Topik Modul
Pada konsep dasar literasi akan dibahas definisi literasi dari berbagai sumber dan dari
masa ke masa. Anda akan mendapatkan informasi konsep literasi yang sesuai dengan
aturan pemerintah dan dari teori perkembangan terbaru.
Pada konsep dasar numesi akan dibahas definisi numerasi dari berbagai sumber dan dari
masa ke masa. Anda akan mendapatkan informasi konsep numerasi yang sesuai dengan
aturan pemerintah dan dari teori perkembangan terbaru.
Pada perkembangan literasi akan dibahas perkembangan literasi dari tiga sudut
pandang yaitu pengetahuan bahasa, keterampilan berbahasa dan perkembangan proses
berpikir. Dari ketiga sudut pandang tersebut tercermin perkembangan literasi sesuai
rentang usia.
Pada proses pemrofilan perkembangan literasi Anda akan mendapatkan cara mengukur
perkembangan literasi dengan mudah dan sederhana sesuai perkembangan murid. Hasil
dari pemrofilan ini, dapat dijadikan dasar penyusunan program literasi yang sesuai dan
dapat melakukan stimulasi jika diperoleh data perkembangan literasi yang tidak sesuai
dengan perkembangan usia.
Aktivitas berikutnya yang digunakan pada platform belajar LMS ini adalah book.
Book dirancang sedemikian rupa agar peserta dapat mempelajari materi
mengikuti standar kegunaan dan aksesibilitas.
Book bisa memuat teks, gambar, multimedia, dan lain-lain.
Book akan disebar dalam beberapa halaman, sehingga dalam mempelajari
materi tidak menjadi sesuatu yang melelahkan.
Klik tombol navigasi yang ada di menu kanan, Klik navigasi yang ada pada
atas/bawah halaman untuk menuju ke halaman lain atau
Klik menu Table of Content (daftar isi) untuk menuju ke halaman lain.
3. Penulis Modul
Email: bundamarticbifonik@gmail.com
Ada pandangan yang mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar,
tumbuh dan berkembang di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading
literacy) utamanya minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana
menurut bapak dan ibu mengenai hal ini? Kelisanan dan literasi sering diurutkan dalam
sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika sebuah bangsa memasuki era literasi atau
memiliki perilaku literat, mereka telah menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017;
16). Apabila ditelusuri lebih jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet
(abjad), mereka terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari
generasi ke generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan
budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan suatu
kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki.
Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga bangsa Arab yang
dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48)
dan bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang
terbiasa menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan
membaca dan menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah
kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga karenanya
masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society,
namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak
literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus
dipandang secara komprehensif (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang
ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan budaya lisan
dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan
sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa
rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur
(orality). Jika ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat
hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan
membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh
pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang
mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-
71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran
yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk
mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman
akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson,
1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam
kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid
mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa paling tua
dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98).
Dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut
melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan
bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi
yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan
sempurna jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan
mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan
aneka peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya
keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy.
Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan
prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan
saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat
dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita
(Akhadiah, 1998; 33-35).
Di rumah, murid-murid memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran
dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep
tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral
language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita,
bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit
ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan awal
pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar
tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang
luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke murid-murid
mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang murid-
murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk
menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai
pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid
(Suprajogo, 2020).
Question 2
Complete
Question text
Di masyarakat terdapat tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca,
menulis dan berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan
kecerdasan literasi, mereka harus diajarkan calistung?
Pada dasarnya murid pada usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat,
kegemaran dan budaya literasinya. Mereka dapat belajar membaca, menulis dan
berhitung dengan cara yang menyenangkan dan tidak dipaksa. Pandangan tentang
murid usia dini harus bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki sekolah dasar.
Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas
calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan bahwa murid
yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai kesulitan ketika memasuki jenjang SD.
Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan
untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.
Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan
potensi akademik (calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan
untuk mengabaikan berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini
sering dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan
pada idealisme pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan
murid (developmentally appropriate practice).
Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan
menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran
langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan
orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan.
murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk
berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam
mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35).
Feedback
Sebenarnya murid usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan
budaya literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara
yang menyenangkan dan tidak dipaksa. Pandangan tentang murid usia dini harus bisa
calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki sekolah dasar. Secara formal, kurikulum
PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan
berhitung). Namun terdapat anggapan bahwa murid yang tidak bisa calistung maka
akan menjumpai kesulitan ketika memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan,
diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap
murid dituntut bisa calistung.
Pada beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk
sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian
formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa
membaca dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK
yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan
menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola
pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik
(calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan
berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan
kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme
pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid
(developmentally appropriate practice).
Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan
menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran
langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan
orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan.
murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk
berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam
mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35)
Question 3
Complete
Question text
Lazim di masyarakat bahwa aktivitas belajar bagi murid-murid usia dini harus diterapkan
secara formal dengan instruksi yang terstruktur dan terprogram. Apabila di pendidikan
murid usia dini maupun taman murid-murid hanya melakukan aktivitas dengan bermain
maka dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak berliterasi. Apa tanggapan
bapak ibu perihal ini?
Dunia murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar
murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita
dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan
seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja,
harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu
bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu
guru di depan kelas.
Padahal aktivitas murid yang sebenarnya adalah aktivitas bermain. Bermain tidak boleh
dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah kebutuhan murid-murid secara
alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid pasti sangat suka
bermain. Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu
dan murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).
Agar peningkatan kemampuan literasi dapat berhasil maka seharusnya literasi harus
didorong melalui kegiatan berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan
mengasyikkan bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan
melalui kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain.
Mmurid-murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan
masa depan mereka.
Di dalam keluarga dapat dilakukan secara natural kegiatan yang penuh literasi dan
diciptakan lingkungan literasi. Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain.
Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam
kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar diiringi dengan memaknai
gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid, memanfaatkan kertas dan
semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk melakukan kegiatan mencorat-
coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk mainan kartu dan sebagainya.
Lingkungan literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan
menjadi pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca
menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan
dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung
digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman pra-membaca
yang menyenangkan.
Bagi siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka
miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan
dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para
siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif.
Hal tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-
topik yang menarik perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan
saling membacakan buku, membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site,
hingga cerpen, novel, esai populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana
aktivitas literasi menjadi kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk
mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan mengekspresikan gagasan positif,
kreatif, dan inovatif remaja.
Feedback
Dunia murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar
murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita
dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan
seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja,
harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu
bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu
guru di depan kelas. Padahal sebenarnya aktivitas murid adalah aktivitas bermain.
Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah kebutuhan
murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid
pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti
membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah,
2015; 35).
Literasi seharusnya memang berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan
mengasyikkan bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan
melalui kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain. murid-
murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa
depan mereka. Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik,
perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya.
Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis
dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.
Melalui bermain, murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan
yang sangat kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari
bahasa lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian.
Mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada
di sekitarnya dan di sekolah dasar. Di dalam keluarga dapat dilakukan secara natural
kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi. Semuanya dilakukan
dalam bentuk aktivitas bermain. Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan
cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar
diiringi dengan memaknai gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid,
memanfaatkan kertas dan semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk
melakukan kegiatan mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk
mainan kartu dan sebagainya.
Lingkungan literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan
menjadi pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca
menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan
dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung
digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman pra-membaca
yang menyenangkan. Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik belajar yang
kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan melalui
bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan dipaksakan tanpa
memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak
menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD, konsentrasi pada aktivitas belajar formal
tidak jarang mengabaikan kesempatan murid didik untuk bermain guna
menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan dan kecakapan literasinya
melalui beraneka ragam kegiatannya.
Bagi siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka
miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan
dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para
siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif.
Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang menarik perhatian
remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling membacakan buku,
membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site, hingga cerpen, novel, esai
populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi
kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan
kesenangan dan mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.
Question 4
Complete
Flag question
Question text
Benarkah definisi dan konsep literasi hanya semata-mata kegiatan membaca aksara
(huruf)?
Literasi membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa
aksara (huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang
dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan
penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Membaca juga
diartikansebagai suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-
lambang bahasa tulis. Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada
teks tertulis atau berupa aksara (huruf)?
Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki makna dan berfungsi sebagai
medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan berupa aksara (huruf), angka dan gambar
(visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi hanya dimaknai sebagai aktivitas
membaca teks dalam bentuk tertulis. Dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan
berbagai bukti berupa lukisan gua berupa coretan, gambar, atau cap yang terdapat di
dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang purba sebagai medium untuk
menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa.
Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar
manusia pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi,
material dari media massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam
bentuk bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11).
Termasuk di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam
sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada, masyarakat
nusantara terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu
seperti membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi
Waluku (orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa
Jawa, pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut
atau tidak, dan sebagainya.
Feedback
Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang diartikan
pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang mengetahui
(aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf. Dalam istilah Yunani,
grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf alfabet. Di akhir abad
18, istilah literasi secara khusus diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894,
sebagai kata benda, literasi diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari
konsep dan definisi literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman
pandangan mengenai literasi. Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika
program literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang
dapat membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara
dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa atau
kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat membaca aksara,
kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang dan
harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam perkembangannya,
literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang tidak dapat dilepaskan
dari konteks yang ada.
Literasi membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa
aksara (huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang
dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan
penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca diartikan
adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang
bahasa tulis. Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks
tertulis atau berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang
memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan
berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi
hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis. Dilacak dari
pengalaman masa lampau, telah ditemukan lukisan gua berupa coretan, gambar, atau
cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang purba
sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa. Bentuk
visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar manusia
pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi, material
dari media massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam bentuk
bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11). Termasuk
di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana
yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara
terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti
membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku
(orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa,
pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau
tidak, dan sebagainya.
Question 5
Complete
Flag question
Question text
Betulkah literasi hanya diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada
kaitannya dengan aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?
Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi
perhatian orangtua. Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi
fokus (Dewayani dan Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan
literasi di rentang waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara,
mendengar, mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi,
membacakan buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya.
Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh dalam lingkungan budaya
keaksaraan (literacy environment).
Murid-murid pada usia dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja
membawa penyempurnaan selanjutnya. Kosa kata berlanjut untuk berkembang
sebagaimana aktivitas membaca ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun
rata-rata orang muda mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir
abstraknya, remaja dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah
menggunakan istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih
sadar akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang
menggunakan ironi, permainan kata dan metafora.
Pada usia remaja juga sudah lebih terampil dalam menggunakan perspektif sosial yaitu
kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan sudut pandang
orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27). Berbasis pada konsep,
tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan perkembangannya,
maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan dari semua aspek
keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis
secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan dikotomistik. Yang mana ini harus
diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik menumbuhkembangkan dan
meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun media pembelajaran yang
tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca semata.
Terlebih lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang
banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam
desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani, 2017; 43),
perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan permainan dan
media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya. Literasi kekinian tetap
dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa itu dengan
pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional.
Feedback
Miskonsepsi berikutnya mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik
dengan membaca, bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh
pendapat yang mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep
literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan
menulis (Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41). Keempatnya merupakan
keterampilan ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang
lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002; 278-279). Aktivitas
proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat keterampilan (seni) berbahasa
ini akan meningkatkan kemampuan berpikir, berkomunikasi dan belajar seseorang.
Keempat keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini.
Literasi dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak
kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi janin
di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan Golant, 1985,
Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan pengasuhan 1000 HPK
(Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018). Secara umum, pertumbuhan dan
perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian orangtua. Namun
perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus (Dewayani dan Setiawan,
2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan literasi di rentang waktu 1000
hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan
terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi, membacakan buku, menggambar,
mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh
dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy environment).
Memakai konsep sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada
kegiatan pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus
mencerminkan kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-
linguistik (Otto, 2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid,
terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya ditandai
dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan pengolahan
informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24). murid-murid usia dasar
cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa penyempurnaan
selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana aktivitas membaca
ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun rata-rata orang muda
mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir abstraknya, remaja dapat
menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan istilah-istilah yang
mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar akan kata-kata sebagai
simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang menggunakan ironi, permainan
kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih terampil dalam menggunakan perspektif
sosial yaitu kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan
sudut pandang orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27). Berbasis
pada konsep, tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan
perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan
dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara,
membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan
dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik
menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun
media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca semata.
Apatah lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang
banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam
desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani, 2017; 43),
perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan permainan dan
media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya. Literasi kekinian tetap
dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa itu dengan
pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional. Strategi, metode, dan
tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta
perilaku remaja saat ini. Literasi tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya
dalam bentuk aktivitas membaca. Oleh karenanya, media multimodal, media yang
melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual,
audiovisual, gestur dan teks spasial, menjadi bagian penting dari kehidupan siswa.
Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi
adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas
melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau
berbicara (GLS, 2017).
Question 6
Complete
Question text
Literasi adalah pelajaran bahasa dan sastra. Karenanya apapun aktivitas yang disebut
sebagai literasi merupakan kewenangan, kompetensi dan tanggung jawab guru
pelajaran bahasa dan sastra.
Pertanyaan:
Apa tanggapan bapak dan ibu tentang pernyataan tersebut di atas?
Pendapat umum menyatakan literasi adalah bahasa dan sastra, literasi itu bagian dari
mata pelajaran dan mata kuliah bahasa dan sastra, literasi itu ‘milik’ dan ranah ilmu
linguistik. Dalam praktik di sekolah, literasi merupakan kompetensi para guru bahasa dan
sastra Indonesia. Di perguruan tinggi, literasi adalah disiplin ilmu dosen bahasa, sastra
dan budaya. Guru dan dosen yang secara formal tidak mempelajari bahasa dan sastra
merasa tidak perlu mengetahui apalagi memahami, menguasai dan terampil literasi.
Dengan kata lain, masih muncul dan berkembang luas anggapan bahwa literasi secara
konsep maupun substansi, baik dalam teori maupun praktik, tidak ada hubungan sama
sekali dengan bidang-bidang yang lainnya.
Padahal jika literasi disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat menggantikan
istilah ‘pengetahuan’ (Dewayani, 2017; 11). Bahkan ternyata sejak tahun 1940, istilah
literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun keterampilan di
satu bidang tertentu, maka ada literasi komputer, literasi statistik, literasi media, literasi
sosial, literasi ekologis, literasi bencana, literasi kesehatan
(https://en.wikipedia.org/wiki/Literacy), literasi parenting dan sebagainya, selain literasi
baca tulis dan literasi numerik sebagai literasi dasar (basic literacy).
Ada yang sangat menarik, terkait mata pelajaran ilmu pasti yaitu matematika, misalnya.
Hampir sebagian besar siswa meyakini matematika sebagai mata pelajaran yang sulit
dan bahkan menjadi momok yang ‘menyeramkan’. Ternyata keterampilan membaca
yang kita kenal dan biasa dipraktikkan itu bisa sangat membantu dalam memahami
matematika. Kemampuan menarasikan matematika secara deskriptif, menjelaskan
rumus-rumus yang ada secara aplikatif dengan menggunakan contoh-contoh berupa
cerita yang sederhana dan menarik, mengoptimalkan otak kanan, utamanya kecerdasan
bahasa untuk mengerti dan memahami logika dan penalaran yang terkandung di dalam
matematika serta mengenali bahwa matematika sebagai media kreatif.
Dengan keterampilan narasi yang bisa dikembangkan dari literasi bahasa baik berupa
baca dan tulis tersebut, maka matematika menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Dari
pola seperti ini, tentunya dapat diterapkan di dalam mempelajari dan mengajarkan mata
pelajaran ataupun mata kuliah yang berbasis matematika dan sejenisnya di disiplin ilmu
pengetahuan yang lain maupun teknologi.
Feedback
Kebanyakan kita begitu mendengar kata literasi, pastilah membayangkan dengan mata
pelajaran bahasa dan sastra. Jika dalam konteks Indonesia, berarti identik dengan bahasa
dan sastra Indonesia. Pandangan ini tidak dapat dipungkiri ada dalam kenyataan
masyarakat sehari-hari, bahkan di dunia pendidikan baik di sekolah dasar dan menengah
hingga perguruan tinggi. Persepsi kita tentang literasi biasanya diasosiasikan dengan
kegiatan yang berkaitan erat dengan membaca buku, puisi, berpidato dan semacamnya,
mengarang cerita pendek (cerpen) dan novel, bercerita berupa dongeng, hikayat,
legenda dan sebagainya. Pendapat umum ada yang menyatakan literasi adalah bahasa
dan sastra, literasi itu bagian dari mata pelajaran dan mata kuliah bahasa dan sastra,
literasi itu ‘milik’ dan ranah ilmu linguistik. Dalam praktik di sekolah, literasi merupakan
kompetensi para guru bahasa dan sastra Indonesia. Di perguruan tinggi, literasi adalah
disiplin ilmu dosen bahasa, sastra dan budaya. Guru dan dosen yang secara formal tidak
mempelajari bahasa dan sastra merasa tidak perlu mengetahui apalagi memahami,
menguasai dan terampil literasi. Dengan kata lain, masih muncul dan berkembang luas
anggapan bahwa literasi secara konsep maupun substansi, baik dalam teori maupun
praktik, tidak ada hubungan sama sekali dengan bidang-bidang yang lainnya.
Sebenarnya jika literasi disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat
menggantikan istilah ‘pengetahuan’ (Dewayani, 2017; 11). Bahkan ternyata sejak tahun
1940, istilah literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun
keterampilan di satu bidang tertentu, maka ada literasi komputer, literasi statistik, literasi
media, literasi sosial, literasi ekologis, literasi bencana, literasi kesehatan
(https://en.wikipedia.org/wiki/Literacy), literasi parenting dan sebagainya, selain literasi
baca tulis dan literasi numerik sebagai literasi dasar (basic literacy).
Ada yang sangat menarik, terkait mata pelajaran ilmu pasti yaitu matematika, misalnya.
Hampir sebagian besar siswa meyakini matematika sebagai mata pelajaran yang sulit
dan bahkan menjadi momok yang ‘menyeramkan’. Ternyata keterampilan membaca
yang kita kenal dan biasa dipraktikkan itu bisa sangat membantu dalam memahami
matematika. Kemampuan menarasikan matematika secara deskriptif, menjelaskan
rumus-rumus yang ada secara aplikatif dengan menggunakan contoh-contoh berupa
cerita yang sederhana dan menarik, mengoptimalkan otak kanan, utamanya kecerdasan
bahasa untuk mengerti dan memahami logika dan penalaran yang terkandung di dalam
matematika serta mengenali bahwa matematika sebagai media kreatif. Dengan
keterampilan narasi yang bisa dikembangkan dari literasi bahasa baik berupa baca dan
tulis tersebut, maka matematika menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Dari pola
seperti ini, tentunya dapat diterapkan di dalam mempelajari dan mengajarkan mata
pelajaran ataupun mata kuliah yang berbasis matematika dan sejenisnya di disiplin ilmu
pengetahuan yang lain maupun teknologi.
Information
Flag question
Information text
Terima kasih sudah menuangkan jawaban dari pengalaman dan pengetahuan yang
Bapak/Ibu miliki.
Bapak/Ibu juga dapat menyimak dan memberikan komentar terhadap jawaban peserta
lainnya agar mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai materi yang
dipelajari.
Video Miskonsepsi
Bapak/Ibu , silakan menyimak beberapa video keterangan tentang miskonsespi
konsep literasi berikut ini.
https://youtu.be/CeLZ9q1skdM
https://youtu.be/Dcd-eM9AQ08
https://youtu.be/o9qpvwUxfVw
https://youtu.be/mszy1F-lxb0
https://youtu.be/JdFEJ7cYvPE
Pengantar
Apabila kita mencari dan mengumpulkan apa definisi, konsep dan makna literasi,
maka ternyata terdapat banyak akademisi, pakar, peneliti dan berbagai organisasi
edukasi dan literasi baik dalam ranah nasional maupun internasional yang
mendefinisikan, menetapkan konsepnya dan memaknainya secara berbeda-beda
sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global, perkembangan
sosial, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Karenanya tidak
ada definisi, konsep dan pemaknaan literasi yang tunggal. Pemaknaan literasi pun
sangat tergantung dan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.
Bapak/Ibu juga dapat menyimak dan memberikan komentar terhadap jawaban peserta lainnya
agar mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai materi yang dipelajari.
Previous12345678910111213Next
Bapak/Ibu silakan meringkas konsep dan makna literasi menurut Unesco tersebut kedalam
bahasa sendiri .
Berdasarkan versi Perpustakaan Nasional RI, mengartikan literasi dalam konsep 4 (empat)
hierarki literasi yang meliputi kemampuan mengumpulkan sumber-sumber bacaan,
kemampuan memahami yang tersirat dari yang tersurat, kemampuan mengungkapkan ide
atau gagasan baru, teori baru dan kreativitas serta inovasi baru hingga memiliki kemampuan
menganalisis informasi dan menulis buku, yang terakhir adalah kemampuan menciptakan
barang atau jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global. Keempat hierarki
literasi ini dapat diterapkan sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat yang riel. Bagi
masyarakat yang belum memiliki akses terhadap adanya buku, maka dilakukan strategi,
program dan kegiatan berupa mengumpulkan sumber-sumber bacaan. Kemudian apabila
masyarakat sudah terpapar bahan-bahan bacaan, maka perlu dimotivasi dan stimulasi untuk
tumbuh dan berkembang minat, kegemaran dan budaya bacanya. Tidak berhenti di aktivitas
membaca buku, tetapi harus lebih jauh berupaya memahami pesan baik berupa pengetahuan
maupun informasi yang dapat diperoleh dari bahan bacaan itu. Meningkat dari kemampuan
memahami bacaan, adalah mendialektikkan antara pengetahuan yang dimiliki si pembaca
dengan gagasan yang dikemukakan oleh si penulis buku. Melalui proses ini diharapkan
mampu secara kreatif melahirkan konsep-konsep baru yang inovatif. Ide-ide yang inovatif
diterjemahkan dalam wujud barang dan jasa yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
7.
New Literacy Studies (NLS)
‘The New Literacies Studies’ diuraikan secara tata bahasa berbeda dari ‘the New
Literacy Studies’. NLS adalah tentang mempelajari literasi dengan cara baru. 'The
New Literacy Studies' adalah tentang mempelajari jenis literasi baru di luar literasi
cetak, terutama 'literasi digital' dan praktik literasi yang tertanam dalam budaya
populer. The New Literacies Studies memandang berbagai alat digital sebagai
teknologi untuk memberi dan mendapatkan makna, seperti halnya bahasa
(Alvermann et al. 1999; Buckingham 2003, 2007; Coiro et al. 2008; Gee 2004, 2013;
Hobbs 1997; Jenkins 2006; Kist 2004 ; Knobel dan Lankshear 2007; Kress 2003;
Lankshear 1997; Lankshear dan Knobel 2006; New London Group 1996). Singkatnya
NLS memandang literasi adalah sebagai suatu gerakan sosial.