang mampu menyamai keunggulan terbangnya. Beda halnya dengan si Katak. Ia sangat mahir dalam menyelam. Dengan gayanya yang khas dalam menyelam, dengan cepat ia bisa sampai di seberang kolam dengan cepat. Tupai sendiri sangat mahir dalam memanjat. Ia dapat dengan cepat dan lincah berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Lain halnya dengan si Bebek, ia sangat hebat dalam berenang. Kepiawaiannya dalam berenang membuatnya mampu mengitari kolam yang ada di sekolah itu dengan gaya berenangnya yang khas. Sedangkan si Kuda, ia sangat hebat dalam berlari. Larinya sangat kencang dan tak ada yang mampu menandinginya. Namun, disinilah kekacauan mulai terjadi. Dalam sistem kurikulum, setiap murid diwajibkan lulus dalam tiap materi pokok dengan nilai minimal 8. Mulailah si Elang belajar berlari, memanjat, berenang dan menyelam. Ia sudah berusaha maksimal dalam pelajaran berenang dan menyelam, namun selalu saja gagal. Bahkan, pernah suatu waktu si Elang hamper kehabisan nafas saat mengikuti pelajaran menyelam. Begitu juga dengan tupai, karena ingin memenuhi standar kurikulum, ia juga belajar terbang. Alhasil, bukan terbang yang ia dapat, melainkan tubuhnya yang memar sana sini karena selalu jatuh saat mencoba terbang. Lain halnya lagi dengan Bebek. Ia berusaha maksimal untuk bisa memanjat pohon seperti yang bisa dilakukan si Tupai. Namun apa daya, bulu-bulunya rontok satu demi satu dan memar disana sini karena selalu jatuh saat mencoba memanjat. Begitu juga dengan hewan lainnya. Semuanya selalu gagal dalam mencoba memenuhi standar kurikulum yang harus dipenuhi. Meskipun sudah susah payah belajarnya, tapi tidak menampakkan hasil yang baik. Yang menyedihkan adalah, karena terlalu terfokus untuk berhasil pada pelajaran yang tidak disukainya, si Elang perlahan-lahan mulai kehilangan kemampuan terbangnya, si Tupai sudah lupa caranya memanjat, si Bebek tidak dapat lagi berenang dengan baik, karena sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek-robek karena berlatih memanjat, dan si Katak tidak mampu lagi menyelam karena keseringan jatuh saat pelajaran terbang. Dan yang paling

menyedihkan adalah si Kuda. Ia tak mampu lagi berlari kencang karena paru-parunya selalu kemasukan air saat mencoba belajar menyelam. Akhirnya, tak ada satupun dari mereka yang lulus dalam sekolah tersebut. Dan bahkan yang lebih menyedihkan lagi, mereka kehilangan kemampuan alamiah mereka saat keluar dari sekolah tersebut. Mereka tidak bisa hidup lagi di lingkungan dimana mereka dulu tinggal. Ya, kemampuan mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum sekolah tersebut. Akhirnya, satu persatu dari mereka pun akhirnya mati kelaparan, karena mereka tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan unggul yang dimilikinya. Jadi, sadarkah kita bahwa sebenarnya sistem pendidikan di Indonesia saat ini tidak jauh beda dengan sistem kurikulum pada cerita tadi. Mereka memiliki kemampuan yang unggul namun dipaksa untuk mampu pada pelajaran yang mereka tidak sukai juga. Jadi marilah kita ambil hikmahnya dalam cerita ini. Jadi, masihkah sistem pendidikan yang seperti ini dipertahankan?

