PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada era ini, khususnya dalam bidang literasi pada
pembelajaran bahasa Indonesia mengalami beberapa hambatan atau belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan.Pembelajaran bahasa Indonesia ibarat
produk, lebih sering ditawarkan secara inferior,tidak dikemas bagus dan monoton,
sehingga siswa sebagai konsumen tidak tertarik untuk membeli. Guru sebagai
pemasar tidak mampu meyakinkan calon pembeli bahwa produk yang dibawanya
itu penting dan bermanfaat. Karena itulah, perlu suatu terobosan baru bagaimana
mengemas pembelajaran bahasa Indonesia agar menarik sehingga menerbitkan
rasa cinta dan semangat belajar.
UUD Pemerintah melalui Permendiknas No. 23 tahun 2015
mengungkapkan bahwa program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah atau di madrasah-madrasah mesti diarahkan pada peningkatan
kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Literasi dapat menumbuhkan
minat budaya baca dan tulis yang diikuti dengan penumbuhan budi pekerti pada
diri peserta didik. Literasi terkait dengan tiga substansi, yaitu membaca, berpikir,
dan menulis. Hubungan tiga komponen literasi ini bersifat kompleks dan
terpadu.Literasi substansinya adalah kemampuan berpikir kritis dan kreatif
tentang informasi yang disanggah oleh kebiasaan membaca dan menulis yang baik
sehingga bisa menilai dan mendapatkan informasi, hal ini sangat tepat jika
diarahkan pada upaya membangun budaya literasi.
Hal yang paling mendasar dalam praktik literasi adalah kegiatan membaca.
Keterampilan membaca merupakan fondasi untuk mempelajari berbagai hal
lainnya.Kemampuan ini penting bagi pertumbuhan intelektual peserta
didik.Melalui membaca peserta didik dapat menyerap ilmu pengetahuan dan
mengeksplorasi dunia yang bermanfaat bagi kehidupannya.Membaca memberikan
pengaruh budaya yangkuat terhadap perkembangan literasi peserta didik.
Prestasi membaca peserta didik sampai saat ini di Indonesia masih sangat
rendah, berada dibawah rata-rata skor internasional. Data dari United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan
minat baca anak Indonesia hanya 0,1%, Artinya dari 10.000 anak bangsa , hanya
1 orang yang gemar membaca dan juga menulis. Kelemahan yang dialami peserta
didik saat ini adalah ketergantungannya terhadap budaya lisan dibanding budaya
teks. Peserta didik lebih menyukai aktivitas menonton kartun, menonton sinetron,
membaca pesan WA dibandingkanmeluangkan waktuuntuk membaca buku teks.
Sehingga informasi pengetahuan yang diperoleh sangatlah rendah.
Akan tetapi, sebagai program yang baru, tentu belum dapat sepenuhnya
dipahami olehsemua kalangan, inilah tugas pemerintah dan pendidik untuk lebih
mensosialisasikan program ini agar terciptanya tujuan pendidikan nasional yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Program literasi juga dapat dilakukan pada mata
pelajaran, seperti mata pelajaran bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran
wajib yang diberikan pada jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebagai
mata pelajaran wajib, mata pelajaran bahasa Indonesia perlu disajikan dengan
sistem pengajaran yang memperhatikan aspek-aspek tertentu untuk mampu
membangkitkan minat baca dan tulis.
Rendahnya literasi menjadi indikasi yang berbahaya bagi kehidupan setiap
individu dan peradaban masyarakat. Mustahil tanpa literasi yang baik, setiap
individu mampumenjawab tuntutan perkembangan zaman. Kendala utama dalam
pembelajaran literasi terletak pada faktor pemahaman guru yang masih kurang,
serta faktor kebijakan sekolah yang belum membentuk tim gerakan literasi
sekolah (GLS). Untuk itu pemetaan pembelajaran literasi di sekolah perlu
dilakukan sehingga bisa diperolehgambaran awal tentang pembelajaran literasi
khususnya di SMA Negeri 1 Konawe Selatan.
Faktor penyebab rendahnya kemampuan literasi karena adanya tradisi
kelisanan (orality) yang masih mengakar dimasyarakat. Masyarakat ataupun
peserta didik zaman dulu lebih memanjakan tradisi lisan (omongdengar) daripada
tradisi literasi (baca-tulis). Selain itu, sistem sekolah yang masih kurang dalam
memberi peluang bagi tradisi literasi kepada peserta didik. Model pengajaran
dikelas pada umumnya guru masih terlalu banyak berbicara, sedangkan siswa
terlalu sukar menjadi pendengar. Guru jarang menjadikan kegiatan membaca-
menulis sebagai kerangka berpijak (frame of reference) dalam pembelajarannya.
