• Development Appropriate Practice (DAP)/ Pembelajaran Berdiferensiasi.
Proses pembelajaran yang memfokuskan bagaimana anak berkembang dan belajar sesuai dengan usia dan tahap perkembangannya serta merekayasa lingkungan belajar yang selajar dengan kebutuhan belajar anak. Ciri-ciri proses pembelajaran DAP antara lain: 1. Disesuaikan dengan perkembangan anak dengan fokus agar anak mampu melakukan konstruksi pengetahuan secara mandiri. 2. Sebagai proses yang berkelanjutan, tidak banyak menggunakan pengukuran & Rencana belajar, diutamakan untuk memberikan kesempatan kepada anak mengalami belajar. 3. Aktivitas belajar dapat berlangsung melalui proyek, pusat belajar, dan bermain yang mencerminkan minat anak, ranah belajar berkaitan dengan dimensi perkembangan anak. 4. Materi belajar bersifat konkrit dan dipilih yang relevan dengan pengalaman keseharian anak. 5. Rencana pembelajaran berdasarkan hasil observasi aktivitas anak, minat, kebutuhan, dan tingkat keterlibatan. 6. Berfokus pada memberikan dorongan kepada anak dalam rangka mengembangkan perasaan mampu dan kendali diri. 7. Setiap pengalaman merupakan peluang belajar bagi anak dalam rangka menumbuhkan perasaan mampu dan bertanggung jawab 8. Menfasilitasi pengembangan kendali diri dan komunikasi sosial anak sesuai dengan kemampuan bahasa dan tingkat kognisi anak 9. Menfasilitasi interaksi verbal dan menyajikan pengalaman belajar bahasa secara terstruktur dengan cara berbicara satu persatu dengan anak. 10. Aktivitas dalam dan di luar ruangan digunakan secara bervariasi dengan intensitas keterlibatan guru secara penuh. 11. Adanya komunikasi reguler guru dan orang 12. Penggunaan tes dan asesmen untuk mengetahui kelayakan anak mengikuti program yang lebih tinggi 13. Perkembangan anak bervariasi sehingga program belajar disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan anak tidak memaksakan sistem. Jika dikaitkan dengan mata kuliah lain, saya rasa untuk DAP ini lebih berfokus pada perkembangan dan pertumbuhan Pedagogy anak usia dini, sementara untuk kami pelajari di mata kuliah lain berfokus pada macam-macam teknik pembelajaran, kurikulum, pembelajaran paradigma baru untuk segala kalangan usia. Namun karena kami berfokus pada sekolah yang kami jadikan praktek mengajar, maka dari itu kebanyakan dari materi yang kita pelajadi untuk tingkat remaja , hingga pendidikan menengah/ sederajat yang tentu dalam penerapapnnya membutuhkan disiplin ilmu aspek kognitif.
• Culturally Responsive Pedagogy
Culturally Responsive Pedagogy adalah teori dan aplikasi pendidikan yang menekankan pada keterkaitan antara pendidikan dan dimensi sosial budayanya. Penekanan pada budaya peserta didik dan komunitas tidak semata dijadikan sebagai upaya mendekatkan peserta didik dengan konteksnya, tetapi lebih dari itu diharapkan dapat menjembatani munculnya kesadaran peserta didik terhadap identitas budayanya. Perbedaan budaya yang sebelumnya dipandang sebagai penghalang prestasi dan interaksi diganti dengan persepsi harmoni yang menempatkan diversitas budaya sebagai kekuatan untuk merangkum perbedaan gaya belajar. Menurut Ladson-Billing (1995) terdapat tiga proposisi pendidikan tanggap budaya, yakni: 1) Peserta didik mencapai kesuksesan akademis 2) Peserta didik mampu mengembangkan, dan memiliki kompetensi budaya (cultural competence) 3) Peserta didik membangun kesadaran kritis (critical consciousness) sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam merombak tatanan sosial yang tidak adil Keterpaduan langkah guru dalam melaksanakan tugasnya dengan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Pendidik menempatkan pengalaman, nilai dan persepsi yang berkembang di tengah komunitas sebagai sarana memperkaya praksis pendidikan. Melalui praksis pendidikan tanggap budaya, guru dituntut melakukan elaborasi terhadap berbagai dimensi budaya yang dimiliki peserta didik dan menjadikannya sebagai pijakan dalam memperkaya interaksi pembelajaran. Dalam hal ini Culturally Responsive Pedagogy merupakan teori dan aplikasi dari salah satu aspek kurikulum merdeka di mana memuat kearifan lokal dalam proses pembelajaran. Materi yang diberikan tidak berdasarkan dari hal-hal yang di luar dari apa yang sudah ada di sekitar kita. Seperti contoh : Dalam Pembelajaran Teks deskriptif guru memberikan contoh berupa Candi Borobudur, atau jenis bangunan, atau hal lain yang mengandung aspek kearifan lokal, guru tidak memilih teks Deskriptif dalam bentuk Penjelasan Bangunan Taj Mahal, yang di mana bangunan itu berasal dari negara lain. Guru lebih memilih bahan ajar mengenai segala hal yang ada di sekitar kehidupan siswa dan merupakan Bagian dari budaya Indonesia. • Teaching at the Right Level Pengajaran Sesuai Level TaRL (Teaching at the right Level) Teaching at the Right Level merupakan pendekatan pedagogis yang memperhatikan persamaan level kemampuan berdasarkan evaluasi. Pendekatan belajar ini tidak mengacu pada tingkat kelas, melainkan mengacu pada tingkat kemampuan siswa. Jika dihubungkan dengan mata kuliah lain, maka pendekatan ini hampir sama dengan kurikulum merdeka. Dalam Kurikulum Merdeka, Guru diberikan kebebasan untuk merancang capaian belajar dan tujuan pembelajarannya. Guru mengajar menyesuaikan dengan kemampuan peserta didiknya, sehingga Tarl cocok untuk digunakan dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa karena guru secara konsisten mengukur kemampuan siswa, Jika dalam prosesnya siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka guru mempersiapkan program remedial, dan program pengayaan untuk siswa yang mampu mencapai tujuan pembelajaran.