Anda di halaman 1dari 18

KONSELING BAGI ANAK BERBAKAT

Priyanto
NIM: 74-121-0-1228

Manusia tercipta dengan sangat beragam. Masing-masing bersifat unik.


Tidak ada satupun yang sama dengan lainnya. Beberapa di antaranya diberi karu-
nia berupa kapasitas yang lebih dari yang lainnya, terutama dalam bidang kecer-
dasan/intelektual yang kemudian kita sebut dengan berbakat. Dalam beberapa
penelitian (Feldhusen, 1979; Havigurts,1961 dalam Muhid, 2011; Sunardi, 2008;
Sutratinah, 1984) disebutkan bahwa anak-anak berbakat mencapai 1%-5% dari
total populasi. Haris (2008) mengutip hasil temuan Balitbang Departemen Pendi-
dikan Nasional pada tahun 1994 diperkirakan hanya 2-5% dari anak Indonesia
yang berbakat.
Anak berbakat memiliki kebutuhan yang unik dan menantang. Kemampu-
an luar biasa mereka mengisyaratkan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk
berkembang dan tumbuh lebih dari yang bisa diharapkan dari anak seusia mereka.
Namun tidak semua anak berbakat mampu menunjukkan prestasinya. Meski su-
dah diidentifikasi sebagai anak berbakat, mereka tidak secara otomatis dapat ber-
kembang sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
Anak berbakat, sama seperti yang lain, cukup rentan terhadap masalah so-
sial dan emosional. Terutama pada masa kanak-kanak dan remaja (Pfeiffer dan
Stocking dalam Turki dan Al Qaisy, 2012). Bahkan karena bakatnya atau angga-
pan bahwa ia berbakat cukup membuat anak-anak berbakat ini menjadi lebih bere-
siko dalam masalah sosial dan emosional mereka (Neihart, Tannenbaum dalam
Turki dan Al Qaisy, 2012). Karakter unik yang sering dikaitkan dengan anak ber-
bakat seperti halnya sensitivitas dan intensitas emosi, persepsi, overexcitabilitas,
divergent thinking, dewasa dini, perkembangan yang cepat, membuat masalah so-
sial yang mereka hadapi jadi lebih rentan. Banyak penelitian menyebutkan bahwa
beberapa masalah yang sering dihadapi oleh anak berbakat antara lain: program
pendidikan yang kurang sesuai, perkembangan yang tidak sinkron, kesulitan men-
cari teman yang sesuai, penyesuain diri pada kelompok sebaya, bahkan kesulitan
memenuhi tugas sekolah (Colangelo & Assouline, Coleman & Cross, Fiedler,

1
Hebert, Long & Neumiester, Meckstroth, Neihart, dalam Jarosewich & Stocking,
2003).
Fenomena tersebut di atas mengisyaratkan bahwa guna optimalisasi poten-
si mereka, dibutuhkan program layanan pendidikan khusus.

Layanan Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia


Dalam sistem pendidikan nasional kita, UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal (5) ayat (4) menyatakan bahwa: “Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus”. Istilah “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa” merujuk pada anak berbakat. Dalam pasal lain, yaitu pasal (12)
ayat (1) poin (b) dan (f) juga dinyatakan; “Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak: mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan ke-
mampuannya; serta menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan
belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.” Bahkan, dalam pasal (32) ayat (2) secara khusus disebutkan tentang
pendidikan khusus; “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa.”
Upaya merintis program pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa di Indoneisa telah dimulai sejak tahun
1974 dengan cara pemberian beasiswa khususnya bagi mereka yang kemampuan
ekonomi keluarganya lemah. Selanjutnya pada tahun 1982 Balitbang Dikbud
membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKP-
PAB) (Maimunah, 2009).
Sutratinah (1984) menyebutkan bahwa BP3K (Badan Penelitian dan Pe-
ngembangan Pendidikan dan Kebudayaan) telah menerbitkan Pola Dasar Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa dalam Rangka Kewajiban Belajar. Da-
lam terbitannya tersebut disebutkan perlunya mendirikan SLB/F untuk anak ber-
bakat. Dan masih pada awal 1980-an tersebut BP3K mengadakan banyak seminar

2
/lokakarya dan penelitian mengenai anak-anak supernormal ini. Kemudian, pada
tahun 1989, Pemerintah menetapkan UU Sistem Pendidikan Nasional yang juga
menyebutkan bahwa anak-anak yang termasuk dalam kualifikasi berbakat perlu
mendapat “perhatian khusus” (UUSPN Tahun 1989).
Pada tahun 1998 mulai dikembangkan penyelenggaraan program percepa-
tan belajar (kelas akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Umum (SMU) sebagai layanan bagi anak
berbakat intelektual (Hawadi dikutip oleh Afianti, Hartati dan Sawitri, 2010). Pro-
gram akselerasi adalah program pendidikan dengan mempercepat masa studi de-
ngan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan pendidikan le-
bih cepat dibandingkan dengan siswa di kelas reguler. Namun, Sampai saat ini
nampaknya program akselerasi masih dalam tahap uji coba dan belum semua se-
kolah dapat menyelenggarakan program akselerasi (Putri, Alsa dan Widiana,
2005).
Meski sudah ada landasan penyelenggaraan layanan pendidikan khusus
bagi anak berbakat. Faktanya, layanan pendidikan kita masih belum benar-benar
merealisasikannya. Bagaimana cara dan bentuk layanan pendidikan khusus yang
dimaksudkan sampai saat ini belum ada kejelasan dan ketegasan. Belum ada petun
juk pelaksanaan dan petunjuk teknis operasional di lapangan yang mengatur hal
tersebut. Peraturan pemerintah yang khusus mengatur pendidikan anak berbakat
belum dirumuskan (Sunardi, 2008). Padahal peraturan yang jelas, tegas, fungsio-
nal, perspektif, akomodatif, dan komprehensif, sehingga benar-benar mampu men
jamin terselenggaranya program pendidikan yang mampu menjamin aktualisasi
keberbakatan mereka sangat diperlukan.
Akibatnya, para praktisi pendidikan menyikapi layanan pendidikan bagi
anak berbakat pun berbeda-beda. Saat ini memang banyak sekolah dengan label
“unggulan” atau “sekolah plus”. Sebagian diantaranya memang mensyaratkan le-
vel prestasi belajar yang tinggi dan memberikan beasiswa bagi siswanya. Namun
kebanyakan memberikan layanan dan fasilitas plus dengan biaya yang sangat ting-
gi sehingga lebih terkesan sebagai sekolah yang ekslusif, mahal dan elitis.