Oleh karena itu, berbagai pendekatan pendidikan dihadirkan guna menuntaskan
permasalahan literasi tersebut.
Pembelajaran bahasa Indonesia sejak kurikulum 2013 diberlakukan hingga
direvisi menjadi kurikulum nasional mengutamakan pembelajaran yang berbasis
teks. Artinya siswa ditekankan untuk memahami berbagai jenis teks sekaligus
menuntut siswa untuk mahir menulis dan membaca berbagai macam
teks.Diterapkannya pembelajaran berbasis teks ini kiranya dapat meningkatkan
budaya literasi pada diri peserta didik. Kasus yang sering terjadi yaitu anjloknya
nilai UAN pada mata pelajaran bahasa Indonesia disetiap tahunnya, hal ini tentu
harus mendapat perhatian oleh seluruh pendidik di Indonesia, mengapa hal
demikian bisa terjadi. Menumbuhkan budaya literasi dikalangan peserta didik
setidaknya akan memberikan peningkatan mutu terhadap peserta didik.
Wacana kelas berkaitan dengan interaksi guru dan siswa. Bukan hanya
bahasa guru dalam mengajar atau menjelaskan materi saja, bahasa guru dalam
memberi nasihat ataupun teguran kepada siswanya juga terdapat dalam wacana
kelas. Wacana kelas berisi tentang kegiatan yang secara langsung terjadi di dalam
kelas. Dari awal pembelajaran dimulai sampai akhir pembelajaran selesai. Pada
proses pembelajaran tentu banyak tindakan yang dilakukan oleh guru dan siswa
seperti, tindak menyatakan, memberitahu, menegaskan, memperkirakan,
menyimpulkan, meyakini, menyetujui, mengakui dan menolak. Dalam tindakan
tersebut pada wacana kelas disebut dengan penalaran. Bukan hanya penalaran saja
dalam wacana kelas terdapat juga aspek rasa. Aspek rasa menurut Dewantara
(1977) dalam (Suwingnyo, 66: 2012) merupakan potensi jiwa yang bersifat
biologis. Eksistensinya bersifat permanen, kewajiban guru menebaltipiskan
potensi rasa yang ada. Rasa negatif ditipiskan dan rasa yang positif ditebalkan.
Sikap kemauan (karsa) juga terdapat dalam wacana kelas, sikap karsa tersebut di
antaranya terdapat karsa mau dan karsa mantap.
Pada wacana kelas terdapat empat pola dalam pembelajaran, yaitu pola
tindakan penyiapan situasi/ kondisi (teacher structuring) dilakukan pada awal
pembelajaran di mana siswa dapat berkonsentrasi pada topik atau materi yang
akan dibahas nantinya. Tindakan mengundang tanggapan siswa (teacher
soliciting), dilakukan pada saat proses pembelajaran guru dapat bertanya kepada
siswa, siswa dapat mengemukakan pendapatnya terhadap pembelajaran yang
dilakukan. Tindakan menanggapi oleh siswa (learner responding), tindakan ini
menyuruh siswa untuk merespons, misalnya merespons pertanyaan yang diajukan
oleh guru. Tindakan mereaksi atas hasil tanggapan siswa (teacher reacting),
dilakukan oleh guru untuk mereaksi kualitas respons siswa berupa penguatan
ataupun pengoreksian.
Struktur wacana kelas didasarkan pada pandangan bahwa suatu peristiwa
tutur berisi satu kegiatan atau aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh
norma penggunaan tutur Hymes, 1971 (dalam, Suwignyo, 2012: 27). Peristiwa
tutur terjadi dalam satu situasi tutur yang terdiri atas satu tindak tutur atau lebih.
Jika suatu transaksi isi pembelajaran merupakan situasi tutur, maka rangkaian
tindakan pembelajaran merupakan peristiwa tutur dengan muatan satu atau lebih
tindak tutur pembelajaran. Oleh karena itu mendasar tindakan structuring,
soliciting, responding, dan reacting sebagai peristiwa tutur berarti menjadikan
keempat peristiwa tutur tersebut ke unit analisis tindak tutur pembelajaran.
