Anda di halaman 1dari 4

Nama : Tria Oktaviana

Kelas : XII MIPA 3

CONTOH ESAI
Penyair dan Karyanya yang (Tak) Masuk Dalam Pembelajaran
Oleh: Made Shelly

Syair yaitu salah satu jenis sastra yang tak banyak orang sanggup membuanya dengan
apik. Syair merupakan salah satu jenis bentuk sastra yang terkadang isinya diambil dari
realitas kehidupan insan sehari-hari. Sajak, syair, maupun puisi merupakan suatu imajinasi
dari penulisnya yang lalu dituangkan ke dalam kata-kata. Tidak jarang juga isi dari sastra itu
sendiri berasal dari curahan hati atau perasaan dari si penulisnya sendiri. Karya sastra tidak
hanya dinikmati untuk dibaca, melainkan juga untuk materi pelajaran di sekolah. Hal itu
penting sebab dengan mengenal sastra, bawah umur atau generasi kini akan lebih mengenal
sejarah dan menyingkapi permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan cara yang menarik.
Namun, untuk sepuluh tahun terakhir ini tidak banyak penyair yang dikenal oleh
masyarakat atau generasi kini ini. Sekarang ini, tak banyak materi pembelajaran yang
dikaitkan dengan sastra Indonesia. Generasi muda lebih banyak dikenalkan dengan
pembelajaran prosa dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, menyerupai
surat, mendeskrisikan, mengobservasi, dan lain-lain. Dari aneka macam materi pembelajaran,
hanya materi biografi yang masih sanggup dikaitkan dengan pengarang dan karya-karyanya.
Tujuan dari pembelajaran sastra sangat baik untuk generasi muda. Anak akan menjadi
mengerti cara lain dalam mengekspresikan pikirannya, perasaannya, dan tindakan-
tindakannya. Selain itu, anak akan sanggup menghargai setiap karya yang diciptakan
oranglain. Dalam sejarah, penyair sangat penting dalam sejarah Indonesia itu sendiri.
Ada baiknya pembelajaran sastra lebih ditekankan lagi untuk generasi muda ketika
ini. Hal itu untuk mengajarkan anak menghargai setiap karya yang dihasilkan oleh orang lain.
Pembelajaran sastra sanggup membantu anak dalam mengekspresikan apapun yang anak
rasakan. Melihat fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang yang berbeda. Selain
itu, pembelajaran sanggup juga membantu anak dalam menambah kosa kata. Tidak hanya itu,
dengan pembelajaran sastra kita juga sanggup mengenalkan anak perihal pilihan kata atau
diksi untuk mengungkapkan maksud dari perkataan kita. Diksi membantu anak dalam
menentukan kata yang sempurna semoga masih dalam kondisi sopan dan santun.
Jika sastra lebih banyak dimasukan dalam kurikulum pembelajaran akan membantu
guru dalam mengasah anak dalam pemilihan kata dan cara mengahargai karya oranglain.
Sehinga, karya-karya dari semua pengarang akan berguna, tetap dikenang, dan yang niscaya
dikenal oleh seluruh generasi muda ketika ini. Dengan demikian, generasi yang santun dan
saling menghargai pun akan dimiliki oleh Indonesia dengan cara yang sederhana. Cara
sederhana tersebut yaitu menyelipkan pelajaran sastra dalam kurikulum dan dalam pelajaran
Bahasa Indonesia disemua tingkatan mulai dari tingkat SD hingga dengan SMA.
CONTOH KRITIK
Jeleknya sistem pendidikan di indonesia
Oleh : Holipah

“Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono ini menceritakan tentang bagaimana rendahnya
sistem pendidikan yang ada di negara Indonesia yang semakin tahun semakin menurun
tingkat tenaga pengajarnya sehingga menyebabkan siswa mengalami kesulitan untuk
memahami materi karena itu kebanyakan siswa yang tidak bisa mengerjakan tugas atau soal
yang pada akhirnya guru lah yang menjadi sasaran. Di dalam teori Human Kapital akan
berimbas pada penurunan tingkat produktifitas tenaga kerja ; penurunan produktifitas tenaga
kerja berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Seperti kutipan puisi Sajak Palsu di
bawah ini:
Sambil tersipu palsu
Dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
Dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
Untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
Nilai-nilai palsu yang baru
Kutipan di atas menunjukkan bahwa rendahnya mutu pendidikan salah satunya lebih
disebabkan faktor tenaga pengajarnya (dalam hal ini adalah gurunya). Karena kebanyakan
metode ajar yang terjadi sekarang ini adalah bukan mengajarkan bagaimana memahami
sesuatu masalah, menemukan akar masalah dan mencarikan solusinya, namun lebih menitik-
beratkan (malah memaksa) untuk memahami model yang ada ; kebanyakan dari model yang
diajarkan tersebut tidak pernah ada dalam realitanya, sehingga ketika para mahasiswa
tersebut dihadapkan pada suatu permasalahan mereka tidak mampu untuk memecahkannya.
Jika kita mencoba menghubungkan kondisi diatas dengan hadits Nabi Muhammad
SAW yang berbunyi “serahkanlah suatu pekerjaan pada ahlinya jika tidak tunggulah
kehancuran”, maka akan terlihat bahwa hal ini memang cocok dengan kondisi yang terjadi
sekarang ini. Dimana para guru yang mengajar bukan karena kepintarannya saja, namun lebih
disebabkan oleh faktor-faktor yang lain. Seperti kutipan di bawah ini
Di akhir sekolah
Mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
Yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
Mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
Untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
Dan rasa hormat palsu.
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa rendahnya pendidikan di Indonesia, guru
pada zaman sekarang tidak bisa di percaya dalam mengajar kerena kebanyakan guru sekarang
mau menangnya sendiri. Padahal seorang guru sangat berperan penting bagi siswa-siswinya
untuk memajukan pendidikan menjadi yang lebih baik lagi, namun pada zaman sekarang
menjadi seorang guru tidak butuh pintar yang penting mempunyai ijazas untuk menjadi PNS,
karena selain mempunyai masa depan yang cerah guru juga di anggap sebagai orang yang
pintar di mata masyarakat dari itu banyak masyarakat yang ingin menjadi guru, walaupun
kenyataannya banyak guru sekarang yang tidak menghiraukan siswanya mengerti apa tidak
yang penting tugas mereka mengajar dan mendapatkan gaji, akibatnya siswa tidak memahami
apa yang ingin disampaikan oleh guru dan siswa pun menjadi malas untuk mendengarkan
materi yang akan dipelajari sehingga berdampak pada nilainya yang rendah. Hal itu yang
membuat Siswa berani datang kerumah gurunya agar nilainya dapat diganti dengan yang
bagus dan sesuai dengan apa yang di harapkan orang tuanya sehingga terjadilah perbuatan
membeli nilai itulah buruknya pendidikan di negeri Indonesia. Kalau penurusnya negeri ini
sejak kecil sudah di ajarkan hal-hal yang jelek maka akibatnya pendidikan di negeri ini
semakin tahun semakin menurun kualitas pendidikannya. Sebuah guyonan segar dari teman-
teman di Sosiologi yang sampai saat ini masih segar dalam ingatan yang mengatakan bahwa :
seseorang menjadi guru didasarkan atas tiga I, dimana i yang pertama adalah idiot, i yang
kedua adalah ikatan dinas, dan terakhir adalah idealisme. Pada zaman sekarang ini
kebanyakan orang yang menjadi guru lebih didasarkan atas dua i yang pertama, yaitu idiot
karena tidak mampu membuka lapangan pekerjaan dan hanya mengharapkan gaji dari
pemerintah. Dan umumnya orang-orang pada tipe i pertama ini lebih menganggap bahwa
menjadi guru sebagai barang inferior, dimana ketika mereka tidak lulus (diterima) bekerja di
tempat yang mereka inginkan, maka menjadi guru merupakan alternatif terakhir bagi mereka.
Atau menjadi guru ini ibarat terminal bis,dimana ketika bus yang mereka tunggu belum
datang, mereka akan duduk dengan sabar menunggunya, dan ketika bus itu sudah datang
mereka akan pergi meninggalkan terminal tersebut. Begitu juga dengan kebanyakan guru
tersebut ketika mereka mengajukan lamaran pada suatu instansi (kantor), untuk mengisi masa
tunggu maka mereka memanfaatkannya untuk menjadi asisten dosen. Dan yang kedua adalah
ikatan dinas, dengan harapan agar ketika menjadi guru mereka berharap agar mendapat riset
selalu, atau dengan menjadi guru terbuka kemungkinan bagi mereka untuk melanjutkan
studinya (baik S2 maupun S3) di dalam maupun di luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai