Anda di halaman 1dari 76

1

Tinjauan Prospektif
Jaminan Kesehatan
di Indonesia

A. Karakteristik Industri Kesehatan

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,


kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal (Pasal 3; UU No.23/1992). Setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal (Pasal 4; UU No.23/1992). Hal senada tertuang pula dalam Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 amandemen pasal 28H ayat 1, setiap penduduk
berhak atas pelayanan kesehatan. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
status kesehatan masyarakat adalah tersedianya pelayanan kesehatan yang
layak dan cukup (Blum, 1985). UUD 1945 amandemen pasal 34 ayat 3
mengamanahkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
kesehatan dan fasilitas umum yang layak.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 1


Penyediaan pelayanan kesehatan membutuhkan sumber daya yang tidak
sedikit. Ditengah kelangkaan sumber daya yang kita miliki, berbagai upaya
yang dilaksanakan haruslah memenuhi tujuan efisiensi dan pemerataan. Hal
ini tidak mudah dilakukan karena adanya tukar-imbang (trade off) antara
efisiensi dan pemerataan dalam bidang pelayanan kesehatan. Suatu keputusan
investasi kadangkala bersifat terlalu ekonomis karena tidak memperhatikan
sifat sosialnya, sementara keputusan lain dinilai besar sifat sosialnya karena
bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang banyak tanpa mengabaikan
prinsip efisiensi.
Secara alamiah tujuan akhir mekanisme pasar adalah perilaku efisiensi
untuk memaksimalkan kepuasan pasien pada biaya terendah (efisiensi sosial).
Bila mekanisme harga dapat bergerak bebas tanpa hambatan, akan terjadi pola
alokasi, distribusi dan pertukaran yang optimal. Alokasi optimal tercapai
apabila pada suatu situasi realokasi sudah tidak dapat dilaksanakan (sudah
optimal) tanpa mengorbankan atau memperburuk keadaan. Situasi ini disebut
efisiensi alokasi. Dipihak lain, mekanisme harga juga mempunyai keuntungan
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya, yaitu tercapainya
hasil maksimal dengan harga yang telah ditetapkan atau tercapai hasil tertentu
dengan meminimalkan biaya. Situasi ini disebut efisiensi operasional (Mills,
1990). Persyaratan pasar bebas yang sempurna adalah adanya sejumlah besar
pembeli dan penjual yang tidak dapat menguasai pasar, tidak ada hambatan
memasuki pasar, dan produk di mana-mana sama. Bagi pelayanan kesehatan
tampaknya persyaratan tersebut kurang dapat terpenuhi karena pelayanan
kesehatan mempunyai karakteristik tersendiri yang unik. Beberapa
karakteristiknya adalah adanya eksternalitas (dampak limpahan), sebagai
barang publik (public goods), adanya ketidaktahuan pasien (consumer
ignorance), besarnya peran dan pengaruh penyedia pelayanan medis (supply
induce demand) yang dianggap sebagai penyebab terjadinya ‘kegagalan pasar’

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 2


pelayanan kesehatan (market imperfection) sehingga perlu adanya campur
tangan pemerintah dalam bentuk regulasi dan subsidi pasar (Culyer, 1991).
Kebijaksanaan alokasi sumber daya pelayanan kesehatan tidak dapat
hanya mementingkan satu prinsip efisiensi saja tanpa memperhatikan efek
pemerataan karena mekanisme harga yang terbentuk bebas di pasar dapat saja
mengorbankan kelompok sosio-ekonomi lemah yang tidak memiliki
kemampuan yang cukup untuk membeli jasa pelayanan medis yang mereka
butuhkan.
B. Determinan Akses Layanan Kesehatan
Pendekatan ekonomi kesehatan memberikan gambaran teoritis bahwa
sebetulnya ketersediaan pelayanan kesehatan telah merefleksikan interaksi
antara faktor individu/rumah tangga (aspek demand) dan faktor provider
pelayanan kesehatan (aspek supply).
Andersen (1968) dengan model perilaku pencarian pengobatan (a
behavioral model of families’ use of health services) mengelompokkan faktor-
faktor tersebut untuk mengidentifikasi alasan-alasan dalam akses layanan
kesehatan oleh keluarga. Faktor-faktor tersebut dijabarkan menjadi
karakteristik predisposisi (demografi, struktur sosial, kepercayaan/health
belief), faktor pemungkin/enabling (di tingkat individu dan keluarga), serta
need (perceived dan evaluated). Grossman (1972) mengatakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi demand terhadap pelayanan kesehatan adalah
kejadian penyakit, karakteristik kultural-demografi serta faktor ekonomi.
Feldstein (1983) menjabarkan faktor-faktor tersebut disamping penyakitnya
sendiri yang mungkin mempengaruhi kebutuhan pelayanan kesehatan (kuratif
dan preventif) juga dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, pola
penyakit, pendidikan, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga.
Donabedian (1973) mendeskripsikan akses layanan kesehatan yang
dipengaruhi oleh interaksi provider-konsumer dalam bentuk need (perceived
and evaluated). “Need” yang dipersepsikan oleh faktor-faktor konsumer
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 3
berupa komponen sosio-demografi, sosio-psikologis dan epidemiologis.
“Need” yang dievaluasi secara klinis dipengaruhi oleh faktor-faktor provider.
Kedua need tersebut mempengaruhi akses layanan kesehatan. Dalam lingkup
yang lebih luas akses tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasional
dan faktor-faktor sosio-kultural. Lebih lanjut Dever (1984) mengkaji model
Donabedian yang dipadu dengan model Andersen dan Newman (1973)
mengemukakan bahwa determinan akses layanan kesehatan mencakup faktor
sosio-kultural termasuk teknologi dan nilai, faktor organisasi meliputi
kecukupan sumberdaya, aksesibilitas geografis, aksesibilitas sosial dan
karakteristik proses dan struktur perawatan. Sedangkan faktor-faktor yang
berhubungan dengan konsumer mencakup faktor-faktor sosio-demografis dan
sosio-psikologis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyedia layanan
(provider) mencakup faktor ekonomi dan karakteristik provider sendiri.
Aday (1993) menjabarkan bahwa pemerataan akses perawatan medis
(equity of access to medical care) berhubungan dengan karakteristik dari
sistem pelayanan kesehatannya (ketersediaan dan pembiayaannya), serta
karakteristik penduduk (terdiri dari faktor-faktor predisposisi, pemungkin, dan
need).
Phelps (1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan (demand) terhadap perawatan medis meliputi ; tingkat kesakitan
(morbiditas), adanya faktor-faktor sistematik (umur dan jenis kelamin),
kepercayaan terhadap kemanjuran perawatan medis, adanya nasehat (advice)
dari tenaga medis/paramedis, pendapatan keluarga dan harga dari perawatan
medis bersangkutan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
(supply) terhadap perawatan medis berupa besarnya biaya input (biaya modal,
tindakan medis, obat dllsbg.), adanya regulasi serta pemanfaatan teknologi
medis, termasuk input pasar. Secara simultan interaksi demand dan supply
dipengaruhi pula oleh kualitas dan kuantitas pelayanan serta harga.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 4


Nadjib (1999) menganalisis pemerataan akses rawat jalan di berbagai
wilayah Indonesia berdasarkan variasi faktor pengguna, faktor penyedia
layanan kesehatan dan faktor sosio-ekonomi serta potensi wilayah. Ia
menemukan bahwa probabilitas penggunaan pelayanan kesehatan modern
khususnya swasta adalah mereka yang memiliki akses yang lebih baik dan
tinggal di pusat perkotaan. Faktor sosio-ekonomi yang dinilai dominan
pengaruhnya dalam pemerataan ternyata tidak terbukti. Sedangkan faktor
kemauan membayar, pilihan pelayanan, waktu perjalanan terbukti
berhubungan secara signifikan dengan akses. Ketidakmerataan akses antar
wilayah terbukti disebabkan oleh faktor-faktor yang terkait dengan
masyarakat sendiri dan ketersediaan pelayanan.
Razak (2004) mengadopsi berbagai model determinan akses layanan
kesehatan pada rawat inap RSU di Sulawesi Selatan. Ia menemukan bahwa
hanya faktor-faktor ekonomi (ability to pay dan willingness to pay) serta jarak
yang berpengaruh signifikan terhadap keinginan mengakses kembali fasilitas
rawat inap yang tersedia.
C. Pilihan Jaminan Kesehatan/Askes : Sosial vs. Komersial

Pilihan kebijakan menyangkut sistem pelayanan kesehatan (national


health service) yang mana “terbaik” merupakan perdebatan dalam politik
ekonomi kesehatan, apakah pembiayaan kesehatan seharusnya menjadi
tanggung jawab negara sehingga disediakan secara sosialistis “cuma-cuma”,
atau sebaliknya diserahkan melalui mekanisme pasar dan pasien membeli
pelayanan kesehatan melalui asuransi komersial.

Pilihan pertama, berakar dari aliran demokrasi sosial klasik, yang


melahirkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state). Pilihan kedua,
berakar dari konsep fundamentalisme pasar (market fundamentalism) yang
dianut aliran neoliberalisme.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 5


Sejalan dengan situasi perekonomian regional dan global yang turbulen
dan makin meningkatnya permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan,
maka banyak negara sedang berkembang merasakan tekanan yang berat dalam
anggaran pemerintah. Mereka tidak dapat lagi sekedar mengandalkan sumber-
sumber pendapatan keuangan yang berasal dari pajak umum, minyak bumi,
dan sebagainya. Sejumlah negara mulai mempertimbangkan untuk lebih
mengandalkan mekanisme-mekanisme swasta untuk pembiayaan pelayanan
kesehatan. Sebagian lainnya mencari penggalangan dana pada tingkat
komunitas, lokal maupun nasional. Sebagian lagi mengandalkan biaya
langsung pengguna dan bantuan luar negeri. Proporsi anggaran untuk sektor
kesehatan sangat kecil dari keseluruhan anggaran negara. Program-program
pembangunan kesehatan selama ini sebagian besar dibiayai oleh bantuan
pinjaman (utang) luar negeri dan sebagian lain oleh hibah luar negeri
(termasuk untuk program-program yang bersifat “penyelamatan” status
kesehatan masyarakat).

Beberapa hasil studi yang dilakukan oleh Depkes dan Bank Dunia
menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan di Indonesia masih sangat rendah
hanya sekitar 2,5 % dari Produk Dosmestik Bruto (PDB). Rekomendasi WHO
minimal 5 % dari PDB atau 15 % dari APBN/APBD. Sekitar 70 % bersumber
dari masyarakat dan swasta, selebihnya 30 % dari pemerintah. SUSENAS
tahun 2004 menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat untuk kesehatan
masih digunakan untuk upaya kuratif ketika sudah menderita sakit, jumlahnya
3 % dari pengeluaran rumah tangga. Sebesar 70 % dari pengeluaran rumah
tangga ini merupakan pengeluaran langsung (out of pocket), bukan
pembiayaan praupaya berupa premi atau iuran yang dikelola oleh pihak ketiga
(Depkes, 2006; Thabrany, 2008). Hanya sekitar 6 % dari masyarakat
berbentuk asuransi dan 19 % yang dikeluarkan perusahaan bagi pegawainya
(Murti, 2000; Muliadin, 2005).

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 6


Rendahnya persentase pembiayaan melalui asuransi dan masih tingginya
pembayaran langsung di Indonesia mengisyaratkan potensi penggalangan
dana masyarakat melalui asuransi langsung. Terdapat peluang bagi asuransi
kesehatan untuk lebih meningkatkan perannya dalam pembiayaan pelayanan
kesehatan. Jika demikian halnya, apakah sistem kesehatan “sosialistis” atau
mekanisme pasar kompetitif yang terbaik ? Lebih khusus lagi sistem asuransi
komersial ataukah asuransi sosial yang seharusnya dipilih ?

Pendukung asuransi sosial berargumentasi bahwa dengan mewajibkan


anggota masyarakat untuk mengikuti asuransi, maka asuransi sosial
memungkinkan pengucuran uang bagi pemeliharaan kesehatan. Tanpa
asuransi sosial, uang tersebut akan dibelanjakan untuk kepentingan non
kesehatan. Kedua, asuransi sosial memastikan adanya sumber pendapatan
yang stabil bagi sektor kesehatan. Ketiga, asuransi sosial (terutama sistem
“Asuransi Kesehatan Nasional = AKN”) tidak mengurangi dana yang tersedia
bagi Kementerian Kesehatan. Keempat, asuransi sosial meningkatkan
kesehatan para pekerja yang amat vital bagi pertumbuhan negara. Kelima,
apabila memiliki fasilitas-fasilitas sendiri, maka asuransi sosial menggunakan
dana dengan lebih efisien daripada askes komersial.

Di pihak lain, pendukung asuransi komersial beralasan, apabila asuransi


berlangsung dalam mekanisme pasar kompetitif, maka semua perusahaan
akan berupaya meningkatkan efisiensi dengan menekan biaya serendah
mungkin. Pada gilirannya, perusahaan dapat memperoleh keuntungan wajar,
dan peserta membayar premi rendah. Perusahaan yang inefisien akan tidak
kompetitif dalam menawarkan harga premi, selanjutnya akan kehilangan
peminat, dan akhirnya secara fair tergusur dari pasar asuransi.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 7


Ketika pelayanan kesehatan disediakan ‘gratis” oleh negara, maka
konsumen menilai manfaat marginal pelayanan kesehatan lebih rendah dari
biaya marginal untuk memproduksi pelayanan kesehatan. Karena kesehatan
dipandang sebagai public goods yang bersifat non-rival (tidak terdapat
persaingan untuk mengkonsumsi barang : seseorang dapat mengkonsumsi
barang sebanyak yang ia mau tanpa menghabiskannya untuk orang lain) serta
non-excludable (tidak dapat memisahkan barang tersebut untuk tidak
dikonsumsi oleh seseorang, meskipun orang itu tidak membayar), maka
banyak terdapat “pemboncengan gratis” (free rider) yang mengkonsumsi
pelayanan kesehatan tanpa membayarnya. Karena manfaat marginal tidak
klop dengan biaya marginal, maka yang terjadi sebenarnya adalah inefisiensi
alokasi sumber daya kesehatan. (Murti, 2000; Thabrany, 2002).

Isu lain yang sering diperdebatkan mengenai kelemahan sistem “pelayanan


kesehatan nasional” adalah bahwa jasa layanan kesehatan yang dijalankan
pemerintah pada umumnya berkualitas “bulgur” (sekadar memenuhi janji
politik kesehatan gratis).

Mekanisme pasar di pihak lain, menjanjikan dampak pada peningkatan


kualitas. Dengan pluralitas pemain pasar, maka perusahaan akan dipaksa
untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Apabila hal itu tidak dilakukan,
maka konsumen akan berpindah ke perusahaan askes lain yang mampu
memberikan pelayanan (pemberian manfaat asuransi/jaminan kesehatan) yang
lebih berkualitas dan kredibel. Kemajemukan pelaku merupakan salah satu
persyaratan penting agar efisiensi dapat diharapkan melalui mekanisme pasar
kompetitif.

Sebagai ilustrasi bagaimana kinerja dua negara yang menggunakan


sistem pelayanan kesehatan yang bertolak belakang yaitu Inggris (askes
sosial) dan Amerika (askes komersial) ?. Pada tahun 1987, Inggris

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 8


mengeluarkan $ 758 per kapita untuk kesehatan (6,1 % dari PDB), Amerika
Serikat menghabiskan $ 2,051 per kapita (11,2 % dari PDB) pada tahun yang
sama. Pengeluaran kesehatan di Amerika Serikat dua setengah kali lebih besar
dari pengeluaran di Inggris, dan hasilnya umur harapan hidup kurang lebih
sama antara keduanya, dan angka kematian bayi di Inggris lebih rendah.
(Murti, 2000)

Pilihan ketiga, sistem campuran dalam arti mencampurkan elemen-


elemen konsep ekonomi pasar bebas dan negara kesejahteraan. Perlu dicatat
bahwa ketika Amerika Serikat menjalankan mekanisme pasar bebas, negara
kapitalis itu tetap memperhatikan keadilan sosial, memperhatikan komunitas
warga yang terpinggirkan. Untuk memastikan persaingan yang fair dalam
pasar kompetitif dibentuk Undang-Undang Antitrust. Untuk memastikan
keadilan akses terhadap pelayanan kesehatan bagi segmen yang tidak
diuntungkan, pemerintah federal menyelenggarakan program Medicare (bagi
usia lanjut) dan pemerintah negara bagian menyelenggarakan program
Medicaid bagi orang miskin (Murti, 2000). Bahkan ada upaya melalui
reformasi kesehatan yang digulirkan Clinton untuk merubah sistem asuransi
kesehatan Amerika Serikat. (Thabrany, 2002)

D. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan

Di Indonesia, sejak tahun 1992 telah dikembangkan sistem askes


sukarela (voluntary) yang bersifat komersial pada berbagai askes swasta (UU
No. 2 Tahun 1992) dan non-komersial berupa Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992.
Sedangkan pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bagian
dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana diamanatkan dalam
UU Nomor 40 Tahun 2004 yakni bentuk asuransi sosial melalui mekanisme
pengumpulan dana yang bersifat wajib (mandatory) berasal dari iuran guna

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 9


memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya. Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah
hanyalah fakir miskin dan orang tidak mampu (pasal 14 ayat 2 - SJSN).
Mereka yang tergolong mampu (non PBI) diharapkan membeli atau menjadi
peserta secara mandiri.
Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip
asuransi sosial dan ekuitas sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 19
ayat 1 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksud prinsip asuransi sosial
adalah; kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit,
yang tua dan muda, dan yang beresiko tinggi dan rendah; kepesertaan yang
bersifat wajib dan tidak selektif; Iuran berdasarkan persentase
upah/penghasilan; bersifat nirlaba. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip
ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan
kebutuhan yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
Kesamaan memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauan finansial ke
pelayanan kesehatan.
Pasal 19 ayat 2 UU SJSN menyatakan bahwa “jaminan kesehatan
diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan”. Kebutuhan dasar kesehatan adalah kebutuhan akan layanan
kesehatan yang memungkinkan seseorang yang sakit dapat sembuh kembali
sehingga ia dapat berfungsi normal sesuai usianya.
Setelah menunggu waktu yang cukup lama untuk menunjang
terlaksananya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut, maka dibuatlah
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pasal 60 ayat 1 UU BPJS menyatakan
bahwa : “BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014.”. Untuk itu, PT Askes
(Persero) ditugaskan untuk menyiapkan operasional BPJS Kesehatan sesuai
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 10
dengan ketentuan dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU No. 40 Tahun
2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Selain itu, PT Askes
(Persero) menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan
kewajibannya ke BPJS Kesehatan.
Secara ringkas sasaran yang akan dicapai dari pengembangan jaminan
kesehatan terlihat pada Tabel 1.1. berikut.
Tabel 1.1. tersebut menyajikan dua momentum waktu yang akan
dicapai. Pertama; kurun waktu 2012-2014 dimana pada kurun waktu tersebut
fokusnya adalah mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan. Kedua;
periode 2015-2019 dimana pada kurun waktu tersebut fokusnya pada adalah
pada perluasan kepesertaan menuju Universal Coverage (berlaku mulai 1
Januari 2019).
WHO merumuskan setidaknya ada tiga dimensi dalam pencapaian universal
coverage yaitu; (1) seberapa besar prosentase penduduk yang dijamin; (2)
seberapa lengkap pelayanan yang dijamin; dan (3) seberapa besar proporsi
biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk. Ketiga dimensi ini,
selaras dengan kemampuan anggaran pemerintah dan pilihan penduduknya.
Bagaimana dengan negara kita ?. Defisit dana penyelengaraan BPJS
Kesehatan sepanjang tahun 2015-2018 menjadi “kendala utama” pengelolaan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memasuki masa universal coverage.

Tabel 1.1. Delapan Sasaran Pokok Peta Jalan JKN Tahun 2012-2019

SASARAN 1 JANUARI 2014 SASARAN 2019


1. BPJS Kesehatan mulai bergerak 1 BPJS Kesehatan beroperasi dengan
. baik
2. BPJS Kesehatan mengelola jaminan 2 Seluruh penduduk Indonesia (yang
kesehatan setidaknya bagi 121,6 juta . pada 2019 diperkirakan sekitar 257,5
peserta (sekitar 50 juta rumah dikelola juta jiwa) mendapat jaminan
badan lain) kesehatan melalui BPJS Kesehatan

3. Paket manfaat medis yang dijamin 3 Paket manfaat medis dan non medis
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 11
adalah seluruh pengobatan untuk . (kelas perawatan) sudah sama, tidak
seluruh penyakit. Namun masih ada ada perbedaan, untuk mewujudkan
perbedaan kelas perawatan di rumah keadilan sosial, bagi seluruh rakyat.
sakit bagi yang mengiur sendiri dan
bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI)
yang iurannya dibayarkan pemerintah.

4. Rencana aksi pengembangan 4 Jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan


kesehatan tersusun dan mulai . (termasuk tenaga dan alat-alat ) sudah
dilaksanakan. memadai untuk menjamin semua
pendu-duk memenuhi kebutuhan medis
mereka

5. Seluruh peraturan pelaksanaan (PP. 5 Semua peraturan pelaksanaan telah


Perpres, Peraturan Menteri, dan . disesuaikan secara berkala untuk
peraturan BPJS) yang merupakan menjamin kualitas layanan yang
turunan UU SJSN dan UU BPJS telah memadai dengan harga keekonomian
diundangkan dan diterbitkan yang layak

6. Paling sedikit 75% peserta 6 Paling sedikit 85% peserta menyatakan


menyatakan puas, baik dalam layanan . puas, baik dalam layanan di BPJS
di BPJS maupun dalam layanan di maupun dalam layanan di fasilitas
fasilitas kesehatan yang dikontak kesehatan yang dikontrak BPJS.
BPJS

7. Paling sedikit 65% tenaga dan fasilitas 7 Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas
kesehatan menyatakan puas atau . kesehatan menyatakan puas atau
mendapat pembayaran yang layak dari mendapat pembayaran yang layak dari
BPJS BPJS

8. BPJS dikelola secara terbuka, efisien, 8 BPJS dikelola secara terbuka, eifisen,
dan akuntabel . dan akuntabel.

Sumber : Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2014-2019, hal. 28

RUJUKAN

Aday L.A., Begley C.E., Lairson, D.R. and Slater C.H. , 1993. Evaluating the medical care system :
effectiveness, efficiency, and equality. Ann Arbor : Health Administration Press.
Andersen, R, 1968. A Behavioral Model of Families Use of Health Services. Center of Health
Administration Studies, Research Series 25, Graduate School of Business, The University of
Chicago, Chicago.
Blum, H.L., 1985. Planning for Health Development and Application of Social Change Theory, New York :
Human Sicence Press

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 12


Culyer, A.J. 1991. The Economics of Health Volume I - II, Edward Elgar Publishing Company. England.
Dever, Alan G.E., 1984. Epidemiology In Health Services Management, An Aspen Publications, Rockville
– Maryland.
Donabedian A. 1973. Aspects of Medical Care Administration : Specifying Requirements for Health
Care, Cambridge, MA: Harvard University Press;
Feldstein, P. J. 1993. Health Care Economics, Delmar Publishers Inc., New York.
Grossman, M. 1972a. A Stock Approach to the Demand for Health, chapter 1 in M.Grossman, The
Demand for Health : A Theoritical and Empirical Investigation. National Bureau of Economic
Research, Occasional paper 119, New York – London, Columbia University Press : 1 - 10.
Mill, Anne & Lucy Gilson. 1990. Ekonomi Kesehatan Untuk Negara - Negara Berkembang :
Sebuah Pengantar, (terjemahan : Budi Susetyo, dkk.), Dian Rakyat, Jakarta.
Muliadin, Gufron M. Ali, Budiningsih, Nanis. 2005. Analisis Pembiayaan Kesehatan Keluarga
Miskin di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, Vol. 08 (03) : 155 – 162.
Murti, Bhisma, 2000. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan, Kanisius, Jogyakarta.
Nadjib, Mardiati, 1999. Pemerataan Akses Pelayanan Rawat Jalan Di Berbagai Wilayah Indonesia,
Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Phelps, Charles E. 1997. Health Economics, second edition, Addison-Wesley Longman, Inc.
Massachusetts-USA.
Razak, Amran, 2004. Utilisasi, Permintaan Input dan Analisis Simulasi Kebijakan Tarif Rawat Inap Rumah
Sakit Umum di Sulawesi Selatan, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana, UNHAS.
Republik Indonesia, Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (2014-2019).
Thabrany, Hasbullah et.al., 2000. Comprehensive Review on JPKM to Develop a More Sustainable
Insurance Scheme, Foundation for Advance of Public Health in Indonesia, Faculty of Public
Health University of Indonesia colaborate with Dep. of Health Rep. of Indonesia – Bappenas.
Thabrany, Hasbullah, 2002. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan, PPEKI, Jakarta
Thabrany, Hasbullah, 2008. Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia dalam SJSN, Bahan
Makalah Diskusi RPJMN Bappenas, 29 April 2008
____________ . 1993. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992, Tentang
Kesehatan, penerbit Arcan, Jakarta.
____________ . 2007. Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), Asa Mandiri, Jakarta.
____________ . 2007. Undang-Undang Dasar ’45 : Hasil Amandemen dengan Penjelasan, Permata
Bangsa, Jakarta.
____________ .2014. Peraturan Presiden R.I. Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Peta
Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang Kesehatan dan Bidang Ketenagakerjaan.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 13


2
1.000 Hari BPJS Kesehatan :
Defisit, “Bleeding” atau Mismatch
------------------------------------------ Chazali H.
Situmorang

Issue BPJS Kesehatan selama 1.000 hari kehidupannya (1 Januari 2014-26


September 2016), hampir tidak pernah putus. Teraktual adalah issue tentang
perlunya Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 6,8 T.

Publik kaget dan terpengaruh seliweran opini tentang masa depan program
Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Akan bangkrutkah
program nawacita ini?

Muncul beberapa istilah yang menggambarkan indikasi awal kebangkrutan


dimaksud. Mulai dari istilah “bleeding”, defisit dan mismatch.

Lembaga swadaya masyarakat sangat sering menggunakan istilah “bleeding”.


Memang agak seram. Konotasinya sedang terjadi perdarahan. Dalam istilah
kedokteran yang sangat awam, darah keluar dari pembuluh darah yang sobek
(tidak intact lagi). Uang “ngocor” keluar. Mungkin kurang lebih seperti itulah
maksudnya.

Kalangan pemerintahan lebih banyak menggunakan istilah defisit. Dalam


laporan keuangan resmi hasil audited BPJS Kesehatan tahun 2014 dan 2015,
dituliskan posisi akhir aset netto BPJS Kesehatan. Posisinya adalah negatif.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 14


Negatifnya aset netto ini menggambarkan lebih banyak pengeluaran daripada
pendapatan. Dan itu, artinya defisit!

Mismacth sebagai Akar Masalah

Bleeding ataupun defisit akan sangat dimengerti persoalannya apabila


diketahui akar masalahnya.

Semua pihak yang terlibat dari awal dalam proses lahirnya BPJS Kesehatan,
akan tahu persis causa utamanya. Secara fundamental dan terstruktur
penyebabnya adalah penetapan iuran yang tidak sesuai angka yang
seharusnya, sebagaimana hitungan akademik/aktuaria.

Para aktuaris yang harus kita akui keilmuannya, dalam hal ini telah
menghitung secara benar iuran yang seharusnya di tahun 2016. Melalui
lembaga Dewan Jamjnan Sosial Nasional (sebuah lembaga yang mendapat
mandat lewat UU SJSN) didapatkan hitungan iuran untuk tahun 2016 sebagai
berikut, termasuk kemudian ketetapan yang diputuskan:

1. Iuran untuk Peserta Bantuan Iuran (Miskin dan Tidak Mampu) seharusnya
36.000 rupiah per orang per bulan. Kenyataannya, diputuskan hanya 23.000
rupiah per bulan. Artinya minus 13.000 rupiah per orang perbulan. Ini akar
masalah pertama. Tidak match ( mismatch ) dari apa yang seharusnya, dan
apa yang menjadi ketetapan.

2. Bagaimana dengan iuran pekerja non formal atau peserta mandiri?

A. Untuk peserta mandiri kelas 3, iuran seharusnya 51.000 rupiah per orang
per bulan.
Kenyataannya, diputuskan hanya 25.500 rupiah per bulan. Artinya iuran
tersebut minus 27.500 rupiah per orang per bulan. Ini akar masalah kedua.

Tidak match (mismatch ke dua) dari apa yang seharusnya dan apa yang
menjadi ketetapan.

B. Untuk peserta mandiri kelas 2, iuran seharusnya 63.000 rupiah per orang
per bulan.
Kenyataannya, diputuskan hanya 51.000 rupiah per bulan. Ini akar
masalah ketiga. Artinya minus 12.000 rupiah per orang per bulan. Tidak
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 15
match (mismatch ke tiga) dari apa yang seharusnya dan apa yang menjadi
ketetapan.

Belum lagi kalau dihitung lebih lanjut iuran dari segmen pekerja formal, baik
dari sisi persentase kontribusinya, penentuan batas atas upah dan batas bawah
upah yang belum sesuai hitungan aktuaria.

Hanya iuran peserta mandiri kelas 1 yang match atau sesuai dengan
hitungan aktuaria, yaitu ditetapkan sebesar 80.000 rupiah per orang per
bulan.

Sampai kapan defisit akan berlangsung.

Pertanyaannya, sudah tahu ada mismatch antara iuran ideal dan iuran yang
ditetapkan, mengapa program berjalan terus? Sudah tahu besar pasak daripada
tiang, kok berlanjut?

Di sinilah komitmen Pemerintah untuk terus menjalankan amanat UU. Sejak


awal setiap awal tahun BPJS Kesehatan menyusun rencana anggaran yang
diputuskan bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan dan
DJSN. Dalam rencana tersebut sudah tergambar berapa besar defisit yang
akan terjadi.

Untuk itu, komitmen Presiden Jokowi sangat kuat, yaitu dari awal sudah
mempersiapkan alokasi untuk suntikan dana nantinya. Tentu saja harus
disetujui DPR pada akhirnya.

Pilihannya adalah untuk alokasi dana dimaksud, sekaligus dimasukkan diawal


sebagai komponen iuran, atau di belakang dalam bentuk suntikan. BPJS
Kesehatan kalau diperbolehkan memilih, pasti meminta alokasi dana tersebut
dicairkan awal. Bukan dalam bentuk PMN.

Namun menyadari bahwa ruang fiskal yang sempit, maka diupayakan dulu
dengan mengendalikan adverse selection peserta yang bergabung hanya pada
saat

sakit, memperbanyak bergabungnya peserta sehat, mengendalikan rujukan


pasien serta mencegah indikasi dan potensi fraud (kecurangan) oleh pemberi
layanan yang berindikasi over utilisasi (overconsume).
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 16
Apakah upaya di atas akan menghilangkan defisit. Jawabnya tidak, sepanjang
iuran belum disesuaikan. Lalu, darimana uangnya kalau fiscal space untuk
mengalokasikan tambahan dana untuk menaikkan iuran PBI sudah tidak
memungkinkan?

Jawabannya, iuran segmen non PBI harus segera disesuaikan berdasarkan


hitungan aktuaria yang telah ditetapkan DJSN. Dengan demikian, paling tidak
semangat gotong royong sudah mulai menemukan bentuknya. Bagaimanapun
juga program JKN KIS adalah program pooling fund dari seluruh segmen
peserta.

Apakah kemudian, sekali lagi, defisit akan hilang. Jawabnya tidak. Yang
dapat dijamin adalah defisit berkurang. Lalu langkah apa lagi yg paling
mungkin pada saat iuran PBI tidak dapat dipenuhi sesuai hitungan aktuaria.

Pak Wapres memberikan arahan, mulai untuk dibahas peran pemda agar ada
share dengan pemerintah daerah. Share pemda bisa dalam bentuk share iuran
agar mendekati hitungan aktuaria untuk peserta PBI yang berasal dari
daerahnya. Share juga bisa dalam bentuk share pembayaran atas pengeluaran
biaya pelayanan kesehatan di daerahnya.

Namun, dari resep menaikkan iuran peserta non PBI dan optimalisasi peran
pemda, apakah bisa segera dilakukan. Tentu saja tidak, karena harus
dibicarakan dengan berbagai pihak. Upaya jangka pendek adalah menutup
mismatch tahun 2016 adakah dengan suntikan dana yang sudah diprediksikan
dari awal, yaitu sebesar 6,8 T. Tujuannya agar kita dapat segera
menyelamatkan keberlanjutan program JKN KIS yang sangat baik dan mulia
ini.