Analisis wacana kelas menggunakan teori Bellack 1973 (dalam, Suwignyo, 2012:
27) menegaskan terdapat empat pola tindakan dalam peristiwa pembelajaran,
yakni pola tindakan penyiapan situasi atau kondisi pembelajaran disebut peristiwa
teacher structuring, tindakan mengundang tanggapan siswa disebut peristiwa
teacher soliciting, tindakan menanggapi oleh siswa atau peristiwa learner
responding, dan tindakan mereaksi atas hasil tanggapan siswa disebut peristiwa
teacher reacting.
Pola tindakan penyiapan situasi kondisi (Teacher Structuring) terdiri atas:
tindak menyatakan, rasa syukur, ungkapan pujian, ungkapan kepuasan, tindak
berusaha, tindak membatasi, tindak mendikte, penanaman kebiasaan tertib.
Tindakan mengundang tanggapan siswa (Teacher Soliciting) peristiwa soliciting
di antaranya: tindak memberitahukan, tindak memperkirakan, tindak menegaskan,
tindak menyimpulkan, tindak meyakini, rasa eling, ungkapan pemberian maaf,
tindak menjanjikan, tindak mengajak, tindak menawarkan, tindak menjamin,
tindak memerintah, tindak membatasi, tindak menuntun, tindak mensyaratkan,
tindak mengundang, tindak menasihati, tindak mengingatkan, tindak
membolehkan, tindak mengizinkan, tindak menoleransi, penanaman kebiasaan
bertanggung jawab, penanaman kebiasaan jujur, penanaman kebiasaan sopan,
penumbuhan keterlibatan menyusun jawaban, menumbuhkan keterlibatan
menyatakan pendapat, penumbuhan keterlibatan menyatakan keinginan/kehendak,
penumbuhan keterlibatan memberikan komentar, bekerja sama secara
berpasangan, bekerja sama secara klasikal, dan rasa yakin.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
10
penelitian sesuai dengan yang dilakukan peneliti dalam tesis ini. Adapun
penelitian yang relevan adalah sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2018) berjudul “Program Literasi
Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa”. Penelitian tersebut dianggap
relevan, karena peneliti menggunakan program literasi dalam melakukan
penelitian.Sama halnya dengan penelitian ini yang juga menggunakan program
literasi.Perbedaannya terletak pada objek penelitian, Zaini menggunakan program
literasi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa di sekolah, sedangkan didalam
penelitian ini, objeknya adalah melihatpengembangan literasi sekolah secara utuh
dan memasukkan pembelajaran bahasa Indonesia didalamnya (literasi informasi).
Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Hardiyanti (2015) berjudul
“Peran Literasi Informasi Terhadap Pemanfaatan Perpustakaan Utsman Bin Affan
Universitas Muslim Indonesia Makassar”. Penelitian ini membahas topik
mengenai literasi yang juga dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian
Hardiyanti menggunakan media perpustakaan saja untuk menjalankanprogram
literasi informasi, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa
Indonesia didalam program literasi dan pengembangan program literasi secara
menyeluruh di sekolah ini.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nindya Faradina (2017) berjudul
“Pengaruh dan Hambatan Program Gerakan Literasi
Literasi Matematika”. Penelitian ini membahas topik mengenai literasi yang juga
dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian ini juga memasukkan model
HOTSsebagai tambahan. Penelitian ini juga menggunakan pembelajaran
Matematika didalamnya, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran
bahasa Indonesia didalam program literasi untuk melihat pengembangan program
literasi secara menyeluruh di sekolah ini.
B. Landasan Teori
dan sebagainya. Contoh untuk noncetak berupa radio, tape recorder, kaset, CD,
DVD, VCD, TV, internet, bahkan lingkungan sekitar (kelas, sekolah, pasar,
perpustakaan, taman, dan sebagainya).
Dalam pelaksanaan pembelajaran literasi bahasa Indonesia diharapkan
guru tidak hanya menggunakan satu sumber melainkan mengajak siswa
menggunakan berbagai sumber. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa jika siswa
membaca dari berbagai sumber, informasi yang akan diperoleh akan lebih lengkap
jika dibandingkan dengan hanya menggunakan satu satu sumber saja. Tentu saja
yang dimaksudkan dengan istilah berbagai sumber disini adalah sumber belajar
yang relevan dengan materi atau informasi yang akan dipelajari oleh siswa. Guru
dituntut dapat lebih kreatif dalam hal pemilihan sumber belajar siswanya.
b) Berkaitan dengan pembelajaran bahasa, bahan ajar adalah segala sesuatu yang
digunakan guru atau siswa untuk memudahkan proses belajar, meningkatkan
pengetahuan dan pengalaman berbahasa. Definisi lain menyebutkan bahwa bahan
ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis
maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa
untuk belajar. Dalam melaksanakan pembelajaran literasi, guru membutuhkan
seperangkat bahan ajar yang dapat mendorong siswa belajar secara optimal.
Idealnya, seorang guru harus dapat mengembangkan sendiri bahan ajarnya.
Pengembangan bahan ajar
agar siswa memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari wacana, melainkan
kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman
sosial dan intelektual. Salah satu modal dasar dalam melakukan pengembangan
minat baca adalah tersedianya sarana mambaca yaitu buku. Penyediaan media
literasi seperti buku juga merupakan hal yang perlu dilakukan pemerintah (Safitra,
2018: 182).
Pembelajaran berbasis budaya literasi akan mengkondisikan peserta didik
untuk menjadi seorang literat. Peningkatan kemampuan literasi dalam belajar
sejalan dengan tujuan pendidikan. Berdasarkan mata pelajaran yang disediakan
untuk pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah/madrasah, porsi pokok bahasan
literasi khususnya masih relative sedikit dan tidak lebih sebagai pelengkap.
Padahal, penekanan pada baca-tulis akan menghasilkan keterampilan
berkomunikasi dengan objek yang dibaca, keterampilan bernalar dan berimajinasi,
serta dapat menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, percaya diri, dan kesadaran
diri dengan cara menuangkan hasil bacaan, ide, gagasan, dan pengalamannya serta
menancapkan hasil bacaan ke dalam benak dan hatinya. Seiring dengan
perkembangan zaman dalam lingkup sekolah ditemukan banyak sekali minat
membaca peserta didik pada saat melaksanakan GLS mengalami penurunan, dan
saat ini GLS sedang berupaya untuk menjalankan 3 tahapan yang dimiliki yaitu
tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran (Ghufron, 2020: 94).
Dalam komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai
penerima aksi. Guru aktif dan siswa pasif. Ceramah pada dasarnya adalah
komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Komunikasi jenis ini kurang
banyak menghidupkan kegiatan siswa belajar.
Gambar 5. Pola komunikasi satu arah
Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama yaitu pemberi aksi
dan penerima aksi. Di sini, sudah terlihat hubungan dua arah, tetapi terbats antara
guru dan pelajar secara indivudual.Antara pelajar dan pelajar tidak ada
hubungan.Pelajar tidak dapat berdiskusi dangan teman atau bertanya sesama
temannya.Keduanya dapat saling memberi dan menerima. Komunikasi ini lebih
baik dari pada yang pertama,sebab kegiatan guru dan kegiatan siswa relatif sama
Keterangan : G = Guru
S = Siswa Gambar 6. Pola Komunikasi Dua Arah
(c) Komunikasi Banyak Arah atau Komunikasi sebagai Transaksi Komunikasi ini
tidak hanya melibatkan interaksi yang dinamis
antara guru dengan siswa tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara
siswa yang satu dengan yang lainnya.Proses belajar mengajar dengan pola
komunikasi ini mengarah kepada proses pengajaran yang mengembangkan
kegiatan siswa yang
Keterangan : G = Guru
S = Siswa
Gambar 7 Pola Komunikasi Banyak Arah
Fungsi guru dalam interaksi belajar mengajar tidak hanya berfungsi sebagai
komunikator akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator, dan motivator yang
memberi dorongan dan semangat dalam belajar siswa.
Ciri-ciri guru agar dalam melaksanakan fungsinya berjalan dengan baik
menurut Sumiati dan Asra (2007: 66) sebagai berikut :
(a). menguasai ilmu yang harus diajarkan. (b). memiliki kemampuan mengajar.
(c). minat mengajarkan ilmunya kepada siswa.
Siswa harus dekat dengan gurunya. Siswa harus yakin gurunya adalah
seorang guru yang baik, guru akan selalu memberikan dukungan kepada siswa
untuk dapat mencapai prestasi belajar yang memuaskan. Sikap seperti tersebut
penting,dengan memiliki sikap tersebut memungkinkan guru simpatik pada siswa.
Guru juga manusia memiliki berbagai kebutuhan . Kebutuhan- kebutuhan
tersebut se cara garis besar sebagai berikut:
1) Kebutuhan psikologis seperti pengakuan atau harapan
2) Kebutuhan keamanan
6) Komunikasi Nonverbal
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam IBM guru bahasa Indonesia
menggunakan penguatan verbal, penguatan gesture, penguatan dengan cara
mendekati, penguatan dengan sentuhan, penguatan dengan kegiatan
menyenangkan, dan menggunakan penguatan berupa simbol atau benda.
penguatan verbal, penguatan gestur, penguatan dengan cara mendekati menduduki
urutan tertinggi sebagai penguatan yang paling sering digunakan guru dalam IBM.
Penguatan dengan sentuhan, penguatan dengan kegiatan menyenangkan, dan
penguatan berupa simbol atau benda sangat jarang digunakan dalam IBM. Jenis
kegiatan siswa yang diberi penguatan oleh guru BI adalah ketika siswa
mengerjakan tugas di papan tulis, ketika siswa perhatian terhadap materi yang
guru terangkan, kedisiplinan siswa mengumpulkan tugas kelas (PR), ketika
kelompok siswa dapat menyelesaikan tugas paling cepat dibandingkan kelompok
lain. Secara klasikal jenis kegiatan yang diberi penguatan adalah ketika siswa
sekelas menunjukkan antusias tinggi terhadap pelajaran BI dan ketika siswa ujian
mendapat nilai memuaskan .
Komunikasi nonverbal dalam interaksi belajar mengajar menurut Sumiati dan
Asra (2007: 71-74) antara lain :
(a) Menganggukkan kepala
Bibir tersenyum atau senyum adalah semacam tertawa yang tidak bersuara
hanya gerakan bibir dan mulut sebagai ekspresi menunjukkan rasa senang. Bibir
tersenyum menunjukkan persetujuan guru atas pendapat atau perilaku siswa.
(e) Tertawa
Dari uraian di atas interaksi belajar mengajar di dalam kelas antara guru dan
siswa sangat tergantung kemampuan guru mengelola kelas berkaitan dengan
penelitian ini adalah salah satunya kemampuan guru dan siswa menjaga
komunikasi. Komunikasi dalam kelas dapat berupa komunikasi verbal dan non
verbal.
a. Hakikat Wacana
wacana serta temuan-temuan dalam kelas berkaitan dengan fungsi bahasa dan
partikel dalam wacana lisan.
c. Fungsi Bahasa
sendiri yakni si pembicara; bahasa konatif, yaitu bahasa yang terarah pada lawan
bicara; dan bahasa representasional, yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan
lainnya, yaitu apa saja selain pembicara atau lawan bicara.
Sementara itu Jakobson (1960) di dalam Henry Guntur Tarigan (2009:
11-12) menyarankan bahwa fungsi-fungsi ujaran dapat difokuskan pada salah
satu komponen dasar peristiwa komunikasi sebagai berikut :
(a) Fungsi referensial : memusatkan perhatian kepada isi acuan suatu pesan.
(b) Fungsi emotif : memusatkan perhatian kepada keadaan para pembicara.
(c) Fungsi konati : memusatkan perhatian kepada keinginan –keninginan para
pembicara yang dipikirkan oleh penyimak.
(d) Fungsi Metalinguistik : memusatkan perhatian kepada sandi atau kode yang
dipergunakan.
(e) Fungsi fatik: memusatkan perhatian kepada saluran (pembukaan,
pembentukan, dan pemeliharaan hubungan atau kontak antara pembicara dan
penyimak.
(f) Fungsi puitik : memusatkan perhatian kepada bagaimana caranya suatu pesan
disandikan atau ditulis dalam sandi.
Fungsi bahasa menurut Popper di dalam Leech (1993: 75) ialah
mengemukakan adanya suatu perkembangan fungsi-ungsi dalam evolusi bahasa
manusia dari fungsi-fungsi yang rendah ke lebih yang tinggi. Ia berpendapat
bahwa daalam sistem komunikasi yang lebih primitif fungsi informatif (signalling
function), dan fungsi ekspresif (fungsi-fungsi bahasa yang bersifat interpersonal)
merupakan fungsi yang paling menonjol, sedangkan yang paling menonjol dalam
komunikasi modern adalah fungsi deskriftif dan fungsi argumentatif.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Leech di dalam Fatimah
Djayasudarma (2006: !4-15) fungsi bahasa sebagai berikut :
(a) Fungsi ekspresif yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan secara
ekspositoris.
f. Tindak Tutur
sekali,ya.” ( Maksud dari penutur mungkin mitra tutur untuk menyalakan AC).
Perlokusi: Penutur dengan mengatakan X, penutur meyakinkan mitra tutur bahwa P.
Contoih : ” Tanganku gatal.” ( Maksudnya bilamana penutur yang kebiasaannya
suka memukul orang, karena melihat sesuatu rasanya penutur akan segera
memukul orang lain mungkin melihat peristiwa yang kurang pantas).
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Searle (1983) dalam bukunya
Speech Acts: An Essay in The Philosopy of Language di dalam (Kunjana Rahardi,
2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut
dapat disebutkan sebagai berikut: (1) tindak lokusioner (licotionary acts), (2)
tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary
acts)
Tindak lokusiener adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat
sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Contoh :
tanganku gatal berarti penutur memberitahu mitra tutur bahwa tangan penutur
dalam keaadaan gatal.
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu . Contoh : aku lapar berarti yang diucapkan penutur tidak semata-
mata memberi tahu kepada mitra tutur bahwa penutur dalam keadaan lapar,akan
tetapi penutur menghendaki mitra tutur melakukan tindakan tertentu dengan rasa
lapar itu.
(2) Pertanyaan pura-pura (pseudo question) yaitu pertanyaan yang diajukan untuk
mengetahui informasi, penjelasan, alasan, dan sebagainya yang sebenarnya telah
diketahui penutur.
(3) Permintaan (keras) secara langsung (direct request) yaitu ujaran yang berisi
permintaan yang berupa perintah yang memerlukan jawaban atau tindakan para
pendengar. Bentuk ujaran yang digunakan biasanya berupa kalimat suruhan.
(4) Permintaan (lunak) tidak langsung (indirect request) yaitu ujaran yang berisi
permintaan yang berupa perintah lunak yang memerlukan jawaban verbal atau
tindakan dan cara penyampaianya secara tidak langsung. Biasanya ujaran yang
digunakan berupa kalimat pertanyaan.
(5) Informatif yaitu ujaran yang berupa pernyataan yang berisi pendapat, ide, contoh-
contoh alasan, dan sebagainya. Bentuk ujaran yang digunakan berupa kalimat
berita dan kalimat tanya.
(6) Metastatemen yaitu suatu pernyataan yang berisi informasi yang sedang terjadi
atau akan terjadi selama proses belajar mengajar.
(7) Ekspresif yaitu suatu ujaran yang bersifat pribadi yang dapat berisi komentar,
penghargaan, atau pelahiran emosi yang lain.
b. Penjawaban (Answering)
(8) Menjawab yaitu suatu tanggapan terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan pada
dirinya. Tindak tutur ini dibedakan menjadi menjawab dengan berperan serta dan
tidak berperan serta.
(9) Timbal tindak (react) yaitu tanggapan yang berupa tindak verbal ataupun tindak
nonverbal sebagai jawaban dari permintaan atau perintah.
(10) Ucapan terima kasih yaitu tanggapan untuk mengucapkan
terima kasih atas sebuah informasi yang diberikan .
(11) Pengulangan yaitu pengulangan terhadap ujaran dalam pembuka.
Gerak lanjutan sering juga disebut feedback karena tindak tutur yang digunakan
dalam gerak ini pada umumnya merupakan balikan dari gerak jawaban.
Dalam wacana di kelas, tindak tutur yang ada dalam gerak lanjutan dideskripsikan
seperti berikut :
(1) Penerimaan yaitu ujaran yang berisi penerimaan terhadap jawaban siswa.
(2) Penghargaan yaitu ujaran yang berisi penilaian terhadap jawaban atau
pertimbangan kualitas seperti ujaran.
(3) Komentar yaitu ujaran yang berupa pernyataan. Komentar tersebut biasanya
mengikuti penerimaan,penghargaan,dan pembetulan.
(4) Pembetulan yaitu ujaran yang dimaksudkan untuk membetulkan jawaban siswa.
(5) Pengulangan yaitu ujaran yang berupa pengulangan jawaban siswa.
(6) Parafrase yaitu ujaran yang berupa pengubahan bentuk jawaban siswa.
Dalam interaksi kelas, guru mempunyai pengaruh dalam menentukan
struktur pertukaran. Ellis (1990: 76-77 ) menyatakan bahwa guru dalam interaksi
di kelas mem-punyai kedudukan sebagai
(1) peserta dalam seluruh pertukaran, (2) pemicu dalam pertukaran, (3) penutup
pertukaran, (4) penentu ikut tidaknya peserta lain dalam se- buah pertukaran, (5)
penerima untuk beberapa pemicu (initiated) , (6) penentu pembicara selanjutnya,
dan (7) penentu jumlah ujaran setiap pembicara. ( Abdul Rani, Bustanul Arifin,
dan Martutik., 2008 : 62- 66).
a. Guru berbicara
(1) Mengakui adanya perasaan (Accepts feeling). Menerima atau mengakui dan
menjelaskan satu sikap atau nada perasaan dari murid dengan tidak mengancam.
Perasaan bisa hal positif atau hal negatif. Meramalkan dan memanggil kemudian
dimasukkan kembali perasaan
(2) Memuji dan memberi dorongan (Praises or encourages): Memuji atau mendorong
tindakan murid atau perilaku murid. Buatlah lelucon bahwa pelepasan;
pembebasan untuk melepaskan ketegangan, tetapi bukan atas biaya individu yang
lain. Mengangguk kepala atau sambil berkata 'Um hm?' atau 'Teruskan
!’.
b. Coba berikan penjelasan mengenai apa yang baru saja kita bicarakan tadi, Stevie.
(d) Meringkas (summarizing). Guru sering kali meringkas semua yang telah diuraikan
di depan untuk menekankan konsep. Contoh ujaran yang digunakan guru sebagai
berikut.
a. Yang ingin saya katakan adalah ...
(e) Mendefinisikan (defining) Guru sering membuat definisi atau penjelasan tentang
sesuatu yang telah disampaikan atau seorang guru menanyakan definisi kepada
siswa.. Sebagai contoh ujaran sebagai berikut.
a. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
b. Siswa : Penting.
Percakapan guru dan siswa di atas menunjukkan bahwa peran guru dalam kelas
sangat dominan dan siswa hanya sesekali mengemukakan pendapat. Hal ini terjadi
bilamana guru memberikan kesempatan berbicara. Dari uraian di atas juga dapat
disimpulkan guru memiliki ujaran yang khas di dalam kelas saat interaksi belajar
mengajar. Partikel dalam Wacana Lisan
ungkapan yang tidak dapat diartikan secara semantik ataupun secara sintaksis,
akan tetapi baik penutur dan lawan tutur sudah memahami artinya karena
diasumsikan dengan hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Kategori seperti ini
dapat dikategorikan sebagai partikel.
Fraser Gupta (2002: 31-57) dalam abstraknya berpendapat bahwa : Eleven
pragmatic particles, loans from Southern varieties of Chinese, are used in
Singapore Colloquial English. They express varying degrees of commitment to an
utterance, and can be arranged on a single scale of assertiveness. They fall into
three main groups: contradictory, assertive, and tentative. This paper uses data
from natural conversation in the home, from, between, and with children
acquiring Singapore Colloquial English as a native language. The pragmatic
particles are acquired early and without error.
Previous analyses of the Singapore Colloquial English particles suggest that
analysts disagree on the functions of the particles. Each particle appears to have
a wide range of multiple functions. These apparently disparate functions can be
reconciled if the pragmatic particles are examined in terms of a system of
marking degree of assertion, which result in different functions when the same
particle is used in sentences of different types. No pragmatic particle in Singapore
Colloquial English is associated with only one sentence type.
Dari abstrak tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari hasil penelitian
tentang partikel, ada sebelas partikel pragmatic, variasi kata pinjaman dari China
bagian selatan, digunakan dalam bahasa Inggris percakapan sehari-hari
(colloquial) di Singapura. Mereka mengungkapkan berbagai tingkat komitmen
terhadap suatu ungkapan dan dapat disusun dalam sekala tunggal yang tegas.
Mereka terbagi menjadi tiga kelompok utama: kontradiksi (lawan kata),
penegasan, dan bersifat sementara. Kertas kerja (paper) ini mengunakan data
percakapan alamiah dalam rumah, dari, diantara, dan dengan anak-anak
memperoleh (belajar) dari bahasa Inggris percakapan sehari-hari (colloquial) di
Singapura sebagai bahasa ibu (bahasa asli). Partikel pragmatik diperoleh sejak
awal tanpa kesalahan.
luas terhadap multi fungsi. Fungsi yang agaknya berbeda ini, dapat disatukan
(disepakati) jika partikel pragmatik ini diuji dalam istilah sistem tingkat
Bab ini membicarakan enam hal , yaitu (1) jenis penelitian, (2) data
dan sumber data penelitian, (3) lokasi penilitian, (4) teknik cuplikan penelitian, (5)
metode penelitian, (6) teknik pengumpulan data penelitian, (7) teknik validitas
data penelitian, dan (8) teknik analisis data penelitian..
