Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL TESIS

ANALIS LITERASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA :


ANALISIS WACANA KELAS

DISUSUN OLEH:
Aziz Rio Kausar ( A2A022018 )

UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENDIDIKAN BAHASA
INDONESIA
TAHUN AJARAN 2023-2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada era ini, khususnya dalam bidang literasi pada
pembelajaran bahasa Indonesia mengalami beberapa hambatan atau belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan.Pembelajaran bahasa Indonesia ibarat
produk, lebih sering ditawarkan secara inferior,tidak dikemas bagus dan
monoton, sehingga siswa sebagai konsumen tidak tertarik untuk membeli.
Guru sebagai pemasar tidak mampu meyakinkan calon pembeli bahwa produk
yang dibawanya itu penting dan bermanfaat. Karena itulah, perlu suatu
terobosan baru bagaimana mengemas pembelajaran bahasa Indonesia agar
menarik sehingga menerbitkan rasa cinta dan semangat belajar.
UUD Pemerintah melalui Permendiknas No. 23 tahun 2015
mengungkapkan bahwa program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia
di sekolah atau di madrasah-madrasah mesti diarahkan pada peningkatan
kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Literasi dapat
menumbuhkan minat budaya baca dan tulis yang diikuti dengan penumbuhan
budi pekerti pada diri peserta didik. Literasi terkait dengan tiga substansi, yaitu
membaca, berpikir, dan menulis. Hubungan tiga komponen literasi ini bersifat
kompleks dan terpadu.Literasi substansinya adalah kemampuan berpikir kritis
dan kreatif tentang informasi yang disanggah oleh kebiasaan membaca dan
menulis yang baik sehingga bisa menilai dan mendapatkan informasi, hal ini
sangat tepat jika diarahkan pada upaya membangun budaya literasi.
Hal yang paling mendasar dalam praktik literasi adalah kegiatan
membaca. Keterampilan membaca merupakan fondasi untuk mempelajari
berbagai hal lainnya.Kemampuan ini penting bagi pertumbuhan intelektual
peserta didik.Melalui membaca peserta didik dapat menyerap ilmu
pengetahuan dan mengeksplorasi dunia yang bermanfaat bagi
kehidupannya.Membaca memberikan pengaruh budaya yangkuat terhadap
perkembangan literasi peserta didik.
Prestasi membaca peserta didik sampai saat ini di Indonesia masih
sangat rendah, berada dibawah rata-rata skor internasional. Data dari United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)
menunjukkan minat baca anak Indonesia hanya 0,1%, Artinya dari 10.000
anak bangsa , hanya 1 orang yang gemar membaca dan juga menulis.
Kelemahan yang dialami peserta didik saat ini adalah ketergantungannya
terhadap budaya lisan dibanding budaya teks. Peserta didik lebih menyukai
aktivitas menonton kartun, menonton sinetron, membaca pesan WA
dibandingkanmeluangkan waktuuntuk membaca buku teks. Sehingga informasi
pengetahuan yang diperoleh sangatlah rendah.
Akan tetapi, sebagai program yang baru, tentu belum dapat sepenuhnya
dipahami olehsemua kalangan, inilah tugas pemerintah dan pendidik untuk
lebih mensosialisasikan program ini agar terciptanya tujuan pendidikan
nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Program literasi juga dapat
dilakukan pada mata pelajaran, seperti mata pelajaran bahasa Indonesia yang
merupakan mata pelajaran wajib yang diberikan pada jenjang sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Sebagai mata pelajaran wajib, mata pelajaran bahasa
Indonesia perlu disajikan dengan sistem pengajaran yang memperhatikan
aspek-aspek tertentu untuk mampu membangkitkan minat baca dan tulis.
Rendahnya literasi menjadi indikasi yang berbahaya bagi kehidupan
setiap individu dan peradaban masyarakat. Mustahil tanpa literasi yang baik,
setiap individu mampumenjawab tuntutan perkembangan zaman. Kendala
utama dalam pembelajaran literasi terletak pada faktor pemahaman guru yang
masih kurang, serta faktor kebijakan sekolah yang belum membentuk tim
gerakan literasi sekolah (GLS). Untuk itu pemetaan pembelajaran literasi di
sekolah perlu dilakukan sehingga bisa diperolehgambaran awal tentang
pembelajaran literasi khususnya di SMA Negeri 1 Konawe Selatan.
Faktor penyebab rendahnya kemampuan literasi karena adanya tradisi
kelisanan (orality) yang masih mengakar dimasyarakat. Masyarakat ataupun
peserta didik zaman dulu lebih memanjakan tradisi lisan (omongdengar)
daripada tradisi literasi (baca-tulis). Selain itu, sistem sekolah yang masih
kurang dalam memberi peluang bagi tradisi literasi kepada peserta didik.
Model pengajaran dikelas pada umumnya guru masih terlalu banyak berbicara,
sedangkan siswa terlalu sukar menjadi pendengar. Guru jarang menjadikan
kegiatan membaca-menulis sebagai kerangka berpijak (frame of reference)
dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, berbagai pendekatan pendidikan
dihadirkan guna menuntaskan permasalahan literasi tersebut.
Pembelajaran bahasa Indonesia sejak kurikulum 2013 diberlakukan
hingga direvisi menjadi kurikulum nasional mengutamakan pembelajaran yang
berbasis teks. Artinya siswa ditekankan untuk memahami berbagai jenis teks
sekaligus menuntut siswa untuk mahir menulis dan membaca berbagai macam
teks.Diterapkannya pembelajaran berbasis teks ini kiranya dapat meningkatkan
budaya literasi pada diri peserta didik. Kasus yang sering terjadi yaitu
anjloknya nilai UAN pada mata pelajaran bahasa Indonesia disetiap tahunnya,
hal ini tentu harus mendapat perhatian oleh seluruh pendidik di Indonesia,
mengapa hal demikian bisa terjadi. Menumbuhkan budaya literasi dikalangan
peserta didik setidaknya akan memberikan peningkatan mutu terhadap peserta
didik.
Wacana kelas berkaitan dengan interaksi guru dan siswa. Bukan hanya
bahasa guru dalam mengajar atau menjelaskan materi saja, bahasa guru dalam
memberi nasihat ataupun teguran kepada siswanya juga terdapat dalam wacana
kelas. Wacana kelas berisi tentang kegiatan yang secara langsung terjadi di
dalam kelas. Dari awal pembelajaran dimulai sampai akhir pembelajaran
selesai. Pada proses pembelajaran tentu banyak tindakan yang dilakukan oleh
guru dan siswa seperti, tindak menyatakan, memberitahu, menegaskan,
memperkirakan, menyimpulkan, meyakini, menyetujui, mengakui dan
menolak. Dalam tindakan tersebut pada wacana kelas disebut dengan
penalaran. Bukan hanya penalaran saja dalam wacana kelas terdapat juga aspek
rasa. Aspek rasa menurut Dewantara (1977) dalam (Suwingnyo, 66: 2012)
merupakan potensi jiwa yang bersifat biologis. Eksistensinya bersifat
permanen, kewajiban guru menebaltipiskan potensi rasa yang ada. Rasa negatif
ditipiskan dan rasa yang positif ditebalkan. Sikap kemauan (karsa) juga
terdapat dalam wacana kelas, sikap karsa tersebut di antaranya terdapat karsa
mau dan karsa mantap.
Pada wacana kelas terdapat empat pola dalam pembelajaran, yaitu pola
tindakan penyiapan situasi/ kondisi (teacher structuring) dilakukan pada awal
pembelajaran di mana siswa dapat berkonsentrasi pada topik atau materi yang
akan dibahas nantinya. Tindakan mengundang tanggapan siswa (teacher
soliciting), dilakukan pada saat proses pembelajaran guru dapat bertanya
kepada siswa, siswa dapat mengemukakan pendapatnya terhadap pembelajaran
yang dilakukan. Tindakan menanggapi oleh siswa (learner responding),
tindakan ini menyuruh siswa untuk merespons, misalnya merespons pertanyaan
yang diajukan oleh guru. Tindakan mereaksi atas hasil tanggapan siswa
(teacher reacting), dilakukan oleh guru untuk mereaksi kualitas respons siswa
berupa penguatan ataupun pengoreksian.
Struktur wacana kelas didasarkan pada pandangan bahwa suatu
peristiwa tutur berisi satu kegiatan atau aspek kegiatan yang secara langsung
diatur oleh norma penggunaan tutur Hymes, 1971 (dalam, Suwignyo, 2012:
27). Peristiwa tutur terjadi dalam satu situasi tutur yang terdiri atas satu tindak
tutur atau lebih. Jika suatu transaksi isi pembelajaran merupakan situasi tutur,
maka rangkaian tindakan pembelajaran merupakan peristiwa tutur dengan
muatan satu atau lebih tindak tutur pembelajaran. Oleh karena itu mendasar
tindakan structuring, soliciting, responding, dan reacting sebagai peristiwa
tutur berarti menjadikan keempat peristiwa tutur tersebut ke unit analisis tindak
tutur pembelajaran. Analisis wacana kelas menggunakan teori Bellack 1973
(dalam, Suwignyo, 2012: 27) menegaskan terdapat empat pola tindakan dalam
peristiwa pembelajaran, yakni pola tindakan penyiapan situasi atau kondisi
pembelajaran disebut peristiwa teacher structuring, tindakan mengundang
tanggapan siswa disebut peristiwa teacher soliciting, tindakan menanggapi
oleh siswa atau peristiwa learner responding, dan tindakan mereaksi atas hasil
tanggapan siswa disebut peristiwa teacher reacting.
Pola tindakan penyiapan situasi kondisi (Teacher Structuring) terdiri
atas: tindak menyatakan, rasa syukur, ungkapan pujian, ungkapan kepuasan,
tindak berusaha, tindak membatasi, tindak mendikte, penanaman kebiasaan
tertib. Tindakan mengundang tanggapan siswa (Teacher Soliciting) peristiwa
soliciting di antaranya: tindak memberitahukan, tindak memperkirakan, tindak
menegaskan, tindak menyimpulkan, tindak meyakini, rasa eling, ungkapan
pemberian maaf, tindak menjanjikan, tindak mengajak, tindak menawarkan,
tindak menjamin, tindak memerintah, tindak membatasi, tindak menuntun,
tindak mensyaratkan, tindak mengundang, tindak menasihati, tindak
mengingatkan, tindak membolehkan, tindak mengizinkan, tindak menoleransi,
penanaman kebiasaan bertanggung jawab, penanaman kebiasaan jujur,
penanaman kebiasaan sopan, penumbuhan keterlibatan menyusun jawaban,
menumbuhkan keterlibatan menyatakan pendapat, penumbuhan keterlibatan
menyatakan keinginan/kehendak, penumbuhan keterlibatan memberikan
komentar, bekerja sama secara berpasangan, bekerja sama secara klasikal, dan
rasa yakin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagamakah literasi dalam pemebelajaran bahasa indonesia di SMP 13
SELUMA?
2. Bagaiamakah literasi wacana kelas dalam pembelajara bahasa indonesia
SMP 13 SELUMA?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengtahu literasi dalam pembelajar bahasa indonesi SMP 13
SELUMA
2. Untuk mengtahu literasi dalam analisis wacana kelas SMP 13 SELUMA.
3. Untuk mengtahui proses literasi dalam pembelajaran bahasa indonesia
SMP 13 SELUMA.
4. Untuk mengtahu analis wacana dalam pembelajaran bahasa indonesia
SMP 13 SELUMA
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan


Peneliti sadar, bahwa penelitianpengembangan program literasi pada
pembelajaran bahasa Indonesia bukan hal baru. Peneliti lain telah banyak
mengkaji mengenai sistem pengembangan program literasi. Peneliti pun
berusaha mencari tahu penelitian sebelumnya yang menjadikan pengembangan
program literasi dan bahasa Indonesia sebagai objek penelitian dalam bidang
pendidikan. Usaha tersebut dengan cara mencari arsip-arsip hasil penelitian
sebelumnya, baik online maupun offline dan ternyata belum ada yang meneliti,
khususnya menyatukan program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Peneliti juga menguraikan beberapa penelitian yang berkaitan dengan
programliterasi yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Hasil
penelitian tersebut dapat memberikan sumbangsih dalam penelitian ini.
Beberapa penelitian menjadi bahan bacaan dan juga sebagai bahan
perbandingan agar hasil penelitian ini dapat menjadikan penelitian yang
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Peneliti memberikan gambaran mengenai persamaan dan perbedaan
dalam penelitian pengembangan program literasi dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, sehingga penulis/peneliti dapat memahami dan mengamati
perbedaan dan persamaan pada setiap penelitian sesuai dengan yang
dilakukan peneliti dalam tesis ini. Adapun penelitian yang relevan adalah
sebagai berikut. Penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2018) berjudul
“Program Literasi Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa”. Penelitian
tersebut dianggap relevan, karena peneliti menggunakan program literasi dalam
melakukan penelitian.Sama halnya dengan penelitian ini yang juga
menggunakan program literasi.Perbedaannya terletak pada objek penelitian,
Zaini menggunakan program literasi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa
di sekolah, sedangkan didalam penelitian ini, objeknya adalah
melihatpengembangan literasi sekolah secara utuh dan memasukkan
pembelajaran bahasa Indonesia didalamnya (literasi informasi). Ada pula
penelitian yang dilakukan oleh Hardiyanti (2015) berjudul “Peran Literasi
Informasi Terhadap Pemanfaatan Perpustakaan Utsman Bin Affan Universitas
Muslim Indonesia Makassar”. Penelitian ini membahas topik mengenai literasi
yang juga dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian Hardiyanti
menggunakan media perpustakaan saja untuk menjalankanprogram literasi
informasi, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa
Indonesia didalam program literasi dan pengembangan program literasi secara
menyeluruh di sekolah ini.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nindya Faradina (2017)
berjudul “Pengaruh dan Hambatan Program Gerakan Literasi
SekolahTerhadap Minat Baca Siswa di SMA 1 Jatinom Klaten”. Penelitian ini
mengkaji literasi untuk menemukan hambatan dan pengaruh yang terjadi,
sedangkan peneliti dalam tesis ini mengkaji analis literasi di SMP 13
SELUMA secara menyeluruh dan memasukkan mata pelajaran bahasa
Indonesia didalam program literasi, yang dimana istilah ini dikenal dengan
literasi informasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Yuyu Yuliati (2017) berjudul “Peran
Literasi Sains dalam Pembelajaran Ipa”. Penelitian ini membahas topik
mengenai literasi yang juga dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian
ini juga menggunakan pembelajaran ipa untuk mengukur tingkat keberhasilan
program literasi, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa
Indonesia didalam program literasi dan pengembangan program literasi secara
menyeluruh di sekolah ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Adib Rifqi Setiawan (2019) berjudul
“Efektifitas Pembelajaran Biologi Berorientasi Literasi Saintifik”. Penelitian
ini membahas topik mengenai literasi yang juga dibahas peneliti didalam
penelitian ini. Penelitian ini juga menggunakan pembelajaran biologi
didalamnya, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa
Indonesia didalam program literasi dan melihat pengembangan program literasi
secara menyeluruh di sekolah ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Husna Nur Dinni (2018) berjudul
“HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya Dengan Kemampuan
Literasi Matematika”. Penelitian ini membahas topik mengenai literasi yang
juga dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian ini juga memasukkan
model HOTSsebagai tambahan. Penelitian ini juga menggunakan pembelajaran
Matematika didalamnya, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran
bahasa Indonesia didalam program literasi untuk melihat pengembangan
program literasi secara menyeluruh di sekolah ini.
B. Landasan Teori
Pengembangan program literasi pada pembelajaran bahasa Indonesia.
Penelitian ini berfokus melalui program tersebut. Namun, terlebih dahulu,
peneliti berusaha menjabarkan unsur-unsur pembangun literasi dan
pembelajaran bahasa Indonesia (literasi Informasi).
1. Pengertian Literasi Bahasa Indonesia
Seringkali orang yang bisa membaca dan menulis disebut literat,
sedangkan orang yang tidak bisa membaca dan menulis disebut iliterat
atau buta aksara. Menurut Kern (2000: 3) menjelaskan literasi sebagai
kemampuan untuk membaca dan menulis. Selain itu literasi juga memiliki
kesamaan arti dengan belajar dan memahami sumber bacaan. Romdhoni
(2013: 90) mengatakan bahwa literasi merupakan peristiwa sosial yang
melibatkan keterampilan-keterampilan tertentu, yang diperlukan untuk
menyampaikan dan mendapatan informasi dalam bentuk tulisan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kern (2000: 16) yang
mendefinisikan literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial,
dan historis, dan situasi kebudayaan untuk menciptakan dan
mengnterpresikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya
sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antar
konvensi-konvesi tekstual dan konteks penggunaannya serta idealnya
kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu.
Karena peka dengan maksud/tujuan, literasi itu bersifat dinamis-tidak-
statis- dan dapat bervariasi diantara dan didalam komunitas dan
kebudayaan. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif,
pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre,
pengetahuan kebudayaan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa literasi
merupakan peristiwa sosial yang dilengkapi keterampilan-keterampilan
untuk menciptakandan menginterpresikan makna melalui teks. Literasi
memerlukan serangkaian kemampuan untuk menyampaikan dan
mendapatkan informasi berbentuk tulisan. Senada dengan itu iriantara
(2009: 5) menjelaskan bahwa kini literasi bukan hanya hubungan dengan
kemampuan membaca dan menulis teks saja, karena kini “teks” sudah
diperluas maknanya sehingga mencakup juga “teks” dalam bentuk visual,
audiovisual, dan dimensi-dimensi kompiterisasi, sehingga di dalam teks
tersebut secara bersama-sama muncul unsusr-unsur kognitif, afektif, dan
intuitif.
