Anda di halaman 1dari 271

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DRAFT
RENCANA UMUM
KETENAGALISTRIKAN
NASIONAL
2023-2060
RENCANA UMUM
KETENAGALISTRIKAN NASIONAL
2023 - 2060

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


JAKARTA
2023
- iii -

SAMBUTAN
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Jakarta,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia,

Arifin Tasrif
- iv -
-v-

EXECUTIVE SUMMARY

RUKN 2023-2060 merupakan pemutakhiran dari RUKN 2019-2038. RUKN 2023-


2060 memuat kebijakan ketenagalistrikan nasional, kondisi penyediaan tenaga
listrik saat ini, proyeksi kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik nasional sampai
tahun 2060, dan rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik
nasional.

Kebijakan tenaga listrik nasional meliputi kebijakan penyediaan tenaga listrik,


keteknikan dan perlindungan lingkungan. Kebijakan penyediaan tenaga listrik
terdiri atas Kebijakan Pengembangan Pembangkitan, Pengembangan Jaringan
Transmisi, Smart Grid, Jaringan Distribusi, Investasi dan Pendanaan, Bauran
Energi Primer, Manajemen Kebutuhan dan Penyediaan, Konservasi Energi,
Perizinan Usaha, Penetapan Wilayah Usaha, Jual Beli Listrik Lintas Negara,
Pengaturan Operasi dan Jaringan, Pengaturan Efisiensi, Tarif dan Subsidi Listrik,
Harga Pembangkitan, Sewa Jaringan, Harga Energi, Perlindungan Konsumen,
Pemenuhan Kecukupan Pasokan, Penyelesaian Perselisihan, Penegakan
Ketentuan Pidana Bidang Ketenagalistrikan. Kebijakan keteknikan dan
perlindungan lingkungan terdiri atas Kebijakan Standardisasi, Peningkatan
Penggunaan Komponen Dalam Negeri, Kelaikan Teknik, Keselamatan
Ketenagalistrikan, Tenaga Teknik, Perlindungan Lingkungan, Perizinan Usaha
Jasa Penunjang, Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik, dan Pengawasan
Keteknikan.

Arah pengembangan penyediaan tenaga listrik berdasarkan prinsip berkeadilan,


berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga listrik nasional dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik,
harga yang wajar secara adil dan merata dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan.

Arah pengembangan penyediaan tenaga listrik pada bidang pembangkitan


mendukung target nasional dalam transisi energi untuk terwujudnya emisi karbon
nol bersih atau NZE tahun 2060 atau lebih cepat melalui pemanfaatan energi baru
dan energi terbarukan (EBET) sebagai sumber energi yang andal, ekonomis,
beroperasi secara berkesinambungan dalam jangka menengah dan panjang secara
bertahap, rasional dan terukur. Strategi transisi energi sektor pembangkitan
dilakukan dengan mengutamakan keandalan sistem, memanfaatkan teknologi
yang andal dalam menerima EBET, konversi bahan bakar pembangkit fosil
- vi -
menjadi bahan bakar yang bersumber dari EBET, memanfaatkan kemajuan
teknologi (advanced technology), dan mekanisme nilai ekonomi karbon.

Pada bidang penyaluran, pengembangan diarahkan untuk menyalurkan tenaga


listrik ke Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus, smelter, Daerah Priritas
Pariwisata, dan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu. Pengembangan juga
diarahkan transmisi HVDC untuk evakuasi daya jarak jauh (point to point antar
pulau), minimal 1 Gardu Induk (GI) untuk setiap kabupaten/kota, penambahan
trafo GI apabila pembebanan telah mencapai sekitar 70%, pembangunan Gas
Insulated Switchgear (GIS) untuk lahan terbatas, penurunan susut, dan
rehabilitasi jaringan tua. Untuk menuju NZE diperlukan super grid yaitu
interkoneksi antar pulau karena terdapat mismatch antara pusat beban dan lokasi
sumber EBET.

Arah pengembangan listrik perdesaan dan smart grid adalah perluasan akses
listrik di daerah terpencil dan tersebar. Sasaran program listrik perdesaan adalah
pencapaian rasio elektrifikasi 100% dan meningkatkan rasio desa berlistrik
mencapai 100% pada tahun 2024

Asumsi dan target yang digunakan dalam RUKN 2023-2060 antara lain rata-rata
pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 6% sampai dengan 2045 dalam rangka
mendukung visi Indonesia Emas 2045 dimana ditargetkan Indonesia telah
menjadi negara maju dan keluar dari middle income trap. Selain itu asumsi yang
digunakan adalah rata-rata pertumbuhan penduduk sekitar 0,5%, target rasio
elektrifikasi sekitar 100% di tahun 2024, serta mengakomodasi semua potensi
demand untuk KEK, KI, SKPT, DPP, smelter, dan Kendaraan Bermotor Listrik
Berbasis Baterai (KBLBB).

Berdasarkan asumsi dan target tersebut, dilakukan pemodelan sehingga


menghasilkan proyeksi kebutuhan tenaga listrik nasional untuk periode sampai
tahun 2060 sebagai berikut:

1. proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 379 TWh meningkat
menjadi 1.849 TWh pada tahun 2060 (rata-rata pertumbuhan sekitar 4,8% per
tahun);

2. komposisi kebutuhan tenaga listrik Nasional tahun 2060 diperkirakan akan


didominasi oleh sektor Industri, kemudian diikuti oleh sektor Transportasi
(KBLBB), Rumah Tangga, Bisnis, Hidrogen, dan Publik;
- vii -
3. rata-rata kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit (DMN)1 sekitar 17 GW
per tahun;

4. Kapasitas pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 722 GW.


PLTS mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 64%. Kapasitas pembangkit
energi baru seperti PLTN termasuk Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan
sekitar 2% dari total kapasitas. Operasi komersial PLTN pertama kali mulai
tahun 2032 sebesar 0,4 GW. Sisa 34% berasal dari pembangkit EBET lainnya
seperti PLTA, PLTB, PLTBio, PLTAL, PLTP, Ammonia dan Hidrogen.

Pada tahun 2025, bauran EBET diperkirakan dapat mencapai 22% yang ditopang
oleh cofiring biomasa dengan porsi rata-rata 5% pada seluruh PLTU kecuali IPP
yang bekerjasama dengan PLN. Bauran EBET akan terus meningkat setelah 2025
dengan adanya pengembangan pembangkit EBET secara masif dan diperkirakan
dapat mencapai 100% pada tahun 2060. Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar
290 juta ton CO2 dan mendekati tahun 2030 terjadi puncak emisi CO2 sebesar
478 juta ton CO2 kemudian akan terus turun pada tahun berikutnya. Pada tahun
2055, emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

1 DMN: Daya Mampu Neto (tidak termasuk pemakaian sendiri)


- viii -

DAFTAR ISI

SAMBUTAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ............. iii

EXECUTIVE SUMMARY ......................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi

DAFTAR TABEL ................................................................................ xvii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xix

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .................................................... xxi

BAB I PENDAHULUAN............................................................................1

Latar Belakang .......................................................................... 1


Visi dan Misi Sektor Ketenagalistrikan ...................................... 2
Pertimbangan Perubahan RUKN................................................ 3
Pokok-Pokok KEN Terkait Ketenagalistrikan.............................. 4
Landasan Hukum RUKN ........................................................... 5

BAB II KEBIJAKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL ........................... 7

Penyediaan Tenaga Listrik......................................................... 7


Kebijakan Pengembangan Pembangkitan Tenaga Listrik7
Kebijakan Pengembangan Jaringan Transmisi Tenaga
Listrik dan Smart Grid ................................................ 14
Kebijakan Pengembangan Sistem Distribusi, Listrik
Pedesaan dan Listrik Sosial ........................................ 22
Kebijakan Investasi dan Pendanaan Tenaga Listrik .... 25
Kebijakan Bauran Energi Pembangkitan Tenaga Listrik .
..................................................................... 28
Kebijakan Manajemen Kebutuhan dan Penyediaan
Tenaga Listrik ............................................................ 30
Konservasi Energi Bidang Ketenagalistrikan ............... 32
Kebijakan Perizinan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 42
Kebijakan Penetapan Wilayah Usaha .......................... 47
Kebijakan Jual Beli Listrik Lintas Negara ................... 51
Kebijakan Pengaturan Operasi dan Jaringan
Ketenagalistrikan ....................................................... 52
- ix -

Kebijakan Pengaturan Efisiensi Penyediaan Tenaga


Listrik ..................................................................... 55
Kebijakan Tarif Tenaga Listrik .................................... 55
Kebijakan Subsidi Listrik ........................................... 58
Kebijakan Harga Pembangkitan dan Sewa Jaringan
Tenaga Listrik ............................................................ 60
Kebijakan Harga Energi Primer .................................. 63
Kebijakan Perlindungan Konsumen Ketenagalistrikan 64
Kebijakan Pemenuhan Kecukupan Pasokan Tenaga
Listrik ..................................................................... 66
Kebijakan Penyelesaian Perselisihan .......................... 67
Kebijakan Penegakan Ketentuan Pidana Bidang
Ketenagalistrikan ....................................................... 70
Keteknikan dan Perlindungan Lingkungan .............................. 77
Kebijakan Standardisasi Ketenagalistrikan ................. 78
Kebijakan Peningkatan Penggunaan Komponen Dalam
Negeri ..................................................................... 87
Kebijakan Kelaikan Teknik Ketenagalistrikan ............. 92
Kebijakan Keselamatan Ketenagalistrikan .................. 95
Kebijakan Tenaga Teknik Ketenagalistrikan ............... 99
Kebijakan Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan ..
................................................................... 101
Kebijakan Perizinan Usaha Jasa Penunjang
Ketenagalistrikan ..................................................... 106
Kebijakan Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik Untuk
Kepentingan Telekomunikasi, Multimedia, dan/atau
Informatika .............................................................. 111
Kebijakan Pengawasan Keteknikan .......................... 112

BAB III KONDISI PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK SAAT INI ............... 118

Data Sumber Energi Primer .................................................. 118


Batubara .................................................................. 121
Gas Bumi ................................................................. 121
Minyak Bumi ........................................................... 121
Panas Bumi ............................................................. 122
Air ................................................................... 123
Surya ................................................................... 123
Bioenergi .................................................................. 124
-x-

Angin ................................................................... 124


Arus Laut ................................................................. 125
Nuklir ................................................................... 125
Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik............................. 125
Konsumsi Tenaga Listrik ....................................................... 129
Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik .................................... 131
Sistem Transmisi .................................................................. 136
Sistem Distribusi .................................................................. 138
Perkembangan Rasio Elektrifikasi Dan Rasio Desa Berlistrik . 139

BAB IV PROYEKSI KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK


NASIONAL ......................................................................................... 142

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik ....................................... 142


Metodologi................................................................ 142
Data Historis ............................................................ 144
Asumsi dan Target ................................................... 145
Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik Nasional ............ 148
Prakiraan Penyediaan Tenaga Listrik (Optimasi Supply) ........ 152
Metodologi................................................................ 152
Data dan Asumsi ..................................................... 157
Hasil Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik............ 159

BAB V RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN TENAGA


LISTRIK NASIONAL ........................................................................... 180

Peningkatan Rasio Elektrifikasi ............................................. 180


Pembangkitan Tenaga Listrik ................................................ 181
Regional Sumatera ................................................... 182
Regional Jawa-Bali ................................................... 185
Regional Kalimantan ................................................ 188
Regional Sulawesi .................................................... 191
Regional Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara (MPNT)194
Transmisi Tenaga Listrik ....................................................... 197
Distribusi Tenaga Listrik ....................................................... 202

LAMPIRAN ........................................................................................ 205


- xi -

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Skema Bisnis SPKLU .............................................................. 43

Gambar II.2. Skema Bisnis SPKLU Retailer.................................................. 44

Gambar II.3. Skema Bisnis SPBKLU ............................................................ 44

Gambar II.4. Peta Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2021 ... 49

Gambar II.5. Mekanisme Penetapan Wilayah Usaha Bersubsidi .................. 50

Gambar II.6. Skema Proses UPTLSK Penugasan Pemerintah Bersubsidi ...... 50

Gambar II.7. Skema Proses UPTLSK Di Wilayah Usaha Tanpa Subsidi ........ 51

Gambar II.8. Skema Sertifikasi Produk ........................................................ 85

Gambar II.9. Alur Permohonan Persetujuan dan Penandasahan RIB ........... 86

Gambar II.10. Alur Permohonan Persetujuan dan Penandasahan RIB ......... 87

Gambar II.11. Alur Permohonan SLO .......................................................... 93

Gambar II.12. Lingkup SLO untuk Stasiun Pengisian Listrik Umum ........... 95

Gambar II.13. Hubungan Antara K3 dan K2 ................................................ 96

Gambar II.14. Ilustrasi Instalasi Tenaga Listrik yang Wajib Menerapkan K2 97

Gambar II.15. Ruang Bebas Jaringan Transmisi........................................ 104

Gambar III.1. Peta Wilayah Usaha ............................................................. 126

Gambar III.2. Perkembangan Konsumsi Tenaga Listrik Nasional Berdasarkan


Wilayah Usaha (dalam TWh) ....................................................................... 130

Gambar III.3. Perkembangan Konsumsi Tenaga Listrik Nasional Per Sektor


Pemakai (dalam TWh) ................................................................................. 130

