Anda di halaman 1dari 13

Ekuitas

dalam
BAB
4 Kesehatan
Giovanni van Empel

4.1. Pengantar

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Sebagai salah


oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) yang satu komponen
efektif per Januari 2014 memasuki usia pelaksanaan yang ketujuh dalam Sistem
tahun. Sebagai salah satu komponen dalam Sistem Kesehatan Kesehatan
Nasional (SKN), JKN merupakan instrumen yang penting dalam Nasional, JKN
menjamin kejadian bencana finansial (financial catastrophic) merupakan
ketika individu jatuh sakit. Praktis, sejak ada JKN lebih dari 80% instrumen yang
populasi Indonesia memiliki akses terhadap paket manfaat JKN. penting dalam
Perluasan skema JKN tidak lagi hanya melingkupi masyarakat yang menjamin
diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin dan segenap pekerja kejadian bencana
formal yang tergabung di pemerintahan dan swasta, tetapi juga finansial ketika
mayoritas pekerja sektor informal (Wiseman et al, 2018). individu jatuh
sakit.
Sebagai salah satu instrumen kebijakan yang menyasar sisi
permintaan, JKN berusaha untuk mencapai tujuan terselenggaranya
Sistem Kesehatan Nasional, yaitu meningkatkan status kesehatan
masyarakat. Dengan menghilangkan halangan finansial (financial
barrier), individu dapat mengakses dan menggunakan layanan
masyarakat yang diberikan oleh pusat layanan kesehatan
setempat. Namun demikian, status perkembangan tujuan SKN
lainnya masih perlu banyak dikaji, misalnya dalam menjamin
keadilan dalam kontribusi pembiayaan (Pisani, Kok, dan Nugroho,
2017).

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 49
Selain itu, komponen SKN tentu tidak hanya terbatas pada
pembiayaan. Ada komponen tenaga kesehatan, suplai teknologi
kesehatan, serta kualitas layanan yang perlu dilihat status
perkembangannya dari lensa keadilan.

Bab ini akan bertujuan untuk memberikan snapshot terkait konsep


ekuitas kesehatan (health equity), memaparkan konsep ekuitas,
serta memberikan perkembangan kajian empiris mengenai isu
ini di Indonesia. Beberapa bukti empiris akan mencakup faktor
penawaran (provider) dan juga permintaan (pasien atau individu).
Bab ini bukan bermaksud untuk menjadi referensi komprehensif ,
melainkan memberikan catatan kaki berisi referensi bagi pembaca
yang tertarik untuk membaca isu ini lebih dalam.

Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama akan membahas
latar belakang dari isu ekuitas kesehatan. Bagian kedua akan
membahas konsep ekuitas serta mendiskusikan beberapa isu
mengenai konsep akses dan kebutuhan. Bagian ketiga akan
memaparkan kajian empiris yang sudah dilakukan oleh peneliti.

4.2. Latar Belakang

Pertimbangan dunia untuk fokus pada isu ketimpangan


merupakan proses alamiah saat ekspansi akses terhadap layanan
kesehatan, melalui kebijakan UHC yang diimplementasikan di
berbagai negara. Kebijakan UHC merupakan salah satu kemajuan
terbesar yang dicapai oleh dunia melalui konsensus tingkat tinggi.
Halangan finansial dalam mengakses layanan kesehatan praktis
menjadi minimal, bahkan nol kalau kita lihat dari perspektif biaya
langsung. Namun demikian, persoalan sistem kesehatan tidak
hanya tantangan halangan finansial (Kutzin, 2013).

Gambar 4.1.
Kerangka Sistem
Kesehatan WHO
(2007)

World Health Organization.


(2000). The World Health
Report 2000: Health
Systems. Improving
Performance. World
Health Organization.

Dalam pembiayaan kesehatan, perluasan akses melalui kebijakan


asuransi kesehatan publik bertujuan mendorong individu untuk
menggunakan layanan kesehatan yang dibutuhkan (demand side
policy). Namun, kepemilikan asuransi tidak otomatis membuat

50 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


pemiliknya menggunakan layanan yang tersedia, misalnya karena
ada persoalan preferensi terhadap risiko.

Sekelompok masyarakat tertentu dapat saja berkeyakinan bahwa


pergi ke puskesmas adalah hal berisiko dan tidak bermanfaat.
Pada kasus lain, sekelompok masyarakat di suatu daerah perlu
mengalokasikan waktu lima jam hanya untuk satu kali jalan
berkunjung ke fasilitas kesehatan terdekat. Selain itu, para pekerja
sektor informal dengan penghasilan harian menghadapi dilema
untuk memutuskan apakah dia akan memeriksakan kesehatannya
atau pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhannya hari itu.

Adalah benar tersedianya asuransi kesehatan mengurangi Sistem kesehatan


kemungkinan untuk terjadinya bencana finansial (financial tidak hanya
catastrophic) bagi pemiliknya saat jatuh sakit (Erlangga, Suhrcke, bertujuan
et al., 2019; Mills et al., 2012; Puteh & Almualm, 2017; Xu et al., 2007). melindungi
Namun, sistem kesehatan tidak hanya bertujuan melindungi seseorang dari
seseorang dari bencana finansial, melainkan juga bertujuan untuk bencana finansial,
pembangunan kesehatan (World Health Organization, 2000). melainkan juga
bertujuan untuk
Variasi situasi yang terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia, pembangunan
membuat tantangan sistem kesehatan tidak hanya bisa diselesaikan kesehatan.
dengan kebijakan ekspansi akses layanan kesehatan melalui
penyediaan asuransi kesehatan (Jacobs et al., 2012). Persoalan
struktural, seperti keterjangkauan akses, kualitas layanan yang
berbeda antar-fasilitas kesehatan di seluruh daerah, serta preferensi
individual, menyebabkan persoalan ketimpangan kesehatan
(health inequity).

Untuk memahami lebih mengenai ketimpangan dalam kesehatan,


kita perlu membahas beberapa konsep penting yang melahirkan
kajian ketimpangan dalam kesehatan. Konsep-konsep ini terkait
erat dengan konteks, mengalami proses dialektika, lalu mendorong
berbagai kajian empiris.

4.3. Konsep Ekuitas

Variasi definisi dari ekuitas dalam pelayanan kesehatan (equity


in health care) telah banyak diusulkan. Pada saat awal konsep
ekuitas diperbincangkan di kalangan ilmuwan, ekuitas merujuk
pada kesamaan pengeluaran (kesehatan) per kapita (equality of
expenditure per capita). Definisi ini menekankan formula alokasi
dana yang digunakan oleh suatu negara. Namun, pengertian ini
tidak memperhatikan konsep “kebutuhan” (Culyer & Wagstaff, 1993).

Definisi kedua adalah “distribusi atau alokasi (layanan kesehatan)


berdasarkan kebutuhan”. Namun, pada awalnya definisi ini tidak
menemukan konsensus terhadap apa yang dimaksud sebagai
“kebutuhan”. Definisi ketiga adalah “kesetaraan dalam kesehatan”
(equality of health) dan definisi keempat adalah “kesetaraan dalam

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 51
akses”. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan
akses.

4.3.1. Definisi Kebutuhan

Berdasarkan variasi definisi pada literatur, Culyer dan Wagstaff (1993)


menyimpulkan definisi “kebutuhan” yang lebih tepat sebagai “Seluruh
pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan peningkatan
kesehatan secara maksimal. Dengan kata lain, seluruh pengeluaran
yang diperlukan untuk mengurangi kapasitas individu untuk
menerima manfaat (dari layanan kesehatan) menjadi nol (tidak ada).”

Pembuat Dalam beberapa dokumen kebijakan, perspektif yang dipilih adalah


kebijakan standar kebutuhan minimal. Pembuat kebijakan kesehatan di
kesehatan di berbagai negara di awal 1970—saat munculnya konsep Managed
berbagai negara Care—melihat perlunya usaha untuk mengontrol pengeluaran
di awal 1970 kesehatan. Perspektif ini secara implisit menilai bahwa masyarakat
melihat perlunya telah mendapat layanan kesehatan melebihi yang diperlukan.
usaha untuk
mengontrol Hal yang luput dari pandangan ini adalah bahwa kebutuhan perlu
pengeluaran dilihat dari produksi output layanan kesehatan dan kepada siapa
kesehatan. alokasi ini diberikan. Karena dalam konteks kebijakan publik secara
umum, kebutuhan perlu dilihat sebagai preferensi keinginan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Definisi kebutuhan ini secara ekstensif dibahas oleh Norman Daniel,


Profesor Filsafat Kesehatan di Universitas Harvard. Daniel (1985)
berpandangan pendekatan dalam definisi kebutuhan layanan
kesehatan perlu mempertimbangkan hal berikut:
1. Layanan kesehatan bersifat khusus. Pandangan ini membedakan
layanan kesehatan dengan tujuan lainnya. Hal ini memungkinkan
untuk melihat layanan kesehatan sebagai hal utama dalam
usaha untuk mengembalikan kesetaraan peluang (fair equality
of opportunity) dalam kegiatan produksi ekonomi, misalnya.
2. Fungsi unik dari spesies manusia. Layanan kesehatan diperlukan
agar seseorang menjadi sehat. Tubuh sehat atau tanpa penyakit
memungkinkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang unik yang
berkaitan dengan jati diri spesies manusia.
3. Kesetaraan dalam peluang (fair equality of opportunity). Hal ini
merujuk pada bahwa meskipun masyarakat terdiri dari individu
yang memiliki kebutuhan, preferensi, hingga kemampuan yang
berbeda, setiap individu patut mendapatkan peluang yang sama
untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.

Perdebatan mengenai definisi kebutuhan berimplikasi pada


cara pandang filosofis terhadap kesehatan. Kritik dari perspektif
ekonomi misalnya:
1. Jurang tidak berujung. Jika tujuan kebijakan adalah
memaksimalkan status kesehatan, hal ini memungkinkan
sekelompok pasien pada kondisi tertentu mendapatkan

52 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


berbagai macam input layanan kesehatan. Sebagian dari
layanan kesehatan ini sayangnya tidak selalu berdampak
pada peningkatan status kesehatan sehingga menyebabkan
inefisiensi.
2. Kebutuhan perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya.
Tujuan masyarakat untuk memperbaiki status kesehatan perlu
mempertimbangkan biaya dan harga untuk memproduksi layanan
kesehatan. Seperti jenis barang lainnya, kesehatan juga mengalami
penurunan manfaat marginal. Ketika mempertimbangkan
kemanfaatan dari setiap Rupiah yang dikeluarkan, masyarakat
perlu menimbang hal lain yang dapat memberikan manfaat
untuk kesehatan yang lebih besar dan mengalokasikan dananya
untuk hal tersebut, misalnya penguatan edukasi untuk kesehatan
(melalui kurikulum pendidikan).
3. Kebutuhan yang dianggap monoton. Ketika analisis kebutuhan
didefinisikan dalam terminologi sumber daya yang dibutuhkan
per kapita (needed health resources per capita), secara implisit ada
asumsi yang tidak tepat yang mengatakan bahwa satu-satunya
cara untuk meningkatkan status kesehatan adalah dengan
meningkatkan layanan kesehatan (frekuensi dan intensitas).
Padahal, ada hal-hal lain yang sebenarnya dapat dilakukan untuk
meningkatkan kesehatan seseorang, misalnya dengan cara
memperbaiki pola makan serta berolahraga secara rutin.

Secara praktis informasi mengenai kebutuhan didasarkan pada


penggunaan data sebagai proksi untuk mengestimasi seberapa Secara praktis
besar kebutuhan suatu negara atau daerah dalam mengalokasikan informasi
sumber dayanya. Proksi yang digunakan antara lain adalah indikator mengenai
mortalitas, morbiditas, dan dalam kasus lain seperti status sosio- kebutuhan
ekonomi individu. Pola penggunaan layanan kesehatan dapat didasarkan pada
dilihat secara retrospektif dari indikator tersebut. Perbedaan pola penggunaan
penggunaan layanan kesehatan karena status sosio-ekonomi data sebagai
misalnya dianggap sebagai sinyal terjadinya ketimpangan. proksi untuk
Meskipun demikian, masih terjadi perdebatan apakah pola mengestimasi
penggunaan layanan kesehatan dapat menangkap “kebutuhan” seberapa besar
individu secara utuh. kebutuhan suatu
negara atau
Perbedaan cara pandang ini setidaknya menyimpulkan dua faktor daerah dalam
yang penting dalam mendefinisikan kata “kebutuhan” (Oliver dan mengalokasikan
Mossialos, 2004). Pertama, status kesehatan seseorang sebelum sumber dayanya.
mendapat layanan kesehatan. Ini merupakan pandangan yang
umum diterima oleh praktisi medis. Kedua, kapasitas individu
untuk mendapatkan manfaat dari layanan kesehatan. Dengan kata
lain, jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
manfaat yang setinggi-tingginya yang mendefinisikan besar atau
kecilnya kebutuhan seseorang. Pandangan ini lazim dianut oleh
ekonom kesehatan.

Hal yang menarik adalah kedua pandangan ini selain sama


pentingnya, juga dalam berbagai kesempatan dapat saling
bergesekan. Contohnya, penderita penyakit terminal dengan

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 53
kondisi buruk, seperti kanker pankreas stadium lanjut, bisa saja
tidak menerima terapi efektif yang mampu memberikan manfaat,
misalnya untuk memperpanjang usia. Kasus-kasus seperti ini
menekankan pentingnya aspek ekuitas pada studi-studi evaluasi
teknologi kesehatan. Hal ini kemudian membuat pengambilan
keputusan dapat menentukan apakah teknologi kesehatan akan
diadopsi atau tidak penting untuk dipertimbangkan.

4.3.2. Definisi Akses

Menurut Mooney (1983) dan Le Grand (2018), akses perlu dilihat


dalam aspek biaya yang dikeluarkan individu ketika mendapatkan
layanan kesehatan. Implikasi dari interpretasi ini adalah tidak semua
orang mengeluarkan biaya yang sama. Sebagai contoh, kelompok
berpenghasilan menengah ke bawah akan mengeluarkan
biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan kelompok yang
berpenghasilan menengah ke atas.
Definisi akses
terhadap layanan Culyer dan Wagstaff (1993) menginterpretasikan akses dengan lebih
kesehatan sederhana sebagai “Kesetaraan dalam akses layanan kesehatan
secara hati-hati memerlukan kondisi dengan jumlah maksimal konsumsi layanan
didefinisikan kesehatan yang sama untuk semua individ (Equal Access for Equal
sebagai Need)”. Definisi akses terhadap layanan kesehatan secara hati-
kemampuan hati didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan paket
untuk layanan kesehatan dengan kualitas tertentu, dengan menimbang
mendapatkan kemampuan finansial individu.
paket layanan
kesehatan Rentang paket serta standar layanan menuntut pengambil
dengan kualitas kebijakan untuk menilai akses secara utuh, baik level nasional
tertentu, dengan (agregat) maupun regional atau daerah dengan karakteristik yang
menimbang melekat padanya. Perbedaan akses antardaerah tidak terhindarkan
kemampuan dan menjadi penting untuk selalu melakukan penilaian dan evaluasi
finansial individu terhadap variasi akses (Jacobs et al., 2012).
serta memproses
informasi 4.3.2.1. Equity Versus Equality
kesehatan.
Pertanyaannya apakah ekuitas (equity) sama dengan equality? Kedua
konsep tersebut perlu dibedakan. Kesetaraan (equality) mengacu
pada kuantitas yang dapat diukur secara objektif. Contoh dari equality
adalah ketika dua ibu rumah tangga dengan usia yang sama, Wati
dan Rumi, dirawat di suatu rumah sakit, mendapatkan layanan yang
sama persis, dari pemeriksaan fisik, uji laboratorium, pemeriksaan
penunjang, hingga tindakan lanjutan. Layanan kesehatan tersebut
dapat diukur secara objektif dan tidak sedikit pun perbedaan dalam
jumlahnya, misalnya kunjungan dokter dan frekuensi terapi.

Sebaliknya, ekuitas merujuk pada konsep normatif, yaitu kondisi


tidak terdapatnya kesetaraan yang disebabkan oleh hal yang dapat
dihindari. Secara konseptual, ekuitas tidak selalu berarti kesetaraan
(equality). Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 4.2.

54 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Gambar 4.2.
Ilustrasi Equality
vs Equity

Interaction Institute for


Social Change | Artist:
Angus Maguire. https://
interactioninstitute.org/
illustrating-equality-vs-
equity/

4.3.3. Vertical vs Horizontal Inequity

Variasi kondisi kesehatan antar-individu secara alamiah akan terjadi.


Banyak kondisi menyebabkan suatu perbedaan. Namun, perlu
diketahui apakah perbedaan status kesehatan terjadi karena faktor
yang dapat dihindari (unwarranted variation) atau tidak dapat
dihindari (warranted variation). Salah satu faktor yang tidak dapat
dihindari adalah predisposisi genetik, misalnya kecenderungan
seseorang untuk menderita diabetes. Faktor lainnya adalah responsif
atau tidaknya seseorang terhadap terapi. Selain cenderung untuk
menderita sakit, setiap individu memiliki kecenderungan yang
berbeda dalam merespons terapi.

Faktor-faktor yang dianggap bisa dihindari adalah apabila intensitas


pemberian terapi dalam satu episode rawat inap berbeda karena
jenis kelamin, usia (pada konteks tertentu dapat menjadi faktor yang
tidak dapat dihindari), etnis, pendapatan, status sosio-ekonomi,
dan jenis asuransi. Jika terjadi perbedaan tersebut, hal ini disebut
sebagai horizontal inequity. Horizontal equity1 mensyaratkan equal
treatment of equal needs. Pelayanan harus sama terhadap mereka
yang kebutuhannya sama.

Di sisi lain karena kebutuhan antarindividu bisa berbeda, misalnya


tergantung pada keparahan penyakit, pelayanan sangat mungkin
diberikan sesuai kebutuhan. Vertical inequity terjadi pada konteks
ini, tetapi ketimpangan ini didasarkan oleh faktor-faktor yang dapat
diterima (karena perbedaan kebutuhan).

1 Pembaca yang menginginkan bahasan yang lebih teknis dan menyeluruh serta ingin
mendalami teknik analisis dengan data rumah tangga silakan merujuk ke O. O’Donnell,
Van Doorslaer, E., Wagstaff, A., & Lindelow, M. (2007). Analyzing Health Equity Using
Household Survey Data: A Guide to Techniques and Their Implementation. The World
Bank.

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 55
Gambar 4.3.
Kurva Konsentrasi
Hipotetikal

Asante, A., Price, J., Hayen,


A., Jan, S., & Wiseman, V.
(2016). Equityin Health
Care Financing in Low-
and Middle-Income
Countries: A Systematic
Review of Evidence from
Studies Using Benefit
and Financing Incidence
Analyses. PloS One, 11(4),
e0152866.

4.3.4. Faktor yang Berdampak pada Equal Access for


Equal Need

Untuk itu, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi akses


terhadap layanan kesehatan. Faktor-faktor ini memiliki dampak
berbeda kepada kelompok. Setidaknya secara garis besar, ada dua
faktor yang dapat kita telusuri lebih lanjut.

Pertama, faktor penawaran, misalnya letak dan lokasi geografis


setiap individu terhadap pusat layanan kesehatan. Tentu ada variasi
jarak yang tidak sama dan perbedaan ini dapat diterima melalui
berbagai pertimbangan. Karena dalam konteks layanan kesehatan,
layanan spesialistik misalnya sulit dibayangkan dapat tersedia
secara merata di seluruh area geografis (Mulyanto et al., 2018, 2019).

Kebijakan tersedianya layanan standar perlu dipastikan dalam


norma minimal yang disepakati bersama. Untuk itu, beberapa
hal ini perlu diperhatikan dalam alokasi sumber daya kesehatan.
Pertama, distribusi terjadi berdasarkan ukuran populasi, input
biaya, kebutuhan layanan kesehatan, dan distribusi kelompok
sosio-ekonomi populasi di suatu daerah (Asante et al., 2016). Hal-hal
tersebut penting untuk menjadi indikator tambahan, selain riwayat
utilisasi layanan kesehatan di suatu daerah. Kedua, kebijakan
afirmatif juga diperlukan untuk melakukan identifikasi daerah yang

56 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


relatif timpang, terutama dalam menyoal kapasitas yang terbatas
di daerah yang dianggap tertinggal (Jacobs et al., 2012). Adanya
kebijakan afirmatif penting untuk menjaga layanan kesehatan di
daerah berjalan dengan baik.

Faktor kedua adalah permintaan (demand). Faktor utama yang


dapat menghalangi akses layanan kesehatan adalah faktor
finansial (Kim et al., 2017). Adanya biaya yang harus dikeluarkan
secara mandiri (out of pocket) dalam bentuk biaya (co-payment/co-
insurance/user charges) memiliki dampak disproporsional terhadap
kelompok dengan pendapatan rendah (Wagstaff, Flores, Hsu, et al.,
2018; Wagstaff, Flores, Smitz, et al., 2018; Wagstaff & van Doorslaer,
2000). Proporsi biaya yang harus dikeluarkan kelompok ini relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi
meskipum secara absolut jumlah rupiah yang dikeluarkan sama.

Kelompok miskin cenderung menghindari pusat layanan kesehatan


dan penggunaan layanan kesehatan oleh kelompok ini menjadi
relatif lebih rendah. Ulasan sistematis yang dilakukan oleh Qin et
al (2019) memperlihatkan dampak negatif iur biaya. Hampir semua
negara dan konteks yang menerapkan iur biaya menunjukkan pola
penurunan frekuensi penggunaan layanan kesehatan yang seragam.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses adalah Faktor lainnya
informasi, pengetahuan, kepercayaan, budaya lokal, serta biaya yang juga
tidak langsung, seperti biaya perjalanan. Kelompok pekerja di sektor berpengaruh
informal dengan penghasilan harian harus menimbang-nimbang terhadap akses
untuk melakukan kunjungan ke rumah sakit atau puskesmas adalah informasi,
atau tidak. Karena ketika memilih berkunjung, ia harus merelakan pengetahuan,
pendapatannya hari itu. kepercayaan,
budaya lokal,
Beberapa studi (Mtei et al., 2012; Wagstaff, 2012) menunjukkan hal serta biaya tidak
tersebut meskipun biaya medis langsung sudah ditanggung oleh langsung, seperti
skema asuransi kesehatan sosial. Variasi dalam penggunaan layanan biaya perjalanan.
kesehatan hampir selalu ditemukan (Sharma et al., 2017), sehingga
perlu diidentifikasi untuk memastikan variasi kesenjangan dalam
penggunaan layanan kesehatan, misalnya karena pilihan sadar
individu.

Sebagai ilustrasi, anak kembar dengan pengetahuan, usia, dan


pendapatan yang identik bisa memiliki preferensi kesehatan yang
berbeda. Contohnya sang kakak cenderung menghindari risiko
dibandingkan sang adik sehingga sang kakak memilih untuk
berkunjung ke rumah sakit untuk penyakit ringan (self limiting
disease). Perbedaan intensitas penggunaan ini bukan disebabkan
oleh faktor yang dapat dihindari.

Pembahasan konsep ekuitas secara natural akan mempertanyakan


beberapa hal berikut: apakah yang dikhawatirkan secara konseptual
terjadi; sejauh mana ketimpangan terjadi; dan apa saja yang membuat
ketimpangan semakin tajam. Pemahaman bukti empiris penting

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 57
untuk mengetahui situasi terkini, hal yang dapat dilakukan, dan
yang sebaiknya dihindari. Bukti empiris di bagian selanjutnya tidak
mencakup seluruh artikel ilmiah dalam kajian ekuitas di Indonesia,
tetapi hanya beberapa kajian pilihan dengan kualitas tinggi.

4.4. Bukti Empiris

Studi dampak JKN terhadap utilisasi dilakukan oleh Erlangga et.al


(2019). Kebijakan JKN menghilangkan sebagian tantangan finansial
bagi individu untuk mendapatkan akses layanan kesehatan. Studi yang
dilakukan menggunakan data panel Indonesian Family Life Survey
(IFLS) pada 2007 dan 2014. Kebijakan JKN menunjukkan peningkatan
probabilitas utilisasi kesehatan pada kedua kelompok yang disubsidi
pemerintah (Penerima Bantuan Iuran/PBI) dan kelompok sukarela
(non-PBI) sebesar 1,8% dan 8,2% untuk layanan rawat inap. Kelompok
sukarela mengalami peningkatan probabilitas menggunakan layanan
kesehatan rawat jalan sebesar 7,9%. Meskipun JKN menghilangkan
sebagian biaya, perbedaan probabilitas antara kedua kelompok ini
menunjukkan kelompok subsidi yang cenderung miskin memiliki
biaya tidak langsung yang lebih tinggi. Dengan demikian, potensi
ketimpangan masih tetap ada. Namun, JKN menjamin individu dari
kemungkinan pengeluaran biaya katastropik.

Gambar 4.4.
Kemudahan Akses
ke Rumah Sakit
Menurut Provinsi

Data Diolah dari Laporan


RISKESDAS (2018)

58 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Studi Mulyanto et al (2019) juga melihat inequality dalam utilisasi
layanan kesehatan. Berdasarkan data IFLS, studi ini juga melihat
lebih spesifik faktor-faktor yang memengaruhi variasi penggunaan
layanan kesehatan, dari layanan primer, layanan rawat jalan di
tingkat sekunder (rumah sakit), layanan rawat inap, hingga layanan
pencegahan penyakit kardiovaskular.

Hasil menunjukkan faktor pendidikan menjelaskan variasi


penggunaan layanan kesehatan ini. Misalnya, perbedaan pendidikan
menjelaskan penggunaan layanan rawat jalan di rumah sakit lebih
besar dibandingkan dengan penggunaan layanan di tingkat primer.
Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin
sering dia menggunakan layanan rawat jalan di rumah sakit.

4.4.1. Studi Morbiditas

Beberapa studi juga berusaha melihat pola socioeconomic Salah satu


inequalities dalam berbagai kondisi kesehatan. Salah satunya penyebab
adalah studi yang dilakukan Rizal dan van Doorslaer (2019) yang stunting adalah
bermaksud menilai dampak faktor ketidaksetaraan dalam kejadian faktor ekonomi,
stunting. Penyebab stunting adalah faktor ekonomi, media pola melalui media
konsumsi di rumah tangga, faktor pendidikan, dan juga lingkungan pola konsumsi
tempat tinggal. di rumah
tangga, faktor
Dengan data IFLS, mereka menemukan prevalensi stunting berat pendidikan, dan
(severe stunting) turun secara signifikan antara periode 2007 juga lingkungan
dan 2014, tetapi tidak untuk prevalensi stunting. Analisis yang tempat tinggal.
dilakukan juga melihatkan faktor akses (diukur dengan imunisasi
dan kelahiran di fasilitas kesehatan). Hal tersebut menjelaskan
ketimpangan prevalensi stunting antara kelompok kaya dan miskin
semakin kecil.

Hodge et al. (2014) menunjukkan penurunan angka kematian


anak di bawah lima tahun dan juga neonatus di level nasional.
Dengan data Indonesian Demographic and Health Surveys (IDHS),
studi ini melihat tren penurunan inequality angka kematian anak
di bawah lima tahun dan neonatus dari 1980 hingga 2011. Secara
umum, penurunan ini terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Ketika
membandingkannya dengan pulau non-Jawa/Bali, ketimpangan
prevalensi ini justru membesar. Hal ini menunjukkan faktor
penawaran patut diteliti lebih jauh.

Peran faktor penawaran dalam menjelaskan ketimpangan dapat


dilihat dari studi Nababan et al (2018) dalam menindaklanjuti
temuan Hodge et al (2014). Dengan data DHS dari 1991 hingga 2012,
studi ini melihat tren penggunaan layanan kesehatan maternal
di Indonesia. Kelahiran di pusat layanan kesehatan meningkat
dari 22% pada 1986 menjadi 73% pada 2012. Namun, ketimpangan
pengguna juga dapat terlihat. Probabilitas kelompok perempuan
terkaya (diukur dari aset dan distribusi kuantil) untuk melahirkan
di fasilitas kesehatan lima kali lebih tinggi dibandingkan kelompok

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 59
perempuan termiskin. Lebih lanjut, perempuan yang tinggal
di perkotaan memiliki probabilitas tiga kali lebih tinggi untuk
melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan dengan kelompok
perempuan termiskin. Penggunaan layanan kesehatan ini
terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali.

4.4.2. Faktor Penawaran

Rokx et al (2010) menyebutkan investasi sektor kesehatan sejak 25


tahun terakhir relatif didominasi oleh sektor privat. Dari 1996 hingga
2007 relatif terjadi peningkatan jumlah dokter pada populasi secara
umum dan juga jumlah Puskesmas, tetapi tanpa adanya tenaga
dokter di fasilitas yang disebutkan terakhir. Hal ini karena dokter
paling banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan.

Gambar 4.5.
Tren Jumlah
Puskesmas

Diolah dari Presentasi


BPJS Kesehatan. (2018))

Studi Booth et al (2019) menunjukkan data Kementerian Kesehatan


pada 2018. Jumlah Posyandu (per 1 juta populasi) secara absolut
tidak memiliki banyak perbedaan, misalnya jumlah Posyandu di
Papua sebanyak 874 dan di Jawa dan Bali sebanyak 746. Namun,
Puskesmas di Jawa-Bali hanya berjumlah 24 per 1 juta populasi,
sedangkan Papua memiliki 560 Puskesmas per 1 juta populasi.
Rasio antara Puskesmas dan Posyandu di Papua dan Bali adalah
6,6:30,7. Nilai tersebut terlihat baik, tetapi ketika staf Puskesmas
hendak melakukan supervisi Posyandu, jarak antar-Posyandu
dengan waktu tempuh yang lama membuat proses supervisi tidak
bisa berjalan dengan baik.

60 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Gambar 4.6.
Proporsi
Puskesmas
Terhadap
Kecukupan SDM
Kesehatan

Diolah dari Pusdatin


Kementerian Kesehatan.
(2017)

Lebih lanjut, studi ini juga memperlihatkan dari 283.370 Posyandu


di Indonesia, hanya 61% yang tergolong dapat memberikan layanan
kepada masyarakat. Variasi cukup lebar juga ditemui, misalnya 99%
Posyandu tergolong aktif, sementara hanya 8% Posyandu di Maluku
yang tergolong aktif.

Bukti kajian empiris memperlihatkan ketimpangan kesehatan


di Indonesia mulai berkembang dan memiliki arti yang semakin
penting. Peran faktor supply dalam ketimpangan kesehatan masih
terbatas, misalnya belum ada studi yang melihat variasi kualitas
ketimpangan layanan kesehatan (secara objektif) . Selain itu, perlu
juga untuk melihat lagi evolusi dari temuan beberapa tahun yang
lalu. Untuk itu, kerja sama antara pembuat kebijakan dan akademisi
diperlukan untuk terus meneliti hal tersebut di Indonesia.

4.5. Penutup

Bab ini membahas secara singkat mengenai ekuitas dalam kesehatan.


Ketimpangan dalam kesehatan telah menjadi agenda global saat
ini. Bukti-bukti empiris mulai memperlihatkan seberapa inklusif dan
responsif sistem kesehatan di suatu negara. Dalam sudut pandang
ilmu ekonomi, ketimpangan adalah potensi terhadap inefisiensi
atau alokasi sumber daya yang tidak optimal. Ketimpangan juga
mengindikasikan disparitas dari apa yang dibutuhkan dengan apa
yang tersedia. Mengoreksinya membutuhkan perencanaan dan
kebijakan yang baik dari semua elemen, tidak hanya mendapatkan
titik optimal dalam alokasi sumber daya, tetapi juga berkenaan
dengan aspek etis dari ketimpangan itu sendiri.

EKUITAS DA L A M KESEHATA N 61

Anda mungkin juga menyukai