Anda di halaman 1dari 11

Pelaksanaan Bina Diri Untuk Kemandirian Anak Tunagrahita di SLB Bhakti

Pemuda Kota Kediri

Oleh:

Anisatul Qusna

Prodi Psikologi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Kediri

anisatulqusna25@gmail.com

PENDAHULUAN

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan kelainan pada fisik,


intelegensi, sosial, dan emosional dalam pertumbuhannya sehingga mereka
memerlukan penanganan khusus. Mengutip dari Mudjito, dkk (2012)
memaparkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
karakteristik khusus baik secara fisik, mental, atau emosi dibandingkan dengan
anak pada umumnya, yang kemudian dikategorikan kedalam tunanetra,
tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, autis, anak berbakat, kesulitan belajar,
gangguan perilaku, dan anak-anak dengan gangguan kesehatan.1

Anak berkebutuhan khusus membutuhkan pelayanan dan metode


pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya, serta memiliki hak yang sama
dengan anak normal lainnya, mereka juga berhak mendapatkan pendidikan yang
baik. Undang –undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 22 disebutkan bahwa Pendidikan Khusus (Pendidikan Luar Biasa)
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial
UU, Sisdiknas (2003).2 Ketetapan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003
tersebut bagi anak penyandang kelainan sangat berarti memberi landasan yang
kuat bahwa anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama
sebagaimana yang diberikan kepada anak normal lainnya dalam pendidikan dan
pengajaran, sehingga dalam hal ini anak masih dapat berkembang sesuai yang

1
Mudjito, A. K., & Harizal, E. (2012). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media Jakarta.
2
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional (SI SDIKNAS). Bandung: Citra
Umbara, 21.
diharapkan serta dapat memperkecil kesenjangan angka partisipasi pendidik
anak normal dan berkelainan. Dengan demikian setiap anak dapat merasakan
pendidikan dan pengajaran di sekolah.

Salah satu bentuk layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah


Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah Luar Biasa adalah sebuah lembaga
pendidikan formal yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Sebagai lembaga pendidikan SLB dibentuk oleh banyak unsur yang
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yang proses intinya adalah
pembelajaran bagi peserta didik. Jadi SLB merupakan lembaga pendidikan
khusus yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus.3 Efendi (2006) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus
sebagaimana individu lainnya mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
namun kebutuhan tersebut sering kali gagal untuk dipenuhi oleh anak
berkebutuhan khusus karena keterbatasan yang dimilikinya.4 Maka, SLB sebagai
lembaga pendidikan yang menerima anak berkebutuhan khusus hendaknya
berupaya menyediakan layanan pendidikan untuk melatih anak bekrebutuhan
khusus dapat mengoptimalkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara
mandiri. Salah satunya dengan penyelenggaraan program bina diri.

Program bina diri adalah program yang dilaksanakan untuk membentuk


kemandirian anak, menciptakan kemampuan yang bermanfaat bagi kehidupan
sehari-harinya. Pengertian bina diri menurut Munyazanah yaitu cara untuk
membentuk seseorang menjadi baik artinya mereka yang mempunyai
kemampuan terbatas perlu pelayanan secara khusus, secara terus menerus agar
menjadi baik atau melayani mengurus dirinya sendiri dalam hidupnya.5 Melalui
program bina diri, diharapkan anak tunagrahita mampu melaksanakan tugas
sendiri bahkan bisa membantu orang sekitarnya. Program bina diri juga
dijalankan di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri, pembelajaran bina diri diarahkan
untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan kemampuan peserta didik

3
Suparno, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Dirj en Dikti Depdiknas, 2007), 97.
4
Efendi,M.(2006).Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:Bumi Aksara
5
Srihandayani, “Meningkatkan Kemandirian Melalui Pembelajaran Bina Diri”, dalam
http:/digilib.uns.ac.id (18 April 2017), 16.
dalam melakukan bina diri untuk kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak
sepenuhnya membebani orang lain.