Gambar III.4. Konsumsi Tenaga Listrik Nasional Tahun 2022 Per Sektor Per
Wilayah Usaha (dalam TWh) ....................................................................... 131

Gambar III.5. Kapasitas terpasang pembangkit nasional tahun 2022 per


pemilik ....................................................................................................... 132

Gambar III.6. Kapasitas Terpasang Pembangkit Nasional Tahun 2022 per Jenis
................................................................................................................... 132

Gambar III.7. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


Nasional Berdasarkan Pemilik (dalam GW) ................................................. 133
- xii -

Gambar III.8. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


Nasional Per Jenis (dalam GW) ................................................................... 134

Gambar III.9. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


Dengan Sumber EBT (dalam GW) ............................................................... 135

Gambar III.10. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


per Wilayah (dalam GW) ............................................................................. 135

Gambar III.11. Perkembangan Panjang Jaringan Transmisi Tenaga Listrik


(dalam kms) per Pemilik ............................................................................. 136

Gambar III.12. Perkembangan Panjang Jaringan Transmisi Tenaga Listrik


(dalam kms) per Tegangan .......................................................................... 137

Gambar III.13. Perkembangan Kapasitas Gardu Induk (MVA) per Pemilik .. 138

Gambar III.14. Perkembangan Panjang Jaringan Distribusi Tenaga Listrik. 138

Gambar III.15. Perkembangan Kapasitas Trafo Gardu Distribusi (dalam MVA)


................................................................................................................... 139

Gambar III.16. Sebaran Rasio Elektrifikasi per Provinsi Tahun 2022 ......... 140

Gambar III.17. Sebaran Rasio Desa Berlistrik per Provinsi Tahun 2022...... 140

Gambar IV.1. Kombinasi Metodologi Dalam Proyeksi Kebutuhan Tenaga


Listrik ......................................................................................................... 143

Gambar IV.2. Metodologi Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik .................... 144

Gambar IV.3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan penduduk


Indonesisa tahun 2000-2022 ...................................................................... 144

Gambar IV.4. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dan PDRB Indonesia tahun


2023 – 2060 ............................................................................................... 145

Gambar IV.5. Proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2023 – 2060


................................................................................................................... 146

Gambar IV.6. Rencana kebutuhan tenaga listrik KI, KEK, smelter, SKPT, DPP
................................................................................................................... 146

Gambar IV.7. Flexibilitas charging kendaraan listrik mengakomodasi


pembangkit VRE massif ke dalam sistem ................................................... 147

Gambar IV.8. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario BaU per golongan
pelanggan 2023 – 2060 ............................................................................... 148
- xiii -

Gambar IV.9. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario IEA per golongan
pelanggan 2023 – 2060 ............................................................................... 149

Gambar IV.10. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario rendah per


golongan pelanggan 2023 – 2060 ................................................................ 150

Gambar IV.11. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario tinggi per golongan
pelanggan 2023 – 2060 ............................................................................... 151

Gambar IV.12. Perbandingan konsumsi listrik per kapita skenario BaU,


rendah, dan tinggi ...................................................................................... 152

Gambar IV.13. Metodologi Optimasi Kapasitas Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik menggunakan Balmorel ....................................................... 153

Gambar IV.14. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Berdasarkan Jenis dan Status


................................................................................................................... 158

Gambar IV.15. Proyeksi kapasitas PLTU berdasarkan pemilik ................... 158

Gambar IV.16. Proyeksi LCOE Pembangkit VRE dan Teknologi Penyimpanan


Energi......................................................................................................... 159

Gambar IV.17. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario BaU ................... 160

Gambar IV.18. Proyeksi Produksi Pembangkitan Skenario BaU ................. 160

Gambar IV.19. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario BaU ........ 161

Gambar IV.20. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario BaU ............... 161

Gambar IV.21. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario BaU Tahun 2060 ......................................................................... 162

Gambar IV.22. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario BaU ...................................................................... 162

Gambar IV.23. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario ZE Decommissioning


................................................................................................................... 163

Gambar IV.24. Proyeksi Produksi Pembangkit Skenario ZE Decommissioning


................................................................................................................... 163

Gambar IV.25. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario ZE


Decommissioning ........................................................................................ 164

Gambar IV.26. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario ZE


Decommissioning ........................................................................................ 164
- xiv -

Gambar IV.27. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario ZE Decommissioning Tahun 2060 ................................................. 165

Gambar IV.28. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario ZE Decommissioning .............................................. 166

Gambar IV.29. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario ZE Retrofitting..... 167

Gambar IV.30. Proyeksi Produksi Pembangkitan Skenario ZE Retrofitting .. 167

Gambar IV.31. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario ZE Retrofitting


................................................................................................................... 168

Gambar IV.32. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario ZE Retrofitting 168

Gambar IV.33. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario ZE Retrofitting Tahun 2060 .......................................................... 169

Gambar IV.34. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario ZE Retrofitting ....................................................... 170

Gambar IV.35. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario ZE CCS .............. 170

Gambar IV.36. Proyeksi Produksi Pembangkitan Skenario ZE CCS ........... 171

Gambar IV.37. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario ZE CCS .. 171

Gambar IV.38. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario ZE CCS.......... 172

Gambar IV.39. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario ZE CCS Tahun 2060 .................................................................... 173

Gambar IV.40. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario ZE CCS ................................................................. 173

Gambar IV.41. Hasil Analisis Sensitivitas Demand tehadap Kapasitas dan


Produksi Pembangkit .................................................................................. 174

Gambar IV.42. Hasil Analisis Sensitivitas Demand tehadap Emisi ............. 175

Gambar IV.43. Hasil Analisis Sensitivitas Demand tehadap BPP ................ 175

Gambar IV.44. Hasil Analisis Sensitivitas Pemanfaatan PLTS .................... 176

Gambar IV.45. Hasil Analisis Sensitivitas Fleksibilitas Demand ................. 177

Gambar IV.46. Hasil Analisis Sensitivitas Biaya Teknologi ......................... 178

Gambar V.1. Target Rasio Elektrifikasi (dalam %) ...................................... 181

Gambar V.2. Proyeksi pertumbuhan ekonomi regional Indonesia 2023 – 2060


................................................................................................................... 182
- xv -

Gambar V.3. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional Sumatera 2023-2060


................................................................................................................... 182

Gambar V.4. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Sumatera 2023-2060


................................................................................................................... 183

Gambar V.5. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Sumatera 2023-2060


................................................................................................................... 183

Gambar V.6. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Sumatera 2023-


2060 ........................................................................................................... 184

Gambar V.7. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Sumatera 2023-2060


................................................................................................................... 184

Gambar V.8. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional Jawa Bali tahun
2023 s.d. 2060 ........................................................................................... 185

Gambar V.9. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Jawa Bali 2023-2060


................................................................................................................... 186

Gambar V.10. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Jawa Bali 2023-2060


................................................................................................................... 186

Gambar V.11. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Jawa Bali


2023-2060 .................................................................................................. 187

Gambar V.12. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Jawa Jawa Bali
2023-2060 .................................................................................................. 187

Gambar V.13. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional Kalimantan 2023-


2060 ........................................................................................................... 188

Gambar V.14. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Kalimantan 2023-


2060 ........................................................................................................... 189

Gambar V.15. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Kalimantan 2023-


2060 ........................................................................................................... 189

Gambar V.16. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Kalimantan


2023-2060 .................................................................................................. 190

Gambar V.17. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Kalimantan 2023-


2060 ........................................................................................................... 190

Gambar V.18. Proyeksi Kebutuhan tenaga listrik Regional Sulawesi.......... 191

Gambar V.19. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Sulawesi 2023-2060


................................................................................................................... 192
- xvi -

Gambar V.20. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Sulawesi 2023-2060


................................................................................................................... 192

Gambar V.21. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Sulawesi 2023-


2060 ........................................................................................................... 193

Gambar V.22. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Sulawesi 2023-


2060 ........................................................................................................... 193

Gambar V.23. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional MPNT 2023-2060


................................................................................................................... 194

Gambar V.24. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional MPNT 2023-2060 195

Gambar V.25. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional MPNT 2023-2060


................................................................................................................... 195

Gambar V.26. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional MPNT 2023-


2060 ........................................................................................................... 196

Gambar V.27. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional MPNT 2023-2060


................................................................................................................... 196

Gambar V.28. Rencana Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar


Provinsi ...................................................................................................... 201
- xvii -

DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Daftar Laboratorium Pengujian Peralatan Dan Pemanfaat Tenaga


Listrik ........................................................................................................... 80

Tabel II.2. Daftar SNI Wajib di Bidang Ketenagalistrikan.............................. 82

Tabel II.3. Ambang Batas Medan Listrik Maksimum yang Diizinkan pada
Frekuensi 50/60 Hz ................................................................................... 105

Tabel II.4. Tabel b. Ambang Batas Medan Magnet Maksimum yang Diizinkan
pada Frekuensi 50/60 Hz ........................................................................... 105

Tabel II.5. Jenis Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik .............................. 107

Tabel III.1. Data Potensi Sumber Energi Primer ......................................... 119

Tabel III.2. Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik ............................... 126


- xviii -
- xix -

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Peta Sebaran Kapasitas Pembangkit, Bauran Energi dan


Transmisi Tenaga Listrik ................................................. 205
- xx -
- xxi -

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

3T : Terdepan, Tertinggal dan Terluar


AMDAL : Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
Base load : Beban Dasar
BBM : Bahan Bakar Minyak
BBN : Bahan Bakar Nabati
BCF : Billion Cubic Feet
Beban Puncak : Nilai tertinggi dari langgam beban suatu sistem tenaga
listrik, dinyatakan dengan MW
BPP : Biaya Pokok Penyediaan
BPS : Badan Pusat Statistik
BOOT : Build, Own, Operate, Transfer
BSN : Badan Standardisasi Nasional
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CCT : Clean Coal Technology
CCS : Carbon Capture and Storage
CF : Capacity Factor
CFB : Circulating Fluidized Bed
COD : Commercial Operation Date
CBM : Coal Bed Methane
CO2 : Karbon Dioksida
Dispatch : Mengendalikan operasi
Dispatcher : Pelaksana pengendali operasi
Distribution Code : Aturan distribusi tenaga Listrik
DMN : Daya Mampu Neto
DMO : Domestic Market Obligation
DOP : Delivery or Pay
EBT : Energi Baru dan Terbarukan
Energy Mix : Kelompok sumber energi primer yang berbeda yang
digunakan untuk memproduksi energi sekunder
(seperti listrik)
EPC : Engineering, Procurement, Construction
ESP : Electrostatic Precipitator
Excess Power : Kelebihan tenaga listrik
FGD : Flue-Gas Desulfurization
- xxii -

Gasified Coal : Batubara tergaskan


GI : Gardu Induk
GIS : Gas Insulated Switchgear
GITET : Gardu Induk Tegangan Ektra Tinggi
GRK : Gas Rumah Kaca
Grid Code : Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik
GW : Gigawatt
GWh : Gigawatt Hours
HELE : High Efficiency, Low Emission
HPT : Harga Patokan Tertinggi
HVDC : High Voltage Direct Current
IBT : Interbus Transformer
IGCC : Integrated Gasification Combined Cycle
IO : Ijin Operasi
IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah
IPP : Independent Power Producer
IPPU : Instalasi Pengendalian Pencemaran Udara
IUPTL : Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
IUJPTL : Izin Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik
JTM : Jaringan Tegangan Menengah
JTR : Jaringan Tegangan Rendah
K3L : Keselamatan, Keamanan, Kesehatan Masyarakat dan
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Kapasitas Terpasang : Kapasitas suatu pembangkit sesuai dengan
nameplate
Kms : Kilometer-sirkuit,
KEK : Kawasan Ekonomi Khusus
KEN : Kebijakan Energi Nasional
KI : Kawasan Industri
KPS : Kerjasama Pemerintah Swasta
kV : Kilovolt
kW : Kilowatt
kWh : Kilowatt hours
Liquified Coal : Batubara tercairkan
Load Follower : Pengikut beban
LOLP : Loss of Load Probability
Losses : Susut tenaga listrik dalam jaringan
- xxiii -

LRT : Light Rapid Transit


LSBU : Lembaga Sertifikasi Badan Usaha
LSK : Lembaga Sertifikasi Kompetensi
MMSTB : Million Metric Stock Tank Barrels
MRT : Mass Rapid Transit
MTOE : Million Tonnes of Oil Equivalent
MVA : Megavolt Ampere
MVPP : Marine Vessel Power Plant
MW : Megawatt
MWh : Megawatt hours
NDC : Nationally Determined Contribution
NZE : Net Zero Emission
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Peaker : Pemikul beban puncak
PJBL : Perjanjian Jual Beli Listrik
PIUPTL : Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air
PLTB : Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
PLTBg : Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
PLT Bio : Pembangkit Listrik Tenaga Bioenergi
PLTBm : Pembangkit Listrik Tenaga Biomasa
PLTD : Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
PLTG : Pembangkit Listrik Tenaga Gas
PLTGU : Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap
PLTM : Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro
PLTMG : Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas
PLTMH : Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
PLTP : Pembangkit Listrik Tenaga Pana Bumi
PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Surya
PLTSa : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PLTU MT : Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang
Podes : Potensi desa
Power wheeling : Pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan
distribusi
PPLH : Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil
- xxiv -

PPP : Public Private Partnership


PPU : Private Power Utility
PS : Pemakaian Sendiri
PTSP : Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Reserve Margin : Cadangan daya sistem terhadap beban puncak
RE : Rasio Elektrifikasi, perbandingan antara jumlah
rumah tangga yang berlistrik dan jumlah keseluruhan
rumah tangga
RES : Reservoir
RIB : Rencana Impor Barang
RoR : Run of River
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
RUED : Rencana Umum Energi Daerah
RUEN : Rencana Umum Energi Nasional
RUK : Rencana Umum Ketenagalistrikan
RUKD : Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah
RUKN : Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
RUPTL : Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
SAIDI : System Average Interruption Duration Index
SAIFI : System Average Interruption Frequency Index
SBU : Sertifikat Badan Usaha
SC : Super Critical
SHS : Solar Home System
SKTTK : Sertifikat Kompetensi Tenaga Teknik
Ketenagalistrikan
SLA : Subsidiary Loan Agreement
SLO : Sertifikat Laik Operasi
SNI : Standar Nasional Indonesia
SubC : Sub critical
SUTET : Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
SUTT : Saluran Udara Tegangan Tinggi
TKDN : Tingkat Komponen Dalam Negeri
TMP : Tingkat Mutu Pelayanan
TOP : Take or Pay
TPA : Tempat Pembuangan Akhir
TPS : Tempat Penyimpanan Sementara
- xxv -

TWh : Terawatt hours


UKL-UPL : Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup
UPTLSK : Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Skala Kecil
USC : Ultra Super Critical
VRE : Variable Renewable Energy
Wellhead : Kepala sumur
- xxvi -
-1-

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan


makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga listrik
mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional sehingga usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh
negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan
perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang
cukup, merata, dan bermutu. Mengingat arti penting tenaga listrik tersebut,
maka diperlukan suatu perencanaan dan pembangunan ketenagalistrikan
nasional yang komprehensif dalam pembangunan nasional.

Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang


Ketenagalistrikan sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengamanatkan bahwa Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) disusun berdasarkan pada Kebijakan Energi
Nasional (KEN) dan ditetapkan oleh Pemerintah. RUKN disusun dengan
mengikutsertakan Pemerintah Daerah dan digunakan sebagai dasar bagi
penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD).

Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan (2) serta Pasal 24 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan
Sumber Daya Mineral, pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum harus sesuai dengan RUKN dan Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL). RUKN ditetapkan dengan Keputusan Menteri dan
berfungsi sebagai rujukan dan pedoman dalam penyusunan dokumen RUKD
dan RUPTL.

Dokumen RUKN 2023-2060 berisikan antara lain kebijakan ketenagalistrikan


nasional, kondisi penyediaan tenaga listrik nasional, proyeksi kebutuhan dan
rencana penyediaan tenaga listrik nasional sampai tahun 2060 dan rencana
pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik nasional. Peranan RUKN akan
semakin penting dengan adanya perubahan dan dinamika lingkungan strategis
-2-

dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global terutama terkait


perlindungan lingkungan hidup dan rencana penurunan emisi di sektor energi
menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Visi dan Misi Sektor Ketenagalistrikan

Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan


tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang
wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Visi dan misi sektor ketenagalistrikan sejalan dengan visi dan misi
pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Visi pembangunan nasional adalah:

TERWUJUDNYA INDONESIA MAJU YANG BERDAULAT, MANDIRI, DAN


BERKEPRIBADIAN BERLANDASKAN GOTONG-ROYONG

Visi tersebut diwujudkan melalui 9 (sembilan) Misi yaitu:

1. peningkatan kualitas manusia indonesia;

2. struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing;


3. pembangunan yang merata dan berkeadilan;
4. mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan;
5. kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa;
6. penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya;
7. perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh
warga;
8. pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya; dan
9. sinergi Pemerintah Daerah dalam kerangka negara kesatuan.

