Anda di halaman 1dari 18

ANALISA JURNAL HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN KEPATUHAN MINUM

OBAT PADA PASIEN TB PARU

DISUSUN OLEH

HARY RESTUADI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER

STIKES PERTAMEDIKA JAKARTA SELATAN

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana atas segala rahmat dan izin-nya, saya

dapat menyelesaikan Analisa Jurnal dengan judul Hubungan Self Efficacy Dengan

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tb Paru. Shalawat serta salam tak lupa penulis

haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para

pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, saya dapat menyelesaikan jurnal ini,

walaupun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan didalam

makalah ini. Tujuan dari analisa ini diperuntukkan untuk mengetahui hubungan antar variabel

yang ada. Untuk itu saya berharap adanya kritik dan saran yang membangun guna keberhasilan

penulisan yang akan datang. Akhir kata, saya Hary Restuadi mengucapkan banyak terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya makalah ini semoga segala

upaya yang telah dicurahkan mendapat berkah dariAllahSW

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II ANALISA JURNAL ................................................................................... 3

A.JURNAL UTAMA.................................................................................... 3

B. JURNAL PENDUKUNG ........................................................................ 4

C.ANALISA PICO....................................................................................... 5

BAB III TINJAUAN TEORI .................................................................................. 7

BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 14


15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang sebabkan
oleh bakteri Mikobacterium tuberkulosa. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ
paru-paru dibandingkan bagian lain dari tubuh manusia. Insidensi TB dilaporkan
meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini diseluruh dunia (Adisusilo, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, jumlah


kasus TB di Asia sebanyak 58%, Afrika sebanyak 28%, Mediterania Timur 8%,
Eropa 3%, dan Amerika 3%. Terdapat enam negara dengan kasus TB terbesar yaitu,
India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika selatan. Laporan dari WHO
2013 terdapat 8,6 juta kasus TB dimana 1,1 juta orang diantaranya pasien TB
positif dengan HIV, sekitar 75% diantaranya berada diwilayah Afrika. Menurut
WHO 2018 dalam Global Tuberculosis Report 2018 menyatakan terdapat 30 negara
dikategorikan sebagai High Burden Countries terhadap TB, termasuk Indonesia.

Jumlah kasus TB baru di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun


2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Berdasarkan survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara
lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor risiko
TB misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5%
dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok (Kemenkes RI, 2018).

Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka


kegagalan pengobatan, meningkatkan risiko kesakitan, kematian dan menyebabkan
semakin banyak ditemukan penderita Tb Paru dengan Basil Tahan Asam (BTA)
yang resisten dengan pengobatan standar. Pasien yang resisten tersebut akan
menjadi sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat

1
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru
tahun 2017 tercatat jumlah kasus baru TB paru BTA+ sebanyak 550 orang. Dari 20
Puskesmas yang ada di Kota Pekanbaru, Puskesmas Harapan Raya merupakan
Puskesmas yang paling tinggi jumlah kasus TB paru yaitu sebesar 141 pasien
(Dinkes, 2017).

Pasien TB dalam kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun) diperkirakan sekitar 75%. Seorang pasien TB dewasa diperkirakan akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan dan berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 20-30%. Jika ia meninggal karena TB,
maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. TB juga memberikan dampak
buruk lainnya secara stigma karena penderita TB dianggap menularkan penyakitnya
kepada orang lain sehingga penderita TB sering dikucilkan oleh masyarakat (Nizar,
2017).

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self efficacy dengan
kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru.

2
BAB II
ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
1. Judul Jurnal
“Hubungan Self Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada
Pasien TbParu”
2. Peneliti
a. Hafizil Arzit
b. Asmiyati
c. Susi Erianti
3. Populasi,Sampel,dan Teknik Sampling
Sampel pada penelitian ini adalah pasien tb yang berobat di
Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru dengan Total sampel berjumlah
45 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive
sampling. Penelitian ini dilakukan dari bulan februari sampai bulan agustus
2019.
Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, dan bivariat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan self efficacy
dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di Puskesmas
Harapan Raya Pekanbaru.
4. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan
menggunakan desain deskriptif korelasi dan pendekatan cross
sectional.
5. Instrument yang digunakan
Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk
mengetahui Hubungan Self Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat
Pada Pasien Tb Paru.
6. Uji Statistik yang digunakan
Uji yang digunakan ialah Kolmogorov Smirnov (KS) adalah alat
uji statistik yang digunakan untuk menentukan apakah suatu sampel
berasal dari suatu populasi yang memiliki sebaran data tertentu atau
mengikuti distribusi statistik tertentu. Distribusi statistik yang sering

3
diuji menggunakan uji KS adalah Distribusi Normal (Sampel≥30). Uji
statistik ini bertujuan untuk menunjukkan ada hubungan antara self
efficacy dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB paru.

B. Jurnal pendukung
1. Judul Jurnal pendukung
“Hubungan Efikasi Diri Dengan Kepatuhan Diet Pada Penderita Hipertensi”
2. Peneliti
a. Tantri Puspita
b. Ernawati
c. Dadang Rismawan
3. Hasil
Hasil uji statistik menggunakan uji chi- square diperoleh p= 0,013
maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif antara efikasi diri
dengan kepatuhan diet hipertensi pada penderita hipertensi di Wilayah Kerja
Puskesmas Guntur Kabupaten Garut. Hasil analisis selanjutnya diperoleh
nilai Odds Ratio (OR) sebesar 2,296 yang artinya penderita hipertensi yang
mempunyai efikasi diri tinggi cenderung 2,296 kali lipat memiliki kepatuhan
dalam menjalankan diet hipertensi dengan baik dibanding efikasi diri yang
rendah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa efikasi diri penderita hipertensi


berhubungan positif dengan perilaku diet hipertensi yang dilakukan sehari-
hari. Sehingga, efikasi diri yang baik akan menunjukkan perilaku diet yang
baik pula. Selain itu, efikasi diri yang baik menunjukkan perilaku diet
hipertensi dua kali lipat lebih tinggi. Dengan demikian meningkatkan
kebiasaan perilaku diet yang baik pada penderita hipertensi dapat
dilakukan dengan meningkatkan efikasi diripenderita hipertensi tersebut.

4
C. PICO

1. Problem

“Hubungan Self Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada


Pasien TbParu”

2. Intervensi

Intervensi pada penelitian ini, di awali dengan pengambilan data


sampel pasien Jumlah sampel penelitian ini adalah 45 orang yang
diambil menggunakan teknik consecutive sampling. Pengambilaan
sampel dilakukan selama 7 Bulan dari Februari-Agustus 2019. Setelah
intervensi Self efikasi merupakan variabel yang sulit untuk dinilai hanya
melalui satu kali pemeriksaan sehingga diperlukan intervensi dan
pemantauan jangka panjang untuk dapat menilai perubahannya serta
perlu melakukan promosi kesehatan berkelanjutan untuk mengatasi TB
Paru.

3. Comparison

a. Judul

“Hubungan Dukungan keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada


Penderita TB Paru”

b. Peneliti

1) Asra Septia

2) Siti Rahmalia

3) Febriana Sabrian

c. Hasil
Penderita yang mendapatkan dukungan keluarga negatif
mempunyai 4,3 kali untuk tidak patuh dalam meminum obat jika
dibandingkan penderita yang memperoleh dukungan positif. Hal tersebut
menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara dukungan positif
dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Rumah Sakit
Umum Daerah Arifin Ahmad.

5
Karakteristik responden di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad mayoritas beralamatkan adalah dalam kota Pekanbaru
(60,34%), penderita TB Paru adalah berada pada usia yang masih
produktif yaitu mulai dari kelompok umur 25-44 tahun, kelompok umur
45-59 dan ≥ 60 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 43 orang
(74,14%), pendidikan penderita TB Paru bervariasi yang terbanyak
adalah berjumlah 18 orang (31,03%) tidak sekolah, responden terbanyak
adalah berpenghasilan rendah (pendapatan pasien ≤ Rp.1.500.000,-
/bulan dibawah UMR) yakni sebanyak 29 orang atau mencapai (50%),
responden terbanyak tinggal bersama istri 25 orang (43,10%), responden
terbanyak mendapatkan dukungan positif dari keluarga berjumlah 43
orang (74,14%), dan mayoritas responden patuh berjumlah 38 orang
(65,52%). Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pada penderita TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah
Arifin Achmad. Hasil uji statistik nilai p-value = 0.036 (p < 0,05).
Berdasarkan hipotesis yang diajukan apabila p-value ≤ = 0.05 maka dapat
dikatakan ada hubungan yang bermakna antara duavariabel, sehingga Ho
ditolak.

4. Outcome

Ditemukan adanya hubungan Efikasi Diri dengan Kepatuhan


Minum obat Dari uji statistik kolmogorof smirnov diperoleh hasil p value
0,042. Dengan demikian p<α(0,05) berarti menunjukkan ada hubungan
antara self efficacy dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB paru.
Penelitian ini menunjukkan bahwa self efficacy sangat berpengaruh
terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TB paru. Hal ini didukung
dengan lembar observasi yang dimana bahwa 33 orang (73,3%)
menyatakan memilki kepatuhan yang baik dalam minum obat, dan 12
orang (26,7%) menyatakan memiliki kepatuhan yang tidak baik dalam
minum obat.

6
BAB III
TINJAUAN TEORI
A. Konsep TB paru
1. Definisi
TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman TB
(mycobacterium tuberculosis). Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara ke dalam paru-paru,dan menyebar dari paru-paru ke organ tubuh yang
lain melalui peredaran darah seperti kelenjar limfe, saluran pernapasan atau penyebaran
langsung ke organ tubuh lainnya (Febrian, 2015).
TB merupakan penyakit infeksi kronis yang sering terjadi atau ditemukan di
tempat tinggal dengan lingkungan padat penduduk atau daerah urban, yang
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan terhadap
peningkatan jumlah kasus TB (Ganis indriati, 2015).
2. Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak


berspora sehingga mudah dibasmi dengan sinar matahari, pemanasan dan sinar
ultraviolet. Terdapat 2 macam mycobacterium tuberculosis yaitu tipe human dan
bovin. Basil tipe human berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari
penderita TB paru dan orang yang rentan terinfeksi bila menghirup bercak ludah ini
(Nurrarif & Kusuma, 2015).

Menurut (Puspasari, 2019) Faktor resiko TB paru sebagai berikut:


1) Kontak dekat dengan seseorang yang memiliki TB aktif.
2) Status imunocompromized (penurunan imunitas) misalnya kanker, lansia, HIV.
3) Penggunaan narkoba suntikan dan alkoholisme.
4) Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes, kekurangan gizi,
gagal ginjal kronis.
5) Imigran dari negara-negara dengan tingkat tuberkulosis yang tinggimisal Asia
Tenggara, Haiti.
6) Tingkat di perumahan yang padat dan tidak sesuai standart.
7) Pekerjaan misalnya petugas pelayanan kesehatan.
8) Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai misalnya
tunawisma atau miskin.

7
3. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala pada TB paru yaitu batuk >3 minggu, nyeri dada, malaise,
sesak nafas, batuk darah, demam. Tanda dan gejala pada TB paru dibagi menjadi 2
bagian yaitu gejala sistemik dan respiratorik (Padila,2013).
1) Gejala sistemik yaitu :
a. Demam
Adanya proses peradangan akibat dari infeksi bakteri sehingga timbul gejala
demam. Ketika mycobacterium tuberculosis terhirup oleh udara ke paru dan
menempel pada bronkus atau alveolus untuk memperbanyak diri, maka
terjadiperadangan (inflamasi) ,dan metabolisme meningkat sehingga suhu
tubuh meningkat dan terjadilah demam.
b. Malaise
Malaise adalah rasa tidak enak badan, penurunan nafsu makan, pegal-pegal,
penurunan berat badan dan mudah lelah.
2) Gejala respiratorik yaitu :
a. Batuk Kering
b. Batuk darah
c. Sesak nafas
d. Nyeri dada

4. Klasifikasi
1) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit : (Puspasari, 2019)
a. Tuberkulosis paru
b. Tuberkulosis ekstra paru
2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Klien baru TB: klien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB paru
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari satu bulan
(< 28 dosis).
b. Klien yang pernah diobati TB: klien yang sebelumnya pernah menelan OAT
selama satu bulan atau lebih (≥ 28 hari).

8
3) Klien berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a. Klien kambuh: klien TB paru yang pernah dinayatakn sembuh dan saat ini
didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi
b. Klien yang diobati kembali setelah gagal: klien TB paru yang pernah diobati
dan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Klien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): klien TB
paru yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up (dikenal sebagai
pengobatan klien setelah putus berobat).
d. Lain-lain: klien TB paru yang pernah diobati tetapi hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.

5. Patofisiologi
Menurut Darliana (2011), Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien
TB paru ketika pasien batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini mengandung basil TB
dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan melayang-layang di udara. Droplet
nuclei ini mengandung basil TB. Saat Mikrobacterium Tuberkulosa berhasil
menginfeksi paru- paru maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang
berbentuk globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis, bakteri TB paru
ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh
sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya
menjadi jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto
rontgen. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tuberkulosis melisis
(menghancurkan)basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, yang menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi
awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil yang
masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan -jaringan fibrosa, bagian
sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menjadi nekrotik membentuk
massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar
kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif. Setelah
pemajaman dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karna gangguan
atau respon yang inadekuat dari respon sistem imun. Penyakit dapat juga aktif dengan

9
infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel ghon memecah
melepaskan bahan seperti keju dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di
udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang menyerang
membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak,
mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut.

6. Penularan TB
Daya penularan dari seorang TB paru ditentukan oleh: (Notoatmodjo,2011)
a. Banyak nya kuman yang terdapat dalam paru penderita.
b. Penyebaran kuman di udara.
c. Penyebaran kuman bersama dahak berupa droplet yang berada disekitar TB paru.
Kuman pada penderita TB paru dapat terlihat oleh mikroskop pada sediaan
dahaknya (BTA positif) dan infeksius. Sedangkan penderita TB paru yang kumannya
tidak dapat dilihat langsung oleh mikroskop pada sediaan (BTA negatif) dan kurang
menular. Pada penderita TB ekstra paru tidak menular kecuali pada penderita TB paru.
Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman di udara dalam bentuk droplet pada
saat batuk atau bersin. Droplet ini mengandung kuman TB dan dapat bertahan di udara
selama beberapa jam. Jika droplet ini terhirup oleh orang lain dan menetap dalam paru
yang menghirupnya maka kuman ini akan berkembang biak dan terjadi infeksi. Orang
yang serumah dengan penderita TB paru BTA positif adalah orang yang kemungkinan
besar terpapar kuman TB.

7. Komplikasi
Menurut Wahid & Imam (2013), komplikasi yang muncul pada TB paru yaitu :
a. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru.
b. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) di paru.
c. Penyebaran infeksi keorgan lainnya seperti otak,tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.

10
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kemenkes (2014) pemeriksaan pada penderita TB paru yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
2) Pemeriksaan dahak
3) Pemeriksaan uji kepekaan obat
Sedangkan menurut Nurafif & Kusuma (2015) pemeriksaan penunjang pada TB paru
meliputi :
a. Laboratorium darah rutin
b. Pemeriksaan sputum BTA
c. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
d. Tes Mantoux/Tuberkulin
e. Teknik Polymerase Chain Reaction
f. Becton Dikinson Diagnostic Instrument Sintem (BACTEC)
g. Pemeriksaan Radiologi

9. PENCEGAHAN TUBORKULOSIS PARU

a) Pencegahan TB Paru

1) Menutup Mulut pada waktu batuk dan bersin

2) Menghidari udara dingin

3) Mengusahakan sinar matahari dan udara yang segar masuk ke dalam


kamar
4) Menjemur kasur,bantal,terutama di pagi hari
5) Semua barang yang digunakan penderita harus dipisah begitu juga
cara mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain
6) Makanan harus tinggi karbonhidrat dan tinggi protein

7) Meludah hendaknya pada temapat tertentu yang sudah diberi


desentfektan (air sabun)

11
10. PENANGANAN TUBORKULOSIS PARU

Tujuan pengibatan pada penderita TB paru, selain untuk mengobati, juga


untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi kuman terhadap OAT, serta
memutuskan mata rantai penularan Penemuan penderita
1) Penatalaksaan terapi: asupan nutrisi adekuat/ mencukupi.
2) Kemoterapi, yang mencakup pemberian:
3) soniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang tumbuh aktif.
Obat ini diberikanselama 18-24 bulan dan dengan dosis 10-20 mg/kg berat
badan/hari melalui oral
4) Kombinasi antar NH, rifampicin, dan pyrazinamid yang diberikan selama 6
bulan.
5) Obat tambahan, antara lain Strepmomycin (diberikan
intramuskuler) dan Ethambutol
6) Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti-TB untuk
mengurangi respons peradangan, misalnya pada meningitis.
7) Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan ini
dilakukan mengangkat jaringan paru yang rusak.
8) Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung denga orang
yang terinfeksi basil TB serta mempertahankan asupan nutrisi yang
memadai. Pemberian imunisasi BCG juga diperlukan untuk meningkatkan
daya tahantubuh terhadap inveksi basil TB virulen.

B. Konsep Intervensi
Self efficacy adalah penilaian tentang apa yang dipikirkan seseorang yang
dapat dia lakukan, bukan apa yang dia miliki. Self efficacy akan memberikan
dampak terhadap bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri dan dan
berperilaku (Zlatanovic, 2015). Individu yang memiliki tingkat Self efficacy tinggi
akan memiliki keyakinan untuk sembuh. Pasien TB dengan Self efficacy yang tinggi
memiliki kesadaran untuk rutin minum obat dan mampu mempertahankan
kebiasaan tersebut setiap hari. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hanif (2018)
tentang hubungan efikasi diri pasien TB paru dengan kepatuhan minum obat dalam
mengikuti program pengobatan sistem DOTS di Poliklinik paru RSUD DR Achmad
Mochtar Bukittinggi menunjukkan hasil terdapat hubungan yang signifikan

12
(p=0,000). Menurut WHO (2013), kegagalan pengobatan TB paru dapat disebabkab
oleh putus berobat atau terjadinya resisten terhadap obat yang disebabkan oleh
ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Keyakinan individu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam kepatuhan pengobatan TB
paru. Self efficacy yang tinggi cenderung memilih terlibat langsung dalam
mengerjakan suatu tugas, cenderung mengerjakan tugas tertentu, sekaligus tugas
yang dirasa sulit, menganggap kegagalan sebagai akibat kurangnya usaha.
Sedangkan self efficacy yang rendah cenderung menghindari tugas, ragu-ragu akan
kemampuannya, tugas yang sulit dipandang sebagai ancaman, lamban dalam
membenahi diri ketika mendapat kegagalan, tidak berfikir dalam menghadapi
masalah, dan tidak suka mencari situasi yang baru (Permana, 2016). Hal ini pun
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2017), dengan hasil ada
hubungan antara efikasi diri dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di
Puskesmas Patrang Kabupaten Jember dengan nilai p value 0,01.
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara kedua variabel yaitu hubungan self efficacy dengan kepatuhan
minum obat pada pasien TB paru.

13
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa di
Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru mayoritas responden berada diusia remaja
akhir(17-25 tahun) dan lansia akhir (56-65 tahun), mayoritas reponden berjenis
kelamin laki-laki dengan pendidikan mayoritas SMA. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan minum
obat pada pasien TB paru di Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru (p
value=0,042).

B. SARAN

1. Mahasiswa

Diharapkan dengan ini mahasiswa dapat meningkat kemampuan diri untuk dapat
terjun ke dalam pelayan dalam hal meningkat Self Efficacy pada pasien serta
melakukan lebih banyak penelitian mengenai keterkaiatan Self Efficacy dengan
hal perawatan pasien

2. Perawat

Diharapkan kepada pihak Puskesmas agar dapat melakukan penyuluhan terkait


TB paru dalam melakukan pengobatan serta memberikan konseling terkait Self
Efficacy pada pasien TB Paru.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hafizil Arzit., Asmiyati., & Susi Erianti. (2021).Hubungan Self Efficacy Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tb Paru.vProgram Studi Keperawatan
StiKes Hang Tuah pekan Baru

Tantri Puspita., Ernawati., & Dadang Rismawan.(2019).Hubungan Efikasi Diri


Dengan Kepatuhan DietPada Penderita Hipertensi. StiKes Karsa Husada Garut

Asra Septia., Siti Rahmalia., & Febriana Sabrian.(2014).Hubungan Dukungan


keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru.Program Studi
IMu Keperawatan Universtas Riau

15

Anda mungkin juga menyukai