Anda di halaman 1dari 23

Metode Numerik untuk Penyelesaian

Persamaan Black-Scholes untuk European


Call Option

Oleh:
Felix Lyanto Setiawan (06111940000041)
Ahmad Ulul Albab (6002212004)
M. Khusni Nailul Mubarok (6002212006)
Elisabeth Yeyen Setyorini (6002221015)
M.Prima Teguh Aliffrianto (6002221016)
Al Fatoni Nugroho Putra (6002221017)
Rista Rosdianawati (6002221023)

Dosen Pengampu:
Endah Rokhmati Merdika Putri, S.Si., M.T., Ph.D.
NIP. 19761213 200212 2 001

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2023
Daftar Isi
1 Skema Beda Hingga 3
1.1 Persamaan Difusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.2 Aproksimasi Persamaan Difusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

2 Penyelesaian Numerik Persamaan Heat Transfer 5


2.1 Skema Eksplisit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2.2 Skema Implisit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
2.3 Skema Crank-Nicolson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

3 Analisis Kestabilan Von Neumann 15

4 Aplikasi Beda Hingga Skema Eksplisit 17


4.1 Diskritisasi Persamaan Diferensial Parsial Black-Scholes . . . . . . . . . . . . . . . 17
4.2 Penentuan Harga Opsi dengan Beda Hingga Skema Eksplisit . . . . . . . . . . . . . 18

2
1 Skema Beda Hingga
Skema beda hinga merupakan salah satu dari metode numerik yang dikembangkan untuk me-
nyelesaikan persamaan differensial parsial. Ide dasar skema beda hingga yaitu mendekati turunan di
suatu titik dengan memperhitungkan letak titik disekitarnya dalam jarak yang relative kecil.
Skema beda hingga sendiri terdapat beberap jenisnya, yaitu skema beda hingga eksplisit, implisit,
dan Crank-Nicholson yang merupakan pengembangan dari beda hingga eksplisit dan implisit. Be-
da hingga eksplisit biasa juga disebut pendekatan beda maju, sedangkan beda hingga implisit biasa
disebut pendekatan beda maju.

1.1 Persamaan Difusi


Pada kesempatan kali ini akan dibahas terkait persamaan difusi yang terbentuk dari suatu batang
panjang yang selanjutnya akan mengarah pada filosofi dari skema beda hingga eksplisit. Perhatikan
gambar di bawah ini :

Gambar 1. Batang Logam

Pada Gambar 1 memperlihatkan sebuah batang logam panjang dibungkus isolator panas, kecuali
di kedua ujung batang yang diberi panas dengan temperatur berbeda, panas dan dingin. Didapat
persamaan heat balance di dalam batang :
q(x)A∆t − q(x + ∆x)A∆t = ∆xAρC∆T (1)
Selanjutnya, bagi ruas kiri dan kanan dari persamaan di atas dengan ∆xA∆t sehingga persamaan
(1) menjadi :
q(x) − q(x + ∆x) ∆T
= ρC (2)
∆x ∆t
Limit persamaan (2) tersebut untuk ∆x, ∆t →− 0, sehingga didapat :
∂q ∂T
− = ρC (3)
∂x ∂t
Diketahui Hukum Fourier untuk konduksi panas sebagai berikut :
∂T
q = −kρC (4)
∂x
Substitusi ke dalam Persamaan (3) sebelumnya, sehingga didapat persamaan heat balance menja-
di:
∂T ∂ 2T
=k 2 (5)
∂t ∂x
Persamaan (5) merupakan persamaan difusi konduksi panas yang ternyata merupakan Persamaan
Diferensial Parsial (PDP). Perlu diperhatikan bahwa Persamaan (5) dapat diselesaikan apabila dileng-
kapi dengan kondisi awal atau kondisi akhir(initial or terminal condition) dan syarat batas (boundary
condition).

3
1.2 Aproksimasi Persamaan Difusi
Metode beda hingga sendiri berawal dari persamaan difusi (5) Persamaan difusi mempunyai solu-
si analitik, akan tetapi selanjutnya akan dicari solusi numerik dari persamaan difusi. Untuk melakuk-
an diskritisasi persamaan difusi yang merupakan persamaan diferensial parsial dengan menggunakan
ekspansi deret Taylor. Berikut bentuk umum deret Maclaurin:
1
T (x + h) = T (x) + h T ′ (x) + h2 T ′′ (x) + · · · . (6)
2!
Selanjutnya, didefinisikan turunan pertama dari T terhadap−x dengan error O(h) sebagai berikut:
∂T T (x + h) − T (x)
= + O(h).
∂x h
Misalkan bahwa Tin = T (x,t), Ti+1 n = T (x + h,t), T n+1 = T (x,t + k), i = 0, 1, 2, · · · , n = 0, 1, 2, · · · dan
i
dengan mengabaikan error berderajat h, diperoleh turunan pertama dengan beda hingga maju,
n −Tn
Ti+1
∂T i
≈ . (7)
∂x ∆x
Selanjutnya, apabila didefinisikan deret Maclaurin (6) untuk T (x − h),
1
T (x − h) = T (x) − hT ′ (x) + h2 T ′′ (x) + · · · . (8)
2!
Didapatkan turunan pertama terhadap−x dengan error O(h) sebagai berikut :
∂T T (x) − T (x − h)
= + O(h).
∂x h
Diperoleh turunan pertama dari T dengan beda hingga mundur,
∂T T n − Ti−1
n
≈ i , (9)
∂x ∆x
n = T (x − h,t)). Kemudian, dengan melakukan selisih Persamaan (7) dan Persamaan (9)
(catatan Ti−1
diperoleh,
T (x + h) − T (x − h) = 2h T ′ (x) + O(h3 ).
Didapatkan turunan pertama terhadap−x dengan error O(h2 ) sebagai berikut:
∂T T (x + h) − T (x − h)
= + O(h2 ). (10)
∂x 2h
Diperoleh turunan pertama dari T dengan beda tengah adalah sebagai berikut :
∂T T n − Ti−1
n
≈ i+1 . (11)
∂x 2∆x
Kemudian, dengan melakukan penjumlahan Persamaan (7) dan Persamaan (9) didapat
T (x + h) + T (x − h) = 2T (x) + h2 T ′′ (x) + O(h4 ).
Diperoleh turunan kedua dari T dengan beda tengah,
∂ 2T T (x + h) − 2T (x) + T (x − h)
2
= . (12)
∂x h2
Diperoleh turunan kedua terhadap−x dengan error O(h2 ) sebagai berikut:
n − 2T n − T n
∂ 2T Ti+1 i i−1
≈ . (13)
∂ x2 (∆x)2
Perlu diperhatikan bahwa nilai error dari beda hingga dapat diturunkan untuk mendapatkan hasil
yang lebih akurat. Daftar-daftar formula turunan beda hingga yang memiliki error yang lebih kecil
dapat dilihat pada [1].
Sedangkan untuk beda hingga waktu selalu menggunakan beda maju karena waktu selalu berge-
rak maju, berikut merupakan turunan pertama terhadap waktu−t sebagai berikut:
∂T T n+1 − Tin
= i . (14)
∂t ∆t

4
Untuk mendapatkan solusi numerik dari persamaan heat transfer, perlu dilakukan diskritisasi persa-
maan menjadi persamaan beda hingga.

2 Penyelesaian Numerik Persamaan Heat Transfer


2.1 Skema Eksplisit
Pada kesempatan kali ini akan dibahas terkait skema beda hingga eksplisit, dimulai dari dida-
patkan persamaannya, sampai dengan konvergensi dan stabilitas beda hingga eksplisit.
Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa kesempatan kali ini akan mendapatkan pe-
nyelesaian numerik skema eksplisit dari dari persamaan dufusi atau heat transfer yang sudah ditun-
jukkan pada persamaan (5). Selanjutnya substitusikan persamaan (13) dan (14) kedalam persamaan
(5) sebagai berikut :
∂T ∂ 2T
=k 2
∂t ∂x
T n+1 − Tin T n − 2Tin + Ti−1
n
⇐⇒ i = k i+1
∆t (∆x)2
k∆t
⇐⇒ Tin+1 − Tin = (T n − 2Tin + Ti−1
n
)
(∆x)2 i+1
k∆t
⇐⇒ Tin+1 = Tin + 2
n
(Ti+1 − 2Tin + Ti−1
n
)
(∆x)
k∆t
Misalkan (∆x)2
= α, maka persamaan menjadi :
⇐⇒ Tin+1 = Tin + α(Ti+1
n
− 2Tin + Ti−1
n
)
⇐⇒ Tin+1 = αTi+1
n
+ (1 − α2)Tin + αTi−1
n
(15)
Persamaan (15) di atas merupakan skema persamaan beda hingga eksplisit. Berdasarkan skema
persamaan beda hingga eksplisit di atas maka berikut gambaran umum dari grid yang dihasilkan
skema eksplisit :

Gambar 2. Grid Skema Eksplisit

Dalam praktik penggunaan skema eksplisit berdasarkan Gambar 2, maka untuk mencari tahu suhu
pada suatu titik misal pada titik i di batang panjang yang dipanaskan pada waktu tertentu misalkan
pada waktu n+1 dibutuhkan suhu pada titik i-1,i,i+1 pada saat waktu n.

5
Setelah mendapatkan persamaan skema eksplisit dari persamaan difusi dan mengetahui gambaran
umum dari grid pada skema eksplisit, untuk memperjelas implementasi skema eksplisit dari persa-
maan difusi akan diberikan contoh soal dan penyelesaiannya dengan menggunakan skema eksplisit.
Perhatikan contoh soal di bawah ini.

Contoh 2.1. Diberikan suatu batang logam yang memiliki panjang 10 cm dengan ∆x = 2 cm. Apabila
akan diamati perubahan panas setiap 0,1 detik dengan syarat batas T0t = 100◦C, Tx=10
t = 50◦C, dan
Tx0 = 0◦C untuk x,t ∈ R dan dengan koefisien difusi termal k = 0, 8cm2 /s. Tentukan suhu pada titik
Ti1 untuk i = 1, 2, 3, 4!

Solusi. Gambar 3 merupakan gambaran grafik pada contoh (2.1) :

Gambar 3. Gambaran Awal Pada Contoh Soal

∆t 0,1
Sebelumnya akan dicari nilai α = k (∆x) 2 = 0, 8 22 = 0, 02.
untuk n=1 dan i=1 maka
T11 = α.0 + (1 − 2α).0 + α.100 = 0 + 0 + 2 = 2◦C
untuk n=1 dan i=2 maka
T21 = α.0 + (1 − 2α).0 + α.0 = 0 + 0 + 0 = 0◦C
untuk n=1 dan i=3 maka
T31 = α.0 + (1 − 2α).0 + α.0 = 0 + 0 + 0 = 0◦C
untuk n=1 dan i=4 maka
T41 = α.50 + (1 − 2α).0 + α.0 = 1 + 0 + 0 = 1◦C
Sehingga didapatkan suhu besi ketika Ti1 = [T11 , T21 , T31 , T41 ] = [2◦C, 0◦C, 0◦C, 1◦C].

2.2 Skema Implisit


Skema implisit adalah salah satu metode numerik yang digunakan untuk mengaproksimasi solusi
persamaan diferensial parsial (PDP) dalam pemodelan matematika. Skema ini memiliki keunggulan
dalam stabilitas numeriknya yang lebih baik dibandingkan dengan skema eksplisit, terutama dalam
kasus PDP yang memiliki kondisi stabilitas yang ketat.
Metode Beda hingga implisit digunakan untuk mengatasi batasan kestabilan yang dikenakan oleh
pembatasan 0 < α ≤ 21 , yang berlaku untuk beda hingga eksplisit. Metode implisit memungkink-
an untuk menggunakan besarnnya angka pada x-mesh tanpa harus mengambil tahapan waktu yang
singkat.

6
Persamaan difusi panas atau persamaan panas adalah salah satu persamaan diferensial parsial
yang digunakan untuk menggambarkan perpindahan panas melalui konduksi. Persamaan ini juga
dikenal sebagai persamaan difusi karena mirip dengan persamaan difusi dalam konteks pemodelan
perpindahan massa atau difusi. Secara umum, persamaan difusi panas dituliskan sebagai berikut:
∂ 2T ∂T
2
= (16)
∂x ∂t
dimana T adalah suhu (variabel dependen) yang bervariasi dalam ruang dan waktu, sedangkan t ada-
lah waktu. Persamaan (16) menyatakan bahwa laju perubahan suhu (dengan ∂∂tT ) pada suatu titik
dalam sistem terkait dengan gradien suhu (∇T ), yang merupakan turunan kedua suhu terhadap koo-
rdinat spasial. Grid diskritisasi implisit ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4. Diskritisasi Skema Implisit

Dalam praktiknya, persamaan difusi panas digunakan untuk menganalisis distribusi suhu dalam
berbagai sistem dan menggambarkan bagaimana suhu berubah seiring waktu. Solusi dari persamaan
difusi panas memberikan informasi tentang profil suhu, penyebaran panas, dan distribusi panas dalam
suatu sistem. Rumus penurunan skema implisit pada persamaan difusi panas melibatkan penggunaan
turunan implisit dalam persamaan diferensial. Untuk menjelaskan rumus penurunan, dapat digunakan
persamaan diferensial parsial umum:
∂T Tin+1 − Tin
= (17)
∂x ∆x
Persamaan difusi panas atau persamaan panas adalah salah satu persamaan diferensial parsial
yang digunakan untuk menggambarkan perpindahan panas melalui konduksi. Persamaan ini juga
dikenal sebagai persamaan difusi karena mirip dengan persamaan difusi dalam konteks pemodelan
perpindahan massa atau difusi. Untuk diferensial orde 2 terhadap x pada Persamaan (17) adalah
!2
n+1
∂ 2T Tin+1 − Tin Ti+1 − 2Tin+1 + Ti−1
n+1
= = (18)
∂ x2 ∆x (∆x)2
Sehingga dengan substitusi Persamaan (17) dan (18) ke Persamaan (16), maka diperoleh
∂ 2T ∂T
2
=
∂x ∂t

7
!
n+1
Ti+1 − 2Tin+1 + Ti−1
n+1
Tin+1 − Tin
⇐⇒ =
(∆x)2 ∆t
∆t n+1
⇐⇒ 2
(Ti+1 − 2Tin+1 + Ti−1
n+1
) = Tin+1 − Tin
(∆x)
∆x
⇐⇒ Tin+1 − Tin = n+1 n+1 n+1

Ti+1 − 2T i + Ti−1
(∆x)2
∆t
Misal (∆x)2 = α, dimana α adalah koefisien difusivitas termal, yang merupakan sifat materi yang
mengindikasikan sejauh mana energi panas dapat dikonduksikan melalui benda. Maka
Tin+1 − Tin = α Ti+1n+1
− 2Tin+1 + Ti−1
n−1


⇐⇒ Tin+1 − Tin = αTi+1


n+1
− 2αTin+1 + αTi−1
n+1

⇐⇒ Tin+1 − αTi+1
n+1
+ 2αTin+1 − αTi−1
n+1
= Tin
⇐⇒ (1 + 2α)Tin+1 − αTi+1
n+1 n+1
− αTi−1 = Tin (19)
Contoh 2.2. Diberikan suatu batang logam yang memiliki panjang 10 cm dengan ∆x = 2 cm. Apabila
akan diamati perubahan panas setiap 0,1 detik dengan syarat batas T0t = 100◦C, Tx=10
t = 50◦C, dan
0 ◦
Tx = 0 C untuk x,t ∈ R. Buatlah grid untuk skema Implisit dan tentukan suhu pada titik Tin untuk
n = 1, 2, 3, 4 dan i = 1, 2, 3, 4!
Solusi. Dengan menggambar grafik yang ditunjukkan Gambar 5:

Gambar 5. Grafik Skema Implisit

∆t 0,1
Maka dengan α = (∆t)2
= 22
= 0, 025:
• Untuk n = 0 dan i = 1
(1 + 2(0, 025))T10+1 − 0, 025T1+1
0+1 0+1
− 0, 025T1−1 = T10
⇐⇒ 1, 05T11 − 0, 025T21 − 0, 025T01 = T10
⇐⇒ 1, 05T11 − 0, 025T21 − 0, 025(100) = 0
⇐⇒ 1, 05T11 − 0, 025T21 = 2, 5 (20)
• Untuk n = 0 dan i = 2
(1 + 2(0, 025))T20+1 − 0, 025T2+1
0+1 0+1
− 0, 025T2−1 = T20
⇐⇒ 1, 05T21 − 0, 025T31 − 0, 025T11 = T20
⇐⇒ 1, 05T21 − 0, 025T31 − 0, 025T11 = 0 (21)

8
• Untuk n = 0 dan i = 3
(1 + 2(0, 025))T30+1 − 0, 025T3+1
0+1 0+1
− 0, 025T3−1 = T30
⇐⇒ 1, 05T31 − 0, 025T41 − 0, 025T21 = T30
⇐⇒ 1, 05T31 − 0, 025T41 − 0, 025T21 = 0 (22)

• Untuk n = 0 dan i = 4
(1 + 2(0, 025))T40+1 − 0, 025T4+1
0+1 0+1
− 0, 025T4−1 = T40
⇐⇒ 1, 05T41 − 0, 025T51 − 0, 025T31 = T40
⇐⇒ 1, 05T41 − 0, 025(50) − 0, 025T31 = 0
⇐⇒ 1, 05T41 − −0, 025T31 = 1, 25 (23)

Sehingga untuk n = 0 dengan Persamaan (20),(21), (22), (23) dapat dinyatakan dalam bentuk
matriks berikut:   1  
1, 05 −0, 025 0 0 T1 2, 5
−0, 025 1, 05 −0, 025 0   1 
 T2  =  0 


 0 −0, 025 1, 05 −0, 025 T3   0  1

0 0 −0, 025 1, 05 T41 1, 25


 1  −1  
T1 1, 05 −0, 025 0 0 2, 5
T 1  −0, 025 1, 05 −0, 025 0    0 
 
⇐⇒  2=
1
T   0 −0, 025 1, 05 −0, 025  0 
3
T 1 0 0 −0, 025 1, 05 1, 25
 41    
T1 0, 9529 0, 0227 0, 0005 0, 0001 2, 5
T 1  0, 0227 0, 9534 0, 0277 0, 0005  0 
⇐⇒  2
T 1  = 0, 0005 0, 0227 0, 9535 0, 0227  0 
  
3
T1 0, 0001 0, 0005 0, 0227 0, 9529 1, 25
 41   
T1 2, 3823
T 1  0, 0574
⇐⇒  2
T 1  = 0, 0297
 
3
T41 1, 1912
Dengan demikian diperoleh hasil yaitu
T11 = 2, 3823◦C ; T21 = 0, 0574◦C ; T31 = 0, 0297◦C ; T41 = 1, 1912◦C

• Untuk n = 1 dan i = 1
(1 + 2(0, 025))T11+1 − 0, 025T1+1
1+1 1+1
− 0, 025T1−1 = T11
⇐⇒ 1, 05T12 − 0, 025T22 − 0, 025T02 = T11
⇐⇒ 1, 05T12 − 0, 025T22 − 0, 025(100) = 2, 3823
⇐⇒ 1, 05T12 − 0, 025T22 = 4, 8823 (24)

• Untuk n = 1 dan i = 2
(1 + 2(0, 025))T21+1 − 0, 025T2+1
1+1 1+1
− 0, 025T2−1 = T21
⇐⇒ 1, 05T22 − 0, 025T32 − 0, 025T12 = T21
⇐⇒ 1, 05T22 − 0, 025T32 − 0, 025T12 = 0, 0574 (25)

9
• Untuk n = 1 dan i = 3
(1 + 2(0, 025))T31+1 − 0, 025T3+1
1+1 1+1
− 0, 025T3−1 = T31
⇐⇒ 1, 05T32 − 0, 025T42 − 0, 025T22 = T31
⇐⇒ 1, 05T32 − 0, 025T42 − 0, 025T22 = 0, 0297 (26)

• Untuk n = 1 dan i = 4
(1 + 2(0, 025))T41+1 − 0, 025T4+1
1+1 1+1
− 0, 025T4−1 = T41
⇐⇒ 1, 05T42 − 0, 025T52 − 0, 025T32 = T41
⇐⇒ 1, 05T42 − 0, 025(50) − 0, 025T32 = 1, 1912
⇐⇒ 1, 05T42 − 0, 025T32 = 2, 3412 (27)

Sehingga untuk n = 1 dengan Persamaan (24),(25), (26), (27) dapat dinyatakan dalam bentuk
matriks berikut:
   2  
1, 05 −0, 025 0 0 T1 4, 8823
−0, 025 1, 05 −0, 025 0   2 
 T2  = 0, 0574


 0 −0, 025 1, 05 −0, 025   T32   0, 0297
0 0 −0, 025 1, 05 T42 2, 3412
 2  −1  
T1 1, 05 −0, 025 0 0 4, 8823
T 2  −0, 025 1, 05 −0, 025 0   0, 0574
 
⇐⇒  2=
2
T   0 −0, 025 1, 05 −0, 025 0, 0297
3
T 2 0 0 −0, 025 1, 05 2, 3412
 42    
T1 0, 9529 0, 0227 0, 0005 0, 0001 4, 8823
T 2  0, 0227 0, 9534 0, 0277 0, 0005 0, 0574
⇐⇒  2
T 2  = 0, 0005 0, 0227 0, 9535 0, 0227 0, 0297
  
3
T42 0, 0001 0, 0005 0, 0227 0, 9529 2, 3412
 2  
T1 4, 6538
T 2  0, 1675
⇐⇒  2
T 2  = 0, 0854
 
3
T42 2, 2317
Dengan demikian diperoleh hasil yaitu
T12 = 4, 6538◦C ; T22 = 0, 1675◦C ; T32 = 0, 0854◦C ; T42 = 2, 2317◦C

• Untuk n = 2 dan i = 1
2+1
(1 + 2(0, 025))T12+1 − 0, 025T1+1 2+1
− 0, 025T1−1 = T12
⇐⇒ 1, 05T13 − 0, 025T23 − 0, 025T03 = T12
⇐⇒ 1, 05T13 − 0, 025T23 − 0, 025(100) = 4, 6538
⇐⇒ 1, 05T13 − 0, 025T23 = 7, 1538 (28)

• Untuk n = 2 dan i = 2
(1 + 2(0, 025))T22+1 − 0, 025T2+1
2+1 2+1
− 0, 025T2−1 = T22
⇐⇒ 1, 05T23 − 0, 025T33 − 0, 025T13 = T22
⇐⇒ 1, 05T23 − 0, 025T33 − 0, 025T13 = 0, 1675 (29)

10
• Untuk n = 2 dan i = 3
(1 + 2(0, 025))T32+1 − 0, 025T3+1
2+1 2+1
− 0, 025T3−1 = T32
⇐⇒ 1, 05T33 − 0, 025T43 − 0, 025T23 = T32
⇐⇒ 1, 05T33 − 0, 025T43 − 0, 025T23 = 0, 0854 (30)

• Untuk n = 2 dan i = 4
(1 + 2(0, 025))T42+1 − 0, 025T4+1
2+1 2+1
− 0, 025T4−1 = T42
⇐⇒ 1, 05T43 − 0, 025T53 − 0, 025T33 = T42
⇐⇒ 1, 05T43 − 0, 025(50) − 0, 025T33 = 2, 2317
⇐⇒ 1, 05T43 − 0, 025T33 = 3, 4817 (31)

Sehingga untuk n = 2 dengan Persamaan (28),(29), (30), (31) dapat dinyatakan dalam bentuk
matriks berikut:
   3  
1, 05 −0, 025 0 0 T1 7, 1538
−0, 025 1, 05 −0, 025 0   3 
 T2  = 0, 1675


 0 −0, 025 1, 05 −0, 025   T33   0, 0854
0 0 −0, 025 1, 05 T43 3, 4817
 3  −1  
T1 1, 05 −0, 025 0 0 7, 1538
T 3  −0, 025 1, 05 −0, 025 0   0, 1675
 
⇐⇒  2=
3
T   0 −0, 025 1, 05 −0, 025 0, 0854
3
T 3 0 0 −0, 025 1, 05 3, 4817
 43    
T1 0, 9529 0, 0227 0, 0005 0, 0001 7, 1538
T 3  0, 0227 0, 9534 0, 0277 0, 0005 0, 1675
⇐⇒  2
T 3  = 0, 0005 0, 0227 0, 9535 0, 0227 0, 0854
  
3
T43 0, 0001 0, 0005 0, 0227 0, 9529 3, 4817
 3  
T1 6, 8209
T 3  0, 3259
⇐⇒  2
T 3  = 0, 1681
 
3
T43 3, 3199
Dengan demikian diperoleh hasil yaitu
T13 = 6, 8209◦C ; T23 = 0, 3259◦C ; T33 = 0, 1681◦C ; T43 = 3, 3199◦C

• Untuk n = 3 dan i = 1
(1 + 2(0, 025))T13+1 − 0, 025T1+1
3+1 3+1
− 0, 025T1−1 = T13
⇐⇒ 1, 05T14 − 0, 025T24 − 0, 025T04 = T13
⇐⇒ 1, 05T14 − 0, 025T24 − 0, 025(100) = 6, 8209
⇐⇒ 1, 05T14 − 0, 025T24 = 9, 3209 (32)

• Untuk n = 3 dan i = 2
(1 + 2(0, 025))T23+1 − 0, 025T2+1
3+1 3+1
− 0, 025T2−1 = T23
⇐⇒ 1, 05T24 − 0, 025T34 − 0, 025T14 = T23
⇐⇒ 1, 05T24 − 0, 025T34 − 0, 025T14 = 0, 3259 (33)

11
• Untuk n = 3 dan i = 3
(1 + 2(0, 025))T33+1 − 0, 025T3+1
3+1 3+1
− 0, 025T3−1 = T33
⇐⇒ 1, 05T34 − 0, 025T44 − 0, 025T24 = T33
⇐⇒ 1, 05T34 − 0, 025T44 − 0, 025T24 = 0, 1681 (34)

• Untuk n = 3 dan i = 4
(1 + 2(0, 025))T43+1 − 0, 025T4+1
3+1 3+1
− 0, 025T4−1 = T43
⇐⇒ 1, 05T44 − 0, 025T54 − 0, 025T34 = T43
⇐⇒ 1, 05T44 − 0, 025(50) − 0, 025T34 = 3, 3199
⇐⇒ 1, 05T44 − 0, 025T34 = 4, 5699 (35)

Sehingga untuk n = 3 dengan Persamaan (32),(33), (34), (35) dapat dinyatakan dalam bentuk
matriks berikut:
   4  
1, 05 −0, 025 0 0 T1 9, 3209
−0, 025 1, 05 −0, 025 0   4 
 T2  = 0, 3259


