Tinjauan Prospektif
Jaminan Kesehatan
di Indonesia
Beberapa hasil studi yang dilakukan oleh Depkes dan Bank Dunia
menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan di Indonesia masih sangat rendah
hanya sekitar 2,5 % dari Produk Dosmestik Bruto (PDB). Rekomendasi WHO
minimal 5 % dari PDB atau 15 % dari APBN/APBD. Sekitar 70 % bersumber
dari masyarakat dan swasta, selebihnya 30 % dari pemerintah. SUSENAS
tahun 2004 menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat untuk kesehatan
masih digunakan untuk upaya kuratif ketika sudah menderita sakit, jumlahnya
3 % dari pengeluaran rumah tangga. Sebesar 70 % dari pengeluaran rumah
tangga ini merupakan pengeluaran langsung (out of pocket), bukan
pembiayaan praupaya berupa premi atau iuran yang dikelola oleh pihak ketiga
(Depkes, 2006; Thabrany, 2008). Hanya sekitar 6 % dari masyarakat
berbentuk asuransi dan 19 % yang dikeluarkan perusahaan bagi pegawainya
(Murti, 2000; Muliadin, 2005).
Tabel 1.1. Delapan Sasaran Pokok Peta Jalan JKN Tahun 2012-2019
3. Paket manfaat medis yang dijamin 3 Paket manfaat medis dan non medis
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 11
adalah seluruh pengobatan untuk . (kelas perawatan) sudah sama, tidak
seluruh penyakit. Namun masih ada ada perbedaan, untuk mewujudkan
perbedaan kelas perawatan di rumah keadilan sosial, bagi seluruh rakyat.
sakit bagi yang mengiur sendiri dan
bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI)
yang iurannya dibayarkan pemerintah.
7. Paling sedikit 65% tenaga dan fasilitas 7 Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas
kesehatan menyatakan puas atau . kesehatan menyatakan puas atau
mendapat pembayaran yang layak dari mendapat pembayaran yang layak dari
BPJS BPJS
8. BPJS dikelola secara terbuka, efisien, 8 BPJS dikelola secara terbuka, eifisen,
dan akuntabel . dan akuntabel.
RUJUKAN
Aday L.A., Begley C.E., Lairson, D.R. and Slater C.H. , 1993. Evaluating the medical care system :
effectiveness, efficiency, and equality. Ann Arbor : Health Administration Press.
Andersen, R, 1968. A Behavioral Model of Families Use of Health Services. Center of Health
Administration Studies, Research Series 25, Graduate School of Business, The University of
Chicago, Chicago.
Blum, H.L., 1985. Planning for Health Development and Application of Social Change Theory, New York :
Human Sicence Press
Publik kaget dan terpengaruh seliweran opini tentang masa depan program
Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Akan bangkrutkah
program nawacita ini?
Semua pihak yang terlibat dari awal dalam proses lahirnya BPJS Kesehatan,
akan tahu persis causa utamanya. Secara fundamental dan terstruktur
penyebabnya adalah penetapan iuran yang tidak sesuai angka yang
seharusnya, sebagaimana hitungan akademik/aktuaria.
Para aktuaris yang harus kita akui keilmuannya, dalam hal ini telah
menghitung secara benar iuran yang seharusnya di tahun 2016. Melalui
lembaga Dewan Jamjnan Sosial Nasional (sebuah lembaga yang mendapat
mandat lewat UU SJSN) didapatkan hitungan iuran untuk tahun 2016 sebagai
berikut, termasuk kemudian ketetapan yang diputuskan:
1. Iuran untuk Peserta Bantuan Iuran (Miskin dan Tidak Mampu) seharusnya
36.000 rupiah per orang per bulan. Kenyataannya, diputuskan hanya 23.000
rupiah per bulan. Artinya minus 13.000 rupiah per orang perbulan. Ini akar
masalah pertama. Tidak match ( mismatch ) dari apa yang seharusnya, dan
apa yang menjadi ketetapan.
A. Untuk peserta mandiri kelas 3, iuran seharusnya 51.000 rupiah per orang
per bulan.
Kenyataannya, diputuskan hanya 25.500 rupiah per bulan. Artinya iuran
tersebut minus 27.500 rupiah per orang per bulan. Ini akar masalah kedua.
Tidak match (mismatch ke dua) dari apa yang seharusnya dan apa yang
menjadi ketetapan.
B. Untuk peserta mandiri kelas 2, iuran seharusnya 63.000 rupiah per orang
per bulan.