______________________

Sumber :

http://www.jurnalsocialsecurity.com/sosial/kesehatan/1-000-hari-bpjs-kesehatan-defisit-bleeding-atau-
mismatch.html, diakses 20 okt 2016.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 17


3
LakekomaE
JKN/BPJSKesehatan ?

Ada beberapa faktor determinan asuransi kesehatan (askes) sosial di


banyak negara termasuk Indonesia, bisa diamati dari besarnya kelompok
penduduk ‘kurang mampu’; masyarakat sehat menilai iuran sangat mahal,
kesiapan fasilitas kesehatan merespon permintaan yang meningkat;
kemampuan manajemen institusi pengelola; dan rasa solidaritas. Selain itu,
dukungan politik; kepatuhan peserta; kesinambungan keuangan; dan integrasi
jamkesda/askes sosial lainnya.
Salah satu akar masalah dalam pengelolaan Jaminan Kesehatan
Nasional/Badan Pengelola Jaminan Sosial (JKN/BPJS) Kesehatan adalah
terjadinya ‘bleeding’, ‘mismatch’ alias ‘ketekoran’ lantaran penarikan iuran
lebih kecil dibanding pengeluaran berupa tarif dan tingkat utilisasi sehingga
mengalami defisit. Tekor karena iuran yang berlaku tak sesuai hasil
perhitungan aktuaris. Kategori tekor mulai iuran Penerima Bantuan Iuran

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 18


(PBI), mandiri kelas 3 dan kelas 2, tekor setengah hitungan aktuaris premi
perbulan.
Hanya iuran peserta mandiri kelas 1 yang ‘match’ atau sesuai hitungan
aktuaria Rp 80.000 per orang per bulan.
Gejala lainnya adalah “adverse selection” dimana peserta bergabung
hanya pada saat sakit, dan lemahnya pengendalian rujukan pasien, serta
potensi “fraud” (kecurangan) oleh pemberi layanan yang berindikasi over
utilization (overconsume).
Rumah sakit swasta yang semula “ogah” menerima peserta BPJS, kini
“getol”. Ada apa ???
Kendala lain, cenderung semakin membengkaknya biaya pelayanan
kesehatan terutama beban biaya penyakit katastropik. Begitu pula, belum
optimalnya upaya pelayanan primer sebagai “gatekeeper” menunjang
sustainabilitas JKN.
Di beberapa daerah, proses integrasi jamkesda ke BPJS kesehatan
merupakan masalah tersendiri. Salah satu alasannya, memenuhi janji
kesehatan gratis.
Selain itu secara makro ekonomi, penopang utama dana JKN/BPJS
yang bersumber dari RAPBN 2017 yang memiliki nilai Rp. 2.070,5 trilyun,
dengan penerimaannya adalah Rp. 1.737,6 trilyun, mengalami defisit sebesar
Rp. 332,8 trilyun atau 2,41% dari PDB.
***
Penduduk Sulawesi Selatan yang belum memiliki jaminan kesehatan
diperkirakan sebanyak 3.098.454 jiwa (32, 78 %). Di Provinsi Sumater Utara
(Sumut), masih 60 % wilayah yang sudah tercover JKN-KIS, dari jumlah
penduduk di wilayah provinsi Sumatera Utara 14 juta lebih, yang sudah
jadi peserta baru 8.470.000 orang. Sebanyak 11 juta penduduk Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum terdaftar BPJS kesehatan.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 19


Gambaran tersebut, menimbulkan kegelisahan bahwa sekitar
‘sepertiga’ penduduk Indonesia masih tercecer dalam skenario peserta JKN
menyambut tahun Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage)
2019,
dimana semua penduduk sudah memiliki jaminan kesehatan. Jika rakyat
‘terabaikan’ artinya mereka bisa ‘terhempas’. Mereka menunggu hadirnya
nawacita – ibarat sandiwara “Menunggu Godot” (Waiting for Godot)?

Waiting for Godot merupakan sebuah naskah drama yang sudah beberapa kali dipentaskan.
Naskah ini pertama kali dipentaskan di Paris pada tanggal 5 januari 1953. Naskah aslinya
berbahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk bahasa
Indonesia. Waiting for godot mulai ditulis pada tanggal 9 Oktober 1948 dan selesai pada tanggal
29 Januari 1949.Naskah drama ini terdiri dari dua babak. Babak I dan babak II menunjukkan
setting tempat dan waktu yang sama, yaitu di suatu jalan di desa pada suatu senja. Pada jalan itu
terdapat sebuah pohon. Pada babak I, pohon itu tanpa daun, dan pada babak II sudah muncul
beberapa helai daun. Tokoh yang terdapat dalam naskah ini hanya lima orang, yakni Vladimir,
Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy. Namun dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh tersebut
muncul nama Godot, ialah tokoh yang mereka nantikan. Godot tidak muncul dalam teks drama
secara konvensional dalam artian hanya ada nama tokoh dan dialog tetapi hanya dalam ucapan
tokoh tokoh yang membicarakannya. Dengan kata lain, kehadiran Godot adalah “ex absentia”,
yakni keberadaan dari ketiadaan.
Ia dibicarakan terus menerus namun ia tidak muncul.
Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian
itulah ia menunjukkan kekuasaannya dalam hal daya paksanya terhadap Vladimir dan Estragon
untuk tetap menunggunya datang. Pada judul buku naskah drama ini tertulis: Waiting for Godot,
tragicomedy in two acts, by Samuel beckett, grove press, inc. new York. 1954. Kata tragicomedy
dalam judul tersebut dapat kita pahami sebagai istilah yang digunakan oleh Beckett untuk
mengisyaratkan bahwa dalam drama tersebut ada dua unsur yang saling bertalian satu sama
lain yakni, tragedi dan komedi. Namun pengertian komedi dalam naskah ini tidak dapat
dipahami dalam artian yang umum, tetapi mengacu pada pengertian yang oleh Ionesco disebut
“the intuition of the absurd”. Absurditas itu bersumber pada “sense of incongruity”, tatkala
manusia merenungkan keberadaannya di tengah alam semesta.[3]Absurd yang dimaksud disini
adalah situasi dimana manusia tidak menemukan kepastian dalam hidupnya sehingga ia
menjadi aneh, tak jelas, dan serba bingung (confuseness). Dalam drama ini, para tokoh
dihadapkan dengan persoalan menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera
datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir dramapun dikisahkan bahwa
godot tak pernah muncul. “BLUSUK_an ???

Maka ‘naiflah’ kiranya, bila ada pemerintah kota yang ingin


mengalihkan APBD 2017 atau mengurangi premi BPJS untuk membangun
rumah sakit.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 20


Setidaknya dua kabupaten di Sulawesi Selatan (Kabupaten Sidrap dan
Kabupaten Gowa), memberlakukan KTP sebagai ‘kartu berobat’ bagi
masyarakat yang belum tersentuh BPJS Kesehatan.
Masyarakat yang merasa terabaikan, tentu menyukai ‘pendekatan’
tersebut. Tak heran jika “BPJS ditolak-digugat-dijudicial review karena
disinyalir tak bisa menyerap residu JKN.
Setidaknya dua kabupaten di Sulawesi Selatan (Kabupaten Sidrap dan
Kabupaten Gowa), memberlakukan KTP sebagai ‘kartu berobat’ bagi
masyarakat yang belum tersentuh BPJS Kesehatan.
Masyarakat yang merasa terabaikan, tentu menyukai ‘pendekatan’
tersebut. Tak heran jika “BPJS ditolak-digugat-dijudicial review karena
disinyalir tak bisa menyerap residu JKN.
***

Ditengah keterpurukan JKN/BPJS Kesehatan, tersaji beberapa solusi


antara lain : menutupi mismatch dengan suntikan dana besar, yang sebenarnya
sudah diprediksi sejak awal h Rp. 6,8 T sebanyak APBD Sulsel.
Menyesuaikan iuran segmen non PBI seperti hasil hitungan aktuaria.
Menciptakan skenario baru (bisa di luar BPJS ?) berupa paket khusus
penderita penyakit katastropik bagi orang kaya.
Perbaikan esensial pengelolaan BPJS Kesehatan melalui
kesinambungan keuangan; mengendalikan biaya tinggi pelayanan kesehatan;
dan pemantapan keadilan (inequity) akses dan kualitas layanan kesehatan
antara kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Sustainabilitas JKN
melalui pelayanan primer sebagai “gatekeeper” dengan penekanan pada
upaya-upaya promotif dan preventif.
Sistem askes sosial seperti JKN/BPJS Kesehatan diperlukan, namun
bisakah berlanjut tanpa suntikan dana triyunan dari APBN ??? LakekomaE
BPJS Kesehatan ???
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 21
________________
Sumber : OPINI Tribun Timur, Rabu 9 November 2016

4
Simalakama
BPJS Kesehatan ?
---------------------- Amran Razak

Membaca TAJUK harian Fajar (15/11/2016) berjudul : “Mengurai


Kusut BPJS Kesehatan” menguraikan semakin melonjaknya kepesertaan
BPJS Kesehatan, tetapi pembayaran lelet. Pembayaran besar dengan
pendapatan kecil, pembayaran dana BPJS Kesehatan sering terlambat diterima
pihak rumah sakit menyebabkan menurunnya pelayanan pasien BPJS

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 22


Kesehatan. Bahkan, tak jarang ditemukan layanan diskriminatif terhadap
pasien BPJS di rumah sakit. Disamping itu, terjadinya pendarahan (bleeding)
keuangan BPJS Kesehatan lantaran pengeluarannya lebih besar ketimbang
pemasukan yang diterima. Kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) Ch. Situmorang, “sudah tahu besar pasak daripada tiang, kok
berlanjut ?”.
Sehari sebelumnya (14/11/2016) Harian Fajar memuat headline “BPJS
Sandera Rumah Sakit” dengan subjudul “Dirawat sayang, ditolong susah.
Inilah dilema Rumah Sakit (RS) menghadapi pasien BPJS”. Kisah pasien
Andika Abdillah yang baru dua hari selesai menjalani operasi tulang, diminta
oleh perawat untuk meninggalkan rumah sakit.
Seorang mahasiswi Magister Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK)
UMI dan seorang lainnya mahasiswa Magister AKK Unhas, bertanya pada
penulis, mengapa “pelayanan Askes lebih baik daripada BPJS Kesehatan ?”
Ada beberapa faktor determinan asuransi kesehatan (askes) sosial di
banyak negara termasuk Indonesia, bisa diamati dari proporsi kelompok
miskin; masyarakat sehat menilai iuran sangat mahal, kesiapan fasilitas
kesehatan merespon permintaan yang meningkat; kemampuan manajemen
institusi pengelola; dan rasa solidaritas. Selain itu, dukungan politik;
kepatuhan peserta; kesinambungan keuangan; dan integrasi jamkesda/askes
sosial lainnya.
Momok Verifikator ?

Di Sulawesi Selatan (Sulsel) tercatat kuota PBI APBD sebanyak


1.735.571 peserta, sementara data berdasarkan SK bupati/walikota sebanyak
1.537.134 peserta. Namun, setelah dilakukan verifikasi oleh BPJS hanya
1.371.915 peserta. PBI APBN sebanyak 3.104.474 peserta. Selain itu, mandiri
dan jamkes lainnya sebanyak 1.878.325 peserta. Total peserta JKN Sulsel
sebanyak 6.354.714 orang (77,22 % dari penduduk Sulsel). Verifikator BPJS
ada di setiap rumah sakit bertugas menyelaraskan klaim rumah sakit dan
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 23
aturan BPJS Kesehatan. Alasan klasik, masalah berkas tak pas sehingga
tetunda pembayaran. Tarik menarik RS - BPJS merupakan dilemma berdasar
‘takaran’ kepantasan utilisasi layanan kesehatan yang diberikan. Hal ini, juga
terjadi antara Jamkesda yang belum terintegrasi ke BPJS dengan RSUD.
Timboel Siregar dari BPJS Wacth mengingatkan dari 500 kabupaten/kota di
Indonesia baru sekitar 200 kabupaten/kota mengintegrasikan Jamkesda-nya ke
BPJS. Disinyalir rawan dikorupsi, dan sudah ada kasus Subang.
Di negara lain, keterlambatan pembayaran klaim dinilai sebagai bunga atas
pembayaran tertunda. Silahkan menunda, bunganya jalan terus. Fenomena
tunggakan terjadi di hampir semua rumah sakit di Indonesia, yang memberi
citra kurang baik bagi pengelolaan BPJS Kesehatan. Di sisi lain, batas klaim
rumah sakit belum ada, sehingga berpotensi terjadinya fraud” (kecurangan)
oleh pemberi layanan yang berindikasi over utilization (overconsume). Gejala
lainnya adalah “adverse selection” dimana peserta bergabung hanya pada saat
sakit, terutama penderita penyakit katastropik yang menelan biaya paling
tinggi dalam pelayanan kesehatan. Kebanyakan penderita penyakit katastropik
adalah kalangan mampu, disinyalir penyerap terbesar dana BPJS Kesehatan.
Mungkin, diperlukan kebijakan (di luar) BPJS Kesehatan bagi kalangan
mampu untuk membeli ‘paket khusus’ penyakit katastropik, untuk menjaga
keadilan dalam pemanfaatan dana BPJS Kesehatan.
BOK Menalangi ?
Salah satu akar masalah dalam pengelolaan BPJS Kesehatan adalah
terjadinya ‘bleeding’, ‘mismatch’ atawa ‘ketekoran’ lantaran penarikan
iuran/premi lebih kecil dibanding pengeluaran berupa tarif dan tingkat utilisasi
sehingga mengalami defisit. Tekor karena iuran/premi yang berlaku tak sesuai
hasil perhitungan aktuaris. Hampir semua kategori tekor mulai Penerima
Bantuan Iuran (PBI), mandiri kelas 3 dan kelas 2, tekor sampai setengah
hitungan aktuaris premi perbulan. Istilah penulis, ‘dagang ala Nabi’. Hanya
iuran peserta mandiri kelas 1 yang ‘match’ atau sesuai hitungan aktuaria Rp
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 24
80.000 per orang per bulan. BPJS Kesehatan bagai buah simalakama :
dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati ?.
Defisit tersebut sebenarnya sudah ketahuan sejak awal, sekitar Rp. 6,8
T sebesar APBD Sulsel 2016. Tahun lalu, defisit BPJS kesehatan sebesar Rp.
5,8 T. Sepertinya tak ada cara penyembuhan tercepat mengatasi defisit BPJS
Kesehatan, kecuali suntikan dana dari pemerintah. Menyadari fiscal space
yang sempit, upaya penggalangan dana melalui efisiensi pengelolaan BPJS
Kesehatan, optimalisasi iuran/premi sesuai hitungan aktuaria disadari tak bisa
segera membantu memerlukan proses cukup lama, maka tak perlu kaget jika
Menteri Kesehatan akan menggunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) untuk menalangi defisit BPJS Kesehatan 2016. Semoga tidak
bermasalah, di kemudian hari.
BPJS Kesehatan sebagai implementasi penjabaran dari sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) menuju Jaminan Kesehatan Semesta (Universal
Health Coverage) 2019 di mana setiap penduduk telah memiliki jaminan
kesehatan, meski belum memadai masih diperlukan dalam memberi pelayanan
kesehatan yang layak, merata dan berkualitas. Sistem asuransi kesehatan
(askes) sosial di berbagai negara, juga membutuhkan waktu yang cukup untuk
mematangkan pelaksanaan jaminan kesehatan mereka. Tetapi apa pun
alasannya, haruslah dipahami bahwa pelayanan kesehatan tak sekadar sebagai
kewajiban negara (nawacita) tetapi juga sebagai hak esensial rakyat Indonesia.
@

_________________
Sumber : OPINI Harian Fajar, Rabu 16 November 2016, hal. 4

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 25


5

Residu
Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN)
-------------------------- Amran Razak

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 26


Catatan Awal :
Residu adalah ampas atau sisa pengendapan dari sel yang mengalami pemisahan
kepekatan, di mana zat tersebut tertinggal dan tidak larut sebagaimana bagian lainnya yang bisa
‘hilang’/larut secara keseluruhan. Residu berkonotasi kurang baik.

JKN/BPJS Kesehatan semestinya merupakan wujud ‘nawacita’ sebagai eksistensi kehadiran


negara. Sentuhan kebijakan negara dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang layak bagi setiap
warga negara (universal health coverage) ditahun 2019 menjadi taruhan keadilan dalam kesehatan.
Sejumlah data menunjukkan masih ada sekitar ‘sepertiga’ penduduk Indonesia belum memiliki
jaminan kesehatan. Mampukah bangsa ini, menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi
penduduk semesta ???.

Kondisi BPJS Kesehatan yang sakit-terus lantaran ‘ bleending’ atau ‘mismatch’ – ‘tekor’. BJPS
pun marak ‘adverse selection’ dan indikasi ‘fraud’. Sejumlah provinsi berusaha mengintegrasikan
‘Jamkesda’ (kesehatan gratis) mereka ke BPJS. Sementara itu - adapula, pemkot yang malah
berusaha mengurangi premi BPJS untuk bangun rumah sakit. Beberapa kabupaten merasa tak puas
dengan BPJS, mereka mengakomodir penggunaan KTP sebagai kartu berobat, malah ada yang
‘menolak kehadiran BPJS’ melakukan ‘judicial review’ terhadap BPJS.

Apa yang mendesak dilakukan pemerintah dalam mengurangi “nestapa” JKN/BPJS


Kesehatan ? Jawaban yang tersedia cuma “suntikan dana”. Ironisnya, dana penyokong itupun itu ‘tak
sehat’ lantaran diramal RAPBN 2017 defisit. Disisi lain, peningkatan kualitas layanan BPJS dan
penguatan Perpres 19/2016.

Masa dua tahun tersisa (2017-2018) memasuki Jaminan Kesehatan Semesta ( Universal
Health Coverage) masih ada sekitar ‘sepertiga’ penduduk Indonesia belum memiliki jaminan
kesehatan. Hal ini akan menjadi tambahan beban baru implementasi JKN/BPJS, berpotensi menjadi
residu JKN ?.

A. BEBERAPA KENDALA IMPLEMENTASI JKN/BPJS


KESEHATAN

Beberapa faktor determinan asuransi kesehatan sosial di banyak negara


termasuk Indonesia, bisa diamati dari besarnya segmentasi penduduk ‘kurang
mampu’; masyarakat sehat menilai iuran sangat mahal, kesiapan faskes
menghadapi permintaan yang meningkat; kemampuan manajemen
pengelolaan institusi; dan lemahnya rasa solidaritas. Selain itu, tingkat
dukungan politik; kepatuhan peserta; kesinambungan keuangan; dan integrasi
jamkesda/askes sosial lainnya.
Salah satu akar masalah dalam pengelolaan JKN/BPJS Kesehatan
adalah terjadi-nya ‘bleeding’, ‘mismatch’ alias ‘tekor’ akibat penarikan iuran
lebih kecil dibanding pengeluaran berupa tarif dan tingkat utilisasi sehingga
mengalami defisit. Tekor karena iuran yang berlaku tidak sesuai hasil
perhitungan aktuaris dari DJSN.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 27


Hitungan Iuran yang
Kategori Aktuaria berlaku TEKOR
(DJSN)/(Rp) (Rp)

PBI (miskin & tdk mampu) 36.000 23.000 13.000

Mandiri kelas 3 51.000 25.500 27.500

Mandiri kelas 2 63.000 51.000 12.000

Belum lagi, bila dihitung lebih lanjut iuran dari segmen pekerja formal,
baik dari persentase kontribusinya, penentuan batas atas upah dan batas bawah
upah yang belum sesuai hitungan aktuaria. Hanya iuran peserta mandiri kelas
1 yang ‘match’ atau sesuai hitungan aktuaria, yaitu ditetapkan sebesar Rp
80.000 per orang per bulan.
Gejala lainnya adalah “adverse selection” dimana peserta bergabung
hanya pada saat sakit, dan lemahnya pengendalian rujukan pasien, serta
potensi “fraud” (kecurangan) oleh pemberi layanan yang berindikasi over
utilization (overconsume). Tak heran, jika rumah sakit swasta yang semula
“ogah” menerima peserta BPJS, kini terlihat di bagian pendaftaran antrian
peserta BPJS membludak setiap pagi. Ada apa ???
Cenderung semakin membengkaknya biaya pelayanan kesehatan
terutama beban biaya penyakit katastropik. Begitu pula, belum optimalnya
upaya pelayanan primer sebagai “gatekeeper” menunjang sustainabilitas JKN.
Di beberapa daerah, proses integrasi jamkesda ke BPJS kesehatan
merupakan masalah tersendiri.
Selain itu secara makro ekonomi, penopang utama dana JKN/BPJS
yang bersumber dari RAPBN 2017 yang memiliki nilai Rp. 2.070,5 trilyun,
dengan penerimaannya adalah Rp. 1.737,6 trilyun, mengalami defisit sebesar
Rp. 332,8 trilyun atau 2,41% dari PDB (detikFinance.com).
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 28
B. INTEGRASI JAMKESDA

Integrasi Jamkesda adalah sinergitas penyelenggaraan jaminan


kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (pemda)
dalam skema SJSN dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola
oleh BPJS Kesehatan. Integrasi Jamkesmas tercantum dalam road map JKN
2014 – 2019 yang mengakomodir peralihan, integrasi dan perluasan. (Skema 3
: Peta Jalan JKN). Selain itu, di beberapa provinsi memanfaatkan sebagai alat
menepati janji ‘kesehatan gratis’.
Riwayat peta jalan JKN bermula pada tahun 1999 ketika UUD 1945 di-
amandemen dengan memasukkan hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat
(pasal 28H) dan pada tahun 2002 dalam amandemen keempat UUD 1945
Negara diperintahakn untuk mengembangkan sistem jaminan sosial untuk
seluruh rakyat.
Tahun 2004 lahirlah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuh tahun kemudian, lahirlah Undang-
Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang antara lain menetapkan PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
berubahmenjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatanpada
tanggal 1 Januari 2014. Dengan penetapan BPJS Kesehatan,maka Indonesia
memasuki era baru dimana akan terbentuksebuah sistem pembayar tunggal
(single payer system) layanan medis untuk seluruh penduduk. Sistem ini
merupakan sistem yang berkeadilan untuk seluruh rakyat sekaligus yang
mampu mengendalikan belanja biaya kesehatan.Sebuah sistem besar perlu
difahami oleh semua pemangku kepentingan dan dijalankan dalam satu arah
upaya yang sinkron agar tujuan akhir sistem jaminan kesehatan dalam UU
SJSN, dapat dicapai dalam waktu yang diharapkan. Untuk itu, perlu disusun
peta jalan (roadmap) yang akan menjadi pegangan bagi semua
pemangku kepentingan. Tujuan disusunnya peta jalan ini adalah untuk

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 29


memberikan arahdan langkah-langkah yang perlu dilakukan secara
sistematis, konsisten, koheren, terpadu dan terukur dari waktu ke waktu dalam
rangka :

1. Mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014


2. Terwujud sebuah Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (INA-Medicare) bagi seluruh
penduduk Indonesia.
3. Terselenggaranya Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan UU No 40 Tahun 2004
tentang SJSN dan UU No 24/2011 tentang BPJS berikut peraturan pelaksananya.

Peta jalan ini merupakan pegangan bagi semua pihak untuk memahami
dan mempersiapkan diri berperan aktif mempersiapkan beroperasinya BPJS
Kesehatan pada 1 Januari 2014 dan mencapai cakupan universal satu
Jaminan

Kesehatan untuk seluruh penduduk Indonesia pada Tahun 2019. Untuk


itu, dirumuskan sasaran yang akan dicapai pada tahun 2014 dan sasaran yang
akan dicapai pada tahun 2019.

Skema 3 :
Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 30


Sumber : Dinas Kesehatan Sulsel, 2016

Model integrasi Jamkesda yang berlaku saat ini dapat dilihat dari 2 aspek
yaitu aspek ketercakupan dan aspek iuran.
1. Aspek Ketercakupan
1.1. Universal Coverage
Menjamin seluruh penduduk yang belum jadi peserta BPJS
Kesehatan
Contoh : KJS dan JKRA
Skema 4 :
Model Integrasi Jamkesda

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 31


Sumber : Dinas Kesehatan Sulsel, 2016

1.2. Terseleksi
Fakir miskin dan tidak mampu yang belum jadi peserta BPJS
Kesehatan
Contoh : Palangkaraya
2. Aspek Iuran
2.1. Sharing : Sharing (Provinsi – Kabupaten/Kota) = 40% + 60%
Contoh : Sharing iuran (%) => Prov. Sulsel + Kab/Kota
Sharing peserta (%) => Prov. Jateng
2.2. Full Costing
Seluruh iuran dibayarkan oleh Prov/Kab/Kota
Contoh : Kota Medan

Di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), jumlah peserta PBI APBD tahun


2016 sebanyak 1.735.571 jiwa berdasarkan kuota, 1.537.134 peserta
berdasarkan SK Bupati/Walikota; hanya 1.371.915 peserta setelah divefikasi
oleh BPJS.
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 32
Artinya, masih tersisa kuota setelah dikurangi verikasi BPJS sebesar 364.456
peserta atau tersisa dari kuota setelah dikurangi SK bupati/walikota sebesar
198.437 orang.
Di Provinsi Jawa Tengah, terdapat 510.311 peserta PBI APBD
bersumber dari APBD I sebanyak 166.468 peserta dan APBD II sebanyak
353.843 peserta.

C. NAWACITA : ‘Waiting for Godot ?’


Penduduk Sulawesi Selatan yang belum memiliki jaminan kesehatan
diperkirakan sebanyak 3.098.454 jiwa (32, 78 %). Di Sumatera Utara, masih
60 % wilayah yang sudah tercover JKN-KIS, dari jumlah penduduk di
wilayah provinsi Sumut 14 juta lebih, yang sudah jadi peserta baru
8.470.000 orang, artinya baru 60 % yang sudah tercover. (harian Waspada).
Sebanyak 11 juta penduduk Jawa Tengah dan DIY belum terdaftar BPJS
kesehatan (Metrotvnews.com).
Gambaran ini, menimbulkan kegelisahan bahwa masih ada sekitar
‘sepertiga’ penduduk Indonesia harus dimasukkan (baca : tertinggal) dalam
skenario peserta JKN sebelum memasuki tahun 2019. Jika masih
‘terabaikan’ memasuki tahun 2019 artinya mereka bisa ‘terhempas’.
Menunggu kehadiran nawacita – ibarat sandiwara ‘Menunggu Godot’
(Waiting for Godot) ?
Maka ‘naiflah’ kiranya, bila ada pemerintah kota (pemkot) yang ingin
mengalihkan APBD 2017 atau mengurangi premi BPJS untuk membangun
rumah sakit. (Fajar, 24/08/16).
Setidaknya dua kabupaten di Sulsel (Kab. Sidrap dan Kab. Gowa),
memberlaku-kan KTP sebagai ‘kartu berobat’ bagi masyarakat yang belum
tersentuh BPJS. (rakyatku.com; somberenews.com; beritasatu.com).
Masyarakat yang merasa terabaikan, tentu menyukai ‘pendekatan’ tersebut.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 33


Tak heran jika “BPJS Ditolak”, “BPJS digugat” diajukan “judicial review”
karena disinyalir tak bisa menyerap (baca : mengabaikan) residu JKN.

D. JKN/BPJS : SOLUSI DALAM TERSEOT ?

Ditengah keterpurukan JKN/BPJS Kesehatan, tersaji beberapa solusi


antara lain :
A. Menutupi Mismatch
1. Upaya bersifat segera menutupi ‘mismatch’ tahun 2016 hanya dengan
suntikan dana, yang sebenarnya sudah diprediksi sejak awal hampir Rp. 6,8
T, seperti tahun sebelumnya (2015) sekitar Rp 5 T.
2. Menyesuaikan iuran segmen non PBI berdasarkan hasil hitungan aktuaria
dari DJSN.
3. Menaikkan iuran peserta non PBI dan optimalisasi peran pemda, meski hal
ini membutuhkan waktu dan komitmen tinggi.

B. Optimalisasi Manajemen Pengelolaan

1. Upaya Kesinambungan Keuangan


a) Optimalisasi rekruitmen PPU melalui kerjasama Pemda untuk pelayanan
satu pintu; peningkatan pengawasan kepatuhan; dan rekrutmen PPnPN.
b) Peningkatan kolektibilitas iuran melalui penyesuaian kontribusi/ iuran
(Perpres 19/2016); perluasan channel pembayaran iuran; law
inforcement; dan uji coba kader JKN.
c) Pengendalian biaya pelayanan kesehatan melalui pencegahan fraud &
Abuse; peningkatan kompetensi dan kapabilitas tenaga verifikator.
d) Mencegah terjadinya subsidi terbalik dimana dana PBI ‘terserap’
membiayai non PBI mandiri.
e) Mitigasi resiko pada faktor yang berpengaruh terhadap sustainabilitas
keuangan berupa pertimbangan penyesuaian tarif pelayanan kesehatan

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 34


hingga akhir tahun 2016; dampak faktor eksternal berupa perlambatan
ekonomi, pergeseran pola penyakit; dan perkembangan teknologi
kesehatan.

2. Pengendalian Biaya Tinggi Pelayanan Kesehatan


Perlunya pengendalian biaya tinggi terutama penyakit katastropik
terutama yang mencapai Rp 13,6 Triliun (23,9 %) dan penyakit jantung (13
%), gagal ginjal kronik (7 %), kanker (5 %), dan stroke (2 %).
3. Pemantapan Layanan
Pemantapan pelayanan kesehatan dengan penambahan jumlah fasilitas
kesehatan terutama perluasan akses; penguatan dan pembinaan layanan
fasilitas kesehatan; memperkuat sistem IT dengan membangun infrastruktur
IT; serta peningkatan sosialisasi program kepada peserta. Selain itu,
sustainabilitas JKN melalui pelayanan primer sebagai “gatekeeper” dengan
penekanan pada upaya-upaya promotif dan preventif.

________________________
BACAAN

Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, ‘Penganggaran Bantuan Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis
T.A. 2008 – 2018,
tabel.
BPJS, Implementasi Kebijakan BPJS Kesehatan dalam Mewujudkan Universal Health Coverage di Indonesia
dan Tantangan,
benchmarking Magister AKK FKM Unhas, Jakarta, 3 oktober 2016
Beritasatu.com, Bupati Gowa Ajukan Judicial Review tentang BPJS, http://www.beritasatu.com/ nasional/
350728-bupati-gowa-ajukan-ijudicial-reviewi-tentang-bpjs.html diakses 21 oktober 2016
DetikFimance.com, RAPBN 2017 Tidak Sehat, Sri Mulyani : Kita Berutang Untuk Bayar Bung
Utang, http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3277058/rapbn-2017-tidak-sehat-sri-
mulyani-kita-berutang-untuk-bayar-bunga-utang diakses 21 oktober 2016
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Pelaksanaan Integrasi Jamkesda Provinsi Jawa Tengah; bahan
kunjungan kaji-banding Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Semarang, 16 Juni 2016.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Ranperda tentang Integrasi Kesehatan Gratis Jamkesda Dalam
Program Jaminan Kesehatan Nasional, Juli 2016
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Data Kepesertaan Program JKN-NPJS Kesehatan
di Propinsi Sulawesi Selatan per Juli 2016.
Chazali Situmorang, 1000 Hari BPJS Kesehatan : Defisit, “Breeding” atau Mismatch, http : //www.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 35


jurnalsocialsecurity.com/sosial/kesehatan/1-000-hari-bpjs-kesehatan-defisit-bleeding-atau-
mismatch.html, diakses 20 oktober 2016.
Harian Fajar, Kurangi Premi BPJS untuk Bangun RS, 24 agustus 2016, hal. 1
Harian Fajar, Peserta Merasa Dianaktirikan, 24 agustus 2016, hal. 1
Harian Fajar, Pertemuan Kemitraan Penyelenggara Jamkesmas Sulawesi Selatan, 21 Oktober 2016, hal. 13
Harian Waspada, Seluruh Penduduk Indonesia Tahun 2019 Sudah Punya JKN, edisi 04 Juni 2016, halaman
B4
Koran Sindo, Tunggakan BPJS Jatim Rp 106 Miliar, edisi 27-10-2016. http://www.koran-sindo.com/news.
php?r=5&n=62&date=2016-10-27, diakses 30 oktober 2016.

Metrotvnews.com, 11 Juta Penduduk Jawa Tengah dan DIY Belum Terdaftar BPJS Kesehatan, 17 Maret
2016 16:08 http://jateng.metrotvnews.com/read/2016/03/17/500065/11-juta-jiwa-penduduk-jawa-
tengah-dan-diy-belum-terdaftar-bpjs-kesehatan diakses 26 oktober 2016.
Rakyatku.com., Salut, Sidrap yang Pertahankan Kesehatan Gratis, http://news. rakyatku. com read
/11965/2016/07/05/salut-hanya-sidrap-yang-pertahankan-kesehatan-gratis, diakses 23
oktober 2016
Somberenews.com, Bupati Gowa Tolak BPJS Masuk di KabupatenGowa, http:/ www. somberenews.
com/bupati-gowa-tolak-bpjs-masuk-di-kabupaten-gowa/ diakses 23 oktober 2016
____________ Peraturan Presiden R.I., Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, www.bkkbn.go.id, diakses 27
oktober 2016.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 36


6
Strategi Manajemen JKN
bagi Aksesibilitas
Masyarakat Miskin
-------------------------- Amran Razak

Jean-Frederic Levesque, Mark F Harris and Grant Russell (2013)


mengemukakan 5 (lima) dimensi aksesibilitas layanan kesehatan bagi
masyarakat miskin meliputi kedekatan (approachability), kemampuan
menerima (acceptability), ketersediaan (availability and accomodation),
kesanggupan pengguna (affordability) dan kesesuaian (appropriateness).
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 37
Pendekatan ini, dapat pula digunakan dalam memahami aksesibilitas Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN)/Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang
Kesehatan.
Dimensi-dimensi aksesibilitas JKN/BPJS Kesehatan dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. KEDEKATAN (approachability)

Terkait dengan pengguna mendapatkan pelayan kesehatan yang bisa


diidentifikasi dalam bentuk keberadaan pelayanan, bisa dijangkau dan
berdampak pada kesehatan pengguna.
2. KEMAMPUAN MENERIMA (acceptability)

Terkait dengan faktor sosial budaya yang memungkinkan masyarakat


menerima pelayanan yang ditawarkan.
3. KETERSEDIAAN (availability and accomodation)

Mengacu pada pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau kapan dan di


manapun. Ketersediaan tidak hanya secara fisik, namun secara Sumber Daya
mampu memberikan pelayanan sesuai kemampuan.
4. KESANGGUPAN PENGGUNA (affordability)

Mengacu pada kemampuan dari pengguna untuk menggunakan fasilitas


kesehatan secara ekonomi maupun sosial.
5. KESESUAIAN (appropriateness)

Mengacu pada kesesuaian antara pelayanan yang diberikan dan kebutuhan


pengguna.
Aksesibilitas adalah kesempatan untuk mengidentifikasi kebutuhan
kesehatan, untuk mencari layanan kesehatan, untuk mencapai, untuk
mendapatkan atau menggunakan layanan kesehatan, dan benar-benar memiliki
kebutuhan untuk layanan kesehatan yang bisa terpenuhi __

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 38


Aksesibilitas JKN/BPJS Kesehatan tergambar dalam skema interaksi
antara Peserta dari kalangan miskin dalam hal ini Penerima Bantuan Iuran
(PBI), di satu sisi. Sedang sisi lain terdapat Pengelola BPJS Kesehatan dan
Penyedia Layanan Kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas serta klinik
sebagai jejaring BPJS. (lihat skema 4)

Skema 4 :
Dimensi Aksesibilitas JKN/BPJS Kesehatan

Dalam aspek manajemen organisasi JKN/BPJS Kesehatan dapat


ditelusuri dengan melihat apakah telah tercapai atau belum tercapai lima
dimensi aksesibilitas. Jika sudah dilaksanakan sejauhmana lima dimensi
aksesibilitas tersebut telah dilaksanakan sejak berlakunya program BPJS
Kesehatan ? Tercermin dalam fungsi manajemen para pihak yang terkait

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 39


mulai dari peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) – Pengelola BPJS Kesehatan
– Penyedia Layanan Kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, dan
penyedia fasilitas kesehatan lainnya.

Skema 5 :
Aksesibilitas Program JKN/BPJS Kesehatan

No Dimensi Aksesibilitas JKN/BPJS Kesehatan Sudah Belum

KEDEKATAN
1 Pengguna mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bisa diidentifikasi dalam bentuk keberadaan
pelayanan, bisa dijangkau dan berdampak pada
kesehatan pengguna
(approachability)

KEMAMPUAN PENERIMA
Faktor sosial budaya yang memungkinkan
2
masyarakat menerima pelayanan kesehatan yan
ditawarkan
(acceptability)

KETERSEDIAAN
Pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau kapan
3
saja dan di mana saja. Ketersediaan tidak hanya
secara fisik, naumn secara Sumber Daya mampu
memberikan pelayanan sesuai kemampuan
(availability and accomodation)

4 KESANGGUPAN PENGGUNA
Kemampuan pengguna untuk menggunakan fasilitas
kesehatan secara ekonomi dan sosial
(affordability)

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 40


5 KESESUAIAN
Kesesuaian antara pelayanan yang diberikan dengan
kebutuhan pengguna.
(appropriateness)

Dalam hal ini mungkin dapat dikatakan bahwa dimensi 1 (kedekatan)


sudah tercapai, sedangkan dimensi 2-5 masih menuai beberapa kendala dalam
proses manajemen BPJS Kesehatan sendiri menghadapi peserta/pasien dan
pemberi layanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, klinik, dll). Hal ini
terlihat dalam hasil berbagai studi tentang optimalisasi penyelenggaraan BPJS
Kesehatan di Indonesia.
MUSIBAH ATAU DISTROSI ?

Beberapa hal yang masih terjadi dalam manajemen pengelolan BPJS


terutama layanan rumah sakit seperti :
1. Subsidi terbalik – gejala adverse selection
2. Dumping
3. Readmisi
4. Bloody discharge & Supply Induce Demand (SID)
5. Pola Peresepan Obat.

1. SUBISIDI TERBALIK (ADVERSE SELECTION)

 Ada adverse selection di kelompok peserta Mandiri. Premi yang


terkumpul tidak cukup, dan kemungkinan menggunakan dana PBI atau
PBI non Mandiri.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 41


`

 Penyakit katastropik ternyata menyerap dana Rp 16,9 Trilyun atau


29,67% Beban Biaya JKN/BPJS Kesehatan.
 Berbagai sumber pembiayaan kesehatan negara akan masuk ke BPJS
tanpa ada sistem pengendali dan pembatas.
 Pembiayaan untuk penanganan kuratif dapat menjadi tidak ada
batasnya.

2. DUMPING :

• Dumping merupakan bentuk negatif penerapan DRG di Rumah Sakit.


Indikasi dumping diidentifikasi dari (a) rujukan horizontal umum; (b)
rujukan horizontal khusus; (c) rujukan vertikal bawah.
• Rumah Sakit cenderung memilih pasien menguntungkan yaitu pasien
yang menghabiskan biaya lebih kecil dari tarif INA-CBGs, sementara
pasien yang merugikan dirujuk ke fasilitas lain.
• Ditemukan indikasi dumping 33,7% Rawat Inap dan 16% Rawat Jalan.

3. READMISI :

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 42


• Readmisi menyedot perhatian besar para pengambil kebijakan ketika
pembayaran Rumah Sakit berubah dari Fee for Service (FFS) ke DRG.
Readmisi mencerminkan pengeluaran berlebihan, dibarengi rendahnya
kualitas.
• Oleh karenanya, readmisi digunakan sebagai indikator kualitas layanan.
• Semakin kecil readmisi, semakin baik kualitas.
• Readmisi juga dipakai sebagai outcome penelitian yang mengkaji
penerapan teknologi bidang kesehatan.

4. BLOODY DISCHARGE & SID


• Respon Rumah Sakit yang dibayar DRGs, kasus Rawat Inap dapat
berupa pengurangan Length of Stay (LOS) dan penurunan intensitas
pelayanan.
• Ini merupakan efek positif penerapan DRGs.
• Namun, mengurangi LOS mengakibatkan pemulangan pasien yang
masih butuh perawatan di Rumah Sakit (bloody discharge).
• Selain memberikan ketidaknyamanan bagi pasien, bloody discharge
berimplikasi pada biaya karena menjadi pendorong readmisi.
• Bloody discharge adalah pemulangan pasien Rawat Inap yang masih
butuh perawatan.
Supply Induce Demand (SID) digunakan dalam studi Rawat Jalan yang
mirip fenomena bloody discharge

5. PERESEPAN OBAT
• Pasien JKN cenderung memperoleh obat murah,
• Jumlah obat yang diterima pasien JKN lebih sedikit dibandingkan
pasien Non JKN,
• Penggunaan antibiotik pada terapi pasien JKN sedikit dibandingkan
obat serupa yang dikonsumsi oleh pasien Non JKN,
• Pasien JKN lebih cenderung diberi jenis obat generik

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 43


• Obat Fornas digunakan pula untuk terapi pasien Non JKN.

STRATEGI MANAJEMEN JKN/BPJS KESEHATAN

Strategi manajemen BPJS Kesehatan dilakukan melalui tiga pendekatan


yaitu optimalisasi manajemen, pemantapan layanan dan sosialisasi.

1. Optimalisasi Manajemen JKN/BPJS Kesehatan

• Pengendalian biaya (fraud & abuse),


• Cegah subsidi terbalik,
• Verifikator profesional
2. Pemantapan Layanan

• Penambahan jumlah fasilitas kesehatan (perluasan akses)


• Peningkatan kualitas layanan FKTP sebagai gate keeper

• Pemantauan distribusi Kartu Indonesia Sehat (KIS) sampai ke end user


• Optimalisasi layanan penanganan keluhan & pengaduan peserta &
tindak lanjutnya
• Berbasis IT terpadu & terintegrasi

C. Sosialisasi JKN/BPJS Kesehatan

_______________________
Rujukan :
Budi Hidayat, Deteksi Implikasi Pelaksanaan INA CBGs Tahun 2015, Seminar Hasil Kajian Penelitian dan
Pengembangan BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan Pusat, Jogyakarta, 17 Nov. 2015
Laksono Trisnanto, 2015 -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 44


Amran Razak, Sukri Palutturi, Nuryani, Muliana. 2017. Aksesibilitas Layanan Kesehatan Masyarakart
Daerah
Kepulauan Dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Studi Kasus Pulau Tanakeke, Kabupaten
Takalar, LP2M Unhas.
Jean Frederic Levesque, Mark F.Haris and Grant Russell, 2013. Patient-centred Access to Healthcare :
Conceptualising Access at the interface of Health Systems and Populations, international journal for
Equity in Health 2013, 12:18

7
Potret JKN Gugus Pulau Terluar
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 45
----------------------------------------------------------- Amran Razak

Gugus Pulau Tanakeke adalah


pulau yang memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Dari 1.023
kepala keluarga, terdapat 859 unit
(termasuk 100 unit rumah tempat
tinggal yang diperuntukkan masyarakat
transmigran) rumah tempat tinggal. Hal
ini berarti masih terdapat 239 kepala
keluarga yang tidak memiliki rumah
tempat tinggal dan dalam satu rumah
tangga masih dijumpai 2 hingga 3
kepala keluarga. Jarak Pulau Tanakeke
ke pusat kota ± 5 km
Peta (kanan) menunjukkan bahwa
pulau yang berada di gugus pulau
terluar adalah Pulau Satangnga, yang
kemudian terpilih sebagai lokasi
penelitian ini.

Ada tiga jenis profesi nelayan yaitu pemancing, penyelam dan penjaring
ikan, namum terpopuler adalah nelayan-penyelam. Masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan bekerja di pagi dan malam hari. Lamanya nelayan
di laut tergantung dari cepat atau tidaknya mereka memperoleh hasil (ikan).
Jika lebih cepat mendapatkan ikan maka semakin cepat pula mereka pulang.
Ikan tangkapan nelayan diberikan kepada pengumpul ikan yang kemudian
dibawah ke daratan untuk dijual.
Resiko pekerjaan nelayan penyelam tradisional sangat berat. Alat yang
digunakan untuk menyelam untuk memperoleh oksigen adalah mesin pompa
ban (kompresor). Di Pulau Satangnga, ditemukan beberapa penderita lumpuh,
tidak mengalami kesembuhan dan jika ada yang sembuh pun mereka tidak
bisa berjalan dengan normal kembali.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 46


Gambaran pendapatan masyarakat di Pulau Satangnga bervariasi.
Kisaran Rp. 50.000,- s/d Rp. 500.000,- sehari. Pendapatan masyarakat sangat
fluktuatif, terkadang pada musim tertentu mereka tidak mendapatkan hasil
seharian. Mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan, memperoleh uang jika
mereka menjual hasil tangkapan ikan ke pengumpul.
Gambaran pendapatan nelayan penyelam sebenarnya cukup
menggiurkan. Mereka memperoleh berbagai jenis biota laut, setelah menyisir
sejumlah kawasan perairan laut di Selat Makassar. Sepintas lalu, pendapatan
dari hasil menyelam teripang, mabe, japing-japing, mutiara dan kima memang
lumayan menggiurkan. Dapat dibayangkan, bila untuk sekali nelayan
menyelam bersama rekan-rekannya mampu mendapatkan ratusan ekor
teripang duyung perhari. Penghasilan mereka bisa mencapai Rp 500.000,-
perorang.
Masyarakat Pulau Satangnga masih kental dengan budaya makassar.
Salah satu budayanya adalah menikahkan anaknya di usia yang masih muda.
Orang tua menikahkan anaknya ketika masih duduk di bangku sekolah
menengah pertama.

Hanya sebagian masyarakatnya yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi


seperti sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Upaya sosialisasi
kesehatan reproduksi remaja telah dilakukan namun paradigma masyarakat
setempat susah untuk di intervensi. Mereka menganggap pernikahan yang
cepat dapat mengurangi beban keluarga dan meningkatkan strata keluarga.
Pulau Satangnga memiliki satu Puskesmas Pembantu (Pustu) dengan 2
orang tenaga kesehatan (bidan). Dokter dan petugas Puskesmas hanya datang,
sekali setahun.
Kepesertaan JKN

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 47


Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia diselenggarakan
melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang terintegrasi dalam
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan. Ketiga
jaminan kesehatan tersebut diprioritaskan bagi penduduk miskin atau tidak
mampu menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam BPJS Kesehatan
kelompok ini, dikategorikan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), dimana
dapat menggunakan fasilitas puskesmas dan rumah sakit kelas III. Penduduk
yang mampu, kepesertaannya dikategorikan sebagai Non PBI (peserta
Mandiri) dengan membayar iuran bulanan sesuai kelas perawatan yang
diinginkannya.
Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) paling banyak
dimiliki penduduk Pulau Satangnga. Sebaran kepemilikan JKN di Pulau
Satangnga hampir 70%. Jamkesmas sudah terintegrasi dengan BPJS
Kesehatan.
Dimensi Aksesibilitas
Studi ini dilaksanakan tahun 2017 dimana mengukur dimensi aksesibilitas
layanan kesehatan menggunakan model Levesque et.al. (2013) pada
masyarakat gugus pulau Tanakeke (kasus pulau terluar : Pulau Satangnga),
Kabupaten Takalar. Ada lima dimensi aksesibilitas mencakup kedekatan
(approachability), penerimaan (acceptability), ketersediaan (availabiity and
accomodation), kesanggupan pengguna (affordability), dan kesesuaian
(appropriateness).
Hasil studi menunjukkan sangat dominannya dimensi kedekatan (akses
geografis) menjadi kendala utama mengakses layanan kesehatan yang mereka
inginkan. Dalam konteks inilah, kebanyakan memilih pelayanan kesehatan
terdekat yang berada di Pulau Satangnga (Puskemas Pembantu). Harmoni
pasien-petugas pustu menjelma dalam pelayanan ibu hamil dan persalinan.
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 48
Berbeda dalam penanganan nelayan penyelam penderita dekompresi di Pustu,
petugas mengalami kesulitan. Pasien dekompresi membutuhkan pengobatan
dari dokter spesialis THT dan hiperbarik. Jarak Pulau Satangnga dengan
Puskesmas menjadi kendala geografis bagi ‘kealpaan’ petugas kesehatan.
Apalagi, penderita penyakit dekompresi sudah apatis. Lokasi fasilitas
kesehatan yang jauh tersebut berdampak pada biaya tempuh yang harus
dikeluarkan oleh masyarakat Pulau Satangnga untuk mengakses puskesmas
atau rumah sakit. Biaya tempuh antara Rp. 70.000 - Rp. 540.000 (pulang-
pergi). Biaya yang cukup mahal, menjadi pertimbangan utama mereka, meski
memiliki jaminan kesehatan.
Hak esensial individu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
setara, bila diabaikan dapat dikategorikan diskriminasi dalam kesehatan.

Fenomena Cross-subsidi Plus


Studi ini menyoroti munculnya fenomena “cross-subsidy plus” dalam
kepesertaan JKN-KIS pada kelompok miskin/tidak mampu Penerima Bantuan
Iuran (PBI) penduduk Pulau Satangnga. Sebagaimana diketahui bahwa,
Universal Health Coverage (UHC) tidak sama dengan Asuransi Kesehatan
Sosial (Social Health Insurance”). Penyelenggaraan UHC di negara
berkembang terjadi subsidi silang (cross-subsidy) dari yang berisiko tinggi ke
low risk, dari yang kaya kepada yang miskin, dan dari yang produktif ke yang
tidak produktif. [24]. Hal ini sejalan dengan budaya masyarakat Indonesia
yang suka ber“gotong-royong”, bekerja

bersama-sama, saling membantu. Masalahnya, fungsi sosial tersebut


menimbulkan fenomena cross-subsidy plus, di mana mereka yang memiliki
kartu JKN (BPJS Kesehatan dan/atau KIS) --- meski menderita sakit tapi tidak
dapat memanfaatkannya karena kendala geografis. Ironis, karena terjadi
“penduduk miskin yang sakit, mensubsidi penduduk sakit lainnya, yang

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 49


mungkin saja kaya/mampu”. Subsidi silang plus tersebut terserap ke mana ?.
Pertama : kemungkinan digunakan untuk peserta JKN-KIS lainnya yang lebih
dekat dengan fasilitas kesehatan di kecamatan atau ibukota kabupaten.
Kedua : terjadi adverse selection pada kelompok Peserta Mandiri. Premi yang
terkumpul tidak cukup, lalu menggunakan dana PBI atau PBI non Mandiri.
[25] Ketiga : Kemungkinan terserap pasien katastropik. Penyakit katastropik
telah menghabiskan biaya JKN hingga Rp 16,9 trilyun atau 29,67 persen
dari total anggaran. [26]
Hak azasi berlandaskan prinsip pemerataan dan berkeadilan (equity)
dalam menikmati pelayanan kesehatan yang sama dan berkualitas, dalam
fenomena ini --- sepertinya ‘terabaikan’ bagi penduduk miskin terutama di
gugus kepulauan terluar. Diperlukan strategi khusus untuk mengurangi
disparitas pelayanan kesehatan antara perkotaan dan kepulauan tersebut.
Belum berfungsinya jalloro ambulance, membutuhkan peran
pemerintah daerah dan pemerintah pusat menyediakan transportasi pasien
darurat dari gugus kepulauan Tanakeke, seperti puskesmas terapung.
Puskesmas terapung berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan
kegiatan – kegiatan puskesmas dalam wilayah kerjanya yang sulit terjangkau
oleh pelayanan kesehatan. Selain itu, pemberdayaan Unit Kesehatan Kerja
(UKK) khusus Nelayan di Puskesmas sebagai upaya kesehatan kerja bagi
nelayan itu sendiri. Penekanan terhadap upaya promosi dan preventif guna
mengubah perilaku para nelayan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta upaya meningkatkan kesehatan
nelayan. [27]. Hal yang mendesak adalah penambahan keterampilan dokter
puskesmas untuk menangani pasien dekompresi. Melakukan kerjasama
Puskesmas/Dinas Kesehatan Kabupaten dengan Rumah Sakit Angkatan Laut
(RSAL) terdekat yang memiliki dokter ahli hiperbalik.
Selain itu, mengadakan pelatihan menyelam yang benar dan aman
bekerjasama Marinir. Terobosan pemerataan tenaga kesehatan yang
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 50
dilaksanakan Kementerian Kesehatan dengan menyebar 838 tenaga medis di
158 Puskesmas di Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan (DTPK),
diharapkan bisa mengurangi disparitas pelayanan kesehatan di pelosok
Indonesia.[26]

KESIMPULAN
Aksesibilitas pelayanan kesehatan di Pulau Satangnga terkonsentrasi di
Puskesma Pembanttu. Masyarakat mengalami hambatan geografis untuk
mengakses layanan kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit). Meski telah
memiliki jaminan kesehatan (JKN-KIS), tetapi mereka tidak dapat
menggunakannya karena hambatan geografis yang berdampak pada kendala
finansial. Penelitian ini mendukung perlunya analisis kritis terhadap kebijakan
kesehatan gugus pulau terluar, memasuki Universal Health Coverage tahun
2019.

________________________

Referensi
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen, pasal 28 H ayat 1.
2. Aday LA, Andersen R.(1998). Equity of access to medical care : a conceptual and empirical overview.
Medical Care. Vol. XIX :12 (supplement), p. 4-27.
3. Cluyer AJ and Wagstaff A. (1993). Equity and equality in health and health care. Journal of Health
Economics, 12, p. 431-457.
4. Oliver A and Mossialos E.(2004). Equity of access to health care : outlining the foundations for action.
Journal of Epidemiology Communiy Health, 58. p. 655-658.
5. Kementerian Sekretariat Negara RI. (2015). JKN: Perjalanan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional.
Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI.
6. Alegria, M., Lin, J., Chen, C. N., Duan, N., Cook, B., & Meng, X. L. (2012). The Impact of Insurance
Coverage in Diminishing Racial and Ethnic Disparities in Behavioral Health Services. Health Services
Research, 47(3), 1322-1344.
7. Kementerian Kesehatan. (2013). Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional, Jakarta.
8. Jean-Frederic Levesque, Mark F Harris and Grant Russel.(2013). Patient-centered access to health care :
conceptualising access at the interface of health systems and populations, International Journal For
Equity in Health 2013, 12:18
9. Ruishan Hu, Suocheng Dong, Yonghong Zhao, Hao Hu, & Zehong Li. (2013). Assessing Potential Spatial
Accessibility of Health Services in Rural China: A Case Study of Donghai County. International journal
for equity in health, 12(1), 35.
10. Xie, X., Wu, Q., Hao, Y., Yin, H., Fu, W., Ning, N., . . . Kang, Z. (2014). Identifying Determinants of
Socioeconomic Inequality in Health Service Utilization Among Patients with Chronic Non-
Communicable Diseases in China. PloS one, 9(6).
11. Irene Garcia Subirats, Ingrid Vargas, Amporo Susana Mogollón Pérez, Pierre De Paepe, Maria Rejane
Ferreira da Silva, Jean Pierre Unger, . . Maria Luisa Vázquez. (2014). Inequities in Access to Health Care
in Different Health Systems: A Study in Municipalities of Central Colombia and North-Eastern Brazil.
International journal for equity in health, 13(1), 10.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 51


12. John K Ganle, Michael Parker, Raymond Fitzpatrick, & Easmon Otupiri. (2014). Inequities in
Accessibility to and Utilisation of Maternal Health Services in Ghana After User-Fee Exemption: A
Descriptive Study. International journal for equity in health, 13(1), 89.
13. Suharmiati, Laksono, A. D., & Astuti, W. D. (2013). Policy Review on Health Services in Primary Health
Center in the Border and Remote Area). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 16(2), 100-116.
14. Restiyani, P., Fitriyah, & Astrika, L. (2013). Aksesibilitas Masyarakat Miskin dalam Memperoleh
Pelayanan Kesehatan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1-13.
15. Sari, R. M., Ambarita, L. P., & Sitorus, H. (2013). Akses Pelayanan Kesehatan dan Kejadian Malaria di
Provinsi Bengkulu. Media Litbangkes, 23(4), 158-164.
16. Nara, A. (2014). Hubungan Pengetahuan, Sikap, Akses Pelayanan Kesehatan, Jumlah Sumber Informasi
dan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan Fasilitas Persalinan yang Memadai oleh Ibu Bersalin di
Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur, Universitas Udayana, Denpasar.
17. Tris Eryando. (2007). Aksesibilitas Kesehatan Maternal di Kabupaten Tangerang, 2006. Makara, 11(2),
76-83.
18. Cendani, I. S., Hasifah, & Sewang, N. (2016). Faktor Yang Berhubungan dengan Keteraturan Berobat
Penderita TB Paru di Puskesmas Batua Kecamatan Manggala Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis, 1(1), 16-22.
19. Erlina, R., Larasati, T., & Kurniawan, B. (2013). Faktor-Faktor yang mempengaruhi Ibu Hamil terhadap
Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan di Puskesmas Rawat Inap Panjang Bandar Lampung |Medical Journal
of Lampung University, 2(4), 29-34.
20. Fortney, J. C., Kaufman, C. E., Pollio, D., Beals, J., Edlund, C., Novins, D. K., & Team, A.-S. (2012).
Geographical Access and the Substitution of Traditional Healing for Biomedical Services in Two
American Indian Tribes. Medical care, 50(10), 877.
21. Ismail Tukur, Chan Cheekhoon, Tin Tinsu, Tukur Muhammed-Baba and Munir’deen Aderemi Ijaiya.
(2016). Why Women Are Averse to Facility Delivery in Northwest Nigeria: A Qualitative Inquiry,
Iranian Joernal of Public Health. May; 45 (5) : 586-595
22. Biro Pusat Stastik, Sensus Pertanian 2013, Jakarta.
23. Chichi Wahab, Setyawati Budiningsih, Muhammad Guritno.(2008)/ Decompression sickness among
Moroami diving fishermen in Jakarta, Medical Journal Indonesia, 17:197-202.
24. Universitas Indonesia, Penerapan Universal Health Coverage di Negara Berkembang, www. ui.ac.id/
berita/penerapan-universal-health-coverage-di-negara-berkembang.html/, 12 Februari 2016.
25. Trilaksono, bahan kuliah pasca sarjana FK-UGM
26. Nila F.Moeloek, Pembangunan Kesehatan : Kerja Nyata Sehatkan Indonesia, Keynote speaker Menteri
Kesehatan RI pada Munas IAKMI XIII, 3 November 2016, Makassar.
27. Undang Undang Kesehatan RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, BAB XII Kesehatan Kerja Pasal
164 ayat (1).

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 52


8
Sang Patriot Baru
BPJS Kesehatan ?
------------------- Amran Razak

Kementerian Keuangan akhirnya sepakat menggunakan dana cadangan


dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 untuk menutup
defisit BPJS Kesehatan. Jumlah dana yang dikucurkan sebesar Rp 4,9 triliun,
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.02/2018
tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana
Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Meskipun demikian, dana
yang dikucurkan Kementerian Keuangan tersebut tetap tak bisa membuat
neraca keuangan BPJS Kesehatan seimbang. Defisit yang dialami penyedia
layanan asuransi kesehatan ini jauh lebih besar dari bantuan dana pemerintah.
Disebutkan angka defisit BPJS Kesehatan hingga tahun 2018 mencapai
Rp16,5 triliun.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 53


Namun, setelah dilakukan audit oleh BPKP, nilai defisit BPJS Kesehatan
turun menjadi Rp10,98 triliun. Artinya, kucuran dana dari pemerintah pusat
demi menyehatkan neraca BPJS Kesehatan masih separuh dari cukup.
Pemerintah pun kembali ke rencana awal, yakni menggunakan Dana Bagi
Hasil Cukai Tembakau (DBH CHT). Sebagaimana diketahui, 50 persen dari
cukai rokok memang bisa digunakan untuk kebutuhan prioritas daerah oleh
pemerintah daerah (pemda) seperti infrastruktur dan kesehatan. Menurut
rencana, sekitar 75 persen dari 50 persen dari cukai rokok itu yang akan
dialokasikan ke BPJS Kesehatan. Selama ini, penerimaan negara dari cukai
hasil tembakau atau cukai rokok yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada
provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar dua persen. Hal ini sesuai
dengan UU Cukai Nomor 39 Tahun 2007 (Pasal 66 ayat 1). Dalam
pelaksanaan, dana penggunaan CHT itu diatur dengan PMK. Jika target
penerimaan cukai rokok pada 2017 adalah Rp148 triliun, maka setiap dua
persennya dibagikan ke seluruh daerah sesuai dengan porsinya. Beberapa kota
penerima DBH cukai hasil tembakau tertinggi antara lain Kudus, Malang, dan
Kediri.
Salah satu alasan yang membuat pemerintah mengambil langkah ini adalah
karena iuran atau kontribusi pemda juga masih lebih rendah ketimbang jumlah
kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
“Dana bagi hasil cukai dan pajak rokok peruntukannya seimbang dan lebih
banyak untuk supply side. Jadi seharusnya dipakai untuk memperkuat
pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan
untuk pencegahan,”. Supply side yang dimaksudnya adalah peningkatan
kualitas pelayanan pada fasilitas kesehatan.
Kendati begitu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam
Negeri Sumarsono menilai penggunaan cukai rokok ini bisa membuat
pendapatan daerah berkurang. "Karena (pendapatan asli daerah) dari rokok itu
paling besar. Yang kedua, restoran," ujar pejabat yang lebih akrab disapa Soni
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 54
ini. Dirinya berharap, pemerintah pusat sudah memiliki antisipasi agar kondisi
APBD tetap sehat, salah satunya dengan pemberian insentif. Jika tidak ada
insentif untuk daerah yang saat ini PAD-nya memperoleh plus minus 15
persen dari total APBD, maka akan semakin menyusut dan akhirnya
bergantung pada pemerintah pusat.
Pro dan Kontra
Terlepas dari kontribusi anggaran yang dikeluarkan, penggunaan cukai
dan pajak rokok dinilai bijak oleh beberapa pihak. Selama ini pelaksanaan
implementasi dana DBH CHT dan pajak rokok masih mengalami banyak
masalah. Sehingga, penggunaan dana DBH sebenarnya belum optimal. “Di
saat yang bersamaan ada masalah pendanaan BPJS Kesehatan. Menjadikan
DBH CHT dan pajak rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS
Kesehatan merupakan solusi yang tepat dan cermat,” Respons sama juga
datang dari Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya Sulami
Bahar. “Bahwa kretek bukan membunuhmu, tetapi kretek penyelamat rakyat
terbukti. Hanya industri rokok yang bisa menutup defisit BPJS Kesehatan,”
kata Sulami.
Namun, pengurus IAKMI Widyastuti Soerojo menilai sebaliknya.
Menurutnya, upaya pemerintah menopang keuangan BPJS Kesehatan dengan
cukai dan pajak rokok tak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau.
Widya mengacu pada Permenkes 40 tahun 2016 yang menyebut pajak rokok
harus digunakan program pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau
lain.
“Pemerintah belum berpihak pada pengendalian dan pencegahan penyakit
akibat rokok. Jumlah orang sakit akan bertambah terus. Sementara 75 persen
pajak rokok itu seharusnya digunakan untuk pencegahan,” kata Widya.
Kebijakan ini pun akhirnya menjadi kontradiktif. Menurut Widya, pemerintah
seharusnya mencegah konsumsi rokok bukan membiayai pengobatan penyakit
yang juga disebabkan oleh zat berbahaya dalam rokok..
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 55
Aktivis dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau
(SAPTA) Julius Ibrani tidak mempersoalkan rencana pemerintah
menggunakan
DBH-CHT dan pajak rokok untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Hanya saja, ia meminta dana DBH-CHT dan pajak rokok hanya boleh
digunakan untuk kepentingan pengobatan penyakit yang disebabkan rokok.
“Kalau untuk taktis oke, tapi jangan sampai kondisi dari cukai ini sendiri yang
spesifik penggunaannya dan tagging anggarannya enggak boleh dicampur
sama yang lain, itu menjadi buyar,” kata Julius. Ia mencontohkan, dana
DBH-CHT dan pajak rokok boleh dipakai untuk mengobati penyakit yang
muncul akibat rokok, seperti jantung koroner atau rehabilitasi perokok. Julius
mengingatkan, tujuan keberadaan DBH-CHT untuk mengendalikan tembakau,
bukan untuk kepentingan lain. Ia tidak ingin pemerintah menggunakan DBH-
CHT untuk pengobatan penyakit lain atau di luar kepentingan dampak
tembakau. Lebih buruk lagi, kata dia, apabila pemerintah jadi melegalkan
produksi tembakau secara massal demi menutupi semua biaya BPJS
Kesehatan.
Sementara itu, Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo menilai,
pemerintah sebaiknya mengambil dana cukai, bukan dana bagi hasil DBH-
CHT dan pajak rokok. Namun, ia tidak mempersoalkan pemerintah
penggunaan dana DBH-CHT selama penggunaan dana proporsional. “Tidak
masalah digunakan. Hanya proporsinya,”. Meskipun diperbolehkan
pemakaian proporsional, Adit meminta DBH-CHT untuk BPJS Kesehatan
tidak mencapai 50 persen. Ia menyarankan pemerintah menggunakan dana
cukai untuk menalangi sisa defisit saja. Alasannya, dana DBH-CHT hanya Rp
3 triliyun atau 2 persen dari cukai rokok yang mencapai sekitar Rp 149,5
triliun.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 56


Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
Kementerian Keuangan, pajak cukai tembakau memang cukup besar dan
setiap tahunnya meningkat. Misalnya, pada 2014 mencapai Rp 112,54 triliun,
naik menjadi Rp 137,94 triliun pada 2016. Sementara pada tahun 2017,
pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 147,72 triliun.
Adit pun meminta pemerintah pusat tidak mengambil uang pajak
daerah. Menurut dia, total penerimaan DBH-CHT semestinya diserahkan
kepada daerah untuk pengembangan, seperti pengelolaan tanam tembakau
atau kebutuhan produksi tembakau, termasuk pupuk atau pelatihan di daerah
produsen tembakau. “Jangan bebani daerah, justru karena pajak daerah
menurut kami setiap daerah punya kepentingan atas pajak rokok [yang]
mereka terima. Kalau kemudian JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) ini
defisit, pemerintah harus mensubsidi,” kata Adit. “Kalau mau mensubsidi
[BPJS Kesehatan] pakai dana cukai yang di pusat, jangan ambil dari yang di
daerah,” tegas Adit.
Upaya pemerintah menopang keuangan BPJS itu dianggap tak sesuai
dengan gerakan pengendalian tembakau. Peraturan Menteri Kesehatan
40/2016 menyebut pajak rokok harus digunakan program pengendalian
konsumsi rokok dan produk tembakau lain. Ada pula delapan program yang
dapat memanfaatkan pajak rokok, antara lain penurunan resiko penyakit
menular, peningkatan gizi masyarakat, pembangunan serta pemeliharaan
puskesmas.
Pengurus IAKMI, Widyastuti Soerojo, menyebut kebijakan pemerintah
mengalihkan pajak rokok daerah untuk menutup defisit anggaran BPJS adalah
kontradiktif. Bukannya mencegah produksi dan konsumsi rokok, kata
Widyastuti, pajak itu kini justru dialokasikan untuk pembiayaan penyakit,
yang juga disebabkan zat berbahaya dalam rokok. "Pemerintah belum
berpihak pada pengendalian dan pencegahan penyakit akibat rokok,"
tukasnya. "Jumlah orang sakit akan bertambah terus. Padahal 75% pajak
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 57
rokok itu seharusnya digunakan untuk pencegahan," ujarnya. Pemerintah
seharusnya dapat menemukan solusi lain terhadap persoalan defisit anggaran
BPJS yang terjadi setiap tahun.
Selama tiga tahun terakhir keuangan BPJS selalu ‘tekor’. Pada tahun
2014 defisit anggaran perusahaan publik itu mencapai Rp 3,3 triliun. Angka
itu membengkak menjadi Rp 5,7 triliun tahun 2015 dan Rp 9,7 triliun pada
2016.
Adapun, dalam dua bulan terakhir kekurangan anggaran BPJS mencapai Rp 2
triliun. Hingga berita ini diturunkan, BPJS defisit itu sebesar Rp 7,05 miliar.
Pada akhir 2018, BPJS Kesehatan diperkirakan akan menanggung defisit
anggaran sebesar Rp 16 triliun.
"Pemerintah mencari jalan pintas untuk menutup defisit. Seharusnya bisa
menggunakan sumber lain," tutur Widyastuti.
Namun pendapat itu disanggah Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia,
Daeng Faqih. Menurutnya, pemanfaatan pajak dan cukai rokok memang untuk
kesehatan dan BPJS masuk dalam kategori itu. Daeng menuturkan, alokasi
pajak tembakau untuk BPJS bukanlah pembenaran bagi produsen dan
konsumen rokok. "Sama seperti asuransi kecelakaan mobil. Tidak berarti
asuransi itu mempersilakan kecelakaan mobil, justru ini memperkecil resiko.
Yang terjadi di dunia asuransi, termasuk BPJS, preventif untuk resiko ke
depan, ada yang menjamin, bukan mendorong penyakit," tutur Daeng.
Dalam skema Kementerian Keuangan, pemerintah akan mengambil alih
75% dari dana bagi hasil cukai tembakau yang setiap tahun disalurkan dan
menjadi hak pemerintah daerah. Anggaran itu akan digunakan untuk
menopang arus kas BPJS.
Dalam APBN 2018, dana bagi hasil cukai tembakau itu mencapai Rp 2,9
triliun dan menjadi hak 18 pemerintah provinsi dan 339 pemerintah tingkat
kabupaten/kota.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 58


Pajak Rokok ASEAN untuk Biayai Kesehatan?
Pro-kontra Keputusan pemerintah mengalokasikan penerimaan pajak
rokok guna membantu pembiayaan BPJS Kesehatan terus menghangat. Ada
yang mengatakan pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan
merupakan bukti bahwa rokok bermanfaat bagi bangsa. Adapula di medsos
yang mengambil kesimpulan bahwa pajak rokok untuk menambal defisit
BPJS Kesehatan mendorong para perokok untuk lebih banyak lagi merokok
agar BPJS Kesehatan bisa berkelanjutan.
Ternyata, pajak rokok sudah lama menjadi sumber pembiayaan untuk
kesehatan. Dimasukkan melalui APBD di beberapa daerah. Pajak rokok untuk
pelayanan kesehatan publik tertuang di Pasal 31 UU No. 28/2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Di pasal itu, penerimaan pajak
rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan
paling kecil 50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat, dan
penegakan hukum.
Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 82/2018
tentang Jaminan Kesehatan, sumbangan pajak rokok terhadap layanan
kesehatan lebih besar. Dalam Perpres tersebut, disebutkan dengan jelas bahwa
kontribusi pajak rokok dari pemerintah daerah adalah sekitar 75 % dari 50 %
total realisasi penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian pemerintah
daerah. Dengan asumsi penerimaan cukai Rp 148 triliun, maka tarif pajak
rokok Rp14 triliun (pajak rokok berkisar 10% dari penerimaan cukai). Dari
tarif pajak rokok itu, dana untuk menambal defisit BPJS Kesehatan sebesar
Rp 4,9 triliun.

Pesona Pajak "Dosa"


Kontribusi pajak rokok atau kerap disebut ‘pajak dosa’ untuk mendanai
pelayanan kesehatan publik sebenarnya bukan barang baru. Di ASEAN, sudah
ada tiga negara yang menerapkannya, yaitu Filipina, Thailand dan Indonesia.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 59


Filipina
Di antara ketiga negara itu, Filipina yang paling jor-joran
mengalokasikan pajak "dosa" untuk kesehatan. Dimulai pada Desember 2012,
nilai pajak dosa dari rokok dan minuman beralkohol pada tahun pertamanya
menyumbang US$ 1,2 miliar. Selang dua tahun berikutnya, sumbangan pajak
dosa itu bertambah menjadi US$ 2 miliar.
Dana kesehatan yang meningkat juga membuat cakupan layanan
semakin luas. Sebelum ada pajak dosa, PhilHealth atau program kesehatan
Filipina serba kekurangan, mulai dari dana, pekerja hingga fasilitas kesehatan
di pelosok negeri.
Akibat kekurangan dana itu, layanan kesehatan yang terjangkau dan terjamin
hanya mampu dirasakan 74 % dari total penduduk. Seiring dengan adanya
regulasi pajak dosa, pelan-pelan cakupan penduduk yang terlayani mulai
bertambah. Per 2015, layanannya sudah mencakup 82 % atau sebanyak 100
juta penduduk Filipina.

Thailand
Pajak dosa untuk layanan kesehatan publik juga diterapkan di Thailand.
Negara Gajah Putih ini merupakan salah satu pelopor di antara negara
ASEAN yang mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan publik.
Rencana mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan di Thailand
mulai dicetuskan pada 1994. Namun, rencana tersebut baru terealisasi pada 8
tahun kemudian seiring dengan dibentuknya Thai Health Promotion
Foundation (Thai Health). Pada 2007, dana yang disisihkan Thailand untuk
Health Promotion Fund sekitar 2 miliar baht atau setara dengan US$ 60 juta,
atau 2 % dari total penerimaan pajak khusus produk tembakau dan minuman
beralkohol.
Indonesia

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 60


Seperti Filipina dan Thailand, Indonesia juga sudah lama
mengalokasikan pungutan pajak rokok untuk program kesehatan. Awalnya,
Indonesia menerapkan Dana Bagi Hasil (DBH) dari cukai hasil tembakau
sebesar 2 % dari cukai rokok untuk pelayanan kesehatan publik. Namun, nilai
yang dialokasikan untuk sektor kesehatan itu terbilang kecil. Pada 2011, nilai
yang dialokasikan hanya Rp1,2 triliun dari total cukai Rp 60 triliun, dan
dibagikan kepada 341 kabupaten/kota yang tersebar di pelosok tanah air.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan, pemerintah
bersama legislatif menerbitkan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD). Di dalam UU itu, diatur mengenai pajak rokok.
Pada UU PDRD, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut
pemerintah pusat. Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10 % dari cukai rokok.
Pajak rokok itu lalu dibagikan kepada pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota.
Tidak seperti regulasi sebelumnya, alokasi anggaran untuk sektor
kesehatan pada UU PDRD lebih besar lantaran pemerintah daerah wajib
mengalokasikan paling sedikit 50 % untuk layanan kesehatan dan penegakan
hukum. Semisal, penerimaan cukai rokok 2011 sebesar Rp 60 triliun, maka
pajak rokok yang menjadi penerimaan pemda mencapai Rp 6 triliun. Alhasil,
alokasi untuk kesehatan dan penegakan hukum dari pajak rokok mencapai Rp
3 triliun. Namun dalam implementasinya dana bagi hasil cukai hasil tembakau
dan pajak rokok masih bersoal, mulai dari masalah administrasi dan
pengawasan, sehingga tidak optimal.

Strategi BPJS Kesehatan Atasi Defisitnya


Beberapa langkah strategis yang ditempuh BPJS menanggulangi defisit
biaya penyelenggaraan programnya, berupa :
1. Program promotif preventif

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 61


Penyebab lain defisit anggaran BPJS Kesehatan terjadi karena
perubahan morbiditas (kejadian penyakit) penduduk Indonesia. Jumlah
penduduk yang sakit terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena belum optimalnya upaya pembangunan kesehatan masyarakat.
Untuk mengatasi defisit, ada langkah yang dapat dilakukan. BPJS
Kesehatan berfokus menjaga masyarakat yang sehat tetap sehat melalui
berbagai program promotif preventif (pencegahan penyakit) yang
dilaksanakan.
Sementara itu, bagi masyarakat yang berisiko menderita penyakit
katastropik seperti diabetes melitus dan hipertensi, dapat mengelola risiko
tersebut melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis), yang juga
merupakan bagian dari upaya promotif preventif.
Hingga per Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk
membiayai penyakit katastropik mencapai Rp 12 triliun (21,07%) dari total
biaya pelayanan
kesehatan. Padahal, berbagai penyakit katastropik tersebut sangat bisa dicegah
melalui penerapan pola hidup sehat.
2. Suntikan dana dan optimalisasi manajemen klaim
Sejumlah upaya yang sudah dilakukan BPJS Kesehatan untuk
mengendalikan defisit antara lain berupa suntikan dana dan optimalisasi tata
kelola Program JKN-KIS. Selain itu, BPJS Kesehatan juga melakukan
optimalisasi manajemen klaim dan mitigasi fraud, penguatan peran BPJS
Kesehatan dalam strategic purchasing, optimalisasi peran FKTP sebagai gate
keeper, dan penguatan efisiensi operasional.
Data BPJS Kesehatan, sampai dengan 14 September 2018, jumlah
peserta JKN-KIS telah mencapai 202.160.855 jiwa. Dalam hal memberikan
pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 22.531
FKTP, 2.434 rumah sakit (termasuk di dalamnya klinik utama), 1.546 apotek,
dan 1.093 optik.
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 62
3. Pemangkasan Tiga Jaminan
BPJS Kesehatan mengurangi tanggungan jaminan kesehatan untuk
persalinan, pasien katarak dan rehabilitasi medik Sebelumnya, memisahkan
biaya tagihan persalinan antara ibu dan anak, ke depan, pihaknya akan
memisahkan biaya tagihan pada bayi baru lahir dengan gangguan. Sedangkan
untuk operasi katarak, pihak BPJS akan menentukan batasan prioritas yang
akan ditanggung BPJS. Jika sebelumnya operasi katarak dari ringan sampai
berat semua operasi, ini yang di operasi dengan visus (ketajaman penglihatan)
kurang dari 6/18. Kalau lebih bagus dari itu bukan prioritas, karenanya tidak
ditanggung oleh BPJS.
Selain pengurangan biaya persalinan dan katarak, BPJS Kesehatan juga
menetapkan batas rehabilitasi medik bagi pasien BPJS hanya akan
menanggung 8 kali rehabilitasi medik per pasien setiap bulannya untuk
semua penyakit.
Tiga layanan yang dipangkas tersebut tertuang dalam tiga aturan yang
baru dikeluarkan. Ketiga aturan itu, antara lain: Peraturan Jaminan Pelayanan
Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 02 Tahun 2018 tentang Penjaminan
Pelayanan Katarak Dalam Pelayanan Kesehatan, Peraturan Nomor 03 tentang
Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan
Peraturan Nomor 05 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
Pengurangan tanggungan itu dilakukan untuk menyelamatkan defisit anggaran
yang dialami BPJS Kesehatan.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan, terdapat beberapa
jaminan yang memakan anggaran cukup tinggi, seperti operasi katarak (Rp 2,6
triliun), bayi sehat yang ditagihkan secara terpisah dari ibunya (Rp 1,1 triliun),
dan rehabilitasi medik (Rp 960 miliar).
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB
IDI) menilai penerapan peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan
(Perdirjampelkes) Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 malah bisa menyebabkan
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 63
biaya kesehatan nasional membengkak. Mereka meminta Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencari rumusan lain
dalam menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan. Ketua Umum PB IDI,
Ilham Oetama Marsis mengatakan BPJS Kesehatan tak membikin aturan yang
masuk pada ranah medis. Perdirjampelkes saat ini nyatanya hanya berkutat
seputar menambal defisit dengan mengurangi manfaat yang diterima
masyarakat. “BPJS Kesehatan sampai saat ini tidak ada hasil kerja yang
positif kecuali kepesertaan yang mencapai 80 persen,” katanya.
Penerapan Perdirjampelkes justru akan menambah beban kesehatan
penduduk Indonesia di masa depan. Misalnya, pembatasan pada penyakit
katarak dapat membuat ribuan orang jadi tak produktif. Akibatnya, beban
kemiskinan juga akan bertambah, hingga kini, Indonesia masih menjadi
negara dengan jumlah penderita katarak tertinggi di Asia, yakni mencapai 250
ribu. “Risiko penyakit lain juga akan bertambah, misal dia jatuh dan patah
tulang karena kebutaannya itu,” tambah J.A.Hutauruk, dari Persatuan Dokter
Spesialis Mata Indonesia (Perdami).
Soal pengaturan persalinan bayi lahir sehat, Ketua Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) A.B.Pulungan berpendapat bahwa hal itu bertentangan
dengan target menurunkan angka kematian bayi. Di Indonesia, menurutnya,
setiap tahun hampir 5 juta bayi lahir namun angka kematian bayi baru
mencapai 22,3/1000 kelahiran hidup. Sedangkan negara lain seperti Malaysia
telah mencapai angka 7/1000, Singapura 2/1000, Thailand 6/1000. “Target
12/1000 tak akan tercapai kalau aturan ini turun,” tandas Aman. Baginya,
setiap bayi yang lahir selalu memiliki risiko kesehatan, bahkan mereka yang
diprediksi lahir normal, berat badan cukup, dan sehat. “Jika bayi berisiko tak
segera mendapat tata-laksana, lalu dia hidup cacat, nantinya juga akan jadi
beban bagi BPJS.”
Terakhir, rehabilitasi medik yang dibatasi hanya dua kali dalam satu
minggu dianggap tidak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik. Ketua
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 64
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia
(Perdosri), Sudarsono, mengatakan rehabilitasi medik antar pasien tak bisa
disamaratakan. “Pelayanan kepada pasien jadi terhambat dan capaiannya di
bawah standar,” tegas Sudarsono tolak Perdirjampelkes tersebut.

Catatan Tersisa
Di masa lalu, para perokok digelar ‘pahlawan pembangunan’ lantaran
kontribusinya yang cukup besar dalam membengkakkan APBN melalui
pajak/cukai rokok.
Di masa kini, kaum perokok kembali tampil sebagai ‘Patriot Baru’
BPJS Kesehatan dengan mensubsidi defisit BPJS Kesehatan (Perpes 82/2018).
Tagline; ‘Merokok dapat membunuhmu’, berubah perlahan ‘Merokok
dapat menyehatkan orang lain’. Kebijakan pemerintah melalui Perpres
82/2018, dianggap solusi jangka pendek dan tak tunas. Pemerintah diminta
membuat solusi jangka panjang mengatasi ketekoran BPJS Kesehatan
tersebut.
Langkah strategi BPJS mengatasi defisitnya, melalui optimalisasi tata
kelola program JKN/BPJS sejak tahun 2016 tak banyak berarti. Pilihan yang
‘menganga’ hanya menunggu suntikan dana pemerintah sepanjang tahun.
@kebangetan.com

________________________________
Bacaan :
Ringkang Gumiwang, “Bagaimana Negara ASEAN Mengutip Pajak Rokok untuk Biayai Kesehatan?,
https://tirto.id/bagaimana-negara-asean-mengutip-pajak-rokok-untuk-biayai-kesehatan- c18F
Andrian Paratama Taher, “Yang Perlu Diperhatian Saat Menutup Defisit BPJS dari Pajak Rokok, https:/
/tirto.id/ yang-perlu-diperhatikan-saat-menutup-defisit-bpjs-dari-pajak-rokok-cZEM
“Dikritik, uang pajak rokok untuk atasi defisit anggaran BPJS Kesehatan”, https:// www. bbc. com/
Indonesia-45563324
“Kontroversi cukai rokok untuk BPJS Kesehatan”, https://beritagar.id/artikel/berita/kontroversi-cukai-rokok-
untuk-bpjs-kesehatan
“Ketika Cukai Rokok unrtuk BPJS Kesehatan”, https://www/indopos.co.id/read/2018/09/19/ 150085/ ketika-
cukai-rokok-untuk-bpjs-kesehatan
“Tiga Jaminan Dipangkas oleh BPJS Kesehatan, Tdrmasuk Katarak”, https://tirto.id/tiga-jaminan-dipangkas-
oleh-bpjs-kesehatan-termasuk-katarak-cQqa
“Strategi BPJS Kesehatan Atasi Defisit”, www.liputan6.com,
“BPJS Kesehatan bermitra dengan berbagai rumah sakit untuk layanan kesehatan, www.liputan6. com

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 65


“Suntikan dana dan optimalisasi manajemen klaim, www.liputan6.com.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 66


9
Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan
yang “Kebangetan”
---------------------------------------------------- Chazali H. Situmorang

Pada 17 Oktober 2019 di forum Kongres Persatuan Rumah Sakit Seluruh


Indonesia (PERSI), Presiden Joko Widodo menegur Menteri Kesehatan Nila
F. Moeloek dan Direktur Utama BPJS Fachmi Idris. Jokowi heran karena ia
harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS
Kesehatan. Padahal, menurut dia, masalah defisit ini harusnya bisa selesai di
tingkat kementerian.

Persisnya ungkapan Pak Presiden Jokowi dalam forum kongres tersebut


adalah “Mestinya sudah rampung lah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS.
Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya,”.
“Kalau tahun depan masih diulang kebangetan,” tambahnya.

Mungkin Presiden lupa, tidak menyebutkan Menko PMK, Ibu Puan Maharani,
karena sudah lebih dari 3 kali putaran rapat Menteri lingkup Kemenko PMK,
soal defisit iuran BPJS Kesehatan dibicarakan.

Pak Jokowi mengatakan, sekitar sebulan lalu ia sudah memutuskan untuk


menambah anggaran BPJS sebesar Rp 4,9 Triliun lewat APBN. Namun, dana

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 67


talangan itu masih belum cukup untuk menutup defisit. Presiden mengaku
heran dengan kondisi itu.

“Ini masih kurang lagi. ‘Pak masih kurang, kebutuhan bukan Rp 4,9 T’, lah
kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta,” kata Jokowi.Ini
masih ada sambungannya lagi “Saya sering marahi Pak dirut BPJS, tapi dalam
hati, saya enggak bisa keluarkan, ini manajemen negara sebesar kita enggak
mudah. Artinya Dirut BPJS ngurus berapa ribu RS. Tapi sekali lagi, kalau
membangun sistemnya benar, ini gampang,” kata Jokowi.

