A. Pendahuluan
hanya berpengaruh kepada para pihak yang berinteraksi. Muamalah juga berpengaruh
kepada tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat. Karena itu aktifitas mu’amalah
harus diperhatikan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk selalu berjalan
sesuai dengan prinsip (syari’ah). Terjadinya persoalan, ketika aktfitas ekonomi tidak
Quran mensyaratkan adanya prinsip keridha’an (saling ridha) di atara para pihak
yang menjalankannya. Prinsip ini sebagaimana yang tersebut dalam Surat al Nisa>
menimbulkan kerugian yang dialami tidak hanya satu pihak. Tentu, kerugian akan
dirasakan pihak lain dengan jangkauan yang lebih luas. Prinsip syariah tentang
larangan berbuat riba ini sebagaimana termaktub dalam Surat al Baqarah ayat 275
sebagai berikut:
juga bersumber dari prinsip syariah , yang dibentuk berdasarkan konsesus para ulama
yang melalui proses ijtihad. Dalam hal ini, prinsip sy{ariah yang merupakan hasil
keputusan yang berupa fatwa dari lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang, yaitu
mendapat pengakuan dari pemerintah. Hal ini diperkuat dengan menunjukan secara
langsung bahwa fatwa DSN-MUI sebagai pedoman yang menjadi prinsip syariah
yang menjadi pedoman bagi aktifitas ekonomi di Indonesia, yaitu lembaga keuangan
syariah (LKS), lembaga bisnis syariah (LBS) dan Lembaga perekonomian Syariah
(LPS). Perundangan dan peraturan yang dimaksud menjadi peraturan resmi yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui kedudukan fatwa
DSN-MUI sebagai pedoman yang secara sah dan resmi sebagai standart yang
Indonesia. Secara lebih jelas dapat dilihat dalam table berikut ini,
Dalam aktifitas ekonomi, terutama ekonomi syariah. Perihal akad menjadi hal
yang sangat penting. Pentingnya perihal akad dapat terlihat dari perintah untuk
Surat al Maidah ayat 1 “Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu”.
Akad berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘aqdu dengan bentuk jamak kata al-Uquud,
yang berarti kontrak atau perjanjian (Munawwir & Fairuz, 2007) . Menurut ulama
fiqh akad dimaknai sebagai ikatan antara ijab dan Kabul sesuai dengan syariat yang
mengindikasi bahwa akad dilakukan oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri
ulama fiqh tentang akad menunjukan adanya perkembangan pemikiran tentang akad
itu sendiri. Karena itu penjelasan tentang akad ini disesuaikan dengan fungsi dan
kebutuhan yang ada dengan akad itu sendiri dalam aktifitas ekonomi.
Secara garis besarnya dalam Islam, akad dapat dibedakan menjadi dua
perjanjian, 2017, p. 51) . Pertama, akad tabarru’yaitu akad yang digunakan untuk
membantu pihak lain. Akad tabarru ini menggunakan instrumen akad zakat, infak,
sedekah, dan wakaf dalam pengumpulan dananya. Sedangkan penyaluran pendanaan
dari akad tabarru’ ini dapat menggunakan akad qardh. Kedua adalah akad
keuntungan.
Perbedaan itu terlihat pada ada atau tidaknya keuntungan yang timbul dari akad
ekonomi dengan berdasarkan pada fatwa DSN MUI sebagaimana yang disyaratkan
tersebut menjadi acuan dari kegiatan ekonomi seperti lembaga keuangan syariah
(LKS), lembaga bisnis syariah seperti pengelolaan rumah sakit sesuai dengan prinsip
1. Akad Mudharabah
akad mud}arabah merujuk kepada fatwa DSN-MUI nomor 7 tahun 2000. Dalam
fatwa tersebut dijelaskan bawah akad mudharabah adalah akad kerjasama suatu
usaha di mana pihak pertama (sahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedang
pendanaan atau modal. Dalam hal ini disebut sebagai shahib al Mal. Sedang
pihak yang lain sebagai pengelola, yang disebut sebagai mudharib. Dari
kontrak perjanjian.
Ketentuan lainnya dari akad mud}arabah ini dapat dilihat dari fatwa
DSN MUI. Dalam hal ini dapat merujuk fatwa DSN MUI nomor 115 tahun
2017 tentang akad mud}arabah. Dalam fatwa tersebut DSN MUI nomor 115
dijelaskan ragam model dari akad mud}arabah yang dapat digunakan dalam
mudharib (pengelola).
kerjasama usaha.