3
Penyelenggaraan pendidikan secara reguler yang dilaksanakan selama ini
lebih banyak bersifat massal. Orientasi pendidikan bersifat kuantitas dan equality
untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya jumlah siswa. Pendidikan kesetaraan
bagi semua. Akibatnya, kebutuhan individual siswa tidak terakomodasi.
Anak berbakat cenderung lebih cepat menguasai materi pelajaran yang
disampaikan oleh guru. sehingga mereka dibuat menunggu siswa lain yang lebih
lamban dibandingkan dengan dirinya. Keadaan ini dapat menimbulkan kesan dan
tindakan yang kurang baik dari anak tersebut. Mereka sering terkesan santai dan
tampak kurang memperhatikan pelajaran. Lebih buruk lagi, anak-anak ini mung-
kin mengganggu temannya sehingga sedikit mengganggu proses belajar mengajar
di kelas.
Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki kemampuan di luar ke-
lompok siswa normal tidak terlayani secara baik sehingga potensi yang dimiliki-
nya tidak dapat tersalur atau berkembang secara optimal. Padahal, sebagaimana
kita ketahui, hakikat pendidikan adalah untuk memungkinkan peserta didik meng-
embangkan potensi kecerdasan dan bakatnya secara optimal.
Mengingat berbagai masalah yang mungkin dialami oleh anak berbakat,
sebagaimana telah disebut pada bagian awal tulisan ini, sedang dalam sistem
pendidikan kita belum memadai untuk memberikan layanan pendiidkan khusus,
salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memberikan bimbingan konseling yang
tepat. Berdasarkan pengalaman negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat,
layanan bimbingan dan konseling (BK) merupakan suatu jantung proses pendidik-
an yang ternyata mampu menunjukkan kontribusinya dalam mengakselerasi ke-
majuan pendidikan, yang pada gilirannya mampu membangun keunggulan (Silver
man dalam Wahab, 2010).
Namun, lagi-lagi, meski diyakini bahwa layanan BK sudah dipandang
mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti, pada kenyataannya layanan
BK di semua jenjang pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan
(Wahab, 2010). Tulisan ini mencoba mengurai beberapa masalah yang dialami
anak berbakat dan model layanan bimbingan konseling yang efektif bagi mereka.

4
Konsep Anak Berbakat
Konsep tentang anak berbakat belum dikenal sampai awal abad ke-20.
Konsep ini mulai dikenal sejak penerbitan buku Classroom Problems in the Edu-
cation of Gifted Children. The Nineteenth Yearbook of the National Society for the
Study of Education oleh T.S. Henry pada tahun 1920 (Borland, 2005; Fornia &
Frame, 2001). Pada masa itu, anak berbakat adalah mereka yang memiliki IQ le-
bih dari 130 dari tes IQ Binet (Feldman, 2003;). Pengertian ini kemudian lebih
dikenal dengan berbakat intelektual.
Selama beberapa waktu, inteligensi diyakini sebagai kriteria tunggal dalam
menentukan keberbakatan. Namun, sejauh yang telah diteliti, keberbakatan tidak
dapat dijelaskan hanya dengan satu dimensi intelektual. Sternberg (dalam Feld-
man, 2003)mengemukakan teori dengan tiga macam bentuk intelegensi: akade-
mik, praktik, dan kreativ. Sedang Howard Gardner mengemukakan tujuh (atau
delapan) macam intelegensi: linguistik, matematik/logik, musikal, spasial, kines-
tetik, interpersonal, intrapersonal intelligences (dengan tambahan kecerdasan natu
ralis). Teori dari keduanya mempengaruhi konsep keberbakatan pada perkembang
an berikutnya.
Pendekatan multidiemensional atau faktor jamak, yaitu pengertian yang
tidak hanya menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal tetapi menggunakan
kriteria-kriteria lain di luar inteligensi Misalnya: kreativitas, task commitment, ke-
mampuan memecahkan masalah, dan sebagainya. Pendekatan multidimensional
inilah yang banyak diikuti oleh pakar seperti Clark, Renzulli, Colleman, dan seba-
gainya (Sunardi, 2008).
Anak berbakat adalah individu dengan karakteristik tertentu, kemampuan
kognitif istimewa dan penguasaan konsep matematika atau ilmiah kompleks de-
ngan mudah, menunjukkan kreativitas tinggi, inovasi dan orisinalitas dalam kar-
ya-karya mereka (Neihart, Reis, Robinson, & Moon, dalam Ishak dan Abu Bakar,
2010). Mereka adalah pemikir yang berbeda dan mampu melihat masalah dari su-
dut yang berbeda. Mereka memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi dan fokus
dalam waktu lama ketika diberikan kegiatan yang sesuai dengan minat mereka
dan menetapkan standar yang sangat tinggi untuk diri mereka sendiri.