 0 −0, 025 1, 05 −0, 025   T34   0, 1681
0 0 −0, 025 1, 05 T44 4, 5699
 4  −1  
T1 1, 05 −0, 025 0 0 9, 3209
T 4  −0, 025 1, 05 −0, 025 0   0, 3259
 
⇐⇒  2=
4
T   0 −0, 025 1, 05 −0, 025 0, 1681
3
T 4 0 0 −0, 025 1, 05 4, 5699
 44    
T1 0, 9529 0, 0227 0, 0005 0, 0001 9, 3209
T 4  0, 0227 0, 9534 0, 0277 0, 0005 0, 3259
⇐⇒  2
T 4  = 0, 0005 0, 0227 0, 9535 0, 0227 0, 1681
  
3
T44 0, 0001 0, 0005 0, 0227 0, 9529 4, 5699
 4  
T1 8, 8896
T 4  0, 5286
⇐⇒  2
T 4  = 0, 2765
 
3
T44 4, 3589
Dengan demikian diperoleh hasil yaitu
T14 = 8, 8896◦C ; T24 = 0, 5286◦C ; T34 = 0, 2765◦C ; T44 = 4, 3589◦C
Setelah mendapatkan Persamaan (20) hingga Persamaan (35) didapatkan hasil sebagai berikut:
 1 2 3 4  
u1 u1 u1 u1 2, 3823 4, 6538 6, 8209 8, 8896
 u12 u22 u3 u42  0, 0574 0, 1675 0, 3259 0, 5286
un1 un2 un3 un4 =  2
u1 u2 u3 u4  = 0, 0297 0, 0854 0, 1681 0, 2765
  
3 3 3 3
u14 u24 u34 u44 1, 1912 2, 2317 3, 3199 4, 3589

2.3 Skema Crank-Nicolson


Skema Crank-Nicolson merupakan pengembangan dari skema eksplisit dan implisit, yaitu nilai
rata-rata dari kedua metode tersebut [2]. Namun bentuk dari skema Crank-Nicolson adalah skema
implisit. Pada skema Crank-Nicolson diferensial terhadap waktu t dituliskan dalam bentuk beda maju
seperti pada Persamaan (16). Sedangkan, diferensial terhadap ruang x merupakan rerata dari metode
eksplisit (11) dan implisit (17), sehingga diperoleh persamaan
!
n −Tn n+1 n+1
∂T 1 Ti+1 i−1 T − T
= + i+1 i−1
(36)
∂x 2 2∆x 2∆x

12
Gambar 6. Titik-titik yang digunakan pada skema Crank-Nicolson

Untuk diferensial orde 2 terhadap ruang x yaitu


!
n+1
− 2Tin+1 + Ti−1
n+1
 n
∂ 2T 1 Ti+1 − 2Tin + Ti−1
n 
1 Ti+1
2
= 2
+
∂x 2 ∆x 2 ∆x2
∂ 2T 1 n n n n+1 n+1 n+1

= T − 2Ti + T + T − 2T + T (37)
∂ x2 2∆x i+1 i−1 i+1 i i−1

Sehingga apabila Persamaan (14) dan (37) disubstitusikan pada Persamaan difusi (16), maka dipero-
leh:
Tin+1 − Tin 1 n
− 2Tin + Ti−1
n n+1
− 2Tin+1 + Ti−1
n+1

= Ti+1 + Ti+1
∆t 2∆x
∆t
Tin+1 − Tin = n
− 2Tin + Ti−1
n n+1
− 2Tin+1 + Ti−1
n+1

Ti+1 + Ti+1
2∆x
∆t
Apabila α = ∆x 2 , maka diperoleh:
α n
Tin+1 − Tin = Ti+1 − 2Tin + Ti−1
n n+1
− 2Tin+1 + Ti−1
n+1

+ Ti+1
2
n+1 n n
− 2Tin + Ti−1
n n+1
− 2Tin+1 + Ti−1
n+1

2Ti − 2Ti = α Ti+1 + Ti+1
2Tin+1 − αTi+1
n+1
+ 2αTin+1 − αTi−1
n+1
= 2Tin + αTi+1
n
− 2αTin + αTi−1
n

2Tin+1 (1 + α) − αTi+1
n+1 n+1
− αTi−1 = 2Tin (1 − α) + αTi+1
n n
+ αTi−1 (38)
Jika digambarkan grid berdasarkan Persamaan Crank-Nicolson (38), maka titik-titik yang digunakan
untuk menentukan suhu yaitu seperti pada Gambar 6.

Contoh 2.3. Diberikan suatu batang logam yang memiliki panjang 10 cm dengan ∆x = 2 cm. Apabila
akan diamati perubahan panas setiap 0,1 detik dengan syarat batas T0t = 100◦C, Tx=10
t = 50◦C, dan

Tx = 0 C untuk x,t ∈ R. Buatlah grid untuk skema Crank-Nicolson dan tentukan suhu pada titik Ti1
0

untuk i = 1, 2, 3, 4!

Solusi. Dikarenakan panjang benda 10 cm dengan ∆x = 2 cm, maka banyaknya pembagian atau i
10
yaitu ∆x = 10
2 = 5 sehingga i = 0, 1, 2, 3, 4, 5. Diketahui perubahan panas yang diamati setiap 0,1
∆t 0,1 1
detik, maka ∆t = 0, 1. Untuk nilai α, maka α = ∆x 2 = 22 = 0, 025. Sehingga untuk mencari nilai Ti
dengan i = 1, 2, 3, 4, maka:

13
(i) Substitusikan i = 1 dan t = 0 pada Persamaan Crank-Nicolson, diperoleh
2T10+1 (1 + α) − αT1+1
0+1 0+1
− αT1−1 = 2T10 (1 − α) + αT1+1
0 0
+ αT1−1
2T11 (1 + α) − αT21 − αT01 = 2T10 (1 − α) + αT20 + αT00
Dengan syarat batas T0t = 100◦C dan Tx0 = 0◦C, maka
2T11 (1 + 0, 025) − (0, 025)T21 − (0, 025)(100) = 2(0)(1 − 0, 025) + (0, 025)(0) + (0, 025)(100)
2T11 (1, 025) − (0, 025)T21 − 2, 5 = 0 + 0 + 2, 5
2, 05T11 − 0, 025T21 = 5 (39)
(ii) Substitusikan i = 2 dan t = 0 pada Persamaan Crank-Nicolson, diperoleh
2T20+1 (1 + α) − αT2+1
0+1 0+1
− αT2−1 = 2T20 (1 − α) + αT2+1
0 0
+ αT2−1
2T21 (1 + α) − αT31 − αT11 = 2T20 (1 − α) + αT30 + αT10
Dengan syarat batas Tx0 = 0◦C, maka
2T21 (1 + 0, 025) − (0, 025)T31 − (0, 025)T11 = 2(0)(1 − 0, 025) + (0, 025)(0) + (0, 025)(0)
−0, 025T11 + 2, 05T21 − 0, 025T31 = 0 (40)
(iii) Substitusikan i = 3 dan t = 0 pada Persamaan Crank-Nicolson, diperoleh
2T30+1 (1 + α) − αT3+1
0+1 0+1
− αT3−1 = 2T30 (1 − α) + αT3+1
0 0
+ αT3−1
2T31 (1 + α) − αT41 − αT21 = 2T30 (1 − α) + αT40 + αT20
Dengan syarat batas Tx0 = 0◦C , maka
2T31 (1 + 0, 025) − (0, 025)T41 − (0, 025)T21 = 2(0)(1 − 0, 025) + (0, 025)(0) + (0, 025)(0)
−0, 025T21 + 2, 05T31 − 0, 025T41 = 0 (41)
(iv) Substitusikan i = 4 dan t = 0 pada Persamaan Crank-Nicolson, diperoleh
2T40+1 (1 + α) − αT4+1
0+1 0+1
− αT4−1 = 2T40 (1 − α) + αT4+1
0 0
+ αT4−1
2T41 (1 + α) − αT51 − αT31 = 2T40 (1 − α) + αT50 + αT30
Dengan syarat batas Tx0 = 0◦C dan Tx=10
t = 50◦C, maka
2T41 (1 + 0, 025) − (0, 025)T51 − (0, 025)T31 = 2(0)(1 − 0, 025) + (0, 025)(50) + (0, 025)(0)
2T41 (1, 025) − (0, 025)(50) − (0, 025)T31 = 0 + 1, 25 + 0
−0, 025T31 + 2, 05T41 = 2, 5 (42)
Jika diperhatikan pada Persamaan (39), (40), (41), dan (42), maka dapat dibuat grid seperti pada
Gambar 7. Serta dari keempat persamaan tersebut, dapat diubah dalam bentuk matriks
   1  
2, 05 −0, 025 0 0 T1 5
−0, 025 2, 05 −0, 025   1
0  T2   0 
 
 = 
 0 −0, 025 2, 05 −0, 025 T31   0 
0 0 −0, 025 2, 05 T41 2, 5
Untuk menentukan nilai T11 , T21 , T31 , dan T41 , maka
 1  −1  
T1 2, 05 −0, 025 0 0 5
T 1  −0, 025 2, 05 −0, 025 0   0 
 2=   
T 1   0 −0, 025 2, 05 −0, 025   0 
3
T4 1 0 0 −0, 025 2, 05 2, 5
 1  
T1 2, 4396
T 1  0, 0489
 2= 
T 1  0, 1570
3
T41 1, 2387

14
Gambar 7. Grid untuk menentukan T11 , T21 , T31 , dan T41

Sehingga diperoleh suhu pada titik T11 = 2, 4396◦ C, T21 = 0, 0489◦ C, T31 = 0, 1570◦ C, dan T41 =
1, 2387◦ C.

3 Analisis Kestabilan Von Neumann


Analisis kestabilan dilakukan untuk mengetahui stabil atau tidaknya metode yang digunakan un-
tuk mendekati persamaan gelombang dua dimensi tersebut. Dalam hal ini akan dilakukan uji kes-
tabilan dengan menggunakan stabilitas Von Neumann [2] yang dapat dicari dengan mensubtitusikan
T jn = ρ n eik j ke dalam persamaan metode yang telah disebutkan sebelumnya. Dimana i merupakan

bilangan imajiner yaitu −1 dan juga nilai ρ yang menjadi penentu apakah metode tersebut stabil
untuk setiap nilai α yang dimasukkan. Apabila ρ ≤ 1 maka metode tersebut stabil dan apabila ρ > 1
maka metode tersebut tidak stabil. Berikut ini hasil subtitusi Von Neumann ke dalam metode Crank
Nicolson untuk membuktikan apakah metode Crank Nicolson stabil atau tidak.
α n 
T jn+1 − T jn = T j+1 − 2T jn + T j−1
n n+1
+ T j+1 − 2T jn+1 + T j−1
n+1
2
n+1 ik j n ik j α h n ik( j+1) n ik j n ik( j−1) n+1 ik( j+1) n+1 ik j n+1 ik( j−1)
i
ρ e −ρ e = ρ e − 2ρ e + ρ e +ρ e − 2ρ e + ρ e
2
Dari persamaan di atas jika dibagi dengan ρ n eik j , maka menghasilkan
α h ik  i
ρ −1 = e − 2 + e−ik + ρ eik − 2 + e−ik
2
α  ik  α 
ρ − ρ e − 2 + e−ik = eik − 2 + e−ik + 1
2 2
h α  ik i α  
ρ 1− e − 2 + e−ik = eik − 2 + e−ik + 1
2 2
1 + α2 eik − 2 + e−ik

ρ=
1 − α2 eik − 2 + e−ik


Dengan aturan deret McLaurin yaitu


eix + e−ix
cos x = ,
2
maka persamaan menjadi
1 + α2 (2 cos k − 2)
ρ=
1 − α2 (2 cos k − 2)

15
1 + α (cos k − 1)
ρ=
1 − α (cos k − 1)
Lalu akan digunakan suatu uji kasus dengan nilai
−1 ≤ cos x ≤ 1
−2 ≤ cos x − 1 ≤ 0
dan juga ambil ρ ≤ 1
Kasus 1. Saat cos x = −2
Asumsikan bahwa nilai α positif maka
1 + α(−2)
≤1
1 − α(−2)
1 − 2α ≤ 1 + 2α
0 ≤ 4α
0≤α
Terbukti benar bahwa α bernilai positif sesuai dengan asumsi awal.
Kasus 2. Saat cos x = −1
Asumsikan bahwa nilai α positif maka
1 + α(−1)
≤1
1 − α(−1)
1−α ≤ 1+α
0 ≤ 2α
0≤α
Terbukti benar bahwa α bernilai positif sesuai dengan asumsi awal.
Kasus 3. Saat cos x = −2
Asumsikan bahwa nilai α negatif maka
1 + (−α)(−2)
≤1
1 − (−α)(−2)
1 + 2α ≤ 1 − 2α
0 ≤ −4α
0≥α
Terbukti benar bahwa α bernilai negatif sesuai dengan asumsi awal.
Kasus 4. Saat cos x = −1
Asumsikan bahwa nilai α positif maka
1 + (−α)(−1)
≤1
1 − (−α)(−1)
1+α ≤ 1−α
0 ≤ −2α
0≥α
Terbukti benar bahwa α bernilai negatif sesuai dengan asumsi awal.
Kasus 5. Saat cos x = 0
Asumsikan bahwa nilai α positif maupun negatif maka
1 + α(0)
≤1
1 − α(0)
1−0 ≤ 1+0

16
1≤1
Jelas terbukti saat cos x = 0 untuk semua nilai α.
Dari kelima kasus yang telah dilakukan dan terbukti bahwa saat menggunakan nilai ρ ≤ 1
untuk semua nilai dari α maka dapat disimpulkan bahwa metode Crank Nicolson merupakan metode
yang stabil tanpa syarat. Adapun untuk metode eksplisit dan implisit juga dapat dicari kestabilan
dengan cara yang sama seperti yang diberikan di atas.

