Anda di halaman 1dari 390

untuk Gerrit Singgih, guru dan teman berpikir kami

Pdt. Prof. Dr. (h.c.) Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D


Kata Pengantar

Buku kumpulan tulisan ini sebenarnya kami persiapkan sebagai


sebuah ‘kado’ bagi Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D pada ulang
tahunnya yang ke 60, tahun 2009 yang lalu. Ada beberapa alumni
Fak. Theologia yang menyarankan untuk membuat sebuah buku
sebagai ‘kado’ bagi Prof. E.G. Singgih, dan mengelola penerbitannya
buku tersebut terlepas dari Fakultas Theologia Univ. Kristen Duta
Wacana sebagai lembaga. Kami menyambut baik usulan itu,
kemudian membentuk tim kecil yang terdiri dari Pdt. Robert Setio,
Ph.D, Pdt. Paulus S. Widjaja, Ph.D dan Pdt. Wahju S. Wibowo,
M.A., M.Hum dan mulai merencanakan penerbitan buku ini, namun
dalam perjalanan selanjutnya ada berbagai kesulitan dan beberapa
pertimbangan yang menyebabkan akhirnya buku ini terlambat
penerbitannya dari waktu yang sudah direncanakan sebelumnya.
Bahkan Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D sendiri akhirnya tahu
mengenai rencana ini, padahal kami mencoba menyembunyikannya.
Beliau kemudian ikut menyarankan untuk menunda pemberian
‘kadonya’ karena beberapa pertimbangan.

Pada awalnya ada dua tema besar yang mengemuka, yaitu tema tafsir
Perjanjian Lama, karena itu adalah bidang utama Pdt. Prof. E.G.
Singgih, Ph.D dan tema ‘Kontekstualisasi’. Namun kami akhirnya
memutuskan untuk memilih tema ‘Kontekstualisasi’, karena tema ini
sekaligus mencakup teks Alkitab maupun konteks pengalaman
kekinian. Pemilihan tema ini sekaligus menyiratkan pergumulan dan
arah berteologi dari Prof. E.G. Singgih, Ph.D., yang ketika menafsir
Alkitab selalu tidak lupa untuk melibatkan beragam konteks dalam
pertimbangannya. Edisi revisi buku ‘Dari Israel ke Asia’yang terbit
pertengahan tahun 2012, merupakan tanda bahwa pergulatan itu
tidak pernah selesai digumulinya. Namun pada saat yang sama tema
ini juga relevan bagi Duta Wacana. Kebetulan tahun 2012, Duta
Wacana akan merayakan ulang tahun emasnya. Maka kami akhirnya
sepakat untuk menunda penerbitan buku ini hingga tahun 2012
bertepatan dengan Jubileum 50 tahun Duta Wacana. Para pendiri
Duta Wacana sudah dengan sadar mendirikan institusi pendidikan
teologi ini dengan menekankan pentingnya kesadaran akan konteks
i
Indonesia. Untuk itu, walau pada awalnya dimaksudkan sebagai
‘kado’ bagi ulang tahun ke 60 Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D, namun
karena ulang tahunnya itu sendiri sudah lewat tiga tahun, biarlah
buku ini menjadi sebuah penghargaan atas usahanya untuk terus
mengembangkan teologi yang kontekstual, dan pada saat yang sama
memberi sarana bagi Duta Wacana untuk merefleksikan
perjalanannya selama 50 tahun bergumul dalam konteks. Maka,
jadilah buku ini diterbitkan sebagai refleksi atas kontekstualisasi
teologi di Indonesia yang sangat ditekankan oleh Duta Wacana dan,
yang seperti sudah banyak diketahui orang, sangat lekat dengan
karya-karya dan pemikiran-pemikiran Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D.

Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman alumni yang


sudah berkenan membantu penerbitan buku ini, juga kepada para
sahabat yang sudah menyisihkan waktu untuk menyumbangkan
tulisan dalam buku ini. Sekaligus mohon maaf kepada para
penyumbang tulisan yang telah memasukkan tulisannya jauh
sebelum waktu terbitnya. Terimakasih pula kepada Sdr. Wuri Ajeng
yang berkenan membantu menyiapkan bentuk akhir buku ini.
Akhirul kalam, kami mengucapkan selamat membaca dan berefleksi
atas pijar-pijar pemikiran yang ada.

Editor:
Robert Setio
Wahju S. Wibowo
Paulus S. Widjaja

ii
Daftar Isi

Pengantar.................................................................................... i

Daftar Isi………………………………………………………. iii

Pendahuluan (Robert Setio)....................................................... 1

Bagian I Metode Kontekstualisasi


E. Gerrit Singgih
1. Iman, Politik dan Agama-Agama:
Dialog Kritis dengan Pikiran
Pdt. Prof. Dr. E. Gerrit Singgih
(Bernard Adeney-Risakotta)…………………………… 19
2. Emanuel Gerrit Singgih: Teolog Kontekstual
(J.B. Banawiratma) …………………………………… 39

Bagian II Kontekstualisasi Masa Kini


1. Peran (Oto)Biografi dan Buku Harian dalam
Teologi Kontekstual Indonesia berdasarkan
Pandangan James McClendon
(Alle Hoekema)……………………………………….. 53
2. The Practical – Theological Spiral Revisited from
Social to Discursive Analysis
(Frans Wijsen)……………………………………….... 73
3. Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibriditas
(Robert Setio)…………………………………………. 93
4. Teologi Kontekstual sebagai Transformasi Ganda
(Wahju S. Wibowo)…………………………………… 115

iii
Bagian III Teks dan Konteks
1. Diutus ke Seluruh Dunia
(Agustinus Gianto)……………………………………. 137
2. Towards an Indonesian Old Testament
Theology: A Dialogue between Christoph
Barth’s Old Testament Theology and Works by
Indonesian Old Testament Scholars
(Agustinus Setiawidi)…………………………………. 155

Bagian IV Teologi Politik


1. Deklarasi Barmen dan Maknanya Masa Kini
(A.A Yewangoe)………………………………………. 169
2. Dari Pendeta Caleg sampai Roma 13: Beberapa
Catatan Mengenai Partisipasi Politik Kristen
di Indonesia
(Zakaria Ngelow)………………………………………183
3. Wacana Pluralitas dan Demokrasi dalam Pemikiran
Teologis Kontemporer Protestanisme Indonesia
(Julianus Mojau)……………………………………... 207

Bagian V Teologi Estetika


1. “Only Literature Can Perform The Miracle of
Reconciliation” Aesthetic Agency in Post
Conflict Situations in Korea and Germany
(Volker Kuester)……………………………………… 229
2. Gereja Maria Assumpta Klaten:
Sebuah Usaha Kontekstualisasi
(Mgr. L.
I. Suharyo)……………………………………. 241
3. Dead Poets Society, Proyek Peradaban, dan
Pencarian Diri
(Paulus S. Widjaja)………………………………….... 253

iv
Bagian VI Dialog dengan Islam
1. Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah
Masyarakat Jawa Barat: Sebuah Catatan Reflektif
(Supriatno)…………………………………………… 271
2. Komisi Hubungan Antarumat (Kaum) sebagai
Simpul Dialog Versi Greja Kristen Jawi Wetan
(Suwignyo)……………………………………………. 299

Bagian VII Dialog Dengan Alam dan Kaum


Pinggiran
1. Ecological Crisis and Its Challenges to Christian
Higher Education in Asia
(Huang Po Ho)……………………………………….. 317
2. Mlipir Jalan Pinggiran: Mencari Wajah Agama
(Kristen) di Antara Wajah-Wajah yang
Terpinggirkan
(Anna Marsiana)……………………………………... 341

v
Pendahuluan
Robert Setio

Judul buku ini: “Teks dan Konteks yang Tiada Bertepi”


memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan berikut:

1. Teks yang biasanya dimengerti sebagai Alkitab dan Konteks yang


dimengerti sebagai pembacanya terlibat dalam sebuah hubungan
yang intens sedemikian rupa sehingga batas antar keduanya menjadi
kabur, tidak lagi jelas tepiannya.

2. Teks dan Konteks pada dirinya sendiri, pada kemasing-


masingannya sudah berada dalam keadaan tidak bertepi. Alkitab –
sekalipun sudah dibatasi secara dogmatis (kanon), secara literer
(sebuah narasi, kumpulan narasi, sebuah puisi, sebuah kitab), dan
secara historis (terikat oleh ruang dan waktu yang spesifik) – adalah
sekumpulan tulisan, sekumpulan gagasan, sekumpulan teologi (itulah
arti nama Alkitab dalam Bahasa Yunani: ta biblia, kitab-kitab, jamak
bukan tunggal) yang membuatnya seperti realitas tak bertepi.
Pembaca yang meliputi para pengguna Alkitab mulai dari bentuk
ketika masih belum menjadi satu, bahkan ketika masih merupakan
sebuah gagasan lepas yang belum dituliskan, hingga sekarang, ketika
kanon Alkitab telah berusia lebih daripada 1600 tahun (mengacu
pada Vulgata), terdiri dari banyak orang, banyak kelompok, banyak
komunitas, banyak gereja dan banyak mashab pemikiran.

3. Munculnya semacam amalgamasi ketika Teks dan Konteks


dipertemukan, juga membuktikan tiada tepian antara keduanya dan
sekaligus tiada tepian antara amalgamasi yang satu dengan
amalgamasi lainnya.

4. Tetapi kata-kata “tiada bertepi” bersifat paradoks, di satu pihak


mengarah ke realitas yang sudah disebutkan pada poin 1-3 di atas; di
pihak lain, mengingatkan bahwa yang disebut tepi itu masih ada.
Tiada bertepi berarti pertama-tama ada tepi, baru kemudian gerakan
dinamis yang membuat tepi itu menjadi kabur. Seperti orang yang
melihat gambar bergaris-garis yang sampai sekian lama berubah
1
menjadi bentuk yang bukan lagi garis-garis. Tetapi garis itu bukan
tidak ada. Garis itu tetap ada, tepi itu sebenarnya tetap ada.

Perjumpaan antara Teks dan Konteks memungkinkan kelahiran


realitas yang majemuk. Perjumpaan antara Teks dan Konteks
terkadang membentuk gerakan “bola liar” yang dapat mengenai siapa
saja, titik yang mana saja, tetapi hanya untuk sementara karena
“bola” itu masih akan terus bergerak ke segala arah yang mungkin.

Kontekstualisasi teologi, setidaknya di tangan orang-orang yang


tekun berimajinasi seperti Gerrit Singgih, menjadi seperti “bola liar”
tadi, bergerak ke segala arah sejauh konteks memungkinkan dan
menyentuh segala perkara sejauh masuk akal.

Kedudukan sebagai teolog tidak membuat orang seperti Gerrit


kehilangan kebebasan untuk menyapa berbagai bidang yang bukan
teologi. Paradigma keilmuan (Barat) yang memilah-milah dan
akhirnya terpilah-pilah tanpa ampun seperti mengalami dekonstruksi
dalam pikiran Gerrit. Hasilnya bukan sebuah ilmu baru seperti
makhluk yang terdiri dari banyak muka, namun gerakan sana-sini di
antara ilmu-ilmu yang masih tetap duduk manis dalam koridor
masing-masing. Paradigma keilmuan yang sudah terlanjur dibakukan
dan diuniversalkan bukannya mau diubah, karena bukan itu makna
dari dekonstruksi, namun diganggu-ganggu (teasing) atau kalau mau
lebih serius (begitu kesan orang tentang Gerrit), kebakuan paradigma
keilmuan itu dibenturkan dengan aksioma-aksiomanya sendiri. Lalu
menjadi terbuka bahwa kekokohan sebuah ilmu sebenarnya dibangun
di atas gundukan pasir yang rapuh. Gerrit memang teolog (di tengah
omniscientnya itu), ketika membicarakan ilmu-ilmu bukan teologi
iapun masih berbicara sebagai seorang teolog. Mungkin justru karena
teologi adalah ilmunya maka ia mampu berbicara tentang ilmu-ilmu
lainnya. Teologi, setidaknya dalam diri Gerrit, adalah ilmu
fundamental. Mirip atau sama dengan filsafat yang juga sangat
digemari oleh Gerrit. Di atasnya ilmu-ilmu dibicarakan dan dibangun
secara hakiki. Di dalamnya pijar-pijar keilmuan diamati terus
menerus. Teologi menyediakan teropong prismatik untuk melihat
keindahan dunia ilmu.

2
Tetapi teologi juga adalah sebuah ilmu. Ia adalah salah satu dari
sekian banyak ilmu lainnya. Maka teologi tidak hanya digunakan
sebagai perspektif untuk menganalisa ilmu-ilmu lain, namun juga
perlu dijadikan sasaran analisa. Gerrit adalah salah seorang dari
sedikit teolog yang bersedia membedah ilmu teologi, ilmunya
sendiri. Membedah di sini lebih baik diartikan sebagai membuka
lebar termasuk borok-borok yang ada di dalamnya, jika ada. Di
tangan Gerrit, teologi bukanlah ilmu yang perlu diselubungi oleh
mitos-mitos keistimewaan yang membuatnya tidak bisa dikritisir.

Kritik terhadap teologi dapat datang baik dari dalam maupun dari
luar dirinya, dari ilmu-ilmu lain, bahkan dari yang oleh para ilmuwan
dikategorikan bukan ilmu seperti kearifan-kearifan lokal. Gerrit tak
segan untuk mengakui kehebatan kearifan lokal sedemikian rupa
sehingga kearifan lokal itu diangkat kedudukannya menjadi setara
dengan ilmu bahkan dalam kancah wacana agama, kearifan lokal itu
juga disebut sebagai agama, bukan lagi kepercayaan. Di balik
pemberian identitas agama ini ada sebuah motivasi mulia yaitu agar
agama-agama besar termasuk Kekristenan bersedia membuka diri
dan belajar dari agama lokal.

Belajar kepada agama lokal masih merupakan hal yang sulit


dilakukan, kalau tidak mau dibilang tidak mungkin dilakukan oleh
agama-agama besar termasuk Kekristenan. Tabiat kolonial masih
sangat melekat pada agama-agama besar itu sehingga mereka enggan
untuk belajar kepada agama yang dianggap lebih kecil dan kurang
meyakinkan. Maka, Gerrit tidak putus-putusnya mendorong agama-
agama besar, terutama agamanya sendiri, Kristen, untuk mau belajar
kepada agama lokal. Dorongan ini bisa jadi disalahpahami sebagai
keraguan akan kebenaran agama sendiri. Tetapi akan lebih tepat jika
memahami maksud Gerrit sebagai koreksi terhadap sikap-sikap
arogan dari agama-agama besar. Arogansi yang termasuk di
dalamnya memutlakkan kebenaran sendiri. Tetapi tidak hanya
sebatas itu saja. Arogansi itu juga adalah tentang perasaan lebih
besar, perasaan lebih berkuasa dan perasaan sebagai pemenang.
Perasaan ini membuat para pemeluk agama-agama besar tidak lagi
dapat menghargai agama lokal, menganggap agama lokal itu sepele
dan bahkan tidak pantas disebut agama. Bagi Gerrit adanya perasaan-

3
perasaan seperti itu adalah bukti bahwa agama-agama besar itu
kurang percaya diri. Mereka justru merasa lemah dan dalam perasaan
lemah itu ingin menindas yang lain supaya nampak kuat.

Bagaimana mungkin Gerrit berpikir seperti itu? Kalau dia adalah


seorang etikus yang berpijak pada norma-norma hak-hak azasi
manusia yang seringkali dianggap universal dan tidak mewakili salah
satu agama (mungkin juga tidak mewakili agama apapun, selain
kemanusiaan), maka orang akan mengatakan bahwa pembelaan
Gerrit kepada agama-agama lokal itu pasti didasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan semata. Tetapi Gerrit adalah seorang teolog (meskipun
pernah mengajar kuliah etika, namun etika dalam ranah teologi).
Maka, dasar berpikirnya mestinya bersumber pada teologi. Bila
dimengerti demikian, barulah kita memperoleh pencerahan tentang
bagaimana teologi telah mendorong Gerrit untuk membuka diri
terhadap agama-agama lokal. Bukan hanya agama lokal saja, namun
semua yang oleh masyarakat ditempatkan pada posisi pinggiran, di
antaranya, perempuan, kaum disable, kaum Lesbian, Gay, Bisexual,
dan Transgender (LGBT), orang-orang miskin, para buruh, korban-
korban kekerasan militer dan politik, korban-korban kekerasan
institusi keagamaan (termasuk Gereja), korban-korban kapitalisme
global, pendeknya, semua orang yang diperlakukan semena-mena
oleh mereka yang memiliki kekuatan besar dan kekuasaan. Gerrit
sangat sensitif terhadap nasib mereka. Teologi telah membuatnya
menjadi begitu. Mengapa? Karena dalam perenungan Gerrit, Allah
adalah Allah yang solider terhadap mereka yang teraniaya. Allah
yang rela menderita bersama dan demi kaum pinggiran. Allah telah
memindahkan tempat kaum pinggiran ke tengah. Yang semula di
pinggir, dialihkanNya ke posisi sentral.

Mungkin semua orang Kristen juga berpikir seperti itu dan percaya
kepada Yesus yang menderita dan mati bagi umat manusia. Tetapi,
bagi Gerrit pemahaman itu tidak berhenti pada sesuatu yang normatif
saja. Pemahaman itu terus berlanjut pada tindakan-tindakan etis,
pada aksi-aksi nyata, tidak saja di ruang-ruang kuliah, tetapi sampai
ke gubuk-gubuk reot di kampung-kampung kumuh (Gerrit juga aktif
dalam advokasi masyarakat terutama ketika masih mengepalai unit

4
Lembaga Pelayanan Masyarakat UKDW). Hidupnya adalah
teologianya.

Hal lainnya lagi adalah pemahaman mengenai siapa manusia yang


kepadanya Allah bersolider itu? Bagi Gerrit manusia bersifat
menyeluruh. Manusia adalah seluruh umat manusia dari segala abad
dan tempat, tanpa membeda-bedakan latarbelakang etnis, suku, ras,
agama dan golongan. Bukan berarti seluruh umat manusia hendak
dipandang sebagai satu kesatuan yang meniadakan perbedaan. Bagi
Gerrit perbedaan itu harus dihargai (lagi, tidak hanya secara normatif
dan retorika belaka), karena manusia itu memang beragam.
Keragaman tidak boleh diabaikan dan dihisap ke dalam sebuah ide
kemanusiaan yang universal, sebab universalitas itu mau dibuat
seperti apapun pasti mewakili sebagian saja (parsial) dan tidak akan
dapat mewakili keseluruhan.

Keholistikan manusia juga berarti keluasan yang ada pada diri


seseorang. Di sini, keterlibatan Gerrit dalam bidang pastoral perlu
disebutkan. Pastoral bagi Gerrit bukan pertama-tama tindakan praktis
pendampingan orang yang sedang bermasalah, meskipun Gerrit
sangat sensitif dan bersedia duduk berlama-lama hanya untuk
mendengarkan keluhan orang yang sedang bermasalah (berlawanan
dengan kesan dingin dari penampilannya). Pastoral adalah soal
melihat seseorang dalam keseluruhan keberadaannya (H. Clinebell)
yang multi-dimensi itu. Maka, kesejahteraan seseorang tidak boleh
dilihat sepenggal-sepenggal. Misalnya, bila kesejahteraan itu hanya
dipahami dalam dimensi rohani saja, apalagi yang rohani ini
dipersempit menjadi urusan hidup sesudah kematian saja. Orang
yang kelihatannya beres dalam urusan surga, belum tentu beres
dalam urusan dunia. Maka kesejahteraan holistik tidak bisa ditawar-
tawar lagi jika kita tidak ingin terjebak dalam kesalahpahaman
tentang seseorang. Pastoral akhirnya bersifat menyeluruh dan mau
tidak mau harus dikerjakan bersama-sama oleh seluruh Gereja,
bahkan oleh seluruh masyarakat. Kesejahteraan sosial menjadi
dimensi yang tidak boleh dianggap sepele dalam rangka
menghadirkan kesejahteraan individual.

5
Ciri berpikir yang holistik itu juga nampak ketika Gerrit berbicara
mengenai pendidikan teologi, dunia yang dihidupinya hampir
sepanjang masa pelayanannya sebagai pendeta (yang masih belum
selesai itu). Gerrit tidak ingin pendidikan teologi dipilah-pilah
menjadi bagian yang akademik (intelektual), spiritual dan
kependetaan (ministerial). Pendidikan teologi perlu
mengintegrasikan ke-3 aspek itu ke dalam dirinya. Pikirannya ini
perlu direnungkan oleh sekolah-sekolah teologi yang nampaknya
semakin tidak berdaya untuk menahan kehendak “pasar” agar hanya
memproduksi lulusan yang siap pakai. Lulusan teologi terkesan
hanya dilihat sebagai komoditi saja, sehingga istilah “siap pakai”
dikenakan kepadanya. Perlakuan sebagai komoditi itu kemudian
melahirkan sikap yang tidak mau tahu: jika lulusan itu dianggap
tidak siap pakai akan dibuang begitu saja, tanpa mau tahu apakah
yang akan terjadi pada mereka pasca pembuangan itu. Sekolah
teologi yang “menyerah” kepada kemauan pasar pada akhirnya
mencurahkan segenap energi untuk “mencetak” lulusan yang siap
pakai yang berarti siap untuk berkotbah dengan baik, siap untuk
melakukan perkunjungan dengan rajin, siap untuk membuat liturgi
ibadah dan mengisinya dengan baik (bisa menyanyi dengan merdu)
dan akhirnya, bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi di
kantor gereja. Sekolah yang tidak mampu menghasilkan lulusan
dengan kriteria demikian, akan ditinggalkan oleh pasar yang tidak
lain adalah gereja-gereja. Gereja-gereja tidak akan segan-segan untuk
melirik sekolah-sekolah lain yang dapat menyediakan stok yang
cocok untuk mereka.

Pendidikan teologi yang holistik memang tidak boleh mengecilkan


arti kesiapan lulusan dalam menjalankan tugas-tugas kegerejaan.
Tetapi juga tidak boleh hanya mengurusi soal-soal praktis seperti itu
saja. Kedua aspek lainnya yaitu intelektual dan spiritual harus juga
diperhatikan. Akhirnya, keseimbangan antara ke-3 aspek atau pilar
itu harus mampu dijaga oleh sebuah sekolah teologi. Kurikulum
sekolah teologi akan mencerminkan keseimbangan tersebut dengan
memberikan porsi yang seimbang bagi ke-3nya.

Keluasan teologi yang terlihat dalam karya-karya Gerrit sungguh


seperti lautan yang tak bertepi. Tulisan-tulisan dari para kolega yang

6
di antaranya adalah mantan muridnya dalam buku ini dapat
mencerminkan keluasan tersebut. Tetapi harus diakui tulisan-tulisan
ini masih tetap terasa lebih kecil cakupannya daripada cakupan
karya-karya Gerrit sendiri. Buku-buku Gerrit yang banyak itu jauh
lebih kaya ide daripada yang disajikan oleh tulisan-tulisan ini. Salah
satu yang jelas terlihat kurang adalah tulisan mengenai hubungan
Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama. Harapan pada seorang kolega
untuk mengisi bidang ini akhirnya tidak terpenuhi oleh karena
kesibukannya.

Kesibukan pula yang membuat para penyumbang tulisan ini tidak


dapat berbuat banyak untuk menyeimbangkan tulisan mereka. Maka,
pembaca akan mendapati semacam ketidakseimbangan penampilan
tiap tulisan. Ada yang cukup lengkap catatan rujukannya, ada yang
sedikit dan ada yang malah tidak ada sama sekali catatan rujukannya.
Tetapi kami berharap agar pembaca tetap dapat memperoleh
lontaran-lontaran pemikiran yang bernas, menggelitik dan berbobot.

Dengan catatan itu, kami ingin persilakan pembaca menikmati


tulisan-tulisan yang coba kami kelompokkan sebagai berikut:

Metode Kontekstualisasi E. Gerrit Singgih


Setiap teolog pasti bekerja dengan sebuah cara. Gerrit tidak
terkecuali. Cara itu lalu menjadi ciri khasnya. Bernard Adeney-
Risakotta dan Banawiratma berusaha menggambarkan cara Gerrit
dalam menjalankan teologi kontekstualnya. Mereka juga mencoba
mendaftar isu-isu apa saja yang menjadi ketertarikan Gerrit.
Membaca kedua tulisan sahabat lama, sekaligus dekat, dari Gerrit ini
kita akan dibantu untuk melihat benang merah dan mungkin juga inti
dari pemikiran-pemikiran Gerrit. Tetapi sebagai sahabat mereka
tidak hanya ingin mendeskripsikan saja pikiran Gerrit. Mereka juga
memberikan apresiasi termasuk dengan cara melontarkan kritik.
Bernie lebih menggigit dalam soal kritik ini. Bana, di pihak lain,
nyaris tidak menampakkan kritiknya, ciri khas orang Jawa mungkin,
tetapi pada bagian akhir tulisannya kita bisa mendapati semacam
kritik yaitu ketika ia mendeskripsikan Gerrit sebagai orang yang
berusaha untuk seimbang, di tengah, namun terkadang condong ke
kiri atau ke kanan, juga. Bana, lalu memilih untuk menamai gejala

7
pemikiran Gerrit sebagai sebuah percakapan. Bernie mengenali sikap
“ketengah-tengahan” Gerrit itu bersumber dari kerendahanhatinya.
Gerrit tidak pernah menolak secara total sebuah pandangan meskipun
bukan berarti dia akan mengikutinya. Gerrit juga tidak akan
menerima secara total sebuah pandangan tanpa kritik termasuk
pandangan dari kelompok dimana dia berada di dalamnya.

Kontekstualisasi Masa Kini


Sementara itu, Alle Hoekema, Frans Wijsen, Robert Setio dan Wahju
S. Wibowo menulis tentang berbagai model dan isu mutakhir
mengenai kontekstualisasi. Alle Hoekema, berdasarkan pendapat
James McClendon, mengusulkan agar teolog-teolog Indonesia lebih
berani menampilkan pengalaman hidupnya sendiri (otobiografi)
sebagai sumber laku teologi. Usulan ini menantang oleh karena
model semacam ini seringkali dianggap kurang serius dalam dunia
teologi. Tetapi Alle Hoekema yang pernah bekerja di Indonesia
sebagai pendeta Mennonite, termasuk sebagai dosen di sebuah
sekolah teologi Mennonite, cukup optimis bahwa model ini lebih
cocok dengan konteks budaya orang Indonesia.

Frans Wijsen yang bersama dengan para koleganya di Nijmegen


telah dengan baik sekali mengembangkan teologi empiris,
menawarkan sebuah kombinasi antara sosiologi dan teologi dalam
mengamati fenomena empiris yang dalam hal ini adalah kehidupan
kelompok agama. Artikel ini memperkenalkan Analisa Wacana
Kritis (Critical Discourse Analysis) yang relatif belum banyak
dikenal oleh para peneliti agama dan teolog di Indonesia. Hal penting
lain dari artikel ini adalah bagaimana teologi yang cenderung
direduksi menjadi sekadar soal keyakinan (confessional) dapat
direkatkan dengan ilmu-ilmu sosial yang membuatnya menjadi
ilmiah juga.

Robert Setio menulis tentang kesulitan yang dihadapi oleh para


promotor kontekstualisasi di Indonesia ketika hendak mengajak
Gereja dan umat Kristiani menghargai budaya yang diwarisi dari
nenek moyang sendiri. Kesulitan itu menurut Robert kiranya
memperlihatkan kolonialisme yang masih terus berlangsung hingga
sekarang. Jika demikian, Robert mengusulkan agar pendekatan yang

8
dikotomis (Barat vs. Timur) diganti dengan pendekatan yang
menerima hibriditas gereja-gereja di Indonesia. Kemudian kita
menyesuaikan diri dengan kondisi yang hibrid tersebut. Bagi Robert,
tindakan ini merupakan sebuah perlawanan politis terhadap
globalisasi yang hendak menelan hibriditas ke dalam sebuah
kesamaan.

Wahju Wibowo juga melihat kesulitan yang sama andaikata


kontekstualisasi hendak dipahami sebagai sebuah proses satu arah
yaitu mengganti produk budaya Barat dengan produk budaya daerah.
Wahju lebih memilih untuk menempatkan kontekstualisasi sebagai
sebuah ketegangan yang dialogis dan transformatif antara sesuatu
yang dari luar dan dari dalam, dari masa lalu dan masa kini, dari
tradisi dan berbagai kebaruan yang ditemui dalam perjalanan tradisi
itu. Teologi bagi Wahju adalah sebuah proses yang terus bergulir.
Karena itu yang dibutuhkan adalah kreatifitas, bukan konservatisme.
Di tengah proses yang dinamai oleh Waju dengan “double
transformation” itu, perubahan-perubahan mesti terjadi termasuk
perubahan dari diri sendiri.

Teks dan Konteks


Pada bagian ini, 2 orang kolega yang mengampu bidang Biblika
memberikan sumbagan pemikiran yang masih lekat dengan tema
kontekstualisasi.

Agustinus Gianto, S.J., yang terkenal di kalangan ahli Biblika


dunia, memaparkan perbandingan pemberitaan pengutusan para
murid oleh Yesus dalam Injil-injil Sinoptik. Perbandingan tersebut
membuahkan pemahaman yang khas dari masing-masing Injil
mengenai perintah yang sering disebut dengan Perintah Agung (the
Great Commission) tersebut. Tetapi Romo Gianto dengan baik
memperlihatkan bagaimana masing-masing Injil berupaya untuk
mendorong para pengikut Yesus agar berani mengarungi keluasan
dunia, berani menjumpai siapa saja yang masih asing, bertemu
dengan para liyan. Pertemuan dengan beragam orang itu akan
membuahkan pemahaman yang lebih lengkap tentang manusia dan
pada saat yang sama juga membawa pemahaman yang lebih baik
tentang Allah. Romo Gianto seakan berpesan agar orang tidak

9
merasa sudah menemukan Allah dengan apa yang ada pada dirinya,
karena yang ada pada dirinya itu masih sangat terbatas. Pembaca
akan menemukan bahwa pesan ini sejalan dengan judul dan isi buku
yang beragam ini.

Agustinus Setiawidi menulis mengenai karya-karya para ahli


Perjanjian Lama Indonesia. Bagi Agus, buku karangan Christoph
Barth, Theologia Perjanjian Lama yang dilengkapi dan kemudian
juga direvisi oleh istrinya, Marie-Claire Barth-Frommel, itu,
memiliki pengaruh yang besar bagi para teolog Perjanjian Lama
Indonesia. Di pihak lain, para teolog PL Indonesia itu juga terlibat
secara aktif dalam upaya-upaya kontekstualisasi yang dinampakkan
oleh diikutsertakannya berbagai produk budaya daerah dalam karya-
karya mereka. Karya Barth sendiri tidak menampakkan hal tersebut.
Sehingga wajar jika diharapkan terjadinya suatu dialog yang kritis
antara para teolog PL tersebut dengan Barth. Tetapi Agus belum
melihat dialog kritis semacam itu. Yang dilihatnya justru semacam
peng-copy-an saja dari pendapat-pendapat Barth. Analisa kritis dari
Agus ini merupakan tantangan bagi para teolog PL Indonesia yang
harus dijawab dengan serius.

Teologi Politik
Andreas Yewangoe, Zakaria J. Ngelow dan Julianus Mojau
mengangkat keterlibatan Gereja dalam urusan politik (pengaturan
negara). Andreas Yewangoe membahas Deklarasi Barmen yaitu
sebuah deklarasi dari sekelompok orang Kristen Jerman yang
mengaku dirinya sebagai “Gereja yang Mengaku” (die bekennde
Kirche). Deklarasi yang ditandatangani, di antaranya oleh Karl
Barth, pada tahun 1934 itu menyatakan pembangakan secara terang-
terangan terhadap pemerintahan Nazi di bawah pimpinan Hitler.
Keberanian “Gereja yang Mengaku” tersebut sangat luar biasa oleh
karena pada masa itu kekuasaan Hitler sangat besar dan didukung
oleh gereja-gereja dan rakyat Jerman pada umumnya. Sehingga
Deklarasi Barmen patut dijadikan monumen pengingat akan
bagaimana Gereja harus bersikap dalam membela kebenaran dan
menyatakan kehendak Tuhan. Motivasi Yewangoe menuliskan hal
ini adalah memberi semangat agar gereja-gereja di Indonesia
meneladani keberanian para pendukung Deklarasi Barmen itu dalam

10
konteks Indonesia sendiri. Meskipun dengan rendah hati Ketua PGI
ini mengakui bahwa gereja-gereja di Indonesia belum
memperlihatkan keberanian yang diharapkan itu.

Zakaria Ngelow menulis dengan latarbelakang semakin banyaknya


pendeta yang terjun ke dalam dunia politik praktis. Keputusan untuk
pindah bidang tersebut seringkali terjadi begitu saja tanpa didasari
oleh pemikiran yang mendalam dan bahkan terkesan hanya mencari
keuntungan material saja. Maka, Ngelow berkenan menawarkan
gagasan-gagasannya mengenai dasar-dasar teologi politik yang
meliputi dasar etis, biblika, dogma dan analisa kondisi sosial-politik
di Indonesia. Pada akhirnya Ngelow mendorong agar sikap politik
Gereja mengikuti pandangan para Reformator (Luther dan Calvin)
yang memisahkan Gereja dan Negara agar keduanya dapat
menjalankan tugas panggilan masing-masing tanpa saling
mencampuri. Tetapi pada saat yang sama, Gereja juga perlu menjadi
kawan sekerja yang kritis terhadap lembaga-lembaga negara.
Meskipun Ngelow tidak terlalu eksplisit, ada baiknya disebutkan di
sini bahwa sikap kritis Gereja itu sudah menjadi kebutuhan yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi saat ini, melihat semakin
merajalelanya korupsi oleh para aparat negara dan partai politik.

Julianus Mojau membuat tinjauan kritis terhadap pemikiran para


teolog Kristen Protestan Indonesia, terutama setelah 1998 (zaman
Reformasi). Pertanyaan analitis yang diajukan Mojau adalah apakah
pemikiran para teolog tersebut telah selaras dengan semangat
pluralitas dan demokrasi yang seharusnya terjadi di zaman pasca
Orde Baru ini, atau, jangan-jangan pemikiran mereka masih
mengikuti gaya Orde Baru yang sekalipun berbicara soal
kebhinekaan (pluralitas) dan demokrasi namun sebenarnya semu.
Semangat pluralitas dan wacana demokrasi yang dipropagandakan
oleh rezim Orde Baru bersifat monistis-hegemonik dimana segala
sesuatunya dihisap ke dalam politik identitas yang tunggal, yang
tidak memberi ruang pada keberlainan. Sebagai alternatifnya, Mojau
mengajukan pemikiran tentang pluralitas dan demokrasi yang
bersifat etis-emansipatoris yang menurutnya dapat ditemukan pada,
salah satunya, Gerrit Singgih. Mojau juga mengajak pembaca
memikirkan kembali bingkai NKRI yang oleh para teolog Indonesia

11
sudah diterima sebagai keniscayaan. Atas dasar paham Calvinis
mengenai kedaulatan Allah, menurut Mojau, keberadaan NKRI perlu
dipertanyakan kembali. Mungkin situasi buruk yang banyak dialami
oleh warga negara di Indonesia bagian timur menjadi pencetus ide
yang terkesan menggugat keotomatisan NKRI itu.

Teologi Estetika
Di bagian ini Volker Kuester, yang lama mengajar di Protestant
Theological University Kampen, Belanda dan sekarang baru saja
pindah ke Mainz, Jerman, mengajukan karya 2 novelis dari Jerman
dan Korea yang mengangkat tema rekonsiliasi. Kedua penulis novel
itu memiliki kemiripan karena mereka sama-sama hidup di negara
yang pernah dikuasai oleh penguasa fasis (Nazi di Jerman dan
penguasaan Jepang di Korea), juga yang negaranya terbagi menjadi 2
karena perbedaan ideologis (Korea masih begitu hingga sekarang).
Tema rekonsiliasi menjadi penting di kedua negara itu. Tetapi
menariknya dalam hal ini adalah bagaimana karya sastera dapat
berperan dalam rekonsiliasi sosial. Tidak kalah menariknya adalah
bagaimana teologi dapat terlibat dalam proses yang terkesan sekuler
ini dengan memberikan interpretasinya. Tema seperti rekonsiliasi itu
adalah tema yang ada dalam teologi dan dalam khasanah teologi pula
tema rekonsiliasi adalah sebuah tema yang penting. Maka
perjumpaan antara teologi dan dunia sastra yang sekuler
dimungkinkan. Kuester adalah teolog yang selama ini sudah dikenal
memiliki ketertarikan yang besar pada dunia seni. Baginya seni tidak
sekadar membantunya dalam berteologi, namun memiliki teologi di
dalam dirinya yang harus diperhatikan oleh para teolog.

Mgr. I. Suharyo yang dalam suatu masa pernah mengajar PB di


Duta Wacana, membuat kajian atas seni bangunan Gereja Maria
Assumpta di Klaten yang dibangun oleh alm. Y.B. Mangunwijaya,
Pr. Gedung Gereja yang dibangun pasca Konsili Vatikan II itu
dengan gamblang memperlihatkan pemikiran kontekstual yang
mendalam. Tidak saja gedung itu berbicara tentang budaya Jawa, ia
juga berbicara tentang keramahan sosial. Bentuknya sangat
sederhana, jauh dari kesan megah, menonjol dan triumfalis dan lebih
mencerminkan sifat punakawan yang ada untuk melayani. Gereja itu
menghadap ke segala arah yang membuatnya kelihatan menyambut

12
orang-orang yang datang dari berbagai arah. Kontekstualisasi yang
dipesankan oleh gedung Gereja ini adalah kemenyatuan dengan
masyarakat sekitar. Tulisan ini kiranya memberikan inspirasi yang
baik mengenai bagaimana sebuah gedung Gereja seharusnya dibuat.
Kenyataan yang semakin banyak ditemui dewasa ini adalah gedung-
gedung Gereja yang berdiri menjulang ke langit dan terkesan mewah
sehingga nampak kontras dengan lingkungannya, apalagi jika
lingkungannya adalah perumahan sederhana bahkan kumuh.

Paulus S. Widjaja mengangkat tema kontekstualisasi dengan cara


membahas film “Dead Poets Society”. Film ini bagi Paulus
menggambarkan 2 macam peradaban yang kontras: (1) peradaban
yang mengandalkan keteraturan, kedisiplinan, ketertiban yang
dimungkinkan oleh adanya kontrol dan otoritas yang kuat; (2)
peradaban yang diwakili oleh tokoh utama film ini, Mr. Keating,
yaitu yang percaya pada kebebasan berekspresi dari setiap individu
sesuai dengan keberadaan masing-masing yang dijamin oleh adanya
kemandirian dalam berpikir dan menjadi diri sendiri. Paulus melihat
bahwa pada akhirnya tidak ada peradaban yang tanpa masalah.
Peradaban yang mengandalkan pada kebebasan individu itupun
akhirnya membuahkan rasa kesepian akibat terasingkannya individu
dari masyarakatnya. Oleh karena itu pesannya adalah agar proyek
peradaban diarahkan pada muara penciptaan yang peduli dan
memberi kehidupan. Karya tulis Paulus ini menunjukkan sekali lagi
bahwa teologi mampu memberikan kontribusinya dalam urusan seni.

Dialog dengan Islam


Karya Supriatno dan Suwignyo merefleksikan sisi lain yang juga
sangat diminati oleh Gerrit yaitu dialog antaragama, khususnya
antara Kristen dan Islam. Kedua kolega ini memberikan contoh-
contoh konkrit tentang bagaimana relasi Kristen-Islam dipraktikkan
di lapangan.

Supriatno melaporkan relasi Kristen-Islam di Jawa Barat, khususnya


yang melibatkan gereja dimana ia melayani, Gereja Kristen
Pasundan (GKP). Konteks masyarakat Jawa Barat sudah lama
dikenali sebagai yang sangat kental keIslamannya. Oleh orang-orang
seperti Hendrik Kraemer, keadaan tersebut dikeluhkan karena

13
menyulitkan pekabaran Injil. Tetapi Supriatno mencoba
mengapresiasi keadaan tersebut dan menunjukkan nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalamnya. Pekabaran Injil seringkali tidak
memedulikan nilai-nilai luhur dari suatu masyarakat dan terlalu
bersemangat untuk menggantikannya dengan nilai-nilai keKristenan.
Sikap semena-mena ini tidak saja terjadi di zaman kolonial dahulu,
namun masih juga terjadi sampai sekarang. Arogansi orang-orang
Kristen yang hanya ingin memperlihatkan kejayaannya tanpa peduli
perasaan orang Islam masih sering terlihat di lapangan. Reaksi keras
dari orang Islam terhadap arogansi itu seakan patut dimaklumi,
meskipun itu menyulitkan semua orang Kristen yang sebenarnya
tidak semua setuju dengan sikap kaumnya yang arogan itu tadi. Di
tengah itu, gerakan dialog antaragama juga terjadi. Gerakan ini
membawa warna lain dalam kehidupan masyarakat Sunda dengan
memberikan harapan akan dimungkinkannya suatu kehidupan
bersama yang damai dan saling belajar.

Suwignyo yang melayani di Institut Pendidikan Theologia


Balewiyata, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) merefleksikan
pengalaman Gerejanya dalam mengelola program dialog Kristen-
Islam di Jawa Timur. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak
menjelang kejatuhan rezim Orde Baru dan semakin serius ketika
terjadi kerusuhan di Situbondo (1996). Dialog dengan sengaja
dikedepankan karena cara ini dianggap paling ideal dalam
menanggapi isu-isu yang membenturkan Islam dan Kristen. Tetapi
dialog yang dimaksudkan di sini bukanlah sekadar dialog mengenai
agama saja, apalagi jika dialog itu dikemas secara diskursif-
intelektual. Karena pengalaman hidup bersama antar umat Islam dan
Kristen yang sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang dahulu,
maka dialog sudah tidak lagi merupakan barang baru. Persoalannya
tinggal bagaimana mengembangkan hidup bersama itu. Tekanan
pada hidup bersama ini membuat dialog menjadi seluas segala hal
yang tersangkut dalam kehidupan bersama dalam konteks Jawa
Timur. Masukan dari pengalaman lapangan ini sangat berharga untuk
mecerahkan pikiran baik mereka yang belum yakin akan pentingnya
dialog maupun mereka yang mendukung dialog namun hanya sebatas
pembicaraan dari kelompok elit agama saja.

14
Dialog dengan Alam dan Kaum Pinggiran
Tulisan Huang Po Ho, seorang teolog Asia yang terkenal asal
Taiwan, menjadi pelengkap yang sangat berarti bagi buku ini,
meskipun tulisan ini hanya satu-satunya dalam topik yang sama:
ekologi. Huang berbicara dalam konteks pendidikan tinggi Kristen di
Asia yang nampak masih kurang menunjukkan kepedulian terhadap
krisis lingkungan yang sudah sangat parah itu. Perguruan tinggi-
perguruan tinggi Kristen di Asia masih belum menyajikan kurikulum
yang sensitif terhadap masalah ekologi. Mungkin saja para
pengelolanya sudah tahu dan banyak mendengar masalah ekologi itu,
tetapi untuk membuatnya menjadi bagian dari pengajaran di sekolah-
sekolah mereka nampaknya masih perlu dorongan yang lebih kuat.
Tulisan Huang ini dimaskudkan untuk memberikan dorongan
semacam itu. Yang menarik di sini adalah Huang berbicara sebagai
seorang teolog, bukan seorang ahli lingkungan atau yang bidangnya
memang ekologi. Kesiapan dan kesigapan Huang ini kembali
menunjukkan bahwa teolog tidak pernah mau dibatasi untuk hanya
mengurusi hal-hal yang secara tradisional diurusi oleh teologi. Bagi
Huang yang dikenal aktif dalam mempromosikan teologi kontekstual
Asia, pembahasan ekologi dari perspektif teologi itu juga
membuktikan komitmennya terhadap persoalan-persoalan yang
konkrit di Asia. Huang, dengan kata lain, tidak mau terbelenggu oleh
tradisi berteologi (Barat) yang cenderung berangkat dari dogma atau
Alkitab dan baru menyentuh realita pada tahap kemudian. Huang
membalik paradigma ini dengan terlebih dahulu mengangkat
pengalaman di lapangan dan melakukan refleksi teologis atasnya
pada tahap kemudian.

Kontribusi Huang bagi buku ini sekaligus mengingatkan akan


perhatian dari Gerrit terhadap bencana alam yang nampak dalam
karya-karya mutakhirnya. Belum banyak teolog yang mencurahkan
perhatian pada bencana alam yang merupakan fenomena umum di
Indonesia dan Asia pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Kurangnya
perhatian dari para teolog itu bisa jadi membuktikan masih
terkungkungnya teologi pada antroposentrisme sebagaimana yang
disebutkan oleh Huang. Kalau benar demikian, maka teologi harus
memberanikan dirinya untuk keluar dari paradigma yang tidak akan
banyak membantu kita dalam menanggapi fenomena bencana alam.

15
Teologi perlu memasuki sebuah paradigma yang lebih ekosentris
atau kosmosentris atau setidaknya, kosmo-antroposentris. Apapun
pilihannya, yang jelas antroposentrisme yang sudah diturun-
temurunkan sejak kelahiran teologi, perlu diubah.

Anna Marsiana yang sekarang menjabat sebagai Direktur Asian


Women’s Resource Centre for Culture and Theology, membawa
pengalaman lapangan yang menarik dalam tulisannya. Sebagai orang
yang lama berjuang untuk mendampingi dan menyuarakan suara
kaum pinggiran, Anna paham betul apa yang menjadi pergumulan
kaum pinggiran itu. Mereka harus berjuang keras untuk menyatakan
eksistensi dirinya. Kaum perempuan adalah salah satu yang berada di
posisi tersebut (setidaknya dalam konteks Asia). Tetapi Anna juga
menemukan kelompok lain seperti Lesbian Gay Bisexual dan
Transgender (LGBT) yang nasibnya setali tiga uang, bahkan lebih
buruk lagi. Agama yang menjanjikan pertolongan kepada orang-
orang yang teraniaya, ternyata justru ikut-ikutan memelihara struktur
sosial dan budaya yang tidak adil. Tetapi, andaikata agama hendak
berubah, sebenarnya banyak potensi yang dimilikinya untuk dapat
menolong kaum pinggiran tersebut. Sebelum itu, langkah pertama
yang perlu diambil adalah mendengar. Bukan hanya mendengar,
tetapi juga belajar. Agama tidak dapat mengklaim bahwa ia sudah
tahu apa yang dirasakan kaum pinggiran. Maka, dengan penuh
kerendahanhati agama perlu membuka diri terhadap pengalaman dan
perasaan kaum pinggiran itu. Sebagai seorang teolog perempuan
Indonesia, Anna tidak sekadar bergerak untuk mendampingi kaum
pinggiran saja, namun selalu merefleksikan pengalamannya itu
secara teologis. Di sini kembali teologi dipertemukan dengan
persoalan nyata yang ada di masyarakat. Berteologi menjadi kegiatan
yang tidak dilakukan di ruang hampa, di sebuah kamar belajar yang
tertutup dan sunyi, di sebuah perpustakaan yang dipenuhi buku-buku,
atau di sebuah Gereja dimana lagu-lagu, bacaan-bacaan kitab suci
dan doa-doa dilantunkan dalam kekhidmatan, namun di tengah hiruk
pikuk kehidupan nyata yang penuh dengan tekanan. Teologi, bagi
orang-orang seperti Anna, bukanlah ilmu kaum elitis, tetapi kaum
marginal, kalau saja yang seperti itu dapat diakui sebagai ilmu.

16
Perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari perjumpaan-
perjumpaan antara teologi dengan ilmu-ilmu lain dan dengan isu-isu
sosial maupun ekologis, dan dengan kaum pinggiran adalah sebuah
keniscayaan. Kontekstualisasi membuahkan perjumpaan-perjumpaan
yang semakin lama semakin sering dan meluas itu. Itu berarti,
kontekstualisasi telah mendorong perubahan-perubahn dalam teologi.
Bukan sebuah perubahan demi perubahan itu sendiri tentu saja,
namun perubahan sebagai wujud kerendahan hati untuk mau belajar
dan diajar oleh siapapun di luar dirinya. Kerendahan hati itu tidak
boleh disamakan dengan kerendahan diri, apalagi jika suatu saat
nasib teologi di Indonesia akan tersisih seperti yang sudah terjadi di
negara-negara Barat, namun sebagai tanda kepercayaan diri. Lebih
utama lagi itu semua adalah tanda bahwa teologi masih tetap
berpegang pada komitmen melayani sesama. Sebuah komitmen yang
bagi para teolog konfesional dipandang mendasar karena berangkat
dari penghayatan akan tugas panggilan ilahi dan dalam kerangka
meneladani Yesus, Sang Pelayan manusia.

17
Bagian I

MODEL KONTEKSTUALISASI
E. GERRIT SINGGIH

Bernard Adeney-Risakotta
J.B. Banawiratma
Iman, Politik dan Agama-Agama:
Dialog Kritis dengan Pikiran
Pdt. Prof. Dr. E. Gerrit Singgih
Bernard Adeney-Risakotta*

A. Pendahuluan
Bapak Prof. Dr. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih adalah guru dan
sahabat saya. Dulu Pak Gerrit pernah memarahi saya ketika saya
menyapanya sebagai Pak Gerrit. Soalnya dia mau menyapa saya
dengan nama “Bernie” saja dan merasa kurang enak kalau saya
memakai gelar “Pak Gerrit.” Apa lagi Pak Gerrit adalah orang
sederhana (meskipun pikirannya mendalam), dan lebih senang disapa
sebagai sahabat yang setara daripada dengan tanda formalitas
hirarkis. Supaya tidak dimarahi, saya berusaha menyapa Pak Gerrit
sebagai Gerrit saja, tetapi “Pak” masih muncul sewaktu-waktu.
Bagaimanapun, Pak Gerrit selalu ada dalam hati saya sebagai Bapak.
Maaf Pak, anak-anak Pak Gerrit banyak, di seluruh Indonesia.

Saya tidak pernah membaca tulisan Pak Gerrit atau mendengar


pikirannya tanpa belajar sesuatu yang baru. Cukup lama Pak Gerrit
juga adalah bos saya secara struktural, baik sebagai Dekan Fakultas
Teologi maupun sebagai Direktur Pascasarjana Theologi. Jadi saya
harus taat kepadanya, kecuali tidak setuju. Syukur,
ketidaksetujuannya diizinkan! Malah mungkin Gerrit paling senang
ketidaksetujuan saya. Kami menjadi sehabat oleh karena selalu bisa
tukar pikiran secara terbuka dan mendalam meskipun kadang-kadang
kurang setuju satu sama lain. Saya agak bangga ketika Pak Gerrit
bilang bahwa saya yang paling banyak mengeritik tulisannya secara
konstruktif. Menurut pendapat saya, kritik yang membangun
(constructive criticsim) adalah tanda hormat paling besar yang bisa
diberi kepada seorang cendikiawan oleh karena merangsang
pikirannya menjadi lebih mendalam lagi. Kritik yang membangun

*
Profesor Teologi di Fakultas Theologia, UKDW dan ICRS, Yogyakarta.
19
tidak berarti kritik yang selalu negatif tetapi termasuk critical
appreciation atas hal-hal yang sangat menolong kita.

Tulisan ini mengkaji secara kritis, tujuh hal yang paling berharga
dalam tulisan Pak Gerrit tentang politik dan agama. Artikel ini
berusaha menonjolkan ciri-ciri tulisan Pak Gerrit yang bisa menjadi
teladan bagi kita semua. Meskipun tidak gampang, tulisan ini juga
berusaha memperlihatkan beberapa hal yang menurut pendapat saya
kurang kuat pada tulisan Pak Gerrit. Sering kali hal-hal yang paling
berharga dalam pikiran kita juga mengandung kelemahan atau hal-
hal yang juga patut dikritisi. Diharapkan usaha mengeritik pikiran
Pak Gerrit, baik secara positif maupun negatif akan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang masih dalam agenda kita
sebagai umat beragama di Indonesia.

Terima kasih kepada Fakultas Theologi di Universitas Kristen Duta


Wacana yang mengundang saya memberi sumbangan untuk buku ini,
bukan saja karena saya senang ikut memberi penghormatan kepada
Pak Gerrit, tetapi karena saya juga belajar lagi dari kesempatan
membaca kembali tulisan-tulisan Pak Gerrit tentang iman dan
politik.

B. Kajian Kritis: Iman dan Politik dalam Tulisan Pdt. Prof. E.


Gerrit Singgih
1. Menulis sebagai Teolog untuk Gereja, bukan sebagai Ahli
Politik
Salah satu kekuatan Pak Gerrit adalah dia menulis tentang politik
sebagai teolog dan tidak menempatkan diri sebagai ahli politik.
Seringkali, ketika teolog atau pakar agama menulis tentang politik
mereka menempatkan diri sebagai ahli politik. Tulisannya agak
membosankan karena terlalu sederhana. Politik adalah bidang yang
rumit dan berbeda jauh dari pendekatan yang sederhana atau
pendekatan normatif saja. Politik adalah seni tentang bagaimana
mencari keseimbangan di antara kelompok-kelompok yang
memegang pandangan-pandangan, kepentingan-kepentingan dan
nilai-nilai yang berbeda satu sama lain. Politik adalah seni mencari
kebijaksanaan yang mungkin bisa berhasil (the art of the possible),
dalam dunia politik yang penuh dengan pihak-pihak berkuasa yang

20
bersaing satu sama lain. Kalau teolog atau ahli etika sosial menulis
tentang politik, mereka cenderung berkhotbah tentang yang ideal dan
sempurna, seolah-olah bahasa normatif sudah cukup untuk
menyelesaikan semua masalah politik.

Reinhold Niebuhr pernah berkata bahwa teolog-teolog Kristen sering


berpikir seolah-olah kalau semua orang saling mengasihi satu sama
lain, semua masalah politik akan hilang.1 Namun masalah utama
dalam politik adalah kebanyakan orang yang tidak mengasihi satu
sama lain, atau paling sedikit, tidak mengasihi yang lain seperti diri
sendiri! Sayangnya, khotbah yang indah tidak akan menghilangkan
masalah ini. Lebih dari itu, seandainya seseorang mengasihi orang
lain, tidak berarti mereka akan punya pandangan, kepentingan atau
nilai yang sama. Politik adalah cara mencari kesepakatan
(kompromi) di antara pihak yang berbeda pendapat, tentang
kebijakan yang terbaik dalam kondisi yang rumit. Mungkin saling
menghormati lebih penting daripada saling mengasihi. Hal yang
paling pokok dalam politik adalah bagaimana membangun struktur
kekuasaan yang adil, khususnya bagi orang yang lemah. Hal ini jauh
lebih sulit daripada mengajak semua orang untuk mengasihi dan
menolong satu sama lain.

Bagaimana Pak Gerrit mengatasi masalah ini? Pertama, Pak Gerrit


tidak berusaha menulis seperti ahli politik melainkan sebagai teolog.
Tulisannya tidak diarahkan kepada pemerintah atau ahli politik,
melainkan kepada gereja dan umat Kristen. Pak Gerrit memanggil
gereja untuk terlibat dalam masalah politik, yaitu dalam masalah-
masalah masyarakat yang terkait dengan politik tanpa berasumsi
bahwa umat Kristen punya pengetahuan khusus tentang kebijakan
politik yang paling efektif untuk mengatasi semua masalah. Sebagai
teolog, Pak Gerrit menulis tentang teologi konteksual Indonesia yang
relevan bagi politik di Indonesia. Relevansinya bukan bagaimana
cara praktis untuk mengatasi semua masalah, melainkan bagaimana
Gereja Indonesia seharusnya bersikap terhadap masalah-masalah
politik.

Kedua, Pak Gerrit tidak mengajak Gereja untuk mencari kekuasaan


politik. Banyak masalah politik di Indonesia, khususnya yang

21
melibatkan umat Kristen dalam konflik dengan umat beragama lain,
tidak muncul karena Kristen tidak berkuasa melainkan karena umat
Kristen bersaing dengan umat lain untuk mendapatkan kekuasaan.
Persoalan politik yang pokok bagi Gereja bukan bagaimana
mendapat kekuasaan dan bukan pula bagaimana memakai kekuasaan
kalau sudah memperolehnya (top down approach). Persoalan pokok
bagi Gereja adalah bagaimana menghadapi persoalan politik yang
terkait dengan hubungan pihak yang berkuasa dengan pihak yang
lemah. Gereja dipanggil untuk menjadi terang kepada masyarakat.
Menurut tulisan Pak Gerrit, Gereja Indonesia seharusnya selalu
berpihak kepada mereka yang lemah.

Ketiga, Pak Gerrit menekankan bahwa Gereja seharusnya selalu


memperhatikan orang miskin, orang tertindas, korban bencana,
korban kekerasaan dan pelanggaran HAM. Pihak yang lemah dan
tertindas termasuk kaum perempuan, kaum terpinggir dan bahkan
termasuk lingkungan hidup (alam). Gereja tidak selalu tahu
kebijakan politik yang paling baik untuk melindungi orang lemah,
tetapi Gereja selalu dipanggil untuk menolong mereka dan menekan
penguasa supaya mereka dilindungi. Seandainya Pak Gerrit
berusaha menulis sebagai ahli politik, mungkin hasilnya kurang
maksimal. Tetapi karena dia menulis sebagai teolog, tulisannya
tidak pernah terlalu sederhana atau naïve. Teologinya sangat relevan
bagi politik.

Namun, saya kira tulisan Pak Gerrit bisa menjadi lebih tajam kalau
lebih memperhatikan masalah ketidakadilan struktural. Pak Gerrit
lebih berfokus kepada sikap pemimpin agama dan umat Kristen
daripada kepada sistem dan struktur politik, ekonomi, sosial, militer,
budaya dan institusi agama. Memang Pak Gerrit bukan ahli ilmu
sosial dan lebih baik dia menjadi teolog yang brilian daripada ilmuan
sosial yang hanya lumayan. Pak Gerrit sudah sangat berani menulis
lintas disiplin akademik dan memperlihatkan wawasan yang luas.

2. Kewibawaan Kritik dari Tokoh Kristen yang Mengasihi


Gereja
Meskipun Pak Gerrit seringkali sangat tajam dan terus terang dalam
kritiknya terhadap Gereja, beliau tidak pernah menjauhi Gereja.

22
Kritik Pak Gerrit adalah kritik dengan motivasi kasih sayang.
Berbeda dari teolog yang mengambil jarak dari Gereja seolah-olah
mereka lebih baik dan sudah memisahkan diri dari Gereja, Pak Gerrit
selalu menulis sebagai pendeta yang sangat terlibat dalam kehidupan
Gereja. Pak Gerrit menulis kepada semua umat Kristen (termasuk
Katolik), bukan hanya kepada gereja sendiri (GPIB). Dia menulis
sebagai bagian dari Gereja di Indonesia. Pak Gerrit menulis kepada
keluarga sendiri. Oleh karena itu, kritiknya jauh lebih berwibawa
dibandingkan tulisan dari orang yang membenci (atau setengah
membenci) Gereja.

Dalam hal ini, Pak Gerrit sadar bahwa dia adalah bagian dari tradisi
kritik diri (self-criticism) Gereja yang sudah kuno. Artinya, kritik
politiknya bukan terutama kepada mereka yang di luar Gereja
melainkan kepada keluarga umat beragama Kristen sendiri.
Pendekatan ini termasuk dalam arti “suara nabi”. Suara nabi tidak
saja kepada penguasa yang lain (the Other), melainkan kepada
komunitas dan umat sendiri. Tentu saja, kritik Pak Gerrit, dalam
tadisi kenabian, juga diarahkan kepada penguasa-penguasa yang
tidak bertanggungjawab dari umatnya sendiri. Tetapi kritik Pak
Gerrit selalu lebih tajam kepada komunitas sendiri dibandingkan
komunitas lain. Ketajaman kritiknya berasal dari cinta kasih. Dalam
semua tulisannya, cinta kasih Pak Gerrit terhadap Gereja sangat
nampak. Cinta kasihnya yang membuat kritiknya tajam.

Pendekatan seperti ini tidak bisa disalahkan. Pak Gerrit luar biasa
produktif dan layak menjadi Professor dan Doktor Honorarium
Causa dari Belanda karena baik kualitas maupun kuantitas
tulisannya. Namun saya sedikit menyesal kalau tulisan Pak Gerrit
tidak banyak dibaca di luar lingkungan gereja. Memang tulisan-
tulisan bahasa Inggrisnya dibaca sampai di luar negeri. Tetapi
kebanyakan tulisannya dalam bahasa Indonesia dan agak terbatas
kepada umat Kristen di Indonesia. Mengingat kebanyakan orang
Indonesia yang beragama Islam, saya rindu Pak Gerrit menulis lebih
banyak bagi masyarakat luas. Pasar pembaca masih agak kecil di
Indonesia dan kalau hanya dibaca oleh pembaca umat Kristen, maka
pasarnya terlalu sempit. Padahal banyak tulisan Pak Gerrit sangat
relevan kepada umat beragama lain.

23
Persoalan ini tidak mudah diatasi oleh karena pendekatan Pak Gerrit
sebagai ahli Alkitab. Tentu saja pembaca yang bukan beragama
Kristen tidak mungkin terlalu tertarik kepada tulisan yang selalu
dimulai dari kitab suci agama Kristen. Namun kita berharap Tuhan
memberi banyak tahun lagi yang produktif untuk proses penulisan
Pak Gerrit. Dengan demikian mungkin Pak Gerrit akan menulis
lebih banyak yang diarahkan kepada masyarakat umum. Mungkin
melalui proses mengajar di Indonesian Consortium for Religious
Studies (ICRS-Yogya), bersama para ahli-ahli Al Qur’an, Pak Gerrit
akan berani memakai pendekatan teks yang lintas agama.

3. Prioritas kepada Kemanusiaan di atas Kepentingan Gereja


Meskipun Pak Gerrit biasanya menulis untuk umat Kristen, tidak
berarti kepentingan Gereja menjadi prioritas pertama dalam
tulisannya. Memang Pak Gerrit mengasihi Gereja tetapi dia lebih
mengasihi masyarakat Indonesia. Menurut Pak Gerrit, Tuhan
memanggil Gereja untuk meninggikan kepentingan masyarakat
Indonesia di atas kepentingan umat beragama Kristen. Mungkin ini
salah satu maksud dari ayat yang berbunyi, “Siapa yang mau
menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya.”2 Pak
Gerrit tidak lihat Gereja sebagai penyelamat bangsa Indonesia.
Hanya Tuhan bisa menyelamatkan Indonesia. Lagi pula, dia tidak
memandang umat beragama lain sebagai musuh Gereja. Prof. Gerrit
terbiasa mengajar dan berkhotbah dalam lingkungan Kristen.3 Oleh
karena itu, beliau biasanya mengarahkan pikirannya kepada Gereja.
Tetapi itu tidak berarti berfokus kepada kepentingan Gereja
melainkan kepada visi dan misi Gereja sebagai jalur berkat Tuhan
kepada seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, Pak Gerrit menegaskan bahwa satu-satunya tanda


identitas Kristen adalah salib. Salib adalah tanda penderitaan Yesus
Kristus yang ditafsirkan sebagai penderitaan bagi seluruh manusia.
Orang Kristen dipanggil untuk menderita dengan orang tertindas
tanpa memandang suku, ras atau agamanya. Tanda agama Kristen
(salib), tidak dimaksudkan untuk memisahkan orang Kristen dari
orang dari umat beragama lain, melainkan untuk menegaskan
solidaritas orang Kristen dengan semua orang yang menderita.
Menurut Pak Gerrit, dengan tanda salib, tidak ada “in group” dan

24
“out group”. Murid Yesus dipanggil untuk melayani semua tanpa
pandang bulu. Hal ini bukan hanya teori bagi Pak Gerrit. Dia
mempraktekkan hal ini dalam hidup sehari-hari di mana dia
bersahabat dengan orang lintas agama dan mendampingi orang kecil
dan besar dari semua kalangan.

Dasar teologis untuk pandangan ini adalah penafsiran Amanat Agung


(Great Commission)4 melalui kaca mata Perintah Agung untuk
mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.5 Misi paling mulia
bagi warga Kristus adalah mengasihi sesama, khususnya yang
menderita. Pada pandangan Pak Gerrit, prioritas kasih atas ideologi
atau doktrin Kristen tidak berarti orang Kristen tidak usah bersaksi
tentang kasih Tuhan dalam Yesus Kristus atau membaptiskan murid
dalam nama Yesus. Akan tetapi, prioritasnya adalah kasih terhadap
sesama dengan kesadaran bahwa tidak semua yang menyebutnya
“Kristen” adalah murid Yesus. Sebaliknya, menurut Matius 256,
tidak semua yang mengikuti jalan Yesus mengenal nama Kristus.
Dengan demikian, bersaksi kepada seluruh dunia tidak disamakan
dengan Kristenisasi.

Dari pandangan ini, tidak ada ketegangan di antara mengasihi Gereja


dan mengasihi dunia. Hal yang paling baik bagi Gereja adalah tidak
berfokus kepada kepentingan atau kekuasaan Gereja melainkan
berfokus kepada kebutuhan dunia. Sama seperti tidak ada
ketegangan di antara mengasihi Tuhan dan mengasihi dunia, kalau
kita mengasihi manusia, maka itu menjadi cara terbaik untuk
mengasihi baik Tuhan maupun Gerejanya.

Saya sangat setuju dengan pandangan Pak Gerrit ini oleh karena itu
sesuai dengan hakekat Injil, yaitu anugerah Allah kepada semua
orang. Persoalan penghakiman terakhir bukan tangungjawab kita
melainkan tanggungjawab Tuhan. Memang kita diselamatkan
melalui iman dan anugerah Tuhan melalui kematian dan kebangkitan
Yesus Kristus. Tetapi kita tidak pernah tahu siapa yang akan
diselamatkan, atau iman seperti apa yang akan dihitung atau sejauh
mana anugerah Tuhan bisa merangkul orang yang belum kenal
Kristus. Kita diberitahu bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.7
Kalau ada perbuatan baik, bukan perbuatannya yang menyelamatkan

25
melainkan Tuhan yang akan tahu macam apa imannya yang
dibelakang perbuatan tersebut.

Pak Gerrit menulis bahwa dengan tanda salib tidak ada “in-group”
dan “out-group”. Kalau dimaksudkan adalah bahwa murid-murid
Yesus dipanggil melayani semua orang yang menderita dan tidak
hanya orang dari umat sendiri, saya setuju. Namun cara
mengucapkan ini agak problematis menurut pendapat saya. Di satu
pihak, tanda salib bukan tanda universal yang bisa diterima oleh
semua umat, melainkan tanda penderitaan Yesus Kristus yang khas
Kristen. Pemakaian salib adalah tanda bahwa ini adalah orang atau
tempat yang Kristen dan bukan umat lain. Seandainya seseorang
meletakkan salib di atas mesjid, maka segera akan ada kerusuhan!
Selama sejarah gereja, salib sering dipakai sebagai tanda perang
gereja terhadap musuh gereja, termasuk Perang Salib (Crusades).
Meskipun saya sangat setuju kalau Pak Gerrit mau menafsirkan
kembali tanda Salib sebagai tanda kasih universal dan bukan tanda
perang. Namun, tandanya sendiri bukan tanda universal melainkan
tanda Kristen. Kalau kita ajak umat lain untuk merangkul salib
sebagai tanda universal, kiranya sangat tidak bijaksana. Mungkin Pak
Gerrit akan setuju dengan hal ini, tetapi perlu dijelaskan lagi.

Saya juga sedikit keberatan dengan tulisan yang menyatakan bahwa


dengan salib tidak ada “in-group” dan “out-group”. Dari pendekatan
sosiologis, semua orang punya in-group dan out-group. Semua tanpa
kecuali. Kalau tidak ada in-group dan out-group, berarti tidak ada
solidaritas khusus karena semua orang sama. Hal seperti ini tidak
realistis dan mengingatkan saya tentang lelucon yang menyebut: “I
love humanity; it’s people I hate.” (Saya mengasihi umat manusia,
tetapi membenci rakyat atau orang-orangnya). Kalau orang tidak
mengasihi “in-groupnya” secara khusus, apakah mungkin dia bisa
mengasihi “orang luar”? Apakah ada kasih universal kalau tidak ada
kasih partikular yang berfokus secara khusus kepada orang yang
paling dekat? Selalu akan ada in-group yang termasuk, keluarga,
tetangga-tetangga, suku, umat beragama, kelas sosial/pendidikan
dlsb. Memang kita dipanggil untuk mengasihi orang dari out-group,
termasuk orang asing, orang yang diabaikan, orang yang menderita,
bahkan musuh. Tetapi kalau kita mengasihi orang yang di luar in-

26
group kita (seperti cerita orang Samaria yang baik hati), itu tidak
menghapus perbedaan di antara in-group dan out-group. Kita masih
akan merasa lebih enak bersama orang yang agak mirip dengan kita.
Tanda salib tidak menghapus in-group dan out-group melainkan
melampauinya.

4. Metodologi Dialektis dan Naratif


Salah satu alasan kenapa tulisan-tulisan Pak Gerrit tentang iman dan
politik tidak terkesan sederhana (simplistic), dan jarang terlalu
menggurui (moralistic), adalah karena metodologinya yang dialektis.
Dialektika berarti berjuang untuk sekaligus memegang dua hal yang
kelihatannya bertentangan satu sama lain. Tulisan Pak Gerrit jarang
disampaikan sebagai sustained and consistent, abstract, theoretical
argument. Artinya Pak Gerrit jarang memakai teori linear (satu
garis), yang logis, abstrak, sederhana dan jelas. Dunia manusia,
apalagi dunia politik, jarang sederhana dan konsisten. Oleh karena
itu, tulisan Pak Gerrit sering melompat-lompat: dari teks Alkitab, ke
cerita rakyat, ke masalah sosial masyarakat, ke teologi Asia, ke karya
seni, ke pakar teologi Eropa, ke surat kabar hari ini dllsb.

Metode seperti ini, kalau dilakukan oleh pemikir muda yang belum
ahli, tidak hanya membingungkan tetapi terkesan tidak disiplin dan
kurang bertanggungjawab. Pada tulisan seperti itu tidak ada garis
merah yang secara jelas mengikat semua unsur yang dibahas.
Namun metode seperti ini sangat kuat dalam tangan guru besar
(master) seperti Pak Gerrit. Meskipun melompat-lompat, pikiran
Pak Gerrit sangat logis dan jelas. Semua hal dikaitkan satu sama lain
lewat analogi. Cerita-cerita yang lokal dan partikular diikat satu sama
lain melalui semacam grand narrative yang implisit. Tulisan Pak
Gerrit selalu menarik karena banyak cerita. Ceritanya yang memberi
nuansa dan kompleksitas kepada analisanya. Cerita-ceritanya
menjangkarkan ide pencerahan dan prinsip universal ke dalam
pengalaman orang-orang dan komunitas yang nyata.

Itu tidak berarti semua hal akan dengan mudah disatukan dalam satu
sistem logis. Salah satu kekuatan tulisan Pak Gerrit adalah tidak
memaksa semua hal harus disesuaikan dengan teologi sistematis
tertentu. Memang Pak Gerrit sadar bahwa pikirannya adalah dalam

27
sungai tradisi Calvinis Kristen dan dipengaruhi oleh teologi Asia dan
Amerika Latin. Namun dia tidak merasa terpaksa setuju dengan
Calvin atau teolog siapapun yang lain kecuali (mungkin!), Yesus
Kristus.

Metodologi dialektis Pak Gerrit memungkinkan hal-hal yang sangat


sempit dibahas tetapi dikaitkan dengan implikasi yang sangat luas.
Sesuatu yang sangat partikular, misalnya konsep umat terpilih pada
umat tertentu dalam konteksnya ribuan tahun yang lalu, dikaitkan
dengan persoalan identitas beragama pada masa kini di Indonesia.
Lagi pula, hal yang sangat lokal di Indonesia, seperti hubungan
gereja-gereja di Indonesia dengan suku dan etnisitas, dijelaskan
dengan cara yang relevan dengan dinamika pergumulan identitas
beragama di seluruh dunia. Metode dialektika seperti ini diperkuat
oleh pengalaman Pak Gerrit yang sangat luas. Sebagai teolog kritis
Asia, Pak Gerrit berakar dalam konteks Indonesia tetapi juga
dipengaruhi oleh pendidikannya di Eropa dan pengalaman berdialog
dengan teolog-teolog di Asia dan Amerika. Oleh karena itu,
pemikiran Pak Gerrit bukan ciptaan sendiri ex nihilo, melainkan hasil
dari dialog selama puluhan tahun dengan pakar-pakar teologi dari
seluruh dunia.

Saya sulit mengeritik metodologi dialektika tersebut oleh karena


sangat cocok dengan pendekatan saya sendiri. Namun saya
berusaha. Satu hal yang kadang-kadang kurang memuaskan adalah
tipologi “teologi Asia” yang berlawan dengan “teologi Barat”.
Tipologi ini tidak ekstrim dalam pikiran Pak Gerrit dan biasanya
dipakai sebagai tipe-tipe ideal yang dibahas secara dialektis. Tetapi
kadang-kadang murid-murid Pak Gerrit menyederhanakan dan reify
tipologi tersebut seolah-olah tipologi Timur-Barat adalah kategori
diskriptif abadi. Lebih parah lagi kalau mereka merasa tidak perlu
belajar teologi Barat oleh karena a priori tidak relevan di Indonesia.
Mungkin mereka menyangka ada benturan peradaban (Clash of
Civilizations) Timur-Barat yang primorial dan abadi. Salah satu
penyebab wajar atas pikiran seperti ini adalah pengaruh
poskolonialisme yang berusaha menjauhi teologi Kristen Indonesia
dari teologi penjajah Barat.

28
Namun, bagaimana artinya itu, teologi Asia (atau Timur), yang
bertentangan dengan teologi Barat? Kadang-kadang teologi Timur
dijadikan sama dengan teologi yang disukai oleh penulis Indonesia
dan teologi Barat dianggap semua teologi yang tidak disetujui. Tetapi
segala macam teologi Kristen berada baik di Timur maupun di Barat.
Pada kalangan teolog yang liberal, maka teologi fundamentalis, injili,
karismatik atau pentakosta adalah teologi Barat, sedangkan teologi
ekumenis, teologi pembebasan, teologi konteksual atau teologi
sinkretis adalah teologi Asia. Sebaliknya, pada kalangan teolog yang
konservatif, teologi liberal, ekumenis, pluralis dan teologi
pembebasan adalah penyakit yang diimpor dari Barat! Memang
banyak ide, termasuk ide buruk, diimpor dari Barat. Tetapi kita tidak
bisa menerima atau menolak ide hanya oleh karena asalnya dari
Barat atau Timur.

Pada tulisan dialektis Pak Gerrit, satu tema yang paling menonjol
adalah teologi yang relevan pada konteks Indonesia. Teologi konteks
Indonesia bukan teologi yang dibersihkan dari warisan tradisi teologi
dari luar negeri, melainkan teologi yang kritis dan tidak menerima
begitu saja tradisi atau ide teologi dari mana pun tanpa bertanya
tentang relevansinya dalam konteks Indonesia. Pak Gerrit memakai
hermenutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion), yang
menyadari bahwa teologi tidak hanya selalu terkait dengan konteks
dan pertanyaan yang berasal dari situasi riil, tetapi juga bahwa
teologi selalu terkait dengan ideologi, termasuk ideologi politik dan
ideologi gender. Teologi yang berasal dari Korea, Jerman, Sri
Lanka, Skotlandia, Cina, Amerika Utara, Jepang, Afrika, India,
Amerika Latin ataupun Indonesia seharusnya dikaji secara kritis.
Pak Gerrit siap belajar dari teologi manapun dan tidak membekukan
polarisasi Timur - Barat. Dia juga kurang setuju dengan polarisasi
Eropa-Amerika, seolah-olah gereja ekumenis berasal dari Eropa dan
gereja karismatik dari Amerika. Secara dialektis beliau
mendialogkan ide-ide dari seluruh dunia dengan kenyataan sosial di
Indonesia.

Keterbukaan Pak Gerrit untuk belajar dari aliran-aliran teologi yang


tidak disetujui terlihat pada suatu saat ketika sebagian dari teman-
teman teolog ekumenis kami, sedang mengeluh tentang pengaruh

29
aliran karismatik/pentakostal di Indonesia. Mereka menyatakan
bahwa itu teologi impor dari Amerika yang menyesatkan dan sama
sekali tidak konteksual di Indonesia. Dengan senyum kecil yang
khas, Pak Gerrit membisik kepada saya, “Mungkin kita cemburu
karena mereka bertumbuh cepat. Apakah mungkin aliran karismatis
tersebut lebih konteksual di Indonesia dibandingkan dengan gereja
ekumenis kita? Mereka masih percaya kepada roh-roh, dunia gaib
dan mujizat-mujizat, seperti kebanyakan orang Indonesia, sedangkan
gereja ekumenis sudah menjadi terlalu rasional seperti gereja
reformir Belanda.” Maksud dari cerita ini bukan bahwa Pak Gerrit
setuju dengan teologi gereja karismatik, melainkan bahwa, dengan
pikiran dialektisnya, Pak Gerrit terbuka kepada ide-ide baru dan
tidak terjebak dalam stereotip-stereotip yang mungkin dipengaruhi
oleh kecurigaan ataupun ketakutan. Pikiran dialektis tidak hanya
menerima atau menolak ide-ide tertentu, melainkan
mendialogkannya dengan pendekatan lain.

5. Ahli Biblika yang tidak berhenti dengan Alkitab


Tidak dapat diragukan bahwa Pak Gerrit adalah terutama ahli
Alkitab. Hampir semua tulisan Pak Gerrit dimulai dengan teks
Alkitab, bisasanya Perjanjian Lama. Mahasiswa-mahasiswa Pak
Gerrit tidak salah kalau menganggap pendekatan Pak Gerrit berakar
dalam metodologi historis-kritis. Pendekatannya tidak naïve
melainkan kritis tentang proses sejarah dan konteks sosio-ekonomi-
politik yang mempengaruhi teks-teks yang kita baca.

Saya sendiri tidak selalu setuju dengan pendekatan ini karena


kecenderungan lebih memperhatikan spekulasi para ahli biblika
daripada bergumul dengan isi teks yang kita terima. Meskipun
metodologi historis kritis sangat berharga dan saya juga
memakainya, namun makna teks yang diterima sebagai Kitab Suci
(yang sudah menjadi kanon) lebih berwibawa dibandingkan
spekulasi ahli Alkitab yang sering dipengaruhi oleh rasionalisme
Barat. Ahli Biblika Barat, seperti Rudolf Bultmann atau “Jesus
Seminar”, memakai pendekatan yang meragukan segala sesuatu
dalam Alkitab, kecuali itu bisa dibuktikan melalui cara rasional-
empiris mereka. Menurut pemahaman saya, lebih sesuai dengan iman
Kristen kalau kita menerima teks apa adanya kecuali bisa dibuktikan

30
salah melalui metode rasional-empiris. Dengan kata lain, burden of
proof seharusnya dibebankan kepada orang yang mau rekonstruksi
teksnya dan konteksnya daripada sebaliknya. Kita tidak perlu naif
atau dicap Fundamentalis kalau menerima teksnya pada bentuk
kanonnya, asal kita terbuka kepada bukti kuat bahwa rekonstruksi
teks lebih menerangkan makna dalam teks daripada bentuk
kanonnya. Memang banyak teks Alkitab adalah hasil proses redaksi
selama ratusan tahun dan konteks penulisnya tidak mesti sama
dengan konteks ceritanya.

Salah satu kekuatan, Pak Gerrit adalah tidak pernah melupakan isi
teksnya. Pendekatan historis-kritisnya tidak dipakai sebagai alat
untuk menghancurkan wibawa teksnya melainkan sebagai alat untuk
mencari makna yang sebenarnya dalam konteks kunonya, baik
konteks cerita maupun konteks penulis/redaktornya. Lebih dari itu,
Pak Gerrit selalu mencari makna teks yang bisa menerangkan
konteks kita masa kini.

Sebagai contoh, salah satu mahasiswa pernah ingin menulis tesis


tentang teks tertentu yang paling ekstrim bertentangan dengan tujuan
tesisnya. Caranya adalah dengan kritik historis yang menempatkan
teksnya dalam konteks sangat berbeda dari cerita Alkitab, dengan
asumsi bahwa teksnya hanya adalah alat ideologi untuk
membenarkan penguasa ratusan tahun sesudah cerita teksnya.
Dengan demikian teksnya menjadi semacam contoh cerita negatif
(jahat) yang membuktikan makna terbalik dari maksud teksnya.
Siapa tahu apabila penafsiran teks itu benar atau salah. Tetapi Pak
Gerrit dan saya memberi nasehat yang sama kepada mahasiswanya:
Kenapa tidak memilih teks yang jauh lebih jelas mendukung
pendapat teologi mahasiswanya, daripada teks yang sebenarnya
terbalik dari teologi tersebut? Metodologi dialektis berarti kita bisa
belajar dari berbagai tema dalam Alkitab yang terkait dengan
konteks-konteks yang berubah-ubah selama ribuan tahun. Kita tidak
perlu memaksa teks menyatakan yang terbalik dari makna yang
sebenarnya atau menghancurkan teks yang kurang sesuai dengan
pemahaman kita sekarang.

31
Saya menduga bahwa metodologi yang paling kuat dalam tulisan Pak
Gerrit adalah pendekatan naratif. Cerita-cerita Alkitab dipakai untuk
menafsirkan cerita-cerita masa kini. Alat historis-kritis dipakai
untuk menerangkan cerita-cerita kitab suci supaya menjadi lebih
jelas dan relevan terhadap isu-isu modern. Berbeda dari pakar-pakar
tertentu, Pak Gerrit tidak pernah berhenti dengan tafsiran teks-teks
kuno melainkan memakai ceritanya sebagai alat penafsiran terhadap
persoalan politik modern. Misalnya, Pak Gerrit memakai cerita
tentang konflik di antara nabi Yeremia dan rakyat Yehuda tentang
Bait Suci untuk mengkaji bagaimana kita sekarang ini, seperti rakyat
Yehuda ribuan tahun yang lalu, cenderung mengganti Tuhan yang
Suci dengan tanda atau simbol suci yang dibuat sendiri.8 Akibatnya,
kita menyembah kepada buatan diri sendiri dan kepada institusi
agama kita daripada menaati Tuhan yang menuntut keadilan dan
kasih sayang kepada orang yang tertindas dan menderita.

Metodologi Tafsir Pak Gerrit menjembatani jarak yang sering terjadi


di antara umat Kristen yang Konservatif/Injili/Pentakosta dan umat
Kristen yang Liberal/ Ekumenis/Kritis. Seperti seorang Kristen yang
saleh, Pak Gerrit menghormati teksnya dan berjuang untuk mengerti
maknanya yang paling akurat. Pak Gerrit selalu memperhatikan
makna dan aplikasinya kepada hidup sehari-hari kita sekarang,
termasuk hidup politik. Sekaligus, seperti teolog Liberal, Pak Gerrit
tidak mendekati teksnya secara naïve seolah-olah maknanya
langsung jelas (self-interpreting). Pak Gerrit menghormati bidang
akademik studi Biblika yang memakai pendekatan kritis rasional
untuk menggali makna yang kurang tampak pada bacaan dangkal.
Pendekatan Pak Gerrit memungkinkan seseorang membaca Kitab
Suci dengan akal budi sehat, tanpa kehilangan iman yang mendalam.

6. Pengkajian tentang Budaya Indonesia


Sebagai ahli Biblika yang prihatin dengan persoalan politik, Pak
Gerrit tidak pernah melupakan budaya. Mungkin keahlihannya
sesudah Biblika lebih mengarah kepada antropologi daripada ilmu
politik. Pada zaman ini kita sangat membutuhkan pakar yang mampu
berpikir secara interdisipliner. Memang Pak Gerrit berpikir secara
interdisipliner, tetapi biasanya berpikir tentang budaya sebagai
teolog. Ini berbeda daripada sebaliknya: berpikir tentang teologi

32
sebagai antropolog. Pendekatannya terhadap budaya Indonesia
adalah positif. Pak Gerrit biasanya mulai dengan prasangka positif
bahwa budaya lokal Indonesia adalah baik. Namun pendekatan
positif terhadap budaya Indonesia masih kritis dan dilengkapi dengan
pandangan pragmatis yang menghasilkan pertanyaan pokok: Apakah
budaya dan ritual agama lokal membangun solidaritas, keprihatinan
terhadap kaum lemah dan bela rasa satu sama lain, atau sebaliknya,
mendukung kekuasaan status quo yang cenderung menindas kaum
lemah?9 Pak Gerrit, tidak cenderung menilai budaya berdasarkan
apakah adatnya sesuai dengan ajaran Kristus atau dogma Gereja,
melainkan dengan fungsi politik budaya tersebut.

Dengan demikian, pikiran Pak Gerrit tentang budaya adalah pikiran


politik. Pertanyaannya tentang dua hal yang pokok: Bagaimana
fungsi budaya dalam kekuasaan setempat? Apakah ekspresi
budayanya otentik? Kiranya kalau ritual budaya lokal adalah otentik
(bukan sandiwara untuk turis), dan berguna untuk membangun
solidaritas, Pak Gerrit memandangnya secara positif. Pertanyaan
dogmatis misalnya, “apakah seorang Kristen boleh kesurupan untuk
berkomunikasi dengan leluhur?”, tidak muncul. Kiranya pada saat
ini, prasangka positif tentang budaya lokal dibutuhkan untuk
melawan prasangka negatif-curiga yang keterlaluan dari para
misionaris Barat. Sebagian dari proses membangun teologi
konteksual yang menetapkan identitas Kristen yang terpisah dari
budaya Barat adalah menghargai budaya lokal dan mencari
hubungan di antara budaya lokal dan ajaran Kristus. Kedewasaan
Pak Gerrit dilihat dari pertanyaan kritis terhadap budaya lokal:
apakah itu menindas atau tidak?

Saya sendiri setuju dengan pendekatan positif terhadap budaya lokal


dan kurang setuju dengan pendekatan curiga yang selalu menilai
praktek adat lokal dari pandangan dogmatis teologis. Dengan
demikian saya setuju dengan kritiknya terhadap misionaris asing
yang memakai budaya dan teologi Barat mereka sebagai ukuran
kritis (critical standard) terhadap budaya dan adat lokal. Misalnya,
upacara adat yang menghormati leluhur atau nenek moyang yang
mendirikan desanya tidak harus ditafsirkan sebagai berhala.
Mungkinkah rakyat - yang percaya bahwa banyak roh nenek moyang

33
masih berada di tengah kita dan mempengaruhi hidup sehari-hari kita
- itu lebih dekat dengan dunia Palestina pada masa Yesus Kristus
dibandingkan dengan dunia misionaris Barat?

Namun, saya sedikit ragu-ragu apabila penilaian adat lokal menjadi


terlalu pragmatis, etis dan politis. Apakah kita tidak boleh menilai
adat lokal dari pandangan teologi dan dogmatis juga? Memang Pak
Gerrit kritis terhadap budaya kalau praktek-prakteknya menindas
kaum yang lemah, tetapi ini hal yang rumit. Siapa yang menilai?
Apakah penilaian etis terhadap praktek lokal seperti poligami,
membungkus kaki perempuan (foot binding) atau persembahan
kepada Ratu Kidul, juga memerlukan refleksi teologis? Saya kira
penilaian etis tentang apabila sesuatu adalah adil atau menindas
selalu terkait dengan prasangka dan pandangan dunia yang tidak bisa
dilepaskan dari pertanyaan teologis tentang apa yang riil dan benar.10
Saya setuju dengan Pak Gerrit yang menilai legenda dan mitos dari
makna etisnya yang mendalam, daripada dari pertanyaan empiris.
Namun saya kira penilaian etisnya tidak bisa dilepaskan dari
pandangan dunia yang juga mengandung pertanyaan
filosofis/teologis tentang apa yang benar (truth question).

7. Kesadaran tentang Minoritas tanpa “Minority Complex”


Salah satu masalah Gereja di Indonesia adalah “minority complex”,
yaitu sikap psikologis bahwa umat Kristen adalah bagian kecil dari
masyarakat Indonesia yang dikelilingi oleh umat Islam yang sangat
besar. Perasaan minoritas bisa menimbulkan rasa takut oleh karena
kesadaran bahwa umat lain sangat berkuasa dan tidak tentu senang
dengan keberadaan umat Kristen di tengah-tengah mereka. Perasaan
seperti ini bukan tidak beralasan oleh karena memang umat Kristen
kecil dan tidak jarang mengalami diskriminasi. Pada tempat tertentu
di Indonesia umat Islam bertekad tidak mengizinkan umat selain
Islam tinggal di sana. Kadang-kadang gereja diserang dan/atau tidak
diizinkan membangun tempat beribadah. Masih juga ada pengalaman
traumatis dari masa transisi, masa Reformasi sesudah Presiden
Soeharto dilengserkan dan terjadi kerusuhan masal yang pada tempat
tertentu menuju perang saudara di mana umat Muslim dan umat
Kristen saling menyerang.

34
Sikap psikologi umat Kristen sebagai kaum minoritas yang tertindas
menimbulkan beberapa masalah. Sikap takut menguatkan perpisahan
satu umat dengan yang lainnya. Sikap takut membuat orang bodoh.
Orang takut lebih mungkin memusuhi pihak yang ditakuti.
Ketakutan membuat orang menjauhi satu sama lain. Secara ironis
ketakutan bisa menimbulkan tindakan-tindakan yang ditakuti, yang
sebenarnya tidak perlu terjadi. Sikap minoritas dan rasa tertindas
menimbulkan kecurigaan yang berlebihan. Akibatnya, stereotip-
stereotip negatif terhadap “mereka” digeneralisir sampai semua
orang dari umat lain dipandang negatif. Orang-orang dengan sikap
minoritas tertindas merasa tidak berdaya, tidak berkuasa. Terkadang
mereka berjuang keras untuk memiliki kekuasaan politik dengan
asumsi kalau mereka menjadi berkuasa mereka akan aman. Mereka
menghitung seberapa aman umatnya dari seberapa warga Kristen
yang menjadi Menteri, atau Gubernur atau penguasa lain. Kalau
mereka merasa tertekan, mereka balik menekan kembali. Hasilnya
bisa terjadi perang.

Salah satu ciri yang indah dalam tulisan Pak Gerrit adalah bahwa dia
tidak pernah memberi tanda “minority complex”. Sikap keterbukaan
Pak Gerrit kepada umat lain cukup luar biasa oleh karena dia pendeta
GPIB yang melayani dan bertugas seumur hidup dalam lingkungan
institusi-institusi Kristen. Sikap politik Pak Gerrit terhadap umat
Islam adalah bahwa mereka adalah mitra Gereja dalam misinya
melawan ketidakadilan, kekerasan, korupsi, kerusakan lingkungan,
dlsb. Misi Gereja di Indonesia tidak bisa dilaksanakan tanpa bekerja
sama dengan umat Islam. Umat Islam sangat besar di Indonesia,
lebih dari 200 juta orang, dan masalah-masalah sosial tidak mungkin
dihadapi oleh Gereja sendirian.

Pak Gerrit sadar bahwa Gereja adalah minoritas kecil dan umat Islam
berkuasa dalam negara tercinta ini. Tetapi Pak Gerrit juga sadar
bahwa umat Islam, sama seperti umat Kristen, tidak monolitik.
Islam di Indonesia sangat beraneka ragam. Oleh karena itu, maka
sikap bahwa umat Kristen harus melawan umat Islam adalah salah.
Mayoritas dari umat Islam tidak memusuhi Gereja melainkan
menghormati umat Kristen dan juga memperjuangkan hubungan
lintas agama yang harmonis dan adil. Itu sebabnya Pak Gerrit punya

35
kesadaran bahwa umat Kristen adalah minoritas tetapi tidak harus
bersikap “minority complex”.

Kesadaran gereja sebagai minoritas berarti kita harus rendah hati dan
tidak memaksa agenda Kristen yang kalau kurang disetujui oleh
mayoritas. Tetapi kerendahhatian tidak sama dengan takut atau tidak
berdaya. Umat Kristen juga besar, sekitar 25 juta orang yang
beragama Kristen. Umat bisa menjadi “creative minority” yang juga
memberi kontribusi kepada masyarakat luas. Pak Gerrit sadar tentang
keterbatasan Gereja yang tidak mungkin menjadi “penyelamat”
Indonesia, apalagi kalau bermusuhan dengan umat Islam. Misi
Gereja termasuk rekonsiliasi, perdamaian, keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Rekonsiliasi dibutuhkan, baik satu sama
lain dan juga dengan Tuhan. Dengan demikian Gereja dipanggil
bersaksi atas kasih Tuhan dalam Yesus Kristus. Kesaksian tersebut,
menurut Pak Gerrit, harus berani tetapi tidak sama dengan
Kristenisasi.

C. Kesimpulan: Kebajikan seorang Guru


Pak Gerrit sering kali kritis, berani dan tajam dalam analisisnya, baik
terhadap umat Kristen maupun kepada umat lain yang menginjak-
injak hak asasi manusia golongan yang lemah. Tetapi Pak Gerrit juga
nampak rendah hati dan tidak triumfalistik. Kesadaran tentang
keterbatasan manusia berarti tidak cepat menghakimi orang lain. Pak
Gerrit tidak hanya berkhotbah tentang sikap-sikap yang baik tetapi
juga menghayatinya dan menjalankannya secara konsekuen. Seperti
semua orang, Pak Gerrit bukan orang sempurna dan tidak pernah
merasa seperti pahlawan. Saya teringat kutipan dari George
MacDonald yang kurang lebih berbunyi: Seseorang yang mau
menjadi pahlawan sulit menjadi manusia yang sejati. Tetapi
seseorang yang mau menjalankan tugasnya sudah menjadi manusia
yang sungguh-sungguh.11 Pak Gerrit sudah puluhan tahun setia
menjalankan tugasnya.

Satu ciri dari seseorang yang bijaksana dan sadar tentang kenyataan
minoritas tanpa perasaan rendah diri adalah sebuah pengharapan.
Tulisan Pak Gerrit selalu mengandung pengharapan. Makin tajam
kritiknya terhadap Gereja, masyarakat Indonesia, teks Alkitab atau

36
neokolonialis Barat, makin jelas kebajikan pengharapan nampak.
Pengharapan tidak sama dengan optimisme. Kadang-kadang saya
kira Pak Gerrit merasa pesimis tentang kemungkinan akan terjadinya
perubahan yang diharapkan. Mungkin karena itu salah satu bagian
Alkitab yang paling disukai adalah Pengkhotbah yang di dalamnya
ada ayat yang berbunyi, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa
yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di
bawah matahari.”12

Pengharapan tidak sama dengan optimisme karena optimisme adalah


emosi yang bisa muncul atau hilang tergantung situasinya.
Optimisme juga tergantung prediksi yang tidak pernah pasti. Tidak
ada orang yang tahu masa depan. Perasaan optimisme atau
pesimisme sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang,
misalnya apakah dia melankolis atau sanguin. Tetapi harapan adalah
anugerah dan kebajikan (virtue), yang diberi oleh Tuhan dan
dibangun melalui latihan dan pengalaman. Pengharapan berarti
seseorang masih siap berjuang untuk masa depan yang lebih baik.
Pengharapan bukan kebalikan dari keputusasaan melainkan
kebalikan dari sinisisme. Pengharapan memungkinkan seseorang
tetap berjuang meskipun dia pesimis terhadap masa depan.
Pengharapan berakar kepada iman yang percaya bahwa Tuhan masih
berdaulat. Dunia ini tidak ditinggalkan oleh Tuhan dan kita masih
bisa berharap pada masa depan meskipun hari ini nampak sangat
gelap.

37
Endnote
1
Reinhold Niebuhr, Christianity and Power Politics (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1940), h. 14.
2
Markus 8:35. Bandingkan Matius 10:39; Lukas 17:33; Yohanes12:25.
3
Gerrit Singgih juga mengajar dalam lingkungan Katolik (misalnya
Universitas Sanata Dharma) dan Muslim (misalnya Universitas Gadjah
Mada dan ICRS-Yogya), namun tugas pokoknya di Fakultas Teologi,
Universitas Kristen Duta Wacana.
4
Matius 28:19-20. “...pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku... dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu.”
5
Matius 22:37-39. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu...
dan hukum kedua yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri.”
6
Matius 25:31-46. Inilah kisah Yesus tentang Penghakiman Terakhir di
mana orang dinilai bukan apabila mereka kenal Yesus, melainkan dari
perbuatannya terhadap orang lemah. “Sebab ketika Aku lapar, kamu
memberi Aku makan...” (ayat 35)
7
Lihat Surat I Yohannes 1-5.
8
Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 107-125.
9
Ibid., h. 75.
10
Lihat Bernard Adeney-Risakotta, “Iman dan Adat” (unpublished paper,
2004). Bandingkan H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York:
Harper & Brothers, 1951)
11
George MacDonald Anthology, edited by C. S. Lewis. Bahasa Inggrisnya:
“He who would be a hero is scarcely a man, but he who would be but a
doer of his work is sure of his manhood.”
12
Pengkhotbah 1:9.

38
Emanuel Gerrit Singgih:
Teolog Kontekstual
J.B. Banawiratma

Sudah sejak lama Pak Gerrit menerbitkan tulisan dari usahanya


berteologi kontekstual (1982). Beberapa studi mengenai Emanuel
Gerrit Singgih kita temukan antara lain dalam bentuk tinjauan buku
(Hauw 2002), artikel (Drewes 2005), skripsi (Bungin 2009) maupun
disertasi (Mojau 2005). Tulisan berikut ini tidak akan membahas
karyanya maupun studi yang sudah dilakukan mengenai karyanya,
melainkan lebih merupakan sebagian dari catatan perjalanan bersama
dia. Pertemuan saya dengan Pak Gerrit yang pertama terjadi pada
waktu kami bersama-sama belajar bahasa Yunani di Sekolah Tinggi
Theologia Duta Wacana Yogyakarta tahun 1973. Pertemuan itu
berkembang menjadi pertemanan, persahabatan dan kolega sampai
sekarang ini. Di sini saya ingin menceriterakan salah satu hal yang
saya alami dan saya lihat dalam perjalanan bersama Pak Gerrit
sebagai teolog kontekstual. Pernah dalam suatu seminar kami
bersama-sama diundang, dan di situ Pak Gerrit mengatakan agar lain
kali kalau mengundang Bono jangan mengundang Gerrit, karena
kami sama saja, jadi diskusinya kurang ramai. Dengan mengingat
kata-kata itu saya sedikit kuatir jangan-jangan apa yang saya katakan
mengenai Pak Gerrit merupakan ceritera diri saya sendiri. Meskipun
demikian saya akan mencoba untuk sejauh mungkin mengambil
distansi dari diri saya dan sedekat mungkin melihat yang ada pada
Pak Gerrit.

Berteologi kontekstual selalu terjadi dalam konteks. Salah satu cara


menentukan konteks adalah siapa yang disapa oleh teologi itu. David
Tracy (1991:3-46) misalnya melihat teologi sebagai percakapan
publik. Publik yang disapa adalah masyarakat, dunia akademis, dan
Gereja (bdk. Schreiter 2001:60-63). Tentulah tiga konteks ini saling
berhubungan, namun pembedaan tiga audiens itu dapat membantu

Profesor Teologi di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta.


39
untuk melihat sumbangan Pak Gerrit dalam teologi kontekstual, yang
berhubungan dengan dunia akademis, Gereja dan masyarakat.

1. Dalam Konteks Dunia Akademis


Hanya 2 tahun Pak Gerrit bekerja sebagai Pendeta Jemaat. Sesudah
itu hampir 25 tahun dia bekerja di dunia akademis, dalam jabatan
strutural sebagai Dekan Fakulas Theologia, sebagai Direktur Pasca
Sarjana dan sebagai teolog, yang mengajar, meneliti dan menulis
serta menyumbangkan keahliannya dalam masyarakat. Selain
berkegiatan di Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana,
Pak Gerrit juga terlibat pada usaha-usaha pembaharuan kurikulum
teologi melalui PERSETIA (Perhimpunan Sekolah Theologia di
Indonesia) dan SEAGST (South East Asian Graduate School of
Theology). Dengan demikian dalam bebagai level dia ikut
menentukan orientasi teologi macam apakah yang perlu dikem-
bangkan secara akademis.

Pada tahun 2005 Pak Gerrit mengucapkan Pidato pengukuhan Guru


Besar Ilmu Teologi dengan judul “Ex Nihilo Nihil Fit: Sebuah
Tafsiran Kejadian 1:1-3” (terbit dalam Singgih 2009:206-249). Di
situ dia menyapa dunia akademis tafsir Perjanjian Lama sekaligus
teologi sistematik untuk memikirkan ulang ajaran yang biasanya
dikatakan mengenai creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan). Ex
nihilo nihil fit (dari ketiadaan tidak suatupun terjadi/tercipta)
mencerahkan pemikiran mengenai makna iman akan kedaulatan
Allah, akan kaos, dan akan hati manusia serta akan kejahatan. Pidato
ini jelas ditujukan kepada kalangan akademis. Hal itu tampak dari
cara mempertanggungjawabkan tafsiran antara lain dengan
menelusuri teks asli Alkitab dan banyak berdiskusi dengan para
penafsir lain.

Dengan sikap yang sama Pak Gerrit menafsirkan kitab Pengkhotbah


(Singgih 2001) dan mengambil sikap kritis terhadap “struktur
pemikiran teologis dominan yang telah membekukan iman dan tidak
memberi kesempatan sedikit pun pada pemikiran teologis yang
bersifat alternatif” (2001:230). Sikap kritis terhadap hasil-hasil tafsir
beserta refleksinya ini memperlihatkan Pak Gerrit sebagai teolog
professional yang mau terus-menerus memberikan kontribusi

40
terhadap perkembangan dunia akademis teologi. Dalam tradisi
Kristen Roma Katolik misalnya, tanpa pemikiran-pemikiran kritis
dunia akademis teologis tidak bisa dibayangkan akan terjadi
pembaharuan yang tercetus dalam konsili Vatikan II (1962-1965).
Dunia akademis yang disapa Pak Gerrit tidak berhenti pada dunia
tafsir dan teologi, melainkan juga ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu Pak
Gerrit memandang penting untuk terlibat dalam kelompok studi dan
diskusi para dosen yang berkumpul dalam “Masyarakat Yogyakarta
untuk Agama dan Ilmu”. Dunia akademis ilmu teologi tidak terpisah
dari ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu eksakta. Dengan kata lain dunia
pergumulan di bidang tafsir dan teologi dijalankan secara lintas
bidang dan lintas ilmu. Tidak mengherankan kalau dia sebagai ahli
tafsir Alkitab pernah juga mengampu mata kuliah filsafat dan
kewarganegaraan, menggumuli masalah-masalah sosial dari
perspektif teologi.

2. Dalam Konteks Gereja


Apa yang digumuli dalam konteks akademis bermakna juga bagi
Gereja dengan menggumuli masalah-masalah sehubungan dengan
kenyataan dan orientasi Gereja sekarang ini. Rasanya tepat sekali
interpretasi Pak Drewes (2005:121), bahwa

Dalam konteks gereja di Indonesia menjadi jelas bahwa Singgih


memilih (senada dengan Kohelet!) suatu posisi kritis terhadap
ortodoksi tradisional dan terhadap formalisme penghayatan agama
banyak (atau kebayakan?) orang.

Ortodoksi atau ajaran yang benar berbentuk rumus yang dirumuskan


oleh orang atau komunitas tertentu pada tempat dan waktu tertentu.
Dengan kata lain, rumusan ajaran itu selalu kontekstual. Maka orang
yang secara kaku hanya berpegang pada rumus sebenarnya berada
dalam arah yang tidak ortodoks. Misalnya sola scriptura dirumuskan
oleh Martin Luther dan gerakan Reformasi awal dalam konteks kritik
terhadap praktek hidup Gereja yang sangat memprihatinkan,
terutama para pemimpin Gereja, yang sebenarnya sudah cukup lama
direaksi oleh bermacam-macam kritik dan usaha perbaikan. Kritik
terhadap praktek hidup Gereja itu menyangkut juga praktek
berteologi skolastiknya yang kurang relevan lagi. Kalau kemudian
sola scriptura dilepaskan dari konteksnya dan dipegang sebagai
41
rumusan kaku, dapat saja dihayati dalam praktek misi sebagai
legitimasi untuk membabat semua kebudayaan yang menjadi alamat
pemberitaan Injil dengan alasan bahwa semua itu tidak sesuai dengan
Alkitab. Kesetiaan terhadap ortodoksi menuntut kesadaran
kontekstual dan diskusi inter-kontekstual. Tidak mengherankan kalau
Bevans (2002:1-26) mengatakan bahwa teologi kontekstual
merupakan sebuah imperatif teologis.

Penghayatan ortodoksi yang berhenti pada rumusan mudah menjadi


satu dengan formalisme, yaitu praktek hidup yang secara formal
sesuai dengan rumus atau aturan. Penghayatan iman dan agama yang
mendalam memerlukan kesadaran dan pergumulan kontekstual.
Orang yang mengaku ortodoks karena berpegang pada rumus secara
kaku dan mempersalahkan orang lain karena menggunakan rumusan
baru (yang kontekstual) sebenarnya tidak berada dalam ortodoksi,
melainkan dalam arah formalisme (hanya bentuknya saja) atau
verbalisme (hanya rumusan kata-kata saja).

Secara menarik Pak Gerrit menggumuli teks-teks dalam konteks


sekarang ini. Pada pergumulan itu terasa bahwa teks Perjanjian Lama
bukanlah Firman Allah di luar konteks. Konteks dimengertinya
dalam dua arti. Dalam arti sempit diartikan sebagai teks yang menda-
hului atau menyusuli suatu teks atau perikop. Dalam arti luas konteks
“adalah latar belakang, wawasan-wawasan mengenai pandangan
hidup fundamental masyarakat, baik yang tradisional maupun yang
modern” (2002:38). Jadi kon-teks dimengerti sebagai teks dan
sebagai masyarakat yang menyertai. Jemaat di sini sekarang ini
mendengarkan Firman Allah melalui teks Alkitab, melalui dialog
secara kritis terus menerus dengan orang dan komunitas yang mela-
hirkan teks-teks. Dalam hal ini seperti Kwok Pui-lan, Pak Gerrit
memperlakukan Alkitab Ibrani sebagai suatu “sumber religius umat
manusia yang penting untuk menyinari kemampuan manusia untuk
mencintai, untuk berjuang, untuk bertobat dan untuk bersorak dalam
kegembiraan” (1995: 89). Berdialog dengan sumber religius itu
manusia masa kini dibantu untuk mendengarkan Frman Allah. Dari
situ penafsir mendapatkan makna yang mendalam secara
kontekstual, agar suara Firman Allah didengarkan dan menyegarkan
penghayatan iman Gereja.

42
Sebagai teolog Gereja tidak mungkin tidak menyampaikan visi
mengenai Kristus yang menjadi dasar hidup Gereja. Kristus macam
apa? Julianus Mojau menggambarkan dengan tepat, bagi Pak Gerrit
dalam konteks Gereja sekarang ini, “Yesus Kristus adalah Mesias-
Hamba yang mendasari identitas kekristenan” (Mojau 2004: 370).
Tafsirannya terhadap Markus 1 – 3 misalnya memperlihatkan hal ini.

Sikap seperti sikap Yesus yang mendahulukan si lemah dan si


buruk rupa memang tidak sesuai dengan kecenderungan
masyarakat di dalam zaman manapun: masyarakat selalu
cenderung mendahulukan yang kuat dan elok. Maka pelayanan
yang benar adalah pelayanan yang melawan kecenderungan
mendahulukan yang kuat dan elok, dan sikap seorang pelayan yang
benar adalah seperti sikap Yesus tersebut” (2006:6).

Pastilah hubungan Pak Gerrit sebagai teolog dengan Gereja sebagai


konteksnya paling jelas dan langsung terjadi pada waktu berkotbah
maupun berceramah pada pertemuan-pertemuan gerejani. Di situ lagi
dan lagi disampaikan undangan terhadap jemaat-jemaat untuk hidup
mengikuti Mesias-Hamba sebagai hamba Allah (Ebed Yahweh,
Abdullah).

3. Dalam Konteks Masyarakat


Keterlibatan Pak Gerrit dalam masyarakat secara langsung terjadi
terutama sewaktu dia menjadi Ketua Pusat Pengabdian pada
Masyarakat dari Fakultas Theologia UKDW. Namun perlu diingat
bahwa, kategori dunia akademis, Gereja, dan masyarakat bukanlah
kategori-kategori terpisah-pisah. Apa yang diusahakan secara
akademis diharapkan berguna bagi Gereja. Teologi dan Gereja
mempercakapkan masalah-masalah masyarakat dan mendorong
gerakan yang menggulirkan perubahan yang diperlukan. Pak Gerrit
mempercakapkan masalah-masalah masyarakat yang membutuhkan
perhatian, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan (termasuk keti-
dakadilan jender), penderitaan, ekologi, hubungan antar umat ber-
agama, dan hak asasi manusia. Sebagai anggota komunitas
Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT)
dapat diduga bahwa teologi Pak Gerrit mengandung dimensi
liberatif, feminis, dan ekologis.
43
Julianus Mojau (2004) melalui pendekatan kritik ideologi, dengan
tepat tidak memasukkan Pak Gerrit dalam kategori teolog sosial
modernisme, melainkan ke dalam kelompok teolog sosial liberatif
(210-235) dan ke dalam teolog sosial pluralis (360-377). Sebagai
teolog sosial liberatif Pak Gerrit mengembangkan pemikiran
mengenai Gereja sebagai komunitas iman Hamba Tuhan yang
membebaskan. Komunitas ini menghayati spiritualitas liberatif dan
mengembangkan solidaritas yang liberatif-rekonsiliatif. Sebagai
teolog sosial pluralis Pak Gerrit mengangkat gagasan komunitas
iman umat pilihan sebagai minoritas kreatif, yang rendah hati dan
dialogis, yang mendasarkan hidupnya pada Yesus Kristus Mesias-
Hamba.

Spiritualitas liberatif tidak hanya berhubungan dengan aksi atau


praktek pembebasan, melainkan mengandung unsur kontemplatif.
Praxis adalah aksi dan kontemplasi. Pak Gerrit menimba unsur
kontemplatif ini terutama dari komunitas kontemplatif ekumenis
yang didirikan oleh seorang Pembaharu Calvinisme, yaitu Frère
Roger Schutz di Taizé, Perancis. Komunitas ini juga telah menjadi
inspirasi bagi para aktivis muda yang berdatangan dari seluruh
penjuru dunia.

Kepedulian kontekstual sehubungan dengan audiens masyarakat di


Indonesia bagi Pak Gerrit berarti juga “menghayati iman Kristen
dalam rangka hidup bersama umat Islam” (2001b:158-161).
Penghayatan semacam itu juga dirasakan oleh para mahasiswa Islam
yang suatu saat berani minta kepada Pak Gerrit untuk mengadakan
acara buka puasa. Dalam konteks hidup bersama dengan umat Islam
ini Pak Gerrit mengajak untuk meninggalkan teologi yang mono-
kristosentrik, yang menghilangkan Bapa dan Roh Kudus. Pola
berteologi kita semestinya Trinitaris-Teosentrik, di mana
Teosentrisme dapat berdampingan dengan Kristosentrisme dan
Pneumatosentrisme.

Barangkali kita bisa menghindari penggunaan sentrisme-sentrisme


itu dengan mengatakan bahwa pola teologi kita adalah monotheis-
trinitaris. Saya sendiri pernah (1994, 1997) membuat tulisan kecil

44
mengenai hal ini, dengan mengusahakan teologi dan penghayatan iman
yang tidak berpangkal pada ungkapan dalam bentuk kata benda
“Dogma, Trinitas, Unitas”, melainkan bergerak dengan pola kata sifat
“Alkitabiah, Monotheis, Trinitaris”. Berteologi, dengan demikian, tidak
digambarkan dengan membuat rumusan-rumusan jelas logis matematis
mengenai pokok-pokok iman, melainkan lebih dekat dengan pekerjaan
seniman yang imaginatif dan kreatif. Bukan saja pandangan yang
dikritik Pak Gerrit (Singgih 2001:162) tentang “Allah adalah Yesus”,
melainkan juga gambaran bahwa “Allah Bapa = (+) Allah Anak = (+)
Allah Roh Kudus = 1 (satu)”, tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara teologis-alkitabiah dan juga kurang membantu penghayatan
iman dan doa umat.
Tradisi kristiani tidak pernah membicarakan Bapa, Anak dan Roh
Kudus sebagai pengajaran mengenai dua atau tiga Allah, melainkan
mengenai Allah Mahaesa (monotheis), mengenai Allahnya Abraham.
Sebutan-sebutan yang dikenakan pada Yesus oleh tradisi kristiani
sering menimbulkan pertanyaan mengenai keesaan Allah, tidak
hanya dari kalangan luar Gereja, melainkan juga dari kalangan
Gereja sendiri. Perumusan dogma mengenai Trinitas mengungkapkan
pemahaman Gereja mengenai satu Allah (monotheis) berdasarkan
pengalaman akan peristiwa Yesus, suatu pengungkapan iman
kontekstual yang terjadi dalam perjumpaan dengan konteks Hellenis
waktu itu. Yang diungkapkan dalam dogma itu adalah kesaksian iman
Alkitab, yakni iman akan satu Allah, dengan mengikuti atau menempuh
Jalan Yesus Kristus, dalam daya kekuatan Roh Kudus yang bekerja
dalam manusia dan dunia. Yesus merupakan mediasi antara manusia
dan Allah. Mediasi itu benar-benar menghubungkan kalau menyentuh
manusia (manusiawi) dan menyentuh Allah (ilahi). Salah satu sebutan
untuk mediasi itu adalah Firman Allah, yang dalam tradisi Kristiani
menunjuk Yesus dan dalam tradisi Islam menunjuk AlQur’an.

Dengan menggunakan paradigma mediasi (Firman Allah) yang bersifat


ilahi sekaligus manusiawi itu, iman Kristiani akan Allah Tritunggal, (1)
Bapa - (2) Yesus/Anak - (3) Roh Kudus, dapat disejajarkan dengan iman
Islam: (1) Allah, (2) AlQur’an dan (3) Daya kekuatan Allah yang yang
hadir dan bekerja dalam manusia dan dunia. Penyejajaran ini tidak
bermaksud menyamakan. Pastilah bahwa bagi jemaat Kristiani Yesus
tidak bisa disamakan dengan AlQur’an, dan bagi umat Islam AlQur’an

45
tidak bisa disamakan dengan Yesus. Di sini saya juga tidak bermaksud
untuk membandingkan isi dari setiap unsur iman, melainkan untuk
memperlihatkan pengalaman hubungan manusia dengan Allah melalui
mediasi yang manusiawi sekaligus ilahi. Dengan demikian saya harap
umat Kristiani dapat mengkomunikasikan imannya yang monotheis
sekaligus trinitaris secara lebih dapat dimengerti. Sekaligus diharapkan
juga bahwa pemahaman ini dapat lebih membantu jemaat dalam hidup
doa. “Kami berdoa kepada Allah (Bapa), dalam (daya kekuatan) Roh
Kudus, dengan perantaraan (mediasi) Yesus”. Kiranya diagram berikut
ini memperjelas pertimbangan-pertimbangan ini.

ALLAH
Yang Maharahim, penuh bela rasa dan belas kasih
Yang Mahakuasa dan Mahabesar

(Yesus) FIRMAN ALLAH (AlQur’an)


(Dabar, Logos, Kalimah)

MANUSIA
mendengarkan, mengucapkan dan mengikuti Firman Allah
oleh
DAYA KEKUATAN ALLAH
DALAM MANUSIA DAN DUNIA

Apa yang saya kemukakaan ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Pak Gerrit:

Yesus adalah jalan, tetapi dengan demikian Ia bukanlah tujuan


terutama, sebab Ia adalah jalan menuju sang Bapa, seperti yang
disaksikan oleh Injil Yohanes. Penghayatan terhadap sesembahan
kita yang bersifat Teosentrik merupakan penemuan kembali
(rediscovery) Teosentrisme yang terdapat dalam dasar-dasar iman
kita sendiri” (2001:161)

46
Paradigma mediasi rupanya juga lebih sesuai dengan pengembangan
dialog teologis dalam kerangka paradigma holistik. Semuanya
mempunyai peran dalam keseluruhan, satu sama lain saling memper-
kaya, namun tidak bisa dikatakan semua sama saja. Dari yang
berbeda-beda itu terdapat titik temu. Tidak semua dianggap sebagai
sama-sama benar, namun yang kurang atau tidak benar di tengah-
tengah sejarah ini mempunyai peran dalam transformasi, dalam
gerak pembebasan menyeluruh menuju kepenuhan utuh dari
semuanya (makna kaos?). Kristologi dapat berkembang menuju
refleksi yang liberatif, kosmik-holistik.

4. Teolog Kontekstual Macam Apa?


Setelah melihat ketiga audiens di atas, kita bisa bertanya teolog
kontekstual macam apakah Pak Gerrit itu. Salah satu cara untuk
menggambarkan adalah dengan melihat macam-macam model
teologi kontekstual yang ada, misalnya sebagaimana sudah
dideskripsikan oleh Stephen B. Bevans (2002).

4.1. Model-model:
Cara mempertemukan pengalaman masa kini dan
pengalaman masa lampau

Dalam edisi kedua dari bukunya Model-model Teologi Kontekstual


(2002), Bevans memahami teologi kontekstual sebagai

ihwal yang secara sungguh-sungguh mengindahkan dua hal:


pengalaman masa lampau (yang terekam dalam Kitab Suci dan
diwariskan serta dipertahankan dalam tradisi), dan pengalaman
masa kini, yakni konteks (pengalaman individual dan sosial,
kebudayaan sekular atau religius, lokasi sosial serta perubahan
sosial) (Bevans 2002:xxi).

Bevans menggunakan istilah “model” tidak dalam arti gambaran-


gambaran simbolis seperti diunakan oleh Ian G. Barbour, Avery
Dulles, dan Sallie McFague, melainkan dalam arti model-model
operasional yang menyangkut metode teologis. Setiap model
menampilkan suatu cara berteologi tertentu, dengan konteks tertentu
serta titik tolak teologis khas dan pengandaian-pengandaian teologis
yang khas pula. (Bevans 2002:58).
47
Sebuah model – dalam arti yang paling sering digunakan dalam
teologi – adalah apa yang disebut sebagai model teoretis. Ia adalah
sebuah “kasus” yang berguna untuk menyederhanakan sebuah
realitas yang majemuk lagi rumit, dan walaupun penyederhanaan
semacam itu tidak secara penuh menangkap realitas tersebut,
namun ia sungguh-sungguh menghasilkan pengetahuan yang benar
tentangnya. Model-model teoretis bisa saja bersifat eksklusif atau
paradigmatik, atau inklusif, deskriptif, atau komplementer
(Bevans 2002:57).

Ada model apa saja? Bevans menyebut 6 model, yakni model budaya
tandingan, model terjemahan, model sintesis, model praxis, model
transendental, dan model antropologis. Model-model sebagaimana
digunakan oleh Bevans adalah model-model teoretis yang bersifat
inklusif atau deskriptif. Model-model teologi kontekstual merupakan
cara berfikir yang lebih jelas mengenai interaksi antara pesan Injil
dengan kenyataan hidup aktual masa kini atau konteks. Kesaksian
tradisional masa lampau dihargai sekaligus perubahan sosial
ditanggapi. Itulah sumbangan darti model-model.

Kekurangan dari penggunaan model-model ini sudah diuraikan juga


oleh Bevans, yang memberikan penelaian kritis secara positif
maupun negatif terhadap setiap model. Setiap model selalu terbatas
dan tidak mungkin menampung segala yang ada pada pemikiran
teologis seseorang. Model sebagai cara berfikir dan cara berteologi
yang satu dalam hal tertentu bisa sejalan dengan yang lain. Misalnya
saja dalam model Bevans itu tradisi profetik dimasukkan ke dalam
model praxis dan model budaya tandingan. Juga anggapan bahwa
Alkitab dan tradisi dikondisikan secara kultural dimasukkan ke
dalam model antropologis, model praxis, dan model sintesis.

Masalah yang perlu diperhatikan dalam upaya berteologi kontekstual


adalah hubungan antara yang partikular dan yang universal. Teologi
kontekstual tidak mengaplikasikan rumusan universal dalam konteks
partikular, melainkan menggumuli masalah lokal (partikular) dalam
keterbukaan dialog dengan semua orang (universal) dengan harapan
pada gilirannya mempunyai makna bagi komunitas lokal (partikular)
maupun bagi semua orang (universal). Teologi kontekstual yang

48
mempunyai horison universal tidak bisa meninggalkaan dialog
dengan komunitas masa lampau dan masa kini, dengan komunitas
lintas Gereja maupun lintas Agama. Teolog seperti itu hidup dalam
sensus fidelium (rasa umat beriman), dan dengan demikian tidak
mengclaim sebagai yang paling benar secara tertutup. Sikap Pak
Gerrit yang terbuka dalam dialog dengan warisan-warisan masa
lampau dan dengan kenyataan masa kini kelihatan misalnya dalam
refleksinya sehubungan dengan ajaran Calvin.

Terhadap warisan Calvin ini saya mau mengusulkan penambahan


ide umat terpilih yang melayani dunia. Atau dengan kata lain,
menjalankan ajaran Calvin tetapi dengan menyorotinya di bawah
terang pesan hamba Tuhan di dalam Kitab Yesaya.”… “Sebab di
dalam Kitab Yesaya kita melihat bagaimana ideal yang mau
dikejar itu diperjuangkan dalam relasi dengan orang lain, dengan
dunia dan bukan hanya bagi diri sendiri (2000b:141).

4.2. Model Sintesis?


Pada awal semester 2009 Pak Gerrit menulis pengantar PA yang
mengambil bahan Nehemia 1:5-11. Nehemia berhasil membangun
tembok perlindungan bagi Yerusalem. Terhadap “teologi tembok”
Nehemia, dia mengatakan:

Yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang pada masa kini di zaman


pergaulan antar agama di Indonesia adalah sebuah “teologi
jembatan”. Tetapi saya mengerti bahwa bukan hanya pada zaman
Nehemia, tetapi juga pada masa kini orang masih sangat
mengidentikkan tembok dengan identitas, sehingga kalau yang
diinginkan tetap tembok, ya sudah, apa boleh buat, tetapi buatlah
“teologi tembok terbuka”, atau “tembok bolong (dikit)”, supaya
tetap ada komunikasi religious yang wajar dengan yang lain.

Bagi Pak Gerrit tafsir berarti eksegese dan hermeneutik (2009:ix).


Hal itu berarti bahwa penafsir menempatkan teks dalam konteks
masa lalu (eksegese) sekaligus menempatkan teks dalam konteks
masa kini (hermeneutik). Usaha menempatkan teks seperti itu tidak
dijalankan tanpa dialog dengan konteks-konteks lain, baik dari dunia
ketiga maupun dari dunia pertama. Sehubungan dengan ini
penggambaran model sintesis dari Bevans (2002b:93) memang dapat
dikenakan pada Pak Gerrit.
49
Pengalaman masa Pengalaman masa kini
lalu (Konteks)
- Alkitab - Pengalaman
- Tradisi (personal, komunal)
- Kebudayaan (sekular,
religius)
- Lokasi sosial
- Perubahan sosial

Konteks dan bentuk pemikiran lain, dll.

Meskipun rupanya model sintesis dalam kategori Bevans itu paling


dekat untuk menggambarkan teologi kontekstual Pak Gerrit, namun
sekali lagi perlu diingat bahwa Bevans menggunakan model ini
secara inklusif dan deskriptif. Yang jelas dapat diinklusikan dalam
teologi Pak Gerrit adalah penggunaan dasar Alkitab dari tradisi
profetis yang juga menandai model praxis dan model budaya
tandingan. Hal ini juga jelas juga kalau dilihat dari teologinya
dengan dimensi liberasi dan dimensi konfrontasi (di samping dimensi
konfirmasi) yang ada terhadap budaya. Spiritualitas profetis Pak
Gerrit juga akan mengintegrasikan interpretasi terhadap tradisi
profetik yang dapat dipertanggungjawabkan dari gerakan karismatik.

Ada pepatah, in medio stat virtus, keutamaan berada di tengah-


tengah. Orang ekstrem kanan dan ekstrem kiri kurang cocok dengan
diskursus Pak Gerrit, karena harus melewati dialog sana-sini dan
akhirnya bermuara pada pandangan seimbang yang dirasa kurang
tegas. Orang ekstrem tengah (istilah Mangunwijaya) juga kurang
cocok, karena Pak Gerrit tidak berdiri di tengah secara beku dan
kaku. Suatu saat dia memang condong ke kanan atau condong ke
kiri. Lalu siapa yang cocok? Siapa saja yang mau bercakap-cakap
dan berusaha untuk lebih memajukan kemanusiaan, yang mau lebih
mengembangkan pengalaman religius, dan yang mau lebih dekat
mengikuti dan meniru Yesus. Itulah Emanuel Gerrit Singgih, sahabat
dan kolega yang saya kenal. Selamat Hari Ulang Tahun dengan rasa
syukur atas berkah melimpah.

50
Daftar Kepustakaan
Banawiratma, J.B.
1994 "Kristologi Kontekstual". Dlm. Orientasi Baru. No. 8:
233-241.
1997 “Kristologi dan Ilmu Agama-agama”. Dlm. Teologi
Lintas Ilmu. Menguji Omongan Agama (= Orientasi
Baru No. 10): 57-68.
Bevans, Stephen B.
2002 Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Penerbit
Ledalero. Aslinya:
2005 (cetakan ke-5 dari edisi kedua 2002, edisi pertama
1992). Models of Contextual Theology Maryknoll, NY:
Orbis Books.
Bungin, Raymon Rombe
2009 Telaah atas Upaya Emanuel Gerrit Singgih
Menyusun Tafsiran Alkitab Yang Kontekstual
Indonesia dalam Buku Tafsiran Kitab Pengkhotbah,
Yogyakarta: Fakultas Theologia, UKDW.
Drewes, B.F.
2005 “Kitab Pengkhotbah, Dua Tafsiran Kontekstual”,
dalam Forum Biblika 17: 109-125.
Hauw, Andreas
2002 “Tinjauan buku Hidup di Bawah Bayang-bayang
Maut. Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah”, dalam
Forum Biblika 15: 76-77.
Kwok Pui-lan
1995 Discovering the Bible in the Non-Biblical World.
Maryknoll, NY: Orbis Books.
Mojau, Julianus
2004 The Indonesian Protestant Christian Social
Theology during the New Order (ca. 1970s-1990s);
A Critical Study of Christian-Muslim Relations in
Indonesia. Yogyakarta (Faculty of the South East
Asia Graduate School of Theology): 210-235, 360-
377.
Schreiter, Robert

51
2001 Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. Aslinya 1985 Constructing Local
Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Singgih, Emanuel Gerrit
1982 Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2000a Berteologi dalam Konteks. Pemikiran-pemikiran
mengenai Kontekstualisasi di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2000b Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2001 Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut: Sebuah
Tafsir Kitab Pengkhotbah. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
2002 Teologi Kontekstual di Asia. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
2006 “Imitatio Jesu: Penggambaran Yesus di dalam
Markus 1-3 sebagai Pembaharu Agama dan
Masyarakat”, dalam Gema Teologi. Vol 30 no. 2:1-
11.
2009 Dua Konteks. Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai
Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia.
Jakarta: BPKGunung Mulia.
Tracy, David
1991 The Analogical Imagination. Christian Theology and
the Culture of Pluralism. New York: Crossroad.

52
Bagian II

KONTEKSTUALISASI MASA KINI

Alle Hoekema
Frans Wijsen
Robert Setio
Wahju S. Wibowo
Peran (Oto)Biografi dan Buku Harian
dalam Teologi Kontekstual Indonesia
Berdasarkan Pandangan
James McClendon
Alle Hoekema

Riwayat hidup, otobiografi, surat-surat dan buku harian pribadi bisa


dianggap sebagai suatu bagian dari narasi dalam arti luas. Bagi
teologi kontekstual narasi itu merupakan salah satu sumber utama.
Hal itu tidak hanya nyata dalam teologia pastoral dan teologia
Alkitab, melainkan juga didalam sejarah gereja, missiologia dan
sistematika.1 Dalam sumbangan ini kami minta perhatian untuk
peran ego-dokumen, seperti riwayat hidup atau biografi (termasuk
otobiografi dan lain-lainnya) bagi teologia kontekstual.

Karangan ini terdiri dari dua bagian. Dalam bagian pertama kami
ingin menerangkan usaha sistematis James McClendon untuk
mengutamakan „Biography as Theology‟, sedangkan dalam bagian
berikut kami melukiskan situasi biografi-biografi di kalangan Kristen
di Asia dan secara khusus di Indonesia. Akhirnya kami memberi
beberapa saran.

Teologi James McClendon


James Wm. McClendon (1924-2000) lahir di Louisiana, USA,
sebagai anak dari seorang ayah yang Metodis dan ibu yang Baptis
(dalam hal itu Southern Baptist yang cukup konservatip). Dia
memanggil diri „baptis‟, dengan huruf b kecil. Artinya: untuk dia
istilah „baptis‟ adalah jauh lebih luas daripada suatu gereja Baptis
saja. Menurut McClendon, di samping gereja Roma Katolik dan
gereja yang berazas Calvin dan Luther ada golongan gereja-gereja
ketiga, yaitu semua free church, artinya Mennonite, Metodis,


Profesor Emeritus dalam bidang Misiologi di Vrije Universiteit,
Amsterdam.
53
Episcopalians, Baptis dan lain lain. McClendon mengaku bahwa dia
sangat dipengaruhi oleh John Howard Yoder (1927-1997),
khususnya bukunya The Politics of Jesus (1972, 1994). Dalam buku
itu Yoder, seorang teolog Mennonite, antara lain berusaha
menerangkan bahwa etika Perjanjian Baru, teristimewa etika
Khotbah dibukit (Mattius 5-7) tidak merupakan cita-cita eskatologis
yang tak mungkin diwujudkan sekarang, melainkan suatu etika yang
bisa dilaksanakan oleh jemaat Kristen masa kini. McClendon
menganggap Yoder dan juga Stanley Hauerwas sebagai teolog-
teolog narratif; itu terutama benar dalam buku-buku kecil tulisan
John Yoder, seperti What would you do? A Serious Answer to a
Standard Question (1983). Di dalam buku itu Yoder berusaha
membuktikan realita etika tanpa menggunakan kekerasan, dengan
menjelaskan contoh-contoh Leo Tolstoy, Henry Hodgkin, Joan Baez,
Dale Brown dan lain-lain. Mereka semuanya berusaha untuk hidup
tanpa kekerasan dalam situasi dimana pada umumnya jawaban
standar dibenarkan, yaitu: „perang yang adil‟.

Teologi McClendon menarik perhatian karena dua hal. Pertama-tama


karena dia menekankan peran biografi sebagai bagian integral dalam
suatu teologi sistematis. Artinya, potret biografis dari sejumlah tokoh
(baik teolog maupun awam) memainkan peran dalam tulisannya.
Dan yang kedua, teologi sistematisnya dibagikan tiga jilid tetapi
mulai dengan Ethics, Etika (1986), baru kemudian Doctrine, Iman
dan akhirnya Witness, kesaksian.2 Jilid terakhir itu selesai beberapa
bulan sebelum dia meninggal dunia.

Sebelumnya dia sudah menulis buku pertama, yaitu Biography as


Theology: How Life Stories can Remake Today’s Theology (1974).3
Di dalam Biography as Theology McClendon melukiskan sketsa
biografis antara lain dari Dag Hammerskjǿld, mantan Sekretaris
Jendral dari Persekutuan Bangsa-Bangsa; Martin Luther King,
pelopor emansipasi kaum kulit hitam di Amerika Serikat; Clarence
Jordan (1912-1969), seorang petani dan ahli bahasa Yunani
Perjanjian Baru, yang menjadi pendiri dari „Koinonia Farm‟, suatu
kommunitas kecil tapi berpengaruh di Southwest Georgia, dan
penerjemah Perjanjian Baru dalam bahasa sehari-hari;4 dan Charles
Ives (1874-1954), komponis musik klasik penting yang baru setelah

54
dia meninggal dihargai sebagai „American Original‟ yang
menggunakan musik rakyat dalam komposisinya. Duabelas tahun
kemudian setiap bagian utama dari Ethics disertai biografi seseorang
tokoh: Sarah dan Jonathan Edwards; Dietrich Bonhoeffer; dan
Dorothy Day. Di dalam volume 2 (Doctrine) dan 3 (Witness) dia
menggunakan metode yang sedikit berlainan; namun, riwayat
kehidupan tokoh-tokoh penting juga memainkan peran penting
dalam jilid-jilid itu.

Alasan-alasan untuk memberi perhatian untuk biografi dan narasi


pada umumnya
Mengapa McClendon begitu tertarik pada riwayat hidup, khususnya
dalam jilid tentang etika dalam teologia sistematisnya? Ada tiga
alasan yang bisa disebut.

a) Pertama-tama, zaman Pencerahan, masa jaya rasionalisme dalam


sejarah filsafat dan kebudayaan Eropa pada abad ke-18, kurang
menghargai narasi. „In the course of the Enlightenment there had
been a consistant attempt to de-narrativize the content of religion‟,
demikianlah McClendon dalam suatu wawancara dengan Ched
Meyers.5 Pikiran zaman Pencerahan secara sangat dalam
mempengaruhi filsafat idealisme, ilmu sejarah dan teologia Jerman
dan Belanda. Maka yang dianggap penting ialah: gagasan-gagasan
dan bayangan-bayangan, pikiran-pikiran rasional – bukan experience
atau pengalaman manusiawi (itu justru ditekankan sebagai reaksi
dalam zaman Romantik). Itu berarti bahwa ilmu sejarah hanya
menggunakan sumber-sumber tertulis seperti arsip-arsip, dan arah
ilmu sejarah ditentukan oleh gagasan filsafat. „History stood in need
of being enlightened by philosophy‟.6 Itulah sebabnya dalam teologia
dunia Barat kita tidak bertemu dengan bagian-bagian naratif. Teolog
terkenal Swiss Karl Barth, misalnya, menulis beberapa monografi
tentang tokoh-tokoh teologia dan filsafat (seperti David Friedrich
Strauss, Immanuel Kant, dan juga Mozart)7 tapi di dalamnya dia
hanya menitikberatkan peran teologis, gerejani atau kebudayaan
mereka, bukan kehidupan, susah-payah mereka atau pengalaman
mereka. Alasannya, dalam teologia Karl Barth yang perlu
diperhatikan ialah Firman Allah sebagai penyataan Allah yang tegak
lurus dari atas („senkrecht von oben‟), dan semua pengalaman

55
pribadi manusia seolah-olah mengesampingkan dan mengotori
penyataan Allah itu. Itulah yang menjadi nyata dalam perdebatannya
dengan Emil Brunner: „Nein‟, yaitu: Tidak! terhadap setiap titik
pertemuan dengan Allah yang berasal dari fihak manusia. Maka
karena itu di dalam daftar istilah-istilah di belakang Dogmatika
Gereja (13 jilid tebal antara 1932-1967) kata „biografi‟ hanya muncul
sesekali saja! Di jilid III/4 Barth menulis, bahwa manusia sebenarnya
tidak bisa mengenal keseluruhan masa lalunya – hanya Allah yang
menguasai sejarah:

Maka karena itu, setiap biografi dan secara khusus otobiografi,


harus dianggap sebagai suatu usaha yang perlu dipertanyakan,
karena praasumsinya ialah bahwa sesorang bisa duduk di suatu
kursi untuk menengok kedidupan seorang lain atau kehidupannya
sendiri secara kronologis, membandingkan tahap-tahapnya satu
dengan yang lain, dan bisa menilai dan memahami perkembangan-
perkembangannya.8

Demikian pula teolog-teolog lain pada masa itu. Gagasan-gagasan


mereka dianggap penting tetapi kehidupan pribadi diri mereka, atau
teman-teman mereka dan konteks sosial mereka rupanya tidak
dianggap penting –karena tak pernah bisa direkonstruksikan secara
murni dan objektip oleh manusia.

Sebaliknya, menurut kami, (oto-)biografi dan pengalaman hidup


justru sangat penting untuk mengerti konteks dan latar belakang
teolog-teolog dan orang-orang Kristen pada umumnya. Kami teringat
bahwa selama studi kami sendiri di Universitas Amsterdam (dalam
tahun enampuluhan abad yang lalu) dosen-dosen kami sama sekali
tidak memperhatikan kehidupan dari tokoh-tokoh yang teologinya
dianggap berarti. Padahal, misalnya, para teolog Jerman dalam abad
keduapuluh semuanya mengambil sikap tertentu dalam perang dunia
II, terhadap nasionalisme dan rasisme rezim Jerman Nazi. Ada yang
seperti Dietrich Bonhoeffer mengikuti sikap Bekennende Kirche,
gereja bebas dan non-resmi yang menuruti azas-azas gerejani di
dalam pengakuan iman Barmer Thesen (1934) dan memisahkan diri
dari Deutsche Christen („Kristen Jerman‟). Sebaliknya ada juga yang
mengikuti Deutsche Christen yang taat pada politik Nazi. Contohnya
ialah Gerhard Kittel (1888-1948), penyunting Theological
56
Dictionary of the New Testament, yang selama masa Nazi (1933-
1945) paling tidak bersikap lemah dan anti-Yahudi.9 Apa artinya
sikap nasionalistisnya yang anti-yudais untuk teologianya, misalnya
untuk pandangannya terhadap Yesus sebagai orang Yahudi?

Perhatian untuk teologia dan sejarah naratif (termasuk oral history)


baru tumbuh lagi didalam tahun delapanpuluhan di USA, antara lain
karena black history dan black theology menekankan jenis sejarah
dan teologia itu. Sumber-sumber untuk menggali black history
adalah sumber-sumber lisan, kesaksian-kesaksian pribadi, nyanyian-
nyanyian dan sebagainya. Sebenarnya gerakan black history menjadi
bagian dari gerakan pembebasan (antara lain liberation theology)
yang menaruh perhatian besar sejak tahun-tahun tujuhpuluhan.

b) Menurut McClendon, alasan kedua untuk menitikberatkan biografi


ialah hal berikut. Dia berasal dari gereja Baptis yang latar
belakangnya dissenter church yang bersifat agak anti-intelektual,
sama seperti gereja-gereja Mennonite di USA. Bukan pikiran yang
sangat mendalam dan indah, yang abstrak dan tak terikat dengan
zaman, tapi teladan kehidupan seorang Kristen yang dianggap
berarti. Gereja-gereja itu lebih dipengaruhi oleh revivalisme daripada
oleh puritanisme seperti di dalam Calvinisme. Sikap itu menjelaskan
mengapa jarang sekali aliran Baptis (dan pada umumnya dissenter)
menulis teologi sistematis! Mula-mula mereka mungkin agak malu,
karena aliran lain (gereja-gereja Katolik, Calvinis, Luther) punya
sistematika yang bagus – seperti gereja-gereja di dunia Asia dan
Afrika pada permulaan merasa agak malu, karena hanya memiliki
teologi fragmentaris, yang malah disebut beggarly theology oleh
Albert Widjaja dalam tahun tujuhpuluhan abad ke duapuluh.

Toh, lama-lama gereja-gereja dissenter mulai sadar bahwa mereka


boleh merasa bangga karena sifat itu sehingga mereka mulai
membela dan menerangkan posisi teologis tersendiri. Karena itu
McClendon merasa berhutang pada John Howard Yoder, yang untuk
pertama kali dalam sejarah free church menulis suatu buku
sistematis-Alkitabiah, sesuai dengan posisi dan tradisi baptis dan
anabaptis itu. Dalam „Prolegomena‟ teologia sistematisnya, yang
sebenarnya menjadi pembelaan mengapa dia mulai karangannya

57
dengan suatu jilid tentang Etika, McClendon menunjuk pada
kronikel-kronikel abad enambelas seperti Martyrs’ Mirror („Cermin
para martir‟ yang mati syahid), di mana puluhan kesaksian tercatat,
baik surat-surat keluar dari penjara maupun penyataan-penyataan dan
kesaksian-kesaksian di hadapan pengadilan, yang semuanya ditulis
oleh mereka yang dihukum mati oleh pemerintah Katolik maupun
Protestan karena mereka dianggap termasuk „sekte‟ Anabaptis.10
Selain itu McClendon menunjuk pula pada black history di USA,
misalnya buku-buku nyanyian sebagai sumber di mana pengalaman
iman dicerminkan dan kepada kehidupan/biografi tokoh-tokoh
tertentu.

c) Akhirnya alasan ketiga, menurut McClendon, ialah bahwa


menurut tradisi free church,

The baptist vision reminds us that the narrative the Bible reflects,
the story of Israel, of Jesus, and of the church, is intimately related
to the narrative we ourselves live. Thus that vision functions as a
hermeneutic that relates our experience to the Scriptures, showing
how the two are joined.11

Itu berarti: apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama tentang para nabi
dan Israel dan dalam Perjanjian Baru tentang diri Yesus dan gereja
muda, langsung ada kaitan dengan kita sekarang. Etika eskatologis
yang diwujudkan para murid Yesus dan jemaat pertama, juga berlaku
untuk jemaat sekarang.12 Sikap itu terhadap eskatologi ikut
menentukan nisbah antara etika dan biografi. Kehidupan eskatologis
menjadi nyata dalam kehidupan orang-orang Kristen yang patut
menjadi teladan. Karena itu, jilid 2 dari Systematic Theology
McClendon, Doctrine, dimulai dengan suatu pasal tentang
eskatologi! Gereja dalam segala zaman termasuk zaman kita
(seharusnya) mencerminkan kehidupan eskatologis.

Dengan sendirinya tradisi itu mengimplikasikan pula suatu


eklesiologi dan Kristologi yang lain dibandingkan gereja-gereja
Katolik dan Calvinis. Dalam eklesiologi tentu ada ruang untuk suatu
pengakuan iman bersama, namun yang lebih penting ialah menuruti
teladan mata rantai saksi-saksi iman yang mendirikan dan
memelihara jemaat sebelumnya. Dan Kristologi tidak hanya
58
menitikberatkan kesengsaraan dan kebangkitan Kristus sebagai wakil
manusia supaya manusia yang berdosa bisa selamat, melainkan juga
teladan Yesus sebagai guru, nabi dan ahli penyembuh. Itulah
sebabnya John Howard Yoder pernah mengusulkan supaya
dirancang suatu Yesulogi baru untuk menggantikan Kristologi
klasik.13

Prioritas untuk Etik


Mengapa McClendon mulai teologi sistematisnya dengan Etika?
Definisi teologi yang diberikan olehnya ialah:

The discovery, understanding, and transformation of the


convictions of a convictional community, including the discovery
and critical revision of their relation to one another and to
whatever else there is.

Teologi adalah penjelajahan, pengertian dan transformasi keyakinan


(„conviction‟, iman) dari suatu persekutuan (gereja) yang berdasar
pada keyakinan itu, termasuk penjelajahan dan revisi kritis dari
nisbah keyakinan-keyakinan itu. Yang menjadi subjek berteologi
ialah jemaat, gereja, persekutuan tersebut – termasuk narasinya dan
biografinya. Sasaran teologi ialah menggali, mengerti, dan sejauh
perlu merevisi keyakinan itu. Istilah „keyakinan‟ boleh diinterpretir
lebih luas daripada: dogma. Cara hidup adalah bagian dari
„keyakinan‟ itu juga! Maka karena itu dia mulai dengan etika:

in order to reflect on this vision [of the baptist church] we have to


acknowledge the rich resources for theology in the narrative
common life of that vision, and the appropriate point of departure
for reflection is theological ethics.14

Jadi: teologi berhubungan dengan seluruh kehidupan gereja/jemaat


(„narrative common life‟). Oleh karena itu, teologi mulai dengan
etika. Etika didefinisikan McClendon sebagai

theories of morality, that is, a conduct or a way of life;


accordingly, “Christian ethics” will refer to theories of the
Christian way of life (Ethics, 47).

59
dan,

over against the modern focus on decisions as the essence of


morality I will emphasize instead the story-formed or narrative
share of the shared life of the Christian churc‟ (Ethics, 47, 48).

Yang penting ialah antara lain (lihat Ethics, 28):


 hidup sesuai dengan wewenang Alkitab („humble acceptance
of the authority of Scripture for both faith and practice‟)
 menjadi saksi dari Injil Tuhan (‟the responsibility to witness
to Christ – and accept the suffering that witness entails‟)
 Kebebasan untuk menyembah Allah sesuai hati nurani tanpa
keterlibatan pemerintah atau kuasa masyarakat lain („the
God-given freedom to respond to God without the
intervention of the state or other powers‟ di dalam suatu
„intentional community‟)
 Discipleship („life transformed into service by the lordship of
Jesus Christ‟)
 Komunitas („sharing together in a storied life of obedient
service to and with Christ‟).

Semua hal itu diringkas oleh McClendon sebagai berikut:


The vision can be expressed as a hermeneutical motto, which is
shared awareness of the present Christian community as the
primitive community and the eschatological community. In other
words, the church now is the primitive church and the church on
the day of judgment is the church now; the obedience and liberty
of the followers of Jesus of Nazareth is our liberty, our
obedience.15

Artinya, Ethics dalam interpretasi McClendon tidak merupakan


„decisionisme‟ atau ilmu mengambil keputusan-keputusan,
melainkan, sesuai dengan contoh Bunyan dalam Pilgrim’s Progress
(„Perjalanan seorang musafir‟), „a Christian life where vision and
community and hope converge in the disciples way‟ (Ethics, 62).

Di dalam Ethicsnya, McClendon menyinggung tiga benang yang


terjalin ke dalam satu tali16, yaitu tiga segi kehidupan seorang
Kristen, yang hanya boleh dan bisa diterima sebagai kesatuan:
60
a) Wilayah kehidupan organis, penciptaan alam: kepribadian
manusia dan kehidupan dengan tubuh, termasuk eros, etika cinta
seksuil. Dalam bagian ini dia memasukkan suatu biografi dari
Sara dan Jonathan Edwards (1703-1758), seorang pengkhotbah
revivalis yang termasyur. Hanya, McClendon secara khusus
menekankan di sini hubungan antara teologi Edwards dan
kehidupan mereka sebagai pasangan suami-isteri. Menurut
kami, gnostik kurang memperhatikan kehidupan organis ini,
demikian pula barangkali gereja-gereja Anabaptis.
b) Wilayah dunia sosial: etika sosial. Di sini diberi tempat kepada
Dietrich Bonhoeffer. Ada dua hal yang dibicarakan McClendon
disini. Pertama-tama, mengapa akhirnya Bonhoeffer tidak jadi
pergi ke Ghandi di India, dan kemudian, mengapa akhirnya
Bonhoeffer setuju menggunakan kekerasan padahal sebelumnya,
dalam bukunya Nachfolge („Discipleship‟), dia mengambil posisi
prinsipiil untuk tidak berdaya. McClendon tidak memberi
penilaian tentang perubahan sikap Bonhoeffer dan ternyata
memasukkan dia dalam wilayah dunia sosial. Namun, bagian
Ethicsnya ini diakhiri dengan suatu uraian tentang „the politics
of forgiveness‟. Mungkin individualisme protestan, paling tidak
di Eropa dan Amerika Serikat pada masa lampau, melalaikan
benang kedua ini.
c) Wilayah hidup sebagai manusia yang dibangkitkan, yaitu
kehidupan eskatologis. Jemaat Kristen telah menjadi saksi
kebangkitan Yesus dari antara orang mati dan hidup didalam
dunia baru itu! Biografi Dorothy Day (1897-1980) dicontohkan
di sini: seorang aktivis katolik selama masa cold war dalam
tahun limapuluhan, yang sangat dicurigai FBI karena dia
berpolitik sosialis (bukan komunis!). Namun kemudian Dorothy
Day menekankan Kerajaan Allah dengan sikap pasifis dan
menjadi pendiri gerakan The Catholic Worker yang
mementingkan „hospitality‟ dan mengurus banyak wisma
keramahtamahan untuk tunawisma. Pasal terakhir dalam bagian
Ethics ini berjudul: „A Future for Peace?‟ Barangkali kita bisa
menyimpulkan bahwa gereja katolik melalaikan wilayah
kehidupan eskatologis ini.

61
Tentu contoh-contoh biografis di atas bisa diberdebatkan, demikian
pula wilayah di mana mereka ditempatkan. Bonhoeffer, misalnya,
bisa diberi tempat juga dalam wilayah hidup ketiga dan Dorothy Day
dalam wilayah dunia sosial. Dan kita harus mengakui bahwa
cakrawala McClendon terbatas pada dunia barat! Namun demikian
prinsipnya, yaitu kepentingan konteks biografis dan otobiografis dan
nisbahnya dengan prioritas etika dalam teologi sistematika, artinya,
prioritas untuk orthopraxis, kami dukung secara penuh.

Peran Biografi dalam Teologi Kontekstual


Biografi-biografi dan egodokumen lainnya menyediakan suatu latar
belakang penting, baik untuk menanggap sejarah gereja, maupun
untuk pengertian dan arah teologi dalam salah satu konteks. Memoirs
(1973) yang ditulis Willem Adolf Visser ‟t Hooft, mantan sekretaris
jendral dari Dewan Gereja-Gereja se Dunia, sangat membantu kita
untuk mengerti sejarah DGD itu dalam konteks-konteks politik dan
agama sebelum, selama dan sesudah perang dunia II. Dan – contoh
yang sangat berlainan – otobiografi yang dihasilkan Charles
Christano, mantan ketua Gereja Kristen Muria Indonesia, sebagai
„sumber daya manusia‟ memberi keterangan yang berharga untuk
mengerti perjalanan spiritual pribadinya maupun perkembangan
gerejanya, biarpun otobiografi tersebut secara khusus membicarakan
masa muda dan masa studinya saja.17 Bahkan, (oto-) biografi dari
tokoh-tokoh lokal atau anggota-anggota gereja biasa bisa menolong
generasi berikut untuk mengerti motif-motif mereka dan visi mereka.

Lantas, melalui ego-dokumen-dokumen kita mengerti bahwa setiap


teolog dan dengan demikian teologinya dipengaruhi oleh konteks
politik, sosial, budaya. Seperti dijelaskan di atas, para teolog Jerman
dipengaruhi oleh rasionalisme, oleh gagasan-gagasan filsafat
idealisme, oleh Marxisme, juga oleh pengalaman-pengalaman politik
selama perang dunia I, perang dunia II, perpecahan negara Jerman
antara 1945-1989 karena komunisme di Rusia dan negara-negara
satelitnya. Teolog-teolog Amerika Serikat dipengaruhi oleh akibat-
akibat perang kemerdekaan dalam abad kedelapanbelas, di mana
akhirnya negara itu menjadi negara Amerika Serikat; kemudian juga
oleh perjuangan orang-orang hitam, bekas budak, untuk mendapat
tempat yang sewajarnya (black theology); dan akhirnya oleh trauma
62
perang Vietnam dalam tahun tujuhpuluhan abad keduapuluh. Para
teolog di Indonesia dipengaruhi oleh zaman kolonialisme; kemudian
oleh era kemerdekaan dengan semangat kesatuan, termasuk
semangat ekumenis, yaitu kesatuan gereja-gereja; kemudian oleh
suasana sekitar 1965 dan orde baru sesudah itu; lantas oleh perhatian
baru pada kebudayaan daerah dan perhatian politis regional; dan
belakangan ini oleh makin kuatnya agama Islam di negeri Indonesia
ini. Demikian pula teolog-teolog di negara-negara lain.

Tiga Contoh Pentingnya Konteks dalam Teologi


Di samping itu, setiap teolog juga dipengaruhi oleh latar belakang
pribadinya. Secara singkat kami menyebut tiga contoh. Pertama-tama
Karl Barth, yang namanya sudah disebut di atas. Kita harus bertanya
sampai di mana dia dipengaruhi oleh kebangsaannya sebagai seorang
Swis: suatu negeri yang tidak pernah dimasukkan dalam perang, dan
di mana tak ada kemungkinan untuk menolak kewajiban militer.
Apakah latar belakang itu mempengaruhi sikapnya terhadap perang
sebagai suatu hal yang boleh disetujui dalam Grenzfall, yaitu situasi
kasus yang sangat serius?18 Berhubung dengan riwayat hidupnya
pribadi, selama puluhan tahun Barth ada relasi intim dengan
sekretarisnya, nona Charlotte von Kirschbaum. Itu menimbulkan
pertanyaan sampai di mana kenyataan itu mempengaruhi posisi
teologisnya dan etisnya tentang pernikahan?

Contoh lain ialah Bonhoeffer. Didalam biografi Bonhoeffer yang


ditulis temannya Eberhard Bethge, dijelaskan bahwa keinginan
Bonhoeffer untuk pergi ke India untuk menemui Gandhi di negeri
India dan belajar dari Gandhi sebenarnya berasal dari „suatu
campuran rasa ingin tahu dan sikap skeptis‟ terhadap gereja-gereja di
dunia Barat.19 Menurut Betghe, Barth dan teman-teman lain dari
Bonhoeffer, alasan-alasan tersebut sebenarnya kurang tepat. Sebab,
menurut Barth dalam suatu surat kepada Bonhoeffer bulan Oktober
1936, apa gunanya seseorang Kristen belajar „salah satu tekhnik
rohani‟ dari orang non-kristen seperti Gandhi atau „teman-teman
Allah‟ lainnya di Asia? Sebaliknya, kami yakin bahwa kita harus
menyayangi bahwa Bonhoeffer tidak pergi ke India! Barangkali
teologinya dan etikanya kemudian hari berbeda dari apa yang
akhirnya terjadi. Ada faktor kontekstual lain dalam hidup Bonhoeffer

63
yang penting juga. Iparnya Gerhard Leibholz, suami dari adik
perempuan kembar Sabine, berasal dari bangsa Yahudi, sehingga
semasa pemerintah kaum Nazi dia dikejar dan akhir 1938 terpaksa
beremigrasi ke Inggris.20 Hal itu pasti mempengaruhi sikap teologis
Bonhoeffer dalam perjuangan anti-Hitler.

Contoh terakhir diberi Gerrit Singgih. Dalam jurnal dan meditasi


yang disusun beliau selama dia seorang mahasiswa teologi di
Yogyakarta, tahun 1976-198021, kita belajar banyak tentang
pergumulan pribadi seorang muda dan faktor-faktor teologis yang
kemudian hari tetap mempengaruhi beliau: Augustinus, Franciscus;
gerakan ekumenis; spiritualitas Taizé, dan keadaan gereja Indonesia
yang kurang berkontekstualisasi:

Banyak orang Kristen di Indonesia tidak hidup dalam dunia nyata


dimana mereka berada. Seakan-akan mereka hidup terpotong dari
kehidupan kebudayaan bangsa. Secara harfiah hal itu kelihatan
dalam ketergantungan banyak orang Kristen dan lembaga-lembaga
Kristen pada bantuan luar negeri dan segala pola-pola luar negeri,
sampai-sampai cara hidupnya. Kita tidak hidup dalam „darah‟
sendiri. Kita lebih senang di infus terus dengan „darah‟ asing. 22

Akhirnya perlu kami menitikberatkan bahwa justru di Asia dan


Afrika ego-dokumen-dokumen menolong kita untuk menggali,
menyimpan dan menganalisa cerita-cerita yang hingga kini
tersembunyi. Saya yakin, bahwa justru narasi-narasi „kecil‟ akhirnya
akan dianggap hal penting, lebih-lebih kalau „oral biographical
history‟ dimasukkan didalamnya. Jadi: yang dibutuhkan ialah
biograf-biograf yang mewawancarai tokoh-tokoh maupun orang
kristen biasa (laki-laki dán perempuan!) tentang kehidupannya dan
dibandingkan dengan peran mereka dalam gereja dan/atau teologi.

Perhatian untuk Biografi Teologis di Afrika dan Asia


Sejak 1995 di Afrika ada projek www.dacb.org : Dictionary of
African Christian Biography. Tujuannya, menurut project officer dr.
Jonathan Bonk, ialah „recording the untold stories of African
Christians who have transformed Africa and the Christian world.‟
Artinya, catatan biografis secara lisan juga akan dimuat. Hingga kini
kamus biografis tersebut yang diterbitkan sebagai CD-Rom dengan
64
update baru setiap tahun, memuat kira-kira 3100 tokoh-tokoh gereja
di Afrika dari semua bagian benua tersebut dan semua abad.23 Harus
diakui bahwa kebanyakan biografi di dalam kamus ini bersifat
catatan bio-data yang singkat dan belum cukup berwarna. Namun,
sebagai suatu permulaan kamus itu, yang terus diperluas, sangat
penting.

Hal itu juga berlaku untuk jilid-jilid serupa yang diterbitkan di Asia.
Mulai 1987 Scott Sunquist (Trinity Theological College Singapore)
telah menjadi editor of A Dictionary of Asian Christianity, yang
memuat 1260 lemmata, diantaranya sejumlah biografi singkat.24 Dan
John C. England dibantu banyak kawan lain telah menyusun tiga jilid
Asian Christian Theologies. 25 Walaupun jilid-jilid tersebut terutama
bersifat bibliografis, namun dimuat juga ringkasan biografis dari
banyak teolog (dan awam) Asia, termasuk Indonesia. Dari India,
misalnya, diberi perhatian kepada paling tidak seratus teolog!

Akhirnya kami bisa menyebut Gerald H. Anderson ed. Biographical


Dictionary of Christian Missions.26 Di dalamnya kita juga
menemukan sejumlah lemmata tentang penginjil dan teolog atau
tokoh Indonesia.

Semua jilid di atas tentu hanya bisa memberi informasi singkat.


Karena itu, disamping buku-buku itu kita sungguh-sungguh
membutuhkan oto-biografi, buku-buku harian, jilid-jilid dengan
surat-surat dan biografi-biografi lengkap, yang didalamnya sedapat
mungkin secara kritis (bukan hagiografis!) dan dengan keterbukaan
untuk konteks dan narasi diberi keterangan tentang peran tokoh
tersebut.

Situasi di Indonesia
Selain contoh-contoh yang diberi diatas, di Indonesia memang ada
beberapa biografi dari tokoh-tokoh Kristen, walaupun belum banyak.

Pada waktu itu zending sudah menerbitkan (dalam bahasa Belanda)


potret dari misalnya: Papa I. Woentoe oleh A.C. Kruyt dan bagian-
bagian dari buku-buku harian tulisan Asa Kiman dan Iskaq
(penginjil-penginjil yang bekerja sama dengan W. Hoezoo di

65
Semarang) dan guru-guru H. Kolondam dan A. Kaligis (oleh A.C.
Kruyt). Sayangnya, buku-buku harian itu belum memberi banyak
informasi tentang konteks pribadi dari penulis-penulis.

Mulai zaman kemerdekaan, ada misalnya biografi singkat dari


Paulus Tosari yang ditulis oleh Mardja Sir (1967); ada juga
monografi bagus tentang Sisingamangaradja, tokoh nasionalis di
Sumatera Utara yang keluarganya menjadi Kristen, oleh W.B.
Sidjabat (1982); ditambah hasil penelitian tentang kehidupan dan
teologi kontekstual dari Kyai Sadrach oleh Sutarman S. Partonadi
(1988). Aristides Katoppo dkk menerbitkan Ds. W.J. Rumambi:
Setelah Fajar Merekah (1994) dan contoh lain ialah Patmono S. K.
dkk, Radius Prawiro: Kiprah, Peran dan Pemikiran (1998).
Disertasi Benny Giay tentang Zakheus Pakage di Irian Jaya (1995)
sebenarnya merupakan kategori tersendiri. Di dalam studi
kontekstual itu, kehidupan Zakheus langsung dikaitkan dengan
kehidupan sukunya dalam dunia politik, etnis dan religius yang
kompleks.

Gereja Kristen Jawa sedang menerbitkan suatu seri „biografi tokoh


GKJ‟, di mana hingga sekarang diterbitkan lima jilid; empat
diantaranya ditulis oleh Sigit Heru Soekotjo (tentang Kyai pendhita
Den Bei Wirjo, pendeta pertama di Tlepok dan Kutoarjo; guru injil
wanita Soetirah di Magelang; Brotosemedi Wirjotenojo; dan
Nathanael Daldjoeni); satu lagi adalah biografi simpatik tentang
pendeta Josaphat Darmohatmodjo, ditulis anaknya, Eko
Trimodoroempoko.27

Disamping itu ada cukup banyak buku kenangan (Festschrifte) di


mana diberi biodata atau biografi singkat juga, seperti misalnya
Terbit sepucuk Taruk. Teologi Kehidupan. 60 Tahun Dr. Liem Khiem
Yang (1993); J. Lekahena dkk, Bersaksi dan melayani untuk
Mempersatukan. Buku Peringatan HUT ke-75 Pdt. D.J. Lumenta
(1993); Robbert P. Borrong dkk, Berakar di dalam Dia dan
Dibangun di atas Dia. 80 Tahun Prof.dr. P.D. Lauihamallo (1998)
(walaupun dalam jilid tersebut hampir tak ada informasi tentang
bapak Peter Latuihamallo sendiri!); dan akhirnya Struggling in
Hope/Bergumul dalam Pengharapan, buku penghargaan untuk pdt.

66
Eka Darmaputera almarhum (1999) dan Penabur Benih Mazhab
Teologi: Menuju Manusia Baru (2000), buku penghargaan untuk
almarhum dr. Harun Hadiwijono, dengan bagian biografis sebesar
l.k. 50 halaman. Syukurlah diterbitkan juga buku penghargaan untuk
tokoh-tokoh wanita seperti Ibu Augustina (Tine) Fransz28 dan
belakangan ini Ibu Pdt. Augustina Lumentut yang perannya dan
kehidupannya dibukukan dalam Yuberlian Padele dkk (eds),
Augustina Lumentut: Sosok Kemanusiaan sebagai Ekspresi Rahmat
Allah (2007).

Tidak ada banyak contoh dari otobiografi, biarpun buku T.B.


Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah Pengalaman Seorang
Prajurit selama Perang Kemerdekaan (cetakan pertama 1959) ada
unsur-unsur otobiografis.29 Sebagai contoh otobiografi murni perlu
disebut disini riwayat hidup Pendeta R.Tasdik (diterbitkan sekitar
1996), dengan bagian otobiografis yang cukup panjang dan terbuka,
diawali dengan pengantar oleh Gerrit Singgih di mana dia
memperingatkan para pembaca bahwa:

Faktor objektivitas seperti yang diharapkan dalam dokumen-


dokumen resmi tidak terlalu diperhatikan, sebab sudut pandang
orang yang mendokumentasikan hidupnya sendiri itu sangat
penting, dan juga bahwa akhir-akhir ini diakui lagi bahwa
kebenaran tidak hanya dicapai dengan mengejar objektivitas yang
dingin semata-mata, melainkan melalui interaksi di antara apa yang
objektif dan apa yang subjektif. 30

Interaksi tersebut menjadi sangat nyata dalam tulisan Robert Setio


didalam Festschrift ini, dimana dia secara terbuka dan jujur
menerangkan kesulitan yang dialami seorang Kristen Tionghoa di
Indonesia dan berusaha untuk menganalisa dan merefleksikan situasi
itu secara teologis.

Sebagai bukti peran penting anggota-anggota gereja biasa dalam


aspek sejarah gereja ini, akhirnya kami menyebut disini suatu
otobiografi seorang anggota GKMI di Jepara, Catatan Pribadi
Partawiguna, dicetak untuk kalangan sendiri (Semarang, 1996). Dari
catatan-catatan itu kami belajar banyak tentang keadaan hidup orang
Tionghoa di masa perang dan tahun-tahun pertama setelah Indonesia
67
merdeka; tentang perkembangan jemaat GKMI Jepara; pengalaman
pribadi dan gerejani sebagai akibat kerusuhan G-30-S; dan tentang
konflik-konflik dalam tubuh GKMI akibat timbulnya gerakan
kharismatik dalam gereja itu. Dengan demikian naskah itu
merupakan penambahan yang berharga pada penelitian sejarah dan
perkembangan teologis di dalam GKMI sendiri. Pasti ada naskah-
naskah lain yang serupa dengan catatan pribadi pak Partawiguna
tersebut!

Contoh-contoh di atas tentu tidak lengkap. Masih ada banyak pelopor


gereja yang biografinya belum disusun. Sepengetahuan kami belum
ada, misalnya, biografi lengkap Sutan Todung Gunung Mulia
(pelopor ekumenis, ilmuwan, penyusun ensiklopedi); Johannes
Leimena (padahal ada beberapa wawancara yang terbuka dengan
beliau); dan Ibu pendeta Ny. Dharma-Angkouw, apalagi catatan
biografis tokoh-tokoh regional yang penting. Sayangnya, kami sama
sekali tidak tahu-menahu tentang terbitan surat-surat seseorang atau
koréspondensi antar tokoh teologi atau tokoh gereja. Mungkin juga
belum ada kebiasaan untuk menyimpan dan mengatur surat-surat dan
catatan-catatan pribadi untuk suatu arsip.

Saran-saran
Kami tidak mengetahui sampai di mana faktor-faktor kebudayaan
main peran dalam sikap mengambil jarak dalam hal menulis biografi
atau juga otobiografi. Seringkali segi-segi gelap dan segi-segi yang
(terlalu) pribadi dalam kehidupan si tokoh tersebut kurang
dinyatakan, demikian pula nisbah kritis dengan orang-orang lain.
Dan biografi, otobiografi dan laporan-laporan dari wawancara-
wawancara dengan anggota gereja biasa masih sangat kurang,
padahal itu merupakan sumber utama dari oral history, misalnya
mengenai suasana gerejani sekitar zaman kemerdekaan dan periode
pahit G-30-S dan sesudahnya, dll.

Sebagai akhirulkalam kami mengucapkan tiga impian sebagai


berikut. Pertama-tama boleh diharapkan supaya kemungkinan untuk
mulai teologi sistematik dengan Etika (jadi, dengan orthopraxis)
seperti dilakukan James McClendon akan dipertimbangkan di

68
Indonesia secara serius. Apakah paradigma itu bisa dilaksanakan dan
bagaimana konsekuensinya untuk kontekstualisai teologi?

Kemudian kami sangat mengharap supaya baik gereja-gereja dan


fakultas-fakultas teologi akan merangsang penulisan biografi dan
otobiografi, termasuk cerita-cerita tentang kehidupan sehari-hari dan
anekdot (kehidupan gereja juga berakar pada lelucon), sebagai usaha
untuk menerangkan nisbah antara teologi atau jenis kepemimpinan
seseorang dan konteks di mana dia dibesarkan, belajar, bekerja,
bergereja dan bermasyarakat. Yang penting bukan „biografi resmi‟
atau „biografi objektif‟, tapi justru dokumen-dokumen hidup yang
bisa menginspirasikan dan mengharukan para pembaca. Dengan
demikian kita mudah-mudahan juga mulai mengerti kepentingan
etika seseorang, sebagai manusia otentik dengan kekuatannya dan
kelemahannya, dan mengerti lebih jelas mengapa seorang tertentu
menjadi teladan bagi gereja dan masyarakat atau juga, mengapa dia
gagal. Dalam hubungan yang lebih lebar, pengumpulan dan
penerbitan surat-surat (dan surat-menyurat) dan dokumen-dokumen
pribadi, ditambah sumber-sumber sejarah lisan (oral history seperti
wawancara-wawancara yang direkam) semuanya berharga serta
merupakan desideratum (keinginan) teologi kontekstual pula.

Akhirnya, rupanya dikalangan gereja-gereja di negeri Tiongkok dan


di India sudah ada usaha untuk mengumpulkan data-data guna suatu
biographical dictionary. Mudah-mudahan gereja-gereja dan fakultas-
fakultas teologi di Indonesia merasa terdorong juga untuk
mendirikan suatu panitia yang tugasnya adalah menyusun kamus
biografi tokoh-tokoh Kristen di Indonesia!

69
Endnote
1
Lihat misalnya ‘Teologia Narasi’ sebagai tema Majalah Gema Duta
Wacana 41, th. 1991.
2
James Wm. McClendon, Ethics: Systematic Theology, Volume I, Nashville:
Abington Press, 1986; Doctrine: Systematic Theology, Volume 2, Nashville:
Abington Press, 1994; Witness: Systematic Theology, Volume 3, Nashville:
Abington Press, 2000.
3
James Wm. McClendon, Biography as Theology: How Life Stories can
Remake Today’s Theology, Nashville: Abington Press, 1974.
4
Selain itu dia juga menjadi pendiri dari organisasi Habitat for Humanity.
5
Ched Meyers, ‘Embodying the ”Great Story”. An interview with James W.
McClendon’, in The Witness Magazine, Volume 83/12, December 2000 –
lihat juga www.thewitness.org/archive/dec2000/mcclendon.html
6 1
Lihat Paul Thompson, The Voice of the Past. Oral History, 1978 dan 1988-
2
1992 , p. 29.
7
Kadang-kadang monografi itu diterbitkan secara terpisah, atau dijadikan
bagian dari Church Dogmatics.
8
Karl Barth, Kirchliche Dogmatik III/4. Die Lehre von der Schöpfung,
Zollikon-Zürich: Evangelischer Verlag A.G., 1951, 698.
9
Lihat misalnya Eberhard Röhm and Jörg Thierfelder, Juden-Christen-
Deutsche, Band I: 1933-1935, Stuttgart: Calwer Verlag, 1990, 167-173.
10
Kumpulan kesaksian para martir Anabaptis itu untuk pertama kali
diterbitkan pada thn. 1562 dengan judul Het Offer des Heeren (Korban
Tuhan), kemudian diperluas sebagai Martelaarsspiegel dalam tahun 1660
dan 1685. Buku terakhir itu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris
dan sampai sekarang sangat dihargai dalam kalangan Mennonite.
11
James McClendon, Ethics, 38.
12
Salah satu ayat Alkitab yang sangat mempengaruhi McClendon ialah
Kisah Rasul-Rasul 2:16 di 0mana sikap para rasul pada hari Pentekosta –
tidak mabuk, melainkan dipenuhi Roh Kudus – oleh Petrus langsung
dikaitkan dengan nubuat nabi Joël: ‘Akan terjadi pada hari-hari terakhir
bahwa Aku akan mencurahkan RohKu ke atas semua manusia, demikianlah
Firman Allah’. Itu berarti, zaman terakhir adalah sekarang. Dalam kata-kata
McClendon: ‘This is that’.
13
John Howard Yoder, ”Jezus belijden in de zending”, dalam Wereld en
Zending 25/3, 1996, 13-21. Tema nomor W&Z tersebut adalah ”Kristologi
dalam konteks”.
14
McClendon, Ethics, 27.

70
15
McClendon, Ethics, 31.
16
Bandingkan Pengkhotbah 4:12: ‘Tali tiga lembar tak mudah diputuskan’.
17
Charles Christano, Rahmat-Mu Berlimpah. Otobiografi, s.l., s.a. [1999]
18
Lihat John Howard Yoder, Karl Barth and the Problem of War, Nashville,
Tenn.: Abington Press, 1970.
19
Eberhard Bethge, Dietrich Bonhoeffer. Eine Biographie, München: Chr.
Kaiser Verlag, 1967, 468-470. Pada tahun 2000 biografi tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
20
Bethge, op.cit., 711-712.
21
E.G. Singgih, Masuk ke Dalam Hidup. Jurnal dan Meditasi Seorang
Mahasiswa Teologi, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2000.
22
Singgih, op.cit., 34 (catatan dari 23 Februari 1977).
23
Lihat www.dacb.org dan Jonathan J. Bonk, ‘Ecclesiastical Cartography
and the Invisible Continent’ dalam Afe Adogame, Roswith Gerloff dan Klaus
Hock (eds), Christianity in Africa and the African Diaspora. The
Appropriation of a Scattered Heritage, London/New York: Continuum,
2008, 20-32.
24
Scott W. Sunquist, David Wu Chu Sing, and John Chew Hiang Chea (eds),
A Dictionary of Asian Christianity, Grand Rapids: Eerdmans, 2001, 1017 pp.
25
John C. England dll (eds), Asian Christian Theologies: A Research Guide to
Authors, Movements, and Sources. Vol. 1: Overview from the Seventh to
the Twentieth Centuries; South Asia, AustralAsia (pp. xlv, 679); vol. 2:
Southeast Asia (pp. xlix, 684); vol. 3: Northeast Asia (pp. xlvii, 768), Delhi:
ISPCK; Quezon City: Claretian Publishers; Maryknoll, N.Y.: Orbis Books,
2002-4.
26
Gerald H. Anderson (ed), Biographical Dictionary of Christian Missions,
New York: Macmillan Reference, 1998. xxviii + 845 pp.
27
Semua jilid tersebut diterbitkan Taman Pustaka Kristen dan Lembaga
Studi & Pengembangan gereja-Gereja kristen Jawa, Yogyakarta/Salatiga,
2010.
28
Fridolin Ukur dkk (penerbit), Pelaku Wacana: peringatan asta darsa
warsa Mr. Augustine Leonore Fransz, 20 Agustus 1987, Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan PGI, 1987.
29
Lihat juga Tahi Bonar Simatupang, Gelebte Theologie in Indonesien. Zur
gesellschaftlichen Verantwortung der Christen, Göttingen: Vandenhoeck &
Ruprecht, 1992, dengan suatu biografi singkat oleh Olaf Schumann, h. 15-
25.

71
30
Pdt. E.G. Singgih Ph.D., ‘Manusia sebagai dokumen hidup: Pengantar ke
dalam autobiografi Pdt. R. Tasdik’, dalam Tim Penyusun, Percikan Riwayat
Hidup Pengabdian Pendeta R. Tasdik, Yogyakarta: Nafiri, s.a. [sekitar 1996],
15-25.

72
The Practical – Theological Spiral Revisited
From Social to Discursive Analysis
Frans Wijsen

Shortly after I defended and published my doctoral dissertation in


1994 (translated into Bahasa Indonesia and published in 2010 as
Buah-buah Roh) I was invited to participate in a team of Dutch
scholars which was to set up a post-graduate (S2) program in
practical theology at the Universitas Kristen Duta Wacana in
Yogyakarta. My first visit to Yogyakarta was in 1995. I then met
Gerrit Singgih for the first time.

My contribution to the program was to introduce and supervise


internships together with the staff of the Pusat Pastoral. For this
purpose I used the method that I had developed in my doctoral
dissertation, namely the so called pastoral circle, later renamed the
practical – theological spiral, rooted in the see – judge – act method
of the Catholic social action movement and later developed in Latin
American liberation theology comprising four steps: observation,
interpretation, evaluation, and innovation.

For the first and second step I used a specific way of conducting
social-scientific research, namely ethnographic semantics of James
Spradley (1979, 1980). My lecture notes were published by the Pusat
Pastoral (Wijsen 1999). Later Spradley‟s books were translated into
Bahasa Indonesia. These books reflected a shift which I framed, in
harmony with John Beattie (1982: xi), as a shift from ”functional”
to ”cognitive” anthropology. It defined culture in a cognitive way as
the shared knowledge that people used to interpret experience and to
generate behavior. It was concerned with the use of concepts,
categories and classifications (or cognitions) in human practices.


Profesor Teologi Antarbudaya (Intercultural Theology) di Faculty of
Philosophy, Theology and Religious Studies, Radboud University, Nijmegen
73
Spradley (1979: 99) assumed that cultural meaning systems were
encoded in symbols; that language was the primary symbol system
that encoded cultural meanings; that the meaning of a symbol was its
relationship to other symbols in a particular culture; and that the task
of the ethnographer was to discover the semantic relationships
among the cultural symbols.

The relational theory of meaning, characteristic of structuralism, was


obvious. This was the way I myself was trained for conducting
fieldwork in Tanzania, where newcomers to the field were prepared
in so called Language and Inculturation centers in Kipalapala and
Musoma, starting from the assumption: to learn a culture is to learn
its language.

Looking back at this period it is safe to say that I shared the


assumption of the ”golden age of American anthropology” (Hannerz
1992: 12), summarized in Malinowski‟s definition of the aim of
ethnography, quoted by Spradley (1979: 3), “to grasp the native‟s
point of view”. It assumed that a ”native‟s point of view” exists, and
that the researcher has access to it in objective ways. But the
questions are: Who is this native? And what is the researcher‟s
contribution to the generation of data?

In harmony with multi-dimensional model of meaning of Victor


Turner (1967: 50-52), namely the exegetical, the positional and the
operational meaning, the third level of my analysis looked at how the
meaning-systems were used by the participants. And although I was
critical of pure structuralism, seeing it in harmony with Pierre
Bourdieu (1990) as formal and a-historical, I did not yet take into
account the dialectical relationship between the symbol-system and
its users, or the reproduction and transformation of the symbol-
system through its use. This has become the main focus of my later
research, as indicated in the new foreword to the Indonesian
translation of my doctoral dissertation (Wijsen 2010: 3-5).

When I edited a volume commemorating twenty-five years using the


pastoral circle (Wijsen, Meja, Henriot 2005), Gerrit Singgih (2005)
wrote a contribution to it entitled Punishment and Liberation. How

74
the Pastoral Circle Transforms our Theologies. In this contribution
Singgih linked social analysis and cultural analysis to reflect on tacit
assumptions underlying his own and his students‟ theologies. It
clearly shows our common concern. The aim of the present
contribution is to elaborate on the above mentioned shift from
functional to cognitive anthropology, and to introduce a different
way of looking at theology and ”science” of religion, both in terms
of their object and in terms of methods, which can serve as the
second step in the practical-theological spiral.

For the sake of clarity I do not go into the complexities of the


relation between theology and science of religion; it suffices to say
that in the practical – theological spiral they are combined in an
inter-disciplinary way; steps one and two are social scientific, steps
three and four are theological. In my view, theology and science of
religion do not have different objects or methods, but different views
of science. Science of religion has an empirical view of science,
operating from methodical agnosticism; theology has a hermeneutic
view of science, operating from methodical conversion (Cox 1998:
93-96).

1. Discursive Study of Religion


Malinowski‟s definition of the aim of ethnography expressed clearly
the positivistic mode of thinking in the social sciences of his time.
Phenomenology in Dutch science of religion shared the same
positivistic mode. In the spirit of Husserl, phenomenologists wanted
to go back to the ”things as they are in themselves” (Flood 1999: 29-
33).

Phenomenology of Religion
From its very beginning as an academic discipline (Cornelius Tiele
in The Netherlands competes with Max Müller in the United
Kingdom for being the ”founding father” of science of religion),
roughly between the First and the Second World War (of course,
there were scholars of religion before this period) the dominant way
of practicing ”science” of religion was phenomenological.

75
Phenomenology was a reaction against the influence of Darwin‟s
evolution theory in other disciplines (Tylor, Frazer, Marett). After
the so called ”intellectualism”, which saw religion basically as a
logical error, functionalism saw religion as an epiphenomenon of
something else, society and economy (e.g. Durkheim), or biology
and mind (e.g. Freud).

Instead, phenomenology wanted to do justice to religion as it was in


itself, sui generis. It borrowed a framework from philosophy, based
on the Enlightenment distinction between the thing as it is in itself
and ”its appearance in the mind”.

More or less inspired by Husserl‟s ”return to the things themselves”,


the Dutch phenomenologist of religion, Gerardus Van der Leeuw‟s
used three analytic concepts in his Religion in Manifestation and
Essence (1973). First, epoche or bracketing, i.e. suspension of all
judgments concerning the objective world. Second, empathy;
through bracketing we are able to enter into the life of the other.
Third, eidetic reduction, i.e. to grasp the essence of a religious
manifestation and grouping together (typology) phenomena which
share the same essence.

By doing so, phenomenology wanted to acquire objective knowledge


of religion, the belief of the believers, or in terms of Malinowski‟s
ideal of ethnography, ”the native‟s point of view”. Even Clifford
Geertz‟s definition of religion as system of symbols was
phenomenological because he saw the symbol system as existing
independently of actors. For this reason, Talil Asad (1983) accused
Geertz (1973) of being a theologian more than an anthropologist.

Post-colonial and Post-modern Critique


From a post-colonial and post-modern perspective the
phenomenological approach is problematic for ontological and
epistemological reasons. The first is the objectivist understanding
of ”religion”. Phenomenologists claim that there is ”something”
outside there, sui generis. It exists independent of the scholar and it
appears to him/her in his/her experience. The second is the positivist

76
understanding of ”science”. By bracketing our preconceptions, it is
possible to see reality as it is in itself, in a neutral or objective way.

But post-colonial and post-modern critics say that religion does


not ”exist”, at least not in the way phenomenologists thought that it
existed. Religion is a Western construct, that was used for polemical
purposes in the Reformation and was rooted in the Enlightenment
distinction between the thing as it is in itself and it appearance in the
mind. Moreover, there is no neutral or objective knowledge. Science
does not describe something out there but constitutes (at least partly)
the thing that is described (Bourdieu 1990).

Jonathan (not to be confused with Wilfred Cantwell) Smith (1982)


said, ”There is no data for religion. Religion is solely the creation of
the scholar‟s study. It is created for the scholar‟s analytic purposes
by his imaginative acts of comparison and generalization. Religion
has no existence apart from the academy.” From a post-colonial
perspective it is added that knowledge of religion is constituted by
power. The concept of religion is a European invention that was used
to oppress other people‟s beliefs. Hinduism is a clear example, but
also the Indonesian concept of agama (Smith 1963: 59, 249-250).

From Phenomenological to Discursive Study of Religion


In order to overcome the pitfalls of phenomenology scholars of
religion go into two directions, social sciences and humanities. A
social science approach gives a definition of the research object (the
reality that is studied, in our case: religion), translates it in
operational terms that can be observed (values, characteristics,
properties) and measured by quantitative methods that produce – in
most cases – statistical results.

The problem is that after more than 100 years of its existence science
of religion has not been able to come up with a generally accepted
definition of its object: religion. And this is exactly where discursive
study of religion starts. Human practices and artifacts are not
religious because of some intrinsic values or primordial properties
that can be measured by objective criteria. Human practices and
artifacts are religious because believers place them in a narrative

77
context or a speech community. This is why people outside this
speech community do not recognize them as religious. And this is
why the boundary between what is considered to be religious and not
religious shifted in history.

We can give many examples to show that the boundaries between


belief and unbelief, or between religion and superstition, are not
fixed but fluid. For Catholics, Marian devotion is religion, for
Protestants it is idolatry. For Muslims associated with NU, going to
the shrines of the saints is religion; for Muslims associated with
Muhammadiyah this practice is superstition. For discursive study of
religion the object of study is not religion, because religion does
not ”exist”, at least not in the way phenomenologists thought that it
existed, but the discourses about religion, or why and how religion is
constituted through discourse (McCutcheon 2007).

2. Bourdieu’s Theory of Practice


The dominant social science approach does not solve the pitfalls of
phenomenology as it shares the objectivist view of religion and
positivistic view of science (Flood 1999). Thus I looked for an
alternative framework and found it in Bourdieu‟s theory of practice.
This also explains why I put ”science” of religion in inverted
commas. According to Bourdieu, ”science” of religion and social
science in general is not an ”exact” science in the same was as
natural sciences.

Pierre Bourdieu’s Life History


It is good to place Bourdieu‟s theory of practice in the context of his
life history, in harmony with his own principle of self-reflexivity.
Theories do not come „from heaven‟. Bourdieu studied philosophy in
Paris in the early 1950s. In those days the dominant trend in
philosophy was Jean Paul Sartre‟s existentialism which stressed
people‟s freedom to determine their own destiny.

After his studies Bourdieu was sent to Algeria where he served as a


soldier in the colonial war. There he experienced that existentialism
was too individualistic and that people‟s freedom was bounded by

78
power relations. He converted from philosophy to sociology; and
from existentialism to Marxism.

After his military service he worked at the University of Algiers


where he conducted large-scale statistical research. But he became
suspicious about the exactitude of the „exact‟ sciences. The social
reality in a country such as Algeria was too complex to be grasped in
clear-cut categories. He became interested in Weber‟s interpretative
approach. But he went with Weber beyond Weber (Bourdieu 1991b).

In the early 1960 Bourdieu moved back to France where he met a


new fashion: Claude Levy Strauss‟s structuralism. But here again,
Bourdieu was not satisfied with structuralism. According to him it
was a-historical and de-contextual. And it did not take into account
the social position of the researchers and their own contributions to
the production of their research material. Bourdieu (1990) always
stressed self-reflexivity of the researchers.

Bourdieu‟s life project can be seen as an attempt to bridge the


polarities between subjectivism and objectivism. His work can be
situated in the center of two axes with two poles. First, there is the
actor versus structure polarity. Second, there is the polarity between
surface structures of society (functionalism) and deep structures of
the mind (structuralism).

According to Bourdieu, subjectivists (e.g. Max Weber) reduce social


reality to the interpretation of the actors. They postulate continuity
between reality and experience of reality. On the other hand,
objectivists claim that the experience of the actors does not
represent ”real” reality; they postulate a discontinuity between reality
and experience of reality. The ”real” reality is in behind reality, in
the structures of the mind (e.g. Claude Lévy-Strauss) or in the
structures of society (e.g. Karl Marx).

Pierre Bourdieu’s Theory of Practice


Bourdieu is interested in the dialectic relation between what is in the
mind (concepts, classifications) and the structure of society (social
positions, social relations). He sees the society as a pluralistic space

79
of more or less autonomous fields (or ”markets”) where groups of
actors struggle to meet their interests (or make ”profit”) using
various resources (or ”capital”), in collaboration or in competition
with each other. Thus almost always there is inclusion and exclusion
at the same time

Bourdieu‟s key concept is ”habitus”. The habitus is a set of


dispositions which incline agents to act and react in certain ways.
Dispositions are inculcated, structured, durable, generative,
embodied. The habitus gives people a practical sense (”sense
pratique”), a feeling for what they should or should not do. Therefore
he disagrees with Habermas who says that practice is rational. People
act and react on the basis of a practical sense or feeling.

Particular practices are not the product of the habitus as such, but of
the relationship between the ”habitus” on the one hand and the social
context, ”field” or ”market”, on the other. A field or market is a
structured space of positions. And the positions are determined by
the different kinds of recourses or ”capital”: economic, social, or
cultural capital.

A ”field” or ”market” is always the site of struggles in which indivi-


duals seek to maintain or transform the distribution of the forms of
capital specific to it. The individuals who participate in these
struggles may have different aims, but they share in common some
fundamental presuppositions. They must believe in the game they are
playing; e.g. they know how to do business, politics.

Although Bourdieu borrows the concepts ”market”, ”profit”


and ”capital” from the language of economics, in his vocabulary
these terms are not ”economic” in the narrow sense of the word.
Though practices may not be governed by a strictly economic logic
(they may not be oriented towards financial gain) - some even may
be illogical in a strict economic sense - they may have a logic that is
economic in a broader sense of the word: the maximization of some
kind of capital, e.g. cultural or symbolic capital, or some kind
of ”profit”, e.g. honour or prestige.

80
Bourdieu assumes a link between actions and interests. While he
rejects that interests are always narrowly economic, they never cease
to comply with an economic logic. This is the basic assumption
about human action, Bourdieu‟s theory of practice. People do
not ”invest” in activities if there is no return, if they are
not ”profitable” in one way or another.

This is a heuristic principle. It calls upon the researcher to explore


the interests that are at stake in the practices which take place in cert-
ain fields. What the interests are can only be determined through a
careful empirical and historical inquiry. The fact that some actions
appear to be des-interested (in a narrow economic sense) does not
mean that they are interest-free.
Bourdieu‟s approach requires a systematic reconstruction of the field
within which religious speech is produced and reproduced and its
relation to the broader social space: a rigorous analysis of the social
positions of the speakers, the social relations between them and the
specific interests they might have.

The problem of structuralism is that its analyses remain too internal.


They fail to take into account the socio-historical conditions within
which the object of analysis is produced and reproduced. The
problem with Marxists, on the other hand, is that they reduce the
object of study to socio-economic processes. Here again, Bourdieu
stresses the dialectic relation between the two.

Pierre Bourdieu’s Notion of ‘Identity’


Bourdieu‟s concept of ”habitus” brings us to another concept that is
crucial to our research, namely ”identity” (Bourdieu 1991a: 220-228).
The confusion about the concept ”identity”, whether ”identities” are
to be understood in the sense of ”essentialism” or ”constructivism”,
stems in part from the fact that one tends to forget that cognitive
classifications are always subordinated to practical functions and
oriented towards the production of social effects.

In most cases identities are not based on ”intrinsic values” that could
serve as objective criteria, but they are the products of our
classification. Therefore, they are not ”natural” or ”primordial”

81
but ”social” or ”circumstantial” realities. Human practices or beliefs
are not ”religious” because of intrinsic values but because believers
classify them as religious. And as we already noted, the boundary
between religious and not religious shifted during history (Asad
1983).

But, identities can be used strategically according to the material but


also the symbolic interests of those who bear them. Identity (ethnic,
social, or religious) is a resource or ”capital” by which people or
groups of people try to serve their own interests, this is to gain
material (financial) or symbolic (prestige) ”profit”. Thus there is a
strategic or functional essentialism.

There are very few criteria capable of founding ”natural”


classifications separated by ”natural” frontiers. The frontiers are
always arbitrary or circumstantial, the product of a ”vision” and
thereby of a ”di-vison” of the world.

Thus, identity discourse is a performative discourse which aims to


impose a new definition of the frontiers. Bourdieu is inspired by the
religious field in two ways. First, he takes the notion of performative
language from the liturgy. The sacrament is what it is because
believers say that it is what it is. But, contrary to speech act theory,
Bourdieu said that speech is not by itself performative, but by the
authority of the speaker, who addresses real life issues, and who is
recognized as an authority by the listeners. Second, defining the
frontiers of a region, culture identity is a religious act, dividing
interior and exterior, sacred and profane, clean and unclean,
indigenous and foreign.

According to Bourdieu the main function of religion was to


formulate visions of the world and thereby sanctify di-visions, and
thus consecrate social reality; a function which in the modern
situation has been taken over by the state. These practical
classifications do not describe ”realities” out there but to a large
extent they contribute to the production of what they apparently
describe.

82
Once again, one can avoid the alternative of ”objectivism”
versus ”subjectivism” by taking into account that ”reality” is the site
of a permanent struggle to define ”reality”, and that classifications
produce differences as much as they are produced by them.

From here one can understand Bourdieu‟s critique of ”exact” science.


Scientific classifications contribute to the production of what they
apparently describe. Sociologists did not discover ”social classes”
but they created them by their classification. Anthropologists did not
discover ”ethnic groups” but they created them. By naming ethnic
groups the colonial administrators created them, in most cases to
serve their divide-and-rule policies. In the same way we can say:
scholars of religion did not discover ”religions” but they created
them, again in many cases to oppress them. ”Agama” in Indonesia
can serve as example (Smith 1963: 59, 249-250)

3. Critical Discourse Analysis


Bourdieu (1991a) did not translate his theory of symbolic power of
language into research methods. Critical or socio-cognitive discourse
analysts have taken up his spirit and developed conceptual and
technical frameworks for research (Jørgensen & Phillips 2002).
Although Norman Fairclough (1992, 2011) only seldom refers to
Bourdieu, he combined critical theory (macro sociology) with
linguistic analysis and micro sociology.

Fairclough (1992: 71-72) starts with the following assumptions. First,


discourse is a practice just as any other practice. The only difference
with other practices is its linguistic form. Second, there is a dialectic
relation between discourse (the discursive) and reality (the non-
discursive). Third, the relation between discourse and reality is
mediated through discursive practice. Thus, discursive practice is
crucial in linking language and reality, texts and context.

With other qualitative research methods (e.g. content analysis,


conversation analysis) critical discourse analysts are interested in
participants‟ perspectives. But, unlike these other approaches they
are not interested in participants‟ perspectives as such. They are
interested in how the perspectives of the participants are linked to

83
their social positions, and more particularly, in their interests to
reproduce or transform the societal order (Fairclough 1992: 65).

Critical discourse analysts distinguish different dimensions of one


and the same practice or level of analysis: the individual (micro)
dimension; the institutional (mezzo) dimension; and the societal
(macro) dimension (Fairclough 1992: 69). For example, the
interactions between teachers and pupils, doctors and patients, or
parents and children (micro level) are not only related to images of
what specific institutions such as school, hospital and family are
(mezzo level), but also to processes in the wider society (macro level)
such as democratisation or commercialization (Fairclough 1992: 65-
66, 200-224). These examples also show different units of analysis:
the cognitive or ideational (i.e. images) unit and the social or inter-
personal units (i.e. subject positions and social relations); and these
units go together.

The same applies to interactions between husband and wife in


marriage, employers and employees in labour organisations, shop
attendants and customers in super markets, politicians and electorate
in election campaigns, civil servants and citizens in a municipality.
This way of looking at social positions in specific fields can easily be
translated to studies of interactions between lay people and clerics in
the religious field (Bourdieu 1991b), between preachers and their
audiences, between catechists and catechumens, or between militant
and moderate believers (Wijsen & Cholil 2012).

Whereas radical post-structuralists tend to assume that discourse


positions the speakers, and discursive psychologists tend to assume
that speakers position themselves through discourse, Fairclough
(1992: 65) and other critical discourse analysts assume that it is both.
Speakers position themselves but they are also positioned by the
discourse. It is assumed that the relation between the discursive (text)
and the non-discursive (context) is a dialectical one.

But how does one go about it? In harmony with the three
assumptions mentioned above, critical discourse analysts distinguish
three stages in which they use various methods of analysis. These

84
methods are given different names. Fairclough (1992) speaks about
the analysis of linguistic practice, the analysis of discursive practice,
and the analysis of social practice. Alternative names are the analysis
of text, interaction, and context (Fairclough 2001: 21), or simply
description, interpretation and explanation (Fairclough 2001: 21-22;
1992: 199).

Description
As was said above, according to critical discourse analysts, discourse
is a practice just as any other practice. The only difference with other
practices is its linguistic form (Fairclough 1992: 71). Language use is
not only a way of saying things; it is a way of doing things. In other
words, language use is a ”speech act”.

Thus the first method is description, or the analysis of the linguistic


features of the text. At this stage, Fairclough (1992: 73-78) suggests
various tools, e.g. grammar, vocabulary, cohesion and structure. In
harmony with linguistic anthropologists (Fabian 2001), Fairclough
(1992: 185-186) says that it ”is sometimes useful for analytic
purposes to focus upon a single word” and that ”there are certain
culturally salient ‟keywords‟ which are worth focussing on in social
research”. This is what ”ethnography of speaking” called ”names for
things”, and discursive psychologists ”identity labels” (Antaki &
Widdicombe 1998). Wierzbicka (2006: 680), for example, studied
the shift in the use of the word ”dialogue”. She hypothesizes that the
word ”dialogue” was first used in the context of negotiations
between East and West during the Cold War era, and shifted to other
fields, e.g. inter-religious or inter-faith dialogue as proposed at the
Second Vatican Council and at the World Council of Churches
during the late 1960s.

Words are not neutral. They carry a hidden, ideological or political


agenda. For example, it does make a difference whether we speak
about Palestine ”terrorists” or ”freedom fighters” (Fairclough 1992:
75; McCutcheon 2007: 66). And, it does make a difference whether
scholars of religion speak about ”religious studies” or ”science of
religion”. These terms are not neutral but ideological. There is an

85
overlap with the third stage where we look at the ideological function
of language use.

Words are ideological when they fix meaning. This is standardization


or naturalization of text. Often the meanings of words are taken for
granted, and thereby become common sense. The fixed meaning is
an effect of a power struggle (Fairclough 2001: 27, 73; Fairclough
1992: 77-81), a closure of the multiplicity of meanings. Therefore it
is useful to ”focus on alternative wordings and their political and
ideological significance” (Fairclough 1992: 77; see also 190).

”The full account of the variability of a word … would require


comparison [italics are mine] of meaning systems” (Fairclough 2001:
78). This is what Van Dijk (2008: 107) calls ”discourse variations, in
different situations”. Fairclough (2001: 78) speaks in terms of the
relational theory of meaning. The meaning of a single word depends
on semantic relations such as similarity, contrast, overlap, and
inclusion. Thus, ”it is useful to compare [italics are mine] the
wording of particular domains” (Fairclough 1992: 193). Constant
comparative analysis (Strauss & Corbin 1998) is used to find
alternative wordings and the possible socio-cognitive effects of their
use.

Interpretation
According to critical discourse analysts, linguistic practice and social
practice are mediated through discursive practice. The discursive
practice (i.e. interaction) is crucial as the dialectic relation between
linguistic practice (i.e. text) and social practice (i.e. context) is based
on it (Fairclough 1992: 72, 80). This stage makes materialist models
different from other, e.g. cognitivist or mentalist models of discourse
analysis (Blommaert & Verschueren 1998: 26-27). Through the
discursive practice, language use and social reality are linked.

Consequently, the second stage is interpretation, or the analysis of


the production, distribution and consumption of text (Fairclough
1992: 71, 86). Here again, Fairclough (1992: 78-86) proposes various
tools. Also discourse styles and genres come in. Inter-discursivity is
what Foucault calls the ”order of discourse”. This refers to

86
hegemony of certain discourses over other discourses. For example,
political and economic discourse rules over cultural and religious
discourse (e.g. Habermas), or the other way round (e.g. Huntington).

When participants produce (communicate) or consume (interpret)


text and talk they draw upon ”mental maps” (Fairclough 1992: 82),
their ”cognitive apparatus” (Fairclough 2001: 133), ”members‟
resources” (Fairclough 2001: 20, 118) or ”mental models” (Van Dijk
2008: 75) stored as texts in their long-term memory (Fairclough 2001:
8-9, 20, 118). For example, participants may refer to narratives about
12th century Christian crusades, about 15th century Western
imperialism, or about 19th century Arab slave trade. These resources
are cognitive in the sense that they are in people‟s heads; they are
social in the sense that they are socially constructed and have social
effects (Fairclough 2001: 19-20). Recipients can only make sense of
(or understand) texts if they can relate them to texts which they
already have in their heads.

Distribution of text takes place through discourse genres in specific


fields with social relations and subject positions. ”A genre implies
not only a particular text type, but also particular processes of
producing, distributing and consuming texts”, says Fairclough (1992:
126). As was noted above, class room communication is a specific
genre (Fairclough 1992: 232) or discourse type (Fairclough 2001:
24-25, 122). It positions the teacher as teacher and the student as
student. The actors in class-room communication cannot change their
positions but they can fulfill them in different ways.

In the same way, a medical interview implies interaction between


doctor and patient; buying things involves interaction between
customer and shop assistant; an election campaign involves
interaction between politicians and electorate, and so on (Fairclough
1992: 124-130). These interactions (text) take place in concrete
contexts such as hospital, school, family, municipality,
neighbourhood or society at large (Fairclough 1992: 69). They shape
them and are shaped by them.

87
Explanation
Critical discourse analysts moreover assume that there is a dialectic
relation between language use and social reality. What participants
say is shaped by and shapes social structures, either by reproducing
them or transforming them (Fairclough 1992: 72). Discourses ”can
be expected [italics are mine] to have long-term effects [italics are
mine] on the knowledge and beliefs, social relationships, and social
identities of an institution or society”, says Fairclough (2001: 62).

For example, the school system presupposes a specific discourse type


(e.g. lecture or seminar) and specific social relations (e.g.
authoritarian or democratic) and subject positions (e.g. teacher and
pupil). The social system of school determines to a large extent the
discourse. By using it, teachers and pupils reproduce the school
system without change, or they transform it (Fairclough 2001: 31-32).
For example, teachers and pupils may reproduce a hierarchical
relation, or develop an egalitarian relation. By taking the positions
the participants become teacher or pupil. So reproduction may serve
conservation or transformation of the existing order. It is not only
rigid but also creative (Fairclough 2001: 24, 32).

The third stage is explanation; this is the analysis of the socio-


cognitive effects of the text. Also at this stage Fairclough (1992: 86-
96) mentions a variety of tools. In our research we focus on
hegemony and ideology, and we notice the overlap with he first stage
where we spoke about alternative wordings and their ideological
significances. By analysing social practice, discourse analysis
becomes a form of ideology critique. Unlike Foucault, who holds
that there is no reality beyond discourse, at least, that scholars do not
have access to it and thus lack instruments to assess what is ”true”
or ”un-true”, Fairclough (1992: 58) is convinced that ideology
critique is possible. Against Foucault‟s determinism, he places a
dialectic relation between discourse and reality.

Fairclough (1992: 64-65) speaks about effects at three levels:


knowledge or belief, social identities and social relations. In other
words, language constitutes ”identities”, ”relations” and ”ideas”

88
(Fairclough 2001: 62, 93-94). These are the ideational and
interpersonal (identity in relation) effects of language use.

Fairclough (1992: 65) is particularly interested in social change, i.e.


whether language use reproduces or transforms the societal order.
Ideology is fixation of meaning so that social reality appears to be
natural, and thus taken for granted. When participants continue to say
that ”women are weak”, or ”blacks are inferior”, sexism and racism
are reproduced. Or, in our disciplines, when scholars of religion say
that religious studies is ”science of religion”, they reduce the
diversity and complexity of this field of study to exact science.

Conclusion and Discussion


Some theologians may argue that this way of looking at religion
is ”scientific” and not ”theological”. Here again I would argue that
these theologians reduce the meaning of theology to one form of
theology, namely confessional or ecclesiastical theology, whereas
there is also a tradition of ”scientific” theology (Flood 1999: 20-25).
This is why I find the distinction between ”methodical agnosticism”
and ”methodical conversion” so important (Cox 1998: 93-96).
Methodical conversion can become or can be based on ”confessional
conversion”. But within the academic language game or speech
community conversion should remain methodical.

Looking back at my own development it is clear that ”discursive”


(critical or socio-cognitive) analysis fits the emancipation aim of the
practical – theological spiral better than old-style ”social” analysis,
as it focuses on power. It has implications for the first stage of the
practical-theological spiral, namely the way the interviewer puts
questions. In harmony with Ludwig Witgenstein it is better not to ask
for the meaning of words, but ask how words are used, as the
meaning of words is their use. Thus the researcher should ask: How
do you describe? What words do you use? But interview technique
goes beyond the focus of this article which focused on the second
stage of the practical-theological spiral only. In this stage we
advocated a shift from ”social” (focus the surface structures of
society) over ”cultural” (focus on shared meaning-systems)
to ”discursive” (analysis of discursive practices) analysis.

89
References
Antaki, C., S. Widdicombe (eds.). (1998). Identities in Talk. London
- Thousand Oaks: Sage.
Asad, T. (1983). Anthropological Conception of Religions.
Reflections on Geertz, in: Man 18, 237-259.
Beattie, J. (1982). Other Cultures: Aims, Methods, and Achievemenst in
Social Anthropology. London - Henley: Routledge and Kegan Paul.
Blommaert, J., J. Verschueren. (1998). Debating Diversity:
Analysing the Discourse of Tolerance. London - New York:
Routledge.
Bourdieu, P. (1990). In Other Words: Essays Towards Reflexive
Sociology. Stanford, CA: Stanford University Press.
Bourdieu, P. (1991a). Language and Symbolic Power. Cambridge:
Polity Press.
_____________. (1991b). ”Genesis and Structure of the Religious
Field”. In C. Calhoun (ed.). Comparative Social Research. Vol.
13. London: JAI Press.
Cox, J. (1998). Rational Ancestors: Scientific Rationality and
African Indigenous Religions. Cardiff: Cardiff Academic Press.
Fabian, J. (1986). Language and Colonial Power: The Appropriation
of Swahili in The Former Belgian Congo, 1880-1938. New York:
Cambridge University Press.
Fairclough, N. (1992). Discourse and Social Change. Cambridge: Polity
Press.
_______________. (2001). Language and Power. London – New York:
Longman.
Flood, G. (1999). Beyond Phenomenology: Rethinking The Study of
Religion. London - New York: Cassell.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. London: Fontana Press.
Hannerz, U. (1992). Cultural Complexity: Studies in the Social
Organization of Meaning. New York: Columbia University Press.
Jørgensen, M., L. Phillips (2002). Discourse Analysis as Theory and
Method. London: Sage.
McCutcheon, R. (2007). Studying Religion: An introduction. London –
Oakville: Equinox, 2007.
Singgih, G. (2005). ”Punishment and Liberation”. In F. Wijsen, P.
Henriot, R. Mejia (eds.). The Pastoral Circle Revisited.
Maryknoll – New York: Orbis Books.

90
Smith, J. (1982). Imagining Religion: From Babylon to Jonestown.
Chicago: University of Chicago Press.
Smith, W. (1963). The Meaning and End of Religion: A New Approach
to the Religious Traditions of Mankind. New York: New American
Library.
Spradley, J. (1979). The Ethnographic Interview. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Spradley, J. (1980). Participant Observation. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Strauss, G. and J. Corbin (1998). Basics of Qualitative Research:
Grounded Theory, Procedures, and Techniques. Newbury Park:
Sage.
Turner, V. (1967). The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual.
Ithaca: Cornell University Press.
Van der Leeuw, G. (1973). Religion in Essence and Manifestation: A
Study in Phenomenology. London: Goerge Allen & Unwin, Ltd.
Van Dijk, T. (2008). Discourse and Context: A Sociocognitive
Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, A. (2006). ”The Concept of ‟Dialogue‟ in Cross-
linguistic and Cross-cultural Perspective”. Discourse Studies 8/5.
Pp 675-703.
Wijsen, F., P. Henriot, R. Mejia (eds.). (2005). The Pastoral Circle
Revisited. A Critical Quest for Truth and Transformation.
Maryknoll – New York: Orbis Books.
Wijsen, F. (1999). Lingkaran Pastoral dalam Pendidikan Pelayanan.
Seri Pastoral 296. Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Wijsen F. (2010). Buah Buah Roh: Menjalankan Riset Sosial
Partisipatif di Belahan Dunia Selatan. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Wijsen, F. and S. Cholil (2012). ”I come from a Pancasila Family”.
Muslims and Christians in Indonesia. Paper presented at the
Indonesian – Dutch Consortium Meeting. Kaliurang, 25-30
March 2012.

91
Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibriditas
Robert Setio
The temptation to convert difference into heresy often flows from the effort
to conceal uncertainties in one’s faith or identity, projecting them onto
others as evils. (William E. Connolly)

Pendahuluan
Kemunculan wacana kontekstualisasi teologi di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari kesadaran tentang perlunya memberikan ruang
yang lebih besar kepada berbagai wujud kearifan lokal, baik itu
warisan budaya dari masa silam maupun pergulatan masyarakat di
masa sekarang. Tanpa sebuah kesengajaan untuk memunculkan
kearifan dan pergumulan yang berasal dari konteks lokal tersebut,
teologi di Indonesia sulit untuk berkembang. Setidaknya, teologi di
Indonesia tidak akan pernah menjadi mandiri dan selalu bergantung
kepada teologi di Eropa atau di Barat. Kebergantungan tersebut
hanya akan membuat teologi di Indonesia merupakan sebuah
peniruan saja terhadap teologi Barat.

Harus terlebih dahulu diakui bahwa teologi di Indonesia sampai


dengan sekarang masih memperlihatkan ketergantungan kepada
teologi Barat. Berakhirnya masa kolonialisme Belanda di tahun
1945, tidak secara otomatis mengakhiri dominasi teologi yang
diperkenalkan oleh para misionaris dan gereja Belanda di zaman
kolonial dahulu. Gereja-gereja di Indonesia masih tetap dengan setia
memelihara teologi yang diwarisi dari Belanda dahulu. Tanda yang
paling mencolok adalah belum adanya sebuah teologi yang khas
Indonesia. Di samping tentu saja masih dipakainya teologi yang
diwarisi dari Belanda, baik dalam arti yang konkrit seperti hasil-hasil
pemikiran teologi tertentu, maupun dalam arti yang lebih luas yaitu
menyangkut metode dalam berteologi.

Upaya kontekstualisasi teologi yang meskipun belum terlalu lama,


namun tidak terlalu sebentar juga, yaitu mulai tahun 1980an - bahkan


Dosen Perjanjian Pertama di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta.
93
sudah terjadi pada masa-masa sebelum itu jika upaya-upaya
pemribumian gereja yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Kekristenan
daerah seperti Kyai Sadrach, Coolen dan Anthing diperhitungkan -
nampaknya masih belum mampu mengubah keadaan secara
sungguh-sungguh. Teolog-teolog yang gigih memperjuangkan
kontekstualisasi masih perlu berjuang lebih keras lagi agar suara
mereka benar-benar didengar oleh gereja. Walaupun harus
diakatakan bahwa hasil jerih payah mereka bukan tidak ada sama
sekali. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh para mahasiswa di sekolah-
sekolah teologi yang diajar oleh para teolog itu memperlihatkan
cukup besarnya minat untuk melakukan kontekstualisasi teologi.
Skripsi (S-1), tesis (S-2) maupun disertasi (S-3) yang dibuat dengan
tema-tema kontekstualisasi semakin bertambah jumlahnya dari tahun
ke tahun. Tetapi seberapapun besarnya jumlah tulisan-tulisan yang
mengangkat tema kontekstualisasi itu, masih tetap lebih kecil
dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang tidak bertema
kontekstualisasi.
1
Para mahasiswa yang menulis tugas akhir dengan kerangka
kontekstualisasi seringkali pula dibayangi oleh rasa takut bahwa apa
yang ditulisnya itu menyalahi kebiasaan yang ada di gerejanya.
Mereka juga khawatir jika tulisan mereka dibaca oleh pendeta atau
pejabat gereja akan menjadi alasan untuk tidak menerima mereka di
gereja karena dianggap melawan arus. Kalaupun pada akhirnya
tulisan itu jadi dibuat, seberapa jauh pikiran-pikiran dalam tulisan itu
akan mampu diterapkan di jemaat masih menjadi pertanyaan besar.
Tidak sedikit mahasiswa yang berhasil membuat tulisan yang baik
mengenai kontekstualisasi teologi, ketika sudah terjun di jemaat
justru kembali kepada pola berpikir lama yang sama sekali tidak
peka terhadap kontekstualisasi. Pendek kata, gereja-gereja di
Indonesia belum memperlihatkan semangat untuk melakukan
kontekstualisasi yang berarti pula ide-ide kontekstualisasi belum
meresap ke dalam kehidupan gereja dan baru berputar-putar di dunia
kampus saja.

Kurangnya penerimaan gereja terhadap kontekstualisasi


memunculkan pertanyaan, mengapa jika kontekstualisasi itu penting,
gereja-gereja di Indonesia belum nampak bersemangat
melakukannya? Para teolog kontekstual seperti E. Gerrit Singgih

94
memberi alasan tentang pentingnya kontekstualisasi dengan
menghubungkannya dengan persoalan keadilan (E.G. Singgih, 1982).
Dominasi teologi Barat membawa akibat kepada rendahnya apresiasi
terhadap pemikiran-pemikiran lokal. Kondisi ini sangat tidak adil.
Seharusnya pemikiran atau budaya lokal diangkat dan dijadikan
dasar untuk berteologi. Tetapi, seruan atau tuntutan keadilan ini
nampaknya ditanggapi dengan dingin oleh gereja-gereja di
Indonesia. Berarti gereja-gereja tidak melihat adanya masalah
ketidakadilan itu. Tampak di sini perbedaan persepsi antara teolog
penganjur kontekstualisasi dengan gereja mengenai terjadinya
ketidakadilan ini.

Tulisan ini akan mencoba menyoroti perbedaan persepsi tersebut.


Langkah pertama yang akan dilakukan adalah memahami gejala
yang terjadi pada gereja-gereja di Indonesia yang nampak tetap setia
menjalankan teologi Barat. Gejala ini akan dibicarakan dengan
memakai perspektif poskolonialisme.2 Langkah kedua adalah
menyoroti sikap para teolog. Sikap yang dalam hemat penulis
seringkali bersifat dikotomis itu justru menimbulkan dilema. Jika
gereja-gereja di Indonesia diajak untuk melihat dirinya sebagai
gereja Indonesia yang bukan Barat, maka reaksi yang timbul justru
sebaliknya, mereka malah senang jika dipersamakan dengan orang
Barat. Mungkin kesenangan diidentikkan dengan orang Barat ini
dapat dianggap sekadar sebagai gaya-gayaan saja. Tetapi bisa juga
dan sangat mungkin apa yang terjadi dalam sendi-sendi pokok
kehidupan gereja di Indonesia sudah sangat dipengaruhi oleh Barat,
kalau tidak mau dibilang sudah identik dengan Barat. Jika begitu,
tidak mungkin meminta gereja-gereja di Indonesia memberi ruang
yang lebih besar kepada unsur lokal. Mereka sudah menjadi sangat
Barat dan sulit mendekatkan dirinya dengan kebudayaan lokal. Itulah
yang kiranya menjelaskan mengapa gereja-gereja di Indonesia tidak
dapat diyakinkan akan pentingnya kontekstualisasi. Maka, harus ada
pilihan lain selain yang menuntut gereja-gereja di Indonesia untuk
lebih mencerminkan konteks budaya lokal. Pilihan lain itu adalah
yang tidak mengkontraskan antara Barat dan Timur (Indonesia).
Tidak menempatkan Barat dan Timur secara dikotomis, melainkan
menerimanya sebagai percampuran, sebagai hibriditas. Itulah yang
akan diusahakan oleh penulis.

95
Poskolonialisme dan Kekristenan
Daniel von Allmen menengarai adanya 3 macam kebuntuan
(impasse) dalam sejarah perkembangan teologi kontekstual yaitu,
“(1) a colonial mindset that regards the theological products of
"third" world theologies as more contextually bound than "mainline"
theologies (the problem of paternalism); (2) the difficulties
associated with giving room to the insights and constructive
developments of particular contexts while maintaining a commitment
to the central tenets of the Christian faith (the problem of heresy);
and (3) the tendency to view contextualization simply as a
syncretistic blending of the Christian faith with some pre-existing set
of beliefs (the problem of syncretism). (1) cara berpikir kolonial
yang menganggap teologi dunia “ketiga” lebih terikat pada konteks
ketimbang teologi “arus utama” (masalah paternalisme); (2)
kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan pemberian
kesempatan bagi masukan dan perkembangan konstruktif yang
berasal dari konteks tertentu dengan tetap mempertahankan ajaran
pokok dari iman Kristen (masalah bidat); (3) kecenderungan untuk
melihat kontekstualisasi hanya sebagai percampuran sikretistis dari
iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lama (masalah
sinkretisme)”3 Masalah pertama yaitu paternalisme dapat dikatakan
sebagai sumber dari kedua masalah yang lain. Paternalisme yang
dimaksudkan oleh von Allmen tidak lain adalah penempatan teologi
Barat sebagai “pater” bagi teologi-teologi yang dikembangkan di
dunia lain yang bukan Barat. Alasan yang diberikan untuk
pengistimewaan tersebut adalah bahwa hanya teologi Baratlah yang
bersifat universal. Karena universal, maka semua orang harus
mengikuti teologi Barat. Teologi bukan Barat tidak dapat dijadikan
patokan karena tidak seuniversal teologi Barat.

Pengalaman Andraos, seorang dosen teologi dari Amerika Latin


berikut ini dapat mencerminkan apa yang terjadi, “…I can say that in
almost all the courses I took as a student in a variety of educational
institutions, cultural contexts, and countries, and in the courses I
taught, there is a hierarchy of systems and sources of knowledge,
with the Western perspectives at the top of the pyramid, that is
consistently affirmed in subtle, and sometimes unsubtle ways, as
universal. (…Saya dapat mengatakan bahwa dalam hampir semua

96
kelas yang saya ikuti sebagai mahasiswa di berbagai lembaga
pendidikan, di berbagai konteks budaya dan negara dan juga dalam
kelas-kelas yang saya ajar sendiri, di sana selalu ada sistem hirarkhi
yang juga berkenaan dengan sumber pengetahuan dimana perspektif
Barat selalu menduduki puncak piramida, ini kemudian dikonfirmasi
secara halus dan tidak halus sebagai sesuatu yang universal)”4
Temuan Andraos tidak hanya benar di kelas-kelas pendidikan
teologi, namun meluas hingga ke gereja-gereja yang menjadi tempat
dimana para lulusan sekolah teologi itu bekerja. Baik sekolah teologi
maupun gereja menerima begitu saja penempatan perspektif Barat
pada puncak piramida itu. Dampaknya bagi perspektif lain yang
bukan Barat adalah penempatan yang lebih rendah. Mengutip Walter
Mignolo, Andraos menyebut gejala ini dengan “the colonial
difference”. Di sini segala sesuatu yang bukan dari Barat dianggap
asing, tidak pas dan tidak dapat diperhitungkan. Gejala ini tidak
selalu nampak dengan jelas, namun tetap terasa pengaruhnya dalam
semua segi kehidupan. Edward Said mengatakan,

A whole range of people in the so-called Western or metropolitan


world, as well as their counterparts in the Third or formerly
colonized world, share a sense that the era of high or classical
imperialism, which came to a climax in what the historian Eric
Hobsbawm has so interestingly described as “the age of empire”
and more or less formally ended with the dismantling of the great
colonial structures after World War Two, has in one way or
another continued to exert considerable cultural influence in the
present. (Segala bangsa yang berada di dunia Barat atau
metropolitan, termasuk padanannya di dunia ketiga atau dunia
bekas jajahan, memiliki pemikiran yang sama tentang era
imperialisme klasik yang mencapai puncaknya dalam apa yang
oleh sejarahwan Eric Hobsbawm digambarkan secara menarik
sebagai “abad kekaisaran” dan yang kurang lebih berakhir
secara resmi bersamaan dengan dilucutinya struktur kolonial
pada Perand Dunia Kedua, telah dengan satu dan lain cara
melangsungkan pengaruh budayanya sampai dengan sekarang). 5

Berakhirnya masa kolonialisme pada Perang Dunia Kedua menurut


Said tidak berarti berakhirnya pengaruh bangsa-bangsa kolonial
dalam kehidupan bangsa-bangsa bekas jajahannya. Dalam hal
budaya pengaruh tersebut paling dapat dirasakan. Dalam kaitan
97
dengan teologi, pengaruh itu membuat teologi Barat menjadi
penentu. Penilaian benar / tidaknya, baik / buruknya teologi yang
dikembangkan di dunia bukan Barat diukur menurut teologi yang
dikembangkan di Barat. Semakin persis dengan teologi Barat akan
dinilai semakin baik. Padahal dunia bukan Barat memiliki
kekayaannya sendiri. Bila teologi Barat yang harus diikuti maka
tidak ada pilihan lain selain mengesampingkan kekayaan yang
sebenarnya sudah lama sekali diturun-temurunkan. Teologi Barat
akhirnya menyingkirkan warisan budaya lokal. Penyikiran ini
seringkali dilakukan dengan cara-cara yang keras seperti dengan
menuduh bahwa unsur lokal itu tidak sesuai dengan iman Kristen
atau sesat (poin 2 dari von Allmen). Tuduhan semacam ini pastilah
menimbulkan ketakutan. Orang menjadi takut bahwa dirinya sudah
mengikuti jalan yang tidak benar. Maka, orang lalu menempuh jalan
untuk menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan orangtua atau nenek
moyangnya sendiri.

Kekristenan memang masuk ke Indonesia lewat orang-orang Barat.


Tetapi kenyataan historis ini kemudian diangkat menjadi sesuatu
yang universal, seperti yang juga dikatakan oleh Andraos dan von
Allmen tadi. Posisi tersebut kemudian berlanjut dengan penempatan
Kekristenan sebagai struktur super yang berada di atas budaya.
Kekristenan itu dipandang sebagai agama yang diturunkan dari
surga. Sedang budaya dipandang hanya merupakan hasil karya
manusia yang tingkatnya lebih rendah. Kaum Calvinis akan
menjelaskan bahwa agama itu soal wahyu yang datangnya langsung
dari Tuhan, sedang budaya adalah buah karya manusia semata.
Dengan demikian agama harus mencerahkan budaya. Agama harus
membenarkan apa yang salah dari budaya. Budaya cenderung keliru,
agama sebagai wujud wahyu tidak mungkin keliru. Maka, tidak
mungkin agama bersatu dengan budaya. Agama, ya, agama; budaya,
ya, budaya.

Padahal jika orang mau menyadari dan menerimanya, Kekristenan


tidak bisa dilepaskan dari tangan manusia dan bahkan harus
dikatakan sebagai ciptaan manusia, bagian dari budaya itu sendiri.
Manusia itulah yang memahami Tuhan sedemikian rupa sehingga
akhirnya melahirkan agama, melahirkan Kekristenan. Tentu saja

98
mereka yang melaksanakan olah religius ini meyakini akan
keterlibatan Tuhan. Wajar juga jika mereka memberikan argumentasi
dogmatis bahwa Tuhanlah yang mengawali proses perenungan
tersebut melalui sebuah inspirasi atau wahyu. Tanpa mengecilkan
keyakinan dogmatis tersebut, Kekristenan pada akhirnya tidak dapat
melepaskan dirinya dari ekspresi-ekspresi budaya yang berasal dari
manusia juga.

Ajaran Kristen tentang inkarnasi sebenarnya mendukung penerimaan


terhadap wujud kemanusiawian Kekristenan itu. Dalam pemahaman
inkarnasi, Tuhan digambarkan telah merelakan diriNya untuk
menjadi sama dengan manusia. Bahkan lebih rendah daripada
manusia yaitu dengan menjadi hamba dan berkorban di atas kayu
salib (kenosis). Pengambilan wujud manusia yang dilakukan oleh
Tuhan ini menandaskan penerimaan Tuhan terhadap hal ikhwal
manusia. Tuhan menghargai kemanusiaan, bukan menolak atau
merendahkannya. Kekristenan yang mendasarkan diri pada
pemahaman ini seharusnya mengikuti apa yang dilakukan oleh
Tuhan yaitu menerima segala sesuatu yang datangnya dari manusia.
Bahkan merayakan kemanusiaan itu sebagai alasan mengapa Tuhan
berkarya di dunia ini.

Jika Kekristenan telah dapat diterima sebagai produk manusia, masih


ada persoalan lain yang harus ditangani yaitu persoalan siapa
manusia yang dimaksud itu. Tadi sudah disebut-sebut bahwa
Kekristenan yang diperkenalkan di Indonesia berasal dari Barat.
Memang Kekristenan yang dibawa oleh orang-orang Barat ke
Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Sejarah itu dimulai dari
Yudaisme dan kemudian dunia Graeko-Romawi di masa gereja-
gereja perdana. Dengan sedikit perkecualian dapat dikatakan bahwa
Kekristenan merupakan produk dari kebudayaan Yahudi dan
Graeko-Romawi. Setelah Kekaisaran Roma menjadi Kristen dan
Kekristenan dijadikan agama negara, pengaruh kebudayaan Graeko-
Romawi lebih mendominasi Kekristenan. Dari sanalah kebudayaan
Barat bertumbuh dan berkembang. Jadi hubungan antara kebudayaan
Barat dan Kekristenan memang sudah terjadi sejak masa awal
Kekristenan dan menjadi makin kuat pada masa-masa sesudah
Kristen menjadi agama negara di masa Kekaisaran Romawi. Tidak

99
mengherankan jika orang sulit membedakan Kekristenan dari
kebudayaan Barat. Sebenarnya tidak perlu juga keduanya dipisahkan.
Yang justru diperlukan adalah mengakuinya saja. Kekristenan harus
diakui sebagai produk kebudayaan Barat. Kalau kenyataan ini sudah
diakui, tindakan selanjutnya adalah melihat dan mengakui
kesubyektifannya, kesementaraannya, sebagai sesuatu yang terikat
secara historis. Sebagai sebuah agama yang berada dan lahir dari
dalam kandungan budaya, Kekristenan tidak netral. Ia berada dalam
lingkaran sebuah kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan
Barat. Kalau begitu, ia tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang
universal, karena tidak ada sebuah kebudayaan yang universal.
Kebudayaan berada dalam sebuah konteks tertentu yang
membuatnya terbatas pada konteksnya. Mengutip kata-kata inspiratif
dari filsuf Pragmatis, Richard Rorty, demikian:

Truth cannot be out there – cannot exist independently of the


human mind – because sentences cannot so exist, or be out there.
The world is out there, but descriptions of the world are not. Only
descriptions of the world can be true or false. The world on its
own – unaided by the describing activities of human beings –
cannot. (Kebenaran tidak dapat berada di luar sana – tidak dapat
berada di luar pikiran manusia – karena kalimat-kalimat tidak
dapat ada di luar sana. Dunia memang ada di luar sana, namun
penggambaran-penggambarannya tidak demikian. Hanya
penggambaran mengenai dunia dapat disebut salah atau benar.
Dunia pada dirinya sendiri – tanpa pertolongan usaha-usaha
pendeskripsiannya – tidak mungkin ada.) 6

Karena sifatnya yang bergantung pada pemikiran manusia, pada


upaya yang dibuat oleh manusia maka sebagaimana penggambaran
dunia dalam perkataan Rorty tersebut, Kekristenan pun tidak
mungkin terlepas dari faktor kemanusiaan yang bersifat sementara
atau istilah Rorty “contingency”.

Bila Kekristenan ditempatkan sebagai sebuah produk budaya, sudah


selayaknyalah jika ia mengikuti budaya di mana dia berada.
Meskipun secara historis Kekristenan bukan berasal dari budaya
yang ada di Indonesia, namun ketika ia masuk ke dalam kebudayaan
Indonesia, seharusnya ia menjadi bagian dari dan ditentukan oleh

100
kebudayaan-kebudayaan (jamak) yang ada di Indonesia. Artinya,
kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia harusnya menjadi
“tanah” dimana Kekristenan bertumbuh dan berkembang.
Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia yang dimaksud di
sini adalah semua warisan nenek moyang sudah sudah diturunkan
dari generasi ke generasi. Warisan nenek moyang tersebut itulah
yang menjadi tempat persemaian Kekristenan. Maka, sikap yang
merendahkan, apalagi memusuhi kearifan lokal yang diwarisi dari
nenek moyang jelas tidak dapat diterima. Kebuntuan kedua dan
ketiga dari kontekstualisasi sebagaimana ditengarai oleh von Allmen
di atas memperlihatkan sikap yang seharusnya tidak boleh ada itu.
Kita sering mendengar orang yang ketika menjadi Kristen lalu
berusaha menyingkirkan semua kebiasaan lama yang diwariskan
oleh nenek moyangnya. Penyingkiran tradisi sendiri itu dilakukan
dengan semangat menjaga kemurnian Kekristenannya. Kalau ada
orang Kristen yang masih memelihara tradisi nenek moyang, orang
itu akan dianggap sesat. Semua kebiasaan lama harus dibuang dan
diganti dengan kebiasaan baru yang diberikan oleh Kekristenan.
Tidak sedikit orang yang merasakan suatu dilema yang besar antara
mempertahankan tradisi lamanya yang masih sangat dijunjung tinggi
dengan desakan untuk menyingkirkannya sebagai orang Kristen.
Terkadang lahir kompromi diam-diam. Tradisi lama masih
dijalankan tetapi di luar gereja. Pihak gereja juga mendiamkan saja
praktik-praktik tersebut sejauh tidak dimasukkan ke dalam gereja.
Tetapi bagi pihak-pihak tertentu, kompromi diam-diam ini tetap
tidak dapat diterima. Tradisi lama harus sama sekali dihapuskan.
Sampai sekarang hubungan antara Kekristenan dengan budaya
setempat masih banyak diwarnai suasana permusuhan. Maka dengan
menyesal harus dikatakan bahwa meskipun Kekristenan telah berada
sekian puluh bahkan ratus tahun di Indonesia, ia belum dapat
menjadi bagian dari kebudayaan setempat. Kontekstualisasi masih
belum sungguh-sungguh menampakkan hasilnya.

Masalah ini nampaknya murni tentang kebudayaan, namun


sebenarnya menyimpan persoalan yang lebih besar lagi yakni
kekuasaan. Sebenarnya sikap berpolemik dengan kebudayaan sekitar
sudah ada sejak awal Kekristenan (Luke Timothy Johnson, 2009).
Jika Injil-injil banyak berisi polemik antara Yesus (mewakili

101
Kekristenan) dan pemimpin serta orang-orang Yahudi, surat-surat
Paulus memperlihatkan polemik lainnya yaitu dengan penganut
kepercayaan Yunani-Romawi. Kedua macam polemik tersebut
mempunyai maksud yang sama yaitu mempersalahkan agama-agama
yang sudah ada terlebih dahulu, agama-agama yang telah dianut oleh
masyarakat ketika Kekristenan datang. Ketika berpolemik dengan
orang-orang Yahudi, Yesus mewakili ide pembaruan terhadap
Yudaisme. Semangat pembaruan ini semakin lama semakin
mengerucut pada pemisahan yang menjadi jelas dalam pemikiran
Paulus. Sejak itu, Kekristenan menempatkan dirinya sebagai agama
yang berbeda dari Yudaisme. Mungkin Paulus tidak pernah
membayangkan bahwa ide-idenya di kemudian hari membuahkan
sikap yang jauh lebih tegas bahkan penuh dengan kekerasan terhadap
Yudaisme dan orang-orang Yahudi daripada yang dipikirkannya
sendiri. Tetapi itulah yang terjadi ketika Kekristenan menjadi agama
negara, agama Kekaisaran Romawi. Pembedaan Kristen dan
Yudaisme menjadi alasan untuk menundukkan orang-orang Yahudi,
memaksa mereka untuk pindah agama menjadi Kristen dan menyiksa
mereka jika mereka membangkang. Pada zaman modern, kita semua
tahu bagaimana akibat penaklukan itu ketika digunakan oleh Nazi di
bawah kepemimpinan Hitler untuk membasmi orang-orang Yahudi
di Jerman dan wilayah Eropa lainnya. Tragedi ini mengingatkan kita
tentang akibat yang fatal yang dapat ditimbulkan oleh sebuah
polemik agama. Pembedaan dari agama lain yang dilakukan dengan
semangat polemik ketika dibarengi dengan kekuasaan akan
membuahkan pemusnahan agama yang berbeda itu. “The colonial
difference” tidak sekadar menjadi persoalan budaya yang abstrak,
namun dapat sewaktu-waktu berubah menjadi sebuah tindakan fisik
berupa pemusnahan terhadap yang berbeda itu.

Polemik lain yang terjadi pada masa Kekristenan awal adalah dengan
agama Yunani-Romawi. Senjata yang digunakan Paulus untuk
menyerang agama Yunani-Romawi adalah kepercayaan monoteistik
yang diwarisi dari Yudaisme. Dalam hal ini, agama Yunani-Romawi
diserang karena politeistis. Wacana anti politeisme itu ternyata terus
berlanjut sampai dengan sekarang. Tanpa mau tahu tahu apa yang
dialami dan dirasakan oleh penganut agama politeistis itu,
Kekristenan sudah langsung menuduh bahwa kepercayaan semacam

102
itu tidak masuk akal. Pandangan yang sama juga dimiliki oleh Islam
dan tentu saja Yudaisme sebagai agama yang menjadi cikal bakal
dari Kekristenan dan Islam. Serangan terhadap agama-agama
politeistis sudah ada pada literatur-literatur kenabian. Para nabi
mengkritik agama Babel, Mesir dan bangsa-bangsa bukan Israel
karena mereka percaya kepada dewa-dewi. Di pihak lain, Israel
digambarkan sebagai penganut Tuhan yang esa yaitu Yahweh.
Kepercayaan monoteistik ini tidak sekadar dibedakan dan
dikontraskan dengan politeisme, namun juga melahirkan sebuah
sikap yang intoleran. Monoteisme melahirkan tuntutan yang absolut
untuk mengikuti dirinya. Sikap absolutis ini sangat lekat dengan
kekerasan (Regina M. Schwartz, 1997). Dalam sejarah, agama-
agama monoteistik memiliki catatan yang buruk sebagai pelaku
kekerasan. Konflik antaragama yang terjadi dewasa ini menambah
panjang catatan tentang kekerasan oleh agama-agama monoteistik.
Di Indonesia, konflik antaragama tidak saja terjadi antara sesama
agama monoteistik (Kristen-Islam), namun juga antara agama
monoteistik dengan agama-agama lokal. Agama-agama suku yang
usianya sudah sangat tua dan sudah lebih dahulu ada sebelum
masuknya Islam dan Kristen seringkali menjadi target kekerasan dari
pemeluk Islam dan Kristen. Kalaupun tidak secara fisik, para
penganut agama suku itu sering ditekan, tidak diberi keleluasaan
untuk beribadah dan dijadikan sasaran proselitisasi. Pendeknya,
agama-agama suku harus hilang dan digantikan dengan agama-
agama monoteistik. Pandangan mengenai agama sukupun sangat
negatif. Agama suku dipandang penuh dengan tahyul, irrasional,
terbelakang (pra-modern) dan barbar. Kekristenan mewarisi
pandangan negatif ini dari para pendahulunya yang ide-idenya
nampak dalam surat-surat Paulus. Ironisnya, Paulus sendiri sangat
dipengaruhi baik oleh Yudaisme maupun peradaban Yunani-
Romawi. Jadi aneh jika Kekristenan hidup dalam sebuah dunia yang
membentuk dirinya namun kemudian memusuhi dunia itu. Tetapi
bila kita mengaitkannya dengan kekuasaan, keanehan itu menjadi
wajar. Kekuasaan memungkinkan Kekristenan yang sebenarnya
hidup dalam alam Yahudi dan Yunani-Romawi justru memusuhi
orang dan kebudayaan Yahudi dan Yunani-Romawi itu.

103
Poskolonialisme menantang Kekristenan untuk melihat ke dalam
dirinya dan menemukan roh kolonialisme yang sejatinya adalah
hasrat kekuasaan totalitarian yang ingin menghisap segala yang
berbeda untuk dipersamakan dengan dirinya baik secara halus
melalui pengaruh budaya maupun dengan jalan kekerasan. Selain itu,
poskolonialisme juga mendesak Kekristenan untuk bersedia
menerima budaya lain, yang dalam hal ini berarti budaya lokal di
Indonesia, secara setara dengan budaya Barat. Dalam kaitan dengan
teologi, itu berarti teologi yang berangkat dari konteks setempat
diberi kebebasan untuk berekspresi tanpa dicurigai sebagai yang
lawan. Karena selama ini teologi Barat mendominasi teologi di
Indonesia maka langkah yang harus diambil sekarang adalah
mengangkat sebanyak mungkin kemungkinan yang berasal dari
pergumulan lokal dan menggantungkan (setidaknya untuk
sementara) teologi yang dari Barat. Tentu saja strategi ini hanya
berupa bayangan di atas kertas. Di lapangan, pemisahan itu mungkin
tidak bisa dilakukan secara tajam. Tetapi sekalipun begitu orang
masih dapat menemukan mana yang berasal dari unsur lokal dan
mana yang diimpor dari Barat. Maka, bukan hal yang sulit untuk
mengangkat unsur lokal tersebut seandainya ada kemauan.

Usul-usul tersebut sebenarnya bukan baru saja dimunculkan.


Kesamaan dengan upaya-upaya kontekstualisasi tidak perlu
dipungkiri. Tetapi poskolonialisme ingin melangkah lebih jauh
daripada kontekstualisasi atau lebih tepatnya kontekstualisasi
sebelum mengalami sentuhan poskolonialisme. Yang menandakan
langkah yang lebih jauh itu adalah pengaitan tuntutan agar budaya
kontekstual diangkat dengan isu kolonialisme. Pengaitan itu
membawa dampak pada dilihatnya masalah ini sebagai masalah
politik. Malah politik yang berbalut dengan nafsu berkuasa.
Kontekstualisasi dalam perspektif poskolonialisme menjadi semacam
sebuah perlawanan terhadap politik totalitarianisme yang tak segan-
segan menggunakan jalan kekerasan.

Praktik dari pemahaman poskolonialisme itu sudah penulis coba


jalankan dalam kelas-kelas hermeneutik Alkitab.7 Dengan
menggunakan penafsiran lintas teks dan budaya, penulis mengajak
mahasiswa untuk mempertemukan teks maupun hasil budaya lokal

104
dengan teks Alkitab. Prinsipnya adalah bahwa pemahaman dapat
diperoleh dari mana saja, tidak terbatas dari teks Alkitab saja.
Pertemuan antar teks atau budaya itu juga memungkinkan sebuah
dialog yang tidak hanya bersifat konfirmatif (meneguhkan), namun
juga bersifat konfrontatif, termasuk konfrontasi terhadap kandungan
yang terdapat dalam Alkitab. Bentuk praktik lain yang penulis
usahakan adalah memulai pemahaman akan teks Alkitab dari pikiran
mahasiswa. Dengan sengaja informasi mengenai pendapat para ahli
dikesampingkan. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menuangkan
pikirannya sendiri atas teks Alkitab yang dibacanya. Pikiran itu
kemudian dianalisa dan sengaja diposisikan sebagai sumber
pengetahuan. Pesannya di sini adalah bahwa sumber pengetahuan itu
tidak hanya bisa datang dari para ahli saja, namun juga dari
pengalaman sendiri. Memang pengetahuan yang berasal dari
pengalaman sendiri itu tidak otomatis berarti benar-benar lepas dari
pendapat para ahli. Sebab, sudah disebutkan sebelumnya bahwa
Kekristenan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Kekristenan Barat.
Dari pengaruh itu, besar kemungkinan ide-ide para ahli yang
notabene orang Barat menelusup masuk, mempengaruhi pikiran para
mahasiswa. Jadi kesempatan yang diberikan oleh mahasiswa untuk
mengutarakan pikirannya sendiri itu belum tentu benar-benar
menyuarakan pikiran yang lain daripada yang dimiliki para ahli yang
orang Barat itu. Tetapi tanda-tanda adanya pikiran sendiri yang
belum dipengaruhi pemikiran Barat masih tetap dapat ditemui.
Paling tidak, proses ini akan memberikan kepercayaan diri yang
lebih besar kepada para mahasiswa.

Melalui praktik tersebut penulis bermaksud membalik paradigma


akademik. Bagi penulis keharusan untuk belajar dari para ahli adalah
sebuah bentuk kolonialisme. Orang bisa belajar dari siapa saja,
termasuk dari pengalamannya sendiri. Belajar dari para ahli bukanlah
sebuah keharusan meskipun tidak boleh dipersalahkan juga. Para ahli
memiliki metodenya sendiri dalam membangun pengetahuan.
Termasuk dalam menetapkan sumber mana yang dipercayainya.
Metode itu sekalipun sah tidak seharusnya dimutlakkan. Para
mahasiswa seharusnya diberi kebebasan untuk menentukan metode
pembelajarannya sendiri. Kedudukan para ahli hanyalah sejauh
sebagai konsultan, yang tidak harus dituruti segala sesuatunya. Jadi,

105
baik dalam soal metode mendapatkan pengetahuan maupun dalam
menetapkan sumber pengetahuan setiap orang harus diberi
kesempatan yang sama. Di sini tidak ada pihak yang ditempatkan
lebih tinggi, lebih berwibawa atau lebih benar. Kebenaran hanya bisa
diterima jika orang setuju terhadap cara mencapainya. Tetapi tidak
ada sebuah cara yang universal. Karena itu tidak ada yang boleh
mengklaim bahwa caranya universal.

Manusia Hibrid
Amin Maalouf, seorang Lebanon yang hijrah ke Perancis seringkali
menerima pertanyaan apakah dia merasa lebih Lebanon atau
Perancis? Pertanyaan yang cukup wajar ini mendorong Maalouf
untuk berefleksi lebih dalam mengenai dirinya hingga dia
menemukan bahwa “I haven’t got several identities: I’ve got just
one, made up of many components in a mixture that is unique to me,
just as other people’s identity is unique to them as individuals. (Aku
tidak mempunyai sekian identitas: Aku hanya punya satu, terdiri dari
banyak komponen dalam suatu percampuran yang unik bagi diriku,
sama seperti identitas orang lain yang juga unik bagi mereka
sebagai indvidu.)”8 Kesaksian Maalouf ini menarik. Biasanya ketika
orang bicara tentang keunikan dirinya yang akan disodorkan adalah
bukti-bukti yang membuatnya nampak berbeda dari orang lain.
Keunikan adalah kekhususan yang dimiliki seseorang, yang tidak
dimiliki orang lain. Tetapi bagi Maalouf keunikan adalah justru
percampuran dari apa-apa yang dimiliki orang lain. Unik, dengan
kata lain, adalah hal yang membuat Maalouf terhubung dengan
orang-orang lain yang keberadaannya juga ada pada dirinya. Ia
adalah Perancis sebagaimana orang Perancis lainnya. Ia juga adalah
Lebanon sebagaimana orang Lebanon lainnya.

Maalouf sebenarnya berbicara mengenai identitas. Lagi-lagi kita


mendapati pemahaman yang tidak biasa. Ketika berbicara mengenai
identitas, orang cenderung untuk membuat garis pemisah antara
dirinya dengan yang lain, antara kelompok dimana dia tergabung
dengan kelompok lainnya. Misalnya saja identitas suku, bangsa, juga
agama. Identitas memperjelas dengan jalan mengontraskan
perbedaan. Suku Jawa dibedakan dari suku Bugis, agama Islam
dibedakan dari agama Kristen dan seterusnya. Tetapi, bagi Maalouf

106
konstruksi identitas seperti itu tidak berlaku bagi dirinya. Konstruksi
semacam itu justru akan membuat dirinya terlihat setengah-setengah
atau tidak jelas. Tidak Lebanon, tetapi juga tidak Perancis. Maalouf
menolak penggambaran tersebut dan memberikan penggambaran
yang lain yaitu bahwa sekalipun di dalam dirinya ada beragam
identitas namun ia melihat dirinya sebagai orang yang hanya
memiliki satu identitas saja. Maalouf bukannya menolak
kepelbagaian dalam dirinya. Tetapi yang ditolaknya adalah jika
kepelbagaian itu hendak dilihat secara terpisah-pisah. Ia ingin
menyatukan kepelbagaian itu dalam sebuah identitas. Identitas yang
satu namun hibrid.9

Dari sisi psikologi sosial, Bernice Lott mengamati gejala yang umum
terjadi di berbagai tempat di dunia dewasa ini yaitu bahwa, “each of
us is a multicultural human being (setiap kita adalah manusia
multibudaya)”.10 Diskursus multibudaya (multiculturalism) yang
pada umumnya dikenakan kepada sebuah bangsa atau masyarakat,
ternyata juga dapat dikenakan kepada pribadi. Itu berarti, gejala
multibudaya tidak hanya berhenti pada taraf kelompok (bangsa,
masyarakat, komunitas), namun merambah hingga ke taraf individu.
Setiap orang yang hidup dalam konteks heterogen akan mengalami
heterogenitas itu dalam dirinya. Andaikan pemahaman ini kita bawa
ke konteks Indonesia yang heterogen maka setiap penduduk negeri
ini sebenarnya adalah orang yang multibudaya, orang yang hibrid.
Karena heterogenitas di Indonesia tidak hanya berupa budaya dalam
arti spesifik, namun juga agama, maka multibudaya yang merupakan
keberadaan setiap orang itu terdiri dari unsur agama pula. Berarti
setiap orang di negeri ini adalah orang yang multiagama.

Persoalan dari manusia multibudaya adalah bagaimana ia mampu


menempatkan kepelbagaian itu agar pada akhirnya kepelbagaian itu
dapat menolong dirinya untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih
baik. Sebab, kondisi multibudaya tidak hanya untuk diterima sebagai
sebuah “pemberian” (ascribed), namun juga sebuah kesempatan
yang harus disikapi dengan aktif. Multibudaya perlu dipandang
sebagai sebuah pilihan yang diputuskan dengan perhitungan yang
masak. Perhitungan tersebut tidak bisa dilakukan secara keterwakilan
sebagaimana yang terjadi di zaman Orde Baru.

107
Ketika itu kebhinnekaan bangsa jelas-jelas diakui dan ditanamkan
dalam kesadaran setiap warga negara. Tetapi kebhinnekaan tersebut
tidak memerlukan keterlibatan dari warga negara, baik dalam arti
sebuah kelompok (masyarakat, komunitas, organisasi), apalagi dalam
arti individual. Akhirnya, meskipun semua orang tahu bahwa
Indonesia adalah bangsa yang bhineka, namun pengertian
kebhinekaan itu masih merupakan sesuatu yang asing. Pengertian itu
lebih merupakan doktrin yang dibuat oleh pemerintah yang harus
diterima begitu saja oleh warga negara. Belum lagi pada waktu itu
kebhinekaan hanya dijadikan sebuah jalan masuk menuju kepada ke-
ika-an. Tekanan yang lebih besar diberikan oleh pemerintah kepada
ke-ika-an itu di bawah jargon “kesatuan dan persatuan” yang
berulangkali diperdengarkan kepada masyarakat. Akibatnya, orang
hanya mengerti kebhinekaan itu sedikit saja atau sambil lalu saja
untuk kemudian diarahkan kepada ide kesatuan.

Maka, ketika sekarang kita membicarakan multibudaya, kita perlu


menyadari perbedaannya dengan konsep-konsep “bhinneka tunggal
ika” yang diajarkan oleh pemerintahan Orde Baru dulu. Perbedaan
itu terdapat pada tidak diletakannya agenda kesatuan di depan,
meskipun bukan sama sekali ditolak juga. Kesatuan tidak ingin
dijadikan asumsi yang mendahului keragaman. Kesatuan juga tidak
dijadikan pengarah bagi keragaman yang seringkali berakhir dengan
kesegaraman itu. Perbedaan lainnya adalah pada partisipasi setiap
kelompok, bahkan setiap individu dalam menyikapi keragaman yang
ada. Sehingga kondisi multibudaya tidak dijadikan sebagai sebuah
nasib yang tidak bisa diubah melainkan sebuah pilihan yang dengan
sengaja dibuat dan dijalani. Partisipasi aktif dari setiap orang akan
membuat multibudaya terus menerus bergerak, terus menerus
mengalami koreksi dan penyesuaian.

Kondisi masyarakat yang telah memasuki era globalisasi yang


ditandai dengan keajegan perjumpaan antarkelompok dan
antarindividu yang berbeda, baik oleh karena migrasi penduduk
maupun karena akses ke media teknologi informasi (internet, telpon,
telpon genggam, media sosial) yang semakin terbuka, menambah
kecairan arti dari multibudaya itu. Perubahan-perubahan yang terjadi

108
dalam waktu singkat dan tidak jarang bersifat frontal – seperti yang
terjadi di dunia maya – bahkan membuat pengertian budaya menjadi
jauh lebih cair. Kalau dahulu kita mudah mengasosiakan budaya
dengan kedaerahan, sekarang batas-batas kedaerahan itu semakin
kabur kecuali dalam konteks ritus atau ketika diadakan pagelaran
kesenian yang seringkali dikaitkan dengan pariwisata. Kemunculan
budaya daerah dalam konteks ritual dan pariwisata itu bisa jadi tidak
mencerminkan keadaan sehari-hari. Dalam kesehariannya
masyarakat tidak mengenakan atribut-atribut budaya seperti yang
dikenakan pada upacara-upacara dan pagelaran kesenian daerah.
Kesenjangan antara kondisi sehari-hari dan saat-saat tertentu dimana
budaya daerah ditampilkan, semakin lama semakin melebar.
Tandanya adalah semakin sedikitnya generasi muda yang memahami
dan peduli pada budaya daerahnya seiring dengan semakin
canggihnya tingkat kemodernan mereka.

Usaha-usaha kontekstualisasi pada masa sekarang sudah tidak lagi


bisa seperti ketika ia baru pertama kali dimunculkan. Kecairan atau
hibriditas budaya yang semakin nyata dewasa ini tidak mungkin lagi
membuat kontekstualisasi dimengerti sebagai usaha untuk
memunculkan sebuah budaya lokal di tengah himpinan sebuah
budaya yang dominan (Barat). Bukan karena budaya lokal atau
daerah itu sudah sirna, namun karena mereka yang hidup di daerah
yang cukup terpencil sekalipun sudah mengenal bahkan menjalankan
budaya-budaya lain yang bukan berasal dari daerahnya. Oleh sebab
itu, membicarakan budaya dari sebuah masyarakat perlu dilandasi
oleh kesediaan untuk terbuka terhadap berbagai budaya yang ada
dalam kehidupan masyarakat itu. Masyarakat yang multibudaya
perlu dilihat sebagai masyarakat yang multibudaya, bukan dengan
pandangan yang masih monobudaya.

Pandangan monobudaya digunakan oleh pemerintahan Orde Baru


untuk menekan perbedaan yang kala itu ditabukan atau hanya
diperbolehkan terlihat secara superfisial saja. Perbedaan menjadi
tabu oleh karena berpotensi menimbulkan pembangkangan terhadap
pemerintah, bukan seperti alasan yang diberikan pemerintah yaitu
agar tidak timbul perpecahan. Paranoia terhadap perpecahan sengaja
dipupuk agar rakyat takut. Tetapi hasil dari ketakutan itu bukanlah

109
kerekatan hubungan horisontal, melainkan ketundukan kepada
pemerintah. Konflik-konflik sosial yang terjadi pasca Orde Baru
membuktikan bahwa masyarakat tidak pernah merasa takut pecah
kongsi. Mereka juga tidak pernah merasakan kerekatan sebagaimana
yang nampaknya saja diperlihatkan. Tetapi masyarakat tidak dapat
dipersalahkan karena itu. Mereka adalah korban politik pemerintah.

Konflik-konflik antaretnis dan antaragama atau malah


antarkelompok agama yang marak terjadi akhir-akhir ini mesti dilihat
dalam terang politik Orde Baru yang masih sangat membekas hingga
sekarang. Konflik-konflik tersebut sebagaimana penulis sebut di atas
adalah ekspresi ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana mereka
seharusnya bersikap di tengah heterogenitas yang ada. Di pihak lain,
kita dapat pula membacanya sebagai gejala kekecewaan masyarakat
terhadap kegagalan angan-angan monodubaya yang digembar-
gemborkan pemerintah. Masyarakat sudah terlanjur meyakini bahwa
mereka hidup dalam sebuah keadaan yang monobudaya. Tetapi
kemudian mereka sadar bahwa keadaan tersebut tidak nyata. Karena
itu mereka kecewa dan melampiaskan kekecewaannya lewat
kekerasan terhadap kelompok yang berbeda. Mitos monobudaya
telah menipu masyarakat dan menimbulkan kekecewaan ketika mitos
itu dibongkar.

Kecenderungan etnosentrisme sebagaimana yang ditengarai oleh


diantaranya E. Gerrit Singgih, tidak lepas dari mitos monobudaya
yang dalam kasus ini justru ingin dipegang erat-erat oleh masyarakat.
Masyarakat enggan menghadapi kenyataan bahwa mereka
sebenarnya adalah multibudaya. Hibriditas bukannya diterima
dengan rela, namun justru dianggap sebagai momok yang harus
disingkirkan. Etnosentrisme adalah wujud kemunafikan masyarakat
yang tidak ingin berdamai dengan kenyataan hibriditas dirinya.

Tetapi momok hibriditas nampaknya lebih dirasa mengancam oleh


para pengendali globalisasi. Sebagaimana sudah sering dikatakan,
globalisasi bersifat mendua. Di satu pihak ia menghasilkan hibriditas,
di pihak lain ia mengancam hibriditas yaitu ketika seluruh umat
manusia di dunia ingin dijadikan sama. Gejala totalitarian sudah
nampak jelas dengan kesamaan-kesamaan yang semakin banyak

110
ditemui di seluruh dunia. Pusat-pusat pertokoan (mall) hampir
semuanya sama di seluruh dunia, baik dari segi fisiknya maupun
isinya. Mode pakaian, rambut dan berbagai macam asesoris juga
demikian halnya. Bahasa Inggris juga semakin lama semakin
mendominasi dunia dan mampu menggeser bahasa-bahasa lainnya.
Globalisasi yang didorong oleh roh kapitalisme baru telah
menggerogoti heterogenitas. Maka, hibriditas akan dipandang
sebagai batu sandungan.

Penafikan terhadap hibriditas menjadi fenomena politik dunia akhir-


akhir ini. Para politikus yang menjanjikan monobudaya justru
mendapat tempat di hati banyak orang, meskipun kita belum tahu
sampai kapan itu akan terjadi. Di negara-negara maju, isu imigran
yang membawa budaya dan agama asing ditanggapi dengan cara
tegas. Undang-undang yang mencegah gelombang imigrasi
memasuki negara-negara tersebut diterbitkan. Rumor hitam
mengenai para imigran disebarluaskan. Islam dipandang sebagai
agama pendatang dan dinilai tidak cocok dengan budaya Barat.
Sebaliknya, di negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam,
kecurigaan dan ketidaksukaan terhadap Barat dan Kekristenan yang
dianggap sebagai representasi Barat juga semakin meningkat. Di
negara-negara sekitar Sungai Mekong, eskalasi Budhisme yang
eksklusif juga semakin terasa. Intoleransi kepada penganut agama
minoritas nampaknya menjadi sikap dari semua agama ketika ia
berada dalam posisi mayoritas. Dunia nampaknya memasuki situasi
permusuhan yang baru pasca Perang Dingin. Permusuhan itu bukan
pertama-tama antaragama, bukan pula antaretnis, tetapi antar mereka
yang bersedia menerima dan hidup dalam kondisi multibudaya
dengan mereka yang hanya mau hidup secara monobudaya.
Hibriditas menjadi bulan-bulanan di segala bidang dan di seluruh
pelosok dunia.

Penutup
Kontekstualisasi telah memasuki babak baru seiring dengan tibanya
zaman multibudaya. Tetapi seperti juga pada zaman kolonial dan
poskolonial yang ditandai dengan perlawanan (terhadap hegemoni
Barat), sekarang pun kontekstualisasi harus berada dalam sebuah
perlawanan. Perlawanan itu adalah terhadap suatu sisi dari

111
globalisasi yang ingin menelan heterogenitas. Globalisasi yang
mengajarkan sebuah ideologi monobudaya dan menebarkannya ke
segala penjuru dunia. Ideologi multibudaya yang sebenarnya
memperoleh daya dorongnya dari globalisasi juga, seakan berada
dalam status kritis. Sudah sewajarnya kontekstualisasi berperan
untuk menyelamatkan ideologi multibudaya dari himpitan ideologi
monobudaya.

Alasan untuk berharap pada peran kontekstualisasi tersebut adalah


bahwa semakin orang membuka diri kepada konteksnya, semakin
terlihat olehnya akan hibriditas dirinya. Sebaliknya, semakin orang
mengabaikan konteksnya dan mengarahkan diri ke pemandangan
global, yang nampak olehnya justru kesamaan-kesamaan yang
mengajarkannya hanya tentang satu hal yakni monobudaya.
Globalisasi dalam hal ini merupakan kontras dari kontekstualisasi.

Tetapi ada pesan yang penting untuk disampaikan juga mengenai


kontekstualisasi yaitu agar ia tidak justru memperkuat ideologi
monobudaya. Pesan ini penting karena bukan tidak mungkin
kontekstualisasi dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan
kemurnian sebuah budaya. Anggapan ini akan menempatkan
kontekstualisasi pada posisi yang sama dengan globalisasi tadi yaitu
sebagai penjamin kelangsungan monobudaya yang konkritnya adalah
etnosentrisme. Maka, seperti juga globalisasi, tidak semua
pemahaman mengenai kontekstualisasi dapat mendukung ideologi
multibudaya. Terhadap kontekstualisasi yang demikian, kita juga
harus bersikap kritis.

112
Daftar Pustaka
Alessandrini, Anthony C. (ed.) 1999, Frantz Fanon, Critical
Perspectives, London-New York: Routledge
Andraos, Michel E. 2012 “Engaging Diversity in Teaching Religion
and Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic
Perspective” dalam Jurnal Teaching Theology and Religion,
Vol.15, Issue 1, January 2012
Connolly, William E. 1991 Identity\Difference, Democratic
Negotiations of Political Paradox, Minneapolis- London:
Univ. of Minnesota Press
Cortez, Marc. 2005 “Creation and Context: A Theological
Framework for Contextual Theology”, dalam Westminster
Theological Journal 67 (2005): 347
Fanon, Frantz. 1965 A Dying Colonialism, trans., New York: Grove
Press
Maalouf, Amin. 2000 In the Name of Identity, trans., New York:
Penguin Books
Said, Edward W. 1994 Culture and Imperialism, New York:
Vantage Books
Schwartz, Regina M. 1997 The Curse of Cain, the Violent Legacy of
Monotheism, Chicago-London: Chicago U.P.
Schreiter, Robert J. 2012 “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks
Anake Budaya dan Agama” dalam Jurnal Ledalero, Wacana
Iman dan Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012
Setio, Robert. 2012 “Biografi sebagai Kontekstualisasi” dalam
Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11,
No. 1, Juni 2012
Singgih, E.G.
1982 Dari Israel ke Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2000 Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius-BPK Gunung Mulia
2009 Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Taylor, Charles. 1994 Multiculturalism, Examining the Politics of
Recognition, Princeton-New Jersey: Princeton U.P.
Johnson, Luke T. 2009 Among the Gentiles, Graeco-Roman
Religion and Christianity, New Haven- London: Yale U.P.

113
Lott, Bernice. 2010 Multiculturalism and Diversity, Chichester:
Wiley-Blackwell
Mignolo, Walter D. 2001 “Colonial and Postcolonial Discourse:
Cultural Critique or Academic Colonialism?”, © Latin
American Research Review

Endnote
1
Mungkin UKDW agak berbeda dalam hal ini. Program S-2 (dan S-3 teologi
yang baru saja diadakan) dengan sengaja dan jelas memakai kerangka
kontekstualisasi yang berimbas pada karya-karya tulis mahasiswanya.
2
Sebelumnya, E.G. Singgih pernah mencobanya juga. Lihat: “Potret Misi
Gereja di Indonesia dalam Kerangka Kritik Postmodern terhadap
Modernitas” dalam Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, 2009
3
Dikutip dari artikel Marc Cortez, “Creation and Context: A Theological
Framework for Contextual Theology”, dalam Westminster Theological
Journal 67 (2005): 347
4
Michel Elias Andraos, “Engaging Diversity in Teaching Religion and
Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic Perspective” dalam Jurnal
Teaching Theology and Religion, Vol. 15, Issue 1, January 2012, h. 7
5
Edward W. Said, Culture and Imperialism, 1994, h. 7
6
Richard Rorty, Contingency, irony, and solidarity, Cambridge: Cambridge
U.P., 1989, h.5.
7
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Robert Schreiter bahwa
perspektif poskolonialisme sudah lebih dahulu digunakan dalam studi
biblika ketimbang bidang teologi lainnya. Untuk membuktikannya ia
menunjuk karya-karya Sugirtharajah dan Fernando Sergovia. Lihat
artikelnya, “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks Anake Budaya dan
Agama” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11,
No. 1, Juni 2012, h.115
8
Amin Maalouf, In the Name of Identity, 2000, h. 2
9
Penulis pernah menuliskan hal yang senada dalam artikel “Biografi
sebagai Kontekstualisasi” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan
Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012
10
Bernice Lott, Multiculturalism and Diversity, Chichester: Wiley-Blackwell,
2010, h. 1

114
Teologi Kontekstual sebagai
Transformasi Ganda
Wahju S. Wibowo1

Pendahuluan
Abad 20 ditandai dengan perkembangan menarik dalam bidang
teologi, yaitu menguatnya apa yang disebut sebagai „teologi
kontekstual‟ (contextual theology). Sebenarnya istilah „teologi‟
sendiri secara implisit mengandung makna kontekstual karena tidak
mungkin ada teologi tanpa konteks. Teologi berangkat dari sebuah
pengalaman kehadiran Allah dalam konteks kehidupan manusia, dan
„isi‟ pengalaman yang merupakan „iman‟ akan Allah diungkapkan
dengan bahasa sejauh bahasa tersebut bisa mengungkapkannya.
Secara khusus menguatnya desakan untuk menggunakan istilah
„teologi kontekstual‟ muncul karena teologi yang pada dirinya
sendiri sudah kontekstual karena berangkat dari partikularitas
tertentu kemudian dimengerti sebagai yang bersifat universal dan
konteks lain dipaksa menerima teologi tersebut. Atau dengan kata
lain ada masalah tentang universalitas dan partikularitas. Isi iman
yang diungkapkan melalui bahasa sebagai media pengungkap
diidentikkan sehingga setiap konteks yang kepadanya isi iman itu
diwartakan harus mau menerima baik isi iman maupun bahasa
pengungkap isi iman itu. Sebagai contoh istilah tentang Trinitas
sebagai satu „substansi‟ dengan tiga „persona‟. Istilah „substansi‟ dan
„persona‟ berasal dari pengalaman manusia Barat dalam memahami
keberadaan diri melalui konteksnya. Usaha memahami keberadaan
diri itu kemudian diungkapkan dengan bahasa yang bisa dimengerti
oleh mereka. Nah, semuanya itu kemudian dianggap absolut-
universal, dan ketika dibawa keluar Eropa, bukan tidak mungkin
istilah „substansi‟ atau „persona‟ mempunyai makna yang berbeda,
atau bahkan tidak dimengerti sama sekali.

Untuk itu Jürgen Moltmann mengemukakan bahwa “Teologi adalah


permasalahan seluruh umat Allah”, dan karena itu “Persepsi dari

1
Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
115
lokus teologi berbeda dalam setiap kerangka hermeneutik dan
kesadaran politisnya”1. Moltmann menyadari bahwa manusia selalu
berbeda, padahal pengalaman itulah yang akan membawa pada
sebuah tataran refleksi tertentu. Jika pengalaman berbeda dalam
mempersepsi Allah, dunia, manusia dan alam semesta maka tentu
refleksinyapun bisa jadi amat berbeda. Lokus teologi sebagai tempat
di mana kegiatan berteologi itu muncul dan berkembang, bukan
hanya berfungsi sekedar sebagai wadah kegiatan berteologi sekaligus
berperan memberi „isi‟ terhadap refleksi teologis itu. Nah, biasanya
urusan „isi‟ teologi menjadi sedikit rumit karena „isi‟ itu bukan hanya
melibatkan pengalaman lokalitas kita, tetapi juga melibatkan
pengalaman lokalitas orang-orang di sekitar Yesus dan jemaat mula-
mula ketika Alkitab ditulis sehingga banyak orang mencari
gampangnya saja dengan memahami teologi kontekstual sebagai
sekedar mengganti „cangkang‟. Pada suatu kali saya menghadiri
kebaktian berbahasa Sunda di kota Bandung. Apa yang berbeda
dengan kebaktian yang berbahasa Indonesia? Yang berbeda hanya
bahasanya saja! Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sunda.
Liturginya adalah liturgy Calvin yang dibawa oleh para missionaries,
lagu-lagunya adalah lagu-lagu barat buatan abad 17-18 yang
diterjemahkan ke bahasa Sunda, cara dan pakaiannyapun masih
sama, yang berbeda benar-benar hanya bahasa saja. Sekitar tahun
1990-an, seorang dosen dari Belanda datang ke Yogya sebagai
tenaga pengajar tamu. Ketika beliau mengikuti kebaktian di salah
satu gereja di Yogyakarta, beliau terpesona dengan liturgy itu karena
gereja tersebut memakai liturgy peninggalan Belanda. Padahal
liturgy gereja itu nyaris sama dengan liturgy gereja-gereja
mainstream di Indonesia. Bukankah liturgy menyangkut pengertian
tentang sebuah “kehidupan” yang hendak dirayakan dan makna yang
dihidupi? Kehidupan seseorang atau kelompok orang dengan udara
yang pada saat itu ia hirup, air yang ia minum dan matahari yang
menyinari tubuhnya. Pendeknya liturgy menyangkut kehidupan,
itulah yang sebenarnya harus dinyatakan dalam sebuah kebaktian.
Bukan soal perubahan bahasa. Bahasa mencerminkan pola pikir dan
cara orang menangkap realita. Hanya menterjemahkan bisa jadi
hanya mengambil alih pola pikir dan cara orang lain menangkap
realitas, bukan mengembangkan pola pikir dan realita yang dihadapi
sendiri. Apakah yang dilakukan itu salah? Tentu tidak ada yang salah

116
ketika gereja menggunakan liturgy yang berasal dari abad-abad
sebelumnya. Bagaimanapun apa yang dilakukan merupakan bagian
dari sebuah upaya untuk menghadirkan makna kebaktian dalam diri
seseorang secara khusus. Tetapi berteologi tidak cukup hanya seperti
itu. Seseorang harus berani masuk lebih dalam lagi ke jati dirinya
sebagai manusia dalam sebuah keberadaan tertentu. Pada titik inilah
jantung dari teologi (yang selalu konteksual itu) berada.

Untuk itu tulisan ini akan berisi beberapa hal yaitu: pertama
penegasan kembali bahwa memang teologi selalu bersifat
kontekstual; kedua, bagaimana teologi kontekstual dipahami sebagai
„double transformation‟, transformasi makna yang terjadi secara
ganda dan terakhir catatan penutup.

Teologi: Selalu Kontekstual


Perdebatan tentang perlukah ada „teologi kontekstual‟ sebenarnya
sudah selesai. Hampir semua teolog sepakat bahwa memang teologi
bersifat kontekstual. Nico Syukur Dister mengungkapkan bahwa
teologi adalah “Refleksi ilmiah orang Kristen atas iman yang mereka
hayati sebagai orang beragama kristiani”2. Ada beberapa catatan
berkaitan dengan ungkapan Nico Syukur, pertama iman yang
dihayati. Penghayatan akan iman merupakan bentuk hidup yang
kongkret dari kepercayaan kepada Allah. Pertanyaannya adalah dari
mana iman yang dihayati itu? Iman itu diwariskan melalui sejarah
bermula dari sejarah Israel, kemudian sejarah gereja dan dilanjutkan
melalui tradisi gereja. Warisan iman itulah yang dihidupi dalam
sebuah lokalitas tertentu. Yang kedua, iman itu direfleksikan dengan
keberadaan diri sendiri. Iman menjadi hidup dalam sebuah
pengalaman yang berbasiskan konteks, sekaligus yang bertanggung
jawab terhadap konteks tersebut. Atau jika memakai istilah Robert
Schreiter: situasi membentuk bagaimana tanggapan terhadap injil
sehingga iman dihayati sekongkret mungkin.

Catatan kritis atas definisi Nico Syukur adalah bahwa istilah


„teologi‟ masih milik ekslusif orang yang secara ilmiah mau
merumuskan iman mereka. „Logos’ dalam teologi semata dipahami
sebagai ungkapan propositional. Hal ini menutup kemungkinan
refleksi teologi yang dilakukan kaum awam, yang berangkali tidak

117
ilmiah. Untuk itu Alister McGrath, guru besar teologi di Oxford
University, dengan lugas mengatakan bahwa „teologi adalah
berbicara tentang Tuhan‟.3 Ungkapan McGrath sederhana, jelas dan
lugas, namun merangkum siapapun yang hendak berbicara tentang
Tuhan. Tidak ada embel-embel ilmiah. Hanya saja untuk orang
Kristen berteologi berarti berbicara tentang Tuhan dari perspektif
Kristen yang mencakup pengalaman hidup manusia dan realitas hari-
hari yang direfleksikan dalam konteks iman dan hubungan dengan
Tuhan. Sementara itu hal „berbicara‟ bisa diungkapkan dalam
berbagai bentuk salah satunya adalah seni.

Sementara itu Stephen Bevans, yang bukunya sudah diterjemahkan


ke dalam bahasa Indonesia, dengan tegas mengatakan bahwa tidak
ada teologi yang tidak kontekstual.4 Teologi mesti kontekstual.
Pendasaran Bevans bersifat filosofis yaitu bahwa dalam
subyektivitas jaman modern dipahami bahwa realitas bukan hanya
berada “ di luar sana”, tetapi realitas diperantarai oleh makna.
Subyek-lah yang memberikan makna terhadap realitas itu, dan
makna diberikan berdasarkan horison dan pemikiran tertentu.
Sekedar sebagai pembanding, dalam dunia ilmu alam ada perdebatan
antara ilmuwan yang mengatakan bahwa „obyektivitas‟ merupakan
puncak tertinggi kesakralan ilmu pengetahuan yang tidak
tergoyahkan yang dicapai dengan metode tertentu yang ketat, dengan
ilmuwan yang meyakini adanya prinsip anthropic. Prinsip anthropic
adalah ketika posisi subyek, manusia atau si pengamat yang menala
fenomena alam menjadi penting. Dengan demikian „obyektivitas‟
kebenaran yang diyakini ada „di luar sana‟, mendapat imbangannya
yaitu subyektivitas si pengamat. Dengan demikian perdebatan
mengenai „makna‟ yang diberikan subyek, bukan hanya melulu
kepunyaan ilmu-ilmu social dan hermeneutikanya, juga merambah
ke ilmu alam yang terkenal amat ketat dalam hal metode. Dengan
demikian teologi kontekstual mengandaikan kemauan dan
kemampuan mempertimbangan berbagai ekpresi konteks yang
muncul. Nah, ketika satu konteks „memaksa‟ konteks yang lain
untuk menerimanya, maka teologi itu bersifat kontekstual hanya
pada saat dimunculkan, tetapi tidak kontekstual pada konteks lain.
Hal inilah yang biasanya memunculkan ketegangan.

118
Ketegangan terjadi karena adanya transisi berupa pergeseran
paradigma. Kesadaran akan adanya konteks Alkitab di satu pihak dan
kesadaran akan konteks diri sendiri di pihak lain, membawa pada
paradigm baru seperti halnya seseorang yang baru berpindah dari
bukan Kristen menjadi Kristen.5 Paradigma lama dianggap sebagai
paradigma tunggal. Namun kesadaran terhadap konteks bisa
dianggap sebagai „anomali‟ (memakai istilah Thomas Kuhn) dari
paradigm tunggal yang tidak sensitive terhadap konteks sehingga
kesadaran akan konteks mempertanyakan keberadaan paradigm
tunggal itu sehingga menimbulkan krisis. Krisis inilah yang bisa
dipadankan dengan istilah „ketegangan‟. Hans de Wit seorang
ekseget dari Belanda mengemukakan bahwa ketegangan itu terjadi
karena „perceraian‟. Jika sampai abad pertengahan terjadi
„pernikahan‟ yang harmonis antara teks, konteks, dan aplikasi
dengan bapa-bapa gereja sebagai „wali nikah‟ yang berhak
menentukan tingkat keharmonisannya, maka awal perceraian muncul
pada jaman Rennesans dan menguat sampai di Aüfklarung, di mana
rasionalitas dan bukti empiris turut menentukan makna. Ketegangan
pun muncul.6 Namun ada juga yang mengatakan bahwa pemisahan
antara iman dan rasio yang terjadi pada jaman modern merupakan
pemisahan semu, misalnya Creston Davies. Sebenarnya yang ada
bukan pemisahan tetapi sebuah bentuk penghargaan terhadap apa
yang sebelumnya dilupakan. Tidak pernah ada pemisahan yang
sungguh-sungguh tajam antara iman dan rasio. Teologi Protestan dan
Katolik, khususnya sayap liberal, mulai berhasil untuk menunjukkan
bahwa pemisahan iman dan rasio merupakan pemisahan semu.7 Bagi
Creston Davies, paham yang mengatakan bahwa rasio berdiri
berhadapan dengan iman dan segala hal yang berbau mistik, dalam
rangka mencapai sebuah rasio yang otonom dan murni, justru
merupakan tahayul tersendiri.8 Yang ada adalah abad pertengahan
gagal untuk menghadirkan rasio secara seimbang, sementara
modernitas justru terlalu banyak menghadirkan rasio. Rupanya bagi
Davies, keseimbangan yang jujur dan tulus di antara keduanya amat
penting supaya teologi tetap bisa bermakna. „Jujur‟ dan „tulus‟ dalam
pengertian bahwa motivasi untuk menghargai aspek iman dan rasio
merupakan bagian positif dari pertanggungjawaban iman.

119
Kejujuran dan ketulusan menjadi penting karena memang
pernghargaan terhadap konteks seringkali „diselimuti‟ maksud yang
berbeda. Seringkali dijumpai bahwa „teologi kontekstual‟ akhirnya
sekedar menjadi alat untuk penginjilan kepada mereka yang bukan
Kristen. Ada pemahaman bahwa kontekstualisasi hanyalah alat
supaya banyak orang tertarik menjadi Kristen.9 Menyampaikan berita
injil sesuai dengan –misalnya budaya setempat- dilakukan agar orang
tertarik dan akhirnya menjadi Kristen. Teologi kontekstual juga
bukan sebagai „obat‟ untuk pertumbuhan gereja seperti disinyalir
seorang teolog Belanda, Martien Brinkman10. Jika gereja mandeg
pertumbuhannya dan pengunjung kebaktian merosot, pakailah
kontekstualisasi dengan membuat kebaktian bergaya budaya local
lengkap dengan music dan tari-tarian budaya, atau memakai band
sebagai symbol kepedulian terhadap konteks budaya orang muda
yang bergelora dan bersemangat, diharapkan dengan itu maka gereja
menjadi penuh kembali. Teologi kontekstual bukanlah alat atau obat,
melainkan, meminjam istilah Bevans, suatu imperative, conditio sine
qua non dari teologi itu sendiri. Jika teologi kontekstual dipahami
sebagai alat untuk melakukan penginjilan, maka seluruh muara
orientasi hal berteologi adalah soal penginjilan. Atau jika hanya
dipahami sebagai obat untuk menyelesaikan masalah pengunjung
kebaktian yang sedikit, maka yang didapat bukanlah inti teologi itu
sendiri.

Dari sudut pengertian dan definisi, perdebatan apakah teologi


bersifat kontekstual sebenarnya sudah selesai. Namun demikian
perdebatan baru muncul sehubungan dengan upaya mempertautkan
konteks Alkitab, sebagai pegangan utama dengan konteks jaman ini.
Beberapa pandangan kaum Evangelikal membuat nisbah yang amat
tajam antara pengalaman dan konteks dengan Alkitab sebagai Firman
Allah untuk kemudian menihilkan peran pengalaman. Nisbah antara
pengalaman dan konteks dengan Alkitab tentu harus diakui, namun
tidak harus terjebak pada penihilan pengalaman. Stanley Grenz, salah
seorang teolog kelompok Evangelikal yang paling maju,
mencantumkan pengalaman sebagai salah satu pertimbangan, namun
dengan tegas menolak jika pengalaman menjadi salah satu unsur
penentu berteologi karena bisa sangat subyektif. Nilai ilahi yang
terkandung dalam Alkitab pun menjadi subyektif.11 Ketegangan dua

120
konteks itu tidak dipedulikan padahal ketegangan dalam berteologi
adalah hal yang wajar dan perlu. Dengan demikian sebenarnya
berteologi berarti selalu berada dalam ketegangan kreatif antara
makna „yang diwariskan‟ dengan makna „yang dihidupi‟ saat kini.

Dengan menunjuk pada adanya ketegangan kreatif, maka teologi


yang bersifat kontekstual itu tidak dapat disederhanakan menjadi
hanya sekedar mengganti wujud luar kebudayaan. Lagu
diterjemahkan ke bahasa daerah, baju diganti dengan baju daerah,
ornamen gereja diperkaya dengan ornamen etnik. Boleh saja itu
menjadi bagian dari upaya melakukan teologi yang kontekstual,
namun bukan di sana letak inti teologinya. Liturgi mengandung
pemahaman dan penghayatan akan kehidupan tertentu. Eksplorasi
atas kehidupan lokal itulah yang hendaknya bisa dirumuskan dalam
sebuah liturgi yang kontekstual. Masalahnya bukan hanya budaya
tradisional seperti gamelan, petungan dll tetapi juga budaya modern
dengan segala dampaknya, kapitalisme, globalisasi dll. Masalahnya
juga bukan pada mencocok-cocokan mana yang sesuai dengan iman
kristen dan mana yang bukan. Mencocok-cocokan bukanlah cara
bijaksana upaya kontekstualisasi karena didasarkan pada semangat
untuk “menyatukan semua kebenaran supaya menjadi lebih benar”.
Salah satu teolog Indonesia yang konsisten berteologi dengan tetap
mempertimbangkan air kehidupan yang dirasakan sehari-hari adalah
E. Gerrit Singgih. Gerrit Singgih memberikan sebuah pembelajaran
bahwa memang teologi senantiasa kontekstual, bahkan jikapun yang
dipakai di satu tempat tertentu merupakan cangkokan teologi dari
tempat lain, maka teologi itu tetaplah kontekstual; paling tidak
kontekstual dari segi bagaimana teologi itu bermula. Namun
demikian Gerrit Singgih mengingatkan bahwa teologi memang harus
berangkat dari konteks tertentu, namun demikian teologi yang hanya
memperhitungkan konteksnya sendiri bisa jadi teologi tersebut
terpenjara oleh konteksnya sendiri. Untuk itu supaya tidak terpenjara
dengan konteksnya sendiri, Gerrit Singgih menawarkan
intertextuality.12 Intertekstualitas merupakan perjumpaan antara satu
konteks dengan konteks lainnya untuk saling berdialog. Justru
dengan intertekstualitas itulah teologi mendapatkan horizon yang
kurang lebih lengkap.

121
Bevans mengemukakan hal yang senada dengan mengatakan bahwa
teologi harus berada dalam “..mutually critical dialogue, two
realities..”.13 Untuk itu bagi Bevans, kata kunci yang amat penting
adalah „pengalaman‟. Pengalaman merupakan realitas yang hidup
dan kongkret. Pengalaman itulah yang akan mengisi dan
mengembangkan teologi. Bevans rupanya menengarai bahwa
seringkali ada jurang antara teologi yang dikembangkan oleh gereja
dengan pengalaman kehidupan sehari-hari. Di gereja seolah jemaat
diajak melupakan pengalaman hidup yang ada di „luar tembok‟
gereja, dan menjadi seorang yang sama sekali berbeda ketika
berhadapan dengan Allah. Padahal justru pengalaman hidup yang
ada di „luar tembok‟ gereja itulah yang akan memberikan sebuah „isi‟
kepada teologi yang akan diberitakan dari mimbar. Dengan demikian
teologi yang „kontekstual‟ selalu tertantang untuk mendialogkan diri
dengan berbagai pengalaman karena justru kekayaan teologi terletak
pada dialog tersebut. Namun demikian bagi Bevans unsur kritis
dalam perjumpaan itu tetap harus dipertahankan. Dalam dialog itu
seseorang atau sekelompok orang akan mengartikulasikan
pengalamannya. Pengalamannya akan bertemu dengan pengalaman
orang atau kelompok lainnya, termasuk pengalaman gereja di masa
silam. Untuk itu jujur dan terbuka terhadap pengalaman menjadi
sesuatu yang amat penting.

Transformasi Ganda
Salah satu masalah yang muncul dalam upaya berteologi adalah
upaya memelihara keseimbangan antar kontinuitas dan
diskontinuitas. Kontinuitas merupakan kesinambungan atau benang
merah pewahyuan Allah yang terlacak melalui entah tradisi maupun
Alkitab itu sendiri. Kontinuitas menjembatani bukan hanya waktu
yang berbeda, tetapi juga konteks yang berbeda dalam kurun waktu
yang sama sehingga melalui kontinuitas ada „common memory‟ yang
bisa dialami bersama. „Common memory‟ itu bisa berbentuk ajaran,
liturgy, pengakuan atau doa. Sementara diskontinuitas adalah titik
perpisahan antara hal yang lama dengan yang baru, di mana yang
baru sama sekali berbeda dari yang lama. Ketegangan antara
kontinuitas dan diskontinuitas sudah nampak sejak kekristenan mula-
mula, yaitu pergumulan tentang apakah mereka masih merupakan

122
bagian dari „agama Yahudi‟ atau mereka mempunyai „agama baru‟
yang sama sekali berbeda dengan agama Yahudi.

Mereka yang terlalu menekankan pada kontinuitas akan melupakan


bahwa diskontinuitas juga merupakan keniscayaan. Sebagai contoh
dua decade belakangan ini muncul paham Yahwism di Indonesia.
Paham ini mengatakan bahwa nama Allah adalah Yahweh,
sementara „Allah‟ sendiri merupakan nama dewa dalam Perjanjian
Lama yang di kemudian hari dipakai oleh umat Islam. Untuk itu,
orang Kristen seharusnya menyebut Allahnya dengan sebutan
Yahweh dan meninggalkan sebutan „Allah‟ karena tidak sesuai
dengan Alkitab. Paham Yahwism ini mau mempertahankan hanya
unsur kontinuitas saja yaitu sebutan Yahweh, yang terus dipakai
dalam PB oleh orang Yahudi walaupun dengan sebutan Adonai.
Kontinuitas nama Allah kemudian „disebrangkan‟ ke kehidupan
jaman sekarang dengan bersikukuh bahwa nama Yahweh adalah
sebutan yang paling Alkitabiah, padahal dengan itu justru paham
Yahwisme ini memelihara kontinuitas dengan agama Yahudi bukan
kekristenan. Sementara itu mereka yang terlalu menekankan
diskontinuitas dapat dijumpai dalam paham kontekstualisasi yang
dengan semangat hendak memutuskan hubungan sama sekali dengan
warisan ajaran teologi Barat. Masalahnya adalah dalam teologi Barat
terkandung bukan hanya ajaran dengan pemikiran khas Barat, namun
sekaligus terkandung pewarisan iman yang tidak bisa dianggap
remeh. Teologi kontekstual tentunya harus dilakukan bukan dengan
memutus hubungan dengan teologi atau ajaran yang diwariskan dari
Barat padahal didalamnya ada pewarisan esensi iman yang penting,
namun dengan membaharuinya. Menjadikan Alkitab sebagai sumber
dan kriteria utama dalam berteologi, tidak serta merta kemudian
meninggalkan konteks dan warisan tradisi Kristen, baik tradisi yang
dominan ataupun tidak.

Mempertimbangkan adanya aspek kontinuitas dan diskontinuitas


menyebabkan teologi berada dalam keadaan „double transformation‟
atau transformasi ganda. Kebutuhan untuk melakukan transformasi
iman Kristen yang didasarkan pada konteks local dan situasi khusus
saat ini meningkat di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Sebenarnya ini
juga merupakan bagian dari kesadaran bahwa pemaksaan cara

123
berteologi dan isi teologi dari Barat yang harus diterima oleh dunia
Asia, Amerika Latin dan Afrika merupakan bagian dari kolonialisasi.
Ada suatu pandangan yang lain mengenai hubungan antara Barat dan
non-Barat dan non-Barat. Kesadaran ini memunculkan kebutuhan
akan makna yang baru yang dapat dimengerti pada suatu konteks
tertentu. Implikasinya adalah makna yang diterima dan diwariskan
oleh Barat secara perlahan harus ditafsirkan ulang atau diberi makna
baru. Narasi local harus dipertimbangkan sebagai upaya untuk
membangun sebuah teologi yang komprehensif sebab teologi local
mempunyai maknanya sendiri, and tidak bisa dinilai atau dihakimi
oleh klaim teologi Barat yang mendaku universal dan absolut. Di
sinilah sebenarnya kita bisa melacak „bau‟ pengaruh post-
modernisme. Makna datang dalam sebuah pengalaman, pengalaman
bukanlah bersifat tambahan atas makna yang sudah sebelumnya
secara obyektif ada.14 Pengalaman muncul ketika seseorang terlibat
dalam dunia dengan seluruh keberadaan dirinya, dan pengalaman itu
bersifat utuh, kuat dan tidak bisa dikalahkan pengalaman lain walau
itu dialami lebih banyak orang. Pengalaman-pengalaman yang
melingkupi dan membungkus „kata‟ dan „makna‟‟ mempengaruhi
bagaimana „kata‟ dan „makna‟ dikembangkan dan digunakan. Itu
berarti bahwa doktrin gereja sebagai sebentuk „makna‟ bahkan
Alkitab sendiri dipengaruhi oleh konteks tertentu yang dalam kadar
dan tingkatan tertentu berbeda dengan pengalaman kontemporer saat
ini. Doktrin dan ajaran-ajaran iman gereja ditransformasikan kepada
konteks yang baru. Akibatnya maknanya berubah.

Dalam berteologi melakukan transformasi makna senantiasa


bermuatan „double transformation‟ atau transformasi ganda. Martien
Brinkman, seorang guru besar intercultural theology dari Belanda
mengemukakan mengenai transformasi ganda sbb:

Changes always appear on two sides: on the side of the concept


used in a different context and on the side of its new context.
This is always two-way traffic. The concept detached from its
original religious context becomes a different concept in another
religious context. After all, the context in which a concept is
used determines its meaning to a great extent. The new context is
subsequently changed in turn by the new concept that is used in
its midst. …A double transformation thus takes place. A creative

124
process occurs that does not leave either side – the adopted
concept and the new context – untouched.15

Dengan demikian inti kontekstualisasi adalah transformasi ganda.


Kontekstualisasi senantiasa mempunyai dua konteks dan makna.
Pertama adalah makna pertama yang datang dari konteks pertama;
kedua, konteks yang lain sebagai tujuan dari makna yang pertama
itu. Makna asli yang muncul dari konteks tertentu itu, diambil dan
kemudian datang ke sebuah konteks tertentu. Konteks itu kemudian
mengubah makna pertama tadi. Namun yang menarik menurut
Brinkman, makna yang sudah berubah karena konteks baru itu,
ternyata juga mampu mengubah konteksnya sendiri. Dengan
demikian transformasi ganda kemudian terjadi. Contoh yang
dikemukakan adalah tentang nama „Allah‟ dalam Perjanjian Lama.
Seperti kita bersama ketahui konsep Allah (El) dalam Perjanjian
Lama kemudian bertemu dengan sebuah konteks pengalaman
kongkret Israel tentang Allah yang berbeda dengan pengalaman
bangsa-bangsa lain sekaligus berbeda dengan sebuhan „El‟ yang
untuk kurun waktu tertentu menjadi bagian dari masyarakat Barat
Daya Kuno. Konsep „El‟ dengan pengalaman kongkret Israel tentang
Allah bertemu dan melahirkan sebuah keyakinan spesifik tentang
Allah yang berbeda dengan bangsa lainnya. Kemudian Israel
menyebutnya dengan Yahweh, namun „El‟ sendiri tidak hilang.
Justru dengan itu terjadi sintesis yang memperkaya kepercayaan
Israel. Kepercayaan Israel kemudian mengatakan bahwa Allah
adalah personal, demikian juga sifat hubungan dengan Allah adalah
personal. Kemudian konsep penciptaan merupakan bagian indah
tentang sintesis ini, yaitu bahwa dengan menggunakan tradisi
penciptaan yang sudah ada, Isrel menghubungan kisah itu dengan
kepercayaan khasnya kepada Yahweh. Kepercayaan bahwa Yahweh
adalah pencipta langit dan bumi kemudian melahirkan sejumlah
implikasi etis-sosial bagi Israel. Ini merupakan bagian dari
perubahan dalam bidang etis-sosial, jika dibandingkan dengan
bangsa-bangsa di sekitar Israel jaman itu yang kepercayaannya
kepada allah terbatas membawa perubahan kultis saja.

Sementara itu Colin Gunton menyatakan bahwa sangat sulit untuk


mempertahankan kontinuitas dengan pemahaman abad-abad

125
sebelumnya kecuali entah dengan cara bagaimana kekristenan pada
jaman ini bisa mengafirmasi istilah dan makna yang berasal dari
jaman lalu walau barangkali kita tidak harus menggunakan dan
mengerti dengan cara yang sama.16 Untuk itu kritik ditujukan
pertama kali pada makna dan istilah yang tidak sesuai dan bisa
diterima pada jaman sekarang. Untuk itu bagi Gunton bertanggung
jawab terhadap konteks dilakukan bukan dengan cara menolak atau
mengafirmasi begitu saja namun dengan kritis mengikuti dan terlibat
dalam perkembangannya, baik dari dalam konteks itu sendiri
maupun dari luar.17 Rupanya bagi Gunton konteks datang dan pergi
silih berganti, ada yang muncul namun ada yang tenggelam. Untuk
itu baginya penting untuk tetap melihat makna yang terus menerus
muncul.

Bagi Brinkman sendiri ketika makna itu terus menerus menghadapi


perubahan konteks maka aka nada pertukaran timbal balik yang
justru memperkaya makna, namun sekaligus menyadarkan orang
bahwa dengan transformasi ganda seseorang berada dalam situasi
„in-between‟ terus menerus.18 Situasi „in-between‟ berarti makna
yang lama tetap dibawa sementara makna yang baru sedang muncul
dan terus berkembang. Merry Kolimon, seorang teolog perempuan
dari Kupang, dalam disertasinya dengan jujur mengemukakan bahwa
ketika berteologi orang Kristen Timor hidup 19dalam konteks
particular yang membuat mereka menjadi Timor, namun pada saat
yang sama mereka menghidupi juga tradisi dan doktrin yang
diajarkan gereja.20 Kolimon dengan jujur mencoba mengemukakan
bahwa bagaimanapun kekristenan di Timor ada dalam konteks lokal
Timor sebagai nafas hidup mereka, namun pada saat yang sama
warisan kekristenan Barat yang dibawa ke Timor tidak mungkin
dihilangkan. Warisan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan
mereka juga. Lalu Kolimon mencoba melakukan refleksi teologi
kontekstual berangkat dari narasi Perjanjian Baru bahwa Yesus
adalah seorang penyembuh dengan konteks kultural tradisi
penyembuhan dalam masyarakat Meto di Timor. Dalam proses itu
ada dua hal yang sekaligus dilakukan bersama, yaitu konfrontasi dan
konfirmasi. Situasi „in-between‟ memperlihatkan bagaimana
konfrontasi dan konfirmasi terjadi. Konfrontasi berarti
memperhadapkan dua makna dan konteks yang berbeda secara

126
langsung. Konfrontasi bisa berakhir pada suatu konfirmasi, sebuah
penerimaan. Atau tetap terus bergerak dalam ketegangan yang
seimbang sebagai bagian dari kreativitas iman.

Dalam proses transformasi ganda yang di dalamnya terdapat


pertukaran makna yang akhirnya membuat makna baru, sebuah
catatan penting di kemukakan oleh Charles Kraft, yaitu bahwa
komunikasi menjadi salah satu factor penting. Makna tidak akan
dapat ditangkap dengan sempurna ketika rentang waktu di antara
komunitas saat makna itu dibuat dan komunitas iman saat ini terlalu
jauh. Untuk itu kesesuaian mengenai lambang yang dipakai menjadi
penting. Aristarkhus Sukarto, dalam disertasi yang dibuat tahun
1990, mengemukakan bahwa perjamuan kudus merupakan sebuah
lambang penting yang terus digunakan sebagai bagian dari ekpresi
iman komunitas Kristen selama berabad-abad. Sukarto
mengemukakan bahwa komunitas Kristen berhasil menjaga
perjamuan kudus sebagai salah satu lambang utama dalam
penghayatan keselamatan dari Kristus. Namun karena makna tidak
dapat ditangkap dengan sempurna karena rentang waktu yang amat
jauh, maka makna perjamuan kudus bisa berbeda antara apa yang
dihayati sekarang dengan ketika lambang itu muncul di komunitas
Kristen perdana. Untuk itu mengembangkan makna yang terdapat
dalam setiap lambang yang disepakati sebagai bagian dari ekspresi
dan pengalaman iman menjadi sah.

Namun pada saat yang sama berkaitan dengan perjamuan kudus,


Marianne Katoppo dengan tegas mengatakan bahwa perjamuan
kudus tidak bisa hanya dirayakan di gereja karena teologi perjamuan
kudus adalah teologi yang mengutus seseorang untuk hadir dalam
keprihatinan sesamanya. Ini adalah inti perjamuan yang walaupun
maknanya bergeser, tapi tidak boleh lepas dari inti terdalam
undangan perjamuan kudus. Jika perjamuan kudus adalah sebuah
perayaan suka cita, kegembiraan dan kekeluargaan, maka orang yang
merayakannya seharusnya datang dengan penuh sukacita dan
kegembiraan sebagaimana yang biasa terjadi dalam perjamuan
makan di Indonesia, atau di Indonesia Timur. Orang datang ke
perjamuan makan memenuhi undangan sahabatnya dengan perasaan
gembira. Mereka makan dan nimum bersama dan kesukacitaan.

127
Namun tentunya hal itu tidak berhenti disana karena sebagai konteks
perjamuan itu bukan berada di dalam gedung gereja dengan
keketatan ritual dan aturan namun berada dalam konteks social
ekonomi dari masyarakat di mana gereja berada. Perjamuan kudus
dibawa bukan sekedar pada tataran ritual, namun pada konteks di
mana kekristenan itu berada.

Transformasi Ganda: Ketegangan Kreatif Upaya Berteologi


Upaya berteologi senantiasa menimbulkan ketegangan. Bagaimana
tidak, jika sebuah pemahaman yang sudah mapan, kemudian
dipertanyakan karena perkembangan konteks yang ada. Kreativitas
sebuah gereja atau „sekelompok pendeta‟ bukanlah pada banyaknya
buku aturan yang dihasilkan namun pada proses membuat buku
aturan tersebut dan proses membawa aturan tersebut pada realita
nyata di lapangan. Jika meminjam istilah Gadamer tentang
pertemuan dua horizon dalam proses hermeneutic, maka „double
transformation‟ berarti bertemunya dua makna yang akan
menghasilkan makna baru dan pada akhirnya mengubah dua makna
pertama. Cara berteologi seperti itu menandakan bahwa dalam
berteologi memang ada ketegangan kreatif yang merangsang teologi
untuk terus berkembang.

Namun persis pada titik itulah muncul kegelisahan karena seolah-


olah fundamen „iman‟ menjadi runtuh dan tidak berdasar. Namun
apakah benar bahwa fundamen iman menjadi runtuh karena hidup
dalam ketegangan kontekstual? Justru iman yang tidak pernah
gelisah patut dipertanyakan. Kegelisahan membuat iman menjadi
hidup dan berada dalam tegangan kreatif. Memang ada semacam
paradox dalam ungkapan ini, karena bukankah iman seharusnya
menjadi pegangan yang kuat dalam menghadapi berbagai masalah
kehidupan? Muriel Orevillo-Montenegro seorang teolog feminis dari
Filipina mengemukakan dengan terus terang:

Poverty has always been my shadow….. I began to question the


relevance of the faith I had inherited in the midst of hunger and
poverty... It was lunchtime...We sat around table- my younger
siblings, my mother and me. All we had were two pieces of
boiled breadfruit and some salted fish for dipping. Somebody
said the prayer for meal. The last sentence struck me: “for all
128
these we pray in the name of our Lord and saviour, Jesus Christ.
Amen”. ...I stared at the mud floor, my eyes burned with tears.
Saviour? Jesus Christ? What does it mean? Why are we poor?
Why can‟t Jesus Christ save us from poverty and hunger? Why
are some people so rich...?21

Dalam kegelisahan itulah iman menampakkan bentuk dan bergerak


keluar menuju arah yang barangkali sulit untuk ditebak. Bagi
Montenegro kegelisahan itu bergerak keluar dari dalam dirinya
dalam bentuk sebuah „perlawanan‟ terhadap teologi yang
konservatif-tradisional dan mencoba menjelajahi pemahaman yang
berbeda. Dengan kegelisahan seperti itu, iman selalu bergerak
dengan aktif.

Dalam catatan Bevans, justru ketegangan seperti yang dialami oleh


Montenegro memperkaya wawasan teologi Kristen sekaligus
membuka wawasan teologi Barat, bahkan kalau perlu
mengembangkan dan memperkaya teologi Barat itu sendiri. Pada
titik inilah kontribusi gereja Asia, Afrika, Amerika Latin menjedi
menentukan. Gereja yang hadir dalam sebuah konteks multi kultur
mempunyai potensi untuk bergerak secara kreatif, kerena
perjumpaan konteks antar kultur bisa menjadi pemicu kreativitas
berteologi. Apalagi ketika kreativitas berteologi tidak hanya
dilakukan oleh orang yang mempunyai bekal teologi akademis,
namun dilakukan oleh siapa saja dalam kehidupan gereja. Bahkan
pemahaman ini bisa ditarik lebih luas, bukan hanya gereja, tetapi
juga orang beragama lain dalam penghayatan mereka kepada Allah.
Perjumpaan itu tentu sangat menarik.

Keshub Chunder Sen (1838-1884), seorang Hindu dari India, malah


mengingatkan orang Kristen India pada untuk menghayati iman
mereka terhadap Yesus dalam konteks pengalaman mereka sebagai
orang Asia. Chundar Sen mengatakan:

It seems that Christ has come to us as an Englishman, with


English manners and customs about him, with the temper and
spirit of an Englishman in him… Is not Christ‟s native land
nearer to India than England? Are not Jesus and his apostles and
immediate followers more akin to Indian nationality than

129
Englishmen? Why should we, then, travel to a distant country
like England in order to get truths which are found much nearer
to our homes? Go to the rising sun in the East, not to the setting
sun in the West, if you wish to see Christ in the plenitude of His
Glory.22

Sementar itu Pratap Chandra Mozoomdar (1840-1905) seorang


Hindu lainnya menggambarkan ketegangan lainnya demikian:

He is an elaborately learned man, versed in all the principles of


theology. His doctrine is historical, exclusive, arbitrary, opposed
to the ordinary instincts and natural commonsense of
humankind...He continually talks of blood and fire and hell. He
hurls invectives at other men‟s faith, however truly and
consciously held. All self-sacrifice, which he does not
understand, is delusion to him.... All scriptures all false which
have grown up outside of his dispensation, climate and
nationality... He is tolerated only because he carries with him the
imperial prestige of a conquering race. 23

Mozoomdar melihat perjumpaan antara Yesus dengan pengalaman


India seharusnya membawa kebaikan bagi orang-orang India itu
sendiri, termasuk tradisi yang mereka hidupi. Yang menarik adalah
baik Chundar Sen maupun Mozoomdar beragama Hindu, namun
mereka bisa merasakan ketegangan ketika figure Yesus di bawa ke
India oloeh missionaris Inggris, bertemu dengan pengalaman India
dan bertemu dengan pemahaman mereka atas figure Yesus sendiri.
Mereka berteologi ketika mereka „bertemu‟ dengan Yesus dan
membawanya dalam pengalaman hidup orang India. Dengan
demikian dalam konteks tertentu ketegangan itu melibatkan bukan
hanya orang Kristen itu sendiri, tetapi juga konteks di sekitarnya.
Ketegangan inilah yang secara kreatif ditanggapi oleh teolog Kristen
India seperti M.M. Thomas, Stanley Samartha dan V. Chakkarai .

Ketegangan yang ada dalam transformasi ganda merupakan


ketegangan yang selalu mencari keseimbangan. Namun demikian
selalu ada kemungkinan bahwa ketika keseimbangan tercapai,
ketegangan akan muncul lagi karena ada konteks dan pengalaman
baru yang datang. Gerrit Singgih sendiri secara mengemukakan
ketegangan berteologi, khususnya pokok tentang Yesus. Ada
130
ketegangan untuk menghadirkan „Yesus iman‟ dengan „Yesus
historis‟.24 „Yesus iman‟ adalah penghayatan akan Yesus yang
penekanannya dominan pada aspek kepercayaan tentang keilahian
Yesus. Dalam konteks kekristenan awal tentu hal itu amat penting.
Namun demikian cerita perjalanan hidup Yesus sendiri yang terdapat
dalam Alkitab membawa pada pemahaman yang baru yaitu tentang
„Yesus historis‟, yaitu Yesus yang secara „asli‟ diberitakan dalam
Alkitab tanpa polesan „iman‟. Perkembangan „Yesus historis‟ tentu
merupakan perkembangan baru sejak dua abad yang lalu mengikuti
kaidah ilmu yang menekankan fakta. Bagi Gerrit Singgih ketegangan
muncul ketika dalam konteks kemajemukan agama di Indonesia,
orang Kristen terlalu menekankan keilahian Yesus. Sementara
memberikan penekanan kepada „Yesus historis‟ dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap iman Kristen. Untuk itu menurut Gerrit
Singgih kedua aspek tersebut secara seimbang harus diperhatikan,
tetapi justru disinilah terletak ketegangan itu. Gerrit Singgih
mengatakan demikian:

Keseimbangan itu jugalah yang seharusnya menjadi dambaan


kita dalam mengembangkan suatu gambaran Kristologi yang
kontekstual. Kalau dulunya kita terlalu berat sebelah
menekankan keilahian Yesus, tetapi sekarang kita tidak perlu
menuju pada ekstrim yang lain yaitu terlalu berat sebelah
menekankan keinsanian Kristus. Tetapi itu tetap berarti bahwa
pada masa kini, kita berbicara lebih banyak tentang keinsanian
Yesus, supaya justru dengan demikian keseimbangan tersebut
justru dapat tercapai.25

Ketegangan yang muncul dalam berteologi bisa memunculkan


sebuah teologi yang kreatif, berguna dan relevan. Ketegangan itu
adalah ketegangan yang setia kepada iman dan kepada perubahan.
Dengan itulah gereja terus berkarya di dunia dan menjawab
tantangan yang ada.

Penutup
Teologi kontekstual merupakan upaya berteologi dengan melibatkan
seluruh persepsi keimanan yang kita miliki, baik Alkitab, tradisi,
maupun konteks dan lokalitas yang kita hidupi. Berteologi
kontekstual berarti, meminjam istilah Aloysius Pieris, „dibaptis‟
131
dalam lokalitas di mana kita berada, baik itu pluralitas agama,
kemiskinan maupun perkembangan modernitas yang mendesak
untuk memikirkan ulang makna yang selama ini kita hayati. Dalam
„baptisan‟ itu ada sebuah makna baru yang digumuli dalam sebuah
ketegangan yang kreatif. Prof. E. Gerrit Singgih rupanya „dibaptis‟
dalam lokalitas seperti itu, dan dalam ketegangan kreatif menghayati
„baptisan‟ itu Prof. Emanuel Gerrit Singgih membaktikan hidupnya.

132
Pustaka
Bevans, Stephen, Models of Contextual Theology, Revised and
expanded edition, New York:Orbis Books, 2002.
Bevans, Stephen, What Has Contextual Theology to Offer to the
Church of the 21st century, diunduh dari :http://www.cms-
uk.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?D
MXModule=410&Command=Core_Download&language=en-
US&EntryId=2390&PortalId=2&TabId=81 diunduh 08 Sept
2012.
Brinkman, Martien, Non Western Jesus: Jesus as Bodhisattva,
Avatara, Guru, Prophet, Ancestor or Healer?,
London:Equinox, 2009.
Davies, Creston, “Introduction: Holy Saturdar or Ressurection
Sunday? Staging and Unlikely Debate”, in The Monstrosity of
Christ, Paradox or Dialectic, Debate Between Slavoj Zizek and
John Milbank, (Ed. Creston Davies), Massachusetts:MIT, 2009
de Wit, Hans, „Exegesis and Contextuality: Happy Marriage,
Divorce or Living (apart) Together‟, dlm. Hans de Wit &
Gerald O‟West (eds), African and European Readers of the
Bible in Dialogue, Leiden:Brill, 2008; South Africa:Cluster
Publication, 2009.
Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi, Kanisius:Yogyakarta,
1991.
Grenz, Stanley, Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda
for the Twentieth Century, Intervarsity Press, 1993.
Gunton, Colin, Yesterday and Today, a Study of Continuities in
Christology, London:Darton, Longman & Todd Ltd, 1983
Katoppo, Marianne, Compassionate and Free, an Asian Woman’s
Theology, Geneve:WCC, 1979
Kolimon, Merry, A Theology of Empowerment, Reflection from a
West Timorese Feminist Perspective, Zurich:Lit Verlag, 2008.
Kraft, Charles, Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical
Theologizing in Cross Cultural Perspective, Maryknoll:Orbis
Books, 1979.
McGrath, Alister, Theology the Basic, MA:Blackwell, 2004.
Moltmann, Jürgen, Experience in Theology, Minneapolis:Fortress,
2000.

133
Mozoomdar, Pratap Chandra, “The Oriental Christ”, in The
Significance of Jesus Christ in Asia, Hans Staffner (ed.),
Anand:Gujarat Sahitya Prakash, 1985.
Orevillo-Montenegro, Muriel, The Jesus of Asian Women,
Maryknoll: Orbis Books, 2006
Singgih, E. Gerrit, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan
yang Bersifat Majemuk”, in Meretas Jalan Teologi Agama-
agama di Indonesia, Theologia Religionum, Tim Balitbang
PGI (ed.), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007.
Singgih, E. Gerrit, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2004.
Stiver, Dan, Theology After Ricoeur, New Direction in
Hermeneutical Theology, Louisville:Westminter John Knox
Press, 2001.
Sugirtharajah , Asian Faces of Jesus, Maryknoll, London: Orbis
Books, 1993.

134
Endnote
1
Jürgen Moltmann, Experience in Theology, Minneapolis:Fortress, 2000,
p.3,11
2
Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, Kanisius:Yogyakarta, 1991, p.35
3
Alister McGrath, Theology the Basic, MA:Blackwell, 2004, p. xiii.
4
Bevans juga mengemukakan enam model teologi kontekstual yaitu model
penerjemahan, model anthropologis, model praxis, model sintetik, model
trancendental dan model countercultural (Lih. Stephen Bevans, Models of
Contextual Theology, Revised and expanded edition, New York:Orbis
Books, 2002)
5
Charles Kraft, Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical
Theologizing in Cross Cultural Perspective, Maryknoll:Orbis Books, 1979, p.
5.
6
Hans de Wit, ‘Exegesis and Contextuality: Happy Marriage, Divorce or
Living (apart) Together’, dlm. Hans de Wit & Gerald O’West (eds), African
and European Readers of the Bible in Dialogue, Leiden;Brill, 2008; South
Africa:Cluster Publication, 2009, pp. 7-8.
7
Creston Davies, “Introduction: Holy Saturday or Ressurection Sunday?
Staging and Unlikely Debate”, in. The Monstrosity of Christ, Paradox or
Dialectic, Debate Between Slavoj Zizek and John Milbank, (Ed. Creston
Davies), Massachusetts:MIT, 2009, p. 4.
8
Ibid., h. 5.
9
Salah satu contohnya adalah Y. Tomatala dalam bukunya Teologi
Kontekstual mengatakan “dengan demikian bab-bab yang diuraikan di
depan yang menyentuh studi manusia/anthropologi kebudayaan ditujukan
untuk menolong orang Kristen/gereja Kristen untuk ‘menyeberangkan Injil’
dengan tepat kepada sasaran (manusia lain dalam konteks.*…+ Teologi
kontekstualisasi yang absah menekankan bahwa apabila Tuhan telah
menetapkan untuk menggunakan budaya manusia sebagai wahana dan
sarana penyataan diriNya, maka budaya manusia haruslah dihargai untuk
dipelajari guna memperoleh petunjuk bagaimana sepatutnya
menyebrangkan Injil kepada sekelompok orang melalui budaya mereka”
(lihat Tomatala, Teologi Kontekstual, Gandum Mas:Malang, 1993, h.93)
10
Martien Brinkman, Non Western Jesus: Jesus as Bodhisattva, Avatara,
Guru, Prophet, Ancestor or Healer?, London:Equinox, 2009, p.34.
11
Lih. Stanley Grenz, Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for
the Twentieth Century, Intervarsity Press, 1993, p. 91.
12
E.Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 2004, p. 91.
135
13
Stehen Bevans, What Has Contextual Theology to Offer to the Church of
st
the 21 century, diunduh dari http://www.cms-
uk.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?DMXModule=4
10&Command=Core_Download&language=en-
US&EntryId=2390&PortalId=2&TabId=81, p. 7, 08 Sept 2012.
14
Dan Stiver, Theology After Ricoeur, New Direction in Hermeneutical
Theology, Louisville:Westminter John Knox Press, 2001, p. 11.
15
Martien Brinkman, The Non-Western Jesus, p. 20. Di sini Brinkman lebih
memilih untuk menggunakan istilah inkulturasi daripada kontekstualisasi.
16
Colin Gunton, Yesterday and Today, a Study of Continuities in
Christology, London:Darton, Longman & Todd Ltd, 1983, p. 5.
17
Ibid., p. 3.
18
Martien Brinkman, The Non-Western Jesus, p. 247.
19
Marianne Katoppo, Compassionate and Free, an Asian Woman’s
Theology, Geneve:WCC, 1979, pp. 81-83.
20
Lih. Merry Kolimon, A Theology of Empowerment, Reflection from a West
Timorese Feminist Perspective, Zurich:Lit Verlag, 2008.
21
Muriel Orevillo, The Jesus of Asian Women, Maryknoll: Orbis Books,
2006, p. 4-5.
22
Keshub Chundar Sen, dikutip oleh Sugirtharajah , Asian Faces of Jesus,
Maryknoll, London: Orbis Books, 1993, p. 11. Dalam edisi terjemahan
bahasa Indonesia diberi judul “Wajah Yesus di Asia”, 2007, diterjemahkan
Ioanes Rahmat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, p. 11.
23
Pratap Chandra Mozoomdar, “The Oriental Christ”, in The Significance of
Jesus Christ in Asia, Hans Staffner (ed.), Anand:Gujarat Sahitya Prakash,
1985, p. 78.
24
E. Gerrit Singgih, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang
Bersifat Majemuk”, in Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia,
Theologia Religionum, Tim Balitbang PGI (ed.), Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2007, p. 114.
25
Ibid., p. 115.

136
Bagian III

TEKS DAN KONTEKS

Agustinus Gianto
Agustinus Setiawidi
Diutus ke Seluruh Dunia
Agustinus Gianto S.J.

Ditegaskan pada bagian akhir Injil Markus, sebelum terangkat ke


surga Yesus menugaskan para murid untuk pergi ke seluruh dunia
membawakan Kabar Gembira kepada semua mahluk (Mrk. 16:15-
20). Penugasan yang sama terungkap dalam Mat. 28:16-20; Luk.
24:46-53. Namun demikian, masing-masing Injil memiliki tekanan
yang berbeda-beda. Markus menyebut agar “Kabar Gembira”
diwartakan kepada siapa saja, sedangkan Matius mengutarakannya
dalam wujud “mengajar dan membaptis” sedangkan Lukas berpusat
pada ajakan “bertobat” guna memperoleh “pengampunan dosa”.
Pengertian-pengertian ini amat berperan dalam kehidupan iman para
pengikut Yesus pada awal pertumbuhan mereka. Bagaimana
memahaminya dalam konteks masyarakat dan zaman yang lain?
Karangan ini mengupas pertanyaan ini dalam upaya ikut meramaikan
ruang pemikiran teologi pewartaan kontekstual yang telah dibuka
dan diluaskan oleh Gerrit. Juga diolah kembali pembicaraan penulis
mengenai ketiga petikan Injil tadi (Dahsyat! [Yogyakarta: Kanisius
2007] hal. 1-6; LangkahNya...Langkahku! [Yogyakarta: Kanisius]
hal 28-34; Membarui Wajah Manusia [Yogyakarta: Kanisius 2006]
hal 159-164) yang pernah ditanggapi oleh Gerrit dalam acara bedah
buku di Yogyakarta pada tahun 2007. Beberapa amatannya mengenai
hermeneutika ketika itu akan bergema dalam pembicaraan ini.

Kabar Gembira bagi Semua Makhluk


Dalam Mrk. 16:15-20 terdapat tiga pokok. Yang pertama ialah
penugasan bagi para murid agar pergi ke seluruh dunia mengabarkan
Kabar Gembira kepada semua ciptaan sehingga mereka yang
menerimanya akan memperoleh keselamatan, sedangkan yang
menolak akan dihukum (ayat 15-16). Kedua, ditegaskan bahwa para
murid akan disertai tanda-tanda hebat: mampu mengusir setan,
berbicara bahasa-bahasa baru, bisa memegang ular, tak mempan
racun, bisa menyembuhkan dengan menumpangkan tangan di atas


Profesor Filologi Semit dan Linguistik pada Pontificium Institutum
Biblicum, Roma.
137
orang sakit. Pokok ketiga menggambarkan bagaimana Yesus
diangkat ke surga dan duduk di kanan Allah. Begitulah para murid
yang berangkat memberitakan Injil ke seluruh penjuru dunia
diteguhkan dengan tanda-tanda yang dibekalkan kepada mereka oleh
Dia yang kini ada di surga.

Sebelum mengupas tiga unsur itu lebih jauh, baiklah dicatat bahwa
Injil Markus sebenarnya berakhir pada Mrk. 16:8 yang menyebutkan
bagaimana para perempuan yang baru saja mendapat penampakan di
makam Yesus (ayat 5-7) lari dan tidak mengatakan apa-apa kepada
siapa pun sebab mereka gentar. Sesudah itu ada tambahan bahwa
mereka akhirnya juga menyampaikan kepada Petrus dkk. pesan
tokoh berjubah putih yang mereka lihat di kubur. Juga diceritakan
bahwa Yesus sendiri dengan para murid mengabarkan berita kudus
itu (berita kebangkitan) dari Timur ke Barat. Kedua kalimat yang
ditambahkan setelah ayat 8 tadi disebut para ahli sebagai “penutupan
ringkas” dari Injil Markus. Kiranya dahulu ada penyunting naskah
Injil Markus beranggapan bahwa ayat 8 terasa terpenggal. Sulit pula
dimengerti bila Injil berakhir dengan berita mengenai ketakutan para
saksi pertama. Maka dijelaskan bagaimanapun juga akhirnya mereka
memperoleh keberanian menyampaikan pengalaman mereka kepada
para rasul. Para rasul sendiri kemudian memberitakan peristiwa
kebangkitan dengan disertai dia yang bangkit sendiri.

Dalam terbitan modern Injil Markus, didapati pula ayat 9-20 yang
lazim disebut sebagai “penutupan lengkap”. Jadi Injil Markus
memiliki dua penutupan. Penutupan lengkap ini menceritakan
beberapa kali Yesus menampakkan diri sebelum ia naik ke surga.
Mula-mula kepada Maria Magdalena, ayat 9-11 (yang mengingatkan
pada Yoh. 20:11-18), lalu kepada dua orang murid ketika ada dalam
perjalanan ke luar kota, ayat 12-13 (seperti kisah dua murid di Emaus
Luk. 24:13-35), dan akhirnya kepada kesebelas murid ketika sedang
makan sambil mencela ketidakpercayaan mereka akan berita orang
yang telah melihatnya sesudah bangkit, ayat 14 (mirip Luk. 24:41
dst. ketika Yesus minta diberi makan agar jangan dikira jadi-jadian
atau proyeksi pikiran mereka sendiri). Sesudah itu, ayat 15-20, yang
sedang dibicarakan di sini, ia memberi penugasan memberitakan
warta gembira ke semua makhluk (senada dengan Mat. 28:19, bdk.

138
Kis. 1:8). Beberapa rujukan ke Injil lain di atas menunjukkan bahwa
“penutupan lengkap” ini dikarang atas dasar sumber-sumber yang
sebenarnya baru ditulis beberapa waktu setelah Markus sendiri
menyelesaikan karangannya.

Bila penutupan ringkas dimaksud menghaluskan akhir sebuah


karangan, penutupan lengkap tadi memberi gambaran mengenai
kegiatan komunitas para pengikut Yesus awal. Kedua-duanya
diterima sebagai bagian Injil Markus dalam Alkitab sejak daftar
kitab-kitab kanonik itu mulai stabil, yakni pada abad ke-4. Jadi tidak
lagi dipersoalkan kewibawaan bagian penutupan Injil Markus.
Bagaimana membuat penafsiran yang sesuai dengan kenyataan
bahwa teks itu berasal dari zaman setelah teks Markus sendiri
selesai? Pembicaraan berikut berusaha menjawab pertanyaan ini.

Sebelum terangkat ke surga, Yesus menugaskan para murid untuk


pergi ke mana saja di dunia ini untuk mengumumkan kabar yang
memberi kelegaan batin, Kabar Gembira, Injil, kepada seluruh
ciptaan. Para murid diajak menemukan ruang hidup yang makin luas.
Lebih luas daripada cakrawala kehidupan mereka sendiri hingga saat
itu, yakni sebagai bagian dari komunitas agama Yahudi di tanah asal
mereka. Itulah arti pergi ke seluruh dunia. Bukan hanya wilayah atau
negeri jauh yang mesti dijadikan tujuan misi. Jauh lebih kaya dan
dapat terus disesuaikan dengan keadaan zaman, bahkan sampai
sekarang. Orang didorong menemukan bentuk-bentuk baru dalam
kehidupan di masyarakat, entah itu cara-cara berpikir yang baru,
entah itu pendalaman rohani yang hingga kini belum dijelajahi
dengan baik. Itulah kiranya inti perintah pergi ke segala penjuru
dunia tadi. Mereka diajak menemukan lorong-lorong baru dalam
berpikir, mendapatkan kenyataan-kenyataan yang kini makin
menggambarkan jalannya kekuatan-kekuatan yang ada dalam
masyarakat.

Perintah itu juga mengandung kesadaran baru akan martabat manusia


yang mesti dikembangkan para murid. Kemajuan sarana komunikasi
adalah tempat yang perlu didatangi menurut semangat perintah tadi.
Semuanya itu perlu didekati, ditemukan – bukan dijauhi, didiamkan,
apalagi dianggap tidak perlu dimengerti. Wilayah-wilayah itu masih
139
menantikan Kabar Gembira. Dan dalam hubungan inilah Kabar
Gembira akan menjadi makin konkret menanggapi kebutuhan tiap
tempat dan tiap zaman.

Tadi dalam analisis teks ditunjukkan bagian ini tidak termasuk yang
disusun Markus sendiri, walaupun menjadi bagian utuh dari Injil
Markus dalam bentuk kanoniknya. Justru di situlah nilainya.
Dijumpai pemikiran yang mendalami lebih lanjut mengenai siapa
Yesus yang bangkit itu. Di situ termuat pengertian orang beriman
yang membaca kembali karya Yesus di dunia ini dalam diri mereka.

Untuk apa menemukan macam-macam realitas baru itu? Menurut


Mrk 16:15 juga, semua yang ada di situ ialah “makhluk” (dati bahasa
Yunani ktisis) dengan kata lain, hasil karya ciptaan Yang Maha
Kuasa. Ciptaan, entah manusia, entah lingkungan, entah jagat batin,
itulah yang berhak menerima Kabar Gembira. Kabar ini dibawakan
Yesus sendiri sejak awal, yakni bahwa Allah itu Allah yang penuh
perhatian dan kini semakin ingin mendekat ke ciptaan-Nya sendiri,
kendati ciptaan itu boleh jadi menjauh dari-Nya. Ia mendekat,
merujukkan diri kembali. Dan bila ini terjadi, di situlah terbangun
Kerajaan Allah – kehadiran Yang Ilahi di dunia ini. Maka orang-
orang diajak Yesus untuk mengarahkan diri ke kenyataan ini (itulah
makna “bertobat”) dan dengan demikian dapat menerima Kabar
Gembira yang telah diumumkan dalam pembukaan Injil Markus
(Mrk. 1:15). Bila wilayah-wilayah yang didatangi murid tadi
wujudnya bukan hanya negeri asing, tanah baru (yang mungkin kini
tak ada lagi), melainkan juga dimensi-dimensi kehidupan baru
seperti dijelaskan di atas, maka pewartaan Kabar Gembira ini juga
tetap akan menghadirkan Yang Ilahi di mana dan kapan saja.
Pemberitaan Injil dapat dan haruslah melebarkan dimensi kehidupan
sehingga ada ruang bagi Yang Ilahi di dalam pelbagai dimensi baru
yang didatangi para murid. Ini namanya ikut membuat ciptaan makin
dekat dengan kehendak-Nya ketika menciptakan semua, yakni baik
adanya.

Tak mengherankan bila dikatakan, dalam gaya bicara waktu itu, yang
percaya akan “selamat” sedangkan yang menolak akan kena
“hukuman”. Kalimat seperti itu tidak perlu dipahami sebagai
140
ancaman karena memang bukan dimaksud sebagai ancaman,
melainkan sebagai jaminan. Bila diterima dan dikuti, warta mengenai
hadirnya Yang Ilahi di dunia ini menjadi wujud keselamatan.
Keterbelahan dunia dan masyarakat yang makin dirasakan
belakangan ini menjadi tantangan bagi para murid untuk menyajikan
alternatif: Kerajaan Allah sudah ada, tinggal diterima. Tentunya
orang mesti pandai-pandai membahasakan dan menampilkannya
dengan cara yang bisa dicerna orang sekarang.

Pelbagai tanda yang menyertai para murid dalam ayat 17-18 itu
memakai cara bicara yang kerap dipakai orang zaman dulu.
Tujuannya mengatakan bahwa keadaan yang kelihatannya berbahaya
sebenarnya bisa diatasi. Para murid pada zaman ini diajak
menemukan semangat yang sama dengan tanda-tanda yang ditulis di
sana, walaupun tidak perlu sama bentuknya. Apa misalnya? Macam-
macam. Salah satunya ialah tidak perlu merasa dihantui oleh risiko.
Terkadang mereka yang berani menghadapi risiko biasanya orang
yang sukses. Ada juga ajakan agar berusaha menyampaikan iman
dengan cara yang komunikatif dan mudah diterima. Bukankah ini
yang dimaksud dengan berbicara bahasa-bahasa baru? Bahkan ular,
lambang penggoda, tidak akan berhasil mengalahkan murid yang
berani pergi menemukan wilayah-wilayah baru. Begitu seterusnya.
Racun tidak akan mencelakan lagi – bukan maksudnya murid akan
belajar ilmu kebal. Tak ada yang lebih meleset dari pemahaman
seperti itu. Racun ialah kekuatan perusak hidup yang tak selalu
kelihatan, yang perlu diwaspadai dan dipunahkan dayanya. Juga
penyakit, yang bila dikenali justru menggarisbawahi harapan orang
akan kesembuhan, akan pertolongan, dan akan perhatian.

Begitulah para murid zaman kini yang mencoba mengaktualkan


perintah dan memahami tanda-tanda itu akan juga melihat Yesus
terangkat ke surga dan duduk di kanan Allah (ayat 19) Artinya, akan
melihat Yesus mencapai kebesarannya. Dan inilah sumber kekuatan
yang menyertai perjalanan menemukan pelbagai dimensi kehidupan
yang baru dan mengenali tanda-tanda kekuatan kehadiran ilahi yang
menyertai mereka (ayat 20) dan yang menyertai para murid pada
zaman ini juga.

141
Sudut Pandang Matius
Kejadian yang sama diberitakan dengan cara berbeda dalam Mat.
28:16-20. Matius mengisahkan, pada waktu itu para murid sudah tiba
di Galilea mengikuti petunjuk Yesus lewat Maria Magdalena dan
Maria yang lain bahwa di sana murid-murid akan melihat dia (ayat
10). Yesus sendiri telah mendahului mereka. Di sana ia
menyampaikan dua hal kepada mereka. Pertama yaitu bahwa
kepadanya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi, dan
kedua karena kini ia akan memberi pengutusan baru kepada para
murid.

Begitulah di wilayah utara, tempat asal Yesus mulai berkarya, yakni


Galilea, di sebuah bukit yang ditunjukkan sang Guru, mereka
kembali melihat Yesus dan mengenali kebesarannya. Mereka pun
sujud kepadanya. Kepada mereka ia menegaskan bahwa semua kuasa
di surga dan di bumi telah diberikan kepadanya (ayat 18); sehingga
tak perlu lagi ada keragu-raguan (terungkap pada akhir ayat 17). Para
murid diminta menjadikan semua bangsa muridnya dan membaptis
mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (ayat 19-20a). Ia
juga berjanji menyertai mereka hingga akhir zaman.

Guna memahami petikan Matius ini baik diingat bahwa Injil Matius
bermaksud menampilkan Yesus sebagai tokoh Musa yang dulu
membawakan hukum-hukum dari Allah sendiri kepada umat. Tetapi
berbeda dengan Musa, Injil Matius menggambarkan Yesus mengajar
di sebuah bukit yang dapat didekati orang banyak (Mat. 5-7,
khususnya Mat. 5:1-2), tidak dari puncak gunung yang tak
terjangkau dan diliputi awan-awan tebal seperti Musa dahulu. Bukit
tempat Yesus mengajar menampilkan suasana lega, tidak mencekam.
Para murid dapat memandanginya, berbeda dengan Musa dulu yang
wajahnya sedemikian menyilaukan. Tempat pemberian hukum kini
bukan lagi sebuah wilayah keramat yang terpisah dari masyarakat
luas dan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi di padang gurun, bukan
lagi di puncak Sinai. Tidak pula berpusat di Yerusalem dan Bait
Allah. Hukum baru ini tersedia bagi siapa saja. Injil Matius
mengutarakannya dengan menyebut “Galilea” (Mat. 28:16), yakni
wilayah persimpangan macam-macam orang bisa bertemu. Yang
disampaikan bukan lagi seperangkat aturan dan hukum, melainkan

142
ajaran kehidupan, kesahajaan, serta keluguan batin, karena Kerajaan
Allah berdiam dalam kesahajaan dan keluguan seperti itu. Ini semua
terkemas dalam pengajaran Yesus di bukit dalam Mat. 5-7. Kini pada
akhir Injil Matius, para murid diminta agar membuat ajaran tadi lebih
dikenal lebih banyak orang lagi. Akan didalami hal ini lebih lanjut
nanti.

Ketika melihat Yesus di bukit di Galilea tadi, ada di antara para


murid yang segera mengenalinya, tapi ada pula yang ragu-ragu
apakah dia itu sama dengan Dia yang mereka kenal sejak lama.
Yesus kemudian berkata bahwa kepadanya telah diberikan segala
kuasa di surga dan di bumi (Mat. 28:18). Baiklah didalami terlebih
dahulu perihal kuasa di surga dan di bumi, yang mengingatkan kita
kepada penglihatan Daniel yang menyebutkan datangnya sosok yang
berwujud manusia (“mirip Anak Manusia”) menghadap Allah yang
Abadi (“Yang Lanjut Usia”) untuk menerima kuasa dan kemuliaan
(Dan. 7:13-14)

Dalam penglihatan Daniel itu tampillah sosok yang seperti manusia


datang menghadap Yang Lanjut Usia untuk memperoleh kuasa
daripada-Nya. Dan kekuasaan ini ditegaskan tak akan ada akhirnya.
Bagaimana menafsirkan gambaran ini? Sering sosok itu diterapkan
kepada seorang Mesias yang akan datang. Pendapat ini tidak banyak
berguna. Hanya membuai harapan. Sering juga dipandang sebagai
kejayaan kaum beriman. Tetapi penjelasan ini juga tidak banyak
membantu, malah kurang cocok dengan kehidupan beragama yang
sejati yang tidak mencari kejayaan, melainkan terarah pada sikap
bersujud. Penglihatan Daniel tadi sebetulnya menggambarkan
kemanusiaan yang baru. Yakni kemanusiaan yang mengarahkan
dirinya kepada Yang Ilahi. Kemanusiaan yang berkembang dalam
hubungan dengan Dia yang memberi kuasa atas jagat ini. Itulah yang
telah diperoleh kembali oleh Yesus dengan salib dan
kebangkitannya, dan itulah yang kini dibagikan kepada umat
manusia.

Yesus membuat kemanusiaan baru dalam penglihatan Daniel tadi


menjadi kenyataan. Di dalam dirinya, Yang Ilahi dapat tampil
dengan leluasa, bukan hanya di surga, tapi juga di bumi. Juga tidak
143
ada lagi tempat di surga atau di bumi yang menjadi terlarang bagi
kemanusiaan karena semuanya diciptakan bagi kemanusiaan baru ini.
Bukan berarti ruang leluasa itu dapat dipakai begitu saja.
Keleluasaan membawa serta tanggung jawab menjaga kelestarian.
Justru kemanusiaan yang terbuka ini ialah yang ikut
mengembangkan jagat sehingga menjadi tempat Yang Ilahi
dimuliakan.

Kini murid-murid mengalami kenyataan yang diungkapkan ayat itu


dan mengerti bahwa mereka dapat ikut hidup dalam dua kawasan.
Mereka tetap berada di muka bumi, walaupun mereka juga murid
dari Dia yang kini telah memasuki keabadian dan tetap berhubungan
dengan Dia. Kenyataan ini akan terus berlangsung bila mereka mau
berbagi keberuntungan tadi dengan banyak orang lain yang belum
sempat menjadi murid Yesus semasa hidupnya. Di situlah letak
perintah yang diberikan Yesus ketika mengutus murid-muridnya
kepada siapa saja.

Para murid bersama para perempuan yang sudah mendapati Dia yang
telah bangkit (Mat. 28:9) disebutkan “menyembah” Yesus di Galilea
itu (Mat. 28:17). Yang dimaksud Matius dengan “menyembah” ialah
mengakui kebesaran yang sungguh meski tidak langsung tampak.
Kebesaran ini bisa dialami dan diselami. Kemampuan manusia
menyadari kehadiran yang sakral, yang keramat, yang bukan hanya
dari dunia ini menjadi jalan mengenali Dia yang sudah bangkit dan
kini akan sepenuhnya memasuki kebesaran-Nya. Bagi Matius,
kemampuan serta kepekaan “menyembah” ini membawa hidup baru
dalam diri para murid.

Kristus yang telah bangkit itu akan naik ke surga dan memasuki
kemuliaannya. Berarti Ia tidak akan terlihat lagi di bumi. Tetapi
mereka yang mau “menyembah”-nya akan tetap dapat melihatnya.
Mereka bahkan akan membuatnya terlihat bagi orang lain. Bagi
mereka, kata-kata bahwa ia mendapat kuasa di surga dan di bumi
makin nyata. Murid-murid, siapa saja, diperbolehkan menjadi tempat
Dia yang bangkit itu bisa menampakkan kuasanya di bumi – dengan
cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Ini Kabar Gembira yang
disampaikan Matius pada akhir Injilnya!
144
Dalam Mat. 28:17b disebutkan ada beberapa orang yang ragu-ragu.
Maksudnya, tidak begitu yakin bahwa yang mereka dapati dan
mereka lihat di gunung, di Galilea itu adalah Yesus yang sudah
bangkit. Dalam hati kecil mereka tentunya bertanya, benarkah
demikian? Mengapa sesederhana ini, mengapa tidak menggetarkan,
mengapa tidak membuat orang takluk langsung? Juga, mengapa
tidak memberi kemuliaan besar kepada mereka yang telah setia
mengikutinya dari suatu tempat ke tempat lain? Terhadap keraguan
ini, Yesus hanyalah memberi penegasan iman: yang dibawakann-
Nya ke dunia ini ialah kemanusiaan yang tertebus, kemanusiaan
baru, yang terbuka bagi kehadiran ilahi. Dan itulah kuasa atas surga
dan bumi. Menjadi muridnya berarti ambil bagian dalam
kemanusiaan yang tertebus ini. Bila demikian para murid boleh yakin
akan tetap disertai guru mereka hingga akhir zaman, hingga saat
kemanusiaan yang tertebus itu menjadi kenyataan di bumi dan di
surga seutuhnya. Kata-kata ini menjadi bekal hidup bagi siapa saja
yang mau mengikuti Yesus.

Kata-kata Yesus dalam Mat. 28:19 “…pergilah, jadikanlah semua


bangsa murid-Ku…” tidak perlu ditafsirkan sebagai perintah untuk
“menobatkan” semua bangsa menjadi murid-Nya. Dengan bahasa
yang lebih mudah dipahami, perintah itu dapat dirumuskan kembali
demikian: “Kalian pergilah ke berbagai tempat dan jumpailah
macam-macam orang; perlakukanlah mereka itu sebagai muridku!”
Jadi tekanan bukan pada membuat bangsa-bangsa menjadi murid
Yesus dengan menurunkan ilmu atau pengetahuan kepada mereka,
yang diminta Yesus ialah agar para murid tadi bersikap mau
menganggap siapa saja yang akan mereka jumpai nanti sebagai
sesama murid. Pernyataan ini amat berani. Di situ terungkap
kepercayaan besar. Bagaimana penjelasannya? Wafat dan
kebangkitan Yesus telah mengubah jagat ini secara menyeluruh,
sehingga siapa saja, pernah bertemu atau tidak dengan Yesus, pernah
mendengar atau belum tentang-Nya, pada dasarnya sudah menjadi
bagian dari ciptaan baru, menjadi kemanusiaan baru. Dalam bahasa
Injil – mereka sudah menjadi murid Yesus sendiri. Dan murid-murid
yang mengikuti-Nya dari suatu tempat ke tempat lain dulu, diminta
menganggap semua orang yang mereka jumpai nanti sebagai sesama
murid. Tak ada ruang lagi bagi mereka untuk berbangga-bangga.

145
Mereka tidak lebih dekat, tidak lebih baik, tidak lebih memiliki
ajaran yang benar. Semua orang ialah murid-Nya dan para murid
pertama justru diminta memperlakukan mereka seperti diri mereka
sendiri. Dan yang memang merasa dekat hendaknya memperlakukan
orang lain yang belum pernah mendengar tentang Yesus sebagai
yang sama-sama telah mendapat pengajaran batin dari Yesus sendiri!

Apakah tafsiran ini tidak berseberangan dengan ciri misioner


komunitas kristiani? Sama sekali tidak. Pemahaman ini justru
menunjukkan betapa luhurnya pengutusan para murid. Mereka
diminta memperlakukan semua orang sebagai sesama, bahkan
sesama murid. Mereka dapat saling belajar tentang kekayaan masing-
masing. Baru demikian para murid akan memenuhi keinginannya.
Inilah yang membuat iman tidak berlawanan dengan kebudayaan.
Justru iman dapat berkembang dalam kebudayaan yang berbeda-
beda. Bila begitu, kemanusiaan dapat menjadi kemanusiaan yang
dapat didiami keilahian seperti dalam kehidupan Yesus sendiri.

Di sinilah terdapat ruang amat leluasa bagi sebuah teologi


kontekstual. Pengutusan tidak perlu diartikan sebagai penugasan
membagi-bagikan kebenaran kepada mereka yang dianggap berada
dalam ketidaktahuan. Sebaliknyalah, para murid itu baru boleh
disebut menjadi utusan yang sungguh bila membiarkan diri
diperkaya oleh “para bangsa” – oleh orang-orang yang mereka
datangi. Para murid diutus ke berbagai tempat dan di semua tempat
itulah mereka akan menemukan orang-orang lain yang memiliki
pelbagai pengalaman mengenai Yang Ilahi.

Dalam Mat. 28:19 juga ditemukan perintah “..dan baptislah mereka


dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus!” Orang diajak mengenal
adanya pengasal hidup (Bapa), dan yang menjalankannya sebaik-
baiknya (Putra), serta yang melangsungkan dan menjaganya (Roh
Kudus). Menginisiasikan orang ke dalam hidup komunitas Gereja –
membaptis – ialah sebuah cara untuk menandai niat untuk
mendalami serta menghayati perintah tadi. Ada pelbagai cara lain
dalam hidup bersama sebagai murid Yesus. Kehidupan Gereja pada
abad-abad pertama justru menunjukkan kenyataan ini. Orang dari

146
kalangan Yahudi diajak terbuka menerima orang dari kalangan
Yunani. Inilah kekayaan pengutusan para murid.

Dalam konteks hubungan antar iman, sering ada perdebatan seputar


paham Tritunggal. Dalam menjelaskan pokok iman ini, akan
membantu bila diperlihatkan juga paham mana yang tidak cocok
dengan penghayatan iman yang nyata dalam Gereja. Yang bukan
ajaran iman yang sungguh ialah gagasan “tri-teisme”, adanya tiga
sesembahan. Ada dua pendapat lain yang tidak terlalu kentara
ketidaksesuaiannya dengan penghayatan iman. Salah satunya ialah
yang mengatakan bahwa Putra dan Roh Kudus itu diciptakan oleh
Bapa, atau semacam perpanjangan dari Allah yang satu – pendapat
ini biasanya disebut “subordinasionisme” karena membawahkan
kedua pribadi pada salah satu. Ada pula penjelasan yang mengatakan
bahwa Tritunggal hanyalah sekadar tiga bentuk atau cara Allah
tampil bagi manusia dan bukan sungguh pribadi ilahi. Pendapat ini
sering disebut “modalisme”. Termasuk di sini pendapat bahwa
ketiganya hanya kiasan mengenai sifat-sifat ilahi belaka. Iman yang
nyata tidak berdasarkan gagasan-gagasan tadi, melainkan menerima
keilahian sebagai yang esa dan mengalaminya sebagai yang
merahimi kehidupan, melaksanakannya, dan menjaganya. Inilah
iman akan Tritunggal yang menghidupi Gereja sepanjang zaman.

Ada sebuah masalah yang menyangkut pengutusan kepada siapa saja


tadi. Dalam Mat. 10:5-6 disebutkan, “Jangan engkau menyimpang ke
jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria,
melainkan pergilah ke domba-domba yang hilang dari umat Israel.”
(Mat. 10:5-6). Jadi di situ ditegaskan para murid diutus hanya kepada
orang Yahudi saja. Tapi pada Mat. 28:19 diceritakan Yesus
mengutus murid-muridnya untuk menjadikan semua bangsa murid
Yesus dan membaptis mereka. Begini penjelasannya. Tadi dalam
Mat. 10:5-6 murid-murid ditugasi sang guru yang waktu itu berjalan
dari kota ke kota. Tapi pada akhir Injil para murid berada bersama
dengan Yesus yang telah bangkit. Ia kini sudah masuk dalam
kawasan yang lebih luas, bahkan melingkupi surga juga. Sebelum
menugasi murid-murid pergi ke semua bangsa, ia sendiri
mengatakan, “Kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di
bumi.” (Mat. 28:18). Keberadaannya kini mengatasi ruang dan

147
waktu. Murid-murid diminta agar membuat kebangkitan menjadi
berarti bagi siapa saja. Diterima atau tidak soal lain. Tidak juga
digariskan caranya begini atau begitu. Mesti dicari dan
dikembangkan. Semua hal mengenai Yesus harus dapat disampaikan
kepada mereka yang tadinya tak masuk hitungan

Pemahaman Injil Lukas


Injil Lukas mengutarakan kedua peristiwa yang dibicarakan hingga
kini dengan gambaran yang lain. Dalam Luk. 24:46-53 dikisahkan
pengutusan para murid setelah mereka memahami warta Kitab Suci
mengenai kemesiasan Yesus (ayat 46-49) dilanjutkan dengan kisah
kenaikan Yesus ke surga setelah memberkati para murid (ayat 50-
53). Guna memahami ayat 46-49 marilah kita melihat konteksnya,
yakni ayat 45, “Lalu ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka
mengerti Kitab Suci”. Yang dimaksud ialah warta seluruh Kitab Suci
mengenai dirinya. Hal ini diungkapkan dalam ayat 44 sebagai
“Taurat Musa, nabi-nabi, dan kitab Mazmur”. Seperti diutarakan
dalam ayat 46, ia menjadi Mesias Tuhan yang benar lewat
penderitaan dan kebangkitannya. Ditegaskan kemudian dalam ayat
47 bahwa murid-murid diminta ikut meluruskan pendapat orang
mengenai dia dan wartanya (“mewartakan tobat”) agar orang
mendapat “pengampunan dosa” dalam nama dia yang telah bangkit
itu.

Pikiran murid-murid kini diterangi sehingga mereka mengerti itu


semua. Kejadian ini juga dialami oleh kedua orang murid yang
sedang ada dalam perjalanan ke Emaus. Mereka mendapat
penjelasan mengenai Kitab Suci tentang Yesus (Luk. 24:27) dari
Yesus yang telah bangkit sendiri meskipun waktu itu mereka belum
menyadarinya. Kini, dalam ayat 46 dst. murid-murid sudah tahu
siapa yang menjelaskan. Mereka telah berjumpa dengan dia yang
bangkit itu (Luk. 24:36-44). Bagaimanapun juga di dalam kedua
peristiwa ini para murid akhirnya sama-sama mendapatkan kekuatan
untuk mulai menyampaikan pengalaman berjumpa dengan dia yang
telah lama diberitakan dalam Kitab Suci. Kedua murid dari kisah
Emaus itu segera bergegas ke Yerusalem (Luk. 24:33) memberitahu
para murid lain. Kini para murid yang lain juga memperoleh
dorongan untuk mewartakan tentang dia mulai dari Yerusalem (ayat

148
47). Perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit itu memberi
kekuatan serta gairah.

Apa itu “bersaksi” mengenai dia? Kesaksian perlu dipahami dalam


kaitan dengan peristiwa kenaikan Yesus ke surga. Ia yang bangkit itu
dikatakan berpisah dari murid-muridnya dan terangkat ke surga
(Luk. 24:51). Dalam Kis. 1:1-11 nanti ditampilkan peristiwa yang
sama. Pada ayat 10-11 disebutkan bahwa dua orang yang berpakaian
putih mengatakan kepada murid-murid bahwa Yesus akan datang
kembali dengan cara seperti yang mereka lihat ketika Ia naik ke
surga. Maksudnya, Dia yang kini telah memasuki dunia ilahi itu satu
ketika nanti akan datang kembali dengan cara yang sama. Dan
tenggang waktu antara kenaikan dan kedatangan-Nya kembali ialah
kesempatan panjang bagi para murid di mana saja dan kapan saja
untuk belajar mengenali kehadiran-Nya di dunia dan mengabarkan-
Nya. Orang banyak akan makin mengerti kehadiran-Nya. Bila ini
terjadi maka dapat dikatakan Ia datang kembali. Boleh dikatakan
bahwa kedatangan-Nya kembali itu sejalan dengan bertumbuhnya
pengertian manusia akan kehadiran-Nya. Tugas para murid ialah
mewartakan kehadiran ini dan membuat banyak orang memahami
serta menghormati kehadiran ini. Dalam banyak hal boleh dikatakan
bahwa orang yang percaya akan Dia ikut membuat-Nya datang
kembali dengan cara sama seperti para murid dulu melihat Ia
terangkat ke surga dan menerima pengutusan dari-Nya.

Kedatangan kembali Dia yang telah bangkit itu juga diutarakan di


dalam Injil Markus dengan perspektif ke belakang, ke masa ketika
Yesus masih ada di antara para murid. Dalam Mrk. 13:24-32
diungkapkan dua pokok: pertama mengenai “zaman edan” yang
mendahului kedatangan-Nya kembali (ayat 24-27), dan kedua,
imbauan untuk menengarai kapan saat itu tiba (ayat 28-32). Murid-
murid yang masih mengenal Yesus dari dekat mewartakan bahwa Ia
telah bangkit dari kematian dan naik ke surga dan kini menyiapkan
tempat bagi mereka. Ia akan datang kembali dengan mulia dan
orang-orang yang percaya kepada-Nya akan ikut serta dalam
kebesaran-Nya. Saat itu seluruh alam semesta akan menyaksikan
peristiwa ini. Yang paling membuat generasi pertama murid-murid
ini bergairah ialah kebangkitan-Nya. Karena itu, pewartaan Injil yang

149
paling awal ialah “Tuhan telah bangkit!” Semua hal lain, termasuk
kedatangan-Nya kembali, ialah kelanjutan peristiwa itu. Namun
demikian, bagi murid-murid dari generasi yang tidak mengenal
Yesus sendiri, kebangkitan-Nya sudah jadi hal yang diandaikan.
Minat mereka lebih terarah pada kedatangan-Nya kembali. Di situlah
letak daya tarik komunitas awal ini. Seluruh Injil Markus ditulis bagi
kalangan mereka. Kepada mereka diperkenalkan siapa Yesus yang
akan datang kembali itu lewat ingatan akan hal-hal yang diajarkan
dan dilakukan-Nya semasa hidup-Nya. Kedatangan-Nya kembali
nanti dikontraskan dengan suasana yang menggelisahkan – suasana
zaman edan. Markus menggambarkan kedatangan kembali Yesus
dalam kemuliaan-Nya dengan menghubungkannya dengan kitab
Daniel 7:13-14, yakni tokoh Anak Manusia yang datang menghadap
Allah untuk memperoleh anugerah kuasa atas seluruh alam semesta.
Dalam Kitab Daniel, kedatangan Anak Manusia ini terjadi segera
sesudah Allah memunahkan kekuatan-kekuatan jahat yang
mengungkung alam semesta. Zaman yang dikuasai kekuatan kacau –
zaman edan – itu kini digantikan dengan zaman Anak Manusia.
Siapakah Anak Manusia dalam Daniel itu? Tafsiran bisa bermacam-
macam. Namun demikian, bila dicermati, Anak Manusia di situ
dipakai melukiskan kemanusiaan baru yang hidup merdeka di
hadapan Allah. Di situlah kebesarannya. Bila diterapkan kepada
Yesus, kedatangan-Nya kembali mewujudkan kemanusiaan yang
baru ini.

Baiklah ditengok gambaran hubungan dunia ilahi dan dunia manusia


dengan memakai gagasan dalam Kitab Suci sendiri. Dalam Kej.
11:1-9 diceritakan manusia yang tadinya saling mengerti dan bersatu
itu akhirnya terpecah-belah karena tidak dapat saling mengerti lagi.
Ini sebetulnya kisah untuk menjelaskan secara teologis asal usul
kemerosotan, perpecahan dan permusuhan di antara umat manusia.
Diceritakan manusia mulai berambisi memasuki wilayah Yang Ilahi
tanpa menghormati kekeramatan-Nya. Mereka bermaksud
membangun kota dengan menara yang puncaknya menembus ke
langit (Kej. 11:4) – tempat kediaman Yang Ilahi, wilayah yang
keramat itu. Manusia ingin “membuat nama bagi diri sendiri agar
jangan sampai terserak ke seluruh bumi”, maksudnya menjadi seperti
Sang Nama Ilahi itu. Apa yang terjadi? Tuhan malah membiarkan

150
mereka tercerai berai ke seluruh bumi dan tidak saling mengerti lagi
sehingga rencana mereka membangun kota dengan menara tadi
gagal. Wilayah yang keramat tidak bisa dijadikan tempat berkiprah.
Kesembronoan seperti itu malah menjauhkan mereka dari yang
mereka inginkan.

Bukan khayal belaka bila kenaikan Yesus ke surga ini dimengerti


sebagai kebalikan kisah menara Babel tadi. Kenaikan Yesus ke surga
ialah kemanusiaan yang diterima utuh oleh Tuhan. Kemanusiaan kini
bahkan diangkat menjadi bagian dari Yang Ilahi sendiri. Ia juga yang
menyatukan kemanusiaan. Dalam hal ini tidak ada upaya kemaruk
menyamai Yang Ilahi. Ia berani mengakui diri sebagai manusia lewat
penderitaan dan wafatnya itu. Ia menunjukkan kemanusiaan yang
tidak meninggikan diri sampai ke awan-awan. Dan justru dengan
demikian Ia dibangkitkan. Ia menjadi menara kemanusiaan yang
puncaknya betul-betul mencapai langit. Kenaikannya ke surga ini
juga nanti bahkan diikuti kedatangan Roh Kudus yang membuat
orang dari pelbagai bahasa dan bangsa dapat saling mengerti
kembali. Dalam banyak arti kenaikan Yesus ke surga mengingatkan
pada kehadiran Yang Ilahi di dalam kemanusiaan.

Injil Lukas berakhir dengan berita bahwa para murid senantiasa


berada di Bait Allah memuliakan Tuhan (Luk. 24:53). Bait Allah
juga menjadi tempat awal Injil ini. Di situlah Zakharia menerima
pemberitaan akan kelahiran Yohanes Pembaptis ketika bertugas
menjalankan ibadat. Ketika Zakharia mempertanyakan bagaimana ia
dapat percaya semua itu, malaikat Gabriel membuatnya gagu.
Meskipun Injil Lukas tidak menyebutkannya, dalam keadaan ini jelas
Zakharia tidak dapat mengucapkan kata-kata berkat yang menjadi
bagian ibadat di Bait Allah. Pada akhir Injil Lukas disebutkan Yesus
mengangkat tangan dan memberkati murid-muridnya (Luk. 24:50-
51). Dengan ini kiranya Lukas hendak mengingatkan orang akan
berkat imam dalam Im. 9:22. Hal yang tidak dapat dilakukan oleh
Zakharia kini dilakukan oleh Yesus yang sedang terangkat ke surga.
Berarti ibadat di Bait Allah kini telah utuh kembali. Dan bukan itu
saja. Kini batas-batas antara yang keramat dan yang duniawi telah
dibuka kembali. Ia memberkati murid-murid ketika ia terangkat ke
surga. Ingat juga bahwa pada saat ia wafat di salib. tirai Bait Allah

151
yang memisahkan tempat yang paling kudus dengan bagian lain
koyak terbuka (Luk. 23:45). Wafatnya menandai rujuknya kembali
keilahian dengan kemanusiaan. Dan Lukas maju lebih jauh lagi. Kini
Yesus menjadi berkat bagi seluruh kemanusiaan. Artinya, Yang Ilahi
tidak lagi jauh dari kemanusiaan. Yesus yang naik ke surga itu bukan
seperti menara Babel yang mendatangkan kutuk, melainkan yang
mendatangkan berkat. Inilah yang diminta agar dipersaksikan para
murid kepada semua bangsa. Pertobatan mulai dengan mengakui
bahwa Yang Ilahi dapat hadir di antara manusia. Ini juga
memungkinkan pengampunan dosa yang diperbuat manusia dalam
kisah menara Babel dulu.

Menurut berita yang terdapat pada awal Kisah Para Rasul, dikatakan
bahwa Yesus berulang-ulang selama 40 hari menampakkan diri
kepada para murid dan berbicara mengenai Kerajaan Allah (Kis.
1:3). Tetapi pada akhir Injil Lukas tidak ada tenggang waktu antara
kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga. Padahal kedua kesaksian
ini ditulis oleh pengarang yang sama. Tenggang waktu 40 hari itu
ungkapan yang dipakai untuk menyebut masa yang cukup lama
untuk mengalami perubahan pikiran. Sekaligus ini cara untuk
mengatakan Yesus benar-benar tetap menyertai mereka setelah ia
wafat dan bangkit dan semua ajaran mengenai Kerajaan Allah yang
diberikannya semasa hidupnya tetap berlaku.

Selain itu dikatakan Yesus melarang mereka meninggalkan


Yerusalem sebelum Roh Kudus datang (Kis. 1:4). Di manakah
kejadian kenaikan Yesus? Matius menyebut di Galilea, Markus
penutupan ringkas tidak menyebut jelas-jelas di mana, namun rupa-
rupanya kejadiannya di dekat Yerusalem. Dalam Kis. 1:4 nama kota
ini dieja dalam teks Yunani sebagai “Hierosolyma”, bukan
“Ierousaleem”. Dalam tulisan Lukas diketahui bahwa yang pertama
itu merujuk ke wahana Yerusalem dan penghuni yang mau menerima
kehadiran Yesus, sedangkan yang kedua menggambarkan kota yang
menolaknya. Maka bila para murid diminta agar tidak meninggalkan
“Hierosolyma” artinya mereka diharapkan bertekun dulu di dalam
lingkungan yang menerima Yesus sambil menantikan kedatangan
Roh Kudus yang bakal membuat mereka nanti mampu bersaksi
kepada mereka yang memusuhi Yesus, yang disebut dengan nama

152
“Ierousaleem” (Kis 1:8). Dalam Luk. 24:47 disebutkan murid-murid
diutus menyampaikan berita pertobatan dan pengampunan dosa
kepada semua bangsa “mulai dari Ierousaleem”, mulai dari
lingkungan yang kurang mengakui kehadiran Yesus. Memang bila
dieja demikian, kota ini ditampilkan sebagai tempat yang menolak
kehadiran utusan Yang Mahakuasa ini, bahkan memperlakukannya
dengan buruk. Kota seperti ini kota kezaliman yang akan runtuh dan
diganti dengan Hierosolyma, tempat Yesus akan dimuliakan, kota
kedamaian. Bandingkan dengan penulisan nama kota ini sebagai
Ierousaleem dalam 9:51; Hierosolyma dalam 13:22, di Ierousaleem
17:11, dan kemudian Hierosolyma 19:28.

Penutup
Tugas menyampaikan Kabar Gembira kepada semua orang di segala
zaman membuka ruang seluas-luasnya bagi kreativitas manusia
untuk menemukan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan
sendiri sehingga selalu terbaharui. Sisi penting dari kemanusiaan ini
ialah keterbukaannya pada dimensi keilahian. Semakin mendekat ke
sana. semakin kemanusiaan menemukan kebesarannya. Teologi
pewartaan yang dilandaskan pada pandangan seperti ini akan
semakin kontekstual, semakin membumi dan tetap setia pada
sumbernya, yakni penugasan para murid pertama untuk pergi ke
seluruh dunia membawakan warta yang memberi kelegaan.

153
Towards an Indonesian
Old Testament Theology:
A Dialogue between Christoph Barth’s
Old Testament Theology and works by
Indonesian Old Testament Scholars
Agustinus Setiawidi

1. Introduction
In the academic studies of the Old Testament (“OT”) in Indonesia,
Christoph Barth (1917-1986) has played a significant role. He taught
at several theological seminaries in Indonesia. He also wrote a leng-
thy textbook of OT Theology in Indonesian: Theologia Perjanjian
Lama (TPL) in four volumes,1 which were published in Indonesia
between 1970 and 1989.2 To date, this work by Barth constitutes the
most complete OT theology reference which Indonesian students
have at their disposal in their own language. The eleventh printing of
the first volume, in 2006, strongly suggests that this work is still in
great demand.3 Barth maintains that his desire and goal is to chal-
lenge Indonesian churches to read, interpret and understand the OT
in their own contexts.4

The aim of this article is to offer a survey of Indonesian works on OT


theology (spanning the years 1973 to 2010) which are in dialogue
with Barth’s work. The first part will discuss the general approach of
these works to the issue of contextualisation (a main concern of
Barth’s). The second will look briefly at how these works interact
with Barth’s TPL and to find out whether the former simply depend
on the latter or they go beyond it.


Dosen Perjanjian Lama di STT Jakarta
155
2. Contextualization in the works5 by Indonesian OT Scholars
2.1 The Context and Contextualization
Most of the Indonesian works involved in the dialogue with Barth’s
TPL are the outcomes of work done under the South East Asia
Graduate School of Theology (SEAGST), a theological institution
established in 1996 under the auspices of the Association of Theo-
logical Education in South East Asia (ATESEA). Since SEAGST
specifically aims to assist the intellectual and spiritual development
of Asian theologians and to contribute to the emergence of
contextual and Asia-oriented theology, one would expect works from
this institution to focus on the development of Asian contextual the-
ology.

One of the challenges to promoting contextual theologies in Indone-


sia is defining the context itself.6 Geographically, Indonesia could be
considered a subcontinent.7 Any attempt to present Indonesia in in-
ternational discussions usually seek only ”to give the general idea of
the country”. Going into the details would require one to refer specif-
ically to a certain region, tribe, culture or island.8

My research reveals that the Indonesian OT scholars take both na-


tional and local contexts into account. The national concerns usually
have to do with matters like social injustice, religious tolerance and
national development.9 The local contexts, on the other hand, tend to
focus on traditional values which are evaluated in light of biblical
theology.10 Some pieces of research, particularly those done under
the auspices of SEAGST, extend the discussion to apply to Asia as a
whole, underlining the common values shared throughout the conti-
nent.11

Although the works by the Indonesian OT scholars involved in the


dialogue with Barth’s TPL by and large represent attempts to contex-
tualize biblical theology in Indonesia, none of them are deliberate
about what contextualization actually is. Their main concern is how
the biblical texts are able to help Indonesian Christians live in their
pluralistic contexts. To review some of them, Singgih attempts to
interpret the concept of tōhû wābōhû in the context of the national
reformation which took place after Soeharto’s fall from power.12

156
Utilizing a narrative approach, Sumakul evaluates the way the OT
writers look at the holy places and proposes a different approach to
the sacred places in Minahasa.13 Karman attempts to relate the theme
of Promised Land and the Israeli-Palestinian issue to the problems of
injustice in relation to the holding of land in Indonesia today.14 Seek-
ing to learn lessons from King Josiah’s failure, Soewardji’s thesis
focuses on exploring models of leadership available in the Indone-
sian context. He finds in the OT support for the bottom-up model he
proposes.15 Hutapea,16 Ludji,17 Telnoni18 and Nara Lulu,19 on their
part, attempt to relate the prophetic voice to the socio-economic
problems in their respective contexts. We might conclude that con-
textualization in all of these works represents a general attempt to
translate biblical messages into the Indonesian pluralistic contexts.

2.2 The Methodology


My research reveals that in general the works by Indonesian scholars
are composed of two main parts. The first is an exploration of se-
lected biblical texts, consisting of an exposition of their historical
backgrounds, and engagement in textual criticism and exegesis. By
and large, this part is made up of an overview of the current scholarly
discussion on the various texts. This often lays the foundation for the
theological views presented in the second part of the research. This
first part of the work of Indonesian OT scholars generally shows a
great deal of dependency upon available resources, such as commen-
taries, dictionaries, and other related materials.20

In the second part of these works, we observe attempts by the Indo-


nesian scholars to explore their respective contexts, both national and
local, and then evaluate them in the light of the biblical theology
constructed in the previous part. It is generally assumed that the OT
sources involved in the research offer immediate help in coping with
the contextual problems identified. In other words, most of these
works use the OT to interpret the Indonesian pluralistic context, and
not the other way around.21 This becomes obvious when we compare
the two main parts in most of these works and discover that they are
disproportionate in length. The first part is usually treated extensive-
ly, while the second, the so-called “contextualization” of the passage,
is briefly presented.

157
We therefore see that the efforts to contextualize OT theology in the
works of Indonesian scholars (including those done under the aus-
pices of SEAGST) by and large utilise the simple method of translat-
ing the biblical message into Indonesian contexts. They apply what
Bevans proposes as a “translation model”.22 Some characteristics of
this model are obviously present in these works: e.g. the difference
between the biblical context and the Indonesian context is often not
seriously taken into account, the biblical message is seen to have a
priority over local cultures, and the “contextualization” in the second
part of these works is frequently brief and straightforward.23

3. The Dialogue between Barth’s TPL and Indonesian OT Works


We look next at the dialogue between Barth’s TPL and Indonesian
works on the OT. Does this dialogue reveal the development of an
authentic OT theology by Indonesian scholars as a direct or indirect
result of a critical response to the OT theology offered by Barth?

The dialogue itself takes place on topics encapsulated under the nine
themes in Barth’s textbook: God created heaven and earth (Crea-
tion), chose the Fathers of Israel (the Patriarchs), delivered Israel
from Egypt (the Exodus), led His people through the Wilderness (the
Wandering), revealed Himself at Sinai (the Law), granted Israel the
land of Canaan (the Promised Land), raised up kings in Israel (the
Messiah), chose Jerusalem (the election of Zion), and sent His
prophets (the Prophets). Out of these nine themes, the acts of deliver-
ing Israel from Egypt (the Exodus) and granting Israel the land of
Canaan (the Promised Land) have become the focal points of the OT
theology Barth offers to the Indonesian context.

To start, we underline the influence that Barth’s TPL has had on the
works by Indonesian OT scholars. There are numerous significant
references to his textbook in their works.24 Yet, in general, Barth’s
TPL is referred to throughout these works without substantial critical
evaluation. Barth’s TPL has had the strongest influence in the works
of Silitonga25 and Sumakul.26 The thesis of Silitonga even confirms
and strengthens Barth’s theology of Creation, suggesting that it is
secondary in OT theology. As regards methodology, Silitonga ap-

158
plies the juxtaposition Barth uses in his TPL, highlighting the dis-
tinctiveness of the faith of the Israelites as compared to that of
neighboring nations. Meanwhile, Sumakul applies Barth’s descrip-
tion of the Israelite approach to Canaanite holy places, in order to
evaluate the existence of sacred places in Minahasa.

A critical reaction to Barth’s Creation theology appears in Karman’s


work, particularly with regards to the priority of Creation. Karman
argues against Barth that the study of creation should be the priority
in OT theology since this is the first act of God.27 Within the themes
of Exodus and the “Granting of the Land”, Karman offers a theology
that challenges the common view among Indonesian Christians con-
cerning the relation between the church and the modern state of Is-
rael. While by and large they support the policies of the state of Is-
rael, Karman argues that such relation between the church and the
state of Israel does not theologically exist at all. He also goes even
further to relate the modern Israeli-Palestinian conflict to current
problems of justice and land in Indonesia.28

On the theme of “the Law”, I Nyoman Murah has written a thesis


proposing that in searching for identity amidst religiously pluralistic
Indonesia, Christians should not follow the biblical example of Israel
blindly.29 To some extent this is critical of Barth’s challenge to the
Indonesian church, which stresses the importance of the distinctive-
ness of God’s people. Silitonga’s thesis, on the other hand, suggests
that such distinctiveness was being maintained by the Batak Chris-
tians.

Turning to the theme of leadership, Soewardji observes the reforma-


tion of Josiah and criticizes the elite-oriented leadership pattern that
might impede the goal of national development in Indonesia. He
explores models of leadership available in the Indonesian context
which support the bottom-up type he proposes.30 To a large extent
his theological view affirms Barth’s suggestion that leaders in both
the political and Church sphere have become critically involved in
national development. These tend to model themselves after the good
kings in the OT, who strive for peace through wise, simple and real-
istic politics.

159
Looking at the theme of “the Prophets”, we observe that the works of
Hutapea, Ludji and Nara Lulu promote the prophetic voice which
strives for social welfare and justice in their respective contexts. This
puts their works on the same wavelength as Barth’s TPL. However,
the work by Telnoni promotes a different kind of prophetic message.
Instead of speaking about the prophetic voice of social, economic
and political justice, he argues that the hardship itself, specifically
the poverty and underdevelopment in Timor, constitutes the real
challenge to those called to minister the Word of God.31 In other
words, Telnoni argues that the prophetic voice includes endurance
particularly for those serving as ministers in poor and remote areas.

Turning finally to the Indonesian works focusing on Wisdom Litera-


ture, we find some critical responses to Barth’s TPL which is ex-
cluded from his OT theology. Sitompul attempts to demonstrate the
similarity between the hortatory words in the book of Proverbs and
that of the Batak Toba people.32 Pohan suggests that the church read
the book to meditate on human life under the sun.33 Singgih deliber-
ately uses the Indonesian context and his own personal experiences
to interpret and understand the book of Qohelet and its message.34
Sinulingga Bangun attempts to make a comparison between biblical
wisdom and local wisdom, particularly among the Batak Karo peo-
ple.35 Mawene’s work is exceptional since it strongly suggests that
local wisdom be taken seriously in developing contextual biblical
theology in Indonesia.36 His research is an attempt to prove that local
wisdom has to be taken into account in contextual theology in Papua.
It is justifiable to conclude that his work is the most critical reaction
to Barth’s TPL which excludes human wisdom from OT theology.

We might conclude that except for the topic of Creation in Karman’s


OT theology, the theme of Divine Law in I Nyoman Murah’s thesis,
and the emphasis on local wisdom in Mawene’s work, we do not
notice any aspects of these Indonesian works which are critical of
Barth’s theology. In general, we find that references to Barth’s TPL
in these works are copious, but they are hardly followed by any criti-
cal remarks. It would therefore be hasty to conclude from the dia-
logue between Barth’s TPL and works by Indonesian OT scholars

160
that Indonesian OT theology is essentially different from the “tradi-
tional” theology represented by Barth’s textbook.

4. Towards an Indonesian OT Theology


My research has attempted to provide a general picture of OT theol-
ogy in Indonesia and has suggested that during the last forty years
Indonesian OT theology has been taking its shape.

Judging from the fact that the most critical part of the dialogue from
Indonesian scholars is involving the local wisdom, which is absent in
Barth’s TPL, the research proposes that Indonesian OT theology be a
biblical theology constructed by local contexts throughout its re-
gions. It involves and respects all elements of local cultures and its
people, putting their views in critical dialogue with biblical messages
while applying available approaches, methods, and models.

We close this contribution with a proposition that the future shape of


Indonesian OT theology depends much on how the proposals we
have offered are seriously taken into account.

Personal Write-up
Agustinus Setiawidi was born in 1968 in Jakarta, Indonesia. From
1984 to 1985, he studied at the Academy of Interior Design in Ja-
karta and worked for a number of interior design consultants. He
studied theology at the Jakarta Theological Seminary from 1987 to
1993. After a short period of working at the Indonesian Bible Society
in 1997, he joined the faculty of the Jakarta Theological Seminary
teaching Old Testament studies and Biblical Hebrew. From 2001 to
2003 he studied Biblical Exegesis and Semitic Languages and wrote
a thesis on the Book of Jonah at Leiden University, the Netherlands,
obtaining his Master of Arts in Religious Studies. He has since then
been teaching Old Testament and Biblical Hebrew at the Jakarta
Theological Seminary. In 2007 he started his doctoral research in
Old Testament theology at the Protestant Theological University
(PThU), in Kampen, the Netherlands, and accomplished it in 2011.
BIBLIOGRAPHY

General Literature

161
Aritonang, J.S., and Karel Steenbrink, eds. A History of Christianity
in Indonesia. Leiden, Boston: Brill, 2008.
Bevans, S.B. Models of Contextual Theology. Revised and Expanded
Edition. Maryknoll: Orbis Books, 2002.
Chambert-Loir, H., and Anthony Reid, eds. The Potent Dead – An-
cestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia. New
South Wales-Honolulu: Allen & Unwin-University of Hawaií
Press, 2002.
Kim, Sebastian C.H., ed. Christian Theology in Asia. Cambridge:
Cambridge Univ. Press, 2008.
Parrat, John, ed. An Introduction to Third World Theologies. Cam-
bridge: Cambridge Univ. Press, 2006.
Pears, A. Doing Contextual Theology. London and New York:
Routledge, 2010.
Perdue, L.G. Reconstructing Old Testament Theology: After the Col-
lapse of History. Minneapolis: Fortress Press, 2005.
Sugirtharajah, R.S. Postcolonial Criticism and Biblical Interpreta-
tion. Oxford-NewYork: Oxford Univ. Press, 2002.
West, G.O. Contextual Bible Study. Pietermaritzburg: Cluster Publi-
cations, 1993.
_______. The Academy of the Poor: Towards a Dialogical Reading
of the Bible. Pietermaritzburg: Cluster Publications, 1999.
_______. Biblical Hermeneutics of Liberation: Models of Reading
the Bible in the South African Context. Pietermaritzburg/
Maryknoll, N.Y.: Cluster Publications/Orbis Books, 1995.

Works by Christoph Barth


C. Barth. Theologia Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK GM, 1st print
1970; 11th print 2006.
_____. Theologia Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK GM, 1st print
1982, 9th print 2003.
_____. Theologia Perjanjian Lama 3. Jakarta: BPK GM. 1st print
1986, 8th print 2005.
Barth, C., and Marie-Claire Barth, M.C. Theologia Perjanjian Lama
4. Jakarta: BPK GM, 1st print 1986, 8th print 2005.
_____. God With Us – A Theological Introduction to the Old Testa-
ment. Edited by Geoffrey.W. Bromiley. Grand Rapids, Michi-
gan, 1991.

162
Works by Indonesian OT scholars
Hutapea, V.N. The Relevance of the Call and Critique of the Proph-
ets on Social Justice – A Main Approach from the Old Testament
compare with Consideration from Islam, Buddhist and Some
Modern Philosophies (thes. SEAGST), Pematang Siantar, 1977.
Ihromi. ʽamm ʽānî wādāl nach dem Propheten Zephania. diss.
Mainz, 1972.
Karman, Y. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama – Dari Kanon
sampai Doa, Jakarta: BPK GM, 2004
______. Necromantic Aspects in 1 Samuel 28:3-25 in Relation to the
Apparition of Samuel – An Exegetical Study (diss.), Leuven,
2004.
Ludji, B. The Socio-Economical Aspects in the Proclamation of the
8th century B.C. Prophets – An Exegetical Description on Several
Prophecies of Amos, Isaiah, and Micah and Its Relevance to the
Proclamation and Service of the Christian Church of Sumba
.diss. SEAGST. Jakarta, 1996.
Mawene, M.T. Relation between Torah of the Lord and Wisdom
Teaching in the Book of Proverbs 1-9. diss. SEAGST. Yogya-
karta, 2007.
Merentek-Abram, E.S. Joseph Narrative in Genesis 37-50 as a
Model of Narrative Theology in the Old Testament. diss.
SEAGST. Jakarta, 1996.
Murah, Nyoman. The Function of Torah within the Identity of Israel.
thes. SEAGST. Jakarta, 1980.
Nara Lulu, B. Shalom in the Old Testament – An Exegetical Ap-
proach to Isaiah 8:23-9:6 and Its Relevance to the Ministry of
Gereja Masehi Injii di Timor (GMIT). thes. Jakarta, 2007.
Pohan, E.P. All is Vanity? A Research on Semantic Meaning of the
Word ‘Hevel’ in the Book of Qohelet in Search of Comprehend-
ing the Exact Thought and Teaching of Qohelet. thes. Jakarta,
1998.
Ruku, W.F. Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exo-
dus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneu-
tics. thes. Amsterdam, 2008.

163
Runtu-Lumi, A. The Old Testament and Its Influence in the Christian
Evangelical Church in Minahasa. thes. SEAGST. Tomohon,
1992.
Santoso, S. The Deuteronomy Codex (Deut. 12:1-26:15) as Pro-
phetic Teaching. thes. SEAGST. Yogyakarta, 1994.
Silitonga, A. The Comprehension of Work (melāʽkāh) in the Old
Testament. thes. SEAGST. Pematang Siantar, 1973.
Singgih, E.G. Dari Israel ke Asia, Jakarta: BPK GM, 1982.
_____. Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut – Sebuah Tafsir Kitab
Pengkhotbah, Jakarta: BPK GM, 2001.
_____. Doing Theology in Indonesia – Sketches for an Indonesian
Contextual Theology, Manila: ATESEA, 2003.
______. Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis 1:1-3. Ora-
tion. Yogyakarta, 2005.
Sinulingga Bangun, R. The Valorous Wife and Personified Wisdom
Compared – Prov. 31:10-31; 1:20-33; 8:1-21; 32-36; 9:1-6.
diss. SEAGST. Singapore, 2007.
Sitompul, A.A. Weisheitliche Mahnsprüche und prophetische
Mahnrede im Alten Testament, auf dem Hintergrund der
Mahnungen im Leben der Tobabatak auf Sumatra. diss. Mainz,
1967.
Soewardji, T. The Reformation of Josiah. thes. SEAGST. Jakarta,
1982.
Sumakul, H.A. Old Testament Sources on Holy Places in Canaan
and Their Signifance in the Light of Doing Theology Particularly
in Minahasa. thes. SEAGST. Minahasa, 1992.
Tampubolon, R.O.M. Social Justice in the Laws of the Pentateuch.
diss. SEAGST. Jakarta, 1999.
Telnoni, J.A. bn-’dm – The Image of Prophet According to Ezekiel’s
Calling (2:1-3:11). diss. SEAGST. Jakarta, 1997.

164
Endnote
1
Since cancer has prevented Barth from finishing his work, the very last
prophets in the fourth volume (i.e., Nahum, Habakkuk and Zephaniah, and
from Haggai to the end) were posthumously written by his wife.
2
In an abridged form it appeared in English in 1991 under the title God
with Us: A Theological Introduction to the Old Testament.
3
The ninth printing of the second volume appeared in 2003, while in 2005
the third and the fourth volumes saw their eighth and seventh printing
respectively.
4
Barth, TPL 1, 8
5
See Bibliography.
6
Cf. S.B. Bevans, Models of Contextual Theology, Revised and Expanded
Edition (Maryknoll: Orbis Books, 2002), 90.
7
The term usually refers to India. It is not an exaggeration, however, to
assign it to Indonesia since the latter is a huge country consisting of more
than thirteen thousands islands. It is a great religious, socio-economic,
ethno-cultural and political melting pot. While the official language is Ba-
hasa Indonesia (an amalgam of several languages based mostly on Malay),
more than seven hundred vernacular languages and dialects are still spo-
ken today. See Raymond G. Gordon, Jr. (ed.), Ethnologue: Languages of the
th
World, 15 edition (Dallas, Tex.: SIL International, 2005).
8
Some recent research by Indonesian theologians focus specifically on a
local region of the country, e.g., W.F. Ruku, Reading of the Fifth Com-
mandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Con-
textual Hermeneutics. thes. (Amsterdam: Vrije Universiteit, 2008), and C.
Gunawan, The Bible through Javanese Eyes – Tracing and Examining Con-
textual Theology in Christian Art. thes. (Kampen: Protestantse Theologische
Universiteit, 2007).
9
These national concerns are dealt with in works like Karman, Bunga Ram-
pai Teologi Perjanjian Lama – Dari Kanon sampai Doa (Jakarta: BPK GM,
2004), 18-37, 76-104; Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis
1:1-3. Oration. (Yogyakarta: Duta Wacana University, 2005); Merentek-
Abram, Joseph Narrative in Genesis 37-50 as a Model of Narrative Theology
in the OT. diss. (Jakarta: SEAGST, 1996); Hutapea, The Relevance of the Call
and Critique of the Prophets on Social Justice – A Main Approach from the
Old Testament compare with Consideration from Islam, Buddhist and Some
Modern Philosophies. thes. (Pematang Siantar: SEAGST, 1977); Soewardji,
The Reformation of Josiah. thes. (Jakarta: SEAGST, 1982).

165
10
The local contexts are prominent in the works by Silitonga from North
e
Sumatera, The Comprehension of Work (m lāʽkāh) in the Old Testament.
thes. (Pematang Siantar: SEAGST, 1973); Sumakul from North Sulawesi, Old
Testament Sources on Holy Places in Canaan and Their Significance in the
Light of Doing Theology Particularly in Minahasa. thes. (Minahasa: SEAGST,
1992); Nyoman Murah from Bali, The Function of Torah within the Identity
of Israel. thes. (Jakarta: SEAGST, 1980); Ludji from Sumba, The Socio-
th
Economical Aspects in the Proclamation of the 8 century B.C. Prophets –
An Exegetical Description on Several Prophecies of Amos, Isaiah, and Micah
and Its Relevance to the Proclamation and Service of the Christian Church
of Sumba. diss. (Jakarta: SEAGST, 1996); Ruku from Timor, Reading of the
Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni
Meto Contextual Hermeneutics. thes. (Amsterdam: Vrije Universiteit,
2008); Telnoni from Timor, bn-’dm – The Image of Prophet According to
Ezekiel’s Calling (2:1-3:11). diss. (Jakarta: SEAGST, 1997); Nara Lulu from
Timor, Shalom in the Old Testament – An Exegetical Approach to Isaiah
8:23-9:6 and Its Relevance to the Ministry of Gereja Masehi Injii di Timor
(GMIT). thes. (Jakarta: Jakarta Theological Seminary, 2007).
11
These include the theses by Nyoman Murah, The Function of Torah
within the Identity of Israel, and Soewardji, The Reformation of Josiah.
12
Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit, 35-37.
13
Sumakul, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan, 110-155.
14
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 102-103.
15
Soewardji, The Reformation of Josiah, 206-231.
16
Hutapea, The Relevance of the Call and Critique of the Prophets on Social
Justice, 85-108.
17 th
Ludji, The Socio-Economical Aspects in the Proclamation of the 8 cen-
tury B.C. Prophets, 385-416.
18
Telnoni, bn-’dm, 262-341.
19
Nara Lulu, Shalom in the Old Testament, 216-252.
20
However, we have an exception in the work of Singgih. The exegetical
section of his oration demonstrates his independence in presenting his
own view following his critical overview of scholarly discussions: Singgih, Ex
Nihilo Nihil Fit, 14-33.
21
Cf. M. Getui, K. Holter & V. Zinkuratire (eds.), Interpreting the Old Tes-
tament in Africa: Papers from the International Symposium on Africa and
the Old Testament in Nairobi, October 1999 (NY: Peter Lang, 2001), 75-130.
Besides using the OT to interpret Africa, some papers of the symposium

166
use the African context to interpret the OT. Thus, for instance, S. Githuku
uses African taboos on counting to interpret David’s census (2 Sam 24:1-
10) as a sin (113-8); J. Muutuki uses the Kamba culture of Kenya to inter-
pret OT covenants (125-9). Such an approach has not yet been applied in
the works by Indonesian OT scholars we survey here.
22
S.B. Bevans, Models of Contextual Theology, 37-53.
23
Cf. A. Pears, Doing Contextual Theology (London & NY: Routledge, 2010),
24-5. An exception is the work by Ruku which involves a dialogue between
scholarly reading and ordinary reading of the Bible as an approach towards
offering a contextual theology of honoring one’s parents among Atoni
Meto Christians in Timor. In his research, Ruku takes his local context seri-
ously into account by doing extensive field research. His work proposes
that both professional and ordinary readers of the Bible can learn from
each other. Overall, in Ruku’s works the Atoni Meto culture is respected,
valued and evaluated in the light of Christian faith: Ruku, Reading of the
Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12), 21-41.
24
One exception might be Singgih’s oration, Ex Nihilo Nihil Fit: Interpreta-
tion on Genesis 1:1-3.
25 e
Silitonga, The Comprehension of Work (m lāʽkāh) in the Old Testament,
110-111.
26
Sumakul, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan, 110-122.
27
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 27.
28
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 102-103.
29
I Nyoman Murah, The Function of Torah within the Identity of Israel, 153-
154.
30
Soewardji, The Reformation of Josiah, 217-231.
31
Telnoni, bn-’dm, 321ff.
32
Sitompul, Weisheitliche Mahnsprüche und prophetische Mahnrede im
Alten Testament, auf dem Hintergrund der Mahnungen im Leben der
Tobabatak auf Sumatra. diss. (Mainz: Johannes Gutenberg- Universität
Mainz, 1967), 18-26ff.
33
Pohan, All is Vanity? A Research on Semantic Meaning of the Word
‘Hevel’ in the Book of Qohelet in Search of Comprehending the Exact
Thought and Teaching of Qohelet. thes. (Jakarta: Jakarta Theological
Seminary, 1998), 292-293.
34
Singgih, Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut – Sebuah Tafsir Kitab
Pengkhotbah (Jakarta: BPK GM, 2001), 90-91, 178, 180.

167
35
Sinulingga Bangun, The Valorous Wife and Personified Wisdom Com-
pared – Prov. 31:10-31; 1:20-33; 8:1-21; 32-36; 9:1-6. diss. (Singapore:
SEAGST, 2007), 224-234, 291-293ff.
36
Mawene, Relation between Torah of the Lord and Wisdom Teaching in
the Book of Proverbs 1-9. diss. (Yogyakarta: SEAGST, 2007), 242-243.

168
Bagian IV

TEOLOGI POLITIK

A.A. Yewangoe
Zakaria Ngelow
Julianus Mojau
Deklarasi Barmen dan Maknanya
Masa Kini
Andreas A. Yewangoe

I. Teks Naskah Deklarasi


Pada kunjungan saya ke Jerman, November 2011 lalu, saya diberikan
naskah “asli” Deklarasi Barmen (Die Barmer Theologische
Erklaerung von 1934). Asli dalam arti copy resmi dari aslinya
(Faksimile des Originals). Di dalamnya masih terlihat coretan-
coretan tangan Karl Barth, salah seorang penandatangan deklarasi
tersebut. Misalnya dalam butir 3, aslinya tertulis, “..die christliche
Kirche ist die Gemeinde von Suendern..” dicoret oleh Barth dan
diganti dengan “..die christliche Kirche ist die Gemeinde von
Bruedern..” Selain itu ada juga perbaikan kecil-kecilan, seperti
misalnya, der Deutsch Evangelischen Kirche, ditambahkan akhiran
en, sehingga menjadi der Deutschen E.K. Deklarasi itu
ditandatangani oleh Hans Asmussen (1898-1968), yang pada 1933
diberhentikan sebagai Pendeta (Pastor) di Flesburg dan pada 1934
dipaksa pensiun. Pada tahun 1935 ia menjadi pemimpin Sekolah
Tinggi Teologi Gereja Berlin (der Kirchlichen Hochschule Berlin),
1945-1948 menjadi Presiden dari Kirchenkanzlei der EKD, dan pada
1948-1955 menjadi Propst von Kiel (Dean dari Kiel). Penandatangan
kedua adalah, Karl Barth (1886-1986), pada waktu itu (1934) Guru
Besar Teologi di Bonn, pada 1935-1961, Guru Besar di Basel.
Penandatangan ketiga, Joachim Beckmann (1901-1987), pada 1934
Pendeta (Pastor) di Duesseldorf, pada 1958, Praeses (Ketua Gereja)
di Rheinland. Penandatangan keempat adalah Eduard Putz (1907-
1990), pada waktu itu (1934) Asisten Konsultan di Dewan Gereja
Bavaria di Munich, pada 1935-1954 pendeta di Fuerth, 1954-1972,
Dean di Erlangan. Penandatangan kelima adalah Hermanus
Obendieck (1894-1954), pada 1934 Pendeta di Jemaat Reformed di
Barmen-Gemarker dan Lektor dari SekolahTinggi Teologi di


Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
169
Elberfeld, 1945-1954, Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi
(Kirchlichen Hochschule) di Wuppertal.
Konteks historis dideklarasikannya Deklarasi penting ini rasanya
sudah banyak ditulis. Pada perayaan 75 tahun Deklarasi Barmen
tahun 2009 lalu, Rudolf Weth menyifatkan dokumen ini sebagai “the
most significant event in 20th century Protestant history.”1 Di bawah
ini dikemukakan secara singkat beberapa hal. Dokumen ini sampai
sekarang dilihat sebagai sebuah dokumen penting dan mendasar
mengenai iman Kristen. Sampai sekarang juga merupakan bagian
penting dari banyak tata-gereja di gereja-gereja Jerman. Dokumen ini
secara terang-terangan menolak dominasi Adolf Hitler dan partai
Nazinya di Jerman yang menguasai semua bidang, sampai-sampai
juga masuk ke dalam gereja. Sebagaimana diketahui di era Hitler
sebagai Kanselir Jerman itu, hampir semua orang berkiblat
kepadanya. Pengaruh partai Nazi terasa di mana-mana. Orang
Jerman yang merasa dirinya sebagai ras terpilih (Aria) juga merasa
unggul atas siapa pun (Deutschland Ueber Alles!). Gereja-gereja pun
melihat diri mereka sebagai “Orang Kristen Jerman” (Die Deutsch
Christenen). Pengaruh partai Nazi yang sangat besar itu bahkan ingin
mengubah bukan saja tata gereja, melainkan juga pengakuan iman
gereja.

Untunglah tidak semua orang berpihak kepada ide absurd Nazi ini.
Sekelompok orang Kristen lainnya membentuk yang disebut “Gereja
Yang Mengaku” (die bekennde Kirche). Pada akhir dari sidang
sinode pertama gereja ini pada 31 Mei 1934, di Barmen
dideklarasikanlah deklarasi ini yang belakangan dikenal sebagai
“Deklarasi Barmen”. Deklarasi itu ditegaskan sekali lagi pada sidang
sinode II yang diselenggarakan pada 19-20 Okober 1934 di Dahlem.
Menurut catatan notula, Deklarasi itu disetujui secara unanim, yang
artinya tidak ada yang menentang atau abstain.

II. Isi Deklarasi Barmen


Sebelum menyampaikan enam butir deklarasi, terdahulu Sidang
Sinode menegaskan bahwa dasar dari gereja-gereja reformasi di
Jerman (der Deutschen Evangelischen Kirche)2 adalah Injil Yesus
Kristus, sebagaimana disaksikan di dalam Alkitab, dan diikrarkan
dalam Pengakuan gereja reformasi. Penegasan itu disampaikan
dalam sidang Sinode yang diselenggarakan pada 29-31 Mei 1934 di
170
Barmen. Sidang Sinode itu dihadiri oleh wakil-wakil dari gereja
Lutheran, Reformed, Gereja-gereja Bersatu (United Churches), dan
seterusnya. Sesudah penegasan ini, disusul kemudian dengan
penyampaian enam butir deklarasi. Setiap butir didahului dengan
kutipan-kutipan Alkitab, dengan penjelasan singkat seperlunya.
Sesudah itu dinyatakan penolakan terhadap yang disebut ajaran
palsu.3

Butir 1 mengutip Yohanes 14: 6 dan Yohanes 10:1,9. “Akulah jalan


dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” “Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan
tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah
seorang pencuri dan seorang perampok.” “Akulah pintu; barang
siapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan
keluar dan menemukan padang rumput.”

Yesus Kristus, sebagaimana Ia menyatakan kepada kita di dalam


Kitab Suci, Ialah satu-satunya Firman Allah yang harus kita dengar,
percayai dan taati, baik selama kita hidup mau pun sesudah
meninggal. Kita menolak ajaran palsu yang seakan-akan gereja
dapat dan mau mengakui sebagai sumber pemberitaannya, terlepas,
dan di samping dari Firman Allah, demikian juga (kita menolak)
peristiwa-peristiwa dan kekuasaan-kekuasaan, tokoh-tokoh dan
kebenaran-kebenaran lain, sebagai penyingkapan Allah.

Butir 2: “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang
oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan
menguduskan dan menebus kita.” (I Kor. 1:30). Sebagaimana Yesus
Kristus adalah jaminan Allah bagi pengampunan dosa-dosa kita,
demikian juga dalam cara dan dengan kesungguhan yang sama ia
juga adalah klaim agung Allah atas seluruh hidup kita. Melalui Dia,
kepada kita dianugerahkan kebebasan yang menceriakan dari huruf-
huruf mati dunia ini guna suatu pelayanan yang bebas dan penuh
syukur kepada ciptaan-Nya. Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan
ada wilayah di dalam kehidupan kita yang bukan milik Yesus
Kristus, melainkan wilayah tuan-tuan lain di mana kita tidak
membutuhkan pembenaran dan pengudusan melalui Dia.

171
Butir 3: “Tetapi dengan berpegang kepada kebenaran di dalam
kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang
adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh,-yang rapi tersusun
dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya….”
(Ef.4:15,16). Gereja Kristen adalah jemaat dari saudara-saudara yang
di dalamnya Yesus Kristus bertindak pada saat ini sebagai Tuhan di
dalam Firman dan Sakramen melalui Roh Kudus. Sebagai gereja
yang terdiri dari orang-orang berdosa yang diampuni, ia harus
menyatakan kepada dunia yang berdosa ini, dengan iman dan
ketaatannya, dengan beritanya demikian juga dengan tata/aturannya,
bahwa ia [gereja] hanyalah semata-mata milik-Nya, dan mau hidup
dari penghiburan-Nya serta pembinaan-Nya sambil menanti-nantikan
kedatangan Tuhan

Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja diizinkan untuk


meninggalkan bentuk pemberitaan dan aturan-aturannya guna
kenikmatannya sendiri dan mengubahnya melalui perubahan-
perubahan dengan memberlakukan keyakinan-keyakinan ideologis
dan politik.

Butir 4: “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa


memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar
menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah
demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu..” (Mat. 20:25,26).
Berbagai jabatan dalam gereja tidaklah dimaksudkan bagi terjadinya
penguasaan yang satu terhadap yang lainnya; sebaliknya, mereka ada
untuk menjalankan pelayanan yang dipercayakan dan diperintahkan
kepada seluruh jemaat.

Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja, terlepas dari


pelayanan ini, dapat dan diizinkan memberikan dirinya sendiri, atau
diizinkan untuk diberikan kepadanya, pemimpin-pemimpin khusus
dengan kuasa yang memerintah.

Butir 5: “Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu,


takutlah akan Allah, hormatilah raja.” (I Ptr.2:17).

172
Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa, di dalam dunia yang
belum ditebus di mana gereja juga ada, oleh penunjukan ilahi, negara
mempunyai tugas untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. [Ia
memenuhi tugas ini] dengan cara-cara ancaman dan menerapkan
kekuatan, sesuai dengan ukuran pengadilan dan kesanggupan
manusia. Gereja mengakui manfaat dari penunjukan ilahi ini di
dalam ucapan syukur dan ketakziman di hadapan-Nya. Ini
mengingatkan kepada Kerajaan Allah, perintah dan keadilan Allah,
dan karena itu tanggungjawab diminta baik dari pemerintah mau pun
yang diperintah. Ia memercayai dan menaati kuasa Firman yang
dengannya Allah memelihara segala sesuatu.

Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan negara, melampaui dan di


atas tugas-tugas/kewajiban-kewajiban akan dan dapat menjadi satu-
satunya aturan yang [bersifat] totalitarian dari kehidupan manusia,
dan dengan demikian juga menggenapi tugas/pelayanan gereja. Kita
menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja, melampaui dan di atas
tugas-tugasnya yang khusus, akan dan dapat melayakkan watak,
tugas, dan martabat negara, dan, sebagai demikian ia [gereja] dengan
sendirinya juga menjadi organ negara.

Butir 6: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai


kepada akhir zaman.” (Mt.28”20) … “tetapi Firman Allah tidak
terbelenggu..” ( 2 Tim.2:9). Tugas gereja, yang di atasnya
kemerdekaannya didasarkan, terdiri dari menyampaikan amanat
tentang anugerah bebas dari Allah kepada semua orang sebagai wakil
Kristus, dan dengan melayani Firman dan karya Kristus sendiri
melalui pemberitaan dan sakramen (baptisan dan perjamuan kudus).

Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan gereja di dalam


kesombongan manusiawinya dapat menempatkan Firman dan karya
Tuhan di dalam pelayanan dari suatu kehendak, maksud-maksud, dan
rencana-rencana yang dipilih secara sewenang-wenang.

III. Makna Deklarasi Barmen Masa Kini


Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, masihkah Deklarasi
ini bermakna bagi gereja-gereja masa kini, baik dalam perjumpaan di
antara sesama (gereja) sendiri, dengan kaum Yahudi dan dalam
relasinya dengan negara. Pertanyaan ini pertama-tama diajukan
173
kepada gereja-gereja di Jerman, dan sesudah itu kita juga berusaha
mencari maknanya bagi gereja-gereja di Indonesia. Bagi gereja-
gereja di Jerman, pertanyaan ini relevan. Sebagaimana kita ketahui,
dewasa ini Jerman (dan Eropa pada umumnya) sedang dilanda oleh
proses sekularisasi yang cukup deras. Ini menyebabkan pengaruh
gereja makin lama makin mengecil. Relasi di antara gereja-gereja
memang terlihat mengalami kemajuan, tetapi tidak sedikit pula
kendala-kendala yang dihadapi. Khususnya dengan Gereja Katolik
Roma, setelah diterbitkannya Surat Edaran “Dominus Jesus” (2000)
oleh Vatikan di mana gereja-gereja Reformasi cenderung tidak
diakui sebagai “gereja saudara” (sister churches), memang ikut
memengaruhi hubungan itu.
Di bidang politik, mungkin sekali nilai-nilai kristiani secara subtil
masih terasa, tetapi tentu saja tidak lagi dirumuskan secara eksplisit.
Maka pantaslah juga kita berbicara mengenai kurangnya pengaruh
gereja di bidang politik. Paus Benediktus XVI berkali-kali
menyerukan Eropa kembali kepada nlai-nilai “asli” yang pernah
membesarkannya. Nilai-nilai yang dmaksudkannya adalah nilai-nilai
kristiani. Dalam perkunjungannya ke Jerman tahun lalu (2011),
kembali ia menyerukan agar masyarakat Jerman menemukan
kembali nilai-nilai yang selama ini terkesan ditinggalkan.

Jadi masihkah “Barmen” mempunyai makna masa kini? Rudolf


Weth, yang sudah kita kutip di atas secara meyakinkan menjawab,
bahwa bahkan sesudah 75 tahun4 deklarasi ini masih bisa berfungsi
sebagai sebuah pengakuan yang mempersatukan dan membebaskan
bagi umat Kristen secara keseluruhan.5 Dengan mengutip ucapan
Karl Barth, “Barmen” adalah panggilan untuk terus maju6, Weth
mencatat beberapa hal yang patut diperhatikan oleh gereja-gereja,
bukan saja di Jerman tetapi juga di seluruh dunia. Bagi EKD7,
Deklarasi ini bermanfaat guna memperbaharui kembali
Konstitusinya. Dalam Konstitusi EKD tahun 1992 secara jelas
dirujuk “Deklarasi Barmen” dalam Artikel 1 para 3 yang didahului
oleh paragraf 2 yang terkesan anggun: “ Persekutuan-persekutuan
gerejawi sebagaimana didefenisikan di dalam Persetujuan Gereja-
gereja Reformasi di Eropa (Persetujuan Leunberg) berada di antara
gereja-gereja anggota. Gereja Reformasi di Jerman dengan demikian
mendorong gereja-gereja anggotanya untuk bertumbuh bersama di

174
dalam kesaksian dan pelayanan Kristen bersama sesuai dengan
penugasan yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan Yesus
Kristus.” Dengan rumusan ini, kata Weth, jelas “Barmen” memberi
sumbangan berharga bagi berbagai upaya kesatuan gereja-gereja.
Kesatuan gereja-gereja yang dimaksud bukan saja di antara gereja-
gereja dengan latar belakang reformasi, melainkan juga dengan
Gereja Katolik Roma. Yang terakhir ini perlu disinggung, karena,
sebagaimana telah disinyalir di atas, baru saja Vatikan mengeluarkan
dokumen “Dominus Jesus” yang cenderung menolak mengakui
gereja-gereja Protestan sebagai “gereja-gereja saudara” (sister
churches). Terhadap penolakan itu EKD dengan segala daya dan
ketekunan menegaskan: “Kami [adalah] Protestan dan ekumenis.”8
Maka EKD didorong untuk terus memelopori gerakan oikumene di
dalam negerinya sendiri. “Barmen” itu juga dilihat sebagai sebuah
pembelaan bagi dilaksanakannya terus dialog dengan Gereja Katolik
Roma. Dialog itu mesti dilanjutkan “on the basis of binding
reassurance about what has already been achieved.”9 Deklarasi
Barmen juga secara benar mengacu kepada “semangat baru di dalam
dialog oikumenis”, dengan kesadaran bahwa orang-orang Kristen
dari berbagai tradisi konfesional kekristenan yang berbeda-beda
diikat bersama di dalam iman. Semangat baru itu, demikian
ditegaskan tetap hidup pada saat ini.

Bagaimanakah secara praktis deklarasi itu diangkat dalam aksi


bersama di antara gereja-gereja, khususnya dengan Gereja Katolik
Roma? Weth mencatat “Barmen” Butir 6, yang dilihat sebagai
inspirasi bagaimana secara bersama-sama menghadapi Jerman dan
Eropa yang makin terperosok ke dalam proses sekularisasi. Diacu di
situ, The Apostolic Exhortation dari Paus Paulus VI berjudul,
Evangelii nuntiandi (1974) yang mengingatkan kembali kepada
Deklarasi Barmen mengenai pokok yang sama.

Mengenai dokumen “Dominus Jesus” yang menekankan kepada


Pertuanan Yesus, dilihat sebagai yang mempunyai kaitan erat dengan
“Barmen” butir 1 (“Yesus Kristus sebagaimana disaksikan oleh
Alkitab, adalah satu-satunya Firman Allah….”) Sejarah interpretasi
dari “Barmen” butir 1, menurut Weth memperlihatkan banyak kata-
kata kunci yang menarik dalam dialog Reformasi-Katolik:
pemahaman akan Sola Scriptura dan resistensi kaum
175
fundamentalisme, hal kesentralan Kristus dan ajaran mengenai
Trinitas, pemahaman mengenai Penyataan, eksklusivisme dan
inklusivisme dalam kaitan dengan “Israel”, dan juga dalam dialog
dengan “iman yang lain”, khususnya Islam.

Dalam kaitan itu muncul juga pertanyaan-pertanyaan krusial dalam


dialog Kristen-Katolik: Bagaimanakah Kristologi dan ekklesiologi
terkait satu sama lain? Bagaimanakah keunikan dan keuniversalan
keselamatan diacukan dalam satu nafas kepada Kristus dan kepada
“gereja” –sebagaimana nampak dalam sub-judul “Dominus Jesus”–
Hanya Yesus Kristus saja Tuhan. Adakah acuan-acuan terhadap
Yesus diteruskan kepada gereja, pelayanannya dan para pejabatnya?
Demikianlah sejumlah kemungkinan dan pertanyaan dalam kaitan
dengan relasi di antara gereja-gereja, di mana “Barmen” dilihat
sebagai yang masih mampu memberikan makna.

Dalam kaitan dengan kaum Yahudi, Walter Lang menulis sebuah


artikel berjudul, “The Importance of the Barmen Declaration for the
Congregation in Wuppertal-Barmen Today”10 Secara khusus disoroti
di sini relasi jemaat Gemarker dengan Sinagoge Bergish yang
bertetangga. Kedua gedung ibadah ini berada dalam satu halaman,
sehingga lagu-lagu dan puji-pujian dari kedua komunitas bertetangga
itu dengan mudahnya didengarkan oleh keduanya. Gemarker juga
adalah tempat di mana deklarasi itu ditandatangani.

Yang menarik, bahwa dalam Deklarasi itu tidak ada satu katapun
yang secara khusus mengacu kepada penderitaan yang dialami kaum
Yahudi selama masa pemerintahan Hitler itu. Karl Barth, salah
seorang penanda tangan Deklarasi itu belakangan mengaku, itulah
dosa karena persoalan Yahudi tidak diambil sebagai isu yang
menentukan bagi perjuangan gereja (Kirchenkampf), atau setidak-
tidaknya tidak mengatakan hal itu secara terbuka.11 Eberhard Bethge
mengakui, itulah “the missing thesis” di dalam Deklarasi Barmen. 12
Walaupun demikian, “Barmen” bisa merupakan dasar bagi:
”keberanian untuk masuk ke dalam perjumpaan dengan Yahudi”.
Itulah suatu akta perjumpaan (an act of encounter) pada pihak
mereka yang dipanggil oleh Kristus sebagai pewaris “Barmen 1934”,
dengan mereka yang dikonfrontasikan dan kepada siapa kita
memikul beban kesalahan yang berat. Suatu akta perjumpaan antara
176
mereka yang secara menyedihkan terbagi-bagi dalam pertengkaran
mengenai Perintah Pertama, tetapi mereka yang, bahkan diikat
bersama oleh pemberian dan tugas dari perintah itu, dan mau untuk
tetap seperti itu, atau sekali lagi menjadi seperti itu.13

Apa yang dimaksud dengan perjumpaan tersebut? Seorang penatua


perempuan dari Jemaat Gemarker mengatakan: “Di Wuppertal kami
hidup dalam perumahan yang sama dengan tetangga Yahudi kami.”
Alhasil, tentu saja terjadi kontak antar-tetangga, di mana pada setiap
pagi sama-sama mengucapkan “Shalom” dan seterusnya. Menghirup
suasana kehidupan umat Yahudi berlangsung di sekitar gereja
Gemarker. Pada akhirnya orang menjadi biasa dengan kehidupan
Yahudi. Tetapi perjumpaan juga mencakupi kebersamaan di dalam
perayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Kristen menyadari
adanya masa-masa raya dan perayaan-perayaan tetangga Yahudi.
Bahkan setiap orang diundang berbakti di dalam Sinagoge. Orang
Kristen pun menghadiri kebaktian-kebaktian di dalam Sinagoge
tersebut pada Jumat malam guna menyambut Sabat. Itu juga berarti,
bahwa dalam perjumpaan itu mau tidak mau ikut dibahas juga
berbagai kebijakan negara Israel masa kini dalam kaitannya dengan
Palestina. Tidak semua orang Yahudi sepakat dengan kebijakan
Negara Israel tersebut. Banyak juga yang sangat bersifat kritis.

Tetapi dalam kaitan dengan Yesus, tetap ada perbedaan pandangan.


Tetangga Yahudi berkata: “Anda, orang-orang Kristen percaya
bahwa Mesias telah datang dalam pribadi Yesus Kristus. Kami,
orang Yahudi yakin bahwa Mesias masih akan datang, dan bila Ia
tiba, kita akan melihat siapa yang benar di antara kita.” Kendati
perbedaan-perbedaan ini, terlihat bahwa berbagai pendekatan
dilakukan. Dalam pandangan Lang, “Barmen” memberikan
sumbangan dalam percakapan-percakapan itu.

Adakah makna “Barmen” bagi dunia? Menurut Weth, ada. Ia


mengacu kepada butir-butir 2 dan 5 dari Deklarasi tersebut. Kedua
butir ini memperlihatkan, bahwa “Barmen” memang menyumbang
bagi adanya petunjuk di dalam menangani berbagai pertanyaan
mendasar yang memengaruhi kehidupan kita masa kini, seperti
perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Pengaruhnya juga bisa

177
dirasakan dalam merumuskan kembali kesaksian gereja di dalam
masyarakat yang makin lama makin majemuk sekarang ini.

Menarik juga bahwa kedua orang ini tidak secara spesifik membahas
mengenai makna “Barmen” dalam hubungan dengan negara. Kita
tidak tahu alasannya. Mungkin dianggap taken for granted, bahwa
gereja dan negara pada saat ini di Jerman dipandang sebagai dua
entitas yang terpisah (de scheiding van kerk en staat). Butir 5
misalnya, sangat jelas merumuskan penolakan gereja terhadap negara
yang berpretensi seakan-akan ia dapat memasuki seluruh bidang
kehidupan manusia. Demikian juga penolakan terhadap
kecenderungan gereja yang mau diperalat oleh negara. Di era Hitler
itu memang jelas sekali bagaimana partainya mempergunakan gereja
guna mencapai tujuannya. Emosi umat, bahwa orang Yahudi
bertanggungjawab atas kematian Yesus dieksploitasi habis-habisan
guna memperkuat alasan memusnahkan orang-orang Yahudi. Kita
teringat akan Endloesung Programm, di mana penyelesaian terakhir
terhadap kaum Yahudi adalah pemusnahan total. Holocaust sekarang
ini telah menjadi sejarah. Bahaya yang dihadapi gereja adalah,
apabila ia tidak mampu mengambil jarak terhadap kekuasaan, maka
dengan sangat mudah diperalat. Itulah sumbangan “Barmen”
terhadap pemakaian kekuasaan yang layak bagi kemanusiaan.

IV. “Barmen” Dan Gereja-gereja di Indonesia


Adakah pengaruh “Barmen” bagi gereja-gereja di Indonesia?
Kendati tidak secara langsung, saya yakin pasti “roh” Barmen ikut
memengaruhi berbagai pemahaman dan rumusan pengakuan iman
dan sikap gereja-gereja di Indonesia. Mungkin saja nama “Barmen”
tidak dikenal luas, tetapi jiwa deklarasi itu bisa dengan mudah
dilihat. Marilah kita menyimak rumusan tentang “Gereja” dalam
dokumen “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK).14 Dalam
bagian itu ditegaskan bahwa Roh Kuduslah yang menghimpun umat-
Nya dari segala bangsa, suku, kaum, dan bahasa, ke dalam suatu
persekutuan yaitu gereja, yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan
dan Kepala (Ef.4:3-16) (par.18). Dari rumusan ini saja sudah jelas
penolakan terhadap faham yang mengidentikkan gereja dengan
bangsa dan suku tertentu, lebih-lebih lagi guna melegitimasi
keunggulan bangsa dan suku tersebut sebagaimana dilakukan oleh
“Orang Kristen Jerman” (die Deutsche Christen). Maka sumber
178
pemberitaan gereja, bukanlah dirinya sendiri, melainkan Allah.
Dokumen PBIK itu selanjutnya menegaskan, bahwa “Roh Kuduslah
yang telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya ke dalam
dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah,
kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang masa.”
Maka penolakan terhadap ajaran sesat sebagaimana dirumuskan
dalam butir 1 “Barmen”, adalah juga penolakan dari gereja-gereja di
Indonesia. Dalam paragraf 19 PBIK dijelaskan dengan sangat terang
peranan gereja yang ada di tengah-tengah dunia ini sebagai arak-
arakan umat Allah, yang terus bergerak menuju kepenuhan hidup di
dalam Kerajaan Allah (Flp.3:12-14). Gereja-gereja di Indonesia
sedari mula menyadari, bahwa gerakan oikumenis bukanlah sekadar
sebuah gerakan guna memenuhi tujuan-tujuan praktis, melainkan
secara substansial mau memenuhi tuntutan kepenuhan hidup di
dalam Kerajaan Allah. Keprihatinan dari gereja-gereja di Jerman
sekarang ini bagi terwujudnya keesaan gereja, sebagaimana
digambarkan di atas, secara sangat jelas pula dikemukakan dalam
paragraf ini sebagai arak-arakan bersama. Artinya tidak ada gereja
yang mengklaim dirinya sebagai lebih hebat dari gereja lainnya.
Lebih-lebih lagi kecenderungan surat edaran “Dominus Jesus” yang
enggan mengakui gereja-gereja reformasi sebagai “gereja saudara”
tidak dirasakan dalam Dokumen Keesaan Gereja ini.

Dalam kaitan dengan relasi terhadap negara, gereja-gereja di


Indonesia sepakat dengan “Barmen” yang memahami negara sebagai
lembaga yang ditunjuk dan dipercayakan Tuhan untuk
menyelenggarakan keadilan dan perdamaian sebagaimana
dirumuskan dalam butir 5. PBIK paragraf 21 menegaskan pengakuan
gereja kepada negara sebagai alat dalam tangan Tuhan yang
bertujuan untuk mengemban fungsi dan otoritas untuk
menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Maka
karena itu gereja dan negara harus bahu-membahu dalam
mengusahakan penegakan keadilan dan mengusahakan
kesejahteraan seluruh rakyat serta keutuhan ciptaan. Dokumen PBIK
ini juga dengan tegas menyatakan, bahwa gereja adalah otonom.
Artinya gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari
pengaruh negara. Sebaliknya gereja tidak berhak mengatur
kehidupan negara oleh karena negara mempunyai fungsi tersendiri

179
dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm.13:16-17; 1 Ptr.
2:13-14). Dalam hal ini dokumen PBIK ini sepakat dengan
penolakan “Barmen” terhadap ajaran sesat yang melihat seolah-olah
negara boleh saja memasuki segala bidang kehidupan secara
totalitarian, di mana tugas-tugas gereja dikerjakan juga oleh negara.
Demikian juga gereja-gereja di Indonesia sepakat dengan penolakan
“Barmen” terhadap pengidentikkan fungsi-fungsi gereja dengan
negara, sebagaimana ditegaskan dalam butir 5. Selanjutnya dokumen
PBIK menegaskan, bahwa gereja dan negara masing-masing
mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan
penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan
seluruh ciptaan.

Pemahaman tentang relasi gereja dan negara ini digemakan kembali


dalam dokumen “Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama”
(PTPB).15 Umat Tuhan difahami sebagai yang ditempatkan Tuhan di
bumi, dan secara khusus di dalam sebuah masyarakat dan/atau
negara untuk hidup bersama dan bergaul dengan sesama warga
masyarakat/warganegara. Maka kepada umat Tuhan diserukan untuk
berdoa bagi ”kota” dan ikut mengusahakan kesejahteraan umat
Tuhan (Yer.29:7) (par.99). Tentang ideologi Pancasila, dokumen
PTPB memahaminya sebagai anugerah Tuhan kepada bangsa
Indonesia yang di atasnya negara dan bangsa Indonesia didirikan.
Sebagai demikian, ideologi Pancasila tidak boleh didewa-dewakan
seperti dalam kasus Jerman Hitler yang mendewa-dewakan ideologi
Nazisme. Demikianlah beberapa cuplikan dari dokumen-dokumen
keesaan gereja di Indonesia yang sedikit-banyaknya dipengaruhi atau
setidak-tidaknya sama dengan “Barmen”.

Dalam Konsultasi Teologi PGI yang diselenggarakan dalam akhir


Oktober hingga permulaan November 2011 lalu, ada juga ide untuk
merumuskan semacam Status Confessionis setelah
mempertimbangkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa,
negara dan gereja-gereja kita dewasa ini. Khususnya dalam relasi
gereja dan negara, yang secara kasat-mata tidak terlalu
menguntungkan seperti misalnya terungkap dalam penutupan
gedung-gedung ibadah di mana-mana, dan perbuatan korupsi yang
makin merajalela, maka pentingnya Status Confessionis itu makin

180
dirasakan. Konsultasi itu belum berhasil merumuskan Status
Confessionis dimaksud.

Tetapi dalam Sidang Majelis Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di


Indonesia (MPL-PGI) yang diselenggarakan di Melanguane, Talaud,
akhir Januari 2012 lalu, berhasil dirumuskan “Pernyataan Perang
Gereja Terhadap Korupsi”. Dalam dokumen itu tegas dikatakan,
bahwa korupsi adalah dosa yang tidak mungkin ditolerir oleh gereja.
Maka adalah panggilan umat Kristen (warga gereja) untuk
meyatakan perang terhadapnya. Dalam “Pesan Paskah PGI” tahun
2012 dengan sengaja perang terhadap korupsi itu ditegaskan sekali
lagi. Justru dalam kaitan dengan Paskah yang merupakan
”pengakuan”Allah terhadap kehidupan, maka semua yang
menghalangi kehidupan harus ditolak. Dalam pandangan gereja,
korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah
kejahatan terhadap kehidupan. Maka penolakan terhadap korupsi
adalah keharusan, bahkan panggilan.

Pernyataan gereja-gereja di Indonesia itu mungkin belum sama persis


dengan Deklarasi Barmen dalam intensitasnya. Namun demikian,
gereja-gereja di Indonesia bertekad untuk hidup, bercerita dan
bersaksi sebagai gereja, apapun konsekuensinya di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang sedang berubah cepat ini.

V. Penutup
Tulisan ini dibuat sebagai penghormatan terhadap Prof. Dr. Gerrit
Singgih. Beliau adalah seorang teolog Indonesia yang terkemuka,
yang pikiran-pikirannya, langsung atau tidak langsung ikut
memengaruhi kehidupan dan sikap gereja-gereja dan warga gereja di
Indonesia di dalam menghayati imannya dan berinteraksi dengan
dunia sekitarnya. Bertahun-tahun ia berkutat di dunia pendidikan
teologi, suatu tempat paling strategis mempersiapkan para pemimpin
gereja-gereja masa depan. Maka melalui tulisan ini saya
menyampaikan ucapan “Selamat!” kepada Pak Gerrit Singgih. Kita
tetap mengharapkan pemikiran-pemikiran beliau di masa-masa
mendatang ini. Tuhan memberkati!

181
Endnote

1
Rudolf Weth, “The Barmen Theological Declaration-a Christian
Confession of Faith for the New Ecumenical Century”, dalam The
Ecumenical Review, WCC, July 2009
2
Di Jerman, yang disebut “Evangelische Kirche” adalah gereja-gereja
reformasi, guna membedakannya dengan Gereja Katolik Roma. Bukan
“evangelical” sebagai sebuah aliran gereja yang berasal dari Amerika
Serikat. Guna mengacu kepada yang terakhir ini, dipakai istilah
“Evangelikal”.
3
Butir-butir ini dikutip langsung dari naskah “asli” tersebut, Die Barmer
Theologische Erklaerung von 1934, Faksimile des Originals im
Landeskirchlichen Archiv Bielefeld, Evangelische Kirche von Westfalen,
Bielefeld, 2001. Penjelasan mengenai Deklarasi Barmen ini bisa juga dibaca
dalam Diarmaid MacCulloch, A History of Christianity, The First Three
Thousand Years, (Penguin Book, Great Britain,2009), pp. 943 ff.
4
Artikel itu ditulis pada 2009.
5
Weth, op.cit., h. 192
6
Kutipan itu diambil Weth dari Barth, “Barmen”, dalam Rohkraemer
(2004), h. 172
7
Evangelische Kirche in Deutschland, persekutuan gereja-gereja reformasi
terbesar di Jerman.
8
Dikutip dari EKD Statement, “Eins in Christus, Kirchen unterwegs zu mehr
Gemeinschaft”, hlm. 26; Weth, op.cit., p.194. Ketika saya menghadiri
Sidang Sinode EKD von Westfalen di Bielfeld dalam bulan November 2011
lalu, suasanan itu sangat terasa dalam Pidato Praeses Buss. Sidang Sinode
itu juga dihadiri oleh Uskup setempat yang mewakili Gereja Katolik Roma
di Jerman.
9
Wet, op.cit h.197
10
Dalam, The Ecumenical Review, July 2009, h. 203-212.
11
Ibid, h. 204
12
Walter Lang mengutip di sini Eberhard Bethge (1986), “Barmen und die
Juden-eine nicht gechriebene These?” Dalam H.-U.Stephan (ed.), Das eine
Wort fuer alle, Barmen 1934-1984: Eine Dokumentation, Neukirchen Vluyn,
Neukirchener, pp. 114-133, hlm. 115.
13
Bethge, op.cit. h. 133
14
PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(2009-2014),( Jakarta, 2010), h. 112-117.
15
DKG, ibid, h. 87-88.
182
Dari Pendeta Caleg sampai Roma 13:
Beberapa Catatan mengenai Partisipasi
Politik Kristen di Indonesia
Zakaria J. Ngelow*

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif di Indonesia cukup banyak


pendeta dari berbagai gereja yang ikut menjadi calon legislator
(caleg) untuk tingkat pusat (DPR RI) atau provinsi (DPRD I) atau
kabupaten (DPRD II), dan juga calon DPD (Dewan Perwakilan
Daerah) dari berbagai provinsi. Mereka itu berjuang melalui berbagai
partai politik, termasuk dua partai politik Kristen, Partai Damai
Sejahtera (PDS) dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI).
PKDI adalah gabungan dari sejumlah partai politik Kristen. Dari
hasil-hasil yang dibeberkan di media massa, mulai jelas bahwa
mereka tidak mendapat dukungan kuat dari masyarakat (Kristen).
Namun, terlepas dari berhasil atau gagal, fenomena banyaknya
pendeta yang terjun ke dunia politik perlu dicermati oleh para
pimpinan gereja sebagi bagian dari kewajiban membaca tanda-tanda
zaman.

Keikutsertaan para pendeta dalam percaturan politik kekuasaan


(sering disebut ”politik praktis”) ditanggapi berbeda oleh gereja-
gereja. Ada gereja yang sama sekali menutup pintu bagi para
pendetanya untuk bergiat dalam politik; kalau memilih berpolitik,
harus berhenti jadi pendeta. Ada pula yang lebih lunak: Pendeta yang
ikut menjadi caleg harus cuti terlebih dulu; kalau berhasil, baru
diberhentikan dari jabatan sebagai pendeta, tetapi kalau tidak
berhasil, kembali sebagai pelayan gereja. Ada pula gereja yang
”mengutus” para pendeta sebagai caleg untuk pelayanan di bidang
politik. Dalam sejarah partai politik di Indonesia memang sejak
semula para pendeta turut dalam percaturan politik. Pdt. B.
Probowinoto mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada
tahun 1945. Selain alasan umum bahwa politik adalah bidang

*
Doktor Sejarah Gereja, anggota Majelis Pengerja Harian PGI
183
pelayanan gereja, berbagai alasan diajukan oleh para pendeta yang
berpolitik, misalnya kebutuhan partisipasi yang terkait dengan
kelangkaan sumber daya manusia setempat, dan hanya pendeta yang
agak memenuhi syarat masuk dalam percaturan politik kekuasaan
setempat. Memang ada caleg yang dengan terus terang
membandingkan jaminan hidup dalam gereja yang kecil dengan
besarnya gaji dan penghasilan seorang anggota dewan.

Di sini dapat diajukan beberapa pertimbangan mengenai keterlibatan


pendeta dalam politik kekuasaan. Pertama, politik kekuasaan terkait
dengan suatu partai politik, yang mempunyai kewenangan mengatur
anggotanya, baik dalam kebijakan praktis maupun prinsip-prinsip
ideologis. Oleh sebab itu, sebaiknya pendeta yang bergiat di bidang
politik itu secara penuh meninggalkan status kependetaannya dalam
arti tidak lagi berada di bawah pengaturan gereja, supaya dia tidak
mengabdi kepada dua tuan (Mat. 6:24). Bersama dengan itu, ia juga
menanggalkan semua atribut dan simbol-simbol kependetaan, yakni
gelar dan pakaian pendeta. Spirit kependetaan sebagai hamba Allah
yang melayani dan memperjuangkan keadilan akan tetap melekat
dalam pelayanan politiknya sebagai seorang Kristen.1

Prinsip-Prinsip Pelayanan Politik


Penolakan pendeta aktif dalam politik kekuasaan bukan penolakan
kepada keterlibatan gereja dalam aktivitas politik. Gereja wajib
mendampingi warga jemaat dalam memahami dan menentukan
pilihan politik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, gereja tidak dapat
mengikatkan dirinya pada salah satu partai politik. Akan tetapi,
gereja perlu melakukan pembinaan di kalangan warga gereja untuk
dapat bergiat dalam politik kekuasaan dengan visi atau prinsip-
prinsip Kristen. Maka, gereja juga perlu mengembangkan prinsip-
prinsip teologis pelayanannya di bidang politik. Berikut suatu
contoh.2

Beberapa prinsip:
● Fungsi negara sebagai kelembagaan politik adalah wujud
pemeliharaan Allah; karena itu, pemerintah bertanggung jawab
menegakkan keadilan (dengan membela yang lemah), mewujudkan
kesejahteraan, dan menjaga perdamaian. Dalam hal itulah
184
pemerintah diakui sebagai hamba Allah (Rm. 13); namun, jika
sebaliknya, pemerintah sewenang-wenang, menindas dan tidak
menegakkan keadilan, maka pemerintah adalah anti-Kristus (Why.
13). Dalam hal ini hubungan negara dan gereja adalah kemitraan
yang setara di hadapan Allah.
● Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26 dyb.),
maka Gereja menentang setiap bentuk diskriminasi dalam
masyarakat (ras, gender, sosial, dan sebagainya).
● Sebagaimana para nabi (Natan, Hosea, Amos, Yesaya, dan lain-
lain), Gereja berkewajiban menyatakan suara kenabian (protes)
terhadap pemerintah jika pemerintah mengabaikan tanggung
jawabnya terhadap semua unsur masyarakat, bukan hanya terhadap
orang Kristen.
● Pengajaran Tuhan Yesus mengenai, "Berikanlah kepada Kaisar apa
yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang
wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat. 22:21; Mrk. 12: 17; Luk.
20:25) bermakna ketaatan kepada Allah mendahului ketaatan kepada
pemerintah (bnd. Kis. 5:29, ”Kita harus lebih taat kepada Allah dari
pada kepada manusia.”)
● Sesuai tugasnya untuk menampakkan tanda-tanda Kerajaan Allah,
Gereja wajib (ikut serta) menegakkan keadilan, mengupayakan
kesejahteraan, dan menjaga perdamaian, serta memelihara
kelestarian lingkungan alam. Dalam kaitan itu, Gereja menolak
semua bentuk penggunaan kekerasan.
● Gereja dipanggil dan diutus untuk menyatakan Injil Kerajaan Allah
kepada semua orang. Oleh karena itu, pelayanan politik gereja tertuju
pada semua orang, tidak eksklusif untuk kalangan warga gereja.
Dalam hal ini ”politik gereja” adalah semua upaya gereja
mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi semua
ciptaan.

Bentuk-bentuk penerapan praktis:


● Menyatakan suara kenabian kepada penguasa yang tidak
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Tentu saja dalam hal
ini cara/bentuk penyampaian dilakukan dengan cara yang tidak
melanggar baik etika Kristen maupun hukum yang berlaku. Wujud
kenabian yang sering berperan dalam politik demokratis adalah

185
advokasi, baik advokasi kebijakan, advokasi anggaran, maupun
advokasi tentang kasus-kasus masalah sosial tertentu.
● Menyampaikan amanat penggembalaan (surat pastoral) kepada
warga jemaat menyangkut kenyataan atau kegiatan politik tertentu.
● Pendidikan politik: membina warga jemaat dalam berbagai aspek
politik sehingga warga jemaat dapat berpartisipasi dengan benar
dalam perkembangan politik; terutama perhatian pada pembinaan
pemuda/mahasiswa Kristen, khususnya kepemimpinan, etika, dan
wawasan sosial Kristen. Penting untuk menanamkan nilai-nilai
utama kader Kristen: menjunjung keadilan, jujur, berkomitmen,
berani berkorban, menjunjung kesetaraan, cinta damai (anti
kekerasan), peduli lingkungan, dan sebagainya.
● Mendorong jemaat-jemaat untuk mengembangkan hubungan dan
kerja sama sosial yang baik dengan masyarakat non-Kristen dalam
lingkungan masing-masing. Dialog dalam berbagai bentuk dan
tingkatan dengan semua pihak perlu diupayakan. Dalam kaitan itu
perlu pula mengembangkan informasi yang lengkap mengenai
berbagai perkembangan baik pada lingkup lokal, nasional, maupun
global.
● Gereja perlu memanfaatkan lembaga-lembaga pelayanan sosial
dalam lingkungannya untuk mengembangkan jaringan kerja sama
dengan semua pihak demi kesejahteraan bersama.
● Warga gereja mempunyai hak dan kebebasan untuk aktif dalam
partai politik. Akan tetapi, Gereja tidak boleh memihak salah satu
partai politik (termasuk partai politik Kristen) atau mendukung
calon-calon legislatif (termasuk warga gereja) yang diajukan partai
politik mana pun dalam pemilihan umum. Gereja juga tidak mencari
perwakilan khusus seperti pada masa Orde Baru; dalam sebuah
demokrasi yang pluralistis prinsip perwakilan mencakup semua
warga dalam suatu daerah pemilihan, bukan berdasarkan agama atau
etnisitas.
● Gereja wajib memberi penyuluhan mengenai politik dan partai
politik; tetapi gedung Gereja dan pertemuan ibadah gerejawi tidak
boleh menjadi sarana kampanye suatu partai politik atau (para) calon
legislatifnya.
● Gereja menolak money politics dan semua bentuk kecurangan
dalam percaturan politik. Gereja tidak boleh menerima sumbangan

186
dari suatu partai politik atau calonnya jika merupakan cara halus
”membeli suara” warga gereja.

Politik Tanpa Partai?


Dewasa ini sering pula muncul wacana politik ”kepentingan
Kristen” atau ”kepentingan Gereja” yang dikampanyekan para
aktivis politik Kristen. Wacana ini perlu ditanggapi secara kritis.
Pertama-tama, pelayanan politik gereja bukan untuk
memperjuangkan ”kepentingan Kristen”, melainkan pelayanan untuk
memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kalau
ada kepentingan Kristen, itu adalah keadilan dan kesejahteraan bagi
semua orang, yang terjalin dengan kepentingan bersama seluruh
warga masyarakat. ”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu
Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer 29: 7). Yang kedua,
dalam konteks kenyataan jumlah minoritas umat Kristen Indonesia,
pelayanan Kristen di bidang politik tidak tepat dilakukan dengan
strategi minoritas memperjuangkan kepentingan minoritas. Sebab,
sekalipun semua orang Kristen mendukung partai politik Kristen,
jelas tidak akan mampu membereskan persoalan-persoalan seperti
halangan dalam pembangunan gedung gereja, konflik antar
komunitas, jaminan kebebasan penginjilan, dan sebagainya.
Kepentingan keadilan, kesejahteraan, kebebasan beragama, dan hak-
hak asasi lainnya adalah kepentingan seluruh masyarakat, yang perlu
diperjuangkan untuk dan oleh seluruh masyarakat. Hanya dalam
kebersamaan tujuan perjuangan dapat dicapai. Maka, prinsipnya
adalah ”bersama-sama memperjuangkan masa depan bersama”;
bukan masing-masing memperjuangkan kepentingan sendiri atau
masing-masing memperjuangkan kepentingan bersama. Jelas pula
bahwa perjuangan untuk memajukan masyarakat tidak
diselenggarakan hanya melalui lembaga politik kekuasaan. Orang
atau lembaga Kristen dapat berjuang di luar arena politik kekuasaan.

Politik ”kepentingan Kristen” berasal dari pendekatan politik neo-


Kalvinis Abraham Kuyper (1830-1920), teolog, politikus, dan
negarawan Belanda.3 Dalam konteks sosial-politik Belanda masa itu,
Kuyper mendorong supaya setiap kelompok membangun benteng-
bentengnya masing-masing untuk bersaing menjadi yang unggul
187
dalam menentukan nasib keseluruhan masyarakat. Untuk itu,
masing-masing kelompok perlu mempunyai atau mengembangkan
berbagai fasilitas bagi keunggulan kelompoknya: partai politik
sendiri, media massa sendiri, universitas sendiri, dan seterusnya.
Berbeda dengan itu adalah gagasan politik Kristen P.J. Hoedemaker
(1839-1910), teolog yang menolak isolasi Kristen dalam lingkaran
sosial tersendiri dan mendorong kehadiran kesaksian Kristen dalam
semua bidang dan institusi sosial. Tidak perlu ada partai politik
Kristen tersendiri atau universitas Kristen tersendiri. Perbedaan
kedua aliran politik ini dapat diumpamakan Kuyper memilih menjadi
terang yang menarik orang dari kegelapan ke dalam lingkaran
cahayanya (sentripetal), sedangkan Hoedemaker sebagai garam yang
larut dan menggarami dunianya (sentrifugal).

Hal lain yang cukup mencolok dalam politik Kristen di Indonesia


adalah pergeseran komunitas pendukungnya, dari kalangan
oikumenis ke kalangan Injili. Kalangan yang dahulu menganggap
aktivitas politik itu kotor justru cukup serius berpolitik. Ada
sinyalemen bahwa gejala ini terhubung dengan perkembangan
tertentu di Amerika Serikat, yakni menguatnya ideologi politik
Kristen kalangan ”Neokonservatif” dan ”Fundamentalis”, yang
mencapai puncaknya dalam ideologi Bush. Perlu penelitian yang
lebih saksama untuk menyimpulkan apakah ada pengaruh langsung
perkembangan di Amerika itu dengan menguatnya semangat
berpolitik kalangan Injili di Indonesia.4

Dari segi pembentukan partai politik, banyaknya orang Kristen yang


aktif dalam dunia politik memang sangat menonjol sejak reformasi
nasional dan tumbangnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998.
Sebagaimana diketahui, sebelum Soeharto di masa Orde Baru
melebur partai-partai politik menjadi PPP, Golkar, dan PDI, terdapat
satu partai Kristen (Protestan) dan satu partai Katolik. Memasuki
reformasi, pada pemilu 1999 didirikan sejumlah partai politik
Kristen, namun hanya Partai Kristen Nasional Indonesia (KRISNA)
dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB), serta Partai Katolik
Demokrat (PKD) yang memenuhi syarat untuk dapat mengikuti
Pemilihan Umum tahun 1999. Pada Pemilu tahun 2004 hanya Partai
Damai Sejahtera (PDS) yang bisa ikut. Pada Pemilu bulan April
188
2009, selain Partai Damai Sejahtera (PDS), sejumlah partai Kristen
berhimpun di dalam Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI).
Hasil perhitungan cepat memperlihatkan minimnya perolehan suara
kedua partai Kristen itu: PKDI kurang dari 1% dan PDS kurang dari
2%. Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, perolehan suara partai
politik Kristen memang kecil, sebagaimana ditunjukkan dalam suatu
data sebagai berikut:5

Tahun PARKINDO Partai Katolik Nasional


1955 1.003.326 770.740 37.785.299
2,66% 2,04%
1971 733.359 603.740 54.669.509
1,34% 1,10%

Tahun Krisna PKD PDKB Nasional


1999 369.719 216.675 550.740 105.786.661

Tahun PDS % Nasional


2004 2,424,319 2,14 113.125.750

Data ini menunjukkan bahwa umat Kristen Indonesia umumnya tidak


antusias mendukung partai politik Kristen. Dukungan masyarakat
bagi suatu partai politik sangat penting walaupun ada orang yang
berpendapat bahwa bukan jumlah wakil rakayat di parlemen (yang
mencerminkan dukungan masyarakat) yang penting dalam politik,
melainkan substansi kebenaran yang diperjuangkan.6 Dalam sistem
politik modern, bagaimanapun, idealisme politik tidak bisa
dimenangkan tanpa dukungan yang luas. Lagi pula, dalam dunia
politik, siapa yang menentukan apa ”kebenaran” itu?

Dalam meninjau sejarah politik Kristen di Indonesia Martin Lukito


Sinaga menarik dua pelajaran:

Pertama, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik


selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti
mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia
memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan
189
ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan
isolasinya. Kedua, tabiat minoritas yang cenderung menumpang ke
dalam struktur kekuasaan yang ada malah pada gilirannya akan
menanamkan bukan hanya mentalitas status quo, tetapi juga
ketiadaan daya terobos di era transisi menuju demokrasi saat ini.
Kalau sering dikatakan bahwa transisi Indonesia ini mengalami
musim kemarau yang panjang, maka tepat juga kalau dikatakan
ekspresi politik umat Kristen di dalam proses itu pun berada dalam
suasana kering kerontang.

Ia selanjutnya mengajukan alternatif:

Kalau memang politik Kristen itu sebaiknya tanpa partai


minoritas, maka paling tidak ia bisa bergerak leluasa di ruang lain,
yaitu ruang civil society. Sehingga memang politik Kristen kini
dapat secara konsisten meluas, dan ia masuk dalam arus baru
politik kewargaan itu: suatu politics of influence di mana
Kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara,
tetapi sebagai inspirasi perubahan masyarakat dengan
pengorganisasian rakyat sebagai fokusnya. 7

Dalam model partisipasi para tokoh Alkitab, anjuran Martin Sinaga


ini sesuai dengan model partisipasi Musa atau Elia. Mereka tidak
memilih masuk dalam lingkaran pusat kekuasaan (bnd. Yusuf di
Mesir dan Daniel di Babilonia), melainkan terjun ke dalam
masyarakat, mendampingi dan memberdayakan rakyat marginal,
sebagaimana juga kemudian dilakukan Yesus dalam pelayanan-Nya
di Galilea dan tempat-tempat lain.8 Sayangnya, banyak orang tergoda
pada kekuasaan.

Ayat-ayat Kepatuhan Politik


Evaluasi sejarah ini juga diajukan Pdt. Emanuel Gerrit Singgih
dengan mengkritik sikap politik gereja masa lalu, yakni strategi
menempatkan orang dalam struktur kekuasaan pemerintah,
berlindung pada penguasa (wujud dari minority complex), dan
”memperjuangkan kepentingan Kristen termasuk kepentingan gereja-
gereja dan persekutuan-persekutuan saja”.9 Berlindung pada
penguasa didukung pemahaman mengenai pemerintah sebagai
hamba Allah (Rm. 13:1-7). Di bagian lain Pdt. Singgih menyebutkan
alasan-alasan mengapa gereja tidak menanggapi reformasi nasional
190
Indonesia 1998. Pertama-tama, gereja menunggu peristiwa itu selesai
baru akan menilai apakah peristiwa itu kehendak Tuhan. Yang sudah
dipegang adalah mendukung Orde Baru karena dianggap sesuai
dengan kehendak Tuhan. ”Maka yang dibuat oleh kebanyakan
gereja-gereja Kristen adalah seminar demi seminar untuk memonitor
apakah reformasi sudah selesai apa belum ...”

Alasan kedua, ”pengandalan yang berlebihan terhadap Roma 13".


Ketaatan terhadap pemerintah dalam Roma 13 dipahami sebagai
ketaatan mutlak. Ketaatan mutlak kepada pemerintah sudah sejak
zaman penjajahan dan terus terbawa hingga kini, termasuk dukungan
terhadap kebijakan pemerintah dan negara. Reformasi dianggap
sebagai perlawanan terhadap pemerintah.

Yang ketiga, pemahaman terhadap ”orang lain”, dalam hal ini


terutama umat Islam. Ada perbedaan pandangan antara ”orang lain”
dan ”sesama”. ”Sesama” adalah orang yang satu iman, satu gereja,
satu suku, dan sebagainya. Sementara itu, ”orang lain” adalah orang
yang berbeda dengan kita entah itu agamanya, sukunya, dan
sebagainya. Padahal Yesus melalui perumpamaan ”Orang Samaria
yang Murah Hati” dalam Lukas 10 mengajarkan bahwa sesama
manusia itu adalah orang lain bahkan musuh.10

Mengenai alasan yang pertama, yang dapat dirumuskan sebagai


lemahnya kemampuan gereja membaca tanda-tanda zaman, mungkin
masalah pokoknya adalah lemahnya kecendekiaan Kristen Indonesia,
baik dalam arti keterbatasan mutu sumber daya manusia maupun
pelembagaannya. Para cendekia Kristen tidak terhubung dengan
gereja, kalau pun ada yang berusaha mencermati berbagai
perkembangan aktual dalam kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia. Institusi gereja maupun perguruan tinggi Kristen atau
lembaga-lembaga lainnya tidak mengembangkan pusat-pusat studi
kemasyarakatan yang mampu memberi informasi yang akurat kepada
para pimpinan dan warga gereja. Di pihaknya, para pemimpin dan
warga gereja tidak mampu menanggapi secara kritis perkembangan
yang berlaku. Yang berkembang justru berbagai mitos menyesatkan,
khususnya tentang ancaman bagi umat Kristen, yang kadang-kadang

191
dibenarkan dengan menunjuk pada sejumlah fakta yang tidak
sungguh-sungguh dimengerti secara mendalam.

Untuk alasan kedua, gereja perlu mengembangkan suatu ”tafsir


tandingan” terhadap tafsir tradisional dominan Roma 13, misalnya
tafsir pascakolonial, sebagaimana diusulkan Pdt. Singgih.

Alasan yang ketiga berkaitan dengan pengembangan theologia


religionum di kampus-kampus teologi yang dibarengi praksis dialog
antariman pada berbagai tingkat di dalam masyarakat, sebagaimana
sudah berkembang sejak hampir dua dekade terakhir.11

Dari ketiga alasan di atas, sinyalemen Pdt. Singgih mengenai


”pengandalan berlebihan terhadap Roma 13" perlu mendapat
perhatian khusus, karena sebagai acuan alkitabiah kuat pengaruhnya
dan sampai pada pembentukan pandangan dan sikap di kalangan
warga jemaat. Suatu upaya serius melakukan dekonstruksi terhadap
pemahaman tradisional perikop ”Kepatuhan kepada Pemerintah”
(Rm. 13: 1-7) perlu dilakukan bersama dari berbagai disiplin teologi,
khususnya Biblika Perjanjian Baru.

Liem Khiem Yang, ahli biblika senior, mencatat mengenai perikop


yang dianggap sisipan ini dalam hubungan dengan ketakutan dan
ketaatan terhadap pemerintah. Tidak perlu takut karena pemerintah
adalah hamba Allah, dan ketaatan tidaklah mutlak. Liem
menghubungkan ketaatan membayar pajak dalam ayat-ayat 6 dan 7
dengan sabda Yesus mengenai membayar pajak kepada kaisar (Mrk.
12:13-17; Mat. 22:15-22; Luk. 20:20-26) yang disimpulkannya
bahwa kuasa dan wewenang pemerintah tidaklah mutlak. Ada batas
ketaatan kepada pemerintah. Dalam bagian surat-surat Paulus lainnya
jelas Rasul Paulus tidak memutlakkan kuasa pemerintah: penguasa-
penguasa dunia akan ditiadakan (1 Kor. 2:6); pada akhirnya ”dalam
nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di
atas bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengaku:
’Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp.
2:10-11).12 Juga, para ahli yang menyetujui bahwa perikop itu asli
dari Paulus menyadari bahwa isinya bertentangan dengan pandangan
192
Paulus dalam teks-teks yang lain: mengenai dunia yang terpisah dari
Allah (2 Kor. 4:4; Gal. 1:4; 1 Kor. 7:31); dunia yang segera berlalu
(Rm. 13:11-13); penguasa atau pemerintah yang melawan Allah (1
Kor. 2:6-8).

Penafsir lain mempersoalkan kata Yunani tetagme,nai (tetagmenai


dari kata kerja tasso, dalam ayat 1, yang dapat berarti menentukan,
menempatkan, mengatur, menata, dan sebagainya). Pengertian kata
ini diletakkan dalam rangka penataan Allah atas ciptaan, di mana
pemerintah dimaksudkan berfungsi mewujudkan pemeliharaan. Ini
berhubungan dengan pandangan yang dipopulerkan Martin Luther
mengenai kelembagaan tiga penataan Allah atas ciptaan dan
manusia: perkawinan dalam rangka tatanan penciptaan dan
kelanjutan keturunan; negara untuk tatanan pemeliharaan demi
ketertiban dan kedamaian; dan gereja dalam tatanan penyelamatan.13
Pemerintah atau negara tidak secara khusus, melainkan secara
umum, dilembagakan Allah untuk pemeliharaan kehidupan dengan
menjaga perdamaian dan kesejahteraan dengan kekuasaan hukum
dan keadilan.

Demikian pula kata Yunani u`potasse,sqw (dari u`pota,ssw


hupotasso) yang diterjemahkan ”takluk” bukanlah dalam arti
ketaatan membuta. Penting menilai dengan suara hati apakah
pemerintah yang ada layak dianggap sebagai hamba Allah,
sebagaimana tersirat dalam ayat 5. Langkah yang disebut jalan
tengah (middle step) ini adalah alternatif terhadap ketaatan membuta
maupun penolakan sama sekali terhadap pemerintah.

Dalam ayat 4 terdapat kata ma,cairan yang menunjuk pada pedang


pendek, semacam belati atau bayonet, yang dipakai untuk
pertarungan jarak dekat. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan
”pemerintah menyandang pedang” menunjuk pada fungsi
pengamanan dalam tugas kepolisian, bukan persenjataan untuk
fungsi militer.14 Demikian pandangan John Howard Yoder, teolog
Menonit termasyhur dari Amerika, yang mengampanyekan pasifisme
atau nir-kekerasan yang merupakan salah satu ciri khas tradisi Gereja
Menonit. Dia menempatkan Roma 13:1-7 dalam kesatuan kedua
pasal, 12 dan 13 dan mengembangkan pandangan kontroversial
193
mengenai revolutionary subordination. Yoder berpendapat bahwa
imbauan Paulus untuk menaati aturan-aturan keluarga (household
code) (Kol. 3:18–4:1; Ef. 5:21–6:9; Tit. 2:1-10; 1 Ptr. 2:18–3:7) yang
menuntut ketaatan dari para hamba dan istri, bukan sekadar suatu
kepatuhan terhadap kearifan konvensional, melainkan untuk
menggerus kredibilitas aturan-aturan itu dengan mendorong kerelaan
menaatinya berdasar asumsi bahwa bagaimanapun tananan sosial dan
politik yang menyangga aturan-aturan itu sudah akan berakhir.
Harapannya supaya para suami dan istri menyesuaikan diri dengan
penampilan standar patriarkat berdasar pada asumsi bahwa patriarki
telah kehilangan daya cengkeramnya atas identitas sosial para suami
dan istri karena mereka telah menjadi satu dalam Kristus – ”tidak ada
orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan” (Gal 3:28).15

Akan tetapi, pada kenyataan sejarahnya, pandangan patriarki tidak


hanya terus bertahan, malahan juga diperkuat oleh ajaran gereja
selama berabad-abad. Apakah petunjuk Paulus untuk taat kepada
pemerintah dalam Roma 13 juga dalam kerangka revolutionary
subordination menurut Yoder itu? Entahlah. Namun, jelas
pendekatan itu tidak mengubah apa-apa. Diperlukan pemahaman
yang lebih kritis, yang mampu secara meyakinkan memberikan
penafsiran baru yang tidak meletakkan gereja dalam hubungan
subordinasi terhadap pemerintah.

Nasihat untuk tunduk kepada penguasa, atau mendoakan mereka


muncul juga dalam surat-surat Pastoral (Tit. 3:1, 1 Tim. 2:1-4); juga
surat Petrus (1Ptr. 2:13-17) mengemukakan istilah-istilah yang sama.
Dalam wacana hubungan gereja dengan negara/pemerintah, upaya
mengimbangi penekanan berlebihan terhadap Roma 13:1-7
diperhadapkan pada Wahyu 13 (dan Wahyu 18). Pada umumnya
Kitab Wahyu dihubungkan dengan penghambatan yang dialami
gereja yang di bawah pemerintahan Kekaisaran Romawi, khususnya
kekejaman Kaisar Nero dan mungkin pula Kaisar Domitianus.
Wahyu 13 sering dihubungkan dengan pemerintahan Kaisar Nero
(64-68, 42 bulan sesuai Why. 13: 5). Kitab ini memperlihatkan kritik
yang tajam terhadap pemerintah yang menindas, yang digambarkan
sebagai si binatang yang keluar dari lautan (ayat 1) atau si binatang
194
yang keluar dari dalam bumi (ayat 11); dan dalam pasal 18
digambarkan sebagai Babel yang dihancurkan. Namun, karena
Wahyu diungkapkan dalam bahasa apokaliptik, daya saing atau daya
tandingnya terhadap wacana Roma 13:1-7 tidak memadai. Lagi pula
kritik Wahyu terhadap penguasa jarang dikemukakan sebagai
wacana tandingan terhadap kepatuhan kepada pemerintah.16

Petunjuk alkitabiah lainnya yang dirujuk dalam hubungan gereja dan


negara adalah jawaban Yesus kepada mereka yang mencobai Dia
menyangkut pajak kepada kaisar, ”Berikanlah kepada Kaisar apa
yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang
wajib kamu berikan kepada Allah" (Mat. 22:21). Dihubungkan
dengan sabda Yesus terhadap Pilatus dalam Yohanes 18:36
(”Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; ...”), ayat ini sering diartikan
bahwa aktivitas agama terpisah dari aktivitas politik duniawi.
Pemahaman ini dianut dalam pemisahan negara dan gereja. Akan
tetapi, ada pula yang memahaminya bahwa Yesus mengehendaki
para pengikutNya untuk cermat membedakan apa kewajiban mereka
kepada kaisar dan kepada Allah, sambil memperhatikan firman Allah
dalam Kisah Para Rasul 5:29 (”Kita harus lebih taat kepada Allah
dari pada kepada manusia).17 Dalam konteksnya, pertanyaan itu
memancing untuk menemukan alasan mempersalahkan Yesus; sebab
jawaban ”ya” berarti mengkhianati kepentingan masyarakat, jawaban
”tidak” adalah melawan pemerintah. Akan tetapi, jawaban cerdas
Yesus dengan mengajukan prinsip kepemilikan menghindar dari
umpan jahat kaum Farisi dan Herodian itu. Sebagai pemuka agama
mereka tahu bahwa gambar kaisar ada pada koin Romawi, tetapi
gambar Allah ada dalam diri manusia, maka kalau uang adalah milik
kaisar, tetapi hidup manusia adalah milik Allah.

Rujukan Alkitab masih dapat diperluas dengan membahas banyak


acuan, juga dari Perjanjian Lama. Di sini cukuplah menyebut tradisi
profetik para nabi Perjanjian Lama, bahwa gereja wajib menyatakan
suara kenabian, yakni protes terhadap ketidakadilan atau
kesewenang-wenangan penguasa, sebagaimana dilakukan nabi-nabi
Elia, Hosea, Amos, dan Mikha, yang kemudian diteruskan dalam
Perjanjian Baru oleh Yohanes Pembaptis, Yesus, dan Paulus. Fungsi
penguasa dapat dirangkum dari Mazmur 72, yakni panggilan untuk
195
”memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa
itu, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukkan pemeras-
pemeras!” (ay. 4).

Rasul Paulus dan Politik Romawi


Masalah politik, negara, dan gereja mengemuka pada aras
internasional dengan munculnya wacana imperial ideology akibat
sepak terjang politik luar negeri Amerika Serikat, American
exceptionalism, dan menguatnya apa yang disebut globalisasi pada
beberapa dekade terakhir. Salah satu respons terhadap perkembangan
itu adalah studi mengenai sikap Rasul Paulus terhadap Kekaisaran
Romawi. Maka, dewasa ini studi mengenai pandangan Paulus
terhadap dunia politik, dan khususnya terhadap Kekaisaran Romawi,
makin berkembang, bahkan ada kelompok pakar yang menyebut diri
”Paul and Politic Group”. Salah satu buku penting diedit oleh
Richard A. Horsley, berjudul Paul and Empire.18

N.T. Wright memberi rangkuman berikut:

Bukti-bukti kini tersedia, termasuk dari epigrafi dan arkeologi,


memperlihatkan bahwa kultus kaisar bukan sekadar salah satu di
antara banyak agama dalam dunia Romawi. Sudah pada zaman
Paulus ia telah menjadi kultus dominan di banyak wilayah
kekaisaran, terutama di mana Paulus bergiat, dan menjadi alat yang
dengannya orang Romawi mampu mengelola dan mengontrol
wilayah yang demikian luas di bawah kekuasannya. Siapa
memerlukan tentara kalau mereka punya ibadah? Demikianlah
buku ini mengundang kita mendekati apa yang disebut teologi
Paulus untuk menemukan di dalamnya bukan sekadar beberapa
implikasi sosial atau politik, yang akan disimpan sebagai bab-bab
penutup dari suatu buku teologi tebal, melainkan suatu tantangan
utama terhadap kultus dan ideologi kekaisaran yang merupakan
udara yang Paulus dan para pengikutnya hirup sehari-hari. Karya
penginjilannya (di sini saya merangkum dengan cara saya sendiri
apa yang saya anggap intisari buku ini) harus dipahami bukan
sekadar tentang seorang penginjil keliling yang menawarkan
kepada orang-olang lain suatu pengalaman keagamaan yang baru,
melainkan sebagai seorang duta dari seorang raja yang sedang
menunggu, membentuk kelompok-kelompok jaringan persekutuan
orang-orang yang setia pada sang raja itu, dan mengatur kehidupan

196
mereka sesuai kisahnya, simbol-simbolnya, dan praksisnya, serta
pemikiran mereka sesuai kebenarannya. Ini hanya dapat ditafsirkan
sebagai suatu counter-imperial yang mendalam, suatu subversi
terhadap keseluruhan hukum Kekaisaran Romawi. Dan ada cukup
banyak bukti bahwa Paulus memang maksudkan untuk dipahami
demikian, dan bahwa ketika dia berakhir di penjara sebagai akibat
aktivitasnya itu, dia menganggapnya sebagai tanda bahwa dia telah
melakukan tugasnya dengan baik. Studi atas sikap Paulus terhadap
Kekaisaran Romawi memperlihatkan bahwa kritik Paulus terhadap
kaisar dan kekaisarannya kokoh berdiri di dalam warisan Yahudi.
Kekuatan dan pendorong utama penolakannya terhadap kekaisaran
diungkapkan dalam Kristologi yang sangat tinggi (Flp. 3:20 dyb.
didasarkan pada Flp. 2:5-11): Yesus itulah Kyrios (sesuai
pemaknaan Septuaginta) — dan bukan Kaisar. Dengan
mengedepankan hakikat kekaisaran Yesus, terkandung suatu
eklesiologi yang kokoh, yakni persekutuan tersebar dan sering tak
teratur dari para pengikut Yesus sebagai Tuhan yang membentuk
koloni di pinggiran kekaisaran. Dari sudut pandang kaisar, mereka
merupakan kelompok-kelompok kecil subversif, namun dalam
pandangan Yahudi mereka adalah buah sulung masa depan
kemuliaan Allah. Dalam pada itu, Rasul Paulus menentang
kekafiran, khususnya kultus kaisar, namun dia juga seorang
pengritik tajam Yudaisme non-mesianik.19

Dari sejumlah sumber mengenai wacana ”Paul and Politic”, kita


dapat mencatat beberapa kesimpulan berikut: (1) Rasul Paulus
berhadapan dengan Kekaisaran Romawi, yang selain
mengembangkan strategi militer-politik, juga mengekspoitasi agama
untuk memperkuat kekuasaannya atas bangsa-bangsa yang
dikuasainya, dalam bentuk kultus pengilahian dan penyembahan para
kaisar Romawi. Ungkapan-ungkapan Kristen seperti ”Kerajaan”,
”Injil”, ”Anak Allah”, ”Tuhan”, dan ”Juruselamat” adalah ungkapan
yang sebelumnya lazim dalam kultus penyembahan kaisar Romawi.
Rakyat didesak untuk ”beriman” kepada kurios (Tuhan) mereka,
sang kaisar, yang akan menjaminkan keamanan dan meningkatkan
kekayaan. ”Dalam dunia Kekaisaran Romawi, injil adalah kabar baik
tentang Kaisar yang telah menegakkan perdamaian dan keamanan
bagi dunia”.20 (2) Dengan memakai ungkapan-ungkapan kekaisaran
itu, Rasul Paulus memperhadapkan suatu injil anti-Kekaisaran
Romawi yang bertolak dari keyakinan apokaliptiknya mengenai
197
Kristus: penyaliban dan kebangkitan serta parousia Kristus adalah
puncak-puncak peristiwa tampilnya Kristus sebagai Sang Penguasa
semesta (bnd. 1 Kor 15:24-28; Flp. 3:20-21).21 Barangkali
pertentangan paling jelas antara injil kekaisaran dengan injil Paulus
adalah ”teologi” mereka dalam hubungan dengan politik. Ideologi
kekaisaran menekankan bahwa Yupiter dan dewa-dewa telah
menyerahkan kekuasaan kepada Kaisar Agustus. Bertentangan
dengan itu, Paulus menegaskan bahwa Kristus kini memerintah di
surga, dan setelah ”membinasakan segala pemerintahan, kekuasaan
dan kekuatan” akan menyerahkan kerajaan kepada Allah Bapa,
”supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor. 15:24,28).
Sayangnya, teks-teks deutero-Paulus kemudian merohanikan bahasa
Paulus. Neill Elliott merangkum teologi apokaliptik Paulus, ”Dalam
salib, Allah telah membatalkan kearifan dari dunia ini dan dari
penguasa dunia ini. Selanjutnya, karena Dia yang disalibkan oleh
penguasa dunia telah dibangkitkan dari antara orang mati, para
penguasa itu dengan jelas menandai diri mereka sendiri sebagai yang
akan hancur oleh kebinasaan (1 Kor. 2:6-8; 15:51-58). Akibatnya
adalah orang Kristen tidak lagi diwajibkan pada pola dunia ini yang
akan segera berlalu (1 Kor. 7:31), tetapi dipanggil untuk menaati
Allah yang telah memilih yang lemah, mereka ”yang tanpa peringkat
atau kedudukan dalam dunia, yang tidak ada apa-apanya, untuk
menumbangkan tatanan yang ada” (1 Kor. 1:28). Teologi apokaliptik
ini berpusat pada usaha mempertahankan tujuan purbakala Allah
bagi umat perjanjian-Nya, dan melalui mereka untuk pembebasan
seluruh ciptaan. Pertanyaan-pertanyaan pada inti teologi Paulus
bukanlah berpusat pada bagaimana pribadi yang hancur nuraninya
dapat diselamatkan, atau bagaimana suatu gerakan yang melingkup
baik bangsa-bangsa lain maupun orang Yahudi dilegitimasi.
Pertanyaan-pertanyaannya sama dengan pertanyaan-pertanyaan ”para
rekan apokalipsisnya”: Bagaimana keadilan Allah diwujudkan dalam
dunia yang didominasi kuasa-kuasa yang jahat?
(3) Khusus Roma 13:1-7, Neil Elliott mencatat beberapa hal: (a)
Pernyataan Paulus mengenai pemerintah-pemerintah sebagai hamba-
hamba Allah hanyalah dimaksudkan memusatkan perhatian
pendengar mencermati ”kebaikan”, dan dengan itu ”mencegah warga
ekklesia berbuat onar di jalanan”. Upaya mengangkat pendapat ini
menjadi ”doktrin mengenai negara” tidak muncul dari tulisan Paulus,
198
tetapi dari kepentingan-kepentingan politik tertentu para penafsir.
Dengan cara itu, mengutip E. Kasemann, ”teks itu telah dipakai salah
selama seribu tahun untuk kepentingan-kepentingan teori politik”.
(b) Dalam kaitan situasi masa itu, perhatian Paulus berisi nasihat
supaya orang Kristen jangan menimbulkan huru-hara, dengan belajar
dari pengusiran orang-orang Yahudi dari Roma karena ketidaktaatan
kepada penguasa (oleh Claudius tahun 49), termasuk dalam urusan
pajak. Bersama dengan itu – dikaitkan dengan pandangannya
mengenai orang Yahudi dan non-Yahudi dalam pasal-pasal lainnya –
Paulus mencegah orang-orang Kristen Roma dari sikap dan ideologi
anti-Yahudi yang telah mereka lalui, suatu jalan yang akan lebih
melibatkan mereka dalam meng-kambing hitam-kan orang Yahudi
sebagaimana telah tampak dalam kebudayaan Romawi. (c) Dengan
membandingkan dengan kearifan dan kehati-hatian dalam
menghadapi penguasa yang dikembangkan Philo dari Aleksandria,
dapat dipahami catatan bersayap untuk hormat dan takut kepada
penguasa (Rm. 13:7): bahwa sekalipun penjajah Roma bukan
penguasa ideal, kebaikannya dihormati dengan nurani, namun
ditakuti kekejamannya.

Warisan Reformasi
Pandangan dan cara Kristen berpolitik di Indonesia tentu terhubung
dengan tradisi yang diwarisi dari sejarahnya. Oleh karena itu, khusus
kalangan Protestan, penting menengok ke masa Reformasi Gereja
pada abad ke-16 di Eropa. Dengan dukungan pemerintah, Reformasi
Luther berakhir dengan munculnya Gereja Lutheran, yang
mempertahankan kaitan gereja dengan negara. Calvin sempat
membentuk semacam teokrasi di Jenewa. Kemudian kedua tradisi
Protestan ini berkembang membentuk pola hubungan baru dan juga
menyesuaikan diri dengan prinsip pemisahan gereja dan negara
dalam dunia modern. Menurut Martin Luther, peran pemerintah
hanyalah untuk menjaga perdamaian dalam masyarakat; tidak
berurusan dengan pemaksaan hukum-hukum agama. Perumusan
Luther atas parameter pemerintahan sipil merupakan langkah
monumental dalam perkembangan pemisahan gereja dan negara. Dia
menyokong pembedaan yang jelas atas kedua bidang yang berbeda,
sipil dan rohani, yang dikenal sebagai doktrin dua kerajaan. Bidang
sipil berurusan dengan kehidupan fisik manusia dalam masyarakat
199
ketika berinteraksi dengan sesamanya, di mana manusia tunduk
pada pemerintahan manusiawi. Bidang rohani berkaitan dengan jiwa
manusia, yang adalah abadi, yang hanya tunduk kepada Allah.
Luther merumuskan doktrin dua kerajaan itu bahwa Allah telah
menetapkan kedua pemerintahan: yang rohani, yang dengannya –
oleh Roh Kudus di bawah Kristus – membuat orang Kristen dan
orang saleh; dan yang sekuler, yang mengendalikan orang yang tak
Kristen dan orang jahat sedemikian bahwa mereka menjaga
keamanan lahiriah. Hukum-hukum pemerintah duniawi tidak boleh
melampaui kehidupan dan milik serta apa yang lahiriah dalam dunia.
Untuk jiwa manusia, Allah tidak mengizinkan siapa pun memerintah,
kecuali Allah sendiri. Maka, ketika pemerintah duniawi bermaksud
menyusun aturan-aturan rohani, ia melanggar batas pemerintahan
Allah, dan hanya akan salah kaprah serta merusak jiwa manusia.

Luther juga mendorong pembangkangan sipil terhadap setiap


pemerintah yang melanggar batas pemisah antara yang sipil dan yang
suci: Kita tunduk kepada pemerintah dan melakukan apa yang
diperintahkannya, sejauh tidak mengikat nurani kita, tetapi hanya
mengatur hal-hal yang lahiriah. Namun, jika ia merambah ke wilayah
rohani dan memaksakan yang bertentangan dengan hati nurani, kita
tidak boleh sama sekali menaatinya, bahkan lebih baik dihukum
mati.

Calvin menggemakan ajaran dua kerajaan dari Luther. Ada dua


pemerintah: yang satu religius yang dengannya hati nurani dilatih
pada kesalehan dan penyembahan Ilahi; yang lain sipil, yang
dengannya setiap orang, sebagai manusia dan warga negara, diajar
dalam kewajiban-kewajiban yang mengikat untuk dilakukan.22
Dalam penjelasan Calvin atas Kisah Para Rasul 4:19-20
dikemukakan bahwa kita hanya menaati para pejabat dengan
persyaratan bahwa mereka tidak menjauhkan kita dari ketaatan
kepada Allah. Dalam tafsirannya atas sabda Yesus dalam Injil
Markus untuk memberi kepada kaisar apa yang kaisar punya dan
kepada Allah yang Allah punya – dan atas imbauan untuk takut
kepada Allah dan hormati raja (1 Ptr.) – Calvin menegaskan bahwa
ketaatan kepada pemerintah selalu disertai ibadah dan takut kepada
Allah; penguasa tidak dapat ditaati kalau ketaatan itu sudah
200
melanggar kehendak Allah. Mengenai Roma 13, Calvin memahami
bahwa pemerintah sipil diberikan Allah untuk mencegah kehancuran
karena dosa manusia. Meskipun membatasi, pemerintah adalah suatu
lembaga yang bermanfaat bagi masyarakat, dan bahwa sekalipun
buruk dan korup, tetap lebih baik ada pemerintah daripada anarki.
Dalam hubungan itu, Calvin juga menyatakan bahwa adalah
kewajiban pemerintah untuk mendukung agama dan kesusilaan
masyarakat.23 Dalam Institutio edisi tahun 1536, Calvin
menyinggung mengenai pemerintah yang berlaku sebagai tiran.
Terhadap pemerintah yang demikian Calvin mendorong para pejabat
yang lebih rendah untuk menggulingkan penguasa yang jahat, namun
dengan cara revolusi yang damai dan bertahap (4:20, 29, 30, 31).24

Dasar pemahaman Calvin mengenai pemerintah dan kekuasaan


bersifat ”teosentrik”: Allah adalah dasar dan sumber kekuasaan.
Abraham Kuyper merangkum pandangan teosentrik Calvin
menyangkut kekuasaan dalam tiga prinsip:

(1) Hanya Allah saja, tak pernah ada makhluk lain, mempunyai
hak-hak kedaulatan atas nasib suatu bangsa, karena Allah sendiri
yang menciptakannya, memeliharanya dengan
kemahakuasaanNya, dan memerintah mereka dengan ketetapan-
ketetapan-Nya.
(2) Dalam bidang politik, dosa telah memutuskan pemerintahan
langsung Allah, dan karena itu pelaksanaan kekuasaan, untuk
tujuan pemerintahan, telah diberikan kepada manusia, sebagai
kekuatan perbaikan.
(3) Dalam bentuk mana pun kekuasaan ini mengungkapkan diri,
manusia tidak pernah mempunyai kekuasaan atas sesamanya
manusia, selain kekuasaan yang diturunkan kepadanya dari
keagungan Allah.25

Doktrin teologi keselamatan Calvinisme dirangkum dalam bahasa


Inggris dengan akronim terkenal ”TULIP”.26 Suatu rangkuman yang
juga memakai akronim TULIP untuk prinsip-prinsip politik
Calvinisme dirumuskan sebagai berikut:27

Theonomy (Hukum Ilahi): pemahaman hukum secara teonomis,


baik secara subjektif maupun objektif. Subjektif dalam hal ”Firman
Allah memerintah melalui nurani para pemegang kekuasaan”
201
(Kuyper); objektif dalam bentuk undang-undang yang ditetapkan
dengan bertolak dari prinsip-prinsip alkitabiah.
Uncompromised Principles (Prinsip-prinsip Tak Berkompromi):
politik Injili harus berprinsip, jangan pragmatis. Hal ini terkait
dengan konsep hukum secara teonomis.
Limited Sovereignty (Kedaulatan yang Terbatas): suatu politik
Injili harus membatasi kedaulatan negara dengan
memproklamasikan kedaulatan mutlak Allah dan mengakui
kedaulatan dalam lingkup individu (kebebasan kehendak?).
Identification with Christian Heritage (Identifikasi dengan
Warisan Kristen): suatu politik Injili harus mewujudkan secara
nyata hubungan yang dapat dibuktikan dalam sejarah antara
Kekristenan Reformatoris dengan kebebasan.
Plan for Action (Rencana Kegiatan): suatu politik Injili harus
mempersiapkan suatu strategi komprehensif untuk mencapai
tujuannya di semua gugus. Kaum Injili menyadari sedang
berperang dengan semua pandangan total dunia yang menentang,
dan pertempuran harus dilakukan pada setiap bidang kehidupan. 28

202
Endnote
1
Berbeda dengan Katolik Roma, dalam doktrin jabatan gerejawi,
kependetaan di kalangan Protestan tidak bersifat character indelebilis
(melekat seumur hidup). Kependetaan terkait dengan panggilan di dalam
gereja. Ketika seseorang meninggalkan pelayanan langsung dalam gereja,
maka seharusnya kependetaannya gugur.
2
Dikutip dari suatu naskah yang dipersiapkan oleh Yayasan Oase Intim
bersama Pimpinan Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA),
Maret 2009.
3
Jim Skillen, ”Kuyper And Neocalvinist Political Questions”, dalam
http://kuyperian.blogspot.com/2004/11/kuyper-and-neocalvinist-
political.html, Irving Hexham, dan ”Christian Politics according to Abraham
Kuyper”, dalam
http://www.ucalgary.ca/~nurelweb/papers/irving/kuyperp.html.
4
Untuk perkembangan di Amerika Serikat, lih. Richard M. Daulay, Amerika
Vs Irak: Bahaya Politisasi Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
5
Indra Jaya Rajagukguk, ”Perolehan Suara Parpol Kristen dari Pemilu ke
Pemilu” dalam
http://ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/perolehan-suara-parpol-kristiani-
di-tiap-pemilu.pdf.
6
Prinsip ini sering dihubungkan dengan idealisme creative minority,
mengikuti pandangan filsafat sejarah Arnold J. Toynbee (1889-1975).
7
Martin Lukito Sinaga, ”Jalan Baru Politik Kristen di Indonesia”, dalam
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/04/03/index.html.
8
Zakaria J. Ngelow, ”Partisipasi Umat Kristen Indonesia di Bidang Politik”,
dalam http://www.oaseonline.org/artikel/ngelow-partisipasi.pdf.
9
Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 29 dst.
10
Lih. Ibid., hlm. 8-25.
11
Dari pihak teolog Kristen Indonesia, penting menyebut jasa almarhum
Dr. Th. Sumartana di bidang dialog antariman ini. Untuk perkembangan
umum dalam theologia religionum dewasa ini, lih. disertasi Keith Edward
Johnson, ”A ’Trinitarian’ Theology of Religions? An Augustinian Assessment
of Several Recent Proposals” (Duke University, 2007) dalam
http://dukespace.lib.duke.edu/dspace/bitstream/10161/190/1/D_Johnson
_Keith_a_052007.pdf; Emmanuel M. Mosoeu, ”The Uniqueness of Jesus of
Nazareth and the Future of the Human Race” (University of the Free State,
2004); Enoch Wan memberikan tabel-tabel rangkuman dan perbandingan
berbagai pandangan berbeda dalam ”Defending or Defrauding the Faith: a
203
Pradigmatic Comparison of the ’Theology of Religions’ of Hendrik Kraemer
and John Hick” (Global Mission, 2007) dalam http://www.paul-
timothy.net/pub/gm/defending_defrauding_faith_2007.pdf.
12
Lih. Liem Khiem Yang, ”Masalah Hubungan antara Gereja dan Negara
dalam Perspektif Alkitab”, dalam Robert P. Borrong et. al. (eds), Berakar di
dalam Dia & Dibangun di atas Dia: 80 tahun Prof. Dr. Latuihamallo
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 64 dst.
13
Lih. Risto Saarinen, ”Ethics in Luther’s Theology: The Three Orders”,
dalam www.ltsg.edu/ltsg-images/revartpdf/Saarinen1.pdf.
14
”The Politics of Jesus: Reviewed by Agorom Dik”, dalam
http://propheticinitiatives.blogspot.com/2009/02/politics-of-jesus-
reviewed-by-agorom.html.
15
Gerald Biesecker-Mast, ”Revolutionary Subordination as Nonviolent
Performance: Notes Toward an Exhilic Rhetoric” (May 26-28, 2004) dalam
[http://www.bluffton.edu/~mastg/Revolutionary%20Subordination%20as
%20Nonviolent%20Performance.htm]; Nathan Hobby and James Patton,
”The Politics of Jesus: Jesus Had Radical Social Ethics and So Should His
Followers: A Simplified Summary of John H. Yoder's Classic Book”, dalam
[http://www.geocities.com/savageparade/poj?200913].
16
Tan Soo Inn, ”Between Romans 13 and Revelation 13”, dalam
http://theagora.blogspot.com/2007/11/between-romans-13-and-
revelation-13.html; “The Beast (Bible)”
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Beast_(Bible).
17
”Render unto Caesar”, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Render_unto_Caesar.
18
Richard A. Horsley (ed.), Paul and Empire: Religion and Power in Roman
Imperial Society (Trinity Press International, 1997).
19
Lih. N.T. Wright, ”Paul's Gospel and Caesar's Empire”, dalam
[ttp://www.ctinquiry.org/publications/wright.htm; Jeremy Punt, ”Paul and
Postcolonial Hermeneutics: Marginality and/in Early Biblical
Interpretation”, dalam
http://www.westmont.edu/~fisk/paulandscripture/PuntPaulAndPostcoloni
al.pdf.
20
John Dart mengutip dari Richard A. Horsley, lih. John Dart, ”Jesus and
Paul Versus the Empire”, dalam http://www.religion-
online.org/showarticle.asp?title=3190.
21
Lih. Neil Elliott, ”The Anti-Imperial Message of the Cross”, dalam Horsley,
hlm. 140 dst.

204
22
”Doctrine of the Two Kingdoms”, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Doctrine_of_the_two_kingdoms.
23
Michael Dewalt, ”Calvin’s Political Theology in Other Works”, dalam
http://calvin500blog.org/2008/10/21/calvin%E2%80%99s-political-
theology-in-other-works-2.
24
Michael Dewalt, ”Calvin’s Institutes: Blueprint for Civil Government”,
dalam http://calvin500blog.org/2008/10/09/calvin%E2%80%99s-institutes-
blueprint-for-civil-government.
25
Dikutip dari Abraham Kuyper, Stone Lectures on Calvinism, hlm. 108 oleh
Jordan Huff, ”Kuyper on Calvinism and Politics”, dalam
http://sacramentalpiety.wordpress.com/2008/11/17/kuyper-on-calvinism-
and-politics/, juga David Whall, ”Calvin’s Institutes: Blueprint for Civil
Government”, dalam
http://calvin500blog.org/2008/10/09/calvin%E2%80%99s-institutes-
blueprint-for-civil-government.
26
(T)otal Depravity, (U)nconditional Election, (L)imited Atonement,
(I)rresistible Grace, (P)erseverance of the Saints.
http://en.wikipedia.org/wiki/Calvinism.
27
Abraham Kuyper, America, Francis Schaeffer, Liberty, Politics, Religion.
http://headymusings.wordpress.com/2007/12/09/the-five-points-of-
politics/
Rangkuman lain yang juga dalam lima poin ajaran Calvinis di bidang politik,
DARCL: (D)epravity as a perennial human variable to be accommodated;
(A)ccountability for leaders provided via a collegium; (R)epublicanism as
the preferred form of government; (C)onstitutionalism needed to restrain
both the rulers and the ruled; and (L)imited government, beginning with
the family, as foundational. Michael Dewalt, “Calvin’s Thought
Disseminated Through his Political Disciples”, dalam
http://calvin500blog.org/2008/10/27/calvin%E2%80%99s-thought-
disseminated-through-his-political-disciples.
28
Mengacu pada ungkapan termasyhur dari Abraham Kuyper, ”There is not
a square inch in the whole domain of human existence over which Christ,
who is sovereign over all, does not cry: ”Mine!”

205
Wacana Pluralitas dan Demokrasi
dalam Pemikiran Teologis
Kontemporer Protestanisme Indonesia
(Sebuah Telaah Kritis)
Julianus Mojau

1. Pengantar
Sebagai salah seorang mantan mahasiswa dari Emanuel Gerrit
Singgih, saya dengan senang hati menerima permintaan panitia untuk
menyumbangkan sebuah tulisan (karangan) dalam penghormatan
baginya. Seperti nyata dari judulnya, karangan ini ingin memetakan
pemikiran-pemikiran teologis kontemporer kalangan Kristen
Protestan Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan wacana
pluralitas dan demokrasi. Adapun pemetaan ini akan dilakukan
sebagai sebuah ”pemetaan-kritis” mengenai pemikiran-pemikiran
teologis kontemporer kalangan Kristen Protestan Indonesia itu.
Terkait dengan usaha ini, saya ingin memberikan tiga catatan
pengantar sebagai berikut.

Pertama, pemetaan ini akan menjadikan tahun 1998 sebagai acuan


pembuka kurun waktu. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan
bahwa tahun 1998 ”mengakhiri suatu kesadaran hidup”
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di bawah kekuasaan
hegemonik rezim Orde Baru dan sekaligus ”membuka kesadaran
baru hidup” bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam sejarah
Indonesia pasca tahun 1945. Pembatasan acuan kurun waktu ini
sudah dengan sendirinya membatasi tulisan ini yang hanya akan
memuat pemikiran-pemikiran teologis Protestan yang ditulis sejak


Karangan ini merupakan pengembangan dari makalah saya dalam
seminar ”Mengkritisi Peran Protestantisme dalam Proses Menyejarah di
Indonesia” dalam rangka hari ulang tahun Gereja Protestan di Indonesia
(GPI) ke-400 di Ambon, 25-26 Februari 2005.

Rektor Universitas Halmahera
207
tahun 1998. Tentu saja pembatasan ini tidak menafikan
kontinuitas dengan pemikiran teologis Protestan yang ditulis
sebelumnya. Kita, misalnya, tidak mungkin menyangkal bahwa
sejumlah teolog dan pemikir Kristen Protestan yang memainkan
peranan penting sebelum tahun 1998 masih memberi sumbangan
pemikiran dan bahkan boleh dikatakan masih sangat berpengaruh
dalam periode pasca keruntuhan kekuasaan hegemonik rezim Orde
Baru itu. Sekalipun demikian, kita perlu membatasi diri dan
mengandaikan bahwa karangan-karangan teologis sebelum tahun
1998 telah menjadi pengetahuan umum di kalangan kita.

Kedua, pemetaan ini hanya akan berfokus pada karangan-karangan


teologis yang berkaitan dengan pengembangan wacana pluralitas dan
demokrasi di Indonesia pasca kekuasaan hegemonik rezim Orde
Baru. Catatan ini tidak mengandaikan bahwa selama kekuasaan
hegemonik rezim Orde Baru tidak ada wacana pluralitas dan
demokrasi. Kita semua masih ingat bahwa selama periode rezim
Orde Baru ada juga wacana mengenai pluralitas dan demokrasi.
Namun, seperti kita sama-sama mengalaminya (sebagai bagian dari
proses reformasi hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara),
bahwa sejak tahun 1998 arah pengembangan wacana pluralitas dan
demokrasi lebih pada upaya melampaui semangat pluralitas
kebangsaan ”monistis” dan semangat hidup berdemokrasi khas
demokrasi Pancasila. Pertanyaan kita ialah apakah pemikiran-
pemikiran teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia juga
sungguh-sungguh mencerminkan arah baru wacana pluralitas dan
demokrasi itu? Pertanyaan ini penting. Sebab, sebagian pemikiran
teologis kalangan Kristen Protestan – khususnya model teologi sosial
yang saya kategorikan sebagai ”teologi sosial modernisme” – lebih
searah dengan semangat pluralitas politik identitas kebangsaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang monistis dan
wacana demokrasi dengan atribut Pancasila.1

Ketiga, kalangan Kristen Protestan dalam tulisan ini lebih menunjuk


kepada Gereja-gereja Kristen Protestan – yang dalam sebutan para
sejarawan kalangan Protestan disebut Gereja-gereja arus utama –
sebagaimana tergabung dalam wadah oikumenis Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia (PGI).2 Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran
208
teologis sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen PGI dan
sejumlah pemikiran teologis perorangan dibaca sebagai satu
kesatuan. Sejauh dokumen-dokumen PGI dan sejumlah karangan
teologis sosial perorangan terlihat bahwa pemikiran-pemikiran
teologis kontemporer Protestantisme Indonesia yang berkaitan
dengan wacana pluralitas dan demokrasi dapat kita kategorikan ke
dalam dua model teologi sosial Kristen Protestan, yaitu teologi sosial
politik identitas kebangsaan Indonesia NKRI sebagai lanjutan dari
teologi politik kalangan Kristen Protestan sebelum tahun 1998 dan
arah dasar teologi sosial emansipatoris kerakyatan. Kedua model
teologi sosial ini memiliki karakter pluralis dan demokratis yang
berbeda.

2. Kelanjutan Teologi Sosial Politik Identitas Kebangsaan NKRI


Sejauh dokumen-dokumen PGI mencatat, kita akan bertemu dengan
”komitmen teologis sosial” kalangan Kristen Protestan Indonesia
yang sangat menekankan ”politik identitas kebangsaan Indonesia
NKRI”. Sejak pembentukan PGI (yang pada waktu pembentukannya
diberi nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia/DGI) pada tahun
1950 komitmen teologis sosial ini tidak diragukan lagi. Maka, tidak
heran apabila pada Konferensi Gereja dan Masyarakat IV (KGM-IV)
tahun 1984 di Bali, ketika membicarakan tentang hubungan sila
ketiga Pancasila dengan rasa identitas kebangsaan Indonesia,
diusulkanlah pengembangan ”teologi kebangsaan” itu. Apa yang
dikatakan dengan teologi kebangsaan ini ialah pentingnya aspek
teologis politik identitas kebangsaan NKRI.3 Sampai sekarang,
teologi sosial ini masih cukup nyata dalam dokumen-dokumen PGI
dan karangan-karangan perorangan.

2.1 Kesadaran Teologis Pluralis Politik Identitas Kebangsaan


NKRI
Pak Gerrit mensinyalir bahwa perhatian kalangan Kristen Protestan
terhadap wacana pluralitas atau kemajemukan, khususnya mengenai
kemajemukan agama, barulah dimulai sekitar tahun 1980-an dan
secara mencolok tahun 1990-an.4 Saya kira, sekalipun tidak
menyebutkan secara tersurat, Pak Gerrit dalam hal ini ingin
menunjuk kepada kegiatan reguler Balitbang DGI/PGI, yang oleh
inisiatif Olaf Schumaan, lembaga dalam struktur DGI/PGI ini

209
mengadakan Seminar Agama- Agama (SAA) secara reguler
sejak tahun 1981.5 Hal ini tidak lantas berarti bahwa sebelumnya
kalangan Kristen Protestan tidak memiliki kesadaran pluralis sama
sekali. Dari dokumen-dokumen DGI/PGI sejak awal dan bahkan jauh
sebelum DGI/PGI didirikan kalangan Kristen Protestan sulit
menyangkal kemajemukan, seperti kemajemukan budaya, bahasa,
dan agama serta ideologi sebagai ”realisme ekososial” Gereja-gereja
Protestan Indonesia. Oleh karena itu, tidak mungkin juga pemikiran-
pemikiran teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia tidak
berinteraksi dengan realisme ekososialnya itu.6 Dokumen Pokok-
pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI hasil Sidang Raya
(SR) XI tahun 1989 di Surabaya, misalnya, mencatat kesadaran itu:

Sadar akan kehadiran gereja di tengah masyarakat Indonesia yang


majemuk, yang sama-sama bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pembangunan, maka gereja-gereja terpanggil terus-menerus untuk
mengembangkan kerja sama dengan golongan-golongan lain dalam
masyarakat, termasuk golongan-golongan agama lain. Hal ini sesuai
pula dengan dasar dan jiwa Negara Pancasila.7

Yang menarik dari kutipan di atas ialah bahwa kesadaran pluralis itu
dihayati sebagai pewujudan politik identitas kebangsaan Negara
Pancasila. Sambil merujuk pada teks Alkitab seperti 1 Korintus 9:19-
23 dan Kolose 3:1, dokumen PTPB hasil Sidang Raya XII tahun
1994 di Jayapura secara jelas menggarisbawahi kesadaran pluralis
khas politik identitas kebangsaan NKRI itu.8 Kita juga masih
membaca kesadaran teologis pluralis ini setelah berakhirnya
kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru. Kita, misalnya,
menyebutkan dokumen PGI mengenai ”Pesan Paskah Persekutuan
Gereja-gereja Di Indonesia Tahun 1999” dan dua Pesan Sidang
Majelis Pekerja Lengkap PGI (tahun 1998 dan 1999).9 Kalau kita
memeriksa DKG (Dokumen Keesaan Gereja) 2000, maka dokumen
itu juga mencatat hal serupa.10

Teologi sosial pluralis ini selalu menggarisbawahi keyakinan


teologis Paulus dalam Galatia 3:28. Sekalipun selalu disangkal,
namun sesungguhnya teologi sosial pluralis ini sebenarnya
mempromosikan semacam ”uniformisme” secara tidak disadari.11

210
Sebab, dalam praktiknya perbedaan agama, suku, dan ras, selalu
dilihat sebagai ancaman terhadap kehidupan kebersesamaan kita.
Apa yang dikatakan oleh Eka Darmaputera ketika mengulas subtema
SR XIII PGI di Palangkaraya tahun 2000 ”Bersama-sama
Memperkukuh Persatuan, Kesatuan dan Moralitas Bangsa,
Menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran, Memelihara
Keutuhan Ciptaan Berdasarkan Kasih dalam Memasuki Abad ke-21”
mencerminkan penilaian saya ini. Eka menulis:

Ketika subtema kita berbicara mengenai ”bersama-sama” dan


”persatuan dan kesatuan bangsa”, ia hendak mengingatkan kita
semua akan kecenderungan serta potensi perpecahan, disintegrasi,
segregasi (pemisah-misahan), diskriminasi (pembeda-bedaan), dan
sebagainya, yang sungguh akan memecah belah kita dengan kita.12

Saya kira pilihan sikap sosial pluralis kalangan Kristen Protestan


Indonesia ini dapat dimengerti. Sebab, bagi kalangan Kristen
Protestan Indonesia, kehidupan kenegaraan dan kebangsaan
Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 adalah bentuk
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang final. Apa pun harganya,
bagi kalangan Kristen Protestan Indonesia, identitas negara
kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah
harga mati! Maka, tidak heran apabila Konsultasi Nasional Gereja
dan Politik tahun 2003 yang berlangsung di tengah-tengah wacana
mengenai ”otonomi daerah (otda)” sebagai ”arah baru artikulasi
politik identitas negara kebangsaan Indonesia” tidak bisa lain,
kecuali meneruskan logika kesadaran pluralis politik identitas
kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945,
sebuah model kehidupan kenegaraan yang integralistik-monistis.13

Saya melihat bahwa pilihan sikap sosial pluralis kalangan Kristen


Protestan Indonesia ini dibangun di atas dua argumentasi pokok.
Pertama, para pemimpin dan pemikir kalangan Kristen Protestan
Indonesia masa kini masih tetap pada keyakinan teologis mereka
bahwa negara kebangsaan Indonesia yang diumumkan secara politis
pada tahun 1945 dilihat sebagai momentum historis dan politis yang
mengandung ”karya penyelamatan Allah” yang memberi kepada
rakyat Indonesia identitas kemanusiaan supaya memiliki harkat dan
martabat setara dengan bangsa-bangsa lain.14 Kita, misalnya,
211
menemukan keyakinan teologis seperti ini dari karangan-
karangan para teolog Kristen Protestan, seperti A.A. Yewangoe15 dan
Sutarno16 pada akhir tahun 1990-an serta John A. Titaley yang
menekankan kembali keyakinan teologis tentang pentingnya
kesadaran sosial pluralis politik identitas kebangsaan NKRI itu pada
awal abad ke-21 ini.17 Kedua, para penganjur teologi sosial pluralis
ini percaya bahwa politik identitas kebangsaan khas NKRI adalah
politik identitas non-diskriminatif. Mereka berkeyakinan bahwa
kemajemukan suku, agama, dan ras dapat dijamin. Apa yang
ditekankan oleh para teolog ini juga dengan gigih pernah
diperjuangkan oleh para teolog Protestan modernisme, seperti O.
Notohamidjojo, T.B. Simatupang, P.D. Latuihamallo, S.A.E.
Nababan, dan Eka Darmaputera sejak tahun 1970-an sampai dengan
awal tahun 1990-an.18

2.2 Kesadaran Teologis Demokratis yang Pancasilais


Kalangan Kristen Protestan Indonesia sebagaimana nyata dalam
dokumen-dokumen PGI menggarisbawahi bahwa pembangunan
sebagai proses modernisasi bangsa Indonesia tidak akan berhasil
tanpa proses demokratisasi. Oleh karena itu, demikian keyakinan
kalangan Kristen Protestan, demokrasi merupakan ”prasyarat dasar”
untuk kemajuan dan keberhasilan pembangunan sebagai proses
modernisasi. Kita, misalnya, dapat membaca hal itu dalam pesan
KGM V tahun 1989, sebagai berikut:

… oleh karena hanya dengan sistem politik yang demokratis dan


efektif dapat kita bersama-sama untuk membangun masa depan
bersama menuju tinggal landas. Banyak negara berkembang gagal
untuk mencapai tinggal landas, oleh karena mereka tidak berhasil
untuk membangun sistem politik yang demokratis dan efektif.19

Dalam konteks kekuasaan rezim Orde Baru yang semakin


hegemonik – sambil menggarisbawahi kuasa pembaruan dan
transformatif Roh Kudus dan menekankan pentingnya peranan
agama yang membebaskan – KGM VI (1993) berpesan kepada umat
Protestan Indonesia supaya ikut mendorong berkembangnya
demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi kebudayaan.
Akan tetapi, demokrasi di sini haruslah ”demokrasi Pancasila”.

212
Kalangan Kristen Protestan yakin bahwa demokrasi Pancasila
sebagaimana ditekankan oleh rezim Orde Baru dipandangnya
sebagai demokrasi alternatif yang paling prospektif. Sebab, seperti
nyata dari dokumen KGM VI tahun 1993, demokrasi Pancasila akan
mampu mengantarkan pembangunan nasional ke arah tinggal landas
tanpa harus jatuh ke dalam bahaya sikap individualistis ideologi
kapitalisme dan sikap yang menyangkal hak-hak perorangan
sebagaimana ditekankan oleh ideologi komunisme.20

Keyakinan itulah yang membuat KGM V menganjurkan agar Gereja-


gereja di lingkungan PGI harus menjadikan demokrasi Pancasila
sebagai bagian dari pelayanan gereja dengan memasukan hal itu ke
dalam program pembinaan warga gereja.21 Apa yang mau dicapai
dengan hal itu ialah membentuk masyarakat Indonesia menjadi –
yang oleh Eka Darmaputera disebut – ”masyarakat Pancasila”.
Kalangan Kristen Protestan yakin bahwa kuasa pembaruan dan
transformasi Roh Kuduslah yang memberi kekuatan kepada mereka
untuk membangun masyarakat Pancasila yang bersatu, adil,
berdaulat, dan beradab.22 Dengan keyakinan teologis seperti itulah,
ketika tiba gelombang Gerakan Reformasi yang dimulai dengan
demonstrasi-demonstrasi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1997
dan kebangkitan Islam politik yang makin terang-terangan, kalangan
Kristen Protestan tetap pada pendirian awalnya. Mereka tetap
berpendapat bahwa demokrasi Pancasilalah yang dapat mengatasi
krisis politik yang dialami oleh Indonesia menjelang Pemilu itu.23
Kita masih membaca keyakinan kokoh ini paling tidak sampai
dengan dokumen ”Pertimbangan MP PGI” yang disampaikan oleh
Majelis Pertimbangan PGI periode 1994-1999/2000 kepada SR XIII
tahun 2000 di Palangkaraya tentang wacana civil society sebagai
bagian dari wacana demokratisasi.24

Kuatnya keyakinan kalangan Kristen Protestan tentang keunggulan


demokrasi Pancasila itu tidak bisa dilepaskan dari komitmen sosial
politis untuk mengembangkan ”teologi kebangsaan” sebagaimana
disinggung di atas. Seperti telah ditekankan di atas, teologi
kebangsaan yang dianjurkan itu adalah untuk memelihara identitas
kebangsaan NKRI. Maka, gagasan demokrasi Pancasila juga tidak
lebih dari upaya untuk memperkokoh politik identitas kebangsaan

213
NKRI itu; terutama sekali terkait dengan perjuangan penegakkan
”syariat Islam” di Indonesia oleh sebagian kalangan Islam politik.
Saya kira apa yang diperjuangkan oleh John A. Titaley dalam
berbagai artikelnya sangat terkait dengan masalah ini.25 A.A.
Yewangoe dalam beberapa artikelnya juga memberi kesan kuat
bahwa tanpa harus mengembel-embeli demokrasi dengan Pancasila,
namun tetap menegaskan bahwa ”tidak perlu lagi merumuskan
kembali ideologi negara NKRI” sebagaimana dikehendaki oleh
sebagian kalangan Islam politik di Indonesia. Yang penting,
demikian tegas Yewangoe, ialah ”komitmen baru” pada nilai-nilai
Pancasila yang telah diselewengkan selama Orde Lama dan Orde
Baru.26

3. Arah Dasar Teologi Sosial Emansipatoris Kerakyatan


Saya telah memperlihatkan di atas bahwa pemikiran-pemikiran
teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia setelah tahun 1998
masih melanjutkan kesadaran teologis pluralis dan demokratis khas
ideologi politik identitas kebangsaan NKRI. Itu tidak lantas berarti
bahwa ”acuan konteks” berteologi kalangan Kristen Protestan
Indonesia berkaitan dengan pluralitas dan demokrasi di Indonesia
”hanya mengacu” pada identitas kebangsaan Indonesia yang bersifat
ideologis sebagaimana dirumuskan dalam politik identitas
kebangsaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah tahun 1998, baik dokumen-dokumen PGI maupun karangan
perorangan, memperlihatkan ”acuan baru konteks” berteologi yang
melahirkan arah baru pemikiran teologis Kristen Protestan berkaitan
dengan wacana pluralitas dan demokrasi di Indonesia.

3.1 Kesadaran Teologis Pluralis Etis-Emansipatoris


Sejak tahun 1998 kesadaran teologis kalangan Kristen Protestan
sebagaimana terartikulasi dalam dokumen-dokumen PGI tidak
banyak mengalami kemajuan dari karakter pluralis politik identitas
kebangsaan NKRI di atas.27 Sekalipun demikian, saya melihat ada
arah perkembangan baru yang diperkembangkan oleh sejumlah
teolog/pemikir Kristen Protestan yang selama ini aktif dengan SAA.
Saya ingin menyebutkan dua teolog/pemikir di sini: Th. Sumartana
dan Emanuel Gerrit Singgih. Saya menyebutkan kedua
teolog/pemikir kalangan Protestan ini tanpa bermaksud mengecilkan
214
yang lainnya. Akan tetapi, saya tidak memiliki pilihan lain kecuali
memilih kedua teolog/pemikir ini, karena sejauh pengamatan saya,
mereka cukup produktif dalam menghasilkan sejumlah artikel
dengan tema tentang pluralitas. Selain itu, harus diakui bahwa
Sumartana, salah seorang pendiri Lembaga Kajian Demokrasi dan
Hak Asasi (Demos), dalam berbagai artikelnya tentang pluralitas
mencoba menerobos wacana pluralitas logika politik identitas
kebangsaan NKRI dan ”memberi arah baru” tentang wacana
pluralisme di Indonesia. Sementara itu, Pak Gerrit mengusung arah
baru wacana pluralitas itu dengan ”gagasan-gagasan teologis” yang
memiliki daya penyadaran yang prospektif.

Sumartana dalam artikelnya Theologia Religionum (1999)


menggarisbawahi bahwa pluralisme pada masa lampau yang
menekankan kerukunan dan ko-eksistensi serta keserasian hidup dari
berbagai kelompok (agama) di masyarakat mulai ditinggalkan.
Sebab, menurut Sumartana, pluralisme seperti ini memiliki corak
kepelbagaian yang bersifat pasif. Dalam masyarakat di mana makin
meningkatnya kesadaran emansipatoris diperlukan pluralisme yang
bisa memberi ruang kepada setiap kelompok masyarakat untuk eksis
dan berkembang sesuai dengan identitasnya. Sumartana menulis,

Pluralisme masa lampau menuntut suatu respons kerukunan, ko-


eksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama
(dan etnis?-pen.) di masyarakat. Corak kepelbagaian itu bersifat
pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya; akan
tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak
mempedulikannya, maka kita akan digilasnya. Pluralisme di masa
sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami
emansipasi sedemikian rupa sehingga setiap bagian itu sudah
melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara.
Tidak ada orang bisa bilang bahwa suatu pihak tak punya hak
untuk tampil … biasa dikatakan bahwa pluralisme jenis sekarang
ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap
kelompok yang ada di masyarakat. 28

Tanpa menyebutkan secara terang-terangan, di sini Sumartana


mengagumi struktur dasar kesadaran pascamodern dan
pascakolonial. Kritik Sumartana terhadap politik SARA pemerintah

215
kolonial dan rezim hegemonik Orde Baru dalam dua artikel
tentang pluralitas tahun 2001 mencerminkan pandangannya tentang
pentingnya arah baru wacana pluralitas di Indonesia.29 Menurut
Sumartana, untuk arah wacana pluralitas seperti ini diperlukan
pemikiran-pemikiran teologis yang melampaui pemikiran-pemikiran
teologis Karl Barth dan H. Kraemer, yang dinilainya sebagai sumber
dari sikap eksklusivisme.30 Di sini, Sumartana menawarkan perlunya
dialog dan kerja sama antaragama yang ditopang oleh pemikiran-
pemikiran teologis yang mampu memproteksi martabat manusia.
Dalam hal ini, Sumartana sangat menganjurkan perlunya memikirkan
kembali secara menyeluruh pemikiran teologis. Apa yang
diperjuangkan oleh Sumartana ialah perlunya kesadaran teologis
pluralis etis-emansipatoris. Sayang sekali apa yang pernah
dirintisnya dalam sebuah artikel teologis Kristen tahun 1997 dengan
tema ”Kristologi Liberatif” tidak dikembangkannya lebih lanjut.31
Pak Gerrit juga searah dengan Sumartana dalam hal wacana tentang
pluralitas di Indonesia. Memang Pak Gerrit tidak secara eksplisit
menggarisbawahi pentingnya kesadaran teologis pluralis etis-
emansipatoris. Namun, jika kita memperhatikan apa yang
diartikulasikan oleh Pak Gerrit sejak tahun 1998, maka kita akan
melihat di situ bahwa Pak Gerrit sebenarnya sependapat dengan
Sumartana, bahwa wacana pluralitas haruslah bertolak dari kesadaran
etis-emansipatoris berbagai kelompok dan golongan di masyarakat.
Selain itu, saya juga melihat bahwa kedua teolog/pemikir Kristen
Protestan ini selalu menempatkan wacana pluralitas sebagai bagian
dari upaya meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia.
Keduanya melihat bahwa wacana kemajemukaan agama adalah jalan
keluar yang paling arif untuk meretas kebuntuan hubungan Islam-
Kristen di Indonesia.32 Juga, Pak Gerrit – seperti halnya Sumartana
pada awal tahun 1992 – sangat menekankan kesadaran kebangsaan-
kerakyatan yang dibedakan dari kesadaran kebangsaan-elitis. Itulah
sebabnya Pak Gerrit juga sangat kritis terhadap wacana kesadaran
oikumenis di kalangan Gereja-gereja Protestan di Indonesia dan
wacana kesadaraan kebangsaan yang mengabaikan etnisitas sebagai
realisme pluralitas di Indonesia.33 Dalam kaitan dengan wacana
pluralitas itu, Pak Gerrit sangat menggarisbawahi tema teologis
”Penciptaan” dan ”Pneumatologi” sebagai sumber inspirasi

216
mengembangkan sikap sosial pluralis, tanpa harus mengabaikan
sama sekali ”Kristologi”.34

3.2 Kesadaran Teologis Demokratis ”Kerakyatan”


KGM VII PGI tahun 1998 dapat dikatakan sebagai Konferensi
Gereja dan Masyarakat yang mencerminkan pemikiran-pemikiran
teologis progresif di kalangan Kristen Protestan berkaitan dengan
wacana demokrasi di Indonesia. Seperti lazimnya, konferensi ini
dilaksanakan untuk persiapan SR XIII di Palangkaraya tahun 2000.
KGM ini menggarisbawahi pentingnya proses demokratisasi di
Indonesia sebagai bentuk penegakan HAM. Juga, konferensi ini
membicarakan tentang hubungan proses demokratisasi di Indonesia
dengan wacana masyarakat sipil (civil society). 35 A.A. Yewangoe,
salah seorang Ketua MPH-PGI periode 2000-2005 (dan menjabat
Ketua Umum PGI 2004-2009 dan 2009-2014), dalam sebuah artikel
menyambut SR XIV PGI tahun 2004 merumuskan hubungan proses
demokratisasi dengan wacana civil society sebagai cita-cita jangka
panjang gerakan reformasi di Indonesia dan meminta Gereja-gereja
di Indonesia agar memberi perhatiannya:

Sebagaimana kita mahfum, cita-cita jangka panjang gerakan


reformasi di Indonesia adalah, agar terwujud-nyata civil society
(masyarakat berkeadaban) di negeri ini. Ialah sebuah masyarakat
yang kuat, yang makin dewasa dalam bertindak dan berperilaku,
tidak emosional dan menggebu-gebu kosong.
Sebagai demikian, proses demokratisasi menjadi sangat penting.
Demokrasi yang kuat akan menciptakan keseimbangan antara
masyarakat dan negara, di mana interaksi kasih (love), kuasa
(power) dan keadilan (justice) akan terjadi. Gereja-gereja di
Indonesia diserukan ikut mendorong terciptanya masyarakat
tersebut bersama-sama dengan berbagai elemen bangsa lainnya.36

Apa yang diingatkan oleh Yewangoe di atas telah menjadi pilihan


sikap teologis sosial Gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak SR
XIII di Palangkaraya tahun 2000. Dalam DKG 2000, khusus tentang
agenda kedua dalam rangka mewujudkan visi PGI 2005, kita
membaca tentang hubungan proses demokratisasi dengan civil
society, sebagai berikut:

217
… gereja menjadi partisipan yang signifikan memperkuat civil
society di Indonesia sebagai prasyarat terciptanya demokrasi di
segala bidang, dan demokrasi sebagai jaminan teratasinya
kekerasan serta pencegahan terjadinya kekerasan yang tidak
perlu.37

Jauh sebelum dan sesudah SR XIII kita juga dapat menyumpai


sejumlah artikel yang dihasilkan teolog/pemikir kalangan Kristen
Protestan yang mencoba menghubungkan wacana demokrasi dengan
civil society itu. Di sini saya ingin menyebut nama-nama seperti
Emanuel Gerrit Singgih, Zakaria J. Ngelow, dan Martin Lukito
Sinaga. Ketiga teolog/pemikir ini, demikian dalam pengamatan saya,
yang mencoba mengartikulasi wacana demokrasi dan civil society
secara teologis.

Menurut Pak Gerrit, untuk mendorong wacana demokrasi


berkembang dengan baik, perlu sekali advokasi bagi pemberdayaan
rakyat kecil dan miskin agar mereka dapat menjadi subjek dalam
hidup ini.38 Sayang sekali, demikian penilaian Pak Gerrit, selama ini
(baca: selama rezim Orde Baru), Gereja-gereja justru mengabaikan
hal itu. Komunikasi dengan rakyat pun tidak dilakukan, apalagi
mengakui kedaulatan rakyat. Gereja-gereja Kristen Protestan selama
ini lebih suka melakukan komunikasi atau kontak dengan mereka
yang kuat dan berkuasa.39 Kita harus, demikian tegas Pak Gerrit,
menghentikan cara berpikir ini. Sebab, sejarah bangsa Indonesia
telah membuktikan bahwa asumsi kita ini keliru. Sebab, kehidupan
sosial politik yang demokratis hanya dapat dibangun di atas
penghargaan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri. Maka, masalah
kedaulatan rakyat dan demokrasi adalah masalah keseimbangan
kekuasaan antara negara dan rakyat. Dalam rangka menjaga
keseimbangan itu, Gereja dan persekutuan Kristen selalu harus
memilih berada di pihak yang lemah dan miskin, dan bukan
berkolaborasi dengan mereka yang kaya dan berkuasa untuk
menindas yang miskin dan lemah, apa pun dalihnya, termasuk alasan
negara Islam. Dalam keyakinan seperti ini pulalah Pak Gerrit tidak
segan-segan mengusulkan agar Gereja-gereja dan persekutuan
Kristen — tentu saja dalam rangka pemberdayaan kedaulatan rakyat
— menjadikan diri ”solider” dengan mereka yang miskin dan lemah
218
di dalam masyarakat. Solidaritas Gereja dan persekutuan Kristen
dengan mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat adalah
juga salah satu bentuk pengambilan jarak (distansi) oleh Gereja
berhadapan dengan pemerintah. Pak Gerrit menulis hal ini:

Di dalam suatu situasi di mana pemerintah menjadi demikian


mutlak, seragam dan hegemonik, gereja dan persekutuan terpanggil
untuk menjaga jarak (distansi), sehingga kehidupan iman tidak
tercemar. Kuasa di dalam masyarakat mempunyai daya tarik yang
mempesonakan. Satu-satunya cara untuk melawan pesona itu
adalah dengan sungguh-sungguh menyatakan solidaritas pada
mereka yang lemah, yang ditempatkan di luar struktur. Atau
dengan kata lain, daripada bergabung dengan struktur dominan,
dari segi kejernihan iman, lebih baik bergabung dengan struktur
yang non-dominan. Kalau pada masa depan tidak ada struktur yang
mutlak, seragam dan hegemonik, itu malah bagus. Kita lalu bisa
hidup dalam keseimbangan kekuasaan. 40

Searah dengan apa yang dikemukakan oleh Pak Gerrit di atas,


Zakaria J. Ngelow – sambil mengacu pada pola hidup jemaat Kristen
Mula-mula baik sebagaimana kita baca dalam Kisah Para Rasul
(misalnya Kis. 2:47; 4:18-20; 6:1-6) maupun dalam Surat Paulus
kepada Jemaat di Roma (Rm. 12:4-8; 1Kor. 12) serta mengikuti
analisis Konrad Raiser – mencatat bahwa sekalipun ciri-ciri
komunitas Kristen Mula-mula itu bukanlah civil society, tetapi
mengandung unsur-unsur penting bagi pengembangan civil society,
khususnya sikap kemandirian dan jarak kritis-profetis terhadap
kekuasaan.41 Akan tetapi, demikian tegas Ngelow, peranan ini hanya
mungkin apabila Gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan Kristen
(dalam bentuk ormas-ormas Kristen) memiliki tiga upaya dasar di
dalam kehidupannya, yaitu: (a) menghidupkan kemandirian
spiritualitas dan sikap kritis-profetis Gereja Mula-mula terhadap
kekuasaan dalam persekutuan dan organisasi-organisasi Kristen; (b)
kemandirian organisasi-organisasi Kristen dengan para pemimpin
yang berwawasan sehingga tidak gampang terkooptasi oleh
kekuasaan; dan (c) pengembangan intelektual Kristen dalam kualitas
kader maupun dalam jelajah pemikiran sehingga mampu
mengartikulasi berbagai perubahan di dalam masyarakat.42

219
Masih searah dengan Pak Gerrit dan Ngelow tadi, Martin Lukito
Sinaga pun mencoba mengartikulasikan wacana civil society sebagai
sebuah gerakan advokasi rakyat kecil yang termarginalisasi oleh
hegemoni kekuasaan negara. Maka, sambil mendukung gagasan
eklesiologi Bonhoeffer tentang ”Gereja bagi orang lain” dan Gereja
diandaikan sebagai suatu persekutuan ”terselubung” di dalam tata
kehidupan masyarakat yang pada suatu saat ia harus keluar
menampakkan tanggung jawabnya dan menegakkan kebenaran dan
keadilan serta membela kaum lemah, Sinaga menggarisbawahi agar
Gereja harus berani melawan kekerasan sosial dan pemujaan
kekuasaan, apa pun risikonya. Dalam pengertian Gereja seperti
inilah, demikian lanjut Sinaga, kita boleh berbicara mengenai ”misi”
umat Kristen di Indonesia, yaitu pengembangan masyarakat sipil
(kosakata lain dari pengembangan ”kewarganegaraan yang
bertanggung jawab” Leimena) untuk menjadikan orang-orang
Kristen sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan kreatif di
dalam masyarakat.43 Tampaknya, Sinaga cukup menyadari bahwa
gagasan eklesiologis Bonhoeffer tentang ”Gereja bagi orang lain”
tidaklah cukup menjadi dasar untuk berbicara tentang respons
Kristen terhadap wacana masyarakat sipil. Sebab, wacana
masyarakat sipil juga mengandaikan adanya otonomi subjek yang
lain itu. Apalagi wacana masyarakat sipil itu ”tidak lahir dari dalam
kandungan Gereja sendiri”, tetapi justru ”dari dalam kandungan
proses kehidupan masyarakat umumnya yang mengambil bentuk
dalam gerakan-gerakan sosial baru”. Maka, demikian Sinaga
mencatatnya, Gereja harus menemukan kembali masyarakatnya dan
ia harus tumbuh sebagai bagian organik dari masyarakat itu sendiri.
Akan tetapi, Gereja hanya akan menemukan masyarakatnya apabila
Gereja mencari inspirasi dengan apa yang berkembang sekarang
sebagai ”Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)” yang di
dalamnya civil society menjadi mekanisme utamanya.44

Apa yang mau ditegaskan oleh Pak Gerrit, Ngelow, dan Sinaga ialah
bahwa Gereja harus mengalami realitas sosial di mana masyarakat
menjadi subjek dan bersama-sama merumuskan arah-arah
transformasi sosial. Di sini ketiga teolog/pemikir ini berusaha untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis sebagai – apa yang
disebut oleh Hotman M. Siahaan – ”refleksi reproduksi kekuatan
220
rakyat” dan ”bukan refleksi reproduksi kekuasaan negara”.45
Singkatnya, mereka ingin menggarisbawahi bahwa Gereja perlu
menjadi kekuatan sosial transformatif dalam solidaritasnya dengan
masyarakat yang selalu dimarginalisasi oleh kekuasaan hegemonik
untuk mengembangkan suatu kultur penentang, budaya alternatif
yang dijiwai oleh semangat hidup bersama yang komunikatif,
dialogis, dan demokratis. Pertanyaannya adalah apakah wacana civil
society sebagai arah baru hidup berdemokrasi di Indonesia sungguh-
sungguh menggantikan wacana demokrasi Pancasila? Kalau kita
membaca dokumen PGI sebagaimana dirumuskan dalam DKG 2000
hasil SR XIII di Palangkaraya dan juga DKG hasil Sidang Raya XIV
di Bogor, tampaknya tidak ada perubahan substantif. Wacana civil
society dalam dokumen itu masih dipengaruhi oleh mentalitas politik
identitas kebangsaan NKRI yang integralistik itu.46

4. Penutup: Beberapa Catatan Evaluatif


Saya ingin mengakhiri pemetaan-kritis ini dengan beberapa catatan
evaluatif sebagai berikut. Pertama, pemetaan di atas memperlihatkan
bahwa sejak tahun 1998 dokumen-dokumen PGI dan karangan-
karangan perorangan di kalangan Kristen Protestan Indonesia
mengambil acuan konteks berteologi yang berbeda. Perbedaan acuan
konteks berteologi itu menghasilkan karakter pluralis dan demokratis
yang berbeda pula. Kita melihat bahwa teologi sosial pluralis non-
diskriminatif yang dikembangkan oleh Gereja-gereja di Indonesia
dan sejumlah teolog yang mengacu kepada konteks ideologi negara
mengandung di dalam dirinya ”penolakan” terhadap keberadaan
”yang lain” (the other) dengan jalan meleburkan ”keberlainan” (the
otherness) menjadi ketunggalan monistis. Contoh yang paling
konkret dari teologi sosial non-diskriminatif monistis ini adalah
teologi sosial Eka Darmaputera sebagaimana nyata dari promosinya
mengenai ”ke-bhineka tunggal ika-an” pada tahun 1980-an dan awal
tahun 1990-an. Apa yang dipromosikan oleh Eka mengenai
”masyarakat Pancasila” dalam semangat NKRI itu tidak lebih dari
politik identitas nasional yang hegemonik itu.47 Maka, dalam konteks
kemajemukan suku-bangsa Indonesia dan makin kuatnya tuntutan
perlunya ”reposisi” politik identitas kebangsaan Indonesia dengan
adanya kesadaraan politik identitas kewargaan multikultural,
pengembangan teologi sosial pluralis non-diskriminatif yang

221
melampaui (beyond) teologi sosial pluralis non-diskriminatif
berdasarkan politik identitas kebangsaan NKRI adalah sebuah
keharusan. Pengembangan teologi sosial pluralis non-diskriminatif
yang berkarakter multikultural dan yang melampaui logika politik
identitas kebangsaan NKRI yang berwatak integralistik dapat
menjadi sumbangan kalangan Kristen Protestan Indonesia
kontemporer kepada wacana pluralitas dalam konteks Indonesia
masa kini.48 Kita juga perlu bertanya di sini apakah wacana
demokrasi dapat berkembang dengan baik dalam semangat politik
identitas kebangsaan NKRI ala Batang Tubuh UUD 1945?

Kedua, saya melihat bahwa wacana pluralitas yang menekankan


pendekatan etis-emansipatoris sebagaimana ditekankan oleh
Sumartana dan Pak Gerrit adalah wacana pluralitas yang dapat
mendorong arah baru untuk hidup di Indonesia melampaui kesadaran
teologis pluralis politik identitas kebangsaan NKRI yang memiliki
logika selalu meniadakan ”orang lain” (the other). Jika wacana
pluralitas ini dikembangkan, respons terhadap berbagai tuntutan-
emansipatoris kedaerahan seperti kasus Aceh dan Papua tidak perlu
membawa pertumpahan darah di mana harkat dan martabat manusia
direndahkan. Saya berpendapat bahwa di sini kalangan Kristen
Protestan perlu sekali merenungkan gagasan teologis emansipatoris
sebagaimana ditekankan oleh Calvin tentang ”kedaulatan Allah”
sebagai ”kritik” terhadap kedaulatan negara yang merendahkan
harkat dan martabat manusia. Saya kira kalangan Protestan Indonesia
belum cukup menekankan kedaulatan Allah sebagai kritik terhadap
kedaulatan NKRI. Memang, ketika Pak Gerrit berbicara tentang
sumbangan kalangan Kristen terhadap wacana dan penegakkan civil
society sebagai pengimbang kekuasaan negara, beliau pernah
mencoba mengartikulasikan tema teologis kedaulatan Allah dalam
tradisi Calvinis itu. Namun, sejauh saya memahaminya, itu
dilakukannya bukan sebagai ”kritik” terhadap politik identitas
kebangsaan Indonesia NKRI yang hegemonik itu.49 Apakah ini
disebabkan kedaulatan Allah di kalangan Kristen Protestan Indonesia
selama ini lebih ditekankan sejajar dengan kedaulatan NKRI
berdasarkan perspektif historiografi Indonesia yang lebih
mencerminkan kesadaran historis mentalitas kolonial Kerajaan
Mataram? Kalau begitu, dapatkah sejarah Indonesia ditulis kembali?
222
Apakah sumbangan kalangan Kristen Protestan? Mudah-mudahan
materi-materi mengenai penentuan arah masa depan Protestantisme
Indonesia akan menolong kita melihat perspektif lain mengenai
sejarah Indonesia, yaitu sejarah yang lebih menghargai pluralitas
aspirasi politik identitas etnisitas dan kedaerahan tanpa harus jatuh
ke dalam bahaya etnosentrisme dan regionalisme yang mengancam
harkat dan martabat manusia.

Ketiga, kelihatannya apa yang digagas oleh Pak Gerrit, Ngelow, dan
Sinaga serta sejumlah teolog Protestan lainnya tentang wacana civil
society sebagai penguatan proses demokratisasi di Indonesia adalah
sebuah langkah yang menjanjikan. Pertanyaan ialah apakah mereka
cukup menyadari bahwa menggagas wacana civil society sebagai
penguatan proses demokratisasi di mana kedaulatan rakyat dalam
masyarakat majemuk bisa berjalan baik ”tanpa mendekonstruksi
mentalitas politik identitas kebangsaan NKRI yang integralistik” itu?
Pertanyaan ini perlu direnungkan lebih jauh oleh kalangan Kristen
Protestan Indonesia yang memiliki warisan tradisi teologis cukup
kritis terhadap segala bentuk deifikasi, termasuk kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan itu sendiri! Saya kira apa yang
digarisbawahi oleh Pak Gerrit ketika membahas lima sikap Kristen
terhadap kebudayaan ala Richard Niebuhr, Pak Gerrit dalam
kerangka penghargaan terhadap HAM, mengingatkan kita agar
memberi tempat kepada aspirasi-aspirasi daerah di Indonesia Timur
(dan daerah lain?—pen.).50 Apakah di sini Pak Gerrit juga ingin
mempertimbangkan historiografi Indonesia yang lebih menghargai
daerah-daerah itu untuk tampil dengan segala dinamika
kesejarahannya dan identitas kebangsaannya yang selama ini tidak
berjalan karena adanya politik identitas kebangsaan NKRI yang
hegemonik oleh pihak pemerintah pusat? Saya berpendapat bahwa
kalangan Kristen Protestan Indonesia yang memiliki ”tradisi
teologis-kritis dan emansipatoris” yang menjunjung tinggi semangat
demokratis sebagaimana nyata dalam ajaran Protestan tentang
”Imamat Am Orang Percaya” perlu dikembangkan lebih lanjut. Saya
kira ajaran ini dapat menyumbangkan aspek penting pada wacana
demokrasi di Indonesia. Sayang sekali ajaran ini belum begitu
dikembangkan sebagai dasar teologi sosial transformatif yang

223
mampu mendorong proses emansipasi rakyat dalam
keseluruhan proses demokratisasi menuju civil society yang kuat!

Endnote
1
Bnd. Julianus Mojau, ”Teologi Sosial Kristen Protestan Selama Orde Baru
(Sekitar Tahun 1970-1990-an) - Telaah Kritis dalam Hubungannya dengan
Islam Indonesia” (Yogyakarta: SEAGST/UKDW, Disertasi, 2004), h. 30-159.
Juga Julianus Mojau, ”Model-model Teologi Sosial Kristen Protestan sekitar
1970-1990-an: Sebuah Sketsa Umum yang Bersifat Kritis”, dalam Jurnal
Teologi Proklamasi, Edisi No. 3/Th.2/Februari 2003, h. 9-17.
2
Tentu saja kategori ini tidak lagi memadai karena sekarang ini
keanggotaan PGI sudah lintas denominasi, termasuk kalangan Protestan
yang dulu disebut bukan arus utama (seperti Pentakosta).
3
Lih. ”Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad
XX: Panggilan Kita dalam Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila”.
Laporan Nasional Gereja dan Masyarakat IV, Bali 24-25 Agustus 1984
(Jakarta: DGI, 1984), h. 75-80.
4
Lih. E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h.154.
5
Sejarah singkat lembaga ini dan kegiatan SAA dapat dilihat dalam Jan S.
Aritonang dkk., Gereja di Abad 21 - Konsiliasi untuk Keadilan, Perdamaian
dan Keutuhan Ciptaan. Buku Peringatan 50 tahun PGI (Jakarta: Balitbang
PGI, 2000), h. 185-197.
6
Studi Alle Hoekema cukup memperlihatkan hal itu. Lih. Alle Hoekema,
Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi
Protestan Nasional di Indonesia (sekitar 1860-1960) (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997).
7
Memasuki Masa Depan Bersama - Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja
di Indonesia: Keputusan Sidang Raya X DGI, 21-31 Oktober 1984, Karang
Panjang, Ambon, Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia – bekerja sama
dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 1986), h. 33-34. Tulis
miring dari penulis.
224
8
Lih. Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (LDKG – PGI) : Keputusan Sidang Raya XII PGI, Jayapura, 21-30
Oktober 1994 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 41.
9
Lih. Weinata Sairin (ed.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan:
Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h.
400-407 dan Weinata Sairin (ed.), Pesan-pesan Kenabian di Pusaran
Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial
Kemasyarakatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. 318-326.
10
Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000 (Jakarta: PGI, 2001), h. 63
(butir 2).
11
Julianus Mojau, “Teologi Politik Diskriminatif”, h. 6.
12
Eka Darmaputera, ”Bersama-sama Memperkukuh Persatuan, Kesatuan
dan Moralitas Bangsa, Menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran,
Memelihara Keutuhan Ciptaan Berdasarkan Kasih dalam Memasuki Abad
ke-21”, dalam Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup. Bahan Pemahaman
Alkitab dan Pekan Doa Menyongsong SR XIII PGI, Maret 2000 Palangkaraya
- Kalimantan Tengah (Jakarta: PGI, tt), h.21.
13
Lih. Pesan Konsultasi Nasional Gereja dan Politik – PGI, Akademi
Leimena, dan PARKINDO, Pondok Remaja PGI Cipayung, 18-22 Agustus
2003. Dimuat dalam Dari Palangkaraya ke Jakarta: Perjalanan Pelayanan
PGI 2000-2004 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 252-253.
14
Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 27 (butir 3).
15
Lih. artikel-artikelnya yang dihimpun dalam antologinya berjudul: Iman,
Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002).
16
Lih. artikel-artikelnya dalam antologinya berjudul Di dalam Dunia, Tetapi
Bukan dari Dunia: Pemikiran Teologis tentang Pergumulan Gereja dalam
Masyarakat Indonesia yang Majemuk (Jakarta/Salatiga: BPK Gunung
Mulia/Satya Wacana University Press, 2004). Sayang sekali antologi ini
tidak memberi keterangan sumber asli karangan-karangan yang
dimuatnya. Akan tetapi, saya yakin bahwa sebagian besar karangan ini
ditulis sekitar tahun 1990-an.
17
Lih. John A. Titaley, ”Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Teologi di Universitas Kristen Satya
Wacana (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2001).
18
Lih. Mojau, Teologi Sosial Kristen Protestan Indonesia selama Orde Baru,
h. 30-159.

225
19
Alex Litaay dkk. (eds.), Visi Baru untuk Era Baru dengan Generasi Baru.
Laporan Nasional Gereja dan Masyarakat V, Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia, 18-22 April 1989, di Wisma Kinasih,
Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1989), h. 19-20. Tulis miring
penekanan dari penulis.
20
Bnd. F. Ukur dkk. (eds.), Membangun Masyarakat Pancasila yang
Bersatu, Adil, Berdaulat, dan Beradab. Laporan Konperensi Gereja dan
Masyarakat VI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di
Pusat Konferensi Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi
Leimena, 1994), h. 67-79; 175-178.
21
Litaay dkk. (eds.), Visi Baru untuk Era Baru dengan Generasi Baru, h.52.
22
Lih. Ukur dkk. (eds.), Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu,
Adil, Berdaulat, dan Beradab, h. 176.
23
Lih. dokumen ”Panggilan dan Tanggung Jawab Memasuki Masa Depan
Bersama - Refleksi Umat Kristen Indonesia dalam Rangka Merayakan
Paskah dan Menyongsong Pemilihan Umum 1997”. Dimuat dalam Sairin
(peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan, h. 400-419.
24
Sebagaimana dikutip dalam Aritonang dkk., Gereja Di Abad 21, h. 311-
312. Sekalipun dengan formulasi yang lebih dipengaruhi oleh wacana civil
society, keyakinan kokoh ini masih kita baca dalam Dokumen Keesaan
Gereja (DKG) 2000 hasil SR XIII di Palangkaraya. Lih. Dokumen Keesaan
Gereja (DKG) 2000, h. 48-64.
25
Lih. artikelnya ”Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia”, dalam
Setia, No.1/Tahun 1999, h.3-26 dan ”Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam
di Indonesia dan Konsekuensinya bagi Kelanjutan Kehidupan Berbangsa”,
dalam John Titaley dkk. (eds.), Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam:
Urgensi dan Konsekuensinya (Jakarta: Komunitas NISITA, 2003), h. 49-58.
26
Lih. artikelnya “PGI di Tengah-Tengah Arus Reformasi dan Perumusan
Kembali Ideologi Negara”, makalah yang disampaikan pada Konsultasi
PERSETIA ”PGI Memasuki Abad XXI”, 25 Oktober 1999 di Yogyakarta.
Dimuat dalam Setia, No.1/Tahun 2000, h. 1-13 dan ”Demokrasi Indonesia”.
Makalah pada Seminar Indonesian Calvin Society, Jakarta, 4-11 Juli 2000,
15 h. Dengan cara memahami secara berbeda, kalangan Kristen Indonesia,
baik Protestan arus utama dan bukan arus utama maupun Katolik tetap
berpendirian bahwa ”Syariat Islam” tidak dapat menggantikan Pancasila.
Lih. karangan-karangan, seperti Zakaria J. Ngelow, Suharyo, Yakub B.
Susabda, Nico Gara, dan Yosua K. Bili yang dalam Gagasan Pemberlakuan
Syariat Islam: Urgensi dan Konsekuensinya, h. 171-212. Mereka umumnya,
226
dengan asumsi dasar NKRI adalah bentuk negara kebangsaan yang final,
berpendapat bahwa Pancasila memiliki nilai-nilai universal non-
diskriminatif.
27
Bnd. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 63.
28
Dimuat dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama
di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 19.
29
Lih. artikelnya ”Pluralisme Agama di tengah Krisis Orde Baru”, dalam Th.
Sumartana dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia
(Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2001), h. 89-97) dan ”Dari Konfrontai
ke Dialog (Beberapa Aspek Landasan Historis-Theologis Hubungan Antar-
Etnis dan Agama di Indonesia)”, dalam ibid., h. 99-105.
30
Lih. artikelnya yang dimuat dalam catatan kaki nomor 29 di atas, h. 28-
30.
31
Lih. Th. Sumartana, ”Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong
Dialog Kristen-Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Penuntun, Vol. 4, No. 13,
1997/1998, h. 31-44.
32
Lih. artikelnya ”Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang
Bersifat Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi
Agama-Agama di Indonesia, h. 100-121 dan juga bukunya Iman dan Politik
dalam Era Reformasi di Indonesia, h. 153-177.
33
Lih. artikelnya ”Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di
Indonesia pada Awal Abad ke-21”, dalam Emanuel Gerrit Singgih,
Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium
III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h.124-157.
34
Mengantisipasi Masa Depan, h. 305-313; bnd. Iman dan Politik., h. 174-
177.
35
Lih. J. Garang (ed.), Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup. Laporan
Konferensi Gereja dan Masyarakat VII PGI, 29 September s/d 4 Oktober
1998, di Pusat Konferensi Kilang Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor
(Jakarta: Akademi Leimena, 1999).
36
A.A. Yewangoe, “Gereja-gereja Menyongsong SR XIV PGI”, dalam Harian
Suara Pembaruan, 26 November 2004.
37
Dokumen Keesaan Gereja 2000, h. 92.
38
Singgih, Iman dan Politik, h. 54-55.
39
Ibid., h. 51.
40
Ibid., h. 36. Cetak miring adalah penekanan dari penulis.
41
Zakaria J. Ngelow, ”Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia”, dalam
Setia, No.1/Tahun 1999, h. 35-36. Untuk alasan inilah Ngelow menolak

227
politik Kristen model Yusuf-Daniel dan lebih memilih politik model Musa-
Elia. Lih. artikelnya yang disampaikan pada Konsultasi Gereja dan Politik
yang diselenggarakan oleh PGI, Agustus 2003. Dimuat dalam Gomar
Gultom (ed.), Menggapai Gereja Inklusif. Bunga Rampai Penghargaan atas
Pengabdian Pdt. Dr. JR. Hutauruk (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), h.
173-190.
42
”Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia”, dalam Setia: Jurnal
Teologi Persetia, No.1/Tahun 1999, h. 37-39.
43
Martin Lukito Sinaga, ”Membangun Suatu Masyarakat Sipil Indonesia:
Belajar dari Abdurrahman Wahid dan Dietrich Bonhoeffer", dalam
Penuntun, Vol. 4, No. 13, 1997/1998, h. 67-72 (69-71).
44
Martin L. Sinaga, ”Civil Society dan Masyarakat Madani: Tantangan bagi
Teologi Sosial Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Penuntun, Vol. 5, No. 17,
2000, h. 64.
45
Lih. Hotman M. Siahaan, ”Institusi Gereja dan Pemberdayaan
Masyarakat Warga”, dalam Sairin (peny.), Visi Gereja Memasuki Milenium
Baru, h. 33-37.
46
Lih. Dokumen Keesaan Gereja 2000, h. h. 47 (butir 8.2) dan h. 51 (butir
5).
47
Mojau, Teologi Sosial Kristen Protestan., h. 121-122.
48
Bnd. Julianus Mojau, ”Politik Allah, Politik Pemberdayaan - Menggagas
Beberapa Agenda Teologi Politik Kontekstual dalam Konteks Pembangunan
Daerah Maluku Utara”. Orasi pada Acara Dies Natalis STT GMIH Tobelo ke-
37, tanggal 28 Januari 2005, di Kampus STT GMIH Tobelo - Desa Wari
Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara; h. 6-7; 11-13.
49
Lih. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, h. 167-174.
50
Bnd. Singgih, Iman dan Politik, h. 71-72.

228
Bagian V

TEOLOGI ESTETIKA

Volker Kuester
Mgr. L. Suharyo
Paulus S. Widjaja
“Only Literature Can Perform The
Miracle of Reconciliation“
Aesthetic Agency in Post Conflict
Situations in Korea and Germany
Prof. Dr. Volker Küster

During the interviews for the nomination of the members of the


South African Truth and Reconciliation Commission the colored
writer Adam Small (*1936) 1 , one of the candidates himself,
postulated: „Only literature can perform the miracle of
reconciliation“ 2 . He thereby reconstitutes the dialectic between
ethics and esthetics. I tend to rid Small’s controversial statement of
its exclusivism and at the same time extend it to the artistic
production at large. The modified thesis then reads as follows: ,Art
can anticipate the miracle of reconciliation and serve as a catalyst in
societal transformation processes‘. In a similar direction points the
living sculpture that the artist duo Elmgreen & Dragset directed for
the exhibition „Made in Germany“ in the Sprengel Museum
Hannover. Close to the entrance in one of the exhibition halls a
young actor dressed in every day clothes stands on a platform
silently handing out little cards to the visitors on which one could
read: Have you come here for forgiveness. Whoever accepted the
card was first of all confronted with him or herself. It evoked the
question about possible personal guilt. At the same time this declares
the exhibition space and with it the arts a chapel resp. cathedral of
reconciliation.3

The hypothesis formulated above shall be tested in what follows by a


close reading of the works of two writers from Germany and South
Korea, Uwe Timm and Hwang Sok-Yong. Both are interested in
themes like guilt and reconciliation in the societal transformation

Profesor Teologi Antarbudaya (Intercultural Theology) di Kampen


Theological University dan Mainz University
229
processes of their countries. The esthetic question is interwoven with
a theological one: in how far can secular art be interpreted
theologically or to put it the other way round, in how far can
theological language illumine secular circumstances. Christian
vocabulary like forgiveness, reconciliation or grace for instance has
made its inroads into resolving secular transformation processes.4

In spite of all cultural differences Germany and Korea are connected


through their recent historical experiences. Both countries were
divided after the end of World War II. Yet while the Germans were
perpetrators, the Koreans were victims. Their hopes for freedom and
independence after being released from the yoke of Japanese
colonialism were distorted by the upcoming east-west conflict. Korea
was divided along the 38. Parallel. 1950-53 a bloody civil war spread
throughout the country. The iron curtain was woven much denser
than in Germany. While the Germans were allowed to have certain
contacts across the border even after the construction of the wall,
Koreans were even forbidden to write letters. Only the historic
meeting of the two Kim’s, South Korea’s president Kim Dae-Jung
(1997-2002) and his North Korean counterpart Kim Young-Il (1994-
2011) in 2000 resulted in a gradual opening.

Germany experienced a fascist (1933-45) and in the east of the


divided country also a communist dictatorship (1945-89). In Korea
Japanese colonialism (1905/10-45) was followed in the South by an
autocratic phase (1945-60) and a number of military governments
(1961-88), interrupted only by a short democratic intermezzo. In the
North immediately a communist regime established itself. South
Koreans were interested observers of German reunification and
learned their lessons for the envisioned reunification of their own
country.

The writer Uwe Timm is one of the most prolific representatives of


the so called generation ’68.5 Born 1940 in the middle of World War
Two, he later should deal in his books with the legacy of the Nazi
epoch as well as with the consequences of imperialism and
colonialism 6 . The learned furrier regarded it as his duty to first
disencumber the fur shop of his father, before he could acquire the
230
university entrance diploma by second-chance education and start to
study philosophy. He thereby single-mindedly followed his goal to
devote his life to writing. In „My brother as an example“ (Am
Beispiel meines Bruders) published in 2003 Timm addresses
questions of guilt and conscience with regard to the years of the Nazi
dictatorship from the perspective of the involvement of his own
family.
The formulistic summing up of the parents for what happened was
the blow of fate, a fate, one could not influence. To have lost the boy
and the home, was one of the sentences, with that they eluded
themselves to think more deeply about the reasons. They thought to
have contributed with this suffering their share to common
atonement. Everything was horrible because they have become
victimized themselves, victims of an inexplicable collective fate. It
were daemonic forces that operated either beyond history or were
part of human nature. In any case they were catastrophic and
inevitable. Decisions one only could comply with. One felt treaded
unjust by fate.7
In long flashbacks Timm dissects the life of his parents, searching for
their conscience. While his father, according to Timm‘s observation,
tries to avoid the question of guilt and relativizes it8, his mother at
least allows it to be asked9. With the help of a fragmentary war diary
the writer tries to get an impression of his 16 years older brother,
who fell in Russia (1943). The book therefore in a sense becomes a
requiem.10 The notes of the brother close with the words: „Herewith I
end my diary, because I regard it as senseless, to take account of
such cruel things as they sometimes happen.“
I have opened and read this passage time and again while I was
writing – it was as if a ray of light was falling into darkness.
How did this insight evolve? My brother mentions the death of
two comrades and the loss of his home. Both events were dating
back for quite some time. Could it be that in the meantime something
has happened during his service, something horrible, that eludes this
form of writing? His notes could not comprise the suffering, neither
that of the others nor one’s own. It is the lack of any compassion –
even in regard to oneself. The repetition made the futile even trivial.
Does this insight, that one cannot take account of these cruel
things, also comprise the foes and victims, the Russian soldiers and
civilians? The Jews? The diary does not contain any anti-Semitic
statements or stereotypes, like in the army post of other soldiers:
231
Untermenschen, dirt, vermin, the bluntness of the Russians. Yet one
can also not find a sentence that shows something like compassion,
no insinuation of criticizing the circumstances is to be detected,
nothing that would explain a sudden conversion. The notes neither
reveal someone who acts on conviction nor burgeoning resistance.
They show – and that is what is terrifying – a partial blindness, only
the normal is recorded. Even more surprising this sentence and the
interstice between the last but one entry the journey continues and
the insight, not to be able any more to write about such horrible
things. There is the wish, my wish, that this interstice stands for a no,
for the non-servo, that marks the beginning of the revoke of
obedience and asks for more courage, than is necessary to blast
breaches for the attacking tanks. That would be the courage that
leads into separation, and into the pride and pain of the lonesome. 11
Timm gives word to his dismay of the banality of evil and the
involvement of his own family. In a theologically drenched language
he reveals, what still waits to be dealt with.12

Similar to Timm Korean writer Hwang Sok-Yong is also a chronicler


of the recent history of his divided country. His novels have an
autobiographic touch as well. Born 1943 in Manchuria, his family
fled to the South during the days of the division of the country. He is
tackling these experiences in his early book „The story of Mr.
Han“.13 In his novel cycle „Chang Kilsan“ (1974-1984), originally
published in sequel in a daily newspaper (Hanguk Ilbo) Hwang
reconstructs Korean history from the perspective of the Minjung, the
poor, oppressed Korean people. The main character Chang Kilsang is
a kind of Korean Robin Hood. The core of the composition is formed
by two legends „The falcon of Changsam Cap“ and „Chongbul
Dong“.

In 1989 Hwang travels to the North of the divided country to


establish contacts with the writers’ organization there. Upon his
return from exile in Berlin and New York in 1993 he is sentenced to
imprisonment because of an alleged violation of the national security
law. After the election of Kim Dae-Jung as president (1998) Hwang
is released from prison with other political prisoners.

232
In his novel „The Guest“14 Hwang describes the massacres among
North Korean civilians due to the conflicts between Christians and
communists in the commotion of the Korean war (1950-53). He also
focuses on the fate of two brothers, both Christians, who have been
haunted by the ghosts of the past all their lives. The novel is
composed in the form of a shamanist ritual (Chinogwi-kut)
comprising twelve parts, that is supposed to guide the souls of the
deceased safely into the hereafter. The author himself writes:

I hope that this kind of personal kut, can contribute to heal the scars
of war that are still visible on the Korean peninsula, 15 the ghosts of
cold war find rest and a new century of reconciliation and
cooperation may begin.16
The younger one of the two brothers Ryu Yosop goes on a trip to his
home country in his old days. Shortly before his departure his brother
Yohan dies. As a ghost he accompanies him on his journey into the
past. Gradually the events are reconstructed in all their brutality. Not
only the two brothers but also their relatives left behind and the
ghosts of the victims raise their voices. When Yosop visits an uncle,
from his mother’s side, Ahn Song-Man, called Some, it comes to a
catharsis in a big witching hour.

The other spirits also got up from their places along the wall without
any sound and began to disappear in the darkness, pending like cloth
widths in the wind. From afar a voice said: The killers and the killed,
they all come together again in the other world.
Then it was Yohan, who said to his brother: ‚Finally I am at
home, and finally I can get rid of all the hate and anger, that has been
in me for so long, and I don’t have to stray around in dark foreign
territory. Take care, you two.‛
All the ghosts had left. Silence prevailed. Gradually the
darkness disappeared, outside the window the silhouettes of the
mountains emerged in front of the brightening sky. Nobody was in
the room besides Yosop and his uncle.
Uncle Some said: ‚Those, who had to leave, have gone, now
those who are still here have to start anew to live. We have to clean
this maculated country from its dirt, don’t you think so?‘
Yosop folded his hands and started to recite by heart a passage
from the bible [Koh 3,8-11].17

233
Besides the division of the country (1945), that resulted in a
devastating civil war (1950-53) and the preceding Japanese
colonialism (1905/10-45) the period of the military dictatorship in
the South (1961-88) and the still prevailing communist dictatorship
in the North is the third traumatic experience of the Korean people,
that waits to be coped with.

In his novel “The far away Garden“18 Hwang Sok-Yong describes


the difficult way of the political prisoner Oh Hyunuh back to
freedom, for which he once fought. This fictive character stands
exemplary for the experience of Hwang and many other South
Koreans, who were imprisoned and tortured because of their peaceful
engagement for democratization and reunification. With the help of
the letters and diaries of his fiancé Han Yunhi, who died of cancer
while he was imprisoned Oh opens up the lost years for himself and
at the same time remembers the past. This becomes symbolically
visible in a double portrait that she painted of him and herself.
Several times it is mentioned in the book. Only after being released
from prison our protagonist has to hear from his sister that Yunhi has
died. She hands her letters that did not reach him in prison, over to
Hyunuh. All that rests him is the memory of the months they shared
in a hut in Galmoe, a village close to Kwangju. The teacher Han,
daughter of a communist herself, has offered him, the politically
haunted a place to hide from the police. In her last letter to him she
writes:
After leaving Galmoe I once painted your young face. Later I draw
my own self which has grown old on the margins. Suddenly you
looked, as if you were my son. [...] You had a life in there and I had
one outside. Even though our days were quite hard, we should
reconcile with them (44).
Homeless as he is Hyunuh starts out on a journey into their common
past. In the small hut – that Yunhi bought before her death, to leave
behind at least a place for her lover and that still is maintained by
their former landlady – he finds her diaries and the painting:

I draw forth one of the paintings and put it on the empty easel. Two
faces were depicted on the picture – one big, the other small. The left
one was mine. On the picture I was wearing a blue-white checkered,
short-sleeved shirt. It was my last summer in freedom. In those days
234
everybody was wearing long hair. My hair was also covering the
collar. Around the eyes a dark shadow was drawn; the cavernous
cheeks seemed to express my suffering. The background was painted
in a dark red basic tint, the China blue painted at right angle,
emphasized the sad mood even more. The lattice window pasted
with paper next to my face was covered with grey color by Yunhi
and then – that’s how she described it in her letter to me – she has
drawn her own portrait upon it. Only now I saw the face of her last
years. She has painted over it several times with crude and broad
strokes. Her hair was partly grey and the eyes were only painted in
black, so that one could hardly detect the expression behind them.
The cheeks themselves were painted over with different colors. She
was no young woman anymore. Still her peculiar smile, that one
could hardly asses, was clearly recognizable on the fine contours of
her lips. She looked at me quiescently with this smile, that I loved so
much. A young man, thirty two years of age and a woman in her
forties were looking at me (76f).
Through Yunhi’s notes Hyunuh also gets to know about their
daughter, who was raised by her sister. Besides the hut in Galmoe
she is the only connection that lasted between the two lovers: „While
I was convinced, that nothing remained of her, Yunhi has in fact left
this child behind“ (173). The end of the book leaves open, whether
the father succeeds in establishing a lasting relationship with his in
the meantime 17 years old daughter. From Galmoe he seems in any
case to have already taken his leave, with a last look at the painting.

Now I am looking again at my young face that Yunhi left behind in


Galmoe. [...] In the period between the middle of July until
beginning of August, when she painted that image most of the time
dominated tight silence between us. Still we always were very close
to each other. Sometimes she was smiling so strangely, and all the
time she seemed as if she wanted to say something. If I recall this
now, she did not look alone at me, but together with the child. At the
place were originally the lattice window was, she painted her face.
Her distinctive cheekbones, the crinkles around her eyes and her hair
that started to turn grey, made her look lonely. Her eyes however
attested to a deep inner peace, just like her warm smile. The young
man of thirty-two and the woman above her forties seemed to look
out of the picture into the real world. Standing behind me, she
loomed over my shoulder. In what direction did the path lead that my

235
young, passionate I had chosen – and that she should see over my
shoulder only much later with her own eyes (238f)?
In his novel „The friend and the stranger“19 Uwe Timm also deals
with his experience of the student movement, when he recalls his
friendship with Benno Ohnesorg, who was killed by policeman Karl-
Heinz Kurras during the demonstrations against the state visit of the
shah of Persia Reza Pachlevi 20 in 1967. His death triggered in a
certain sense the German student movement21 that turned against the
ongoing western imperialism in the third world as well as the
repression of the German Nazi past. Timm had lost contact with the
friend of his youth many years before. He hears about his death
through the radio while he is studying in Paris. It cost the writer
decennia until he was able to compose this requiem on the fellow of
the long gone days of his youth. Again the image of a man and a
woman – this time a photo – has a central function for remembering
the past.

He has made a difference – as victim. The photo that shows him


lying on the ground that could be seen in all newspapers, that was
reprinted time and again, that I saw in Paris. This young woman
bend over him, holding his head, the blood on the ground, this photo
has caused outrage, like only pictures can do. [...]
The photo, that shows him lying on the ground dying,
accumulates Christian motives. This woman, in a festive black cape,
leaving the arms free. She kneels next to him; her gaze is directed
upwards to the right. The association is obvious: a religious icon.
Does she talk to somebody? Does she ask for something? This
picture shows the situation of sacrifice. Also the despair in regard to
the powerlessness over against the factual, the violence, the death, all
that transformed the existing, pent up reluctance in the will to act.
The time was as we say ripe. In order for such thunderstorms to
happen, a special occasion is necessary, a special person, a special
image that anchored in consciousness that loads the cognition with
emotion that on its part lightens analytically acquired knowledge. 22
Timm, who identifies himself as an agnostic, reveals the religious
connotations of this icon of the generation ‛68. He refers to the pieta
and talks about sacrifice in recollection of the traditional
interpretation of the death of Jesus Christ on the cross: „the
sacrificial death, a death that spares others to die“23.
236
There is a big risk that after the overthrow of dictatorships or the end
of bloody civil wars those forces get their way, that want to suppress
and make forgotten the horror about the deeds and return to normal
as soon as possible. The perpetrators often escape from punishment
for this feigned new beginning, while the victims are left alone with
their traumas. Theologically Johann Baptist Metz sees here a
structural parallel in Christianity. The „soteriological circle“ makes
„that the church is always more at ease with the guilty perpetrators
than with the innocent victims“.24 An aesthetic search for traces of
human suffering as it has been carried out here on literary territory is
trying to counteract these tendencies. Metz repeated polemic against
an esthetization of intellectual discourses including theology, seems
to me still to be oriented on the classical identification of esthetics
and beauty.25 I am applying a much broader concept of esthetics that
comprises the perception of the ugly and the evil, as well as the
suffering of the victims. In the strenuous reconstruction of the
relation between esthetics and ethics is not about an esthetization of
suffering in terms of its appraisal but about its disclosure, coping
with and preservation of memory. This is theologically in line with
Metz’ program of Memoria Passionis. At least five themes are
reoccurring in this regard: the resistance against forgetting, the wish
to understand what has happened, the expectation, that the
perpetrators show penitence, the question if amnesty or grace should
be granted and the necessity to pay reparations to the victims.

In the course of secularization God’s countenance has been disguised


in western culture. At the same time her representatives often deny
her origin in Christian religion and iconography. Theologians
therefore have to uncover painstakingly the traces of God in
contemporary culture. Therefore an esthetic turn is necessary in
theology.

Late modern hermeneutics locates the reader in the text. A Christian


reader therefore can also interpret a secular text from a religious
perspective. The text may however not be misappropriated. The
respect for the autonomy of the work of art commands to keep the
necessary distance. Good literature will never be exhausted in one
237
interpretation, but evoke in interaction with her readers a number of
meanings. At the same time it sets the limits of its interpretation
itself, it does not allow just any.

Adam Small seems to pave the way for artists and theologians to
enter into a fruitful dialogue for both sides. This allows an interstitial
or Third Space to open up, in which one can negotiate between art
and theology.26 Theological and religious language can then serve to
illumine secular circumstances, similar the secular language of art
can contain theological content. In this process artists can become in
a sense theologians and theologians become artists.

238
Endnote
1
Small, who was closely associated with the Black Consciousness
Movement, is the most prolific representative of the coloreds of the South
African Cape Province.
2
Quoted in Antjie Krog, Country of my Skull, London 1999, 26.
3
Cf. Made in Germany. Kurzführer / Short Guide, Hannover 2007, 98. For a
more extensive treatment cf. Volker Küster, Gott/Terror. Ein Diptychon,
Frankfurt a.M. 2009.
4
Cf. John W. de Gruchy, Reconciliation. Restoring Justice, Minneapolis
2002.
5 6
Cf. his early roman a clef Uwe Timm, Heißer Sommer, München 2007
6
*1974+ and it’s ironic reverberation in Uwe Timm, Rot, München 2006
[2001].
6
Cf. Uwe Timm, Morenga, München 1978.
7 3
Uwe Timm, Am Beispiel meines Bruders, München 2005 , 87f.
8
Timm, Am Beispiel, 130; Martin Hielscher, Uwe Timm, München 2007
talks about “the Prussian German nationalistic and conservative middle-
class values of the father” (cf. ibid., 29).
9
Timm, Am Beispiel, 129.
10
Hielscher, Timm 177 compares the composition of the book with a fugue.
Four times the death of a family member is described, father, mother and
the two older siblings, brother and sister.
11
Timm, Am Beispiel, 147f.
12
“Only if something is articulated, resistance can emerge” (ibid., 129).
13
Hwang Sok-Yong, Die Geschichte des Herrn Han, München 2005 [Kor.
1972].
14
Hwang Sok-Yong, Der Gast, München 2007.
15
Theologically a similar language game can be found in Dietrich
Bonhoeffer, Ethik, Munich 1992, 125-136 esp. 133-136. For Bonhoeffer
justification can only take place within the church “for the nations there is
only the scarification of guilt and the return to order, law and peace.” Cf.
Magdalene L. Frettlöh, “Der Mensch heißt Mensch, weil er ... vergibt”?
Philosophisch-politische und anthropologische Vergebungsdiskurse im
Licht der fünften Vaterunserbitte, in: “Wie? Auch wir vergeben unseren
Schuldigern?” Jabboq 5, ed. by Jürgen Ebach et. al., Gütersloh 2004, 179-
215, 186.
16
Hwang, Nachwort [Postscript], in: Der Gast, 294-297, 297.
17
Hwang, Der Gast, 285.

239
18
Hwang Sok-Yong, Der ferne Garten, München 2005; page references in
the text.
19
Uwe Timm, Der Freund und der Fremde, Köln 2005.
20
Mohammed Reza Pahlavi who came to power in 1941 after his father
had resigned established a pro-western anti-communist regime, what
guaranteed him the support of the US. Cf. Bahmãn Nirumand, Persien,
Modell eines Entwicklungslandes oder Die Diktatur der Freien Welt,
Hamburg 1967, a popular book in the student movement that was also
found in the bequest of Benno Ohnesorg.
21
The self-immolation of worker Chun Tae-Il (1971) protesting against the
inhuman working conditions in the textile industry had a similar function
for the South Korean student movement.
22
Timm, Der Freund, 117f.
23
Ibid., 113.
24
Johann Baptist Metz, Memoria Passionis. Ein provozierendes Gedächtnis
in pluralistischer Gesellschaft, Freiburg i.Br. 2006, 57.
25
Cf. ibid., 18f., 105 und 138.
26
Cf. Volker Küster, Who, with whom, about what? Exploring the
Landscape of Inter-religious Dialogue, in: Exchange 33, 2004, 73-92.

240
Gereja Maria Assumpta Klaten:
Sebuah Usaha Kontekstualisasi
Mgr. Ignatius Suharyo

Pengantar
Dalam buku berjudul Dari Israel ke Asia yang diterbitkan oleh BPK
Gunung Mulia pada tahun 1982, E.G. Singgih antara lain menulis,
”Akhirnya orang akan tahu bahwa bentuk arsitektur suatu bangunan,
apalagi yang berupa sebuah bangunan peribadatan, adalah hasil
pemikiran yang dalam …. Artinya orang tidak akan begitu saja
mengganti model ’gereja ayam’ dengan misalnya gereja berbentuk
pendopo, tanpa mendalami seluk-beluk pemahaman di belakang
kedua model itu.”

Dalam rangka ikut mengisi buku penghormatan (festschrift) bagi


E.G. Singgih, saya akan menceritakan kembali ceramah yang
diberikan oleh almarhum Y.B. Mangunwijaya pada peringatan dua
puluh lima tahun gedung Gereja Maria Assumpta Klaten (tahun
1983) yang selesai beliau bangun pada tahun 1968. Yang dikatakan
oleh E.G. Singgih dalam kutipan di atas kiranya mendapat
jawabannya dalam arsitektur gereja ini.

Gereja pasca Konsili Vatikan II


Gereja Klaten dibangun sesudah Konsili Vatikan II. Oleh karena itu,
gedung gereja ini harus mengekspresikan sebaik mungkin Gereja
pasca Vatikan II juga. Inilah yang dikehendaki oleh Bapak Uskup
Agung Semarang Justinus Kardinal Darmojuwono. Oleh karena itu,
Gereja Maria Assumpta dirancang dalam konsep Gereja sebagai
”paguyuban akrab orang beriman” yang serba sederhana, walaupun
ini sulit mengingat bangunan gereja yang diminta cukup besar.

Selain itu, lokasi gereja tidak luas dan dapat dikatakan memang
terjepit di dalam kampung, bahkan dengan lorong kampung yang
berbelok antara gereja lama dan SD Kanisius. Ide paguyuban yang


Sekarang adalah Uskup Agung Jakarta
241
tidak sombong, tetapi berjiwa rendah hati, pelayan, punokawan bagi
rakyat Indonesia, tampak dari bagian muka gereja baru (yang
menghadap ke jalan raya) yang sengaja dibuat tidak menonjol.
Sebetulnya, Gereja Maria Assumpta ini tidak mempunyai sisi muka
atau sisi belakang. Gereja memperlihatkan wajahnya ke segala arah.
Sesuai dengan panggilan arahnya, gereja ini menghadap baik ke jalan
raya, ke lapangan SD, ke kampung, maupun ke pastoran: menghadap
ke diri gereja intern sendiri (pastoran), ke masyarakat luas yang
dinamis (jalan raya), teristimewa ke anak-anak dan generasi muda
penerus (SD Kanisius) dan ke tetangga lingkungan (selatan ke
kampung). Kesan dari jalan raya tidak triumphant, provokatif, tetapi
penuh rasa rendah hati selaku punokawan atau lebih relevan sebagai
Bunda Maria yang menghadap ke segala putra-putrinya di semua
kiblat papat, menawarkan kasih sayangnya dengan segala
kesederhanaannya yang manis. Oleh karena itu, bentuk dan susunan
dasar seluruh arsitektur gereja ini tidak jantan bergaya hebat terhadap
masyarakat, tetapi bersifat dan bersuasana feminin, penuh keibuan.

Konsep Rumah Jawa


Sesuai dengan filsafat Jawa tentang rumah, pada hakikatnya Gereja
Maria Assumpta Klaten ini bukanlah gedhong dalam arti Barat.
Rumah dalam filsafat Jawa adalah halaman, pelataran, bahkan
kebun. Di dalam halaman itu ada payung-payung, yang terungkap
oleh yang disebut pendhopo. Bagian yang disebut dalem di
belakangnya, secara prinsip adalah payung juga, tetapi karena
menyimpan harta pusaka berharga, ditutup oleh dinding-dinding,
meski dinding lepas. Gebyog dan dinding-dinding rumah Jawa selalu
mudah dilepas praktis bila ada keperluan pesta besar.

Rumah Jawa adalah seluruh kompleks halaman seisinya. Masuk ke


halaman sudah masuk ke dalam rumah seseorang. Hal ini sangat
tampak pada istana-istana Yogyakarta-Solo, namun juga pada
gagasan rumah Jawa asli yang berpintu gerbang regol.

Rumah Jawa asli tradisional bukan milik si penghuninya, melainkan


milik Dewi Sri, yang dipercayai tinggal di dalam dalem atau petanen
(dari kata ”tani”, tepatnya Sang Tani ialah Dewi Sri), dengan
senthong tengahnya yang keramat, tempat semayam Dewi Sri yang

242
disimbolkan oleh balai tidur Sang Dewi dan senthong mempelai baru
di sampingnya tempat pembuahan pertama pengantin baru sebagai
partisipasi dalam misteri kesuburan mistik adikodrati menurut
kepercayaan Jawa. Dalam dalem disimpan juga panenan pertama
sebagai persembahan, juga harta pusaka keluarga. Maka, di dalam
dalem ini pun upacara-upacara suci diadakan, seperti pernikahan,
atau sujud berdoa, meditasi. Infrastruktur Jawa tersebut sangat
berharga dan sangat pantas ”dibaptis” sebagai dasar struktur liturgis
bangunan gereja.

Penghuni rumah dalam kepercayaan Jawa hanya ngenger, maka


tinggal di gandhok. Pastoran adalah gandhok dalam kompleks Gereja
Maria Assumpta ini. Yang berdiam dalam gereja adalah Tuhan.
Tentulah Tuhan hadir di mana-mana, tetapi manusia membutuhkan
bahasa lambang untuk menghayati sesuatu yang dalam maknanya.
Antara dalem dan pendhopo terdapat seketeng (Belanda: schutting)
atau pringgitan (dari kata ringgit, wayang). Pringgitan ini
memisahkan bagian pedhopo (=pihak luar, profan) dan dalem (pihak
dalam, keramat, suci). Kalau ada pagelaran wayang kulit, para tamu
agung duduk di dalam dalem menikmati wayang kulit yang tampak
sebagai bayangan-bayangan (= dunia sakral), sedangkan rakyat
duduk di bagian pendhopo (= dunia profan), melihat wayang kulit
dalam wujud wadaknya saja, belum dalam pemaknaan mistiknya
selaku bayangan, wayang.

Rumah Tuhan dan Rumah Manusia


Dalam pemahaman pasca Konsili Vatikan II, ”Rumah Tuhan” adalah
sekaligus rumah manusia. Maka, gereja Klaten tidak teramat keras
dalam pembagian dalem mistik suci dan pendhopo profan. Namun,
perpindahan psikologis sangat diperhatikan agar jangan mengejutkan
atau serba mendadak dari dunia khalayak ramai yang bersifat
duniawi ke bagian dalam gereja yang sakral.

Oleh karena itu, dari seluruh struktur dan bentuk dasar makro
tampaklah bahwa bangunan Gereja Maria Assumpta terbagi dalam
dua bagian pokok. Pertama, bagian yang melambangkan Rumah
Tuhan (dalem), ialah bangsal besar yang tergelar di bawah soko-soko
guru. Kedua, rumah manusia, yakni bangsal yang beratap lebih

243
rendah di sebelah utara, yang dibatasi oleh talang tengah dan soko-
soko pendukungnya dari bagian dalem. Ruang yang lebih rendah
atapnya ini dimaksudkan juga untuk misalnya pengajaran agama,
instruksi atau pembinaan rohani, latihan koor, rapat Dewan Paroki
dan sidang-sidang perhimpunan-perhimpunan yang bersangkut paut
dengan hidup kegerejaan, atau keperluan-keperluan lain.

Bagian di bawah atap rendah ini semartabat dengan pendhopo dalam


rumah Jawa atau Siti Hinggil dalam istana kesultanan, yakni tempat
pertemuan antara raja atau penghuni rumah (dalem yang keramat
atau intim) dengan anggota masyarakat atau dunia luar. Dulu di
antara bagian dalem dan pendhopo dalam Gereja Maria Assumpta ini
ada semacam seketeng atau pringgitan, terbuat dari bambu tutul,
sehingga dalam situasi sehari-hari bagian dalem terpisah secara
visual dari bagian pendhopo. Dengan demikian, umat dapat
mengadakan rapat, latihan koor, mengobrol, bahkan bersenda gurau,
dan sebagainya tanpa ada perasaan ”memprofanasi” bagian dalem.

Demikianlah diekspresikan rumah manusia yang berpadu dengan


bagian gereja sesungguhnya, Rumah Tuhan, dalem. Tentu saja dalam
menerjemahkan prinsip dalem dan pendhopo atau unsur-unsur lain
rumah Jawa Kuno ke dalam arsitektur modern kita tidak mungkin
membuat paralel yang serba konsekuen kaku. Bagaimanapun juga
kita membuat gereja untuk generasi modern sekarang, bukan untuk
orang-orang masa lampau. Akan tetapi, arsitektur modern pun dapat
belajar dan memanfaatkan hikmah dan bahasa lambang yang
berharga dan indah dari nenek moyang, kendati dalam bahasa dan
bahan-bahan bangunan yang modern.

Siti Hinggil
Konsekuen bertolak dari konsepsi Jawa mengenai rumah sebagai
kampung halaman, maka lantai gereja dibuat tidak dengan bahan
tegel yang mengilap (simbol istana), tetapi dengan batu-batu beton
kasar seperti blok-blok beton halaman, karena tempat pertemuan
Tuhan dan manusia dalam tradisi Alkitab hampir tidak pernah terjadi
dalam istana, tetapi di alam terbuka (siti = tanah, hinggil = tinggi).
Bapa Abraham, Yakub, Musa, Daud, Khotbah di Bukit, peristiwa
Gunung Tabor, Golgota, kenaikan Yesus ke surga, semua bertempat

244
pada siti yang berkat kehadiran Tuhan bermartabat hinggil. Memang
gereja dalam penghayatan pasca Vatikan II bukan istana, melainkan
lokasi rakyat, paguyuban, khususnya demi si dina lembah miskin.
Bangunan gereja Klaten pada dasarnya hanyalah payung.
Struktur dasar gereja yang berilham pada budaya Jawa sangat sejajar
dengan budaya Israel yang dapat kita lihat dalam Alkitab. Bait Allah
di Yerusalem dibangun juga pada suatu siti hinggil. Halaman paling
luas sebetulnya masih semacam alun-alun, di mana sembarang orang
asing pun boleh lalu lalang karena itu disebut halaman ”kaum kafir”.
Hanya umat Israel diizinkan melewati pintu gerbang utama masuk ke
halaman dalam dari Bait Yerusalem. Namun, tetaplah orang tidak
langsung masuk ke dalam Pedaleman Suci (= Bait Allah), tetapi ke
dalam suatu halaman, pelataran lain lagi, yang disebut ”halaman
kaum perempuan”, karena dulu kaum perempuan hanya boleh hadir
sampai di sini, tidak boleh masuk ke dalam wilayah Bait Suci. Bait
Suci sendiri dengan pelatarannya terdiri dari yang disebut Yang Suci
dan Yang Mahasuci. Hanya para imam yang boleh masuk ke dalam
Yang Mahasuci.

Bila kita masuk dari jalan besar ke wilayah Gereja Maria Assumpta,
orang juga masuk dulu ke dalam suatu halaman muka yang tidak
akan disebut secara diskriminatif sebagai halamam kaum kafir, tetapi
mungkin halaman Adam. Baru di depan pastoran kita masuk lewat
pintu gerbang utama yang mungkin dapat disebut secara alkitabiah
sebagai gerbang Abraham ke dalam suatu pelataran dalam yang jelas
tidak akan kita sebut halaman kaum perempuan karena kita hidup
dalam alam Perjanjian Baru. Barangkali ada maknanya disebut
dengan ”Halaman Miryam” yang menjadi ibu Israel Baru, yakni
Gereja. Maka, cocoklah apabila tempat ini dipakai untuk
menghormati Bunda Maria.

Urut-urutan masuk ke dalam gereja tersebut di atas adalah usaha agar


secara psikologis umat disiapkan secara bertahap, berpindah dari
dunia ramai tidak langsung serta-merta masuk ke dalam bagian suci
dari gereja, tetapi lewat ruang-ruang atau halaman-halaman antara
lebih dahulu. Tentulah ini tidak selalu mungkin. Nyatanya gereja
Klaten juga punya pintu-pintu lain, dari timur masuk langsung ke
dalam bagian pendhopo dan dari selatan kita masuk langsung dari

245
belakang juga ke dalam dalem. Namun, paling tidak ada satu bagian
yang mengandung makna khusus dan sebetulnya suatu jenis katekese
juga dalam bentuk arsitektur tentang sejarah keselamatan.

Keterbukaan budaya rumah Jawa dan keterbukaan Gereja Maria


Assumpta menandai ciri-ciri Gereja pasca Konsili Vatikan II yang
ingin terbuka berdialog dengan masyarakat dan penganut agama-
agama lain. Keterbukaan pastoral tersebut terungkap juga oleh
dinding-dinding bagian timur yang hanya gebyog papan-papan.
Altar dan panti imam pun tidak dapat ditempatkan di poros seperti
dalam prinsip gereja model Barat dulu yang simetris. Sentral tidak
harus di tengah, tetapi dalam fokus. Tentulah letak panti imam di
gereja Klaten tidak sangat ideal, tetapi dipaksa oleh situasi dan
kondisi setempat. Altar harus tampak dari halaman sekolah dan dari
ruang-ruang pastoran yang dimaksud sebagai ruangan para eyang
dan para sepuh yang tidak kuat dengan angin-dingin.

Gereja dan Masyarakat


Seperti dalam rumah Jawa, Gereja Maria Assumpta mempunyai soko
guru-soko guru, tetapi tidak empat. Cukuplah dua, sebagai lambang
dari tugas dan program Gereja yang terungkap oleh Konsili Vatikan
II: Gereja dan masyarakat. Soko guru yang sebelah barat diberi tanda
gambar lambang Bapak Kardinal Darmojuwono, pemrakarsa utama
gereja ini, sebagai personifikasi dari soko penugasan Gereja.
Sementara itu, soko guru yang di sebelah timur diberi lambang
Garuda, bukan Garuda lambang negara yang resmi, melainkan
Garuda yang non-formal atau soko tugas demi masyarakat dengan
Pancasila selaku asas.

Tiap soko guru terdiri atas tiga tiang yang menyadarkan kita kembali
kepada Tritunggal Kudus yang menopang seluruh alam semesta.
Atap besar yang ditopang oleh dua soko guru tersebut selaku
konstruksi tidak mempunyai kuda-kuda, tetapi berprinsip konstruksi
tenda, yang ingin mengingatkan kita kepada tenda penyimpan batu-
batu perjanjian antara Tuhan dengan Israel di Sinai yang diarak
selama bangsa Israel mengembara di padang gurun, sampai akhirnya
diletakkan dalam Bait Yerusalem yang dibangun oleh Raja Salomo,
disimpan dalam bagian yang disebut ”tabernakel”, artinya tenda.

246
Tabernakel
Yang sekarang kita sebut dengan tabernakel mengacu pada
tabernakel Israel tersebut, namun dalam konteks Perjanjian Baru,
menyimpan roti Ekaristi yang sudah dikonsekrasi untuk pada
waktunya dibagikan kepada yang sakit, yang tidak dapat hadir dalam
Ekaristi, atau demi keperluan-keperluan lain di luar ibadat Ekaristi.

Tabernakel gereja Klaten diletakkan dalam ruang khusus yang lebih


tersembunyi, artinya lebih keramat. Ruang gereja besar, tempat umat
merayakan Ekaristi, terlalu besar dan luas, dan di luar kebaktian
Ekaristi sering dipakai untuk keperluan lain yang kurang
memungkinkan suasana yang keramat tenang atau teduh mistik.
Maka, demi penghormatan yang lebih wajar tabernakel, tempat
penyimpanan hosti suci, diletakkan dalam ruangan yang bersuasana
lebih terpingit sakral, mungkin lebih mistik lebih angker, dalam
suatu luwangan.

Luwangan ini juga khas Klaten atau Jawa Tengah bagian selatan.
Dulu orang-orang Jawa, tidak terkecuali orang-orang Katolik
pertama di daerah Klaten, suka bertapa-brata. Untuk itu, sering
mereka bepantang dan berpuasa di dalam suatu luwangan atau
lubang di tanah yang mereka gali di dalam rumah. Di situ mereka
bertapa-brata untuk waktu tertentu. Ide luwangan tersebut
diinkulturasikan ke dalam gereja Klaten ini; dan memang di dalam
luwangan di mana tabernakel ditempatkan, para umat Klaten sering
berdoa, bernovena atau bermeditasi secara pribadi atau berkelompok
di hadapan tabernakel.

Bentuk tabernakel sendiri berupa suatu tugu dengan gambar api


menyala, mengacu kepada perdu yang menyala di padang pasir,
tempat Yahwe menampakkan diri-Nya kepada Musa dan
memanggilnya untuk membebaskan bangsa Israel dari Mesir. Api
adalah lambang Roh Kudus, yang membakar segala noda dan dosa
kita dan yang menyalakan semangat kristiani dan gelora kerasulan
serba baru untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu
dosa dan segala struktur masyarakat, adat istiadat serta segala hal
yang serba membelenggu dan memiskinkan manusia.

247
Ruang Rekonsiliasi
Tapa-brata dalam konsep Katolik tidak bermaksud mencari harta,
kekuasaan, atau kenikmatan, tetapi untuk mengikis segala dosa dan
noda manusia berkat rahmat Tuhan. Maka, sudah tepat jugalah
apabila di dekat luwangan tersebut ruang-ruang rekonsiliasi atau
ruang-ruang perukunan kembali (= pengakuan dosa) ditempatkan.

Ruang rekonsilisasi dalam alam pasca Vatikan II dan penghayatan


kristiani yang lebih asli sebenarnya bukan ruang yang gelap sempit
seram muram menakutkan, melainkan suatu tempat penuh
kegembiraan dan kebahagiaan. Ruang rekonsiliasi justru harus
menyinarkan ekspresi yang lapang dan lega, menggembirakan,
penuh syukur atas kemahabaikan Tuhan yang selalu mengampuni
orang berdosa dan menolong yang lemah.

Oleh karena itu, dalam rancangan asli Gereja Maria Assumpta, ruang
rekonsiliasi ditata sebagai ruang bicara biasa dengan meja bertaplak
meriah, bahkan dengan bejana bunga agar tampak suasana gembira.
Di situ baik umat maupun imamnya menghayati rahmat Allah yang
Maha Pengampun dan Mahabaik. Bagi orang Kristen, Allah bukan
polisi yang seram kejam menuntut denda belaka, melainkan Bapa
Maha Penyayang. Peristiwa sakramen perukunan kembali dan begitu
juga suasana arsitektur kamar rekonsiliasi adalah peristiwa
membahagiakan yang merupakan bagian penting dari Injil, yaitu
warta gembira.

Altar
Pusat perayaan Ekaristi, terutama bagian kedua, adalah altar. Di
sekitar altar umat berkumpul untuk memperingati wafat Kristus,
memuliakan kebangkitan-Nya, dan bersama-sama menantikan
kedatangan-Nya kembali. Di panti imam ada tiga kursi bagi uskup,
imam, dan diakon tertahbis, serta mengitari altar di sisi barang ada
bangku setengah melengkung yang dimaksudkan untuk para pemuka
umat. Dalam liturgi yang baik semestinya para pemuka umat pun
terintegrasi aktif ke dalam peristiwa Ekaristi. Pada bangku inilah
mereka duduk selaku wakil formal dari umat, khususnya pada
upacara Kamis Putih, ketika 12 wakil umat yang melambangkan para
rasul dicuci kakinya, mengikuti teladan Yesus.

248
Altar Gereja Maria Assumpta ini dibuat dari segala macam potongan
kayu bahan bangunan gereja yang tersisa dan tercecer. Sisa-sisa
bahan ini dihimpun menjadi altar yang berbentuk seni,
melambangkan tumpukan kayu, tempat Bapa Abraham
menempatkan putra tersayang Ishak untuk dikorbankan, seperti yang
diperintahkan oleh Yahwe.

Sementara itu, altar sebetulnya adalah meja peristiwa bersantap


bersama, bukan monumen. Altar yang ada di gereja ini menyimpan
pesan pewartaanya sendiri: Dibentuk dari sisa-sisa kayu sebagai
lambang sikap Tuhan yang Mahabaik, yang tidak pernah
mencampakkan manusia, kendati ibarat sudah menjadi sampah atau
limbah yang hanya layak dibuang atau dibakar. Sisa-sisa kayu
pembangunan yang dikomposisi menjadi altar gereja Klaten ini
diharapkan merupakan simbol dan peringatan kepada kita bahwa kita
pun jangan suka membuang sisa-sisa barang atau makanan. Barang-
barang, apalagi manusia, yang menurut aggapan kita sudah tidak
berguna, ternyata dengan cinta kasih dan ketekunan yang sabar,
seperti kayu sisa-sisa tadi, dapat menjadi altar gereja. Demikian pun
pada salah satu lubang soko guru dipasang penutup terali yang
terbuat dari sisa-sisa begel-begel besi beton yang tersisa tidak
terpakai lagi, dan yang dikomposisi menjadi sesuatu yang sangat
berguna dalam gereja. Segala sesuatu selalu menjadi komponen baru
demi suatu sintesis yang baru pula.

Langenswara
Dalam gereja-gereja yang lama ada yang disebut koor, tempat para
penyanyi yang terlatih mementaskan lagu-lagu kegerejaan. Dalam
penghayatan liturgi pasca Konsili Vatikan II, dengan definisi Gereja
sebagai umat Allah yang mengembara, fungsi koor sudah tidak
utama lagi. Hendaklah selalu diingat, bahwa menyanyi dalam gereja
bukanlah pementasan seni suara, tetapi suatu pernyataan penuh cipta-
rasa-karsa manusiawi dari dan oleh seluruh umat untuk memuji
Tuhan serta alam ciptaaan-Nya.

Dalam ruang Gereja Maria Assumpta ini, di manakah letak penyanyi


koor? Jelas tidak di tempat yang utama. Maka, sebaiknya letaknya
adalah di tempat yang tidak penting. Di sana pun perangkat gemelan

249
dapat diletakkan. Dalam bagian gereja ini latihan-latihan koor dapat
diadakan tanpa mengganggu kesakralan gereja bagian dalam. Segala
yang tidak bersifat keramat, dalam rumah Jawa pun tidak dilakukan
dalam dalem, tetapi dalam pendhopo. Ini soal kebudayaan, jadi
sangat menyangkut perasaan dan intuisi. Sebetulnya, koor apalagi
gamelan terdengar lebih merdu bila suaranya datang agak jauh,
sayup-sayup. Di dalam istana Jawa pun gamelan diletakkan agak di
belakang, atau di tempat yang tidak terlalu mencolok.

Warna-warna, Busana, dan Hiasan Liturgi


Oleh karena gereja dalam simbol dirasakan sebagai ”Ibunda”, maka
perwarnaannya pun tidak boleh sembarangan. Warna biru adalah
warna feminin dan keibuan. Demikian warna putih sangat serasi.
Hanya dinding panti imam dan lambang-lambang api pada tiang-
tiang beton mendapat warna merah menyala, sebagai kontras dan
simbolisasi juga dari Roh Allah yang menjadi pengilham dan
peneguh hidup kita.

Gedung gereja baru hidup apabila sedang dimanfaatkan dalam


liturgi. Oleh karena itu, dari segi arsitektur, busana liturgis pun
merupakan bagian integral dengan arsitektur gereja dalam peristiwa
liturgi suci. Maka, busana liturgis para pelaku utama khususnya para
pelayanan misa perlu mendapat desain yang selaras. Selaras artinya
anggun dan sederhana. Kita ingat kepada peringatan Yesus yang
mengomentari busana kaum Parisi yang serba gombyokan. Liturgi
adalah suatu pernyataan budi mulia umat yang sederhana penuh
rendah hati menghadap Allah yang Mahaagung.

Akhir Kata
Bangunan gereja barulah hidup apabila sebagian besar dari 24 jam
sehari dipakai dan dihadiri oleh umat, khususnya oleh anak-anak dan
generasi muda. Gereja sudah berjasa dengan tepat apabila hanya
berfungsi liturgis satu kali dalam seminggu. Namun, alangkah
baiknya apabila banyak kegiatan di luar ibadat dapat
menyemarakkan gereja. Latihan koor, persekutuan doa, sidang serta
perbincangan serius atau bahkan gelak tawa remaja pun dapat
membuat bangunan gereja hidup dan membuat kerasan serta

250
membahagiakan, karena mampu menjadi wahana aktivitas dan
energi-energi penuh vitalitas dari semua umat Allah.

Dengan demikian, benar terungkaplah pemahaman dan penghayatan


keterpaduan Rumah Tuhan dan rumah manusia, Gereja dan
masyakarat. Bapak E.G. Singgih, selamat mensyukuri anugerah
kehidupan yang sekaligus adalah panggilan dan perutusan.

251
Dead Poets Society, Proyek Peradaban
dan Pencarian Diri
Paulus S. Widjaja

EGS, Teologi, dan Seni


Siapapun juga yang mengenal sosok Emmanuel Gerrit Singgih (lebih
dikenal di antara para mahasiswa, kolega dosen, dan teman-teman
dekatnya sebagai “EGS”), tentu setuju bahwa EGS adalah sedikit
dari teolog Indonesia yang serba bisa. Hal ini terbukti, misalnya,
setiap kali Fakultas Teologi UKDW mengalami kesulitan
menemukan dosen untuk mengampu sebuah mata kuliah, maka EGS
senantiasa bisa diandalkan untuk mengisi kekosongan tersebut;
nyaris untuk mata kuliah apapun juga.

Dalam keluasan pengetahuan dan wacananya itulah EGS juga


dikenal sebagai teolog yang mempunyai perhatian besar pada
keterkaitan antara teologi dan seni. Beliau adalah sedikit dari dosen
teologi yang mempunyai keprihatinan dan komitmen untuk
menyelamatkan lukisan-lukisan dari para pelukis terkenal yang
seringkali tergeletak begitu saja di gudang kampus, dan
memajangnya di dinding Fakultas Teologi. Bahkan minat beliau
pada teologi dan seni juga dapat dilihat pada kerja keras beliau untuk
menciptakan dan sekaligus mengampu satu mata kuliah baru di
Program Pasca Sarjana Teologi UKDW bertajuk “Teologi,
Spiritualitas, dan Seni.” Banyak mahasiswa yang memberi apresiasi
pada mata kuliah ini sebagai mata kuliah yang sungguh inspiratif dan
memberi pencerahan pada diri mereka.
Dalam kaitan dengan hal yang terakhir inilah maka tulisan ini dibuat.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah penghargaan atas passion
EGS untuk memberi inspirasi kepada kita semua bahwa teologi
bukanlah semata-mata proyek olah nalar, tapi juga olah rasa.
Keduanya tidak boleh dipisahkan. Tulisan ini tentu saja tidak
sebanding dengan kualitas pengetahuan dan wawasan EGS dalam


Ketua Program Pasca Sarjana Teologi dan Dosen Etika di Fakultas
Theologia, UKDW, Yogyakarta. Ketua Sinode GKMI.
253
mengaitkan teologi dan seni. Tapi inilah sebuah upaya, betapapun
terbatasnya, untuk mengingatkan kita semua bahwa teologi dan seni
memang sungguh sangat terkait satu dengan yang lain. Teologi
bukanlah sesuatu yang hanya bisa dipelajari dan digumuli melalui
kegiatan-kegiatan seperti menafsir Alkitab, membaca buku-buku
teologi, diskusi atau seminar ilmiah, dan sejenisnya, tapi juga dengan
menikmati lukisan-lukisan dan foto-foto indah, termasuk dengan
menonton film di bioskop atau TV.

Berangkat dari kesadaran itulah maka dalam tulisan ini akan diulas
film Dead Poets Society (selanjutnya disebut DPS), sebuah
mahakarya1 besutan sutradara Peter Weir dan dibintangi oleh aktor
serba bisa Robin Williams. DPS ditayangkan pertama kali pada
tahun 1989. Mengambil setting tahun 1959, film ini mengisahkan
tentang konflik yang terjadi di antara dua proyek (upaya pencarian)
peradaban di sebuah sekolah konservatif-aristokratik, Welton
Academy, yang terletak di Vermont, Amerika Serikat. Proyek
peradaban jenis pertama diwakili oleh para pimpinan sekolah dan
orang tua murid Welton Academy (selanjutnya disebut kelompok
Welton). Sedangkan proyek peradaban jenis kedua diwakili oleh Mr.
Keating, seorang guru baru di Welton Academy, dan sekelompok
muridnya yang tergabung dalam klub sastra rahasia, Dead Poets
Society (selanjutnya disebut kelompok Keating). Meskipun di sana-
sini DPS tampak seolah ingin menampilkan konflik yang terjadi di
antara dua proyek peradaban ini sebagai konflik antara modernitas
dan posmodernitas, namun tidak selamanya film ini menampilkannya
demikian. Oleh karena itu lebih baik konflik yang ditampilkan
sekedar disebut sebagai konflik di antara dua proyek peradaban.

Peradaban, Kontrol, Dan Otoritas


Dari sejak awal film posisi kelompok Welton terkait proyek
peradaban sudah jelas terlihat melalui motto sekolah yang tersulam
indah pada bendera-bendera Welton Academy, yaitu “tradisi,
kehormatan, disiplin, dan kesempurnaan.” Keempat gatra ini
selanjutnya diklaim oleh kepala sekolah Welton Academy, Gale
Nolan, sebagai empat tiang kehidupan. Melalui introduksi ini
kelompok Welton ingin menekankan keyakinannya bahwa manusia
hanya bisa menjadi beradab jika hidupnya terkendali dan terstruktur;

254
menghidupi tradisi dengan penuh kedisiplinan dan kesempurnaan
demi mencapai kehormatan. Kelompok ini percaya bahwa hanya
proyek peradaban seperti itulah yang akan membawa manusia
menemukan dirinya yang sejati.

Secara simbolis proyek peradaban kelompok Welton ini ditampilkan


berulangkali di film melalui tayangan bangunan kapel batu yang
kokoh dengan menara yang menjulang tinggi dihiasi jam dinding
berukuran besar. Bangunan tersebut secara dramatis melambangkan
proyek peradaban yang dingin, kaku, pongah, tertutup, dan ingin
menekankan otoritas, sentralisasi, serta rencana statis. Keberadaan
jam dinding berukuran besar di menara kapel yang berdentang pada
waktu-waktu tertentu, menegaskan adanya kontrol, hukum dan
aturan, determinasi, ketepatan, pola pikir linear, dan disiplin yang
dibangga-banggakan dalam proyek peradaban ini. Bahkan tangga
menuju kantor kepala sekolah Welton Academy juga dihiasi jam
dinding. Keberadaan jam-jam dinding ini tak pelak lagi
mencerminkan orientasi pada waktu. Waktu dipahami sebagai alat
kontrol yang rigid atas kehidupan manusia, sehingga kehidupan lebih
ditentukan oleh jam dan kalender, bukannya musim dan hari. Jam
dinding juga mencerminkan kehidupan yang terstruktur dan
terencana; sebuah determinasi atas masa depan.

Semua ini memang merupakan karakteristik organisasi sosial dalam


proyek peradaban yang sangat menekankan kemapanan dan
sentralisasi, bersifat otoritarian dan birokratis di mana ada kontrol
dan hirarkhi yang kuat, dan dipenuhi oleh berbagai kebijakan dan
prosedur. Dalam organisasi sosial semacam itu, relasi antar manusia
hadir dalam struktur piramid dan penuh dengan ketertutupan. Bukan
kebetulan bahwa semua proses pembelajaran di Welton Academy
terjadi di dalam ruang kelas yang tertutup. Organisasi sosial tersebut
juga biasanya reaksioner, semua hal dimaksudkan untuk melayani
lembaga, dan dibangun di atas romantisme masa lalu. Menarik untuk
mencermati bahwa gambar pertama yang muncul di awal film DPS
adalah bendera Welton Academy bersulamkan tulisan “tradisi.”
Murid-murid Welton Academy juga pada umumnya adalah orang-
orang yang orang tuanya atau sanak saudaranya sudah terlebih

255
dahulu bersekolah di sana. Tradisi harus berlanjut, tidak boleh
terputus.

Karakteristik proyek peradaban semacam ini diungkapkan dalam


berbagai adegan oleh kelompok Welton. Ketaatan pada prosedur dan
situasi yang teratur begitu rapi dalam upacara pembukaan tahun
ajaran baru di Welton Academy di awal film menunjukkan
karakteristik proyek peradaban ini terkait dengan kekuasaan dan
pentingnya pusat kontrol. Gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada otoritas birokratik dan kontrol, sanksi dan prosedur legal, serta
bersifat rasional berulangkali ditampilkan dalam film. Hal ini juga
tampak jelas dalam adegan ketika ayah Neil Perry, salah seorang
murid Welton Academy, memerintahkan anaknya untuk
membatalkan aktifitas ekstra kurikuler yang diambilnya, tanpa
bertanya apa yang anaknya rasakan dan pikirkan. Inilah demonstrasi
kuasa, otoritas, dan kontrol.
Di belakang proyek peradaban semacam ini ada keyakinan kuat
bahwa manusia hanya bisa menjadi beradab melalui pengoperasian
kontrol dan otoritas, melalui kepatuhan mutlak pada kebijakan dan
prosedur, melalui disiplin. Jadi, semakin seseorang bersedia
mematuhi peraturan dalam komunitas dan masyarakat serta hidup di
bawah kontrol otoritas yang berkuasa di atasnya, maka ia pun akan
menjadi semakin beradab. Pendekatan terhadap peradaban bersifat
top-down, dari atas ke bawah. Manusia tidak dilihat sebagai pribadi-
pribadi yang memiliki keinginan dan tujuan sendiri, tapi semata-mata
sebagai objek-objek yang harus mengikuti jalur yang telah ditetapkan
oleh otoritas yang berkuasa.

Aspek lain dari proyek peradaban ini ditunjukkan dalam DPS


melalui guru Bahasa dan guru Kimia yang menyuruh para muridnya
sekedar menghafal dan mengulangi apa yang mereka katakan.
Demikian pula halnya dengan guru Geometri yang menekankan
pentingnya presisi, ketepatan. Sikap semacam ini menunjukkan
pemikiran dasar abad Pencerahan yang melihat hukum-hukum
mekanika sebagai norma yang bersifat sangat menentukan,
deterministik. Perhitungan mekanistis dan kontrol merupakan aspek
utama dalam hubungan dengan dunia dan menjadi paradigma
dominan. Kerapian, keteraturan, ketepatan perkiraan, dan

256
rasionalitas menjadi faktor-faktor mendasar dalam kehidupan
manusia. Segala sesuatu bersifat normatif. Menarik juga untuk
memperhatikan bahwa olah raga yang menjadi kebanggaan Welton
Academy adalah olah raga dayung beregu yang memang
membutuhkan presisi dan keteraturan. Bahkan ayah Neil Perry juga
digambarkan dalam film sebagai seorang yang senantiasa
meletakkan sandalnya di tempat yang sama, dan ia pun memberi
hadiah ulang tahun yang sama kepada anaknya setiap tahun.

Proyek peradaban semacam ini tentu saja bukannya tanpa risiko.


Pandangan yang mekanistis atas realita dunia mau tidak mau akan
menekankan pentingnya ketertiban yang tercipta dari tata masyarakat
yang hierarkhis. Berangkat dari keinginan untuk mengontrol
lingkungan, sikap ini pun perlahan-lahan akan berubah menjadi
keinginan untuk mengontrol orang-orang lain juga. Hal ini, pada
gilirannya, menciptakan “aggressive realism” yang merupakan akibat
langsung dari upaya

to grasp the infinite, irreducible complexities of the world as a


unified and homogenous reality . . . . [In this effort] the very
complex heterogeneity of the world have been dissolved or
repressed into a totalizing vision of the world. Such a vision is
inherently violent because it necessarily excludes not just elements
of reality that don‟t fit, but any person or group who sees things
2
differently.

Tidak mengherankan jika dalam film, Mr. Keating, sebagai guru


yang mengajar dengan cara berbeda dan memiliki pemahaman yang
berbeda tentang peradaban, segera dituduh telah melakukan
“unorthodox teaching,” dan oleh karenanya dipandang sebagai
musuh yang harus disingkirkan. Dari titik ini berkembanglah
ketegangan antara kelompok Welton yang ingin mengontrol segala
sesuatu dengan otoritas yang dimiliki oleh para penguasa, melawan
Mr. Keating dan murid-muridnya yang menginginkan kebebasan dari
segala bentuk belenggu dan kontrol penguasa.

Peradaban, Otonomi dan Kebebasan


Mr. Keating dan murid-muridnya dalam film ini merepresentasikan
orang-orang yang mencari kebebasan berpikir dan proyek peradaban
257
untuk menjadi manusia otonom, mandiri. Hasrat ini dilambangkan
dalam film oleh burung-burung yang terbang bebas di padang
terbuka, sebagai lawan dari kapel batu dengan menara dan jam
dinding. Bukan tanpa alasan bahwa beberapa kali dalam film ini
kedua simbol peradaban, kapel batu dan jam dinding di satu pihak
dan burung-burung yang terbang bebas di padang terbuka di lain
pihak, ditampilkan silih berganti satu setelah yang lain. Simbol ini
secara tepat menggambarkan nilai-nilai yang dicari dan
diperjuangkan dalam proyek peradaban ini, seperti kebebasan,
keterbukaan, fleksibilitas, kehangatan, desentralisasi, perencanaan
yang dinamis, kreatifitas, pola pikir non-linear, dan dekonstruksi.

Jika diletakkan dalam terminologi filsafat, proyek peradaban


kelompok Welton merujuk pada realisme Rene Descartes, yang
mencari landasan rasional yang pasti dan absolut untuk ilmu
pengetahuan alam, sebagai satu sistem kebenaran yang bersifat total
dan mencakup segalanya. Realisme Descartes ini kemudian
dikombinasikan dengan konsep otonomi manusia Francis Bacon
yang memandang pengetahuan sebagai alat yang sangat menentukan
untuk mengontrol alam dan memperbaiki kondisi manusia. Di pihak
lain, proyek peradaban kelompok Keating mencerminkan pemikiran
Richard Rorty yang menolak idealisme Cartesian, tapi pada saat yang
sama meradikalisasi otonomi Baconian.3

Penolakan idealisme Cartesian tentang sistem kebenaran yang


bersifat total dan radikalisasi konsep Baconian tentang otonomi
manusia digambarkan dengan bagus dalam DPS melalui upaya Mr.
Keating mengguncang murid-muridnya untuk ke luar dari jalan pikir
lama dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kreatif.
Mr. Keating bahkan tidak pernah menggunakan setting yang bersifat
partikular-deterministik dalam pendekatannya untuk mendorong
murid-muridnya menjadi manusia otonom yang sejati. Proses belajar
mengajar bisa terjadi di dalam ruang kelas yang tertutup maupun di
halaman terbuka. Apa yang dilakukan Mr. Keating dengan jelas
menunjukkan keinginan untuk terbebas dari segala macam belenggu,
baik belenggu metode maupun belenggu ruang.

258
Dalam salah satu adegan, Mr. Keating membawa murid-muridnya ke
luar dari ruang kelas dan berjalan menuju selasar di mana foto-foto
dan berbagai piala yang pernah didapat oleh murid-murid Welton
Academy dipajang. Foto-foto dan piala-piala tersebut merujuk pada
kehormatan yang telah diraih oleh Welton Academy dalam tradisi
dan sejarah hidupnya. Namun Mr. Keating mengatakan kepada
murid-muridnya, "Carpe diem. Seize the day, boys. Make your
lives extraordinary." Inilah pesan yang menurut Mr. Keating
diinginkan para pendahulu Welton Academy untuk didengar murid-
murid Welton Academy sekarang. “Semua orang akan mati,” Mr.
Keating memperingatkan murid-muridnya, “dan oleh karena itu
pertanyaan kritisnya adalah: „Apakah mereka menunggu terlalu lama
untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dalam hidup
mereka?‟” Itu sebabnya Mr. Keating mendorong murid-muridnya
untuk “menghisap ke luar sumsum kehidupan.”

Filosofi semacam ini menunjukkan radikalisasi konsep Baconian


tentang manusia otonom. Dalam filofosi ini ada keyakinan kuat akan
kekuatan pikiran manusia, yang di bawah arahan metode-metode
radikal dalam pengamatan, pengalaman, dan refleksi, bisa membawa
manusia pada kebenaran yang dibutuhkan untuk bimbingan hidup.
Dalam proyek peradaban ini ada mimpi untuk menjadi homo
autonomous yang sejati, seorang pribadi yang memiliki norma
sendiri dan menguasai bukan hanya nasibnya sendiri, tetapi juga
nasib dunia. Ini adalah sejenis kemanusiaan di mana, “man becomes
a law (nomos) unto himself (autos)” (Middleton and Walsh:48).
Filosofi ini mengganti dunia geosentris dengan dunia anthroposentris
di mana sebuah ego yang terpusat pada diri sendiri berada dalam
proses mengonstruksi dan merekonstruksi pusat dirinya, identitasnya,
dan tempatnya di dunia, secara terus menerus.

Proyek peradaban ini ditunjukkan secara dramatis dalam adegan di


mana Mr. Keating meminta murid-muridnya untuk merobek bagian
pendahuluan sebuah buku bacaan wajib yang mencoba memberi
instruksi kepada para pembacanya tentang bagaimana mengevaluasi
puisi secara objektif dengan berlandaskan pada perhitungan
matematis. Bukan hanya itu, ia juga meminta murid-muridnya untuk
berdiri di atas meja guru agar dapat melihat sekeliling mereka

259
dengan cara berbeda. Mr. Keating berkata kepada murid-muridnya
yang tercengang, “once we feel that we know something, we must
see it in different way . . . we must try regardless it seems silly or
wrong.” Ini adalah sebuah upaya dekonstruksionisme yang berusaha
melucuti pemujaan manusia dan mencemooh penglihatan manusia
akan realitas dalam upaya untuk membuka ruang positif bagi “the
free play of difference.”4 Mr. Keating menantang murid-muridnya
untuk menjadi manusia-manusia otonom yang berani melihat dan
memahami sendiri realitas dunia, terlepas dari kontrol orang lain,
meskipun cara mereka melihat dan memahami realitas dunia tersebut
berbeda dari orang-orang lainnya, dan bahkan tampak sangat aneh.

Keyakinan ini ditunjukkan lebih lanjut dalam film ketika Mr.


Keating mendorong murid-muridnya untuk melakukan sendiri
berbagai hal dalam kehidupan mereka dan tidak hanya mengikuti
begitu saja apa yang orang lain perintahkan kepada mereka. Dalam
salah satu adegan, Mr. Keating mengajak murid-muridnya untuk
berjalan dalam lingkaran teratur di halaman sekolah, dan segera
murid-murid itupun dengan sangat antusias berjalan teratur dalam
lingkaran yang tercipta. Melalui peristiwa tersebut Mr. Keating
menunjukkan kepada murid-muridnya betapa mudahnya mereka
terjebak dalam jerat konformitas. Ketika seseorang melakukan
sesuatu, maka orang-orang lain segera mengikutinya begitu saja
tanpa pemikiran kritis. Inilah bahaya konformitas.

Dalam adegan yang lain ketika Todd Anderson, teman sekamar Neil
Perry, enggan menciptakan puisi sendiri, Mr. Keating menutup mata
Todd dan memintanya untuk menciptakan puisi dengan mata
tertutup. Ini adalah sebuah tindakan simbolis yang menggambarkan
jalan dalam proyek peradaban untuk menjadi manusia otonom. Di
sini manusia didorong untuk memusatkan perhatian pada dirinya
sendiri dan menutup mata dari semua yang terjadi di sekelilingnya,
untuk mengabaikan dunia. Hanya dengan demikianlah maka
seseorang bisa mengungkapkan dirinya sendiri, dan menjadi manusia
yang beradab. “Bahkan Allah tercipta ketika kita membaca puisi,”
kata Mr. Keating kepada murid-muridnya. Di sini ia ingin
menunjukkan kekuatan manusia otonom yang dapat memusatkan

260
perhatian pada dirinya sendiri sembari mengabaikan sekelilingnya,
dan dengan demikian mampu mencipta, bahkan menciptakan Allah.

Mr. Keating lebih lanjut menggambarkan situasi dunia modern


seperti rangkaian kereta api yang tak terputus dari orang-orang tak
beriman, rangkaian kota berisi orang-orang bodoh. Jawaban atas
persoalan tersebut, menurut Mr. Keating, adalah bahwa kita berada
di sini, “That life exists, and identity; that the powerful play goes on
and you may contribute a verse.” Mr. Keating sekali lagi
menekankan pentingnya manusia-manusia otonom yang mampu
mencipta dan mengontribusikan bait mereka sendiri kepada dunia.
“What will your verse be?” adalah pertanyaan krusial yang harus
dijawab oleh setiap orang.

Dalam benak Mr. Keating tampak jelas bahwa hidup yang terstruktur
dan terkontrol, sebagaimana yang ditekankan oleh Welton Academy
dalam proyek peradabannya, adalah sesuatu yang berbahaya dan
tidak akan membawa manusia kepada peradaban yang sejati.
Peradaban yang sejati menurut Mr. Keating adalah peradaban yang
membuat manusia menjadi manusia yang merdeka. Ketika seorang
rekan guru menggugat metode pengajaran Mr. Keating, “Kamu
seharusnya tidak mendorong mereka menjadi artis-artis,” maka Mr.
Keating menjawab, “Aku tidak melakukan itu. Aku mengajar
mereka menjadi pemikir-pemikir merdeka.” Mr. Keating
menegaskan bahwa ia bermaksud melindungi murid-muridnya dari
bahaya konformitas. Demikian pula ketika dikonfrontasi oleh kepala
sekolah karena “unorthodox teaching methods,” Mr. Keating sambil
bergurau mengatakan bahwa ia mengira pendidikan bertujuan “to
free men‟s minds.” Dalam percakapan ini terlihat bahwa Mr.
Keating berjuang untuk menciptakan manusia-manusia otonom yang
merdeka dari semua belenggu; manusia-manusia yang mampu
meraih sendiri hidup mereka dan berdiri di atas kaki mereka sendiri
serta memahami realita dunia dengan cara sebagaimana mereka
inginkan.

Dalam sebuah adegan, Mr. Keating meminta murid-muridnya untuk


menulis cita-cita mereka, dan hasilnya menunjukkan bahwa mereka
benar-benar ingin menjadi manusia-manusia otonom. Seorang murid

261
bercita-cita menjadi “pelaut [yang mengarungi] dunia,” sementara
seorang murid yang lain ingin menjadi “penguasa hidup, bukan
budak,” dan murid yang lain lagi bahkan bercita-cita “menjadi
Allah.” Adegan ini menunjukkan bahwa murid-murid tersebut
mencoba mengungkapkan penolakan dan pemberontakan mereka
terhadap proyek peradaban yang selama ini diberlakukan di Welton
Academy di mana mereka selalu dikontrol oleh otoritas yang
berkuasa, dan oleh karenanya mereka ingin bisa mengontrol hidup
mereka sendiri. Pengaruh filosofi manusia merdeka ini terlihat lebih
lanjut di antara murid-murid Mr. Keating yang menghidupkan
kembali klub sastra rahasia, the “Dead Poets Society,” dengan tujuan
untuk menjadi “jiwa-jiwa yang bebas.”

Adegan pembentukan klub rahasia yang mengadakan pertemuan di


gua inipun sangat menarik. Murid-murid ini berlari dalam kegelapan
dengan masing-masing membawa lampu senter di tangannya.
Adegan simbolis ini menunjukkan keyakinan bahwa manusia harus
mencari jalannya sendiri dalam kegelapan dengan lampu
penerangnya masing-masing dalam rangka menjadi manusia beradab
dan menemukan dirinya yang sejati. Hal ini berbeda dari adegan di
awal film di mana masing-masing murid memang memegang
lilinnya sendiri-sendiri, namun mereka mendapatkan api untuk lilin
mereka dari sang kepala sekolah. Sebagai akibat dari penemuan
manusia sejati yang merdeka ini, rekonstruksi identitas diri pun
terjadi. Charles Dalton, anggota klub DPS, bahkan mengganti
namanya menjadi Nuwanda untuk melambangkan rekonstruksi
identitas dirinya. Neil Perry, yang biasanya takut menentang
keinginan ayahnya, sekarang berubah menjadi seorang yang
mempunyai keberanian mengejar keinginannya sendiri untuk
menjadi artis, tidak peduli bahwa ayahnya sangat menentang hal itu.
Di akhir film, murid-murid ini juga berani berdiri di atas meja
mereka masing-masing untuk mengungkapkan penghargaan mereka
terhadap Mr. Keating. Mereka tidak lagi berdiri di atas meja Mr.
Keating sebagaimana mereka lakukan dahulu, tapi di atas meja
mereka masing-masing untuk melambangkan penemuan diri mereka
yang sejati dan kemampuan mereka menjadi manusia merdeka yang
sesungguhnya, manusia yang otonom.

262
Klimaks Proyek Peradaban
Dalam rangka menjadi manusia yang beradab, Mr. Keating mengajar
murid-muridnya tentang pentingnya emosi sebagai serangan balik
terhadap rasionalitas sebagaimana ditekankan dalam proyek
peradaban kelompok Welton. Ia berkata kepada murid-muridnya,

We don‟t read and write poetry because it‟s cute. We read and
write poetry because we are members of the human race. And the
human race is filled with passion . . . . Medicine, law, business,
engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life.
But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for

Pernyataan yang terdengar seperti pernyataan Immanuel Kant ini


merupakan serangan balik terhadap proyek peradaban Barat, dan
biasanya dihubungkan dengan wilayah estetika yang menekankan
dimensi subjektif, emosional, dan kreatif dari manusia. Dalam kata-
kata Mr. Keating, saat ini ada “perang yang sedang berlangsung” dan
“korbannya bisa jadi hati dan jiwamu.”

Terkait dengan perang inilah maka DPS mencapai titik klimaksnya


dalam tragedi yang terjadi pada diri Neil Perry. Ia memutuskan,
sebagai manusia otonom, untuk mengakhiri hidupnya sendiri setelah
ayahnya menentang keinginannya untuk menjadi artis teater. Aksi
bunuh diri Neil ini secara ironis menggambarkan kebangkrutan “free
thinking,” yang dipromosikan oleh kelompok Keating, justru karena
proyek peradaban itu tidak berakar dalam relasi antar manusia, dan
tidak memiliki tujuan lain dalam hidup kecuali “meraih hari untuk
dirimu sendiri.” Aksi bunuh diri Neil pada hakikatnya adalah sebuah
tindakan yang sangat menentukan dari seorang manusia yang
berkomitmen untuk melakukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri.
Inilah yang oleh Alkitab disebut sebagai dosa pertama manusia, yaitu
keinginan untuk menjadi manusia otonom (Kej. 3) yang ironisnya
senantiasa berujung pada kematian. Menarik juga untuk
memperhatikan bahwa aksi bunuh diri Neil digambarkan dalam
adegan yang penuh dengan lambang-lambang yang menggambarkan
kematian Kristus (bertelanjang dada, memakai mahkota daun, tangan
terentang seperti tersalib, serta kepala jatuh lunglai). Tampaknya ada
kesengajaan untuk menganalogikan kematian Neil dengan kematian
Kristus. Keduanya mati sebagai manusia-manusia otonom yang
263
menentukan nasib mereka sendiri dan dengan penuh kesadaran
memilih kematian sebagai seorang manusia merdeka. Tapi
sebenarnya ada perbedaan besar di antara kedua kematian tersebut.
Neil memilih mati demi memuaskan nafsunya sendiri, sementara
Yesus memilih mati demi umat manusia.

Dengan catatan ini maka kita bisa melihat bahwa proyek peradaban
yang dipromosikan oleh Mr. Keating adalah sebuah proyek
peradaban yang menciptakan manusia-manusia otonom yang tidak
memiliki tujuan, selain daripada pemujaan-diri dan pengungkapan-
diri sendiri. Penekanan pada “lakukan segala sesuatu untuk dirimu
sendiri” membuat manusia-manusia otonom ini hidup tanpa visi
untuk membangun kesejahteraan bersama atau melayani yang lain.
Proyek peradaban ini tidak memiliki konteks komunal sama sekali.
Di sini kita melihat bahaya dari otonomi manusia justru karena
otonomi tersebut “purely self-referential.”5 Keyakinan ini ironisnya
juga didemonstrasikan oleh Cameron, seorang murid Mr. Keating,
yang memelopori pengkhianatan atas diri Mr. Keating dan
mengkambing-hitamkannya atas kematian Neil Perry. Cameron
setuju untuk berkolaborasi dengan pimpinan sekolah guna melawan
Mr. Keating, dan berkata kepada teman-temannya, “kita tidak dapat
menyelamatkan Mr. Keating, tapi kita dapat menyelamatkan diri kita
sendiri.” Kata-kata ini merupakan ungkapan dari seorang manusia
otonom yang tidak memiliki konteks komunal dan tidak memiliki
tujuan lain dalam hidupnya selain daripada menyelamatkan dirinya
sendiri.

Kesimpulan
Dari film ini kita bisa belajar bahwa kedua pihak yang bertarung
sebenarnya telah menjadi korban dari proyek peradaban mereka
sendiri. Kelompok Welton telah menjadi korban dari proyek
peradaban mereka yang menekankan perlunya kontrol dan kehidupan
yang terstruktur. Dalam cara berpikir mereka, peradaban dan diri
yang sejati hanya dapat ditemukan ketika manusia mampu
merengkuh sistem kebenaran yang bersifat total melalui kehidupan
yang terkontrol dan terstruktur. Ini adalah pendekatan top-down dari
proyek peradaban. Ironisnya, alih-alih peradaban dan diri yang
sejati, yang tercipta dari proyek ini adalah penindasan dan manusia

264
dalam belenggu. Terhadap proyek peradaban semacam ini maka aksi
bunuh diri Neil menjadi tanggapan yang sangat sinis. Aksi bunuh
diri tersebut menunjukkan bahwa tidak peduli seberapa keras pihak-
pihak yang berkuasa berusaha untuk mengontrol kehidupan orang-
orang lain, mereka pada akhirnya toh ternyata tidak punya kuasa
untuk menentukan hidup orang lain. Neil tetap mempunyai kuasa
penuh atas hidupnya sendiri; bukan guru-guru sekolahnya, bukan
pula ayahnya.

Proyek peradaban kelompok Welton pada hakikatnya juga


mencerminkan sikap kepatuhan buta terhadap otoritas yang berkuasa,
di dalam mana manusia tidak berani bertanggung-jawab sendiri dan
menyerahkan tanggung-jawab tersebut sepenuhnya pada si pemberi
perintah. Kepatuhan buta semacam itu sangat berbahaya karena
orang yang hanya melakukan saja apa yang diperintahkan
kepadanya, pada akhirnya juga akan melakukan perintah iblis.6 Di
masa lalu dan juga di masa kini banyak orang yang
mengesampingkan kehendak pribadinya dan sekedar menjalankan
saja tugas dan perintah yang diberikan oleh otoritas berkuasa.
Dengan melakukan hal itu maka orang-orang ini tidak menyadari
bahwa “ketertundukan dan pengorbanan-diri [mereka] dapat
diekspolitasi untuk tujuan-tujuan jahat.” Mereka tidak menyadari
pentingnya aksi yang bebas dan bertanggung-jawab.7 Tanggung-
jawab adalah, “a total response of the whole man to the whole of
reality.”8 Oleh karena itu, “the responsible man is the subject, the
agent.”9

Di pihak lain, kelompok Keating juga telah menjadi korban dari


proyek peradaban mereka yang menekankan kebebasan berpikir dan
otonomi manusia guna mencapai peradaban dan menemukan diri
mereka yang sejati. Dalam cara berpikir mereka, peradaban dan diri
yang sejati hanya dapat ditemukan ketika manusia mampu
merengkuh dan menentukan jalan hidup mereka sendiri sebagai
manusia merdeka. Ironisnya, alih-alih peradaban dan diri yang
sejati, apa yang tercipta tidak lebih dari manusia anomi dan otonom
yang tidak memiliki konteks komunal. Aksi bunuh diri Neil juga
menjadi ungkapan tragis dari proyek peradaban ini sebagaimana
sudah disebutkan sebelumnya.

265
Robert Bellah dkk. dalam karya monumental mereka, Habits of the
Heart, pernah mengingatkan akan bahaya dari apa yang mereka
sebut sebagai “expressive individualism.” Jenis individualisme ini
merupakan perkembangan dari individualisme utilitarian di masa
lalu. Perbedaan di antara keduanya terletak dalam hal bahwa
individualisme ekspresif tidak lagi mendorong manusia untuk
mendapatkan semua hal di dunia bagi dirinya dan memobilisasi
orang-orang lain untuk kepentingan dirinya, melainkan agar setiap
manusia memaksimalkan kebaikan dari pengalaman batinnya
sendiri.10 “I feel good” adalah motto dari filosofi ini dan kebebasan
dipahami sebagai “freedom to express oneself, against all constraints
and conventions.”11 Kebahagiaan diri sendiri dengan demikian
menjadi tolok ukur utama dan satu-satunya bagi keberhasilan
seseorang dalam hidup.

Dalam individualism ini manusia didorong untuk tidak perlu merasa


risau dengan bagaimana orang lain melihat dirinya selama ia merasa
puas dengan dirinya sendiri. Rasa diri berharga yang dihasilkan dari
kesejahteraan pribadi yang bersifat subjektif jauh lebih penting
daripada keuntungan-keuntungan lainnya di dunia ini.12 Manusia
perlu menjadi, “Just The Way You Are.” Inilah yang dipandang
sebagai kunci kebahagiaan hidup. Manusia tidak perlu melihat ke
luar dirinya sendiri untuk bisa menjadi bahagia. Dalam pola pikir
semacam ini, penjelasan tentang realita dunia semata-mata
merupakan persoalan perasaan dan sentimen pribadi belaka. Ini
adalah masalah estetika yang dilandaskan pada subjektifitas
pribadi.13 Manusia mungkin masih membutuhkan ikatan-ikatan
sosial, tapi ikatan-ikatan ini dipahami sebagai pilihan pribadi, tanpa
ada kewajiban atau komitmen sosial yang lebih luas.14 Hubungan-
hubungan antar manusia secara kontraktual dilandaskan semata-mata
pada minat orang-orang yang bersangkutan.

Proyek peradaban semacam ini bukannya tanpa risiko. Dalam upaya


menjadi manusia otonom, manusia ternyata jatuh dalam “glorious,
but terrifying, isolation.”15 Kondisi semacam ini membuat manusia
merasa terancam dan kesepian, tanpa ada integrasi dalam level
apapun juga di masyarakat.16 Itu sebabnya masyarakat modern
menyaksikan “crisis of civic membership” yang membuat pribadi-

266
pribadi teralienasi dari masyarakat luas. Hal ini pada gilirannya
mengakibatkan runtuhnya modal sosial dan atau ekologi sosial yang
seharusnya mengikat manusia bersama-sama di tengah-tengah
ancaman terhadap identitas pribadi.17 Dengan kata lain, manusia
otonom yang dicari-cari oleh banyak orang sebagaimana
direpresentasikan oleh kelompok DPS pada hakikatnya merupakan
manusia teralienasi.

Benar adanya bahwa dalam proyek peradaban ini masih ada bentuk-
bentuk hubungan sosial di tengah-tengah alienasi yang terjadi. Tapi
jenis hubungan sosial yang dikembangkan oleh pribadi-pribadi yang
teralienasi ini pada hakikatnya adalah hubungan yang individualistis
karena lebih merupakan kelompok gaya hidup daripada sebuah
komunitas yang sejati. Di sini gaya hidup seseorang dipahami
sebagai ungkapan dari kehidupan pribadinya yang tidak ada sangkut
pautnya dengan hal-hal lain, termasuk dunia kerja seseorang, selain
kenikmatan dan konsumsi. Di bawah gaya hidup ini ada keinginan
untuk menyatukan “those who are socially, economically, or
culturally similar, and one of its chief aims is the enjoyment of being
with those who „share one‟s lifestyle‟.” Hubungan sosial semacam
ini menjunjung tinggi narcisisme keserupaan. Dari sinilah kemudian
tercipta “lifestyle enclaves” yang sangat segmental. Disebut
segmental karena relasi yang tercipta hanya terkait dengan salah satu
segmen dalam kehidupan seseorang saja. Kelompok tersebut juga
segmental secara sosial karena hanya mencakup pribadi-pribadi
dengan gaya hidup yang sama, tidak semua anggota masyarakat.18
Kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok-kelompok hobby
dan bahkan kelompok-kelompok agama yang bersifat radikal juga
bisa digolongkan dalam kelompok semacam ini.

Karena pencarian manusia otonom ternyata telah membawa manusia


ke dalam alienasi, maka manusia pun kemudian menjadi manusia
yang gelisah. Pencarian manusia otonom terbukti hanyalah khayalan
belaka karena manusia nyatanya tidak pernah menjadi benar-benar
bebas. Pencarian ini ironis karena “where we think we are most free,
we are most coerced by the dominant beliefs of our own culture. For
it is a powerful cultural fiction that we not only can, but must, make

267
up our deepest beliefs in the isolation of our private selves.”19 Inilah
yang membuat manusia menjadi gelisah.

Lebih lanjut, kegelisahan serupa juga dapat ditemukan dalam


paradoks antara otonomi dan konformitas. Di satu pihak, setiap
manusia ingin bersandar pada dirinya sendiri tanpa kekangan atau
pengawasan orang lain. Namun di pihak lain, ketika manusia tidak
lagi bisa bersandar pada tradisi atau otoritas yang ada, maka ia akan
mencari orang lain untuk mengonfirmasi penilaiannya. Dengan
demikian manusia terbelah oleh keinginan untuk menjadi otonom
dan bersandar pada diri sendiri, dan kesadaran bahwa hidup tidak
mempunyai makna kecuali dibagi dengan orang-orang lain dalam
komunitas.20

Dengan catatan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa peradaban


memang dimaksudkan untuk mengajar manusia berpikir, tapi pada
saat yang sama juga menginspirasi visi bahwa manusia adalah mitra-
pencipta bersama dengan Allah dan pelayan-pelayanNya di dalam
dunia milikNya. Proyek peradaban adalah sebuah proyek untuk
mengajar manusia lebih daripada sekedar “menghisap sumsum
kehidupan,” tapi memperlengkapi manusia untuk hidup di dunia,
sebuah dunia relasi yang membutuhkan penyembuhan. Peradaban
bukanlah proyek tentang “melakukan segala sesuatu dengan dan
untuk diri sendiri,” tapi tentang belajar mengasihi orang lain dan
hidup adil dalam komunitas manusia.

Mungkin tulisan ini belum memetakan proyek peradaban yang


seharusnya terjadi dengan jelas dan lugas. Namun inilah retorika a
la EGS, yang dengan kerendahan hati senantiasa menjawab
pertanyaan dengan pertanyaan, bukan dengan jawaban; sebuah
dinamika tesis dan antitesis Hegelian tanpa sintesis. Retorika
semacam ini akan mendorong kita semua untuk berpikir kritis; tidak
hanya mengikuti saja apa yang dikatakan orang lain, meskipun
dengan tetap menautkan diri kita pada komunitas yang kita hidupi.
Hanya dengan demikianlah maka kita akan senantiasa berada dalam
upaya pencarian peradaban yang dialogal; bersama-sama dengan

268
sesama saudara seiman dan bahkan juga dengan orang-orang yang
berkepercayaan lain. Seize the day, and embrace the others.

Endnote
1
Kehebatan DPS terbukti dengan berbagai macam penghargaan yang
diterimanya. Di ajang Academy Awards (USA) memenangkan penghargaan
Best Original Screenplay (Tom Schulman) dan berbagai nominasi untuk
Best Actor in a Leading Role (Robin Williams), Director (Peter Weir), Best
Picture (Steven Haft, Paul Junger Witt and Tony Thomas, Producers). Di
ajang BAFTA Awards (UK) 1989 memenangkan penghargaan Best Film, Best
Original Film Score (Maurice Jarre) dan berbagai nominasi untuk Best Actor
in a Leading Role (Robin Williams), Best Achievement in Direction (Peter
Weir), Best Editing (William Anderson), Best Original Screenplay (Tom
Schulman). Di ajang César Awards (France) memenangkan penghargaan
Best Foreign Film. Di ajang David di Donatello Awards (Italy)
memenangkan penghargaan Best Foreign Film. Di ajang Directors Guild of
America (USA) mendapat nominasi untuk Outstanding Directorial
Achievement in Motion Pictures (Peter Weir). Di ajang Golden Globe
Awards (USA) mendapat nominasi untuk Best Performance by an Actor in a
Motion Picture – Drama (Robin Williams), Best Director – Motion Picture
(Peter Weir), Best Motion Picture – Drama, Best Screenplay – Motion
Picture (Tom Schulman). Di ajang Writers Guild of America (USA)
mendapat nominasi untuk Best Screenplay – Original (Tom Schulman).
2
J. Richard Middleton and Brian J. Walsh, Truth Is Stranger Than It Used to
Be: Biblical Faith in a Postmodern Age (Downers Grove: Intervarsity Press,
1995), 34-35.
3
Ibid., 41, 48.
4
Ibid., 36.
5
David J. Bosch, Believing In The Future: Toward a Missiology of Western
Culture, Christian Mission and Modern Culture (Valley Forge: Trinity Press
International, 1995), 22.
6
Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison, enlarged and first
paperback edition, ed. Eberhard Bethge (SCM Press, 1953; New York:
Collier Books, Macmillan, 1972), 5.
7
Ibid., 6.

269
8
Dietrich Bonhoeffer, Ethics, trans. Neville Horton Smith, first Touchstone
edition (New York: Simon & Schuster, 1995), 254.
9
Ibid., 221.
10
Robert Bellah et al. Habits of the Heart: Individualism and Commitment
in American Life. First California paperback edition (Berkeley: University of
California Press, 1996), 104.
11
Ibid., 34.
12
Ibid., 134.
13
Ibid., 46.
14
Ibid., 107.
15
Ibid., 6.
16
Ibid., 284-285.
17
Ibid., xi, xvi. Bellah dkk. mendefinisikan “civic membership” sebagai
“interseksi kritis antara identitas personal dengan identitas sosial,”
sedangkan istilah “modal sosial” dikutip dari Robert Putnam untuk merujuk
pada “berbagai perangkat organisasi sosial, seperti jejaring-jejaring,
norma-norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama untuk keuntungan-keuntungan mutual.” Larry L. Rasmussen,
Moral Fragments & Moral Community: A Proposal for Church in Society
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 37, mengatakan bahwa manusia yang
teralienasi “meluluhkan bukan hanya komunitas-komunitas tradisional
yang akrab tapi rasa tentang kebaikan bersama dan kehidupan publik itu
sendiri.” Dalam kata-kata John Dewey sebagaimana dikutip Rasmussen,
ibid., 39, yang muncul sekarang ini adalah “masyarakat-tanpa-komunitas.”
18
Bellah et al., Habits, 72.
19
Ibid., 65.
20
Ibid., 147-148, 150-151.

270
Bagian VI

DIALOG DENGAN ISLAM

Supriatno
Suwignyo
Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di
Tengah Masyarakat Jawa Barat:
Sebuah Catatan Reflektif *
Supriatno*

Pendahuluan
Tempat, peran dan cara pandang Gereja atas masyarakatnya
terefleksikan melalui pemahaman misiologisnya. Aristarkhus
Sukarto mengkonstatasi, pemahaman misiologis Gereja-gereja tidak
bergeming setelah melewati kurun waktu dua abad. Menurutnya,
Gereja-gereja belum beranjak dari pemahaman misiologis abad ke-
19. Cirinya adalah: Pertama, Gereja memandang dirinya sebagai
umat yang terpilih (yang paling baik) untuk membawa manusia pada
pengenalan Allah Tritunggal dengan cara menjadikan mereka
Kristen. Kedua, Gereja yang memproklamasikan Injil secara verbal
kepada orang yang belum mengenal Tuhan Yesus yang
mendatangkan pertobatan (menjadi Kristen) dipandang telah
menjalankan Amanat Agung (Mat. 28:19-20). Ketiga, kehadirannya
untuk mewujudkan komunitas yang disebut Gereja adalah hal yang
penting atau merupakan identitas misi itu sendiri1.

Pemahaman misiologis Gereja tersebut sangat kental dipengaruhi


semangat superioritas orang Kristen di Amerika Utara dan Eropa
Barat pada abad ke-19, dengan berangkat dari corak berpikir yang
dikotomis. Mereka mengklaim wilayah mereka adalah Corpus
Christianum (wilayah Kristiani) yang serba terang dan positif,
sedangkan daerah-daerah lain di dunia ini adalah Corpus Infidelium
(wilayah kafir) yang serba gelap dan negatif.2

*Pelayanan GKP meliputi 3 propinsi: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.
Jargon yang dipakai untuk 3 propinsi itu ialah Jawa bagian Barat. Tulisan
ini hanya berfokus pada propinsi Jawa Barat.
**
Ketua Umum Gereja Kristen Pasundan, aktif dalam forum ekumene dan
hubungan antaragama.
271
Dari penghayatan pemahaman misiologis demikian, maka parameter
untuk mengukur Gereja yang misioner adalah statistik pertambahan
warga Gereja. Terjadinya konversi penganut agama tertentu beralih
ke Kristen, menjadi ukuran yang dipakai untuk menentukan dan
menilai statis atau dinamisnya sebuah Gereja. Gereja yang dinamis
bilamana terus mampu mendulang jiwa-jiwa baru. Seiring dengan
itu, di kalangan Orang Kristen mencuatlah perasaan betapa berdosa
dirinya, ketika tetangganya, rekan kerjanya, atau saudara sedarahnya
belum bertobat sesuai versinya, menjadi Kristen atau warga Gereja.
Dengan tidak mengkristenkan penganut agama lain, orang Kristen
menganggap secara individual telah gagal menunaikan misi
Gerejanya.

Indonesia adalah majemuk. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika


memeteraikan pengakuan positif bangsa ini atas keanekaragaman
orientasi keagamaan dalam masyarakat3. Sementara itu, kini, tengah
tumbuh kesadaran global atas pluralitas, yakni terkait kebutuhan
pengembangan relasi dan dialog di antara umat berbagai agama. Hal
tersebut tidak bisa dipisahkan dengan terjadinya mobilitas sosial
besar-besaran yang menghasilkan kehidupan antar umat berbeda
agama saling hidup berdampingan. Pertanyaannya, apakah
pemahaman misi Gereja di atas memberikan kontribusi pada
kehidupan bersama yang diwarnai rasa respek satu sama lain?
Ataukah konsep itu justru menjadi sumber ketegangan dan ketakutan
umat lain atas Gereja? Bagaimanakah pengalaman aktual di Jawa
Barat, dengan fakta kekristenan kerap ditolak, dimusuhi dan
dicurigai? Kekristenan diposisikan menjadi entitas yang akan
merenggut anggota komunitas penganut agama lain. Kekeristenan
menjadi simbol ancaman. Gedung Gereja dipersepsikan secara
generik sebagai pangkalan berangkat untuk menaklukkan penganut
agama lain. Dengan demikian, di kalangan umat tertentu gereja
merupakan bahaya laten dan potensial atas kelangsungan eksistensi
mereka. Bagaimanakah Gereja merumuskan misiologinya agar
Gereja baik institusi maupun orang Kristen perorangan tidaklah
dimaknai sebagai entitas yang menakutkan? Langkah apakah agar
konstelasi relasi Gereja dengan masyarakat tidak lagi tetap diwarnai
suasana kecurigaan, miskomunikasi dan prasangka yang kental?

272
Tulisan ini berupaya melihat kiprah Gereja di tengah masyarakatnya,
yang beranjak dari telaah dan penggalan pengalaman yang dilihat
serta dialami oleh penulis sebagai seorang pendeta di lingkungan
Gereja Kristen Pasundan (GKP). Bagaimana agar pada satu sisi
Gereja tetap setia pada misi yang diembannya di tengah dunia, pada
sisi lain, Gereja menghargai konteks masyarakat plural, khususnya
masyarakat Jawa Barat.

Lanskap Sosial-keagamaan Masyarakat Jawa Barat


Mayoritas masyarakat Jawa Barat adalah etnis Sunda dan pemeluk
agama Islam. Pertautan Islam dengan masyarakat Sunda berlangsung
sejak abad ke-19. Jika orang berbicara mengenai masyarakat Sunda,
maka salah satu cirinya adalah Islam4. Tali temali antara Islam dan
ke-Sunda-an telah melewati rentang waktu panjang. Kesadaran itu,
kemudian dipertahankan dan dikukuhkan ulang dalam musyawarah
masyarakat Sunda pada tahun 1967, yang menyatakan manunggalnya
antara Sunda dan Islam5. Islam telah berhasil melakukan integrasi
sosial ke orang Sunda melalui berbagai „pintu‟ strategis. Pertama,
Islam telah merembes ke stratifikasi sosial orang Sunda, dari lapisan
terbawah sampai ke atas, baik masyarakat agraris maupun urban,
sehingga Islam menguasai batin orang Sunda. Kedua, Islam telah
masuk jauh ke relung-relung institusional, antara lain: di bidang
hukum (misalnya hukum waris), arsitektur bangunan dan
kesusasteraan Sunda. Ketiga, Islam telah menjadi agama yang
bersifat komunal, dan telah menyatu dengan sistem dan struktur
sosial. Islam telah sampai pada taraf proses akulturasi budaya yang
efektif6.

Orang Sunda dikategorikan orang yang ramah, santun, tutur katanya


halus, rendah hati, bersifat komunal, dan tidak ambisius serta
menggunakan tingkatan bahasa dalam berinteraksi dengan teman
bicaranya sesuai usia dan posisi sosial. Dalam naskah Sunda Kuno,
Amanat dari Galunggung, ditanamkan nasehat agar orang Sunda
memelihara kerukunan dalam berperilaku agar tidak membunuh
orang yang tidak berdosa, tidak memarahi yang tidak bersalah, tidak
boleh bertengkar, bersama-sama menciptakan tindakan mulia dan
bijaksana dalam bersikap. Salah satu ungkapan dalam bahasa Sunda
ada nasehat, “ulah paluhur-luhur nantung, ulah pagede-gede

273
kahayang”, terjemahan secara bebas, “jangan ingin paling tinggi
untuk berdiri, jangan pula mempunyai keinginan yang paling besar”.
Gamblang sudah, Orang Sunda memiliki kepribadian menghindari
konflik, tidak ambisius, tidak menyukai friksi dan sangat
mengutamakan kehidupan penuh kekeluargaan. Postur kepribadian
orang Sunda seperti itu, sangat dipengaruhi kultus harmoni yang
dihayati orang Sunda.

Selain itu, tanah Sunda mempunyai rekam jejak sebagai wilayah


yang diminati menjadi tujuan untuk menetap dan menikah berbagai
suku dan berbagai bangsa. Mereka dapat diterima untuk
mengintegrasikan dirinya ke lingkungan masyarakat dan kultur orang
Sunda. Bahkan, beberapa orang diakui sebagai tokoh Sunda karena
mereka dinilai telah menghayati dan mempergunakan nilai-nilai
budaya Sunda, meskipun mereka bukanlah keturunan “murni” orang
Sunda. Itu menandakan betapa inklusifnya orang Sunda atas
kehadiran para pendatang dan terbuka atas keragaman.7

Dalam hal keagamaan, masyarakat Sunda sangat patuh menjalankan


kewajiban agamanya; salat lima waktu, berpuasa, naik haji, dll. Di
rumah-rumah keluarga kelas menengah atau berbagai restoran di
sepanjang jalan utama di wilayah Jawa Barat, pada umumnya
mempunyai tajug, atau mesjid kecil untuk sembahyang. Emmanuel
Gerrit Singgih mengungkapkan keheranannya, bagaimana bisa
Hendrik Kraemer menyebut tanah Sunda sebagai “nova zembla
spiritual”, untuk mengumpamakan bagaikan wilayah yang secara
spiritual tandus dan kosong. Padahal, sejak dulu penduduk tanah
Sunda sebagian besar beragama Islam dan sangat menghayati
keagamaannya. Menurutnya, paling tidak ada dua kemungkinan,
pertama, Islam bagi Kraemer tidak memiliki dimensi spiritual (
menurut Gerrit tidak benar!). Atau, tanah Sunda disebut demikian
oleh karena sekian lamanya pekerjaan Pekabaran Injil (Zending)
bagaikan menabur di atas batu-batuan sehingga benih yang
ditaburkan terjepit dan mati: tidak ada hati yang terbuka dan
menyebabkan orang-orang Islam berpindah agama ke Kristen.8

Seiring bergulirnya era otonomi daerah, kita dapat menilik wajah lain
masyarakat Jawa Barat. Otonomi Daerah menciptakan dinamika

274
politik lokal yang memberi ruang lahirnya perda-perda bernuansa
keagamaan. Beberapa daerah tingkat II di Jawa Barat menerapkan
beberapa kewajiban agama dijadikan peraturan formal dalam
wilayah publik9. Penerapan peraturan daerah bernuansa agama di
beberapa daerah tingkat kabupaten dan kota itu, ditengarai
mengandung praktek ketidaksetaraan dan segregasi atas warga
masyarakat di ruang publik, dengan operator formalnya adalah
instrumen pemerintahan dan negara.

Keputusan politik lokal demikian, ternyata bak gayung bersambut


dengan pandangan beberapa pemimpin agama. Ada kesamaan
aspirasi atau chemistry antara birokrat, politisi dan pemimpin agama.
Terlihat dari dukungan tinggi dari para pimpinan pesantren atas
terbitnya peraturan daerah bernuansa agama. Suatu penelitian
terhadap para pemimpin pesantren di Indramayu, Cirebon,
Majalengka, Ciamis dan Pangandaran tentang “Agama sebagai
Potensi Konflik”, memberikan data menarik. Sebanyak 58 % para
pemimpin pesantren menyatakan setuju bahwa umat Islam perlu
terus-menerus memperjuangkan Piagam Jakarta agar dimasukkan ke
dalam konstitusi Indonesia. Dan 89 % pemimpin pesantren
menyatakan setuju bahwa beberapa peraturan daerah bernuansa
syari‟at. Tingginya dukungan ini karena mereka menilai bahwa,
peraturan daerah itu bisa memperbaiki moral bangsa dan secara tidak
langsung bisa mendekatkan Indonesia menjadi negara Islam10.

Respon Atas Kekeristenan


Terdapat pandangan, secara historis titik benturan keagamaan antara
Islam-Kristen bertolak dari pemahaman sempit agenda da‟wa (Islam)
dan misi (Kristen) masing-masing, dan itu berlanjut hingga kini11. Di
kalangan komunitas muslim merasakan kegelisahan kolektif
berkenaan dengan kehadiran Gereja di wilayah-wilayah Jawa Barat,
yang tadinya bersifat homogen dari aspek keagamaan. Terutama
berdirinya gedung gereja di permukiman-permukiman baru dan
sekitar daerah industri. Fenomena ini diinterpretasi tidak dari kaca
mata sosiologis, di mana mobilitas masyarakat membutuhkan sarana
ibadah. Di mata mereka pemahaman yang terbentuk bahwa terdapat
praktek kehidupan Gereja yang mengancam eksistensi umatnya.
Kehadiran gedung Gereja itu dipahami merupakan buah dari

275
berbagai upaya dan strategi Gereja melakukan kristenisasi. Dalam
kasus di Bekasi, sebuah lembaga bernama International Crisis Group
dalam penelitiannya membenarkan asumsi demikian. Laporan ini
menyatakan adanya korelasi antara agresivitas umat kristen injili
melakukan konversi dan lahirnya ketegangan relasi Kristen
Muslim12.

Untuk itu, kita bisa memahami belakangan ini di berbagai kota Jawa
Barat tumbuh berbagai organisasi taktis yang merupakan aliansi dari
berbagai organisasi massa Islam. Mereka mempunyai persepsi dan
opini kuat bahwa Gereja pengusung utama gerakan kristenisasi. Di
Bandung dan sekitarnya, beberapa Jemaat GKP mengalami
intimidasi fisik dan psikologis dari aliansi bernama AGAP.
Sedangkan gedung gerejanya dirusak, ditutup dan sampai kini tidak
dapat dipergunakan untuk beribadah oleh mereka. Tuduhan utama
mereka yaitu, GKP melakukan kristenisasi dengan menjanjikan
pemberian uang berjumlah jutaan rupiah. Dalam kasus Aliansi
Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), sisipan kata “Anti Pemurtadan”,
itu menunjukkan penegasan misi gerakan yang hendak dilawannya,
yaitu membentengi terjadinya peralihan agama lantaran gerakan
kekeristenan.13 Kegelisahan mereka mengkristal dalam bentuk aksi-
aksi ofensif dan anarkis. Dalam rangka membendung apa yang
mereka sebut “pemurtadan”, AGAP melakukan eskalasi pelarangan
beribadah, perusakan dan penutupan gedung gereja yang begitu
tinggi dan sistematik.14

Dalam horizon lebih luas, Gereja menghadapi kebijakan dan perilaku


aparat yang tidak menghargai hak hidup dan kebebasan beragama
komunitas Kristen dan kelompok keagamaan yang lain. Aparat
pemerintah mulai dari level Desa/Kelurahan sampai Walikota/Bupati
menempati ranking teratas sebagai pelaku pelanggaran hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat. Rujukan
paling aktual adalah kasus GKI Taman Yasmin, Bogor. Walikota
memperlihatkan arogansi pemimpin daerah yang menafikan hak
beragama warganya yang dilindungi oleh konstitusi. Seperti
diketahui Walikota dengan sewenang-wenang membatalkan IMB
gedung gereja yang telah ada, dan tetap tidak bergeming dengan
keputusannya walaupun kasus itu telah dibawa ke ranah hukum

276
sampai ke level Mahkamah Agung, dengan keputusan Mahkamah
Agung membatalkan kebijakan walikota tersebut.

Selanjutnya, kita akan makin terpana dengan laporan hasil kerja


Jaringan Kerja Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan (JaKer PAKB2),15 yang melakukan pemantauan dan
advokasi atas isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa
Barat. Laporannya memberikan gambaran mengenai kasus-kasus
pelanggaran beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Jawa Barat,
meliputi seluruh daerah tingkat II di Jawa Barat selama tahun 2000-
2008.16

Merunut Ulang Problematik Relasi Gereja dengan


Masyarakatnya
Menghadapi kondisi obyektif demikian, maka Gereja perlu melihat
ulang (re-view) corak teologinya dan memetakan posisi dirinya di
tengah masyarakat beserta problematik yang dihadapinya. Penting
Gereja bercermin diri. Menurut hemat penulis, paling tidak terdapat
dua gugusan besar problematik yang disikapi dengan hikmat oleh
Gereja. Pertama, Problematik eksternal, yaitu adanya pemahaman
bias masyarakat atas kekeristenan, termasuk mencakup pemahaman
mereka terhadap Gereja. Belum lagi Gereja berhasil menghapuskan
beban stigma sebagai agama asing yang berkaitan erat dengan
sejarah kolonialisme, kekeristenan disebut agama walanda (agama
Belanda). Gereja masih menghadapi pemeluk agama lain yang
mengenal dengan memadai atas kekristenan (religion illiteracy).
Justru Gereja menciptakan beban kontemporer yang baru.
Denominasi Gereja tertentu marak menyelenggarakan aktivitas
keagamaan yang sadar atau tidak sadar makin melanggengkan opini
dan persepsi bahwa kekeristenan melekat erat dengan elemen asing.
Kegiatan gerejawi, seperti: KKR atau seminar-seminar yang
melibatkan pembicara atau pengkotbah terbang dari luar negeri,
terutama Amerika Serikat. Di Bandung pada 2002 sebuah KKR
dengan menamakan diri Festival Budaya mendapat reaksi keras dari
para pemimpin umat Islam. Semua itu berdampak dalam jangka
panjang makin melanggengkan image di kalangan masyarakat,
bahwa benarlah kekeristenan adalah „barang asing‟ (ex-import).
Kekeristenan sadar atau tidak mengidentikkan dirinya dengan

277
Amerika. Gereja melakukan tindakan kekeliruan mengidentifikasi!
Akibat menabur kekeliruan ganda, maka menuai beban ganda pula.

Problematik internal, masih terdapat pemahaman teologi dan


perilaku Gereja atau orang Kristen yang bias atas agama lain.
Dengan mudah kita bisa menemukan jejak warisan teologi dan
asuhan pola relasi tradisional Gereja dengan masyarakatnya. Di sana-
sini ditemukan format relasi yang menganggap dirinya lebih baik,
lebih benar, lebih suci dan lebih spiritualitas ketimbang yang lain.
Dalam format kekeristenan yang diprihatinkan bersama saat kini
adalah kalangan fundamentalisme Kristen. Kita masih mengingat
dengan kuat Anggota parlemen Belanda, Geertz Wilders dengan
membuat kartun Nabi Mohammad, Pastor Terry Jones, dengan
himbauan tak waras membakar kita suci Al-Qur‟an, dan paling akhir
Anders Behring yang mengebom kantor kabinet pemerintah
Norwaygia. Gagasan dan aksi mereka yang intoleran dan
melecehkan simbol-simbol dan keyakinan agama lain serta fasilitas
publik meresahkan kita. Semuanya mencerminkan aksi dan gagasan
yang asimetris dengan kekristenan yang mengajarkan kebajikan dan
rasa hormat kepada pihak lain. Kita melihat dari tindakan mereka
adanya kegelisahan dan ketidaksiapan sikap keagamaan kalangan
fundamentalis atas kemajemukan.

Agenda Utama Ke Depan


Dalam rangka menjalankan misi Gereja dengan bertumpu pada
fondasi relasi yang konstruktif, tanpa abai memperhatikan
pengalaman selama ini dengan berbagai dinamika di dalamnya.
Paling tidak menurut penulis ada lima (5) agenda besar dan utama
ke depan, yang harus terus-menerus dipahami betul dan kemudian
bersama-sama menjadi arah kegiatan Gereja di tengah masyarakat
Jawa Barat, yaitu: Teologi Orang Lain sebagai Sesama; penghargaan
nilai lokalitas; hubungan dengan Muslim; penguatan bidang
pelayanan sosial dan dialog.

1. Menjadi Gereja Bagi sesama


Berangkat dari pemahaman Gereja adalah komunitas yang telah
diperdamaikan dengan Allah di dalam Kristus Yesus. Maka, corak
atau paradigma kehidupan Gereja adalah pembawa damai

278
(peacemaker). Orientasi Gereja mengarah kepada upaya
memproteksi keluhuran manusia dan memberi peluang manusia
mengaktualisasikan martabat kemanusiaannya. Gereja menjadi
komunitas yang menghayati dan menghargai kehidupan penuh
damai. Kita terpanggil untuk menetapkan posisi dan sikap pendirian
Gereja di tengah masyarakatnya seperti itu. Kita menginginkan
Gereja menjadi agen perdamaian, dan sebaliknya tidak mau menjadi
pencipta atau penambah beban sosial yang melahirkan kecurigaan,
prasangka yang berhimpitan dengan kelelahan dan luka batin. Inilah
titik tolak Gereja mengartikulasikan perdamaian secara konkrit, dan
selanjutnya menjadi agen yang gigih mempromosikannya menjadi
lanskap kehidupan bersama.

Dan itu dimungkinkan, bilamana opsi utama misi Gereja


didarmabaktikan sungguh-sungguh bagi sesamanya. Meminjam
istilah William Barclay, sesama adalah orang lain namun amat
berarti (significant other). Orang lain (the other) tidak didefinisikan
sebagai liyan yang bersifat marjinal dan rendah. Begitu kita
menyebut orang lain sebagai sesama, maka mengartikan orang lain
itu sosok subyek setara yang dicintai dan sebagai pihak yang
diterima. Orang lain yang dilabeli sesama mempunyai konotasi
teologis positif yang penuh respek. Makna terdalam dari sebutan itu
menuntun Gereja mengingat kembali untuk memperlakukan orang
lain dengan penuh kerendahan hati. Di sini sangat dibutuhkan
revitalisasi nilai dan semangat perendahan diri (kenosis) seperti yang
dilakukan Kristus (lih. Fil 2:6-8) untuk menjelmakan wacana dan
praksis Gereja Bagi Sesama.

Sungguh penting juga kita mengacu pada tindak pengorbanan


Kristus, karena penghayatan atas pengorbanan-Nya akan menjadikan
arena aktivitas Gereja melampaui komunitasnya sendiri. Mengapa?
Menurut pandangan Choan-seng Song mengenai pengorbanan
Kristus, sesungguhnya makna salib merupakan simbolisasi
pergulatan Allah melawan sentralisasi kuasa keselamatan kasih Allah
di dalam satu bangsa dan satu agama. Sesungguhnya kematian
Yesus di salib merupakan penyangkalan mendasar atas upaya
keagamaan dan politik yang hendak mengkonsentrasikan kuasa
Allah hanya pada komunitas, ras dan bangsa tertentu saja.

279
Menurutnya, Allah melakukan perjanjian dengan segala bangsa,
tidak hanya Israel. Allah terlibat dalam sejarah segala bangsa, tidak
hanya semata-mata sejarah kekeristenan.17

Selain hal di atas, pemahaman prinsipial tentang sesama makin


kokoh dengan menyerap perumpamaan Tuhan Yesus tentang Orang
Samaria yang murah hati (Luk 10:25-37). Gereja diingatkan agar
jargon “menjadi sesama” juga harus melekat menjadi bentuk nilai
yang dihayati Gereja. Gereja tidak hanya “bagi” sesama, melainkan
juga “menjadi” sesama. Dengan Gereja menjadi sesama bagi orang
lain maka kita menangkap pesan utama supaya kita mempunyai
kesiapan berempati dan berkorban dengan orang yang tengah didera
pergumulan dan kesulitan, melalui wujud solidaritas sosial yang
nyata. Dari perumpamaan ini kita diperkaya bahwa akar dari
moralitas dapat ditemukan dalam empati.

Lebih jauh perumpamaan Orang Samaria menyingkapkan wawasan


kita bahwa sesama adalah orang yang telah mampu mengatasi
kebencian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi secara
kultural, dan meretas relasi baru dengan menunjukkan belas kasihan
serta menjadi sesama sejati bagi orang Yahudi, yang dididik
merendahkannya. Di mata Yesus Orang Samaria termasuk dalam
sasaran karunia Allah yang inklusif. Yesus mengajak Ahli Taurat
memahami Allah dengan benar, dalam hal ini Allah yang
mempunyai kasih inklusif. Perumpamaan orang Samaria ini
mengajarkan, sejatinya praktek kebaikan dan belas kasihan
mematahkan rintangan prasangka.18

Begitu juga, Kita bisa menyerap makna substantif sesama di dalam


Matius 22:37-40. Kita menemukan bahwa hukum kasih
menempatkan sesama merupakan sasaran cinta kasih kita, paralel
dengan yang harus kita lakukan kepada Allah. Ini berarti, sesama
ditempatkan pada level terhormat. Semua yang diutarakan tadi,
mengindikasikan bahwa betapa luhur dan mulianya posisi sesama di
mata orang Kristen. Emmanuel Gerit Singgih menilai perwujudan
kasih yang bersifat utuh menyeluruh (holistik) kepada sesama
merupakan Amanat Agung Tuhan Yesus bagi orang Kristen.19

280
Mengacu pada landasan teologis di atas, pilihan Gereja menjadi
Gereja Bagi Sesama, memampukan Gereja mengemas interaksinya
dengan nilai-nilai: inklusif, menghargai yang lain dengan kerendahan
hati, kesediaan bersigap diri bersolider dan mampu memutus warisan
sikap non-apresiatif atas sesama yang berbeda agama. Selama ini,
racikan antara faktor sosiologis dan perkembangan teologis sangat
menentukan wajah Gereja. Pengenalan perubahan konstelasi
kehidupan sosial keagamaan yang berkembang saat ini dan
kesadaran konteks beserta pengalaman pahit-manis yang
melatarbelakanginya, harus menjadikan Gereja belajar dan
mengoreksi diri.

2. Penghargaan Nilai Lokalitas


Gereja Kristen Pasundan bukan Gereja suku, meski demikian
merupakan Gereja yang mengapresiasi orang Sunda dan kulturnya.
Nilai lokalitas yang mengitari Gereja Kristen Pasundan dan seluruh
bagiannya sebenarnya tidak hanya orang Sunda beserta kulturnya. 20
Namun sebagian besar Jemaat GKP berada di wilayah Jawa Barat
maka kultur dominan yang menyekitari GKP adalah kultur Sunda.
Terlebih lagi, beberapa Jemaat GKP berada di tengah-tengah
kampung Kristen, dan warga GKP yang Orang Sunda tidak bisa
dipisahkan dengan kampung Kristen21. Warga GKP tersebut pernah
mengalami fase isolasi ketat dengan budaya lokalnya. Selama
menjalani fase itu kampung-kampung Kristen dilukiskan menjadi
lingkungan sunyi senyap di malam hari. Wayang dan bentuk seni
lain menjadi hal asing dan ditabukan22. Anggota Gereja sungguh-
sungguh tercabut dari akar budayanya.

Hal itu terjadi tidak terlepas dari semangat jaman pada waktu itu, dan
tentu saja termasuk format teologi yang di belakangnya ( backmind ),
seperti aturan Gereja yang tertung dalam Tata Gereja waktu itu.
Dalam hal ini, terjadi apriori negatif atas budaya lokal beserta
dengan berbagai perwujudannya, sehingga dicegah kemungkinan
hubungan positif antara agama kristen dan tradisi atau budaya lokal.
Kekeristenan vis a vis budaya lokal. ketika ditelisik, ternyata akar
permasalahannya terletak pada kuatnya superioritas bangsa Eropah.
Mereka mempunyai rasa harga diri berlebihan, sehingga

281
menyebabkan sikap antipati terhadap pandangan-pandangan dan
cara-cara hidup bangsa-bangsa lain.23

Dengan perhargaan atas nilai lokalitas, Gereja akan mengukuhkan


identitasnya yang berakar pada nilai konteksnya, sekaligus Gereja
dipertautkan dengan masyarakatnya. Dalam skenario lebih mendasar,
Gereja patut mempertimbangkan pandangan Emmanuel Gerrit
Singgih, yaitu Gereja melakukan konfirmasi dan transformasi
budaya. Gereja bisa memilah nilai-nilai budaya Sunda yang dapat
diakomodasi menjadi nilai yang dihayati warganya, seiring dengan
itu mampu mengidentifikasi nilai-nilai yang harus dibaharui sesuai
karakteristik nilai-nilai dan ajaran Gereja. Dengan melakukan
konfirmasi dan transformasi, aura kebudayaan Sunda memancar kuat
di kalangan Warga Gereja. Selama ini sebenarnya, sejak masa
zending GKP telah merintis upaya penghargaan atas nilai kultur
kesundaan. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Sunda, kumpulan
nyanyian dalam bahasa Sunda, tulisan tentang kekeristenan dalam
bahasa Sunda, kotbah bahasa Sunda, demikian juga masuknya seni
Sunda dalam kebaktian-kebaktian khusus, seperti ibadah penahbisan
pendeta. Di beberapa Jemaat GKP rutin setiap tahun
menyelenggarakan acara syukur panen tahunan, sebagai bentuk
perayaan yang mengafirmasikan tradisi dan nilai kultural agraris
menjadi bagian kehidupan Jemaat. Bahkan, beberapa warga GKP
dikenal sebagai penggiat kebudayaan yang tangguh dan mumpuni
baik di tengah-tengah komunitas Gereja maupun masyarakat. Semua
itu, membuktikan keinginan, upaya dan pencapaian GKP
membumikan pesan-pesan keagamaan dalam jantung terdalam
masyarakat yang diwarnai budaya Sunda.

Oleh karena itu, Gereja patut terus-menerus melestarikan dan


mengembangkan komunikasi berbasis nilai kulturalnya. Dalam
bingkai lain budaya tidak melulu ditempatkan sebagai instrumen
untuk memperkenalkan Gereja dan misinya, melainkan budaya itu
sendiri hendaknya menjadi ekspresi otentik mengenai identitas
kekeristenan atau Gereja. Dengan demikian, masyarakat melihat
bahasa agama, simbol, liturgi, maupun pola interaksi Gereja
mengindahkan dan benar-benar berwarnakan kekayaan kulturalnya.
Masalahnya, terdapat kendala internal GKP sebagai Gereja. GKP

282
bukan Gereja suku, yang khusus untuk orang Sunda, melainkan
Gereja wilayah yang terbuka bagi siapapun dengan latar belakang
budaya masing-masing. Oleh karena itu, warga dan pemimpinnya
lebih kental semangat multikultural ketimbang monokultural. Dalam
diri GKP terdapat etnis Batak, Ambon, Minahasa, dll, dengan
identitas serta kekayaan kulturalnya. Tidak mudah menyelaraskan
kesadaran atas nilai lokalitas berjalan seiring sejalan dengan sikap
tanggap atas nilai-nilai multikultural serta budaya yang tercipta
akibat perkembangan globalisasi. Di sini GKP patut mempunyai
strategi kebudayaan yang jelas, terarah dan efektif agar GKP dan
misinya mampu menempatkan diri di tengah persimpangan budaya
ini.

3. Penguatan Misi Gereja dalam Bidang Pelayanan Sosial


Gereja tidak bisa dipisahkan dengan karya sosialnya. Pelayanan
sosial yang telah mapan di lingkungan Gereja adalah bidang
pendidikan dan kesehatan. Secara tradisional Gereja melekat dengan
pelayanan bidang pendidikan dan kesehatan. Th Sumartana melihat
bidang pelayanan Gereja yang berkaitan dengan pendidikan dan
kesehatan menghubungkan lebih dekat antara Gereja dan sesama.
Kekeristenan mengalami kemajuan pesat ketika pesan-pesan
keagamaan dapat diterjemahkan dalam metode-metode zending
modern dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang secara langsung
mampu menjawab harapan-harapan dari sebuah masyarakat.
Keberhasilan zending tak bisa dipikirkan lepas dari seberapa jauh
pesan-pesan mereka mampu menjawab problematik pokok yang
dihadapi rakyat banyak. Tanpa pelayanan sosial yang sungguh-
sungguh dari zending ke masyarakat luas, mungkin agama kristen
akan dengan mudah dilupakan sebagai peninggalan spiritualitas
Barat yang tak relevan.24

Di lingkungan GKP, pelayanan sosial menjadi jembatan yang


menjadikan Gereja melakukan kontak dengan masyarakat sehingga
dua entitas yakni Gereja dengan masyarakat menjadi familiar satu
sama lain. Sepenggal contoh sejarah dalam pelayanan kesehatan,
yaitu rumah sakit sebagai bentuk pelayanan Gereja dalam bidang
kesehatan, dinilai telah menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai
gambaran statistik, pada tahun 1899, di RS Cideres ( kini menjadi

283
milik pemerintah) 8000 pasien datang berobat. Ini luar biasa.
Bandingkan dengan jumlah warga jemaat GKP Cideres waktu itu,
hanya 100 jiwa. Jumlah ini menggambarkan animo masyarakat yang
begitu tinggi atas bentuk pelayanan Gereja.25

Untuk perbandingan, berdasarkan tilikan sejarah, di Jawa Tengah


pelayanan sosial Gereja di bidang medis mengundang apresiasi dan
pujian. Menurut Kartini, tokoh emansipasi, orang Jawa mempunyai
simpati besar atas karya misi Kristen. Mereka tertarik dengan hal-hal
yang berkaitan dengan karya, usaha dan kehidupan orang kristen
dengan karakter mulianya. Pelayanan Gereja menjadikan hidup lebih
indah dan mulia atas umat manusia. Kartini memuji, sekaligus
mengkritik. Pujian disertai kritik ini berkenaan dengan upayanya
menjaga keharmonisan suasana masyarakat Jawa. Kartini mengajak
agar misi Kristen itu tidak dibauri dengan tujuan peralihan
penganutan agama ke lingkungan agama Kristen. Seharusnya misi
ini berbasiskan cinta kasih untuk melakukan kebaikan bagi
masyarakat Jawa. Karena itu, dia keberatan usaha misi yang disertai
bendera agama dan bertujuan kristenisasi masyarakat Muslim.

Dalam pendidikan juga ia menghargai upaya misi ini mematangkan


masyarakat secara mental dan intelektual. Hanya, menurutnya,
jangan sampai karya misi di bidang pendidikan merupakan sikap
ketidakjujuran gereja, manakala pendidikan dimanfaatkan untuk “
mengail di air keruh”. Karya misi semestinya lebih menekankan
cinta kasih dan belas kasihan Allah, ketimbang penyebaran doktrin
keagamaan.26 Karya misi di bidang pendidikan dan medis mendapat
sambutan positif, tetapi ketika pelayanan di bidang itu berubah
menjadi alat untuk terjadinya konversi agama, masyarakat
memperlihatkan sikap keberatannya. Jadi, kedua bidang pelayanan
ini memungkinkan terjembataninya relasi gereja dengan masyarakat,
namun ketika pelayanan itu dibubuhi kepentingan penyebaran agama
maka melahirkan reaksi ketidaksenangan masyarakat.

Kini, problematik kehidupan masyarakat makin kompleks, sehingga


dibutuhkan kecerdasan membaca tantangan dan kebutuhan zaman
serta komitmen keterlibatan Gereja. Gereja tidak cukup hanya
berpartisipasi dalam pencerdasan bangsa dan menciptakan

284
masyarakat sehat. Varian problematik kontemporer yang melukai
martabat kemanusiaan makin beragam, sebagian di antaranya yang
bisa disebut: kekerasan, kemiskinan struktural, traficking, ekses
globalisasi, neo-liberalisme dan perusakan lingkungan. Isu-isu
tersebut menjadi isu yang mempertemukan Gereja dengan eksponen
civil society. Civil society merupakan masyarakat baru yang terbuka,
toleran dengan didirikan di atas pilar sistem hidup modern, dengan
menjunjung tinggi penghargaan individu dengan nilai religius dan
kultural yang dibawanya27.

Keberadaan Gereja berada di luar pusaran civil society akan


menjadikan Gereja teralienasi dari problem riil kontemporer
masyarakatnya. Emmanuel Gerrit Singgih mengingatkan, bahwa
orang-orang Kristen mempunyai kesalahapahaman atasnya sehingga
lama sekali tidak ikut dalam wacana civil society28. Keperdulian
Gereja dengan problem kontemporer dapat menjadi peluang Gereja
merekatkan hubungan dengan wacana dan penggiat civil society.
Dengan demikian, pelayanan sosial menjadi titik jumpa dengan
berbagai elemen civil society, yang mempunyai common platform
membangun masyarakat yang mengedepankan kesetaraan, keadilan
dan kesejahteraan. Selama ini, Flatform ini yang ikut memberi
semangat dan bingkai kerja-kerja lintas iman dan kerjasama
kolaboratif GKP dengan mitra lain dapat berlangsung.

4. Relasi dengan Islam


Dalam rangka menempatkan posisi Gereja lebih tepat dan memiliki
persepsi yang akurat, kebutuhan yang tidak dapat ditunda adalah
Gereja memerlukan pendidikan dan wacana agama lain, khususnya
Islam. Gereja harus menjadi komunitas melek pengetahuan agama
lain (religion litteracy). Dari situ bisa diharapkan Gereja akan
mampu membangun relasi konstruktif dengan kaum Muslim yang
bersifat pro-eksistensi. Banyak warga GKP tidak menyadari betapa
luas spektrum keislaman29.

Memori kolektif orang Kristen tentang kaum Muslim adalah,


mereka memiliki obsesi tak kunjung surut untuk menjadikan Islam
baik institusional maupun teologis sebagai fondasi formal dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kita. Dalam kaitan Islam

285
di tengah ranah (domain) politik, Gereja memiliki kecemasan
tersendiri beranjak dari sejak upaya menjadikan Islam berada pada
jantung konstitusi. Memori kolektif tersebut makin kental, dengan
munculnya produk politik dalam bentuk berbagai perundang-
undangan dan peraturan daerah bernuansa agama belakangan ini.
Entitas Islam tidak tunggal. Benar memang, dalam tubuh komunitas
muslim terdapat kelompok yang menginginkan Islam menjadi
kekuatan politis yang berambisi mengisi posisi-posisi kunci dalam
kekuasaan, supaya dengan itu, ketentuan dalam agamanya menjadi
hukum positif dalam bentuk undang-undang atau ketentuan legal-
formal. Dalam hal ini identifikasi kita akan mengarah kepada
kelompok yang secara ideologis menginginkan Islam menjadi
ideologi negara. Tetapi spektrum Islam itu variatif. Terdapat juga
kelompok yang hanya mendompleng kekuatan Islam untuk menarik
keuntungan buat kepentingan jangka pendek pribadi dan kelompok
elitnya. Kelompok ini lebih bersifat pragmatis, ketimbang
berorientasi ideologis. Mereka cenderung memenuhi syahwat
kekuasaan, di balik obsesi perjuangan agar nilai-nilai dan syariah
Islam diformalisasikan dalam bentuk perundangan-undangan dan
peraturan yang berlaku.

Kelompok yang mempunyai cita-cita, aspirasi dan gerakan di atas,


atau kelompok yang sering disebut Islam politik, mengalami pasang
surut. Dalam peta makronya, relasi antara Islam dan negara pernah
mengalami periode yang diwarnai sikap ketidakpercayaan dan
hubungan antagonistik satu sama lain. Kaum muslim merasa
mengalami beraneka kepahitan sebagai bentuk perlakuan Negara
atasnya (pelarangan pemakaian jilbab di kantor, sekolah dan ruang
publik; banyak aktivis Islam dipenjarakan, politisi muslim
dipinggirkan, dll). Pendeknya, kaum muslim merasa politisi Muslim
dan ulamanya dimarjinalisasi dari panggung politik nasional. Dan
negara telah memangkas dukungan akar rumput tradisional kepada
elit keagamaannya.30

Saat itu, rezim Soeharto dengan Orde Barunya memang


memberlakukan kebijakan yang mengisolasi konstitusi dan
kebijakan politiknya ekstra ketat dari penetrasi cita-cita politik Islam.
Memasuki 1990-an, barulah Soeharto membuka babak baru dengan

286
lebih akomodatif. Akibatnya, terjadi pergeseran relasi antara Islam
dan negara, Soeharto memberi peluang kelompok Islam menempati
posisi strategis melalui islamisasi kabinet, militer dan birokrasi
pemerintahan melalui jalur ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia). Efek sebaliknya, strategi Soeharto ini berimbas pada
marjinalisasi secara sistematis ke militer, kelompok minoritas dan
juga kelompok Islam arus utama, seperti NU.31

Perkembangan kemudian yang terjadi, mahasiswa sebagai aktor


utama berhasil menjungkalkan Soeharto dan rezim Orde Baru yang
otoritarian sehingga melahirkan era reformasi. Suatu era yang
mengencangkan sendi-sendi demokratisasi. Impak kelahirannya,
tidak hanya memperkuat keutuhan nasional dengan pengindahan dan
penghormatan atas supremasi hukum, tetapi juga menggulirkan
demokratisasi yang membuka ruang partisipasi, bahkan eforia
kebebasan dengan berakibat memicu timbulnya kembali ikatan-
ikatan lokal dan primordial, yang mengancam sendi-sendi
kebangsaan.32 Dalam kaitan relasi Islam dan negara memunculkan
dua pola utama. Pertama, memungkinkan kaum muslim masuk
dalam politik arus utama. Kedua, era reformasi memberi ruang untuk
kebangkitan Islam militan. Reformasi yang disambut antusias karena
membuka ruang demokrasi lebih terbuka lebar-lebar, simultan juga
menyediakan Muslim militan dengan platform konstitusional untuk
berfungsi secara bebas seperti organisasi civil society yang lain, di
mana mereka sebelumnya beroperasi secara klandestin.33

Selain adanya kelompok tadi di atas, patut kami mengemukakan


adanya kelompok-kelompok dan lapisan pemikir muda Islam yang
mempunyai pemikiran keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai
substansif Islam, seperti prinsip: keadilan (al-adl), kesamaan (al-
musawah), dan musyawarah atau demokrasi (syura) untuk
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat tanpa harus mengubah
Islam menjadi dasar negara. Kelompok ini menolak jika idiom-idiom
dan simbol-simbol Islam digunakan dalam keberadaan hukum publik
karena bisa menyinggung hak perorangan dan kelompok pihak lain34.
Mereka sangat mendasarkan pemahaman dan praktek keagamaannya
pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka, yang menolak
mengkafirkan dan menganggap murtad pihak-pihak lain yang

287
berbeda, serta menolak ukuran kebenaran pemahaman keagamaan
dengan cara ideologis dan politis.35 Keislaman yang terakhir ini,
menurut Robert W. Hefener memberikan kontribusi tak ternilai bagi
politik global sebab demokrasi bisa beresonansi dengan nilai-nilai
Islam terdalam36.

Tentu tidak mudah menjalin relasi Kristen-Islam di tengah riuhnya


konstelasi keagamaan, termasuk kontestasi berbagai kepentingan
yang ingin mewarnai kehidupan masyarakat dengan konsep dan ide
masing-masing. Terlebih situasi makin rumit dengan hadirnya
tantangan baru, terutama berkaitan dengan merebaknya watak
radikalitas di kalangan Islam. Tindak-tanduk kalangan ini
menciptakan kompleksitas yang makin menyulitkan hubungan
antara Gereja dan Islam. Setara Institute dalam laporan tahunannya
menyatakan, kelompok ini dengan berbagai nama (FPI, Garis,
Tholiban, Geram, FUI, FUUI, LP3SI, AGAP, GAPAS dan FAPB)
telah ambil bagian dalam mempromosikan pandangan dan sikap
intoleran terhadap golongan lain. Mereka menggalang orang untuk
melakukan dan mendukung aksi-aksi yang mencerminkan pandangan
dan sikapnya37. Mengacu pandangan Jamhari dan Jajang Jahroni,
kelompok radikal Islam mempunyai pandangan yang salah satunya
menempatkan Kristen merupakan lawan Islam dan dunia Islam38.
Mereka mempunyai persepsi atas ketidakdilan tata kehidupan politik
global maupun nasional, yang mana mereka kekristenan menjadi
bagian di dalamnya yang ikut memberi kontribusi praktek
ketidakadilan.Dengan kata lain, kelompok ini dengan berbagai
kiprahnya menjadi kekuatan potensial penghambat tumbuhnya
kehidupan bersama yang penuh respek antara Kristen dan Islam.
Gerakan radikalitas bisa merampas kerinduan tata kehidupan
bersama masyarakat plural, yang diwarnai kesediaan membangun
kehidupan bersama yang penuh toleran dan harmonis.

Dengan deskripsi di atas, Gereja-gereja dituntut makin merapatkan


kesenjangan relasinya dengan Islam. GKP telah dan terus berupaya
membangun hubungan yang solid dengan kalangan Muslim yang
terbuka dan moderat39. Sedangkan derajad relasi GKP dengan
kelompok radikal GKP lebih bersifat memberikan klarifikasi pada
forum tertentu mengenai pemahaman distorsif yang mereka miliki.

288
Pengalaman memperlihatkan betapa tidak mudahnya berdialog
dengan mereka yang mengedepankan prasangka, pendekatan fisikal
dan percakapan bersifat monolog. Meski demikian, perjumpaan
dengan kelompok radikal dengan dijiwai semangat keterbukaan dan
kejujuran harus menjadi agenda Gereja.

5. Dialog sebagai Pilihan Terbaik


Dialog berimpitan erat dengan kesadaran pluralitas. Gereja yang
menghayati hakikat dirinya dalam kemajemukan tidak bisa tidak
dialog bukan sekedar aktivitas suplemen melainkan bersifat
imperatif. Ketika Gereja-gereja dan GKP telah menapaki jalan
dialog dengan agama-agama lain, hal itu menandakan Gereja tengah
masuk dalam bentuk affirmative action atas konteks pluralitas, yakni
meretas jalan dialog untuk mengekspresikan esensi kekeristenan
dengan memposisikan dan melihat agama lain dengan penganutnya
sebagai mitra dialog setara.Sedangkan Gereja yang berdialog adalah
Gereja yang bersedia mendengar, belajar dan menyerap pengalaman
estetika, etika dan spiritualitas agama-agama lain, yang kelak
mengubah cara Gereja memandang diri sendiri dan agama lain.
Selain itu, dari dialog kita menemukan titik temu nilai, visi
kehidupan dan komitmen nilai bersama yang bisa meletakkan
fondasi untuk kehidupan bersama, serta membagikan nilai dasar
yang dimiliki masing-masing. Dan ini sekali-kali bukan modus
sinkretik. Karena tidak ada sama sekali desain untuk mencampur-
adukan setiap agama untuk menghasilkan sebuah bentuk keagamaan
tertentu. Pertanyaannya, siapkah kita? Jelas tidak mudah menjadi
Gereja mau melalui proses seperti itu. Mengapa? Di kalangan
Gereja masih ditemui format teologi yang bersifat dikotomis, kita-
mereka. Kita benar-mereka salah. Kita terang-mereka gelap.
Langgam kehidupan Gereja terbiasa mengajar kebenaran untuk
orang lain (teacher complex), bukan belajar kebenaran dari yang lain.

Gereja telah hadir berabad-abad di tengah masyarakat yang


majemuk, meski demikian kita tidak memiliki tradisi dialog agama
dengan pijakan preseden historis dan empiris yang panjang dan
kokoh. Dialog merupakan modus keagamaan yang relatif baru
diintrodusir. Kekristenan yang tiba di tanah ibu pertiwi ini,
merupakan entitas yang hidup dan berkembang di sekitar postur

289
peradaban Barat, yang kuat dengan sensasi rivalitas dan triumpalistik
atas agama lain. Tapi hal itu tidak boleh menjadi alasan
menghentikan niat dialog menjadi agenda yang diinternalisasi dalam
identitas Gereja. Dialog itu makin mengarifkan pemimpin dan warga
Gereja memandang keperbedaan. Paling tidak, dialog menawarkan
terbentuknya corak relasi baru, yang merupakan pergeseran dari
paradigma relasi tradisional. Kita beralih dari paradigma relasi
tradisional kekeristenan dengan agama lain, yang kental bermotif
evangelisasi dan konversi40.

Tantangan ke lingkungan Gereja sendiri, bagaimana meyakinkan


dirinya bahwa sebenarnya dialog tidak menyangkali integritas
keimanan atau menghindar diri dari Gereja yang misioner. Memang,
parameter misioner atau tidaknya kehidupan Gereja bukan diukur
dari bertambah atau tidaknya statistik warganya. Melainkan Gereja
merumuskan format misiologisnya dalam wujud memberi buah
karya kebajikan kristiani untuk sesama dalam konteks realitas yang
plural. GKP sendiri mendefinisikan kemisionerannya sebagai
berikut : “…ikut serta dalam karya Allah di dunia, dengan
memberlakukan kasih, sukacita, kebenaran, keadilan dan damai
sejahtera sebagai perwujudan tubuh Kristus…”41. Dan Rapat Kerja
GKP 2011 memutuskan, “GKP terpanggil untuk terus
mengembangkan teologi kontekstual yang terbuka terhadap Yang
Lain dengan kearifan lokal yang ada sambil tetap menjaga jati
dirinya sebagai Gereja Yesus Kristus”. Formula ini mengamanatkan
bahwa dunialah arena utama kiprah Gereja. Allah bekerja di sana,
dan tidak dikavling hanya dalam komunitas gereja. Gereja dipanggil
masuk ke dunia dengan mengoperasionalkan nilai prinsipial
kekeristenan. GKP tidak menganut, melestarikan dan
mengembangkan pemahaman misologis abad ke-19 seperti yang
diprihatinkan Aristarchus Sukarto.

Dialog harus mendapat topangan teologi, oleh karena itu dialog tidak
dapat dipisahkan dengan pluralisme. Tanpa pluralisme dialog
kehilangan pijakan dan akan mudah goyah. pluralisme mengalaskan
pandangan positif terhadap agama-agama lain, karena
mengasumsikan setiap agama merekam pengalaman dengan Allah
yang absolut (ultimate truth). Setiap pengalaman agama mempunyai

290
keunikan masing-masing, dan pengalaman religiusitas masing-
masing itu tidak bisa mengklaim yang paling ungggul, sempurna
dan eksklusif. Berangkat dari pemahaman demikian, pluralisme
melahirkan pengakuan setiap agama tidak sama. Unik. Meski
demikian tidak menegasikan dan merendahkan keberadaan agama di
luar dirinya42. Dengan demikian, pluralisme menjadi tulang
punggung untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman
timbal balik43. Pada sisi lain, menjadi bantahan atas tuduhan dan
stigma bahwa dialog dan pluralisme secara spiritual dan moral
melenceng dari kemisioneran Gereja. Dialog tidak vis a vis dengan
Gereja yang misioner.

Dialog sebagai format aktivitas keagamaan, baik sebagai wacana


maupun praksis harus terus bergulir, sebab memungkinkan
menghadirkan atmosfir setiap agama menyuguhkan potensi
terbaiknya bagi kebersamaan dan kemanusiaan dalam masyarakat
majemuk. Keprihatinan yang masih menggayut, dialog dinilai masih
bersifat sporadis dan sangat elitis. Masih sedikit Jemaat-jemaat
mengagendakan dialog sebagai programnya. Tidak sedikit pemimpin
Gereja memperlihatkan kekurangsiapan berdialog. Apalagi, kalau
pimpinan Gereja dan warganya masih terbelenggu teologi yang
berwawasan misiologis seperti yang dikonstatasi Aristarchus di atas.
Dalam pengamatan penulis, Gereja-gereja termasuk GKP berada
dalam proses transisi, di satu sisi berupaya melepaskan diri dari pola
relasi tradisional, pada sisi lain, belum sepenuhnya pola relasi
dialogikal menjadi pola mapan dalam menjalankan tugas
misionernya.

Penutup
Prof DR Emmanuel Gerrit Singgih adalah Guru yang setia dengan
tugasnya, dan figur yang mencintai pengabdiannya. Teologi yang
dibangunnya saya yakin bagaikan cahaya mercu suar, menuntun
Gereja dan para muridnya yang bertebaran di seantero nusantara
(juga luar negeri!), dalam menggeluti keseharian pelayanan
mengabdi di berbagai bidang tugas. Hingga kini, saya secara pribadi
bersyukur dan bangga menjadi muridnya, dan menimba pemikiran
teologi dari sumur pemikirannya yang tak kenal kering. Ketika harus

291
menanggapi isu-isu baru di tengah masyarakat, really excited
menyikapinya dengan tuntunan lewat buku-buku Guru sendiri!

Tulisan ini merupakan artikulasi rasa hormat, bangga dan syukur


yang dipersembahkan bagi Pak Gerrit. Berisi refleksi dan opini
personal berangkat dari sepenggal pengalaman sebagai pendeta
Gereja Kristen Pasundan, dan bersifat ajakan agar Gereja selalu
berupaya menjadi Gereja yang otentik. Sekaligus Gereja tanpa lelah
mau membaharui format teologi dan kehadirannya dalam
menjalankan tugas hakikinya di tengah konteks yang terus berubah,
dengan tetap setia pada karakter dasarnya sebagai Gereja, dan kuat
berpijak pada akar nilai-nilai kulturalnya. Dengan semua itu, niscaya
Gereja mampu menjadi entitas yang mentransformasi nilai di
sekitarnya dan sahabat buat sesamanya.

292
Endnote
1
Lih. Aristarchus Sukarto, “Komunitas Rekonsiliatif” ( Penuntun, Vo.4
No13, 1997/1998,), hal.24.
2
Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (
Jogjakarta, TPK, 1997) hal. 158
3
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita (Jakarta, Universitas Paramadina,2003),
hal.78.
4
Ayatrohaedi, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon (Jakarta, Balai
Pustaka,1996), hal.96.
5
Ibid, hal.98.
6
Supriatno, Ziarah di Kompleks makam Sunan Gunung Jati Cirebon: Suatu
Studi Mengenai Kepercayaan Kepada Wali dalam islam, Jogjakarta, Tesis
Magister Teologia, UKDW, 2001, hal.133-134.
7
Ayip Rosidi, Manusia Sunda, (Jakarta:Idayu Press, 1984) 11-13.
8
Gerrit Singgih, Israel Akan Menjadi Nomor Tiga…: Refleksi Teologis
Mengenai Keberadaan Orang Kristen di Indonesia Berdasarkan Yesaya
19:18-25, dalam suntingan Pokja Penyusunan Buku Peringatan HUT ke-65
GKP, Merenda Potensi-Mandiri dalam Misi (Bandung, Sinode GKP,1999),
hal. 251-252.
9
Beberapa di antaranya: Cianjur, Tasikmalaya, Garut. Lebih lengkap lih.
Supriatno, Menyikapi Peraturan Daerah Bernuansa Agama di Jawa Barat
(Jakarta, BPK-GM, 2009), hal.197-218.
10
Malindo Institute, For Social Research and Islamic Development, 2008,
hal. 30-31.
11
Zainul Kamal, dkk. Interfaith Theology, Responses of Progressive
Indonesian Muslims (Jakarta, ICIP,2006), hal.130
12
Lih. International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Asia Briefing No 114, Jakarta/Brussels, 24 November 2010.
13
Jemaat GKP tersebut adalah: GKP Dayeuhkolot ( dirusak dan ditutup),
GKP Ketapang (ditutup dan dirusak) dan Pos Kebaktian Cimuncang
(dirusak, dibakar dan ditutup). Aksi ini dilakukan dengan anggapan bahwa
keberadaan gedung gereja liar dan telah mengkristenkan anggota
masyarakat di sekitarnya. Berbagai aliansi itu adalah: AGAP (Bandung),
Gerakan Reformis Islam (Cirebon, Cianjur), Forum Umat Islam (Bekasi).
Aliansi itu mengklaim didukung Front pembela Islam (FPI), Barisan Pemuda
Persis, Hizbul Tahir, Forum Ulama Umat Islam (FUUI), dll.
14
Survey yang dilakukan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah
Jawa Barat, tahun 2005 menunjukkan intensitas penutupan dan perusakan

293
gedung gereja pada tahun-tahun itu mencapai 25 buah. Sebelum dan
sesudah tahun-tahun itu, secara sporadis tindakan penutupan dan
perusakan gedung gereja itu terjadi, disertai intimidasi dan pelecehan
bernuansa agama. Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan didirikan pada 26 April
2005 (Bandung dan sekitarnya),
15
Jaringan Kerja ini terdiri dari 6 lembaga : Sinode Gereja Kristen
Pasundan, LBH Bandung, PBHI Jawa Barat, Desantara-Jakarta, Jaringan
Intelektual Muda Muhamaddiyah (JIMM), Fahmina-Cirebon.
16
Beberapa catatan dapat diangkat. Pertama, grafik pelanggaran atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat tidak cenderung
menurun, malah memperlihatkan gerak fluktuatif. Tahun 2005, 2007 dan
2008 menunjukkan tahun-tahun tertinggi terjadinya berbagai jenis
pelanggaran. Kedua, pelaku pelanggaran terbanyak berasal dari aparatur
negara dan perangkat desa/kelurahan, camat, aparat kepolisian dan
Bupati/Walikota. Ketiga, jenis tindakan intoleransi dan diskriminasi yang
tertinggi meliputi: pelarangan kegiatan keagamaan, pernyataan tokoh yang
destruktif, perusakan tempat ibadah dan ancaman penutupan tempat
ibadah. Keempat, kota-kota yang paling mendapat ‘raport merah’ yaitu:
kabupaten Bekasi, kabupaten Bandung dan kabupaten Kuningan. Kelima,
jenis hak-hak yang paling banyak dilanggar, yaitu: hak untuk berkumpul,
hak untuk beribadah, hak atas perlindungan hukum, dan hak atas rasa
aman
17
C.S. Song, The Compassionate God, (New York, Orchidbook, 1982)
hal.72-73.
18
Dhyanchand Carr, Jesus’ Attitude toward People of Other Faiths
(Hongkong, CTC Bulletin, Vol.XIX. No.3), hal.18.
19
Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologhi dan Bermasyarakat (Jogjakarta,
TPK, 1997), hal. 157.
20
Wilayah pelayanan GKP mencakup 3 propinsi, yaitu: DKI Jakarta, Banten
dan Jawa Barat, dengan disertai kekhasan nilai kultural masing-masing.
21
Istilah Kampung Kristen muncul dari strategi Zending untuk memproteksi
orang-orang Sunda yang mendapat tekanan sosial dari masyarakat
sekitarnya. Lalu mendirikan pemukiman yang menampung orang Sunda
Kristen tersebut. Kampung-kampung Kristen di lingkungan GKP adalah:
Pengharepan-Cikembar, Palalangon-Cianjur, Cideres-Majalengka,
Rehoboth-Tamiyang, Indramayu.
22
Dalam aturan Gereja yang disebut “Dina Parkumpulan Orang Karesten di
Pasundan, Pasal 69, tahun 1917”,Papagon Gareja (Tata Gereja), tahun

294
1934, Pasal 73, disebutkan bahwa orang Kristen tidak diperkenankan
sebagai Anggota Gereja menonton wayang, nanggap ronggeng atau doger.
Tata Gereja, tahun 1956, Pasal X c, tidak boleh mengadakan pertunjukan,
tontonan dsb, yang tidak sesuai dengan kekeristenan.
23
Lih. Gerald D. Gort, Sinkretisme dan Dialog, Berbagai Persepsi Orang
Kristen Dalam Sejarah dan pada Awal Kegiatan Ekumenis (Jakarta,
Peninjau, 1990) hal.41.
24
Th Sumartana, Sarikat Islam dan Zending, dlm. Suntingan Eka
Darmaputera, Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta; PGI, 1988) hal.135.
25
Th. van den end, Sumber-sumber Zending (Jakarta, BPK-GM, 2006) hal.
18 & 792.
26
Th, Sumartana, Mission At the Crossroad ( Jakarta, BPK-GM, 1991) hal.
277-2778
27
Martin Sinaga, Pembentukan Civil Society dalam Masyarakat Modern:
Tantangan Kontemporer dalam Dialog Antar-umat Beragama, dlm Agama
Dalam Dialog (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003) hal.296-297.
28
Emmanuel Gerrit Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi (Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 2009), hal.190.
29
Penulis kerap memfasilitasi akademisi dan pemimpin pesantren
memberikan ceramah di gedung gereja dan institusi Kristen di berbagai
kota (Cirebon, Bandung, Jakarta, Sukabumi). Hasilnya memberikan dampak
ganda yang positif, baik bagi Gereja maupun penceramah itu sendiri. Yang
diperoleh sering berupa pengguguran gambaran bias Islam yang dimiliki
sebelumnya, dan juga meretas suasana psikologis yang baru. Artinya
melek agama lain bisa membangun wawasan dan silaturahmi yang baru.
30
Bakhtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam ( Jogjakarta, Galang,2003).
31
Dicky Sofjan, Why Muslims Participate in Jihada, An Empirical Survey on
Islamic Religiousity in Indonesia and Iran (Bandung, Mizan, 2006) hal. 128-
129.
32
Samsudin Haris, Kompas, 12 Juni 2008.
33
Dicky Sofjan, Why Muslims Participate In Jihad, An Empirical Survey On
Islamic Religiosity In Indonesia and Iran ( Bandung, Mizan, 2006), hal. 133-
134.
34
M. Imdadun Rahmat, Jalan Alternatif Syariat Islam (Jakarta, Tashwirul
Afkar, Edisi No.12 Tahun 2002), hal 5.
35
KH Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia (Jakarta, Wahid’s Institute, dll, 2009) hal. 21-22.

295
36
Robert W. Hefner, Islam Pasar keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi (Jogjakarta, LKiS, 2000), hal..xxv.
37
SETARA Institute, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat,
Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,
(Jakarta, 2011), hal.165.
38
Pertama, menunjukkan mentalitas “perang salib”. dunia Barat,
khususnya Amerika Serikat, melakukan neo-kolonialisme. Kedua,
Mengupayakan penegakan hukum Islam di dalam kehidupan sosial,
ekonomi, budaya dan politik sebagai prasyarat komunitas Muslim dapat
benar-benar tunduk kepada Allah. Ketiga, tidak percaya kepada lembaga-
lembaga pemerintah dalam rangka menanggulangi ‘penyakit sosial’
masyarakat, yang mereka identifikasi sebagai ‘maksiat’ dan ‘kemungkaran’.
Keempat, Jihad, yang dimaknai usaha fisik untuk memerangi musuh-musuh
Islam, mendapat tempat terhormat untuk menegakkan agama sebagai
lambang supremasi kebenaran Tuhan di dunia. Kelima, dipengaruhi konflik
di Palestina dan isu kristenisasi, mereka menganggap Kristen dan kaum
Yahudi memiliki kesatuan tujuan melakukan konspirasi melawan Islam dan
dunia Islam. Lih. Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di
Indonesia (Jakarta;Rajawali Press, 2004) hal. 6-8. Paham radikal juga
senang melihat masa-masa lalu, ketika umat Islam berjaya dan ingin
kembali kejayaan Islam di bidang ekonomi, social, budaya dan ilmu
pengetahuan. Kejayaan masa lalu ingin dijadikan jawaban atas
permasalahan sekrang akibat terjadinya krisis kehidupan. Tetapi kurang
berpijak pada kenyataan yang ada pada saat ini.
39
Berbagai kegiatan lintas iman GKP: penerbitan Buletin Lintas Iman dwi-
bulanan “Bianglala”, Studi Intensif Kristen Islam, Seminar, Lokakarya
dengan isu-isu kontemporer, penguatan forum lintas iman yang sudah ada
di Jawa Barat (Cirebon, Bandung, Sukabumi), aksi sosial bersama, perayaan
bersama hari besar keagamaan (Natal dan lebaran) dll.
40
Di GKP penentuan Hari Pekabaran Injil, tanggal 12 Juli, bertitiktolak pada
momen orang Sunda yang pertamakali menjadi Kristen.
41
Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan Tata Gereja (Bandung Sinode
GKP, 2007) hal.4.
42
Wilfred Cantwentwell Smith, “The Church in a Religously Plural World”,
dlm. Richard J. Plantinga, Christianity and Plurality (Oxford, Blackwell
Publisher, 1999), hal.314-315. 3 hal utama yang harus dilampaui
kekeristenan dalam membangun relasi dengan agama lain, yaitu: problem
intelektual, moral dan teologis. 1) Dunia modern menjadikan komunitas

296
dan tradisi beragam agama tidak lagi terpisah dan tidak saling mengenal.
Komunitas dan tradisi agama-agama saling bertemu dan berpenetrasi,
dengan medan pergulatan problem yang sama. Implikasinya bisa terjadi
konflik baik yang kelihatan maupun tersembunyi. Perlu ditumbuhkan sikap
kooperatif bersama di kalangan agama-agama bahwa hal itu sebagai
bersifat imperatif moral. 2) serius mengartikan hidup, kematian Kristus di
atas kayu salib dan kemenangan-Nya adalah perwujudan kebenaran yang
final. Pada aras moral, menjadikan kekeristenan memikul tugas melakukan
rekonsiliasi, kesatuan, harmoni dan persekutuan. Sekat-sekat penghalang
didobrak, jurang yang menganga dijembatani dan setiap orang adalah
sesama, sahabat yang dicintai Allah sebagaimana yang dilakukanNya
kepada kita. 3), merumuskan konsep dan mengkonstruk doktrin yang
rendah hati. Gereja mempertimbangkan untuk mengkritisi doktrin yang
mencerminkan arogansi kekeristenan.
43
Raimundo Panikkar menguraikan 3 sikap: eksklusivisme, inklusivisme dan
pluralisme, lih. Dialog Intra Religius, (Jogjakarta, Kanisius, 1994), hal. 18-34.

297
Komisi Hubungan Antarumat (Kaum)
sebagai Simpul Dialog
Versi Greja Kristen Jawi Wetan
(GKJW)
Suwignyo*

Pengantar
Tulisan tentang dialog ini adalah bingkisan buat penghormatan Pak
Gerrit dari bumi Jawa Timur. Kecuali secara intensif dipergumulkan
di Jawa Timur, topik dialog – saya rasa – merupakan salah satu topik
yang mendapat perhatian khusus dari Pak Gerrit. Banyak tulisan
dalam ruang lingkup dialog telah ditulis oleh Pak Gerrit; bukan
karena ikut-ikutan bahwa dialog sedang trendi belakangan ini seperti
kebanyakan karya tulis tentang dialog. Atau, karena sedang marak, di
mana-mana dibentuk lembaga baru dari yang bersifat sangat formal
sampai forum-forum keumatan non-formal di bawah payung besar
dialog. Institusi-institusi dialog pun banyak didirikan di banyak
tempat. Bukan alasan seperti itu, melainkan sejak tahun 1980-an Pak
Gerrit secara konseptual telah mencanangkan ”proyek akademis”
besarnya, yakni berteologi kontekstual di Asia. Buku Dari Israel ke
Asia menjadi saksinya.

Dari fokus berteologi konteks Asia tersebut Pak Gerrit membangun


banyak ”batu bata” dialog yang serba kuat dan bagus bertolak baik
dari perspektif tafsir Kitab Suci maupun filsafat yang kental. Sebagai
landasan teologis khas Asia, tesis teolog dari Sri Lanka, Aloysius
Pieris, dijadikan titik pijak membaca konteks Asia. Konteks
berteologi di Asia mestilah memperhitungkan dua hal utama, yakni

*
Doktor Teologi, Pendeta GKJW di Institut Pendidikan Teologia Balewiyata,
Malang
299
kemiskinan dan keanekaragaman agama. Pada kemudian hari, dari
perkelanaan yang berbeda, dengan konteks Amerika Latin, Paul
Knitter mengidentifikasi konteks serupa dengan konteks Asia-nya
Pieris, dengan istilah ”mereka yang menderita” dan ”mereka yang
beragama” (seperti dalam buku karya Paul Knitter berjudul Satu
Bumi Banyak Agama). Pak Gerrit bertolak dari dua asumsi itu pula.
Hanya versi Protestannya coba lebih ditonjolkan. Jadi, kalau kedua
nama tadi lebih ”Katolik”, Pak Gerrit menjadi representasi
”Protestan”.
Dari pena Pak Gerrit bangunan teologi kontekstual di Asia kian
diperjelas sosoknya, terutama dari sisi pandang seorang Protestan
dan Indonesia – demikian sering ditegaskan oleh Pak Gerrit.

Sekilas Sejarah Kaum


Bingkisan ulang tahun yang dikirim dari bumi Jawa Timur diberi
judul ”Komisi Hubungan Antarumat (Kaum) sebagai Simpul Dialog
Versi Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW)”. Kaum atau Komisi
Hubungan Antarumat ada di Jawa Timur di Greja Kristen Jawi
Wetan. Akan tetapi, istilah ”simpul dialog” adalah apresiasi saya
sendiri terhadap entitas baru tersebut. Motif dari pembuatan istilah
baru dalam tulisan ini sebenarnya lebih berorientasi pada penegasan
secara internal. Maksudnya, yang ingin dikedepankan, yaitu Kaum
adalah sebuah prestasi baru GKJW dalam perjalanan sejarahnya,
terutama sejarah hubungan antarumat yang digalang oleh hampir
seluruh warga GKJW dalam dinamika pelayanannya.

Sebagaimana Pieris menyebut ”sosialisme religius”, demikianlah


GKJW memulai mewujudkan gerak langkahnya melalui Kaum.
Terlalu dini memang mengidentifikasi Kaum sebagai salah satu
bentuk dari ”sosialisme religius”, sebuah konsep transformasi sosial-
religius yang menyapa kenyataan kemiskinan dan keragaman agama
di Asia. Sebab, gerakan Kaum masih terbatas pada upaya gereja
memberi perhatian khusus pada dinamika berdialog lintas agama.
Pintu masuk Kaum adalah dialog lintas agama; masuk melalui
konteks keanekaragaman dari ”mereka yang beragama”. Bahwa di
sana-sini kumpulan orang-orang berbeda-beda agama mengurus
agenda ”bakti sosial” dari yang paling karitatif sampai dengan yang
reformatif atau transformatif, sebagaimana akan dijelaskan berikut,

300
Kaum hadir pula dan berurusan dengan agenda kemiskinan, ”mereka
yang menderita”. Akan tetapi, format kebersamaan lintas agama
masih terlalu cair untuk disebut ”sosialisme religius” versi Pieris.
Dalam tulisan ini tinggallah diasumsikan bahwa ”sosialisme religius”
Pieris merupakan model penanganan dua agenda atas dua konteks
utama Asia.

Kaum pada umumnya belum sekental itu; barulah sampai pada tahap
perkenalan. Adalah beberapa orang warga GKJW yang berjiwa
pionir ikut serta menggalang gerakan dan pengorganisasian warga
masyarakat, bersifat lintas agama; kegiatannya pemberdayaan
ekonomi dan pemberdayaan kesadaran berdemokrasi. Pionir tersebut
secara formal dan struktural menjadi pengurus Kaum. Artinya,
kegiatannya di back up oleh gereja. Namun, dalam hubungan kerja
sama dengan pihak-pihak lain, dia berkapasitas sebagai pribadi.
Antara pribadi dan organisasi tidak dapat diidentifikasi secara persis.
Meskipun orang mengenalnya sebagai orang GKJW, kehadirannya
lebih diapresiasi sebagai seorang bernama si A, si B, atau si C.
Dengan kata lain, GKJW hadir sebagai pribadi-pribadi, bukan
institusi. Orang di luar GKJW kurang peduli seberapa besar atau
kecil kewenangan struktural seorang ”representatif” GKJW, bahkan
untuk ”level” sinodal sekalipun. Yang dikenal orang adalah
komitmen seseorang dalam ikut serta mendinamiskan gerakan
kebersamaan lintas agama. Sangat jarang aspek struktural
diperhitungkan. Kalau diperhitungkan pun, ia hanya diperhitungkan
sebagai semacam simpul efektif dalam berkomunikasi,
menyebarluaskan ide-ide dan agenda-agenda lintas agama yang
membutuhkan pengerahan banyak orang.

Kendati bersifat cair-cair saja, kami merasa penting untuk


menyebutkan, bahwa Kaum adalah embrio dari ”sosialisme religius”
versi Jawa Timur. Dengan dan melalui Kaum, GKJW menyentuh isu
gereja dan masyarakat secara sadar dan berkesinambungan. Untuk
sekadar meyakinkan diri sendiri, bahwa kami sedang berada di jalur
yang tepat: dengan Kaum, konteks keragaman disentuh. Dengan
Kaum pula dikerjakan ”proyek” kesejahteraan dan keadilan sosial,
sejauh konteks lokal tertentu memang memanggil kami untuk
merambah di jalan itu. Kaum siap mengerjakan keduanya; bukan

301
terutama disebabkan oleh kemampuan dan kehebatan Kaum,
melainkan karena semata-mata panggilan konteks lokal yang real.
Kaum tidak pertama-tama menyusun sebuah rencana transformasi
sosial secara besar-besaran dengan strategi begini atau begitu. Paling
jauh hanya disadari bahwa keanekaragaman agama penting untuk
diperhatikan. Sebab, pengalaman menunjukkan bahwa agama yang
telah terkotak-kotak secara politis akibat kebijakan politik, bahwa
setiap orang harus beragama, masuk ke masjid, ke gereja, ke pura,
atau ke wihara, telah memungkinkan orang mengeruhkan
keberagamaan dengan aneka agenda politik sektarian yang
mengacaukan kehidupan kerukunan warga masyarakat. Kesadaran
ini ada. Bukan hanya Kaum menyadarinya, setiap orang yang aktif
dalam hubungan lintas agama pun menyadarinya. Kaum terpanggil
justru untuk melestarikan dan berdamai dengan keanekaragaman.
Perbedaan suku, ras, agama, atau antargolongan adalah berkah.
Kesadaran akan keragaman demikian itulah menjadi titik tolak Kaum
dalam berkiprah.

Begitu pun ketika Kaum terlibat dalam upaya pemberdayaan


masyarakat demi kesejahteraan dan keadilan sosial. Orang-orang
yang bukan pemimpin agama, yang dengannya Kaum menjalin
hubungan kerja sama yang harmonis, berpikir lebih praktis, yang
berhubungan dengan kebutuhan real sehari-hari mereka. Ruang
untuk berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
keluarga terasa sesak dan terbatas bagi mereka yang hidup pas-pasan
atau kurang dari itu. Keprihatinan mereka yang sangat mendesak
seperti itu sulit dihindari. Apalah artinya bicara panjang-lebar
tentang ajaran agama satu berbeda atau serupa dengan ajaran agama
lainnya bagi mereka yang serba ragu-ragu menjawab pergumulan
”apakah hari ini kami bisa makan”.

Sampai di sana, Kaum yang sesuai dengan namanya hanya


mengurusi dialog lintas agama, didorong untuk mengurusi dialog
antarumat yang berbeda-beda agama; dan umat yang dimaksud
adalah orang kebanyakan yang hidup susah. Itulah urusan real. Tidak
bertolak dari rancangan transformasi besar, kemudian berbondong-
bondong menerapkannya untuk konteks tertentu. Sebaliknya,
bertolak dari konteks orang yang hidup dengan susah payah, Kaum

302
terbawa untuk berbuat sesuatu terkait dengan transformasi sosial.
Keprihatinan sosial membawa Kaum ke arah transformasi sosial.
Transformasi sosial – sebuah istilah yang hampir pasti bersifat teknis
akademis, dan itu bukanlah istilah orang kebanyakan. Sebab, kalau
keluhan kesesakan dan keterbatasan ruang berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidup bukanlah sungguh-sungguh keluhan yang perlu
dilontarkan oleh warga masyarakat untuk mendapat pertolongan.
Mereka sendiri bukan terutama tipe ”peminta-minta pertolongan”.
Mereka adalah pejuang kehidupan yang gigih. Akan tetapi, ada
terasa sesuatu yang tidak tampak, namun terasakan daya desaknya,
yang tidak sanggup mereka atasi. Oleh karena itu, mereka mengeluh.
Mereka membutuhkan sesuatu yang cukup kuat untuk bertahan
hidup, syukurlah bisa memperkembangkannya.

Untuk itu, dibutuhkan sejumlah kerangka teoretis. Di sanalah Kaum


mencoba untuk memerankan diri sebagai kawan yang baik,
mencarikan referensi, mencarikan narasumber, mengajak berdialog
antara narasumber dan warga masyarakat. Pada bagian berikut, hal
ini akan diurai lebih lanjut. Adapun pada bagian ini, cukuplah
disebutkan kalau Pak Gerrit mengidentifikasi kegiatan live in dari
studi intensif Kristen dan Islam di GKJW sebagai sebuah langkah
bercorak ”Basic Human Communities” [dapat dibaca dalam E.G.
Singgih, ”Gereja Diaspora dan Basic Human Communities”, dalam
A. Suharja, S.J., (ed.), Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo
Mangunwijaya (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 109-110.], maka
terlebih lagi Kaum.

Secara historis, Kaum dilahirkan setelah kami mengalami proses


dialog yang cukup panjang. Laboratoriumnya adalah Institut
Pendidikan Theologia Balewiyata. Berbagai kegiatan di bawah
payung dialog antarumat berbeda-beda agama diselenggarakan di
Institut Pendidikan Theologia Balewiyata. Ide-ide disemaikan. Nanti,
pada saat ”roh” dialog menjadi gerakan-gerakan, Kaum sebagai
motor utamanya.

Sejak studi agama-agama diintroduksikan pada era awal tahun 1980-


an di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata, topik dialog secara
berkesinambungan dikawal begitu rupa, sampai dengan

303
diselenggarakan seminar internasional pada tahun 1991 bertajuk ”Pro
Eksistensi”, yang ditimba dari ”guru” dialog Hans Kung.
”Dimatangkan” oleh sebuah proses sosial tahun 1996, yang ditandai
dengan kerusuhan, pembakaran sejumlah gedung gereja di Surabaya
dan Situbondo, dialog kian diperkuat di Jawa Timur. Sejumlah forum
dialog, baik yang bersifat keumatan maupun antarpemimpin umat,
digalang di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata, dan diteruskan
oleh Kaum.

Dengan demikian, sejarah Kaum itu sendiri secara ringkas


setidaknya terbagi dalam lima periode. Pertama, periode
penyemaian ide dan mendorong gerakan. Penyemaian dilakukan di
dalam forum-forum studi, dari studi-studi singkat sampai studi
intensif selama sekitar sebulan. Di dalam studi-studi tentang dialog,
aneka pengalaman disistematisasikan dan direfleksikan sedemikian
rupa sehingga peserta studi tercerahkan, bahwa dialog merupakan
bagian dari upaya berteologi yang real dalam konteks Indonesia.

Kelebihan dari studi-studi yang kami selenggarakan adalah


pendekatannya. Dari pendekatan kognitif sampai dengan afektif serta
rancangan-rancangan tindak lanjut dituntaskan di dalam proses studi.
Pendalaman dari sisi ”ilmu murni” seperti ”apakah trinitas” sampai
dengan ”ilmu terapan” seperti ”bagaimana merancang masyarakat
komunikatif ala Habermas” dilakukan di dalam studi intensif yang
kami selenggarakan. Ditambah dengan upaya-upaya menciptakan
perjumpaan secara langsung dengan manusianya, yang berbeda-beda
agama dan berbeda penghayatan serta laku hidup, yang dihidupi
secara real di dalam sebuah komunitas, maka sisi afeksi dapat
disentuh selama proses studi. Demikianlah, ide dan semangat dialog
disemaikan oleh GKJW. Secara teknis, penyemaian dilakukan oleh
Institut Pendidikan Theologia Balewiyata.

Kedua, periode pergerakan. Prinsipnya, kami menyebar ide tentang


dialog lintas (pemeluk) agama. Secara sadar, barangsiapa telah
terinspirasi pergerakan dialogis, mereka melibatkan diri dalam
berbagai upaya menggalang kerukunan di mana pun dengan cara apa
pun. Sementara kami sendiri, di pusat, di kantor Majelis Agung
GKJW melibatkan diri di dalam berbagai forum hubungan

304
antarumat. Kawan-kawan yang aktif melibatkan diri dalam berbagai
forum, yang tersebar di berbagai daerah, kami kontak secara relatif
periodik. Maksudnya, untuk membangun kehendak dan
menguatkannya, agar ruang-ruang tak bertuan, antara kotak-kotak
agama dan kotak masyarakat, yang potensial untuk diacak-acak
untuk berbagai kepentingan, dapat makin dipersempit. Apa yang
marak disebut ”provokasi” seputar tahun 1998 coba dipersempit
ruang geraknya dengan gerakan alternatif berupa gerakan dialog.

Secara internal, penyebaran ide dan semangat ”pergerakan” bersifat


pribadi-pribadi. Artinya, apabila seseorang berkesempatan terlibat di
dalam forum pengambilan keputusan di gereja, misalnya, diharapkan
terlahir sejumlah keputusan gerejawi yang secara sadar
mencanangkan program dialog. Atau, bisa jadi istilah ”dialog” tidak
muncul. Setidaknya, semangat dialogis terwujud berupa program
atau kebijakan gerejawi. Dengan demikian, ide dan semangat
dialogis dapat dikawal secara berkesinambungan dan sistematis.

Atau, sekiranya seseorang, karena pergaulannya yang luas, berhasil


menggalang atau terlibat di dalam penggalangan forum-forum
kerukunan antarumat berbeda-beda agama, diupayakan melibatkan
diri dengan sungguh-sungguh. Pada tahap-tahap awal, keterlibatan
semacam itu bersifat sukarela. Sejumlah waktu dan fasilitas lain
ditanggung sendiri-sendiri. Malahan, dalam keadaan sedikit ekstrem,
dengan masih dibayang-bayangi fobia terhadap politik hegemoni
gaya Orde Baru, sejumlah kawan menyatakan ”tidak” sama sekali
terhadap bantuan dana dari pihak pemerintah. Biarlah gerakan
keumatan, kerakyatan, tetap menjadi gerakan sukarela yang bersifat
cair. Dalam hal demikian, segala sesuatu dipenuhi sendiri-sendiri.
Pengorbanan berasal dari kantong masing-masing. Semua dilakukan
dalam rangka penyebaran ide dan semangat dialog.

Salah satu bentuk penyebaran ide dan semangat dialog yang kami
tempuh secara khusus dan bersifat struktural gerejawi adalah
mengintroduksikan dibentuknya komisi baru, yang khusus
menangani dan mengawal pelaksanaan dialog.

305
Ketiga, pengorganisasian. Komisi yang menangani secara khusus
urusan dialog tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran yang
telah berlangung baik. Sebaliknya, komisi dimaksudkan untuk makin
menggiatkan, menganekaragamkan, dan menggandakan aneka
kesempatan untuk melibatkan semakin banyak orang di dalam
kegiatan bersemangatkan dialog. Pada lingkup sinodal, di Majelis
Agung GKJW dibentuk mula-mula Kelompok Kerja Hubungan
Antarumat, disingkat PAU (Pokja – Kelompok Kerja Antar Umat).
PAU dibentuk pada tahun 2001 oleh Pelayan Harian Majelis Agung
GKJW. Empat orang diberi Surat Keputusan (SK) untuk mengawal
perjalanan dialog berskala Jawa Timur. PAU menjadi representasi
GKJW untuk urusan dialog antarumat berbeda-beda
agama/keyakinan. Dorongan utama dilahirkannya PAU adalah kian
maraknya dialog yang diselenggarakan oleh orang-orang. Banyak
undangan tertuju kepada GKJW, spesifiknya Majelis Agung GKJW.
Sebab, banyak orang mengenal bahwa GKJW mempunyai perhatian
khusus dalam menggalang kerukunan di dalam masyarakat.
Sedemikian banyak undangan kepada kami. Kesempatan untuk
melibatkan diri dalam penyebarluasan ide dan semangat dialog pun
makin terbuka. PAU bertugas untuk menghadiri dan terlibat dalam
berbagai pertemuan dialogis dari skala lokal sampai skala nasional.

PAU, dalam proses melibatkan diri tersebut, mengajak kawan-kawan


lama dan kawan-kawan baru untuk turut hadir dalam berbagai forum.
Warga jemaat GKJW terdekat dengan tempat pertemuan diajak.
Kawan-kawan dari jemaat terdekat diajak terlibat dalam proses
dialog. Topiknya bermacam-macam. Orang yang diajak juga
bermacam-macam. Kawan di jemaat bersangkutan memilih orang
yang rela menjadi relawan dan mempunyai perhatian di bidang-
bidang yang terkait dengan topik yang hendak diperbincangkan.
Atau, bisa juga, orang yang sama menghadiri bermacam-macam
topik di dalam forum dialog. Sedikit demi sedikit, melibatkan
kawan-kawan baru.

Kunjungan hari raya, misalnya. Ini bukan bersifat forum keumatan.


PAU melakukan kunjungan hari raya ke pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren yang pernah ditinggali beberapa orang, live in, saat
studi intensif Kristen Islam, dikunjungi pada saat Hari Raya Idul

306
Fitri. Kawan-kawan yang tinggal di jemaat yang berdekatan dengan
pondok pesantren diajak serta berkunjung. Sekali dua kali dilakukan
kunjungan bersama. Kawan-kawan yang sama akan diajak lagi untuk
menghadiri agenda dialog lainnya yang diselenggarakan oleh pondok
pesantren yang juga mengundang PAU di pondok pesantren.

Prinsipnya adalah PAU terlibat. PAU juga mengajak kawan-kawan


ikut serta terlibat. Orientasinya bersifat lokal. Untuk memperkuat
masyarakat lokal, warga jemaat GKJW di suatu wilayah diajak untuk
terlibat, berkenalan dan meneruskan perkenalan pada konteks lokal.

Keempat, introduksi Kaum. Setelah PAU bekerja kurang lebih empat


tahun, akhirnya ada prakarsa untuk menggulirkan ide penanganan
khusus bidang dialog di jemaat-jemaat. Kami sudah mempunyai
sejumlah kawan yang tersebar di berbagai jemaat. Artinya, dapat
dipastikan, bahwa ide dan semangat dialog akan dapat
dikembangkan oleh kawan-kawan yang telah kami ajak menjalin
kontak dengan pihak-pihak di luar gereja.

Tradisi di GKJW, kecuali sidang Majelis Agung, sekali setahun,


Majelis Daerah atau klasis bersidang dua kali setahun. Dalam
persidangan Majelis Daerah, Majelis Agung mengirimkan sejumlah
informasi dan bahan permenungan, di samping hadir pula perwakilan
Majelis Agung di dalam Sidang-sidang Majelis Daerah. Informasi
ditulis oleh tiap Dewan Pembinaan di Majelis Agung. Salah satu
dokumen berasal dari PAU. Dengan mekanisme itu, PAU
menggulirkan ide dan semangat dialog melalui mekanisme struktural
kepada Sidang Majelis Daerah. Agar ide dan semangat dialog yang
telah digalang dengan berbagai pihak di luar gereja dapat dipelihara
dan dilestarikan, maka perlulah membentuk wadah baru yang
menangani khusus dinamika hubungan antarumat yang makin hari
makin marak.

Rupanya, ide dan semangat yang digulirkan tersebut ”tertangkap”


oleh kawan-kawan dari jemaat, yang telah beberapa kali bersama-
sama terlibat di dalam proses dialog di berbagai kesempatan, yang
kebetulan menjadi anggota Majelis Daerah. Ide tersebut didiskusikan
lebih lanjut di dalam sidang seksi. Pada gilirannya, ide tersebut

307
dijadikan salah satu keputusan dalam sidang pleno. Penting dibentuk
komisi khusus untuk menangani dialog antarumat beragama.
Sementara itu, selang bulan, PAU menggulirkan ide yang sama
kepada Sidang Majelis Agung. Di dalam forum pengambilan
keputusan tahunan yang ”tertinggi” di GKJW itu digulirkan ide
tentang kemungkinan dibentuknya komisi khusus yang menangani
dan mengembangkan dialog, dari lingkup Majelis Agung sampai
lingkup Majelis Jemaat. Dengan cara itu, ide dan semangat dialog
didukung, dilestarikan, dan dijalankan secara sistematis oleh GKJW.

Pada tahun 2005 telah muncul Program Kegiatan Tahunan yang


ditangani oleh Komisi Hubungan Antarumat di Majelis Agung.
Komisi itu bernama Komisi Hubungan Antarmat Beragama,
disingkat Kaum-ma.

Kelima, tahap koordinasi. Di beberapa Majelis Daerah telah


dibentuk Kaum. Di antaranya, malah, Pelayan Harian Majelis Daerah
sendiri secara langsung menangani pelaksanaan agenda-agenda
Kaum-Daerah. Mengapa demikian? Rupanya, Majelis Daerah
tertentu memandang bahwa agenda-agenda Kaum, atau dialog lintas
keyakinan merupakan agenda yang krusial sehingga dibutuhkan
orang-orang bijak tertentu untuk menanganinya. Sebagian besar
lainnya, begitu Kaum terbentuk, Kaum langsung menangani sendiri
pelaksanaan program-program yang telah digariskan oleh
persidangan. Baik lingkup Majelis Jemaat, Majelis Daerah, maupun
lingkup Majelis Agung telah melakukan program dialog masing-
masing.

Pada gilirannya, serangkaian koordinasi pun dilakukan. Sebagai


badan baru, langkah-langkah penyesuaian yang kurang harmonis
masih dijumpai. Belum semua bagian mempunyai kesiapan yang
seimbang dari segi dana maupun tenaga. Ide dan semangat dialog
yang mendasar juga masih terus harus disosialisasikan dan dilatihkan
agar mencapai tahap penghayatan. Akan tetapi, sebagaimana badan-
badan lain di dalam tubuh GKJW, apa yang disebut Rapat
Koordinasi dan Rapat Kerja merupakan mekanisme struktural dalam
rangka mengembangkan sesuatu agenda – begitu pun agenda dialog.

308
Yang pasti, secara khusus, perihal dialog telah dimasukkan ke dalam
rencana strategis berskala enam tahunan. Memang, belum sejak awal
pencanangan rencana strategis jangka panjang. Per tahun 1985,
dialog dimasukkan ke dalamnya. Ide dan semangat dialog
dikembangkan oleh GKJW dalam perjalanan berdinamika menuju
tujuan jangka panjangnya, yang berjangka tiga puluh tahun. Dengan
kata lain, dialog yang diemban oleh Kaum merupakan tonggak
sejarah yang baru sejak GKJW mencanangkan rencana strategis
jangka panjangnya pada tahun 1985 lalu.

Kaum dalam Bingkai Diskursus Teologi


Kembali pada pokok ”Basic Human Communities” yang telah
disinggung sekilas sebelumnya. Secara mendasar, apa yang disebut
Basic Human Communities, yang diintroduksikan oleh Aloysius
Pieris, yang juga dikembangkan oleh Pak Gerrit, merupakan sebuah
strategi bertransformasi sosial, menanggulangi kemiskinan struktural
yang masif. Dasarnya adalah religiositas: Menggantikan sikap
”bakti” kepada mamon dengan sikap bakti kepada Allah, secara
bersama-sama, baik orang-orang religius maupun orang-orang
berlatar belakang berbagai ideologi. Transformasi sosial demikian itu
merupakan proses berteologi yang hidup. Basis pergerakannya
bersifat komunitas: sekelompok kecil, orang-orang berkomitmen.
Kalau dalam konteks Amerika Latin, proses berteologi demikian itu
dilakukan berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, karena warga
masyarakat sebagian terbesar menganut Kekristenan. Di Asia, nilai-
nilai yang dijadikan basis pergerakan adalah kemanusiaan. Kurang
lebih, kemanusiaan diasumsikan sebagai ”agama-bersama” di Asia
yang beragam agama dan ideologinya [dapat dilihat dalam Aloysius
Pieris, Bertologi dalam Konteks Asia, terj. (Yogyakarta: Kanisius,
1996)].

Kemiskinan secara masif persisnya merupakan masalah akut di Asia.


Manusia miskin secara masif itu pula yang nyaris menjadikan
manusia seperti ”bukan” manusia. Hanya sekadar bertahan hidup
tidaklah mudah. Memperkembangkan kehidupan lebih tidak mudah
lagi. Kalau berhasil pun, masih ada lagi satu tantangan: Apakah
perjuangan membebaskan diri dari kemiskinan yang masif dianggap
berhasil pada saat orang sudah menjadi kaya, mapan, nyaman

309
hidupnya. Apakah kondisi tersebut bukan tetap saja berada dalam
ruang lingkup kekuasaan Mamon? Demikian pertanyaan-pertanyaan
Pieris.

Untuk tidak terjebak oleh kekuasaan Mamon, maka adalah baik


bahwa transformasi sosial yang digalang orang, dilakukan sebagai
laku berteologi. Artinya, tetaplah manusia berbakti kepada Tuhan
Allah, pencipta, penyelamat hidup dunia sampai di kekekalan. Proses
menuju keadilan sosial, istilah lain untuk per”saudara-saudari”an,
ditempuh dengan semangat kebersamaan. Baik orang beragama
maupun orang tidak beragama sekalipun, yang hanya hidup dari
ideologinya, bisa bekerja sama sebagai sesama manusia.
Kecenderungan untuk menjadi mapan dan ekstrem selalu
dimungkinkan untuk dikritisi justru oleh adanya keragaman agama
dan ideologi.

Apakah kaitannya dengan dialog? Jelaslah kiranya bahwa dialog –


meminjam – definisi Pak Gerrit, esensinya adalah ”perjumpaan”
(encounter). Orang berlatar belakang apa saja dapat berjumpa
sebagai sesama manusia. Syukurlah perjumpaan itu bersifat intensif.
Bentuk teknisnya adalah berkomunitas, bersama-sama
mempergumulkan hal-hal terkait dengan kehidupan, bersama-sama
pula memperkembangkan kehidupan makin manusiawi, makin
harmonis supaya terhindar dari pemberlakuan hukum rimba, hanya
yang besar dan kuat yang berhak hidup.

Untuk menggalang interaksi dialogis masih harus memperhitungkan


dengan cermat konteks ketidakadilan sosial yang berkembang
dewasa ini. Konteks realnya, kehidupan bersama tidak terlalu
harmonis. Persisnya, tidak seimbang, alias tidak adil. Catatan
statistik yang biasanya dipergunakan untuk menggambarkan
ketidakadilan, secara global, adalah angka 20:80. Maksudnya, 20%
penduduk bumi menikmati 80% sumber daya; sebaliknya, 80%
penduduk bumi menikmati 20% sumber daya [dapat dilihat dalam
Ulrich Duchrow, Mengubah Kapitalisme Dunia: Tinjauan Sejarah-
Alkitabiah bagi Aksi Politis, terj. (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
1998)].

310
Statistik terbaru menyebutkan angka lebih rinci yang kian tidak
menggembirakan. Majalah Basis edisi Maret–April 2009
menyebutkan bukan 20%, melainkan 15% penduduk dunia
menguasai jauh lebih banyak ketimbang tahun 1990-an. Dari 15%
warga dunia, yang adalah penguasa sumber daya, 5%-nya menguasai
71% harta dunia.

Dengan kata lain, konteks di mana dialog dikembangkan adalah


kesenjangan. Satu pihak tidak berjumpa dengan pihak lain,
khususnya pihak penguasa sumber daya yang makmur tidak
berjumpa dengan pihak yang mengalami kelangkaan sumber daya.
Secara prinsip-struktural, mereka tidak menjadi sesama, mereka
tidak sama dalam keberuntungan hidup.

Bahwa kemanusiaan yang hendak diperjuangkan adalah


kemanusiaan yang adil. Kalau dilambangkan angka, kiranya angka
yang adil adalah berkisar 50:50, dialog sebagai perjumpaan
antarmanusia sebagai sesama berurusan dengan keadilan,
menciptakan tata hubungan yang adil, yang setara. Makin
menjangkau banyak ranah kehidupan yang adil, makin baik.

Titik tolak percakapan tentang keadilan, dalam konteks ini, harus


diakui, adalah titik tolak ekonomi-praktis, perihal mengakses sumber
daya demi kelangsungan hidup. Persoalan mendesak di Asia
bukanlah semata-mata menjadi ”miskin di hadapan Allah”,
melainkan benar-benar miskin, dan masif. Kelangkaan akses
terhadap sumber daya penjamin kelangsungan hidup bagi banyak
orang benar-benar menciptakan korban. Bahkan di Indonesia yang
adalah ”tanah sorga”, ”berkolam susu”, ”kail dan jala dapat
menghidupi”, ada orang mati karena busung lapar. Ada pula anak
sekolah terpaksa bunuh diri gara-gara tidak sanggup lagi bersekolah,
tidak bisa membayar uang sekolah. Sementara para wakil rakyat
berebut besaran gaji sampai puluhan juta.

Krisis kemanusiaan atau krisis kesesamaan, kesederajatan dalam


mengakses sumber daya pelestari kehidupan merupakan tantangan
paling nyata. Bagi Kaum, misalnya, Kaum Majelis Agung, krisis
tersebut coba didekati dengan melakukan pelatihan beternak sapi

311
secara berkelompok lintas agama. Pelatihan dilakukan di sebuah
jemaat GKJW yang telah berpengalaman membentuk komunitas
peternak sapi jenis unggul di antara sesama warga GKJW. Selama
pelatihan, baik orang Kristen maupun Muslim tinggal di gedung
gereja beberapa hari. Di sela-sela pelatihan pada malam hari
diadakan percakapan dengan orang-orang, tetangga di sekitar gedung
gereja sedemikian rupa sehingga di tempat pelatihan yang terdiri atas
komunitas Kristen ”terpaksa” bertemu juga dengan tetangga Muslim
di gedung gereja, berbincang tentang segala macam teknis
penggemukan sapi.

Dengan penataan yang sangat khas, sekelompok peternak di desa


Kucur, Sengkaling, Kabupaten Malang, menjadi kelompok peternak
alternatif didampingi oleh Forum Komunikasi Antarumat Beragama
Kota Malang, di dalamnya, adalah sejumlah orang anggota Kaum
Majelis Agung GKJW.

Demikianlah sekadar menyebut contoh, bahwa di balik ”sekadar”


beternak sapi, orang berbicara tentang networking baik pada ranah
produksi, promosi, intervensi pasar lokal alternatif, maupun
bagaimana sekelompok orang muda sebaiknya memilih seorang
kepada desa yang benar-benar berpihak pada pergerakan
pemberdayaan masyarakat.

Sebuah Alternatif
Seorang kawan sampai pada satu hipotesis bahwa berurusan dengan
umat, yang bukan pemimpin agama, diskursus yang utama bukanlah
antarumat beragama. Diskursus antarumat beragama itu diasumsikan
sudah ada sejak zaman kuno. Mereka tahu bagaimana dan mengapa
hidup rukun yang dinamis sebab mereka mau bergotong-royong,
bahkan gotong royong menjadi jiwa mereka. Demikian juga Bung
Karno menegaskan di dalam Sidang BPUPKI, saat pidato lahirnya
Pancasila, 1 Juni. Mereka tidak terlalu membutuhkan istilah
”antarumat beragama”. Yang lebih ekstrem lagi, kata ”si-kawan”,
justru istilah ”antarumat beragama” itu sendiri mengotak-ngotakkan.
Orang desa diundang hadir ke balai desa. Topik tertentu dibahas,
ditambahi ”dalam rangka kerukunan antarumat beragama”. Ironis!
Orang-orang desa masuk ke dalam gedung, langsung berkelompok.

312
Muslim, seperti otomatis, duduk bersama dengan Muslim. Orang
Kristen, juga seperti otomatis, duduk bersama, bergerombol bersama
dengan orang-orang Kristen. Niatnya rukun, nyatanya justru
memilah-milah orang berdasar agama formalnya. Itulah potret dari
umat.

Oleh karena itu, alih-alih menyebut ”antarumat beragama”, sejauh


berurusan dengan umat, ”orang awam” dalam hal agama secara
syariah ataupun secara sufistik, berjumpa sebagai sesama manusia
yang sedang bernasib serupa, yang berkerinduan untuk mengubah
nasib dan mimpi buruk semata-mata dan terus-menerus menjadi
korban peminggiran merupakan topik yang jauh lebih
memberdayakan.

Untuk sampai pada hipotesis tersebut, gereja, dalam diri Kaum,


bergaul begitu akrab dengan kawan-kawan, tetangga-tetangga, dan
sanak famili handai taulan dari agama apa pun dan ideologi apa pun.
Berbincang bersama, menumbuhkan citra diri bersama, berjuang
bersama, menjalin relasi atau membentuk jaringan makin luas, juga
secara bersama-sama. Dengan demikian, pola dasar persaingan yang
bertolak dari filsafat individualistis dipatahkan sejak awal melalui
proses kebersamaan.

Bagi GKJW, simbol dari seluruh proses kebersamaan adalah ”pro-


eksistensi”. Hubungan antarmanusia seyogyanya sampai pada tahap
saling peduli, bahu-membahu, tidak membiarkan kelemahan kawan
menjadi alasan baginya untuk tersingkirkan. Tidak bisa lagi
mengembangkan tata hubungan yang ignorant, bahkan tidak tahu
ada orang berbeda dari dirinya di sebelah rumahnya. Demikian pula
berhubungan secara apologetis – tahu ada kawan lain yang berbeda,
teapi diriku sendiri pastilah yang paling unggul dalam segala hal –
juga tidak memadai. Apalagi keunggulan yang dipaksakan untuk
diakui oleh pihak lain. Itu masih jauh dari puncak pro-eksistensi.
Sementara itu, sikap tenggang rasa, menghargai, dan tidak saling
mengganggu, atau secara positif disebut bertoleransi, memberi
kesempatan orang lain untuk bereksistensi sebagaimana
keyakinannya, itu pun masih selangkah di belakang, sebelum
mencapai pro-eksistensi

313
Penutup
Seluruh pergulatan lahir-batin GKJW ber-pro-eksistensi secara
intensif dikawal secara langsung oleh Kaum. Mungkin terlalu berat
beban ditumpukan kepada satu komisi. Akan tetapi, cara kerja
berjaringan dan melibatkan setiap orang di dalam konteks lokal yang
sedang mendinamiskan dirinya merupakan cara kerja berbasis
kebersamaan yang sangat signifikan. Dengan cara kerja Kaum
seperti itu, secara prinsip tidak akan ada seorang warga GKJW pun
terkecualikan dari tugas dan panggilan hidup secara rukun, damai,
dinamis, lintas agama, dan lintas ideologi.

Gerakan itu memang bersifat cair, tidak mengental secara


organisatoris struktural. Sebab, konteks real GKJW mengajarkan
bahwa peran seorang demi seorang adalah peran yang diharapkan
oleh masyarakat Jawa Timur. Orang bisa akrab. Organisasi belum
serta-merta mengakrabkan, lebih dari sekadar memory of
understanding. Meski organisasi perlu, untuk menjamin kelestarian
gerak langkah sejumlah besar orang, namun gerakan pribadi,
berjumpa dengan pribadi lain, berakrab ria sebagai sesama arek Jawa
Timur, justru merupakan pendekatan alamiah yang efektif dalam
berdialog.

Kaum masih merupakan embrio bagi sebuah gerakan yang disebut


Pak Gerrit sebagai Basic Human Community. Masih serba kecil,
serba cair, serba beragam format; ada Kaum yang masih berkutat
urusan agama formal semata. Ada Kaum di konteks lokal yang lain
memadukan antara urusan agama formal dan agenda transformasi
sosial. Ada pula Kaum yang jauh lebih banyak memberi perhatian
pada pemberdayaan masyarakat, dengan sesekali mempertimbangkan
komposisi pemeluk agama-agama dalam melibatkan orang-orang
dalam gerak kebersamaan. Ringkasnya, terlalu beragam dan terlalu
cair mengidentifikasi Kaum sebagai sebagai Basic Human
Community. Setidaknya, sebagai embrio, bolehlah Kaum disebut
embrio Basic Human Community. Karakter hendak selalu bersama-
sama dan hendak berkembang serentak di GKJW kiranya, selama ini,
lebih merupakan pilihan taktis; pilihan pada mementingkan dinamika
umat.

314
Lokalitas menjadi salah satu faktor yang sangat diperhitungkan.
Kalau umat Kristen bersama umat beragama dan berideologi lainnya
pada aras lokal dapat berdinamika begitu rupa mewujudkan
semangat dan pola hubungan saling menghargai, saling memberi
kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang, maka hampir tidak
ada lagi hal lebih penting lain yang patut diperjuangkan. Hubungan
dijiwai dengan semangat menjadi sesama, berjuang bersama bertolak
dari kemampuan lokal. Kalau tata hubungan seperti itu bisa disebut
”sosialisme religus”, ya, baiklah. Semoga!

315
Bagian VII

DIALOG DENGAN ALAM DAN


KAUM PINGGIRAN

Huang Po Ho
Anna Marsiana
Ecological Crisis and Its Challenges to

Christian Higher Education

in Asia
Dr. Huang Po Ho

Our colleagues in Duta Wacana University have planned to publish a


festschrift in honor to Prof. Gerrit Singgih, my very dear friend and
theological comrade in the journey of doing contextual theologies in
Asia in the occasion to celebrate its 50th anniversary of the university.
I feel privileged to be invited to give a small contribution as a token
to express my congratulation and commend to the important
achievements that Gerrit has done for Asian theologies and
theological education, not only in Indonesia but also in Asia and
beyond. With this small input I wish Gerrit healthy and happiness
while he continues to engage himself in this blessed mission of
contextual theologies.

Introduction:
―Sustainability,‖ the theme is a popular concept and a wide-ranging
term that can be applied to almost every aspect of life, not only to the
human species but also to the rest of God’s creation. Human
over-population of the planet is causing steady degradation of the
Earth’s ecosystems, leading to imbalances in natural cycles and


This paper was first delivered as keynote speech to the Biennial
Conference and 18th General Assembly of the Association of Christian
Universities and Colleges in Asia (ACUCA) at Nov. 1-3, 2010 in the Keimyung
University, Korea.

Vice president and Professor of Theology, Chang Jung Christian University,
Taiwan. Dean of Programme for Theology and Cultures in Asia (PTCA).
Co-moderator of CATS and Moderator of AFTE.

317
resulting in negative impacts on both humans and other living
organisms. Paul Hawken has commented that, "sustainability is about
stabilizing the currently disruptive relationship between earth’s two
most complex systems—human culture and the living world.‖ 1
Literally speaking, sustainability means the capacity to endure.
According to current usage, when the term is applied to ecology, it
refers to the ability of biological systems to remain diverse and
productive; when applied to human populations, it refers to the
potential for long-term maintenance of well being, which in turn
depends on the maintenance of the natural world and natural
resources.2 In its 1987 report to the United Nations, the Brundtland
Commission3 defined sustainable development as ―development that
meets the needs of the present without compromising the ability of
future generations to meet their own needs.‖4

However, more than thirty years have passed since the establishment
of the Brundtland Commission. Despite the many subsequent studies,
reports, meetings and other efforts sponsored by the United Nations,
as well as by regional and national governmental and
non-governmental organizations, deterioration of natural ecosystems
and cycles continues to accelerate. Global climate change is one
example: in recent years, global warming has resulted in an array of
disturbing phenomena, from an increase in the incidence of extreme
weather, local climate change, retreat and disappearance of glaciers,
oxygen depletion in seawater and rises in sea level. In addition to the
headline-making natural disasters, these phenomena are producing
impacts on food supply, water resources and human health.
318
Sustainability, therefore, is not a topic merely of academic interest
but rather one that directly concerns the survival of our own species
and that of many others. However, attempts to respond to pressing
environmental issues such as global warming have intensified the
conflict of economic interests between developed and developing
countries. The so-called ―Earth Summit,‖ convened in Rio de Janeiro
in 1992, and the series of similar meetings that have followed
annually 5 have made very little progress toward reaching a
consensus that would permit a unified response to these issues.
Despite the acrimonious debate fueled by the vested interests of the
nations involved, the goal of a sustainable world remains a crucial
one for the human species, not just to save it from extinction, but
also to restore its relationship with the rest of creation. The nature of
what that relationship should be leads in turn to a reflection on the
nature of humanity and human spirituality.

This presentation, which is developed out of an educational concern


to nurture global citizens through Christian higher education, will
focus on the Christian understanding of the relationship between
humans and ecology and on Christian initiatives for the redemption
of God’s creation. The presentation will be divided into two parts: in
the first part, I will discuss Christian impacts on ecological issues
from a theological point of view; in the second part, I will focus on
the mission and responsibilities of Christian higher education as it
responds to the ecological crises confronting the world today.

319
Christian Religion: A Root of Ecological Crisis?
Max Weber (1864 – 1920), a German religious sociologist and
political economist, argued that ascetic Protestantism was one of the
major ―elective affinities‖ that determined the rise of capitalism. In
his book, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,6 Weber
theorized that capitalism in northern Europe evolved because the
Protestant ethic proposed by John Calvin induced people to engage
enthusiastically in work in the secular world, causing them to
develop business enterprises, to engage in trade, and eventually to
accumulate wealth for investment. He concluded that the Protestant
ethic was a force behind an unplanned, uncoordinated mass action
that influenced the development of capitalism7. Even though Weber
rejected deterministic approaches and considered the Calvinist ethic
to be only one of a number of factors that led to the development of
capitalism, his work led to the widespread recognition of the
potential impact that religion can have on economic and political
structures.

The Protestant work ethic articulated by Calvin considered all work,


regardless of type or position, to be entrusted by God as a means by
which humans glorify God. A willingness to work hard has
traditionally been regarded as a positive human virtue. However,
when this trait is connected to the capitalist habit of accumulating
wealth for investment, it becomes linked to the negative human
expressions associated with the capitalist market system, such as
egocentrism, competition, greed, materialism, and ecological
exploitation. Although it was not Weber’s intent to associate directly
320
the Protestant ethic with negative aspects of the market system, his
analysis of the relationship between Protestant values and the
economic systems that they tend to promote raise thought-provoking
questions for Christians (particularly those of us who come from
Calvinist traditions) and impel us to engage in self-critical reflection.

Weber is not the only scholar who has discerned a relationship


between worldviews growing out of Christianity and the
development of socioeconomic structures that are now in an
adversarial relationship with the environment. More recently, Lynn
Townsend White, Jr. (1907-1987), professor of medieval history at
Princeton, Stanford, and UCLA, has argued that traditional
Judeo-Christian theology is fundamentally exploitative of the natural
world. According to White, ―the mentality of the Industrial
Revolution, that the earth was a resource for human consumption,
was much older than the actuality of machinery, and has its roots in
8
medieval Christianity and attitudes towards nature.‖ White
suggested that orthodox Christianity tends to foster an exploitative
view of nature because: 1) the Bible asserts man's dominion over
nature and establishes a trend of anthropocentrism, and 2)
Christianity makes a distinction between humans (formed in God's
image) and the rest of creation, which has no "soul" or "reason" and
is thus inferior.9

The Anthropocentric Tradition of Christian Theology


While the conclusions of Weber and White regarding the role of the
Christian religion in the development of modern capitalist economic
321
structures and the process of world industrialization do not
necessarily apply to the whole spectrum of Christianity, they
nevertheless reflect the modern trend to regard Christianity as having
arisen from an anthropocentric perspective that later developed into a
Euro-andocentric (European- and male-centered) ideology.

Although the theological foundation of the Christian religion is the


Triune God as creator of the universe, its doctrine of soteriology,
which is based on the incarnation, crucifixion, and resurrection of
Jesus Christ, the God-man figure, perceived through the Jewish
historical background and in the context of the early church, has been
directed exclusively towards the human species. The doctrinal
arguments regarding sin (and original sin), salvation (redemption),
and consummation (Kingdom of God, heaven and hell), for instance,
are all overwhelmingly concentrated on human destiny. The creed
formulated by the first ecumenical council in Nicaea, for instance,
bases its confession on a Christology that is exclusively associated
with human creation. The second paragraph of the Nicene Creed
reads:

We believe in one Lord, Jesus Christ,


the only Son of God,
eternally begotten of the Father,
God from God, light from light,
true God from true God,
begotten, not made,
of one Being with the Father;
322
through him all things were made.
For us and for our salvation
he came down from heaven,
was incarnate of the Holy Spirit and the Virgin Mary
and became truly human.
For our sake he was crucified under Pontius Pilate;
he suffered death and was buried.
On the third day he rose again
in accordance with the Scriptures;
he ascended into heaven
and is seated at the right hand of the Father.
He will come again in glory to judge the living and the dead,
and his kingdom will have no end.10

According to church historians, the first ecumenical council in


Nicaea was convened by Roman Emperor Constantine, for the
purpose of solidifying his empire through the unity of bishops and
churches. The creed produced by this council, thus focused on the
most divisive issue among the early church bishops, i.e.,
Christology.11 The creed, veering decisively away from a holistic
view of creation, specified the human race as the sole target of the
salvation accomplished by the incarnation, crucifixion and
resurrection of Jesus. The anthropocentric view of Christian faith
therefore became a hermeneutic principle for the Christian
interpretation of Scripture and Christian traditions.12

Accompanying the anthropocentric worldview of Christianity was a


323
dualism that developed under the influences of Hellenic philosophy;
it separated not only Creator God and his/her creation, but also
separated humans and the rest of God’s creation. Unfortunately, it
was subsequently manipulated as a tool to categorize human
relationships on the basis of gender, class, race, and even hierarchical
socio-political status, and thus legitimize and sustain the corruptive
power of domination and exploitation in human history.

Attempts to Recapture Christian Tradition


Whether Christian religion is by nature anthropocentric and whether
the creation order proposed by Christian Scripture must be
interpreted as a hierarchical domination of human beings over the
rest of creation are questions open to debate. The theological
conclusions of Weber and White were based on their correlation of
observed economic phenomena with a specific Christian ethic
(Weber), and of ecological degradation produced by technological
development with its proposed roots in the Judeo-Christian view of
nature (White). Though not without controversy, such writings have
rightly highlighted the magnitude of the impact that Christian values
have already had on the global environment. The intention of Lynn
White was to suggest that the ecological crisis is fundamentally a
spiritual crisis; in recent years he has been joined by other religious
scholars who have made similar assertions. For instance, Seyyed
Hossein Nasr, an Iranian professor of Islamic studies, argues that,
―the environmental crisis is fundamentally a crisis of values.‖13 If, as
Tillich suggested, religion is the nature of cultures 14 that shapes
human values, religion is thus implicated in the human determination
324
over ecological and environmental issues. From a Christian
perspective, in order to remedy human wrongdoing towards nature, it
is necessary to ―recapture‖ Christian tradition and the interpretation
of Christian Scripture.

The analyses of Weber and White have elicited numerous responses


over the years; although these responses are varied, they can be
classified into three categories of response: 1) complete agreement
with the analysis, 2) dialogical interaction with these viewpoints
through ―recapture‖ of Christian tradition, 3) defense of the Christian
faith by refutation of the positions taken by its critics. Different
proposals have been made to deal with the criticisms of Christianity’s
role in the development of the present ecological crisis. Some have
appealed to the wisdom of tribal peoples as well as Eastern cultures
and religions traditionally regarded as more eco-friendly, while
others have attempted to recapture Christian tradition through the
re-reading and re-interpretation of Christian Scripture and doctrines.
Lynn White himself suggests adopting St. Francis of Assisi as a
model for the establishment of a "democracy" of creation in which
all creatures are respected and man's rule over creation is delimited.15

Christian efforts to respond to ecological issues by a recapturing of


Christian tradition have been significant. The creation stories that are
considered to be the foundation of the Christian understanding of
ecological and social order have been re-read and re-interpreted, and
the concept of ―stewardship‖ has been proposed as a substitute for
the traditional notion of human ―domination‖ over the rest of
325
creation. Such reinterpretations often rely on insights gained from the
second creation story in Genesis to balance the traditional
understanding of the first creation story. 16 However, others have
suggested that the role of ―steward‖ is a relic of hierarchical
feudalistic society that should be abandoned in favor of models of
co-existence and partnership between the human species and the rest
of creation.

In addition to the efforts to re-examine Christian Scripture in order to


gain new insights, efforts are also being made to explore the
formation of Christian doctrines in relation to their context and
background. New theologies developed for modern, post-modern,
and post-colonial contexts, including contextual theologies from the
Third World, are all examples of the theological struggle to
comprehend adequately the relevance of Christian doctrines and
values for this particular period of human history. A paradigm shift
from a ―theology of salvation‖ to a ―theology of creation‖17 has also
been proposed as a means of responding to the ecological crises
confronting the modern world.

The Role of Christian Higher Education in Responding to


Ecological Crisis
What then should the role of Christian higher education be in
response to the ecological crises facing our world today? As
previously argued, ecological crisis is fundamentally a spiritual crisis.
In other words, it is a dysfunction of human spirituality that has led
to the unrestrained exploitation and destruction of ecosystems.
326
Recovery of a proper relationship between humans and the rest of
God’s creation is thus the key to preserving a full and harmonious
universe. It is in this area of restoration that Christian education is
suggested to have a distinctive role and mission.

Education can be considered to be a process of transformation.


According to Wikipedia, education in its broadest sense ―is any act or
experience that has a formative effect on the mind, character or
physical ability of an individual. In its technical sense, education is
the process by which society deliberately transmits its accumulated
knowledge, skills and values from one generation to another.‖ 18
Based on this understanding of the nature of education, the mission
of higher education is therefore to prepare students for leadership in
society by means of research, instruction, and service. In today’s
world of globalization, higher education is considered very important
to national economies, both as a significant industry in its own right
and as a source of trained and educated personnel for the rest of the
economy19. According to a statement issued by the 1982 United
Nations World Conference on Higher Education Partners, ―At no
time in human history is the welfare of nations so closely linked to
the quality and outreach of their higher education system and
institutions.‖20

With this awareness of the crucial role played by the institutions and
systems of higher education in the welfare of our nations and people
as well as the future of our planet, our meeting here as member
universities and colleges of ACUCA is inevitably challenged by the
327
crises confronting our respective nations, the Asia-Pacific region and
the world as a whole. These challenges, to highlight just a few,
include the eradication of poverty, the establishment of justice, the
attainment of peaceful coexistence of nations and peoples, and of
course, the achievement of sustainable development and
eco-justice. 21 Because ACUCA is a community of Christian
institutions of higher education, we may be able to identify our
distinctive contribution to education by our common struggles to
respond to these challenges, by our solidarity and by our collective
wisdom.

Christian Presence in the Higher Education System


In recent years, the global ecological crisis has drawn intense
attention and concern from the academic world and communities of
higher education. Many research projects and academic curricula
have been proposed and designed to address the urgent issues of
sustainability. We must ask ourselves, however, whether there is a
distinctive contribution that Christians can make with regard to this
critical educational goal that would add to or go beyond what is
already being done in secular higher education systems. There are a
range of opinions on this. In a speech delivered at Abilene Christian
University and entitled ―Christian Academe vs. Christians in
Academe,‖ Kenneth C. Elzinga, the Robert C. Taylor Professor of
Economics at the University of Virginia proposed that Christian
higher education should be characterized by differences from secular
higher education in three main areas: differences in teaching,
differences in credentialing, and differences in mentoring. 22 An
328
alternative model for Christian higher education has been proposed
by the United Board for Christian Higher Education in Asia
(UBCHEA), a long-time educational partner of ACUCA. The UB
has advocated the concept of ―Christian Presence‖ and adopted as its
mission the enhancement of higher education in Asia through its
Christian commitments. 23 In contrast to Elzinga, UBCHEA has
taken an inclusive position towards religious pluralism in higher
education. In the preamble of its position paper, UBCHEA describes
itself as ―a Christian organization motivated by a commitment to
Christian values, expressed through its venerable tradition of
Christian higher education in Asia. Such expression takes place
primarily, though not exclusively, through Christian institutions of
higher education. The United Board refers to this expression of
Christian values in higher education as Christian presence.24 The
position paper goes on further to explain:

The work of the United Board embraces a rich variety of situations


across Asia, where Christians are a minority. Given this situation, the
expression of Christian presence attempts to be sensitive to the wider
social, religious, and cultural contexts. Therefore … Christian values
are articulated broadly as humane values that engage people of other
faiths and of no religious faith, drawing a response from them that
reflects their rich religious and cultural traditions….Christian presence
is developed and implemented through encouraging collaboration and
research among Asian institutions on vital issues in Asia. Such
collaborative research and action empowers Asian leadership in higher

329
education to address structures of injustice, to promote human
community, and to care of the environment.25

Although the United Board has taken an inclusive position with its
open-ended interpretation of the concept of ―Christian presence,‖ it
implicitly yet unmistakably affirms that Christian higher education
possesses additional features relative to general higher education:

Christian higher education is the fostering of value-based leadership in


administrators, faculty, and students, who will serve and contribute to
understanding and justice in their societies. It is education that is also
accessible to the less advantaged. Christian higher education is not
exclusively by and for Christians, but is committed to Christian
values: liberal and humane education; education of the whole person;
moral development of students and faculty..., it is education that
addresses social, human, and environmental issues… Christian higher
education nurtures not only the formation of Christian students, but
also the formation of students of other religious and cultural
backgrounds, to understand their own religious tradition as well as the
religious traditions of others. 26

From the widely divergent positions of the evangelical and


ecumenical theological camps regarding the mission of institutions
bearing the name ―Christian,‖ it is easy to focus on the significant
differences between them. Yet, despite these differences, most of all
who are involved in Christian education agree that it has distinctive
features. There is no consensus, however, on what these features
are. To some degree, I suppose this is the real situation of an
330
association such as ACUCA. By highlighting this phenomenon and
the nature of our association, I am proposing that, as an association
of institutes of Christian higher education, although we are not
necessarily in agreement about the interpretation of the concept of
―Christian presence‖ in higher education, we do agree that Christian
faith can supply ―distinctive surpluses‖ relative to higher education
in general. The many topics and themes tackled during our different
levels of meetings and in our research are attempts to explore our
common understanding and commitment and represent some of the
distinctive qualities of Christian higher education.

Christian Initiatives for Sustainability through Higher


Education
Based on the preceding discussion of the nature of Christian higher
education and its potential contribution in responding to the global
ecological crisis, I propose the following initiatives as a starting
point for discussion and further development for us as leaders in
Christian higher education. I am not attempting to give an exhaustive
list of all the possible initiatives; neither am I trying to suggest that
these are the only ways to accomplish our mission regarding
ecological issues:

1) Advocacy of eco-justice education as an essential


component of higher education. As mentioned previously,
ecological issues have come to the forefront of attention in academic
communities around the world. As a result, an unprecedented
amount of academic research is being conducted on environmental

331
topics, and an increasing number of activities promoting
environmental protection and concern for global ecosystems are
taking place on university campuses. However, many of these efforts
are still being carried out in isolation; there is a tremendous need for
coordination and unified action. Christian universities and colleges,
which have their roots in a common faith that recognizes divine
purpose and beauty in creation, can act in unison to initiate an
advocacy that stresses eco-justice and incorporates it into the quality
assurance criteria of higher education. Such advocacy might also
contribute to our common goal of promoting Christian presence
within the higher education system.

We may take the current state of higher education in Taiwan as an


example. A sharp decline in the birthrate over recent years has
reduced student populations and created a financial crisis that
threatens the survival of all universities. The distorted accreditation
system that reduces institutions of higher education to nothing more
than highly developed manufacturing units, existing solely for the
creation of profit and serving merely to prepare students for their sale
on the job market, has worsened the situation. The highly controlled
educational policies implemented by the government give very little
space for Christian universities and colleges to re-define and
implement the Christian characteristics of their education. To some
degree, this situation also explains why the all the discussions of
sustainability on university campuses have accomplished relatively
little. A strong international Christian advocacy of specific criteria
for educational excellence might strengthen the position of individual
332
Christian institutions to take creative initiatives that depart from
societal norms.

2) Commitment of research and instructional capabilities to


further explore and clarify, from a Christian perspective, the
relationship between humans and the rest of creation. The
ecological crisis has been suggested to be at least in part a spiritual
crisis, and the traditional Christian worldview has been suggested as
one of its roots. There have been a variety of efforts to recapture the
Biblical message and Christian traditions in order to manifest
Christian support for ecological protection. To date, however, these
efforts have mostly been the work of individual theologians and have
only rarely been formatted as ecclesial confessions, let alone
incorporated into the agenda of higher education. I do not mean to
suggest that all Christian universities should establish their own
divinity schools; they should, however, form policies to promote
interdisciplinary academic research by Christian faculty members to
explore the issue of the interdependence between the human species
and the rest of creation. These policies should also encourage
dialogue between Christian faculty members and colleagues from
other living religious traditions and ideologies that will be
constructive to the harmonious coexistence of the future inhabitants
of the earth.

3) Implementation of Christian ethics for ecological justice at


all levels of administration, teaching and research activities.
Christian ethics must be expanded, on the basis of Christian devotion
333
to the wholeness of God’s creation, to put high value on behaviors
that promote eco-friendly environments, sustainable lifestyles, and a
spirit of eco-justice. Christian concern for ecological harmony should
be viewed as yielding a range of positive outcomes—physical,
mental and spiritual—that institutions and individuals assist in
shaping and achieving.

As previously mentioned, the developed world presently considers


the earth as a resource to be exploited and an object for economic
development. Even so-called environmental advocates in the
academic world have an approach toward nature and creation that is
largely anthropocentric. The popular articulation of sustainable
development in the academic community is concerned, by and large,
with the well-being of humans. In other words, as long as the
resources of nature are sufficient to sustain human needs, or even
wants, no attention will be paid to issues of eco-justice. To some
degree, this lack of regard for eco-justice also underlies the
confrontation between developed and developing countries over
environmental issues. In the context of eco-justice, sustainability is
an ethical issue that invites human beings to redefine their role
within the totality of God’s creation. Only through this kind of
radical redefinition of the human role in relation to the whole of
creation can awareness be generated for the need to live simply and
humbly in harmony with the rest of creation.

4) Reevaluation of existing curricula and research projects


from perspectives of ecological concern. We ought to seek ways of
334
increasing the impact and effectiveness of our education with regard
to global ecology, not just by increasing the number of courses
related to environmental issues, but as far as possible to require that
ecological concerns be dealt with and reflected upon in all courses.

5) Encouragement of individual faculty members and


researchers to engage in academic activities and development of
technologies that contribute to the goals of environmental
protection and energy conservation. Students can also be
encouraged to take up research topics in this area.

6) Last but not least, implementation of a holistic education


that includes a spiritual dimension and is concerned not only
with isolated human existence, but also with peaceful,
harmonious interaction with the whole of creation. In so doing,
ecological issues can be integrated into every aspect of student life
and learning.

Redeeming God’s Creation through Christian Healing and


Reconciling Ministries
Although Christians form a minority in most Asian countries, their
contributions have not been limited by their small numbers. Instead,
Christians have played a significant role in the modernization of
many Asian countries. In this post-modern world, however, the
Christian community is facing critical challenges. If the Christian
minority is going to continue to make positive contributions to
society, it should, in addition to persisting in its prophetic role,
335
explore more deeply the truths of God necessary to confront the
challenges of this present hour. In so doing, Christian institutions of
higher education, which provide freedom to study and research all
dimensions of life, should carefully consider how they can best
nurture the next generation to be even more faithful to the Creator
and to the whole of creation.

The nurturing and transforming nature of education, viewed from its


creative function, can also be understood as a process of healing,
which is theologically synonymous with the concept of redemption.
The ecological education we are proposing to build, one that will
lead to the creation of a harmonious oikos, is derived from the
Christian value of reconciliation. Thus, we as Christian educators can
take part in the redemptive work of God through our efforts to bring
reconciliation to God’s creation by active participation in the
educational process of healing. (end)

336
Endnotes

1
Paul Hawken, Blessed Unrest: How the Largest Movement in the World
Came into Being and Why No One Saw It Coming (New York: Viking, 2007),
p. 172.
2
Daniel W. Bromley, "sustainability," The New Palgrave Dictionary of
Economics, 2nd Edition (2008). Cited from
http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainability, Sept. 15, 2010.
3
The Brundtland Commission, formally known as the World Commission
on Environment and Development (WCED), was first convened by the
United Nations in 1983 and published its report, “Our Common Future,” in
1987.
4
United Nations General Assembly (1987) Report of the World
Commission on Environment and Development: Our Common Future. Cited
from http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainability Sept. 15, 2010
5. Since the United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) went into force, the parties have been meeting annually in
Conferences of the Parties (COP) to assess progress in dealing with climate
change, and beginning in the mid-1990s, to negotiate the Kyoto Protocol to
establish legally binding obligations for the reduction of greenhouse gas
emissions by developed nations. From 2005, the Conferences have met in
conjunction with Meetings of Parties of the Kyoto Protocol (MOP), and
parties can participate in Protocol-related meetings as observers.
6
Max Weber began his writing of this book in 1904 and 1905 first as a
series of essays. The original edition was in German; the book was
translated into English for the first time in 1930. See
http://en.wikipedia.org/wiki/The Protestant Ethic and the Spirit of

337
Capitalism 2010,09,01
7
See http://en.wikipedia.org/wiki/The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, 2010, 09, 04
8
http://en.wikipedia.org/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr.
9
Ibid.,
10
This version is taken from “English Language Liturgical Commission”
cited from http://www. creeds.net /ancient/nicene.htm, Sept. 20, 2010
11
Christology is the second person of the triune God, while the first and
third person were not crucial debating issues in the early church, the
second person (Christology) has been occupied the main concern of
Christian theology, thus the holistic creation was paid no enough attention
in the history of Christian theology.
12
The anthropocentric view of Christian soteriology was not begun from
Nicene Creed, but existed as early as Christian Community was formed.
Apostle Creed for instance has implicitly taken the same position.
13
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_and_ecology
14
Paul Tillich suggested that Culture is the form of religion and religion is
the nature of cultures.
15
See: http://en.wikipedia.org/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr., Sept. 29,
2010
16
The second creation story, found in Genesis 2. 4b-25, is considered the
earlier version, possibly dating back to the time of Solomon and belonging
to the so-called J document, while the first creation story in Genesis 1.
1-2.4a is considered to be part of the P document, written during the exile
period.
17
See Huang Po Ho, A Paradigm Shift of Theology and the Holistic

338
Redemption to God’s Creation, unpublished paper, presented to CCA-BIT
sponsered “National Theological Workshop in Thailand 2010” held in
‘Bangkok, sept. 6-10, 2010.
18
See: http://en.wikipedia.org/wiki/Education, Sept. 19, 2010
19
Ibid.,
20
See: http://www.unesco.org/en/higher-education/, Sept. 20, 2010
21
The primary argument of ecojustice is that the natural world must be
included in an evaluation of ethics or morality. Supporters of ecojustice
hold that all living things have some intrinsic value, and humans must take
this into account in order to act ethically.
22
Kenneth C. Elzinga, Christian Academe vs. Christians in Academe,
Centennial University Address at Abilene Christian University, See:
http://www.insidehighered.com/views/2005/09/30/elzinga
23
The mission statement of UB read:“The United Board for Christian
Higher Education in Asia works to support a Christian presence in academic
communities in Asia”. While in an overview elaborated in the front page of
its website, it states: “The United Board works with a dynamic network of
universities and colleges to enhance Christian presence in higher education
in Asia. See: http://www.unitedboard. org/programs.asp, Sept. 20, 2010
24
Christian Presence in Asian Christian Higher Education: A Position Paper.
Paper unpublished.
25
Ibid.,
26
Ibid.,

339
Mlipir Jalan Pinggiran: Mencari
Wajah Agama (Kristen) di Antara
Wajah-Wajah yang Terpinggirkan
Anna Marsiana

Pengantar
Sebagai lulusan sarjana teologi dengan gelar Sarjana Sains dari
Fakultas Teologia – UKDW, saya harus mengatakan bahwa saya
belajar makna berteologi yang sesungguhnya bukan dari kampus,
melainkan dari lapangan. Adalah komunitas petani di Gunung Kidul
yang pertama kali mengajarkan kepada saya apa artinya berteologi
yang sesungguhnya, sekaligus mempertanyakan diri sendiri dan
studi-studi formal teologi yang sedang saya geluti waktu itu.

Adalah mata kuliah Gereja Masyarakat, yang diampu oleh E.Gerrit


Singgih (selanjutnya EGS), yang pertama kali membawa saya
berkenalan dengan komunitas Kristen yang mayoritas adalah petani
di Gunung Kidul. Mengalami hidup bersama mereka selama
beberapa minggu dalam mata kuliah Gereja Masyarakat tersebut
membawa saya kepada keputusan untuk mengisi waktu luang saya
dengan bergabung dengan pelayanan LPM di Gunung Kidul, dan
belajar berteologi secara lebih nyata.

Mengambil air dengan ember plastik dari kedalaman gua dimana


untuk sampai di atas harus mlipir bibir gua yang terjal, dan ketika
sampai di atas, air tinggal tersisa 1/3 ember pada pagi hari; atau
melihat beberapa masyarakat harus mandi bersama dengan sapi-sapi
mereka di kubangan air berwana kehijauan pada siang-sore hari, dan
malam harinya berjalan kaki dengan obor di tangan, lagi-lagi mlipir,

Koordinator Asian Women’s Resource Centre for Culturen and Theology


(AWRC), Jl. Banteng Utama 38, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.

341
merayapi tajamnya batu-batu karang di telapak kaki, menembus
gelapnya malam untuk persekutuan PA di malam harinya, adalah
sebuah pengalaman teologis yang tanpa saya sadari telah
menentukan pilihan hidup berteologi saya selanjutnya. Pengalaman
yang membawa saya belok arah dari cita-cita awal masuk fakultas
teologi.

Ada dua hal yang sangat berkesan dan ingin menjadi penekanan saya
dalam tulisan ini, hal mlipir yang merupakan suatu realitas sosial
yang memiliki dimensi sosial-kultural yang sangat dalam dalam
Bahasa Jawa, (bahkan juga politis kalau kita lihat dalam konteks
pemerintahan Suharto pada waktu itu), dan diskonektifitas antara
aktifitas keagamaan (baca: gerejawi) dengan realitas sosial yang
saya lihat dan alami.

Saya sengaja tidak menerjemahkan kata mlipir ini ke dalam Bahasa


Indonesia, karena saya tidak menemukan padanan yang tepat yang
dapat memenuhi nila rasa yang saya temukan dalam Bahasa Jawa.
Tadinya saya mau memakai kata “menyusuri” tetapi tidak jadi
karena kata “menyusuri” tidak langsung berasosiasi dengan
pinggiran.

Dalam Bahasa Jawa, ketika orang mendengar kata mlipir, maka


pendengar segera tahu bahwa orang tersebut berjalan menyusur
pinggiran (bisa tebing jurang, pinggir jalan, atau sekedar tepian
teras, atau tepian sebuah ruang), dan mengindikasikan kehati-hatian
ketika menyusurinya. Hati-hati supaya tidak terpeleset ke jurang,
supaya tidak terantuk tajamnya batu, atau supaya tidak ketahuan
karena sebenarnya itu sesuatu kegiatan yang terlarang. Misal dalam
kalimat “saya pun berjalan mlipir ke meja makan, supaya tidak
ketahuan oleh bapak”. Artinya saya berjalan hati-hati, mungkin
mengambil jalan melingkari dinding rumah, agar tidak langsung
tertangkap mata oleh bapak saya. Dalam pemahaman nilai rasa
seperti itulah saya memutuskan untuk tetap memakai kata aslinya
dalam bahasa Jawa. Dengan menggunakan kata mlipir maka saya
juga hendak menghadirkan realitas pinggiran dimana masyarakat
yang hidup di situ, teruatama yang saya akan angkat cerita dan
refleksikan dalam tulisan ini sebagian besar dalam hidup mereka

342
harus benar-benar banyak melipir baik secara harifiah maupun
secara realitas sosiologis, politis, dan teologis. Suatu realitas yang
membuat saya mau tidak mau harus menggugat wajah agama secara
umum dan agama Kristen secara khusus di negeri ini.
Hal kedua yang dari pengalaman saya di atas yang begitu lekat di
hidup saya, masih terkait dengan pilihan kata mlipir di atas. Begitu
lekatnya sampai pada saat itu juga membuat saya menentukan
pilihan perjalanan hidup saya adalah, diskonektifitas yang mencolok
antara aktifitas gerejawi: Kebaktian Minggu dan Persekutuan
Pemahaman Alkitab (PA) dengan realitas hidup sehari-hari. Realitas
sehari-hari terwakili dalam 2 kegiatan yang saya sebutkan di atas,
minimnya fasilitas sumber air, padahal bukan tidak ada sumber air.
Bahkan untuk sekedar pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja sulit,
apalagi untuk menghidupi lahan pertanian dan ternak peliharaan
mereka. Dengan kondisi hidup seperti itu, taraf hidup adalah masih
pada taraf survival. Dalam pengamatan kasat mata, langsung terlihat
bahwa yang terjadi bukanlah sebuah kondisi miskin karena tidak ada
sumberdaya, namun karena dibiarkan termiskinkan, atau malah
memang dimiskinkan. Begitu mencoloknya kondisi ini di mata saya.
Namun isi kotbah minggu dan PA-PA yang saya ikuti sama sekali
tidak menyentuh akar persoalan, bahkan cenderung meninabobokan
jemaat. Misalnya memberikan penghiburan-penghiburan rohani
mengenai janji-janji keselamatan di dalam Kristus, dst. Himbauan-
himbauan untuk bertahan dalam kerasnya hidup, namun tidak
melakukan apa-apa secara sosial-struktural. Padahal pendeta
menerima jaminan hidup dari persembahan jemaat (yang hidupnya
dimiskinkan oleh sistem tadi). Begitu lekatnya pengalaman tersebut
sampai saat itu juga saya tahu, dan mengambil keputusan, kemana
setelah lulusan kuliah.

Karena tulisan ini berangkat dari perjalanan pinggiran dan


perjumpaan saya dengan kehidupan pinggiran maka tidak bisa
dipungkiri bahwa pendekatan saya lebih ke sosiologis daripada
teologis. Tanpa bermaksud untuk mengikuti teori Durkheim sama
sekali, saya membatasi gugatan saya atas fungsi sosial agama ke
dalam 3 fungsi yang diperkenalkan oleh Durkheim yang sudah
cukup dikenal: social cohesion, social control, purpose of life.1
Lepas dari isi dan maksud dari teori yang dikemukakan Durkheim

343
mengenai tiga (3) fungsi sosial agama seperti di atas, menurut saya,
3 fungsi sosial agama seperti di atas cukup relevan untuk dibahas
dalam konteks Indonesia. Sekaligus semata-mata untuk membatasi
agar saya tidak melebar kemana-mana.

Komunitas Pinggiran dan Jalan-Jalan Pinggiran


Sebenarnya sulit untuk mencari representasi komunitas pinggiran di
negeri ini, karena begitu banyaknya bopeng sosial, baik yang
merupakan warisan masa rejim otoritarian Suharto (1966-1998),
maupun era yang masih membawa nama cita-cita gerakan
penumbangan Suharto pada waktu itu, Reformasi (1998-sekarang).

Tulisan saya ini tidak dimaksudkan sebagai suatu representasi


obyektif, namun sebaliknya sangat subyektif, baik dari pemilihan
representasi subyek maupun dari refleksi analisis, sangat subyektif
dari pengalaman dan sudut pandang penulis.

Karena titik berangkat saya adalah petani Gunung Kidul, maka awal
perjalanan saya selepas dari kampus adalah komunitas termiskinkan
di pedesaan, baik yang di Jawa, seperti di sekitar Kedung Ombo,
Wonigiri, Klaten dan sekitarnya, sampai dengan pedalaman
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nias, dan Aceh. Perjalanan yang
sering membuat saya terperangah karena seringkali keterpelosokan
masyarakat yang saya kunjungi ini jauh dari batas bisa dimengerti.
Sebuah tingkat keterpelosakan yang sudah manjadi lingkaran setan
kemiskinan: karena terpelosok mereka miskin atau karena miskin
mereka semakin terpelosok. Karenanya kelompok ini mempunyai
kontribusi yang sangat tinggi dalam refleksi dan gugatan saya
terhadap agama secara umum dan Agama Kristen dan Gereja secara
khusus.

Perjumpaan saya dengan kaum termiskinkan di pedesaan, membawa


saya pada penemuan dan kesadaran baru bahwa dari mereka yang
termiskinkan tsb, perempuan telah menjadi kaum yang paling
termiskinkan. Dalam banyak hal ketimpangan itu sangat mencolok.
Begitu mencoloknya sampai saya yakin, tidak dibutuhkan teori
analisis gender yang njlimet untuk mampu melihat ketimpangan tsb.
Maka dalam perjalanan berikutnya saya lebih fokus kepada

344
komunitas perempuan, dan pengalaman perjumpaan dengan kaum
perempuan juga menyumbang porsi yang besar dalam gugatan saya
atas agama.

Akhirnya, ketika saya menuliskan refleksi ini, perjalanan mlipir saya


sampai pada perjumpaan berikutnya, yaitu bahwa dari antara kaum
perempuan tsb, masih ada kaum perempuan yang karena orientasi
seksual yang berbeda, beserta dengan kelompok gender lain,
menjadi kelompok yang jauh lebih terpinggirkan. Dan lagi-lagi,
perjumpaan ini memiliki kontribusi yang juga sangat besar dalam
saya berefleksi mengenai agama. Hal itu membawa saya untuk
mengangkat potret komunitas LGBTQ, dimana saya dalam 2 tahun
terakhir terlibat dalam perjalanan mlipir bersama. Dan dalam
perjalanan mlipir bersama dengan saudara-saudara di pelosok Nias,
Aceh, Kalimantan, atau pulau-pulau kecil di Sulawesi Tenggara,
Maluku, sampai kemudian kembali lagi ke Jogja, tenyata lebih
banyak menemukan gugatan daripada jawaban atas wajah agama
dan Tuhan yang diperkenalkan dan dihidupkan dan juga dihidupi di
antara mereka.

Dari Nias Menggugat Peran Transformatif Sosial


Gereja
Sebelas (11) desa yang menjadi wilayah pelayanan kami ketika saya
bekerja di Hilswerk der Evangelischen Kirchen Scweiz (HEKS)
hanyalah sedikit dari ribuan desa dengan kondisi yang nyaris sama
yang tersebar di Nias dan kepulauannya. Untuk bisa mengunjungi
desa-desanya, maka kami harus mlipir hutan dan rawa, dimana
lumpur akan menarik kaki kami sampai sampai sebatas pinggang,
dan terasa berat mengangkatnya. Meskipun kalau saya melihat orang
asli di desa tersebut,dengan beban seberat 50kg di atas kepala
mereka, mereka terlihat seperti tanpa beban melangkah di atas jalan
rata.2 Kalau tidak menelusuri rawa, maka kami harus menelusuri
sungai dengan jukung, dimana pengamatan cuaca yang tepat akan
sangat menentukan. Ada waktu dimana karena hujan berhari-hari
untuk sampai ke tepian rawa saja sudah tidak mungkin, maka kami
haru ambil jalan putar, mengelilingi seperempat pulau, dimana
karena tidak adanya jalan, maka monil atau sepeda motor harus
mlipir menyusuri pantai, dan tantangannya adalah titik-titik

345
pertemuan hilir sungai dengan garis pantai. Lagi-lagi jadwal pasang
surut yang akan menentukan lamanya perjalanan kami. Atau ke desa
lain lagi, harus mlipir bibir pantai, kalau salah perhitungan jam,
maka kita bisa terhenti di titik-titik temu sungai dan pantai, karena
ternyata gelombang pasang yang tinggi, kendaraan tak mungkin
lewat. Jika salah mengamati, alih-alih sampai ke desa tujuan, kita
bisa diseret langsung ke Samudera Hindia karena air pasang tinggi
yang masuk ke hilir sungai.3 Bagi saya, keterpelosokan sebagian
besar wilayah berpenduduk di pulau ini sudah di luar batas
kemanusiaan, sekaligus sulit dibayangkan kalau hanya lewat tulisan
pendek seperti ini.4

Di 10 dari 11 wilayah yang kami layani tesebut 95-100%


penduduknya beragama Kristen dan Katolik. Sekalipun saya
menikah dengan orang Nias dan melakukan penelitian untuk thesis
S2 saya di Nias, saya masih belum sepenuhnya mengenal kultur
sosial-budaya Nias secara utuh. Dengan mempertimbangan kondisi
geografis dan demografis di atas, saya memiliki harapan yang sangat
tinggi akan “sikap hidup Kristen” yang akan saya lihat dan alami
ketika tinggal di sana. Yang saya maksud dengan “sikap hidup
Kristen”5 di sini adalah sikap hidup yang selama ini sangat lekat
dengan agama Kristen, yang dipercaya merupakan teladan maupun
ajaran Yesus. Sikap kasih, belaskasih, pengorbanan, solidaritas-bela
rasa kepada yang kecil, sakit, dst. Dengan kata lain, dengan kondisi
keterpelosokan mereka, yang membuat mereka mau tak mau hanya
hidup dan berinteraksi dengan mereka yang tinggal di sekitar,
ditambah dengan nilai-nilai kekeristenan yang mereka sudah pelajari
sejak kecil maka saya berharap bahwa situasi masyarakat menjadi
sangat damai, tenteram, penuh kasih, dimana semua saling
tersenyum dan menyapa tetangga mereka, dimana berbagi adalah
suatu kebiasaan yang mentradisi. Pendek kata saya berharap bahwa
nila-nilai kekristenan yang saya sebutkan di atas menjelma dalam
kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa
harapan saya itu bukanlah harapan yang muluk-muluk.

Tentu saja saya sadar bahwa agama Kristen tidak hadir dalam ruang
kosong. Saya sadar bahwa di sana ada banyak tarik menarik,
ekonomi, sosial, politik, yang hadir dan tarik menarik lewat berbagai
346
media. Media yang terlihat sangat kuat tentu saja adalah budaya,
baik yang bersifat warisan nilai, keyakinan, kebiasaan yang
diturunkan melalui praktek sehari-hari, maupun yang dilembagakan
melalui lembaga adat.

Alih-alih melihat sikap hidup yang saling berbagi, penuh welas asih,
saling menopang, yang saya lihat adalah sebaliknya. Berada di
tengah-tengah mereka secara konstan selama lima tahun membuat
saya tidak asing lagi melihat pemandangan atau mendengar orang
bercerita:

Ladangnya yang tinggal menunggu panen tiba-tiba sudah habis


dibakar orang

Penggilingan padi milik kelompok sudah rusak karena part yang


dicuri

Rumah penggilingan padi yang sebenarnya sangat menolong seluruh


warga kampung itu tiba-tiba sudah habis dibakar, hanya karena ada
perselisihan saudara.

Tiap hari pekan/pasaran (biasanya hari Sabtu), hampir pasti terjadi


perkelahian antar klan baik perkelaian berseri (tidak selesai pada hari
pekan tsb, bersambung di hari pekan yang akan datang) maupun
perkelahian baru. Perkelahian yang cukup serius, perkelahian hebat,
karena melibatkan senjata tajam, hanya karena perkara-perkara yang
menurut kategori orang luar seperti saya adalah perkara sepele.

Karenanya saya tidak terkejut ketika dalam sebuah pelatihan


ketrampilan hidup yang kami adakan, seorang bapak bertanya
dengan sungguh-sungguh:

“Bagaimana caranya agar kami bisa membasmi virus SOS alias


Sedih lihat Orang Senang, Senang lihat Orang Susah”.

Pertanyaan tersebut ternyata bukan hanya milik bapak itu seorang,


melainkan juga ditanyakan oleh banyak orang lain di pelatihan-

347
pelatihan kami yang lain, atau pun dalam percakapan sehari-hari
ketika saya tinggal bersama mereka. (Sebuah tanda bahwa
transformasi sedang terjadi.) Bagaimana Anda harus memahami
pertanyaan tersebut, di tengah konteks masyarakat yang 95-100%
beragama Kristen. Dimana setiap hari Minggu gedung gereja selalu
penuh dipadati oleh anggota jemaat. Dimana setiap hari minggu,
orang merasa berdosa kalau pergi ke ladang atau membuka warung,
bahkan ketika itu dilakukan sepulang dari gereja. Dimana setiap
keluarga mengawali dan menutup harinya dengan kebaktian
keluarga.6 Apa yang salah di sini?

Sistem tatanan sosial di Nias sudah 100% mengadopsi tatanan sosial


formal dengan sistem RT & Kepala Desa (di Desa) di mana sistem
klan tidak lagi masuk di dalamnya. Namun demikian dapat dilihat
bahwa clanship atau kehidupan yang berbasis klan masih sangat
kuat dihidupi. Dalam pengamatan saya, sampai saya meninggalkan
Nias pada tahun 2009,7 kehidupan berbasis klan masih lebih banyak
mendominasi dibanding tatanan hidup yang berbasis nilai
agama/kekristenan atau pun juga berbasis sistem tatatan
pemerintahan formal. Dalam pengamatan saya, perkembangan
banyak sinode di Nias tidak lepas dari kuatnya pengaruh relasi
berbasis klan ini. Perselisihan berbasis klan biasanya akan
berkelanjutan dan meluas, dimana gereja maupun struktur sosial
formal tidak bisa menyelesaikan.8 Nampak bahwa Gereja telah gagal
menerjemahkan pesan-pesan dan nilai-nilainya kepada jemaatnya.
Gereja dalam hal ini di konteks masyarakat Nias, dan lebih tepatnya
di 10 desa yang kami layani, telah gagal melakukan perannya dalam
mentransformasi masyarakat yang notabene adalah jemaatnya
sendiri.

Namun apa yang saya lihat di Nias ini sama sekali bukan khas Nias!
Karena apa yang saya lihat di Nias ini juga terjadi di wilayah-
wilayah pelosok yang kebetulan merupakan kantong-kantong
Kristen di Indonesia, seperti di wilayah lain di Sumatera Utara atau
juga di Indonesia bagian Timur. Peperangan antara suku di Papua,
misalnya adalah sebuah kondisi yang mirip, dimana klan masih lebih
berperan dibanding agama. Kita bisa bayangkan kondisi yang ada
ketika seorang polisi diwawancarai wartawan mengatakan bahwa
348
“peperangan ini akan berhenti (hanya) ketika jumlah warga yang
terbunuh sudah imbang di kedua belah pihak”. Kita tahu bawah
Papua adalah kantong kekristenan yang besar di Indonesia.9 Dan
ketika harus saya tarik lebih luas lagi dalam refleksi saya akan wajah
agama di Indonesia, sepertinya, lagi-lagi apa yang saya amati di
Nias, dan juga di Papua, itu ternyata tidak ada yang unik dan spesial.

Menggugat Wajah Agama Sebagai Pengikat Solidaritas


(Social Cohesion)
Mengutip Emile Durkheim, yang percaya bahwa pada hakikatnya
agama berfungsi sebagai sumber dan pembentuk solidaritas.
Sekalipun ikatan solidaritas di sini lebih bersifat mekanis. Karena
agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk
mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan
sistem kepercayaan dan ritus.

Yesus bukan hanya mengajar namun juga mencontohkan bagaimana


bersolidaritas dan berbela rasa. Teladan dan ajaran Yesus mengenai
kasih dan bela rasa, menurut saya lebih luas dari teori Durkheim.
Meskipun pada awalnya terasa sangat kental dengan keyahudiannya,
namun kitab Injil mencatat bahwa pada akhirnya sikap bela
rasaYesus jelas melampaui keyahudiannya.10 Demikian pula kalau
kita lihat dari ajaran-Nya, kita mendapatkan perintah yang terkenal,
yaitu agar mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan akal budi, dan
mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (Mat.22:37-40). Dan
ketika ditanya siapakah yang dimaksud dengan sesama di sini, maka
Yesus sangat konsisten, dimana sesama tidak dibatasi oleh kesamaan
keyakinan dan ritual yang disebut agama (Lk.10:25-37). Dan saya
sangat mengimani keteladanan Yesus tsb.

Dalam perspektif keteladanan Yesus seperti di atas, maka gereja


telah gagal mentransfer sikap bela rasa dalam hidup jemaat. Bahkan
ketika kita mengenakan definisi fungsi sosial agama menurut
Durkheim, yaitu sebagai pengikat solidaritas mekanis. Pada kasus di
atas, yang sekali lagi bukan merupakan kasus unik di Indonesia,
agama, dalam hal ini agama Kristen, sama sekali tidak berhasil
menampilkan wajahnya sebagai pengikat solidaritas sosial. Bahkan
pada tataran yang paling rendah, yang sifatnya mekanis, terbatas
349
dalam kelompok pemilik kesepakatan sederet keyanikan dan ritual
tsb (baca agama, khususnya Agama Kristen).

Dalam skala yang lebih luas sebenarnya Durkheim percaya bahwa


seiring dengan kemajuan jaman dimana masyarakat semakin
heterogen, maka batas-batas tersebut pun akan mengendor dan
mencari titik temunya. Dan kalau saya harus menarik konteks Nias
ke dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya konteks gereja di
kantong-kantong Kristen di Indonesia, melainkan dalam konteks
agama di Indonesia, maka gugatan di atas sangat valid untuk
dilayangkan. Apa yang kita lihat hampir di setiap sudut negeri ini,
agama, khususnya agama-agama besar, justru menjadi institusi
sosial yang paling sulit mencair dan mengendorkan batas-batasnya.
Tanpa bermaksud menegasikan realitas politisasi agama di mana-
mana, apa yang terjadi dengan konflik di Ambon (Islam-Kristen),
Madura (Shiah-Sunni), Tasikmala (Islam arus utama – Ahmadiah),
Temanggung (penyerangan dari kelompok Islam kepada kelompok
Budhisme), agama di negeri ini telah gagal menampilkan wajahnya
sebagai kohesi sosial. Sebaliknya agama lebih menjadi sumber
konflik. Dan pada kenyataannya, sepanjang sejarahnya agama lebih
menunjukkan wajahnya sebagai sumber konflik daripada sumber
pengikat solidaritas. Agama justru sering menjadi sumber konflik,
karena klaim kebenaran permanen yang berbeda dari kelompok
(agama) yang satu dengan agama yang lainnya, bahkan dari satu
agama yang berbeda mazhab/aliran/tafsir.

Menggugat Peran Agama sebagai Kontrol Sosial ( Social


Control)
Dalam pengalaman saya hilir mudik bersama dengan komunitas
yang dapat dikatergorikan sebagai komunitas pinggiran: komunitas
miskin, perempuan, LGBTQ, maka tidak bisa tidak saya harus
mengamini bahwa agama adalah instrumen kontrol sosial yang
paling kuat otoritasnya. Sayangnya peran kontrol sosial agama justru
memunculkan wajah yang sangat kontradiktif.

Pada satu sisi tentu kita berharap dan menyerukan agar agama
penjadi instrumen penyeimbang kekuatan politik kekuasaan. Karena
di situlah kita akan melihat agama memainkan perannya sebagai
350
kontrol sosial, dalam arti menjaga moral-sosial para pemimpin
negeri, agar tetap berpihak kepada masyarakat. Namun nampaknya
hal sebaliknya yang lebih kita lihat di lapangan. Agama secara
langsung atau tidak langsung, disengaja atau tidak, lebih menjadi
alat kontrol sosial di tangan penguasa.

Kembali kepada kisah komunitas yang kami layani di Nias, dalam


kondisi serba terbatas, nampaknya sulit bagi gereja-gereja di Nias,
sama seperti di wilayah kantong Kristen yang lain, untuk tidak
berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Minimal berharap
mendapatkan kucuran APBD untuk kegiatan sidang sinode.11
Mungkin masih lumayan kalau gereja mengakses dana APBD untuk
program-program pemberdayaan masyarakat yang notabene adalah
jemaatnya. Sayangnya dana yang diserap dari pemerintah daerah
biasanya untuk perayaan-perayaan gerejawi (natal, paskah, pesta
paduan suara, KKR) atau institusional (sidang sinode).

Diskonektifitas yang saya lihat 19-20 tahun yang lalu di Gunung


Kidul ternyata masih berlanjut di Nias dan di tempat-tempat lain,
sampai hari ini. Realitas sosial yang mereka hadapi adalah
kemiskinan, keterisolasian, tidak adanya akses ke pendidikan dan
kesehatan. Dan semua itu adalah realitas politik pemiskinan. Namun
topik-topik yang dianggap menarik dan menjadi topik dalam banyak
pertemuan persekutuan (kebaktian lingkungan, kebaktian keluarga,
persekituan PA, dll) adalah topik-topik mengenai yang transenden.
Topik-topik tentang kemahakuasaan Tuhan dan bagaimana kita
harus menyenangkan hati Tuhan menjadi topik yang laris. Saya tidak
lagi menyalahkan 100% pendeta dan pelayan jemaat yang
memberikan kotbah-kotbah atau PA yang dengan tema-tema yang
saya anggap terputus dari realitas sebagaimana yang saya katakan
dalam pengantar. Apa boleh buat, ada penjual karena memang
banyak pembelinya. Dengan kata lain, masyarakat sendiri memang
lebih menyukai kotbah-kotbah yang bersifat penghiburan, kotbah-
kotbah yang mengingatkan mereka sebagai pendosa, dan ajakan-
ajakan untuk “menyenangkan hati Tuhan” yang menurut saya justru
mengalienasi mereka dari hidup. Secara psikologis saya mengerti
bahwa kesulitan hidup yang sudah menjadi bagian yang nyaris
intrinsik membuat orang ingin tidak ingin membicarakannya. Sama

351
halnya kadang-kadang saya tidak ingin lagi melihat saluran berita
seperti Metro TV atau – apalagi yang sangat bias seperti TV One –
setelah seharian bergulat dengan isu-isu sosial yang membuat saya
lelah sampai di rumah. Maka saya pun lebih memilih menonton
acara ringan, seperti film kartun Tom & Jerry. Namun bukankah
panggilan gereja adalah untuk mendidik dan bukan untuk
menyenangkan hati jemaatnya? Bukankah tugas gereja adalah untuk
mendampingi umatnya di tengah-tengah realitas hidupnya dan bukan
sebaliknya, mengalieanasi mereka dari realitas dan hidup itu sendiri?
Saya pun mulai bertanya, andai tidak ada lembaga gereja atau pun
lembaga agama lain yang menawarkan topik-topik transenden
seperti itu, apakah mereka juga akan mengalienasi diri dari realitas?

Contoh lain adalah ketika berbicara mengenai ketimpangan gender


yang menimpa perempuan. Seperti saya sampaikan dalam pengantar
di atas, menurut pengalaman saya, ketimpangan gender yang terjadi
di masyarakat adalah sebuah fakta tak terbantahkan. Karenanya
kalau kita mau membuka mata, kita tidak perlu teori analisis gender,
analisis data terpilah yang berbelit, untuk sampai pada kesimpulan
bahwa perempuan adalah korban ketidakadilan gender. Terkait
dengan fakta tersebut, dalam bagian ini saya hendak menyampaikan
bahwa adalah lebih mudah mengajak orang yang tidak begitu
kuat beragama (not so religious) untuk melihat fakta
ketidakadilan gender yang terjadi di tengah masyarakat, dibanding
dengan orang yang beragamanya kuat. Lebih mudah berbicara
mengenai bagaimana kita harus mengupayakan keadilan gender di
tengah masyarakat yang jauh dari pengaruh agama daripada kepada
kaum agamis. Kali ini bukan hanya terjadi di lingkungan gereja/
agama Kristen, melainkan juga di agama lain, Islam. Dua orang
peserta mainstreaming gender dalam organisasi dan masyarakat di
Kendari sangat marah, namun sekaligus bingung bagaimana
bereaksi. Pada satu sisi sebagai pegiat sosial dia tidak bisa menolak
kenyataan mengenai ketimpangan gender yang terjadi. Pada sisi lain,
dia merasa tidak mungkin harus mengubah semua itu karena agama
yang dia pelajari mengajarkan yang sebaliknya tentang perempuan
dan relasi laki-laki – perempuan. Sebaliknya, tidak jarang, kaum
perempuan sendiri yang mati-matian ingin mempertahankan apa
yang mereka lihat sudah menjadi tradisi yang bias gender tersebut

352
karena mereka takut melanggar apa yang mereka yakini adalah
sabda ilahi. Seorang pendeta perempuan di Siantar misalnya, dengan
suara yang lantang mengatakan kepada saya bahwa “apa pun situasi
dan kondisi perempuan saat ini, saya tetap akan mengamini dan setia
pada kata Firman Tuhan, bahwa istri harus tunduk kepada suami,
walau seperti apa suaminya, karena begitulah perintah Tuhan”.12

Harapan saya untuk melihat Gereja dan agama secara umum untuk
melakukan peran kontrol sosial masih jauh api dari panggang.
Melihat wajah agama dari pinggiran seperti ini membuat saya sulit
untuk tidak terdengar seperti pengikut Karl Marx. Sulit untuk tidak
melihat bahwa agama berkontribusi besar dalam mempertahankan
tatanan sosial yang tidak adil, bias gender, bias kapitalisme, dan
tentu saja bias heteronormatif.

Alih-alih menjadi kontrol sosial dalam arti luas, sebagai


penyeimbang kekuatan poitik kekuasaan, disadari atau tidak, agama
justru lebih sering menjadi alat kontrol sosial dari penguasa. Dalam
hal ini saya teringat akan pernyataan Ulil Abshar Abdalla yang
menulis surat terbuka kepada seseorang yang disebutnya sebagai
sahabatnya. Surat tersebut dimuat dalam media dan jejaring sosial
pada bulan September 2007. 13 Dalam surat terbukanya tersebut Ulil
mengajukan beberapa pertanyaan sederhana, tetapi sangat kritis,
seperti: betulkah kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan
agama? Apakah kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu
rupa menjadi tertib dengan hukum-hukum dan peraturan yang
mereka buat sendiri berdasarkan akal, pengalaman, dan tahap
kematangan mental-intelektual mereka sendiri? Apakah jalan satu-
satunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya melalui agama?
Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama sama
sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan
manusia? Dalam suratnya Ulil memang lebih menujukan
pertanyaannya kepada umat Islam yang menurutnya sering berpikir
sempit tentang agama.

Dalam konteks tulisan ini, pertanyaan Ulil juga sangat relevan


ditanyakan kepada gereja. Apakah kehadiran gereja masih bisa
dikatakan relevan ketika tidak banyak gereja yang mampu menjadi

353
penyeimbang kekuatan politik kekuasaan? Apakah kehadiran gereja
masih relevan ketika gereja tidak mampu menjadi alat kontrol bagi
kekuasaan. Dan apakah kehadiran gereja masih relevan, jika gereja-
gereja di daerah kantong-kantong Kristen, selalu berharap turunnya
dana APBD untuk sidang sinode mereka? Dan saya sepemahaman
dengan Ulil bahwa pada akhirnya sesungguhnya gereja & agama
Kristen bersama dengan agama-agama besar di negeri ini harus
mulai merendahkan dirinya, karena dalam kenyataanya, ada banyak
institusi sosial lain yang sepertinya justru lebih berkemampuan
melakukan peran pendewasaan umat manusia dan peran pembentuk
sikap moral and etis yang jauh lebih efektif.

Menggugat Peran Spiritual Agama, Sebagai Pemberi


Makna Hidup (Provide Meaning and Purpose)
Kalau tidak ada agama, dari mana kita memperoleh makna dan
tujuan hidup? Itu pertanyaan retoris yang paling sering diajukan
kaum agamis. Dulu pertanyaan itu terdengar wajar di telinga saya.
Namun semuanya berubah ketika saya mulai mondar-mandir mlipiri
jalan yang menjadi wilayah peziarahan kawan-kawan komunitas
LGBTQ.

Makna hidup seperti apa yang Anda dapat ketika Anda terlahir
sebagai waria (wanita-pria sebutan yang paling netral untuk mereka
yang terlahir dalam fisik laki-laki namun mengidentifikasi diri
sebagai perempuan), atau dalam bahasa Jawa wandu yang lebih
inklusif, baik laki-laki yang merasa diri perempuan maupun
perempuan yang merasa diri laki-laki. Agama sebagai pemilik
otoritas terbesar dalam hidup Anda tidak mengakui dan menolak
keberadaan Anda.

Tamara14, menceritakan dalam sharing kelompok “aku &


tubuhku”dalam Young Queer Faith and Sexuality Camp 15
bagaimana dia harus bergumul mencari sendirian tentang siapa
dirinya. Karena dia lahir dari keluarga Muslim taat di Lampung,
dimana pendidikan luar sekolah yang diketahui orangtuanya untuk
dirinya hanyalah kelompok pengajian. Tamara pun tumbuh sebagai
anak laki-laki yang setiap sore belajar mengaji dan belajar ilmu
agama Islam di kelompok pengajian, sampai ketika dia tidak bisa

354
berkompromi lagi dengan apa yang dia terima sebagai ajaran suci
dengan apa yang dia rasakan dengan tubuhnya. “Yang ada hanyalah
rasa bingung, malu, hina”, demikian saya kutip Tamara. Maka tanpa
menunggu lulus SMP, dia pun lari ke jalanan. Tamara yang kini
berusia 26 tahun, masih tetap bergumul mengenai identitas diri.
Tamara datang ke camp dengan identitas perempuan, dengan make
up lengkap, rok mini, dan rambut panjang palsu yang membuat
wajahnya terlihat feminin dan manis. Namun pada hari kedua, saya
kehilangan Tamara. Ternyata dia berubah menjadi Ary, tanpa wig,
tanpa make up, dengan T-shirt dan celana jeans, mencoba tampil
macho. Karena dia mendengar dari peserta lain yang agamanya
dinilai kuat, mengatakan bahwa bagaimana pun dalam Islam hanya
diakui 2 jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Karenanya kita
harus memilih satu dari keduanya. Meskipun di akhir camp dia
bahagia untuk kembali menjadi Tamara, saya yakin pergumulan itu
tidak berakhir ketika dia kembali ke Lampung.

Kisah yang mirip diceritakan oleh Melly, juga bukan nama


sebenarnya, seorang perempuan Kristen Ambon-Sunda, yang
mengatakan kepada saya bahwa selama lebih dari 25 tahun setiap
malam dia berdoa agar besok pagi ketika bangun tidur, dia sudah
berubah menjadi cowok. Dia baru berhenti berdoa ketika dia
menemukan komunitas queer yang memiliki pergumulan yang sama.
Dan dia menyatakan memilih berhenti pergi ke gereja.

Atau kisah Yuen, juga bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa


yang sedang cuti studi, beragama Kristen, beretnis Tionghoa, dari
Surabaya. Yuen terpaksa menolak diangkat menjadi anggota Majelis
Jemaat, karena meskipun dia tahu dia sangat layak untuk itu, dia
merasa orientasi seksualnya sebagai lesbian, membuatnya tidak
layak menjadi pelayan Tuhan. Dia pun selalu harus pulang dengan
kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
sederhana dari maminya:
- Mengapa menolak menjadi anggota majelis jemaat
sedangkan dia sudah memulai jenjang dengan lurus: Ketua
Komisi Remaja, Ketua Komisi Pemuda dengan prestasi
bagus, maka jenjang berikutnya adalah anggota Majelis
Jemaat.16

355
- Mengapa dia selalu menolak kalau ada cowok yang naksir
dia?
- Mengapa dia sekarang cenderung menghindari kawan-
kawan di gerejanya

Dan mereka tidak sendiri. Dua pertiga dari 51 peserta dan 15 panita
dan relawan Camp yang saya fasilitasi ini memiliki kisah dan
pertanyaan yang sama dengan Tamara, Melly, dan Yuen di atas.
Makna hidup seperti apa yang bisa mereka dapatkan dari agama?
Spiritualitas macam apa yang bisa mereka harapkan dari agama
mereka?

Pada sebuah sesi di hari ke-4 dalam topik agama dan tafsir-tafsir
queer, seorang peserta, Roy, juga bukan nama sebenarnya, bertanya
kepada pemakalah dari tafsir Islam:

Apakah kita boleh beristirahat dalam beragama? Karena saya


sudah lelah dan benar-benar merasa tidak nyaman dengan
agama saya sendiri.

Roy adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Islam


yang cukup bonafid, dan anak seorang pemilik pesantren yang cukup
dikenal dan dihormati di kotanya.

Maka pertanyaan retoris kaum agamis di atas menjadi terdengar getir


di telinga saya, dan saya yakin juga di telinga dan hati kawan-kawan
di komunitas LGBTQ. Dalam pertanyaan retoris di atas terdengar
mengandung arogansi. Di sini bisa ditafsirkan agama merasa
menjadi satu-satunya institusi yang mampu atau paling mampu
memberikan makna hidup dan tujuan hidup. Sedangkan dalam
kenyataannya, saudara-saudara kita yang ada di jalan komunitas
LGBTQ merasa agama justru membuat mereka terhilang dan
tersesat, jauh, teralienasi dari diri mereka sendiri.

Keteralienasian diri dan keterpecahan itu begitu dalam, bahkan


ketika mereka tahu mereka tidak diterima oleh komunitas agama
mereka. Lima orang peserta camp kami keluar dari sesi tafsir agama
Islam atas isu gender & homoseksualitas. Ketika saya mencoba

356
bicara dari hati ke hati, maka kira-kira ringkasan yang bisa saya
dapatkan adalah sebagai berikut:

kami tahu, karena orientasi seksual kami, kami tidak di terima di


komunitas agama kami, tetapi tolong jangan memberikan tafsir agama
yang berbeda, karena kami tidak mau menjadi sesat...

Menjadi orang yang diidentifikasikan tersesat oleh agama adalah


sesuatu yang menakutkan. Itu karena agama, termasuk agama
Kristen, menanamkan otoritasnya dengan menakut-nakuti kita,
misalnya dengan murka Tuhan dan neraka. Belum lagi adanya
fenomena kelompok garis keras agama yang cenderung menghakimi
sendiri secara membabi buta mereka yang dianggap sesat. Maka
menjadi sesat adalah cap yang benar-benar menakutkan.

Namun tidak semua perjalanan mlipir kawan-kawan kita di


komunitas LGBTQ ini membawa mereka pada posisi di atas. Ada
yang memutuskan bahwa ibarat selimut, agama dan ajaran agama
yang mereka anut selama ini sudah tidak mampu lagi menyelimuti
mereka. Mereka telah bertumbuh semakin besar, namun selimut
mereka tetap kecil. Setelah sekian lama mencoba berselimut dengan
posisi badan yang dicoba dipaskan dengan kapasitas selimut, tiba
saatnya mereka buang selimut lama, dan mencari selimut baru yang
lebih memadai. Sekalipun begitu, hampir semua peserta dan relawan
yang ada pada posisi ini merasa belum ada selimut baru yang
memadai. Jadilah mereka mengembara mencari selimut baru tsb.
Sebagian sudah siap jika tidak menemukan, dan akan menjahit
selimut mereka sendiri, sebagian masih berharap satu dari selimut
yang ada di pasaran bisa pas untuk mereka.

Catatan Penutup
Saya sadar tulisan ini tidak menyediakan jawaban. Saya yakin tugas
kita memang tidak menyediakan jawaban. Bahkan saya juga mulai
yakin bahwa tugas agama bukan lagi menyediakan jawaban,
melainkan untuk mengantar umatnya menjadi lebih berani
menemukan dirinya di tengah kompleksitas hidup yang semakin
berbelit ini; berani mentransformasikan nilai-nilai – dari manapun
sumbernya – yang sudah tidak relevan lagi bagi kompleksitas hidup
saat ini; berani berdiri sejajar dengan institusi sosial yang lain untuk
357
bergandengan tangan melakukan kontrol sosial. Tentu saja jika
agama mau merendahkan diri.

Kembali kepada konteks Nias, kekristenan yang sudah berabad-abad


hidup di Nias gagal melakukan peran transformasi sosialnya. Namun
organisasi non profit, baik lokal maupun internasional telah
menunjukkan bahwa mereka lebih mampu melakukan transformasi
sosial di Nias hanya dalam waktu tujuh (7) tahun. Hal ini karena
organisasi-organisasi ini tidak mengajak mereka menjauh dari
realitas namun sebaliknya mendekatinya dan menghadapinya dan
kemudian mengubahnya. Perjumpaan masyarakat Nias dengan
berbagai jenis orang dari berbagai jenis bangsa, yang 90% tidak
berbicara mengenai yang transenden itulah yang
mentransformasikan masyarakat Nias dalam banyak aspek. Dalam
perspektif ini, tidak bisa tidak saya harus mengajak gereja, agama
Kristen, dan agama secara umum, untuk benar-benar berbesar hati
menerima kritik ini. Tentu sebagian dari pembaca akan mengatakan:
agama dan NGO/LSM kan memang memiliki peran yang berbeda,
biarlah masing-masing menjalankan perannya. Saya tak hendak
menyangkali perbedaan peran tersebut. Yang saya mau sampaikan di
sini adalah kesiapan agama untuk duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi dengan institusi sosial lain yang ada dan terbuka kepada
perubahan peran.

Dalam posisi saya sebagai Koordinator AWRC, salah satu pekerjaan


saya adalah melakukan editing untuk jurnal teologi feminis kami, in
God’s image. Saya pun memiliki kesempatan untuk membaca
berbagai tulisan teologis yang bisa dianggap progresif. Dan
kesimpulan sementara saya, sampai saat ini bahkan perspektif
teologis yang progresif tersebut masih punya kecenderungan untuk
mencari pembenaran-pembenaran di dalam Akitab atau juga tradisi-
tradisi yang diakui agama (Kristen Protestan dan Katolik). Sekalipun
para teolog feminis sudah mulai melakukan refleksi teologisnya dari
pengalaman perempuan dan pengalaman feminisnya, namun masih
banyak yang kembali kepada mencari jawaban persoalan hidupnya
pada Alkitab.

358
Sebagai contoh misalnya, dalam rangka mencari pembenaran
orientasi seksual sebagai lesbian, maka ada upaya menafsirkan
bahwa relasi Naomi & Ruth sesungguhnya bukanlah relasi
solidaritas biasa antara dua perempuan, atau kesetiaan seorang
menantu perempuan kepada ibu mertuanya, melainkan sebuah relasi
seksual. Dengan kata lain, bahwa Ruth dan Naomi adalah pasangan
lesbian. Saya sama sekali tidak punya keberatan jika Ruth dan
Naomi adalah pasangan lesbian. Namun yang menjadi keberatan
saya adalah jika kecenderungan semacam ini kita teruskan, maka
meminjam bahasa kawan-kawan dari komunitas LGBTQ di atas,
sepertinya kita hanya akan terus tarik-menarik pojok-pojok selimut
agar pas di badan kita. Kita takut melihat kenyataan bahwa
kompleksitas kehidupan saat ini sudah jauh melampaui kompleksitas
konteks Alkitab dan kitab-kitab agama pada waktu itu. Bagi saya,
hal itu juga mencerminkan ketidaksiapan kita untuk memperlakukan
sumber-sumber di luar agama Kristen dan atau di luar agama sebagai
yang memiliki kesamaan status dan nilai dengan perangkat yang ada
dalam tradisi agama.

Saya ingin menutup catatan penutup ini dengan menggambarkan


permainan “sepur-sepuran” (kereta-keretaan) yang kami mainkan.
Permainan ini sangat sederhana, namun sangat dalam maknanya.
Dalam bentuk lingkaran kami pun berjalan keliling sambil
menyanyikan:
“Naik kereta api, tut-tut-tut, siapa hendak turut.....dst”
Semuanya bergembira. Sampai ketika fasilitator menyuruh peserta
untuk bertukar sepatu/sandal dengan orang yang tepat berada di
belakang masing-masing, dan melanjutkan putaran permainan. Bisa
dibayangkan keriuhan yang terjadi. Karena di sana ada Baktiar yang
besar dan macho mendapat sepatu hak tinggi yang mungil miliki
Titik, ada Titik yang mungil mendapat sepatu super besar dari
Andika, yang ketika dipakai jalan tertinggal terus saking besarnya,
dst. Permainan sederhana tersebut ternyata memiliki dampak besar
bagi peserta. Orang disadarkan bahwa ternyata tidak pernah nyaman
jika kita harus berjalan dengan sepatu/sandal orang lain yang tidak
pas di kaki kita. Dampak yang lebih jauh lagi adalah pengalaman
kecil tersebut ternyata justru memanggil peserta untuk mencoba

359
merasakan lebih banyak pengalaman berjalan dengan sepatu yang
lain lagi, karena ternyata pengalaman itu memperkaya mereka.

Dari pinggiran, saya melihat bahwa panggilan semua orang


beragama saat ini adalah untuk keluar dari rumah kenyamanan
(agamanya), berjumpa dengan orang lain, dan mencoba merasakan
bagaimana berjalan dengan mengenakan sepatu mereka.

Dalam perspektif mengenakan sepatu orang lain itu saya kembali


kepada kuliah Gereja Masyarakat (Germas) yang sekarang sudah
berganti menjadi Teologi Sosial yang waktu itu diampu oleh EGS.
Mata Kuliah Germas telah mengantarkan saya bagaimana berjalan
tanpa alas kaki di antara batu-batu terjal, dan pengalaman itu telah
mengantar saya secara sadar pada pilihan berteologi saya.
Karenanya, menurut saya, mata kuliah tsb. hendaknya
dipertahankan. Saya bersyukur dan berterimakasih karena
pengalaman tak terlupakan dari Germas itu telah mengantar saya
pada perjumpaan yang kaya dengan komunitas yang sangat beragam.
Dan kami pun berkesempatan melakukan peziarahan melalui jalan
mlipir ini.

360
Endnote
1
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Oxford
University Press: 2001)
2
Sebagai pembanding, saya yang jalan tanpa beban di pundak terpaksa
dibantu seorang gadis kecil 9 tahun yang membawa sekarung beras di atas
kepalanya. Dengan riang dan ringan dia mengulurkan tangannya menarik
badan saya yang terasa seperti sekarung pasir jatuh ke dalam air.
3
Nama desa ini adalah Desa Luaha Muzöi, Luaha artinya muara karena
desa ini terletak di ujung muara sungai Muzöi yang bermuara langsung ke
Samudera Hindia, dimana karena salah perhitungan waktu penulis pernah
terseret masuk ke arus Samudera Hindia dan berlomba kecepatan
ketrampilan membuang air dari jukung dengan serangan ombak
samudera.
4
Misalnya sebuah desa bernama Tumula di Nias Tengah, yang jaraknya
hanya .50km dari kota Gunung Sitoli, sampai dengan tahun 2008, baru bisa
dicapai setelah, naik sepeda motor selama 1,5 jam dari kota Gunung Sitoli,
kemudian berjalan kaki selama 1,5-3 jam mlipir dan menyebrangi rawa
lumpur sebatas pinggang orang dewasa. Dan kalau hari pekan/pasar, maka
rawa tsb pun terasa makin meluas karena dilewati oleh ratusan orang
memanggul beban 25-50kg pulang pergi. Atau bila hujan beberapa hari
berturut-turut, jalan utama menjadi licin, maka perjalanan harus
melingkari pulau melalui Nias Utara, dengan jarak 90km yang harus
ditempuh dengan sepeda motor 3-4,5 jam, dengan catatan tidak terhalang
air pasang naik. Kondisi ini adalah kondisi sebelum masa pemulihan pasca
gempa tsunami 2004 dan gempa bumi Maret 2005. Begitu sulitnya
dibayangkan keterpelosokan wilahay-wilahay tersebut tergambar dari
seorang kawan dari Switzerland menyatakan bahwa dia sudah membaca di
setiap laporan saya mengenai tingkat keterpelosokan wilayah-wilayah
kerja kami, namun tetap tidak membayangkan bahwa benar-benar
sebegitu terpelosoknya (remote), sampai ketika dia harus mengalami
sendiri dalam kunjungan ke Nias bersama saya. (Bagi yang berminat
membaca lebih jauh, silahkan lihat El.Anna Marsiana, “Building Back a
better Community: Transforming Disaster into Opportunity” in Ethic in
Action, Vol.3.no.3, June 2009)
5
Frase “sikap hidup Kristen” saya letakkan di antara tanda kutip karena
secara pribadi saya percaya bahwa apa yang akan saya sampaikan
selanjutnya hanyalah hal sederhana yang seharusnya menjadi sikap hidup
semua manusia supaya mereka bisa disebut manusia.

361
6
Suasana Kristen sangat kuat terasa, dimana setiap hari antara pukul
05.30-06.30 bisa dipastikan Anda akan mendengar nyanyian puji-pujian
dari balik setiap rumah di sekeliling Anda, dan hal yang sama akan terulang
pada malam hari, sebelum makan malam atau sebelum tidur, antara pukul
19.00 atau 21.00.
7
Selain Menikah dengan orang Nias, penulis juga melakukan peneilitan
untuk thesis S2, Journey from Böligana’a to Holiana’a: Feminist
Theological Reflections from an Indonesian Woman Perspective, dan
kemudian selama lima (5) tahun secara konstan tinggal (lebih tepatnya
mondar-mandir dengan rata-rata 9 bulan/tahun) di Nias, 2004-2009.
8
Sebagai salah satu buktinya, Gereja Protestan di Nias, berkembang dari
satu yaitu BNKP, menjadi banyak (ONKP, AMIN, BNKPI, BKPN) hampir
semua diawali dari perselisihan berbasis klan, atau perselisihan gerejawi
yang kemudian berubah menjadi perselisihan klan. Lihat juga tulisan saya,
Conflict Transformation: Some Challenges for Theological Schools yang
saya presentasikan di depan peserta perayaan Jubilee 50 tahun ATESEA di
Singapura, tahun 2007. Paper dapat diakses di www.marcia-
yard.blogspot.com.
9
Ibid
10
Karena saya bukan ahli biblis, saya tidak akan membahas ayat-ayat
Alkitab. Namun kisah percakapan Yesus dengan perempuan Sirofenisia di
Injil Markus (Mk.7:24-29) cukup memberi referensi jelas mengenai misi
Kristus yang melampaui bangsa Yahudi.
11
Fenomena ini bukan hanya khas terjadi di Nias, melainkan juga saya lihat
di Tomohon, Ambon, Papua, dan daerah-daerah kantong agama Kristen
yang lain di Indonesia. Bukan hanya peristiwa sidang sinode melainkan
juga kegiatan besar lain seperti PESPARAWI, konggres-konggres seperti
konggres Nasional PERUATI ke-3 di Ambon, bulan Agustus 2011 yang lalu.
12
Pernyataan seorang peserta Kursus Feologi Feminis, yang diadakan oleh
PERUATI Medan Sumut kerjasama dengan AWRC, 29-30 April, 2012, di STT
Siantar, Sumatera Utara.
13
Ulil Abshar-Abdalla, Surat terbuka kepada seorang kawan (Hamid):
Hidup bisa teratur hanya dengan agama? —diposkan di media dan jejaring
sosial, September 7, 2008
14
Nama samaran
15
Camp lintas agama, gender, dan orientasi seksual yang diadakan oleh
YIFOS bersama dengan AWRC, 10-14 April 2012, dengan peserta 51 orang

362
muda lintas gender (perempuan, laki-laki, waria), orientasi seksual (hetero,
bi, dan homo/gay-lesbian), serta queer.
16
Di Gerejanya ada tradisi bahwa seorang Ketua Komisi Remaja jka
kemudian mulus meniti jenjang menjadi Ketua Komisi Pemuda, maka dia
layak dan otomatis akan diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat.

363

Anda mungkin juga menyukai