Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Pendidikan tidak pernah terlepas dari berbagai kasus yang melibatkan siswa,
pendidik, maupun aparatur sekolah. Kekerasan merupakan kasus yang telah lama terjadi,
akan tetapi hal ini tidak pernah terselesaikan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menyatakan bahwa setiap tahunnya kasus kekerasan pada anak selalu meningkat. Hasil
pemantauan yang dilakukan oleh KPAI tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, tahun 2012
terdapat 3512 kasus, tahun 2013 terdapat 4311 kasus, tahun 2014 terdapat 5066 kasus, pada
tahun 2015 jumlah kasus kekerasan mengalami penurunan menjadi 4309 kasus. Akan tetapi
pada tahun 2016 jumlah kasus kekerasan kembali meningkat menjadi 4482 kasus. Data
tersebut menjadi bukti bahwa jumlah kasus kekerasan masih tergolong tinggi di setiap
tahunnya.
Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak siswa. Setiap siswa berhak mendapatkan perlindungan dari
tindakan kekerasan. UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlidungan Anak yang tertuang di
pasal yang ke 9 (1a) menyatakan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan
pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Selain itu, kekerasan terhadap anak
juga berdampak pada fisik dan psikis siswa. Dampak fisik yang dapat terjadi seperti luka,
lebam, patah tulang, dah kematian. Sementara dampak psikis yang dapat terjadi adalah
kehilangan rasa percaya diri, sukar bergaul, cemas, depresi, psikosomatik, dan gangguan
pengendalian diri (Ipsum & Amet, 2007)
Sekolah seharusnya dapat menjadi tempat yang aman untuk siswa, serta menjadi
tempat siswa mempelajari hal-hal baru demi tercapainya tugas-tugas perkembangannya.
Akan tetapi, dengan semakin maraknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan
pendidikan, membuat sekolah menjadi tempat yang tidak aman lagi bagi perkembangan
siswa. Disinilah diperlukannya peranan Bimbingan dan Konseling dalam suatu sekolah.
Bimbingan dan Konseling memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu
perkembangan siswa di sekolah. Selain itu Bimbingan dan Konseling juga berperan dalam
pencapaian visi serta misi sekolah, sehingga sekolah memiliki tingkat akuntabilitas yang
tinggi (Gysbers, 2014). Layanan Bimbingan dan Konseling memiliki fungsi yang penting
dalam pemenuhan hak-hak siswa, salah satunya yaitu fungsi advokasi. Fungsi advokasi pada
layanan BK adalah membantu peserta didik memperoleh hak dan kepentingan yang kurang
mendapatkan perhatian (Tohirin, 2011).
Banyak kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, namun tidak diketahui oleh guru,
sehingga tidak ada pembinaan yang serius dari guru, terutama guru BK. Sebagian besar
korban tindak kekerasan cenderung menceritakan hal yang dialaminya kepada orang lain,
teman, dan keluarga, bukan kepada guru atau staf sekolah lainnya. Penelitian Fekkes (2002),
memperlihatkan lebih banyak korban kekerasan melaporkan apa yang dialaminya kepada
orang tua, dibandingkan kepada guru. Sehingga mendorong terjadinya pemenuhan hak anak
korban kekerasan cenderung dilakukan oleh lembaga masyarakat dan bukannya dilakukan
oleh guru BK. Semestinya guru BK dapat melakukan layanan advokasi untuk membantu
memenuhi serta membela hak siswa yang menjadi korban kekerasan.
Pelaksanaan kegiatan advokasi dalam layanan Bimbingan dan Konseling dapat
membantu guru BK untuk memenuhi hak-hak siswa serta menjadikan guru BK sebagai agen
perubahan sosial. Selain itu pelaksanaan layanan advokasi berfungsi untuk membantu siswa
dalam mengentaskan masalah yang saat ini sedang dihadapinya serta membantu siswa
mengembangkan dirinya dalam bidang akademik, karir, dan pribadi. Layanan advokasi juga
penting untuk membantu menghilangkan hambatan sistemik yang dapat menghambat
keberhasilan siswa (Marie, 2010).
Siswa yang mengalami kekerasan dalam lingkungan sekolah sangatlah memerlukan
layanan advokasi, untuk mengadvokasi hak-haknya yang tidak terpenuhi akibat tindakan
kekerasan yang dialami. Akan tetapi, apabila guru BK tidak melaksanakan layanan
Bimbingan dan Konseling yang berfungsi untuk mengadvokasi, maka akan ada hak siswa
yang terabaikan. Siswa yang mengalami dampak negatif dari tindakan kekerasan yang
dialami harus mendapatkan layanan Bimbingan dan Konseling yang komprehensif. Bila hal
tersebut tidak terpenuhi maka dampak negatif akan terus dialami siswa dan dapat
mengganggu kehidupan siswa di masa yang akan datang.
Begitu pentingnya kegiatan advokasi dalam layanan Bimbingan dan Konseling
mendorong guru BK di sekolah perlu memiliki kompetensi advokasi yang meliputi
kompetensi disposisi, pengetahuan, dan keterampilan yang baik mengenai advokasi yang
sesungguhnya dalam layanan Bimbingan dan Konseling. Kompetensi pengetahuan akan
memberikan kontribusi terhadap kompetensi keterampilan, oleh karena itu konselor perlu
memiliki kompetensi pengetahuan yang baik mengenai advokasi dalam layanan BK. Untuk
menjadi advokat yang efektif konselor sekolah perlu mengembangkan pengetahuannya
mengenai pengaturan-pengaturan tertentu dalam melaksanakan advokasi (Brown & Trusty,
2005).
Jumlah kasus kekerasan di sekolah yang masih tergolong tinggi dapat terjadi karena
kurangnya perhatian ataupun penanganan yang serius dari berbagai pihak, termasuk dari guru
BK. Tidak adanya penangan yang serius dari guru BK mungkin juga disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan guru BK mengenai layanan advokasi. Oleh karena itu, sudah saatnya
guru BK memiliki pengetahuan mengenai advokasi untuk menunjang pelaksanaan advokasi
di dalam layanan bimbingan dan konseling.

Acuan Teoritik

Kompetensi advokasi
Kompetensi advokasi adalah pengambilan tindakan yang dilakukan oleh seorang konselor
profesional untuk memfasilitasi penghapusan hambatan eksternal dan institusional yang
mempengaruhi kehidupan konseli (Toporek & Liu, 2009). Brown dan Trusty (2005) membagi
kategorisasi kompetensi advokasi menjadi 3 yaitu, disposisi, pengetahuan, dan keterampilan.

Domain pengetahuan advokasi yang harus dimiliki guru BK adalah sebagai berikut:

Pengetahuan mengenai sumber daya, baik sumber daya internal ataupun eksternal yang
dapat dimanfaatkan oleh guru BK dalam pelaksanaan layanan advokasi.

Parameter pengetahuan, dalam hal ini guru BK harus memiliki pengetahuan mengenai
berbagai prosedur dan kebijakan sekolah, siapa saja pihak-pihak yang terkait, bagaimana prosedur
pelaksanaannya, dan siapa yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. Selain itu, guru BK juga
harus memiliki pengetahuan mengenai hukum yang mengatur perlindungan akan hak siwa dan
perlindungan terhadap siswa. Domain parameter pengetahuan juga berisikan pengetahuan
mengenai ruang lingkup guru BK yaitu, isu-isu masalah advokasi kasus ataupun kelas, tahapan
advokasi, prosedur asesmen dan pengumpulan informasi, prosedur evaluasi hasil advokasi, kode etik
profesi BK, peran dan fungsi guru BK pada tingkat siswa, sekolah, ataupun publik dalam layanan
advokasi. Selain itu guru BK harus mengetahui apa saja kegiatan advokasi yang dapat dilakukan baik
di lingkup siswa, sekolah, ataupun publik.

Pengetahuan tentang mekanisme penyelesaian masalah. Selama proses advokasi besar


kemungkinan akan terjadinya konflik antar berbagai pihak. Oleh karena itu, guru BK sudah
semestinya memiliki pengetahuan tentang mekanisme apa saja yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah.

Model Advokasi
Pengetahuan tentang model advokasi, Toporek (2000) membagi model advokasi menjadi
dua yaitu pemberdayaan dan aksi sosial. Pemberdayaan terdiri dari interaksi pribadi antara konselor
dan klien dalam konteks sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Model advokasi pemberdayaan
berfungsi untuk meningkatkan kesadaran konseli akan kondisi dirinya dan mendapatkan rasa kontrol
atas dirinya sendiri. Melalui model pemberdayaan konselor juga dapat menemani konseli untuk
mendekati sumber kesulitannya. Model yang kedua adalah aksi sosial, merupakan pelaksanaan
intervensi yang diprakarsai konselor menuju sasaran yang lebih luas, arena yang lebih umum dari
kelompok, lembaga, negara, atau tingkat sosial yang menghambat akses atau pertumbuhan dan
perkembangan. Advokasi model ini berfokus pada proses mempengaruhi atau melakukan
perubahan-perubahan hukum dan kebijakan publik yang mempengaruhi kondisi klien.

Pengetahuan tentang perubahan sistem, Advokasi sering melibatkan perubahan sistem


sekolah dan sistem lainnya. Sekolah terdiri dari banyak subsistem (siswa, guru, kepala sekolah,
ataupun bagian administrasi), selain itu ada juga fungsi sekolah di dalam sistem yang lebih besar
(mis, masyarakat, negara, ataupun departemen pendidikan). Konselor sekolah penting memiliki
pengetahuan mengenai teori sistem karena dengan memahami teori sistem akan membantu
konselor sekolah untuk memahami bagaimana sistem dapat menjadi disfungsional, bagaimana
sistem tetap disfungsional, dan bagaimana sistem dapat diubah.

Domain pengetahuan tersebut akan membantu guru BK dalam melaksanakan layanan


advokasi, terutama bagi siswa korban kekerasan di sekolah.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 42 SMP Negeri di Wilayah Jakarta Timur. Waktu yang
dibutuhkan dalam penelitian ini dimulai dari menyusun proposal penelitian sampai mendapatkan
hasil penelitian yaitu dari bulan November 2016–Januari 2017.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengetahuan advokasi


guru Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri Wilayah Jakarta Timur dalam memenuhi hak siswa
yang mengalami kasus kekerasan di sekolah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan metode yang digunakan adalah
deskriptif dengan jenis survei. Sampel yang diperoleh dihitung menggunakan rumus Slovin dengan
taraf signifikansi 5% adalah sebanyak 125 dari 182 guru BK. Pengambilan sampel ini diikuti dengan
penggunaan metode probability sampling dengan teknik dispropotional stratified random sampling.
Teknik pengambilan sampel proporsi ini dilakukan untuk menyempurnakan penggunaan teknik
sampel berstrata atau sampel wilayah yang terkadang tidak memiliki jumlah subjek yang sama.

Teknik pengumpulan data menggunakan instrumen tes pengetahuan advokasi guru BK bagi
siswa korban kekerasan di sekolah. Pengukuran menggunakan skor yang bernilai 1 (satu) jika
menjawab benar dan 0 (nol) jika menjawab salah. Kemudian Analisis data menggunakan statistik
deskriptif dengan teknik presentase. Sebelum penghitungan presentase, terlebih dahulu dibuatkan
kategorisasi jenjang. Kategorisasi dibuat dalam empat jenjang, yaitu tinggi, cukup tinggi, cukup
rendah, dan rendah.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan penyebaran instrumen tes pengetahuan advokasi guru BK bagi siswa korban
kekerasan di sekolah yang berisi 80 butir pertanyaan diperoleh hasil sebanyak 47 responden
(37,60%) termasuk dalam kategorisasi tingkat pengetahuan rendah, sebanyak 37 responden
(29,60%) masuk dalam kategorisasi tingkat pengetahuan cukup rendah, sebanyak 41 responden
(32,80%) termasuk dalam kategorisasi tingkat pengetahuan cukup tinggi. Sementara itu, tidak ada
satupun responden yang termasuk dalam kategorisasi tingkat pengetahuan tinggi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa mayoritas guru BK di SMP Negeri di Wilayah Jakarta Timur kurang memiliki
pengetahuan mengenai domain-domain dalam advokasi bagi siswa korban kekerasan di sekolah.

Terdapat dua kecamatan yang memiliki presentase tertinggi, diantaranya Kecamatan Jati
Negara 53,54%, kecamatan kedua yaitu kecamatan Kramat Jati 52,50%. Kecamatan yang
memperoleh persentase terendah adalah kecamatan Ciracas, yaitu 45,33%. Meskipun demikian,
selisih antara kecamatan Ciracas dengan kecamatan lainnya tidaklah signifikan, karena persentase
kecamatan lain masih berkisar 46-48%.

Diketahui bahwa baik guru BK perempuan ataupun laki-laki dominan berada pada kategori
tingkat pengetahuan advokasi rendah. Pada kategori cukup rendah persentase jumlah guru BK laki-
laki (34,48%) lebih besar dibandingkan guru BK perempuan (27,08%). Sementara pada kategori
cukup tinggi, persentase jumlah guru BK perempuan (34,38%) lebih besar dibandingkan guru BK laki-
laki (27,59%).

Diketahui bahwa guru BK pada rentang 21-30 tahun memiliki pengetahuan pada kategori
cukup rendah, sementara itu pada rentang usia 31-40 tahun dominan berada pada kategori cukup
tinggi. Selanjutnya pada rentang usia 41-50 tahun dan pada rentang usia 51-60 tahun sama-sama
berada pada kategori yang rendah.

Diketahui bahwa guru BK yang memiliki masa kerja kurang atau sama dengan 10 tahun
dominan memiliki pengetahuan yang berada pada kategori cukup tinggi. Pengetahuan guru BK yang
memiliki masa bekerja di rentang 11-20 tahun berada pada kategori rendah, namun sebaliknya
pengetahuan guru BK yang memiliki masa bekerja di rentang 21-30 tahun berada pada kategori
cukup rendah. Sementara itu, pengetahuan guru BK yang memiliki masa bekerja antara 31-40 tahun
berada pada kategori rendah

Diketahui pengetahuan guru BK terhadap domain pengetahuan sumber daya memperoleh


persentase tertinggi diantara pengetahuan terhadap domain yang lainnya, yakni sebesar 59,28%.
Sementara pengetahuan terhadap domain pengetahuan tentang model advokasi memperoleh
persentase terendah, yaitu hanya 36,72% guru BK yang telah memiliki pengetahuan akan domain ini.
Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan Pengetahuan advokasi guru BK bagi siswa
korban kekerasan berada pada kategori rendah dan cukup rendah, yakni 37,60% guru BK berada
pada kategori rendah dan 29,60% berada pada kategori cukup rendah. Hal ini menggambarkan
bahwa sebagian besar guru BK di SMP Negeri wilayah Jakarta Timur tidak mengetahui dengan baik
berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan dalam advokasi,

Model-model advokasi yang dapat dilaksanakan di tingkat siswa, sekolah, dan publik,
parameter pengetahuan, mekanisme penyelesaian konflik dan perubahan sistem di sekolah maupun
sistem di masyarakat.

Saran praktis peneliti bagi guru BK adalah guru BK dapat mengunduh berbagai jurnal
mengenai advokasi dari berbagai situs, salah satunya adalah situs https://e-
resources.perpusnas.go.id hal ini berguna untuk meningkatkan pengetahuan advokasi guru BK untuk
menunjang pelaksanaan layanan advokasi bagi siswa di sekolah, terutama bagi siswa yang
mengalami kasus kekerasan. Saran untuk penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan advokasi guru BK bagi siswa korban
kekerasan di sekolah. Seperti faktor usia, masa bekerja, dan informasi.

Daftar Pustaka

Brown, D. & Jerry, T. (2005). Advocacy Competencies for Professional School Counselor. New York:
ASCA

Fekkes, P. (2002). Bullying: who does what, when and where? Health Educ Sampson R. Problem
oriented guides for police series no.12: bullying in school. Washington: US Department of
Justice

Gysbers, N.C. (2004) . Comprehensive guidance and counseling programs: The evolution of
accuntability”, Profesional School Counseling, 8(1), 1-14.

Ipsum L. & Amet, D.S. (2007). Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan terhadap Anak: Bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta: UNICEF.

Marie, J. (2010). Political Ideology and Its Relationship to Perceptions of Social Justice Advocacy
Among Members of The American Counseling Association (ACA). (Unpublished dissertation),
Western Michigan University, Michigan.

Toporek, R.L. (2000). Developing a Common Languange and Framework for Understanding Advocacy
in Counseling. Greensboro: University of North Carolina

Toporek, R.L., Judith, A.L., & Hug, C.C. (2009). Promoting Systemic Change Through the ACA
Advocacy Competencies, Journal of Counseling & Development, 87, 260-268.

Anda mungkin juga menyukai