Permasalahan utama penelitian ini adalah terdapat kemandirian anak


tunagrahita karena pelaksanaan program bina diri di SLB Bhakti Pemuda Kota
Kediri. Rumusan masalah penelitian ini ialah bagaimana pelaksanaan program
bina diri untuk kemandirian anak tunagrahita. Penelitian ini bertujuan mengetahui
kemandirian anak tunagrahita dengan dilaksanakannya program bina diri di SLB
Bhakti Pemuda Kota Kediri. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat,
baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan dalam bidang kajian psikologi klinis yang berkaitan
dengan masalah kemandirian anak tunagrahita. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan menjadi rujukan bagi anak tunagrahita dalam meningkatkan
kemandirian melalui program bina diri. Khususnya sebagai sumbangan karya
ilmiah bagi lembaga pendidikan luar biasa. Untuk menambah wawasan ilmu bagi
guru dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan kemandirian anak
tunagrahita.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang didasarkan pada


pokok masalah yang mengharuskan peneliti mampu menjelaskan masalah yang
diteliti melalui penggalian data secara intensif. Pendekatan kualitatif adalah
metode penelitian yang meneliti pada kondisi yang alamiah, dan bersifat
deskriptif yaitu datanya dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, gambar dalam
jumlah yang memadai. Pendeskripsian ini meliputi data hasil wawancara
mendalam, data observasi lapangan secara terlibat, dokumentasi, video tape,
dokumen-dokumen, serta catatan lainnya. Maka pada penelitian kualitatif ini,
peneliti sendirilah yang menjadi instrument penelitian untuk mendapatkan data
secara langsung dari sumbernya.

Dalam proses penggalian data, peneliti mengambil beberapa informasi


dari orang-orang yang bersangkutan dengan subyek, seperti guru dan orang tua.
Alasan mengambil subyek tersebut karena secara pengalaman memiliki
pandangan tersendiri pada outputnya. Dengan begitu, penggalian data akan
difokuskan ke dalam hasil belajar subyek atau peningkatan kemandirian karena
adanya program bina diri di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri.

Selanjutnya penelitian ini akan menggunakan pendekatan fenomenologi.


Fenomenologi berusaha untuk mengungkap dan mempelajari serta memahami
suatu fenomena beserta konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh
individu yang bersangkutan (Herdiansyah, 2010). Studi fenomenologi merupakan
pola berfikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman subyektif manusia
dan interpretasi-interpretasi dunia. Fenomenologi berasumsi bahwa kesadaran
bukanlah dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya
daripada dirinya sendiri. Maka studi fenomenologi yang akan diteliti
memfokuskan tentang pengalaman subjek saat pelaksanaan program bina diri
untuk kemandiriannya.

HASIL IDENTIFIKASI

Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah 1 anak tunagrahita di SLB


Bhakti Pemuda Kota Kediri, berikut identitasnya:

Nama: PS (nama samaran)

Tempat/Tanggal lahir: Kediri, 26 November 2004

Nomor Induk Siswa: 19

Kelas: SMA-LB

Jenis Kelamin: Perempuan

Jenis Kelainan: Tunagrahita sedang C1

Agama: Islam

Status dalam keluarga: Anak Kandung

Alamat: Desa Setono Pande

Nama Orang tua: S (nama samaran)

Pekerjaan: Pegawai swasta


Berdasarkan observasi dan wawancara, diketahui bahwa ada program
bina diri di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri. Bina diri diadakan dan dilaksanakan
sesuai dengan kurikulum yang ada. Kurikulum program bina diri yang digunakan
merupakan kurikulum tambahan yang berorientasi pada kecakapan hidup yang
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa berkebutuhan khusus
dengan format K13 yang terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup.
Pendidikan kecakapan hidup diajarkan agar anak berkebutuhan khusus dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, sehingga tidak sepenuhnya
membebani orang lain ditengah keterbatasan yang dimilikinya.

Pelaksanaan program ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu,


pertama tahap perencanaan, dengan merencanakan kegiatan apa yang
harusnya dilaksanakan agar sesuai kebutuhan dan kemampuan siswa, yang
diperoleh dari hasil identifikasi dan assesmet yang telah dilakukan. Kedua,
pelaksanaan, setelah didapatkan persetujuan akan melaksanakan kegiatan apa,
maka dilaksanakanlah pembelajaran sesuai rencana awal. Ketiga, tahap evaluasi
yaitu menilai bagaimana efektivitas program bina diri yang sudah terlaksana.
Dalam Program Bina Diri ini terdapat berbagai aspek yang harus dikuasi dan
dimiliki anak tunagrahita, sehingga setiap anak dapat hidup wajar sesuai dengan
fungsi-fungsi kemandirian, antara lain: merawat diri, mengurus diri, menolong diri,
komunikasi, sosialisasi/adaptasi, keterampilan hidup, mengisi waktu luang.

Program bina diri yang sudah terlaksana antara lain (a) memakai dan
melepas tas, baju, dan sepatu (b) mencuci dan menjemur baju; (c) menggosok
gigi, merapikan baju dan rambut; (d) memasak; dan (e) mencuci kendaraan.
Pelaksanaan bina diri ini berbeda-beda tiap kelas, karena disesuaikan kebutuhan
dan kemampuan siswa. Misal kelas TK belum bisa memakai sepatu sendiri,
berarti pada beberapa pertemuan akan diajari cara memakai lalu melepas sepatu
sampai bisa. Pelaksanaannya pun tidak tentu berapa kali atau berapa lama,
karena tergantung hasil yang didapatkan tiap siswa.

Dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan pihak guru, secara konsep
program bina diri ini dapat dikategorikan sebagai program yang sangat
menjanjikan, mereka mengakui bahwa memang program Bina diri ini bisa di lihat
hasilnya dengan meningkatnya kemandirian anak. Namun saat pelaksanaannya,
fenomena yang terjadi dalam penerapan program bina diri tersebut, sering kali
seorang guru kesulitan dalam membantu anak tunagrahita dalam melakukan
satu aktifitas atau lebih. Ketika anak sudah di ajarkan dalam satu aktifitas
misalkan mencuci baju, ketika sudah diajarkan dan di bantu beberapa tahap
mencuci baju, sering kali keesokan harinya atau pertemuan berikutnya si anak
tidak dapat mengulang apa yang diajarkan oleh gurunya. Maka yang terjadi
adalah pengulangan materi mencuci baju, sampai siswa bisa karena terbiasa.

Dengan kondisi yang sudah terjadi, tentunya pemahaman yang jelas


tentang siapa anak tunagrahita merupakan dasar yang penting untuk
menyelenggarakan layanan pendidikan dan pengajaran yang tepat bagi mereka.
diketahui bahwa anak mempunyai potensi untuk diajari, walaupun kenyataannya
anak tunagrahita dalam bertingkah laku berbeda dengan kebiasaan anak normal
lainnya, tetapi masih bisa memaksimalkan potensi tersebut dan sebagai tindak
lanjut adanya program bina diri yang menjanjikan dan sudah bisa dirasakan dan
dibuktikan manfaatnya.

PEMBAHASAN

Kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang ditandai dengan adanya


kemampuan diri dan tidak bergantung pada orang lain, selanjutnya menurut
Chaplin (1995) kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang ditandai dengan
adanya kepercayaan diri dan terlepas dari kebergantungan, sedangkan menurut
Benson dan Grove (2000) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kemandirian adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak
terus menrus berada di bawah kontrol orang lain. 6 Berdasarkan pernyataan di
atas dapat disimpulkan bahwa anak yang mandiri adalah anak yang mampu
melakukan aktivitasnya sendiri tanpa banyak bantuan orang lain. Berdasarkan
dari hasil pengamatan, subjek mendapat kemandirian di sekolah kemudian
dilanjutkan di rumah, begitpun sebaliknya. Salah satu wawancara dengan guru
mengatakan bahwa program tersebut berupa pembiasaan terhadap anak dalam
melakukan sesuatu dan metode tersebut ialah trial and error.

6
Astati, Menuju Kemandirian Anak Tunagrahita, 2003,
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/194808011974032-
ASTATI/BAHAN_AJAR-KEMANDIRIAN.pdf , diunduh tanggal 16 April 2018 Pukul
22.00 WIB.
Penelitian ini menggunakan teori George C. Edwards III (1980). Dimana
pelaksanaan dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang
apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C.
Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu komunikasi
(communications), sumber daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes)
dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Keempat faktor di atas harus
dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki
hubungan yang erat. Tujuan teori ini adalah menyederhanakan pemahaman
implementasi kebijakan. Pencapaian implementasi kebijakan melalui suatu
proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari
faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya
terhadap implementasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Komunikasi

Keberhasilan pelaksanaan kebijakan mensyaratkan agar implementor


(dalam hal ini guru yang mengajar bina diri) mengetahui apa yang harus
dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan
kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi kesalahan saat
melaksanakan kebijakan. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas
atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka
kemungkinan akan terjadi penolakan dari kelompok sasaran.

Dari hasil wawancara yang dilakukan, komunikasi dalam pelaksanaan


Program Bina Diri di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri sudah berjalan dengan
baik, namun akibat pandemi covid-19 ada beberapa program yang tidak bias
tersampaikan sesuai rencana. Hal ini berkitan dengan pernyataan bahwa
program bina diri sudah lama dilaksanakan, sesuai dengan kurikulum yang ada.
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa program bina diri sudah
ditransmisikan dengan baik, dikarenakan adanya penyampainan dan
pelaksanaan secara jelas (terang-terangan), yang mengakibatkan penerimaan
program bina diri oleh berbagai pihak.
2. Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan


konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk
melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut
dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan
sumber daya dapat seimbang. Sumber daya adalah faktor penting untuk
implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal
di kertas menjadi dokumen saja.

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti, faktor ini
yang mendukung terlaksananya program bina diri di SLB Bhakti Pemuda Kota
Kediri. Sumber daya pada SLB ini ada 2, pertama sumber daya manusia. Bisa
diketahui, disini ada implementor, yaitu guru yang merencanakan, mengajar, dan
mengevaluasi langsung program bina diri. Yang kedua dana, telah dikeluarkan
oleh SLB sebagai pelengkap fasilitas anak-anak tunagrahita untuk menunjang
kemandirian mereka seperti, disediakannya alat gosok gigi, mencuci, sisir, kaca,
toilet, dan lainnya, serta prasarana yang diberikan oleh pihak sekolah.

3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementor,


apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat
kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan dengan beberapa


informan, implementor dalam penelitian ini memiliki disposisi yang baik. Berikut
dari hasil wawancara yang mengatakan tidak pernah ada laporan ataupun
pelanggaran dalam implementasi program bina diri. Begitu juga dari observasi
peneliti selama melakukan pengumpulan data, yang melihat bahwa guru sudah
menjalankan tugasnya dengan baik, implementor memang memiliki disposisi
yang baik, dimana mereka mengajarkan program bina diri tersebut kepada anak-
anak tunagrahita dengan sabar, pelan-pelan, dan tegas. Meskipun anak-anak
tunagrahita memiliki karakter yang berbeda-beda dan sering lupa di pertemuan
selanjutnya, mereka tetap sabar dan gigih dalam mengajarkan program tersebut.

4) Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan


memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang
terlalu panjang akan cenderung sulit dipahami, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks, hal ini dapat menyebabkan pelaksanaan yang kurang efektif
dan fleksibel. Pada penelitian ini, struktur birokrasi sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan program bina diri di SLB Bhakti Pemuda. Terbukti dengan yang
dikatakan narasumber bahwa mereka melakukan rapat dengan guru-guru, untuk
membahas program bina diri, yang mana dari sekolah memprogramkan untuk
guru, agar guru mengassesment anak-anak sesuai dengan kebutuhan anak-anak
lalu, setelah itu diketahuilah kemampuan setiap anak. Maka, guru akan membuat
program tersebut sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil yang sudah di paparkan, dapat ditarik kesimpulan program bina
diri merupakan kegiatan bagi para anak berkebutuhan khusus untuk
mengembangkan kemandirian. Adapun metode yang dilakukan untuk kegiatan
tersebut adalah melalui pendekatan fenomenologi, dimana yang akan diteliti
memfokuskan tentang pengalaman subjek saat pelaksanaan program bina diri
untuk kemandiriannya. Lebih lanjut, pelaksanaan program bina diri untuk
kemandirian anak tunagrahita di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri sudah berjalan
dengan baik. Implementasi program bina diri untuk kemandirian anak tunagrahita
juga dianalisa menggunakan teori George C. Edwards III, yang mana pada teori
tersebut menyatakan bahwa implementasi program dipengaruhi oleh empat
variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur
birokrasi. Adapun keterangannya adalah:
1. Komunikasi, faktor ini menjadi kunci terlaksananya program bina diri, adanya
komunikasi berjalan baik sesuai rencana. Hal ini terjadi karena kelompok sasaran
(siswa dan orang tua) mampu memahami tujuan dari program bina diri tersebut.
Implementor (guru) mampu menyampaikan tujuan program dengan baik kepada
kelompok sasaran.

2. Sumber daya, faktor ini juga mendukung terlaksananya program bina diri,
karena dengan adanya sumber daya, pelaksanaan program bina diri dapat
berjalan sebagaimana mestinya.

3. Disposisi, faktor ini menjadi pendukung berjalannya program bina diri untuk
kemandirian anak tunagrahita di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri sebab, guru
yang mengajarkan program bina diri memiliki disposisi yang baik terbukti dari
tidak adanya laporan pelanggaran dan sudah menjalankan program sesuai yang
diinginkan.

4. Struktur Birokrasi, faktor ini turut memberi pengaruh saat berlangsungnya


program bina diri karena, guru atau implementor sudah menjalankan tugasnya
sesuai dengan SOP yang ditetapkan oleh sekolah.

Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.


Adapun bentuk hasil dari kegiatan yang sudah dilakukan, siswa mendapatkan
manfaat berupa adanya keilmuan, praktik, dan mandiri, dalam artian tidak
membutuhkan bantuan orang lain.

SARAN

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti, maka peneliti


mempunyai beberapa saran yang disampaikan, yaitu:

1. Bagi orang tua hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
positif. Terkait dengan upaya untuk memahami pola didik anak yang semakin
kompleks sejalan dengan tugas kemandirian sesuai dengan perkembangannya.

2. Bagi seluruh lapisan masyarakat diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
menggugah kesadaran bersama untuk membina dan menjaga proses
perkembangan kemandirian anak–anak, khususnya yang mempunyai hambatan
dalam kemandirian yaitu anak-anak tunagrahita.
3. Bagi guru (implementor program bina diri), harus lebih sering lagi berinteraksi
dengan orangtua ataupun wali dari anak tunagrahita yang mengikuti kegiatan
bina diri, mensosialisasikan tujuan program bina diri tersebut, agar orangtua
ataupun wali dapat mengetahui bahwa kegiatan tersebut adalah kegiatan
program bina diri. Dengan begitu, diharapkan semua elemen di sekolah mampu
memahami tujuan dari Program Bina Diri tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Astati, Menuju Kemandirian Anak Tunagrahita, 2003,


http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/194808011974
032-ASTATI/BAHAN_AJAR-KEMANDIRIAN.pdf , diunduh tanggal 25
desember 2021 Pukul 22.00 WIB.
Efendi,M, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Herdiansyah, H, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilm-ilmu Sosial,
Jakarta: Salemba Empat.
Mudjito, A. K., & Harizal, E. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media
Jakarta.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
Bandung: Citra Umbara.
Srihandayani, 2017, Meningkatkan Kemandirian Melalui Pembelajaran Bina Diri,
dalam https://digilib.uns.ac.id , diunduh tanggal 25 Desember 2021
Suparno, 2007, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta: Dirjen Dikti
Depdiknas
Subarsono. (2005). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai