Tugas Kelompok - Juvenile Diabetikum - Kelompok 2
Tugas Kelompok - Juvenile Diabetikum - Kelompok 2
DISUSUN
OLEH
KELOMPOK 2
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana atas segala rahmat dan izin-nya,
kami dapat menyelesaikan Makalah Teori Keperawatan Anak dengan judul Asuhan
Keperawatan Anak Juvenile Diabetikum serta salam tak lupa penulis haturkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan didalam makalah ini. Untuk itu
kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun guna keberhasilan penulisan yang
akan datang. Tujuan dari makalah ini untuk mengetahui informasi terkini mengenai Juvenile
Diabetikum serta Tata Laksana Asuhan Keperawatannya. Akhir kata, Penulis Kelompok 2
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesainya makalah ini semoga segala upaya yang telah dicurahkan mendapat berkah dari
Allah SWT
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Umum dan Khusus 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit 3
1. Pengertian 3
2. Klasifikasi 4
3. Etilogi 6
I
4. Manifestasi Klinis 7
5. Patofisilogi 8
6. Komplikasi 11
7. Pemeriksaan penunjang 13
8. Penatalaksanaan 15
9. Pathway 21
B. Proses Keperawatan 22
1. Pengkajian 22
2. Diagnosa 24
3. Intervensi 25
4. Implementasi 28
5. Evaluasi 28
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Mellitus cenderung naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2011 tercatat
65 anak menderita Diabetes Mellitus, naik 40% dibandingkan tahun 2009. Tiga
puluh dua anak di antaranya terkena Diabetes Mellitus tipe 2. (Pulungan, 2010)
Peningkatan jumlah penderita Diabetes Mellitus yang cukup signifikan di
Indonesia ini perlu mendapatkan perhatian seiring dengan meningkatnya risiko
anak terkena Diabetes Mellitus. Deteksi dini pada Diabetes Mellitus merupakan
hal penting yang harus dilakukan untuk menghindari kesalahan atau
keterlambatan diagnosis yang dapat mengakibatkan kematian. Diabetes Mellitus
tipe 1 yang menyerang anak-anak sering tidak terdiagnosis oleh dokter karena
gejala awalnya yang tidak begitu jelas dan pada akhirnya sampai pada gejala
lanjut dan traumatis seperti mual, muntah, nyeri perut, sesak nafas, bahkan koma.
Dengan deteksi dini, pengobatan dapat dilakukan sesegera mungkin terhadap
penyandang Diabetes Mellitus sehingga dapat menurunkan risiko kecacatan dan
kematian (Pulungan, 2010).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada makalah
ini adalah “Bagaimanakah gambaran teoritis Juvenile Diabetikum serta asuhan
keperawatan anak Juvenile Diabetikum”
C. Tujuan
Tujuan umum
1. Memperoleh gambaran secara teoritis dan memahami bagaimana
A suhan Keperawatan Anak Pada Juvenile Diabetikum.
Tujuan khusus
1. Mengetahui dan memahami pengertian Juvenile Diabetikum
2. Mengetahui dan memahami Klasifikasi Juvenile Diabetikum
3. Mengetahui dan memahami Etiologi Juvenile Diabetikum
4. Mengetahui dan memahami Manifestasi Klinis Juvenile Diabetikum
5. Mengetahui dan memahami Patofisiologi Juvenile Diabetikum
6. Mengetahui dan memahami Komplikasi Juvenile Diabetikum
7. Mengetahui dan memahami Pemeriksaan Penunjang Juvenile Diabetikum
8. Mengetahui dan memahami Penatalaksanaan Juvenile Diabetikum
9. Mengetahui dan Memahami asuhan Keperawatan teoritis Juvenile
Diabetikum
2
BAB II
KONSEP TEORI
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik
tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara
diakibatkan oleh kerusakan sel- pankreas baik oleh proses autoimun maupun
kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak
penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat
penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh
3
terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
2. Klasifikasi hipertensi
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI) 2006 adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM
menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut :
a. Tipe I : Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM).Diabetes Melitus
Tipe I adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin
dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada
pulau-pulau Langerhans pankreas (destruksi sel beta, umumnya menjurus
ke defisiensi insulin absolute). IDDM dapat diderita oleh anak -anak
maupun orang dewasa. Pada DM tipe I, penderita menghasilkan sedikit
insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. DM tipe I biasanya
dikarenakan oleh autoimun atau idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
b. Tipe II : Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM).
Penyebab Diabetes Melllitus tipe II bervariasi mulai dari yang terutama
dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Terjadi setelah
usia 30-60 tahun, meningkat secara garadual. Dan DM tipe II jauh lebih
besar dibanding tipe I 90% kasus DM. Pankreas tetap menghasilkan
insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan
insulin relatif.
c. Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom
lainnya.
4
d. Diabetes mellitus yang biasanya di curigai atau manifestasi yang
menyebabkan penyakit, seperti :
1) Defek genetik fungsi sel beta :
a) Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)
b) DNA mitokondria
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit endokrin pankreas :
a) Pankreatitis
b) tumor pankreas /pankreatektomi
c) pankreatopati fibrokalkulus
4) Endokrinopati :
a) Akromegali
b) sindrom Cushing
c) Feokromositoma
5) Karena obat/zat kimia :
a) vacor, pentamidin, asam nikotinat
b) glukokortikoid, hormon tiroid
c) tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain
6) Infeksi :
a) Rubella congenital
b) Cytomegalovirus (CMV)
7) Sebab imunologi yang jarang : Antibodi Anti Insulin
8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :
a) sindrom Down
b) sindrom Kleinfelter,
c) sindrom Turner, dan lain-lain.
e. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
DM yang terjadi pada saat kehamilan trimester ke-2 dan ke-3. Terjadi
Intoleransi glukosa pada saat kehamilan.
5
3. Etiologi
Diabetes mellitus tipe 1 sebagai penyakit autoimun sampai saat ini belum
diketahui penyebab secara pastinya. Dahulu, penyakit ini disebut sebagai childhood-
onset diabetes atau juvenile diabetes karena terjadi sejak anak-anak dan untuk
membedakannya dengan diabetes mellitus tipe 2 yang dikenal sebagai adult-onset
diabetes. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan terkini menunjukan bahwa
diabetes mellitus tipe 2 juga bisa terjadi pada anak-anak, sehingga penggunaan
istilah tersebut diatas sudah tidak relevan lagi. Walaupun penyebab terbentuknya
auto-antibodi yang merusak sel-sel β pankreas masih belum diketahui, namun
penelitian menunjukan bahwa adanya faktor-faktor risiko yang berperan dalam
pembentukan auto-antibodi tersebut.
Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 1
a. Faktor genetik :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe
I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
6
4. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala diabetes mellitus tipe 1 seringkali tidak kentara namun
7
Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah kewaspadaan
terhadap DM tipe-1. Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya dipikrkan sebagai diferensial
diagnosis pada anak dengan enuresis nokturnal (anak besar), atau pada anak dengan
dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih ditemukan diuresis (poliuria), terlebih
lagi jika disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau keton.
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase remisi
(parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini terjadi akibat
berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas mensekresikan
kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pankreas sudah menghabiskan
seluruh sisa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini harus dicurigai apabila
seorang penderita baru DM tipe-1 sering mengalami serangan hipoglikemia
sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk menghindari hipoglikemia.
Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah mencapai < 0,25 U/kgBB/hari maka
dapat dikatakan penderita berada pada fase “remisi total”. Di negara berkembang
yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, fase ini perlu dijelaskan kepada
penderita sehingga anggapan bahwa penderita telah “sembuh” dapat dihindari.
Ingat, bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis, penderita akan membutuhkan
kembali insulin dan apabila tidak segera mendapat insulin, penderita akan jatuh
kembali ke keadaan ketoasidosis dengan segala konsekuensinya.
5. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur
oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut
muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan
cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsia).
8
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun
pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih
lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan
lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa
tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik
tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan
disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting.
Diabetes melitus tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun dimana
hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi dimana pada akhirnya
mengarah pada kerusakan sel β pankreas serta defisiensi insulin. Massa sel β
selanjutnya menurun dan sekresi insulin menjadi semakin terganggu, meskipun
toleransi glukosa normal dipertahankan (Baynest H.W, 2015).
Diabetes melitus tipe 1 umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan
remaja, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun, bahkan dalam dekade 8 dan 9
kehidupan. Kehancuran autoimun sel β memiliki beberapa kecenderungan genetik
dan juga terkait dengan faktor lingkungan yang masih buruk. Walaupun pasien
jarang obesitas ketika mereka hadir dengan diabetes tipe ini, kehadiran obesitas
tidak bertentangan dengan diagnosis. Pasien-pasien ini juga rentan terhadap
gangguan autoimun lainnya seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto,
penyakit Addison, vitiligo, celiac sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis,
dan anemia pernisiosa (Silbernagl S Lang F, 2012).
9
(Silbernagl S Lang F, 2012)
Gambar 2.1
Patofisiologi DM Tipe 1
Diabetes melitus yang tipe ini hanya 5-10% dari penderita DM. Tanda
dari penghancuran imun sel β termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap
insulin, autoantibodi untuk GAD (GAD65), dan autoantibodi terhadap tirosin
fosfatase IA-2 dan IA-2b. Diabetes melitus tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel β
cukup bervariasi, menjadi cepat pada beberapa individu (terutama bayi dan anak-
anak) dan lambat pada orang lain (terutama dewasa). Pada pasien, terutama anak-
anak dan remaja, dapat disertai ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit.
Pada orang dewasa, dapat mempertahankan fungsi sel β sisa yang cukup untuk
mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, namun pada akhirnya menjadi
tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis.
Tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin sebagai
manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C- peptida di dalam plasma.
Beberapa bentuk DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang dikenal, disebut
dengan idiopatik diabetes. Beberapa pasien dengan diabetes ini memiliki
insulinopenia dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti
autoimun (Silbernagl S Lang F, 2012).
10
6. Komplikasi
Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian
akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa
komplikasi akut dan kronis.
a. Komplikasi akut
Komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak
segera ditangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah (Harrison, et al,
2005) :
1) Hipoglikemi
Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di
mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah
(<60mg/dl), yang dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin
dan obat anti diabetes. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis
insulin atau obat anti diabetes tidak tepat, latihan fisik atau olah raga
berlebihan, menunda jadwal makan setelah minum obat, serta kebiasaan
konsumsi alkohol.
2) Ketoasidosis
Pada diabetes melitus yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang
tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah
lemak untuk sumber energi pemecahan lemak tersebut kemudian
menghasilkan badan-badan keton di dalam darah (ketosis). Ketosis ini
menyebabkan derajat keasaman (PH) dalam darah menurun (asidosis).
Pada pasien dengan ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat
asupan kalori (makanan) yang berlebihan atau penghentian obat diabetes
atau insulin. Gejala yang timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi
(>240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil banyak hingga
dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga koma.
3) Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)
Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga
darah menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar
Non- Ketotik (HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS).
Kadar glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat
menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh
11
mengalami dehidrasi. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan
gejala nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki
dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma. Hiperglikemia
dapat terjadi jika masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral
maupun insulin yang didahului stress akut.
b. Komplikasi kronik
Komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung
secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang
tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Yang
termasuk dalam komplikasi kronik adalah (Harrison, et al, 2005):
1) Mikrovaskular
a) Penyakit Mata
1. Retinopati (nonproliferatif/proliferatif)
2. Macular edema
b) Neuropati
1. Sensorik dan motorik (mononeuropati dan polineuropati)
2. Autonomik
c) Nefropati
2) Makrovaskular
a) Penyakit arteri koronari
b) Penyakit vaskular perifer
c) Penyakit cerebrovaskular
3) Lain-lain
a) Gastrointestinal
1. Gastroparesis
2. Diare
b) Genitourinary
1. Uropati/disfungsi ereksi
2. Ejakulasi retrograde
c) Dermatologi
d) Infeksi
e) Katarak
f) Glaukoma
12
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa awal penyakit Diabetes boleh dilakukan dengan tes darah yang
relatif memerlukan biaya yang murah. Menurut National Diabetes Information
Clearinghouse (NDIC) yang merupakan pusat servis kepada National Institute of
Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), antara t es yang digunakan
untuk diagnosis diabetes adalah seperti berikut ( Harlan, 2008):
a) Fasting plasma glucose (FPG) test digunakan untuk mengukur glukosa darah
pada orang yang tidak makan apa-apa untuk minimal 8 jam. Tes ini digunakan
untuk mendeteksi diabetes dan pre-diabetes
b) Oral glucose tolerance test (OGTT) digunakan untuk mengukur glukosa
darah setelah seseorang puasa minimal 8 jam dan 2 jam setelah seseorang
diberi minuman yang mengandungi glukosa. Tes ini dapat digunakan untuk
mendiagnosa diabetes dan pre-diabetes.
c) Random plasma glucose test, disebut juga tes glukosa plasma kasual,
mengukur glukosa darah tanpa memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh
orang yang sedang diuji. Tes ini, bersama dengan penilaian gejala,
digunakan untuk mendiagnosa diabetes tetapi bukan pre-diabetes.
Hasil pengujian yang menunjukkan bahwa seseorang menderita diabetes harus
dikonfirmasi dengan tes yang kedua pada hari yang berbeda.
Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler < 126
mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
a) Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang
menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1 mmol/L).
b) Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
1) Tes Toleransi Glukosa
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi TTG
pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-
gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah tidak
menyakinkan.
13
Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum
75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200- 250 ml air) dalam
jangka waktu 5 menit. Tes toleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet
tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan anak
puasa semalam menjelang TTG dilakukan. Selama tiga hari sebelum TTG
dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi. Anak dapat melakukan kegiatan rutin
sehari- hari. Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan
glukosa oral), 60 dan 120.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam melaksanakan TTG yaitu:
a) Anak tidak sedang menderita suatu penyakit.
b) Anak tidak sedang dalam pengobatan/minum obat-obatan yang dapat
meningkatkan kadar glukosa darah.
c) Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler,
gunakanlah darah vena.
d) Berhubung kadar glukosa darah dapat berkurang 5 % per jam apabila
dibiarkan dalam suhu kamar, maka setelah darah vena diambil dengan
pengawet EDTA/heparin harus segera disimpan di lemari es.
e) Selain cara ad.4, maka sampel darah dapat harus segera disen- trifus
agar kadar glukosa darah tidak menurun.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa
a) Anak menderita DM apabila:
1. Kadar glukosa darah puasa 140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar
glukosa darah pada jam ke 2 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:
Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar
glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
b) Anak dikatakan normal apabila :
1. Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7
mmol/L)dan Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL
(7,8-11 mmol/L)
8. Penatalaksanaan
14
Berhubung dengan beberapa kendala yang telah disebutkan sebelumnya,
mutu pengelolaan DM tipe-1 sangat bergantung pada proses dan hasil konsultasi
penderita/keluarga penderita dengan tim, antara lain dengan dokter. Hubungan
timbal balik dokter-pasien yang baik, jujur, terbuka, dan tegas akan sangat
membantu penderita menanamkan kepercayaan kepada dokter sehingga
memudahkan pengelolaan selanjutnya. Dokter tidak saja berfungsi mengatur dosis
insulin, tetapi juga menyesuaikan komponen-komponen pengelolaan lainnya
sehingga sejalan dengan proses tumbuh kembang. Wawancara yang tidak bersifat
interogatif akan merangsang keterbukaan penderita sehingga memudahkan dokter
untuk mengerti gaya hidup dan cita-cita penderita. Dalam hal ini dokter akan
dengan mudah menjalankan peran sebagai ”kapten” dari seluruh komponen
pelaksana sehingga secara bersama-sama mampu mempertahankan kualitas hidup
penderita.
a) Insulin
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita DM
tipe-1. Terapi insulin pertama kali digunakan pada tahun 1922, berupa insulin
regular, diberikan sebelum makan dan ditambah sekali pada malam hari.
Namun saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang memungkinkan
pemberian insulin dalam berbagai macam regimen.
b) Pengaturan makan
Istilah pengaturan makanan sekarang lebih lazim digunakan dari pada
diet karena diet lebih identik dengan upaya menurunkan berat badan sehingga
kalori harus dikurangi. Penurunan berat badan perlu dilakukan pada penderita
DM tipe-2 yang seringkali menderita kegemukan, sedangkan pada anak dengan
DM tipe-1, kalori tetap diperlukan untuk pertumbuhan.
Pengaturan makanan pada penderita DM tipe-1 bertujuan untuk
mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang
dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, maupun aktivitas
sehari hari. Dengan pengaturan makanan ini diharapkan anak tidak menjadi
obes dan dapat dicegah timbulnya hipoglikemia.
Jumlah kalori per hari yang dibutuhkan dihitung berdasarkan berat
badan ideal. Penghitungan kalori ini memerlukan data umur, jenis kelamin,
tinggi badan dan berat badan saat penghitungan, serta data kecukupan kalori
yang dianjurkan (Contoh penghitungan kebutuhan kalori dan data kecukupan
kalori dapat dilihat pada lampiran).
15
Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 50-60% dari karbohidrat, 10-
15% berasal dari protein, dan 30% dari lemak. Karbohidrat sangat berpengaruh
terhadap kadar glukosa darah, dalam 1-2 jam setelah makan 90% karbohidrat
akan menjadi glukosa. Jenis karbohidrat yang dianjurkan ialah yang berserat
tinggi dan memiliki indeks glikemik dan glycemic load yang rendah, seperti
golongan buah-buahan, sayuran, dan sereal yang akan membantu mencegah
lonjakan kadar glukosa darah.
Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan
makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah diagnosis, serta
makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya atau dengan makanan
keluarga. Pengaturan makan yang optimal biasanya terdiri dari 3 kali makan
utama dan 3 kali pemberian makanan kecil. Keberhasilan kontrol metabolik
tergantung kepada frekuensi makan dan regimen insulin yang digunakan. Pada
regimen insulin basal bolus, semakin sering penyuntikan akan semakin
fleksibel pada pemberian makan, sedangkan pada regimen insulin 2 kali sehari,
maka pemberian makan harus teratur.
Penderita DM tipe-1 yang menggunakan regimen insulin basal bolus
maka pengaturan makanannya menggunakan penghitungan kalori yang diubah
dalam jumlah gram karbohidrat, yaitu dalam 1 unit karbohidrat mengandung 15
gram karbohidrat. Pada lampiran piramida makanan, memperlihatkan
pengelompokan jenis makanan penukar dan anjuran konsumsi per hari.
19
Sebelum 1978, pemeriksaan urin merupakan satu-satunya peme- riksaan
untuk menilai kontrol glikemik. Saat ini telah digunakan be- berapa
pemeriksaan untuk menilai kontrol glikemik yang lebih baik yaitu:
1) Kadar glukosa darah
2) Glycated hemoglobin (misal HbA1C)
3) Glycated serum protein (misal fruktosamin)
Informasi yang diperoleh dari kadar glukosa darah dapat dihubungkan
dengan kadar HbA1C dan parameter klinis untuk menilai dan memodifikasi tata
laksana DM dalam rangka memperbaiki kontrol metabolik. HbA1C merupakan
alat yang tepat untuk menilai kontrol glukosa darah jangka lama. HbA1C
menggambarkan kadar glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Bila kadar
HbA1C meningkat atau tetap tinggi maka tata laksana diabetes yang berjalan
harus dinilai ulang. Fruktosamin mengukur glikosilasi protein serum.
Mengingat turnover protein serum lebih singkat maka fruktosamin
menggambarkan kadar glukosa darah untuk waktu lebih pendek dari HbA1C
yaitu glukosa darah selama 2-3 minggu sebelum pemeriksaan.
20
9. Pathways
Virus masuk
Faktor Respons auto Infeksi
Idiopatik ke tubuh
Genetik imun Lingkungan
Kegagalan seperti virus penyakit
mewarisi mempunyai tipe fungsi sistem
suatu antigen HLA ( gondok (mumps) dan virus
predisposi Human Leucocyte Tubuh menyerang coxsackie B4, oleh agen
Antigen ) tertentu jaringannya sendiri kimia yang bersifat toksik,
Kerusakan sel β
pankreas
penimbun gangguan
Defisiensi insulin an sarbitol lintas polibi
dari lensa (glukosa –
sarbitol
21
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan
perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut :
a. PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
Airway + cervical control
1) Airway
Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), Benda asing/ darah
pada rongga mulut
2) Cervical Control : -
Breathing + Oxygenation
1) Breathing : Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
KAD : Pernafasan kussmaul
HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
2) Oxygenation : Kanula, tube, mask
Circulation + Hemorrhage control
1) Circulation :
Tanda dan gejala shock
Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
2) Hemorrhage control : -
Disability : pemeriksaan neurologis GCS
A : Allert : sadar penuh, respon bagus
V : Voice Respon: kesadaran menurun, berespon terhadap
suara
P : Pain Respons: kesadaran menurun, tidak berespon terhadap
suara, berespon terhadap rangsangan nyeri
U : Unresponsive: kesadaran menurun, tidak berespon terhadap
suara, tidak bersespon thd nyeri
b. Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
1) Pemeriksaan sekunder meliputi :
22
a) AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
b) Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
c) Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
2) Pemeriksaan Diagnostik
a) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari
200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang
menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
b) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.
c. Anamnesa
1) Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien
mungkin berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi,
penglihatan yang kabur, kelemahan dan sakit kepala
2) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/
HONK), penyebab terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/
HONK) serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk
mengatasinya.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan
medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan
oleh penderita.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang penyakit,
obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari
4 kg, riwayat glukosuria selama stress (kehamilan, pembedahan, trauma,
infeksi, penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid,
kontrasepsi oral).
23
5) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga
terhadap penyakit penderita.
6) Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan
penglihatan, peka rangsang, dan kram otot. Temuan ini menunjukkan
gangguan elektrolit dan terjadinya komplikasi aterosklerosis.
7) Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan
diagnostik dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut (NANDA, 2015) Diagnosa Keperawatan yang muncul antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan cedera biologis
b. Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan Nyeri
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sensasi
d. Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan Tubuh
e. Resiko ketidak seimbangan gula darah berhubungan dengan penyakit diabetes
melitus.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan
sirkulasi.
g. Resiko cidera berhubungan dengan disfungsi sensoris
24
3. Intervensi Keperawatan
25
No. Diagnosa Outcome (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Nyeri akut Dalam waktu 3 x 24 jam pasien Pemberian analgesik
berhubungan dengan mampu melakukan: a. Tentukan lokasi,
cedera biologis Kontrol nyeri: karakteristik, kualitas dan
(infeksi) a) Pasien mampu mengenali
keparahan nyeri sebelum
kapan nyeri terjadi dari skala mengobati pasien
2(jarang menunjukkan) ke b. Cek perintah pengobatan
skala 4 (sering menunjukkan) meliputi obat, dosis, dan
b) Pasien mampu mengenali apa frekuensi obat analgesik
yang terkait dengan gejala yang diresepkan
nyeri dari skala 2 (jarang c. Tentukan analgesic
menunjukkan) ke skala 4 sebelumnya rute
(sering menunjukkan) pemberian, dan dosis untuk
c) Pasien mencapai
dianjurkan hasil
menggunakan tindakan
pengurangan nyeri yang
pengurangan (nyeri) tanpa optimal
analgesik d. Monitor TTV sebelum dan
d) Pasien mampu melaporkan sesudah memberi analgesic
nyeri yang terkontrol dari daripada pemberian dosis
skala 2 (jarang menunjukkan) pertama kali atau jika
ke skala 4 (sering
ditemukan tanda-tanda
menunjukkan) yang tdk biasanya
Status kenyamanan: fisik Manajemen nyeri
a. Kontrol terhadap gejala daria. Lakukan pengkajian nyeri
skala 1 (sangat terganggu) komperhensif yang
menjadi skala 4 (sedikit meliputi lokasi,
terganggu) karakteristik, onset atau
b. Berikan posisis yang nyaman durasi, frekuensi, kualitas,
skala 1 (sangat terganggu) intensitas atau beratnya
menjadi skala 4 (sedikit nyeri dan faktor pencetus
terganggu) b. Pastikan perawatan
analgesic bagi pasien
dilakukan dengan
pemantauan yang ketat
c. Tentukan akibat dari
pengalaman nyeri thdp
kualitas hidup pasien (tidur,
nafsu makan, pengertian,
perasaan, hubungan,
performa kerja, dan
tanggung jawab peran)
d. Galih bersama pasien
faktor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
e. Dorong pasien untuk
memonitoring nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat
2. Hambatan mobilitas Dalam 3 x 24 jam pasien mampu Peningkatan mekanika
fisik berhubungan26melakukan: tubuh
dengan intoleransi Pergerakan a. Kaji komitmen pasien
aktifitas a. Pasien dapat menunjukkan untuk belajar dan
4. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
5. Evaluasi
Evaluasi meruapakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk mementukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien (Potter, 2009).
BAB III
EVIDENCE BASED PRACTICE INTERVENSI JUVENILE DIABETIKUM
A. Pembahasan
Berdasarkan Amerika Diabetes Asosiasi tentang Standar perawatan medis
Juvenile Diabetikum memiliki korelasi dengan tata laksana yang dipilih untuk
Intervensi selama perawatan :
1. Terapi medis nutrisi secara individual direkomendasikan pada anak dengan
diabetes melitus sebagai komponen essential utama pada perawatan.
2. Memonitor intake karbohidrat apapun jenis karbohidratnya merupakan kunci
utama dari terpantaunya kadar gula darah secara optimal.
3. Pemberian pendidikan nutrisi secara komprehensif pada saat diagnosis sangat
berpengaruh untuk mengetahui akses kebutuhan kalori dan nutrisi yang berhubang
dengan resiko obesitas dan penyakit kardiovaskuler.
Manajemen diet secara individual termasuk didalamnya : Kebiasaan keluarga,
pemilihan makanan, kebutuhan beragama dan budaya, aktivitas fisik, dan kemampuan
keluarga perlu di perhatikan untuk menentukan pola diet yang akan diberikan kepada
anak. Perawat harus melakukan asesment yang tepat untuk menentukan jenis makanan
27
yang akan diberikan, kemampuan untuk mendapatkan makanan dan proses tumbuh
kembang untuk menghindari resiko komplikasi.
Pada Jurnal ini juga membahas beberap intervensi lain yang juga berkolerasi
dengan makalah Asuhan keperawatan anak Juvenile Diabetikum yang dapat
diaplikasikan selama masa perawatan anak untuk meningkatkan kualitas hidup
sehingga dapat meminimalkan kompilaksi berat bagi anak di masa depan.
Secara umum pada Jurnal “Children and Adolescent : Standar of Medical Care
in Diabetes”, terdapat beberapa intervensi utama diabetes pada anak :
1. Manajemen mandiri edukasi dan support tentang Diabetes
2. Terapi Nutrisi
3. Latihan dan aktivitas fisik
4. Masalah Psikososial
5. Kontrol kadar gula darah
6. Mengontrol anak yang berpotensi Diabetes
28
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring perkembangan zaman, departemen kesehatan telah melaksanankan
beberapa program untuk menunjukkan berbagai dampak positif dibidang
kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka umur harapan hidup. Setiap
individu pasti berkeinginan untuk dapat terus hidup sehat dan kuat sampai tua,
untuk mencapainya salah satu cara yang dapat dilakukan adalah perilaku hidup
sehat.
Juvenile Diabetikum menjadi salah satu isi kesehatan yang tidak asing lagi
di dalam masyarakat. Untuk menurunkan tingkat pasien yang menderita Juvenile
Diabetikum diperlukan pengetahuan akan penyakit tersbut baik penyebab,
komplikasi dan cara mengurangi faktor resikonya.
Asuhan Keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan Juvenile
Diabetikum sangat bervariasi tergantung dari kondisi klinis yang ditunjukkan oleh
pasien, oleh karena itu perlu memperluas sumber pengkajian yang dilakukan saat
berhadapan dengan pasien.
B. Saran
Dengan ini diharapkan perawat dapat meningkatkan asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien dengan diagnosa Juvenile Diabetikum sehingga dapat
mempercepat kesembuhan pasien. Diharapkan dapat melakukan pengkajian mendalam
saat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Juvenile Diabetikum disebabkan
kondisi Klinisnya yang berbeda-beda.
29
DAFTAR PUSTAKA
Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and adolescents, basic
training manual for healthcare professionals in developing countries, 1sted. Argentina:
ISPAD, h 20-21.
Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam: Moshang T Jr.
Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.
Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010). Diabetes
Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B. Pulungan, editor. Buku
Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161.
Hegar Badriul (2009). “Children and Adolescent : Standar of Medical Care in Diabetes”.UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja Ikatan Dokter Indonesia.
https://doi.org/10.2337/dc19-S013