Kenyataannya, diputuskan hanya 51.000 rupiah per bulan. Ini akar
masalah ketiga. Artinya minus 12.000 rupiah per orang per bulan. Tidak
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 15
match (mismatch ke tiga) dari apa yang seharusnya dan apa yang menjadi
ketetapan.
Belum lagi kalau dihitung lebih lanjut iuran dari segmen pekerja formal, baik
dari sisi persentase kontribusinya, penentuan batas atas upah dan batas bawah
upah yang belum sesuai hitungan aktuaria.
Hanya iuran peserta mandiri kelas 1 yang match atau sesuai dengan
hitungan aktuaria, yaitu ditetapkan sebesar 80.000 rupiah per orang per
bulan.
Pertanyaannya, sudah tahu ada mismatch antara iuran ideal dan iuran yang
ditetapkan, mengapa program berjalan terus? Sudah tahu besar pasak daripada
tiang, kok berlanjut?
Untuk itu, komitmen Presiden Jokowi sangat kuat, yaitu dari awal sudah
mempersiapkan alokasi untuk suntikan dana nantinya. Tentu saja harus
disetujui DPR pada akhirnya.
Namun menyadari bahwa ruang fiskal yang sempit, maka diupayakan dulu
dengan mengendalikan adverse selection peserta yang bergabung hanya pada
saat
Apakah kemudian, sekali lagi, defisit akan hilang. Jawabnya tidak. Yang
dapat dijamin adalah defisit berkurang. Lalu langkah apa lagi yg paling
mungkin pada saat iuran PBI tidak dapat dipenuhi sesuai hitungan aktuaria.
Pak Wapres memberikan arahan, mulai untuk dibahas peran pemda agar ada
share dengan pemerintah daerah. Share pemda bisa dalam bentuk share iuran
agar mendekati hitungan aktuaria untuk peserta PBI yang berasal dari
daerahnya. Share juga bisa dalam bentuk share pembayaran atas pengeluaran
biaya pelayanan kesehatan di daerahnya.
Namun, dari resep menaikkan iuran peserta non PBI dan optimalisasi peran
pemda, apakah bisa segera dilakukan. Tentu saja tidak, karena harus
dibicarakan dengan berbagai pihak. Upaya jangka pendek adalah menutup
mismatch tahun 2016 adakah dengan suntikan dana yang sudah diprediksikan
dari awal, yaitu sebesar 6,8 T. Tujuannya agar kita dapat segera
menyelamatkan keberlanjutan program JKN KIS yang sangat baik dan mulia
ini.
______________________
Sumber :
http://www.jurnalsocialsecurity.com/sosial/kesehatan/1-000-hari-bpjs-kesehatan-defisit-bleeding-atau-
mismatch.html, diakses 20 okt 2016.
Waiting for Godot merupakan sebuah naskah drama yang sudah beberapa kali dipentaskan.
Naskah ini pertama kali dipentaskan di Paris pada tanggal 5 januari 1953. Naskah aslinya
berbahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk bahasa
Indonesia. Waiting for godot mulai ditulis pada tanggal 9 Oktober 1948 dan selesai pada tanggal
29 Januari 1949.Naskah drama ini terdiri dari dua babak. Babak I dan babak II menunjukkan
setting tempat dan waktu yang sama, yaitu di suatu jalan di desa pada suatu senja. Pada jalan itu
terdapat sebuah pohon. Pada babak I, pohon itu tanpa daun, dan pada babak II sudah muncul
beberapa helai daun. Tokoh yang terdapat dalam naskah ini hanya lima orang, yakni Vladimir,
Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy. Namun dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh tersebut
muncul nama Godot, ialah tokoh yang mereka nantikan. Godot tidak muncul dalam teks drama
secara konvensional dalam artian hanya ada nama tokoh dan dialog tetapi hanya dalam ucapan
tokoh tokoh yang membicarakannya. Dengan kata lain, kehadiran Godot adalah “ex absentia”,
yakni keberadaan dari ketiadaan.
Ia dibicarakan terus menerus namun ia tidak muncul.
Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian
itulah ia menunjukkan kekuasaannya dalam hal daya paksanya terhadap Vladimir dan Estragon
untuk tetap menunggunya datang. Pada judul buku naskah drama ini tertulis: Waiting for Godot,
tragicomedy in two acts, by Samuel beckett, grove press, inc. new York. 1954. Kata tragicomedy
dalam judul tersebut dapat kita pahami sebagai istilah yang digunakan oleh Beckett untuk
mengisyaratkan bahwa dalam drama tersebut ada dua unsur yang saling bertalian satu sama
lain yakni, tragedi dan komedi. Namun pengertian komedi dalam naskah ini tidak dapat
dipahami dalam artian yang umum, tetapi mengacu pada pengertian yang oleh Ionesco disebut
“the intuition of the absurd”. Absurditas itu bersumber pada “sense of incongruity”, tatkala
manusia merenungkan keberadaannya di tengah alam semesta.[3]Absurd yang dimaksud disini
adalah situasi dimana manusia tidak menemukan kepastian dalam hidupnya sehingga ia
menjadi aneh, tak jelas, dan serba bingung (confuseness). Dalam drama ini, para tokoh
dihadapkan dengan persoalan menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera
datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir dramapun dikisahkan bahwa
godot tak pernah muncul. “BLUSUK_an ???
4
Simalakama
BPJS Kesehatan ?
---------------------- Amran Razak
_________________
Sumber : OPINI Harian Fajar, Rabu 16 November 2016, hal. 4
Residu
Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN)
-------------------------- Amran Razak
Kondisi BPJS Kesehatan yang sakit-terus lantaran ‘ bleending’ atau ‘mismatch’ – ‘tekor’. BJPS
pun marak ‘adverse selection’ dan indikasi ‘fraud’. Sejumlah provinsi berusaha mengintegrasikan
‘Jamkesda’ (kesehatan gratis) mereka ke BPJS. Sementara itu - adapula, pemkot yang malah
berusaha mengurangi premi BPJS untuk bangun rumah sakit. Beberapa kabupaten merasa tak puas
dengan BPJS, mereka mengakomodir penggunaan KTP sebagai kartu berobat, malah ada yang
‘menolak kehadiran BPJS’ melakukan ‘judicial review’ terhadap BPJS.
Masa dua tahun tersisa (2017-2018) memasuki Jaminan Kesehatan Semesta ( Universal
Health Coverage) masih ada sekitar ‘sepertiga’ penduduk Indonesia belum memiliki jaminan
kesehatan. Hal ini akan menjadi tambahan beban baru implementasi JKN/BPJS, berpotensi menjadi
residu JKN ?.
Belum lagi, bila dihitung lebih lanjut iuran dari segmen pekerja formal,
baik dari persentase kontribusinya, penentuan batas atas upah dan batas bawah
upah yang belum sesuai hitungan aktuaria. Hanya iuran peserta mandiri kelas
1 yang ‘match’ atau sesuai hitungan aktuaria, yaitu ditetapkan sebesar Rp
80.000 per orang per bulan.
Gejala lainnya adalah “adverse selection” dimana peserta bergabung
hanya pada saat sakit, dan lemahnya pengendalian rujukan pasien, serta
potensi “fraud” (kecurangan) oleh pemberi layanan yang berindikasi over
utilization (overconsume). Tak heran, jika rumah sakit swasta yang semula
“ogah” menerima peserta BPJS, kini terlihat di bagian pendaftaran antrian
peserta BPJS membludak setiap pagi. Ada apa ???
Cenderung semakin membengkaknya biaya pelayanan kesehatan
terutama beban biaya penyakit katastropik. Begitu pula, belum optimalnya
upaya pelayanan primer sebagai “gatekeeper” menunjang sustainabilitas JKN.
Di beberapa daerah, proses integrasi jamkesda ke BPJS kesehatan
merupakan masalah tersendiri.
Selain itu secara makro ekonomi, penopang utama dana JKN/BPJS
yang bersumber dari RAPBN 2017 yang memiliki nilai Rp. 2.070,5 trilyun,
dengan penerimaannya adalah Rp. 1.737,6 trilyun, mengalami defisit sebesar
Rp. 332,8 trilyun atau 2,41% dari PDB (detikFinance.com).
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 28
B. INTEGRASI JAMKESDA
Peta jalan ini merupakan pegangan bagi semua pihak untuk memahami
dan mempersiapkan diri berperan aktif mempersiapkan beroperasinya BPJS
Kesehatan pada 1 Januari 2014 dan mencapai cakupan universal satu
Jaminan
Skema 3 :
Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Model integrasi Jamkesda yang berlaku saat ini dapat dilihat dari 2 aspek
yaitu aspek ketercakupan dan aspek iuran.