Ungkapan Presiden Jokowi dalam forum kongres kumpulan dokter dan


pemilik RS, tentu sangat telak bagi kedua pejabat publik tersebut. Kedua
mereka ini ( dalam hatinya) merasa sudah bekerja keras mencari solusi
penyelesaian defisit DJS (Dana Jaminan Sosial), BPJS Kesehatan, bersama
dengan Menteri Keuangan dan Menko PMK.

Bahkan terpikir oleh saya, setelah membaca berita “kebangetan” Pak Jokowi ,
jika saya yang menjadi Menkes atau Dirut BPJS Kesehatan, menghadap
Presiden, mengembalikan Kepres pengangkatan saya sebagai Menkes atau
Dirut, sambil berucap;”Bapak Presiden, mohon maaf saya tidak bisa mencari
dana untuk menutup defisit, tolong digantikan saja dengan pejabat lain yang
mampu mencari sumber dana untuk mengatasinya”. Dari pada menanggung
malu didepan peserta kongres PERSI yang juga teman seprofesi. Tapi itukan
jika boleh berandai-andai ( Mohon maaf Bu Menkes dan Pak Dirut jika tidak
berkenan).

Duduk persoalan sebenarnya :

Kekhawatiran kita, ada misleading antara informasi atau laporan yang


diterima Presiden dengan bagaimana kondisi real dilapangan. Dugaan
misleading dapat kita cermati dari sambutan Presiden Jokowi di PERSI.
Pertama adalah menyebutkan bahwa urusan defisit Dana Jaminan Sosial
(DJS), BPJS Kesehatan kenapa harus sampai ke Presiden. Inikan urusan
Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan.

Terjadinya defisit DJS BPJS Kesehatan utamanya ( bukan satu-satunya)


disebabkan besarnya iuran yang tidak sesuai dengan nilai ke-ekonomian.
Intinya tidak balance antara besarnya iuran yang ditarik dari peserta PBI dan
non PBI dengan biaya pelayanan kesehatan yang dinikmati peserta JKN.

Kita kutip lengkap UU SJSN menyebutkan pada Pasal 27 1. Besarnya jaminan


kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari
upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh
pekerja dan pemberi kerja. 2. Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 68
yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau
secara berkala. 3. Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan
iuran ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala. 4. Batas
upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala. 5.

Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
serta batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.

Jadi persoalan defisit solusi utamanya adalah menaikkan iuran baik PBI
maupun Non PBI, sesuai dengan nilai keekonomian. Dan yang berwenang
menetapkan besarnya iuran adalah Presiden melalui Peraturan Presiden sesuai
dengan perintah UU SJSN. ( Pasal 27 ayat (5).

Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak ada wewenang untuk menentukan
besarnya iuran peserta JKN. Kalau Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak
lapor Presiden tentang perlunya Presiden menerbitkan Perpres JKN terkait
iuran ( untuk mencegah defisit) maka kedua pejabat tersebut sudah melanggar
UU SJSN. Jadi Presiden memang harus turun tangan karena perintah undang-
undang, bukan persoalan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatannya lelet.

Persoalan defisit muter terus, hakekatnya di kebijakan Presiden Jokowi yang


tidak menaikkan iuran JKN tiga tahun terakhir ini. . Apa buktinya. Kita lihat
Perpres Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

Pasal 16A Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta
penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 19.225,00
(sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan.
DJSN waktu itu mengusulkan Rp 27.000.- tapi Menkeu ( Pak Agus Marto)
keberatan.

Pasal 16F Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima
Upah dan Peserta bukan Pekerja atau disebut juga non PBI : a. sebesar Rp
25.500,00 (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan
Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. sebesar Rp 42.500,00
(empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas II. c. sebesar Rp 59.500,00 (lima puluh
sembilan ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

Tiga tahun berikutnya, tahun 2016, di terbitkan Perpres JKN 19 tahun 2016.
Sebagai perubahan kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 Tentang

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 69


Jaminan Kesehatan. Pada Pasal 16A Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta
PBI Jaminan

Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar


Rp 23.000,00 (dua puluh tiga ribu rupiah) per orarlg per bulan. Ketentuan
besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.

DJSN waktu itu mengusulkan sesuai dengan hasil kajian sebesar Rp 36.000.-
Menkeu juga keberatan. Berarti setelah JKN berjalan 2 tahun ( 2014 – 2015)
iuran PBI naik sebesar Rp 3.775.- /OB. ( dari Rp 19.225 menjadi Rp
23.000/OB). Idealnya kenaikannya Rp 16.000.- Yaitu dari Rp 19.225.- ke Rp
36.000).

Pasal 16F Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta pekerja Bukan Penerima
Upah dan Peserta bukan pekerja atau non PBI: a. sebesar Rp 30.000,00 (tiga
puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang
perawatan Kelas III. ( ada kenaikan Rp 4.500.-) b.. sebesar Rp 51.000,00
(lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan
di ruang perawatan Kelas II (ada kenaikan Rp 8.500.-) , c. sebesar Rp
80.000,00 (Delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas I ( ada kenaikan Rp 20.500.-) . Ketentuan
besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tanggal 1 April 2A16.

Sebelum diberlakukannya Perpres JKN Nomor 19 Tahun 2016, untuk iuran


non PBI per 1 April 2016, Pemerintah menerbitkan Perpres JKN Nomor 28
Tahun 2016, yang menganulir pasal terkait besaran non PBI untuk pelayanan
ruang perawatan kelas III, yang semula naik menjadi Rp 30.000/OB,
diturunkan kembali menjadi seperti semula Rp 25.500.-/OB.

Yang paling mutakhir, Presiden menerbitkan Perpres Nomor 82 Tahun 2018


Tentang Jaminan Kesehatan, pada tanggal 18 September 2018. Dalam Perpres
terkait iuran baik PBI maupun non PBI tidak ada perobahan atau kenaikan
iuran. Berarti selama 3 tahun terakhir Pemerintah tidak ada kebijakan untuk
menaikkan iuran PBI maupun non PBI.

Terkait dengan iuran ini, ada dua hal yang mendasar. Pertama adalah
Pemerintah ( Menkeu) dalam menetapkan besaran iuran yang dituangkan
dalam Perpres tidak sesuai dengan hitungan dan besaran nilai keekonomian
yang telah diusulkan oleh DJSN, sebagai lembaga negara yang diamanatkan
UU SJSN untiuk menghitung besaran iuran. Kedua adalah 3 tahun berturut-
turut besar iuran PBI dan non PBI tidak dinaikkan (Perpres Jaminan
Kesehatan mengamanatkan disesuaikan dalam setiap 2 tahun).
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 70
Di sisi lain, Berbagai kebijakan efisiensi melalui 9 langkah bauran kebijakan
(keputusan dalam Rakor Menko PMK), yang harus dilakukan BPJS
Kesehatan tidak cukup “nendang” untuk mengurangi defisit.

Misleading berikutnya adalah, karena Presiden tidak ingin menaikkan iuran


JKN, terjadilah defisit dan untuk menambal defisit tersebut dalam Perpres 82
Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan sudah diatasi dengan mengambil dari
cukai rokok. Dalam hal ini adalah pajak dari cukai rokok sebesar 50 persen
yang sebenarnya dialokasikan untuk pemerintah daerah.

Pak Presiden Jokowi sudah berbicara diberbagai kesempatan, bahwa


Pemerintah telah menambal defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 tirliun.
Dan memang benar. Dananya sudah disalurkan. Menurut informasi dari BPJS
Kesehatan dana tersebut sudah habis dibagikan ke FKTL-FKTL.

Pertanyaannya. Berapa persisnya defisit DJS sampai tahun ini. BPJS


Kesehatan menghitung angkanya Rp 16,5 triliun. BPKP diturunkan untuk
verifikasi. Didapatkan angkanya Rp 10,98 triliun. Kalau Presiden memakai
angka BPKP, seharusnya Pemerintah memberikan dana talangan DJS sebesar
Rp 10,98 triliun. Tetapi diberikan tidak sampai setengahnya yaitu Rp 4,9
triliun.

Pertanyaan berikutnya kenapa Menkeu hanya mengeluarkan Rp4,9 triliun.


Mungkin saja sejumlah itu dana yang tersedia dari pajak cukai rokok yang
diambil sebesar 75 persen dari 50 persen total pajak cukai rokok. Kalau mau
ditambal lagi kekurangannya, diambil dari mana?. Yang mungkin dari cukai
rokok langsung. Tetapi apa Menkeu berkenan?.

Harapan kita, Bapak Presiden Jokowi dapat memikirkan ulang atas istilah
“kebangetan” yang dilabelkan kepada Ibu Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan
atas terjadinya defisit DJS BPJS Kesehatan yang tidak sepenuhnya berada
diwilayah wewenang mereka. Bahkan berada di wilayah wewenang Presiden
Jokowi.

Semoga Bapak Presiden Jokowi membaca tulisan ini, atau melalui siapa saja
yang mempunyai akses langsung menyampaikannya. Agar masyarakat luas,
khususnya peserta JKN dan insan RS (FKTL), mengetahui informasi yang
utuh, dan tidak menjadi “bola liar” yang digoreng oleh mereka-mereka yang
tidak ingin negeri ini tenteram. (*)

_______________________

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 71


Sumber :
https://www.indopos.co.id/read/2018/10/18/152764/menkes-dan-dirut-bpjs-kesehatan-yang-kebangetan

10
Akreditasi Faskes dan
Pelayanan JKN
---------------------- Chazali H. Situmorang

Persoalan akreditasi RS dan faskes primer, merupakan berita hangat di awal


tahun baru 2019. Pangkal persoalannya adalah surat Menteri Kesehatan
Nomor : HK.03.01/Menkes/768/2018 tanggal 31 Desember 2018 perihal:
Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit dengan BPJS Kesehatan.

Inti surat tersebut BPJS Kesehatan tidak dapat melanjutkan kerja sama dengan
RS yang belum memiliki sertifikat akreditasi. Jadi untuk bekerjasama dengan
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 72
BPJS Kesehatan, faskes primer (FKTP) maupun faskes tingkat lanjut
(FKTL), harus bersertifikasi akreditasi.

Dasar hukum persyaratan akreditasi, tertuang dalam Permenkes Nomor, 46


Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, tempat praktek
mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi. Dan Permenkes
Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit.

Dimana kaitannya dengan BPJS Kesehatan. Menkes menginginkan agar BPJS


Kesehatan dalam bekerjsama dengan faskes harus memperhatikan persyaratan
akreditasi dan persyaratan lainnya.

Hal tersebut tertuang dalam Permenkes Nomor 99 Tahun 2015 Tentang


Perubahan Atas Praturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Keharusan
memenuhi syarat dimaksud, diperkuat lagi dalam Perpres 82 Tahun 2018
Tentang Jaminan Kesehatan.

Jadi surat Menkes diawal tulisan ini, merupakan upaya untuk mengingatkan
Direksi BPJS Kesehatan, dalam melanjutkan kerjasama dengan FKTP dan
FKTL, harus memperhatikan Permenkes terkait yang telah diterbitkan.

Dugaan saya pihak BPJS Kesehatan khawatir dikatakan membangkang atas


kebijakan Kemenkes, maka per 1 Januari 2019, faskes yang tidak dapat
menunjukkan sertifikat akreditasi tidak diteruskan kerjasamanya.

Ternyata ada puluhan RS yang korban dan menjadi berita heboh di media
sosial dan media mainstream. Sudah dapat diduga, yang jadi sasaran “tembak”
tentu BPJS Kesehatan, sebagai pihak yang memutuskan kerjasama. Berita
digoreng dan di framing bahwa pemutusan kontrak kerjasama karena BPJS
Kesehatan sedang defisit.

Rupanya karena isyu dan keresahan pemutusan kerjasama faskes sudah


menggelinding bagai bola salju, lambat atau cepat akan menghantam
Kemenkes juga, maka Menkes mengeluarkan surat nomor:
HK.03.01/Menkes/18/2019, Hal,Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit
dengan BPJS, sebagai respons atas Surat Dirut BPJS Kesehatasn Nomor:
063/III/2019 tanggal 3 Januari 2019, hal; Rumah Sakit Belum Terakreditasi.

Surat Menkes tertanggal 4 Januari 2019, merekomendasikan BPJS Kesehatan


melanjutkan kontrak kerjasama dengan faskes yang belum terakreditasi.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 73


Dengan surat Menkes tersebut, pihak BPJS Kesehatan tidak bisa lagi
memutuskan kontrak kerjasama dengan faskes karena alasan belum
terakreditasi. Kecuali faskes itu sendiri yang ingin memutuskan kerjasama. Itu
hak faskes dan dijamin UU SJSN.

*Kenapa kerjasama menjadi persoalan rumit?*

Persoalan menjadi rumit, karena memang sering dirumit-rumitkan. Kalau kita


baca UU SJSN dan UU BPJS, terkait kerjasama faskes dengan BPJS
Kesehatan sangat simple sekali.

Hanya ada 2 syarat untuk terjadinya kerjasama faskes dengan BPJS


Kesehatan. Pertama adalah faskesnya sudah memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh Pemerintah, dan kedua suka sama suka (seperti orang mau kawinlah).
Tidak ada paksaan. Untuk menjamin keberlangsungan dan apa saja kewajiban
mereka yang berikatan, dibuatlah Perjanjian Kerjsama yang mengikat dalam
jangka waktu tertentu.

Dalam menyusun substansi perjanjian, disitulah perlu dilibatkan pihak terkait,


antara lain pemerintah daerah, assosiasi faskes, organisasi profesi kesehatan.
Sehingga tersusun substansi baku yang berlaku di suatu tingkatan wilayah
tertentu.

Dalam kerangka berpijak aturan UU SJSN, dan UU BPJS, pihak BPJS


Kesehatan tidak menyentuh urusan capability dan capacity faskes. Capability
dan capacity faskes menjadi tanggungjawab Kemenkes sebagaimana diatur
dalam UU Kesehatan, UU RS, dan UU Tenaga kesehatan.

Permenkes Nomor 99 tahun 2015, substansinya menempatkan BPJS


Kesehatan sebagai sub-ordinasi Kemenkes. Dengan melakukan kewajiban-
kewajiban tertentu yang sebenarnya menjadi tanggungjawab Kemenkes untuk
melaksanakannya. Tidak ada perintah UU yang “menyuruh” mendelivery
tugas Kemenkes kepada BPJS Kesehatan.

Sederhananya, BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan faskes yang telah


memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kemenkes. Apapun bentuknya. Baik
akreditasi, kredensialing, dan sebagainya. Kondisi saat ini sangat merepotkan
faskes. Sudah lolos persyaratan pendirian faskes, untuk kerjasama dengan
BPJS Kesehatan harus berjibaku lagi. (cermati pasal 8, 9, 10 dan 11
Permenkes 99/2015).

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 74


Intinya adalah Permenkes 99/2015, “melemparkan” tanggungjawab terkait
dengan kompetensi faskes kepada BPJS Kesehatan.

Seharusnya BPJS Kesehatan itu, hanya memastikan dengan meneliti


pemenuhan syarat yang ditetapkan Kemenkes, sebelum dilakukan kontrak
kerjasama.

BPJS Kesehatan sesuai dengan UUSJSN dan UU BPJS, harus memastikan


peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya. Membayar
kewajiban klaim FKTL setiap bulan setelah di verifikasi dengan pola Ina-
CBGs, dan membayarkan kapitasi pada faskes primer sesuai cakupan
penduduk yang telah ditetapkan.

Disinilah perlunya kendali biaya dan kendali mutu yang harus dilakukan BPJS
Kesehatan. Untuk kendali mutu BPJS Kesehatan memastikan bahwa Faskes
melaksanakan pelayanan kesehatan yang komprehesif ( tanpa batas), untuk itu
perlu ada acuan standar pelayanan.

Kemenkes berkewajiban menerbitkan PNPK ( Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran), dan pada level faskes harus ada PPK, SOP dan atau Clinical
Pathway. Baru kemudian berapa biaya yang sesuai dengan mutu pelayanan
yang diberikan. Maka akan dikeluarkan besaran biaya pelayanan sesuai
dengan mutu pelayanan.

Koneksifitas antara mutu dan besarnya biaya itulah yang perlu dirumuskan
dalam kendali biaya dan kendali mutu. Ini kerja bareng BPJS Kesehatan,
asosiasi faskes, organisasi profesi, kemenkes, dan faskes yang bersangkutan.

Dengan mekanisme yang diatur dalam UU, sudah jelas ruang lingkup
tanggungjawab dan kewajiban Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Jika ada
pasien JKN yang tidak mendapatkan mutu pelayanan di faskes sesuai dengan
hak nya, yang komplain atas nama peserta seharusnya BPJS Kesehatan.
Jangan diserahkan kepada pasien, karena pasien adalah pesakitan.

Demikan juga jika klaim tagihan faskes yang macet, maka Kemenkes dan
asosiasi faskes berkewajiban komplain ke BPJS Kesehatan, Kemenkeu dan
kalau perlu kepada Presiden. Supaya faskesnya dapat menjaga mutu dan
kelangsungan pelayanan.

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 75


Bagaimana kenyataannya, tidak semudah saya menulis artikel ini. Mohon
maaf.

Cibubur, 6 Januari 2019

____________________
Sumber : WA 06/01/19 : 15:23

Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 76

Anda mungkin juga menyukai