A. Jenis Penelitian
64
lxxxii
Analisis Wacana Lisan antara Guru dan Siswa ini, sasaran penelitian
tetap pada berada pada kondisi aslinya secara alami. Penelitian ini meneliti secara
langsung peristiwa tutur dalam interaksi belajar mengajar di dalam kelas, peneliti
tidak terlibat dalam peristiwa tutur. Peneliti di lingkungan sekitar kelas hanya
sebagai pengamat, jadi dalam interaksi belajar mengajar di kelas, terjadi
percakapan antara guru (penutur) dengan siswa (petutur) atau sebaliknya secara
alamiah.
Penelitian ini juga merupakan analisis isi (content analysis) menurut
Barelson (1952) di dalam Stefan Titscher (et al) (2009: 97) menyatakan analisis
isi merupakan suatu teknik penelitian untuk menguaraikan isi komunikasi yang
jelas secara objektif, sistematis, dan kuantitatif. Harold D. Lasswell di dalam
Pakde Sofa ( 2008) yang memelopori teknik symbol coding menyatakan
analisis yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi
interpretasi, dalam
(http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/metode-analisi-isi-reliabilitas-dan
validitas -dalam-metode-penelitian-komunikasi)
Interaksi antara guru dan siswa di kelas, tidak lepas dari pesan secara
sistematis. Guru masuk ke dalam kelas untuk menyampaikan materi pelajaran,
pada hakekatnya sudah ada tujuan yang pasti yaitu untuk menyampaikan pesan
sesuai dengan tujuan pembelajaran (indikator).
sesuatu yang telah disediakan oleh alam, namun sebenarnya data ada karena
adanya proses interaksi antara peneliti dengan sumber data penelitian
(Sudaryanto, 1990: 3) Data penelitian ini berbentuk semua tuturan lisan dalam
interaksi belajar mengajar di SMA N 3 Sragen yang diobservasi, dicatat, direkam,
dan dideskripsikan dalam bentuk teks. Semua data yang ditemukan saat interaksi
belajar mengajar di kelas semua dipakai dalam analisis. Data yang dipakai adalah
data tuturan lisan guru dan siswa di kelas tanpa direduksi. Hal ini sesuai dengan
tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan dan menjelaskan struktur wacana lisan
guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses belajar
mengajar ; mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi bahasa dalam tindak tutur
interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses
belajar mengajar;. mendeskripsikan dan menjelaskan partikel wacana dalam
tindak tutur interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada
waktu proses belajar mengajar; mendeskripsikan dan menjelaskan alih kode dan
campur kode wacana lisan interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3
Sragen.
Adapun yang menjadi sumber datanya adalah tiga orang guru yang
mengajar di kelas, masing-masing guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata
pelajaran Biologi, mata pelajaran Sosiologi dan siswa yang mengalami proses
belajar mengajar di SMA N 3 Sragen bersama itu dilakukan observasi dan
perekaman data.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di SMA Negeri 3 Sragen Jl. Dr. Sutomo no. 2
Sragen. Di pilihnya lokasi ini karena SMA Negeri 3 Sragen tergolong SMA yang
cukup besar, dan siswanya bervariasi dari berbagai kalangan. Pertimbangan yang
lain adalah SMA Negeri 3 Sragen dikategorikan sebagai sekolah yang menempati
strata menengah di antara sekolah-sekolah negeri di tingkat SMA di Kab. Sragen.
Selain itu guru-guru yang ada di sekolah ini sudah memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal yaitu sarjana, bahkan ada beberapa guru yang sudah
menyelesaikan pascasarjana. Saat ini guru di SMA Negeri 3 Sragen sebagian
besar sudah lulus sertifikasi guru. Pertimbangan selanjutnya, saat mengadakan
observasi pendahuluan ditemukan cara mengajar guru pada saat memberikan
pelajaran di kelas cenderung berceramah dan pola komunikasi pada umumnya
searah didominasi guru, hanya saat-saat tertentu guru memberikan pertanyaan
kepada siswa, dan siswa menjawab. Pada proses interaksi belajar mengajar jarang
siswa mengajukan pertanyaan kepada guru. Guru juga sering memberikan
selingan–selingan berupa humor untuk melepas kepenatan siswa saat mengikuti
pelajaran. Dengan demikian, SMA Negeri 3 Sragen layak dipakai sebagai lokasi
penenelitian tentang analisis wacana lisan interaksi guru dan siswa di kelas.
D. Teknik Cuplikan
E. Metode Penelitian
,tahapan berikutnya menganalisis data. Analisis data pada penelitian ini dengan
metode kontekstual. Yang dimaksud analisis kontekstual adalah cara analisis yang