1. Aspek Ketercakupan
1.1. Universal Coverage
Menjamin seluruh penduduk yang belum jadi peserta BPJS
Kesehatan
Contoh : KJS dan JKRA
Skema 4 :
Model Integrasi Jamkesda
1.2. Terseleksi
Fakir miskin dan tidak mampu yang belum jadi peserta BPJS
Kesehatan
Contoh : Palangkaraya
2. Aspek Iuran
2.1. Sharing : Sharing (Provinsi – Kabupaten/Kota) = 40% + 60%
Contoh : Sharing iuran (%) => Prov. Sulsel + Kab/Kota
Sharing peserta (%) => Prov. Jateng
2.2. Full Costing
Seluruh iuran dibayarkan oleh Prov/Kab/Kota
Contoh : Kota Medan
________________________
BACAAN
Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, ‘Penganggaran Bantuan Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis
T.A. 2008 – 2018,
tabel.
BPJS, Implementasi Kebijakan BPJS Kesehatan dalam Mewujudkan Universal Health Coverage di Indonesia
dan Tantangan,
benchmarking Magister AKK FKM Unhas, Jakarta, 3 oktober 2016
Beritasatu.com, Bupati Gowa Ajukan Judicial Review tentang BPJS, http://www.beritasatu.com/ nasional/
350728-bupati-gowa-ajukan-ijudicial-reviewi-tentang-bpjs.html diakses 21 oktober 2016
DetikFimance.com, RAPBN 2017 Tidak Sehat, Sri Mulyani : Kita Berutang Untuk Bayar Bung
Utang, http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3277058/rapbn-2017-tidak-sehat-sri-
mulyani-kita-berutang-untuk-bayar-bunga-utang diakses 21 oktober 2016
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Pelaksanaan Integrasi Jamkesda Provinsi Jawa Tengah; bahan
kunjungan kaji-banding Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Semarang, 16 Juni 2016.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Ranperda tentang Integrasi Kesehatan Gratis Jamkesda Dalam
Program Jaminan Kesehatan Nasional, Juli 2016
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Data Kepesertaan Program JKN-NPJS Kesehatan
di Propinsi Sulawesi Selatan per Juli 2016.
Chazali Situmorang, 1000 Hari BPJS Kesehatan : Defisit, “Breeding” atau Mismatch, http : //www.
Metrotvnews.com, 11 Juta Penduduk Jawa Tengah dan DIY Belum Terdaftar BPJS Kesehatan, 17 Maret
2016 16:08 http://jateng.metrotvnews.com/read/2016/03/17/500065/11-juta-jiwa-penduduk-jawa-
tengah-dan-diy-belum-terdaftar-bpjs-kesehatan diakses 26 oktober 2016.
Rakyatku.com., Salut, Sidrap yang Pertahankan Kesehatan Gratis, http://news. rakyatku. com read
/11965/2016/07/05/salut-hanya-sidrap-yang-pertahankan-kesehatan-gratis, diakses 23
oktober 2016
Somberenews.com, Bupati Gowa Tolak BPJS Masuk di KabupatenGowa, http:/ www. somberenews.
com/bupati-gowa-tolak-bpjs-masuk-di-kabupaten-gowa/ diakses 23 oktober 2016
____________ Peraturan Presiden R.I., Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, www.bkkbn.go.id, diakses 27
oktober 2016.
sebagai berikut :
1. KEDEKATAN (approachability)
Skema 4 :
Dimensi Aksesibilitas JKN/BPJS Kesehatan
Skema 5 :
Aksesibilitas Program JKN/BPJS Kesehatan
KEDEKATAN
1 Pengguna mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bisa diidentifikasi dalam bentuk keberadaan
pelayanan, bisa dijangkau dan berdampak pada
kesehatan pengguna
(approachability)
KEMAMPUAN PENERIMA
Faktor sosial budaya yang memungkinkan
2
masyarakat menerima pelayanan kesehatan yan
ditawarkan
(acceptability)
KETERSEDIAAN
Pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau kapan
3
saja dan di mana saja. Ketersediaan tidak hanya
secara fisik, naumn secara Sumber Daya mampu
memberikan pelayanan sesuai kemampuan
(availability and accomodation)
4 KESANGGUPAN PENGGUNA
Kemampuan pengguna untuk menggunakan fasilitas
kesehatan secara ekonomi dan sosial
(affordability)
2. DUMPING :
3. READMISI :
5. PERESEPAN OBAT
• Pasien JKN cenderung memperoleh obat murah,
• Jumlah obat yang diterima pasien JKN lebih sedikit dibandingkan
pasien Non JKN,
• Penggunaan antibiotik pada terapi pasien JKN sedikit dibandingkan
obat serupa yang dikonsumsi oleh pasien Non JKN,
• Pasien JKN lebih cenderung diberi jenis obat generik
_______________________
Rujukan :
Budi Hidayat, Deteksi Implikasi Pelaksanaan INA CBGs Tahun 2015, Seminar Hasil Kajian Penelitian dan
Pengembangan BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan Pusat, Jogyakarta, 17 Nov. 2015
Laksono Trisnanto, 2015 -----------------------------------------------------------------------------------------------------
7
Potret JKN Gugus Pulau Terluar
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 45
----------------------------------------------------------- Amran Razak
Ada tiga jenis profesi nelayan yaitu pemancing, penyelam dan penjaring
ikan, namum terpopuler adalah nelayan-penyelam. Masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan bekerja di pagi dan malam hari. Lamanya nelayan
di laut tergantung dari cepat atau tidaknya mereka memperoleh hasil (ikan).
Jika lebih cepat mendapatkan ikan maka semakin cepat pula mereka pulang.
Ikan tangkapan nelayan diberikan kepada pengumpul ikan yang kemudian
dibawah ke daratan untuk dijual.
Resiko pekerjaan nelayan penyelam tradisional sangat berat. Alat yang
digunakan untuk menyelam untuk memperoleh oksigen adalah mesin pompa
ban (kompresor). Di Pulau Satangnga, ditemukan beberapa penderita lumpuh,
tidak mengalami kesembuhan dan jika ada yang sembuh pun mereka tidak
bisa berjalan dengan normal kembali.
KESIMPULAN
Aksesibilitas pelayanan kesehatan di Pulau Satangnga terkonsentrasi di
Puskesma Pembanttu. Masyarakat mengalami hambatan geografis untuk
mengakses layanan kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit). Meski telah
memiliki jaminan kesehatan (JKN-KIS), tetapi mereka tidak dapat
menggunakannya karena hambatan geografis yang berdampak pada kendala
finansial. Penelitian ini mendukung perlunya analisis kritis terhadap kebijakan
kesehatan gugus pulau terluar, memasuki Universal Health Coverage tahun
2019.
________________________
Referensi
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen, pasal 28 H ayat 1.
2. Aday LA, Andersen R.(1998). Equity of access to medical care : a conceptual and empirical overview.
Medical Care. Vol. XIX :12 (supplement), p. 4-27.
3. Cluyer AJ and Wagstaff A. (1993). Equity and equality in health and health care. Journal of Health
Economics, 12, p. 431-457.
4. Oliver A and Mossialos E.(2004). Equity of access to health care : outlining the foundations for action.
Journal of Epidemiology Communiy Health, 58. p. 655-658.
5. Kementerian Sekretariat Negara RI. (2015). JKN: Perjalanan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional.
Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI.
6. Alegria, M., Lin, J., Chen, C. N., Duan, N., Cook, B., & Meng, X. L. (2012). The Impact of Insurance
Coverage in Diminishing Racial and Ethnic Disparities in Behavioral Health Services. Health Services
Research, 47(3), 1322-1344.
7. Kementerian Kesehatan. (2013). Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional, Jakarta.
8. Jean-Frederic Levesque, Mark F Harris and Grant Russel.(2013). Patient-centered access to health care :
conceptualising access at the interface of health systems and populations, International Journal For
Equity in Health 2013, 12:18
9. Ruishan Hu, Suocheng Dong, Yonghong Zhao, Hao Hu, & Zehong Li. (2013). Assessing Potential Spatial
Accessibility of Health Services in Rural China: A Case Study of Donghai County. International journal
for equity in health, 12(1), 35.
10. Xie, X., Wu, Q., Hao, Y., Yin, H., Fu, W., Ning, N., . . . Kang, Z. (2014). Identifying Determinants of
Socioeconomic Inequality in Health Service Utilization Among Patients with Chronic Non-
Communicable Diseases in China. PloS one, 9(6).
11. Irene Garcia Subirats, Ingrid Vargas, Amporo Susana Mogollón Pérez, Pierre De Paepe, Maria Rejane
Ferreira da Silva, Jean Pierre Unger, . . Maria Luisa Vázquez. (2014). Inequities in Access to Health Care
in Different Health Systems: A Study in Municipalities of Central Colombia and North-Eastern Brazil.
International journal for equity in health, 13(1), 10.
Hanya saja, ia meminta dana DBH-CHT dan pajak rokok hanya boleh
digunakan untuk kepentingan pengobatan penyakit yang disebabkan rokok.
“Kalau untuk taktis oke, tapi jangan sampai kondisi dari cukai ini sendiri yang
spesifik penggunaannya dan tagging anggarannya enggak boleh dicampur
sama yang lain, itu menjadi buyar,” kata Julius. Ia mencontohkan, dana
DBH-CHT dan pajak rokok boleh dipakai untuk mengobati penyakit yang
muncul akibat rokok, seperti jantung koroner atau rehabilitasi perokok. Julius
mengingatkan, tujuan keberadaan DBH-CHT untuk mengendalikan tembakau,
bukan untuk kepentingan lain. Ia tidak ingin pemerintah menggunakan DBH-
CHT untuk pengobatan penyakit lain atau di luar kepentingan dampak
tembakau. Lebih buruk lagi, kata dia, apabila pemerintah jadi melegalkan
produksi tembakau secara massal demi menutupi semua biaya BPJS
Kesehatan.
Sementara itu, Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo menilai,
pemerintah sebaiknya mengambil dana cukai, bukan dana bagi hasil DBH-
CHT dan pajak rokok. Namun, ia tidak mempersoalkan pemerintah
penggunaan dana DBH-CHT selama penggunaan dana proporsional. “Tidak
masalah digunakan. Hanya proporsinya,”. Meskipun diperbolehkan
pemakaian proporsional, Adit meminta DBH-CHT untuk BPJS Kesehatan
tidak mencapai 50 persen. Ia menyarankan pemerintah menggunakan dana
cukai untuk menalangi sisa defisit saja. Alasannya, dana DBH-CHT hanya Rp
3 triliyun atau 2 persen dari cukai rokok yang mencapai sekitar Rp 149,5
triliun.
Thailand
Pajak dosa untuk layanan kesehatan publik juga diterapkan di Thailand.
Negara Gajah Putih ini merupakan salah satu pelopor di antara negara
ASEAN yang mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan publik.
Rencana mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan di Thailand
mulai dicetuskan pada 1994. Namun, rencana tersebut baru terealisasi pada 8
tahun kemudian seiring dengan dibentuknya Thai Health Promotion
Foundation (Thai Health). Pada 2007, dana yang disisihkan Thailand untuk
Health Promotion Fund sekitar 2 miliar baht atau setara dengan US$ 60 juta,
atau 2 % dari total penerimaan pajak khusus produk tembakau dan minuman
beralkohol.
Indonesia
Catatan Tersisa
Di masa lalu, para perokok digelar ‘pahlawan pembangunan’ lantaran
kontribusinya yang cukup besar dalam membengkakkan APBN melalui
pajak/cukai rokok.
Di masa kini, kaum perokok kembali tampil sebagai ‘Patriot Baru’
BPJS Kesehatan dengan mensubsidi defisit BPJS Kesehatan (Perpes 82/2018).
Tagline; ‘Merokok dapat membunuhmu’, berubah perlahan ‘Merokok
dapat menyehatkan orang lain’. Kebijakan pemerintah melalui Perpres
82/2018, dianggap solusi jangka pendek dan tak tunas. Pemerintah diminta
membuat solusi jangka panjang mengatasi ketekoran BPJS Kesehatan
tersebut.
Langkah strategi BPJS mengatasi defisitnya, melalui optimalisasi tata
kelola program JKN/BPJS sejak tahun 2016 tak banyak berarti. Pilihan yang
‘menganga’ hanya menunggu suntikan dana pemerintah sepanjang tahun.
@kebangetan.com
________________________________
Bacaan :
Ringkang Gumiwang, “Bagaimana Negara ASEAN Mengutip Pajak Rokok untuk Biayai Kesehatan?,
https://tirto.id/bagaimana-negara-asean-mengutip-pajak-rokok-untuk-biayai-kesehatan- c18F
Andrian Paratama Taher, “Yang Perlu Diperhatian Saat Menutup Defisit BPJS dari Pajak Rokok, https:/
/tirto.id/ yang-perlu-diperhatikan-saat-menutup-defisit-bpjs-dari-pajak-rokok-cZEM
“Dikritik, uang pajak rokok untuk atasi defisit anggaran BPJS Kesehatan”, https:// www. bbc. com/
Indonesia-45563324
“Kontroversi cukai rokok untuk BPJS Kesehatan”, https://beritagar.id/artikel/berita/kontroversi-cukai-rokok-
untuk-bpjs-kesehatan
“Ketika Cukai Rokok unrtuk BPJS Kesehatan”, https://www/indopos.co.id/read/2018/09/19/ 150085/ ketika-
cukai-rokok-untuk-bpjs-kesehatan
“Tiga Jaminan Dipangkas oleh BPJS Kesehatan, Tdrmasuk Katarak”, https://tirto.id/tiga-jaminan-dipangkas-
oleh-bpjs-kesehatan-termasuk-katarak-cQqa
“Strategi BPJS Kesehatan Atasi Defisit”, www.liputan6.com,
“BPJS Kesehatan bermitra dengan berbagai rumah sakit untuk layanan kesehatan, www.liputan6. com
Mungkin Presiden lupa, tidak menyebutkan Menko PMK, Ibu Puan Maharani,
karena sudah lebih dari 3 kali putaran rapat Menteri lingkup Kemenko PMK,
soal defisit iuran BPJS Kesehatan dibicarakan.
“Ini masih kurang lagi. ‘Pak masih kurang, kebutuhan bukan Rp 4,9 T’, lah
kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta,” kata Jokowi.Ini
masih ada sambungannya lagi “Saya sering marahi Pak dirut BPJS, tapi dalam
hati, saya enggak bisa keluarkan, ini manajemen negara sebesar kita enggak
mudah. Artinya Dirut BPJS ngurus berapa ribu RS. Tapi sekali lagi, kalau
membangun sistemnya benar, ini gampang,” kata Jokowi.
Bahkan terpikir oleh saya, setelah membaca berita “kebangetan” Pak Jokowi ,
jika saya yang menjadi Menkes atau Dirut BPJS Kesehatan, menghadap
Presiden, mengembalikan Kepres pengangkatan saya sebagai Menkes atau
Dirut, sambil berucap;”Bapak Presiden, mohon maaf saya tidak bisa mencari
dana untuk menutup defisit, tolong digantikan saja dengan pejabat lain yang
mampu mencari sumber dana untuk mengatasinya”. Dari pada menanggung
malu didepan peserta kongres PERSI yang juga teman seprofesi. Tapi itukan
jika boleh berandai-andai ( Mohon maaf Bu Menkes dan Pak Dirut jika tidak
berkenan).
Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
serta batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.
Jadi persoalan defisit solusi utamanya adalah menaikkan iuran baik PBI
maupun Non PBI, sesuai dengan nilai keekonomian. Dan yang berwenang
menetapkan besarnya iuran adalah Presiden melalui Peraturan Presiden sesuai
dengan perintah UU SJSN. ( Pasal 27 ayat (5).
Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak ada wewenang untuk menentukan
besarnya iuran peserta JKN. Kalau Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak
lapor Presiden tentang perlunya Presiden menerbitkan Perpres JKN terkait
iuran ( untuk mencegah defisit) maka kedua pejabat tersebut sudah melanggar
UU SJSN. Jadi Presiden memang harus turun tangan karena perintah undang-
undang, bukan persoalan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatannya lelet.
Pasal 16A Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta
penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 19.225,00
(sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan.
DJSN waktu itu mengusulkan Rp 27.000.- tapi Menkeu ( Pak Agus Marto)
keberatan.
Pasal 16F Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima
Upah dan Peserta bukan Pekerja atau disebut juga non PBI : a. sebesar Rp
25.500,00 (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan
Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. sebesar Rp 42.500,00
(empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas II. c. sebesar Rp 59.500,00 (lima puluh
sembilan ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
Tiga tahun berikutnya, tahun 2016, di terbitkan Perpres JKN 19 tahun 2016.
Sebagai perubahan kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 Tentang
DJSN waktu itu mengusulkan sesuai dengan hasil kajian sebesar Rp 36.000.-
Menkeu juga keberatan. Berarti setelah JKN berjalan 2 tahun ( 2014 – 2015)
iuran PBI naik sebesar Rp 3.775.- /OB. ( dari Rp 19.225 menjadi Rp
23.000/OB). Idealnya kenaikannya Rp 16.000.- Yaitu dari Rp 19.225.- ke Rp
36.000).
Pasal 16F Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta pekerja Bukan Penerima
Upah dan Peserta bukan pekerja atau non PBI: a. sebesar Rp 30.000,00 (tiga
puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang
perawatan Kelas III. ( ada kenaikan Rp 4.500.-) b.. sebesar Rp 51.000,00
(lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan
di ruang perawatan Kelas II (ada kenaikan Rp 8.500.-) , c. sebesar Rp
80.000,00 (Delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas I ( ada kenaikan Rp 20.500.-) . Ketentuan
besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tanggal 1 April 2A16.
Terkait dengan iuran ini, ada dua hal yang mendasar. Pertama adalah
Pemerintah ( Menkeu) dalam menetapkan besaran iuran yang dituangkan
dalam Perpres tidak sesuai dengan hitungan dan besaran nilai keekonomian
yang telah diusulkan oleh DJSN, sebagai lembaga negara yang diamanatkan
UU SJSN untiuk menghitung besaran iuran. Kedua adalah 3 tahun berturut-
turut besar iuran PBI dan non PBI tidak dinaikkan (Perpres Jaminan
Kesehatan mengamanatkan disesuaikan dalam setiap 2 tahun).
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 70
Di sisi lain, Berbagai kebijakan efisiensi melalui 9 langkah bauran kebijakan
(keputusan dalam Rakor Menko PMK), yang harus dilakukan BPJS
Kesehatan tidak cukup “nendang” untuk mengurangi defisit.
Harapan kita, Bapak Presiden Jokowi dapat memikirkan ulang atas istilah
“kebangetan” yang dilabelkan kepada Ibu Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan
atas terjadinya defisit DJS BPJS Kesehatan yang tidak sepenuhnya berada
diwilayah wewenang mereka. Bahkan berada di wilayah wewenang Presiden
Jokowi.
Semoga Bapak Presiden Jokowi membaca tulisan ini, atau melalui siapa saja
yang mempunyai akses langsung menyampaikannya. Agar masyarakat luas,
khususnya peserta JKN dan insan RS (FKTL), mengetahui informasi yang
utuh, dan tidak menjadi “bola liar” yang digoreng oleh mereka-mereka yang
tidak ingin negeri ini tenteram. (*)
_______________________
10
Akreditasi Faskes dan
Pelayanan JKN
---------------------- Chazali H. Situmorang
Inti surat tersebut BPJS Kesehatan tidak dapat melanjutkan kerja sama dengan
RS yang belum memiliki sertifikat akreditasi. Jadi untuk bekerjasama dengan
Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional 72
BPJS Kesehatan, faskes primer (FKTP) maupun faskes tingkat lanjut
(FKTL), harus bersertifikasi akreditasi.
Jadi surat Menkes diawal tulisan ini, merupakan upaya untuk mengingatkan
Direksi BPJS Kesehatan, dalam melanjutkan kerjasama dengan FKTP dan
FKTL, harus memperhatikan Permenkes terkait yang telah diterbitkan.
Ternyata ada puluhan RS yang korban dan menjadi berita heboh di media
sosial dan media mainstream. Sudah dapat diduga, yang jadi sasaran “tembak”
tentu BPJS Kesehatan, sebagai pihak yang memutuskan kerjasama. Berita
digoreng dan di framing bahwa pemutusan kontrak kerjasama karena BPJS
Kesehatan sedang defisit.
Disinilah perlunya kendali biaya dan kendali mutu yang harus dilakukan BPJS
Kesehatan. Untuk kendali mutu BPJS Kesehatan memastikan bahwa Faskes
melaksanakan pelayanan kesehatan yang komprehesif ( tanpa batas), untuk itu
perlu ada acuan standar pelayanan.
Koneksifitas antara mutu dan besarnya biaya itulah yang perlu dirumuskan
dalam kendali biaya dan kendali mutu. Ini kerja bareng BPJS Kesehatan,
asosiasi faskes, organisasi profesi, kemenkes, dan faskes yang bersangkutan.
Dengan mekanisme yang diatur dalam UU, sudah jelas ruang lingkup
tanggungjawab dan kewajiban Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Jika ada
pasien JKN yang tidak mendapatkan mutu pelayanan di faskes sesuai dengan
hak nya, yang komplain atas nama peserta seharusnya BPJS Kesehatan.
Jangan diserahkan kepada pasien, karena pasien adalah pesakitan.
Demikan juga jika klaim tagihan faskes yang macet, maka Kemenkes dan
asosiasi faskes berkewajiban komplain ke BPJS Kesehatan, Kemenkeu dan
kalau perlu kepada Presiden. Supaya faskesnya dapat menjaga mutu dan
kelangsungan pelayanan.
____________________
Sumber : WA 06/01/19 : 15:23