Pada awalnya ada dua tema besar yang mengemuka, yaitu tema tafsir
Perjanjian Lama, karena itu adalah bidang utama Pdt. Prof. E.G.
Singgih, Ph.D dan tema ‘Kontekstualisasi’. Namun kami akhirnya
memutuskan untuk memilih tema ‘Kontekstualisasi’, karena tema ini
sekaligus mencakup teks Alkitab maupun konteks pengalaman
kekinian. Pemilihan tema ini sekaligus menyiratkan pergumulan dan
arah berteologi dari Prof. E.G. Singgih, Ph.D., yang ketika menafsir
Alkitab selalu tidak lupa untuk melibatkan beragam konteks dalam
pertimbangannya. Edisi revisi buku ‘Dari Israel ke Asia’yang terbit
pertengahan tahun 2012, merupakan tanda bahwa pergulatan itu
tidak pernah selesai digumulinya. Namun pada saat yang sama tema
ini juga relevan bagi Duta Wacana. Kebetulan tahun 2012, Duta
Wacana akan merayakan ulang tahun emasnya. Maka kami akhirnya
sepakat untuk menunda penerbitan buku ini hingga tahun 2012
bertepatan dengan Jubileum 50 tahun Duta Wacana. Para pendiri
Duta Wacana sudah dengan sadar mendirikan institusi pendidikan
teologi ini dengan menekankan pentingnya kesadaran akan konteks
i
Indonesia. Untuk itu, walau pada awalnya dimaksudkan sebagai
‘kado’ bagi ulang tahun ke 60 Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D, namun
karena ulang tahunnya itu sendiri sudah lewat tiga tahun, biarlah
buku ini menjadi sebuah penghargaan atas usahanya untuk terus
mengembangkan teologi yang kontekstual, dan pada saat yang sama
memberi sarana bagi Duta Wacana untuk merefleksikan
perjalanannya selama 50 tahun bergumul dalam konteks. Maka,
jadilah buku ini diterbitkan sebagai refleksi atas kontekstualisasi
teologi di Indonesia yang sangat ditekankan oleh Duta Wacana dan,
yang seperti sudah banyak diketahui orang, sangat lekat dengan
karya-karya dan pemikiran-pemikiran Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D.
Editor:
Robert Setio
Wahju S. Wibowo
Paulus S. Widjaja
ii
Daftar Isi
Pengantar.................................................................................... i
iii
Bagian III Teks dan Konteks
1. Diutus ke Seluruh Dunia
(Agustinus Gianto)……………………………………. 137
2. Towards an Indonesian Old Testament
Theology: A Dialogue between Christoph
Barth’s Old Testament Theology and Works by
Indonesian Old Testament Scholars
(Agustinus Setiawidi)…………………………………. 155
iv
Bagian VI Dialog dengan Islam
1. Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah
Masyarakat Jawa Barat: Sebuah Catatan Reflektif
(Supriatno)…………………………………………… 271
2. Komisi Hubungan Antarumat (Kaum) sebagai
Simpul Dialog Versi Greja Kristen Jawi Wetan
(Suwignyo)……………………………………………. 299
v
Pendahuluan
Robert Setio
2
Tetapi teologi juga adalah sebuah ilmu. Ia adalah salah satu dari
sekian banyak ilmu lainnya. Maka teologi tidak hanya digunakan
sebagai perspektif untuk menganalisa ilmu-ilmu lain, namun juga
perlu dijadikan sasaran analisa. Gerrit adalah salah seorang dari
sedikit teolog yang bersedia membedah ilmu teologi, ilmunya
sendiri. Membedah di sini lebih baik diartikan sebagai membuka
lebar termasuk borok-borok yang ada di dalamnya, jika ada. Di
tangan Gerrit, teologi bukanlah ilmu yang perlu diselubungi oleh
mitos-mitos keistimewaan yang membuatnya tidak bisa dikritisir.
Kritik terhadap teologi dapat datang baik dari dalam maupun dari
luar dirinya, dari ilmu-ilmu lain, bahkan dari yang oleh para ilmuwan
dikategorikan bukan ilmu seperti kearifan-kearifan lokal. Gerrit tak
segan untuk mengakui kehebatan kearifan lokal sedemikian rupa
sehingga kearifan lokal itu diangkat kedudukannya menjadi setara
dengan ilmu bahkan dalam kancah wacana agama, kearifan lokal itu
juga disebut sebagai agama, bukan lagi kepercayaan. Di balik
pemberian identitas agama ini ada sebuah motivasi mulia yaitu agar
agama-agama besar termasuk Kekristenan bersedia membuka diri
dan belajar dari agama lokal.
3
perasaan seperti itu adalah bukti bahwa agama-agama besar itu
kurang percaya diri. Mereka justru merasa lemah dan dalam perasaan
lemah itu ingin menindas yang lain supaya nampak kuat.
Mungkin semua orang Kristen juga berpikir seperti itu dan percaya
kepada Yesus yang menderita dan mati bagi umat manusia. Tetapi,
bagi Gerrit pemahaman itu tidak berhenti pada sesuatu yang normatif
saja. Pemahaman itu terus berlanjut pada tindakan-tindakan etis,
pada aksi-aksi nyata, tidak saja di ruang-ruang kuliah, tetapi sampai
ke gubuk-gubuk reot di kampung-kampung kumuh (Gerrit juga aktif
dalam advokasi masyarakat terutama ketika masih mengepalai unit
4
Lembaga Pelayanan Masyarakat UKDW). Hidupnya adalah
teologianya.
5
Ciri berpikir yang holistik itu juga nampak ketika Gerrit berbicara
mengenai pendidikan teologi, dunia yang dihidupinya hampir
sepanjang masa pelayanannya sebagai pendeta (yang masih belum
selesai itu). Gerrit tidak ingin pendidikan teologi dipilah-pilah
menjadi bagian yang akademik (intelektual), spiritual dan
kependetaan (ministerial). Pendidikan teologi perlu
mengintegrasikan ke-3 aspek itu ke dalam dirinya. Pikirannya ini
perlu direnungkan oleh sekolah-sekolah teologi yang nampaknya
semakin tidak berdaya untuk menahan kehendak “pasar” agar hanya
memproduksi lulusan yang siap pakai. Lulusan teologi terkesan
hanya dilihat sebagai komoditi saja, sehingga istilah “siap pakai”
dikenakan kepadanya. Perlakuan sebagai komoditi itu kemudian
melahirkan sikap yang tidak mau tahu: jika lulusan itu dianggap
tidak siap pakai akan dibuang begitu saja, tanpa mau tahu apakah
yang akan terjadi pada mereka pasca pembuangan itu. Sekolah
teologi yang “menyerah” kepada kemauan pasar pada akhirnya
mencurahkan segenap energi untuk “mencetak” lulusan yang siap
pakai yang berarti siap untuk berkotbah dengan baik, siap untuk
melakukan perkunjungan dengan rajin, siap untuk membuat liturgi
ibadah dan mengisinya dengan baik (bisa menyanyi dengan merdu)
dan akhirnya, bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi di
kantor gereja. Sekolah yang tidak mampu menghasilkan lulusan
dengan kriteria demikian, akan ditinggalkan oleh pasar yang tidak
lain adalah gereja-gereja. Gereja-gereja tidak akan segan-segan untuk
melirik sekolah-sekolah lain yang dapat menyediakan stok yang
cocok untuk mereka.
6
di antaranya adalah mantan muridnya dalam buku ini dapat
mencerminkan keluasan tersebut. Tetapi harus diakui tulisan-tulisan
ini masih tetap terasa lebih kecil cakupannya daripada cakupan
karya-karya Gerrit sendiri. Buku-buku Gerrit yang banyak itu jauh
lebih kaya ide daripada yang disajikan oleh tulisan-tulisan ini. Salah
satu yang jelas terlihat kurang adalah tulisan mengenai hubungan
Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama. Harapan pada seorang kolega
untuk mengisi bidang ini akhirnya tidak terpenuhi oleh karena
kesibukannya.
7
pemikiran Gerrit sebagai sebuah percakapan. Bernie mengenali sikap
“ketengah-tengahan” Gerrit itu bersumber dari kerendahanhatinya.
Gerrit tidak pernah menolak secara total sebuah pandangan meskipun
bukan berarti dia akan mengikutinya. Gerrit juga tidak akan
menerima secara total sebuah pandangan tanpa kritik termasuk
pandangan dari kelompok dimana dia berada di dalamnya.
8
dikotomis (Barat vs. Timur) diganti dengan pendekatan yang
menerima hibriditas gereja-gereja di Indonesia. Kemudian kita
menyesuaikan diri dengan kondisi yang hibrid tersebut. Bagi Robert,
tindakan ini merupakan sebuah perlawanan politis terhadap
globalisasi yang hendak menelan hibriditas ke dalam sebuah
kesamaan.
9
merasa sudah menemukan Allah dengan apa yang ada pada dirinya,
karena yang ada pada dirinya itu masih sangat terbatas. Pembaca
akan menemukan bahwa pesan ini sejalan dengan judul dan isi buku
yang beragam ini.
Teologi Politik
Andreas Yewangoe, Zakaria J. Ngelow dan Julianus Mojau
mengangkat keterlibatan Gereja dalam urusan politik (pengaturan
negara). Andreas Yewangoe membahas Deklarasi Barmen yaitu
sebuah deklarasi dari sekelompok orang Kristen Jerman yang
mengaku dirinya sebagai “Gereja yang Mengaku” (die bekennde
Kirche). Deklarasi yang ditandatangani, di antaranya oleh Karl
Barth, pada tahun 1934 itu menyatakan pembangakan secara terang-
terangan terhadap pemerintahan Nazi di bawah pimpinan Hitler.
Keberanian “Gereja yang Mengaku” tersebut sangat luar biasa oleh
karena pada masa itu kekuasaan Hitler sangat besar dan didukung
oleh gereja-gereja dan rakyat Jerman pada umumnya. Sehingga
Deklarasi Barmen patut dijadikan monumen pengingat akan
bagaimana Gereja harus bersikap dalam membela kebenaran dan
menyatakan kehendak Tuhan. Motivasi Yewangoe menuliskan hal
ini adalah memberi semangat agar gereja-gereja di Indonesia
meneladani keberanian para pendukung Deklarasi Barmen itu dalam
10
konteks Indonesia sendiri. Meskipun dengan rendah hati Ketua PGI
ini mengakui bahwa gereja-gereja di Indonesia belum
memperlihatkan keberanian yang diharapkan itu.
11
sudah diterima sebagai keniscayaan. Atas dasar paham Calvinis
mengenai kedaulatan Allah, menurut Mojau, keberadaan NKRI perlu
dipertanyakan kembali. Mungkin situasi buruk yang banyak dialami
oleh warga negara di Indonesia bagian timur menjadi pencetus ide
yang terkesan menggugat keotomatisan NKRI itu.
Teologi Estetika
Di bagian ini Volker Kuester, yang lama mengajar di Protestant
Theological University Kampen, Belanda dan sekarang baru saja
pindah ke Mainz, Jerman, mengajukan karya 2 novelis dari Jerman
dan Korea yang mengangkat tema rekonsiliasi. Kedua penulis novel
itu memiliki kemiripan karena mereka sama-sama hidup di negara
yang pernah dikuasai oleh penguasa fasis (Nazi di Jerman dan
penguasaan Jepang di Korea), juga yang negaranya terbagi menjadi 2
karena perbedaan ideologis (Korea masih begitu hingga sekarang).
Tema rekonsiliasi menjadi penting di kedua negara itu. Tetapi
menariknya dalam hal ini adalah bagaimana karya sastera dapat
berperan dalam rekonsiliasi sosial. Tidak kalah menariknya adalah
bagaimana teologi dapat terlibat dalam proses yang terkesan sekuler
ini dengan memberikan interpretasinya. Tema seperti rekonsiliasi itu
adalah tema yang ada dalam teologi dan dalam khasanah teologi pula
tema rekonsiliasi adalah sebuah tema yang penting. Maka
perjumpaan antara teologi dan dunia sastra yang sekuler
dimungkinkan. Kuester adalah teolog yang selama ini sudah dikenal
memiliki ketertarikan yang besar pada dunia seni. Baginya seni tidak
sekadar membantunya dalam berteologi, namun memiliki teologi di
dalam dirinya yang harus diperhatikan oleh para teolog.
12
orang-orang yang datang dari berbagai arah. Kontekstualisasi yang
dipesankan oleh gedung Gereja ini adalah kemenyatuan dengan
masyarakat sekitar. Tulisan ini kiranya memberikan inspirasi yang
baik mengenai bagaimana sebuah gedung Gereja seharusnya dibuat.
Kenyataan yang semakin banyak ditemui dewasa ini adalah gedung-
gedung Gereja yang berdiri menjulang ke langit dan terkesan mewah
sehingga nampak kontras dengan lingkungannya, apalagi jika
lingkungannya adalah perumahan sederhana bahkan kumuh.
13
menyulitkan pekabaran Injil. Tetapi Supriatno mencoba
mengapresiasi keadaan tersebut dan menunjukkan nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalamnya. Pekabaran Injil seringkali tidak
memedulikan nilai-nilai luhur dari suatu masyarakat dan terlalu
bersemangat untuk menggantikannya dengan nilai-nilai keKristenan.
Sikap semena-mena ini tidak saja terjadi di zaman kolonial dahulu,
namun masih juga terjadi sampai sekarang. Arogansi orang-orang
Kristen yang hanya ingin memperlihatkan kejayaannya tanpa peduli
perasaan orang Islam masih sering terlihat di lapangan. Reaksi keras
dari orang Islam terhadap arogansi itu seakan patut dimaklumi,
meskipun itu menyulitkan semua orang Kristen yang sebenarnya
tidak semua setuju dengan sikap kaumnya yang arogan itu tadi. Di
tengah itu, gerakan dialog antaragama juga terjadi. Gerakan ini
membawa warna lain dalam kehidupan masyarakat Sunda dengan
memberikan harapan akan dimungkinkannya suatu kehidupan
bersama yang damai dan saling belajar.
14
Dialog dengan Alam dan Kaum Pinggiran
Tulisan Huang Po Ho, seorang teolog Asia yang terkenal asal
Taiwan, menjadi pelengkap yang sangat berarti bagi buku ini,
meskipun tulisan ini hanya satu-satunya dalam topik yang sama:
ekologi. Huang berbicara dalam konteks pendidikan tinggi Kristen di
Asia yang nampak masih kurang menunjukkan kepedulian terhadap
krisis lingkungan yang sudah sangat parah itu. Perguruan tinggi-
perguruan tinggi Kristen di Asia masih belum menyajikan kurikulum
yang sensitif terhadap masalah ekologi. Mungkin saja para
pengelolanya sudah tahu dan banyak mendengar masalah ekologi itu,
tetapi untuk membuatnya menjadi bagian dari pengajaran di sekolah-
sekolah mereka nampaknya masih perlu dorongan yang lebih kuat.
Tulisan Huang ini dimaskudkan untuk memberikan dorongan
semacam itu. Yang menarik di sini adalah Huang berbicara sebagai
seorang teolog, bukan seorang ahli lingkungan atau yang bidangnya
memang ekologi. Kesiapan dan kesigapan Huang ini kembali
menunjukkan bahwa teolog tidak pernah mau dibatasi untuk hanya
mengurusi hal-hal yang secara tradisional diurusi oleh teologi. Bagi
Huang yang dikenal aktif dalam mempromosikan teologi kontekstual
Asia, pembahasan ekologi dari perspektif teologi itu juga
membuktikan komitmennya terhadap persoalan-persoalan yang
konkrit di Asia. Huang, dengan kata lain, tidak mau terbelenggu oleh
tradisi berteologi (Barat) yang cenderung berangkat dari dogma atau
Alkitab dan baru menyentuh realita pada tahap kemudian. Huang
membalik paradigma ini dengan terlebih dahulu mengangkat
pengalaman di lapangan dan melakukan refleksi teologis atasnya
pada tahap kemudian.
15
Teologi perlu memasuki sebuah paradigma yang lebih ekosentris
atau kosmosentris atau setidaknya, kosmo-antroposentris. Apapun
pilihannya, yang jelas antroposentrisme yang sudah diturun-
temurunkan sejak kelahiran teologi, perlu diubah.
16
Perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari perjumpaan-
perjumpaan antara teologi dengan ilmu-ilmu lain dan dengan isu-isu
sosial maupun ekologis, dan dengan kaum pinggiran adalah sebuah
keniscayaan. Kontekstualisasi membuahkan perjumpaan-perjumpaan
yang semakin lama semakin sering dan meluas itu. Itu berarti,
kontekstualisasi telah mendorong perubahan-perubahn dalam teologi.
Bukan sebuah perubahan demi perubahan itu sendiri tentu saja,
namun perubahan sebagai wujud kerendahan hati untuk mau belajar
dan diajar oleh siapapun di luar dirinya. Kerendahan hati itu tidak
boleh disamakan dengan kerendahan diri, apalagi jika suatu saat
nasib teologi di Indonesia akan tersisih seperti yang sudah terjadi di
negara-negara Barat, namun sebagai tanda kepercayaan diri. Lebih
utama lagi itu semua adalah tanda bahwa teologi masih tetap
berpegang pada komitmen melayani sesama. Sebuah komitmen yang
bagi para teolog konfesional dipandang mendasar karena berangkat
dari penghayatan akan tugas panggilan ilahi dan dalam kerangka
meneladani Yesus, Sang Pelayan manusia.
17
Bagian I
MODEL KONTEKSTUALISASI
E. GERRIT SINGGIH
Bernard Adeney-Risakotta
J.B. Banawiratma
Iman, Politik dan Agama-Agama:
Dialog Kritis dengan Pikiran
Pdt. Prof. Dr. E. Gerrit Singgih
Bernard Adeney-Risakotta*
A. Pendahuluan
Bapak Prof. Dr. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih adalah guru dan
sahabat saya. Dulu Pak Gerrit pernah memarahi saya ketika saya
menyapanya sebagai Pak Gerrit. Soalnya dia mau menyapa saya
dengan nama “Bernie” saja dan merasa kurang enak kalau saya
memakai gelar “Pak Gerrit.” Apa lagi Pak Gerrit adalah orang
sederhana (meskipun pikirannya mendalam), dan lebih senang disapa
sebagai sahabat yang setara daripada dengan tanda formalitas
hirarkis. Supaya tidak dimarahi, saya berusaha menyapa Pak Gerrit
sebagai Gerrit saja, tetapi “Pak” masih muncul sewaktu-waktu.
Bagaimanapun, Pak Gerrit selalu ada dalam hati saya sebagai Bapak.
Maaf Pak, anak-anak Pak Gerrit banyak, di seluruh Indonesia.
*
Profesor Teologi di Fakultas Theologia, UKDW dan ICRS, Yogyakarta.
19
tidak berarti kritik yang selalu negatif tetapi termasuk critical
appreciation atas hal-hal yang sangat menolong kita.
Tulisan ini mengkaji secara kritis, tujuh hal yang paling berharga
dalam tulisan Pak Gerrit tentang politik dan agama. Artikel ini
berusaha menonjolkan ciri-ciri tulisan Pak Gerrit yang bisa menjadi
teladan bagi kita semua. Meskipun tidak gampang, tulisan ini juga
berusaha memperlihatkan beberapa hal yang menurut pendapat saya
kurang kuat pada tulisan Pak Gerrit. Sering kali hal-hal yang paling
berharga dalam pikiran kita juga mengandung kelemahan atau hal-
hal yang juga patut dikritisi. Diharapkan usaha mengeritik pikiran
Pak Gerrit, baik secara positif maupun negatif akan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang masih dalam agenda kita
sebagai umat beragama di Indonesia.
20
bersaing satu sama lain. Kalau teolog atau ahli etika sosial menulis
tentang politik, mereka cenderung berkhotbah tentang yang ideal dan
sempurna, seolah-olah bahasa normatif sudah cukup untuk
menyelesaikan semua masalah politik.
21
melibatkan umat Kristen dalam konflik dengan umat beragama lain,
tidak muncul karena Kristen tidak berkuasa melainkan karena umat
Kristen bersaing dengan umat lain untuk mendapatkan kekuasaan.
Persoalan politik yang pokok bagi Gereja bukan bagaimana
mendapat kekuasaan dan bukan pula bagaimana memakai kekuasaan
kalau sudah memperolehnya (top down approach). Persoalan pokok
bagi Gereja adalah bagaimana menghadapi persoalan politik yang
terkait dengan hubungan pihak yang berkuasa dengan pihak yang
lemah. Gereja dipanggil untuk menjadi terang kepada masyarakat.
Menurut tulisan Pak Gerrit, Gereja Indonesia seharusnya selalu
berpihak kepada mereka yang lemah.
Namun, saya kira tulisan Pak Gerrit bisa menjadi lebih tajam kalau
lebih memperhatikan masalah ketidakadilan struktural. Pak Gerrit
lebih berfokus kepada sikap pemimpin agama dan umat Kristen
daripada kepada sistem dan struktur politik, ekonomi, sosial, militer,
budaya dan institusi agama. Memang Pak Gerrit bukan ahli ilmu
sosial dan lebih baik dia menjadi teolog yang brilian daripada ilmuan
sosial yang hanya lumayan. Pak Gerrit sudah sangat berani menulis
lintas disiplin akademik dan memperlihatkan wawasan yang luas.
22
Kritik Pak Gerrit adalah kritik dengan motivasi kasih sayang.
Berbeda dari teolog yang mengambil jarak dari Gereja seolah-olah
mereka lebih baik dan sudah memisahkan diri dari Gereja, Pak Gerrit
selalu menulis sebagai pendeta yang sangat terlibat dalam kehidupan
Gereja. Pak Gerrit menulis kepada semua umat Kristen (termasuk
Katolik), bukan hanya kepada gereja sendiri (GPIB). Dia menulis
sebagai bagian dari Gereja di Indonesia. Pak Gerrit menulis kepada
keluarga sendiri. Oleh karena itu, kritiknya jauh lebih berwibawa
dibandingkan tulisan dari orang yang membenci (atau setengah
membenci) Gereja.
Dalam hal ini, Pak Gerrit sadar bahwa dia adalah bagian dari tradisi
kritik diri (self-criticism) Gereja yang sudah kuno. Artinya, kritik
politiknya bukan terutama kepada mereka yang di luar Gereja
melainkan kepada keluarga umat beragama Kristen sendiri.
Pendekatan ini termasuk dalam arti “suara nabi”. Suara nabi tidak
saja kepada penguasa yang lain (the Other), melainkan kepada
komunitas dan umat sendiri. Tentu saja, kritik Pak Gerrit, dalam
tadisi kenabian, juga diarahkan kepada penguasa-penguasa yang
tidak bertanggungjawab dari umatnya sendiri. Tetapi kritik Pak
Gerrit selalu lebih tajam kepada komunitas sendiri dibandingkan
komunitas lain. Ketajaman kritiknya berasal dari cinta kasih. Dalam
semua tulisannya, cinta kasih Pak Gerrit terhadap Gereja sangat
nampak. Cinta kasihnya yang membuat kritiknya tajam.
Pendekatan seperti ini tidak bisa disalahkan. Pak Gerrit luar biasa
produktif dan layak menjadi Professor dan Doktor Honorarium
Causa dari Belanda karena baik kualitas maupun kuantitas
tulisannya. Namun saya sedikit menyesal kalau tulisan Pak Gerrit
tidak banyak dibaca di luar lingkungan gereja. Memang tulisan-
tulisan bahasa Inggrisnya dibaca sampai di luar negeri. Tetapi
kebanyakan tulisannya dalam bahasa Indonesia dan agak terbatas
kepada umat Kristen di Indonesia. Mengingat kebanyakan orang
Indonesia yang beragama Islam, saya rindu Pak Gerrit menulis lebih
banyak bagi masyarakat luas. Pasar pembaca masih agak kecil di
Indonesia dan kalau hanya dibaca oleh pembaca umat Kristen, maka
pasarnya terlalu sempit. Padahal banyak tulisan Pak Gerrit sangat
relevan kepada umat beragama lain.
23
Persoalan ini tidak mudah diatasi oleh karena pendekatan Pak Gerrit
sebagai ahli Alkitab. Tentu saja pembaca yang bukan beragama
Kristen tidak mungkin terlalu tertarik kepada tulisan yang selalu
dimulai dari kitab suci agama Kristen. Namun kita berharap Tuhan
memberi banyak tahun lagi yang produktif untuk proses penulisan
Pak Gerrit. Dengan demikian mungkin Pak Gerrit akan menulis
lebih banyak yang diarahkan kepada masyarakat umum. Mungkin
melalui proses mengajar di Indonesian Consortium for Religious
Studies (ICRS-Yogya), bersama para ahli-ahli Al Qur’an, Pak Gerrit
akan berani memakai pendekatan teks yang lintas agama.
24
“out group”. Murid Yesus dipanggil untuk melayani semua tanpa
pandang bulu. Hal ini bukan hanya teori bagi Pak Gerrit. Dia
mempraktekkan hal ini dalam hidup sehari-hari di mana dia
bersahabat dengan orang lintas agama dan mendampingi orang kecil
dan besar dari semua kalangan.
Saya sangat setuju dengan pandangan Pak Gerrit ini oleh karena itu
sesuai dengan hakekat Injil, yaitu anugerah Allah kepada semua
orang. Persoalan penghakiman terakhir bukan tangungjawab kita
melainkan tanggungjawab Tuhan. Memang kita diselamatkan
melalui iman dan anugerah Tuhan melalui kematian dan kebangkitan
Yesus Kristus. Tetapi kita tidak pernah tahu siapa yang akan
diselamatkan, atau iman seperti apa yang akan dihitung atau sejauh
mana anugerah Tuhan bisa merangkul orang yang belum kenal
Kristus. Kita diberitahu bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.7
Kalau ada perbuatan baik, bukan perbuatannya yang menyelamatkan
25
melainkan Tuhan yang akan tahu macam apa imannya yang
dibelakang perbuatan tersebut.
Pak Gerrit menulis bahwa dengan tanda salib tidak ada “in-group”
dan “out-group”. Kalau dimaksudkan adalah bahwa murid-murid
Yesus dipanggil melayani semua orang yang menderita dan tidak
hanya orang dari umat sendiri, saya setuju. Namun cara
mengucapkan ini agak problematis menurut pendapat saya. Di satu
pihak, tanda salib bukan tanda universal yang bisa diterima oleh
semua umat, melainkan tanda penderitaan Yesus Kristus yang khas
Kristen. Pemakaian salib adalah tanda bahwa ini adalah orang atau
tempat yang Kristen dan bukan umat lain. Seandainya seseorang
meletakkan salib di atas mesjid, maka segera akan ada kerusuhan!
Selama sejarah gereja, salib sering dipakai sebagai tanda perang
gereja terhadap musuh gereja, termasuk Perang Salib (Crusades).
Meskipun saya sangat setuju kalau Pak Gerrit mau menafsirkan
kembali tanda Salib sebagai tanda kasih universal dan bukan tanda
perang. Namun, tandanya sendiri bukan tanda universal melainkan
tanda Kristen. Kalau kita ajak umat lain untuk merangkul salib
sebagai tanda universal, kiranya sangat tidak bijaksana. Mungkin Pak
Gerrit akan setuju dengan hal ini, tetapi perlu dijelaskan lagi.
26
group kita (seperti cerita orang Samaria yang baik hati), itu tidak
menghapus perbedaan di antara in-group dan out-group. Kita masih
akan merasa lebih enak bersama orang yang agak mirip dengan kita.
Tanda salib tidak menghapus in-group dan out-group melainkan
melampauinya.
Metode seperti ini, kalau dilakukan oleh pemikir muda yang belum
ahli, tidak hanya membingungkan tetapi terkesan tidak disiplin dan
kurang bertanggungjawab. Pada tulisan seperti itu tidak ada garis
merah yang secara jelas mengikat semua unsur yang dibahas.
Namun metode seperti ini sangat kuat dalam tangan guru besar
(master) seperti Pak Gerrit. Meskipun melompat-lompat, pikiran
Pak Gerrit sangat logis dan jelas. Semua hal dikaitkan satu sama lain
lewat analogi. Cerita-cerita yang lokal dan partikular diikat satu sama
lain melalui semacam grand narrative yang implisit. Tulisan Pak
Gerrit selalu menarik karena banyak cerita. Ceritanya yang memberi
nuansa dan kompleksitas kepada analisanya. Cerita-ceritanya
menjangkarkan ide pencerahan dan prinsip universal ke dalam
pengalaman orang-orang dan komunitas yang nyata.
Itu tidak berarti semua hal akan dengan mudah disatukan dalam satu
sistem logis. Salah satu kekuatan tulisan Pak Gerrit adalah tidak
memaksa semua hal harus disesuaikan dengan teologi sistematis
tertentu. Memang Pak Gerrit sadar bahwa pikirannya adalah dalam
27
sungai tradisi Calvinis Kristen dan dipengaruhi oleh teologi Asia dan
Amerika Latin. Namun dia tidak merasa terpaksa setuju dengan
Calvin atau teolog siapapun yang lain kecuali (mungkin!), Yesus
Kristus.
28
Namun, bagaimana artinya itu, teologi Asia (atau Timur), yang
bertentangan dengan teologi Barat? Kadang-kadang teologi Timur
dijadikan sama dengan teologi yang disukai oleh penulis Indonesia
dan teologi Barat dianggap semua teologi yang tidak disetujui. Tetapi
segala macam teologi Kristen berada baik di Timur maupun di Barat.
Pada kalangan teolog yang liberal, maka teologi fundamentalis, injili,
karismatik atau pentakosta adalah teologi Barat, sedangkan teologi
ekumenis, teologi pembebasan, teologi konteksual atau teologi
sinkretis adalah teologi Asia. Sebaliknya, pada kalangan teolog yang
konservatif, teologi liberal, ekumenis, pluralis dan teologi
pembebasan adalah penyakit yang diimpor dari Barat! Memang
banyak ide, termasuk ide buruk, diimpor dari Barat. Tetapi kita tidak
bisa menerima atau menolak ide hanya oleh karena asalnya dari
Barat atau Timur.
Pada tulisan dialektis Pak Gerrit, satu tema yang paling menonjol
adalah teologi yang relevan pada konteks Indonesia. Teologi konteks
Indonesia bukan teologi yang dibersihkan dari warisan tradisi teologi
dari luar negeri, melainkan teologi yang kritis dan tidak menerima
begitu saja tradisi atau ide teologi dari mana pun tanpa bertanya
tentang relevansinya dalam konteks Indonesia. Pak Gerrit memakai
hermenutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion), yang
menyadari bahwa teologi tidak hanya selalu terkait dengan konteks
dan pertanyaan yang berasal dari situasi riil, tetapi juga bahwa
teologi selalu terkait dengan ideologi, termasuk ideologi politik dan
ideologi gender. Teologi yang berasal dari Korea, Jerman, Sri
Lanka, Skotlandia, Cina, Amerika Utara, Jepang, Afrika, India,
Amerika Latin ataupun Indonesia seharusnya dikaji secara kritis.
Pak Gerrit siap belajar dari teologi manapun dan tidak membekukan
polarisasi Timur - Barat. Dia juga kurang setuju dengan polarisasi
Eropa-Amerika, seolah-olah gereja ekumenis berasal dari Eropa dan
gereja karismatik dari Amerika. Secara dialektis beliau
mendialogkan ide-ide dari seluruh dunia dengan kenyataan sosial di
Indonesia.
29
aliran karismatik/pentakostal di Indonesia. Mereka menyatakan
bahwa itu teologi impor dari Amerika yang menyesatkan dan sama
sekali tidak konteksual di Indonesia. Dengan senyum kecil yang
khas, Pak Gerrit membisik kepada saya, “Mungkin kita cemburu
karena mereka bertumbuh cepat. Apakah mungkin aliran karismatis
tersebut lebih konteksual di Indonesia dibandingkan dengan gereja
ekumenis kita? Mereka masih percaya kepada roh-roh, dunia gaib
dan mujizat-mujizat, seperti kebanyakan orang Indonesia, sedangkan
gereja ekumenis sudah menjadi terlalu rasional seperti gereja
reformir Belanda.” Maksud dari cerita ini bukan bahwa Pak Gerrit
setuju dengan teologi gereja karismatik, melainkan bahwa, dengan
pikiran dialektisnya, Pak Gerrit terbuka kepada ide-ide baru dan
tidak terjebak dalam stereotip-stereotip yang mungkin dipengaruhi
oleh kecurigaan ataupun ketakutan. Pikiran dialektis tidak hanya
menerima atau menolak ide-ide tertentu, melainkan
mendialogkannya dengan pendekatan lain.
30
salah melalui metode rasional-empiris. Dengan kata lain, burden of
proof seharusnya dibebankan kepada orang yang mau rekonstruksi
teksnya dan konteksnya daripada sebaliknya. Kita tidak perlu naif
atau dicap Fundamentalis kalau menerima teksnya pada bentuk
kanonnya, asal kita terbuka kepada bukti kuat bahwa rekonstruksi
teks lebih menerangkan makna dalam teks daripada bentuk
kanonnya. Memang banyak teks Alkitab adalah hasil proses redaksi
selama ratusan tahun dan konteks penulisnya tidak mesti sama
dengan konteks ceritanya.
Salah satu kekuatan, Pak Gerrit adalah tidak pernah melupakan isi
teksnya. Pendekatan historis-kritisnya tidak dipakai sebagai alat
untuk menghancurkan wibawa teksnya melainkan sebagai alat untuk
mencari makna yang sebenarnya dalam konteks kunonya, baik
konteks cerita maupun konteks penulis/redaktornya. Lebih dari itu,
Pak Gerrit selalu mencari makna teks yang bisa menerangkan
konteks kita masa kini.
31
Saya menduga bahwa metodologi yang paling kuat dalam tulisan Pak
Gerrit adalah pendekatan naratif. Cerita-cerita Alkitab dipakai untuk
menafsirkan cerita-cerita masa kini. Alat historis-kritis dipakai
untuk menerangkan cerita-cerita kitab suci supaya menjadi lebih
jelas dan relevan terhadap isu-isu modern. Berbeda dari pakar-pakar
tertentu, Pak Gerrit tidak pernah berhenti dengan tafsiran teks-teks
kuno melainkan memakai ceritanya sebagai alat penafsiran terhadap
persoalan politik modern. Misalnya, Pak Gerrit memakai cerita
tentang konflik di antara nabi Yeremia dan rakyat Yehuda tentang
Bait Suci untuk mengkaji bagaimana kita sekarang ini, seperti rakyat
Yehuda ribuan tahun yang lalu, cenderung mengganti Tuhan yang
Suci dengan tanda atau simbol suci yang dibuat sendiri.8 Akibatnya,
kita menyembah kepada buatan diri sendiri dan kepada institusi
agama kita daripada menaati Tuhan yang menuntut keadilan dan
kasih sayang kepada orang yang tertindas dan menderita.
32
sebagai antropolog. Pendekatannya terhadap budaya Indonesia
adalah positif. Pak Gerrit biasanya mulai dengan prasangka positif
bahwa budaya lokal Indonesia adalah baik. Namun pendekatan
positif terhadap budaya Indonesia masih kritis dan dilengkapi dengan
pandangan pragmatis yang menghasilkan pertanyaan pokok: Apakah
budaya dan ritual agama lokal membangun solidaritas, keprihatinan
terhadap kaum lemah dan bela rasa satu sama lain, atau sebaliknya,
mendukung kekuasaan status quo yang cenderung menindas kaum
lemah?9 Pak Gerrit, tidak cenderung menilai budaya berdasarkan
apakah adatnya sesuai dengan ajaran Kristus atau dogma Gereja,
melainkan dengan fungsi politik budaya tersebut.
33
masih berada di tengah kita dan mempengaruhi hidup sehari-hari kita
- itu lebih dekat dengan dunia Palestina pada masa Yesus Kristus
dibandingkan dengan dunia misionaris Barat?
34
Sikap psikologi umat Kristen sebagai kaum minoritas yang tertindas
menimbulkan beberapa masalah. Sikap takut menguatkan perpisahan
satu umat dengan yang lainnya. Sikap takut membuat orang bodoh.
Orang takut lebih mungkin memusuhi pihak yang ditakuti.
Ketakutan membuat orang menjauhi satu sama lain. Secara ironis
ketakutan bisa menimbulkan tindakan-tindakan yang ditakuti, yang
sebenarnya tidak perlu terjadi. Sikap minoritas dan rasa tertindas
menimbulkan kecurigaan yang berlebihan. Akibatnya, stereotip-
stereotip negatif terhadap “mereka” digeneralisir sampai semua
orang dari umat lain dipandang negatif. Orang-orang dengan sikap
minoritas tertindas merasa tidak berdaya, tidak berkuasa. Terkadang
mereka berjuang keras untuk memiliki kekuasaan politik dengan
asumsi kalau mereka menjadi berkuasa mereka akan aman. Mereka
menghitung seberapa aman umatnya dari seberapa warga Kristen
yang menjadi Menteri, atau Gubernur atau penguasa lain. Kalau
mereka merasa tertekan, mereka balik menekan kembali. Hasilnya
bisa terjadi perang.
Salah satu ciri yang indah dalam tulisan Pak Gerrit adalah bahwa dia
tidak pernah memberi tanda “minority complex”. Sikap keterbukaan
Pak Gerrit kepada umat lain cukup luar biasa oleh karena dia pendeta
GPIB yang melayani dan bertugas seumur hidup dalam lingkungan
institusi-institusi Kristen. Sikap politik Pak Gerrit terhadap umat
Islam adalah bahwa mereka adalah mitra Gereja dalam misinya
melawan ketidakadilan, kekerasan, korupsi, kerusakan lingkungan,
dlsb. Misi Gereja di Indonesia tidak bisa dilaksanakan tanpa bekerja
sama dengan umat Islam. Umat Islam sangat besar di Indonesia,
lebih dari 200 juta orang, dan masalah-masalah sosial tidak mungkin
dihadapi oleh Gereja sendirian.
Pak Gerrit sadar bahwa Gereja adalah minoritas kecil dan umat Islam
berkuasa dalam negara tercinta ini. Tetapi Pak Gerrit juga sadar
bahwa umat Islam, sama seperti umat Kristen, tidak monolitik.
Islam di Indonesia sangat beraneka ragam. Oleh karena itu, maka
sikap bahwa umat Kristen harus melawan umat Islam adalah salah.
Mayoritas dari umat Islam tidak memusuhi Gereja melainkan
menghormati umat Kristen dan juga memperjuangkan hubungan
lintas agama yang harmonis dan adil. Itu sebabnya Pak Gerrit punya
35
kesadaran bahwa umat Kristen adalah minoritas tetapi tidak harus
bersikap “minority complex”.
Kesadaran gereja sebagai minoritas berarti kita harus rendah hati dan
tidak memaksa agenda Kristen yang kalau kurang disetujui oleh
mayoritas. Tetapi kerendahhatian tidak sama dengan takut atau tidak
berdaya. Umat Kristen juga besar, sekitar 25 juta orang yang
beragama Kristen. Umat bisa menjadi “creative minority” yang juga
memberi kontribusi kepada masyarakat luas. Pak Gerrit sadar tentang
keterbatasan Gereja yang tidak mungkin menjadi “penyelamat”
Indonesia, apalagi kalau bermusuhan dengan umat Islam. Misi
Gereja termasuk rekonsiliasi, perdamaian, keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Rekonsiliasi dibutuhkan, baik satu sama
lain dan juga dengan Tuhan. Dengan demikian Gereja dipanggil
bersaksi atas kasih Tuhan dalam Yesus Kristus. Kesaksian tersebut,
menurut Pak Gerrit, harus berani tetapi tidak sama dengan
Kristenisasi.
Satu ciri dari seseorang yang bijaksana dan sadar tentang kenyataan
minoritas tanpa perasaan rendah diri adalah sebuah pengharapan.
Tulisan Pak Gerrit selalu mengandung pengharapan. Makin tajam
kritiknya terhadap Gereja, masyarakat Indonesia, teks Alkitab atau
36
neokolonialis Barat, makin jelas kebajikan pengharapan nampak.
Pengharapan tidak sama dengan optimisme. Kadang-kadang saya
kira Pak Gerrit merasa pesimis tentang kemungkinan akan terjadinya
perubahan yang diharapkan. Mungkin karena itu salah satu bagian
Alkitab yang paling disukai adalah Pengkhotbah yang di dalamnya
ada ayat yang berbunyi, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa
yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di
bawah matahari.”12
37
Endnote
1
Reinhold Niebuhr, Christianity and Power Politics (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1940), h. 14.
2
Markus 8:35. Bandingkan Matius 10:39; Lukas 17:33; Yohanes12:25.
3
Gerrit Singgih juga mengajar dalam lingkungan Katolik (misalnya
Universitas Sanata Dharma) dan Muslim (misalnya Universitas Gadjah
Mada dan ICRS-Yogya), namun tugas pokoknya di Fakultas Teologi,
Universitas Kristen Duta Wacana.
4
Matius 28:19-20. “...pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku... dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu.”
5
Matius 22:37-39. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu...
dan hukum kedua yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri.”
6
Matius 25:31-46. Inilah kisah Yesus tentang Penghakiman Terakhir di
mana orang dinilai bukan apabila mereka kenal Yesus, melainkan dari
perbuatannya terhadap orang lemah. “Sebab ketika Aku lapar, kamu
memberi Aku makan...” (ayat 35)
7
Lihat Surat I Yohannes 1-5.
8
Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 107-125.
9
Ibid., h. 75.
10
Lihat Bernard Adeney-Risakotta, “Iman dan Adat” (unpublished paper,
2004). Bandingkan H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York:
Harper & Brothers, 1951)
11
George MacDonald Anthology, edited by C. S. Lewis. Bahasa Inggrisnya:
“He who would be a hero is scarcely a man, but he who would be but a
doer of his work is sure of his manhood.”
12
Pengkhotbah 1:9.
38
Emanuel Gerrit Singgih:
Teolog Kontekstual
J.B. Banawiratma
40
terhadap perkembangan dunia akademis teologi. Dalam tradisi
Kristen Roma Katolik misalnya, tanpa pemikiran-pemikiran kritis
dunia akademis teologis tidak bisa dibayangkan akan terjadi
pembaharuan yang tercetus dalam konsili Vatikan II (1962-1965).