5
Di sisi lain anak berbat mudah termotivasi ketika tertantang dengan ide-ide
baru. Anak berbakat juga memproses informasi dengan cara unik. Mereka mem-
pertanyakan ide-ide abstrak, konsep dan teori yang mungkin tidak memiliki jawab
an yang mudah (Strip, 2000).
Ginsberg & Harrison (dalam Diezmann, & Watters, 1997) mengatakan
bahwa anak berbakat adalah anak yang mampu mengerjakan sesuatu dengan lebih
cepat, lebih baik dan mungkin lebih banyak dari anak-anak yang lain. Senada
dengan keduanya, Assouline (dalam Fornia & Frame, 2001) menyatakan bahwa
anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan luarbiasa di bidang intelek-
tual, kecakapan akademik spesifik, berfikir kreatif dan, kepemimpinan, seni pe-
ran dan visual.
Meski selalu diidentikkan dengan atribut-atribut positif, kelebihan tersebut
juga menimbulkan beberapa karakteristik negatif. Ishak dan Abu Bakar (2010)
mendokumentasi beberapa karakter negatif yang sering dilekatkan pada anak ber-
bakat dari berbagai penelitian seperti: perfeksionis (Speirs Neumeister, Williams
& Cross; Chan; Dixon, Lapsley & Hanchon ), rendah diri (Vialle, Heaven, & Cia-
rrochi), rasa kompetisi yang tinggi (Tomlinson, 2008), kesadaran diri rendah
(Sisk; Cho-Hee Yoon), kecemasan , kritik diri sendiri (Cho-Hee Y oon, Berlin)
dan kebingunan dalam pembentukan kepribadian (Zuo, Li & Tao, Liqin; Graham
& Anderson).

Masalah-masalah yang Dihadapi Anak Berbakat


Secara umum, anak berbakat sebenarnya memiliki kebutuhan dan masalah
sosial yang relatif sama dengan anak-anak lain sebayanya (Pfeiffer dan Stocking
dalam Turki dan Al Qaisy, 2012; ). Namun, karena keberbakatan yang mereka
miliki, sebagaiman telah disebut di awal tulisan ini, membuat mereka lebih rentan
mengalami masalah sosial dan emosional (Neihart; Tannenbaum; dalam Turki
dan Al Qaisy, 2012; Moon & Hall dalam Fornia dan Frame, 2001; Buescher dan
Higham dalam Misero dan Hawadi, 2012 ).
Karakteristik yang dimiliki anak berbakat ternyata tidak selalu menjamin
keberhasilan bagi semua anak-anak berbakat. Dan karena beberapa kepribadian

6
mereka: terobsesi oleh kesempurnaan, tekanan dari orang tua dan guru, rasa iri da-
ri teman, ejekan, bullying dan isolasi rekan-rekan mereka dapat membuat mereka
rapuh secara emosional.
King dan Moltenz (tanpa tahun) menyebutkan beberapa hasil temuan yang
menemukan bahwa ketidakmampuan beberapa anak berbakat untuk menguasai im
puls emosional tersebut dapat menyebabkan: 1) Neurosis yang dapat mengakibat-
kan kecemasan yang konstan. 2) Rentan terhadap ide bunuh diri. 3) Memblokir
prestasi, menyebabkan kecemasan, atau bahkan dapat menyebabkan pikiran untuk
bunuh diri karena tekanan dianggap sempurna.
Ishak dan Abu Bakar (2010) juga menyatakan bahwa selain menghadapi
masalah-masalah psikososial pada masa perkembangan mereka, anak berbakat ju-
ga harus menghadapi pelabelan sebagai siswa teladan dan harapan orang-orang de
wasa terhadap dirinya. Hal ini dapat menimbulkan konsekensi negatif dalam kehi-
dupan sehari-hari mereka. Hal ini dapat memicu ledakan emosi atau kesulitan me-
ngendalikan diri bahkan frustasi yang mengakibatkan depresi dan dapat berujung
pada bunuh diri.
Masalah sosial yang sering dialami oleh anak berbakat adalah masalah pe-
nyesuaian diri (maladjustment) (Lombroso; Callahan; Getzels & Dillon dalam
Webb, 2003). Shek Chan dan Lee sebagaimana dikutip oleh Turki dan Al Qaisy
(2012), menemukan bahwa masalah ini berasal dari perasaan berbeda dari teman
sebayanya, mereka diharapkan lebih menonjol. Anak berbakat mungkin berada da
lam risiko lebih besar mengalami masalah penyesuaian diri. Sehingga memerlu-
kan perhatian konseling dan intervensi pencegahan.
Dalam penelitiannya, David Chan (dalam Misero dan Hawadi, 2012) me-
nyatakan bahwa ada 6 (enam) adjustment problems yang dapat dialami oleh anak
berbakat, yaitu tugas sekolah yang tidak menantang (unchallenging schoolwork),
kurangnya hubungan interpersonal (poor interpersonal relationship), harapan
orang tua (parental expectation), multipotensialitas (multipotentiality), dan
keterlibatan yang tinggi terhadap sesuatu (intense involvement).

7
Kebutuhan Psikologis, Sosial dan Emosional
Seperti halnya anak-anak pada umumnya, anak berbakat memiliki kebutu-
han psikologis, sosial dan emosional dalam proses perkembangnannya. Namun,
dengan karakteristik khusus yang melekat pada mereka, anak berbakat memiliki
kebutuhan-kebutuhan psikologis, sosial dan emosional yang khusus pula.
Kebutuhan sosial anak berbakat tak jauh berbeda dengan kebutuhan sosial
anak-anak yang lain (Webb et. al.; Coleman, dalam Cross, 1997). Dalam keluarga
anak berbakat membutuhkan stabilitas dan rasa aman, perasaan dicintai tanpa ragu
dan penuh dukungan. Di lingkungan teman sebayanya, mereka memerlukan saha-
bat dan kelompok bergaul yang membuat mereka nyaman, diterima dan saling ber
bagi. Di lingkungan pendidikan, mereka butuh lingkungan pendidikan yang sesuai
dengan kecepatan dan gaya belajarnya, perasaan mampu dari keberhasilan meme-
cahkan masalah, kesempatan untuk mengembangkan kemampuan khusus dan mi-
nat mereka. Mereka juga membutuhkan aturan-aturan dan ruang bebas yang sesu-
ai dengan kompetensi mereka. Rasa hangat dari orang tua dan guru yang membe-
rikan harapan tinggi namun bukan yang tidak mungkin mereka jangkau (Csiks-
zentmihalyi, Rathunde, & Whalen; Neihart et al., dalam Robinson, 2008).
Anak berbakat dinilai cenderung lebih matang secara sosial dan emosional
daripada anak lain dalam usia kronologis (Janos & Robinson; Robinson & Noble,
dalam Robinson, 2008). Namun di sisi lain, regulasi emosi, keterampilan sosial,
ukuran dan kematangan fisik, serta keterampilan motorik halus dan kasar, jarang
yang sama dengan usia mental mereka. Paradoks ini membuat anak berbakat mem
butuhkan penerimaan sosial yang khusus.
Anak berbakat juga cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu sosial dan du-
nia yang bagi anak seusia mereka isu-isu tersebut tidak cukup berpengaruh bagi
mereka. Akibatnya, rasa khawatir anak berbakat menjadi jauh lebih rentan diban-
ding anak lain seusianya (Robinson, 2008).
Cross (1997) mengutib Webb et. al. mengemukakan dua jenis kebutuhan
psikologis dan sosial anak berbakat: endogenous dan exogenous. Kebutuhan endo
genous adalah kebutuhan yang berasal dari karakteristik khusus anak berbakat. Se
dang kebutuhan exogenous adalah kebutuhan yang muncul akibat interaksi anak

8
berbakat dengan lingkungannya. Kebutuhan endogenous anak berbakat antara lain
adalah kebutuhan akan rasa aman, rasa memiliki dan cinta dan penghargaan.
Sebetulnya, sebagaiman telah disebutkan sebelumnya, kebutuhan ini ada-
lah kebutuhan dasar bagi tiap anak, namun intensitasnya meningkat bagi anak ber-
bakat. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan anak berbakat dalam hal: 1) Per-
kembangan yang tidak sinkron, perkembangan psikologis, emosi dan mental (kog-
nitif) yang tidak sesuai dengan perkembangan fisik, kematangan sosial dan ketram
pilan motorik, 2) Perfeksionis, sikap yang memberikan ekspektasi sangat tinggi
terhadap unjuk kerja, 3) Kritik terhadap diri yang terlalu keras, sangat berkaitan
dengan sikap perfeksionis dan 4) Multipotensi, kemampuan anak berbakat menye-
lesaiakan masalah dalam beberapa bidang.
Kebutuhan exogenous anak berbakat antara lain, kebutuhan akan perasaan
diterima, berafiliasi dengan sesama anak berbakat dan diakui. Kebutuhan ini mun-
cul sebagai akibat dari persepsi sosial terhadap anak berbakat atau pengalaman
anak berbakat bahwa mereka merasa aneh dengan sifat-sifat yang mereka miliki.
Silverman (1993) mendokumentasi beberapa kebutuhan afektif anak ber-
bakat dan masalah-masalah yang sering mereka hadapi, antara lain: Bingung me-
ngenai makna keberbakatan, merasa berbeda, sangat sensitif, idealis, merasa tidak
mampu, kritik-diri tajam, konflik internal yang meningkat, perhatian yang men-
dalam dengan moralitas dan keadilan, kurang pengertian dari orang lain, harapan
yang tidak realistis dari lingkungan, kecemburuan orang lain karena kemampuan-
nya.

Konseling untuk Anak Berbakat


Sebelumnya telah disebutkan bahwa anak berbakat memerlukan layanan
pendidikan khusus agar potensi tinggi yang mereka miliki dapat tersalurkan dan
memberi hasil yang optimal. Bahkan secara nasional, pemerintah telah mengisya-
ratkan penyelenggaraan pendidikan khusus ini dalam undang-undang sistem pen-
didikan nasional. Namun, secara khusus, mengingat berbagai masalah yang diha-
dapi anak berbakat dan kebutuhan-kebutuhan psikologis, sosial dan emosional
mereka, diperlukan dampingan dan bimbingan konseling yang khusus pula (Sil-

9
verman, 1993; Sunardi, 2008; Peterson, 2006; Ishak & Abu Bakar, 2010;Wahab,
2010).
Meski beberapa orang beranggapan bahwa anak berbakat memiliki kepri-
badian yang lebih positif dan masalah yang lebih sedikit seperti ditemukan oleh
Milgram (dalam Wahab, 2010), mampu melakukan apa pun yang ingin lakukan
dalam hidup (Achter, Benhow, & Lubinski; Hollenger, dalam Steward, 1999), me
reka juga percaya bahwa siswa berbakat memiliki banyak kemampuan dan berba-
gai macam informasi yang melengkapi mereka untuk mengatasi semua tuntutan
hidup (Steward, 1999).
Namun, Milgram (dalam Sunardi, 2008) juga menyatakan bahwa kemam-
puan luar biasa khusus pada anak berbakat memerlukan bimbingan dan konseling
yang berbeda dalam hal pendekatan dan tujuan-tujuan yang diharapkan. Lebih lan
jut Milgram menyebutkan tiga kategori kebutuhan dalam bimbingan konseling
anak berbakat: kebutuhan kognitif-akademik, pribadi-sosial, dan pengalaman.
Kebutuhan kognitif-akademik, merujuk kepada pernyataan bahwa anak
berbakat memerlukan pengetahuan tentang diri mereka sendiri dan tentang akade-
miknya, serta kesempatan-kesempatan karir.
Kebutuhan pribadi-sosial, merujuk bahwa anak berbakat membutuhkan
konseling dalam rangka membantu anak menyadari tentang kemampuan-kemam
puan khususnya, pada perasaan-perasaaannya, sikap, nilai, dan interaksi dengan
keluarga, teman sebaya, guru, dan orang dewasa lainnya.
Kebutuhan pengalaman, merujuk bahwa anak-anak berbakat sudah sepan-
tasnya memerlukan pendidikan khusus dalam setting sekolah formal, serta mem-
butuhkan pengalaman-pengalaman lain sebaik yang diterima di sekolah dalam
rangka meluaskan variasi orientasi tugas, peningkatan kemampuan khusus, serta
memberikan pengalaman-pengalaman dari dunia nyata guna penambahan penge-
tahuan kognitif-akademik serta kesadaran pribadi-sosialnya.

Alternatif Model Konseling Untuk Anak Berbakat


Bimbingan konseling adalah bagian integral dari proses pendidikan. De-
ngan keberagaman anak dan prinsip kesetaraan dalam pendidikan kita diperlukan

10
pendekatan-pendekatan yang inovatif, komprehensif, dan integratif sehingga mam
pu menjamin terakselerasi dan terdiferensiasikannya berbagai keungngulan poten-
si anak, sehingga mampu berkembang secara optimal.
Meski diyakini bahwa anak berbakat menunjukkan potensi yang tinggi dan
performa hebat pada beberapa bidang sesuai minatnya, mereka memerlukan bim-
bingan khusus agar mampu mengeksplorasi potensinya tersebut (Adelodun,
2011). Anak berbakat secara kualitatif berbeda dari individu lainnya, karena itu
memerlukan layanan dan pendekatan konseling yang berbeda pula (Sunardi, 2008;
Ishak & Abu Bakar, 2010). Program bimbingan konseling bagi anak berbakat ha-
rus dapat mengembangkan kepribadian dan kemampuan anak secara optimal. Pro-
gram ini harus menekankan pengembangan keunggulan potensinya. Mampu meng
akomodasi keterampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi anak. Mengembang
kan strategi konseling yang cocok dengan gaya belajarnya, serta berorientasi dan
mampu mengantisipasi kepentingan masa depan anak berbakat (Milgram dalam
Sunardi, 2008).
Ishak & Abu Bakar (2010) menyebutkan bahwa dalam proses konseling
anak berbakat, konselor harus memperhatikan; 1) Profil anak berbakat dan masa-
lah yang sedang ia alami. Memahami profil anak berbakat adalah langkah pertama
dalam proses konseling. Proses ini dapat membuahkan sebuah profil kepribadian
si anak berbakat, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan perkembangan peri-
laku mereka. Dengan pemahaman yang benar terhadap profil anak berbakat, pro-
ses konseling akan benar-benar efektif dan tepat sasaran; 2) Lingkungan terapi
yang mendukung proses konseling. Anak berbakat lebih sensitif terhadap lingku-
ngan sehingga dapat mempengaruhi hubungan konselor dan konseli; 3) Anjuran-
anjuran intervensi yang tersedia. Konselor harus selalu kreatif dan inovatif saat
mengajukan alternatif intervensi yang akan dilakukan; 4) Proses eksekusinya/in-
tervensinya. Dalam proses ini, konselor harus lebih sensitif terhadap pelaksanaan-
nya. Anak berbakat disebut memiliki kritik-diri yang tinggi dan lebih rentan terha-
dap kecemasan, sehingga proses intervensi yang kasar hanya menimbulkan reaksi
negatif; dan 5) Proses lanjutan paska terapi. Hal ini penting, agar hasil konseling
dapat berlaku terus menerus sekaligus melakukan evaluasi keberhasilan interven-