Sistem Pendidikan Di Indonesia


Menurut Situs Wiki, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. John Dewey mewakili aliran filsafat pendidikan modern merumuskan Education is all one growing; it has no end beyond it self, pendidikan adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak punya tujuan akhir di balik dirinya. Dalam proses pertumbuhan ini anak mengembangkan diri ketingkat yang makin sempurna atau life long Education, dalam artian pendidikan berlangsung selama hidup. Pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengatarkan anak manusia kedunia peradaban. Juga merupakan bimbingan eksistensial manusiawi dan bimbingan otentik, supaya anak mengenali jati dirinya yang unik, mampu bertahan memiliki dan melanjutkan atau mengembangkan warisan sosial generasi terdahulu, untuk kemudian dibangun lewat akal budi dan pengalaman (Kartono, 1997:12). Di Indonesia pendidikan formal seperti SD,SMP,SMA,Universitas memang membuat murid didiknya menjadi lebih pintar tetapi belum tentu menjadi lebih expert. Ini dikarenakan terlalu banyak pelajaran yang harus di pelajari tetapi pelajaran tersebut belum terfokus kepada minat dari siswa itu sendiri. Mengapa? Kita lihat saja kurikulum di SMP-SMA, untuk UAN nya dulu pernah hanya terfokus kepada 3 mata pelajaran. Pelajaran tersebut adalah matematika, bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dan saat ini sudah menjadi 6 mata pelajaran di tambah mata pelajaran jurusan masing-masing. Selain 6 mata pelajaran yang di ujikan berarti mata pelajaran tambahan tidak perlu di pelajari karena tidak terfokus. Realitanya bahwa mata pelajaran yang di terima lebih dari mata pelajaran yang di fokuskan. Ini membuat siswa menjadi berat untuk mempelajari semua mata pelajaran yang ada. Kita lihat di perkuliahan, untuk lulus perkuliahan ada mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan, tetapi untuk setiap universitas, belum tentu ada kesamaan walau akreditasi sudah setingkat. Untuk mendapatkan gelar Sarjana di butuhkan kurang lebih sejumlah 152 SKS. Dan untuk skripsi boleh terfokuskan kedalam 1 mata kuliah. Yang jadi pertanyaan apakah mata kuliah pilihan itu sesuai dengan pilihan siswa atau malah dipilihkan??? Jika siswa sendiri yang memilih maka ia akan memilih sesuai dengan kemauannya dan tidak terbuang waktunya untuk belajar. Kesalahan terbesar dari sistem pendidikan adalah buta dan tuli terhadap kenyataan dan suara konsumen. Teman Saya sebagai salah satu korban pendidikan, sudah membuktikan bahwa dari begitu banyak tahun dan jam dihabiskan untuk belajar, pada akhirnya yang digunakan sangatlah rendah sekali persentasenya. Tidak sampai 10% padahal saya bekerja dibidang yang sesuai dengan sekolah saya. Bayangkan Insinyur sipil yang bekerja jadi marketing bank. Saya ingat ketika belajar di SD, begitu banyak pelajaran yang dianggap dasar yang berusaha dijejalkan dikepala kita. Ingatan kita dipaksa untuk menghafalkan berbagai data2 yang kita sendiri pada saat itu tidak tahu gunanya untuk apa. Saat mengambil master, malah saya tidak perlu menghafal segala sesuatu karena text book hanyalah menjadi referensi saja. Kenapa

pola belajar dan cara mencari tahu atau mencari ilmu dan menalar sesuatu, menganalisa sesuatu tidak diajarkan mulai SD? Mengapa justru SD doktrinasi begitu kencang? Bahkan ketika melakukan research untuk level doctorate, tidak semenderita anak2 SD yang dipaksa2 menghafal ( karena tidak sesuai fungsi otak) hal2 yang pada akhirnya hanya akan diingat 1-2% saja. Anda tahu tidak kuis yang mengadu orang dewasa dengan anak kelas 5 SD itu adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan doktrinasi itu terlalu ineffisien dan ineffective. Sekolah seharusnya mengajarkan kita logika, pola pikir bukan ilmu2 hafalan. Toh setelah tamat sekolah kita pasti sudah lupa semua atau lupa dalam waktu 3 hari setelah ujian selesai. Berapa perbandingan ilmu yang berguna dengan total ilmu yang kita pelajari? Banyak orang yang mendapatkan pekerjaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan jurusan mereka. Yang sekolah harus perhatikan justru bukan hasilnya tapi prosesnya karena kepribadian seorang anak itu dibentuk dari sekolah juga yaitu dari teman2nya, lingkungannya dan kegiatannya selama sekolah. Selain jejali otak anak2 dengan ilmu yang di miliki guru-nya, ada baiknya kurikulum membuka lebar kesempatan dan ruang untuk membebaskan anak bangsa dari belenggu kurikulum hafalan menjadi kurikukulum pengembangan inisiatif dan bakat. Kalau bisa, kurikulum yang sifatnya tidak membagi anak2 didik menjadi (stigma) anak pintar dan anak bodoh, padahal tak ada manusia yang bodoh tapi yang ada hanya berbeda bakat. Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Semua sistem yang hari ini berusaha diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia menimbulkan berbagai fenomena unik, mulai dari penolakan keras hingga kritik terhadap sistem tersebut. Dr.dr.B.M Wara Kushartanti (pemerhati pendidikan.red), mengungkapkan bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak membuat siswa kreatif karena hanya terfokus pada proses logika, kata-kata, matematika, dan urutan dominan. Akibatnya perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru. Pernyataan tersebut mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan proses pendidikan hari ini. Value Oriented yang dimaknai sebagai hasil akhir, bukan dari proses yang dilakukan, terkadang menjerumuskan paradigma pendidikan. Sehingga tak aneh ketika seorang sarjana dengan IPK Cum Laude tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan. Orientasi pada nilai cenderung mengesampingkan proses kreatifitas yang justru dibutuhkan ketika terjun di masyarakat. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Konsep yang coba untuk dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir berkebangsaan Brazil adalah proses pendidikan Sosial. Dalam hal ini, sistem pendidikan menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek. Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar dijadikan sebagai materi

pembelajaran. Proses ini mengantarkan terwujudnya dialektika dan kesadaran kritis dari tiap individu. Terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih berorientasi pada nilai akhir, maka konsep pendidikan kritis oleh Paulo Freire ini dapat merubah paradigma pendidikan tersebut. Perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada nilai agaknya perlu diikuti dengan perubahan sistem yang lebih humanis dan berkeadilan karena mengingat kembali bahwa tujuan yang diemban negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan pancasila. Pada akhirnya, pendidikan tak hanya dimaknai sekedar ajang mencari nilai bagus dan ijazah sebagai bentuk legitimasi. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia dan membentuk manusia yang beradab dan berkontribusi bagi peradaban bangsa.

Sebuah tulisan Pendidikan yang patut direnungkan


Prakata: Hari pertama UN mengingatkan saya akan sebuah tulisan dari teman di facebook. Pak AG. Eka Wenats Wuryanta. Lecturer at Paramadina University, Studied Media Regulation, Ph.D Candidate Media Regulation, Media Policy, Media Studies at University of Indonesia. Pendidikan terbaik di dunia? Bukan Harvard, bukan Amerika (untuk hal ini, gw setuju banget!!!. aew), juga bukan Inggris, apalagi Indonesia - melainkan Finlandia, negeri yang paling tidak korup di muka bumi ini. Hebatnya, Finlandia tak cuma jagoan mendidik anakanak normal, tapi juga unggul dalam pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Pendek kata, Finlandia berhasil membuat seluruh anak didiknya cerdas - tak peduli yang normal atau yang lemah mental. Finlandia mengalahkan 40 negara lain di dunia berdasar survei PISA yang dilakukan oleh OECD tahun 2003. Tes komprehensif dilakukan melalui pengukuran kemampuan mathematics, reading, science, dan problem solving yang nantinya ditujukan untuk peningkatan kualitas sistem pendidikan. Mau tahu di mana posisi Indonesia? Perolehan Skor Mathematics (rata-rata 484,84) * Hong Kong-China (550,38) * Finlandia (544,29) * Korea Selatan (542,23) * Belanda (537,82) * Liechenstein (535,80) * ..