Dunia akademis yang disapa Pak Gerrit tidak berhenti pada dunia
tafsir dan teologi, melainkan juga ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu Pak
Gerrit memandang penting untuk terlibat dalam kelompok studi dan
diskusi para dosen yang berkumpul dalam “Masyarakat Yogyakarta
untuk Agama dan Ilmu”. Dunia akademis ilmu teologi tidak terpisah
dari ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu eksakta. Dengan kata lain dunia
pergumulan di bidang tafsir dan teologi dijalankan secara lintas
bidang dan lintas ilmu. Tidak mengherankan kalau dia sebagai ahli
tafsir Alkitab pernah juga mengampu mata kuliah filsafat dan
kewarganegaraan, menggumuli masalah-masalah sosial dari
perspektif teologi.
42
Sebagai teolog Gereja tidak mungkin tidak menyampaikan visi
mengenai Kristus yang menjadi dasar hidup Gereja. Kristus macam
apa? Julianus Mojau menggambarkan dengan tepat, bagi Pak Gerrit
dalam konteks Gereja sekarang ini, “Yesus Kristus adalah Mesias-
Hamba yang mendasari identitas kekristenan” (Mojau 2004: 370).
Tafsirannya terhadap Markus 1 – 3 misalnya memperlihatkan hal ini.
44
mengenai hal ini, dengan mengusahakan teologi dan penghayatan iman
yang tidak berpangkal pada ungkapan dalam bentuk kata benda
“Dogma, Trinitas, Unitas”, melainkan bergerak dengan pola kata sifat
“Alkitabiah, Monotheis, Trinitaris”. Berteologi, dengan demikian, tidak
digambarkan dengan membuat rumusan-rumusan jelas logis matematis
mengenai pokok-pokok iman, melainkan lebih dekat dengan pekerjaan
seniman yang imaginatif dan kreatif. Bukan saja pandangan yang
dikritik Pak Gerrit (Singgih 2001:162) tentang “Allah adalah Yesus”,
melainkan juga gambaran bahwa “Allah Bapa = (+) Allah Anak = (+)
Allah Roh Kudus = 1 (satu)”, tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara teologis-alkitabiah dan juga kurang membantu penghayatan
iman dan doa umat.
Tradisi kristiani tidak pernah membicarakan Bapa, Anak dan Roh
Kudus sebagai pengajaran mengenai dua atau tiga Allah, melainkan
mengenai Allah Mahaesa (monotheis), mengenai Allahnya Abraham.
Sebutan-sebutan yang dikenakan pada Yesus oleh tradisi kristiani
sering menimbulkan pertanyaan mengenai keesaan Allah, tidak
hanya dari kalangan luar Gereja, melainkan juga dari kalangan
Gereja sendiri. Perumusan dogma mengenai Trinitas mengungkapkan
pemahaman Gereja mengenai satu Allah (monotheis) berdasarkan
pengalaman akan peristiwa Yesus, suatu pengungkapan iman
kontekstual yang terjadi dalam perjumpaan dengan konteks Hellenis
waktu itu. Yang diungkapkan dalam dogma itu adalah kesaksian iman
Alkitab, yakni iman akan satu Allah, dengan mengikuti atau menempuh
Jalan Yesus Kristus, dalam daya kekuatan Roh Kudus yang bekerja
dalam manusia dan dunia. Yesus merupakan mediasi antara manusia
dan Allah. Mediasi itu benar-benar menghubungkan kalau menyentuh
manusia (manusiawi) dan menyentuh Allah (ilahi). Salah satu sebutan
untuk mediasi itu adalah Firman Allah, yang dalam tradisi Kristiani
menunjuk Yesus dan dalam tradisi Islam menunjuk AlQur’an.
45
tidak bisa disamakan dengan Yesus. Di sini saya juga tidak bermaksud
untuk membandingkan isi dari setiap unsur iman, melainkan untuk
memperlihatkan pengalaman hubungan manusia dengan Allah melalui
mediasi yang manusiawi sekaligus ilahi. Dengan demikian saya harap
umat Kristiani dapat mengkomunikasikan imannya yang monotheis
sekaligus trinitaris secara lebih dapat dimengerti. Sekaligus diharapkan
juga bahwa pemahaman ini dapat lebih membantu jemaat dalam hidup
doa. “Kami berdoa kepada Allah (Bapa), dalam (daya kekuatan) Roh
Kudus, dengan perantaraan (mediasi) Yesus”. Kiranya diagram berikut
ini memperjelas pertimbangan-pertimbangan ini.
ALLAH
Yang Maharahim, penuh bela rasa dan belas kasih
Yang Mahakuasa dan Mahabesar
MANUSIA
mendengarkan, mengucapkan dan mengikuti Firman Allah
oleh
DAYA KEKUATAN ALLAH
DALAM MANUSIA DAN DUNIA
Apa yang saya kemukakaan ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Pak Gerrit:
46
Paradigma mediasi rupanya juga lebih sesuai dengan pengembangan
dialog teologis dalam kerangka paradigma holistik. Semuanya
mempunyai peran dalam keseluruhan, satu sama lain saling memper-
kaya, namun tidak bisa dikatakan semua sama saja. Dari yang
berbeda-beda itu terdapat titik temu. Tidak semua dianggap sebagai
sama-sama benar, namun yang kurang atau tidak benar di tengah-
tengah sejarah ini mempunyai peran dalam transformasi, dalam
gerak pembebasan menyeluruh menuju kepenuhan utuh dari
semuanya (makna kaos?). Kristologi dapat berkembang menuju
refleksi yang liberatif, kosmik-holistik.
4.1. Model-model:
Cara mempertemukan pengalaman masa kini dan
pengalaman masa lampau
Ada model apa saja? Bevans menyebut 6 model, yakni model budaya
tandingan, model terjemahan, model sintesis, model praxis, model
transendental, dan model antropologis. Model-model sebagaimana
digunakan oleh Bevans adalah model-model teoretis yang bersifat
inklusif atau deskriptif. Model-model teologi kontekstual merupakan
cara berfikir yang lebih jelas mengenai interaksi antara pesan Injil
dengan kenyataan hidup aktual masa kini atau konteks. Kesaksian
tradisional masa lampau dihargai sekaligus perubahan sosial
ditanggapi. Itulah sumbangan darti model-model.
48
mempunyai horison universal tidak bisa meninggalkaan dialog
dengan komunitas masa lampau dan masa kini, dengan komunitas
lintas Gereja maupun lintas Agama. Teolog seperti itu hidup dalam
sensus fidelium (rasa umat beriman), dan dengan demikian tidak
mengclaim sebagai yang paling benar secara tertutup. Sikap Pak
Gerrit yang terbuka dalam dialog dengan warisan-warisan masa
lampau dan dengan kenyataan masa kini kelihatan misalnya dalam
refleksinya sehubungan dengan ajaran Calvin.
50
Daftar Kepustakaan
Banawiratma, J.B.
1994 "Kristologi Kontekstual". Dlm. Orientasi Baru. No. 8:
233-241.
1997 “Kristologi dan Ilmu Agama-agama”. Dlm. Teologi
Lintas Ilmu. Menguji Omongan Agama (= Orientasi
Baru No. 10): 57-68.
Bevans, Stephen B.
2002 Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Penerbit
Ledalero. Aslinya:
2005 (cetakan ke-5 dari edisi kedua 2002, edisi pertama
1992). Models of Contextual Theology Maryknoll, NY:
Orbis Books.
Bungin, Raymon Rombe
2009 Telaah atas Upaya Emanuel Gerrit Singgih
Menyusun Tafsiran Alkitab Yang Kontekstual
Indonesia dalam Buku Tafsiran Kitab Pengkhotbah,
Yogyakarta: Fakultas Theologia, UKDW.
Drewes, B.F.
2005 “Kitab Pengkhotbah, Dua Tafsiran Kontekstual”,
dalam Forum Biblika 17: 109-125.
Hauw, Andreas
2002 “Tinjauan buku Hidup di Bawah Bayang-bayang
Maut. Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah”, dalam
Forum Biblika 15: 76-77.
Kwok Pui-lan
1995 Discovering the Bible in the Non-Biblical World.
Maryknoll, NY: Orbis Books.
Mojau, Julianus
2004 The Indonesian Protestant Christian Social
Theology during the New Order (ca. 1970s-1990s);
A Critical Study of Christian-Muslim Relations in
Indonesia. Yogyakarta (Faculty of the South East
Asia Graduate School of Theology): 210-235, 360-
377.
Schreiter, Robert
51
2001 Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. Aslinya 1985 Constructing Local
Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Singgih, Emanuel Gerrit
1982 Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2000a Berteologi dalam Konteks. Pemikiran-pemikiran
mengenai Kontekstualisasi di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2000b Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2001 Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut: Sebuah
Tafsir Kitab Pengkhotbah. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
2002 Teologi Kontekstual di Asia. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
2006 “Imitatio Jesu: Penggambaran Yesus di dalam
Markus 1-3 sebagai Pembaharu Agama dan
Masyarakat”, dalam Gema Teologi. Vol 30 no. 2:1-
11.
2009 Dua Konteks. Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai
Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia.
Jakarta: BPKGunung Mulia.
Tracy, David
1991 The Analogical Imagination. Christian Theology and
the Culture of Pluralism. New York: Crossroad.
52
Bagian II
Alle Hoekema
Frans Wijsen
Robert Setio
Wahju S. Wibowo
Peran (Oto)Biografi dan Buku Harian
dalam Teologi Kontekstual Indonesia
Berdasarkan Pandangan
James McClendon
Alle Hoekema
Karangan ini terdiri dari dua bagian. Dalam bagian pertama kami
ingin menerangkan usaha sistematis James McClendon untuk
mengutamakan „Biography as Theology‟, sedangkan dalam bagian
berikut kami melukiskan situasi biografi-biografi di kalangan Kristen
di Asia dan secara khusus di Indonesia. Akhirnya kami memberi
beberapa saran.
Profesor Emeritus dalam bidang Misiologi di Vrije Universiteit,
Amsterdam.
53
Episcopalians, Baptis dan lain lain. McClendon mengaku bahwa dia
sangat dipengaruhi oleh John Howard Yoder (1927-1997),
khususnya bukunya The Politics of Jesus (1972, 1994). Dalam buku
itu Yoder, seorang teolog Mennonite, antara lain berusaha
menerangkan bahwa etika Perjanjian Baru, teristimewa etika
Khotbah dibukit (Mattius 5-7) tidak merupakan cita-cita eskatologis
yang tak mungkin diwujudkan sekarang, melainkan suatu etika yang
bisa dilaksanakan oleh jemaat Kristen masa kini. McClendon
menganggap Yoder dan juga Stanley Hauerwas sebagai teolog-
teolog narratif; itu terutama benar dalam buku-buku kecil tulisan
John Yoder, seperti What would you do? A Serious Answer to a
Standard Question (1983). Di dalam buku itu Yoder berusaha
membuktikan realita etika tanpa menggunakan kekerasan, dengan
menjelaskan contoh-contoh Leo Tolstoy, Henry Hodgkin, Joan Baez,
Dale Brown dan lain-lain. Mereka semuanya berusaha untuk hidup
tanpa kekerasan dalam situasi dimana pada umumnya jawaban
standar dibenarkan, yaitu: „perang yang adil‟.
54
dia meninggal dihargai sebagai „American Original‟ yang
menggunakan musik rakyat dalam komposisinya. Duabelas tahun
kemudian setiap bagian utama dari Ethics disertai biografi seseorang
tokoh: Sarah dan Jonathan Edwards; Dietrich Bonhoeffer; dan
Dorothy Day. Di dalam volume 2 (Doctrine) dan 3 (Witness) dia
menggunakan metode yang sedikit berlainan; namun, riwayat
kehidupan tokoh-tokoh penting juga memainkan peran penting
dalam jilid-jilid itu.
55
pribadi manusia seolah-olah mengesampingkan dan mengotori
penyataan Allah itu. Itulah yang menjadi nyata dalam perdebatannya
dengan Emil Brunner: „Nein‟, yaitu: Tidak! terhadap setiap titik
pertemuan dengan Allah yang berasal dari fihak manusia. Maka
karena itu di dalam daftar istilah-istilah di belakang Dogmatika
Gereja (13 jilid tebal antara 1932-1967) kata „biografi‟ hanya muncul
sesekali saja! Di jilid III/4 Barth menulis, bahwa manusia sebenarnya
tidak bisa mengenal keseluruhan masa lalunya – hanya Allah yang
menguasai sejarah:
57
dengan suatu jilid tentang Etika, McClendon menunjuk pada
kronikel-kronikel abad enambelas seperti Martyrs’ Mirror („Cermin
para martir‟ yang mati syahid), di mana puluhan kesaksian tercatat,
baik surat-surat keluar dari penjara maupun penyataan-penyataan dan
kesaksian-kesaksian di hadapan pengadilan, yang semuanya ditulis
oleh mereka yang dihukum mati oleh pemerintah Katolik maupun
Protestan karena mereka dianggap termasuk „sekte‟ Anabaptis.10
Selain itu McClendon menunjuk pula pada black history di USA,
misalnya buku-buku nyanyian sebagai sumber di mana pengalaman
iman dicerminkan dan kepada kehidupan/biografi tokoh-tokoh
tertentu.
The baptist vision reminds us that the narrative the Bible reflects,
the story of Israel, of Jesus, and of the church, is intimately related
to the narrative we ourselves live. Thus that vision functions as a
hermeneutic that relates our experience to the Scriptures, showing
how the two are joined.11
Itu berarti: apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama tentang para nabi
dan Israel dan dalam Perjanjian Baru tentang diri Yesus dan gereja
muda, langsung ada kaitan dengan kita sekarang. Etika eskatologis
yang diwujudkan para murid Yesus dan jemaat pertama, juga berlaku
untuk jemaat sekarang.12 Sikap itu terhadap eskatologi ikut
menentukan nisbah antara etika dan biografi. Kehidupan eskatologis
menjadi nyata dalam kehidupan orang-orang Kristen yang patut
menjadi teladan. Karena itu, jilid 2 dari Systematic Theology
McClendon, Doctrine, dimulai dengan suatu pasal tentang
eskatologi! Gereja dalam segala zaman termasuk zaman kita
(seharusnya) mencerminkan kehidupan eskatologis.
59
dan,
61
Tentu contoh-contoh biografis di atas bisa diberdebatkan, demikian
pula wilayah di mana mereka ditempatkan. Bonhoeffer, misalnya,
bisa diberi tempat juga dalam wilayah hidup ketiga dan Dorothy Day
dalam wilayah dunia sosial. Dan kita harus mengakui bahwa
cakrawala McClendon terbatas pada dunia barat! Namun demikian
prinsipnya, yaitu kepentingan konteks biografis dan otobiografis dan
nisbahnya dengan prioritas etika dalam teologi sistematika, artinya,
prioritas untuk orthopraxis, kami dukung secara penuh.
63
yang penting juga. Iparnya Gerhard Leibholz, suami dari adik
perempuan kembar Sabine, berasal dari bangsa Yahudi, sehingga
semasa pemerintah kaum Nazi dia dikejar dan akhir 1938 terpaksa
beremigrasi ke Inggris.20 Hal itu pasti mempengaruhi sikap teologis
Bonhoeffer dalam perjuangan anti-Hitler.
Hal itu juga berlaku untuk jilid-jilid serupa yang diterbitkan di Asia.
Mulai 1987 Scott Sunquist (Trinity Theological College Singapore)
telah menjadi editor of A Dictionary of Asian Christianity, yang
memuat 1260 lemmata, diantaranya sejumlah biografi singkat.24 Dan
John C. England dibantu banyak kawan lain telah menyusun tiga jilid
Asian Christian Theologies. 25 Walaupun jilid-jilid tersebut terutama
bersifat bibliografis, namun dimuat juga ringkasan biografis dari
banyak teolog (dan awam) Asia, termasuk Indonesia. Dari India,
misalnya, diberi perhatian kepada paling tidak seratus teolog!
Situasi di Indonesia
Selain contoh-contoh yang diberi diatas, di Indonesia memang ada
beberapa biografi dari tokoh-tokoh Kristen, walaupun belum banyak.
65
Semarang) dan guru-guru H. Kolondam dan A. Kaligis (oleh A.C.
Kruyt). Sayangnya, buku-buku harian itu belum memberi banyak
informasi tentang konteks pribadi dari penulis-penulis.
66
Eka Darmaputera almarhum (1999) dan Penabur Benih Mazhab
Teologi: Menuju Manusia Baru (2000), buku penghargaan untuk
almarhum dr. Harun Hadiwijono, dengan bagian biografis sebesar
l.k. 50 halaman. Syukurlah diterbitkan juga buku penghargaan untuk
tokoh-tokoh wanita seperti Ibu Augustina (Tine) Fransz28 dan
belakangan ini Ibu Pdt. Augustina Lumentut yang perannya dan
kehidupannya dibukukan dalam Yuberlian Padele dkk (eds),
Augustina Lumentut: Sosok Kemanusiaan sebagai Ekspresi Rahmat
Allah (2007).
Saran-saran
Kami tidak mengetahui sampai di mana faktor-faktor kebudayaan
main peran dalam sikap mengambil jarak dalam hal menulis biografi
atau juga otobiografi. Seringkali segi-segi gelap dan segi-segi yang
(terlalu) pribadi dalam kehidupan si tokoh tersebut kurang
dinyatakan, demikian pula nisbah kritis dengan orang-orang lain.
Dan biografi, otobiografi dan laporan-laporan dari wawancara-
wawancara dengan anggota gereja biasa masih sangat kurang,
padahal itu merupakan sumber utama dari oral history, misalnya
mengenai suasana gerejani sekitar zaman kemerdekaan dan periode
pahit G-30-S dan sesudahnya, dll.
68
Indonesia secara serius. Apakah paradigma itu bisa dilaksanakan dan
bagaimana konsekuensinya untuk kontekstualisai teologi?
69
Endnote
1
Lihat misalnya ‘Teologia Narasi’ sebagai tema Majalah Gema Duta
Wacana 41, th. 1991.
2
James Wm. McClendon, Ethics: Systematic Theology, Volume I, Nashville:
Abington Press, 1986; Doctrine: Systematic Theology, Volume 2, Nashville:
Abington Press, 1994; Witness: Systematic Theology, Volume 3, Nashville:
Abington Press, 2000.
3
James Wm. McClendon, Biography as Theology: How Life Stories can
Remake Today’s Theology, Nashville: Abington Press, 1974.
4
Selain itu dia juga menjadi pendiri dari organisasi Habitat for Humanity.
5
Ched Meyers, ‘Embodying the ”Great Story”. An interview with James W.
McClendon’, in The Witness Magazine, Volume 83/12, December 2000 –
lihat juga www.thewitness.org/archive/dec2000/mcclendon.html
6 1
Lihat Paul Thompson, The Voice of the Past. Oral History, 1978 dan 1988-
2
1992 , p. 29.
7
Kadang-kadang monografi itu diterbitkan secara terpisah, atau dijadikan
bagian dari Church Dogmatics.
8
Karl Barth, Kirchliche Dogmatik III/4. Die Lehre von der Schöpfung,
Zollikon-Zürich: Evangelischer Verlag A.G., 1951, 698.
9
Lihat misalnya Eberhard Röhm and Jörg Thierfelder, Juden-Christen-
Deutsche, Band I: 1933-1935, Stuttgart: Calwer Verlag, 1990, 167-173.
10
Kumpulan kesaksian para martir Anabaptis itu untuk pertama kali
diterbitkan pada thn. 1562 dengan judul Het Offer des Heeren (Korban
Tuhan), kemudian diperluas sebagai Martelaarsspiegel dalam tahun 1660
dan 1685. Buku terakhir itu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris
dan sampai sekarang sangat dihargai dalam kalangan Mennonite.
11
James McClendon, Ethics, 38.
12
Salah satu ayat Alkitab yang sangat mempengaruhi McClendon ialah
Kisah Rasul-Rasul 2:16 di 0mana sikap para rasul pada hari Pentekosta –
tidak mabuk, melainkan dipenuhi Roh Kudus – oleh Petrus langsung
dikaitkan dengan nubuat nabi Joël: ‘Akan terjadi pada hari-hari terakhir
bahwa Aku akan mencurahkan RohKu ke atas semua manusia, demikianlah
Firman Allah’. Itu berarti, zaman terakhir adalah sekarang. Dalam kata-kata
McClendon: ‘This is that’.
13
John Howard Yoder, ”Jezus belijden in de zending”, dalam Wereld en
Zending 25/3, 1996, 13-21. Tema nomor W&Z tersebut adalah ”Kristologi
dalam konteks”.
14
McClendon, Ethics, 27.
70
15
McClendon, Ethics, 31.
16
Bandingkan Pengkhotbah 4:12: ‘Tali tiga lembar tak mudah diputuskan’.
17
Charles Christano, Rahmat-Mu Berlimpah. Otobiografi, s.l., s.a. [1999]
18
Lihat John Howard Yoder, Karl Barth and the Problem of War, Nashville,
Tenn.: Abington Press, 1970.
19
Eberhard Bethge, Dietrich Bonhoeffer. Eine Biographie, München: Chr.
Kaiser Verlag, 1967, 468-470. Pada tahun 2000 biografi tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
20
Bethge, op.cit., 711-712.
21
E.G. Singgih, Masuk ke Dalam Hidup. Jurnal dan Meditasi Seorang
Mahasiswa Teologi, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2000.
22
Singgih, op.cit., 34 (catatan dari 23 Februari 1977).
23
Lihat www.dacb.org dan Jonathan J. Bonk, ‘Ecclesiastical Cartography
and the Invisible Continent’ dalam Afe Adogame, Roswith Gerloff dan Klaus
Hock (eds), Christianity in Africa and the African Diaspora. The
Appropriation of a Scattered Heritage, London/New York: Continuum,
2008, 20-32.
24
Scott W. Sunquist, David Wu Chu Sing, and John Chew Hiang Chea (eds),
A Dictionary of Asian Christianity, Grand Rapids: Eerdmans, 2001, 1017 pp.
25
John C. England dll (eds), Asian Christian Theologies: A Research Guide to
Authors, Movements, and Sources. Vol. 1: Overview from the Seventh to
the Twentieth Centuries; South Asia, AustralAsia (pp. xlv, 679); vol. 2:
Southeast Asia (pp. xlix, 684); vol. 3: Northeast Asia (pp. xlvii, 768), Delhi:
ISPCK; Quezon City: Claretian Publishers; Maryknoll, N.Y.: Orbis Books,
2002-4.
26
Gerald H. Anderson (ed), Biographical Dictionary of Christian Missions,
New York: Macmillan Reference, 1998. xxviii + 845 pp.
27
Semua jilid tersebut diterbitkan Taman Pustaka Kristen dan Lembaga
Studi & Pengembangan gereja-Gereja kristen Jawa, Yogyakarta/Salatiga,
2010.
28
Fridolin Ukur dkk (penerbit), Pelaku Wacana: peringatan asta darsa
warsa Mr. Augustine Leonore Fransz, 20 Agustus 1987, Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan PGI, 1987.
29
Lihat juga Tahi Bonar Simatupang, Gelebte Theologie in Indonesien. Zur
gesellschaftlichen Verantwortung der Christen, Göttingen: Vandenhoeck &
Ruprecht, 1992, dengan suatu biografi singkat oleh Olaf Schumann, h. 15-
25.
71
30
Pdt. E.G. Singgih Ph.D., ‘Manusia sebagai dokumen hidup: Pengantar ke
dalam autobiografi Pdt. R. Tasdik’, dalam Tim Penyusun, Percikan Riwayat
Hidup Pengabdian Pendeta R. Tasdik, Yogyakarta: Nafiri, s.a. [sekitar 1996],
15-25.
72
The Practical – Theological Spiral Revisited
From Social to Discursive Analysis
Frans Wijsen
For the first and second step I used a specific way of conducting
social-scientific research, namely ethnographic semantics of James
Spradley (1979, 1980). My lecture notes were published by the Pusat
Pastoral (Wijsen 1999). Later Spradley‟s books were translated into
Bahasa Indonesia. These books reflected a shift which I framed, in
harmony with John Beattie (1982: xi), as a shift from ”functional”
to ”cognitive” anthropology. It defined culture in a cognitive way as
the shared knowledge that people used to interpret experience and to
generate behavior. It was concerned with the use of concepts,
categories and classifications (or cognitions) in human practices.
Profesor Teologi Antarbudaya (Intercultural Theology) di Faculty of
Philosophy, Theology and Religious Studies, Radboud University, Nijmegen
73
Spradley (1979: 99) assumed that cultural meaning systems were
encoded in symbols; that language was the primary symbol system
that encoded cultural meanings; that the meaning of a symbol was its
relationship to other symbols in a particular culture; and that the task
of the ethnographer was to discover the semantic relationships
among the cultural symbols.
74
the Pastoral Circle Transforms our Theologies. In this contribution
Singgih linked social analysis and cultural analysis to reflect on tacit
assumptions underlying his own and his students‟ theologies. It
clearly shows our common concern. The aim of the present
contribution is to elaborate on the above mentioned shift from
functional to cognitive anthropology, and to introduce a different
way of looking at theology and ”science” of religion, both in terms
of their object and in terms of methods, which can serve as the
second step in the practical-theological spiral.
Phenomenology of Religion
From its very beginning as an academic discipline (Cornelius Tiele
in The Netherlands competes with Max Müller in the United
Kingdom for being the ”founding father” of science of religion),
roughly between the First and the Second World War (of course,
there were scholars of religion before this period) the dominant way
of practicing ”science” of religion was phenomenological.
75
Phenomenology was a reaction against the influence of Darwin‟s
evolution theory in other disciplines (Tylor, Frazer, Marett). After
the so called ”intellectualism”, which saw religion basically as a
logical error, functionalism saw religion as an epiphenomenon of
something else, society and economy (e.g. Durkheim), or biology
and mind (e.g. Freud).
76
understanding of ”science”. By bracketing our preconceptions, it is
possible to see reality as it is in itself, in a neutral or objective way.
The problem is that after more than 100 years of its existence science
of religion has not been able to come up with a generally accepted
definition of its object: religion. And this is exactly where discursive
study of religion starts. Human practices and artifacts are not
religious because of some intrinsic values or primordial properties
that can be measured by objective criteria. Human practices and
artifacts are religious because believers place them in a narrative
77
context or a speech community. This is why people outside this
speech community do not recognize them as religious. And this is
why the boundary between what is considered to be religious and not
religious shifted in history.
78
power relations. He converted from philosophy to sociology; and
from existentialism to Marxism.
79
of more or less autonomous fields (or ”markets”) where groups of
actors struggle to meet their interests (or make ”profit”) using
various resources (or ”capital”), in collaboration or in competition
with each other. Thus almost always there is inclusion and exclusion
at the same time
Particular practices are not the product of the habitus as such, but of
the relationship between the ”habitus” on the one hand and the social
context, ”field” or ”market”, on the other. A field or market is a
structured space of positions. And the positions are determined by
the different kinds of recourses or ”capital”: economic, social, or
cultural capital.
80
Bourdieu assumes a link between actions and interests. While he
rejects that interests are always narrowly economic, they never cease
to comply with an economic logic. This is the basic assumption
about human action, Bourdieu‟s theory of practice. People do
not ”invest” in activities if there is no return, if they are
not ”profitable” in one way or another.
In most cases identities are not based on ”intrinsic values” that could
serve as objective criteria, but they are the products of our
classification. Therefore, they are not ”natural” or ”primordial”
81
but ”social” or ”circumstantial” realities. Human practices or beliefs
are not ”religious” because of intrinsic values but because believers
classify them as religious. And as we already noted, the boundary
between religious and not religious shifted during history (Asad
1983).
82
Once again, one can avoid the alternative of ”objectivism”
versus ”subjectivism” by taking into account that ”reality” is the site
of a permanent struggle to define ”reality”, and that classifications
produce differences as much as they are produced by them.
83
their social positions, and more particularly, in their interests to
reproduce or transform the societal order (Fairclough 1992: 65).
But how does one go about it? In harmony with the three
assumptions mentioned above, critical discourse analysts distinguish
three stages in which they use various methods of analysis. These
84
methods are given different names. Fairclough (1992) speaks about
the analysis of linguistic practice, the analysis of discursive practice,
and the analysis of social practice. Alternative names are the analysis
of text, interaction, and context (Fairclough 2001: 21), or simply
description, interpretation and explanation (Fairclough 2001: 21-22;
1992: 199).
Description
As was said above, according to critical discourse analysts, discourse
is a practice just as any other practice. The only difference with other
practices is its linguistic form (Fairclough 1992: 71). Language use is
not only a way of saying things; it is a way of doing things. In other
words, language use is a ”speech act”.
85
overlap with the third stage where we look at the ideological function
of language use.
Interpretation
According to critical discourse analysts, linguistic practice and social
practice are mediated through discursive practice. The discursive
practice (i.e. interaction) is crucial as the dialectic relation between
linguistic practice (i.e. text) and social practice (i.e. context) is based
on it (Fairclough 1992: 72, 80). This stage makes materialist models
different from other, e.g. cognitivist or mentalist models of discourse
analysis (Blommaert & Verschueren 1998: 26-27). Through the
discursive practice, language use and social reality are linked.
86
hegemony of certain discourses over other discourses. For example,
political and economic discourse rules over cultural and religious
discourse (e.g. Habermas), or the other way round (e.g. Huntington).
87
Explanation
Critical discourse analysts moreover assume that there is a dialectic
relation between language use and social reality. What participants
say is shaped by and shapes social structures, either by reproducing
them or transforming them (Fairclough 1992: 72). Discourses ”can
be expected [italics are mine] to have long-term effects [italics are
mine] on the knowledge and beliefs, social relationships, and social
identities of an institution or society”, says Fairclough (2001: 62).
88
(Fairclough 2001: 62, 93-94). These are the ideational and
interpersonal (identity in relation) effects of language use.
89
References
Antaki, C., S. Widdicombe (eds.). (1998). Identities in Talk. London
- Thousand Oaks: Sage.
Asad, T. (1983). Anthropological Conception of Religions.
Reflections on Geertz, in: Man 18, 237-259.
Beattie, J. (1982). Other Cultures: Aims, Methods, and Achievemenst in
Social Anthropology. London - Henley: Routledge and Kegan Paul.
Blommaert, J., J. Verschueren. (1998). Debating Diversity:
Analysing the Discourse of Tolerance. London - New York:
Routledge.
Bourdieu, P. (1990). In Other Words: Essays Towards Reflexive
Sociology. Stanford, CA: Stanford University Press.
Bourdieu, P. (1991a). Language and Symbolic Power. Cambridge:
Polity Press.
_____________. (1991b). ”Genesis and Structure of the Religious
Field”. In C. Calhoun (ed.). Comparative Social Research. Vol.
13. London: JAI Press.
Cox, J. (1998). Rational Ancestors: Scientific Rationality and
African Indigenous Religions. Cardiff: Cardiff Academic Press.
Fabian, J. (1986). Language and Colonial Power: The Appropriation
of Swahili in The Former Belgian Congo, 1880-1938. New York:
Cambridge University Press.
Fairclough, N. (1992). Discourse and Social Change. Cambridge: Polity
Press.
_______________. (2001). Language and Power. London – New York:
Longman.
Flood, G. (1999). Beyond Phenomenology: Rethinking The Study of
Religion. London - New York: Cassell.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. London: Fontana Press.
Hannerz, U. (1992). Cultural Complexity: Studies in the Social
Organization of Meaning. New York: Columbia University Press.
Jørgensen, M., L. Phillips (2002). Discourse Analysis as Theory and
Method. London: Sage.
McCutcheon, R. (2007). Studying Religion: An introduction. London –
Oakville: Equinox, 2007.
Singgih, G. (2005). ”Punishment and Liberation”. In F. Wijsen, P.
Henriot, R. Mejia (eds.). The Pastoral Circle Revisited.
Maryknoll – New York: Orbis Books.
90
Smith, J. (1982). Imagining Religion: From Babylon to Jonestown.
Chicago: University of Chicago Press.
Smith, W. (1963). The Meaning and End of Religion: A New Approach
to the Religious Traditions of Mankind. New York: New American
Library.
Spradley, J. (1979). The Ethnographic Interview. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Spradley, J. (1980). Participant Observation. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Strauss, G. and J. Corbin (1998). Basics of Qualitative Research:
Grounded Theory, Procedures, and Techniques. Newbury Park:
Sage.
Turner, V. (1967). The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual.
Ithaca: Cornell University Press.
Van der Leeuw, G. (1973). Religion in Essence and Manifestation: A
Study in Phenomenology. London: Goerge Allen & Unwin, Ltd.
Van Dijk, T. (2008). Discourse and Context: A Sociocognitive
Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, A. (2006). ”The Concept of ‟Dialogue‟ in Cross-
linguistic and Cross-cultural Perspective”. Discourse Studies 8/5.
Pp 675-703.
Wijsen, F., P. Henriot, R. Mejia (eds.). (2005). The Pastoral Circle
Revisited. A Critical Quest for Truth and Transformation.
Maryknoll – New York: Orbis Books.
Wijsen, F. (1999). Lingkaran Pastoral dalam Pendidikan Pelayanan.
Seri Pastoral 296. Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Wijsen F. (2010). Buah Buah Roh: Menjalankan Riset Sosial
Partisipatif di Belahan Dunia Selatan. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Wijsen, F. and S. Cholil (2012). ”I come from a Pancasila Family”.
Muslims and Christians in Indonesia. Paper presented at the
Indonesian – Dutch Consortium Meeting. Kaliurang, 25-30
March 2012.
91
Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibriditas
Robert Setio
The temptation to convert difference into heresy often flows from the effort
to conceal uncertainties in one’s faith or identity, projecting them onto
others as evils. (William E. Connolly)
Pendahuluan
Kemunculan wacana kontekstualisasi teologi di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari kesadaran tentang perlunya memberikan ruang
yang lebih besar kepada berbagai wujud kearifan lokal, baik itu
warisan budaya dari masa silam maupun pergulatan masyarakat di
masa sekarang. Tanpa sebuah kesengajaan untuk memunculkan
kearifan dan pergumulan yang berasal dari konteks lokal tersebut,
teologi di Indonesia sulit untuk berkembang. Setidaknya, teologi di
Indonesia tidak akan pernah menjadi mandiri dan selalu bergantung
kepada teologi di Eropa atau di Barat. Kebergantungan tersebut
hanya akan membuat teologi di Indonesia merupakan sebuah
peniruan saja terhadap teologi Barat.
Dosen Perjanjian Pertama di Fakultas Theologia, UKDW, Yogyakarta.
93
sudah terjadi pada masa-masa sebelum itu jika upaya-upaya
pemribumian gereja yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Kekristenan
daerah seperti Kyai Sadrach, Coolen dan Anthing diperhitungkan -
nampaknya masih belum mampu mengubah keadaan secara
sungguh-sungguh. Teolog-teolog yang gigih memperjuangkan
kontekstualisasi masih perlu berjuang lebih keras lagi agar suara
mereka benar-benar didengar oleh gereja. Walaupun harus
diakatakan bahwa hasil jerih payah mereka bukan tidak ada sama
sekali. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh para mahasiswa di sekolah-
sekolah teologi yang diajar oleh para teolog itu memperlihatkan
cukup besarnya minat untuk melakukan kontekstualisasi teologi.
Skripsi (S-1), tesis (S-2) maupun disertasi (S-3) yang dibuat dengan
tema-tema kontekstualisasi semakin bertambah jumlahnya dari tahun
ke tahun. Tetapi seberapapun besarnya jumlah tulisan-tulisan yang
mengangkat tema kontekstualisasi itu, masih tetap lebih kecil
dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang tidak bertema
kontekstualisasi.
1
Para mahasiswa yang menulis tugas akhir dengan kerangka
kontekstualisasi seringkali pula dibayangi oleh rasa takut bahwa apa
yang ditulisnya itu menyalahi kebiasaan yang ada di gerejanya.
Mereka juga khawatir jika tulisan mereka dibaca oleh pendeta atau
pejabat gereja akan menjadi alasan untuk tidak menerima mereka di
gereja karena dianggap melawan arus. Kalaupun pada akhirnya
tulisan itu jadi dibuat, seberapa jauh pikiran-pikiran dalam tulisan itu
akan mampu diterapkan di jemaat masih menjadi pertanyaan besar.
Tidak sedikit mahasiswa yang berhasil membuat tulisan yang baik
mengenai kontekstualisasi teologi, ketika sudah terjun di jemaat
justru kembali kepada pola berpikir lama yang sama sekali tidak
peka terhadap kontekstualisasi. Pendek kata, gereja-gereja di
Indonesia belum memperlihatkan semangat untuk melakukan
kontekstualisasi yang berarti pula ide-ide kontekstualisasi belum
meresap ke dalam kehidupan gereja dan baru berputar-putar di dunia
kampus saja.
94
memberi alasan tentang pentingnya kontekstualisasi dengan
menghubungkannya dengan persoalan keadilan (E.G. Singgih, 1982).
Dominasi teologi Barat membawa akibat kepada rendahnya apresiasi
terhadap pemikiran-pemikiran lokal. Kondisi ini sangat tidak adil.
Seharusnya pemikiran atau budaya lokal diangkat dan dijadikan
dasar untuk berteologi. Tetapi, seruan atau tuntutan keadilan ini
nampaknya ditanggapi dengan dingin oleh gereja-gereja di
Indonesia. Berarti gereja-gereja tidak melihat adanya masalah
ketidakadilan itu. Tampak di sini perbedaan persepsi antara teolog
penganjur kontekstualisasi dengan gereja mengenai terjadinya
ketidakadilan ini.
95
Poskolonialisme dan Kekristenan
Daniel von Allmen menengarai adanya 3 macam kebuntuan
(impasse) dalam sejarah perkembangan teologi kontekstual yaitu,
“(1) a colonial mindset that regards the theological products of
"third" world theologies as more contextually bound than "mainline"
theologies (the problem of paternalism); (2) the difficulties
associated with giving room to the insights and constructive
developments of particular contexts while maintaining a commitment
to the central tenets of the Christian faith (the problem of heresy);
and (3) the tendency to view contextualization simply as a
syncretistic blending of the Christian faith with some pre-existing set
of beliefs (the problem of syncretism). (1) cara berpikir kolonial
yang menganggap teologi dunia “ketiga” lebih terikat pada konteks
ketimbang teologi “arus utama” (masalah paternalisme); (2)
kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan pemberian
kesempatan bagi masukan dan perkembangan konstruktif yang
berasal dari konteks tertentu dengan tetap mempertahankan ajaran
pokok dari iman Kristen (masalah bidat); (3) kecenderungan untuk
melihat kontekstualisasi hanya sebagai percampuran sikretistis dari
iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lama (masalah
sinkretisme)”3 Masalah pertama yaitu paternalisme dapat dikatakan
sebagai sumber dari kedua masalah yang lain. Paternalisme yang
dimaksudkan oleh von Allmen tidak lain adalah penempatan teologi
Barat sebagai “pater” bagi teologi-teologi yang dikembangkan di
dunia lain yang bukan Barat. Alasan yang diberikan untuk
pengistimewaan tersebut adalah bahwa hanya teologi Baratlah yang
bersifat universal. Karena universal, maka semua orang harus
mengikuti teologi Barat. Teologi bukan Barat tidak dapat dijadikan
patokan karena tidak seuniversal teologi Barat.
96
kelas yang saya ikuti sebagai mahasiswa di berbagai lembaga
pendidikan, di berbagai konteks budaya dan negara dan juga dalam
kelas-kelas yang saya ajar sendiri, di sana selalu ada sistem hirarkhi
yang juga berkenaan dengan sumber pengetahuan dimana perspektif
Barat selalu menduduki puncak piramida, ini kemudian dikonfirmasi
secara halus dan tidak halus sebagai sesuatu yang universal)”4
Temuan Andraos tidak hanya benar di kelas-kelas pendidikan
teologi, namun meluas hingga ke gereja-gereja yang menjadi tempat
dimana para lulusan sekolah teologi itu bekerja. Baik sekolah teologi
maupun gereja menerima begitu saja penempatan perspektif Barat
pada puncak piramida itu. Dampaknya bagi perspektif lain yang
bukan Barat adalah penempatan yang lebih rendah. Mengutip Walter
Mignolo, Andraos menyebut gejala ini dengan “the colonial
difference”. Di sini segala sesuatu yang bukan dari Barat dianggap
asing, tidak pas dan tidak dapat diperhitungkan. Gejala ini tidak
selalu nampak dengan jelas, namun tetap terasa pengaruhnya dalam
semua segi kehidupan. Edward Said mengatakan,
98
mereka yang melaksanakan olah religius ini meyakini akan
keterlibatan Tuhan. Wajar juga jika mereka memberikan argumentasi
dogmatis bahwa Tuhanlah yang mengawali proses perenungan
tersebut melalui sebuah inspirasi atau wahyu. Tanpa mengecilkan
keyakinan dogmatis tersebut, Kekristenan pada akhirnya tidak dapat
melepaskan dirinya dari ekspresi-ekspresi budaya yang berasal dari
manusia juga.
99
mengherankan jika orang sulit membedakan Kekristenan dari
kebudayaan Barat. Sebenarnya tidak perlu juga keduanya dipisahkan.
Yang justru diperlukan adalah mengakuinya saja. Kekristenan harus
diakui sebagai produk kebudayaan Barat. Kalau kenyataan ini sudah
diakui, tindakan selanjutnya adalah melihat dan mengakui
kesubyektifannya, kesementaraannya, sebagai sesuatu yang terikat
secara historis. Sebagai sebuah agama yang berada dan lahir dari
dalam kandungan budaya, Kekristenan tidak netral. Ia berada dalam
lingkaran sebuah kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan
Barat. Kalau begitu, ia tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang
universal, karena tidak ada sebuah kebudayaan yang universal.
Kebudayaan berada dalam sebuah konteks tertentu yang
membuatnya terbatas pada konteksnya. Mengutip kata-kata inspiratif
dari filsuf Pragmatis, Richard Rorty, demikian:
100
kebudayaan-kebudayaan (jamak) yang ada di Indonesia. Artinya,
kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia harusnya menjadi
“tanah” dimana Kekristenan bertumbuh dan berkembang.
Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia yang dimaksud di
sini adalah semua warisan nenek moyang sudah sudah diturunkan
dari generasi ke generasi. Warisan nenek moyang tersebut itulah
yang menjadi tempat persemaian Kekristenan. Maka, sikap yang
merendahkan, apalagi memusuhi kearifan lokal yang diwarisi dari
nenek moyang jelas tidak dapat diterima. Kebuntuan kedua dan
ketiga dari kontekstualisasi sebagaimana ditengarai oleh von Allmen
di atas memperlihatkan sikap yang seharusnya tidak boleh ada itu.
Kita sering mendengar orang yang ketika menjadi Kristen lalu
berusaha menyingkirkan semua kebiasaan lama yang diwariskan
oleh nenek moyangnya. Penyingkiran tradisi sendiri itu dilakukan
dengan semangat menjaga kemurnian Kekristenannya. Kalau ada
orang Kristen yang masih memelihara tradisi nenek moyang, orang
itu akan dianggap sesat. Semua kebiasaan lama harus dibuang dan
diganti dengan kebiasaan baru yang diberikan oleh Kekristenan.
Tidak sedikit orang yang merasakan suatu dilema yang besar antara
mempertahankan tradisi lamanya yang masih sangat dijunjung tinggi
dengan desakan untuk menyingkirkannya sebagai orang Kristen.
Terkadang lahir kompromi diam-diam. Tradisi lama masih
dijalankan tetapi di luar gereja. Pihak gereja juga mendiamkan saja
praktik-praktik tersebut sejauh tidak dimasukkan ke dalam gereja.
Tetapi bagi pihak-pihak tertentu, kompromi diam-diam ini tetap
tidak dapat diterima. Tradisi lama harus sama sekali dihapuskan.
Sampai sekarang hubungan antara Kekristenan dengan budaya
setempat masih banyak diwarnai suasana permusuhan. Maka dengan
menyesal harus dikatakan bahwa meskipun Kekristenan telah berada
sekian puluh bahkan ratus tahun di Indonesia, ia belum dapat
menjadi bagian dari kebudayaan setempat. Kontekstualisasi masih
belum sungguh-sungguh menampakkan hasilnya.
101
Kekristenan) dan pemimpin serta orang-orang Yahudi, surat-surat
Paulus memperlihatkan polemik lainnya yaitu dengan penganut
kepercayaan Yunani-Romawi. Kedua macam polemik tersebut
mempunyai maksud yang sama yaitu mempersalahkan agama-agama
yang sudah ada terlebih dahulu, agama-agama yang telah dianut oleh
masyarakat ketika Kekristenan datang. Ketika berpolemik dengan
orang-orang Yahudi, Yesus mewakili ide pembaruan terhadap
Yudaisme. Semangat pembaruan ini semakin lama semakin
mengerucut pada pemisahan yang menjadi jelas dalam pemikiran
Paulus. Sejak itu, Kekristenan menempatkan dirinya sebagai agama
yang berbeda dari Yudaisme. Mungkin Paulus tidak pernah
membayangkan bahwa ide-idenya di kemudian hari membuahkan
sikap yang jauh lebih tegas bahkan penuh dengan kekerasan terhadap
Yudaisme dan orang-orang Yahudi daripada yang dipikirkannya
sendiri. Tetapi itulah yang terjadi ketika Kekristenan menjadi agama
negara, agama Kekaisaran Romawi. Pembedaan Kristen dan
Yudaisme menjadi alasan untuk menundukkan orang-orang Yahudi,
memaksa mereka untuk pindah agama menjadi Kristen dan menyiksa
mereka jika mereka membangkang. Pada zaman modern, kita semua
tahu bagaimana akibat penaklukan itu ketika digunakan oleh Nazi di
bawah kepemimpinan Hitler untuk membasmi orang-orang Yahudi
di Jerman dan wilayah Eropa lainnya. Tragedi ini mengingatkan kita
tentang akibat yang fatal yang dapat ditimbulkan oleh sebuah
polemik agama. Pembedaan dari agama lain yang dilakukan dengan
semangat polemik ketika dibarengi dengan kekuasaan akan
membuahkan pemusnahan agama yang berbeda itu. “The colonial
difference” tidak sekadar menjadi persoalan budaya yang abstrak,
namun dapat sewaktu-waktu berubah menjadi sebuah tindakan fisik
berupa pemusnahan terhadap yang berbeda itu.
Polemik lain yang terjadi pada masa Kekristenan awal adalah dengan
agama Yunani-Romawi. Senjata yang digunakan Paulus untuk
menyerang agama Yunani-Romawi adalah kepercayaan monoteistik
yang diwarisi dari Yudaisme. Dalam hal ini, agama Yunani-Romawi
diserang karena politeistis. Wacana anti politeisme itu ternyata terus
berlanjut sampai dengan sekarang. Tanpa mau tahu tahu apa yang
dialami dan dirasakan oleh penganut agama politeistis itu,
Kekristenan sudah langsung menuduh bahwa kepercayaan semacam
102
itu tidak masuk akal. Pandangan yang sama juga dimiliki oleh Islam
dan tentu saja Yudaisme sebagai agama yang menjadi cikal bakal
dari Kekristenan dan Islam. Serangan terhadap agama-agama
politeistis sudah ada pada literatur-literatur kenabian. Para nabi
mengkritik agama Babel, Mesir dan bangsa-bangsa bukan Israel
karena mereka percaya kepada dewa-dewi. Di pihak lain, Israel
digambarkan sebagai penganut Tuhan yang esa yaitu Yahweh.
Kepercayaan monoteistik ini tidak sekadar dibedakan dan
dikontraskan dengan politeisme, namun juga melahirkan sebuah
sikap yang intoleran. Monoteisme melahirkan tuntutan yang absolut
untuk mengikuti dirinya. Sikap absolutis ini sangat lekat dengan
kekerasan (Regina M. Schwartz, 1997). Dalam sejarah, agama-
agama monoteistik memiliki catatan yang buruk sebagai pelaku
kekerasan. Konflik antaragama yang terjadi dewasa ini menambah
panjang catatan tentang kekerasan oleh agama-agama monoteistik.
Di Indonesia, konflik antaragama tidak saja terjadi antara sesama
agama monoteistik (Kristen-Islam), namun juga antara agama
monoteistik dengan agama-agama lokal. Agama-agama suku yang
usianya sudah sangat tua dan sudah lebih dahulu ada sebelum
masuknya Islam dan Kristen seringkali menjadi target kekerasan dari
pemeluk Islam dan Kristen. Kalaupun tidak secara fisik, para
penganut agama suku itu sering ditekan, tidak diberi keleluasaan
untuk beribadah dan dijadikan sasaran proselitisasi. Pendeknya,
agama-agama suku harus hilang dan digantikan dengan agama-
agama monoteistik. Pandangan mengenai agama sukupun sangat
negatif. Agama suku dipandang penuh dengan tahyul, irrasional,
terbelakang (pra-modern) dan barbar. Kekristenan mewarisi
pandangan negatif ini dari para pendahulunya yang ide-idenya
nampak dalam surat-surat Paulus. Ironisnya, Paulus sendiri sangat
dipengaruhi baik oleh Yudaisme maupun peradaban Yunani-
Romawi. Jadi aneh jika Kekristenan hidup dalam sebuah dunia yang
membentuk dirinya namun kemudian memusuhi dunia itu. Tetapi
bila kita mengaitkannya dengan kekuasaan, keanehan itu menjadi
wajar. Kekuasaan memungkinkan Kekristenan yang sebenarnya
hidup dalam alam Yahudi dan Yunani-Romawi justru memusuhi
orang dan kebudayaan Yahudi dan Yunani-Romawi itu.
103
Poskolonialisme menantang Kekristenan untuk melihat ke dalam
dirinya dan menemukan roh kolonialisme yang sejatinya adalah
hasrat kekuasaan totalitarian yang ingin menghisap segala yang
berbeda untuk dipersamakan dengan dirinya baik secara halus
melalui pengaruh budaya maupun dengan jalan kekerasan. Selain itu,
poskolonialisme juga mendesak Kekristenan untuk bersedia
menerima budaya lain, yang dalam hal ini berarti budaya lokal di
Indonesia, secara setara dengan budaya Barat. Dalam kaitan dengan
teologi, itu berarti teologi yang berangkat dari konteks setempat
diberi kebebasan untuk berekspresi tanpa dicurigai sebagai yang
lawan. Karena selama ini teologi Barat mendominasi teologi di
Indonesia maka langkah yang harus diambil sekarang adalah
mengangkat sebanyak mungkin kemungkinan yang berasal dari
pergumulan lokal dan menggantungkan (setidaknya untuk
sementara) teologi yang dari Barat. Tentu saja strategi ini hanya
berupa bayangan di atas kertas. Di lapangan, pemisahan itu mungkin
tidak bisa dilakukan secara tajam. Tetapi sekalipun begitu orang
masih dapat menemukan mana yang berasal dari unsur lokal dan
mana yang diimpor dari Barat. Maka, bukan hal yang sulit untuk
mengangkat unsur lokal tersebut seandainya ada kemauan.
104
dengan teks Alkitab. Prinsipnya adalah bahwa pemahaman dapat
diperoleh dari mana saja, tidak terbatas dari teks Alkitab saja.
Pertemuan antar teks atau budaya itu juga memungkinkan sebuah
dialog yang tidak hanya bersifat konfirmatif (meneguhkan), namun
juga bersifat konfrontatif, termasuk konfrontasi terhadap kandungan
yang terdapat dalam Alkitab. Bentuk praktik lain yang penulis
usahakan adalah memulai pemahaman akan teks Alkitab dari pikiran
mahasiswa. Dengan sengaja informasi mengenai pendapat para ahli
dikesampingkan. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menuangkan
pikirannya sendiri atas teks Alkitab yang dibacanya. Pikiran itu
kemudian dianalisa dan sengaja diposisikan sebagai sumber
pengetahuan. Pesannya di sini adalah bahwa sumber pengetahuan itu
tidak hanya bisa datang dari para ahli saja, namun juga dari
pengalaman sendiri. Memang pengetahuan yang berasal dari
pengalaman sendiri itu tidak otomatis berarti benar-benar lepas dari
pendapat para ahli. Sebab, sudah disebutkan sebelumnya bahwa
Kekristenan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Kekristenan Barat.
Dari pengaruh itu, besar kemungkinan ide-ide para ahli yang
notabene orang Barat menelusup masuk, mempengaruhi pikiran para
mahasiswa. Jadi kesempatan yang diberikan oleh mahasiswa untuk
mengutarakan pikirannya sendiri itu belum tentu benar-benar
menyuarakan pikiran yang lain daripada yang dimiliki para ahli yang
orang Barat itu. Tetapi tanda-tanda adanya pikiran sendiri yang
belum dipengaruhi pemikiran Barat masih tetap dapat ditemui.
Paling tidak, proses ini akan memberikan kepercayaan diri yang
lebih besar kepada para mahasiswa.
105
baik dalam soal metode mendapatkan pengetahuan maupun dalam
menetapkan sumber pengetahuan setiap orang harus diberi
kesempatan yang sama. Di sini tidak ada pihak yang ditempatkan
lebih tinggi, lebih berwibawa atau lebih benar. Kebenaran hanya bisa
diterima jika orang setuju terhadap cara mencapainya. Tetapi tidak
ada sebuah cara yang universal. Karena itu tidak ada yang boleh
mengklaim bahwa caranya universal.
Manusia Hibrid
Amin Maalouf, seorang Lebanon yang hijrah ke Perancis seringkali
menerima pertanyaan apakah dia merasa lebih Lebanon atau
Perancis? Pertanyaan yang cukup wajar ini mendorong Maalouf
untuk berefleksi lebih dalam mengenai dirinya hingga dia
menemukan bahwa “I haven’t got several identities: I’ve got just
one, made up of many components in a mixture that is unique to me,
just as other people’s identity is unique to them as individuals. (Aku
tidak mempunyai sekian identitas: Aku hanya punya satu, terdiri dari
banyak komponen dalam suatu percampuran yang unik bagi diriku,
sama seperti identitas orang lain yang juga unik bagi mereka
sebagai indvidu.)”8 Kesaksian Maalouf ini menarik. Biasanya ketika
orang bicara tentang keunikan dirinya yang akan disodorkan adalah
bukti-bukti yang membuatnya nampak berbeda dari orang lain.
Keunikan adalah kekhususan yang dimiliki seseorang, yang tidak
dimiliki orang lain. Tetapi bagi Maalouf keunikan adalah justru
percampuran dari apa-apa yang dimiliki orang lain. Unik, dengan
kata lain, adalah hal yang membuat Maalouf terhubung dengan
orang-orang lain yang keberadaannya juga ada pada dirinya. Ia
adalah Perancis sebagaimana orang Perancis lainnya. Ia juga adalah
Lebanon sebagaimana orang Lebanon lainnya.
106
konstruksi identitas seperti itu tidak berlaku bagi dirinya. Konstruksi
semacam itu justru akan membuat dirinya terlihat setengah-setengah
atau tidak jelas. Tidak Lebanon, tetapi juga tidak Perancis. Maalouf
menolak penggambaran tersebut dan memberikan penggambaran
yang lain yaitu bahwa sekalipun di dalam dirinya ada beragam
identitas namun ia melihat dirinya sebagai orang yang hanya
memiliki satu identitas saja. Maalouf bukannya menolak
kepelbagaian dalam dirinya. Tetapi yang ditolaknya adalah jika
kepelbagaian itu hendak dilihat secara terpisah-pisah. Ia ingin
menyatukan kepelbagaian itu dalam sebuah identitas. Identitas yang
satu namun hibrid.9
Dari sisi psikologi sosial, Bernice Lott mengamati gejala yang umum
terjadi di berbagai tempat di dunia dewasa ini yaitu bahwa, “each of
us is a multicultural human being (setiap kita adalah manusia
multibudaya)”.10 Diskursus multibudaya (multiculturalism) yang
pada umumnya dikenakan kepada sebuah bangsa atau masyarakat,
ternyata juga dapat dikenakan kepada pribadi. Itu berarti, gejala
multibudaya tidak hanya berhenti pada taraf kelompok (bangsa,
masyarakat, komunitas), namun merambah hingga ke taraf individu.
Setiap orang yang hidup dalam konteks heterogen akan mengalami
heterogenitas itu dalam dirinya. Andaikan pemahaman ini kita bawa
ke konteks Indonesia yang heterogen maka setiap penduduk negeri
ini sebenarnya adalah orang yang multibudaya, orang yang hibrid.
Karena heterogenitas di Indonesia tidak hanya berupa budaya dalam
arti spesifik, namun juga agama, maka multibudaya yang merupakan
keberadaan setiap orang itu terdiri dari unsur agama pula. Berarti
setiap orang di negeri ini adalah orang yang multiagama.
107
Ketika itu kebhinnekaan bangsa jelas-jelas diakui dan ditanamkan
dalam kesadaran setiap warga negara. Tetapi kebhinnekaan tersebut
tidak memerlukan keterlibatan dari warga negara, baik dalam arti
sebuah kelompok (masyarakat, komunitas, organisasi), apalagi dalam
arti individual. Akhirnya, meskipun semua orang tahu bahwa
Indonesia adalah bangsa yang bhineka, namun pengertian
kebhinekaan itu masih merupakan sesuatu yang asing. Pengertian itu
lebih merupakan doktrin yang dibuat oleh pemerintah yang harus
diterima begitu saja oleh warga negara. Belum lagi pada waktu itu
kebhinekaan hanya dijadikan sebuah jalan masuk menuju kepada ke-
ika-an. Tekanan yang lebih besar diberikan oleh pemerintah kepada
ke-ika-an itu di bawah jargon “kesatuan dan persatuan” yang
berulangkali diperdengarkan kepada masyarakat. Akibatnya, orang
hanya mengerti kebhinekaan itu sedikit saja atau sambil lalu saja
untuk kemudian diarahkan kepada ide kesatuan.
108
dalam waktu singkat dan tidak jarang bersifat frontal – seperti yang
terjadi di dunia maya – bahkan membuat pengertian budaya menjadi
jauh lebih cair. Kalau dahulu kita mudah mengasosiakan budaya
dengan kedaerahan, sekarang batas-batas kedaerahan itu semakin
kabur kecuali dalam konteks ritus atau ketika diadakan pagelaran
kesenian yang seringkali dikaitkan dengan pariwisata. Kemunculan
budaya daerah dalam konteks ritual dan pariwisata itu bisa jadi tidak
mencerminkan keadaan sehari-hari. Dalam kesehariannya
masyarakat tidak mengenakan atribut-atribut budaya seperti yang
dikenakan pada upacara-upacara dan pagelaran kesenian daerah.
Kesenjangan antara kondisi sehari-hari dan saat-saat tertentu dimana
budaya daerah ditampilkan, semakin lama semakin melebar.
Tandanya adalah semakin sedikitnya generasi muda yang memahami
dan peduli pada budaya daerahnya seiring dengan semakin
canggihnya tingkat kemodernan mereka.
109
kerekatan hubungan horisontal, melainkan ketundukan kepada
pemerintah. Konflik-konflik sosial yang terjadi pasca Orde Baru
membuktikan bahwa masyarakat tidak pernah merasa takut pecah
kongsi. Mereka juga tidak pernah merasakan kerekatan sebagaimana
yang nampaknya saja diperlihatkan. Tetapi masyarakat tidak dapat
dipersalahkan karena itu. Mereka adalah korban politik pemerintah.
110
ditemui di seluruh dunia. Pusat-pusat pertokoan (mall) hampir
semuanya sama di seluruh dunia, baik dari segi fisiknya maupun
isinya. Mode pakaian, rambut dan berbagai macam asesoris juga
demikian halnya. Bahasa Inggris juga semakin lama semakin
mendominasi dunia dan mampu menggeser bahasa-bahasa lainnya.
Globalisasi yang didorong oleh roh kapitalisme baru telah
menggerogoti heterogenitas. Maka, hibriditas akan dipandang
sebagai batu sandungan.
Penutup
Kontekstualisasi telah memasuki babak baru seiring dengan tibanya
zaman multibudaya. Tetapi seperti juga pada zaman kolonial dan
poskolonial yang ditandai dengan perlawanan (terhadap hegemoni
Barat), sekarang pun kontekstualisasi harus berada dalam sebuah
perlawanan. Perlawanan itu adalah terhadap suatu sisi dari
111
globalisasi yang ingin menelan heterogenitas. Globalisasi yang
mengajarkan sebuah ideologi monobudaya dan menebarkannya ke
segala penjuru dunia. Ideologi multibudaya yang sebenarnya
memperoleh daya dorongnya dari globalisasi juga, seakan berada
dalam status kritis. Sudah sewajarnya kontekstualisasi berperan
untuk menyelamatkan ideologi multibudaya dari himpitan ideologi
monobudaya.
112
Daftar Pustaka
Alessandrini, Anthony C. (ed.) 1999, Frantz Fanon, Critical
Perspectives, London-New York: Routledge
Andraos, Michel E. 2012 “Engaging Diversity in Teaching Religion
and Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic
Perspective” dalam Jurnal Teaching Theology and Religion,
Vol.15, Issue 1, January 2012
Connolly, William E. 1991 Identity\Difference, Democratic
Negotiations of Political Paradox, Minneapolis- London:
Univ. of Minnesota Press
Cortez, Marc. 2005 “Creation and Context: A Theological
Framework for Contextual Theology”, dalam Westminster
Theological Journal 67 (2005): 347
Fanon, Frantz. 1965 A Dying Colonialism, trans., New York: Grove
Press
Maalouf, Amin. 2000 In the Name of Identity, trans., New York:
Penguin Books
Said, Edward W. 1994 Culture and Imperialism, New York:
Vantage Books
Schwartz, Regina M. 1997 The Curse of Cain, the Violent Legacy of
Monotheism, Chicago-London: Chicago U.P.
Schreiter, Robert J. 2012 “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks
Anake Budaya dan Agama” dalam Jurnal Ledalero, Wacana
Iman dan Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012
Setio, Robert. 2012 “Biografi sebagai Kontekstualisasi” dalam
Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11,
No. 1, Juni 2012
Singgih, E.G.
1982 Dari Israel ke Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2000 Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius-BPK Gunung Mulia
2009 Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Taylor, Charles. 1994 Multiculturalism, Examining the Politics of
Recognition, Princeton-New Jersey: Princeton U.P.
Johnson, Luke T. 2009 Among the Gentiles, Graeco-Roman
Religion and Christianity, New Haven- London: Yale U.P.
113
Lott, Bernice. 2010 Multiculturalism and Diversity, Chichester:
Wiley-Blackwell
Mignolo, Walter D. 2001 “Colonial and Postcolonial Discourse:
Cultural Critique or Academic Colonialism?”, © Latin
American Research Review
Endnote
1
Mungkin UKDW agak berbeda dalam hal ini. Program S-2 (dan S-3 teologi
yang baru saja diadakan) dengan sengaja dan jelas memakai kerangka
kontekstualisasi yang berimbas pada karya-karya tulis mahasiswanya.
2
Sebelumnya, E.G. Singgih pernah mencobanya juga. Lihat: “Potret Misi
Gereja di Indonesia dalam Kerangka Kritik Postmodern terhadap
Modernitas” dalam Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, 2009
3
Dikutip dari artikel Marc Cortez, “Creation and Context: A Theological
Framework for Contextual Theology”, dalam Westminster Theological
Journal 67 (2005): 347
4
Michel Elias Andraos, “Engaging Diversity in Teaching Religion and
Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic Perspective” dalam Jurnal
Teaching Theology and Religion, Vol. 15, Issue 1, January 2012, h. 7
5
Edward W. Said, Culture and Imperialism, 1994, h. 7
6
Richard Rorty, Contingency, irony, and solidarity, Cambridge: Cambridge
U.P., 1989, h.5.
7
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Robert Schreiter bahwa
perspektif poskolonialisme sudah lebih dahulu digunakan dalam studi
biblika ketimbang bidang teologi lainnya. Untuk membuktikannya ia
menunjuk karya-karya Sugirtharajah dan Fernando Sergovia. Lihat
artikelnya, “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks Anake Budaya dan
Agama” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, Vol. 11,
No. 1, Juni 2012, h.115
8
Amin Maalouf, In the Name of Identity, 2000, h. 2
9
Penulis pernah menuliskan hal yang senada dalam artikel “Biografi
sebagai Kontekstualisasi” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan
Kebudayaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2012
10
Bernice Lott, Multiculturalism and Diversity, Chichester: Wiley-Blackwell,
2010, h. 1
114
Teologi Kontekstual sebagai
Transformasi Ganda
Wahju S. Wibowo1
Pendahuluan
Abad 20 ditandai dengan perkembangan menarik dalam bidang
teologi, yaitu menguatnya apa yang disebut sebagai „teologi
kontekstual‟ (contextual theology). Sebenarnya istilah „teologi‟
sendiri secara implisit mengandung makna kontekstual karena tidak
mungkin ada teologi tanpa konteks. Teologi berangkat dari sebuah
pengalaman kehadiran Allah dalam konteks kehidupan manusia, dan
„isi‟ pengalaman yang merupakan „iman‟ akan Allah diungkapkan
dengan bahasa sejauh bahasa tersebut bisa mengungkapkannya.
Secara khusus menguatnya desakan untuk menggunakan istilah
„teologi kontekstual‟ muncul karena teologi yang pada dirinya
sendiri sudah kontekstual karena berangkat dari partikularitas
tertentu kemudian dimengerti sebagai yang bersifat universal dan
konteks lain dipaksa menerima teologi tersebut. Atau dengan kata
lain ada masalah tentang universalitas dan partikularitas. Isi iman
yang diungkapkan melalui bahasa sebagai media pengungkap
diidentikkan sehingga setiap konteks yang kepadanya isi iman itu
diwartakan harus mau menerima baik isi iman maupun bahasa
pengungkap isi iman itu. Sebagai contoh istilah tentang Trinitas
sebagai satu „substansi‟ dengan tiga „persona‟. Istilah „substansi‟ dan
„persona‟ berasal dari pengalaman manusia Barat dalam memahami
keberadaan diri melalui konteksnya. Usaha memahami keberadaan
diri itu kemudian diungkapkan dengan bahasa yang bisa dimengerti
oleh mereka. Nah, semuanya itu kemudian dianggap absolut-
universal, dan ketika dibawa keluar Eropa, bukan tidak mungkin
istilah „substansi‟ atau „persona‟ mempunyai makna yang berbeda,
atau bahkan tidak dimengerti sama sekali.
1
Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
115
lokus teologi berbeda dalam setiap kerangka hermeneutik dan
kesadaran politisnya”1. Moltmann menyadari bahwa manusia selalu
berbeda, padahal pengalaman itulah yang akan membawa pada
sebuah tataran refleksi tertentu. Jika pengalaman berbeda dalam
mempersepsi Allah, dunia, manusia dan alam semesta maka tentu
refleksinyapun bisa jadi amat berbeda. Lokus teologi sebagai tempat
di mana kegiatan berteologi itu muncul dan berkembang, bukan
hanya berfungsi sekedar sebagai wadah kegiatan berteologi sekaligus
berperan memberi „isi‟ terhadap refleksi teologis itu. Nah, biasanya
urusan „isi‟ teologi menjadi sedikit rumit karena „isi‟ itu bukan hanya
melibatkan pengalaman lokalitas kita, tetapi juga melibatkan
pengalaman lokalitas orang-orang di sekitar Yesus dan jemaat mula-
mula ketika Alkitab ditulis sehingga banyak orang mencari
gampangnya saja dengan memahami teologi kontekstual sebagai
sekedar mengganti „cangkang‟. Pada suatu kali saya menghadiri
kebaktian berbahasa Sunda di kota Bandung. Apa yang berbeda
dengan kebaktian yang berbahasa Indonesia? Yang berbeda hanya
bahasanya saja! Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sunda.
Liturginya adalah liturgy Calvin yang dibawa oleh para missionaries,
lagu-lagunya adalah lagu-lagu barat buatan abad 17-18 yang
diterjemahkan ke bahasa Sunda, cara dan pakaiannyapun masih
sama, yang berbeda benar-benar hanya bahasa saja. Sekitar tahun
1990-an, seorang dosen dari Belanda datang ke Yogya sebagai
tenaga pengajar tamu. Ketika beliau mengikuti kebaktian di salah
satu gereja di Yogyakarta, beliau terpesona dengan liturgy itu karena
gereja tersebut memakai liturgy peninggalan Belanda. Padahal
liturgy gereja itu nyaris sama dengan liturgy gereja-gereja
mainstream di Indonesia. Bukankah liturgy menyangkut pengertian
tentang sebuah “kehidupan” yang hendak dirayakan dan makna yang
dihidupi? Kehidupan seseorang atau kelompok orang dengan udara
yang pada saat itu ia hirup, air yang ia minum dan matahari yang
menyinari tubuhnya. Pendeknya liturgy menyangkut kehidupan,
itulah yang sebenarnya harus dinyatakan dalam sebuah kebaktian.
Bukan soal perubahan bahasa. Bahasa mencerminkan pola pikir dan
cara orang menangkap realita. Hanya menterjemahkan bisa jadi
hanya mengambil alih pola pikir dan cara orang lain menangkap
realitas, bukan mengembangkan pola pikir dan realita yang dihadapi
sendiri. Apakah yang dilakukan itu salah? Tentu tidak ada yang salah
116
ketika gereja menggunakan liturgy yang berasal dari abad-abad
sebelumnya. Bagaimanapun apa yang dilakukan merupakan bagian
dari sebuah upaya untuk menghadirkan makna kebaktian dalam diri
seseorang secara khusus. Tetapi berteologi tidak cukup hanya seperti
itu. Seseorang harus berani masuk lebih dalam lagi ke jati dirinya
sebagai manusia dalam sebuah keberadaan tertentu. Pada titik inilah
jantung dari teologi (yang selalu konteksual itu) berada.
Untuk itu tulisan ini akan berisi beberapa hal yaitu: pertama
penegasan kembali bahwa memang teologi selalu bersifat
kontekstual; kedua, bagaimana teologi kontekstual dipahami sebagai
„double transformation‟, transformasi makna yang terjadi secara
ganda dan terakhir catatan penutup.
117
ilmiah. Untuk itu Alister McGrath, guru besar teologi di Oxford
University, dengan lugas mengatakan bahwa „teologi adalah
berbicara tentang Tuhan‟.3 Ungkapan McGrath sederhana, jelas dan
lugas, namun merangkum siapapun yang hendak berbicara tentang
Tuhan. Tidak ada embel-embel ilmiah. Hanya saja untuk orang
Kristen berteologi berarti berbicara tentang Tuhan dari perspektif
Kristen yang mencakup pengalaman hidup manusia dan realitas hari-
hari yang direfleksikan dalam konteks iman dan hubungan dengan
Tuhan. Sementara itu hal „berbicara‟ bisa diungkapkan dalam
berbagai bentuk salah satunya adalah seni.
118
Ketegangan terjadi karena adanya transisi berupa pergeseran
paradigma. Kesadaran akan adanya konteks Alkitab di satu pihak dan
kesadaran akan konteks diri sendiri di pihak lain, membawa pada
paradigm baru seperti halnya seseorang yang baru berpindah dari
bukan Kristen menjadi Kristen.5 Paradigma lama dianggap sebagai
paradigma tunggal. Namun kesadaran terhadap konteks bisa
dianggap sebagai „anomali‟ (memakai istilah Thomas Kuhn) dari
paradigm tunggal yang tidak sensitive terhadap konteks sehingga
kesadaran akan konteks mempertanyakan keberadaan paradigm
tunggal itu sehingga menimbulkan krisis. Krisis inilah yang bisa
dipadankan dengan istilah „ketegangan‟. Hans de Wit seorang
ekseget dari Belanda mengemukakan bahwa ketegangan itu terjadi
karena „perceraian‟. Jika sampai abad pertengahan terjadi
„pernikahan‟ yang harmonis antara teks, konteks, dan aplikasi
dengan bapa-bapa gereja sebagai „wali nikah‟ yang berhak
menentukan tingkat keharmonisannya, maka awal perceraian muncul
pada jaman Rennesans dan menguat sampai di Aüfklarung, di mana
rasionalitas dan bukti empiris turut menentukan makna. Ketegangan
pun muncul.6 Namun ada juga yang mengatakan bahwa pemisahan
antara iman dan rasio yang terjadi pada jaman modern merupakan
pemisahan semu, misalnya Creston Davies. Sebenarnya yang ada
bukan pemisahan tetapi sebuah bentuk penghargaan terhadap apa
yang sebelumnya dilupakan. Tidak pernah ada pemisahan yang
sungguh-sungguh tajam antara iman dan rasio. Teologi Protestan dan
Katolik, khususnya sayap liberal, mulai berhasil untuk menunjukkan
bahwa pemisahan iman dan rasio merupakan pemisahan semu.7 Bagi
Creston Davies, paham yang mengatakan bahwa rasio berdiri
berhadapan dengan iman dan segala hal yang berbau mistik, dalam
rangka mencapai sebuah rasio yang otonom dan murni, justru
merupakan tahayul tersendiri.8 Yang ada adalah abad pertengahan
gagal untuk menghadirkan rasio secara seimbang, sementara
modernitas justru terlalu banyak menghadirkan rasio. Rupanya bagi
Davies, keseimbangan yang jujur dan tulus di antara keduanya amat
penting supaya teologi tetap bisa bermakna. „Jujur‟ dan „tulus‟ dalam
pengertian bahwa motivasi untuk menghargai aspek iman dan rasio
merupakan bagian positif dari pertanggungjawaban iman.
119
Kejujuran dan ketulusan menjadi penting karena memang
pernghargaan terhadap konteks seringkali „diselimuti‟ maksud yang
berbeda. Seringkali dijumpai bahwa „teologi kontekstual‟ akhirnya
sekedar menjadi alat untuk penginjilan kepada mereka yang bukan
Kristen. Ada pemahaman bahwa kontekstualisasi hanyalah alat
supaya banyak orang tertarik menjadi Kristen.9 Menyampaikan berita
injil sesuai dengan –misalnya budaya setempat- dilakukan agar orang
tertarik dan akhirnya menjadi Kristen. Teologi kontekstual juga
bukan sebagai „obat‟ untuk pertumbuhan gereja seperti disinyalir
seorang teolog Belanda, Martien Brinkman10. Jika gereja mandeg
pertumbuhannya dan pengunjung kebaktian merosot, pakailah
kontekstualisasi dengan membuat kebaktian bergaya budaya local
lengkap dengan music dan tari-tarian budaya, atau memakai band
sebagai symbol kepedulian terhadap konteks budaya orang muda
yang bergelora dan bersemangat, diharapkan dengan itu maka gereja
menjadi penuh kembali. Teologi kontekstual bukanlah alat atau obat,
melainkan, meminjam istilah Bevans, suatu imperative, conditio sine
qua non dari teologi itu sendiri. Jika teologi kontekstual dipahami
sebagai alat untuk melakukan penginjilan, maka seluruh muara
orientasi hal berteologi adalah soal penginjilan. Atau jika hanya
dipahami sebagai obat untuk menyelesaikan masalah pengunjung
kebaktian yang sedikit, maka yang didapat bukanlah inti teologi itu
sendiri.
120
konteks itu tidak dipedulikan padahal ketegangan dalam berteologi
adalah hal yang wajar dan perlu. Dengan demikian sebenarnya
berteologi berarti selalu berada dalam ketegangan kreatif antara
makna „yang diwariskan‟ dengan makna „yang dihidupi‟ saat kini.
121
Bevans mengemukakan hal yang senada dengan mengatakan bahwa
teologi harus berada dalam “..mutually critical dialogue, two
realities..”.13 Untuk itu bagi Bevans, kata kunci yang amat penting
adalah „pengalaman‟. Pengalaman merupakan realitas yang hidup
dan kongkret. Pengalaman itulah yang akan mengisi dan
mengembangkan teologi. Bevans rupanya menengarai bahwa
seringkali ada jurang antara teologi yang dikembangkan oleh gereja
dengan pengalaman kehidupan sehari-hari. Di gereja seolah jemaat
diajak melupakan pengalaman hidup yang ada di „luar tembok‟
gereja, dan menjadi seorang yang sama sekali berbeda ketika
berhadapan dengan Allah. Padahal justru pengalaman hidup yang
ada di „luar tembok‟ gereja itulah yang akan memberikan sebuah „isi‟
kepada teologi yang akan diberitakan dari mimbar. Dengan demikian
teologi yang „kontekstual‟ selalu tertantang untuk mendialogkan diri
dengan berbagai pengalaman karena justru kekayaan teologi terletak
pada dialog tersebut. Namun demikian bagi Bevans unsur kritis
dalam perjumpaan itu tetap harus dipertahankan. Dalam dialog itu
seseorang atau sekelompok orang akan mengartikulasikan
pengalamannya. Pengalamannya akan bertemu dengan pengalaman
orang atau kelompok lainnya, termasuk pengalaman gereja di masa
silam. Untuk itu jujur dan terbuka terhadap pengalaman menjadi
sesuatu yang amat penting.
Transformasi Ganda
Salah satu masalah yang muncul dalam upaya berteologi adalah
upaya memelihara keseimbangan antar kontinuitas dan
diskontinuitas. Kontinuitas merupakan kesinambungan atau benang
merah pewahyuan Allah yang terlacak melalui entah tradisi maupun
Alkitab itu sendiri. Kontinuitas menjembatani bukan hanya waktu
yang berbeda, tetapi juga konteks yang berbeda dalam kurun waktu
yang sama sehingga melalui kontinuitas ada „common memory‟ yang
bisa dialami bersama. „Common memory‟ itu bisa berbentuk ajaran,
liturgy, pengakuan atau doa. Sementara diskontinuitas adalah titik
perpisahan antara hal yang lama dengan yang baru, di mana yang
baru sama sekali berbeda dari yang lama. Ketegangan antara
kontinuitas dan diskontinuitas sudah nampak sejak kekristenan mula-
mula, yaitu pergumulan tentang apakah mereka masih merupakan
122
bagian dari „agama Yahudi‟ atau mereka mempunyai „agama baru‟
yang sama sekali berbeda dengan agama Yahudi.
123
berteologi dan isi teologi dari Barat yang harus diterima oleh dunia
Asia, Amerika Latin dan Afrika merupakan bagian dari kolonialisasi.
Ada suatu pandangan yang lain mengenai hubungan antara Barat dan
non-Barat dan non-Barat. Kesadaran ini memunculkan kebutuhan
akan makna yang baru yang dapat dimengerti pada suatu konteks
tertentu. Implikasinya adalah makna yang diterima dan diwariskan
oleh Barat secara perlahan harus ditafsirkan ulang atau diberi makna
baru. Narasi local harus dipertimbangkan sebagai upaya untuk
membangun sebuah teologi yang komprehensif sebab teologi local
mempunyai maknanya sendiri, and tidak bisa dinilai atau dihakimi
oleh klaim teologi Barat yang mendaku universal dan absolut. Di
sinilah sebenarnya kita bisa melacak „bau‟ pengaruh post-
modernisme. Makna datang dalam sebuah pengalaman, pengalaman
bukanlah bersifat tambahan atas makna yang sudah sebelumnya
secara obyektif ada.14 Pengalaman muncul ketika seseorang terlibat
dalam dunia dengan seluruh keberadaan dirinya, dan pengalaman itu
bersifat utuh, kuat dan tidak bisa dikalahkan pengalaman lain walau
itu dialami lebih banyak orang. Pengalaman-pengalaman yang
melingkupi dan membungkus „kata‟ dan „makna‟‟ mempengaruhi
bagaimana „kata‟ dan „makna‟ dikembangkan dan digunakan. Itu
berarti bahwa doktrin gereja sebagai sebentuk „makna‟ bahkan
Alkitab sendiri dipengaruhi oleh konteks tertentu yang dalam kadar
dan tingkatan tertentu berbeda dengan pengalaman kontemporer saat
ini. Doktrin dan ajaran-ajaran iman gereja ditransformasikan kepada
konteks yang baru. Akibatnya maknanya berubah.
124
process occurs that does not leave either side – the adopted
concept and the new context – untouched.15
125
sebelumnya kecuali entah dengan cara bagaimana kekristenan pada
jaman ini bisa mengafirmasi istilah dan makna yang berasal dari
jaman lalu walau barangkali kita tidak harus menggunakan dan
mengerti dengan cara yang sama.16 Untuk itu kritik ditujukan
pertama kali pada makna dan istilah yang tidak sesuai dan bisa
diterima pada jaman sekarang. Untuk itu bagi Gunton bertanggung
jawab terhadap konteks dilakukan bukan dengan cara menolak atau
mengafirmasi begitu saja namun dengan kritis mengikuti dan terlibat
dalam perkembangannya, baik dari dalam konteks itu sendiri
maupun dari luar.17 Rupanya bagi Gunton konteks datang dan pergi
silih berganti, ada yang muncul namun ada yang tenggelam. Untuk
itu baginya penting untuk tetap melihat makna yang terus menerus
muncul.
126
langsung. Konfrontasi bisa berakhir pada suatu konfirmasi, sebuah
penerimaan. Atau tetap terus bergerak dalam ketegangan yang
seimbang sebagai bagian dari kreativitas iman.
127
Namun tentunya hal itu tidak berhenti disana karena sebagai konteks
perjamuan itu bukan berada di dalam gedung gereja dengan
keketatan ritual dan aturan namun berada dalam konteks social
ekonomi dari masyarakat di mana gereja berada. Perjamuan kudus
dibawa bukan sekedar pada tataran ritual, namun pada konteks di
mana kekristenan itu berada.
129
Englishmen? Why should we, then, travel to a distant country
like England in order to get truths which are found much nearer
to our homes? Go to the rising sun in the East, not to the setting
sun in the West, if you wish to see Christ in the plenitude of His
Glory.22
Penutup
Teologi kontekstual merupakan upaya berteologi dengan melibatkan
seluruh persepsi keimanan yang kita miliki, baik Alkitab, tradisi,
maupun konteks dan lokalitas yang kita hidupi. Berteologi
kontekstual berarti, meminjam istilah Aloysius Pieris, „dibaptis‟
131
dalam lokalitas di mana kita berada, baik itu pluralitas agama,
kemiskinan maupun perkembangan modernitas yang mendesak
untuk memikirkan ulang makna yang selama ini kita hayati. Dalam
„baptisan‟ itu ada sebuah makna baru yang digumuli dalam sebuah
ketegangan yang kreatif. Prof. E. Gerrit Singgih rupanya „dibaptis‟
dalam lokalitas seperti itu, dan dalam ketegangan kreatif menghayati
„baptisan‟ itu Prof. Emanuel Gerrit Singgih membaktikan hidupnya.
132
Pustaka
Bevans, Stephen, Models of Contextual Theology, Revised and
expanded edition, New York:Orbis Books, 2002.
Bevans, Stephen, What Has Contextual Theology to Offer to the
Church of the 21st century, diunduh dari :http://www.cms-
uk.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?D
MXModule=410&Command=Core_Download&language=en-
US&EntryId=2390&PortalId=2&TabId=81 diunduh 08 Sept
2012.
Brinkman, Martien, Non Western Jesus: Jesus as Bodhisattva,
Avatara, Guru, Prophet, Ancestor or Healer?,
London:Equinox, 2009.
Davies, Creston, “Introduction: Holy Saturdar or Ressurection
Sunday? Staging and Unlikely Debate”, in The Monstrosity of
Christ, Paradox or Dialectic, Debate Between Slavoj Zizek and
John Milbank, (Ed. Creston Davies), Massachusetts:MIT, 2009
de Wit, Hans, „Exegesis and Contextuality: Happy Marriage,
Divorce or Living (apart) Together‟, dlm. Hans de Wit &
Gerald O‟West (eds), African and European Readers of the
Bible in Dialogue, Leiden:Brill, 2008; South Africa:Cluster
Publication, 2009.
Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi, Kanisius:Yogyakarta,
1991.
Grenz, Stanley, Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda
for the Twentieth Century, Intervarsity Press, 1993.
Gunton, Colin, Yesterday and Today, a Study of Continuities in
Christology, London:Darton, Longman & Todd Ltd, 1983
Katoppo, Marianne, Compassionate and Free, an Asian Woman’s
Theology, Geneve:WCC, 1979
Kolimon, Merry, A Theology of Empowerment, Reflection from a
West Timorese Feminist Perspective, Zurich:Lit Verlag, 2008.
Kraft, Charles, Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical
Theologizing in Cross Cultural Perspective, Maryknoll:Orbis
Books, 1979.
McGrath, Alister, Theology the Basic, MA:Blackwell, 2004.
Moltmann, Jürgen, Experience in Theology, Minneapolis:Fortress,
2000.
133
Mozoomdar, Pratap Chandra, “The Oriental Christ”, in The
Significance of Jesus Christ in Asia, Hans Staffner (ed.),
Anand:Gujarat Sahitya Prakash, 1985.
Orevillo-Montenegro, Muriel, The Jesus of Asian Women,
Maryknoll: Orbis Books, 2006
Singgih, E. Gerrit, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan
yang Bersifat Majemuk”, in Meretas Jalan Teologi Agama-
agama di Indonesia, Theologia Religionum, Tim Balitbang
PGI (ed.), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007.
Singgih, E. Gerrit, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2004.
Stiver, Dan, Theology After Ricoeur, New Direction in
Hermeneutical Theology, Louisville:Westminter John Knox
Press, 2001.
Sugirtharajah , Asian Faces of Jesus, Maryknoll, London: Orbis
Books, 1993.
134
Endnote
1
Jürgen Moltmann, Experience in Theology, Minneapolis:Fortress, 2000,
p.3,11
2
Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, Kanisius:Yogyakarta, 1991, p.35
3
Alister McGrath, Theology the Basic, MA:Blackwell, 2004, p. xiii.
4
Bevans juga mengemukakan enam model teologi kontekstual yaitu model
penerjemahan, model anthropologis, model praxis, model sintetik, model
trancendental dan model countercultural (Lih. Stephen Bevans, Models of
Contextual Theology, Revised and expanded edition, New York:Orbis
Books, 2002)
5
Charles Kraft, Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical
Theologizing in Cross Cultural Perspective, Maryknoll:Orbis Books, 1979, p.
5.
6
Hans de Wit, ‘Exegesis and Contextuality: Happy Marriage, Divorce or
Living (apart) Together’, dlm. Hans de Wit & Gerald O’West (eds), African
and European Readers of the Bible in Dialogue, Leiden;Brill, 2008; South
Africa:Cluster Publication, 2009, pp. 7-8.
7
Creston Davies, “Introduction: Holy Saturday or Ressurection Sunday?
Staging and Unlikely Debate”, in. The Monstrosity of Christ, Paradox or
Dialectic, Debate Between Slavoj Zizek and John Milbank, (Ed. Creston
Davies), Massachusetts:MIT, 2009, p. 4.
8
Ibid., h. 5.
9
Salah satu contohnya adalah Y. Tomatala dalam bukunya Teologi
Kontekstual mengatakan “dengan demikian bab-bab yang diuraikan di
depan yang menyentuh studi manusia/anthropologi kebudayaan ditujukan
untuk menolong orang Kristen/gereja Kristen untuk ‘menyeberangkan Injil’
dengan tepat kepada sasaran (manusia lain dalam konteks.*…+ Teologi
kontekstualisasi yang absah menekankan bahwa apabila Tuhan telah
menetapkan untuk menggunakan budaya manusia sebagai wahana dan
sarana penyataan diriNya, maka budaya manusia haruslah dihargai untuk
dipelajari guna memperoleh petunjuk bagaimana sepatutnya
menyebrangkan Injil kepada sekelompok orang melalui budaya mereka”
(lihat Tomatala, Teologi Kontekstual, Gandum Mas:Malang, 1993, h.93)
10
Martien Brinkman, Non Western Jesus: Jesus as Bodhisattva, Avatara,
Guru, Prophet, Ancestor or Healer?, London:Equinox, 2009, p.34.
11
Lih. Stanley Grenz, Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for
the Twentieth Century, Intervarsity Press, 1993, p. 91.
12
E.Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 2004, p. 91.
135
13
Stehen Bevans, What Has Contextual Theology to Offer to the Church of
st
the 21 century, diunduh dari http://www.cms-
uk.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?DMXModule=4
10&Command=Core_Download&language=en-
US&EntryId=2390&PortalId=2&TabId=81, p. 7, 08 Sept 2012.
14
Dan Stiver, Theology After Ricoeur, New Direction in Hermeneutical
Theology, Louisville:Westminter John Knox Press, 2001, p. 11.
15
Martien Brinkman, The Non-Western Jesus, p. 20. Di sini Brinkman lebih
memilih untuk menggunakan istilah inkulturasi daripada kontekstualisasi.
16
Colin Gunton, Yesterday and Today, a Study of Continuities in
Christology, London:Darton, Longman & Todd Ltd, 1983, p. 5.
17
Ibid., p. 3.
18
Martien Brinkman, The Non-Western Jesus, p. 247.
19
Marianne Katoppo, Compassionate and Free, an Asian Woman’s
Theology, Geneve:WCC, 1979, pp. 81-83.
20
Lih. Merry Kolimon, A Theology of Empowerment, Reflection from a West
Timorese Feminist Perspective, Zurich:Lit Verlag, 2008.
21
Muriel Orevillo, The Jesus of Asian Women, Maryknoll: Orbis Books,
2006, p. 4-5.
22
Keshub Chundar Sen, dikutip oleh Sugirtharajah , Asian Faces of Jesus,
Maryknoll, London: Orbis Books, 1993, p. 11. Dalam edisi terjemahan
bahasa Indonesia diberi judul “Wajah Yesus di Asia”, 2007, diterjemahkan
Ioanes Rahmat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, p. 11.
23
Pratap Chandra Mozoomdar, “The Oriental Christ”, in The Significance of
Jesus Christ in Asia, Hans Staffner (ed.), Anand:Gujarat Sahitya Prakash,
1985, p. 78.
24
E. Gerrit Singgih, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang
Bersifat Majemuk”, in Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia,
Theologia Religionum, Tim Balitbang PGI (ed.), Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2007, p. 114.
25
Ibid., p. 115.
136
Bagian III
Agustinus Gianto
Agustinus Setiawidi
Diutus ke Seluruh Dunia
Agustinus Gianto S.J.
Profesor Filologi Semit dan Linguistik pada Pontificium Institutum
Biblicum, Roma.
137
orang sakit. Pokok ketiga menggambarkan bagaimana Yesus
diangkat ke surga dan duduk di kanan Allah. Begitulah para murid
yang berangkat memberitakan Injil ke seluruh penjuru dunia
diteguhkan dengan tanda-tanda yang dibekalkan kepada mereka oleh
Dia yang kini ada di surga.
Sebelum mengupas tiga unsur itu lebih jauh, baiklah dicatat bahwa
Injil Markus sebenarnya berakhir pada Mrk. 16:8 yang menyebutkan
bagaimana para perempuan yang baru saja mendapat penampakan di
makam Yesus (ayat 5-7) lari dan tidak mengatakan apa-apa kepada
siapa pun sebab mereka gentar. Sesudah itu ada tambahan bahwa
mereka akhirnya juga menyampaikan kepada Petrus dkk. pesan
tokoh berjubah putih yang mereka lihat di kubur. Juga diceritakan
bahwa Yesus sendiri dengan para murid mengabarkan berita kudus
itu (berita kebangkitan) dari Timur ke Barat. Kedua kalimat yang
ditambahkan setelah ayat 8 tadi disebut para ahli sebagai “penutupan
ringkas” dari Injil Markus. Kiranya dahulu ada penyunting naskah
Injil Markus beranggapan bahwa ayat 8 terasa terpenggal. Sulit pula
dimengerti bila Injil berakhir dengan berita mengenai ketakutan para
saksi pertama. Maka dijelaskan bagaimanapun juga akhirnya mereka
memperoleh keberanian menyampaikan pengalaman mereka kepada
para rasul. Para rasul sendiri kemudian memberitakan peristiwa
kebangkitan dengan disertai dia yang bangkit sendiri.
Dalam terbitan modern Injil Markus, didapati pula ayat 9-20 yang
lazim disebut sebagai “penutupan lengkap”. Jadi Injil Markus
memiliki dua penutupan. Penutupan lengkap ini menceritakan
beberapa kali Yesus menampakkan diri sebelum ia naik ke surga.
Mula-mula kepada Maria Magdalena, ayat 9-11 (yang mengingatkan
pada Yoh. 20:11-18), lalu kepada dua orang murid ketika ada dalam
perjalanan ke luar kota, ayat 12-13 (seperti kisah dua murid di Emaus
Luk. 24:13-35), dan akhirnya kepada kesebelas murid ketika sedang
makan sambil mencela ketidakpercayaan mereka akan berita orang
yang telah melihatnya sesudah bangkit, ayat 14 (mirip Luk. 24:41
dst. ketika Yesus minta diberi makan agar jangan dikira jadi-jadian
atau proyeksi pikiran mereka sendiri). Sesudah itu, ayat 15-20, yang
sedang dibicarakan di sini, ia memberi penugasan memberitakan
warta gembira ke semua makhluk (senada dengan Mat. 28:19, bdk.
138
Kis. 1:8). Beberapa rujukan ke Injil lain di atas menunjukkan bahwa
“penutupan lengkap” ini dikarang atas dasar sumber-sumber yang
sebenarnya baru ditulis beberapa waktu setelah Markus sendiri
menyelesaikan karangannya.
Tadi dalam analisis teks ditunjukkan bagian ini tidak termasuk yang
disusun Markus sendiri, walaupun menjadi bagian utuh dari Injil
Markus dalam bentuk kanoniknya. Justru di situlah nilainya.
Dijumpai pemikiran yang mendalami lebih lanjut mengenai siapa
Yesus yang bangkit itu. Di situ termuat pengertian orang beriman
yang membaca kembali karya Yesus di dunia ini dalam diri mereka.
Tak mengherankan bila dikatakan, dalam gaya bicara waktu itu, yang
percaya akan “selamat” sedangkan yang menolak akan kena
“hukuman”. Kalimat seperti itu tidak perlu dipahami sebagai
140
ancaman karena memang bukan dimaksud sebagai ancaman,
melainkan sebagai jaminan. Bila diterima dan dikuti, warta mengenai
hadirnya Yang Ilahi di dunia ini menjadi wujud keselamatan.
Keterbelahan dunia dan masyarakat yang makin dirasakan
belakangan ini menjadi tantangan bagi para murid untuk menyajikan
alternatif: Kerajaan Allah sudah ada, tinggal diterima. Tentunya
orang mesti pandai-pandai membahasakan dan menampilkannya
dengan cara yang bisa dicerna orang sekarang.
Pelbagai tanda yang menyertai para murid dalam ayat 17-18 itu
memakai cara bicara yang kerap dipakai orang zaman dulu.
Tujuannya mengatakan bahwa keadaan yang kelihatannya berbahaya
sebenarnya bisa diatasi. Para murid pada zaman ini diajak
menemukan semangat yang sama dengan tanda-tanda yang ditulis di
sana, walaupun tidak perlu sama bentuknya. Apa misalnya? Macam-
macam. Salah satunya ialah tidak perlu merasa dihantui oleh risiko.
Terkadang mereka yang berani menghadapi risiko biasanya orang
yang sukses. Ada juga ajakan agar berusaha menyampaikan iman
dengan cara yang komunikatif dan mudah diterima. Bukankah ini
yang dimaksud dengan berbicara bahasa-bahasa baru? Bahkan ular,
lambang penggoda, tidak akan berhasil mengalahkan murid yang
berani pergi menemukan wilayah-wilayah baru. Begitu seterusnya.
Racun tidak akan mencelakan lagi – bukan maksudnya murid akan
belajar ilmu kebal. Tak ada yang lebih meleset dari pemahaman
seperti itu. Racun ialah kekuatan perusak hidup yang tak selalu
kelihatan, yang perlu diwaspadai dan dipunahkan dayanya. Juga
penyakit, yang bila dikenali justru menggarisbawahi harapan orang
akan kesembuhan, akan pertolongan, dan akan perhatian.
141
Sudut Pandang Matius
Kejadian yang sama diberitakan dengan cara berbeda dalam Mat.
28:16-20. Matius mengisahkan, pada waktu itu para murid sudah tiba
di Galilea mengikuti petunjuk Yesus lewat Maria Magdalena dan
Maria yang lain bahwa di sana murid-murid akan melihat dia (ayat
10). Yesus sendiri telah mendahului mereka. Di sana ia
menyampaikan dua hal kepada mereka. Pertama yaitu bahwa
kepadanya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi, dan
kedua karena kini ia akan memberi pengutusan baru kepada para
murid.
Guna memahami petikan Matius ini baik diingat bahwa Injil Matius
bermaksud menampilkan Yesus sebagai tokoh Musa yang dulu
membawakan hukum-hukum dari Allah sendiri kepada umat. Tetapi
berbeda dengan Musa, Injil Matius menggambarkan Yesus mengajar
di sebuah bukit yang dapat didekati orang banyak (Mat. 5-7,
khususnya Mat. 5:1-2), tidak dari puncak gunung yang tak
terjangkau dan diliputi awan-awan tebal seperti Musa dahulu. Bukit
tempat Yesus mengajar menampilkan suasana lega, tidak mencekam.
Para murid dapat memandanginya, berbeda dengan Musa dulu yang
wajahnya sedemikian menyilaukan. Tempat pemberian hukum kini
bukan lagi sebuah wilayah keramat yang terpisah dari masyarakat
luas dan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi di padang gurun, bukan
lagi di puncak Sinai. Tidak pula berpusat di Yerusalem dan Bait
Allah. Hukum baru ini tersedia bagi siapa saja. Injil Matius
mengutarakannya dengan menyebut “Galilea” (Mat. 28:16), yakni
wilayah persimpangan macam-macam orang bisa bertemu. Yang
disampaikan bukan lagi seperangkat aturan dan hukum, melainkan
142
ajaran kehidupan, kesahajaan, serta keluguan batin, karena Kerajaan
Allah berdiam dalam kesahajaan dan keluguan seperti itu. Ini semua
terkemas dalam pengajaran Yesus di bukit dalam Mat. 5-7. Kini pada
akhir Injil Matius, para murid diminta agar membuat ajaran tadi lebih
dikenal lebih banyak orang lagi. Akan didalami hal ini lebih lanjut
nanti.
Para murid bersama para perempuan yang sudah mendapati Dia yang
telah bangkit (Mat. 28:9) disebutkan “menyembah” Yesus di Galilea
itu (Mat. 28:17). Yang dimaksud Matius dengan “menyembah” ialah
mengakui kebesaran yang sungguh meski tidak langsung tampak.
Kebesaran ini bisa dialami dan diselami. Kemampuan manusia
menyadari kehadiran yang sakral, yang keramat, yang bukan hanya
dari dunia ini menjadi jalan mengenali Dia yang sudah bangkit dan
kini akan sepenuhnya memasuki kebesaran-Nya. Bagi Matius,
kemampuan serta kepekaan “menyembah” ini membawa hidup baru
dalam diri para murid.
Kristus yang telah bangkit itu akan naik ke surga dan memasuki
kemuliaannya. Berarti Ia tidak akan terlihat lagi di bumi. Tetapi
mereka yang mau “menyembah”-nya akan tetap dapat melihatnya.
Mereka bahkan akan membuatnya terlihat bagi orang lain. Bagi
mereka, kata-kata bahwa ia mendapat kuasa di surga dan di bumi
makin nyata. Murid-murid, siapa saja, diperbolehkan menjadi tempat
Dia yang bangkit itu bisa menampakkan kuasanya di bumi – dengan
cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Ini Kabar Gembira yang
disampaikan Matius pada akhir Injilnya!
144
Dalam Mat. 28:17b disebutkan ada beberapa orang yang ragu-ragu.
Maksudnya, tidak begitu yakin bahwa yang mereka dapati dan
mereka lihat di gunung, di Galilea itu adalah Yesus yang sudah
bangkit. Dalam hati kecil mereka tentunya bertanya, benarkah
demikian? Mengapa sesederhana ini, mengapa tidak menggetarkan,
mengapa tidak membuat orang takluk langsung? Juga, mengapa
tidak memberi kemuliaan besar kepada mereka yang telah setia
mengikutinya dari suatu tempat ke tempat lain? Terhadap keraguan
ini, Yesus hanyalah memberi penegasan iman: yang dibawakann-
Nya ke dunia ini ialah kemanusiaan yang tertebus, kemanusiaan
baru, yang terbuka bagi kehadiran ilahi. Dan itulah kuasa atas surga
dan bumi. Menjadi muridnya berarti ambil bagian dalam
kemanusiaan yang tertebus ini. Bila demikian para murid boleh yakin
akan tetap disertai guru mereka hingga akhir zaman, hingga saat
kemanusiaan yang tertebus itu menjadi kenyataan di bumi dan di
surga seutuhnya. Kata-kata ini menjadi bekal hidup bagi siapa saja
yang mau mengikuti Yesus.
145
Mereka tidak lebih dekat, tidak lebih baik, tidak lebih memiliki
ajaran yang benar. Semua orang ialah murid-Nya dan para murid
pertama justru diminta memperlakukan mereka seperti diri mereka
sendiri. Dan yang memang merasa dekat hendaknya memperlakukan
orang lain yang belum pernah mendengar tentang Yesus sebagai
yang sama-sama telah mendapat pengajaran batin dari Yesus sendiri!
146
kalangan Yahudi diajak terbuka menerima orang dari kalangan
Yunani. Inilah kekayaan pengutusan para murid.
147
waktu. Murid-murid diminta agar membuat kebangkitan menjadi
berarti bagi siapa saja. Diterima atau tidak soal lain. Tidak juga
digariskan caranya begini atau begitu. Mesti dicari dan
dikembangkan. Semua hal mengenai Yesus harus dapat disampaikan
kepada mereka yang tadinya tak masuk hitungan
148
47). Perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit itu memberi
kekuatan serta gairah.
149
paling awal ialah “Tuhan telah bangkit!” Semua hal lain, termasuk
kedatangan-Nya kembali, ialah kelanjutan peristiwa itu. Namun
demikian, bagi murid-murid dari generasi yang tidak mengenal
Yesus sendiri, kebangkitan-Nya sudah jadi hal yang diandaikan.
Minat mereka lebih terarah pada kedatangan-Nya kembali. Di situlah
letak daya tarik komunitas awal ini. Seluruh Injil Markus ditulis bagi
kalangan mereka. Kepada mereka diperkenalkan siapa Yesus yang
akan datang kembali itu lewat ingatan akan hal-hal yang diajarkan
dan dilakukan-Nya semasa hidup-Nya. Kedatangan-Nya kembali
nanti dikontraskan dengan suasana yang menggelisahkan – suasana
zaman edan. Markus menggambarkan kedatangan kembali Yesus
dalam kemuliaan-Nya dengan menghubungkannya dengan kitab
Daniel 7:13-14, yakni tokoh Anak Manusia yang datang menghadap
Allah untuk memperoleh anugerah kuasa atas seluruh alam semesta.
Dalam Kitab Daniel, kedatangan Anak Manusia ini terjadi segera
sesudah Allah memunahkan kekuatan-kekuatan jahat yang
mengungkung alam semesta. Zaman yang dikuasai kekuatan kacau –
zaman edan – itu kini digantikan dengan zaman Anak Manusia.
Siapakah Anak Manusia dalam Daniel itu? Tafsiran bisa bermacam-
macam. Namun demikian, bila dicermati, Anak Manusia di situ
dipakai melukiskan kemanusiaan baru yang hidup merdeka di
hadapan Allah. Di situlah kebesarannya. Bila diterapkan kepada
Yesus, kedatangan-Nya kembali mewujudkan kemanusiaan yang
baru ini.
150
mereka tercerai berai ke seluruh bumi dan tidak saling mengerti lagi
sehingga rencana mereka membangun kota dengan menara tadi
gagal. Wilayah yang keramat tidak bisa dijadikan tempat berkiprah.
Kesembronoan seperti itu malah menjauhkan mereka dari yang
mereka inginkan.
151
yang memisahkan tempat yang paling kudus dengan bagian lain
koyak terbuka (Luk. 23:45). Wafatnya menandai rujuknya kembali
keilahian dengan kemanusiaan. Dan Lukas maju lebih jauh lagi. Kini
Yesus menjadi berkat bagi seluruh kemanusiaan. Artinya, Yang Ilahi
tidak lagi jauh dari kemanusiaan. Yesus yang naik ke surga itu bukan
seperti menara Babel yang mendatangkan kutuk, melainkan yang
mendatangkan berkat. Inilah yang diminta agar dipersaksikan para
murid kepada semua bangsa. Pertobatan mulai dengan mengakui
bahwa Yang Ilahi dapat hadir di antara manusia. Ini juga
memungkinkan pengampunan dosa yang diperbuat manusia dalam
kisah menara Babel dulu.
Menurut berita yang terdapat pada awal Kisah Para Rasul, dikatakan
bahwa Yesus berulang-ulang selama 40 hari menampakkan diri
kepada para murid dan berbicara mengenai Kerajaan Allah (Kis.
1:3). Tetapi pada akhir Injil Lukas tidak ada tenggang waktu antara
kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga. Padahal kedua kesaksian
ini ditulis oleh pengarang yang sama. Tenggang waktu 40 hari itu
ungkapan yang dipakai untuk menyebut masa yang cukup lama
untuk mengalami perubahan pikiran. Sekaligus ini cara untuk
mengatakan Yesus benar-benar tetap menyertai mereka setelah ia
wafat dan bangkit dan semua ajaran mengenai Kerajaan Allah yang
diberikannya semasa hidupnya tetap berlaku.
152
“Ierousaleem” (Kis 1:8). Dalam Luk. 24:47 disebutkan murid-murid
diutus menyampaikan berita pertobatan dan pengampunan dosa
kepada semua bangsa “mulai dari Ierousaleem”, mulai dari
lingkungan yang kurang mengakui kehadiran Yesus. Memang bila
dieja demikian, kota ini ditampilkan sebagai tempat yang menolak
kehadiran utusan Yang Mahakuasa ini, bahkan memperlakukannya
dengan buruk. Kota seperti ini kota kezaliman yang akan runtuh dan
diganti dengan Hierosolyma, tempat Yesus akan dimuliakan, kota
kedamaian. Bandingkan dengan penulisan nama kota ini sebagai
Ierousaleem dalam 9:51; Hierosolyma dalam 13:22, di Ierousaleem
17:11, dan kemudian Hierosolyma 19:28.
Penutup
Tugas menyampaikan Kabar Gembira kepada semua orang di segala
zaman membuka ruang seluas-luasnya bagi kreativitas manusia
untuk menemukan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan
sendiri sehingga selalu terbaharui. Sisi penting dari kemanusiaan ini
ialah keterbukaannya pada dimensi keilahian. Semakin mendekat ke
sana. semakin kemanusiaan menemukan kebesarannya. Teologi
pewartaan yang dilandaskan pada pandangan seperti ini akan
semakin kontekstual, semakin membumi dan tetap setia pada
sumbernya, yakni penugasan para murid pertama untuk pergi ke
seluruh dunia membawakan warta yang memberi kelegaan.
153
Towards an Indonesian
Old Testament Theology:
A Dialogue between Christoph Barth’s
Old Testament Theology and works by
Indonesian Old Testament Scholars
Agustinus Setiawidi
1. Introduction
In the academic studies of the Old Testament (“OT”) in Indonesia,
Christoph Barth (1917-1986) has played a significant role. He taught
at several theological seminaries in Indonesia. He also wrote a leng-
thy textbook of OT Theology in Indonesian: Theologia Perjanjian
Lama (TPL) in four volumes,1 which were published in Indonesia
between 1970 and 1989.2 To date, this work by Barth constitutes the
most complete OT theology reference which Indonesian students
have at their disposal in their own language. The eleventh printing of
the first volume, in 2006, strongly suggests that this work is still in
great demand.3 Barth maintains that his desire and goal is to chal-
lenge Indonesian churches to read, interpret and understand the OT
in their own contexts.4
Dosen Perjanjian Lama di STT Jakarta
155
2. Contextualization in the works5 by Indonesian OT Scholars
2.1 The Context and Contextualization
Most of the Indonesian works involved in the dialogue with Barth’s
TPL are the outcomes of work done under the South East Asia
Graduate School of Theology (SEAGST), a theological institution
established in 1996 under the auspices of the Association of Theo-
logical Education in South East Asia (ATESEA). Since SEAGST
specifically aims to assist the intellectual and spiritual development
of Asian theologians and to contribute to the emergence of
contextual and Asia-oriented theology, one would expect works from
this institution to focus on the development of Asian contextual the-
ology.
156
Utilizing a narrative approach, Sumakul evaluates the way the OT
writers look at the holy places and proposes a different approach to
the sacred places in Minahasa.13 Karman attempts to relate the theme
of Promised Land and the Israeli-Palestinian issue to the problems of
injustice in relation to the holding of land in Indonesia today.14 Seek-
ing to learn lessons from King Josiah’s failure, Soewardji’s thesis
focuses on exploring models of leadership available in the Indone-
sian context. He finds in the OT support for the bottom-up model he
proposes.15 Hutapea,16 Ludji,17 Telnoni18 and Nara Lulu,19 on their
part, attempt to relate the prophetic voice to the socio-economic
problems in their respective contexts. We might conclude that con-
textualization in all of these works represents a general attempt to
translate biblical messages into the Indonesian pluralistic contexts.
157
We therefore see that the efforts to contextualize OT theology in the
works of Indonesian scholars (including those done under the aus-
pices of SEAGST) by and large utilise the simple method of translat-
ing the biblical message into Indonesian contexts. They apply what
Bevans proposes as a “translation model”.22 Some characteristics of
this model are obviously present in these works: e.g. the difference
between the biblical context and the Indonesian context is often not
seriously taken into account, the biblical message is seen to have a
priority over local cultures, and the “contextualization” in the second
part of these works is frequently brief and straightforward.23
The dialogue itself takes place on topics encapsulated under the nine
themes in Barth’s textbook: God created heaven and earth (Crea-
tion), chose the Fathers of Israel (the Patriarchs), delivered Israel
from Egypt (the Exodus), led His people through the Wilderness (the
Wandering), revealed Himself at Sinai (the Law), granted Israel the
land of Canaan (the Promised Land), raised up kings in Israel (the
Messiah), chose Jerusalem (the election of Zion), and sent His
prophets (the Prophets). Out of these nine themes, the acts of deliver-
ing Israel from Egypt (the Exodus) and granting Israel the land of
Canaan (the Promised Land) have become the focal points of the OT
theology Barth offers to the Indonesian context.
To start, we underline the influence that Barth’s TPL has had on the
works by Indonesian OT scholars. There are numerous significant
references to his textbook in their works.24 Yet, in general, Barth’s
TPL is referred to throughout these works without substantial critical
evaluation. Barth’s TPL has had the strongest influence in the works
of Silitonga25 and Sumakul.26 The thesis of Silitonga even confirms
and strengthens Barth’s theology of Creation, suggesting that it is
secondary in OT theology. As regards methodology, Silitonga ap-
158
plies the juxtaposition Barth uses in his TPL, highlighting the dis-
tinctiveness of the faith of the Israelites as compared to that of
neighboring nations. Meanwhile, Sumakul applies Barth’s descrip-
tion of the Israelite approach to Canaanite holy places, in order to
evaluate the existence of sacred places in Minahasa.
159
Looking at the theme of “the Prophets”, we observe that the works of
Hutapea, Ludji and Nara Lulu promote the prophetic voice which
strives for social welfare and justice in their respective contexts. This
puts their works on the same wavelength as Barth’s TPL. However,
the work by Telnoni promotes a different kind of prophetic message.
Instead of speaking about the prophetic voice of social, economic
and political justice, he argues that the hardship itself, specifically
the poverty and underdevelopment in Timor, constitutes the real
challenge to those called to minister the Word of God.31 In other
words, Telnoni argues that the prophetic voice includes endurance
particularly for those serving as ministers in poor and remote areas.
160
that Indonesian OT theology is essentially different from the “tradi-
tional” theology represented by Barth’s textbook.
Judging from the fact that the most critical part of the dialogue from
Indonesian scholars is involving the local wisdom, which is absent in
Barth’s TPL, the research proposes that Indonesian OT theology be a
biblical theology constructed by local contexts throughout its re-
gions. It involves and respects all elements of local cultures and its
people, putting their views in critical dialogue with biblical messages
while applying available approaches, methods, and models.
Personal Write-up
Agustinus Setiawidi was born in 1968 in Jakarta, Indonesia. From
1984 to 1985, he studied at the Academy of Interior Design in Ja-
karta and worked for a number of interior design consultants. He
studied theology at the Jakarta Theological Seminary from 1987 to
1993. After a short period of working at the Indonesian Bible Society
in 1997, he joined the faculty of the Jakarta Theological Seminary
teaching Old Testament studies and Biblical Hebrew. From 2001 to
2003 he studied Biblical Exegesis and Semitic Languages and wrote
a thesis on the Book of Jonah at Leiden University, the Netherlands,
obtaining his Master of Arts in Religious Studies. He has since then
been teaching Old Testament and Biblical Hebrew at the Jakarta
Theological Seminary. In 2007 he started his doctoral research in
Old Testament theology at the Protestant Theological University
(PThU), in Kampen, the Netherlands, and accomplished it in 2011.
BIBLIOGRAPHY
General Literature
161
Aritonang, J.S., and Karel Steenbrink, eds. A History of Christianity
in Indonesia. Leiden, Boston: Brill, 2008.
Bevans, S.B. Models of Contextual Theology. Revised and Expanded
Edition. Maryknoll: Orbis Books, 2002.
Chambert-Loir, H., and Anthony Reid, eds. The Potent Dead – An-
cestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia. New
South Wales-Honolulu: Allen & Unwin-University of Hawaií
Press, 2002.
Kim, Sebastian C.H., ed. Christian Theology in Asia. Cambridge:
Cambridge Univ. Press, 2008.
Parrat, John, ed. An Introduction to Third World Theologies. Cam-
bridge: Cambridge Univ. Press, 2006.
Pears, A. Doing Contextual Theology. London and New York:
Routledge, 2010.
Perdue, L.G. Reconstructing Old Testament Theology: After the Col-
lapse of History. Minneapolis: Fortress Press, 2005.
Sugirtharajah, R.S. Postcolonial Criticism and Biblical Interpreta-
tion. Oxford-NewYork: Oxford Univ. Press, 2002.
West, G.O. Contextual Bible Study. Pietermaritzburg: Cluster Publi-
cations, 1993.
_______. The Academy of the Poor: Towards a Dialogical Reading
of the Bible. Pietermaritzburg: Cluster Publications, 1999.
_______. Biblical Hermeneutics of Liberation: Models of Reading
the Bible in the South African Context. Pietermaritzburg/
Maryknoll, N.Y.: Cluster Publications/Orbis Books, 1995.
162
Works by Indonesian OT scholars
Hutapea, V.N. The Relevance of the Call and Critique of the Proph-
ets on Social Justice – A Main Approach from the Old Testament
compare with Consideration from Islam, Buddhist and Some
Modern Philosophies (thes. SEAGST), Pematang Siantar, 1977.
Ihromi. ʽamm ʽānî wādāl nach dem Propheten Zephania. diss.
Mainz, 1972.
Karman, Y. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama – Dari Kanon
sampai Doa, Jakarta: BPK GM, 2004
______. Necromantic Aspects in 1 Samuel 28:3-25 in Relation to the
Apparition of Samuel – An Exegetical Study (diss.), Leuven,
2004.
Ludji, B. The Socio-Economical Aspects in the Proclamation of the
8th century B.C. Prophets – An Exegetical Description on Several
Prophecies of Amos, Isaiah, and Micah and Its Relevance to the
Proclamation and Service of the Christian Church of Sumba
.diss. SEAGST. Jakarta, 1996.
Mawene, M.T. Relation between Torah of the Lord and Wisdom
Teaching in the Book of Proverbs 1-9. diss. SEAGST. Yogya-
karta, 2007.
Merentek-Abram, E.S. Joseph Narrative in Genesis 37-50 as a
Model of Narrative Theology in the Old Testament. diss.
SEAGST. Jakarta, 1996.
Murah, Nyoman. The Function of Torah within the Identity of Israel.
thes. SEAGST. Jakarta, 1980.
Nara Lulu, B. Shalom in the Old Testament – An Exegetical Ap-
proach to Isaiah 8:23-9:6 and Its Relevance to the Ministry of
Gereja Masehi Injii di Timor (GMIT). thes. Jakarta, 2007.
Pohan, E.P. All is Vanity? A Research on Semantic Meaning of the
Word ‘Hevel’ in the Book of Qohelet in Search of Comprehend-
ing the Exact Thought and Teaching of Qohelet. thes. Jakarta,
1998.
Ruku, W.F. Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exo-
dus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneu-
tics. thes. Amsterdam, 2008.
163
Runtu-Lumi, A. The Old Testament and Its Influence in the Christian
Evangelical Church in Minahasa. thes. SEAGST. Tomohon,
1992.
Santoso, S. The Deuteronomy Codex (Deut. 12:1-26:15) as Pro-
phetic Teaching. thes. SEAGST. Yogyakarta, 1994.
Silitonga, A. The Comprehension of Work (melāʽkāh) in the Old
Testament. thes. SEAGST. Pematang Siantar, 1973.
Singgih, E.G. Dari Israel ke Asia, Jakarta: BPK GM, 1982.
_____. Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut – Sebuah Tafsir Kitab
Pengkhotbah, Jakarta: BPK GM, 2001.
_____. Doing Theology in Indonesia – Sketches for an Indonesian
Contextual Theology, Manila: ATESEA, 2003.
______. Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis 1:1-3. Ora-
tion. Yogyakarta, 2005.
Sinulingga Bangun, R. The Valorous Wife and Personified Wisdom
Compared – Prov. 31:10-31; 1:20-33; 8:1-21; 32-36; 9:1-6.
diss. SEAGST. Singapore, 2007.
Sitompul, A.A. Weisheitliche Mahnsprüche und prophetische
Mahnrede im Alten Testament, auf dem Hintergrund der
Mahnungen im Leben der Tobabatak auf Sumatra. diss. Mainz,
1967.
Soewardji, T. The Reformation of Josiah. thes. SEAGST. Jakarta,
1982.
Sumakul, H.A. Old Testament Sources on Holy Places in Canaan
and Their Signifance in the Light of Doing Theology Particularly
in Minahasa. thes. SEAGST. Minahasa, 1992.
Tampubolon, R.O.M. Social Justice in the Laws of the Pentateuch.
diss. SEAGST. Jakarta, 1999.
Telnoni, J.A. bn-’dm – The Image of Prophet According to Ezekiel’s
Calling (2:1-3:11). diss. SEAGST. Jakarta, 1997.
164
Endnote
1
Since cancer has prevented Barth from finishing his work, the very last
prophets in the fourth volume (i.e., Nahum, Habakkuk and Zephaniah, and
from Haggai to the end) were posthumously written by his wife.
2
In an abridged form it appeared in English in 1991 under the title God
with Us: A Theological Introduction to the Old Testament.
3
The ninth printing of the second volume appeared in 2003, while in 2005
the third and the fourth volumes saw their eighth and seventh printing
respectively.
4
Barth, TPL 1, 8
5
See Bibliography.
6
Cf. S.B. Bevans, Models of Contextual Theology, Revised and Expanded
Edition (Maryknoll: Orbis Books, 2002), 90.
7
The term usually refers to India. It is not an exaggeration, however, to
assign it to Indonesia since the latter is a huge country consisting of more
than thirteen thousands islands. It is a great religious, socio-economic,
ethno-cultural and political melting pot. While the official language is Ba-
hasa Indonesia (an amalgam of several languages based mostly on Malay),
more than seven hundred vernacular languages and dialects are still spo-
ken today. See Raymond G. Gordon, Jr. (ed.), Ethnologue: Languages of the
th
World, 15 edition (Dallas, Tex.: SIL International, 2005).
8
Some recent research by Indonesian theologians focus specifically on a
local region of the country, e.g., W.F. Ruku, Reading of the Fifth Com-
mandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni Meto Con-
textual Hermeneutics. thes. (Amsterdam: Vrije Universiteit, 2008), and C.
Gunawan, The Bible through Javanese Eyes – Tracing and Examining Con-
textual Theology in Christian Art. thes. (Kampen: Protestantse Theologische
Universiteit, 2007).
9
These national concerns are dealt with in works like Karman, Bunga Ram-
pai Teologi Perjanjian Lama – Dari Kanon sampai Doa (Jakarta: BPK GM,
2004), 18-37, 76-104; Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit: Interpretation on Genesis
1:1-3. Oration. (Yogyakarta: Duta Wacana University, 2005); Merentek-
Abram, Joseph Narrative in Genesis 37-50 as a Model of Narrative Theology
in the OT. diss. (Jakarta: SEAGST, 1996); Hutapea, The Relevance of the Call
and Critique of the Prophets on Social Justice – A Main Approach from the
Old Testament compare with Consideration from Islam, Buddhist and Some
Modern Philosophies. thes. (Pematang Siantar: SEAGST, 1977); Soewardji,
The Reformation of Josiah. thes. (Jakarta: SEAGST, 1982).
165
10
The local contexts are prominent in the works by Silitonga from North
e
Sumatera, The Comprehension of Work (m lāʽkāh) in the Old Testament.
thes. (Pematang Siantar: SEAGST, 1973); Sumakul from North Sulawesi, Old
Testament Sources on Holy Places in Canaan and Their Significance in the
Light of Doing Theology Particularly in Minahasa. thes. (Minahasa: SEAGST,
1992); Nyoman Murah from Bali, The Function of Torah within the Identity
of Israel. thes. (Jakarta: SEAGST, 1980); Ludji from Sumba, The Socio-
th
Economical Aspects in the Proclamation of the 8 century B.C. Prophets –
An Exegetical Description on Several Prophecies of Amos, Isaiah, and Micah
and Its Relevance to the Proclamation and Service of the Christian Church
of Sumba. diss. (Jakarta: SEAGST, 1996); Ruku from Timor, Reading of the
Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12) – An Indonesian-Atoni
Meto Contextual Hermeneutics. thes. (Amsterdam: Vrije Universiteit,
2008); Telnoni from Timor, bn-’dm – The Image of Prophet According to
Ezekiel’s Calling (2:1-3:11). diss. (Jakarta: SEAGST, 1997); Nara Lulu from
Timor, Shalom in the Old Testament – An Exegetical Approach to Isaiah
8:23-9:6 and Its Relevance to the Ministry of Gereja Masehi Injii di Timor
(GMIT). thes. (Jakarta: Jakarta Theological Seminary, 2007).
11
These include the theses by Nyoman Murah, The Function of Torah
within the Identity of Israel, and Soewardji, The Reformation of Josiah.
12
Singgih, Ex Nihilo Nihil Fit, 35-37.
13
Sumakul, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan, 110-155.
14
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 102-103.
15
Soewardji, The Reformation of Josiah, 206-231.
16
Hutapea, The Relevance of the Call and Critique of the Prophets on Social
Justice, 85-108.
17 th
Ludji, The Socio-Economical Aspects in the Proclamation of the 8 cen-
tury B.C. Prophets, 385-416.
18
Telnoni, bn-’dm, 262-341.
19
Nara Lulu, Shalom in the Old Testament, 216-252.
20
However, we have an exception in the work of Singgih. The exegetical
section of his oration demonstrates his independence in presenting his
own view following his critical overview of scholarly discussions: Singgih, Ex
Nihilo Nihil Fit, 14-33.
21
Cf. M. Getui, K. Holter & V. Zinkuratire (eds.), Interpreting the Old Tes-
tament in Africa: Papers from the International Symposium on Africa and
the Old Testament in Nairobi, October 1999 (NY: Peter Lang, 2001), 75-130.
Besides using the OT to interpret Africa, some papers of the symposium
166
use the African context to interpret the OT. Thus, for instance, S. Githuku
uses African taboos on counting to interpret David’s census (2 Sam 24:1-
10) as a sin (113-8); J. Muutuki uses the Kamba culture of Kenya to inter-
pret OT covenants (125-9). Such an approach has not yet been applied in
the works by Indonesian OT scholars we survey here.
22
S.B. Bevans, Models of Contextual Theology, 37-53.
23
Cf. A. Pears, Doing Contextual Theology (London & NY: Routledge, 2010),
24-5. An exception is the work by Ruku which involves a dialogue between
scholarly reading and ordinary reading of the Bible as an approach towards
offering a contextual theology of honoring one’s parents among Atoni
Meto Christians in Timor. In his research, Ruku takes his local context seri-
ously into account by doing extensive field research. His work proposes
that both professional and ordinary readers of the Bible can learn from
each other. Overall, in Ruku’s works the Atoni Meto culture is respected,
valued and evaluated in the light of Christian faith: Ruku, Reading of the
Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12), 21-41.
24
One exception might be Singgih’s oration, Ex Nihilo Nihil Fit: Interpreta-
tion on Genesis 1:1-3.
25 e
Silitonga, The Comprehension of Work (m lāʽkāh) in the Old Testament,
110-111.
26
Sumakul, Old Testament Sources on Holy Places in Canaan, 110-122.
27
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 27.
28
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 102-103.
29
I Nyoman Murah, The Function of Torah within the Identity of Israel, 153-
154.
30
Soewardji, The Reformation of Josiah, 217-231.
31
Telnoni, bn-’dm, 321ff.
32
Sitompul, Weisheitliche Mahnsprüche und prophetische Mahnrede im
Alten Testament, auf dem Hintergrund der Mahnungen im Leben der
Tobabatak auf Sumatra. diss. (Mainz: Johannes Gutenberg- Universität
Mainz, 1967), 18-26ff.
33
Pohan, All is Vanity? A Research on Semantic Meaning of the Word
‘Hevel’ in the Book of Qohelet in Search of Comprehending the Exact
Thought and Teaching of Qohelet. thes. (Jakarta: Jakarta Theological
Seminary, 1998), 292-293.
34
Singgih, Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut – Sebuah Tafsir Kitab
Pengkhotbah (Jakarta: BPK GM, 2001), 90-91, 178, 180.
167
35
Sinulingga Bangun, The Valorous Wife and Personified Wisdom Com-
pared – Prov. 31:10-31; 1:20-33; 8:1-21; 32-36; 9:1-6. diss. (Singapore:
SEAGST, 2007), 224-234, 291-293ff.
36
Mawene, Relation between Torah of the Lord and Wisdom Teaching in
the Book of Proverbs 1-9. diss. (Yogyakarta: SEAGST, 2007), 242-243.
168
Bagian IV
TEOLOGI POLITIK
A.A. Yewangoe
Zakaria Ngelow
Julianus Mojau
Deklarasi Barmen dan Maknanya
Masa Kini
Andreas A. Yewangoe
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
169
Elberfeld, 1945-1954, Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi
(Kirchlichen Hochschule) di Wuppertal.
Konteks historis dideklarasikannya Deklarasi penting ini rasanya
sudah banyak ditulis. Pada perayaan 75 tahun Deklarasi Barmen
tahun 2009 lalu, Rudolf Weth menyifatkan dokumen ini sebagai “the
most significant event in 20th century Protestant history.”1 Di bawah
ini dikemukakan secara singkat beberapa hal. Dokumen ini sampai
sekarang dilihat sebagai sebuah dokumen penting dan mendasar
mengenai iman Kristen. Sampai sekarang juga merupakan bagian
penting dari banyak tata-gereja di gereja-gereja Jerman. Dokumen ini
secara terang-terangan menolak dominasi Adolf Hitler dan partai
Nazinya di Jerman yang menguasai semua bidang, sampai-sampai
juga masuk ke dalam gereja. Sebagaimana diketahui di era Hitler
sebagai Kanselir Jerman itu, hampir semua orang berkiblat
kepadanya. Pengaruh partai Nazi terasa di mana-mana. Orang
Jerman yang merasa dirinya sebagai ras terpilih (Aria) juga merasa
unggul atas siapa pun (Deutschland Ueber Alles!). Gereja-gereja pun
melihat diri mereka sebagai “Orang Kristen Jerman” (Die Deutsch
Christenen). Pengaruh partai Nazi yang sangat besar itu bahkan ingin
mengubah bukan saja tata gereja, melainkan juga pengakuan iman
gereja.
Untunglah tidak semua orang berpihak kepada ide absurd Nazi ini.
Sekelompok orang Kristen lainnya membentuk yang disebut “Gereja
Yang Mengaku” (die bekennde Kirche). Pada akhir dari sidang
sinode pertama gereja ini pada 31 Mei 1934, di Barmen
dideklarasikanlah deklarasi ini yang belakangan dikenal sebagai
“Deklarasi Barmen”. Deklarasi itu ditegaskan sekali lagi pada sidang
sinode II yang diselenggarakan pada 19-20 Okober 1934 di Dahlem.
Menurut catatan notula, Deklarasi itu disetujui secara unanim, yang
artinya tidak ada yang menentang atau abstain.
Butir 2: “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang
oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan
menguduskan dan menebus kita.” (I Kor. 1:30). Sebagaimana Yesus
Kristus adalah jaminan Allah bagi pengampunan dosa-dosa kita,
demikian juga dalam cara dan dengan kesungguhan yang sama ia
juga adalah klaim agung Allah atas seluruh hidup kita. Melalui Dia,
kepada kita dianugerahkan kebebasan yang menceriakan dari huruf-
huruf mati dunia ini guna suatu pelayanan yang bebas dan penuh
syukur kepada ciptaan-Nya. Kita menolak ajaran palsu, seakan-akan
ada wilayah di dalam kehidupan kita yang bukan milik Yesus
Kristus, melainkan wilayah tuan-tuan lain di mana kita tidak
membutuhkan pembenaran dan pengudusan melalui Dia.
171
Butir 3: “Tetapi dengan berpegang kepada kebenaran di dalam
kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang
adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh,-yang rapi tersusun
dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya….”
(Ef.4:15,16). Gereja Kristen adalah jemaat dari saudara-saudara yang
di dalamnya Yesus Kristus bertindak pada saat ini sebagai Tuhan di
dalam Firman dan Sakramen melalui Roh Kudus. Sebagai gereja
yang terdiri dari orang-orang berdosa yang diampuni, ia harus
menyatakan kepada dunia yang berdosa ini, dengan iman dan
ketaatannya, dengan beritanya demikian juga dengan tata/aturannya,
bahwa ia [gereja] hanyalah semata-mata milik-Nya, dan mau hidup
dari penghiburan-Nya serta pembinaan-Nya sambil menanti-nantikan
kedatangan Tuhan
172
Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa, di dalam dunia yang
belum ditebus di mana gereja juga ada, oleh penunjukan ilahi, negara
mempunyai tugas untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. [Ia
memenuhi tugas ini] dengan cara-cara ancaman dan menerapkan
kekuatan, sesuai dengan ukuran pengadilan dan kesanggupan
manusia. Gereja mengakui manfaat dari penunjukan ilahi ini di
dalam ucapan syukur dan ketakziman di hadapan-Nya. Ini
mengingatkan kepada Kerajaan Allah, perintah dan keadilan Allah,
dan karena itu tanggungjawab diminta baik dari pemerintah mau pun
yang diperintah. Ia memercayai dan menaati kuasa Firman yang
dengannya Allah memelihara segala sesuatu.
174
dalam kesaksian dan pelayanan Kristen bersama sesuai dengan
penugasan yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan Yesus
Kristus.” Dengan rumusan ini, kata Weth, jelas “Barmen” memberi
sumbangan berharga bagi berbagai upaya kesatuan gereja-gereja.
Kesatuan gereja-gereja yang dimaksud bukan saja di antara gereja-
gereja dengan latar belakang reformasi, melainkan juga dengan
Gereja Katolik Roma. Yang terakhir ini perlu disinggung, karena,
sebagaimana telah disinyalir di atas, baru saja Vatikan mengeluarkan
dokumen “Dominus Jesus” yang cenderung menolak mengakui
gereja-gereja Protestan sebagai “gereja-gereja saudara” (sister
churches). Terhadap penolakan itu EKD dengan segala daya dan
ketekunan menegaskan: “Kami [adalah] Protestan dan ekumenis.”8
Maka EKD didorong untuk terus memelopori gerakan oikumene di
dalam negerinya sendiri. “Barmen” itu juga dilihat sebagai sebuah
pembelaan bagi dilaksanakannya terus dialog dengan Gereja Katolik
Roma. Dialog itu mesti dilanjutkan “on the basis of binding
reassurance about what has already been achieved.”9 Deklarasi
Barmen juga secara benar mengacu kepada “semangat baru di dalam
dialog oikumenis”, dengan kesadaran bahwa orang-orang Kristen
dari berbagai tradisi konfesional kekristenan yang berbeda-beda
diikat bersama di dalam iman. Semangat baru itu, demikian
ditegaskan tetap hidup pada saat ini.
Yang menarik, bahwa dalam Deklarasi itu tidak ada satu katapun
yang secara khusus mengacu kepada penderitaan yang dialami kaum
Yahudi selama masa pemerintahan Hitler itu. Karl Barth, salah
seorang penanda tangan Deklarasi itu belakangan mengaku, itulah
dosa karena persoalan Yahudi tidak diambil sebagai isu yang
menentukan bagi perjuangan gereja (Kirchenkampf), atau setidak-
tidaknya tidak mengatakan hal itu secara terbuka.11 Eberhard Bethge
mengakui, itulah “the missing thesis” di dalam Deklarasi Barmen. 12
Walaupun demikian, “Barmen” bisa merupakan dasar bagi:
”keberanian untuk masuk ke dalam perjumpaan dengan Yahudi”.
Itulah suatu akta perjumpaan (an act of encounter) pada pihak
mereka yang dipanggil oleh Kristus sebagai pewaris “Barmen 1934”,
dengan mereka yang dikonfrontasikan dan kepada siapa kita
memikul beban kesalahan yang berat. Suatu akta perjumpaan antara
176
mereka yang secara menyedihkan terbagi-bagi dalam pertengkaran
mengenai Perintah Pertama, tetapi mereka yang, bahkan diikat
bersama oleh pemberian dan tugas dari perintah itu, dan mau untuk
tetap seperti itu, atau sekali lagi menjadi seperti itu.13
177
dirasakan dalam merumuskan kembali kesaksian gereja di dalam
masyarakat yang makin lama makin majemuk sekarang ini.
Menarik juga bahwa kedua orang ini tidak secara spesifik membahas
mengenai makna “Barmen” dalam hubungan dengan negara. Kita
tidak tahu alasannya. Mungkin dianggap taken for granted, bahwa
gereja dan negara pada saat ini di Jerman dipandang sebagai dua
entitas yang terpisah (de scheiding van kerk en staat). Butir 5
misalnya, sangat jelas merumuskan penolakan gereja terhadap negara
yang berpretensi seakan-akan ia dapat memasuki seluruh bidang
kehidupan manusia. Demikian juga penolakan terhadap
kecenderungan gereja yang mau diperalat oleh negara. Di era Hitler
itu memang jelas sekali bagaimana partainya mempergunakan gereja
guna mencapai tujuannya. Emosi umat, bahwa orang Yahudi
bertanggungjawab atas kematian Yesus dieksploitasi habis-habisan
guna memperkuat alasan memusnahkan orang-orang Yahudi. Kita
teringat akan Endloesung Programm, di mana penyelesaian terakhir
terhadap kaum Yahudi adalah pemusnahan total. Holocaust sekarang
ini telah menjadi sejarah. Bahaya yang dihadapi gereja adalah,
apabila ia tidak mampu mengambil jarak terhadap kekuasaan, maka
dengan sangat mudah diperalat. Itulah sumbangan “Barmen”
terhadap pemakaian kekuasaan yang layak bagi kemanusiaan.
179
dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm.13:16-17; 1 Ptr.
2:13-14). Dalam hal ini dokumen PBIK ini sepakat dengan
penolakan “Barmen” terhadap ajaran sesat yang melihat seolah-olah
negara boleh saja memasuki segala bidang kehidupan secara
totalitarian, di mana tugas-tugas gereja dikerjakan juga oleh negara.
Demikian juga gereja-gereja di Indonesia sepakat dengan penolakan
“Barmen” terhadap pengidentikkan fungsi-fungsi gereja dengan
negara, sebagaimana ditegaskan dalam butir 5. Selanjutnya dokumen
PBIK menegaskan, bahwa gereja dan negara masing-masing
mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan
penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan
seluruh ciptaan.
180
dirasakan. Konsultasi itu belum berhasil merumuskan Status
Confessionis dimaksud.
V. Penutup
Tulisan ini dibuat sebagai penghormatan terhadap Prof. Dr. Gerrit
Singgih. Beliau adalah seorang teolog Indonesia yang terkemuka,
yang pikiran-pikirannya, langsung atau tidak langsung ikut
memengaruhi kehidupan dan sikap gereja-gereja dan warga gereja di
Indonesia di dalam menghayati imannya dan berinteraksi dengan
dunia sekitarnya. Bertahun-tahun ia berkutat di dunia pendidikan
teologi, suatu tempat paling strategis mempersiapkan para pemimpin
gereja-gereja masa depan. Maka melalui tulisan ini saya
menyampaikan ucapan “Selamat!” kepada Pak Gerrit Singgih. Kita
tetap mengharapkan pemikiran-pemikiran beliau di masa-masa
mendatang ini. Tuhan memberkati!
181
Endnote
1
Rudolf Weth, “The Barmen Theological Declaration-a Christian
Confession of Faith for the New Ecumenical Century”, dalam The
Ecumenical Review, WCC, July 2009
2
Di Jerman, yang disebut “Evangelische Kirche” adalah gereja-gereja
reformasi, guna membedakannya dengan Gereja Katolik Roma. Bukan
“evangelical” sebagai sebuah aliran gereja yang berasal dari Amerika
Serikat. Guna mengacu kepada yang terakhir ini, dipakai istilah
“Evangelikal”.
3
Butir-butir ini dikutip langsung dari naskah “asli” tersebut, Die Barmer
Theologische Erklaerung von 1934, Faksimile des Originals im
Landeskirchlichen Archiv Bielefeld, Evangelische Kirche von Westfalen,
Bielefeld, 2001. Penjelasan mengenai Deklarasi Barmen ini bisa juga dibaca
dalam Diarmaid MacCulloch, A History of Christianity, The First Three
Thousand Years, (Penguin Book, Great Britain,2009), pp. 943 ff.
4
Artikel itu ditulis pada 2009.
5
Weth, op.cit., h. 192
6
Kutipan itu diambil Weth dari Barth, “Barmen”, dalam Rohkraemer
(2004), h. 172
7
Evangelische Kirche in Deutschland, persekutuan gereja-gereja reformasi
terbesar di Jerman.
8
Dikutip dari EKD Statement, “Eins in Christus, Kirchen unterwegs zu mehr
Gemeinschaft”, hlm. 26; Weth, op.cit., p.194. Ketika saya menghadiri
Sidang Sinode EKD von Westfalen di Bielfeld dalam bulan November 2011
lalu, suasanan itu sangat terasa dalam Pidato Praeses Buss. Sidang Sinode
itu juga dihadiri oleh Uskup setempat yang mewakili Gereja Katolik Roma
di Jerman.
9
Wet, op.cit h.197
10
Dalam, The Ecumenical Review, July 2009, h. 203-212.
11
Ibid, h. 204
12
Walter Lang mengutip di sini Eberhard Bethge (1986), “Barmen und die
Juden-eine nicht gechriebene These?” Dalam H.-U.Stephan (ed.), Das eine
Wort fuer alle, Barmen 1934-1984: Eine Dokumentation, Neukirchen Vluyn,
Neukirchener, pp. 114-133, hlm. 115.
13
Bethge, op.cit. h. 133
14
PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(2009-2014),( Jakarta, 2010), h. 112-117.
15
DKG, ibid, h. 87-88.
182
Dari Pendeta Caleg sampai Roma 13:
Beberapa Catatan mengenai Partisipasi
Politik Kristen di Indonesia
Zakaria J. Ngelow*
*
Doktor Sejarah Gereja, anggota Majelis Pengerja Harian PGI
183
pelayanan gereja, berbagai alasan diajukan oleh para pendeta yang
berpolitik, misalnya kebutuhan partisipasi yang terkait dengan
kelangkaan sumber daya manusia setempat, dan hanya pendeta yang
agak memenuhi syarat masuk dalam percaturan politik kekuasaan
setempat. Memang ada caleg yang dengan terus terang
membandingkan jaminan hidup dalam gereja yang kecil dengan
besarnya gaji dan penghasilan seorang anggota dewan.
Beberapa prinsip:
● Fungsi negara sebagai kelembagaan politik adalah wujud
pemeliharaan Allah; karena itu, pemerintah bertanggung jawab
menegakkan keadilan (dengan membela yang lemah), mewujudkan
kesejahteraan, dan menjaga perdamaian. Dalam hal itulah
184
pemerintah diakui sebagai hamba Allah (Rm. 13); namun, jika
sebaliknya, pemerintah sewenang-wenang, menindas dan tidak
menegakkan keadilan, maka pemerintah adalah anti-Kristus (Why.
13). Dalam hal ini hubungan negara dan gereja adalah kemitraan
yang setara di hadapan Allah.
● Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26 dyb.),
maka Gereja menentang setiap bentuk diskriminasi dalam
masyarakat (ras, gender, sosial, dan sebagainya).
● Sebagaimana para nabi (Natan, Hosea, Amos, Yesaya, dan lain-
lain), Gereja berkewajiban menyatakan suara kenabian (protes)
terhadap pemerintah jika pemerintah mengabaikan tanggung
jawabnya terhadap semua unsur masyarakat, bukan hanya terhadap
orang Kristen.
● Pengajaran Tuhan Yesus mengenai, "Berikanlah kepada Kaisar apa
yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang
wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat. 22:21; Mrk. 12: 17; Luk.
20:25) bermakna ketaatan kepada Allah mendahului ketaatan kepada
pemerintah (bnd. Kis. 5:29, ”Kita harus lebih taat kepada Allah dari
pada kepada manusia.”)
● Sesuai tugasnya untuk menampakkan tanda-tanda Kerajaan Allah,
Gereja wajib (ikut serta) menegakkan keadilan, mengupayakan
kesejahteraan, dan menjaga perdamaian, serta memelihara
kelestarian lingkungan alam. Dalam kaitan itu, Gereja menolak
semua bentuk penggunaan kekerasan.
● Gereja dipanggil dan diutus untuk menyatakan Injil Kerajaan Allah
kepada semua orang. Oleh karena itu, pelayanan politik gereja tertuju
pada semua orang, tidak eksklusif untuk kalangan warga gereja.
Dalam hal ini ”politik gereja” adalah semua upaya gereja
mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi semua
ciptaan.
185
advokasi, baik advokasi kebijakan, advokasi anggaran, maupun
advokasi tentang kasus-kasus masalah sosial tertentu.
● Menyampaikan amanat penggembalaan (surat pastoral) kepada
warga jemaat menyangkut kenyataan atau kegiatan politik tertentu.
● Pendidikan politik: membina warga jemaat dalam berbagai aspek
politik sehingga warga jemaat dapat berpartisipasi dengan benar
dalam perkembangan politik; terutama perhatian pada pembinaan
pemuda/mahasiswa Kristen, khususnya kepemimpinan, etika, dan
wawasan sosial Kristen. Penting untuk menanamkan nilai-nilai
utama kader Kristen: menjunjung keadilan, jujur, berkomitmen,
berani berkorban, menjunjung kesetaraan, cinta damai (anti
kekerasan), peduli lingkungan, dan sebagainya.
● Mendorong jemaat-jemaat untuk mengembangkan hubungan dan
kerja sama sosial yang baik dengan masyarakat non-Kristen dalam
lingkungan masing-masing. Dialog dalam berbagai bentuk dan
tingkatan dengan semua pihak perlu diupayakan. Dalam kaitan itu
perlu pula mengembangkan informasi yang lengkap mengenai
berbagai perkembangan baik pada lingkup lokal, nasional, maupun
global.
● Gereja perlu memanfaatkan lembaga-lembaga pelayanan sosial
dalam lingkungannya untuk mengembangkan jaringan kerja sama
dengan semua pihak demi kesejahteraan bersama.
● Warga gereja mempunyai hak dan kebebasan untuk aktif dalam
partai politik. Akan tetapi, Gereja tidak boleh memihak salah satu
partai politik (termasuk partai politik Kristen) atau mendukung
calon-calon legislatif (termasuk warga gereja) yang diajukan partai
politik mana pun dalam pemilihan umum. Gereja juga tidak mencari
perwakilan khusus seperti pada masa Orde Baru; dalam sebuah
demokrasi yang pluralistis prinsip perwakilan mencakup semua
warga dalam suatu daerah pemilihan, bukan berdasarkan agama atau
etnisitas.
● Gereja wajib memberi penyuluhan mengenai politik dan partai
politik; tetapi gedung Gereja dan pertemuan ibadah gerejawi tidak
boleh menjadi sarana kampanye suatu partai politik atau (para) calon
legislatifnya.
● Gereja menolak money politics dan semua bentuk kecurangan
dalam percaturan politik. Gereja tidak boleh menerima sumbangan
186
dari suatu partai politik atau calonnya jika merupakan cara halus
”membeli suara” warga gereja.
191
dibenarkan dengan menunjuk pada sejumlah fakta yang tidak
sungguh-sungguh dimengerti secara mendalam.
196
mereka sesuai kisahnya, simbol-simbolnya, dan praksisnya, serta
pemikiran mereka sesuai kebenarannya. Ini hanya dapat ditafsirkan
sebagai suatu counter-imperial yang mendalam, suatu subversi
terhadap keseluruhan hukum Kekaisaran Romawi. Dan ada cukup
banyak bukti bahwa Paulus memang maksudkan untuk dipahami
demikian, dan bahwa ketika dia berakhir di penjara sebagai akibat
aktivitasnya itu, dia menganggapnya sebagai tanda bahwa dia telah
melakukan tugasnya dengan baik. Studi atas sikap Paulus terhadap
Kekaisaran Romawi memperlihatkan bahwa kritik Paulus terhadap
kaisar dan kekaisarannya kokoh berdiri di dalam warisan Yahudi.
Kekuatan dan pendorong utama penolakannya terhadap kekaisaran
diungkapkan dalam Kristologi yang sangat tinggi (Flp. 3:20 dyb.
didasarkan pada Flp. 2:5-11): Yesus itulah Kyrios (sesuai
pemaknaan Septuaginta) — dan bukan Kaisar. Dengan
mengedepankan hakikat kekaisaran Yesus, terkandung suatu
eklesiologi yang kokoh, yakni persekutuan tersebar dan sering tak
teratur dari para pengikut Yesus sebagai Tuhan yang membentuk
koloni di pinggiran kekaisaran. Dari sudut pandang kaisar, mereka
merupakan kelompok-kelompok kecil subversif, namun dalam
pandangan Yahudi mereka adalah buah sulung masa depan
kemuliaan Allah. Dalam pada itu, Rasul Paulus menentang
kekafiran, khususnya kultus kaisar, namun dia juga seorang
pengritik tajam Yudaisme non-mesianik.19
Warisan Reformasi
Pandangan dan cara Kristen berpolitik di Indonesia tentu terhubung
dengan tradisi yang diwarisi dari sejarahnya. Oleh karena itu, khusus
kalangan Protestan, penting menengok ke masa Reformasi Gereja
pada abad ke-16 di Eropa. Dengan dukungan pemerintah, Reformasi
Luther berakhir dengan munculnya Gereja Lutheran, yang
mempertahankan kaitan gereja dengan negara. Calvin sempat
membentuk semacam teokrasi di Jenewa. Kemudian kedua tradisi
Protestan ini berkembang membentuk pola hubungan baru dan juga
menyesuaikan diri dengan prinsip pemisahan gereja dan negara
dalam dunia modern. Menurut Martin Luther, peran pemerintah
hanyalah untuk menjaga perdamaian dalam masyarakat; tidak
berurusan dengan pemaksaan hukum-hukum agama. Perumusan
Luther atas parameter pemerintahan sipil merupakan langkah
monumental dalam perkembangan pemisahan gereja dan negara. Dia
menyokong pembedaan yang jelas atas kedua bidang yang berbeda,
sipil dan rohani, yang dikenal sebagai doktrin dua kerajaan. Bidang
sipil berurusan dengan kehidupan fisik manusia dalam masyarakat
199
ketika berinteraksi dengan sesamanya, di mana manusia tunduk
pada pemerintahan manusiawi. Bidang rohani berkaitan dengan jiwa
manusia, yang adalah abadi, yang hanya tunduk kepada Allah.
Luther merumuskan doktrin dua kerajaan itu bahwa Allah telah
menetapkan kedua pemerintahan: yang rohani, yang dengannya –
oleh Roh Kudus di bawah Kristus – membuat orang Kristen dan
orang saleh; dan yang sekuler, yang mengendalikan orang yang tak
Kristen dan orang jahat sedemikian bahwa mereka menjaga
keamanan lahiriah. Hukum-hukum pemerintah duniawi tidak boleh
melampaui kehidupan dan milik serta apa yang lahiriah dalam dunia.
Untuk jiwa manusia, Allah tidak mengizinkan siapa pun memerintah,
kecuali Allah sendiri. Maka, ketika pemerintah duniawi bermaksud
menyusun aturan-aturan rohani, ia melanggar batas pemerintahan
Allah, dan hanya akan salah kaprah serta merusak jiwa manusia.
(1) Hanya Allah saja, tak pernah ada makhluk lain, mempunyai
hak-hak kedaulatan atas nasib suatu bangsa, karena Allah sendiri
yang menciptakannya, memeliharanya dengan
kemahakuasaanNya, dan memerintah mereka dengan ketetapan-
ketetapan-Nya.
(2) Dalam bidang politik, dosa telah memutuskan pemerintahan
langsung Allah, dan karena itu pelaksanaan kekuasaan, untuk
tujuan pemerintahan, telah diberikan kepada manusia, sebagai
kekuatan perbaikan.
(3) Dalam bentuk mana pun kekuasaan ini mengungkapkan diri,
manusia tidak pernah mempunyai kekuasaan atas sesamanya
manusia, selain kekuasaan yang diturunkan kepadanya dari
keagungan Allah.25
202
Endnote
1
Berbeda dengan Katolik Roma, dalam doktrin jabatan gerejawi,
kependetaan di kalangan Protestan tidak bersifat character indelebilis
(melekat seumur hidup). Kependetaan terkait dengan panggilan di dalam
gereja. Ketika seseorang meninggalkan pelayanan langsung dalam gereja,
maka seharusnya kependetaannya gugur.
2
Dikutip dari suatu naskah yang dipersiapkan oleh Yayasan Oase Intim
bersama Pimpinan Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA),
Maret 2009.
3
Jim Skillen, ”Kuyper And Neocalvinist Political Questions”, dalam
http://kuyperian.blogspot.com/2004/11/kuyper-and-neocalvinist-
political.html, Irving Hexham, dan ”Christian Politics according to Abraham
Kuyper”, dalam
http://www.ucalgary.ca/~nurelweb/papers/irving/kuyperp.html.
4
Untuk perkembangan di Amerika Serikat, lih. Richard M. Daulay, Amerika
Vs Irak: Bahaya Politisasi Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
5
Indra Jaya Rajagukguk, ”Perolehan Suara Parpol Kristen dari Pemilu ke
Pemilu” dalam
http://ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/perolehan-suara-parpol-kristiani-
di-tiap-pemilu.pdf.
6
Prinsip ini sering dihubungkan dengan idealisme creative minority,
mengikuti pandangan filsafat sejarah Arnold J. Toynbee (1889-1975).
7
Martin Lukito Sinaga, ”Jalan Baru Politik Kristen di Indonesia”, dalam
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/04/03/index.html.
8
Zakaria J. Ngelow, ”Partisipasi Umat Kristen Indonesia di Bidang Politik”,
dalam http://www.oaseonline.org/artikel/ngelow-partisipasi.pdf.
9
Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 29 dst.
10
Lih. Ibid., hlm. 8-25.
11
Dari pihak teolog Kristen Indonesia, penting menyebut jasa almarhum
Dr. Th. Sumartana di bidang dialog antariman ini. Untuk perkembangan
umum dalam theologia religionum dewasa ini, lih. disertasi Keith Edward
Johnson, ”A ’Trinitarian’ Theology of Religions? An Augustinian Assessment
of Several Recent Proposals” (Duke University, 2007) dalam
http://dukespace.lib.duke.edu/dspace/bitstream/10161/190/1/D_Johnson
_Keith_a_052007.pdf; Emmanuel M. Mosoeu, ”The Uniqueness of Jesus of
Nazareth and the Future of the Human Race” (University of the Free State,
2004); Enoch Wan memberikan tabel-tabel rangkuman dan perbandingan
berbagai pandangan berbeda dalam ”Defending or Defrauding the Faith: a
203
Pradigmatic Comparison of the ’Theology of Religions’ of Hendrik Kraemer
and John Hick” (Global Mission, 2007) dalam http://www.paul-
timothy.net/pub/gm/defending_defrauding_faith_2007.pdf.
12
Lih. Liem Khiem Yang, ”Masalah Hubungan antara Gereja dan Negara
dalam Perspektif Alkitab”, dalam Robert P. Borrong et. al. (eds), Berakar di
dalam Dia & Dibangun di atas Dia: 80 tahun Prof. Dr. Latuihamallo
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 64 dst.
13
Lih. Risto Saarinen, ”Ethics in Luther’s Theology: The Three Orders”,
dalam www.ltsg.edu/ltsg-images/revartpdf/Saarinen1.pdf.
14
”The Politics of Jesus: Reviewed by Agorom Dik”, dalam
http://propheticinitiatives.blogspot.com/2009/02/politics-of-jesus-
reviewed-by-agorom.html.
15
Gerald Biesecker-Mast, ”Revolutionary Subordination as Nonviolent
Performance: Notes Toward an Exhilic Rhetoric” (May 26-28, 2004) dalam
[http://www.bluffton.edu/~mastg/Revolutionary%20Subordination%20as
%20Nonviolent%20Performance.htm]; Nathan Hobby and James Patton,
”The Politics of Jesus: Jesus Had Radical Social Ethics and So Should His
Followers: A Simplified Summary of John H. Yoder's Classic Book”, dalam
[http://www.geocities.com/savageparade/poj?200913].
16
Tan Soo Inn, ”Between Romans 13 and Revelation 13”, dalam
http://theagora.blogspot.com/2007/11/between-romans-13-and-
revelation-13.html; “The Beast (Bible)”
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Beast_(Bible).
17
”Render unto Caesar”, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Render_unto_Caesar.
18
Richard A. Horsley (ed.), Paul and Empire: Religion and Power in Roman
Imperial Society (Trinity Press International, 1997).
19
Lih. N.T. Wright, ”Paul's Gospel and Caesar's Empire”, dalam
[ttp://www.ctinquiry.org/publications/wright.htm; Jeremy Punt, ”Paul and
Postcolonial Hermeneutics: Marginality and/in Early Biblical
Interpretation”, dalam
http://www.westmont.edu/~fisk/paulandscripture/PuntPaulAndPostcoloni
al.pdf.
20
John Dart mengutip dari Richard A. Horsley, lih. John Dart, ”Jesus and
Paul Versus the Empire”, dalam http://www.religion-
online.org/showarticle.asp?title=3190.
21
Lih. Neil Elliott, ”The Anti-Imperial Message of the Cross”, dalam Horsley,
hlm. 140 dst.
204
22
”Doctrine of the Two Kingdoms”, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Doctrine_of_the_two_kingdoms.
23
Michael Dewalt, ”Calvin’s Political Theology in Other Works”, dalam
http://calvin500blog.org/2008/10/21/calvin%E2%80%99s-political-
theology-in-other-works-2.
24
Michael Dewalt, ”Calvin’s Institutes: Blueprint for Civil Government”,
dalam http://calvin500blog.org/2008/10/09/calvin%E2%80%99s-institutes-
blueprint-for-civil-government.
25
Dikutip dari Abraham Kuyper, Stone Lectures on Calvinism, hlm. 108 oleh
Jordan Huff, ”Kuyper on Calvinism and Politics”, dalam
http://sacramentalpiety.wordpress.com/2008/11/17/kuyper-on-calvinism-
and-politics/, juga David Whall, ”Calvin’s Institutes: Blueprint for Civil
Government”, dalam
http://calvin500blog.org/2008/10/09/calvin%E2%80%99s-institutes-
blueprint-for-civil-government.
26
(T)otal Depravity, (U)nconditional Election, (L)imited Atonement,
(I)rresistible Grace, (P)erseverance of the Saints.
http://en.wikipedia.org/wiki/Calvinism.
27
Abraham Kuyper, America, Francis Schaeffer, Liberty, Politics, Religion.
http://headymusings.wordpress.com/2007/12/09/the-five-points-of-
politics/
Rangkuman lain yang juga dalam lima poin ajaran Calvinis di bidang politik,
DARCL: (D)epravity as a perennial human variable to be accommodated;
(A)ccountability for leaders provided via a collegium; (R)epublicanism as
the preferred form of government; (C)onstitutionalism needed to restrain
both the rulers and the ruled; and (L)imited government, beginning with
the family, as foundational. Michael Dewalt, “Calvin’s Thought
Disseminated Through his Political Disciples”, dalam
http://calvin500blog.org/2008/10/27/calvin%E2%80%99s-thought-
disseminated-through-his-political-disciples.
28
Mengacu pada ungkapan termasyhur dari Abraham Kuyper, ”There is not
a square inch in the whole domain of human existence over which Christ,
who is sovereign over all, does not cry: ”Mine!”
205
Wacana Pluralitas dan Demokrasi
dalam Pemikiran Teologis
Kontemporer Protestanisme Indonesia
(Sebuah Telaah Kritis)
Julianus Mojau
1. Pengantar
Sebagai salah seorang mantan mahasiswa dari Emanuel Gerrit
Singgih, saya dengan senang hati menerima permintaan panitia untuk
menyumbangkan sebuah tulisan (karangan) dalam penghormatan
baginya. Seperti nyata dari judulnya, karangan ini ingin memetakan
pemikiran-pemikiran teologis kontemporer kalangan Kristen
Protestan Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan wacana
pluralitas dan demokrasi. Adapun pemetaan ini akan dilakukan
sebagai sebuah ”pemetaan-kritis” mengenai pemikiran-pemikiran
teologis kontemporer kalangan Kristen Protestan Indonesia itu.
Terkait dengan usaha ini, saya ingin memberikan tiga catatan
pengantar sebagai berikut.
Karangan ini merupakan pengembangan dari makalah saya dalam
seminar ”Mengkritisi Peran Protestantisme dalam Proses Menyejarah di
Indonesia” dalam rangka hari ulang tahun Gereja Protestan di Indonesia
(GPI) ke-400 di Ambon, 25-26 Februari 2005.
Rektor Universitas Halmahera
207
tahun 1998. Tentu saja pembatasan ini tidak menafikan
kontinuitas dengan pemikiran teologis Protestan yang ditulis
sebelumnya. Kita, misalnya, tidak mungkin menyangkal bahwa
sejumlah teolog dan pemikir Kristen Protestan yang memainkan
peranan penting sebelum tahun 1998 masih memberi sumbangan
pemikiran dan bahkan boleh dikatakan masih sangat berpengaruh
dalam periode pasca keruntuhan kekuasaan hegemonik rezim Orde
Baru itu. Sekalipun demikian, kita perlu membatasi diri dan
mengandaikan bahwa karangan-karangan teologis sebelum tahun
1998 telah menjadi pengetahuan umum di kalangan kita.
209
mengadakan Seminar Agama- Agama (SAA) secara reguler
sejak tahun 1981.5 Hal ini tidak lantas berarti bahwa sebelumnya
kalangan Kristen Protestan tidak memiliki kesadaran pluralis sama
sekali. Dari dokumen-dokumen DGI/PGI sejak awal dan bahkan jauh
sebelum DGI/PGI didirikan kalangan Kristen Protestan sulit
menyangkal kemajemukan, seperti kemajemukan budaya, bahasa,
dan agama serta ideologi sebagai ”realisme ekososial” Gereja-gereja
Protestan Indonesia. Oleh karena itu, tidak mungkin juga pemikiran-
pemikiran teologis kalangan Kristen Protestan Indonesia tidak
berinteraksi dengan realisme ekososialnya itu.6 Dokumen Pokok-
pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI hasil Sidang Raya
(SR) XI tahun 1989 di Surabaya, misalnya, mencatat kesadaran itu:
Yang menarik dari kutipan di atas ialah bahwa kesadaran pluralis itu
dihayati sebagai pewujudan politik identitas kebangsaan Negara
Pancasila. Sambil merujuk pada teks Alkitab seperti 1 Korintus 9:19-
23 dan Kolose 3:1, dokumen PTPB hasil Sidang Raya XII tahun
1994 di Jayapura secara jelas menggarisbawahi kesadaran pluralis
khas politik identitas kebangsaan NKRI itu.8 Kita juga masih
membaca kesadaran teologis pluralis ini setelah berakhirnya
kekuasaan hegemonik rezim Orde Baru. Kita, misalnya,
menyebutkan dokumen PGI mengenai ”Pesan Paskah Persekutuan
Gereja-gereja Di Indonesia Tahun 1999” dan dua Pesan Sidang
Majelis Pekerja Lengkap PGI (tahun 1998 dan 1999).9 Kalau kita
memeriksa DKG (Dokumen Keesaan Gereja) 2000, maka dokumen
itu juga mencatat hal serupa.10
210
Sebab, dalam praktiknya perbedaan agama, suku, dan ras, selalu
dilihat sebagai ancaman terhadap kehidupan kebersesamaan kita.
Apa yang dikatakan oleh Eka Darmaputera ketika mengulas subtema
SR XIII PGI di Palangkaraya tahun 2000 ”Bersama-sama
Memperkukuh Persatuan, Kesatuan dan Moralitas Bangsa,
Menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran, Memelihara
Keutuhan Ciptaan Berdasarkan Kasih dalam Memasuki Abad ke-21”
mencerminkan penilaian saya ini. Eka menulis:
212
Kalangan Kristen Protestan yakin bahwa demokrasi Pancasila
sebagaimana ditekankan oleh rezim Orde Baru dipandangnya
sebagai demokrasi alternatif yang paling prospektif. Sebab, seperti
nyata dari dokumen KGM VI tahun 1993, demokrasi Pancasila akan
mampu mengantarkan pembangunan nasional ke arah tinggal landas
tanpa harus jatuh ke dalam bahaya sikap individualistis ideologi
kapitalisme dan sikap yang menyangkal hak-hak perorangan
sebagaimana ditekankan oleh ideologi komunisme.20
213
NKRI itu; terutama sekali terkait dengan perjuangan penegakkan
”syariat Islam” di Indonesia oleh sebagian kalangan Islam politik.
Saya kira apa yang diperjuangkan oleh John A. Titaley dalam
berbagai artikelnya sangat terkait dengan masalah ini.25 A.A.
Yewangoe dalam beberapa artikelnya juga memberi kesan kuat
bahwa tanpa harus mengembel-embeli demokrasi dengan Pancasila,
namun tetap menegaskan bahwa ”tidak perlu lagi merumuskan
kembali ideologi negara NKRI” sebagaimana dikehendaki oleh
sebagian kalangan Islam politik di Indonesia. Yang penting,
demikian tegas Yewangoe, ialah ”komitmen baru” pada nilai-nilai
Pancasila yang telah diselewengkan selama Orde Lama dan Orde
Baru.26
215
kolonial dan rezim hegemonik Orde Baru dalam dua artikel
tentang pluralitas tahun 2001 mencerminkan pandangannya tentang
pentingnya arah baru wacana pluralitas di Indonesia.29 Menurut
Sumartana, untuk arah wacana pluralitas seperti ini diperlukan
pemikiran-pemikiran teologis yang melampaui pemikiran-pemikiran
teologis Karl Barth dan H. Kraemer, yang dinilainya sebagai sumber
dari sikap eksklusivisme.30 Di sini, Sumartana menawarkan perlunya
dialog dan kerja sama antaragama yang ditopang oleh pemikiran-
pemikiran teologis yang mampu memproteksi martabat manusia.
Dalam hal ini, Sumartana sangat menganjurkan perlunya memikirkan
kembali secara menyeluruh pemikiran teologis. Apa yang
diperjuangkan oleh Sumartana ialah perlunya kesadaran teologis
pluralis etis-emansipatoris. Sayang sekali apa yang pernah
dirintisnya dalam sebuah artikel teologis Kristen tahun 1997 dengan
tema ”Kristologi Liberatif” tidak dikembangkannya lebih lanjut.31
Pak Gerrit juga searah dengan Sumartana dalam hal wacana tentang
pluralitas di Indonesia. Memang Pak Gerrit tidak secara eksplisit
menggarisbawahi pentingnya kesadaran teologis pluralis etis-
emansipatoris. Namun, jika kita memperhatikan apa yang
diartikulasikan oleh Pak Gerrit sejak tahun 1998, maka kita akan
melihat di situ bahwa Pak Gerrit sebenarnya sependapat dengan
Sumartana, bahwa wacana pluralitas haruslah bertolak dari kesadaran
etis-emansipatoris berbagai kelompok dan golongan di masyarakat.
Selain itu, saya juga melihat bahwa kedua teolog/pemikir Kristen
Protestan ini selalu menempatkan wacana pluralitas sebagai bagian
dari upaya meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia.
Keduanya melihat bahwa wacana kemajemukaan agama adalah jalan
keluar yang paling arif untuk meretas kebuntuan hubungan Islam-
Kristen di Indonesia.32 Juga, Pak Gerrit – seperti halnya Sumartana
pada awal tahun 1992 – sangat menekankan kesadaran kebangsaan-
kerakyatan yang dibedakan dari kesadaran kebangsaan-elitis. Itulah
sebabnya Pak Gerrit juga sangat kritis terhadap wacana kesadaran
oikumenis di kalangan Gereja-gereja Protestan di Indonesia dan
wacana kesadaraan kebangsaan yang mengabaikan etnisitas sebagai
realisme pluralitas di Indonesia.33 Dalam kaitan dengan wacana
pluralitas itu, Pak Gerrit sangat menggarisbawahi tema teologis
”Penciptaan” dan ”Pneumatologi” sebagai sumber inspirasi
216
mengembangkan sikap sosial pluralis, tanpa harus mengabaikan
sama sekali ”Kristologi”.34
217
… gereja menjadi partisipan yang signifikan memperkuat civil
society di Indonesia sebagai prasyarat terciptanya demokrasi di
segala bidang, dan demokrasi sebagai jaminan teratasinya
kekerasan serta pencegahan terjadinya kekerasan yang tidak
perlu.37
219
Masih searah dengan Pak Gerrit dan Ngelow tadi, Martin Lukito
Sinaga pun mencoba mengartikulasikan wacana civil society sebagai
sebuah gerakan advokasi rakyat kecil yang termarginalisasi oleh
hegemoni kekuasaan negara. Maka, sambil mendukung gagasan
eklesiologi Bonhoeffer tentang ”Gereja bagi orang lain” dan Gereja
diandaikan sebagai suatu persekutuan ”terselubung” di dalam tata
kehidupan masyarakat yang pada suatu saat ia harus keluar
menampakkan tanggung jawabnya dan menegakkan kebenaran dan
keadilan serta membela kaum lemah, Sinaga menggarisbawahi agar
Gereja harus berani melawan kekerasan sosial dan pemujaan
kekuasaan, apa pun risikonya. Dalam pengertian Gereja seperti
inilah, demikian lanjut Sinaga, kita boleh berbicara mengenai ”misi”
umat Kristen di Indonesia, yaitu pengembangan masyarakat sipil
(kosakata lain dari pengembangan ”kewarganegaraan yang
bertanggung jawab” Leimena) untuk menjadikan orang-orang
Kristen sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan kreatif di
dalam masyarakat.43 Tampaknya, Sinaga cukup menyadari bahwa
gagasan eklesiologis Bonhoeffer tentang ”Gereja bagi orang lain”
tidaklah cukup menjadi dasar untuk berbicara tentang respons
Kristen terhadap wacana masyarakat sipil. Sebab, wacana
masyarakat sipil juga mengandaikan adanya otonomi subjek yang
lain itu. Apalagi wacana masyarakat sipil itu ”tidak lahir dari dalam
kandungan Gereja sendiri”, tetapi justru ”dari dalam kandungan
proses kehidupan masyarakat umumnya yang mengambil bentuk
dalam gerakan-gerakan sosial baru”. Maka, demikian Sinaga
mencatatnya, Gereja harus menemukan kembali masyarakatnya dan
ia harus tumbuh sebagai bagian organik dari masyarakat itu sendiri.
Akan tetapi, Gereja hanya akan menemukan masyarakatnya apabila
Gereja mencari inspirasi dengan apa yang berkembang sekarang
sebagai ”Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)” yang di
dalamnya civil society menjadi mekanisme utamanya.44
Apa yang mau ditegaskan oleh Pak Gerrit, Ngelow, dan Sinaga ialah
bahwa Gereja harus mengalami realitas sosial di mana masyarakat
menjadi subjek dan bersama-sama merumuskan arah-arah
transformasi sosial. Di sini ketiga teolog/pemikir ini berusaha untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis sebagai – apa yang
disebut oleh Hotman M. Siahaan – ”refleksi reproduksi kekuatan
220
rakyat” dan ”bukan refleksi reproduksi kekuasaan negara”.45
Singkatnya, mereka ingin menggarisbawahi bahwa Gereja perlu
menjadi kekuatan sosial transformatif dalam solidaritasnya dengan
masyarakat yang selalu dimarginalisasi oleh kekuasaan hegemonik
untuk mengembangkan suatu kultur penentang, budaya alternatif
yang dijiwai oleh semangat hidup bersama yang komunikatif,
dialogis, dan demokratis. Pertanyaannya adalah apakah wacana civil
society sebagai arah baru hidup berdemokrasi di Indonesia sungguh-
sungguh menggantikan wacana demokrasi Pancasila? Kalau kita
membaca dokumen PGI sebagaimana dirumuskan dalam DKG 2000
hasil SR XIII di Palangkaraya dan juga DKG hasil Sidang Raya XIV
di Bogor, tampaknya tidak ada perubahan substantif. Wacana civil
society dalam dokumen itu masih dipengaruhi oleh mentalitas politik
identitas kebangsaan NKRI yang integralistik itu.46
221
melampaui (beyond) teologi sosial pluralis non-diskriminatif
berdasarkan politik identitas kebangsaan NKRI adalah sebuah
keharusan. Pengembangan teologi sosial pluralis non-diskriminatif
yang berkarakter multikultural dan yang melampaui logika politik
identitas kebangsaan NKRI yang berwatak integralistik dapat
menjadi sumbangan kalangan Kristen Protestan Indonesia
kontemporer kepada wacana pluralitas dalam konteks Indonesia
masa kini.48 Kita juga perlu bertanya di sini apakah wacana
demokrasi dapat berkembang dengan baik dalam semangat politik
identitas kebangsaan NKRI ala Batang Tubuh UUD 1945?
Ketiga, kelihatannya apa yang digagas oleh Pak Gerrit, Ngelow, dan
Sinaga serta sejumlah teolog Protestan lainnya tentang wacana civil
society sebagai penguatan proses demokratisasi di Indonesia adalah
sebuah langkah yang menjanjikan. Pertanyaan ialah apakah mereka
cukup menyadari bahwa menggagas wacana civil society sebagai
penguatan proses demokratisasi di mana kedaulatan rakyat dalam
masyarakat majemuk bisa berjalan baik ”tanpa mendekonstruksi
mentalitas politik identitas kebangsaan NKRI yang integralistik” itu?
Pertanyaan ini perlu direnungkan lebih jauh oleh kalangan Kristen
Protestan Indonesia yang memiliki warisan tradisi teologis cukup
kritis terhadap segala bentuk deifikasi, termasuk kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan itu sendiri! Saya kira apa yang
digarisbawahi oleh Pak Gerrit ketika membahas lima sikap Kristen
terhadap kebudayaan ala Richard Niebuhr, Pak Gerrit dalam
kerangka penghargaan terhadap HAM, mengingatkan kita agar
memberi tempat kepada aspirasi-aspirasi daerah di Indonesia Timur
(dan daerah lain?—pen.).50 Apakah di sini Pak Gerrit juga ingin
mempertimbangkan historiografi Indonesia yang lebih menghargai
daerah-daerah itu untuk tampil dengan segala dinamika
kesejarahannya dan identitas kebangsaannya yang selama ini tidak
berjalan karena adanya politik identitas kebangsaan NKRI yang
hegemonik oleh pihak pemerintah pusat? Saya berpendapat bahwa
kalangan Kristen Protestan Indonesia yang memiliki ”tradisi
teologis-kritis dan emansipatoris” yang menjunjung tinggi semangat
demokratis sebagaimana nyata dalam ajaran Protestan tentang
”Imamat Am Orang Percaya” perlu dikembangkan lebih lanjut. Saya
kira ajaran ini dapat menyumbangkan aspek penting pada wacana
demokrasi di Indonesia. Sayang sekali ajaran ini belum begitu
dikembangkan sebagai dasar teologi sosial transformatif yang
223
mampu mendorong proses emansipasi rakyat dalam
keseluruhan proses demokratisasi menuju civil society yang kuat!
Endnote
1
Bnd. Julianus Mojau, ”Teologi Sosial Kristen Protestan Selama Orde Baru
(Sekitar Tahun 1970-1990-an) - Telaah Kritis dalam Hubungannya dengan
Islam Indonesia” (Yogyakarta: SEAGST/UKDW, Disertasi, 2004), h. 30-159.
Juga Julianus Mojau, ”Model-model Teologi Sosial Kristen Protestan sekitar
1970-1990-an: Sebuah Sketsa Umum yang Bersifat Kritis”, dalam Jurnal
Teologi Proklamasi, Edisi No. 3/Th.2/Februari 2003, h. 9-17.
2
Tentu saja kategori ini tidak lagi memadai karena sekarang ini
keanggotaan PGI sudah lintas denominasi, termasuk kalangan Protestan
yang dulu disebut bukan arus utama (seperti Pentakosta).
3
Lih. ”Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad
XX: Panggilan Kita dalam Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila”.
Laporan Nasional Gereja dan Masyarakat IV, Bali 24-25 Agustus 1984
(Jakarta: DGI, 1984), h. 75-80.
4
Lih. E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h.154.
5
Sejarah singkat lembaga ini dan kegiatan SAA dapat dilihat dalam Jan S.
Aritonang dkk., Gereja di Abad 21 - Konsiliasi untuk Keadilan, Perdamaian
dan Keutuhan Ciptaan. Buku Peringatan 50 tahun PGI (Jakarta: Balitbang
PGI, 2000), h. 185-197.
6
Studi Alle Hoekema cukup memperlihatkan hal itu. Lih. Alle Hoekema,
Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi
Protestan Nasional di Indonesia (sekitar 1860-1960) (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997).
7
Memasuki Masa Depan Bersama - Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja
di Indonesia: Keputusan Sidang Raya X DGI, 21-31 Oktober 1984, Karang
Panjang, Ambon, Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia – bekerja sama
dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 1986), h. 33-34. Tulis
miring dari penulis.
224
8
Lih. Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (LDKG – PGI) : Keputusan Sidang Raya XII PGI, Jayapura, 21-30
Oktober 1994 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 41.
9
Lih. Weinata Sairin (ed.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan:
Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h.
400-407 dan Weinata Sairin (ed.), Pesan-pesan Kenabian di Pusaran
Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial
Kemasyarakatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. 318-326.
10
Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000 (Jakarta: PGI, 2001), h. 63
(butir 2).
11
Julianus Mojau, “Teologi Politik Diskriminatif”, h. 6.
12
Eka Darmaputera, ”Bersama-sama Memperkukuh Persatuan, Kesatuan
dan Moralitas Bangsa, Menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran,
Memelihara Keutuhan Ciptaan Berdasarkan Kasih dalam Memasuki Abad
ke-21”, dalam Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup. Bahan Pemahaman
Alkitab dan Pekan Doa Menyongsong SR XIII PGI, Maret 2000 Palangkaraya
- Kalimantan Tengah (Jakarta: PGI, tt), h.21.
13
Lih. Pesan Konsultasi Nasional Gereja dan Politik – PGI, Akademi
Leimena, dan PARKINDO, Pondok Remaja PGI Cipayung, 18-22 Agustus
2003. Dimuat dalam Dari Palangkaraya ke Jakarta: Perjalanan Pelayanan
PGI 2000-2004 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 252-253.
14
Lih. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 27 (butir 3).
15
Lih. artikel-artikelnya yang dihimpun dalam antologinya berjudul: Iman,
Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002).
16
Lih. artikel-artikelnya dalam antologinya berjudul Di dalam Dunia, Tetapi
Bukan dari Dunia: Pemikiran Teologis tentang Pergumulan Gereja dalam
Masyarakat Indonesia yang Majemuk (Jakarta/Salatiga: BPK Gunung
Mulia/Satya Wacana University Press, 2004). Sayang sekali antologi ini
tidak memberi keterangan sumber asli karangan-karangan yang
dimuatnya. Akan tetapi, saya yakin bahwa sebagian besar karangan ini
ditulis sekitar tahun 1990-an.
17
Lih. John A. Titaley, ”Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Teologi di Universitas Kristen Satya
Wacana (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2001).
18
Lih. Mojau, Teologi Sosial Kristen Protestan Indonesia selama Orde Baru,
h. 30-159.
225
19
Alex Litaay dkk. (eds.), Visi Baru untuk Era Baru dengan Generasi Baru.
Laporan Nasional Gereja dan Masyarakat V, Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia, 18-22 April 1989, di Wisma Kinasih,
Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1989), h. 19-20. Tulis miring
penekanan dari penulis.
20
Bnd. F. Ukur dkk. (eds.), Membangun Masyarakat Pancasila yang
Bersatu, Adil, Berdaulat, dan Beradab. Laporan Konperensi Gereja dan
Masyarakat VI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di
Pusat Konferensi Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor (Jakarta: Akademi
Leimena, 1994), h. 67-79; 175-178.
21
Litaay dkk. (eds.), Visi Baru untuk Era Baru dengan Generasi Baru, h.52.
22
Lih. Ukur dkk. (eds.), Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu,
Adil, Berdaulat, dan Beradab, h. 176.
23
Lih. dokumen ”Panggilan dan Tanggung Jawab Memasuki Masa Depan
Bersama - Refleksi Umat Kristen Indonesia dalam Rangka Merayakan
Paskah dan Menyongsong Pemilihan Umum 1997”. Dimuat dalam Sairin
(peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan, h. 400-419.
24
Sebagaimana dikutip dalam Aritonang dkk., Gereja Di Abad 21, h. 311-
312. Sekalipun dengan formulasi yang lebih dipengaruhi oleh wacana civil
society, keyakinan kokoh ini masih kita baca dalam Dokumen Keesaan
Gereja (DKG) 2000 hasil SR XIII di Palangkaraya. Lih. Dokumen Keesaan
Gereja (DKG) 2000, h. 48-64.
25
Lih. artikelnya ”Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia”, dalam
Setia, No.1/Tahun 1999, h.3-26 dan ”Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam
di Indonesia dan Konsekuensinya bagi Kelanjutan Kehidupan Berbangsa”,
dalam John Titaley dkk. (eds.), Gagasan Pemberlakuan Syariat Islam:
Urgensi dan Konsekuensinya (Jakarta: Komunitas NISITA, 2003), h. 49-58.
26
Lih. artikelnya “PGI di Tengah-Tengah Arus Reformasi dan Perumusan
Kembali Ideologi Negara”, makalah yang disampaikan pada Konsultasi
PERSETIA ”PGI Memasuki Abad XXI”, 25 Oktober 1999 di Yogyakarta.
Dimuat dalam Setia, No.1/Tahun 2000, h. 1-13 dan ”Demokrasi Indonesia”.
Makalah pada Seminar Indonesian Calvin Society, Jakarta, 4-11 Juli 2000,
15 h. Dengan cara memahami secara berbeda, kalangan Kristen Indonesia,
baik Protestan arus utama dan bukan arus utama maupun Katolik tetap
berpendirian bahwa ”Syariat Islam” tidak dapat menggantikan Pancasila.
Lih. karangan-karangan, seperti Zakaria J. Ngelow, Suharyo, Yakub B.
Susabda, Nico Gara, dan Yosua K. Bili yang dalam Gagasan Pemberlakuan
Syariat Islam: Urgensi dan Konsekuensinya, h. 171-212. Mereka umumnya,
226
dengan asumsi dasar NKRI adalah bentuk negara kebangsaan yang final,
berpendapat bahwa Pancasila memiliki nilai-nilai universal non-
diskriminatif.
27
Bnd. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2000, h. 63.
28
Dimuat dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama
di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 19.
29
Lih. artikelnya ”Pluralisme Agama di tengah Krisis Orde Baru”, dalam Th.
Sumartana dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia
(Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2001), h. 89-97) dan ”Dari Konfrontai
ke Dialog (Beberapa Aspek Landasan Historis-Theologis Hubungan Antar-
Etnis dan Agama di Indonesia)”, dalam ibid., h. 99-105.
30
Lih. artikelnya yang dimuat dalam catatan kaki nomor 29 di atas, h. 28-
30.
31
Lih. Th. Sumartana, ”Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong
Dialog Kristen-Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Penuntun, Vol. 4, No. 13,
1997/1998, h. 31-44.
32
Lih. artikelnya ”Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang
Bersifat Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi
Agama-Agama di Indonesia, h. 100-121 dan juga bukunya Iman dan Politik
dalam Era Reformasi di Indonesia, h. 153-177.
33
Lih. artikelnya ”Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di
Indonesia pada Awal Abad ke-21”, dalam Emanuel Gerrit Singgih,
Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium
III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h.124-157.
34
Mengantisipasi Masa Depan, h. 305-313; bnd. Iman dan Politik., h. 174-
177.
35
Lih. J. Garang (ed.), Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup. Laporan
Konferensi Gereja dan Masyarakat VII PGI, 29 September s/d 4 Oktober
1998, di Pusat Konferensi Kilang Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor
(Jakarta: Akademi Leimena, 1999).
36
A.A. Yewangoe, “Gereja-gereja Menyongsong SR XIV PGI”, dalam Harian
Suara Pembaruan, 26 November 2004.
37
Dokumen Keesaan Gereja 2000, h. 92.
38
Singgih, Iman dan Politik, h. 54-55.
39
Ibid., h. 51.
40
Ibid., h. 36. Cetak miring adalah penekanan dari penulis.
41
Zakaria J. Ngelow, ”Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia”, dalam
Setia, No.1/Tahun 1999, h. 35-36. Untuk alasan inilah Ngelow menolak
227
politik Kristen model Yusuf-Daniel dan lebih memilih politik model Musa-
Elia. Lih. artikelnya yang disampaikan pada Konsultasi Gereja dan Politik
yang diselenggarakan oleh PGI, Agustus 2003. Dimuat dalam Gomar
Gultom (ed.), Menggapai Gereja Inklusif. Bunga Rampai Penghargaan atas
Pengabdian Pdt. Dr. JR. Hutauruk (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), h.
173-190.
42
”Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia”, dalam Setia: Jurnal
Teologi Persetia, No.1/Tahun 1999, h. 37-39.
43
Martin Lukito Sinaga, ”Membangun Suatu Masyarakat Sipil Indonesia:
Belajar dari Abdurrahman Wahid dan Dietrich Bonhoeffer", dalam
Penuntun, Vol. 4, No. 13, 1997/1998, h. 67-72 (69-71).
44
Martin L. Sinaga, ”Civil Society dan Masyarakat Madani: Tantangan bagi
Teologi Sosial Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Penuntun, Vol. 5, No. 17,
2000, h. 64.
45
Lih. Hotman M. Siahaan, ”Institusi Gereja dan Pemberdayaan
Masyarakat Warga”, dalam Sairin (peny.), Visi Gereja Memasuki Milenium
Baru, h. 33-37.
46
Lih. Dokumen Keesaan Gereja 2000, h. h. 47 (butir 8.2) dan h. 51 (butir
5).
47
Mojau, Teologi Sosial Kristen Protestan., h. 121-122.
48
Bnd. Julianus Mojau, ”Politik Allah, Politik Pemberdayaan - Menggagas
Beberapa Agenda Teologi Politik Kontekstual dalam Konteks Pembangunan
Daerah Maluku Utara”. Orasi pada Acara Dies Natalis STT GMIH Tobelo ke-
37, tanggal 28 Januari 2005, di Kampus STT GMIH Tobelo - Desa Wari
Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara; h. 6-7; 11-13.
49
Lih. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, h. 167-174.
50
Bnd. Singgih, Iman dan Politik, h. 71-72.
228
Bagian V
TEOLOGI ESTETIKA
Volker Kuester
Mgr. L. Suharyo
Paulus S. Widjaja
“Only Literature Can Perform The
Miracle of Reconciliation“
Aesthetic Agency in Post Conflict
Situations in Korea and Germany
Prof. Dr. Volker Küster
232
In his novel „The Guest“14 Hwang describes the massacres among
North Korean civilians due to the conflicts between Christians and
communists in the commotion of the Korean war (1950-53). He also
focuses on the fate of two brothers, both Christians, who have been
haunted by the ghosts of the past all their lives. The novel is
composed in the form of a shamanist ritual (Chinogwi-kut)
comprising twelve parts, that is supposed to guide the souls of the
deceased safely into the hereafter. The author himself writes:
I hope that this kind of personal kut, can contribute to heal the scars
of war that are still visible on the Korean peninsula, 15 the ghosts of
cold war find rest and a new century of reconciliation and
cooperation may begin.16
The younger one of the two brothers Ryu Yosop goes on a trip to his
home country in his old days. Shortly before his departure his brother
Yohan dies. As a ghost he accompanies him on his journey into the
past. Gradually the events are reconstructed in all their brutality. Not
only the two brothers but also their relatives left behind and the
ghosts of the victims raise their voices. When Yosop visits an uncle,
from his mother’s side, Ahn Song-Man, called Some, it comes to a
catharsis in a big witching hour.
The other spirits also got up from their places along the wall without
any sound and began to disappear in the darkness, pending like cloth
widths in the wind. From afar a voice said: The killers and the killed,
they all come together again in the other world.
Then it was Yohan, who said to his brother: ‚Finally I am at
home, and finally I can get rid of all the hate and anger, that has been
in me for so long, and I don’t have to stray around in dark foreign
territory. Take care, you two.‛
All the ghosts had left. Silence prevailed. Gradually the
darkness disappeared, outside the window the silhouettes of the
mountains emerged in front of the brightening sky. Nobody was in
the room besides Yosop and his uncle.
Uncle Some said: ‚Those, who had to leave, have gone, now
those who are still here have to start anew to live. We have to clean
this maculated country from its dirt, don’t you think so?‘
Yosop folded his hands and started to recite by heart a passage
from the bible [Koh 3,8-11].17
233
Besides the division of the country (1945), that resulted in a
devastating civil war (1950-53) and the preceding Japanese
colonialism (1905/10-45) the period of the military dictatorship in
the South (1961-88) and the still prevailing communist dictatorship
in the North is the third traumatic experience of the Korean people,
that waits to be coped with.
I draw forth one of the paintings and put it on the empty easel. Two
faces were depicted on the picture – one big, the other small. The left
one was mine. On the picture I was wearing a blue-white checkered,
short-sleeved shirt. It was my last summer in freedom. In those days
234
everybody was wearing long hair. My hair was also covering the
collar. Around the eyes a dark shadow was drawn; the cavernous
cheeks seemed to express my suffering. The background was painted
in a dark red basic tint, the China blue painted at right angle,
emphasized the sad mood even more. The lattice window pasted
with paper next to my face was covered with grey color by Yunhi
and then – that’s how she described it in her letter to me – she has
drawn her own portrait upon it. Only now I saw the face of her last
years. She has painted over it several times with crude and broad
strokes. Her hair was partly grey and the eyes were only painted in
black, so that one could hardly detect the expression behind them.
The cheeks themselves were painted over with different colors. She
was no young woman anymore. Still her peculiar smile, that one
could hardly asses, was clearly recognizable on the fine contours of
her lips. She looked at me quiescently with this smile, that I loved so
much. A young man, thirty two years of age and a woman in her
forties were looking at me (76f).
Through Yunhi’s notes Hyunuh also gets to know about their
daughter, who was raised by her sister. Besides the hut in Galmoe
she is the only connection that lasted between the two lovers: „While
I was convinced, that nothing remained of her, Yunhi has in fact left
this child behind“ (173). The end of the book leaves open, whether
the father succeeds in establishing a lasting relationship with his in
the meantime 17 years old daughter. From Galmoe he seems in any
case to have already taken his leave, with a last look at the painting.
235
young, passionate I had chosen – and that she should see over my
shoulder only much later with her own eyes (238f)?
In his novel „The friend and the stranger“19 Uwe Timm also deals
with his experience of the student movement, when he recalls his
friendship with Benno Ohnesorg, who was killed by policeman Karl-
Heinz Kurras during the demonstrations against the state visit of the
shah of Persia Reza Pachlevi 20 in 1967. His death triggered in a
certain sense the German student movement21 that turned against the
ongoing western imperialism in the third world as well as the
repression of the German Nazi past. Timm had lost contact with the
friend of his youth many years before. He hears about his death
through the radio while he is studying in Paris. It cost the writer
decennia until he was able to compose this requiem on the fellow of
the long gone days of his youth. Again the image of a man and a
woman – this time a photo – has a central function for remembering
the past.
Adam Small seems to pave the way for artists and theologians to
enter into a fruitful dialogue for both sides. This allows an interstitial
or Third Space to open up, in which one can negotiate between art
and theology.26 Theological and religious language can then serve to
illumine secular circumstances, similar the secular language of art
can contain theological content. In this process artists can become in
a sense theologians and theologians become artists.
238
Endnote
1
Small, who was closely associated with the Black Consciousness
Movement, is the most prolific representative of the coloreds of the South
African Cape Province.
2
Quoted in Antjie Krog, Country of my Skull, London 1999, 26.
3
Cf. Made in Germany. Kurzführer / Short Guide, Hannover 2007, 98. For a
more extensive treatment cf. Volker Küster, Gott/Terror. Ein Diptychon,
Frankfurt a.M. 2009.
4
Cf. John W. de Gruchy, Reconciliation. Restoring Justice, Minneapolis
2002.
5 6
Cf. his early roman a clef Uwe Timm, Heißer Sommer, München 2007
6
*1974+ and it’s ironic reverberation in Uwe Timm, Rot, München 2006
[2001].
6
Cf. Uwe Timm, Morenga, München 1978.
7 3
Uwe Timm, Am Beispiel meines Bruders, München 2005 , 87f.
8
Timm, Am Beispiel, 130; Martin Hielscher, Uwe Timm, München 2007
talks about “the Prussian German nationalistic and conservative middle-
class values of the father” (cf. ibid., 29).
9
Timm, Am Beispiel, 129.
10
Hielscher, Timm 177 compares the composition of the book with a fugue.
Four times the death of a family member is described, father, mother and
the two older siblings, brother and sister.
11
Timm, Am Beispiel, 147f.
12
“Only if something is articulated, resistance can emerge” (ibid., 129).
13
Hwang Sok-Yong, Die Geschichte des Herrn Han, München 2005 [Kor.
1972].
14
Hwang Sok-Yong, Der Gast, München 2007.
15
Theologically a similar language game can be found in Dietrich
Bonhoeffer, Ethik, Munich 1992, 125-136 esp. 133-136. For Bonhoeffer
justification can only take place within the church “for the nations there is
only the scarification of guilt and the return to order, law and peace.” Cf.
Magdalene L. Frettlöh, “Der Mensch heißt Mensch, weil er ... vergibt”?
Philosophisch-politische und anthropologische Vergebungsdiskurse im
Licht der fünften Vaterunserbitte, in: “Wie? Auch wir vergeben unseren
Schuldigern?” Jabboq 5, ed. by Jürgen Ebach et. al., Gütersloh 2004, 179-
215, 186.
16
Hwang, Nachwort [Postscript], in: Der Gast, 294-297, 297.
17
Hwang, Der Gast, 285.
239
18
Hwang Sok-Yong, Der ferne Garten, München 2005; page references in
the text.
19
Uwe Timm, Der Freund und der Fremde, Köln 2005.
20
Mohammed Reza Pahlavi who came to power in 1941 after his father
had resigned established a pro-western anti-communist regime, what
guaranteed him the support of the US. Cf. Bahmãn Nirumand, Persien,
Modell eines Entwicklungslandes oder Die Diktatur der Freien Welt,
Hamburg 1967, a popular book in the student movement that was also
found in the bequest of Benno Ohnesorg.
21
The self-immolation of worker Chun Tae-Il (1971) protesting against the
inhuman working conditions in the textile industry had a similar function
for the South Korean student movement.
22
Timm, Der Freund, 117f.
23
Ibid., 113.
24
Johann Baptist Metz, Memoria Passionis. Ein provozierendes Gedächtnis
in pluralistischer Gesellschaft, Freiburg i.Br. 2006, 57.
25
Cf. ibid., 18f., 105 und 138.
26
Cf. Volker Küster, Who, with whom, about what? Exploring the
Landscape of Inter-religious Dialogue, in: Exchange 33, 2004, 73-92.
240
Gereja Maria Assumpta Klaten:
Sebuah Usaha Kontekstualisasi
Mgr. Ignatius Suharyo
Pengantar
Dalam buku berjudul Dari Israel ke Asia yang diterbitkan oleh BPK
Gunung Mulia pada tahun 1982, E.G. Singgih antara lain menulis,
”Akhirnya orang akan tahu bahwa bentuk arsitektur suatu bangunan,
apalagi yang berupa sebuah bangunan peribadatan, adalah hasil
pemikiran yang dalam …. Artinya orang tidak akan begitu saja
mengganti model ’gereja ayam’ dengan misalnya gereja berbentuk
pendopo, tanpa mendalami seluk-beluk pemahaman di belakang
kedua model itu.”
Selain itu, lokasi gereja tidak luas dan dapat dikatakan memang
terjepit di dalam kampung, bahkan dengan lorong kampung yang
berbelok antara gereja lama dan SD Kanisius. Ide paguyuban yang
Sekarang adalah Uskup Agung Jakarta
241
tidak sombong, tetapi berjiwa rendah hati, pelayan, punokawan bagi
rakyat Indonesia, tampak dari bagian muka gereja baru (yang
menghadap ke jalan raya) yang sengaja dibuat tidak menonjol.
Sebetulnya, Gereja Maria Assumpta ini tidak mempunyai sisi muka
atau sisi belakang. Gereja memperlihatkan wajahnya ke segala arah.
Sesuai dengan panggilan arahnya, gereja ini menghadap baik ke jalan
raya, ke lapangan SD, ke kampung, maupun ke pastoran: menghadap
ke diri gereja intern sendiri (pastoran), ke masyarakat luas yang
dinamis (jalan raya), teristimewa ke anak-anak dan generasi muda
penerus (SD Kanisius) dan ke tetangga lingkungan (selatan ke
kampung). Kesan dari jalan raya tidak triumphant, provokatif, tetapi
penuh rasa rendah hati selaku punokawan atau lebih relevan sebagai
Bunda Maria yang menghadap ke segala putra-putrinya di semua
kiblat papat, menawarkan kasih sayangnya dengan segala
kesederhanaannya yang manis. Oleh karena itu, bentuk dan susunan
dasar seluruh arsitektur gereja ini tidak jantan bergaya hebat terhadap
masyarakat, tetapi bersifat dan bersuasana feminin, penuh keibuan.
242
disimbolkan oleh balai tidur Sang Dewi dan senthong mempelai baru
di sampingnya tempat pembuahan pertama pengantin baru sebagai
partisipasi dalam misteri kesuburan mistik adikodrati menurut
kepercayaan Jawa. Dalam dalem disimpan juga panenan pertama
sebagai persembahan, juga harta pusaka keluarga. Maka, di dalam
dalem ini pun upacara-upacara suci diadakan, seperti pernikahan,
atau sujud berdoa, meditasi. Infrastruktur Jawa tersebut sangat
berharga dan sangat pantas ”dibaptis” sebagai dasar struktur liturgis
bangunan gereja.
Oleh karena itu, dari seluruh struktur dan bentuk dasar makro
tampaklah bahwa bangunan Gereja Maria Assumpta terbagi dalam
dua bagian pokok. Pertama, bagian yang melambangkan Rumah
Tuhan (dalem), ialah bangsal besar yang tergelar di bawah soko-soko
guru. Kedua, rumah manusia, yakni bangsal yang beratap lebih
243
rendah di sebelah utara, yang dibatasi oleh talang tengah dan soko-
soko pendukungnya dari bagian dalem. Ruang yang lebih rendah
atapnya ini dimaksudkan juga untuk misalnya pengajaran agama,
instruksi atau pembinaan rohani, latihan koor, rapat Dewan Paroki
dan sidang-sidang perhimpunan-perhimpunan yang bersangkut paut
dengan hidup kegerejaan, atau keperluan-keperluan lain.
Siti Hinggil
Konsekuen bertolak dari konsepsi Jawa mengenai rumah sebagai
kampung halaman, maka lantai gereja dibuat tidak dengan bahan
tegel yang mengilap (simbol istana), tetapi dengan batu-batu beton
kasar seperti blok-blok beton halaman, karena tempat pertemuan
Tuhan dan manusia dalam tradisi Alkitab hampir tidak pernah terjadi
dalam istana, tetapi di alam terbuka (siti = tanah, hinggil = tinggi).
Bapa Abraham, Yakub, Musa, Daud, Khotbah di Bukit, peristiwa
Gunung Tabor, Golgota, kenaikan Yesus ke surga, semua bertempat
244
pada siti yang berkat kehadiran Tuhan bermartabat hinggil. Memang
gereja dalam penghayatan pasca Vatikan II bukan istana, melainkan
lokasi rakyat, paguyuban, khususnya demi si dina lembah miskin.
Bangunan gereja Klaten pada dasarnya hanyalah payung.
Struktur dasar gereja yang berilham pada budaya Jawa sangat sejajar
dengan budaya Israel yang dapat kita lihat dalam Alkitab. Bait Allah
di Yerusalem dibangun juga pada suatu siti hinggil. Halaman paling
luas sebetulnya masih semacam alun-alun, di mana sembarang orang
asing pun boleh lalu lalang karena itu disebut halaman ”kaum kafir”.
Hanya umat Israel diizinkan melewati pintu gerbang utama masuk ke
halaman dalam dari Bait Yerusalem. Namun, tetaplah orang tidak
langsung masuk ke dalam Pedaleman Suci (= Bait Allah), tetapi ke
dalam suatu halaman, pelataran lain lagi, yang disebut ”halaman
kaum perempuan”, karena dulu kaum perempuan hanya boleh hadir
sampai di sini, tidak boleh masuk ke dalam wilayah Bait Suci. Bait
Suci sendiri dengan pelatarannya terdiri dari yang disebut Yang Suci
dan Yang Mahasuci. Hanya para imam yang boleh masuk ke dalam
Yang Mahasuci.
Bila kita masuk dari jalan besar ke wilayah Gereja Maria Assumpta,
orang juga masuk dulu ke dalam suatu halaman muka yang tidak
akan disebut secara diskriminatif sebagai halamam kaum kafir, tetapi
mungkin halaman Adam. Baru di depan pastoran kita masuk lewat
pintu gerbang utama yang mungkin dapat disebut secara alkitabiah
sebagai gerbang Abraham ke dalam suatu pelataran dalam yang jelas
tidak akan kita sebut halaman kaum perempuan karena kita hidup
dalam alam Perjanjian Baru. Barangkali ada maknanya disebut
dengan ”Halaman Miryam” yang menjadi ibu Israel Baru, yakni
Gereja. Maka, cocoklah apabila tempat ini dipakai untuk
menghormati Bunda Maria.
245
belakang juga ke dalam dalem. Namun, paling tidak ada satu bagian
yang mengandung makna khusus dan sebetulnya suatu jenis katekese
juga dalam bentuk arsitektur tentang sejarah keselamatan.
Tiap soko guru terdiri atas tiga tiang yang menyadarkan kita kembali
kepada Tritunggal Kudus yang menopang seluruh alam semesta.
Atap besar yang ditopang oleh dua soko guru tersebut selaku
konstruksi tidak mempunyai kuda-kuda, tetapi berprinsip konstruksi
tenda, yang ingin mengingatkan kita kepada tenda penyimpan batu-
batu perjanjian antara Tuhan dengan Israel di Sinai yang diarak
selama bangsa Israel mengembara di padang gurun, sampai akhirnya
diletakkan dalam Bait Yerusalem yang dibangun oleh Raja Salomo,
disimpan dalam bagian yang disebut ”tabernakel”, artinya tenda.
246
Tabernakel
Yang sekarang kita sebut dengan tabernakel mengacu pada
tabernakel Israel tersebut, namun dalam konteks Perjanjian Baru,
menyimpan roti Ekaristi yang sudah dikonsekrasi untuk pada
waktunya dibagikan kepada yang sakit, yang tidak dapat hadir dalam
Ekaristi, atau demi keperluan-keperluan lain di luar ibadat Ekaristi.
Luwangan ini juga khas Klaten atau Jawa Tengah bagian selatan.
Dulu orang-orang Jawa, tidak terkecuali orang-orang Katolik
pertama di daerah Klaten, suka bertapa-brata. Untuk itu, sering
mereka bepantang dan berpuasa di dalam suatu luwangan atau
lubang di tanah yang mereka gali di dalam rumah. Di situ mereka
bertapa-brata untuk waktu tertentu. Ide luwangan tersebut
diinkulturasikan ke dalam gereja Klaten ini; dan memang di dalam
luwangan di mana tabernakel ditempatkan, para umat Klaten sering
berdoa, bernovena atau bermeditasi secara pribadi atau berkelompok
di hadapan tabernakel.
247
Ruang Rekonsiliasi
Tapa-brata dalam konsep Katolik tidak bermaksud mencari harta,
kekuasaan, atau kenikmatan, tetapi untuk mengikis segala dosa dan
noda manusia berkat rahmat Tuhan. Maka, sudah tepat jugalah
apabila di dekat luwangan tersebut ruang-ruang rekonsiliasi atau
ruang-ruang perukunan kembali (= pengakuan dosa) ditempatkan.
Oleh karena itu, dalam rancangan asli Gereja Maria Assumpta, ruang
rekonsiliasi ditata sebagai ruang bicara biasa dengan meja bertaplak
meriah, bahkan dengan bejana bunga agar tampak suasana gembira.
Di situ baik umat maupun imamnya menghayati rahmat Allah yang
Maha Pengampun dan Mahabaik. Bagi orang Kristen, Allah bukan
polisi yang seram kejam menuntut denda belaka, melainkan Bapa
Maha Penyayang. Peristiwa sakramen perukunan kembali dan begitu
juga suasana arsitektur kamar rekonsiliasi adalah peristiwa
membahagiakan yang merupakan bagian penting dari Injil, yaitu
warta gembira.
Altar
Pusat perayaan Ekaristi, terutama bagian kedua, adalah altar. Di
sekitar altar umat berkumpul untuk memperingati wafat Kristus,
memuliakan kebangkitan-Nya, dan bersama-sama menantikan
kedatangan-Nya kembali. Di panti imam ada tiga kursi bagi uskup,
imam, dan diakon tertahbis, serta mengitari altar di sisi barang ada
bangku setengah melengkung yang dimaksudkan untuk para pemuka
umat. Dalam liturgi yang baik semestinya para pemuka umat pun
terintegrasi aktif ke dalam peristiwa Ekaristi. Pada bangku inilah
mereka duduk selaku wakil formal dari umat, khususnya pada
upacara Kamis Putih, ketika 12 wakil umat yang melambangkan para
rasul dicuci kakinya, mengikuti teladan Yesus.
248
Altar Gereja Maria Assumpta ini dibuat dari segala macam potongan
kayu bahan bangunan gereja yang tersisa dan tercecer. Sisa-sisa
bahan ini dihimpun menjadi altar yang berbentuk seni,
melambangkan tumpukan kayu, tempat Bapa Abraham
menempatkan putra tersayang Ishak untuk dikorbankan, seperti yang
diperintahkan oleh Yahwe.
Langenswara
Dalam gereja-gereja yang lama ada yang disebut koor, tempat para
penyanyi yang terlatih mementaskan lagu-lagu kegerejaan. Dalam
penghayatan liturgi pasca Konsili Vatikan II, dengan definisi Gereja
sebagai umat Allah yang mengembara, fungsi koor sudah tidak
utama lagi. Hendaklah selalu diingat, bahwa menyanyi dalam gereja
bukanlah pementasan seni suara, tetapi suatu pernyataan penuh cipta-
rasa-karsa manusiawi dari dan oleh seluruh umat untuk memuji
Tuhan serta alam ciptaaan-Nya.
249
dapat diletakkan. Dalam bagian gereja ini latihan-latihan koor dapat
diadakan tanpa mengganggu kesakralan gereja bagian dalam. Segala
yang tidak bersifat keramat, dalam rumah Jawa pun tidak dilakukan
dalam dalem, tetapi dalam pendhopo. Ini soal kebudayaan, jadi
sangat menyangkut perasaan dan intuisi. Sebetulnya, koor apalagi
gamelan terdengar lebih merdu bila suaranya datang agak jauh,
sayup-sayup. Di dalam istana Jawa pun gamelan diletakkan agak di
belakang, atau di tempat yang tidak terlalu mencolok.
Akhir Kata
Bangunan gereja barulah hidup apabila sebagian besar dari 24 jam
sehari dipakai dan dihadiri oleh umat, khususnya oleh anak-anak dan
generasi muda. Gereja sudah berjasa dengan tepat apabila hanya
berfungsi liturgis satu kali dalam seminggu. Namun, alangkah
baiknya apabila banyak kegiatan di luar ibadat dapat
menyemarakkan gereja. Latihan koor, persekutuan doa, sidang serta
perbincangan serius atau bahkan gelak tawa remaja pun dapat
membuat bangunan gereja hidup dan membuat kerasan serta
250
membahagiakan, karena mampu menjadi wahana aktivitas dan
energi-energi penuh vitalitas dari semua umat Allah.
251
Dead Poets Society, Proyek Peradaban
dan Pencarian Diri
Paulus S. Widjaja
Ketua Program Pasca Sarjana Teologi dan Dosen Etika di Fakultas
Theologia, UKDW, Yogyakarta. Ketua Sinode GKMI.
253
mengaitkan teologi dan seni. Tapi inilah sebuah upaya, betapapun
terbatasnya, untuk mengingatkan kita semua bahwa teologi dan seni
memang sungguh sangat terkait satu dengan yang lain. Teologi
bukanlah sesuatu yang hanya bisa dipelajari dan digumuli melalui
kegiatan-kegiatan seperti menafsir Alkitab, membaca buku-buku
teologi, diskusi atau seminar ilmiah, dan sejenisnya, tapi juga dengan
menikmati lukisan-lukisan dan foto-foto indah, termasuk dengan
menonton film di bioskop atau TV.
Berangkat dari kesadaran itulah maka dalam tulisan ini akan diulas
film Dead Poets Society (selanjutnya disebut DPS), sebuah
mahakarya1 besutan sutradara Peter Weir dan dibintangi oleh aktor
serba bisa Robin Williams. DPS ditayangkan pertama kali pada
tahun 1989. Mengambil setting tahun 1959, film ini mengisahkan
tentang konflik yang terjadi di antara dua proyek (upaya pencarian)
peradaban di sebuah sekolah konservatif-aristokratik, Welton
Academy, yang terletak di Vermont, Amerika Serikat. Proyek
peradaban jenis pertama diwakili oleh para pimpinan sekolah dan
orang tua murid Welton Academy (selanjutnya disebut kelompok
Welton). Sedangkan proyek peradaban jenis kedua diwakili oleh Mr.
Keating, seorang guru baru di Welton Academy, dan sekelompok
muridnya yang tergabung dalam klub sastra rahasia, Dead Poets
Society (selanjutnya disebut kelompok Keating). Meskipun di sana-
sini DPS tampak seolah ingin menampilkan konflik yang terjadi di
antara dua proyek peradaban ini sebagai konflik antara modernitas
dan posmodernitas, namun tidak selamanya film ini menampilkannya
demikian. Oleh karena itu lebih baik konflik yang ditampilkan
sekedar disebut sebagai konflik di antara dua proyek peradaban.
254
menghidupi tradisi dengan penuh kedisiplinan dan kesempurnaan
demi mencapai kehormatan. Kelompok ini percaya bahwa hanya
proyek peradaban seperti itulah yang akan membawa manusia
menemukan dirinya yang sejati.
255
dahulu bersekolah di sana. Tradisi harus berlanjut, tidak boleh
terputus.
256
rasionalitas menjadi faktor-faktor mendasar dalam kehidupan
manusia. Segala sesuatu bersifat normatif. Menarik juga untuk
memperhatikan bahwa olah raga yang menjadi kebanggaan Welton
Academy adalah olah raga dayung beregu yang memang
membutuhkan presisi dan keteraturan. Bahkan ayah Neil Perry juga
digambarkan dalam film sebagai seorang yang senantiasa
meletakkan sandalnya di tempat yang sama, dan ia pun memberi
hadiah ulang tahun yang sama kepada anaknya setiap tahun.
258
Dalam salah satu adegan, Mr. Keating membawa murid-muridnya ke
luar dari ruang kelas dan berjalan menuju selasar di mana foto-foto
dan berbagai piala yang pernah didapat oleh murid-murid Welton
Academy dipajang. Foto-foto dan piala-piala tersebut merujuk pada
kehormatan yang telah diraih oleh Welton Academy dalam tradisi
dan sejarah hidupnya. Namun Mr. Keating mengatakan kepada
murid-muridnya, "Carpe diem. Seize the day, boys. Make your
lives extraordinary." Inilah pesan yang menurut Mr. Keating
diinginkan para pendahulu Welton Academy untuk didengar murid-
murid Welton Academy sekarang. “Semua orang akan mati,” Mr.
Keating memperingatkan murid-muridnya, “dan oleh karena itu
pertanyaan kritisnya adalah: „Apakah mereka menunggu terlalu lama
untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dalam hidup
mereka?‟” Itu sebabnya Mr. Keating mendorong murid-muridnya
untuk “menghisap ke luar sumsum kehidupan.”
259
dengan cara berbeda. Mr. Keating berkata kepada murid-muridnya
yang tercengang, “once we feel that we know something, we must
see it in different way . . . we must try regardless it seems silly or
wrong.” Ini adalah sebuah upaya dekonstruksionisme yang berusaha
melucuti pemujaan manusia dan mencemooh penglihatan manusia
akan realitas dalam upaya untuk membuka ruang positif bagi “the
free play of difference.”4 Mr. Keating menantang murid-muridnya
untuk menjadi manusia-manusia otonom yang berani melihat dan
memahami sendiri realitas dunia, terlepas dari kontrol orang lain,
meskipun cara mereka melihat dan memahami realitas dunia tersebut
berbeda dari orang-orang lainnya, dan bahkan tampak sangat aneh.
Dalam adegan yang lain ketika Todd Anderson, teman sekamar Neil
Perry, enggan menciptakan puisi sendiri, Mr. Keating menutup mata
Todd dan memintanya untuk menciptakan puisi dengan mata
tertutup. Ini adalah sebuah tindakan simbolis yang menggambarkan
jalan dalam proyek peradaban untuk menjadi manusia otonom. Di
sini manusia didorong untuk memusatkan perhatian pada dirinya
sendiri dan menutup mata dari semua yang terjadi di sekelilingnya,
untuk mengabaikan dunia. Hanya dengan demikianlah maka
seseorang bisa mengungkapkan dirinya sendiri, dan menjadi manusia
yang beradab. “Bahkan Allah tercipta ketika kita membaca puisi,”
kata Mr. Keating kepada murid-muridnya. Di sini ia ingin
menunjukkan kekuatan manusia otonom yang dapat memusatkan
260
perhatian pada dirinya sendiri sembari mengabaikan sekelilingnya,
dan dengan demikian mampu mencipta, bahkan menciptakan Allah.
Dalam benak Mr. Keating tampak jelas bahwa hidup yang terstruktur
dan terkontrol, sebagaimana yang ditekankan oleh Welton Academy
dalam proyek peradabannya, adalah sesuatu yang berbahaya dan
tidak akan membawa manusia kepada peradaban yang sejati.
Peradaban yang sejati menurut Mr. Keating adalah peradaban yang
membuat manusia menjadi manusia yang merdeka. Ketika seorang
rekan guru menggugat metode pengajaran Mr. Keating, “Kamu
seharusnya tidak mendorong mereka menjadi artis-artis,” maka Mr.
Keating menjawab, “Aku tidak melakukan itu. Aku mengajar
mereka menjadi pemikir-pemikir merdeka.” Mr. Keating
menegaskan bahwa ia bermaksud melindungi murid-muridnya dari
bahaya konformitas. Demikian pula ketika dikonfrontasi oleh kepala
sekolah karena “unorthodox teaching methods,” Mr. Keating sambil
bergurau mengatakan bahwa ia mengira pendidikan bertujuan “to
free men‟s minds.” Dalam percakapan ini terlihat bahwa Mr.
Keating berjuang untuk menciptakan manusia-manusia otonom yang
merdeka dari semua belenggu; manusia-manusia yang mampu
meraih sendiri hidup mereka dan berdiri di atas kaki mereka sendiri
serta memahami realita dunia dengan cara sebagaimana mereka
inginkan.
261
bercita-cita menjadi “pelaut [yang mengarungi] dunia,” sementara
seorang murid yang lain ingin menjadi “penguasa hidup, bukan
budak,” dan murid yang lain lagi bahkan bercita-cita “menjadi
Allah.” Adegan ini menunjukkan bahwa murid-murid tersebut
mencoba mengungkapkan penolakan dan pemberontakan mereka
terhadap proyek peradaban yang selama ini diberlakukan di Welton
Academy di mana mereka selalu dikontrol oleh otoritas yang
berkuasa, dan oleh karenanya mereka ingin bisa mengontrol hidup
mereka sendiri. Pengaruh filosofi manusia merdeka ini terlihat lebih
lanjut di antara murid-murid Mr. Keating yang menghidupkan
kembali klub sastra rahasia, the “Dead Poets Society,” dengan tujuan
untuk menjadi “jiwa-jiwa yang bebas.”
262
Klimaks Proyek Peradaban
Dalam rangka menjadi manusia yang beradab, Mr. Keating mengajar
murid-muridnya tentang pentingnya emosi sebagai serangan balik
terhadap rasionalitas sebagaimana ditekankan dalam proyek
peradaban kelompok Welton. Ia berkata kepada murid-muridnya,
We don‟t read and write poetry because it‟s cute. We read and
write poetry because we are members of the human race. And the
human race is filled with passion . . . . Medicine, law, business,
engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life.
But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for
Dengan catatan ini maka kita bisa melihat bahwa proyek peradaban
yang dipromosikan oleh Mr. Keating adalah sebuah proyek
peradaban yang menciptakan manusia-manusia otonom yang tidak
memiliki tujuan, selain daripada pemujaan-diri dan pengungkapan-
diri sendiri. Penekanan pada “lakukan segala sesuatu untuk dirimu
sendiri” membuat manusia-manusia otonom ini hidup tanpa visi
untuk membangun kesejahteraan bersama atau melayani yang lain.
Proyek peradaban ini tidak memiliki konteks komunal sama sekali.
Di sini kita melihat bahaya dari otonomi manusia justru karena
otonomi tersebut “purely self-referential.”5 Keyakinan ini ironisnya
juga didemonstrasikan oleh Cameron, seorang murid Mr. Keating,
yang memelopori pengkhianatan atas diri Mr. Keating dan
mengkambing-hitamkannya atas kematian Neil Perry. Cameron
setuju untuk berkolaborasi dengan pimpinan sekolah guna melawan
Mr. Keating, dan berkata kepada teman-temannya, “kita tidak dapat
menyelamatkan Mr. Keating, tapi kita dapat menyelamatkan diri kita
sendiri.” Kata-kata ini merupakan ungkapan dari seorang manusia
otonom yang tidak memiliki konteks komunal dan tidak memiliki
tujuan lain dalam hidupnya selain daripada menyelamatkan dirinya
sendiri.
Kesimpulan
Dari film ini kita bisa belajar bahwa kedua pihak yang bertarung
sebenarnya telah menjadi korban dari proyek peradaban mereka
sendiri. Kelompok Welton telah menjadi korban dari proyek
peradaban mereka yang menekankan perlunya kontrol dan kehidupan
yang terstruktur. Dalam cara berpikir mereka, peradaban dan diri
yang sejati hanya dapat ditemukan ketika manusia mampu
merengkuh sistem kebenaran yang bersifat total melalui kehidupan
yang terkontrol dan terstruktur. Ini adalah pendekatan top-down dari
proyek peradaban. Ironisnya, alih-alih peradaban dan diri yang
sejati, yang tercipta dari proyek ini adalah penindasan dan manusia
264
dalam belenggu. Terhadap proyek peradaban semacam ini maka aksi
bunuh diri Neil menjadi tanggapan yang sangat sinis. Aksi bunuh
diri tersebut menunjukkan bahwa tidak peduli seberapa keras pihak-
pihak yang berkuasa berusaha untuk mengontrol kehidupan orang-
orang lain, mereka pada akhirnya toh ternyata tidak punya kuasa
untuk menentukan hidup orang lain. Neil tetap mempunyai kuasa
penuh atas hidupnya sendiri; bukan guru-guru sekolahnya, bukan
pula ayahnya.
265
Robert Bellah dkk. dalam karya monumental mereka, Habits of the
Heart, pernah mengingatkan akan bahaya dari apa yang mereka
sebut sebagai “expressive individualism.” Jenis individualisme ini
merupakan perkembangan dari individualisme utilitarian di masa
lalu. Perbedaan di antara keduanya terletak dalam hal bahwa
individualisme ekspresif tidak lagi mendorong manusia untuk
mendapatkan semua hal di dunia bagi dirinya dan memobilisasi
orang-orang lain untuk kepentingan dirinya, melainkan agar setiap
manusia memaksimalkan kebaikan dari pengalaman batinnya
sendiri.10 “I feel good” adalah motto dari filosofi ini dan kebebasan
dipahami sebagai “freedom to express oneself, against all constraints
and conventions.”11 Kebahagiaan diri sendiri dengan demikian
menjadi tolok ukur utama dan satu-satunya bagi keberhasilan
seseorang dalam hidup.
266
pribadi teralienasi dari masyarakat luas. Hal ini pada gilirannya
mengakibatkan runtuhnya modal sosial dan atau ekologi sosial yang
seharusnya mengikat manusia bersama-sama di tengah-tengah
ancaman terhadap identitas pribadi.17 Dengan kata lain, manusia
otonom yang dicari-cari oleh banyak orang sebagaimana
direpresentasikan oleh kelompok DPS pada hakikatnya merupakan
manusia teralienasi.
Benar adanya bahwa dalam proyek peradaban ini masih ada bentuk-
bentuk hubungan sosial di tengah-tengah alienasi yang terjadi. Tapi
jenis hubungan sosial yang dikembangkan oleh pribadi-pribadi yang
teralienasi ini pada hakikatnya adalah hubungan yang individualistis
karena lebih merupakan kelompok gaya hidup daripada sebuah
komunitas yang sejati. Di sini gaya hidup seseorang dipahami
sebagai ungkapan dari kehidupan pribadinya yang tidak ada sangkut
pautnya dengan hal-hal lain, termasuk dunia kerja seseorang, selain
kenikmatan dan konsumsi. Di bawah gaya hidup ini ada keinginan
untuk menyatukan “those who are socially, economically, or
culturally similar, and one of its chief aims is the enjoyment of being
with those who „share one‟s lifestyle‟.” Hubungan sosial semacam
ini menjunjung tinggi narcisisme keserupaan. Dari sinilah kemudian
tercipta “lifestyle enclaves” yang sangat segmental. Disebut
segmental karena relasi yang tercipta hanya terkait dengan salah satu
segmen dalam kehidupan seseorang saja. Kelompok tersebut juga
segmental secara sosial karena hanya mencakup pribadi-pribadi
dengan gaya hidup yang sama, tidak semua anggota masyarakat.18
Kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok-kelompok hobby
dan bahkan kelompok-kelompok agama yang bersifat radikal juga
bisa digolongkan dalam kelompok semacam ini.
267
up our deepest beliefs in the isolation of our private selves.”19 Inilah
yang membuat manusia menjadi gelisah.
268
sesama saudara seiman dan bahkan juga dengan orang-orang yang
berkepercayaan lain. Seize the day, and embrace the others.
Endnote
1
Kehebatan DPS terbukti dengan berbagai macam penghargaan yang
diterimanya. Di ajang Academy Awards (USA) memenangkan penghargaan
Best Original Screenplay (Tom Schulman) dan berbagai nominasi untuk
Best Actor in a Leading Role (Robin Williams), Director (Peter Weir), Best
Picture (Steven Haft, Paul Junger Witt and Tony Thomas, Producers). Di
ajang BAFTA Awards (UK) 1989 memenangkan penghargaan Best Film, Best
Original Film Score (Maurice Jarre) dan berbagai nominasi untuk Best Actor
in a Leading Role (Robin Williams), Best Achievement in Direction (Peter
Weir), Best Editing (William Anderson), Best Original Screenplay (Tom
Schulman). Di ajang César Awards (France) memenangkan penghargaan
Best Foreign Film. Di ajang David di Donatello Awards (Italy)
memenangkan penghargaan Best Foreign Film. Di ajang Directors Guild of
America (USA) mendapat nominasi untuk Outstanding Directorial
Achievement in Motion Pictures (Peter Weir). Di ajang Golden Globe
Awards (USA) mendapat nominasi untuk Best Performance by an Actor in a
Motion Picture – Drama (Robin Williams), Best Director – Motion Picture
(Peter Weir), Best Motion Picture – Drama, Best Screenplay – Motion
Picture (Tom Schulman). Di ajang Writers Guild of America (USA)
mendapat nominasi untuk Best Screenplay – Original (Tom Schulman).
2
J. Richard Middleton and Brian J. Walsh, Truth Is Stranger Than It Used to
Be: Biblical Faith in a Postmodern Age (Downers Grove: Intervarsity Press,
1995), 34-35.
3
Ibid., 41, 48.
4
Ibid., 36.
5
David J. Bosch, Believing In The Future: Toward a Missiology of Western
Culture, Christian Mission and Modern Culture (Valley Forge: Trinity Press
International, 1995), 22.
6
Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison, enlarged and first
paperback edition, ed. Eberhard Bethge (SCM Press, 1953; New York:
Collier Books, Macmillan, 1972), 5.
7
Ibid., 6.
269
8
Dietrich Bonhoeffer, Ethics, trans. Neville Horton Smith, first Touchstone
edition (New York: Simon & Schuster, 1995), 254.
9
Ibid., 221.
10
Robert Bellah et al. Habits of the Heart: Individualism and Commitment
in American Life. First California paperback edition (Berkeley: University of
California Press, 1996), 104.
11
Ibid., 34.
12
Ibid., 134.
13
Ibid., 46.
14
Ibid., 107.
15
Ibid., 6.
16
Ibid., 284-285.
17
Ibid., xi, xvi. Bellah dkk. mendefinisikan “civic membership” sebagai
“interseksi kritis antara identitas personal dengan identitas sosial,”
sedangkan istilah “modal sosial” dikutip dari Robert Putnam untuk merujuk
pada “berbagai perangkat organisasi sosial, seperti jejaring-jejaring,
norma-norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama untuk keuntungan-keuntungan mutual.” Larry L. Rasmussen,
Moral Fragments & Moral Community: A Proposal for Church in Society
(Minneapolis: Fortress Press, 1993), 37, mengatakan bahwa manusia yang
teralienasi “meluluhkan bukan hanya komunitas-komunitas tradisional
yang akrab tapi rasa tentang kebaikan bersama dan kehidupan publik itu
sendiri.” Dalam kata-kata John Dewey sebagaimana dikutip Rasmussen,
ibid., 39, yang muncul sekarang ini adalah “masyarakat-tanpa-komunitas.”
18
Bellah et al., Habits, 72.
19
Ibid., 65.
20
Ibid., 147-148, 150-151.
270
Bagian VI
Supriatno
Suwignyo
Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di
Tengah Masyarakat Jawa Barat:
Sebuah Catatan Reflektif *
Supriatno*
Pendahuluan
Tempat, peran dan cara pandang Gereja atas masyarakatnya
terefleksikan melalui pemahaman misiologisnya. Aristarkhus
Sukarto mengkonstatasi, pemahaman misiologis Gereja-gereja tidak
bergeming setelah melewati kurun waktu dua abad. Menurutnya,
Gereja-gereja belum beranjak dari pemahaman misiologis abad ke-
19. Cirinya adalah: Pertama, Gereja memandang dirinya sebagai
umat yang terpilih (yang paling baik) untuk membawa manusia pada
pengenalan Allah Tritunggal dengan cara menjadikan mereka
Kristen. Kedua, Gereja yang memproklamasikan Injil secara verbal
kepada orang yang belum mengenal Tuhan Yesus yang
mendatangkan pertobatan (menjadi Kristen) dipandang telah
menjalankan Amanat Agung (Mat. 28:19-20). Ketiga, kehadirannya
untuk mewujudkan komunitas yang disebut Gereja adalah hal yang
penting atau merupakan identitas misi itu sendiri1.
*Pelayanan GKP meliputi 3 propinsi: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.
Jargon yang dipakai untuk 3 propinsi itu ialah Jawa bagian Barat. Tulisan
ini hanya berfokus pada propinsi Jawa Barat.
**
Ketua Umum Gereja Kristen Pasundan, aktif dalam forum ekumene dan
hubungan antaragama.
271
Dari penghayatan pemahaman misiologis demikian, maka parameter
untuk mengukur Gereja yang misioner adalah statistik pertambahan
warga Gereja. Terjadinya konversi penganut agama tertentu beralih
ke Kristen, menjadi ukuran yang dipakai untuk menentukan dan
menilai statis atau dinamisnya sebuah Gereja. Gereja yang dinamis
bilamana terus mampu mendulang jiwa-jiwa baru. Seiring dengan
itu, di kalangan Orang Kristen mencuatlah perasaan betapa berdosa
dirinya, ketika tetangganya, rekan kerjanya, atau saudara sedarahnya
belum bertobat sesuai versinya, menjadi Kristen atau warga Gereja.
Dengan tidak mengkristenkan penganut agama lain, orang Kristen
menganggap secara individual telah gagal menunaikan misi
Gerejanya.
272
Tulisan ini berupaya melihat kiprah Gereja di tengah masyarakatnya,
yang beranjak dari telaah dan penggalan pengalaman yang dilihat
serta dialami oleh penulis sebagai seorang pendeta di lingkungan
Gereja Kristen Pasundan (GKP). Bagaimana agar pada satu sisi
Gereja tetap setia pada misi yang diembannya di tengah dunia, pada
sisi lain, Gereja menghargai konteks masyarakat plural, khususnya
masyarakat Jawa Barat.
273
kahayang”, terjemahan secara bebas, “jangan ingin paling tinggi
untuk berdiri, jangan pula mempunyai keinginan yang paling besar”.
Gamblang sudah, Orang Sunda memiliki kepribadian menghindari
konflik, tidak ambisius, tidak menyukai friksi dan sangat
mengutamakan kehidupan penuh kekeluargaan. Postur kepribadian
orang Sunda seperti itu, sangat dipengaruhi kultus harmoni yang
dihayati orang Sunda.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, kita dapat menilik wajah lain
masyarakat Jawa Barat. Otonomi Daerah menciptakan dinamika
274
politik lokal yang memberi ruang lahirnya perda-perda bernuansa
keagamaan. Beberapa daerah tingkat II di Jawa Barat menerapkan
beberapa kewajiban agama dijadikan peraturan formal dalam
wilayah publik9. Penerapan peraturan daerah bernuansa agama di
beberapa daerah tingkat kabupaten dan kota itu, ditengarai
mengandung praktek ketidaksetaraan dan segregasi atas warga
masyarakat di ruang publik, dengan operator formalnya adalah
instrumen pemerintahan dan negara.
275
berbagai upaya dan strategi Gereja melakukan kristenisasi. Dalam
kasus di Bekasi, sebuah lembaga bernama International Crisis Group
dalam penelitiannya membenarkan asumsi demikian. Laporan ini
menyatakan adanya korelasi antara agresivitas umat kristen injili
melakukan konversi dan lahirnya ketegangan relasi Kristen
Muslim12.
Untuk itu, kita bisa memahami belakangan ini di berbagai kota Jawa
Barat tumbuh berbagai organisasi taktis yang merupakan aliansi dari
berbagai organisasi massa Islam. Mereka mempunyai persepsi dan
opini kuat bahwa Gereja pengusung utama gerakan kristenisasi. Di
Bandung dan sekitarnya, beberapa Jemaat GKP mengalami
intimidasi fisik dan psikologis dari aliansi bernama AGAP.
Sedangkan gedung gerejanya dirusak, ditutup dan sampai kini tidak
dapat dipergunakan untuk beribadah oleh mereka. Tuduhan utama
mereka yaitu, GKP melakukan kristenisasi dengan menjanjikan
pemberian uang berjumlah jutaan rupiah. Dalam kasus Aliansi
Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), sisipan kata “Anti Pemurtadan”,
itu menunjukkan penegasan misi gerakan yang hendak dilawannya,
yaitu membentengi terjadinya peralihan agama lantaran gerakan
kekeristenan.13 Kegelisahan mereka mengkristal dalam bentuk aksi-
aksi ofensif dan anarkis. Dalam rangka membendung apa yang
mereka sebut “pemurtadan”, AGAP melakukan eskalasi pelarangan
beribadah, perusakan dan penutupan gedung gereja yang begitu
tinggi dan sistematik.14
276
sampai ke level Mahkamah Agung, dengan keputusan Mahkamah
Agung membatalkan kebijakan walikota tersebut.
277
Amerika. Gereja melakukan tindakan kekeliruan mengidentifikasi!
Akibat menabur kekeliruan ganda, maka menuai beban ganda pula.
278
(peacemaker). Orientasi Gereja mengarah kepada upaya
memproteksi keluhuran manusia dan memberi peluang manusia
mengaktualisasikan martabat kemanusiaannya. Gereja menjadi
komunitas yang menghayati dan menghargai kehidupan penuh
damai. Kita terpanggil untuk menetapkan posisi dan sikap pendirian
Gereja di tengah masyarakatnya seperti itu. Kita menginginkan
Gereja menjadi agen perdamaian, dan sebaliknya tidak mau menjadi
pencipta atau penambah beban sosial yang melahirkan kecurigaan,
prasangka yang berhimpitan dengan kelelahan dan luka batin. Inilah
titik tolak Gereja mengartikulasikan perdamaian secara konkrit, dan
selanjutnya menjadi agen yang gigih mempromosikannya menjadi
lanskap kehidupan bersama.
279
Menurutnya, Allah melakukan perjanjian dengan segala bangsa,
tidak hanya Israel. Allah terlibat dalam sejarah segala bangsa, tidak
hanya semata-mata sejarah kekeristenan.17
280
Mengacu pada landasan teologis di atas, pilihan Gereja menjadi
Gereja Bagi Sesama, memampukan Gereja mengemas interaksinya
dengan nilai-nilai: inklusif, menghargai yang lain dengan kerendahan
hati, kesediaan bersigap diri bersolider dan mampu memutus warisan
sikap non-apresiatif atas sesama yang berbeda agama. Selama ini,
racikan antara faktor sosiologis dan perkembangan teologis sangat
menentukan wajah Gereja. Pengenalan perubahan konstelasi
kehidupan sosial keagamaan yang berkembang saat ini dan
kesadaran konteks beserta pengalaman pahit-manis yang
melatarbelakanginya, harus menjadikan Gereja belajar dan
mengoreksi diri.
Hal itu terjadi tidak terlepas dari semangat jaman pada waktu itu, dan
tentu saja termasuk format teologi yang di belakangnya ( backmind ),
seperti aturan Gereja yang tertung dalam Tata Gereja waktu itu.
Dalam hal ini, terjadi apriori negatif atas budaya lokal beserta
dengan berbagai perwujudannya, sehingga dicegah kemungkinan
hubungan positif antara agama kristen dan tradisi atau budaya lokal.
Kekeristenan vis a vis budaya lokal. ketika ditelisik, ternyata akar
permasalahannya terletak pada kuatnya superioritas bangsa Eropah.
Mereka mempunyai rasa harga diri berlebihan, sehingga
281
menyebabkan sikap antipati terhadap pandangan-pandangan dan
cara-cara hidup bangsa-bangsa lain.23
282
bukan Gereja suku, yang khusus untuk orang Sunda, melainkan
Gereja wilayah yang terbuka bagi siapapun dengan latar belakang
budaya masing-masing. Oleh karena itu, warga dan pemimpinnya
lebih kental semangat multikultural ketimbang monokultural. Dalam
diri GKP terdapat etnis Batak, Ambon, Minahasa, dll, dengan
identitas serta kekayaan kulturalnya. Tidak mudah menyelaraskan
kesadaran atas nilai lokalitas berjalan seiring sejalan dengan sikap
tanggap atas nilai-nilai multikultural serta budaya yang tercipta
akibat perkembangan globalisasi. Di sini GKP patut mempunyai
strategi kebudayaan yang jelas, terarah dan efektif agar GKP dan
misinya mampu menempatkan diri di tengah persimpangan budaya
ini.
283
milik pemerintah) 8000 pasien datang berobat. Ini luar biasa.
Bandingkan dengan jumlah warga jemaat GKP Cideres waktu itu,
hanya 100 jiwa. Jumlah ini menggambarkan animo masyarakat yang
begitu tinggi atas bentuk pelayanan Gereja.25
284
masyarakat sehat. Varian problematik kontemporer yang melukai
martabat kemanusiaan makin beragam, sebagian di antaranya yang
bisa disebut: kekerasan, kemiskinan struktural, traficking, ekses
globalisasi, neo-liberalisme dan perusakan lingkungan. Isu-isu
tersebut menjadi isu yang mempertemukan Gereja dengan eksponen
civil society. Civil society merupakan masyarakat baru yang terbuka,
toleran dengan didirikan di atas pilar sistem hidup modern, dengan
menjunjung tinggi penghargaan individu dengan nilai religius dan
kultural yang dibawanya27.
285
di tengah ranah (domain) politik, Gereja memiliki kecemasan
tersendiri beranjak dari sejak upaya menjadikan Islam berada pada
jantung konstitusi. Memori kolektif tersebut makin kental, dengan
munculnya produk politik dalam bentuk berbagai perundang-
undangan dan peraturan daerah bernuansa agama belakangan ini.
Entitas Islam tidak tunggal. Benar memang, dalam tubuh komunitas
muslim terdapat kelompok yang menginginkan Islam menjadi
kekuatan politis yang berambisi mengisi posisi-posisi kunci dalam
kekuasaan, supaya dengan itu, ketentuan dalam agamanya menjadi
hukum positif dalam bentuk undang-undang atau ketentuan legal-
formal. Dalam hal ini identifikasi kita akan mengarah kepada
kelompok yang secara ideologis menginginkan Islam menjadi
ideologi negara. Tetapi spektrum Islam itu variatif. Terdapat juga
kelompok yang hanya mendompleng kekuatan Islam untuk menarik
keuntungan buat kepentingan jangka pendek pribadi dan kelompok
elitnya. Kelompok ini lebih bersifat pragmatis, ketimbang
berorientasi ideologis. Mereka cenderung memenuhi syahwat
kekuasaan, di balik obsesi perjuangan agar nilai-nilai dan syariah
Islam diformalisasikan dalam bentuk perundangan-undangan dan
peraturan yang berlaku.
286
lebih akomodatif. Akibatnya, terjadi pergeseran relasi antara Islam
dan negara, Soeharto memberi peluang kelompok Islam menempati
posisi strategis melalui islamisasi kabinet, militer dan birokrasi
pemerintahan melalui jalur ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia). Efek sebaliknya, strategi Soeharto ini berimbas pada
marjinalisasi secara sistematis ke militer, kelompok minoritas dan
juga kelompok Islam arus utama, seperti NU.31
287
berbeda, serta menolak ukuran kebenaran pemahaman keagamaan
dengan cara ideologis dan politis.35 Keislaman yang terakhir ini,
menurut Robert W. Hefener memberikan kontribusi tak ternilai bagi
politik global sebab demokrasi bisa beresonansi dengan nilai-nilai
Islam terdalam36.
288
Pengalaman memperlihatkan betapa tidak mudahnya berdialog
dengan mereka yang mengedepankan prasangka, pendekatan fisikal
dan percakapan bersifat monolog. Meski demikian, perjumpaan
dengan kelompok radikal dengan dijiwai semangat keterbukaan dan
kejujuran harus menjadi agenda Gereja.
289
peradaban Barat, yang kuat dengan sensasi rivalitas dan triumpalistik
atas agama lain. Tapi hal itu tidak boleh menjadi alasan
menghentikan niat dialog menjadi agenda yang diinternalisasi dalam
identitas Gereja. Dialog itu makin mengarifkan pemimpin dan warga
Gereja memandang keperbedaan. Paling tidak, dialog menawarkan
terbentuknya corak relasi baru, yang merupakan pergeseran dari
paradigma relasi tradisional. Kita beralih dari paradigma relasi
tradisional kekeristenan dengan agama lain, yang kental bermotif
evangelisasi dan konversi40.
Dialog harus mendapat topangan teologi, oleh karena itu dialog tidak
dapat dipisahkan dengan pluralisme. Tanpa pluralisme dialog
kehilangan pijakan dan akan mudah goyah. pluralisme mengalaskan
pandangan positif terhadap agama-agama lain, karena
mengasumsikan setiap agama merekam pengalaman dengan Allah
yang absolut (ultimate truth). Setiap pengalaman agama mempunyai
290
keunikan masing-masing, dan pengalaman religiusitas masing-
masing itu tidak bisa mengklaim yang paling ungggul, sempurna
dan eksklusif. Berangkat dari pemahaman demikian, pluralisme
melahirkan pengakuan setiap agama tidak sama. Unik. Meski
demikian tidak menegasikan dan merendahkan keberadaan agama di
luar dirinya42. Dengan demikian, pluralisme menjadi tulang
punggung untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman
timbal balik43. Pada sisi lain, menjadi bantahan atas tuduhan dan
stigma bahwa dialog dan pluralisme secara spiritual dan moral
melenceng dari kemisioneran Gereja. Dialog tidak vis a vis dengan
Gereja yang misioner.
Penutup
Prof DR Emmanuel Gerrit Singgih adalah Guru yang setia dengan
tugasnya, dan figur yang mencintai pengabdiannya. Teologi yang
dibangunnya saya yakin bagaikan cahaya mercu suar, menuntun
Gereja dan para muridnya yang bertebaran di seantero nusantara
(juga luar negeri!), dalam menggeluti keseharian pelayanan
mengabdi di berbagai bidang tugas. Hingga kini, saya secara pribadi
bersyukur dan bangga menjadi muridnya, dan menimba pemikiran
teologi dari sumur pemikirannya yang tak kenal kering. Ketika harus
291
menanggapi isu-isu baru di tengah masyarakat, really excited
menyikapinya dengan tuntunan lewat buku-buku Guru sendiri!
292
Endnote
1
Lih. Aristarchus Sukarto, “Komunitas Rekonsiliatif” ( Penuntun, Vo.4
No13, 1997/1998,), hal.24.
2
Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (
Jogjakarta, TPK, 1997) hal. 158
3
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita (Jakarta, Universitas Paramadina,2003),
hal.78.
4
Ayatrohaedi, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon (Jakarta, Balai
Pustaka,1996), hal.96.
5
Ibid, hal.98.
6
Supriatno, Ziarah di Kompleks makam Sunan Gunung Jati Cirebon: Suatu
Studi Mengenai Kepercayaan Kepada Wali dalam islam, Jogjakarta, Tesis
Magister Teologia, UKDW, 2001, hal.133-134.
7
Ayip Rosidi, Manusia Sunda, (Jakarta:Idayu Press, 1984) 11-13.
8
Gerrit Singgih, Israel Akan Menjadi Nomor Tiga…: Refleksi Teologis
Mengenai Keberadaan Orang Kristen di Indonesia Berdasarkan Yesaya
19:18-25, dalam suntingan Pokja Penyusunan Buku Peringatan HUT ke-65
GKP, Merenda Potensi-Mandiri dalam Misi (Bandung, Sinode GKP,1999),
hal. 251-252.
9
Beberapa di antaranya: Cianjur, Tasikmalaya, Garut. Lebih lengkap lih.
Supriatno, Menyikapi Peraturan Daerah Bernuansa Agama di Jawa Barat
(Jakarta, BPK-GM, 2009), hal.197-218.
10
Malindo Institute, For Social Research and Islamic Development, 2008,
hal. 30-31.
11
Zainul Kamal, dkk. Interfaith Theology, Responses of Progressive
Indonesian Muslims (Jakarta, ICIP,2006), hal.130
12
Lih. International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Asia Briefing No 114, Jakarta/Brussels, 24 November 2010.
13
Jemaat GKP tersebut adalah: GKP Dayeuhkolot ( dirusak dan ditutup),
GKP Ketapang (ditutup dan dirusak) dan Pos Kebaktian Cimuncang
(dirusak, dibakar dan ditutup). Aksi ini dilakukan dengan anggapan bahwa
keberadaan gedung gereja liar dan telah mengkristenkan anggota
masyarakat di sekitarnya. Berbagai aliansi itu adalah: AGAP (Bandung),
Gerakan Reformis Islam (Cirebon, Cianjur), Forum Umat Islam (Bekasi).
Aliansi itu mengklaim didukung Front pembela Islam (FPI), Barisan Pemuda
Persis, Hizbul Tahir, Forum Ulama Umat Islam (FUUI), dll.
14
Survey yang dilakukan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah
Jawa Barat, tahun 2005 menunjukkan intensitas penutupan dan perusakan
293
gedung gereja pada tahun-tahun itu mencapai 25 buah. Sebelum dan
sesudah tahun-tahun itu, secara sporadis tindakan penutupan dan
perusakan gedung gereja itu terjadi, disertai intimidasi dan pelecehan
bernuansa agama. Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan didirikan pada 26 April
2005 (Bandung dan sekitarnya),
15
Jaringan Kerja ini terdiri dari 6 lembaga : Sinode Gereja Kristen
Pasundan, LBH Bandung, PBHI Jawa Barat, Desantara-Jakarta, Jaringan
Intelektual Muda Muhamaddiyah (JIMM), Fahmina-Cirebon.
16
Beberapa catatan dapat diangkat. Pertama, grafik pelanggaran atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat tidak cenderung
menurun, malah memperlihatkan gerak fluktuatif. Tahun 2005, 2007 dan
2008 menunjukkan tahun-tahun tertinggi terjadinya berbagai jenis
pelanggaran. Kedua, pelaku pelanggaran terbanyak berasal dari aparatur
negara dan perangkat desa/kelurahan, camat, aparat kepolisian dan
Bupati/Walikota. Ketiga, jenis tindakan intoleransi dan diskriminasi yang
tertinggi meliputi: pelarangan kegiatan keagamaan, pernyataan tokoh yang
destruktif, perusakan tempat ibadah dan ancaman penutupan tempat
ibadah. Keempat, kota-kota yang paling mendapat ‘raport merah’ yaitu:
kabupaten Bekasi, kabupaten Bandung dan kabupaten Kuningan. Kelima,
jenis hak-hak yang paling banyak dilanggar, yaitu: hak untuk berkumpul,
hak untuk beribadah, hak atas perlindungan hukum, dan hak atas rasa
aman
17
C.S. Song, The Compassionate God, (New York, Orchidbook, 1982)
hal.72-73.
18
Dhyanchand Carr, Jesus’ Attitude toward People of Other Faiths
(Hongkong, CTC Bulletin, Vol.XIX. No.3), hal.18.
19
Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologhi dan Bermasyarakat (Jogjakarta,
TPK, 1997), hal. 157.
20
Wilayah pelayanan GKP mencakup 3 propinsi, yaitu: DKI Jakarta, Banten
dan Jawa Barat, dengan disertai kekhasan nilai kultural masing-masing.
21
Istilah Kampung Kristen muncul dari strategi Zending untuk memproteksi
orang-orang Sunda yang mendapat tekanan sosial dari masyarakat
sekitarnya. Lalu mendirikan pemukiman yang menampung orang Sunda
Kristen tersebut. Kampung-kampung Kristen di lingkungan GKP adalah:
Pengharepan-Cikembar, Palalangon-Cianjur, Cideres-Majalengka,
Rehoboth-Tamiyang, Indramayu.
22
Dalam aturan Gereja yang disebut “Dina Parkumpulan Orang Karesten di
Pasundan, Pasal 69, tahun 1917”,Papagon Gareja (Tata Gereja), tahun
294
1934, Pasal 73, disebutkan bahwa orang Kristen tidak diperkenankan
sebagai Anggota Gereja menonton wayang, nanggap ronggeng atau doger.
Tata Gereja, tahun 1956, Pasal X c, tidak boleh mengadakan pertunjukan,
tontonan dsb, yang tidak sesuai dengan kekeristenan.
23
Lih. Gerald D. Gort, Sinkretisme dan Dialog, Berbagai Persepsi Orang
Kristen Dalam Sejarah dan pada Awal Kegiatan Ekumenis (Jakarta,
Peninjau, 1990) hal.41.
24
Th Sumartana, Sarikat Islam dan Zending, dlm. Suntingan Eka
Darmaputera, Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta; PGI, 1988) hal.135.
25
Th. van den end, Sumber-sumber Zending (Jakarta, BPK-GM, 2006) hal.
18 & 792.
26
Th, Sumartana, Mission At the Crossroad ( Jakarta, BPK-GM, 1991) hal.
277-2778
27
Martin Sinaga, Pembentukan Civil Society dalam Masyarakat Modern:
Tantangan Kontemporer dalam Dialog Antar-umat Beragama, dlm Agama
Dalam Dialog (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003) hal.296-297.
28
Emmanuel Gerrit Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi (Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 2009), hal.190.
29
Penulis kerap memfasilitasi akademisi dan pemimpin pesantren
memberikan ceramah di gedung gereja dan institusi Kristen di berbagai
kota (Cirebon, Bandung, Jakarta, Sukabumi). Hasilnya memberikan dampak
ganda yang positif, baik bagi Gereja maupun penceramah itu sendiri. Yang
diperoleh sering berupa pengguguran gambaran bias Islam yang dimiliki
sebelumnya, dan juga meretas suasana psikologis yang baru. Artinya
melek agama lain bisa membangun wawasan dan silaturahmi yang baru.
30
Bakhtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam ( Jogjakarta, Galang,2003).
31
Dicky Sofjan, Why Muslims Participate in Jihada, An Empirical Survey on
Islamic Religiousity in Indonesia and Iran (Bandung, Mizan, 2006) hal. 128-
129.
32
Samsudin Haris, Kompas, 12 Juni 2008.
33
Dicky Sofjan, Why Muslims Participate In Jihad, An Empirical Survey On
Islamic Religiosity In Indonesia and Iran ( Bandung, Mizan, 2006), hal. 133-
134.
34
M. Imdadun Rahmat, Jalan Alternatif Syariat Islam (Jakarta, Tashwirul
Afkar, Edisi No.12 Tahun 2002), hal 5.
35
KH Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia (Jakarta, Wahid’s Institute, dll, 2009) hal. 21-22.
295
36
Robert W. Hefner, Islam Pasar keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi (Jogjakarta, LKiS, 2000), hal..xxv.
37
SETARA Institute, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat,
Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,
(Jakarta, 2011), hal.165.
38
Pertama, menunjukkan mentalitas “perang salib”. dunia Barat,
khususnya Amerika Serikat, melakukan neo-kolonialisme. Kedua,
Mengupayakan penegakan hukum Islam di dalam kehidupan sosial,
ekonomi, budaya dan politik sebagai prasyarat komunitas Muslim dapat
benar-benar tunduk kepada Allah. Ketiga, tidak percaya kepada lembaga-
lembaga pemerintah dalam rangka menanggulangi ‘penyakit sosial’
masyarakat, yang mereka identifikasi sebagai ‘maksiat’ dan ‘kemungkaran’.
Keempat, Jihad, yang dimaknai usaha fisik untuk memerangi musuh-musuh
Islam, mendapat tempat terhormat untuk menegakkan agama sebagai
lambang supremasi kebenaran Tuhan di dunia. Kelima, dipengaruhi konflik
di Palestina dan isu kristenisasi, mereka menganggap Kristen dan kaum
Yahudi memiliki kesatuan tujuan melakukan konspirasi melawan Islam dan
dunia Islam. Lih. Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di
Indonesia (Jakarta;Rajawali Press, 2004) hal. 6-8. Paham radikal juga
senang melihat masa-masa lalu, ketika umat Islam berjaya dan ingin
kembali kejayaan Islam di bidang ekonomi, social, budaya dan ilmu
pengetahuan. Kejayaan masa lalu ingin dijadikan jawaban atas
permasalahan sekrang akibat terjadinya krisis kehidupan. Tetapi kurang
berpijak pada kenyataan yang ada pada saat ini.
39
Berbagai kegiatan lintas iman GKP: penerbitan Buletin Lintas Iman dwi-
bulanan “Bianglala”, Studi Intensif Kristen Islam, Seminar, Lokakarya
dengan isu-isu kontemporer, penguatan forum lintas iman yang sudah ada
di Jawa Barat (Cirebon, Bandung, Sukabumi), aksi sosial bersama, perayaan
bersama hari besar keagamaan (Natal dan lebaran) dll.
40
Di GKP penentuan Hari Pekabaran Injil, tanggal 12 Juli, bertitiktolak pada
momen orang Sunda yang pertamakali menjadi Kristen.
41
Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan Tata Gereja (Bandung Sinode
GKP, 2007) hal.4.
42
Wilfred Cantwentwell Smith, “The Church in a Religously Plural World”,
dlm. Richard J. Plantinga, Christianity and Plurality (Oxford, Blackwell
Publisher, 1999), hal.314-315. 3 hal utama yang harus dilampaui
kekeristenan dalam membangun relasi dengan agama lain, yaitu: problem
intelektual, moral dan teologis. 1) Dunia modern menjadikan komunitas
296
dan tradisi beragam agama tidak lagi terpisah dan tidak saling mengenal.
Komunitas dan tradisi agama-agama saling bertemu dan berpenetrasi,
dengan medan pergulatan problem yang sama. Implikasinya bisa terjadi
konflik baik yang kelihatan maupun tersembunyi. Perlu ditumbuhkan sikap
kooperatif bersama di kalangan agama-agama bahwa hal itu sebagai
bersifat imperatif moral. 2) serius mengartikan hidup, kematian Kristus di
atas kayu salib dan kemenangan-Nya adalah perwujudan kebenaran yang
final. Pada aras moral, menjadikan kekeristenan memikul tugas melakukan
rekonsiliasi, kesatuan, harmoni dan persekutuan. Sekat-sekat penghalang
didobrak, jurang yang menganga dijembatani dan setiap orang adalah
sesama, sahabat yang dicintai Allah sebagaimana yang dilakukanNya
kepada kita. 3), merumuskan konsep dan mengkonstruk doktrin yang
rendah hati. Gereja mempertimbangkan untuk mengkritisi doktrin yang
mencerminkan arogansi kekeristenan.
43
Raimundo Panikkar menguraikan 3 sikap: eksklusivisme, inklusivisme dan
pluralisme, lih. Dialog Intra Religius, (Jogjakarta, Kanisius, 1994), hal. 18-34.
297
Komisi Hubungan Antarumat (Kaum)
sebagai Simpul Dialog
Versi Greja Kristen Jawi Wetan
(GKJW)
Suwignyo*
Pengantar
Tulisan tentang dialog ini adalah bingkisan buat penghormatan Pak
Gerrit dari bumi Jawa Timur. Kecuali secara intensif dipergumulkan
di Jawa Timur, topik dialog – saya rasa – merupakan salah satu topik
yang mendapat perhatian khusus dari Pak Gerrit. Banyak tulisan
dalam ruang lingkup dialog telah ditulis oleh Pak Gerrit; bukan
karena ikut-ikutan bahwa dialog sedang trendi belakangan ini seperti
kebanyakan karya tulis tentang dialog. Atau, karena sedang marak, di
mana-mana dibentuk lembaga baru dari yang bersifat sangat formal
sampai forum-forum keumatan non-formal di bawah payung besar
dialog. Institusi-institusi dialog pun banyak didirikan di banyak
tempat. Bukan alasan seperti itu, melainkan sejak tahun 1980-an Pak
Gerrit secara konseptual telah mencanangkan ”proyek akademis”
besarnya, yakni berteologi kontekstual di Asia. Buku Dari Israel ke
Asia menjadi saksinya.
*
Doktor Teologi, Pendeta GKJW di Institut Pendidikan Teologia Balewiyata,
Malang
299
kemiskinan dan keanekaragaman agama. Pada kemudian hari, dari
perkelanaan yang berbeda, dengan konteks Amerika Latin, Paul
Knitter mengidentifikasi konteks serupa dengan konteks Asia-nya
Pieris, dengan istilah ”mereka yang menderita” dan ”mereka yang
beragama” (seperti dalam buku karya Paul Knitter berjudul Satu
Bumi Banyak Agama). Pak Gerrit bertolak dari dua asumsi itu pula.
Hanya versi Protestannya coba lebih ditonjolkan. Jadi, kalau kedua
nama tadi lebih ”Katolik”, Pak Gerrit menjadi representasi
”Protestan”.
Dari pena Pak Gerrit bangunan teologi kontekstual di Asia kian
diperjelas sosoknya, terutama dari sisi pandang seorang Protestan
dan Indonesia – demikian sering ditegaskan oleh Pak Gerrit.
300
Kaum hadir pula dan berurusan dengan agenda kemiskinan, ”mereka
yang menderita”. Akan tetapi, format kebersamaan lintas agama
masih terlalu cair untuk disebut ”sosialisme religius” versi Pieris.
Dalam tulisan ini tinggallah diasumsikan bahwa ”sosialisme religius”
Pieris merupakan model penanganan dua agenda atas dua konteks
utama Asia.
Kaum pada umumnya belum sekental itu; barulah sampai pada tahap
perkenalan. Adalah beberapa orang warga GKJW yang berjiwa
pionir ikut serta menggalang gerakan dan pengorganisasian warga
masyarakat, bersifat lintas agama; kegiatannya pemberdayaan
ekonomi dan pemberdayaan kesadaran berdemokrasi. Pionir tersebut
secara formal dan struktural menjadi pengurus Kaum. Artinya,
kegiatannya di back up oleh gereja. Namun, dalam hubungan kerja
sama dengan pihak-pihak lain, dia berkapasitas sebagai pribadi.
Antara pribadi dan organisasi tidak dapat diidentifikasi secara persis.
Meskipun orang mengenalnya sebagai orang GKJW, kehadirannya
lebih diapresiasi sebagai seorang bernama si A, si B, atau si C.
Dengan kata lain, GKJW hadir sebagai pribadi-pribadi, bukan
institusi. Orang di luar GKJW kurang peduli seberapa besar atau
kecil kewenangan struktural seorang ”representatif” GKJW, bahkan
untuk ”level” sinodal sekalipun. Yang dikenal orang adalah
komitmen seseorang dalam ikut serta mendinamiskan gerakan
kebersamaan lintas agama. Sangat jarang aspek struktural
diperhitungkan. Kalau diperhitungkan pun, ia hanya diperhitungkan
sebagai semacam simpul efektif dalam berkomunikasi,
menyebarluaskan ide-ide dan agenda-agenda lintas agama yang
membutuhkan pengerahan banyak orang.
301
terutama disebabkan oleh kemampuan dan kehebatan Kaum,
melainkan karena semata-mata panggilan konteks lokal yang real.
Kaum tidak pertama-tama menyusun sebuah rencana transformasi
sosial secara besar-besaran dengan strategi begini atau begitu. Paling
jauh hanya disadari bahwa keanekaragaman agama penting untuk
diperhatikan. Sebab, pengalaman menunjukkan bahwa agama yang
telah terkotak-kotak secara politis akibat kebijakan politik, bahwa
setiap orang harus beragama, masuk ke masjid, ke gereja, ke pura,
atau ke wihara, telah memungkinkan orang mengeruhkan
keberagamaan dengan aneka agenda politik sektarian yang
mengacaukan kehidupan kerukunan warga masyarakat. Kesadaran
ini ada. Bukan hanya Kaum menyadarinya, setiap orang yang aktif
dalam hubungan lintas agama pun menyadarinya. Kaum terpanggil
justru untuk melestarikan dan berdamai dengan keanekaragaman.
Perbedaan suku, ras, agama, atau antargolongan adalah berkah.
Kesadaran akan keragaman demikian itulah menjadi titik tolak Kaum
dalam berkiprah.
302
terbawa untuk berbuat sesuatu terkait dengan transformasi sosial.
Keprihatinan sosial membawa Kaum ke arah transformasi sosial.
Transformasi sosial – sebuah istilah yang hampir pasti bersifat teknis
akademis, dan itu bukanlah istilah orang kebanyakan. Sebab, kalau
keluhan kesesakan dan keterbatasan ruang berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidup bukanlah sungguh-sungguh keluhan yang perlu
dilontarkan oleh warga masyarakat untuk mendapat pertolongan.
Mereka sendiri bukan terutama tipe ”peminta-minta pertolongan”.
Mereka adalah pejuang kehidupan yang gigih. Akan tetapi, ada
terasa sesuatu yang tidak tampak, namun terasakan daya desaknya,
yang tidak sanggup mereka atasi. Oleh karena itu, mereka mengeluh.
Mereka membutuhkan sesuatu yang cukup kuat untuk bertahan
hidup, syukurlah bisa memperkembangkannya.
303
diselenggarakan seminar internasional pada tahun 1991 bertajuk ”Pro
Eksistensi”, yang ditimba dari ”guru” dialog Hans Kung.
”Dimatangkan” oleh sebuah proses sosial tahun 1996, yang ditandai
dengan kerusuhan, pembakaran sejumlah gedung gereja di Surabaya
dan Situbondo, dialog kian diperkuat di Jawa Timur. Sejumlah forum
dialog, baik yang bersifat keumatan maupun antarpemimpin umat,
digalang di Institut Pendidikan Theologia Balewiyata, dan diteruskan
oleh Kaum.
304
antarumat. Kawan-kawan yang aktif melibatkan diri dalam berbagai
forum, yang tersebar di berbagai daerah, kami kontak secara relatif
periodik. Maksudnya, untuk membangun kehendak dan
menguatkannya, agar ruang-ruang tak bertuan, antara kotak-kotak
agama dan kotak masyarakat, yang potensial untuk diacak-acak
untuk berbagai kepentingan, dapat makin dipersempit. Apa yang
marak disebut ”provokasi” seputar tahun 1998 coba dipersempit
ruang geraknya dengan gerakan alternatif berupa gerakan dialog.
Salah satu bentuk penyebaran ide dan semangat dialog yang kami
tempuh secara khusus dan bersifat struktural gerejawi adalah
mengintroduksikan dibentuknya komisi baru, yang khusus
menangani dan mengawal pelaksanaan dialog.
305
Ketiga, pengorganisasian. Komisi yang menangani secara khusus
urusan dialog tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran yang
telah berlangung baik. Sebaliknya, komisi dimaksudkan untuk makin
menggiatkan, menganekaragamkan, dan menggandakan aneka
kesempatan untuk melibatkan semakin banyak orang di dalam
kegiatan bersemangatkan dialog. Pada lingkup sinodal, di Majelis
Agung GKJW dibentuk mula-mula Kelompok Kerja Hubungan
Antarumat, disingkat PAU (Pokja – Kelompok Kerja Antar Umat).
PAU dibentuk pada tahun 2001 oleh Pelayan Harian Majelis Agung
GKJW. Empat orang diberi Surat Keputusan (SK) untuk mengawal
perjalanan dialog berskala Jawa Timur. PAU menjadi representasi
GKJW untuk urusan dialog antarumat berbeda-beda
agama/keyakinan. Dorongan utama dilahirkannya PAU adalah kian
maraknya dialog yang diselenggarakan oleh orang-orang. Banyak
undangan tertuju kepada GKJW, spesifiknya Majelis Agung GKJW.
Sebab, banyak orang mengenal bahwa GKJW mempunyai perhatian
khusus dalam menggalang kerukunan di dalam masyarakat.
Sedemikian banyak undangan kepada kami. Kesempatan untuk
melibatkan diri dalam penyebarluasan ide dan semangat dialog pun
makin terbuka. PAU bertugas untuk menghadiri dan terlibat dalam
berbagai pertemuan dialogis dari skala lokal sampai skala nasional.
306
Fitri. Kawan-kawan yang tinggal di jemaat yang berdekatan dengan
pondok pesantren diajak serta berkunjung. Sekali dua kali dilakukan
kunjungan bersama. Kawan-kawan yang sama akan diajak lagi untuk
menghadiri agenda dialog lainnya yang diselenggarakan oleh pondok
pesantren yang juga mengundang PAU di pondok pesantren.
307
dijadikan salah satu keputusan dalam sidang pleno. Penting dibentuk
komisi khusus untuk menangani dialog antarumat beragama.
Sementara itu, selang bulan, PAU menggulirkan ide yang sama
kepada Sidang Majelis Agung. Di dalam forum pengambilan
keputusan tahunan yang ”tertinggi” di GKJW itu digulirkan ide
tentang kemungkinan dibentuknya komisi khusus yang menangani
dan mengembangkan dialog, dari lingkup Majelis Agung sampai
lingkup Majelis Jemaat. Dengan cara itu, ide dan semangat dialog
didukung, dilestarikan, dan dijalankan secara sistematis oleh GKJW.
308
Yang pasti, secara khusus, perihal dialog telah dimasukkan ke dalam
rencana strategis berskala enam tahunan. Memang, belum sejak awal
pencanangan rencana strategis jangka panjang. Per tahun 1985,
dialog dimasukkan ke dalamnya. Ide dan semangat dialog
dikembangkan oleh GKJW dalam perjalanan berdinamika menuju
tujuan jangka panjangnya, yang berjangka tiga puluh tahun. Dengan
kata lain, dialog yang diemban oleh Kaum merupakan tonggak
sejarah yang baru sejak GKJW mencanangkan rencana strategis
jangka panjangnya pada tahun 1985 lalu.
309
hidupnya. Apakah kondisi tersebut bukan tetap saja berada dalam
ruang lingkup kekuasaan Mamon? Demikian pertanyaan-pertanyaan
Pieris.
310
Statistik terbaru menyebutkan angka lebih rinci yang kian tidak
menggembirakan. Majalah Basis edisi Maret–April 2009
menyebutkan bukan 20%, melainkan 15% penduduk dunia
menguasai jauh lebih banyak ketimbang tahun 1990-an. Dari 15%
warga dunia, yang adalah penguasa sumber daya, 5%-nya menguasai
71% harta dunia.
311
secara berkelompok lintas agama. Pelatihan dilakukan di sebuah
jemaat GKJW yang telah berpengalaman membentuk komunitas
peternak sapi jenis unggul di antara sesama warga GKJW. Selama
pelatihan, baik orang Kristen maupun Muslim tinggal di gedung
gereja beberapa hari. Di sela-sela pelatihan pada malam hari
diadakan percakapan dengan orang-orang, tetangga di sekitar gedung
gereja sedemikian rupa sehingga di tempat pelatihan yang terdiri atas
komunitas Kristen ”terpaksa” bertemu juga dengan tetangga Muslim
di gedung gereja, berbincang tentang segala macam teknis
penggemukan sapi.
Sebuah Alternatif
Seorang kawan sampai pada satu hipotesis bahwa berurusan dengan
umat, yang bukan pemimpin agama, diskursus yang utama bukanlah
antarumat beragama. Diskursus antarumat beragama itu diasumsikan
sudah ada sejak zaman kuno. Mereka tahu bagaimana dan mengapa
hidup rukun yang dinamis sebab mereka mau bergotong-royong,
bahkan gotong royong menjadi jiwa mereka. Demikian juga Bung
Karno menegaskan di dalam Sidang BPUPKI, saat pidato lahirnya
Pancasila, 1 Juni. Mereka tidak terlalu membutuhkan istilah
”antarumat beragama”. Yang lebih ekstrem lagi, kata ”si-kawan”,
justru istilah ”antarumat beragama” itu sendiri mengotak-ngotakkan.
Orang desa diundang hadir ke balai desa. Topik tertentu dibahas,
ditambahi ”dalam rangka kerukunan antarumat beragama”. Ironis!
Orang-orang desa masuk ke dalam gedung, langsung berkelompok.
312
Muslim, seperti otomatis, duduk bersama dengan Muslim. Orang
Kristen, juga seperti otomatis, duduk bersama, bergerombol bersama
dengan orang-orang Kristen. Niatnya rukun, nyatanya justru
memilah-milah orang berdasar agama formalnya. Itulah potret dari
umat.
313
Penutup
Seluruh pergulatan lahir-batin GKJW ber-pro-eksistensi secara
intensif dikawal secara langsung oleh Kaum. Mungkin terlalu berat
beban ditumpukan kepada satu komisi. Akan tetapi, cara kerja
berjaringan dan melibatkan setiap orang di dalam konteks lokal yang
sedang mendinamiskan dirinya merupakan cara kerja berbasis
kebersamaan yang sangat signifikan. Dengan cara kerja Kaum
seperti itu, secara prinsip tidak akan ada seorang warga GKJW pun
terkecualikan dari tugas dan panggilan hidup secara rukun, damai,
dinamis, lintas agama, dan lintas ideologi.
314
Lokalitas menjadi salah satu faktor yang sangat diperhitungkan.
Kalau umat Kristen bersama umat beragama dan berideologi lainnya
pada aras lokal dapat berdinamika begitu rupa mewujudkan
semangat dan pola hubungan saling menghargai, saling memberi
kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang, maka hampir tidak
ada lagi hal lebih penting lain yang patut diperjuangkan. Hubungan
dijiwai dengan semangat menjadi sesama, berjuang bersama bertolak
dari kemampuan lokal. Kalau tata hubungan seperti itu bisa disebut
”sosialisme religus”, ya, baiklah. Semoga!
315
Bagian VII
Huang Po Ho
Anna Marsiana
Ecological Crisis and Its Challenges to
Christian Higher Education
in Asia
Dr. Huang Po Ho
Introduction:
―Sustainability,‖ the theme is a popular concept and a wide-ranging
term that can be applied to almost every aspect of life, not only to the
human species but also to the rest of God’s creation. Human
over-population of the planet is causing steady degradation of the
Earth’s ecosystems, leading to imbalances in natural cycles and
This paper was first delivered as keynote speech to the Biennial
Conference and 18th General Assembly of the Association of Christian
Universities and Colleges in Asia (ACUCA) at Nov. 1-3, 2010 in the Keimyung
University, Korea.
Vice president and Professor of Theology, Chang Jung Christian University,
Taiwan. Dean of Programme for Theology and Cultures in Asia (PTCA).
Co-moderator of CATS and Moderator of AFTE.
317
resulting in negative impacts on both humans and other living
organisms. Paul Hawken has commented that, "sustainability is about
stabilizing the currently disruptive relationship between earth’s two
most complex systems—human culture and the living world.‖ 1
Literally speaking, sustainability means the capacity to endure.
According to current usage, when the term is applied to ecology, it
refers to the ability of biological systems to remain diverse and
productive; when applied to human populations, it refers to the
potential for long-term maintenance of well being, which in turn
depends on the maintenance of the natural world and natural
resources.2 In its 1987 report to the United Nations, the Brundtland
Commission3 defined sustainable development as ―development that
meets the needs of the present without compromising the ability of
future generations to meet their own needs.‖4
However, more than thirty years have passed since the establishment
of the Brundtland Commission. Despite the many subsequent studies,
reports, meetings and other efforts sponsored by the United Nations,
as well as by regional and national governmental and
non-governmental organizations, deterioration of natural ecosystems
and cycles continues to accelerate. Global climate change is one
example: in recent years, global warming has resulted in an array of
disturbing phenomena, from an increase in the incidence of extreme
weather, local climate change, retreat and disappearance of glaciers,
oxygen depletion in seawater and rises in sea level. In addition to the
headline-making natural disasters, these phenomena are producing
impacts on food supply, water resources and human health.
318
Sustainability, therefore, is not a topic merely of academic interest
but rather one that directly concerns the survival of our own species
and that of many others. However, attempts to respond to pressing
environmental issues such as global warming have intensified the
conflict of economic interests between developed and developing
countries. The so-called ―Earth Summit,‖ convened in Rio de Janeiro
in 1992, and the series of similar meetings that have followed
annually 5 have made very little progress toward reaching a
consensus that would permit a unified response to these issues.
Despite the acrimonious debate fueled by the vested interests of the
nations involved, the goal of a sustainable world remains a crucial
one for the human species, not just to save it from extinction, but
also to restore its relationship with the rest of creation. The nature of
what that relationship should be leads in turn to a reflection on the
nature of humanity and human spirituality.
319
Christian Religion: A Root of Ecological Crisis?
Max Weber (1864 – 1920), a German religious sociologist and
political economist, argued that ascetic Protestantism was one of the
major ―elective affinities‖ that determined the rise of capitalism. In
his book, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,6 Weber
theorized that capitalism in northern Europe evolved because the
Protestant ethic proposed by John Calvin induced people to engage
enthusiastically in work in the secular world, causing them to
develop business enterprises, to engage in trade, and eventually to
accumulate wealth for investment. He concluded that the Protestant
ethic was a force behind an unplanned, uncoordinated mass action
that influenced the development of capitalism7. Even though Weber
rejected deterministic approaches and considered the Calvinist ethic
to be only one of a number of factors that led to the development of
capitalism, his work led to the widespread recognition of the
potential impact that religion can have on economic and political
structures.
With this awareness of the crucial role played by the institutions and
systems of higher education in the welfare of our nations and people
as well as the future of our planet, our meeting here as member
universities and colleges of ACUCA is inevitably challenged by the
327
crises confronting our respective nations, the Asia-Pacific region and
the world as a whole. These challenges, to highlight just a few,
include the eradication of poverty, the establishment of justice, the
attainment of peaceful coexistence of nations and peoples, and of
course, the achievement of sustainable development and
eco-justice. 21 Because ACUCA is a community of Christian
institutions of higher education, we may be able to identify our
distinctive contribution to education by our common struggles to
respond to these challenges, by our solidarity and by our collective
wisdom.
329
education to address structures of injustice, to promote human
community, and to care of the environment.25
Although the United Board has taken an inclusive position with its
open-ended interpretation of the concept of ―Christian presence,‖ it
implicitly yet unmistakably affirms that Christian higher education
possesses additional features relative to general higher education:
331
topics, and an increasing number of activities promoting
environmental protection and concern for global ecosystems are
taking place on university campuses. However, many of these efforts
are still being carried out in isolation; there is a tremendous need for
coordination and unified action. Christian universities and colleges,
which have their roots in a common faith that recognizes divine
purpose and beauty in creation, can act in unison to initiate an
advocacy that stresses eco-justice and incorporates it into the quality
assurance criteria of higher education. Such advocacy might also
contribute to our common goal of promoting Christian presence
within the higher education system.
336
Endnotes
1
Paul Hawken, Blessed Unrest: How the Largest Movement in the World
Came into Being and Why No One Saw It Coming (New York: Viking, 2007),
p. 172.
2
Daniel W. Bromley, "sustainability," The New Palgrave Dictionary of
Economics, 2nd Edition (2008). Cited from
http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainability, Sept. 15, 2010.
3
The Brundtland Commission, formally known as the World Commission
on Environment and Development (WCED), was first convened by the
United Nations in 1983 and published its report, “Our Common Future,” in
1987.
4
United Nations General Assembly (1987) Report of the World
Commission on Environment and Development: Our Common Future. Cited
from http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainability Sept. 15, 2010
5. Since the United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) went into force, the parties have been meeting annually in
Conferences of the Parties (COP) to assess progress in dealing with climate
change, and beginning in the mid-1990s, to negotiate the Kyoto Protocol to
establish legally binding obligations for the reduction of greenhouse gas
emissions by developed nations. From 2005, the Conferences have met in
conjunction with Meetings of Parties of the Kyoto Protocol (MOP), and
parties can participate in Protocol-related meetings as observers.
6
Max Weber began his writing of this book in 1904 and 1905 first as a
series of essays. The original edition was in German; the book was
translated into English for the first time in 1930. See
http://en.wikipedia.org/wiki/The Protestant Ethic and the Spirit of
337
Capitalism 2010,09,01
7
See http://en.wikipedia.org/wiki/The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, 2010, 09, 04
8
http://en.wikipedia.org/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr.
9
Ibid.,
10
This version is taken from “English Language Liturgical Commission”
cited from http://www. creeds.net /ancient/nicene.htm, Sept. 20, 2010
11
Christology is the second person of the triune God, while the first and
third person were not crucial debating issues in the early church, the
second person (Christology) has been occupied the main concern of
Christian theology, thus the holistic creation was paid no enough attention
in the history of Christian theology.
12
The anthropocentric view of Christian soteriology was not begun from
Nicene Creed, but existed as early as Christian Community was formed.
Apostle Creed for instance has implicitly taken the same position.
13
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_and_ecology
14
Paul Tillich suggested that Culture is the form of religion and religion is
the nature of cultures.
15
See: http://en.wikipedia.org/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr., Sept. 29,
2010
16
The second creation story, found in Genesis 2. 4b-25, is considered the
earlier version, possibly dating back to the time of Solomon and belonging
to the so-called J document, while the first creation story in Genesis 1.
1-2.4a is considered to be part of the P document, written during the exile
period.
17
See Huang Po Ho, A Paradigm Shift of Theology and the Holistic
338
Redemption to God’s Creation, unpublished paper, presented to CCA-BIT
sponsered “National Theological Workshop in Thailand 2010” held in
‘Bangkok, sept. 6-10, 2010.
18
See: http://en.wikipedia.org/wiki/Education, Sept. 19, 2010
19
Ibid.,
20
See: http://www.unesco.org/en/higher-education/, Sept. 20, 2010
21
The primary argument of ecojustice is that the natural world must be
included in an evaluation of ethics or morality. Supporters of ecojustice
hold that all living things have some intrinsic value, and humans must take
this into account in order to act ethically.
22
Kenneth C. Elzinga, Christian Academe vs. Christians in Academe,
Centennial University Address at Abilene Christian University, See:
http://www.insidehighered.com/views/2005/09/30/elzinga
23
The mission statement of UB read:“The United Board for Christian
Higher Education in Asia works to support a Christian presence in academic
communities in Asia”. While in an overview elaborated in the front page of
its website, it states: “The United Board works with a dynamic network of
universities and colleges to enhance Christian presence in higher education
in Asia. See: http://www.unitedboard. org/programs.asp, Sept. 20, 2010
24
Christian Presence in Asian Christian Higher Education: A Position Paper.
Paper unpublished.
25
Ibid.,
26
Ibid.,
339
Mlipir Jalan Pinggiran: Mencari
Wajah Agama (Kristen) di Antara
Wajah-Wajah yang Terpinggirkan
Anna Marsiana
Pengantar
Sebagai lulusan sarjana teologi dengan gelar Sarjana Sains dari
Fakultas Teologia – UKDW, saya harus mengatakan bahwa saya
belajar makna berteologi yang sesungguhnya bukan dari kampus,
melainkan dari lapangan. Adalah komunitas petani di Gunung Kidul
yang pertama kali mengajarkan kepada saya apa artinya berteologi
yang sesungguhnya, sekaligus mempertanyakan diri sendiri dan
studi-studi formal teologi yang sedang saya geluti waktu itu.
341
merayapi tajamnya batu-batu karang di telapak kaki, menembus
gelapnya malam untuk persekutuan PA di malam harinya, adalah
sebuah pengalaman teologis yang tanpa saya sadari telah
menentukan pilihan hidup berteologi saya selanjutnya. Pengalaman
yang membawa saya belok arah dari cita-cita awal masuk fakultas
teologi.
Ada dua hal yang sangat berkesan dan ingin menjadi penekanan saya
dalam tulisan ini, hal mlipir yang merupakan suatu realitas sosial
yang memiliki dimensi sosial-kultural yang sangat dalam dalam
Bahasa Jawa, (bahkan juga politis kalau kita lihat dalam konteks
pemerintahan Suharto pada waktu itu), dan diskonektifitas antara
aktifitas keagamaan (baca: gerejawi) dengan realitas sosial yang
saya lihat dan alami.
342
harus benar-benar banyak melipir baik secara harifiah maupun
secara realitas sosiologis, politis, dan teologis. Suatu realitas yang
membuat saya mau tidak mau harus menggugat wajah agama secara
umum dan agama Kristen secara khusus di negeri ini.
Hal kedua yang dari pengalaman saya di atas yang begitu lekat di
hidup saya, masih terkait dengan pilihan kata mlipir di atas. Begitu
lekatnya sampai pada saat itu juga membuat saya menentukan
pilihan perjalanan hidup saya adalah, diskonektifitas yang mencolok
antara aktifitas gerejawi: Kebaktian Minggu dan Persekutuan
Pemahaman Alkitab (PA) dengan realitas hidup sehari-hari. Realitas
sehari-hari terwakili dalam 2 kegiatan yang saya sebutkan di atas,
minimnya fasilitas sumber air, padahal bukan tidak ada sumber air.
Bahkan untuk sekedar pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja sulit,
apalagi untuk menghidupi lahan pertanian dan ternak peliharaan
mereka. Dengan kondisi hidup seperti itu, taraf hidup adalah masih
pada taraf survival. Dalam pengamatan kasat mata, langsung terlihat
bahwa yang terjadi bukanlah sebuah kondisi miskin karena tidak ada
sumberdaya, namun karena dibiarkan termiskinkan, atau malah
memang dimiskinkan. Begitu mencoloknya kondisi ini di mata saya.
Namun isi kotbah minggu dan PA-PA yang saya ikuti sama sekali
tidak menyentuh akar persoalan, bahkan cenderung meninabobokan
jemaat. Misalnya memberikan penghiburan-penghiburan rohani
mengenai janji-janji keselamatan di dalam Kristus, dst. Himbauan-
himbauan untuk bertahan dalam kerasnya hidup, namun tidak
melakukan apa-apa secara sosial-struktural. Padahal pendeta
menerima jaminan hidup dari persembahan jemaat (yang hidupnya
dimiskinkan oleh sistem tadi). Begitu lekatnya pengalaman tersebut
sampai saat itu juga saya tahu, dan mengambil keputusan, kemana
setelah lulusan kuliah.
343
mengenai tiga (3) fungsi sosial agama seperti di atas, menurut saya,
3 fungsi sosial agama seperti di atas cukup relevan untuk dibahas
dalam konteks Indonesia. Sekaligus semata-mata untuk membatasi
agar saya tidak melebar kemana-mana.
Karena titik berangkat saya adalah petani Gunung Kidul, maka awal
perjalanan saya selepas dari kampus adalah komunitas termiskinkan
di pedesaan, baik yang di Jawa, seperti di sekitar Kedung Ombo,
Wonigiri, Klaten dan sekitarnya, sampai dengan pedalaman
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nias, dan Aceh. Perjalanan yang
sering membuat saya terperangah karena seringkali keterpelosokan
masyarakat yang saya kunjungi ini jauh dari batas bisa dimengerti.
Sebuah tingkat keterpelosakan yang sudah manjadi lingkaran setan
kemiskinan: karena terpelosok mereka miskin atau karena miskin
mereka semakin terpelosok. Karenanya kelompok ini mempunyai
kontribusi yang sangat tinggi dalam refleksi dan gugatan saya
terhadap agama secara umum dan Agama Kristen dan Gereja secara
khusus.
344
komunitas perempuan, dan pengalaman perjumpaan dengan kaum
perempuan juga menyumbang porsi yang besar dalam gugatan saya
atas agama.
345
pertemuan hilir sungai dengan garis pantai. Lagi-lagi jadwal pasang
surut yang akan menentukan lamanya perjalanan kami. Atau ke desa
lain lagi, harus mlipir bibir pantai, kalau salah perhitungan jam,
maka kita bisa terhenti di titik-titik temu sungai dan pantai, karena
ternyata gelombang pasang yang tinggi, kendaraan tak mungkin
lewat. Jika salah mengamati, alih-alih sampai ke desa tujuan, kita
bisa diseret langsung ke Samudera Hindia karena air pasang tinggi
yang masuk ke hilir sungai.3 Bagi saya, keterpelosokan sebagian
besar wilayah berpenduduk di pulau ini sudah di luar batas
kemanusiaan, sekaligus sulit dibayangkan kalau hanya lewat tulisan
pendek seperti ini.4
Tentu saja saya sadar bahwa agama Kristen tidak hadir dalam ruang
kosong. Saya sadar bahwa di sana ada banyak tarik menarik,
ekonomi, sosial, politik, yang hadir dan tarik menarik lewat berbagai
346
media. Media yang terlihat sangat kuat tentu saja adalah budaya,
baik yang bersifat warisan nilai, keyakinan, kebiasaan yang
diturunkan melalui praktek sehari-hari, maupun yang dilembagakan
melalui lembaga adat.
Alih-alih melihat sikap hidup yang saling berbagi, penuh welas asih,
saling menopang, yang saya lihat adalah sebaliknya. Berada di
tengah-tengah mereka secara konstan selama lima tahun membuat
saya tidak asing lagi melihat pemandangan atau mendengar orang
bercerita:
347
pelatihan kami yang lain, atau pun dalam percakapan sehari-hari
ketika saya tinggal bersama mereka. (Sebuah tanda bahwa
transformasi sedang terjadi.) Bagaimana Anda harus memahami
pertanyaan tersebut, di tengah konteks masyarakat yang 95-100%
beragama Kristen. Dimana setiap hari Minggu gedung gereja selalu
penuh dipadati oleh anggota jemaat. Dimana setiap hari minggu,
orang merasa berdosa kalau pergi ke ladang atau membuka warung,
bahkan ketika itu dilakukan sepulang dari gereja. Dimana setiap
keluarga mengawali dan menutup harinya dengan kebaktian
keluarga.6 Apa yang salah di sini?
Namun apa yang saya lihat di Nias ini sama sekali bukan khas Nias!
Karena apa yang saya lihat di Nias ini juga terjadi di wilayah-
wilayah pelosok yang kebetulan merupakan kantong-kantong
Kristen di Indonesia, seperti di wilayah lain di Sumatera Utara atau
juga di Indonesia bagian Timur. Peperangan antara suku di Papua,
misalnya adalah sebuah kondisi yang mirip, dimana klan masih lebih
berperan dibanding agama. Kita bisa bayangkan kondisi yang ada
ketika seorang polisi diwawancarai wartawan mengatakan bahwa
348
“peperangan ini akan berhenti (hanya) ketika jumlah warga yang
terbunuh sudah imbang di kedua belah pihak”. Kita tahu bawah
Papua adalah kantong kekristenan yang besar di Indonesia.9 Dan
ketika harus saya tarik lebih luas lagi dalam refleksi saya akan wajah
agama di Indonesia, sepertinya, lagi-lagi apa yang saya amati di
Nias, dan juga di Papua, itu ternyata tidak ada yang unik dan spesial.
Pada satu sisi tentu kita berharap dan menyerukan agar agama
penjadi instrumen penyeimbang kekuatan politik kekuasaan. Karena
di situlah kita akan melihat agama memainkan perannya sebagai
350
kontrol sosial, dalam arti menjaga moral-sosial para pemimpin
negeri, agar tetap berpihak kepada masyarakat. Namun nampaknya
hal sebaliknya yang lebih kita lihat di lapangan. Agama secara
langsung atau tidak langsung, disengaja atau tidak, lebih menjadi
alat kontrol sosial di tangan penguasa.
351
halnya kadang-kadang saya tidak ingin lagi melihat saluran berita
seperti Metro TV atau – apalagi yang sangat bias seperti TV One –
setelah seharian bergulat dengan isu-isu sosial yang membuat saya
lelah sampai di rumah. Maka saya pun lebih memilih menonton
acara ringan, seperti film kartun Tom & Jerry. Namun bukankah
panggilan gereja adalah untuk mendidik dan bukan untuk
menyenangkan hati jemaatnya? Bukankah tugas gereja adalah untuk
mendampingi umatnya di tengah-tengah realitas hidupnya dan bukan
sebaliknya, mengalieanasi mereka dari realitas dan hidup itu sendiri?
Saya pun mulai bertanya, andai tidak ada lembaga gereja atau pun
lembaga agama lain yang menawarkan topik-topik transenden
seperti itu, apakah mereka juga akan mengalienasi diri dari realitas?
352
karena mereka takut melanggar apa yang mereka yakini adalah
sabda ilahi. Seorang pendeta perempuan di Siantar misalnya, dengan
suara yang lantang mengatakan kepada saya bahwa “apa pun situasi
dan kondisi perempuan saat ini, saya tetap akan mengamini dan setia
pada kata Firman Tuhan, bahwa istri harus tunduk kepada suami,
walau seperti apa suaminya, karena begitulah perintah Tuhan”.12
Harapan saya untuk melihat Gereja dan agama secara umum untuk
melakukan peran kontrol sosial masih jauh api dari panggang.
Melihat wajah agama dari pinggiran seperti ini membuat saya sulit
untuk tidak terdengar seperti pengikut Karl Marx. Sulit untuk tidak
melihat bahwa agama berkontribusi besar dalam mempertahankan
tatanan sosial yang tidak adil, bias gender, bias kapitalisme, dan
tentu saja bias heteronormatif.
353
penyeimbang kekuatan politik kekuasaan? Apakah kehadiran gereja
masih relevan ketika gereja tidak mampu menjadi alat kontrol bagi
kekuasaan. Dan apakah kehadiran gereja masih relevan, jika gereja-
gereja di daerah kantong-kantong Kristen, selalu berharap turunnya
dana APBD untuk sidang sinode mereka? Dan saya sepemahaman
dengan Ulil bahwa pada akhirnya sesungguhnya gereja & agama
Kristen bersama dengan agama-agama besar di negeri ini harus
mulai merendahkan dirinya, karena dalam kenyataanya, ada banyak
institusi sosial lain yang sepertinya justru lebih berkemampuan
melakukan peran pendewasaan umat manusia dan peran pembentuk
sikap moral and etis yang jauh lebih efektif.
Makna hidup seperti apa yang Anda dapat ketika Anda terlahir
sebagai waria (wanita-pria sebutan yang paling netral untuk mereka
yang terlahir dalam fisik laki-laki namun mengidentifikasi diri
sebagai perempuan), atau dalam bahasa Jawa wandu yang lebih
inklusif, baik laki-laki yang merasa diri perempuan maupun
perempuan yang merasa diri laki-laki. Agama sebagai pemilik
otoritas terbesar dalam hidup Anda tidak mengakui dan menolak
keberadaan Anda.
354
berkompromi lagi dengan apa yang dia terima sebagai ajaran suci
dengan apa yang dia rasakan dengan tubuhnya. “Yang ada hanyalah
rasa bingung, malu, hina”, demikian saya kutip Tamara. Maka tanpa
menunggu lulus SMP, dia pun lari ke jalanan. Tamara yang kini
berusia 26 tahun, masih tetap bergumul mengenai identitas diri.
Tamara datang ke camp dengan identitas perempuan, dengan make
up lengkap, rok mini, dan rambut panjang palsu yang membuat
wajahnya terlihat feminin dan manis. Namun pada hari kedua, saya
kehilangan Tamara. Ternyata dia berubah menjadi Ary, tanpa wig,
tanpa make up, dengan T-shirt dan celana jeans, mencoba tampil
macho. Karena dia mendengar dari peserta lain yang agamanya
dinilai kuat, mengatakan bahwa bagaimana pun dalam Islam hanya
diakui 2 jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Karenanya kita
harus memilih satu dari keduanya. Meskipun di akhir camp dia
bahagia untuk kembali menjadi Tamara, saya yakin pergumulan itu
tidak berakhir ketika dia kembali ke Lampung.
355
- Mengapa dia selalu menolak kalau ada cowok yang naksir
dia?
- Mengapa dia sekarang cenderung menghindari kawan-
kawan di gerejanya
Dan mereka tidak sendiri. Dua pertiga dari 51 peserta dan 15 panita
dan relawan Camp yang saya fasilitasi ini memiliki kisah dan
pertanyaan yang sama dengan Tamara, Melly, dan Yuen di atas.
Makna hidup seperti apa yang bisa mereka dapatkan dari agama?
Spiritualitas macam apa yang bisa mereka harapkan dari agama
mereka?
Pada sebuah sesi di hari ke-4 dalam topik agama dan tafsir-tafsir
queer, seorang peserta, Roy, juga bukan nama sebenarnya, bertanya
kepada pemakalah dari tafsir Islam:
356
bicara dari hati ke hati, maka kira-kira ringkasan yang bisa saya
dapatkan adalah sebagai berikut:
Catatan Penutup
Saya sadar tulisan ini tidak menyediakan jawaban. Saya yakin tugas
kita memang tidak menyediakan jawaban. Bahkan saya juga mulai
yakin bahwa tugas agama bukan lagi menyediakan jawaban,
melainkan untuk mengantar umatnya menjadi lebih berani
menemukan dirinya di tengah kompleksitas hidup yang semakin
berbelit ini; berani mentransformasikan nilai-nilai – dari manapun
sumbernya – yang sudah tidak relevan lagi bagi kompleksitas hidup
saat ini; berani berdiri sejajar dengan institusi sosial yang lain untuk
357
bergandengan tangan melakukan kontrol sosial. Tentu saja jika
agama mau merendahkan diri.
358
Sebagai contoh misalnya, dalam rangka mencari pembenaran
orientasi seksual sebagai lesbian, maka ada upaya menafsirkan
bahwa relasi Naomi & Ruth sesungguhnya bukanlah relasi
solidaritas biasa antara dua perempuan, atau kesetiaan seorang
menantu perempuan kepada ibu mertuanya, melainkan sebuah relasi
seksual. Dengan kata lain, bahwa Ruth dan Naomi adalah pasangan
lesbian. Saya sama sekali tidak punya keberatan jika Ruth dan
Naomi adalah pasangan lesbian. Namun yang menjadi keberatan
saya adalah jika kecenderungan semacam ini kita teruskan, maka
meminjam bahasa kawan-kawan dari komunitas LGBTQ di atas,
sepertinya kita hanya akan terus tarik-menarik pojok-pojok selimut
agar pas di badan kita. Kita takut melihat kenyataan bahwa
kompleksitas kehidupan saat ini sudah jauh melampaui kompleksitas
konteks Alkitab dan kitab-kitab agama pada waktu itu. Bagi saya,
hal itu juga mencerminkan ketidaksiapan kita untuk memperlakukan
sumber-sumber di luar agama Kristen dan atau di luar agama sebagai
yang memiliki kesamaan status dan nilai dengan perangkat yang ada
dalam tradisi agama.
359
merasakan lebih banyak pengalaman berjalan dengan sepatu yang
lain lagi, karena ternyata pengalaman itu memperkaya mereka.
360
Endnote
1
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Oxford
University Press: 2001)
2
Sebagai pembanding, saya yang jalan tanpa beban di pundak terpaksa
dibantu seorang gadis kecil 9 tahun yang membawa sekarung beras di atas
kepalanya. Dengan riang dan ringan dia mengulurkan tangannya menarik
badan saya yang terasa seperti sekarung pasir jatuh ke dalam air.
3
Nama desa ini adalah Desa Luaha Muzöi, Luaha artinya muara karena
desa ini terletak di ujung muara sungai Muzöi yang bermuara langsung ke
Samudera Hindia, dimana karena salah perhitungan waktu penulis pernah
terseret masuk ke arus Samudera Hindia dan berlomba kecepatan
ketrampilan membuang air dari jukung dengan serangan ombak
samudera.
4
Misalnya sebuah desa bernama Tumula di Nias Tengah, yang jaraknya
hanya .50km dari kota Gunung Sitoli, sampai dengan tahun 2008, baru bisa
dicapai setelah, naik sepeda motor selama 1,5 jam dari kota Gunung Sitoli,
kemudian berjalan kaki selama 1,5-3 jam mlipir dan menyebrangi rawa
lumpur sebatas pinggang orang dewasa. Dan kalau hari pekan/pasar, maka
rawa tsb pun terasa makin meluas karena dilewati oleh ratusan orang
memanggul beban 25-50kg pulang pergi. Atau bila hujan beberapa hari
berturut-turut, jalan utama menjadi licin, maka perjalanan harus
melingkari pulau melalui Nias Utara, dengan jarak 90km yang harus
ditempuh dengan sepeda motor 3-4,5 jam, dengan catatan tidak terhalang
air pasang naik. Kondisi ini adalah kondisi sebelum masa pemulihan pasca
gempa tsunami 2004 dan gempa bumi Maret 2005. Begitu sulitnya
dibayangkan keterpelosokan wilahay-wilahay tersebut tergambar dari
seorang kawan dari Switzerland menyatakan bahwa dia sudah membaca di
setiap laporan saya mengenai tingkat keterpelosokan wilayah-wilayah
kerja kami, namun tetap tidak membayangkan bahwa benar-benar
sebegitu terpelosoknya (remote), sampai ketika dia harus mengalami
sendiri dalam kunjungan ke Nias bersama saya. (Bagi yang berminat
membaca lebih jauh, silahkan lihat El.Anna Marsiana, “Building Back a
better Community: Transforming Disaster into Opportunity” in Ethic in
Action, Vol.3.no.3, June 2009)
5
Frase “sikap hidup Kristen” saya letakkan di antara tanda kutip karena
secara pribadi saya percaya bahwa apa yang akan saya sampaikan
selanjutnya hanyalah hal sederhana yang seharusnya menjadi sikap hidup
semua manusia supaya mereka bisa disebut manusia.
361
6
Suasana Kristen sangat kuat terasa, dimana setiap hari antara pukul
05.30-06.30 bisa dipastikan Anda akan mendengar nyanyian puji-pujian
dari balik setiap rumah di sekeliling Anda, dan hal yang sama akan terulang
pada malam hari, sebelum makan malam atau sebelum tidur, antara pukul
19.00 atau 21.00.
7
Selain Menikah dengan orang Nias, penulis juga melakukan peneilitan
untuk thesis S2, Journey from Böligana’a to Holiana’a: Feminist
Theological Reflections from an Indonesian Woman Perspective, dan
kemudian selama lima (5) tahun secara konstan tinggal (lebih tepatnya
mondar-mandir dengan rata-rata 9 bulan/tahun) di Nias, 2004-2009.
8
Sebagai salah satu buktinya, Gereja Protestan di Nias, berkembang dari
satu yaitu BNKP, menjadi banyak (ONKP, AMIN, BNKPI, BKPN) hampir
semua diawali dari perselisihan berbasis klan, atau perselisihan gerejawi
yang kemudian berubah menjadi perselisihan klan. Lihat juga tulisan saya,
Conflict Transformation: Some Challenges for Theological Schools yang
saya presentasikan di depan peserta perayaan Jubilee 50 tahun ATESEA di
Singapura, tahun 2007. Paper dapat diakses di www.marcia-
yard.blogspot.com.
9
Ibid
10
Karena saya bukan ahli biblis, saya tidak akan membahas ayat-ayat
Alkitab. Namun kisah percakapan Yesus dengan perempuan Sirofenisia di
Injil Markus (Mk.7:24-29) cukup memberi referensi jelas mengenai misi
Kristus yang melampaui bangsa Yahudi.
11
Fenomena ini bukan hanya khas terjadi di Nias, melainkan juga saya lihat
di Tomohon, Ambon, Papua, dan daerah-daerah kantong agama Kristen
yang lain di Indonesia. Bukan hanya peristiwa sidang sinode melainkan
juga kegiatan besar lain seperti PESPARAWI, konggres-konggres seperti
konggres Nasional PERUATI ke-3 di Ambon, bulan Agustus 2011 yang lalu.
12
Pernyataan seorang peserta Kursus Feologi Feminis, yang diadakan oleh
PERUATI Medan Sumut kerjasama dengan AWRC, 29-30 April, 2012, di STT
Siantar, Sumatera Utara.
13
Ulil Abshar-Abdalla, Surat terbuka kepada seorang kawan (Hamid):
Hidup bisa teratur hanya dengan agama? —diposkan di media dan jejaring
sosial, September 7, 2008
14
Nama samaran
15
Camp lintas agama, gender, dan orientasi seksual yang diadakan oleh
YIFOS bersama dengan AWRC, 10-14 April 2012, dengan peserta 51 orang
362
muda lintas gender (perempuan, laki-laki, waria), orientasi seksual (hetero,
bi, dan homo/gay-lesbian), serta queer.
16
Di Gerejanya ada tradisi bahwa seorang Ketua Komisi Remaja jka
kemudian mulus meniti jenjang menjadi Ketua Komisi Pemuda, maka dia
layak dan otomatis akan diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat.
363