Oleh:
Anisatul Qusna
anisatulqusna25@gmail.com
PENDAHULUAN
1
Mudjito, A. K., & Harizal, E. (2012). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media Jakarta.
2
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional (SI SDIKNAS). Bandung: Citra
Umbara, 21.
diharapkan serta dapat memperkecil kesenjangan angka partisipasi pendidik
anak normal dan berkelainan. Dengan demikian setiap anak dapat merasakan
pendidikan dan pengajaran di sekolah.
3
Suparno, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Dirj en Dikti Depdiknas, 2007), 97.
4
Efendi,M.(2006).Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:Bumi Aksara
5
Srihandayani, “Meningkatkan Kemandirian Melalui Pembelajaran Bina Diri”, dalam
http:/digilib.uns.ac.id (18 April 2017), 16.
dalam melakukan bina diri untuk kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak
sepenuhnya membebani orang lain.
METODE
HASIL IDENTIFIKASI
Kelas: SMA-LB
Agama: Islam
Program bina diri yang sudah terlaksana antara lain (a) memakai dan
melepas tas, baju, dan sepatu (b) mencuci dan menjemur baju; (c) menggosok
gigi, merapikan baju dan rambut; (d) memasak; dan (e) mencuci kendaraan.
Pelaksanaan bina diri ini berbeda-beda tiap kelas, karena disesuaikan kebutuhan
dan kemampuan siswa. Misal kelas TK belum bisa memakai sepatu sendiri,
berarti pada beberapa pertemuan akan diajari cara memakai lalu melepas sepatu
sampai bisa. Pelaksanaannya pun tidak tentu berapa kali atau berapa lama,
karena tergantung hasil yang didapatkan tiap siswa.
Dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan pihak guru, secara konsep
program bina diri ini dapat dikategorikan sebagai program yang sangat
menjanjikan, mereka mengakui bahwa memang program Bina diri ini bisa di lihat
hasilnya dengan meningkatnya kemandirian anak. Namun saat pelaksanaannya,
fenomena yang terjadi dalam penerapan program bina diri tersebut, sering kali
seorang guru kesulitan dalam membantu anak tunagrahita dalam melakukan
satu aktifitas atau lebih. Ketika anak sudah di ajarkan dalam satu aktifitas
misalkan mencuci baju, ketika sudah diajarkan dan di bantu beberapa tahap
mencuci baju, sering kali keesokan harinya atau pertemuan berikutnya si anak
tidak dapat mengulang apa yang diajarkan oleh gurunya. Maka yang terjadi
adalah pengulangan materi mencuci baju, sampai siswa bisa karena terbiasa.
PEMBAHASAN
6
Astati, Menuju Kemandirian Anak Tunagrahita, 2003,
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/194808011974032-
ASTATI/BAHAN_AJAR-KEMANDIRIAN.pdf , diunduh tanggal 16 April 2018 Pukul
22.00 WIB.
Penelitian ini menggunakan teori George C. Edwards III (1980). Dimana
pelaksanaan dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang
apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C.
Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu komunikasi
(communications), sumber daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes)
dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Keempat faktor di atas harus
dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki
hubungan yang erat. Tujuan teori ini adalah menyederhanakan pemahaman
implementasi kebijakan. Pencapaian implementasi kebijakan melalui suatu
proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari
faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya
terhadap implementasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Komunikasi
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti, faktor ini
yang mendukung terlaksananya program bina diri di SLB Bhakti Pemuda Kota
Kediri. Sumber daya pada SLB ini ada 2, pertama sumber daya manusia. Bisa
diketahui, disini ada implementor, yaitu guru yang merencanakan, mengajar, dan
mengevaluasi langsung program bina diri. Yang kedua dana, telah dikeluarkan
oleh SLB sebagai pelengkap fasilitas anak-anak tunagrahita untuk menunjang
kemandirian mereka seperti, disediakannya alat gosok gigi, mencuci, sisir, kaca,
toilet, dan lainnya, serta prasarana yang diberikan oleh pihak sekolah.
3) Disposisi
4) Struktur birokrasi
Dari hasil yang sudah di paparkan, dapat ditarik kesimpulan program bina
diri merupakan kegiatan bagi para anak berkebutuhan khusus untuk
mengembangkan kemandirian. Adapun metode yang dilakukan untuk kegiatan
tersebut adalah melalui pendekatan fenomenologi, dimana yang akan diteliti
memfokuskan tentang pengalaman subjek saat pelaksanaan program bina diri
untuk kemandiriannya. Lebih lanjut, pelaksanaan program bina diri untuk
kemandirian anak tunagrahita di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri sudah berjalan
dengan baik. Implementasi program bina diri untuk kemandirian anak tunagrahita
juga dianalisa menggunakan teori George C. Edwards III, yang mana pada teori
tersebut menyatakan bahwa implementasi program dipengaruhi oleh empat
variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur
birokrasi. Adapun keterangannya adalah:
1. Komunikasi, faktor ini menjadi kunci terlaksananya program bina diri, adanya
komunikasi berjalan baik sesuai rencana. Hal ini terjadi karena kelompok sasaran
(siswa dan orang tua) mampu memahami tujuan dari program bina diri tersebut.
Implementor (guru) mampu menyampaikan tujuan program dengan baik kepada
kelompok sasaran.
2. Sumber daya, faktor ini juga mendukung terlaksananya program bina diri,
karena dengan adanya sumber daya, pelaksanaan program bina diri dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
3. Disposisi, faktor ini menjadi pendukung berjalannya program bina diri untuk
kemandirian anak tunagrahita di SLB Bhakti Pemuda Kota Kediri sebab, guru
yang mengajarkan program bina diri memiliki disposisi yang baik terbukti dari
tidak adanya laporan pelanggaran dan sudah menjalankan program sesuai yang
diinginkan.
SARAN
1. Bagi orang tua hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
positif. Terkait dengan upaya untuk memahami pola didik anak yang semakin
kompleks sejalan dengan tugas kemandirian sesuai dengan perkembangannya.
2. Bagi seluruh lapisan masyarakat diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
menggugah kesadaran bersama untuk membina dan menjaga proses
perkembangan kemandirian anak–anak, khususnya yang mempunyai hambatan
dalam kemandirian yaitu anak-anak tunagrahita.
3. Bagi guru (implementor program bina diri), harus lebih sering lagi berinteraksi
dengan orangtua ataupun wali dari anak tunagrahita yang mengikuti kegiatan
bina diri, mensosialisasikan tujuan program bina diri tersebut, agar orangtua
ataupun wali dapat mengetahui bahwa kegiatan tersebut adalah kegiatan
program bina diri. Dengan begitu, diharapkan semua elemen di sekolah mampu
memahami tujuan dari Program Bina Diri tersebut.
DAFTAR PUSTAKA