4 Aplikasi Beda Hingga Skema Eksplisit


Metode beda hingga dapat diterapkan dalam permasalahan penentuan harga opsi saham meng-
gunakan model Black-Scholes. Langkah awal yang perlu dilakukan sebelum menentukan harga opsi
yaitu mendiskritisasi persamaan diferensial parsial Black-Scholes dengan persamaan beda hingga ske-
ma eksplisit yang sudah diperoleh pada poin sebelumnya.

Gambar 8. Grid (S,t)

Pada Gambar 8 didefinisikan titik (i, j) pada grid sebagai titik pada waktu i∆t dan harga saham j∆S.
Variabel V ji sebagai notasi dari nilai opsi pada titik (i, j).

4.1 Diskritisasi Persamaan Diferensial Parsial Black-Scholes


Diketahui persamaan diferensial parsial Black-Scholes dengan melibatkan pembayaran dividen q
sebagai berikut:
∂V ∂V 1 2 2 ∂ 2V
+ (r − q)S + σ S = rV. (43)
∂t ∂S 2 ∂ S2
Persamaan beda hingga eksplisit diperoleh dengan mensubstitusikan aproksimasi beda maju, beda
pusat turunan pertama dan turunan kedua, serta S = j∆S ke dalam Persamaan (43) [3]. Diperoleh
persamaan berikut:

17
 i+1 i+1
  i+1

V ji+1 −V ji V j+1 −V j−1 1 2 2 2 V j+1 −2V ji+1 +V j−1
i+1
rV ji = ∆t + (r − q) j∆S 2∆S + 2 σ j ∆S ∆S2

 i+1 i+1

V ji+1 V ji V j+1 −V j−1
 
(r−q) j σ 2 j2 i+1 i+1 i+1
V ji = r∆t − r∆t + r 2 + 2r V j+1 − 2V j +V j−1

r∆tV ji +V ji  i+1
1 1 2 2 1
− 1r σ 2 j2 V ji+1 + 1 1 2 2 i+1
 
r∆t = − 2r (r − q) j + 2r σ j V j−1 + r∆t 2r (r − q) j + 2r σ j V j+1
 i+1
(1 + r∆t)V ji − 12 (r − q) j∆t + 12 σ 2 j2 ∆t V j−1 + 1 − σ 2 j2 ∆t V ji+1 + 1 1 2 2 i+1
 
= 2 (r − q) j∆t + 2 σ j ∆t V j+1
 i+1
V ji 1
− 21 (r − q) j∆t + 21 σ 2 j2 ∆t V j−1 1
1 − σ 2 j2 ∆t V ji+1

= 1+r∆t + 1+r∆t

1 1 1 2 2 i+1

+ 1+r∆t 2 (r − q) j∆t + 2 σ j ∆t V j+1 .

Sehingga diperoleh solusi sebagai berikut:


V ji = α jV j−1
i+1
+ β jV ji+1 + γ jV j+1
i+1
(44)
dimana:  
1 1 1 2 2
αj = − (r − q) j∆t + σ j ∆t (45)
1 + r∆t 2 2
1
1 − σ 2 j2 ∆t

βj = (46)
1 + r∆t
 
1 1 1 2 2
γj = (r − q) j∆t + σ j ∆t (47)
1 + r∆t 2 2

4.2 Penentuan Harga Opsi dengan Beda Hingga Skema Eksplisit


Diberikan persoalan penentuan harga opsi sebagai berikut: Tinjau suatu opsi beli tipe Eropa 5
bulan pada saham yang tidak memberikan dividen. Harga awal saham yaitu $50 dengan strike price
sebesar $40. Diberikan suku bunga bebas risiko sebesar 10% per tahun dan volatilitas sebesar 40%
per tahun. Carilah harga opsi pada saat t = 0 dan n = 5 menggunakan beda hingga skema eksplisit!

Penyelesaian:
Langkah pertama, yaitu menentukan dahulu nilai awal, batas atas, serta batas bawah dari permasalah-
an yang ada dengan rincian sebagai berikut:

a. Nilai awal
Nilai awal yang dimaksud adalah payoff pada akhir periode atau saat t = T . Sebelum itu, dicari
dahulu harga saham setiap waktu dengan mengikuti Persamaan (48) [4]:
1 2

S(t) = S0 e(r− 2 σ )t+σ ξ t (48)
dengan t = 1, 2, 3, 4 dan ξ = 1, sehingga diperoleh
S(0) = 50
1

2 1+0,4(1)( 1)
S(1) = 50e (0,1− 2 0,4 ) = 76, 09807778
1 2

S(2) = 50e(0,1− 2 0,4 )2+0,4(1)( 2)
= 91, 62539126

0,1− 12 0,42
S(3) = 50e( )3+0,4(1)( 3) = 106, 1489534

S(4) = 50e (0,1− 21 0,42 )3+0,4(1)( 4) = 120, 5449853.

18
Dari perolehan nilai saham tiap waktu, didapatkan payoff (V j5 ) pada akhir periode yang meru-
pakan nilai awal sebagai berikut:

V15 = max(50 − 40; 0) = 10


V25 = max(76, 09807778 − 40; 0) = 36, 09807778
V35 = max(91, 62539126 − 40; 0) = 51, 62539126
V45 = max(106, 1489534 − 40; 0) = 66, 1489534
V55 = max(120, 5449853 − 40; 0) = 80, 5449853.

b. Batas Atas
Batas atas merupakan nilai payoff tertinggi (V5i ) pada setiap periode yang diperoleh dengan
cara berikut:
V55 = max(120, 5449853 − 40; 0) = 80, 5449853

V54 = V55 × e−r∆t = 80, 5449853 × e−0,1( 0,08334)
= 79, 87651281

V53 = V55 × e−2r∆t = 80, 5449853 × e −2(0,1)( 0,08334)
= 79, 21358819

V52 = V55 × e−3r∆t = 80, 5449853 × e −3(0,1)( 0,08334)
= 78, 55616544

V51 = V55 × e−4r∆t = 80, 5449853 × e −4(0,1)( 0,08334)
= 77, 90419887

V50 = V55 × e−5r∆t = 80, 5449853 × e −5(0,1)( 0,08334)
= 77, 25764322.

c. Batas Bawah
Batas bawah merupakan nilai payoff terendah (V0i ) pada setiap periode. Perlu diperhatikan
bahwa nilai saham minimum adalah mendekati 0, sehingga:
V05 = max(Smin − K; 0) = 0
V04 = max(Smin − K; 0) = 0
V03 = max(Smin − K; 0) = 0
V02 = max(Smin − K; 0) = 0
V01 = max(Smin − K; 0) = 0
V00 = max(Smin − K; 0) = 0.

