Anda di halaman 1dari 4

Nilai Angka Bukan Hasil Akhir Dari Pendidikan

Pendidikan Sekarang, Berakhir Pada Angka


Pendidikan (dalam bahasa Inggris; education) berasal dari Bahasa Latin, Edukere
yang bermakna menarik keluar potensi, minat, dan bakat seseorang agar memiliki kompetensi
dan berdaya guna dalam kehidupannya.
Pendidikan di Papua masih sentralistis dan bermodel automaton. Hal ini dikutip dari
pendidik, pegiat sejarah, dan ketua Lembaga Pendidikan Papua (LPP), Longginus Pekei,
dalam artikelnya, Pendidikan Mencerdaskan yang dimuat di Majalah Selangkah cetak edisi
13, Oktober-Desember 2008.
Menurut Pekei, pendidikan di Papua menampakan diri sebagai alat propaganda dogma
penguasa, agama, dan negara sehingga tidak mencerdaskan orang Papua. Hal ini yang
membuat orang Papua miskin, pemalas, karena pendidikan gaya sentralistik ini menanamkan
ketergantungan.
Menurut Pekei juga, banyak intelektual Papua saat ini tidak menyikapi dan mesiasati
kehidupannya dan kehidupan bangsanya dengan baik, takut-takut, karena berasal dari
pendidikan yang automaton dan sentralistik, yang menjadikan dirinya intelektual pengabdi
ideologi penguasa yang lupa siapa dirinya.
Dalam kontek ini, mereka yang berpangku jabatan dan kepentingan mengontrol
sistem pendidikan di Indonesia. Peserta didik dipaksa untuk mengabdi ideologi para
penguasa. Pendidikan yang tersistem diterapkan dengan model pemaksaan halus di Papua.
Menyoalkan pendidikan, berarti kita tidak boleh melebihi dan meluari arti pendidikan
itu sendiri. Jika dianalisa, pendidikan di Papua menganut kurikulum yang jauh dari arti
pendidikan

itu sendiri. Nilai angka, angka, dan angka memaksakan dan menentukan

keberhasilan perserta didik di Papua. Kontek ini terkait cacatan ketua LPP tadi.
Sekarang yang menjadi problematik dan esensial untuk saya soroti adalah ketika angka
mulai mengukur hasil akhir pendidikan, bagaimana progres peserta didik? Apakah hasil akhir
dari pendidikan yang sebernarnya?

Ketika Angka Mulai Mengukur Hasil Akhir Pendidikan, Bagaimana Progres Peserta
Didik?
Kebanyakan pendidik bahkan peserta didik berpikir dan berasumsi bahwa nilai angka
merupakan prioritas di dunia pendidikan. Nilai angka pelajaran maupun mata kuliah yang
digunakan untuk memenuhi standar kurikulum baku, sebenarnya bukan prioritas. Toh, tugas
utama peserta didik dalam sebuah institusi pendidikan adalah mengakses, menginterpretasi,
mengkritik, mengkreasi, dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengembangkan
kapasitasnya. Selain itu, sebuah institusi pendidikan juga membantu tugas utama perserta
didik dengan memfasilitasinya serta mampu mengasah kedewasaan peserta didik dengan
pengalaman-pengalaman yang hendak membuat peserta didik memiliki banyak pengetahuan
akan kapasitas tadi, seperti potensi, minat, dan bakat.
Pendidikan di Papua menganut sistem pendidikan yang ditentukan angka. Keberhasilan
dan kelulusan perserta didik ditentukan angka-angka yang tertera di rapor ataupun ijazah.
Nilai angka juga menentukan penerimaan peserta didik di kebanyakan sekolah. Seharusnya,
hal ini tidak perlu dilakukan. Sekolah musti melakukan tes masuk tanpa didiskriminisasi
berdasarkan angka-angka yang tertera di ijazah ataupun rapor. Bahkan, kita belum
mengetahui, apakah nilai angka ini bisa dipertanggung jawabkan ketika peserta didik diuji
kualitas dan kapasitasnya.
Pendidikan di Indonesia juga belum berani mendobrak tatanan kurikulum menjadi
institusi pendidikan yang sesuai dengan pengertian pendidikan itu sendiri. Selain itu,
kondisi pendidik masih berbaur dan bertahan dengan pemujaan angkaangka nilai pelajaran
maupun mata kuliah standar pendidikan. Sebenarnya, pemuja angka nilai tersebut belum siap
dengan kenyataan bahwa makna pendidikan itu sendiri tidak terletak pada angkaangka,
tetapi pada potensi, minat, dan bakat seseorang agar kompeten di suatu bidang kehidupan.
Jika begitu, bagaimana progres peserta didik, ketika angka mulai mengukur pendidikan
di republik ini? Ketika angka mulai mengukur pendidikan, akan terpatri dalam benak peserta
didik yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk mengejar
nilai angka, bukan belajar saat proses. Pemahaman, pengalaman, dan pengetahuan yang
lengkap akan didapat ketika kita belajar saat proses. Saat proses, kita akan merasakan
dengan lengkap arti pendidikan yang sebenarnya. Jatuh, bangkit, dan berdiri merupakan soal

biasa, ketika kita menghargai dan terpaku pada belajar saat proses. Dengan berbagai
pengalaman yang ada, pasti ada kesalahan. Kita bisa belajar dari kesalahan itu. Belajar
mengenal arti kehidupan sosok peserta didik yang sebenarnya. Ini terjadi akibat sistem
pendidikan Indonesia yang sentralistis dan bermodel automaton.

Apakah Hasil Akhir Dari Pendidikan Yang Sebernarnya?


Sekolah merupakan sebuah instansi yang mengarahkan peserta didik menuju sebuah
sikap life skills. Menurut Dr. Yoyon Ihtiar Iriant, M.Pd., pendidikan life skills berpegang pada
prinsip belajar untuk memperoleh pengetahuan (learning to getting the knowledges), belajar
untuk dapat berbuat/bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi orang yang berguna
(learning to be) dan belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain (learning to live
together).
Kelima pendidikan life skills mendukung dan sejalan tugas utama perserta didik.
Pendidikan life skill akan mengasah kedewasaan peserta didik dengan menggali dan
mengembangkan kapasitas peserta didik; potensi, bakat, dan minat. Hasil akhir sebuah
pendidikan yang sebernarnya adalah sikap life skill. Toh, nilai angka tidak mempertanggung
jawabkan kita ketika berada dalam dunia kerja. Bahkan, nilai angka tidak menjawab keluhkesah masyarakat. Nilai angka hanya sekedar formalitas di atas kertas. Pendidikan life skill
akan menjawab kapasitas, kebijaksanaan, serta kewibawaan kita saat berada di dunia kerja
bahkan keluh-kesah masyarakat.
Selain itu, kasih sayang dan cinta kasih sayang sangat diperlukan dalam memulai dan
memproses, bahkan menyukseskan pendidikan berbasis life skill. Rasa kasih sayang dan cinta
kasih perlu ditanamkan selama pendidik mengajar. Peserta didik juga perlu menanamkan rasa
kasih sayang dan cinta kasih dalam menerima pengetahuan.
. Menurut salah seorang penebar inspriasi mendidik, Een Sukaesih, dasar pendidikan
adalah kasih sayang dan cinta kasih yang tulus. Jika guru sudah kehilangan kasih sayang pada
murid, maka saat itulah pendidikan mulai kehilangan jati dirinya.
Ibarat kita ketika berpacaran, kita memberikan rasa sayang, cinta, bahkan hati kepada
sang kekasih. Sehingga, hati dan pikiran terfokus pada si dia. Begitu halnya dengan

pendidikan berbasis life skill yang ditanamkan dengan rasa kasih sayang dan cinta kasih.
Sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk transfer ilmu pengetahuan yang berakhir dan
ditentukan pada nilai dalam bentuk angka. Sekolah juga dapat memiliki peran dalam
membentuk karakter peserta didik. Lebih esensial lagi, sekolah adalah sebuah tempat yang
seharusnya penuh dengan makna kasih sayang. Jangan sekolah dengan penuh kewajiban
sana-sini! Tetapi, bagaimana sekolah itu bisa menanam dan menumbuhkan kasih sayang
dan cinta kasih dalam proses belajar dan mengajar.
Di sisi lain, ketua Lembaga Pendidikan Papua (LPP), Longginus Pekei, dalam
artikelnya Pendidikan Mencerdaskan mengungkapkan bahwa letak pendidikan sebenarnya
di Papua adalah pendidikan yang mencerdaskan: pendidikan yang akan membantu anak
Papua memahami diri dan kehidupannya (siapa dirinya, bangsanya, kehidupannya saat ini,
dinamika masa lalunya) dan memahami taktik menyiasati dan meyikapinya bersama-sama
semua masalah kolektif tersebut sebagai satu bangsa. Seperti yang dicetuskan Paulo Fraire,
pendidikan kembebasan bagi kaum tertindas.
Dengan demikian, pendidikan yang sebernarnya yang musti diresapi dan disikapi
pendidik dan peserta didik adalah pendidikan berbasis life skiil yang dibubuhi kasih sayang
dan cinta kasih. Pendidikan yang sebernarnya di Papua juga adalah pendidikan yang
mencerdaskan; memahami, menyiasati, dan menyikapi kehidupan sejalan dengan pendidikan
kembebasan bagi kaum tertindas. Semoga .... (Aten Pekei)

*) Penulis adalah penulis pemula Black Koteka

Anda mungkin juga menyukai