11
si. Dengan model ini, berarti proses konseling harus dilakukan secara berbeda, ter-
gantung profil dan masalah yang dihadapi (differentiated model).
Moon (2004) menyebutkan dua model konseling yang bisa dilakukan bagi
anak berbakat. Pertama, seperti yang ditawarkan oleh Ishak dan Abu Bakar ada-
lah model kurikulum afektif yang terdifferensiasi. Namun, berbeda dengan Ishak
dan Abu Bakar yang sifatnya individual, model ini memerlukan pendekatan inte-
gratif dalam kurikulum sekolah yang terdiferensiasi. Buescher sebagaimana diku-
tip Moon (2004) mengklaim bahwa model ini dapat membantu anak berbakat (ter-
utama remaja) menghadapi masalah: perkembangan remaja, identitas dan stres,
hubungan sosial dan pengembangan karir.
Model kedua yang diajukan Moon berkaitan dengan proses konseling yang
melibatkan orang tua si anak berbakat. Model ini memberikan tiga pilihan pende-
katan berbeda kepada konselor. Pertama, pendekatan berpusat pada orang tua. Ar-
tinya proses konseling dipusatkan pada bagaimana orang tua melakukan pembim-
bingan pada anaknya. Kedua, berpusat pada sekolah. Berarti sekolah memiliki pe-
ran sentral dalam proses konseling anak berbakat. Dan ketiga, pendekatan rekan-
an. Yaitu orang tua dan sekolah bersama-sama dan dan berperan seimbang dalam
penanganan anak berbakat. Pendekatan ketiga sangat direkomendasikan. Karena,
dengan begitu, orang tua dan sekolah memiliki tanggung jawab bersama terhadap
kesejahteraan anak berbakat dan memadukan kekuatan (saling menguatkan) ma-
sing-masing dalam proses konseling.
Sementara itu, Silverman (1993) mengajukan model konseling yang ia da-
sarkan pada teori perkembangan emosi oleh Dabrowski. Model ini dinilai mem-
beri keuntungan dalam hal perubahan sikap seperti yang diharapkan. Konselor fo-
kus pada pengalaman internal konseli sebagai tanda positif dalam proses perkem-
bangan dirinya, bukan dipandang sebagai indikasi emosi yang labil. Peran konse-
lor adalah merubah pandangan negatif konseli terhadap sikap negatifnya berdasar
pengalaman mereka sendiri. Dengan demikian akan mampu melepas energi untuk
mekanisme pertahanan diri yang positif.
Dalam model ini, konselor tidak boleh memberikan bantuan langsung ke-
pada konseli dalam memecahkan masalahnya. Dukungan konselor diberikan tanpa

12
terlibat langsung terhadap masalah konseli. Konseli dibiarkan berada dalam masa-
lahnya sampai waktu yang diperlukan agar ia dapat menemukan sendiri solusi ba-
gi dirinya. konselor tidak boleh terburu-buru mencoba menyelesaikan masalah
konseli. Konselor harus yakin bahwa konflik dapat menumbuhkan individu, per-
caya pada kemampuan konseli untuk dapat mengatasi masalahnya dengan membe
rikan mereka waktu dan dukungan.
Model yang diutarakan oleh Moon di atas adalah intervensi konseling de-
ngan sekolah sebagai latar konseling. Maksudnya, aplikasi model konseling selalu
dikaitkan dengan sekolah sebagai tempat anak didik tumbuh dan berkembang. Se-
hingga proses konseling selalu bertautan dengan program pendidikan di sekolah.
Sedang model konseling yang diajukan Silverman, berdasar teori Dabro-
wski, adalah model konseling yang langsung berkaitan dengan anak berbakat se-
bagai individu. Sekolah atau lingkungan sosial anak hanyalah bagian dari masalah
yang mungkin dihadapi oleh anak didik, namun tidak dijadikan latar atau landasan
dalam memberikan layanan konseling bagi anak didik.
Dengan demikian, kedua model yang disajikan di atas dapat diaplikasikan
bersamaan dan saling melengkapi. Di sekolah, program layanan konseling dapat
dapat diberikan dengan memilih satu dari dua pendekatan yang diajukan oleh
Moon. Sehingga proses konseling terintegrasi dengan proses pendidikan di seko-
lah. Dan pada saat memberikan layanan konseling secara individual, model konse-
ling yang diajukan oleh Silverman dapat diaplikasikan. Sehingga proses konseling
menjadi lebih lengkap, secara sistem ia terintegrasi dengan proses pendidikan di
sekolah dan secara klinis dan individual dilakukan dengan pendekatan perkem-
bangan emosi.

Aplikasi dan Tantangannya di Indonesia


Di atas telah disebutkan bahwa undang-undang tentang sistem pendidikan
nasional di Indonesia telah menyebutkan perlunya memberikan layanan pendidik-
an khusus bagi anak berbakat. Bahkan hal itu telah disinggung sejak 1989. Namun
implikasi undang-undang tersebut sepertinya belum benar-benar terwujud dalam
proses pendidikan kita.

13
Demikian juga dengan layanan bimbingan konseling bagi anak berbakat.
Meski banyak penelitian menunjukkan bahwa layanan bimbingan konseling mem-
berikan hasil positif dalam menangani masalah anak berbakat dan mengembang-
kan potensinya, namun di Indonesia layanan konseling bagi anak berbakat masih
belum mendapat gambaran yang jelas mengenai teknik pelaksanaannya. Karena-
nya, model layanan bimbingan konseling yang disarankan oleh Moon belum dapat
diaplikasikan di Indonesia.
Sistem pendidikan di Indonesia didasarkan pada filosofi pendidikan untuk
semua. Sehingga program pendidikan dilaksanakan dengan pendekatan kesetaraan
belum menyasar dan melayani keunikan keberbakatan anak-anak. Sedang model
yang diajukan oleh Moon mendasarkan pada model pendidikan diferensiasi yang
mengakui dan memberikan model pendidikan yang berbeda-beda sesuai dengan
kompetensi dan potensi anak didik.
Namun demikian, bukan berarti layanan bimbingan konseling bagi anak
berbakat kita abaikan begitu saja. Dalam tataran praktik dan layanan bimbingan
konseling secara invidual, model yang diajukan oleh Silverman dapat dijadikan
acuan dalam memberikan layanan bimbingan konseling pada anak-anak berbakat.
Kendati sulit dilakukan secara komprehensip dengan seluruh sistem pen-
didikan di sekolah, pendekatan layanan konseling yang lebih sistemik yang meli-
batkan sekolah, konselor dan orang tua juga dapat dilakukan. Bekerja sama de-
ngan orang tua, konselor sekolah bisa menawarkan layanan bimbingan konseling
yang berpusat pada orang tua (parent centered approach). Sehingga meski pro-
gram sekolah belum mampu memberikan layanan pendidikan khusus bagai anak
berbakat, sekolah tetap berupaya membantu optimalisasi perkembangan anak ber-
bakat.
Langkah lebih jauh yang dapat dilakukan sekolah adalah menyusun pro-
gram layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat dalam sistem pendidikan se-
kolah. Otonomi pendidikan di Indonesia dengan kurikulum KTSP cukup memung
kinkan untuk melakukannya. Dengan langkah ini, program layanan bimbingan ko-
nseling, baik yang bersifat school centered approach maupun partnership appro-
ach, dapat dilakukan. Tentu, dengan dukungan yang integratif dari sistem sekolah,

14
program layanan bimbingan konseling ini akan lebih berdampak positif bagi si
anak berbakat.

Kesimpulan dan Saran


Anak berbakat adalah fenomena di sekitar kita. Dianugerahi kemampuan
lebih dari kebanyakan anak lain. Dengan keberbakatannya, anak berbakat memi-
liki beberapa karakteristik khusus. Pun mengalami masalah-masalah yang spesifik
berkaitan dengan dengan keberbakatannya. Di antaranya adalah masalah maladj-
ustment (keselitan dalam penyesuaian diri), development asyncrony (perkembang-
an yang tidak sinkron), perfectionisme (memiliki standar tinggi pada performa),
assesive self critics (kritik diri yang akut), dll.
Di Indonesia, undang-undang tentang sistem pendidikan nasional telah me
ngisyaratkan perlunya penyediaan layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat.
Namun, di sisi lain, pendekatan pendidikan yang dilakukan tidak berpihak pada
kurikulum yang terdiferensiasi bagi anak berbakat. Artinya, layanan pendidikan
khusus bagi anak berbakat masih sekedar wacana. Sebenarnya telah ada beberapa
program, seperti program akselerasi dan sekolah-sekolah unggulan. Namun, kare-
na tidak didasarkan pada asumsi keberbakatan yang tepat, program tersebut juga
tidak mampu memberikan layanan yang tepat pula pada anak berbakat.
Bagaimanapun, untuk mengoptimalkan potensinya, anak berbakat tetap
perlu mendapat perhatian khusus. Mengingat beberapa masalah yang rentan diha-
dapi anak berbakat, bentuk perhatian bagi anak berbakat secara langsung dapat di-
rupakan dalam layanan bimbingan konseling. Dengan demikian, setidaknya mere-
ka dapat mengembangkan mekanisme coping dalam menghadapi masalah mereka.
Harapannya, saat sudah dapat mengatasi masalahnya, anak berbakat dapat meng-
embangkan potensi keberbakatannya dengan lebih optimal.
Beberapa model konseling dapat dilakukan. Model konseling yang lang-
sung kepada anak berbakat seperti ditawarkan oleh Silverman (1993) dari teori per
kembangan emosi Dabrowski dapat diajadikan alternatif layanan. Sedang layanan
konseling yang lebih integratif dengan sistem sekolah dapat dilakukan dengan
model konseling yang ditawarkan oleh Moon (2004). Dari model yang berintegra-

15
si dengan seluruh sistem pendidikan sekolah yang menghasilkan kurikulum berdi-
ferensisasi. Sampai model yang fokus pada salah satu dari sekolah dan orang tua
dan model partnership.
Lebih lanjut, berikutnya perlu dikaji tentang aplikasi model-model tersebut
dalam layanan bimbingan konseling sebenarnya bagi anak berbakat. Sehingga ke-
lemahan-kelamahan yang mungkin ada dapat diantisipasi dan diminimalkan. Akh-
irnya dengan memberikan perhatian yang lebih pada anak-anak berbakat di sekitar
kita, potensi yang mereka miliki dapat kita optimalkan demi kesejahteraannya dan
masyarakat secara umum. Wailallahi nasta’in.

Daftar Pustaka
Adelodun, G. A. (2011), Counselling High Achieving and Creatively Gifted
Children, Journal Psychology , Vol. 2 Issue 1, 25-28
Afianti, Ryza, Hartati, Sri, dan Sawitri, Dian Ratna (2013), Hubungan Antara
Self-Regulated Learning(Srl) Dengan Kemandirian Pada Siswa Program
Akselerasi Sma Negeri 1 Purworejo, diakses dari http://eprints.undip.ac.id
/24809/1/SRL_dan_Kemandirian.pdf. pada tanggal 10 September 2013.
Borland, James H. (2003) Rethinking Gifted Education in Borlan, James H. (eds).
Education and psychology of the gifted series, New York: Teachers College
Press.
Bureau of Exceptional Education and Student Services, (2007) Guidance and
Counseling for the Gifted, Florida: Florida Department of Education.
Culross, Rita R . (2007) "Book Review: Models of Counseling Gifted Children,
Adolescents, and Young Adults, edited by Mendaglio, S., and Peterson, J. S.
(2007)," Gifted Children: Vol. 1: Iss. 2, Article 5,
Diezmann, C. M., & Watters, J. J. (1997). Bright but bored: Optimising the
environment for gifted children. Australian Journal of Early Childhood,
Volume 22, Issue 2, 17-21.
Cross, Tracy L. (1997), Psychological and Social Aspects of Educating Gifted
Students, Peabody Journal of Education, Vol. 72 No. 3&4, 180-200
Febrianela, Refista Befris (2013), Self Regulated Learning (SRL) Dengan Prestasi
Akademik Siswa Akselerasi, Jurnal Online Psikologi, Vol. 01 No. 01, 202-
215.
Fornia, Gwen L., And Frame, Marsha Wiggins (2001) The Social and Emotional
Needs of Gifted Children: Implications for Family Counseling, The Family
Journal: Counseling And Therapy For Couples And Families, Vol. 9 No. 4,
384-390.
Ishak, Noriah Mohd, and Abu Bakar, Abu Yazid (2010), Counseling for Gifted
Students: Implication for a Differentiated Approach, The International
Journal Of Learning, Vol. 17 No. 6. 377- 391.