Teknologi seperti sekarang ini, konteks tradisi intelektual suatu
masyarakat bisa dikatakan berbudaya lierasi ketika masyarakat tersebut
sudah memanfaatkan informasi yang mereka dapat untuk melakukan
komunikasi sosial dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan penjelasan diatas
dapat dipaahami bahwa literasi merupakan suatu tahap perilaku sosial
yaitu kemampuan individu untuk membaca, menginterpresikan, dan
menganalisa informasi dan pengetahuan yang mereka dapat untuk
melahirkan kesejahteraan hidup.
2. Literasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia dipilih untuk mengintegrasikan
ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial
(IPS).Pembelajaran bahasa Indonesia tersebut membawa konsekuensi
kewajiban menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pencarian dan
penemuan ilmu. Dengan kata lain, bahasa Indonesia merupakan bahasa
ilmu. (Suwandi, 2019: 29), Pengertian literasi dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia adalah kemampuan informasi. Kemampuan informasi mengacu
pada beberapa aktivitas, yaitu mengumpulkan informasi, mengolah
informasi, dan mengkomunikasikan informasi. Ketiga aktivitas tersebut
tidak dapat dilepaskan pada keterampilan membaca dan menulis. Untuk
mendukung peningkatan literasi dimasyarakat pemerintah Indonesia
bahkan menggalakkan Gerakan Literasi Sekolah. (Yukaristia, 2019: 10-
11).
Secara garis besar terdapat empat faktor yang mendukung
ketercapaian tujuan program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang harus diperhatikan, yang meliputi, (1) sumber belajar, (2) bahan ajar,
(3) strategi pembelajaran, (4) penilaian. Berikut diuraikan keempat aspek
tersebut:
a) Sumber belajar adalah dari mana materi atau informasi itu diperoleh
siswa atau berupa apakah informasi itu tersimpan. Secara umum,
sumber belajar berupa cetak maupun noncetak. Contoh untuk cetak
berupa buku, majalah, surat kabar, bulletin, makalah, artikel dijurnal,
dan sebagainya. Contoh untuk noncetak berupa radio, tape recorder,
kaset, CD, DVD, VCD, TV, internet, bahkan lingkungan sekitar (kelas,
sekolah, pasar, perpustakaan, taman, dan sebagainya). Dalam
pelaksanaan pembelajaran literasi bahasa Indonesia diharapkan guru
tidak hanya menggunakan satu sumber melainkan mengajak siswa
menggunakan berbagai sumber. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa jika
siswa membaca dari berbagai sumber, informasi yang akan diperoleh
akan lebih lengkap jika dibandingkan dengan hanya menggunakan satu
satu sumber saja. Tentu saja yang dimaksudkan dengan istilah berbagai
sumber disini adalah sumber belajar yang relevan dengan materi atau
informasi yang akan dipelajari oleh siswa. Guru dituntut dapat lebih
kreatif dalam hal pemilihan sumber belajar siswanya.
b) Berkaitan dengan pembelajaran bahasa, bahan ajar adalah segala
sesuatu yang digunakan guru atau siswa untuk memudahkan proses
belajar, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman berbahasa.
Definisi lain menyebutkan bahwa bahan ajar adalah seperangkat materi
yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga
tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.
Dalam melaksanakan pembelajaran literasi, guru membutuhkan
seperangkat bahan ajar yang dapat mendorong siswa belajar secara
optimal. Idealnya, seorang guru harus dapat mengembangkan sendiri
bahan ajarnya.
c) Strategi Pembelajaran adalah keputusan bertindak dari guru dengan
menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia
untuk mencapai tujuan melalui hubungan yang efektif antara
lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. (Asih, 2016: 26).
Terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia, siswa harus memiliki
kemampuan utama dalam hal membaca dan menulis agar dapat
menyerap materi pembelajaran. Faktanya, masih banyak guru yang
mengalami kesulitan dalam menanamkan kemampuan membaca dan
menulis. Oleh karena itu, diperlukan pemilihan dan penguasaan strategi
yang benar-benar efektif. Strategi yang efektif akan menunjang
kegiatan literasi. Pembelajaran literasi bahasa Indonesia hendaknya
dipertimbangkan antara strategi pembelajaran membaca dan strategi
pembelajaran menulis. Pembelajaran membaca, dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan, yaitu tahap sebelum membaca/pre-reading (dalam
rangka membangun konteks), tahap saat membaca (while reading), dan
tahap setelah membaca (post reading).
3. Model-model Pembelajaran Literasi Bahasa Indonesia
Dari berbagai teori tentang pembelajaran literasi, berikut secara
ringkas disajikan beberapa model yang dapat digunakan oleh guru dalam
pembelajarannya. Beragam model pembelajaran yang bersifat kooperatif
lebih disarankan karena model ini lebih mengedepankan pemanfaatan
kerja sama antarkelompok siswa dalam menyelesaikan permasalahan
(Subandiyah, 2015: 114).
Beberapa contoh model pembelajaran literasi yang dimaksudkan
antara lain model pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization),
STAD (Student Teams Achievment Division), Two Stay Two Stay, dan
STL (Student Team Learning). Khusus pembelajaran menulis, contohnya
antara lain model jigsaw, menulis berputar (Write Around), model
pembelajaran TPS (Think Pairs Share). Model TPS dapat dipilih karena
lebih mengedepankan kekuatan “perenungan” atau kontemplasi siswa
dalam berpikir dan menuliskan apa yang direnungkannya terhadap
sederet persoalan, pertanyaan, serta jawaban dari masalah yang dihadapi.
Produk tulisan yang baik dapat dihasilkan jika siswa sudah mampu
menghayati dan merenungkan suatu masalah secara
mendalam.Selanjutnya diharapkan muncul intuisi dalam diri mereka dan
mulai menuangkannya dalam bentuk tulisan.Oleh karena itu, pemerintah
membuat peraturan Nomor 23 Tahun 2015 , kementerian pendidikan dan
kebudayaan mewajibkan setiap siswa untuk membaca buku sebelum
memulai jam pelajaran (Retnaningdyah Dkk, 2016: 4).
Model-model tersebut berhasil meningkatkan kemampuan siswa
untuk kepeluan hidup dilingkungan masyarakat literat, baik yang bersifat
akademik maupun kegiatan sosial lainnya. Pelaksanaan model GLS
terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) tahap pembiasaan, (2) tahap
pengembangan, dan (3) tahap pembelajaran. Tahap pembiasaan
dilakukan untuk menumbuhkan minat baca siswa. Tahap pengembangan
dilaksanakan disertai dengan kegiatan tindak lanjut setelah tahap
membaca. Tahap pembelajaran dilaksanakan dengan strategi membaca
tertentu dalam kegiatan pembelajaran (Husnul, 2019: 182).
Lingkungan pembelajaran literasi pada peserta didik memberikan
pengaruh psikologis yang akan tertanam dalam ingatan peserta didik.
Jika dilakukan terus-menerus dan dilakukan pada seluruh populasi
peserta didik di Indonesia, diharapkan akan membentuk dan menjadi
budaya literasi bagi generasi penerus bangsa. Pembelajaran bahasa
Indonesia lebih diarahkan pada upaya membangun budaya literasi,
terutama pada pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas peserta
didik menggunakan bahan ajar dalam berkehidupan. Efektifitas belajar
literasi dapat tercipta melalui pembelajaran efektif yang merupakan
pembelajaran dengan memungkinkan siswa dapat belajar dengan mudah
dan menyenangkan dan terhindar dari gangguan dan hambatan
(Muhajang, 2018:18).
Pembelajaran berbasis budaya literasi akan mengkondisikan
peserta didik untuk menjadi seorang literat. Peningkatan kemampuan
literasi dalam belajar sejalan dengan tujuan pendidikan. Berdasarkan
mata pelajaran yang disediakan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah/madrasah, porsi pokok bahasan literasi khususnya masih relative
sedikit dan tidak lebih sebagai pelengkap. Padahal, penekanan pada baca-
tulis akan menghasilkan keterampilan berkomunikasi dengan objek yang
dibaca, keterampilan bernalar dan berimajinasi, serta dapat
menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, percaya diri, dan kesadaran diri
dengan cara menuangkan hasil bacaan, ide, gagasan, dan pengalamannya
serta menancapkan hasil bacaan ke dalam benak dan hatinya. Seiring
dengan perkembangan zaman dalam lingkup sekolah ditemukan banyak
sekali minat membaca peserta didik pada saat melaksanakan GLS
mengalami penurunan, dan saat ini GLS sedang berupaya untuk
menjalankan 3 tahapan yang dimiliki yaitu tahap pembiasaan,
pengembangan, dan pembelajaran (Ghufron, 2020: 94). Pembelajaran
yang dilaksanakan guru bahasa Indonesia hendaknya mampu
membangun kesadaran kritis transitif, yang ditandai dengan kedalaman
menafsirkan berbagai permasalahan, membangun rasa percaya diri dalam
diskusi, serta membangun kemampuan untuk mampu menerima dan
menolak. Pembelajaran sebagai proses interaksi edukatif antara pendidik
dan peserta didik dengan sumber belajar hendaknya mampu mewujudkan
kemampuan merefleksi. Guru memikul tanggung jawab untuk mengatasi
rendahnya literasi siswa. Upaya tersebut dapat berhasil manakala guru
sendiri telah memiliki budaya literasi.
a) Jenis- Jenis Literasi
Literasi secara umum diartikan sebagai kemampuan
membaca dan menulis. Semakin banyak informasi yang disimak-
baca, semakin banyak informasi yang kita kuasai, dan dengan banyak
membaca- menyimak yang berarti kita akan mengetahui-menguasai
informasi, maka akan memudahkan untuk berbicara-menulis.
(Nurjamal dkk, 2011: 4) mengungkapkan bahwa dalam
perkembangannya, literasi memiliki arti yang luas sehingga ada
bermacam-macam jenis literasi misalnya literasi komputer, literasi
media, literasi informasi, dan literasi moral. (Septiyantono, 2015: 15).
Ferguson menjabarkan komponen literasi informasi sebagai berikut:
(1) Literasi dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung.
Dalam literasi dasar, kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis, dan menghitung (Counting)berkaitan dengan
kemampuan analisis untuk memperhitungkan, mempersepsikan
informasi, mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi
berdasarkan pemahaman dan kesimpulan pribadi.
(2) Literasi perpustakaan, yaitu kemampuan lanjutan untuk bisa
mengoptimalkan literasi perpustakaan yang ada. Maksudnya,
pemahaman tentang keberadaan perpustakaan sebagai salah satu
akses untuk mendapatkan informasi. Pada dasarnya literasi
perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara
membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi
referensi dan periodikal.
(3) Literasi media, yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai
bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik
(media radio, media televisi), media digital (media internet), dan
memahami tujuan penggunaannya. Secara gambling saat ini bisa
dilihat dimasyarakat kita bahwa media lebih sebagai hiburan
semata.
(4) Literasi teknologi, yaitu kemampuan memahami kelengkapan
yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti
lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan
teknologi. Berikutnya, dapat memahami teknologi untuk
mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
(5) Literasi visual, adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi
media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan
dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan
audio- visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap
materi visual yang setiap hari membanjiri kita, baik dalam bentuk
tercetak, di televisi maupun internet, haruslah dikelola dengan
baik.
b) Dimensi dalam Program Literasi
Perkembangannya literasi terus berevolusi dan karenanya
rujukannya makin meluas dan kompleks. Literasi memiliki lima
dimensi yang berurusan dengan penggunaan bahasa, yaitu:
(1) Dimensi geografis, yang meliputi daerah lokal, nasional, regional,
dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan
dan jejaring sosial.
(2) Dimensi bidang, yang meliputi pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, dan sebagainya. Literasi ini mencirikan
tingkat kualitas bangsa di bidang-bidang tersebut.
(3) Dimensi keterampilan, yang meliputi membaca, menulis,
menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu yang
dapat dilihat dari tampak dan semaraknya kegiatan membaca,
menulis, menghitung, dan berbicara.
(4) Dimensi fungsi, yakni fungsi literasi untuk memecahkan persoalan,
memenuhi persyaratan dalam upaya mendapatkan pekerjaan,
mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan
meningkatkan kapasitas pribadi dan potensi diri.
(5) Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Seiring berjalan
dengan perkembangan teknologi yang pesat, begitu juga teknologi
dalam media literasi. (Suwandi, 2019: 65).
Literasi dan berliterasi merupakan suatu persoalan yang
kompleks. Literasi dan berliterasi memiliki spectrum kajian yang luas
dan berkaitan dengan banyak variabel, baik kajian dalam perspektif
teoritis maupun praksis. Program literasi mencakup upaya
mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan
intelektual, emosional, sosial, spiritual, bahasa, arus teknologi dan
informasi. Berliterasi bertalian erat dengan ketersediaan kebijakan
regulasi, penyediaan buku dan sarana prasarana lain yang memadai,
mentor yang dedikatif, dan iklim yang kondusif. Pembelajaran Bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang dipergunakan
oleh masyarakat Indonesia untuk keperluan sehari-hari, misalnya
belajar, bekerjasama dan berinteraksi. (Cahyani, 2009: 36). Suatu
bahasa dikatakan penting apabila memiiki jumlah populasi pemakai
yang banyak, wilayah persebarannya luas, berperan penting dalam
pengembangan susastra-budaya, dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar siswa
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta
dapat menghayati bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan
berbahasa serta tingkat pengalaman siswa (Alhadiah Dkk, 1991: 11).
Kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia akan berhasil apabila
guru menyesuaikan pembelajaran dengan kemampuan siswa.
Penyesuaian tersebut harus dirancang secara terpadu dengan tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya tujuan utama pembelajaran
bahasa umumnya adalah mempersiapkan siswa untuk melakukan
interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah agar interaksi
dapat bermakna bagi siswa perlu didesain secara tepat dalam rencana
pembelajaran Bahasa Indonesia.
Penyusunan rencana pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan
pada siswa sebagai subjek belajar. Melalui pengalaman belajar, siswa
menemukan, menerapkan, menganalisis, membandingkan, menyusun,
memperbaiki, menilai, dan menyimpulkan sendiri.Belajar merupakan
perilaku manusia atau perubahan kapasitas yang relative permanen
sebagai hasil pengalaman. Belajar melalui proses yang relative terus
menerus dijalani dari berbagai pengalaman.
4. Interaksi Belajar Mengajar di Kelas
a) Hakikat Interaksi Belajar Mengajar di Kelas
Interaksi (interaction) di sini mengandung pengertian
hubungan komunikasi timbal balik. Dalam komunikasi dikenal
istilah komunikan dan komunikator. Hubungan antara kominikan dan
komunikator adalah berhubungan dengan pesan (message) yang hendak
disampaikan. Di dalam menyampaikan pesan diperlukan media atau
sarana yang sering diistilahkan (channel). Saluran pesan ini dapat
berupa tulis dan lisan. Dengan demikian dalam komunikasi agar dapat
berlangsung harus ada : komunikator, komunikan, pesan, dan saluran
atau media. (Sumiati, dan Asra, 2007: 67)
Sementara itu Thibaut dan Kelly (1979) di dalam Mohammad
Asrori (2007: 107) mendeinisikan interaksi sebagai peristiwa saling
mempengaruhi satu sama lain, ketika dua orang atau lebih hadir
bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain,atau
berkomunikasi satu sama lain. Pendapat lain dikemukakan oleh Chaplin
(1979) juga terdapat dalam Mohammad Asrori (2007: 107)
mendefinisikan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara
beberapa individu yang bersifat alami di mana individu-individu itu
saling mempengaruhi satu sama lain secara serentak.
Berhubungan dengan interaksi dalam kelas, Apakah interaksi
kelas oleh kelompok-kelompok kecil atau diskusi kelas secara utuh,
kebanyakan para guru dapat melakukan atau menciptakan satu kelas
yang interaktif. Chet Meyers di dalam Philipus E. Bishop (2000)
menyarankan beberapa ketentuan dasar dalam interaksi untuk secara
konsisten memberikan harapan kepada siswa: Mulai masing-masing
kelas dengan suatu kontroversi atau masalah. Sebagai ganti "Kita akan
menutup(meliput hal ini...," mulai dengan "Di sini kita ingin menjawab
pertanyaan ."
Suasana tenang digunakan untuk memberikan motivasi siswa.
Saat berhenti berceramah anda memberikan motivasi kepada siswa
bahwa "Aku sedang berpikir tentang hal ini, dan demikian juga
seharusnya anda." Berhenti setelah guru memulai pertanyaan-
pertanyaan mendorong tanggung jawab siswa; seorang guru perlu
menahan pencobaan itu untuk mengisi kesunyian atau menjawab
pertanyaan bagi mereka.
Susun dan gunakan ruang kelas untuk mendorong interaksi.
Mengawali gerakan, para siswa saling berhadapan satu dengan yang
lain, membentuk setengah lingkaran atau lingkaran penuh. Selama
ceramah perkuliahan, bergerak dari bagian-bagian ruang yang berbeda ,
buatlah suatu lingkungan yang ramah. Para guru perlu
menginvestasikan waktu untuk belajar siswa di dalam kelas . Di
samping itu guru harus saling
Dari beberapa pendapat di atas,dapat disimpulkan bahwa
interaksi mengandung pengertian hubungan timbal balik antara dua
orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat memainkan
peran yang aktif dalam interaksi tersebut. Demikian halnya interaksi
yang terjadi di dalam kelas dituntut adanya komunikasi yang baik
antara guru,siswa,ataupun juga dengan pihak-pihak yang
terkait,sehingga interaksi belajar mengajar dapat berlangsung secara
efektif dan efisien
Interaksi belajar-mengajar di dalam kelas mempunyai ciri-ciri
khusus yang membedakan dengan interaksi sosial pada umumnya. Di
bawah ini adalah ciri-ciri khusus interaksi belajar-mengajar yang
disampaikan Edi Sumardi (1980: 16-17) sebagai berikut :
(1) Memiliki tujuan yang jelas,yakni untuk membantu siswa anak
dalam suatu perkembangan tertentu dengan memusatkan siswa
sebagai pusat perhatian.
(2) Ada suatu prosedur (jalannya interaksi ) yang direncanakan
didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan itu.
(3) Ditandai dengan satu penggarapan materi khusus (ada topik/pokok
bahasannya)
(4) Ditandai dengan adanya aktivitas siswa.
b) Penataan Pola Komunikasi dalam Interaksi Belajar Mengajar di
Kelas

(1) Pola Komunikasi


Guru di dalam kelas seharusnya mampu mengenali siswanya
dengan baik melalui interaksi dan komunikasi sehingga siswa
mampu mengembangkan dirinya sendiri.
Pola komunikasi dalam interaksi belajar mengajar menurut
Nana Sudjana (dalam Gunawan: 2009 http://pak-gunawan.
blogspot. com/ 2009/03/tiga-pola-komunikasi-dalam-proses.html )
di bedakan menjadi tiga sebagai berikut :
 Komunikasi sebagai Aksi atau Komunikasi Satu Arah
Dalam komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi
aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru aktif dan siswa pasif.
Ceramah pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau
komunikasi sebagai aksi. Komunikasi jenis ini kurang banyak
menghidupkan kegiatan siswa belajar.
 Komunikasi sebagai Interaksi atau Komunikasi Dua Arah
Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama
yaitu pemberi aksi dan penerima aksi. Di sini, sudah terlihat
hubungan dua arah, tetapi terbats antara guru dan pelajar secara
indivudual.Antara pelajar dan pelajar tidak ada hubungan.Pelajar
tidak dapat berdiskusi dangan teman atau bertanya sesama
temannya.Keduanya dapat saling memberi dan menerima.
Komunikasi ini lebih baik dari pada yang pertama,sebab kegiatan
guru dan kegiatan siswa relatif sama

Keterangan : G = Guru
S = Siswa Gambar 6. Pola Komunikasi Dua Arah
 Komunikasi Banyak Arah atau Komunikasi sebagai Transaksi
Komunikasi ini tidak hanya melibatkan interaksi yang dinamis
antara guru dengan siswa tetapi juga melibatkan interaksi yang
dinamis antara siswa yang satu dengan yang lainnya.Proses belajar
mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada proses
pengajaran yang mengembangkan kegiatan siswa yang
optimal,sehingga menumbuhkan siswa belajar aktif.Diskusi dan
simulasi merupakan strategi yang dapat mengembangkan
komunikasi ini
Keterangan : G = Guru
S = Siswa
Gambar 7 Pola Komunikasi Banyak Arah

c) Wacana Lisan Guru dan Siswa di Kelas


(1) Hakikat Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga
dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi
atau terbesar (Abdul Chaer,1994: 27). Wacana dikatakan lengkap
karena didalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang
utuh, yang dapat dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis)
sedangkan oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan
apapun.
Definisi wacana dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Hasan Alwi, 2008: 419), dijelaskan wacana adalah
rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi
yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang
utuh
Pendapat lain Crystal dalam Dede Utomo (1993: 4)
menyatakan wacana adalah rangkaian sinambung yang lebih luas
daripada kalimat. Definisi umum itu dapat diterapkan secara
berbeda dari berbagai sudut pandang. Misalnya, dari sudut
pandang psikolinguistik, wacana dapat dipandang sebagai proses
dinamik pengungkapan dan pemahaman yang mengatur
penampilan seseorang dalam interaksi kebahasaan . Edmonson di
dalam salah satu karyanya yang berjudul Spoken Discourse: a
Model for Analysis ,dikatakan bahwa ”a discourse is structured
event manifest to linguistic (and other) behaviour”(1981: 4).
Wacana adalah suatu peristiwa yang terstruk- tur yang diwujudkan
dalam perilaku bahasa atau yang lainnya.
Senada dengan pendapat tersebut Henry Guntur Tarigan
(2009: 26) memberikan definisi sebagai berikut, ”Wacana adalah
satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat
atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata
disampaikan secara lisan atau tertulis”
Dari uraian singkat tersebut dapat dipahami bahwa hakikat
wacana adalah satu kesatuan bahasa yang utuh yang dipakai untuk
berkomunikasi baik secara tertulis (transaksi komunikasi) dan
secara lisan (interaksional komunikasi). Jadi, analisis wacana lisan
interaksi guru dan siswa di kelas termasuk studi tentang wacana
lisan .
(2) Analisis Wacana Lisan
Analisis wacana (discourse analysis) dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mengkaji organisasi bahasa secara utuh di atas
tingkat kalimat atau klausa. Karena itu, ia mengkaji satuan-satuan
kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan atau teks tertulis.
Di samping itu, ia juga mengkaji pemakaian bahasa dalam
konteks sosial, termasuk interaksi di antara penutur bahasa (Stubs,
1983: 1)
George Yule (1996: 1) berpendapat analisis wacana
adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Maka analisis tidak
dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terikat
tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk
tersebut dalam urusan–urusan manusia. Kalau ada ahli linguistik
yang memusatkan perhatian pada penentuan sifat-sifat formal suatu
bahasa, penganalisis wacana berkewajiban menyelidiki untuk apa
bahasa itu dipakai.
Analisis wacana berusaha mengkaji makna bahasa yang
dipakai penutur secara benar paling tidak mendekati makna yang
dimaksud oleh pembicara dalam interaksi sosial. Karena itu, ia
memanfaatkan pola-pola kajian sosiolinguistik, suatu cabang ilmu
bahasa yang menelaah ragam pemakaian bahasa dalam lingkungan
masyarakat (Suseno Kartomihardjo, 1992: 1)
Analisis wacana menurut Brown (1980) di dalam Henry
Guntur Tarigan (2009: 23) adalah telaah mengenai aneka fungsi
(pragmatik) bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam
kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks,tanpa
hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan suprakalimat
maka kita sulit berkomunikasi dengan tepat satu sama lain.
Melalui wacana kita dapat saling : a) menyapa/menegur,
b) meminta/ memohon, c) menyetujui/menyepakati, d) bertanya/
meminta keterangan, e) meyakinkan, f) menyuruh/memerintah, g)
mengeritik/ mengomentari, h) memaafkan/ mengampuni, dan lain-
lain.
Perbedaan disiplin ilmu untuk menganalisis wacana dapat
digambarkan oleh Imrulan Sati T (2007) sebagai berikut.
Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama
pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa.
Dalam pengertian linguistik wacana adalah unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik ini
merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih
memperhatikan pada unit kata, frase atau kalimat semata tanpa
melihat keterkaitan diantara unsur tersebut. Analis wacana,
kebalikan dari linguistik formal, justru memusatkan perhatian pada
level diatas kalimat seperti hubungan gramatikal yang terbentuk
pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam
lapangan psikologi sosial, diartikan sebagai pembicaraan. Wacana
yang dimaksud disini agak mirip dengan struktur dan bentuk
wawancara dan praktik dari pemakaiannya. Sementara dalam
lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa,
terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari
penggambaran status subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di
dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis
wacana.
Fassold di dalam Schiffrin, Deborah (2007: 40)
mengemukakan tentang studi wacana adalah studi tentang semua
aspek penggunaan bahasa. Analisis wacana yang akan digunakan
untuk mendeskripsikan karakteristik wacana lisan interaksi guru
dan siswa dalam kelas yaitu pemakaian bahasa dalam interaksi
dalam kelas,akan mencakup konteks wacana serta temuan-temuan
dalam kelas berkaitan dengan fungsi bahasa dan partikel dalam
wacana lisan.
(3) Fungsi Bahasa
Dalam praktik bertutur, bahasa yang digunakan oleh
peserta tutur memiliki fungsi yang dominant. Setiap bahasa
memiliki fungsi yang berbeda– beda bagi masyarakat penuturnya .
