Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada era ini, khususnya dalam bidang literasi pada
pembelajaran bahasa Indonesia mengalami beberapa hambatan atau belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan.Pembelajaran bahasa Indonesia ibarat
produk, lebih sering ditawarkan secara inferior,tidak dikemas bagus dan monoton,
sehingga siswa sebagai konsumen tidak tertarik untuk membeli. Guru sebagai
pemasar tidak mampu meyakinkan calon pembeli bahwa produk yang dibawanya
itu penting dan bermanfaat. Karena itulah, perlu suatu terobosan baru bagaimana
mengemas pembelajaran bahasa Indonesia agar menarik sehingga menerbitkan
rasa cinta dan semangat belajar.
UUD Pemerintah melalui Permendiknas No. 23 tahun 2015
mengungkapkan bahwa program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah atau di madrasah-madrasah mesti diarahkan pada peningkatan
kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Literasi dapat menumbuhkan
minat budaya baca dan tulis yang diikuti dengan penumbuhan budi pekerti pada
diri peserta didik. Literasi terkait dengan tiga substansi, yaitu membaca, berpikir,
dan menulis. Hubungan tiga komponen literasi ini bersifat kompleks dan
terpadu.Literasi substansinya adalah kemampuan berpikir kritis dan kreatif
tentang informasi yang disanggah oleh kebiasaan membaca dan menulis yang baik
sehingga bisa menilai dan mendapatkan informasi, hal ini sangat tepat jika
diarahkan pada upaya membangun budaya literasi.
Hal yang paling mendasar dalam praktik literasi adalah kegiatan membaca.
Keterampilan membaca merupakan fondasi untuk mempelajari berbagai hal
lainnya.Kemampuan ini penting bagi pertumbuhan intelektual peserta
didik.Melalui membaca peserta didik dapat menyerap ilmu pengetahuan dan
mengeksplorasi dunia yang bermanfaat bagi kehidupannya.Membaca memberikan
pengaruh budaya yangkuat terhadap perkembangan literasi peserta didik.
Prestasi membaca peserta didik sampai saat ini di Indonesia masih sangat
rendah, berada dibawah rata-rata skor internasional. Data dari United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan
minat baca anak Indonesia hanya 0,1%, Artinya dari 10.000 anak bangsa , hanya
1 orang yang gemar membaca dan juga menulis. Kelemahan yang dialami peserta
didik saat ini adalah ketergantungannya terhadap budaya lisan dibanding budaya
teks. Peserta didik lebih menyukai aktivitas menonton kartun, menonton sinetron,
membaca pesan WA dibandingkanmeluangkan waktuuntuk membaca buku teks.
Sehingga informasi pengetahuan yang diperoleh sangatlah rendah.
Akan tetapi, sebagai program yang baru, tentu belum dapat sepenuhnya
dipahami olehsemua kalangan, inilah tugas pemerintah dan pendidik untuk lebih
mensosialisasikan program ini agar terciptanya tujuan pendidikan nasional yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Program literasi juga dapat dilakukan pada mata
pelajaran, seperti mata pelajaran bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran
wajib yang diberikan pada jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebagai
mata pelajaran wajib, mata pelajaran bahasa Indonesia perlu disajikan dengan
sistem pengajaran yang memperhatikan aspek-aspek tertentu untuk mampu
membangkitkan minat baca dan tulis.
Rendahnya literasi menjadi indikasi yang berbahaya bagi kehidupan setiap
individu dan peradaban masyarakat. Mustahil tanpa literasi yang baik, setiap
individu mampumenjawab tuntutan perkembangan zaman. Kendala utama dalam
pembelajaran literasi terletak pada faktor pemahaman guru yang masih kurang,
serta faktor kebijakan sekolah yang belum membentuk tim gerakan literasi
sekolah (GLS). Untuk itu pemetaan pembelajaran literasi di sekolah perlu
dilakukan sehingga bisa diperolehgambaran awal tentang pembelajaran literasi
khususnya di SMA Negeri 1 Konawe Selatan.
Faktor penyebab rendahnya kemampuan literasi karena adanya tradisi
kelisanan (orality) yang masih mengakar dimasyarakat. Masyarakat ataupun
peserta didik zaman dulu lebih memanjakan tradisi lisan (omongdengar) daripada
tradisi literasi (baca-tulis). Selain itu, sistem sekolah yang masih kurang dalam
memberi peluang bagi tradisi literasi kepada peserta didik. Model pengajaran
dikelas pada umumnya guru masih terlalu banyak berbicara, sedangkan siswa
terlalu sukar menjadi pendengar. Guru jarang menjadikan kegiatan membaca-
menulis sebagai kerangka berpijak (frame of reference) dalam pembelajarannya.
Oleh karena itu, berbagai pendekatan pendidikan dihadirkan guna menuntaskan
permasalahan literasi tersebut.
Pembelajaran bahasa Indonesia sejak kurikulum 2013 diberlakukan hingga
direvisi menjadi kurikulum nasional mengutamakan pembelajaran yang berbasis
teks. Artinya siswa ditekankan untuk memahami berbagai jenis teks sekaligus
menuntut siswa untuk mahir menulis dan membaca berbagai macam
teks.Diterapkannya pembelajaran berbasis teks ini kiranya dapat meningkatkan
budaya literasi pada diri peserta didik. Kasus yang sering terjadi yaitu anjloknya
nilai UAN pada mata pelajaran bahasa Indonesia disetiap tahunnya, hal ini tentu
harus mendapat perhatian oleh seluruh pendidik di Indonesia, mengapa hal
demikian bisa terjadi. Menumbuhkan budaya literasi dikalangan peserta didik
setidaknya akan memberikan peningkatan mutu terhadap peserta didik.
Wacana kelas berkaitan dengan interaksi guru dan siswa. Bukan hanya
bahasa guru dalam mengajar atau menjelaskan materi saja, bahasa guru dalam
memberi nasihat ataupun teguran kepada siswanya juga terdapat dalam wacana
kelas. Wacana kelas berisi tentang kegiatan yang secara langsung terjadi di dalam
kelas. Dari awal pembelajaran dimulai sampai akhir pembelajaran selesai. Pada
proses pembelajaran tentu banyak tindakan yang dilakukan oleh guru dan siswa
seperti, tindak menyatakan, memberitahu, menegaskan, memperkirakan,
menyimpulkan, meyakini, menyetujui, mengakui dan menolak. Dalam tindakan
tersebut pada wacana kelas disebut dengan penalaran. Bukan hanya penalaran saja
dalam wacana kelas terdapat juga aspek rasa. Aspek rasa menurut Dewantara
(1977) dalam (Suwingnyo, 66: 2012) merupakan potensi jiwa yang bersifat
biologis. Eksistensinya bersifat permanen, kewajiban guru menebaltipiskan
potensi rasa yang ada. Rasa negatif ditipiskan dan rasa yang positif ditebalkan.
Sikap kemauan (karsa) juga terdapat dalam wacana kelas, sikap karsa tersebut di
antaranya terdapat karsa mau dan karsa mantap.
Pada wacana kelas terdapat empat pola dalam pembelajaran, yaitu pola
tindakan penyiapan situasi/ kondisi (teacher structuring) dilakukan pada awal
pembelajaran di mana siswa dapat berkonsentrasi pada topik atau materi yang
akan dibahas nantinya. Tindakan mengundang tanggapan siswa (teacher
soliciting), dilakukan pada saat proses pembelajaran guru dapat bertanya kepada
siswa, siswa dapat mengemukakan pendapatnya terhadap pembelajaran yang
dilakukan. Tindakan menanggapi oleh siswa (learner responding), tindakan ini
menyuruh siswa untuk merespons, misalnya merespons pertanyaan yang diajukan
oleh guru. Tindakan mereaksi atas hasil tanggapan siswa (teacher reacting),
dilakukan oleh guru untuk mereaksi kualitas respons siswa berupa penguatan
ataupun pengoreksian.
Struktur wacana kelas didasarkan pada pandangan bahwa suatu peristiwa
tutur berisi satu kegiatan atau aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh
norma penggunaan tutur Hymes, 1971 (dalam, Suwignyo, 2012: 27). Peristiwa
tutur terjadi dalam satu situasi tutur yang terdiri atas satu tindak tutur atau lebih.
Jika suatu transaksi isi pembelajaran merupakan situasi tutur, maka rangkaian
tindakan pembelajaran merupakan peristiwa tutur dengan muatan satu atau lebih
tindak tutur pembelajaran. Oleh karena itu mendasar tindakan structuring,
soliciting, responding, dan reacting sebagai peristiwa tutur berarti menjadikan
keempat peristiwa tutur tersebut ke unit analisis tindak tutur pembelajaran.
Analisis wacana kelas menggunakan teori Bellack 1973 (dalam, Suwignyo, 2012:
27) menegaskan terdapat empat pola tindakan dalam peristiwa pembelajaran,
yakni pola tindakan penyiapan situasi atau kondisi pembelajaran disebut peristiwa
teacher structuring, tindakan mengundang tanggapan siswa disebut peristiwa
teacher soliciting, tindakan menanggapi oleh siswa atau peristiwa learner
responding, dan tindakan mereaksi atas hasil tanggapan siswa disebut peristiwa
teacher reacting.
Pola tindakan penyiapan situasi kondisi (Teacher Structuring) terdiri atas:
tindak menyatakan, rasa syukur, ungkapan pujian, ungkapan kepuasan, tindak
berusaha, tindak membatasi, tindak mendikte, penanaman kebiasaan tertib.
Tindakan mengundang tanggapan siswa (Teacher Soliciting) peristiwa soliciting
di antaranya: tindak memberitahukan, tindak memperkirakan, tindak menegaskan,
tindak menyimpulkan, tindak meyakini, rasa eling, ungkapan pemberian maaf,
tindak menjanjikan, tindak mengajak, tindak menawarkan, tindak menjamin,
tindak memerintah, tindak membatasi, tindak menuntun, tindak mensyaratkan,
tindak mengundang, tindak menasihati, tindak mengingatkan, tindak
membolehkan, tindak mengizinkan, tindak menoleransi, penanaman kebiasaan
bertanggung jawab, penanaman kebiasaan jujur, penanaman kebiasaan sopan,
penumbuhan keterlibatan menyusun jawaban, menumbuhkan keterlibatan
menyatakan pendapat, penumbuhan keterlibatan menyatakan keinginan/kehendak,
penumbuhan keterlibatan memberikan komentar, bekerja sama secara
berpasangan, bekerja sama secara klasikal, dan rasa yakin.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Peneliti sadar, bahwa penelitianpengembangan program literasi pada


pembelajaran bahasa Indonesia bukan hal baru. Peneliti lain telah banyak
mengkaji mengenai sistem pengembangan program literasi. Peneliti pun berusaha
mencari tahu penelitian sebelumnya yang menjadikan pengembangan program
literasi dan bahasa Indonesia sebagai objek penelitian dalam bidang pendidikan.
Usaha tersebut dengan cara mencari arsip-arsip hasil penelitian sebelumnya, baik
online maupun offline dan ternyata belum ada yang meneliti, khususnya
menyatukan program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Peneliti juga menguraikan beberapa penelitian yang berkaitan dengan
programliterasi yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Hasil penelitian
tersebut dapat memberikan sumbangsih dalam penelitian ini. Beberapa penelitian
menjadi bahan bacaan dan juga sebagai bahan perbandingan agar hasil penelitian
ini dapat menjadikan penelitian yang berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya.
Peneliti memberikan gambaran mengenai persamaan dan perbedaan dalam
penelitian pengembangan program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia,
sehingga penulis/peneliti dapat memahami dan mengamati perbedaan dan
persamaan pada setiap

10

penelitian sesuai dengan yang dilakukan peneliti dalam tesis ini. Adapun
penelitian yang relevan adalah sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2018) berjudul “Program Literasi
Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa”. Penelitian tersebut dianggap
relevan, karena peneliti menggunakan program literasi dalam melakukan
penelitian.Sama halnya dengan penelitian ini yang juga menggunakan program
literasi.Perbedaannya terletak pada objek penelitian, Zaini menggunakan program
literasi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa di sekolah, sedangkan didalam
penelitian ini, objeknya adalah melihatpengembangan literasi sekolah secara utuh
dan memasukkan pembelajaran bahasa Indonesia didalamnya (literasi informasi).
Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Hardiyanti (2015) berjudul
“Peran Literasi Informasi Terhadap Pemanfaatan Perpustakaan Utsman Bin Affan
Universitas Muslim Indonesia Makassar”. Penelitian ini membahas topik
mengenai literasi yang juga dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian
Hardiyanti menggunakan media perpustakaan saja untuk menjalankanprogram
literasi informasi, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa
Indonesia didalam program literasi dan pengembangan program literasi secara
menyeluruh di sekolah ini.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nindya Faradina (2017) berjudul
“Pengaruh dan Hambatan Program Gerakan Literasi

SekolahTerhadap Minat Baca Siswa di SMA 1 Jatinom Klaten”. Penelitian ini


mengkaji literasi untuk menemukan hambatan dan pengaruh yang terjadi,
sedangkan peneliti dalam tesis ini mengkaji pengembanganprogram literasi di
SMA Negeri 1 Konawe Selatan secara menyeluruh dan memasukkan mata
pelajaran bahasa Indonesia didalam program literasi, yang dimana istilah ini
dikenal dengan literasi informasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Yuyu Yuliati (2017) berjudul “Peran
Literasi Sains dalam Pembelajaran Ipa”. Penelitian ini membahas topik mengenai
literasi yang juga dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian ini juga
menggunakan pembelajaran ipa untuk mengukur tingkat keberhasilan program
literasi, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa Indonesia
didalam program literasi dan pengembangan program literasi secara menyeluruh
di sekolah ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Adib Rifqi Setiawan (2019) berjudul
“Efektifitas Pembelajaran Biologi Berorientasi Literasi Saintifik”. Penelitian ini
membahas topik mengenai literasi yang juga dibahas peneliti didalam penelitian
ini. Penelitian ini juga menggunakan pembelajaran biologi didalamnya,
sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran bahasa Indonesia didalam
program literasi dan melihat pengembangan program literasi secara menyeluruh di
sekolah ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Husna Nur Dinni (2018) berjudul “HOTS
(High Order Thinking Skills) dan Kaitannya Dengan Kemampuan

Literasi Matematika”. Penelitian ini membahas topik mengenai literasi yang juga
dibahas peneliti didalam penelitian ini. Penelitian ini juga memasukkan model
HOTSsebagai tambahan. Penelitian ini juga menggunakan pembelajaran
Matematika didalamnya, sedangkan penelitian ini menggunakan pembelajaran
bahasa Indonesia didalam program literasi untuk melihat pengembangan program
literasi secara menyeluruh di sekolah ini.
B. Landasan Teori

Pengembangan program literasi pada pembelajaran bahasa Indonesia.


Penelitian ini berfokus melalui program tersebut. Namun, terlebih dahulu, peneliti
berusaha menjabarkan unsur-unsur pembangun literasi dan pembelajaran bahasa
Indonesia (literasi Informasi).
A. Pengertian Literasi Bahasa Indonesia
Seringkali orang yang bisa membaca dan menulis disebut literat,
sedangkan orang yang tidak bisa membaca dan menulis disebut iliterat atau buta
aksara. Menurut Kern (2000: 3) menjelaskan literasi sebagai kemampuan untuk
membaca dan menulis. Selain itu literasi juga memiliki kesamaan arti dengan
belajar dan memahami sumber bacaan. Romdhoni (2013: 90) mengatakan bahwa
literasi merupakan peristiwa sosial yang melibatkan keterampilan-keterampilan
tertentu, yang diperlukan untuk menyampaikan dan mendapatan informasi dalam
bentuk tulisan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kern (2000: 16) yang mendefinisikan
literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, dan situasi
kebudayaan untuk menciptakan dan mengnterpresikan makna melalui teks.
Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang
hubungan-hubungan antar konvensi-konvesi tekstual dan konteks penggunaannya
serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-
hubungan itu. Karena peka dengan maksud/tujuan, literasi itu bersifat dinamis-
tidak-statis- dan dapat bervariasi diantara dan didalam komunitas dan kebudayaan.
Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis
dan lisan, pengetahuan tentang genre, pengetahuan kebudayaan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa literasi merupakan peristiwa
sosial yang dilengkapi keterampilan-keterampilan untuk menciptakan
10

dan menginterpresikan makna melalui teks. Literasi memerlukan serangkaian


kemampuan untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi berbentuk
tulisan. Senada dengan itu iriantara (2009: 5) menjelaskan bahwa kini literasi
bukan hanya hubungan dengan kemampuan membaca dan menulis teks saja,
karena kini “teks” sudah diperluas maknanya sehingga mencakup juga “teks”
dalam bentuk visual, audiovisual, dan dimensi-dimensi kompiterisasi, sehingga di
dalam teks tersebut secara bersama-sama muncul unsusr-unsur kognitif,
afektif, dan intuitif.
Teknologi seperti sekarang ini, konteks tradisi intelektual suatu
masyarakat bisa dikatakan berbudaya lierasi ketika masyarakat tersebut sudah
memanfaatkan informasi yang mereka dapat untuk melakukan komunikasi sosial
dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipaahami bahwa
literasi merupakan suatu tahap perilaku sosial yaitu kemampuan individu untuk
membaca, menginterpresikan, dan menganalisa informasi dan pengetahuan yang
mereka dapat untuk melahirkan kesejahteraan hidup.
1. Literasi dalamPembelajaran Bahasa Indonesia

Pembelajaran bahasa Indonesia dipilih untuk mengintegrasikan ilmu


pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS).Pembelajaran bahasa
Indonesia tersebut membawa konsekuensi kewajiban menggunakan bahasa
Indonesia sebagai sarana pencarian dan penemuan ilmu. Dengan kata lain, bahasa
Indonesia merupakan bahasa ilmu. (Suwandi, 2019: 29), Pengertian literasi dalam
mata pelajaran bahasa Indonesia adalah kemampuan informasi. Kemampuan
informasi mengacu pada beberapa aktivitas, yaitu mengumpulkan informasi,
mengolah informasi, dan mengkomunikasikan informasi. Ketiga aktivitas
tersebut tidak dapat dilepaskan pada keterampilan membaca dan menulis. Untuk
mendukung peningkatan literasi dimasyarakat pemerintah Indonesia bahkan
menggalakkan Gerakan Literasi Sekolah. (Yukaristia, 2019: 10-11).
Secara garis besar terdapat empat faktor yang mendukung ketercapaian
tujuan program literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang harus
diperhatikan, yang meliputi, (1) sumber belajar, (2) bahan ajar, (3) strategi
pembelajaran, (4) penilaian. Berikut diuraikan keempat aspek tersebut:
a) Sumber belajar adalah dari mana materi atau informasi itu diperoleh siswa atau
berupa apakah informasi itu tersimpan. Secara umum, sumber belajar berupa
cetak maupun noncetak. Contoh untuk cetak berupa buku, majalah, surat kabar,
bulletin, makalah, artikel dijurnal,

dan sebagainya. Contoh untuk noncetak berupa radio, tape recorder, kaset, CD,
DVD, VCD, TV, internet, bahkan lingkungan sekitar (kelas, sekolah, pasar,
perpustakaan, taman, dan sebagainya).
Dalam pelaksanaan pembelajaran literasi bahasa Indonesia diharapkan
guru tidak hanya menggunakan satu sumber melainkan mengajak siswa
menggunakan berbagai sumber. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa jika siswa
membaca dari berbagai sumber, informasi yang akan diperoleh akan lebih lengkap
jika dibandingkan dengan hanya menggunakan satu satu sumber saja. Tentu saja
yang dimaksudkan dengan istilah berbagai sumber disini adalah sumber belajar
yang relevan dengan materi atau informasi yang akan dipelajari oleh siswa. Guru
dituntut dapat lebih kreatif dalam hal pemilihan sumber belajar siswanya.
b) Berkaitan dengan pembelajaran bahasa, bahan ajar adalah segala sesuatu yang
digunakan guru atau siswa untuk memudahkan proses belajar, meningkatkan
pengetahuan dan pengalaman berbahasa. Definisi lain menyebutkan bahwa bahan
ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis
maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa
untuk belajar. Dalam melaksanakan pembelajaran literasi, guru membutuhkan
seperangkat bahan ajar yang dapat mendorong siswa belajar secara optimal.
Idealnya, seorang guru harus dapat mengembangkan sendiri bahan ajarnya.
Pengembangan bahan ajar

adalah proses pemilihan, adaptasi, dan pembuatan bahan ajar berdasarkan


kerangka acuan tertentu
Kaitannya dengan pembelajaran literasi, bentuk bahan ajar dapat
dikelompokkan menjadi empat yatu:
1) Bahan ajar cetak (printed), seperti buku, modul, lembar kerja, foto, gambar,
dan grafik
2) Bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, CD, DVD

3) Bahan ajar pandang-dengar (audio-visual), seperti film, dan VCD


4) Bahan ajar interaktif (interactive teaching material)
seperti CD interaktif.
c) Strategi Pembelajaran adalah keputusan bertindak dari guru dengan menggunakan
kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk mencapai tujuan
melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan kondisi yang paling
menguntungkan. (Asih, 2016: 26). Terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia,
siswa harus memiliki kemampuan utama dalam hal membaca dan menulis agar
dapat menyerap materi pembelajaran. Faktanya, masih banyak guru yang
mengalami kesulitan dalam menanamkan kemampuan membaca dan menulis.
Oleh karena itu, diperlukan pemilihan dan penguasaan strategi yang benar-benar
efektif. Strategi yang efektif akan menunjang kegiatan literasi.
Pembelajaran literasi bahasa Indonesia hendaknya dipertimbangkan antara
strategi pembelajaran membaca dan strategi

pembelajaran menulis. Pembelajaran membaca, dapat dibagi menjadi beberapa


tahapan, yaitu tahap sebelum membaca/pre-reading (dalam rangka membangun
konteks), tahap saat membaca (while reading), dan tahap setelah membaca (post
reading).

2. Model-model Pembelajaran Literasi Bahasa Indonesia

Dari berbagai teori tentang pembelajaran literasi, berikut secara ringkas


disajikan beberapa model yang dapat digunakan oleh guru dalam
pembelajarannya. Beragam model pembelajaran yang bersifat kooperatif lebih
disarankan karena model ini lebih mengedepankan pemanfaatan kerja sama
antarkelompok siswa dalam menyelesaikan permasalahan (Subandiyah, 2015:
114).
Beberapa contoh model pembelajaran literasi yang dimaksudkan antara
lain model pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization), STAD (Student
Teams Achievment Division), Two Stay Two Stay, dan STL (Student Team
Learning). Khusus pembelajaran menulis, contohnya antara lain model jigsaw,
menulis berputar (Write Around), model pembelajaran TPS (Think Pairs Share).
Model TPS dapat dipilih karena lebih mengedepankan kekuatan “perenungan”
atau kontemplasi siswa dalam berpikir dan menuliskan apa yang direnungkannya
terhadap sederet persoalan, pertanyaan, serta jawaban dari masalah yang dihadapi.
Produk tulisan yang baik dapat dihasilkan jika siswa sudah mampu menghayati
dan merenungkan suatu masalah secara mendalam.Selanjutnya diharapkan
muncul intuisi dalam diri mereka dan mulai menuangkannya dalam bentuk
tulisan.Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan Nomor 23 Tahun 2015 ,
kementerian pendidikan dan kebudayaan mewajibkan setiap siswa untuk
membaca buku sebelum memulai jam pelajaran (Retnaningdyah Dkk, 2016: 4).

Model-model tersebut berhasil meningkatkan kemampuan siswa untuk


kepeluan hidup dilingkungan masyarakat literat, baik yang bersifat akademik
maupun kegiatan sosial lainnya. Pelaksanaan model GLS terdiri dari tiga tahap,
yaitu (1) tahap pembiasaan, (2) tahap pengembangan, dan (3) tahap pembelajaran.
Tahap pembiasaan dilakukan untuk menumbuhkan minat baca siswa. Tahap
pengembangan dilaksanakan disertai dengan kegiatan tindak lanjut setelah tahap
membaca. Tahap pembelajaran dilaksanakan dengan strategi membaca tertentu
dalam kegiatan pembelajaran (Husnul, 2019: 182).
Lingkungan pembelajaran literasi pada peserta didik memberikan
pengaruh psikologis yang akan tertanam dalam ingatan peserta didik. Jika
dilakukan terus-menerus dan dilakukan pada seluruh populasi peserta didik di
Indonesia, diharapkan akan membentuk dan menjadi budaya literasi bagi generasi
penerus bangsa. Pembelajaran bahasa Indonesia lebih diarahkan pada upaya
membangun budaya literasi, terutama pada pembelajaran yang dapat
meningkatkan aktivitas peserta didik menggunakan bahan ajar dalam
berkehidupan. Efektifitas belajar literasi dapat tercipta melalui pembelajaran
efektif yang merupakan pembelajaran dengan memungkinkan siswa dapat belajar
dengan mudah dan menyenangkan dan terhindar dari gangguan dan hambatan
(Muhajang, 2018:18).
Pembelajaran berbasis budaya literasi dalam dunia pendidikan memiliki
keunggulan karena model literasi bukan hanya dimaksudkan

agar siswa memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari wacana, melainkan
kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman
sosial dan intelektual. Salah satu modal dasar dalam melakukan pengembangan
minat baca adalah tersedianya sarana mambaca yaitu buku. Penyediaan media
literasi seperti buku juga merupakan hal yang perlu dilakukan pemerintah (Safitra,
2018: 182).
Pembelajaran berbasis budaya literasi akan mengkondisikan peserta didik
untuk menjadi seorang literat. Peningkatan kemampuan literasi dalam belajar
sejalan dengan tujuan pendidikan. Berdasarkan mata pelajaran yang disediakan
untuk pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah/madrasah, porsi pokok bahasan
literasi khususnya masih relative sedikit dan tidak lebih sebagai pelengkap.
Padahal, penekanan pada baca-tulis akan menghasilkan keterampilan
berkomunikasi dengan objek yang dibaca, keterampilan bernalar dan berimajinasi,
serta dapat menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, percaya diri, dan kesadaran
diri dengan cara menuangkan hasil bacaan, ide, gagasan, dan pengalamannya serta
menancapkan hasil bacaan ke dalam benak dan hatinya. Seiring dengan
perkembangan zaman dalam lingkup sekolah ditemukan banyak sekali minat
membaca peserta didik pada saat melaksanakan GLS mengalami penurunan, dan
saat ini GLS sedang berupaya untuk menjalankan 3 tahapan yang dimiliki yaitu
tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran (Ghufron, 2020: 94).

Pembelajaran yang dilaksanakan guru bahasa Indonesia hendaknya


mampu membangun kesadaran kritis transitif, yang ditandai dengan kedalaman
menafsirkan berbagai permasalahan, membangun rasa percaya diri dalam diskusi,
serta membangun kemampuan untuk mampu menerima dan menolak.
Pembelajaran sebagai proses interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik
dengan sumber belajar hendaknya mampu mewujudkan kemampuan merefleksi.
Guru memikul tanggung jawab untuk mengatasi rendahnya literasi siswa. Upaya
tersebut dapat berhasil manakala guru sendiri telah memiliki budaya literasi.

a. Jenis- Jenis Literasi

Literasi secara umum diartikan sebagai kemampuan membaca dan


menulis. Semakin banyak informasi yang disimak-baca, semakin banyak
informasi yang kita kuasai, dan dengan banyak membaca- menyimak yang berarti
kita akan mengetahui-menguasai informasi, maka akan memudahkan untuk
berbicara-menulis. (Nurjamal dkk, 2011: 4) mengungkapkan bahwa dalam
perkembangannya, literasi memiliki arti yang luas sehingga ada bermacam-
macam jenis literasi misalnya literasi komputer, literasi media, literasi informasi,
dan literasi moral. (Septiyantono, 2015: 15). Ferguson menjabarkan komponen
literasi informasi sebagai berikut:
1. Literasi dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis, dan menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan untuk
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung
(Counting)berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan,
mempersepsikan informasi, mengomunikasikan,

serta menggambarkan informasi berdasarkan pemahaman dan kesimpulan pribadi.


2. Literasi perpustakaan, yaitu kemampuan lanjutan untuk bisa mengoptimalkan
literasi perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman tentang keberadaan
perpustakaan sebagai salah satu akses untuk mendapatkan informasi. Pada
dasarnya literasi perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara
membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan
periodikal.
3. Literasi media, yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang
berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi),
media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. Secara
gambling saat ini bisa dilihat dimasyarakat kita bahwa media lebih sebagai
hiburan semata.
4. Literasi teknologi, yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti
teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika
dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, dapat memahami
teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
5. Literasi visual, adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi
teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audio- visual secara kritis dan bermartabat.
Tafsir terhadap materi visual yang
setiap hari membanjiri kita, baik dalam bentuk tercetak, di televisi maupun
internet, haruslah dikelola dengan baik.
Berdasarkan uraian tersebut, pengertian literasi dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia lebih dipumpunkan pada kemampuan informasi.Kemampuan informasi
mengacu pada berbagai aktivitas, yaitu mengumpulkan informasi, mengolah
informasi, dan mengomunikasikan informasi.Ketiga aktivitas tersebut tidak dapat
dilepaskan dari keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Kegiatan dalam
GLS dilaksanakan sesuai dengan kegiatan pembelajaran pada kurikulum 2013
(Suneki, 2019: 240).
b. Dimensi dalam Program Literasi

Perkembangannya literasi terus berevolusi dan karenanya rujukannya


makin meluas dan kompleks. Literasi memiliki lima dimensi yang berurusan
dengan penggunaan bahasa, yaitu:
1. Dimensi geografis, yang meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan
internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial.
2. Dimensi bidang, yang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan,
dan sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa di bidang-bidang
tersebut.
3. Dimensi keterampilan, yang meliputi membaca, menulis, menghitung, dan
berbicara. Literasi ini bersifat individu yang dapat dilihat dari
tampak dan semaraknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara.
4. Dimensi fungsi, yakni fungsi literasi untuk memecahkan persoalan, memenuhi
persyaratan dalam upaya mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, dan meningkatkan kapasitas pribadi dan potensi
diri.
5. Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Seiring berjalan dengan
perkembangan teknologi yang pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi.
(Suwandi, 2019: 65).
Literasi dan berliterasi merupakan suatu persoalan yang kompleks.
Literasi dan berliterasi memiliki spectrum kajian yang luas dan berkaitan dengan
banyak variabel, baik kajian dalam perspektif teoritis maupun praksis. Program
literasi mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup
kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spiritual, bahasa, arus teknologi dan
informasi. Berliterasi bertalian erat dengan ketersediaan kebijakan regulasi,
penyediaan buku dan sarana prasarana lain yang memadai, mentor yang dedikatif,
dan iklim yang kondusif. Pembelajaran Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang dipergunakan oleh


masyarakat Indonesia untuk keperluan sehari-hari, misalnya belajar, bekerjasama
dan berinteraksi. (Cahyani, 2009: 36). Suatu bahasa dikatakan penting apabila
memiiki jumlah populasi pemakai yang banyak, wilayah persebarannya luas,
berperan penting dalam pengembangan susastra-budaya, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar
siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat
menghayati bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta
tingkat pengalaman siswa (Alhadiah Dkk, 1991: 11).
Kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia akan berhasil apabila guru
menyesuaikan pembelajaran dengan kemampuan siswa. Penyesuaian tersebut
harus dirancang secara terpadu dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia,
misalnya tujuan utama pembelajaran bahasa umumnya adalah mempersiapkan
siswa untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah
agar interaksi dapat bermakna bagi siswa perlu didesain secara tepat dalam
rencana pembelajaran Bahasa Indonesia.
Penyusunan rencana pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan pada siswa
sebagai subjek belajar. Melalui pengalaman belajar, siswa menemukan,
menerapkan, menganalisis, membandingkan, menyusun, memperbaiki, menilai,
dan menyimpulkan sendiri.Belajar merupakan perilaku manusia atau perubahan
kapasitas yang relative permanen sebagai hasil pengalaman. Belajar melalui
proses yang relative terus menerus dijalani dari berbagai pengalaman.
a. Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia

Bahasa memiliki persona sentral dalam perkembangan inteletual, sosial,


dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam
mempelajari semua bidang. Pembelajaran Bahasa Indonesia diharapkan
membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain.

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan agar


peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik
secara lisan maupun tulis
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
dan bahasa Negara
3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan
4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial.
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. (Cahyani, 2009: 36).
Dengan demikian, untuk mencapai tujuan diatas diperlukan strategi pembelajaran
yang menyangkut 5 hal utama yaitu pemilihan system pendekatan pembelajaran,
pemilihan dan penetapan prosedur, metode, teknik pembelajaran, dan penetapan
kriteria keberhasilan pembelajaran dari evaluasi yang dilaksanakan. (Asih, 2016:
27

1. Interaksi Belajar Mengajar di Kelas

a. Hakikat Interaksi Belajar Mengajar di Kelas

Interaksi (interaction) di sini mengandung pengertian hubungan


komunikasi timbal balik. Dalam komunikasi dikenal istilah komunikan dan
komunikator. Hubungan antara kominikan dan komunikator adalah berhubungan
dengan pesan (message) yang hendak disampaikan. Di dalam menyampaikan
pesan diperlukan media atau sarana yang sering diistilahkan (channel). Saluran
pesan ini dapat berupa tulis dan lisan. Dengan demikian dalam komunikasi agar
dapat berlangsung harus ada : komunikator, komunikan, pesan, dan saluran atau
media. (Sumiati, dan Asra, 2007: 67)
Sementara itu Thibaut dan Kelly (1979) di dalam Mohammad Asrori
(2007: 107) mendeinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu
sama lain, ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu
hasil satu sama lain,atau berkomunikasi satu sama lain. Pendapat lain
dikemukakan oleh Chaplin (1979) juga terdapat dalam Mohammad Asrori (2007:
107) mendefinisikan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara
beberapa individu yang bersifat alami
di mana individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara
serentak.
Berhubungan dengan interaksi dalam kelas, Apakah interaksi kelas oleh
kelompok-kelompok kecil atau diskusi kelas secara utuh, kebanyakan para guru
dapat melakukan atau menciptakan satu kelas yang interaktif. Chet Meyers di
dalam Philipus E. Bishop (2000) menyarankan beberapa ketentuan dasar dalam
interaksi untuk secara konsisten memberikan harapan kepada siswa: Mulai
masing-masing kelas dengan suatu kontroversi atau masalah. Sebagai ganti "Kita
akan menutup(meliput hal ini...," mulai dengan "Di sini kita ingin menjawab
pertanyaan ."
Suasana tenang digunakan untuk memberikan motivasi siswa. Saat
berhenti berceramah anda memberikan motivasi kepada siswa bahwa "Aku
sedang berpikir tentang hal ini, dan demikian juga seharusnya anda." Berhenti
setelah guru memulai pertanyaan-pertanyaan mendorong tanggung jawab siswa;
seorang guru perlu menahan pencobaan itu untuk mengisi kesunyian atau
menjawab pertanyaan bagi mereka.
Susun dan gunakan ruang kelas untuk mendorong interaksi. Mengawali
gerakan, para siswa saling berhadapan satu dengan yang lain, membentuk
setengah lingkaran atau lingkaran penuh. Selama ceramah perkuliahan, bergerak
dari bagian-bagian ruang yang berbeda , buatlah suatu lingkungan yang ramah.
Para guru perlu menginvestasikan waktu untuk belajar siswa di dalam kelas .
Di samping itu guru harus saling
Dari beberapa pendapat di atas,dapat disimpulkan bahwa interaksi
mengandung pengertian hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan
masing-masing orang yang terlibat memainkan peran yang aktif dalam interaksi
tersebut. Demikian halnya interaksi yang terjadi di dalam kelas dituntut adanya
komunikasi yang baik antara guru,siswa,ataupun juga dengan pihak-pihak yang
terkait,sehingga interaksi belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan
efisien
Interaksi belajar-mengajar di dalam kelas mempunyai ciri-ciri khusus yang
membedakan dengan interaksi sosial pada umumnya. Di bawah ini adalah ciri-ciri
khusus interaksi belajar-mengajar yang disampaikan Edi Sumardi (1980: 16-17)
sebagai berikut :
1. Memiliki tujuan yang jelas,yakni untuk membantu siswa anak dalam suatu
perkembangan tertentu dengan memusatkan siswa sebagai pusat perhatian.
2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi ) yang direncanakan didesain untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan itu.
3. Ditandai dengan satu penggarapan materi khusus (ada topik/pokok bahasannya)
4. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa.

b. Penataan Pola Komunikasi dalam Interaksi Belajar Mengajar di Kelas


1) Pola Komunikasi

Guru di dalam kelas seharusnya mampu mengenali siswanya dengan baik


melalui interaksi dan komunikasi sehingga siswa mampu mengembangkan dirinya
sendiri.
Pola komunikasi dalam interaksi belajar mengajar menurut Nana Sudjana
(dalam Gunawan: 2009 http://pak-gunawan. blogspot. com/ 2009/03/tiga-pola-
komunikasi-dalam-proses.html )
di bedakan menjadi tiga sebagai berikut :

(a) Komunikasi sebagai Aksi atau Komunikasi Satu Arah

Dalam komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai
penerima aksi. Guru aktif dan siswa pasif. Ceramah pada dasarnya adalah
komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Komunikasi jenis ini kurang
banyak menghidupkan kegiatan siswa belajar.
Gambar 5. Pola komunikasi satu arah

(b) Komunikasi sebagai Interaksi atau Komunikasi Dua Arah

Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama yaitu pemberi aksi
dan penerima aksi. Di sini, sudah terlihat hubungan dua arah, tetapi terbats antara
guru dan pelajar secara indivudual.Antara pelajar dan pelajar tidak ada
hubungan.Pelajar tidak dapat berdiskusi dangan teman atau bertanya sesama
temannya.Keduanya dapat saling memberi dan menerima. Komunikasi ini lebih
baik dari pada yang pertama,sebab kegiatan guru dan kegiatan siswa relatif sama

Keterangan : G = Guru
S = Siswa Gambar 6. Pola Komunikasi Dua Arah
(c) Komunikasi Banyak Arah atau Komunikasi sebagai Transaksi Komunikasi ini
tidak hanya melibatkan interaksi yang dinamis
antara guru dengan siswa tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara
siswa yang satu dengan yang lainnya.Proses belajar mengajar dengan pola
komunikasi ini mengarah kepada proses pengajaran yang mengembangkan
kegiatan siswa yang

optimal,sehingga menumbuhkan siswa belajar aktif.Diskusi dan simulasi


merupakan strategi yang dapat mengembangkan komunikasi ini

Keterangan : G = Guru
S = Siswa
Gambar 7 Pola Komunikasi Banyak Arah

2) Fungsi Guru dalam Komunikasi

Fungsi guru dalam interaksi belajar mengajar tidak hanya berfungsi sebagai
komunikator akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator, dan motivator yang
memberi dorongan dan semangat dalam belajar siswa.
Ciri-ciri guru agar dalam melaksanakan fungsinya berjalan dengan baik
menurut Sumiati dan Asra (2007: 66) sebagai berikut :
(a). menguasai ilmu yang harus diajarkan. (b). memiliki kemampuan mengajar.
(c). minat mengajarkan ilmunya kepada siswa.

3) Komunikasi Manusiawi antara Guru dan Siswa

Komunikasi dan hubungan manusiawi guru-siswa merupakan faktor yang


sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajaran Hal ini disebabkan
bantuan guru kepada siswa di dalam maupun di luar pembelajaran formal dapat
memberi pengaruh,terutama dorongan yang bersifat psikis untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan penyelesaian pendidikan.
Komunikasi sebagai proses mengenal pembagian proses primer dan proses
sekunder. Proses primer adalah komunikasi langsung tanpa media atau alat (media
massa),sedangk- an proses sekunder adalah komunikasi yang menggunakan media
disebut mediated communication.
Ada tiga komponen dalam proses komunikasi menurut Sumiati dan Asra
(2007: 66) yaitu :
(a) Komunikator ( pemberi informasi/pesan) dan komunikan (penerima
informasi/pesan)
(b) Informasi atau pesan (message)

(c) Cara,alat,atau media yang digunakan.

4) Sikap Guru-Siswa dalam Berkomunikasi

Agar tercipta hubungan antara guru-siswa secara lebih akrab dan


menguntungkan , terutama dalam situasi akademik ,menurut Sumiati dan Asra
(2007 : 69) guru dan siswa harus mempunyai sikap sebagai berikut:

(a) Keduanya harus saling mengenali.


(b) Bersikap terbuka, sehingga akan menumbuhkan mental keduanya untuk
menerima saran atau kritik.
(c) Saling percaya dan menghargai.

(d) Guru berkesungguhan hati untuk membimbing


siswa dan sebaliknya siswapun harus berkesungguhan hati
dibimbing guru.
5) Upaya Meningkatkan Hubungan Guru-Siswa

Upaya meningkatkan hubungan guru–siswa dalam situasi akademik terutama


diarahkan untuk menunjang belajar siswa. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain mental set dan metode pendekatan.
(a) Mental Set

Siswa harus dekat dengan gurunya. Siswa harus yakin gurunya adalah
seorang guru yang baik, guru akan selalu memberikan dukungan kepada siswa
untuk dapat mencapai prestasi belajar yang memuaskan. Sikap seperti tersebut
penting,dengan memiliki sikap tersebut memungkinkan guru simpatik pada siswa.
Guru juga manusia memiliki berbagai kebutuhan . Kebutuhan- kebutuhan
tersebut se cara garis besar sebagai berikut:
1) Kebutuhan psikologis seperti pengakuan atau harapan

2) Kebutuhan keamanan

3) Kebutuhan akan penghargaan

4) Kebutuhan afeksi seperti kesenangan atau kesukaan

5) Kebutuhan aktualisasi diri seperti


mengembangkan dan menggunakan
kemampuannya.
(b) Metode Pendekatan

Siswa dalam berhubungan dengan guru tidak boleh melanggar norma.


Hubungan guru-siswa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan akademik maka
seyogyanya siswa pandai membawa diri dalam membina hubungan tersebut. (
Sumiati, dan Asra ,2007
:70)

6) Komunikasi Nonverbal

Proses pembelajaran di kelas sebagai proses komunikasi dilakukan guru


melalui bentuk bahasa sebagai proses penyampaian pikiran dan perasaan. Bentuk
bahasa yang digunakan guru dapat berupa bahasa (komunikasi verbal) dan juga
dapat melalui gerak isyarat, sikap tubuh, langkah, dan gaya yang dilakukan atau
disebut komunikasi nonverbal atau bahasa tubuh guru.
Berhubungan dengan komunikasi non verbal ZHANG Jing-pin (2008)
membantu mengolah kemampuan berkomunikasi mahasiswa/mahasiswi secara
non-verbal. Komunikasi non-verbal menjadi penting, yang mana mencakup
ekspresi muka seperti, senyum, isyarat gerak tangan, kontak mata, sikap, dan
penampilan.
Senada dengan uraian tersebut Lutfatul Syayidah Fitriyah ( 2006 : dalam
http://openpdf.com/ebook/lutfatul-pdf.html) adalah

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam IBM guru bahasa Indonesia
menggunakan penguatan verbal, penguatan gesture, penguatan dengan cara
mendekati, penguatan dengan sentuhan, penguatan dengan kegiatan
menyenangkan, dan menggunakan penguatan berupa simbol atau benda.
penguatan verbal, penguatan gestur, penguatan dengan cara mendekati menduduki
urutan tertinggi sebagai penguatan yang paling sering digunakan guru dalam IBM.
Penguatan dengan sentuhan, penguatan dengan kegiatan menyenangkan, dan
penguatan berupa simbol atau benda sangat jarang digunakan dalam IBM. Jenis
kegiatan siswa yang diberi penguatan oleh guru BI adalah ketika siswa
mengerjakan tugas di papan tulis, ketika siswa perhatian terhadap materi yang
guru terangkan, kedisiplinan siswa mengumpulkan tugas kelas (PR), ketika
kelompok siswa dapat menyelesaikan tugas paling cepat dibandingkan kelompok
lain. Secara klasikal jenis kegiatan yang diberi penguatan adalah ketika siswa
sekelas menunjukkan antusias tinggi terhadap pelajaran BI dan ketika siswa ujian
mendapat nilai memuaskan .
Komunikasi nonverbal dalam interaksi belajar mengajar menurut Sumiati dan
Asra (2007: 71-74) antara lain :
(a) Menganggukkan kepala

Menganggukkan kepala merupakan komunikasi nonverbal menyatakan


”ya” atau persetujuan.

(b) Wajah Cerah dan Ceria

Wajah ceria merupakan komunikasi nonverbal yang menunjukkan


persetujuannya atas pendapat atau perilaku siswa yang sudah benar.
(c) Wajah Mendung

Wajah mendung, masam merupakan wujud ketidaksetujuan atas pendapat


atau perilaku siswa tidak benar atau tidak baik.
(d) Bibir Tersenyum

Bibir tersenyum atau senyum adalah semacam tertawa yang tidak bersuara
hanya gerakan bibir dan mulut sebagai ekspresi menunjukkan rasa senang. Bibir
tersenyum menunjukkan persetujuan guru atas pendapat atau perilaku siswa.
(e) Tertawa

Tertawa merupakan komunakasi nonverbal yang menunjukkan rasa suka cita,


senang, gembira atau lapang dada. Hal ini biasa dilakukan guru karena siswa
berprestasi.
(f) Mengacungkan Ibu Jari Tangan atau Jempol Tangan

Hal ini dilakukan guru untuk menyatakan persetujuan atau penghargaan


kepada siswa.
(g) Tepuk Tangan

Tepuk tangan merupakan komunikasi nonverbal untuk memebrikan


penghargaan,penghormatan ,atau pujian atas keberhasilan yang diraih siswa.

Dari uraian di atas interaksi belajar mengajar di dalam kelas antara guru dan
siswa sangat tergantung kemampuan guru mengelola kelas berkaitan dengan
penelitian ini adalah salah satunya kemampuan guru dan siswa menjaga
komunikasi. Komunikasi dalam kelas dapat berupa komunikasi verbal dan non
verbal.

2. Wacana Lisan Guru dan Siswa di Kelas

a. Hakikat Wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki


gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Abdul
Chaer,1994: 27). Wacana dikatakan lengkap karena didalamnya terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang dapat dipahami oleh pembaca (dalam
wacana tulis) sedangkan oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan
apapun.
Definisi wacana dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Hasan
Alwi, 2008: 419), dijelaskan wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk
kesatuan yang utuh
Pendapat lain Crystal dalam Dede Utomo (1993: 4) menyatakan wacana
adalah rangkaian sinambung yang lebih luas daripada kalimat. Definisi umum itu
dapat diterapkan secara berbeda dari berbagai sudut pandang. Misalnya, dari
sudut pandang psikolinguistik, wacana dapat

dipandang sebagai proses dinamik pengungkapan dan pemahaman yang mengatur


penampilan seseorang dalam interaksi kebahasaan . Edmonson di dalam salah
satu karyanya yang berjudul Spoken Discourse: a Model for
Analysis ,dikatakan bahwa ”a discourse is structured event manifest to linguistic
(and other) behaviour”(1981: 4). Wacana adalah suatu peristiwa yang terstruk- tur
yang diwujudkan dalam perilaku bahasa atau yang lainnya.
Senada dengan pendapat tersebut Henry Guntur Tarigan (2009: 26)
memberikan definisi sebagai berikut, ”Wacana adalah satuan bahasa terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi
tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata
disampaikan secara lisan atau tertulis” .
Dari uraian singkat tersebut dapat dipahami bahwa hakikat wacana adalah
satu kesatuan bahasa yang utuh yang dipakai untuk berkomunikasi baik secara
tertulis (transaksi komunikasi) dan secara lisan (interaksional komunikasi). Jadi,
analisis wacana lisan interaksi guru dan siswa di kelas termasuk studi tentang
wacana lisan .
b. Analisis Wacana Lisan

Analisis wacana (discourse analysis) dapat didefinisikan sebagai ilmu


yang mengkaji organisasi bahasa secara utuh di atas tingkat kalimat atau klausa.
Karena itu, ia mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti
percakapan atau teks tertulis. Di samping itu, ia juga

mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial, termasuk interaksi di antara


penutur bahasa (Stubs, 1983: 1)
George Yule (1996: 1) berpendapat analisis wacana adalah analisis atas
bahasa yang digunakan. Maka analisis tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk
bahasa yang tidak terikat tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan
bentuk tersebut dalam urusan–urusan manusia. Kalau ada ahli linguistik yang
memusatkan perhatian pada penentuan sifat-sifat formal suatu bahasa,
penganalisis wacana berkewajiban menyelidiki untuk apa bahasa itu dipakai.
Analisis wacana berusaha mengkaji makna bahasa yang dipakai penutur
secara benar paling tidak mendekati makna yang dimaksud oleh pembicara dalam
interaksi sosial. Karena itu, ia memanfaatkan pola-pola kajian sosiolinguistik,
suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah ragam pemakaian bahasa dalam
lingkungan masyarakat (Suseno Kartomihardjo, 1992: 1)
Analisis wacana menurut Brown (1980) di dalam Henry Guntur Tarigan
(2009: 23) adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Kita
menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa
konteks,tanpa hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan suprakalimat
maka kita sulit berkomunikasi dengan tepat satu sama lain.
Melalui wacana kita dapat saling : a) menyapa/menegur, b)
meminta/memohon, c) menyetujui/menyepakati, d) bertanya/meminta

keterangan, e) meyakinkan, f) menyuruh/memerintah, g) mengeritik/


mengomentari, h) memaafkan/mengampuni, dan lain-lain.
Perbedaan disiplin ilmu untuk menganalisis wacana dapat digambarkan
oleh Imrulan Sati T (2007) sebagai berikut.
Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara
konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik wacana adalah
unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik
ini merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan
pada unit kata, frase atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan diantara unsur
tersebut. Analis wacana, kebalikan dari linguistik formal, justru memusatkan
perhatian pada level diatas kalimat seperti hubungan gramatikal yang terbentuk
pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan
psikologi sosial, diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud disini
agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari
pemakaiannya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik
pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral
dari penggambaran status subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya,
maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
(http://74.125.153.132/search?q=cache:EdTJVuBuoQsJ:pksm.mercubuana
.ac)
Fassold di dalam Schiffrin, Deborah (2007: 40) mengemukakan tentang
studi wacana adalah studi tentang semua aspek penggunaan bahasa.
Analisis wacana yang akan digunakan untuk mendeskripsikan
karakteristik wacana lisan interaksi guru dan siswa dalam kelas yaitu pemakaian
bahasa dalam interaksi dalam kelas,akan mencakup konteks

wacana serta temuan-temuan dalam kelas berkaitan dengan fungsi bahasa dan
partikel dalam wacana lisan.
c. Fungsi Bahasa

Dalam praktik bertutur, bahasa yang digunakan oleh peserta tutur


memiliki fungsi yang dominant. Setiap bahasa memiliki fungsi yang berbeda–
beda bagi masyarakat penuturnya . Buhler di dalam Riyadi Santosa (2003: 19)
berpendapat bahwa bahasa memiliki tiga fungsi yaitu fungsi ekspresif, fungsi
konatif, dan fungsi representasional. Fungsi ekspresif berorientasi pada diri
sendiri, pembicara, fungsi konatif berorientasi pada adresi, pendengar, dan fungsi
representasional berorientasi pada rtealitas selain adresor dan adresi .
Halliday di dalam Sumarlam, dkk. (2009: 1-3) bahasa memiliki tujuh
fungsi yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi
interaksi, fungsi perorangan, fungsi heuristik, serta fungsi imajinatif Berikut ini
diuraikan mengenai ketujuh fungsi tersebut :
1. Fungsi Instrumental (the instrumental function). Dalam hal ini bahasa
menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan menyebabkan terjadinya peristiwa
tertentu, artinya bahasa berfungsi menghasilkan bentuk perintah atau imperatif.
Contoh :”Silakan buku kalian dibuka sekarang!”
2. Fungsi Regulasi (the regulatory function), artinya bahasa berfungsi untuk
mengendalikan serta mengatur orang lain.Contoh: ”Kalau kalian tekun belajar
maka kalian akan lulus dengan baik.”

3. Fungsi Representasi (the representational function), artinya bahasa berfungsi


membuat pernyataan, menyampaikan fakta. Contoh :”Indonesia terdiri dari lima
pulau besar dan ribuan pulau kecil.”
4. Fungsi Interaksi (the interactional function), artinya bahasa berfungsi menjamin
dan memantapkan ketahanan dan keberlangsungan komunikasi serta menjalin
interaksi sosial. Contoh : Penyapa hendaknya menyapa dengan sapaan yang tepat
dan hormat. Misalnya : ”Selamat pagi, Bu.” (Bu, sapaan untuk menghormati ibu
guru).
5. Fungsi Perorangan (the personal function), artinya bahasa berfungsi sebagai
sarana komunikasi yang dapat menunjukan kepribadian seseorang, apakah ia
senang,sedih, marah, jengkel, kecewa, dan gembira, dan sebagainya. Contoh : ”
Silakan keluar ruangan,bila kalian ingin ngobrol!” Jika dituturkan dengan nada
tinggi berarti penutur sedang jengkel, marah, atau kecewa.
6. Fungsi Heuristik (the heuristic function), artinya bahasa berfungsi sebagai bentuk
pertanyaan yang menuntut jawaban. Contoh : ” Mengapa jika matahari
tenggelam hari menjadi gelap?”
7. Fungsi Imajinatif, artinya bahasa sebagai pencipta sistem, gagasan, atau kisah
yang imajinatif. Fungsi ini biasanya ditemukan dalam roman, dongeng, dan lain
sebagainya.
Selanjutnya Buhler di dalam Kinayati Djoyosuroto (2007: 91)
membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa
representasional. Bahasa ekspresif, yaitu bahasa yang terarah pada diri

sendiri yakni si pembicara; bahasa konatif, yaitu bahasa yang terarah pada lawan
bicara; dan bahasa representasional, yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan
lainnya, yaitu apa saja selain pembicara atau lawan bicara.
Sementara itu Jakobson (1960) di dalam Henry Guntur Tarigan (2009:
11-12) menyarankan bahwa fungsi-fungsi ujaran dapat difokuskan pada salah
satu komponen dasar peristiwa komunikasi sebagai berikut :
(a) Fungsi referensial : memusatkan perhatian kepada isi acuan suatu pesan.
(b) Fungsi emotif : memusatkan perhatian kepada keadaan para pembicara.
(c) Fungsi konati : memusatkan perhatian kepada keinginan –keninginan para
pembicara yang dipikirkan oleh penyimak.
(d) Fungsi Metalinguistik : memusatkan perhatian kepada sandi atau kode yang
dipergunakan.
(e) Fungsi fatik: memusatkan perhatian kepada saluran (pembukaan,
pembentukan, dan pemeliharaan hubungan atau kontak antara pembicara dan
penyimak.
(f) Fungsi puitik : memusatkan perhatian kepada bagaimana caranya suatu pesan
disandikan atau ditulis dalam sandi.
Fungsi bahasa menurut Popper di dalam Leech (1993: 75) ialah
mengemukakan adanya suatu perkembangan fungsi-ungsi dalam evolusi bahasa
manusia dari fungsi-fungsi yang rendah ke lebih yang tinggi. Ia berpendapat
bahwa daalam sistem komunikasi yang lebih primitif fungsi informatif (signalling
function), dan fungsi ekspresif (fungsi-fungsi bahasa yang bersifat interpersonal)
merupakan fungsi yang paling menonjol, sedangkan yang paling menonjol dalam
komunikasi modern adalah fungsi deskriftif dan fungsi argumentatif.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Leech di dalam Fatimah
Djayasudarma (2006: !4-15) fungsi bahasa sebagai berikut :
(a) Fungsi ekspresif yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan secara
ekspositoris.

(b) Fungsi fatik (pembuka konverssasi) yang menghasilkan dialog pembuka,


misalnya : Assalamu’alaikum, selamat pagi, yang diucapkan pada pembuka jenis
wacana lisan transaksional.
(c) Fungsi informasional menyangkut pokok masalah dalam unsur komunikasi.
(d) Fungsi estetik lebih menyangkut unsur pesan sebagai unsur komunikasi (setiap
karya sastra mengandung pesan).
(e) Fungsi direktif berhubungan dengan pembaca/pendengar sebagai penerima isi
wacana secara langsung dari sumber.
Dari pendapat para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
bahasa adalah sebagai alat komunikasi antar pemakai bahasa, untuk membangun
sebuah komunitas bahasa, budaya, dan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini
berkenaan dengan wacana lisan interaksi guru dan siswa dalam kelas merupakan
bentuk penyampaian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Berkaitan
dengan prinsip kerjasama dan kesantunan berbahasa merupakan bentuk budaya.
d. Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur


(atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya
studi ini banyak berhubungan dengan analisis tentang yang dimaksudkan orang
dengan tuturan-tuturanya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa
yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. 1) Pragmatik adalah studi tentang
maksud penutur, 2) Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual, 3)
Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan
daripada yang dituturkan, dan 4) Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari
jarak hubungan ( George Yule, 2006: 3-4)

Sementara itu, menurut Thomas (1995: 2) menyebut dua


kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan
menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna
pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang
kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance
interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa
pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara
pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik)
dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan
pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in
interaction ) Levinson (1983: 9-24) dalam bukunya Pragmatic memaparkan
beberapa definisi tentang pragmatik, yaitu sebagai berikut :
1) Pragmatics is study of those relation between language and context that are
grammarticalized or encoded in the structure of language.
‘Pragmatik adalah penelitian atau kajian tentang hubungan antara bahasa dan
konteks yang ditatabahasakan atau dikodekan dalam struktur bahasa .’
2) Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in a semantic
theory.
Pragmatik adalah penelitian atau kajian bidang kemaknaan yang tidak
dimasukkan atau belum tercakup dalam teori semantik.
3) Pragmatics is the study of the relations between language and context that
are basic to an account of language understanding.
Pragmatik adalah penelitian atau kajian tentang hubungan antara bahasa dan
konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa
4) Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the
context in which they would be appropriate.
Pragmatik adalah penelitian atau kajian tentang kemampuan pemakai bahasa
mengaitkan atau menyesuaikan kalimat-kalimat yang dipakainya dengan konteks.
Pendapat yang lain adalah Morris (1938) dalam Henry Guntur Tarigan
(2009: 30), pragmatik adalah telaah mengenai, ”hubungan tanda- tanda dengan
para penafsir.” Sementara itu, Dowty (et al) di dalam Henry Guntur Tarigan
(2009: 31) meyatakan bahwa prakmatik adalah telaah mengenai kegiatan ujaran
langsung dan tak langsung , presuposisi, implikatur konvensional dan
konvensional, dan sejenisnya”
Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik yaitu
ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia pada dasarnya
sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu.
Konteks yang dimaksud yaitu bersifat sosial dan konteks sosieatal . Yang
dimaksud konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat interaksi antar
anggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Adapun
yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang
faktor penentunya adalah kedudukan(rank) anggota masyarakat dalam institusi-
institusi saosial yang ada di dalam masyarakat social dan budaya tertentu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa menurut pakar ini dasar munculnya konteks
sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial
adalah adanya solidaritas (solidarity).

e. Konteks Situasi Tutur

Prakmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada


konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang
dimiliki bersama penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi
sebuah penuturan. Berdasarkan gagasan Leech (1983: 13-14), I Dewa PutuWijana
(1996: 10-11) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut
konteks situasi tutur (speech situational contecxts) Konteks situasi tutur
menurutnya mencakup aspek-aspek berikut :
1) Penutur dan lawan tutur, 2) konteks tuturan, 3) tujuan tuturan, 4)
tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan 5) tuturan sebagai produk
tindak verbal.

f. Tindak Tutur

Dalam berkomunikasi sesungguhnya , penggunaan bahasa itu berwujud


tindak tutur (speech act ) Tindak tutur itu tidak akan dipahami dengan baik
apabila mitra tutur tidak memahami situasi tutur. Situasi tutur ( speech event )
adalah terjadinya interaksi linguistic dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan di
dalam waktu, tempat dan situasi tertentu ( Abdul Chaer, 1994 : 61-62) Dengan
kata lain , peristiwa tutur pada dasarnya menerangkan tindak tutur yang jenisnya
bermacam-macam. Fenomena tindak tutur inilah yang menurut Levinson
merupakan fenomena faktual dalam situasi tutur.

Sementara itu, menurut Nababan di dalam Sarwiji Suwandi (2007:


126) berpendapat pemilihan bentuk dan ragam bahasa ditentukan sejumlah faktor
yaitu siapa berbicara dengan siapa, tentang apa (topic), dalam situasi (setting)
yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa ( tulisan, lisan, telegram,
dan sebagainya ) .
ZHANG Jing Pin (2008) menyatakan bahwa isi dari pembicaraan
dapat berupa sesuatu yang berbobot. Lebih lanjut, pembicaraan yang baik tidak
hanya didasarkan pada apa yang anda ucapkan tetapi juga bagaimana anda
mengucapkannya . Anda mencoba meyakinkan orang lain! Agar berhasil, Anda
harus menghadirkan perasaan dan logika mereka sebaik mungkin. Kemudian,
gunakan bahasa tubuh dan ucapan anda dengan pantas.
Lady Appleyard berkata, ”Bagaimana yang anda ucapkan,
kemampuan anda didengar, tatabahasa anda dan isi percakapan yang anda
sampaikan, bertanggung jawab atas segalanya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Dell Hymes (1972) di dalam Sarwiji
Suwandi (2007: 126-127) mengemukan adanya faktor-faktor yang menandai
terjadinya peristiwa tutur dengan akronim SPEAKING, yang masing-masing
bunyi merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang dimaksudkan,yaitu :
S : Setting and scene (tempat dan suasana bicara)

P : Participants (pembicara,mitra bicara,dan pendengar) E : Ends( purpose and


goal ) ( tujuan pembicaraan)

A : Act Sequences ( suatu peristiwa seorang pembicara sedang menggunakan


kesempatan bicaranya )
K : Key (tone or spirit of act) (nada suara dan cara berbicara ) I :
Instrumentalities (alat atau jalur yang digunakan )
N : Norms of interaction and interpretation (aturan permainan), dan G : Genres
(bentuk dan ragam bahasa)
Peristiwa tutur merupakan merupakan peristiwa sosial yang terdapat
pada interaksi antara penutur dan mitra tutur dalam situasi dan tempat tertentu
dan lebih menekankan pada tujuan dari peristiwa tutur tersebut. Tindak tutur
dipengaruhi oleh gejala individual, bersifat psikologis ditentukan kemampuan
berbahasa penutur dan mitra tutur serta situasi dan kondisi peristiwa tutur terjadi.
Austin di dalam bukunya How to Do Things with Words (1962: 108-
110) menyajikan pembagian tindak tutur menjadi tiga jenis tindak tutur, yaitu
tindak Lokusi (melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak Ilokusi
(melakukan tindakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak Perlokusi
(melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu) . Misalnya :
Lokusi : penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa X ( X adalah kata- kata tertentu yang
dituturkan dengan perasaan,makna,dan acuan tertentu). Contoh : ” Saya haus
,tolong ambilkan air minum !”
Ilokusi : Penutur ingin mengatakan X kepada mitra tutur, akan tetapi penutur menyatakan
dengan P. Contoh : ” Hari ini panas

sekali,ya.” ( Maksud dari penutur mungkin mitra tutur untuk menyalakan AC).
Perlokusi: Penutur dengan mengatakan X, penutur meyakinkan mitra tutur bahwa P.
Contoih : ” Tanganku gatal.” ( Maksudnya bilamana penutur yang kebiasaannya
suka memukul orang, karena melihat sesuatu rasanya penutur akan segera
memukul orang lain mungkin melihat peristiwa yang kurang pantas).
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Searle (1983) dalam bukunya
Speech Acts: An Essay in The Philosopy of Language di dalam (Kunjana Rahardi,
2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut
dapat disebutkan sebagai berikut: (1) tindak lokusioner (licotionary acts), (2)
tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary
acts)
Tindak lokusiener adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat
sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Contoh :
tanganku gatal berarti penutur memberitahu mitra tutur bahwa tangan penutur
dalam keaadaan gatal.
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu . Contoh : aku lapar berarti yang diucapkan penutur tidak semata-
mata memberi tahu kepada mitra tutur bahwa penutur dalam keadaan lapar,akan
tetapi penutur menghendaki mitra tutur melakukan tindakan tertentu dengan rasa
lapar itu.

Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada mitra


tutur. Contoh : tanganku gatal berarti karena yang mengucapkan seorang preman
maka akan menimbulkan pengaruh lawan tutur ketakutan.
Leech (1983) di dalam Henry Guntur Tarigan (2009 : 107-108)
menyampaikan ciri-ciri sintaktik verba ini :
(a) Verba Asertif biasanya muncul dalam konstruksi ‘S verba (…) bahwa X’ ( S =
subjek ( yang mengacu kepada pembicara) dan ‘bahwa X’ mengacu pada suatu
proposisi);contoh : menegaskan mengiakan, memperkokoh, memperkuat,
mensahkan) mengatakan ( menduga keras, menyatakan tanpa bukti),
menegaskan , meramalkan, mengumumkan, menuntut ( menagih).
(b) Verba direkti biasanya muncul dalam konstruksi ’S verba (0) bahwa X’ atau ’S
verba O kepada Y’ (S dan O mengacu pada subjek dan objek ( yang masing-
masing mengacu pada pembicara,dan penyimak), bahwa X’= klausa bahwa
nonindikatif; dan ’kepada Y’= klausa infinitif); contoh : meminta, mengemis ,
menawar, memerintahkan, memerlukan, melarang, menasihati, menasihatkan,
menganjurkan, memuji kebaikan , memohonkan.
(c) Verba Komisif biasanya muncul dalam konstruksi ’S verba bahwa X (di mana
klausa bahwa adalah nonindikati), atau ’S verba kepada Y’ ( di mana kepada Y’
adalah konstruksi infinitif); contoh : menawarkan, menjanjikan, bersumpah,
bersukarela, bernazar.
(d) Verba Ekspresif biasanya muncul dalam konstruksi ’S verba (prep) (O) (prep) Xn
(di mana ’(prep) adalah preposisi akultati; dan Xn adalah frase nomina abstrak
atau frase gerundif), contoh : meminta maaf, menaruh simpati, mengucapkan
selamat, memaafkan, mengampuni, mengucapkan terima kasih.
(e) Verba Rogatif adalah verba yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari
keempat kategori di atas; contoh : menamai , mengklasifikasikan,

memerikan, membatasi, mendeinisikan,


mengidentifikasikan, mempertalikan,
menghubungkan.

g. Struktur Wacana Lisan Interaksi di Kelas

1. Tindak Tutur di Kelas Menurut Ramirez


Dalam penelitian tentang tindak tutur, Ramirez (1988) menyatakan
bahwa dalam interaksi kelas terdapat tiga lapisan pertukaran, yaitu tindak, gerak,
dan pertukaran. Dijelaskannya bahwa pertukaran itu merupakan suatu interaksi
yang terkecil yang melibatkan dua peserta atau lebih . Biasanya, pertukaran
terbentuk dalam rangkaian alih tutur (turn- taking) yang terdiri atas pemicu dari
guru, tanggapan dari siswa, dan balikan dari guru. Secara umum, pola pertukaran
itu dirumuskan sebagai pembuka, jawaban, dan tindak lanjut. Ketiga unsur
struktur itu disebut gerak. Gerak-gerak itu terdiri atas sejumlah tindak, sedangkan
tindak dapat dibatasi berdasarkan fungsi ujaran dalam sebuah wacana, seperti
pertanyaan, perintah, memberi keterangan, dan sebagainya (Abdul Rani, Bustanul
Arifin, dan Martutik, 2008 : 62-63 ).
Di bawah ini pendiskripsian tindak tutur tiap-tiap gerak menurut Ramirez .
a. Pembukaan (Opening)

Tindak tutur yang terdapat dalam pembuka seperti di bawah ini:

(1) Pertanyaan sungguhan yaitu menanyakan sebuah informasi, penjelasan, alasan,


dan ketrangan yang tidak diketahui oleh penutur.

(2) Pertanyaan pura-pura (pseudo question) yaitu pertanyaan yang diajukan untuk
mengetahui informasi, penjelasan, alasan, dan sebagainya yang sebenarnya telah
diketahui penutur.
(3) Permintaan (keras) secara langsung (direct request) yaitu ujaran yang berisi
permintaan yang berupa perintah yang memerlukan jawaban atau tindakan para
pendengar. Bentuk ujaran yang digunakan biasanya berupa kalimat suruhan.
(4) Permintaan (lunak) tidak langsung (indirect request) yaitu ujaran yang berisi
permintaan yang berupa perintah lunak yang memerlukan jawaban verbal atau
tindakan dan cara penyampaianya secara tidak langsung. Biasanya ujaran yang
digunakan berupa kalimat pertanyaan.
(5) Informatif yaitu ujaran yang berupa pernyataan yang berisi pendapat, ide, contoh-
contoh alasan, dan sebagainya. Bentuk ujaran yang digunakan berupa kalimat
berita dan kalimat tanya.
(6) Metastatemen yaitu suatu pernyataan yang berisi informasi yang sedang terjadi
atau akan terjadi selama proses belajar mengajar.
(7) Ekspresif yaitu suatu ujaran yang bersifat pribadi yang dapat berisi komentar,
penghargaan, atau pelahiran emosi yang lain.
b. Penjawaban (Answering)

Ramirez mendeskripsikan sebagai berikut :

(8) Menjawab yaitu suatu tanggapan terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan pada
dirinya. Tindak tutur ini dibedakan menjadi menjawab dengan berperan serta dan
tidak berperan serta.
(9) Timbal tindak (react) yaitu tanggapan yang berupa tindak verbal ataupun tindak
nonverbal sebagai jawaban dari permintaan atau perintah.
(10) Ucapan terima kasih yaitu tanggapan untuk mengucapkan
terima kasih atas sebuah informasi yang diberikan .
(11) Pengulangan yaitu pengulangan terhadap ujaran dalam pembuka.

(12) Pemicu ulang (reinitiate) yaitu suatu ujaran yang ditujukan


pada siswa untuk mengulang atau memulai sesuatu.
c. Pelanjutan (Follow-Up)

Gerak lanjutan sering juga disebut feedback karena tindak tutur yang digunakan
dalam gerak ini pada umumnya merupakan balikan dari gerak jawaban.
Dalam wacana di kelas, tindak tutur yang ada dalam gerak lanjutan dideskripsikan
seperti berikut :
(1) Penerimaan yaitu ujaran yang berisi penerimaan terhadap jawaban siswa.
(2) Penghargaan yaitu ujaran yang berisi penilaian terhadap jawaban atau
pertimbangan kualitas seperti ujaran.
(3) Komentar yaitu ujaran yang berupa pernyataan. Komentar tersebut biasanya
mengikuti penerimaan,penghargaan,dan pembetulan.

(4) Pembetulan yaitu ujaran yang dimaksudkan untuk membetulkan jawaban siswa.
(5) Pengulangan yaitu ujaran yang berupa pengulangan jawaban siswa.

(6) Parafrase yaitu ujaran yang berupa pengubahan bentuk jawaban siswa.
Dalam interaksi kelas, guru mempunyai pengaruh dalam menentukan
struktur pertukaran. Ellis (1990: 76-77 ) menyatakan bahwa guru dalam interaksi
di kelas mem-punyai kedudukan sebagai
(1) peserta dalam seluruh pertukaran, (2) pemicu dalam pertukaran, (3) penutup
pertukaran, (4) penentu ikut tidaknya peserta lain dalam se- buah pertukaran, (5)
penerima untuk beberapa pemicu (initiated) , (6) penentu pembicara selanjutnya,
dan (7) penentu jumlah ujaran setiap pembicara. ( Abdul Rani, Bustanul Arifin,
dan Martutik., 2008 : 62- 66).

2. Tindak Tutur di Kelas menurut Flanders

Disini ditampilkan sepuluh Kategori Analisis Interaksi menurut Flanders


(FLAC). Mereka belajar untuk dapat melihat apa yang mereka dapat katakan saat
mengamati komunikasi yang terjadi saat komunikasi berlangsung di dalam kelas.
Dengan menggunakan istilah who, why, what, dan how diuraikan di atas. Juga,
untuk mengungkapkan aspek kegagalan mereka dalam komunikasi di kelas?

a. Guru berbicara

(1) Mengakui adanya perasaan (Accepts feeling). Menerima atau mengakui dan
menjelaskan satu sikap atau nada perasaan dari murid dengan tidak mengancam.
Perasaan bisa hal positif atau hal negatif. Meramalkan dan memanggil kemudian
dimasukkan kembali perasaan
(2) Memuji dan memberi dorongan (Praises or encourages): Memuji atau mendorong
tindakan murid atau perilaku murid. Buatlah lelucon bahwa pelepasan;
pembebasan untuk melepaskan ketegangan, tetapi bukan atas biaya individu yang
lain. Mengangguk kepala atau sambil berkata 'Um hm?' atau 'Teruskan
!’.

(3) Mengakui atau menggunakan gagasan-gagasan murid (accepts or uses ideas of


pupils): menjelaskan/ menjernihkan, menumbuhkan, atau mengembangkan
gagasan-gagasan yang diusulkan oleh murid. Perluasan-perluasan dari guru
dimasukkan gagasan-gagasan murid, tetapi sebagai guru lebih banyak gagasan-
gasannya ini atau gagasan-gagasannya sendiri ke dalam permainan, pergeseran
kepada kategori lima.
(4) Memberi pertanyaan (Asks questions): [meminta;bertanyakan] suatu pertanyaan
tentang isi atau prosedur berdasar pada gagasan- gagasan guru, dengan tujuan
bahwa seorang murid akan memberikan jawaban.

(5) Memberi kuliah /memberikan ceramah (Lecturing): Memberi fakta-fakta atau


pendapat-pendapat tentang isi atau prosedur; menyampaikan gagasan;mencoba
untuk mencari sendiri; atau mengutip dari pendapat sendiri selain dari seorang
murid.
(6) Memberi arah (Giving directions): Guru dapat memberikan bimbingan, perintah
dan pesan dimana diharapkan seorang siswa dapat mematuhinya.
(7) Kekuasaan untuk mengkritik atau membenarkan
(Criticizing or justifying authority): pernyataan-pernyataan yang diharapkan untuk
mengubah perilaku murid dari tidak dapat menerima bagian ini; Guru berteriak, “
Keluar!”; dalam keadaan apa guru melakukan seperti itu atau apa yang sedang ia
lakukan? ; guru sebagai panutan diri sendiri berbuat ekstrim
b. Murid berbicara (Pupil talk)

(1) Murid berbicara (talk:response) : Murid berbicara untuk menjawab pertanyaan


guru. Guru memulai hubungan dengan murid (interaksi), atau memohon
pernyataan murid, atau struktur-struktur situasi-situasi. Dibatasinya kebebasan
untuk menyatakan gagasan- gagasannya.
(2) Murid berbicara: inisiasi: Para murid memulai berbicara,
mereka mengeluarkan (mengekspresikan ) gagasan-gagasan yang dimilikinya;
memulai suatu topik yang baru; kebebasan untuk

mengembangkan pendapat-pendapat dan merupakan rangkaian dari pemikiran


(gagasan), sebagian ada yang suka atau sering bertanya; kesempatan penuh
pengertian di luar struktur yang ada.
c. Berdiam diri

(1) Kesunyian atau kebingungan: istirahat, saat periode-periode kesunyian dan


periode-periode kebingungan di mana komunikasi tidak bisa dipahami oleh
peneliti.
3. Pengamatan Percakapan di Kelas Menurut Michael Stubbs

Guru di dalam kelas dalam melaksanakan tugas yaitu melakukan proses


belajar mengajar dalam berinteraksi dengan siswa menggunakan sarana bahasa.
Stubbs (1983: 50-53) mengumakakan hasil pengamatan percakapan guru dan
siswa di dalam kelas sebagai berikut .
(a) Menarik atau mempertunjukkan perhatian siswa (attracting or showing attention).
Contoh ujaran yang dipakai guru untuk menarik perhatian siswa adalah sebagai
berikut .
a. Sekarang, jangan menilis dulu, dengarkan saja!
b. Ya, baiklah, kita mulai sekarang.

c. Eh, unggu sebentar, kita lihat dulu kenyataannya!

(b) Mengendalikan pembicaraan atau respon siswa (controlling the amount of


speech) Guru sering kali mengendalikan suasana kelas, apakah siswa berbicara
atau tidak. Upaya yang dapat dilakukan guru dapat berupa perintah atau juga
dapat berupa permintaan kepada siswa untuk tidak berbicara. Contoh ujarannya
sebagai berikut.

a. Kau ingin berpendapat tentang hal itu?

b. Brenda?...(jeda panjang). Morag?

c. Ada pendapat lain?

(c) Memeriksa atau menetapkan pemahaman (checking or confirming understanding)


Guru di saat mengajar kadang-kadang memeriksa kembali apakah penyampaian
materi pelajaran kepada siswa sudah dipahami siswa atau belum. Contoh ujaran
yang digunakan guru sebagai berikut.
a. Apakah kalian sudah jelas?

b. Coba berikan penjelasan mengenai apa yang baru saja kita bicarakan tadi, Stevie.
(d) Meringkas (summarizing). Guru sering kali meringkas semua yang telah diuraikan
di depan untuk menekankan konsep. Contoh ujaran yang digunakan guru sebagai
berikut.
a. Yang ingin saya katakan adalah ...

b. Kesimpulan dari uraian tersebut ialah…


c. Jadi yang dimaksud dengan ...adalah ...

(e) Mendefinisikan (defining) Guru sering membuat definisi atau penjelasan tentang
sesuatu yang telah disampaikan atau seorang guru menanyakan definisi kepada
siswa.. Sebagai contoh ujaran sebagai berikut.
a. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.

b. David apakah arti dari transmigrasi?

(f) Menyunting (editing). Guru kadang-kadang juga memberikan komentar tentang


apa yang dikatakan oleh seorang siswa yang menunjukkan penilaian atau kritik.
Contoh ujaran yang disampaikan guru sebagai berikut.
a. Ya, itu pertanyaan yang bagus.

b. Hampir benar jawabanmu, dapat disempurnakan, ayo!

(g) Mengoreksi atau membetulkan (correcting). Guru juga berusaha membetulkan


apa yang dikatakan atau ditulis oleh siswa. Misalnya sebagai berikut.
a. Guru : David, apakah arti ‘paramount’?

b. Siswa : Penting.

c. Guru : Ya, artinya ‘sangat penting.’

(h) Menspesifikasikan topik ( specifying topic). Guru juga sering menspesifikasikan


topik atau mengkhususkan sebuah
topik pembahasan atau menentukan batas-batas pembicaraan yang relevan.
Contoh ujaran yang digunakan guru sebagai berikut.
a. Sekarang kita membahas wacana.
b. Kita akan segera membahas hal itu.

c. Topik itu akan kita bahas minggu yang akan datang.

Percakapan guru dan siswa di atas menunjukkan bahwa peran guru dalam kelas
sangat dominan dan siswa hanya sesekali mengemukakan pendapat. Hal ini terjadi
bilamana guru memberikan kesempatan berbicara. Dari uraian di atas juga dapat

disimpulkan guru memiliki ujaran yang khas di dalam kelas saat interaksi belajar
mengajar. Partikel dalam Wacana Lisan

Dalam percakapan sehari-hari baik secara langsung berhadapan antara


penutur dan lawan tutur sering terjadi dengan menggunakan ungkapan-

ungkapan yang tidak dapat diartikan secara semantik ataupun secara sintaksis,
akan tetapi baik penutur dan lawan tutur sudah memahami artinya karena
diasumsikan dengan hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Kategori seperti ini
dapat dikategorikan sebagai partikel.
Fraser Gupta (2002: 31-57) dalam abstraknya berpendapat bahwa : Eleven
pragmatic particles, loans from Southern varieties of Chinese, are used in
Singapore Colloquial English. They express varying degrees of commitment to an
utterance, and can be arranged on a single scale of assertiveness. They fall into
three main groups: contradictory, assertive, and tentative. This paper uses data
from natural conversation in the home, from, between, and with children
acquiring Singapore Colloquial English as a native language. The pragmatic
particles are acquired early and without error.
Previous analyses of the Singapore Colloquial English particles suggest that
analysts disagree on the functions of the particles. Each particle appears to have
a wide range of multiple functions. These apparently disparate functions can be
reconciled if the pragmatic particles are examined in terms of a system of
marking degree of assertion, which result in different functions when the same
particle is used in sentences of different types. No pragmatic particle in Singapore
Colloquial English is associated with only one sentence type.
Dari abstrak tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari hasil penelitian
tentang partikel, ada sebelas partikel pragmatic, variasi kata pinjaman dari China
bagian selatan, digunakan dalam bahasa Inggris percakapan sehari-hari
(colloquial) di Singapura. Mereka mengungkapkan berbagai tingkat komitmen
terhadap suatu ungkapan dan dapat disusun dalam sekala tunggal yang tegas.
Mereka terbagi menjadi tiga kelompok utama: kontradiksi (lawan kata),

penegasan, dan bersifat sementara. Kertas kerja (paper) ini mengunakan data
percakapan alamiah dalam rumah, dari, diantara, dan dengan anak-anak
memperoleh (belajar) dari bahasa Inggris percakapan sehari-hari (colloquial) di
Singapura sebagai bahasa ibu (bahasa asli). Partikel pragmatik diperoleh sejak
awal tanpa kesalahan.

Analisis awal dari partikel Bahasa Inggris percakapan sehari-hari (colloquial)

di Singapura menyarankan bahwa penganalisis (peneliti) tidak setuju dengan

fungsi-fungsi dari partikel tersebut. Setiap partikel muncul mempunyai cakupan

luas terhadap multi fungsi. Fungsi yang agaknya berbeda ini, dapat disatukan

(disepakati) jika partikel pragmatik ini diuji dalam istilah sistem tingkat

penandaan penegasan yang menghasilkan fungsi yang berbeda, ketika partikel


yamg sama digunakan dalam kalimat pola (tipe) yang berbeda. Tidak ada partikel

pragmatik Bahasa Inggris percakapan sehari-hari (colloquial) Singapura yang

berhubungan dengan hanya satu tipe.

Stubbs (1983: 68-69) di dalam bukunya Discourse Analysis: The


Sosiolinguistic Analysis of Natural Language . menurut hasil penelitianya dalam
bahasa Inggris percakapa lisan ditemukan ungkapan well, yang tidak dapat
dibicarakan secara sintaksis dan semantic. Ungkapan-ungkapan yang lain selain
well adalah now, right, ok, any way, you know, I see, hello, bye,bye. Ungkapan-
ungkapan ini sedikit dibicarakan dalam sintaksis dan tidak dibicarakan secara
semantik. Hal ini karena ungkapan-ungkapan tersebut tidak memiliki makna
literal (harafiah),dan juga tidak memiliki sifat tesis sehingga tidak memiliki isi

permasalahan. Ungkapan ini pada umumnya digunakan untuk menutup


percakapan. Ungkapan ini dapat digunakan tanpa mengenalkan topik baru.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membicarakan enam hal , yaitu (1) jenis penelitian, (2) data
dan sumber data penelitian, (3) lokasi penilitian, (4) teknik cuplikan penelitian, (5)
metode penelitian, (6) teknik pengumpulan data penelitian, (7) teknik validitas
data penelitian, dan (8) teknik analisis data penelitian..

A. Jenis Penelitian

Penelitian tentang Analisis Wacana Lisan antara Interaksi Guru dan


Siswa ini dapat dikelompokkan ke dalam kategori penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif menurut Moleong (2010: 8-13) sebagai berikut: melakukan penelitian
pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity); peneliti sendiri
atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama; penelitian
menggunakan metode kualitatif .
Penelitian ini kualitatif yang bersifat deskriptiff, karena data yang
dikumpulkan terutama berupa tuturan–tuturan lisan yang terjadi saat interaksi
belajar mengajar, bukan data yang berupa angka-angka. Peneliti menekankan
catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang
menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data. Sifat
penelitian seperti itu senada pendapat dengan Lincoln dan Guba (1985) di dalam
Sutopo (2006: 40) Sifat semacam ini lebih peka dan dapat disesuaikan dengan
pengkajian bentuk pengaruh dan pola nilai-nilai yang mungkin dihadapi peneliti.

64
lxxxii

Analisis Wacana Lisan antara Guru dan Siswa ini, sasaran penelitian
tetap pada berada pada kondisi aslinya secara alami. Penelitian ini meneliti secara
langsung peristiwa tutur dalam interaksi belajar mengajar di dalam kelas, peneliti
tidak terlibat dalam peristiwa tutur. Peneliti di lingkungan sekitar kelas hanya
sebagai pengamat, jadi dalam interaksi belajar mengajar di kelas, terjadi
percakapan antara guru (penutur) dengan siswa (petutur) atau sebaliknya secara
alamiah.
Penelitian ini juga merupakan analisis isi (content analysis) menurut
Barelson (1952) di dalam Stefan Titscher (et al) (2009: 97) menyatakan analisis
isi merupakan suatu teknik penelitian untuk menguaraikan isi komunikasi yang
jelas secara objektif, sistematis, dan kuantitatif. Harold D. Lasswell di dalam
Pakde Sofa ( 2008) yang memelopori teknik symbol coding menyatakan
analisis yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi
interpretasi, dalam
(http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/metode-analisi-isi-reliabilitas-dan
validitas -dalam-metode-penelitian-komunikasi)

Interaksi antara guru dan siswa di kelas, tidak lepas dari pesan secara
sistematis. Guru masuk ke dalam kelas untuk menyampaikan materi pelajaran,
pada hakekatnya sudah ada tujuan yang pasti yaitu untuk menyampaikan pesan
sesuai dengan tujuan pembelajaran (indikator).

B. Data dan Sumber Data Penelitian


Data merupakan bahan jadi penelitian yang ada karena proses pemilihan
dan pemilahan dari berbagai macam tuturan. Data tidak hanya sekedar sebagai

sesuatu yang telah disediakan oleh alam, namun sebenarnya data ada karena
adanya proses interaksi antara peneliti dengan sumber data penelitian
(Sudaryanto, 1990: 3) Data penelitian ini berbentuk semua tuturan lisan dalam
interaksi belajar mengajar di SMA N 3 Sragen yang diobservasi, dicatat, direkam,
dan dideskripsikan dalam bentuk teks. Semua data yang ditemukan saat interaksi
belajar mengajar di kelas semua dipakai dalam analisis. Data yang dipakai adalah
data tuturan lisan guru dan siswa di kelas tanpa direduksi. Hal ini sesuai dengan
tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan dan menjelaskan struktur wacana lisan
guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses belajar
mengajar ; mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi bahasa dalam tindak tutur
interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses
belajar mengajar;. mendeskripsikan dan menjelaskan partikel wacana dalam
tindak tutur interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada
waktu proses belajar mengajar; mendeskripsikan dan menjelaskan alih kode dan
campur kode wacana lisan interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3
Sragen.
Adapun yang menjadi sumber datanya adalah tiga orang guru yang
mengajar di kelas, masing-masing guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata
pelajaran Biologi, mata pelajaran Sosiologi dan siswa yang mengalami proses
belajar mengajar di SMA N 3 Sragen bersama itu dilakukan observasi dan
perekaman data.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di SMA Negeri 3 Sragen Jl. Dr. Sutomo no. 2
Sragen. Di pilihnya lokasi ini karena SMA Negeri 3 Sragen tergolong SMA yang
cukup besar, dan siswanya bervariasi dari berbagai kalangan. Pertimbangan yang
lain adalah SMA Negeri 3 Sragen dikategorikan sebagai sekolah yang menempati
strata menengah di antara sekolah-sekolah negeri di tingkat SMA di Kab. Sragen.
Selain itu guru-guru yang ada di sekolah ini sudah memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal yaitu sarjana, bahkan ada beberapa guru yang sudah
menyelesaikan pascasarjana. Saat ini guru di SMA Negeri 3 Sragen sebagian
besar sudah lulus sertifikasi guru. Pertimbangan selanjutnya, saat mengadakan
observasi pendahuluan ditemukan cara mengajar guru pada saat memberikan
pelajaran di kelas cenderung berceramah dan pola komunikasi pada umumnya
searah didominasi guru, hanya saat-saat tertentu guru memberikan pertanyaan
kepada siswa, dan siswa menjawab. Pada proses interaksi belajar mengajar jarang
siswa mengajukan pertanyaan kepada guru. Guru juga sering memberikan
selingan–selingan berupa humor untuk melepas kepenatan siswa saat mengikuti
pelajaran. Dengan demikian, SMA Negeri 3 Sragen layak dipakai sebagai lokasi
penenelitian tentang analisis wacana lisan interaksi guru dan siswa di kelas.

D. Teknik Cuplikan

Cuplikan berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis


dari sumber data yang digunakan dalam penelitian ( Sutopo, 2006: 62) Hal ini
dilakukan mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya.

Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yaitu cuplikan diambil


untuk mewakili informasinya, yang diutamakan sebagai pertimbangan adalah
kelengkapan informasi atau datanya . Dengan pertimbangan tersebut maka
penelitian ini menetapkan cuplikan. Mengingat variabel guru dan siswa cukup
banyak, maka dipilih beberapa guru yaitu mata pelajaran Bahasa indonesia, mata
pelajaran Biologi, dan mata pelajaran Sosiologi, serta beberapa kelas sebagai
sumber datanya. Pengambilan data dari guru mata pelajaran yang berbeda dan
kelas-kelas yang berbeda dimaksudkan untuk memperoleh validitas data
penelitian.
Penetapan sumber data pada ketiga guru mata pelajaran dan beberapa
kelas tersebut dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu berdasarkan
tujuan penelitian. Karena pengambilan cuplikannya didasarkan atas berbagai
pertimbangan tertentu, maka pengertiaannya sejajar dengan jenis teknik cuplikan
yang dikenal sebagai purposive sampling (Sutopo, 2006: 64)
Pertimbangan-pertimbangan dalam teknik cuplikan ini , terbatasnya waktu
dan biaya, maka peneliti menentukan tiga guru bidang studi, kelas yang berbeda,
dan waktu interaksi belajar mengajar yang berbeda. Subjek penelitian tersebut
dapat mewakili informasi dan data penelitian. Hal ini dilakukan sebab, di SMA
Negeri 3 Sragen jumlah guru 84 guru dengan berbagai bidang studi dan terdiri
dari 27 kelas. Dalam teknik cuplikan dimungkin seorang peneliti mengambil
beberapa subjek, yang penting subjek tersebut dapat memberikan informasi dan
data yang cukup.

E. Metode Penelitian

Istilah metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai


strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu. Dengan demikian, ancangan lebih
berkaitan dengan metode. Ancangan merupakan kerangka berpikir untuk
menentukan metode (Edi Subroto, 2007: 36) Ancangan yang digunakan penelitian
ini adalah ancangan pragmatik. Alasan digunakan ancangan ini karena keberadaan
data-data penelitian merupakan tindak tutur, yang segalanya didasarkan konteks.
Konteks merupakan semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge)
yang dipahami bersama antar penutur dan mitra tutur (I Dewa Putu Wijana, 1996:
11)
Analisis wacana lisan interaksi guru dan siswa di kelas , tentang struktur
wacana di kelas ini akan dianalisis dengan berdasar teori yang dikemukakan oleh
Sinclair dan Coultrad, dengan 21 (dua puluh satu) tindak. Untuk fungsi bahasa
dalam interaksi wacana lisan dilandaskan teori MAK Haliday , sementara itu
untuk partikel wacana lisan dilandaskan teori yang dikemukakan oleh Stubs dan
teori yang dikemukakan oleh Linke, Nussbaumer dan Portmann .

F. Teknik Pengumpulan Data Penelitian


Data ini diperoleh dengan menggunakan dua macam metode ,yaitu metode
simak dan metode cakap. Metode simak merupakan metode pengumpulan data
yang dilakukan dengan menyimak tindak tutur dalam kelas. Metode simak ini
disamakan dengan metode observasi yang dikenal dalam disiplin ilmu sosial.
Dalam pelaksanaan metode simak ,digunakan teknik sadap sebagai teknik dasar
,teknik rekam,dan teknik catat sebagai teknik lanjutan.

Teknik observasi atau teknik simak adalah mengadakan penyimakan


terhadap pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan dan mengadakan
pencatatan terbhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan
penelitian (Edi Subroto, 2007: 47) . Teknik ini digunakan untuk menggali data
dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan rekaman peristiwa
tutur atau interaksi guru dan siswa di kelas. Teknik yang digunakan dalam
observasi berperan pasif. Artinya, dalam mengobservasi kehadiran peneliti sama
sekali tidak mempengaruhi aktivitas interaksi guru dan siswa di kelas. Hal yang
dilakukan peneliti hanya mengamati dan mencatat ha-hal yang berlangsung di
dalam peristiwa tutur.
Teknik rekam adalah pemerolehan data dengan cara merekam pemakaian
bahasa lisan yang bersiffat spontan (Edi Subroto, 2007: 40). Teknik ini digunakan
untuk merekam pemakaian bahasa guru dan siswa pada saat interaksi belajar
mengajar di kelas. Agar hasil rekaman yang diperoleh dapat menyajikan data yang
alamiah,perekaman dilakukan secara tertutup tanpa sepengetahuan siswa sehingga
interaksi di kelas berjalan wajar. Selanjutnya data rekaman itu ditranskripsikan
untuk memudahkan analisis data.
Teknik pencatatan dilakukan untuk menangkap hal-hal khusus yang
menandai karakteristik wacana pemakaian bahasa yang dilakukan secra spontan
untuk melengkapi data-data yang telah diperoleh secara terencana Teknik
wawancara mendalam (indepth interviewing) ,hal ini dilakukan untuk
memperoleh informasi yang mendalam dari informan (Edi Subroto, 2007: 42).
Dan dengan teknik ini dalam upaya memperoleh validitas data.

G. Teknik Validitas Data Penelitian


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik rekam dan
teknik catat. Teknik rekam merupakan pemerolehan data dengan cara merekan
tindak tutur yang bersifat spontan,sedangkan teknik catat merupakan pemerolehan
data dalam kartu data sesuai sasaran dan tujuan penelitian.
Penggunaan kedua teknik pengumpulan data tersebut dilakukan agar
data valid. Agar data valid Patton (1984) di dalam Sutopo (2006: 92) menyatakan
bahwa ada empat macam teknik trianggulasi ,yaitu (1) trianggulasi data (data
triangulation), (2) trianggulasi peneliti (investigator triangulation), (3)
trianggulasi metodologis (methodological triangulation), dan (4) trianggulasi
teoretis (theoretical triangulation).
Kedua teknik ini digunakan secara bersamaan untuk saling
mengecek,mengisi,melengkapi,serta mendukung pengumpulan data. Hal ini
diharapkan data semakin valid.
Data yang terkumpul dari teknik rekam dan catat pada interaksi belajar
mengajar di kelas akan dianalisis, bilamana kurang jelas maksudnya dilakukan
wawancara dengan guru bersangkutan. Apabila data yang terkumpul belum
mencukupi keabsahan analisis, maka peneliti kembali ke lapangan untuk
memperoleh data sampai tercukupinya kebutuhan analisis.

H. Teknik Analisis Data Penelitian


Setelah data disediakan dengan baik dalam arti sudah diklasifikasikan

,tahapan berikutnya menganalisis data. Analisis data pada penelitian ini dengan
metode kontekstual. Yang dimaksud analisis kontekstual adalah cara analisis yang

diterapkan pada data dengan mendasarkan ,memperhitungkan ,dan mengaitkan


konteks. Konteks itu sendiri telah didefinisikan oleh Brown & Yule (1985)
sebagai lingkungan (environment:circumstances) dimana bahasa itu digunakan.
Lingkungan disini mencakup lingkungan fisik,nonfisik,dan sosial.
Pemahaman konteks yang demikian sejalan dengan pendapat Harimurti
Kridalaksana (1993) di dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 11) bahwa konteks
adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau lingkungan sosial yang berkaitan dengan
tuturan . Perlu dicatat bahwa lingkungan fisik tuturan dapat disebut koteks (cotex)
sedangkan lingkungan sosial tuturan disebut konteks (context). Dalam pragmatik
konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang dipahami secara bersama
oleh penutur dan mitra tutur.
Dalam penelitian ini latar belakang pengetahuan yang dimaksud adalah
guru datang ke kelas dengan tujuan menyampaikan pelajaran,dan siswa sebagai
mitra tutur datang ke kelas untuk memperoleh informasi sesuai dengan materi
pelajaran. Dengan demikian data yang dikumpulkan adalah data tentang wacana
lisan interaksi guru dan siswa di kelas.
Setiap data yang dianalisis akan disajikan dalam urutan dengan
menggunakan angka arab yang diapit dua kurung,mulai (1), (2), (3), dan
seterusnya. Selain itu, setiap data juga dilengkapi nomor data pada setiap akhir
penulisan data. Pencatuman nomor data dimaksudkan untuk mempermudah
pengecekan sumber data.
Tuturan berikut dapat memperjelas pernyataan di atas.

Guru : ”Siapa yang di pojok?”

Siswa : ”Ayub!” (dijawab serentak siswa satu kelas) Guru :


”Tahu maksud saya?”
Konteks tuturan: Dituturkan oleh guru ditujukan kepada siswa yang bernama Ayub, waktu itu Ayub
kurang konsentrasi dalam mengikuti pelajaran tentang proses generatif. Guru
bertanya itu dimaksudkan siswa agar tertuju pada penjelasan guru tentang proses
generatif.
Secara linguistik tuturan tersebut hanya memerlukan jawaban tentang
hal yang baru dijelaskan guru. Akan tetapi, bila tuturan itu dilihat secara
pragmatik mengandung maksud guru menghendaki perhatian semua siswa dalam
kegiatan belajar mengajar.

1. Dalam interaksi belajar -mengajar guru berperan sebagai pembimbing.


2. Dalam interaksi belajar- mengajar dibutuhkan disiplin yang diartikan sebagai pola
tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang harus ditaati
oleh semua pihak,baik guru maupun siswa secara sadar.

Anda mungkin juga menyukai