itu sendiri. Nilai angka, angka, dan angka memaksakan dan menentukan
keberhasilan perserta didik di Papua. Kontek ini terkait cacatan ketua LPP tadi.
Sekarang yang menjadi problematik dan esensial untuk saya soroti adalah ketika angka
mulai mengukur hasil akhir pendidikan, bagaimana progres peserta didik? Apakah hasil akhir
dari pendidikan yang sebernarnya?
Ketika Angka Mulai Mengukur Hasil Akhir Pendidikan, Bagaimana Progres Peserta
Didik?
Kebanyakan pendidik bahkan peserta didik berpikir dan berasumsi bahwa nilai angka
merupakan prioritas di dunia pendidikan. Nilai angka pelajaran maupun mata kuliah yang
digunakan untuk memenuhi standar kurikulum baku, sebenarnya bukan prioritas. Toh, tugas
utama peserta didik dalam sebuah institusi pendidikan adalah mengakses, menginterpretasi,
mengkritik, mengkreasi, dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengembangkan
kapasitasnya. Selain itu, sebuah institusi pendidikan juga membantu tugas utama perserta
didik dengan memfasilitasinya serta mampu mengasah kedewasaan peserta didik dengan
pengalaman-pengalaman yang hendak membuat peserta didik memiliki banyak pengetahuan
akan kapasitas tadi, seperti potensi, minat, dan bakat.
Pendidikan di Papua menganut sistem pendidikan yang ditentukan angka. Keberhasilan
dan kelulusan perserta didik ditentukan angka-angka yang tertera di rapor ataupun ijazah.
Nilai angka juga menentukan penerimaan peserta didik di kebanyakan sekolah. Seharusnya,
hal ini tidak perlu dilakukan. Sekolah musti melakukan tes masuk tanpa didiskriminisasi
berdasarkan angka-angka yang tertera di ijazah ataupun rapor. Bahkan, kita belum
mengetahui, apakah nilai angka ini bisa dipertanggung jawabkan ketika peserta didik diuji
kualitas dan kapasitasnya.
Pendidikan di Indonesia juga belum berani mendobrak tatanan kurikulum menjadi
institusi pendidikan yang sesuai dengan pengertian pendidikan itu sendiri. Selain itu,
kondisi pendidik masih berbaur dan bertahan dengan pemujaan angkaangka nilai pelajaran
maupun mata kuliah standar pendidikan. Sebenarnya, pemuja angka nilai tersebut belum siap
dengan kenyataan bahwa makna pendidikan itu sendiri tidak terletak pada angkaangka,
tetapi pada potensi, minat, dan bakat seseorang agar kompeten di suatu bidang kehidupan.
Jika begitu, bagaimana progres peserta didik, ketika angka mulai mengukur pendidikan
di republik ini? Ketika angka mulai mengukur pendidikan, akan terpatri dalam benak peserta
didik yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk mengejar
nilai angka, bukan belajar saat proses. Pemahaman, pengalaman, dan pengetahuan yang
lengkap akan didapat ketika kita belajar saat proses. Saat proses, kita akan merasakan
dengan lengkap arti pendidikan yang sebenarnya. Jatuh, bangkit, dan berdiri merupakan soal
biasa, ketika kita menghargai dan terpaku pada belajar saat proses. Dengan berbagai
pengalaman yang ada, pasti ada kesalahan. Kita bisa belajar dari kesalahan itu. Belajar
mengenal arti kehidupan sosok peserta didik yang sebenarnya. Ini terjadi akibat sistem
pendidikan Indonesia yang sentralistis dan bermodel automaton.
pendidikan berbasis life skill yang ditanamkan dengan rasa kasih sayang dan cinta kasih.
Sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk transfer ilmu pengetahuan yang berakhir dan
ditentukan pada nilai dalam bentuk angka. Sekolah juga dapat memiliki peran dalam
membentuk karakter peserta didik. Lebih esensial lagi, sekolah adalah sebuah tempat yang
seharusnya penuh dengan makna kasih sayang. Jangan sekolah dengan penuh kewajiban
sana-sini! Tetapi, bagaimana sekolah itu bisa menanam dan menumbuhkan kasih sayang
dan cinta kasih dalam proses belajar dan mengajar.
Di sisi lain, ketua Lembaga Pendidikan Papua (LPP), Longginus Pekei, dalam
artikelnya Pendidikan Mencerdaskan mengungkapkan bahwa letak pendidikan sebenarnya
di Papua adalah pendidikan yang mencerdaskan: pendidikan yang akan membantu anak
Papua memahami diri dan kehidupannya (siapa dirinya, bangsanya, kehidupannya saat ini,
dinamika masa lalunya) dan memahami taktik menyiasati dan meyikapinya bersama-sama
semua masalah kolektif tersebut sebagai satu bangsa. Seperti yang dicetuskan Paulo Fraire,
pendidikan kembebasan bagi kaum tertindas.
Dengan demikian, pendidikan yang sebernarnya yang musti diresapi dan disikapi
pendidik dan peserta didik adalah pendidikan berbasis life skiil yang dibubuhi kasih sayang
dan cinta kasih. Pendidikan yang sebernarnya di Papua juga adalah pendidikan yang
mencerdaskan; memahami, menyiasati, dan menyikapi kehidupan sejalan dengan pendidikan
kembebasan bagi kaum tertindas. Semoga .... (Aten Pekei)