Buhler di dalam Riyadi Santosa (2003: 19) berpendapat bahwa
bahasa memiliki tiga fungsi yaitu fungsi ekspresif, fungsi konatif,
dan fungsi representasional. Fungsi ekspresif berorientasi pada diri
sendiri, pembicara, fungsi konatif berorientasi pada adresi,
pendengar, dan fungsi representasional berorientasi pada rtealitas
selain adresor dan adresi .
Halliday di dalam Sumarlam, dkk. (2009: 1-3) bahasa
memiliki tujuh fungsi yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi,
fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi perorangan, fungsi
heuristik, serta fungsi imajinatif Berikut ini diuraikan mengenai
ketujuh fungsi tersebut :
 Fungsi Instrumental (the instrumental function). Dalam hal ini
bahasa menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan menyebabkan
terjadinya peristiwa tertentu, artinya bahasa berfungsi
menghasilkan bentuk perintah atau imperatif. Contoh :”Silakan
buku kalian dibuka sekarang!”
 Fungsi Regulasi (the regulatory function), artinya bahasa
berfungsi untuk mengendalikan serta mengatur orang
lain.Contoh: ”Kalau kalian tekun belajar maka kalian akan
lulus dengan baik.”
 Fungsi Representasi (the representational function), artinya
bahasa berfungsi membuat pernyataan, menyampaikan fakta.
Contoh :”Indonesia terdiri dari lima pulau besar dan ribuan
pulau kecil.”
 Fungsi Interaksi (the interactional function), artinya bahasa
berfungsi menjamin dan memantapkan ketahanan dan
keberlangsungan komunikasi serta menjalin interaksi sosial.
Contoh : Penyapa hendaknya menyapa dengan sapaan yang
tepat dan hormat. Misalnya : ”Selamat pagi, Bu.” (Bu, sapaan
untuk menghormati ibu guru).
 Fungsi Perorangan (the personal function), artinya bahasa
berfungsi sebagai sarana komunikasi yang dapat menunjukan
kepribadian seseorang, apakah ia senang,sedih, marah, jengkel,
kecewa, dan gembira, dan sebagainya. Contoh : ” Silakan
keluar ruangan,bila kalian ingin ngobrol!” Jika dituturkan
dengan nada tinggi berarti penutur sedang jengkel, marah, atau
kecewa.
 Fungsi Heuristik (the heuristic function), artinya bahasa
berfungsi sebagai bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban.
Contoh : ” Mengapa jika matahari tenggelam hari menjadi
gelap?”
 Fungsi Imajinatif, artinya bahasa sebagai pencipta sistem,
gagasan, atau kisah yang imajinatif. Fungsi ini biasanya
ditemukan dalam roman, dongeng, dan lain sebagainya.
Selanjutnya Buhler di dalam Kinayati Djoyosuroto (2007:
91) membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif, bahasa
konatif, dan bahasa representasional. Bahasa ekspresif, yaitu bahasa
yang terarah pada diri sendiri yakni si pembicara; bahasa konatif,
yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara; dan bahasa
representasional, yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya,
yaitu apa saja selain pembicara atau lawan bicara.
Sementara itu Jakobson (1960) di dalam Henry Guntur
Tarigan (2009: 11-12) menyarankan bahwa fungsi-fungsi ujaran
dapat difokuskan pada salah satu komponen dasar peristiwa
komunikasi sebagai berikut :
(a) Fungsi referensial : memusatkan perhatian kepada isi acuan
suatu pesan.
(b) Fungsi emotif : memusatkan perhatian kepada keadaan para
pembicara.
(c) Fungsi konati : memusatkan perhatian kepada keinginan –
keninginan para pembicara yang dipikirkan oleh penyimak.
(d) Fungsi Metalinguistik : memusatkan perhatian kepada sandi atau
kode yang dipergunakan.
(e) Fungsi fatik: memusatkan perhatian kepada saluran
(pembukaan, pembentukan, dan pemeliharaan hubungan atau
kontak antara pembicara dan penyimak.
(f) Fungsi puitik : memusatkan perhatian kepada bagaimana
caranya suatu pesan disandikan atau ditulis dalam sandi.
Fungsi bahasa menurut Popper di dalam Leech (1993: 75)
ialah mengemukakan adanya suatu perkembangan fungsi-ungsi
dalam evolusi bahasa manusia dari fungsi-fungsi yang rendah ke
lebih yang tinggi. Ia berpendapat bahwa daalam sistem komunikasi
yang lebih primitif fungsi informatif (signalling function), dan fungsi
ekspresif (fungsi-fungsi bahasa yang bersifat interpersonal)
merupakan fungsi yang paling menonjol, sedangkan yang paling
menonjol dalam komunikasi modern adalah fungsi deskriftif dan
fungsi argumentatif.
5. Struktur Wacana Lisan Interaksi di Kelas
a) Tindak Tutur di Kelas Menurut Ramirez
Dalam penelitian tentang tindak tutur, Ramirez (1988)
menyatakan bahwa dalam interaksi kelas terdapat tiga lapisan
pertukaran, yaitu tindak, gerak, dan pertukaran. Dijelaskannya bahwa
pertukaran itu merupakan suatu interaksi yang terkecil yang
melibatkan dua peserta atau lebih . Biasanya, pertukaran terbentuk
dalam rangkaian alih tutur (turn- taking) yang terdiri atas pemicu dari
guru, tanggapan dari siswa, dan balikan dari guru. Secara umum, pola
pertukaran itu dirumuskan sebagai pembuka, jawaban, dan tindak
lanjut. Ketiga unsur struktur itu disebut gerak. Gerak-gerak itu terdiri
atas sejumlah tindak, sedangkan tindak dapat dibatasi berdasarkan
fungsi ujaran dalam sebuah wacana, seperti pertanyaan, perintah,
memberi keterangan, dan sebagainya (Abdul Rani, Bustanul Arifin,
dan Martutik, 2008 : 62-63 ).
b) Penjawaban (Answering)
Ramirez mendeskripsikan sebagai berikut :
(1) Menjawab yaitu suatu tanggapan terhadap sebuah pertanyaan yang
ditujukan pada dirinya. Tindak tutur ini dibedakan menjadi
menjawab dengan berperan serta dan tidak berperan serta.
(2) Timbal tindak (react) yaitu tanggapan yang berupa tindak verbal
ataupun tindak nonverbal sebagai jawaban dari permintaan atau
perintah.
(3) Ucapan terima kasih yaitu tanggapan untuk mengucapkan terima
kasih atas sebuah informasi yang diberikan .
(4) Pengulangan yaitu pengulangan terhadap ujaran dalam pembuka.
(5) Pemicu ulang (reinitiate) yaitu suatu ujaran yang ditujukan pada
siswa untuk mengulang atau memulai sesuatu.
c) Tindak Tutur di Kelas menurut Flanders
Disini ditampilkan sepuluh Kategori Analisis Interaksi
menurut Flanders (FLAC). Mereka belajar untuk dapat melihat apa
yang mereka dapat katakan saat mengamati komunikasi yang terjadi
saat komunikasi berlangsung di dalam kelas. Dengan menggunakan
istilah who, why, what, dan how diuraikan di atas. Juga, untuk
mengungkapkan aspek kegagalan mereka dalam komunikasi di kelas
(1) Guru berbicara
 Mengakui adanya perasaan (Accepts feeling). Menerima atau
mengakui dan menjelaskan satu sikap atau nada perasaan dari
murid dengan tidak mengancam. Perasaan bisa hal positif atau
hal negatif. Meramalkan dan memanggil kemudian dimasukkan
kembali perasaan
 Memuji dan memberi dorongan (Praises or encourages):
Memuji atau mendorong tindakan murid atau perilaku murid.
Buatlah lelucon bahwa pelepasan; pembebasan untuk
melepaskan ketegangan, tetapi bukan atas biaya individu yang
lain. Mengangguk kepala atau sambil berkata 'Um hm?' atau
'Teruskan!’.
 Mengakui atau menggunakan gagasan-gagasan murid (accepts
or uses ideas of pupils): menjelaskan/ menjernihkan,
menumbuhkan, atau mengembangkan gagasan-gagasan yang
diusulkan oleh murid. Perluasan-perluasan dari guru
dimasukkan gagasan-gagasan murid, tetapi sebagai guru lebih
banyak gagasan-gasannya ini atau gagasan-gagasannya sendiri
ke dalam permainan, pergeseran kepada kategori lima.
 Memberi pertanyaan (Asks questions): [meminta;bertanyakan]
suatu pertanyaan tentang isi atau prosedur berdasar pada
gagasan- gagasan guru, dengan tujuan bahwa seorang murid
akan memberikan jawaban.
 Memberi kuliah /memberikan ceramah (Lecturing): Memberi
fakta-fakta atau pendapat-pendapat tentang isi atau prosedur;
menyampaikan gagasan;mencoba untuk mencari sendiri; atau
mengutip dari pendapat sendiri selain dari seorang murid.