Dari perolehan nilai awal serta nilai batas, dikonstruksikan suatu grid beda hingga untuk mengetahui
posisi yang sudah bernilai dan belum. Untuk posisi yang belum bernilai, dicari dengan menggunakan
skema eksplisit. Grid beda hingga skema eksplisit dengan posisi-posisi yang dimaksud ditunjukkan
oleh Gambar 9. Noktah merah menunjukkan posisi yang telah memiliki nilai dengan keterangan
sebagai berikut: V j5 adalah nilai awal yang merupakan payoff pada saat t = 0, berikutnya V5i sebagai
batas atas yang didapat dari nilai payoff tertinggi, serta V0i merupakan batas bawah yang diperoleh
dari nilai payoff terendah. Noktah hitam merupakan posisi yang perlu dicari nilainya. Nilai opsi
akhir yang dicari adalah saat t = 0.
Penentuan nilai opsi (V ji ) bergerak mundur, dengan i = 4, 3, 2, 1, 0 dan j = 1, 2, 3, 4. Gambar 10
menunjukkan langkah awal penentuan nilai opsi, yaitu saat t = 4. Untuk mencari nilai opsi maka
digunakan Persamaan (44) . Melalui Persamaan (44), maka terbentuklah sistem persamaan linear
sebagai (SPL) berikut:

a. Saat i = 4 dan j = 1
V14 = α1V05 + β1V15 + γ1V25

19
Gambar 9. Posisi Nilai Awal serta Nilai Batas pada Grid Beda Hingga Eksplisit

b. Saat i = 4 dan j = 2
V24 = α2V15 + β2V25 + γ2V35

c. Saat i = 4 dan j = 3
V34 = α3V25 + β3V35 + γ3V45

d. Saat i = 4 dan j = 4
V44 = α4V35 + β4V45 + γ4V55 .

Gambar 10. Grid Beda Hingga Eksplisit titik V j4

Sistem persamaan linear dari kondisi i = 4 dan j = 1, 2, 3, 4 disusun ke dalam bentuk matriks,
 4    5
V1 β1 γ1 0 0 V1
V 4  α2 β2 γ2 0  V 5 
 2=  2 
V 4   0 α3 β3 γ3  V 5 
3 3
V44 0 0 α4 β4 V45
dengan mensubtitusikan nilai awal (payoff saat t = T ) yang telah dihitung sebelumnya, bentuk matriks

20
menjadi  4   
V1 β1 γ1 0 0 10
V 4  α2 β2 γ2 0  36, 09807778
 2=
V 4   0 α3 β3 γ3  51, 62539126 .
 
3
V44 0 0 α4 β4 66, 1489534
Nilai α j , β j , γ j dengan j = 1, 2, 3, 4 dihitung menggunakan Persamaan (45), (46), dan (47). Melalui
perkalian matriks, diperoleh nilai opsi saat t = 4 sebagai berikut,
 4  
V1 10, 17296828
V 4   35, 8641821 
 2=
V 4  51, 51153026 .

3
V44 56, 21421538
Langkah berikutnya, yaitu menghitung nilai opsi saat t = 3. Grid beda hingga eksplisit titik V j3
ditunjukkan oleh Gambar 11. Cara yang sama dilakukan seperti saat menghitung nilai opsi saat t = 4,
yaitu menyusun sistem persamaan linear serta matriks dari SPL. Matriks yang dikonstruksikan, yaitu

Gambar 11. Grid Beda Hingga Eksplisit titik V j3


 3    4
V1 β1 γ1 0 0 V1
V 3  α2 β2 γ2 0  V 4 
 2=  2 
V 3   0 α3 β3 γ3  V 4  ,
3 3
V43 0 0 α4 β4 V44
dengan mensubtitusi nilai dari α j , β j , γ j serta nilai opsi saat t = 4, diperoleh
 3  
V1 10, 33970646
V 3  35, 64378453
 2=
V 3  50, 68677017 .

3
V43 48, 45348728
Secara rekursif diperoleh nilai opsi pada indeks i = 2, 1, 0 dan j = 1, 2, 3, 4, yaitu
 2  
V1 10, 50049345
V 2  35, 41126843
 2=
V 2  49, 39855764 ,

3
V42 42, 32535117
 1  
V1 10, 65532694
V 1  35, 15117871
 2=
V 1  47, 82270533 ,

3
V41 37, 4295089

21
 0  
V1 10, 80403859
V 0  34, 85510861
 2=
V 0  46, 08313579 .

3
V40 33, 46936234
Perolehan yang ditunjukkan oleh V j0 merupakan harga opsi akhir dan terjadi saat t = 0. Grid lengkap
untuk mendapatkan V j0 ditunjukkan oleh Gambar 12.

Gambar 12. Grid Beda Hingga Eksplisit titik V j0

Melalui aplikasi metode beda hingga dalam penghitungan opsi, diketahui bahwa secara umum
bentuk matriks tridiagonal dari skema eksplisit yaitu
     i+1 
V1i β1 γ1 0 · · · 0 0 0 V1
 V i  α2 β2 γ2 · · ·
 2   0 0 0   V2i+1 
 

 ..   .. .
. .
. .
. .
. .
.   .. 
 . = . . . . . .   . .
 i     i+1 
VM−1   0 0 0 · · · αM−2 βM−2 γM−2  VM−2 
VMi 0 0 0 ··· 0 i+1
αM−1 βM−1 VM−1
Untuk i = N − 1, · · · , 1, 0 dan j = 1, 2, · · · , M − 1, bentuk matriksnya dapat dinyatakan dengan V ji =
AV ji+1 dengan A merupakan matriks tridiagonal dengan ukuran (M − 1) × (M − 1).

22
Pustaka
[1] S. C. Chapra, Numerical Methods for Engineers, 8th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2020.

[2] A. Laili and A. Kusumastuti, “Keakuratan solusi pada persamaan difusi menggunakan skema
crank-nicolson,” CAUCHY: Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, vol. 3, no. 3, pp. 147–151,
2014. [Online]. Available: https://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/Math/article/view/2940

[3] J. C. Hull, Options futures and other derivatives. Pearson Education India, 2003.

[4] T. Trimono, I. M. Di Asih, and D. Ispriyanti, “Pemodelan harga saham dengan geometric bro-
wnian motion dan value at risk pt ciputra development tbk,” Jurnal Gaussian, vol. 6, no. 2, pp.
261–270, 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai