Anda di halaman 1dari 4

CHAIN OF CUSTODY BERBASIS BLOCKCHAIN DALAM PENANGANAN BUKTI

DIGITAL

Akselerasi perkembangan teknologi terus mengalami peningkatan, yang


ditandai dengan hadirnya berbagai teknologi baru seperti Artificial
Intelligence, Virtual Reality, Robotics, Biotechnology dan Internet of Things .
Fenonema tersebut dimaknai sebagai masuknya era baru dari revolusi
industri (4.0), yang mana telah mengubah kehidupan menjadi serba digital.
Hal ini ternyata berdampak pada penegakan hukum, karena digitalisasi
kehidupan telah melahirkan suatu bukti baru yang berbentuk digital seperti
foto, video, rekaman serta dokumen/informasi digital lainnya. Bukti digital
memiliki sifat yang rapuh (vulnerable) dan dapat dimodifikasi (volatile).
Sehingga diperlukan treatment khusus terhadapnya agar bisa digunakan
secara sah dalam persidangan.

Diantaranya penggunaan bukti digital dalam perkara pidana. KUHAP saat ini
belum mengatur secara khusus tentang prosedur penanganannya. Padahal
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, bukti digital sudah diakui dan
dapat digunakan di persidangan dengan syarat sebagaimana diatur di dalam
Pasal 6 UU ITE, bahwa “bukti digital sah apabila dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan”. Oleh karena itu
aturan mengenai prosedur penanganan bukti digital sangatlah penting guna
memenuhi syarat tersebut. Dalam lingkup internasional, telah ada beberapa
instrumen seperti ACPO/NPCC Good Practice Guide for Computer-Based
Electronic Evidence, NIST 800-86 Guide to Integrating Forensic Techniques
into Incident Response, NCJ 199408 dan ISO 27037:2012-Guidelines for
Identification, Collection, Acquisition and Preservation of Digital Evidence,
yang memberikan prinsip-prinsip dasar penanganan bukti digital yaitu
Personil yang Kompeten, Chain of Custody (CoC) dan Kepatuhan Hukum yang
menjadi syarat demi terpenuhinya prinsip Integritas dari bukti digital.

Salah satu prinsip yang penting tersebut adalah CoC, yang didefinisikan
sebagai dokumen yang dapat mengidentifikasi perpindahan dan penangangan
bukti secara kronologis. Artinya segala tindakan yang dilakukan atas bukti
digital harus terdokumentasi lengkap, sehingga dapat dipastikan bahwa bukti
digital tidak mengalami perubahan sejak pertama kali diakuisisi hingga
dipresentasi di persidangan. Karena itu diperlukan suatu instrumen agar CoC
tersedia dengan baik dan benar. Saat ini terdapat teknologi yang dinilai
mampu mendukungnya yaitu Blockchain.
BLOCKCHAIN

Blockchain merupakan suatu teknologi yang mengadopsi fungsi buku catatan


besar (ledger). Teknologi ini berfungsi merekam/menyimpan data/informasi
pada sebuah tempat (blok) di dalam suatu jaringan. Setiap blok di dalam
jaringan akan melakukan pencatatan dan penyimpanan atas data/informasi
dengan prinsip desentralisasi dan kriptografi. Desentralisasi membuat
segala data/informasi yang tercatat/tersimpan di dalam blok terdistribusi
kepada seluruh blok-blok lain yang terhubung secara peer-to-peer dan real
time dengan time stamped. Sedangkan kriptografi adalah tehnik yang
digunakan untuk melakukan enkripsi data/informasi yang tercatat/tersimpan
di dalam blok dengan cara mengubahnya dengan kode rahasia yang tersusun
dari angka/huruf secara acak yang disebut hash, melalui hash tersebut blok-
blok di dalam jaringan dapat saling terhubung (Georgios Dimitropulos,The
Law of Blockchain,2020,Page 1127-1128).

Apabila ada pihak lain (stranger/hacker) yang mencoba mengubah isi data
pada salah satu blok, maka blok-blok lain yang terhubung akan mendeteksi
dan memvalidasinya dengan konsep konsensus, hasilnya data yang akan
digunakan (valid) adalah data mayoritas yang ada dari seluruh blok yang
terhubung.

Melalui fitur-fitur tersebut, sebagaimana dilansir dari halaman Hukumonline,


Blockchain menjadi suatu platform yang memungkinkan dalam setiap
pencatatan/penyimpanan atau perubahan data dapat terlihat dari blok lain
yang terhubung. Di sisi lain, dilengkapi kriptografi membuat keamanan data
Blockchain semakin kuat, sehingga membuat data tidak mudah dimanipulasi.
Karena mekanisme pencatatan/penyimpanan data dalam Blockchain bersifat
transparent dan immutable.

BLOCKCHAIN-BASED CoC

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, di Indonesia belum terdapat


pengaturan lebih lanjut tentang prosedur penanganan bukti digital. Terlebih
masih menjadi perdebatan tentang kedudukan bukti digital yang dapat berdiri
sendiri ataukah perlu dukungan bukti lain. Namun jika melihat
karakteristiknya, bukti digital diklasifikasikan sebagai bukti bisu (stille
getuigen) sehingga memerlukan bukti lain (saksi, ahli, terdakwa ataupun
surat) untuk menjelaskannya. Dengan demikian bukti digital lebih dipandang
sebagai barang bukti (Kemitraan & LeIP,Naskah Akademik Kerangka Hukum
Perolehan,Pemeriksaan & Pengelolaan Bukti Elektronik,2019,Halaman 20-
21,43-48).
Oleh karena itu secara umum penanganan bukti digital merujuk pada KUHAP,
yaitu Pasal 32-46 (penggeledahan-penyitaan) dan Pasal 75 ayat (1) (berita
acara). Sedangkan secara khusus, patut memedomani instrumen
internasional di atas sebagai best practices, sehingga dapat memenuhi
ketentuan Pasal 6 UU ITE. Salah satu elemen penting yang harus
diperhatikan adalah Chain of Custody. CoC yang tersedia dengan baik harus
memenuhi prinsip (Silvia Bonomi et al.,B-CoC for Evidences Management in
Digital Forensics,2018,Page 1-2):
­ Integrity (bukti utuh, tidak rusak/diubah);
­ Traceability (seluruh proses penanganan bukti digital tercatat lengkap);
­ Authentication & Verifiability (setiap pihak yang berkontak dengan bukti
digital adalah yang berkepentingan dan terverifikasi);
­ Security (penanganan bukti digital tidak mengakibatkan rusak/berubah);

Sekarang CoC yang tersedia dalam praktik berbentuk dokumen tertulis,


termasuk penyimpanan bukti digital sebelum dan saat persidangan.
Praktiknya tidak dilakukan dengan sistem berbasis komputer, tetapi masih
dilakukan secara manual yang difokuskan pada perangkat yang mengandung
bukti digital (hard disk/flash disk) (Kemitraan & LeIP,Naskah Akademik
Kerangka Hukum Perolehan,Pemeriksaan & Pengelolaan Bukti
Elektronik,2019,Halaman 66-69).

Kecanggihan fitur yang dimiliki Blockchain, dinilai potensial untuk


dimanfaatkan dalam penanganan bukti digital. Blockchain dipandang mampu
menjadi perangkat yang menyediakan CoC dengan baik (Po Yu Jung et al.,B-
CoC Model in Digital Forensic Investigation,2020,Page 1731). Dalam hal ini
adalah Private Blockchain, yaitu jaringan Blockchain yang dikontrol oleh
satu/beberapa entitas dengan protokol dan akses yang terbatas kepada
pihak yang berkepentingan (stake holder) (Georgios Dimitropulos,The Law of
Blockchain,2020,Page 1130). Dalam hal ini polisi, ahli, jaksa, pengacara dan
hakim serta petugas RUPBASAN selaku pengelola barang sitaan. Nantinya
para stake holder bisa mengakses bukti digital dalam Blockchain yang
dikelola satu lembaga (misalnya Kepolisian/Kejaksaan/RUPBASAN),
termasuk melihat catatan pihak-pihak yang mengakses dan
menggunakannya disertai catatan waktu yang lengkap. Sehingga keutuhan
bukti digital yang tersimpan dalam Blockchain sangat dijamin.

Namun, di Indonesia Blockchain belum banyak digunakan, karena itu


pemanfaatannya dalam penanganan bukti digital tentu dihadapkan pada
beberapa tantangan, sehingga memerlukan:
­ Pembaruan KUHAP untuk penanganan bukti digital dan peraturan
penggunaan Blockchain;
­ Dorongan pengembangan SDM yang nantinya terlibat dalam penggunaan
Blockchain (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan RUPBASAN);
­ Pemerataan sarana dan prasarana yang mendukung pada lembaga
terkait untuk penggunaan Blockchain;
Mengingat cara kerja Blockchain yang sangat sejalan dengan prinsip CoC
yang baik, maka pemanfaatannya diharapkan mampu mewujudkan
pelaksanaan proses penanganan dan penyajian bukti digital berjalan dengan
baik dan benar. Oleh karena itu, hal-hal yang menjadi tantangan tersebut
perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti kedepannya. Termasuk juga kajian dan
pengembangan Blockchain lebih lanjut demi pemanfaatan pada bidang
hukum lainnya seperti pendaftaran tanah dan paten/merek.

Anda mungkin juga menyukai