 Memberi arah (Giving directions): Guru dapat memberikan
bimbingan, perintah dan pesan dimana diharapkan seorang
siswa dapat mematuhinya.
 Kekuasaan untuk mengkritik atau membenarkan (Criticizing or
justifying authority): pernyataan-pernyataan yang diharapkan
untuk mengubah perilaku murid dari tidak dapat menerima
bagian ini; Guru berteriak, “ Keluar!”; dalam keadaan apa guru
melakukan seperti itu atau apa yang sedang ia lakukan? ; guru
sebagai panutan diri sendiri berbuat ekstrim
(2) Murid berbicara (Pupil talk)
 Murid berbicara (talk:response) : Murid berbicara untuk
menjawab pertanyaan guru. Guru memulai hubungan dengan
murid (interaksi), atau memohon pernyataan murid, atau
struktur-struktur situasi-situasi. Dibatasinya kebebasan untuk
menyatakan gagasan- gagasannya.
 Murid berbicara: inisiasi: Para murid memulai berbicara,
mereka mengeluarkan (mengekspresikan ) gagasan-gagasan
yang dimilikinya; memulai suatu topik yang baru; kebebasan
untuk mengembangkan pendapat-pendapat dan merupakan
rangkaian dari pemikiran (gagasan), sebagian ada yang suka
atau sering bertanya; kesempatan penuh pengertian di luar
struktur yang ada.
d) Pengamatan Percakapan di Kelas Menurut Michael Stubbs
Guru di dalam kelas dalam melaksanakan tugas yaitu melakukan
proses belajar mengajar dalam berinteraksi dengan siswa
menggunakan sarana bahasa. Stubbs (1983: 50-53) mengumakakan
hasil pengamatan percakapan guru dan siswa di dalam kelas sebagai
berikut .
(1) Menarik atau mempertunjukkan perhatian siswa (attracting or
showing attention). Contoh ujaran yang dipakai guru untuk
menarik perhatian siswa adalah sebagai berikut .
 Sekarang, jangan menilis dulu, dengarkan saja!
 Ya, baiklah, kita mulai sekarang.
 Eh, unggu sebentar, kita lihat dulu kenyataannya!
 Mengendalikan pembicaraan atau respon siswa (controlling
the amount of speech) Guru sering kali mengendalikan suasana
kelas, apakah siswa berbicara atau tidak. Upaya yang dapat
dilakukan guru dapat berupa perintah atau juga dapat berupa
permintaan kepada siswa untuk tidak berbicara. Contoh
ujarannya sebagai berikut.
 Kau ingin berpendapat tentang hal itu?
 Brenda?...(jeda panjang). Morag?
 Ada pendapat lain?
 Memeriksa atau menetapkan pemahaman (checking or
confirming understanding) Guru di saat mengajar kadang-
kadang memeriksa kembali apakah penyampaian materi
pelajaran kepada siswa sudah dipahami siswa atau belum.
Contoh ujaran yang digunakan guru sebagai berikut.
 Apakah kalian sudah jelas?
 Coba berikan penjelasan mengenai apa yang baru saja kita
bicarakan tadi, Stevie.
 Meringkas (summarizing). Guru sering kali meringkas semua
yang telah diuraikan di depan untuk menekankan konsep.
Contoh ujaran yang digunakan guru sebagai berikut.
 Yang ingin saya katakan adalah ...
 Kesimpulan dari uraian tersebut ialah…
 Jadi yang dimaksud dengan ...adalah ...
 Mendefinisikan (defining) Guru sering membuat definisi atau
penjelasan tentang sesuatu yang telah disampaikan atau seorang
guru menanyakan definisi kepada siswa.. Sebagai contoh
ujaran sebagai berikut.
 Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
 David apakah arti dari transmigrasi?
 Menyunting (editing). Guru kadang-kadang juga memberikan
komentar tentang apa yang dikatakan oleh seorang siswa yang
menunjukkan penilaian atau kritik. Contoh ujaran yang
disampaikan guru sebagai berikut.
 Ya, itu pertanyaan yang bagus.
 Hampir benar jawabanmu, dapat disempurnakan, ayo!
 Mengoreksi atau membetulkan (correcting). Guru juga
berusaha membetulkan apa yang dikatakan atau ditulis oleh
siswa. Misalnya sebagai berikut.
 Guru : David, apakah arti ‘paramount’?
 Siswa : Penting.
 Guru : Ya, artinya ‘sangat penting.’
 Menspesifikasikan topik ( specifying topic). Guru juga sering
menspesifikasikan topik atau mengkhususkan sebuah
topik pembahasan atau menentukan batas-batas pembicaraan
yang relevan. Contoh ujaran yang digunakan guru sebagai
berikut.
 Sekarang kita membahas wacana.
 Kita akan segera membahas hal itu.
 Topik itu akan kita bahas minggu yang akan datang.
Percakapan guru dan siswa di atas menunjukkan bahwa
peran guru dalam kelas sangat dominan dan siswa hanya sesekali
mengemukakan pendapat. Hal ini terjadi bilamana guru memberikan
kesempatan berbicara. Dari uraian di atas juga dapat disimpulkan
guru memiliki ujaran yang khas di dalam kelas saat interaksi belajar
mengajar. Partikel dalam Wacana Lisan Dalam percakapan sehari-
hari baik secara langsung berhadapan antara penutur dan lawan
tutur sering terjadi dengan menggunakan ungkapan- ungkapan
yang tidak dapat diartikan secara semantik ataupun secara sintaksis,
akan tetapi baik penutur dan lawan tutur sudah memahami artinya
karena diasumsikan dengan hal-hal yang sudah ada sebelumnya.
Kategori seperti ini dapat dikategorikan sebagai partikel.
Fraser Gupta (2002: 31-57) dalam abstraknya berpendapat
bahwa : Eleven pragmatic particles, loans from Southern varieties of
Chinese, are used in Singapore Colloquial English. They express
varying degrees of commitment to an utterance, and can be
arranged on a single scale of assertiveness. They fall into three main
groups: contradictory, assertive, and tentative. This paper uses data
from natural conversation in the home, from, between, and with
children acquiring Singapore Colloquial English as a native
language. The pragmatic particles are acquired early and without
error.
Previous analyses of the Singapore Colloquial English
particles suggest that analysts disagree on the functions of the
particles. Each particle appears to have a wide range of multiple
functions. These apparently disparate functions can be reconciled if
the pragmatic particles are examined in terms of a system of
marking degree of assertion, which result in different functions when
the same particle is used in sentences of different types. No
pragmatic particle in Singapore Colloquial English is associated
with only one sentence type.
Dari abstrak tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari
hasil penelitian tentang partikel, ada sebelas partikel pragmatic,
variasi kata pinjaman dari China bagian selatan, digunakan dalam
bahasa Inggris percakapan sehari-hari (colloquial) di Singapura.
Mereka mengungkapkan berbagai tingkat komitmen terhadap suatu
ungkapan dan dapat disusun dalam sekala tunggal yang tegas.
Mereka terbagi menjadi tiga kelompok utama: kontradiksi (lawan
kata), penegasan, dan bersifat sementara. Kertas kerja (paper) ini
mengunakan data percakapan alamiah dalam rumah, dari, diantara,
dan dengan anak-anak memperoleh (belajar) dari bahasa Inggris
percakapan sehari-hari (colloquial) di Singapura sebagai bahasa ibu
(bahasa asli). Partikel pragmatik diperoleh sejak awal tanpa
kesalahan.
Analisis awal dari partikel Bahasa Inggris percakapan
sehari-hari (colloquial) di Singapura menyarankan bahwa
penganalisis (peneliti) tidak setuju dengan fungsi-fungsi dari
partikel tersebut. Setiap partikel muncul mempunyai cakupan luas
terhadap multi fungsi. Fungsi yang agaknya berbeda ini, dapat
disatukan (disepakati) jika partikel pragmatik ini diuji dalam
istilah sistem tingkat penandaan penegasan yang menghasilkan
fungsi yang berbeda, ketika partikel yamg sama digunakan dalam
kalimat pola (tipe) yang berbeda. Tidak ada partikel pragmatik
Bahasa Inggris percakapan sehari-hari (colloquial) Singapura
yang berhubungan dengan hanya satu tipe.
Stubbs (1983: 68-69) di dalam bukunya Discourse
Analysis: The Sosiolinguistic Analysis of Natural Language .
menurut hasil penelitianya dalam bahasa Inggris percakapa lisan
ditemukan ungkapan well, yang tidak dapat dibicarakan secara
sintaksis dan semantic. Ungkapan-ungkapan yang lain selain well
adalah now, right, ok, any way, you know, I see, hello, bye,bye.