Dari keempat bentuk mud}arabah di atas terlihat adanya kemudahan
bagi siapa pun dalam mengaplikasikan akad mud}arabah sebagai salah satu
produk akad dalam mengelola harta waris yang sesuai dengan prinsip syari’ah
2. Akad Musyarakah
dengan adanya pola distribusi keuntungan dan kerugian (lose and profit
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam menjalankan suatu usaha
tertentu. Para pihak yang berakad memberikan kontribusi dana dan pekerjaan
dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
dari kedua belah pihak dalam bentuk aktifitas pekerjaan. Dengan kata lain,
kedua belah pihak tidak hanya menyertakan modal tetapi juga pekerjaan yang
ketentuan fatwa DSN MUI nomor 114 tahun 2017. Dalam fatwa tersebut,
akad musyarakah dikenal juga dengan istilah akad syirkah. Ketentuan penting
yang menjelaskan tentang ragam bentuk dari akad musyarakah, yang dapat
d. Syirkah amwal adalah syirkah yang yang ra’s al mal-nya berupa harta
reputasi atau nama baik dari salah satu atau seluruh syarik, termasuk
komitmen untuk menunaikan kewajiban syirkah kepada pihak lain
3. Akad Ijarah
suatu barang atau lahan dalam waktu tertentu tanpa terjadi adanya
ijarah, dapat dilihat dalam fatwa DSN MUI nomor 09 tahun 2000. Dalam
fatwa tersebut disebutkan secara jelas bahwa yang dimaksud dengan akad
ija>rah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
manfaat suatu jasa atau upah. Walau demikian harus diperhatikan lebih dalam
mengenai manfaat dari suatu barang atau jasa yang tergolong sesuatu yang
suatu barang atau manfaat dari jasa, keduanya harus desebutkan secara jelas.
Termasuk di dalamnya adalah jangka waktu yang disepakati oleh kedua pihak,
sawah dan lainnya, serta persewaan barang lainnya yang dibolehkan dan tidak
manfaat yang tergolong jasa seperti jasa pekerjaan, dapat dikembangkan dari
44 tahun 2004.
kebutuhan pedoman terhadap usaha dan bisnis yang menggunakan akad ijarah.
Oleh karena itu, DSN MUI menetapkan ketentuan baru yang berfungsi
MUI nomor 112 di tahun 2017. Fatwa ijarah ini diperuntukan tidak hanya
Akad lain dalam aktifitas ekonomi adalah akad yang tidak disebutkan dan
Penggunaan akad ini dalam aktifitas mu’amalah dan pengelolaan harta waris
akad yang berseifat tabarru’ ini bergeser menjadi akad yang bersifat tijari (bisnis)
karena didalamnya mengandung ujrah (fee). Secara khusus, penggunaan akad ini
menekankan kepada perolehan keuntungan bagi masyarakat atau yang bersifat sosial.
Menurut Mubarak dan Hasanudin salah yang termasuk dalam akad seperti ini adalah
instrumen Wakaf. Mereka pun menjelaskan Instrumen wakaf secara umum dapat
berupa wakaf yang tujuannya untuk membantu keluarga (wakaf ahli). Dapat pula
berupa wakaf yang tujuannya untuk membantu masyarakat secara umum (wakaf
khairi). Adapula wakaf yang tujuannya untuk membantu keluarga dan masyarakat
Sebagai akad lainnya dalam aktifitas ekonomi seperti akad wakalah, kafalah,
instrument wakaf juga digunakan sebagai kontrak atau perjanjian dalam aktifitas
ekonomi yang bersifat tabarru’ (Mubarok & Hasanudin, Fikih Mu'amalah Maliyah:
Wakaf adalah aktifitas menahan harta yang dapat dimanfaatkan hasil dari
harta tersebut. Ketentuan tentang wakaf ini dapat ditemukan dalam fatwa Dewan
tersebut tidak langsung menjadi pembahasan dalam fatwa. Ketentuan wakaf dalam
aktifitas ekonomi dapat ditemukan dalam fatwa DSN MUI nomor 106 tahun 2016
tentang wakaf manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syari’ah.
mengambil maanfaat dari menahan suatu benda tanpa lenyapnya benda, dijual,
dihibahkan, atau diwariskan. Manfaat dari benda tersebut secara mubah dapat
dalamnya tentang syarat dari objek wakaf yaitu harta yang berharga atau bernilai
menurut s{ariah (mal mutaqawwam), harta harus sudah jelas atau terukur (ma’lum),
berdasarkan hasil ijtima ulama komisi fatwa MUI se Indonesia III dengan
memutuskan bahwa instrumen wakaf terus berkembang mejadi objek atau benda
yang dapat ditukar, dijual dengan ketentuan, alih fungsi benda wakaf dengan
memperhatikan mashlahah, dan wakaf pun boleh berupa uang (Amin & et.all, 2015,
pp. 1119-1120).
kewarisan. Harta waris dikelola melalui instrument wakaf dengan manfaat yang
dapat dirasakan kepada ahli waris dan juga masyarakat secara social. Dalam konteks
tersebut akad wakaf dapat diklasifikasikan dalam konteks investasi. Oleh karena itu,
subjek hukum dari akad wakaf tersebut dapat terlihat menjadi tiga bagian penting.
Di antaranya adalah wakif yaitu pihak yang mewakafkan hartanya. Subjek hukum
lainnya adalah mauquf ‘alaih yaitu pihak yang melakukan pengelolaan dan investasi
benda wakaf. Selain itu, ada mauquf alaih kedua yang dimaknai sebagai pihak yang
berhak menerima manfaat wakaf (Mubarok & Hasanudin, Fikih Mu'amalah Maliyyah:
E. Daftar Pustaka
Amin, M., & et.all. (2015). Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Edisi Terbaru).
Jakarta: Emir: Cakrawala Islam.
Mubarok, J., & Hasanudin. (2017). Fikih Mu'amalah Maliyyah: Akad Tabarru'.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Penelitian Terakhir