16
Jarosewich, Tania, And Stocking, Vicki B. (2003), Medication and Counseling
Histories of Gifted Students in a Summer Residental Program, The Journal
of Secondary Gifted Education, Vol. XIV, No. 2.
King, Lance, and Moltzen, Roger (2013) The Intensities and Sensitivities of the
Gifted – A Blessing or a Curse? Di akses dari www.taolearn.com/ articles/
article16.pdf. pada tanggal 7 September 2013.
Mahoney, Andrew S. (1994), Exceptional Children Require An Exceptional
Approach: Issues in counseling gifted children, Counseling & Guidance
Newsletter, 1994, Volume 4 Issue 3.
Mendaglio, Sal (2003), Heightened Multifaced Sensitivity of Gifted Studens:
Implication for Counseling, The Journal of Secondary Gifted Education,
Vol. XIV, No. 2, 72-82.
Misero, Priscillia Susan, dan Hawadi, Lydia Freyani (2012), Adjustment
Problems dan Psychological Well-Being pada Siswa Akseleran (Studi
Korelasional pada SMPN 19 Jakarta dan SMP Labschool Kebayoran Baru),
Jurnal Psikologi Pitutur, Volume 1 No. 1, 68-80.
Moon, Sidney M. (2004), Social and Emotional Issues, Underachievement,and
Counseling, diakses dari http://www.corwin.com/upm-data/7025_moon
_intro.pdf. diakses pada 4 September 2013
National Association for Gifted Cildren (2009), Nurturing Social And Emotional
Development Of Gifted Children, diakses dari http://www.nagc.org/upload-
edFiles/Information_and_Resources/Position_Papers/(AFFECTIVE%20NE
EDS)%20NURTURING%20SOCIAL%20AND%20EMOTIONAL%20DE
VELOPMENT%20OF%20GIFTED%20CHILDREN.pdf. Diakses pada 4
September 2013.
Peterson, J.S., Ph.D., (2006) Addressing Counseling Needs of Gifted
Students,ASCA: Profesional School Counseling,
Putri, Diah Sekar Ayu Rena, Alsa, Asmadi, dan Widiana, Herlina Siwi (2005),
Perbedaan Sosialisasi Antara Siswa Kelas Akselerasi Dan Kelas Reguler
Dalam Lingkungan Pergaulan Di Sekolah, Humanitas : Indonesian
Psychological Journal, Vol. 2 No.1. 28 – 40
Robinson, Nancy M. (2008), The Social World of Gifted Children and Youth,
diakses dari http://www.positivedisintegration.com/Robinson2008.pdf, pada
tanggal 4 September 2013.
Silverman, L.K., (1993), Issues in affective development of the gifted. In J. Van
Tassel -Baska (Ed.), A practical guide for counseling the gifted . Reston,
VA.: Council for Exceptional Children.
Sternberg, Robert J., dan Davidson, Janet E. (2005), Conceptions of Giftedness:
Second Edition, New York: CambridgeUniversityPress.
Stewart, John B. (1999), Career Counselling for theAcademically Gifted Student,
Canadian Journal of Counselling. Vol. 33:1, 3-12.Sunardi (2008),
Konseling Karir Anak Berbakat, diakses dari http://file.upi.edu/
Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196002011987031-
SUNARDI/karya_tls-materi_ajar_pdf/KONSELING_KARIR_ ANAK _
BERBAKAT.pdf. diakses pada 2 September 2013.

17
Sword, Lesley (2003), Gifted Children: Emotionally Immature or Emotionally
Intense?, diakses dari www.positivedisintegration.com/Sword2003.pdf.
pada tanggal 7 September 2013
Turki, Jihad, and Al-Qaisy, Lama Majed (2012), Adjustment Problems and Self-
efficacy among Gifted Students in Salt Pioneer Center, International
Journal of Education Science, Vol. 4 Issue 1, 1-6
Wahab, Rochmat (2010), Model Bimbingan Perkembangan Untuk Meningkatkan
Kecakapan Sosial-Pribadi Anak Berbakat Akademik, Cakrawala Pendidi-
kan, Th. XXIX, 126-146
Ziegler, Albert and Stoeger, Heidrun ( The Role of Counseling in the Development
of Gifted Students’ Actiotopes: Theoretical Background and Exemplary
Application of the 11-SCC, diakses dari http://www.psycho.ewf.uni-
erlangen.de/mitarbeiter/ziegler/publikationen/Publikation04.pdf. pada
tanggal 4 September 2013

18

Anda mungkin juga menyukai