Ungkapan- ungkapan ini sedikit dibicarakan dalam sintaksis dan
tidak dibicarakan secara semantik. Hal ini karena ungkapan-
ungkapan tersebut tidak memiliki makna literal (harafiah),dan juga
tidak memiliki sifat tesis sehingga tidak memiliki isi
permasalahan. Ungkapan ini pada umumnya digunakan untuk
menutup percakapan. Ungkapan ini dapat digunakan tanpa
mengenalkan topik baru.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membicarakan enam hal , yaitu (1) jenis penelitian, (2) data
dan sumber data penelitian, (3) lokasi penilitian, (4) teknik cuplikan penelitian, (5)
metode penelitian, (6) teknik pengumpulan data penelitian, (7) teknik validitas
data penelitian, dan (8) teknik analisis data penelitian..
A. Jenis Penelitian
Penelitian tentang Analisis literas pembelajaran bahasa indonesia :
analisi wacana kelas ini dapat dikelompokkan ke dalam kategori penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Moleong (2010: 8-13) sebagai berikut:
melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan
(entity); peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat
pengumpul data utama; penelitian menggunakan metode kualitatif .
Penelitian ini kualitatif yang bersifat deskriptiff, karena data yang
dikumpulkan terutama berupa tuturan–tuturan lisan yang terjadi saat interaksi
belajar mengajar, bukan data yang berupa angka-angka. Peneliti menekankan
catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang
menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data. Sifat
penelitian seperti itu senada pendapat dengan Lincoln dan Guba (1985) di
dalam Sutopo (2006: 40) Sifat semacam ini lebih peka dan dapat disesuaikan
dengan pengkajian bentuk pengaruh dan pola nilai-nilai yang mungkin
dihadapi peneliti.
Analisis Wacana Lisan antara Guru dan Siswa ini, sasaran penelitian
tetap pada berada pada kondisi aslinya secara alami. Penelitian ini meneliti
secara langsung peristiwa tutur dalam interaksi belajar mengajar di dalam
kelas, peneliti tidak terlibat dalam peristiwa tutur. Peneliti di lingkungan sekitar
kelas hanya sebagai pengamat, jadi dalam interaksi belajar mengajar di kelas,
terjadi percakapan antara guru (penutur) dengan siswa (petutur) atau
sebaliknya secara alamiah.
Penelitian ini juga merupakan analisis isi (content analysis) menurut
Barelson (1952) di dalam Stefan Titscher (et al) (2009: 97) menyatakan
analisis isi merupakan suatu teknik penelitian untuk menguaraikan isi
komunikasi yang jelas secara objektif, sistematis, dan kuantitatif. Harold D.
Lasswell di dalam Pakde Sofa ( 2008) yang memelopori teknik symbol
coding menyatakan analisis yaitu mencatat lambang atau pesan secara
sistematis, kemudian diberi interpretasi, dalam Interaksi antara guru dan siswa
di kelas, tidak lepas dari pesan secara sistematis. Guru masuk ke dalam kelas
untuk menyampaikan materi pelajaran, pada hakekatnya sudah ada tujuan yang
pasti yaitu untuk menyampaikan pesan sesuai dengan tujuan pembelajaran
(indikator).
B. Data dan Sumber Data Penelitian
Data merupakan bahan jadi penelitian yang ada karena proses pemilihan
dan pemilahan dari berbagai macam tuturan. Data tidak hanya sekedar
sebagai sesuatu yang telah disediakan oleh alam, namun sebenarnya data ada
karena adanya proses interaksi antara peneliti dengan sumber data penelitian
(Sudaryanto, 1990: 3) Data penelitian ini berbentuk semua tuturan lisan dalam
interaksi belajar mengajar di SMP 13 SELUMA yang diobservasi, dicatat,
direkam, dan dideskripsikan dalam bentuk teks. Semua data yang ditemukan
saat interaksi belajar mengajar di kelas semua dipakai dalam analisis. Data
yang dipakai adalah data tuturan lisan guru dan siswa di kelas tanpa direduksi.
Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan dan menjelaskan
struktur wacana lisan guru dan siswa dalam kelas di SMP 13 SELUMA pada
waktu proses belajar mengajar ; mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi
bahasa dalam tindak tutur interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMP 13
SELUMA pada waktu proses belajar mengajar;. mendeskripsikan dan
menjelaskan partikel wacana dalam tindak tutur interaksi guru dan siswa
dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses belajar mengajar;
mendeskripsikan dan menjelaskan alih kode dan campur kode wacana lisan
interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMP 13 SELUMA.
Adapun yang menjadi sumber datanya adalah tiga orang guru yang
mengajar di kelas, masing-masing guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata
pelajaran Biologi, mata pelajaran Sosiologi dan siswa yang mengalami proses
belajar mengajar di SMP 13 SELUMA bersama itu dilakukan observasi dan
perekaman data
C. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Data ini diperoleh dengan menggunakan dua macam metode ,yaitu metode
simak dan metode cakap. Metode simak merupakan metode pengumpulan data
yang dilakukan dengan menyimak tindak tutur dalam kelas. Metode simak ini
disamakan dengan metode observasi yang dikenal dalam disiplin ilmu sosial.
Dalam pelaksanaan metode simak ,digunakan teknik sadap sebagai teknik
dasar ,teknik rekam,dan teknik catat sebagai teknik lanjutan.
Teknik observasi atau teknik simak adalah mengadakan penyimakan
terhadap pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan dan mengadakan
pencatatan terbhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan
penelitian (Edi Subroto, 2007: 47) . Teknik ini digunakan untuk menggali data
dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan rekaman
peristiwa tutur atau interaksi guru dan siswa di kelas. Teknik yang digunakan
dalam observasi berperan pasif. Artinya, dalam mengobservasi kehadiran
peneliti sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas interaksi guru dan siswa di
kelas. Hal yang dilakukan peneliti hanya mengamati dan mencatat ha-hal yang
berlangsung di dalam peristiwa tutur.
Teknik rekam adalah pemerolehan data dengan cara merekam pemakaian
bahasa lisan yang bersiffat spontan (Edi Subroto, 2007: 40). Teknik ini
digunakan untuk merekam pemakaian bahasa guru dan siswa pada saat
interaksi belajar mengajar di kelas. Agar hasil rekaman yang diperoleh dapat
menyajikan data yang alamiah,perekaman dilakukan secara tertutup tanpa
sepengetahuan siswa sehingga interaksi di kelas berjalan wajar. Selanjutnya
data rekaman itu ditranskripsikan untuk memudahkan analisis data.
Teknik pencatatan dilakukan untuk menangkap hal-hal khusus yang
menandai karakteristik wacana pemakaian bahasa yang dilakukan secra
spontan untuk melengkapi data-data yang telah diperoleh secara terencana
Teknik wawancara mendalam (indepth interviewing) ,hal ini dilakukan untuk
memperoleh informasi yang mendalam dari informan (Edi Subroto, 2007: 42).
Dan dengan teknik ini dalam upaya memperoleh validitas data.
D. Teknik Analisis Data Penelitian
Setelah data disediakan dengan baik dalam arti sudah
diklasifikasikan ,tahapan berikutnya menganalisis data. Analisis data pada
penelitian ini dengan metode kontekstual. Yang dimaksud analisis kontekstual
adalah cara analisis yang diterapkan pada data dengan
mendasarkan ,memperhitungkan ,dan mengaitkan konteks. Konteks itu sendiri
telah didefinisikan oleh Brown & Yule (1985) sebagai lingkungan
(environment:circumstances) dimana bahasa itu digunakan. Lingkungan disini
mencakup lingkungan fisik,nonfisik,dan sosial.
Pemahaman konteks yang demikian sejalan dengan pendapat Harimurti
Kridalaksana (1993) di dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 11) bahwa konteks
adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau lingkungan sosial yang berkaitan
dengan tuturan . Perlu dicatat bahwa lingkungan fisik tuturan dapat disebut
koteks (cotex) sedangkan lingkungan sosial tuturan disebut konteks (context).
Dalam pragmatik konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang
dipahami secara bersama oleh penutur dan mitra tutur.
Dalam penelitian ini latar belakang pengetahuan yang dimaksud adalah
guru datang ke kelas dengan tujuan menyampaikan pelajaran,dan siswa sebagai
mitra tutur datang ke kelas untuk memperoleh informasi sesuai dengan materi
pelajaran. Dengan demikian data yang dikumpulkan adalah data tentang
wacana lisan interaksi guru dan siswa di kelas.
Setiap data yang dianalisis akan disajikan dalam urutan dengan
menggunakan angka arab yang diapit dua kurung,mulai (1), (2), (3), dan
seterusnya. Selain itu, setiap data juga dilengkapi nomor data pada setiap akhir
penulisan data. Pencatuman nomor data dimaksudkan untuk mempermudah
pengecekan sumber data.

Anda mungkin juga menyukai