* .. * Brazil (356,02) * Tunisia (358,73) * Indonesia (360,16) * Mexico (385,22) * Thailand (416,98) Reading (rata-rata 480,22) * Finlandia (543,46) * Korea Selatan (534,09) * Kanada (527,91) * Australia (525,43) * Liechtenstein (525,08) * .. * .. * Tunisia (374,62) * Indonesia (381,59) * Mexico (399,72) * Brazil (402,80) * Serbia (411,74) Science (rata-rata 487,77) * Finlandia (548,23) * Jepang (547,64) * Hong Kong-China (539,50) * Korea Selatan (538,43) * Liechtenstein (525,18)

* .. * .. * Tunisia (384,68) * Brazil (389,62) * Indonesia (395,04) * Mexico (404,90) * Thailand (429,06) Problem Solving (rata-rata 485,20) * Korea Selatan (550,43) * Hong Kong-China (547,89) * Finlandia (547,61) * Jepang (547,28) * Selandia Baru (532,79) * .. * .. * Tunisia (344,74) * Indonesia (361,42) * Brazil (370,93) * Meksiko (384,39) * Turki (407,53) Skor Total (rata-rata 484,51) * Finlandia (545,90) * Korea Selatan (541,29) * Hong Kong-China (536,83) * Jepang (531,79)

* Liechtenstein (528,87) * .. * .. * Tunisia (365,69) * Indonesia (374,55) * Brazil (379,84) * Meksiko (393,56) * Thailand (422,73) Resep Sukses Finlandia Dari segi anggaran, Finlandia agak sedikit lebih tinggi dari negara lain - walau bukan yang tertinggi. Kegiatan sekolah juga hanya 30 jam per minggu. Tapi guru-guru di Finlandia adalah pilihan dengan kualitas terbaik. Untuk menjadi guru jauh lebih ketat persaingannya ketimbang melamar Fakultas Hukum atau Kedokteran. Guru juga diberi kebebasan dalam kurikulum, text-book, hingga metode pengajaran dan evaluasi. Sistem pendidikan Finlandia memang unik. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan tapi untuk perbaikan. Orientasi dibuat untuk tujuan-tujuan yang harus dicapai. Penekanan ada di proses, bukan hasil. PR dan ujian tak musti dikerjakan dengan sempurna - yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Sejak awal, murid diajari bertanggung jawab mengevaluasi dirinya sendiri. Mereka didorong untuk bekerja secara independen. Guru tidak mesti selalu mengontrol mereka. Proses pembelajaran berjalan dua arah. Suasana sekolah boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel, dan menyenangkan. Namun efektif. Guru juga tak pernah mengkritik murid yang justru dinilai membuat murid malu dan menghambat proses pembelajaran itu sendiri. Murid boleh berbuat kesalahan, namun guru akan memintanya untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya. Memang tak ada sistem ranking di sini sehingga siswa merasa confident dan nyaman terhadap dirinya. Ranking dipandang hanya membuat guru berfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan ke seluruh murid. Finlandia sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Di Finlandia, perbedaan antara murid berprestasi baik dan murid yang kurang sangatlah kecil. Kata seorang guru di Finlandia, Kalau saya gagal dalam mengajar seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Sedangkan di Indonesia malah ada sejumlah guru dan kepala sekolah yang dengan bangga tidak menaikkelaskan anak didiknya. Gagal mendidik kok bangga.

Pendidikan di Indonesia Menikmati pendidikan belasan tahun di Indonesia membuat saya miris. Penilaian berorientasi hasil, bukan proses. Pembinaan mengabaikan EQ dan SQ. Isinya hafalan, cara cepat membabat soal, dan ilmu yang ketika diingat malah makin membuat lupa - tanpa penekanan soal pemikiran kritis dan pembentukan sikap mental positif. Trilogi dasar aspek pendidikan kognitif-psikomotor-afektif (sengaja?) diabaikan. Di Indonesia, kualitas guru di Indonesia juga masih (maaf) memprihatinkan. Lulusan sekolah menengah yang jempolan biasanya lari ke tempat yang mentereng: Ilmu Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Praktis, mereka yang masuk Ilmu Pendidikan adalah sisa yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit. Contoh lain adalah UAN yang baru saja lewat beberapa waktu lalu. Sesuai PP 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan. Namun banyak yang menilai UAN tak bermanfaat karena hanya mengkondisikan penyelewengan - demi anak didik dan sekolah terangkat citranya. Guru, kepala sekolah, dan bahkan pejabat daerah terlibat jadi tim sukses. Passing grade ditetapkan, tapi sarana, prasarana, dan sumberdaya belum terkondisikan. Begitu hasil jeblok, segala cara agar murid lulus, bukan dengan introspeksi. We want to look good, but didnt want to be really good. Sebagian menyayangkan jerih payah tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas diterima SPMB Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, tapi gagal dalam UAN. Murid cerdas justru terbebani mentalnya. Apalagi, andaikata tak lulus, mereka musti mengulang Paket C yang prestisenya kalah jauh. Dorongan belajar pada akhirnya justru sulit dibangkitkan dan hasil maksimal mustahil diperoleh. Di sisi lain, kualitas pendidikan memang sedemikian rendahnya. Dengan passing grade yang cukup rendah dibanding negara tetangga, masih banyak juga yang tidak lulus. Ketika ada wacana untuk menaikkan standar, protes di sana-sini. Solusinya? Mungkin kembalikan saja ke sistem Ebtanas lama yang dirasa lebih fair dan tidak mengundang banyak masalah sembari menunggu format UAN yang benar-benar pas buat negeri ini. Atau, sebelum UAN, misalnya sekolah mengadakan seleksi intern sehingga hanya benarbenar murid yang siap yang bisa mengikuti UAN. Atau, UAN dilakukan dengan beberapa passing grade: yang nilainya sekian bisa mendaftar S1, yang sekian hanya bisa mendaftar diploma, yang kurang bisa mengulang tahun depan. Di Singapura, hanya murid tertentu yang qualified yang bisa lanjut S1, sementara sisanya masuk ke program diploma/poltek (atau TAFE kalau di Australia). Atau, mencontek di negara maju, murid yang lulus UAN mendapat ijasah UAN, sementara yang tidak hanya memperoleh ijasah sekolah atau tanda tamat belajar. Di Inggris misalnya, setelah pendidikan wajib 16 tahun, murid bisa langsung kerja atau ambil A-Level selama dua tahun untuk persiapan kuliah. Di akhir program ada tes nasional dimana murid yang mendapat nilai A pada mata pelajaran utama bisa langsung masuk universitas favorit seperti Oxford, Cambridge, Imperial College, dan sebagainya. Yang jelas, jika KBK/KTSP diterapkan, kita semua musti konsisten. Evaluasi harus berdasarkan proses. UAN tak perlu dipaksakan sebagai penentu kelulusan. Tapi sejauh mana kesiapan kita (terutama di daerah) untuk menerapkannya? Itu PR kita bersama.

Conclusion Asumsikan 1 persen dari jumlah warga negara adalah jenius, maka seharusnya ada 2,2 juta orang berbakat di Indonesia. Masalahnya, bagaimana menemukan mereka, mengasah mereka, memberi mereka kesempatan, supaya mereka bisa mengembangkan potensinya. Indonesia bagus di fisika dan matematika. Indonesia juga jagoan badminton. Ada juga Crhisjon yang jago tinju. Ada juga anak pedagang rokok yang meraih juara dunia catur. Ada juga yang bisa menemukan ion motion control di elektrolit. Patut disayangkan mengapa pemerintah masih cuek dan belum piawai dalam mengasah intan mutu manikam. Hipotesis sementara saya, pendidikan informal (dalam hal ini keluarga) masih jadi unsur terpenting untuk membentuk pribadi yang unggulan selama pemerintah belum mampu membangun sistem pendidikan yang benar-benar mumpuni. Keluarga jugalah yang jadi benteng melawan budaya instan dan pengaruh negatif lingkungan. Dan hipotesis alternatif saya, murid-murid SMP-SMA tak seburuk yang ditulis di media. Pengaruh 18.00-21.00 yang jauh lebih kuat daripada masa studi 7.00-13.00 juga jadi salah satu faktor yang mendistorsi kualitas mereka sebenarnya. Wajar kalau di Finlandia, sewaktu istirahat para guru dan muridnya bermain LEGO robotic. Sementara di Indonesia, murid-murid lebih suka ngerokok, pacaran, atau tawuran sewaktu istirahat. Anyway, sekadar cerita di sebuah rumah sakit umum di Los Angeles, ada dua kamar bersalin yang saling bersebelahan. Yang satu adalah kamar VIP sementara kamar di sebelahnya kelas ekonomi dimana pasiennya negro. Hebatnya, semua diperlakukan dengan standar yang sama. Dokter dan suster melayani dengan tulus, menyambut kelahiran dengan bahagia, dan langsung menguruskan dokumen kelahirannya. Pemerintah federal juga memberikan susu dan makanan bayi selama 3 tahun. Kata mereka, orang tuanya sih boleh miskin dan uneducated, tapi si jabang bayi ini nggak boleh miskin dan nggak boleh uneducated. Sumber: 1. World Competitiveness Year Book 2. nofieiman.com 3. t4belajar.wordpress.com

fenomena ujian nasional


UN ( Ujian Nasional ) merupakan menjadi momok bagi para pelaku pendidikan baik siswa, orang tua , guru bahkan kepala daerah,salah satu output negatif ini adalah Kejadian mencontek massal yang terjadi di SDN Gadel 2 Surabaya,yang sedang menjadi pemberitaan di media massa. perilaku jujur sudah tidak di hargai lagi.Mungkin di karenakan tuntutan untuk lulus UN yang di anggap bila tidak lulus maka masa depan akan suram. Finlandia kini di anggap sebagai salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia jauh dia atas U.S menurut The Programme for International Student Assessment (PISA) :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Finland: 543 pts Singapore: 543 pts Korea: 541 pts Japan: 529 pts Canada: 526 pts New Zealand: 524 pts Australia: 518 pts Netherlands: 518 pts Switzerland: 517 pts Germany: 510 pts

20.France: 497 pts . 21USA: 496 pts Read more: http://www.bukisa.com/ Remaja Finlandia memiliki beberapa pikiran muda cemerlang di dunia, mendorong negaranegara lain untuk mencatat struktur yang unik pendidikan di Finlandia. Dalam sebuah artikel berjudul Apa yang Membuat Anak Jadi Pintar Finlandia? , jelas Ellen Gamerman bahwa sementara remaja dari Finlandia memiliki banyak kebiasaan sosial yang sama sebagai remaja Amerika Utara, seperti membuang-buang waktu di internet, bermain video game, dan mendengarkan musik metal, pada saat mereka mencapai sembilan kelas, mereka lebih fasih dalam membaca, sains, dan matematika dari kebanyakan siswa dari Amerika Serikat, Kanada, atau bangsa lain. Mengambil melihat lebih dekat bagaimana sistem pendidikan dijalankan di Finlandia mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang sangat dapat berkontribusi terhadap kesuksesan akademik negara tersebut.
Sistem Pendidikan Finlandia

Di sekolah di Finlandia, mereka sangat percaya bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang dapat di kontribusikan untuk masyarakat dan bahwa tidak ada siswa harus ditinggalkan kelas jika mereka mengalami kesulitan dengan mata pelajaran tertentu. Dengan filosofi ini, setiap kelas di Finlandia memiliki guru tambahan sebagai pembimbing dengan tujuan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan. . Salah satu hal yang unik dalam struktur pendidikan di Finlandia adalah bahwa tidak ada pemisahan institusional antara sekolah dasar dan sekolah menengah. Ini berarti bahwa, ketika

mereka menyelesaikan kelas delapan, siswa menghindari kaku karena harus beradaptasi ulang dengan lingkungan baru. Dan tidak seperti banyak negara lain yang mulai mengirim anak-anak mereka ke sekolah semuda mungkin, anak-anak di Finlandia tidak boleh bersekolah hingga umur 7 tahun, karena anak di bawah 7 tahun lebih senang bermain dan berinteraksi dengan dunia sekitar mereka. Hal ini juga di percaya bahwa dengan menyekolahkan anak sedikit lebih lama itu akan memastikan bahwa, ketika mereka akhirnya siap untuk menghadapi pelajaran di sekolah, mereka akan sangat antusias dan bersemangat untuk mulai belajar.
Lingkungan Belajar di Sekolah Finlandia

Sekolah di Finlandia, tidak menggunakan seragam, Semua hal-hal yang membantu untuk menciptakan lingkungan yang bebas stres di mana setiap orang dapat merasa nyaman belajar terlepas dari bakat mereka. Tidak ada lonceng , tidak ada valedictorians, tidak ada kelas untuk anak berbakat, tidak ada kelas untuk anak yang kurang, dan siswa mendapatkan jam peljaran yang lebih sedikit dan tidak ada PR. Sebaliknya, Finlandia mendedikasikan lebih banyak waktu untuk hobi, keluarga, dan kegiatan sosial, yang semuanya dapat mendidik dan menyenangkan.
Pengajaran di Finlandia

Sekolah dasar dan menengah digabungkan di Finlandia, para guru bersama siswa untuk sebanyak lima tahun. Selama waktu itu, guru,lebih mengenal siswa mereka dengan sangat baik dalam hal kepribadian mereka dan preferensi. Bahkan para guru sudah menganggap mereka sebagai ibunya di sekolah yang terus-menerus mengawasi pertumbuhan siswa saat mereka maju melalui tahap-tahap awal kehidupan mereka. Melalui metode ini menempatkan guru dengan siswa dalam jangka panjang, pendidik dapat menentukan keunggulan tiap-tiap siswa, dan juga dapat membantunya pada saat mereka dewasa Guru yang baik adalah tulang punggung pendidikan yang baik dan, di Finlandia semua guru diwajibkan untuk telah menyelesaikan setidaknya gelar master. individu-individu berbakat berusaha untuk menjadi guru karena, itu adalah pekerjaan yang terhormat dan mendapatkan gaji yang baik. Faktor yang mungkin memberikan kontribusi untuk negara konsisten mendapatkan nilai tes yang lebih tinggi daripada semua negara maju lainnya.
Dapatkah Negara Lainnya Mengadopsi Strategi Pendidikan Finlandia?

Sayangnya, struktur pendidikan Finlandia mungkin tidak begitu mudah ditiru oleh negaranegara lain karena aturan yang mereka telah menempatkan ada sangat banyak hasil dari atmosphere.One budaya yang unik satu alasan mengapa anak-anak tidak menghadiri kelaskelas sampai usia 7 karena membaca sangat populer di Finlandia dan orang tua sering mengajarkan anak-anak mereka membaca pada usia dini. Orang tua juga memiliki jam kerja yang lebih fleksibel, yang berarti mereka dapat tinggal di rumah dan menjaga anak-anak mereka di siang hari jika diperlukan. Finlandia memiliki tingkat yang relatif rendah imigrasi.Di finlandia mereka hanya menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa finlandia sebagai bahasa pengantar.

Pada akhirnya, tidak ada faktor tunggal yang dapat disorot sebagai kunci keberhasilan pendidikan Finlandia. Namun, ide mempekerjakan hanya guru berpendidikan tinggi yang berkomitmen untuk mengajar siswa selama beberapa tahun dalam lingkungan yang bebas stres terdengar santai dan yakin seperti sebuah strategi yang mungkin untuk menghasilkan hasil yang positif dari negara manapun. Sumber : Beberapa Pelajaran untuk Belajar dari Sistem Sekolah Finlandia . Diperoleh April 14, 2010, from http://www.openeducation.net/2008/03/10/several-lessons-to-be-learned-from-thefinnish-school-system/ Finlandia adalah # 1 . Diperoleh April 14, 2010, from http://www2.scholastic.com/browse/article.jsp?id=3749880

Artikel: Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan


Judul: Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION SYSTEM. Nama & E-mail (Penulis): Ameliasari Tauresia Kesuma, SE Saya Guru di MAN Salatiga Topik: Sistem Pendidikan Indonesia Tanggal: 13 Agustus 2006 SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA MEMPRIHATINKAN Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya. Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa. Terus terang dalam hal ini saya lebih senang menyalahkan sistem pendidikan Indonesia, sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stress yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandardisasi. Saya yakin Allah menciptakan manusia tidak ada yang bodoh, yang ada adalah kita terlambat mengetahui kecenderungan kompetensi mereka, dari kecil mereka sudah dikondisikan kalau tidak boleh dibilang dipaksa, untuk melakukan atau mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan psikologi mereka. Menurut saya mendidik adalah mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupan nyata, kehidupan nyata adalah kehidupan dimana mereka sudah tidak lagi bergantung pada orang tua, kehidupan dimana mereka dapat menyelesaikan sendiri segala masalah yang mereka hadapi dengan bijaksana. Saya jadi ingat petikan tulisan pada buku "Sekolah itu Candu": Pendidikan harus berorientsi kepada pengenalan realitas, yang obyektif maupun subyektif karena kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah fungsi dialektis dalam diri

manusia sehubungan dengan kenyataan yang sering bertentangan yang harus dipahami dan dihadapinya. Proses pendidikan adalah memanusiakan manusia. Kembali lagi dengan masalah UN, kompetensi manusia tidak bisa distandardisasi dan di rangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kalaupun mau dipaksakan ada standardisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu, standardisasi dikenakan pada kelompok yang memiliki kompetensi dasar sama, itu baru adil. Sesungguhnya banyak sekali pemerhati pendidikan di Indonesia yang sudah menyadari hal ini, banyak sekali tulisan-tulisan mereka, baik pada artikel-artikel pendidikan, bahkan buku-buku pendidikan, namun pemerintah seolah menutup mata akan ide-ide cemerlang mereka. Sistem pendidikan kita adalah alat pemuas kebutuhan pemerintah, dan orang tua, bukan sistem yang dibuat sesuai kebutuhan siswa. Siswa secara tidak sadar dibelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang ditanamkan orang tua dan pemerintah bahkan guru, padahal mereka manusia merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-anak mereka, seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya. Menarik rasanya membaca tulisan Roem ini: "Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang". Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya. Tidak bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk mencari gelar??. Pada siswa, pertama kali yang saya tanyakan ketika masuk kelas adalah apa kesukaan mereka dan apa keinginan mereka, berbagai macam jawaban terlontar disana, dan sebagian besar dari mereka memiliki keinginan yang ditentang oleh orang tua. Memprihatinkan bukan? Ada seorang siswa saya yang suka kebut-kebutan di jalan, dimarahilah dia habis-habisan? Pernahkan orang tua menanyakan mengapa mereka melakukan itu? Siswa saya ini sebenarnya sangat mahir memodifikasi motor. Sesungguhnya bisa khan orang tua berdiskusi mencari solusi terbaik, tanpa memarahinya habis-habisan. Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Indonesia harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masingmasing siswa, bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. Ubo rampe yang lain seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.

Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu, tidak mengapa karena memang banyak yang tidak tahu bahwa peringkat pertama untuk kualitas pendidikan adalah Finlandia. Negara dengan ibukota Helsinki (tempat ditandatanganinya perjanjian damai antara RI dengan GAM) ini memang begitu luar biasa. Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia? Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya. Finlandia tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu. Apa gerangan kuncinya? Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran! Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok dari siswa dengan kualitas seadanya. Beberapa mahasiswa di Indonesia malah memilih fakultas keguruan sebagai alternatif terakhir. Mereka ini dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula. Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan serta pelatihan dari dosen yang juga berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri.Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui

kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas.Guru tidak harus selalu mengontrol mereka. Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Disini guru tidak mengajar dengan metode ceramah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan. Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan Kamu salah pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem rankingrankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Rankingrankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab

Anda mungkin juga menyukai