Pembangunan sektor ketenagalistrikan merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari pembangunan nasional. Sektor ketenagalistrikan ingin
mewujudkan cita-cita membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan,
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia, berperan
dalam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia
lainnya serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-
sektor strategis ekonomi domestik.
-3-

Pertimbangan Perubahan RUKN

Beberapa pertimbangan perubahan RUKN 2023-2060 antara lain:

1. Sebagai rujukan dan pedoman dalam penyusunan dokumen RUKD dan


RUPTL

Dalam RPJMN 2020-2024, Pemerintah merencanakan pembangunan


Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Sentra Kelautan
dan Perikanan Terpadu (SKPT), dan Daerah Prioritas Pariwisata (DPP).
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan melarang ekspor bahan baku
mineral mentah ke luar negeri yang berdampak tumbuhnya industri smelter
di Kawasan Indonesia Timur terutama di pulau Kalimantan, Sulawesi dan
Maluku Utara. Selain itu terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN),
penggunaan kendaraan bermotor listrik, dan kebutuhan bahan bakar
hidrogen di masa depan. Hal tersebut berdampak kebutuhan tenaga listrik
regional dan nasional semakin meningkat sehingga perlu disiapkan
perencanaan penyediaanya oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
maupun badan usaha.

2. Perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun global untuk


mencapai target NZE tahun 2060 atau lebih cepat

Isu perlindungan lingkungan hidup untuk penurunan emisi CO2 semakin


penting. Dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-21 (COP-Conference of
Parties of UNFCCC-United Nations of Framework Convention on Climate
Change) di Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dari level “business as usual” pada
tahun 2030 atau 41% bila ada bantuan dari negara-negara maju. Pada COP
ke-27 tahun 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM)
dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta
Kementerian/Lembaga berkoordinasi membahas penurunan emisi di sektor
energi menuju NZE tahun 2060 atau lebih cepat. Hasil koordinasi
didapatkan konsolidasi emisi CO2 sektor energi pada tahun 2060 sebesar
129 juta ton dan emisi CO2 di sektor pembangkit listrik sebesar nol.

3. Perubahan kebijakan Pemerintah dalam pengendalian pengembangan PLTU


batubara

Pemerintah membuat kebijakan dalam pengendalian pembangunan PLTU


hanya diperbolehkan untuk PLTU terintegrasi dengan industri yang
-4-

berorientasi peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk


dalam PSN. PLTU tersebut diwajibkan harus melakukan pengurangan emisi
gas rumah kaca (GRK) minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak
beroperasi serta beroperasi paling lama sampai tahun 2050.

Berdasarkan ketiga pertimbangan diatas, Pemerintah melakukan evaluasi dan


penyesuaian RUKN 2019-2038 karena belum memutakhirkan rencana
pembangunan KI, KEK, smelter, SKPT, DPP, kendaraan bermotor listrik,
kebutuhan hidrogen, pengendalian pembangunan PLTU, dan target emisi
karbon nol (NZE) pada tahun 2060.

Pokok-Pokok KEN Terkait Ketenagalistrikan

Kebijakan pengelolaan energi berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan


dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan
ketahanan energi nasional. KEN dirancang dan dirumuskan oleh Dewan Energi
Nasional (DEN) serta ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR-RI.
Saat ini DEN sedang menyusun pemutakhiran KEN dengan periode waktu
sampai tahun 2060. Pokok-pokok kebijakan dalam draft KEN antara lain:

1. kebijakan energi nasional ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi


secara adil dan merata dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan melalui transisi energi untuk terwujudnya emisi karbon
nol bersih (NZE) pada tahun 2060 dengan tetap mengutamakan ketahanan
energi dan kemandirian energi nasional;

2. untuk mewujudkan emisi karbon nol bersih diperlukan strategi


dekarbonisasi sektor energi melalui:

a. pencapaian puncak emisi karbon antara tahun 2035 sampai 2045; dan

b. pencapaian tingkat emisi karbon sektor energi sekitar 129 juta ton CO2
tahun 2060 yang akan diserap oleh sektor kehutanan agar terwujud
emisi karbon nol bersih pada tahun 2060.

3. pengelolaan energi guna mewujudkan Kemandirian Energi dan Ketahanan


Energi Nasional dan memenuhi komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi
untuk pengendalian perubahan iklim dan mendukung pembangunan
Ekonomi Hijau yang berkelanjutan melalui
-5-

a. sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata


tetapi sebagai modal pembangunan nasional yang berkelanjutan;

b. ketahanan energi yang tangguh dengan tetap menjaga keamanan


pasokan dan keterjangkauan harga energi;

c. pengelolaan energi yang bertumpu kepada sumber daya energi dan


potensi nasional;

d. pemenuhan kebutuhan energi yang rasional untuk mencapai target


Human Developnment Index (HDI) dan ekonomi hijau sebagai negara
maju;

e. ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam


negeri;

f. pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan


berkelanjutan;

g. penyediaan dan penggunaan energi secara hemat dan pemanfaatan


energi secara efisien di semua sektor;

h. akses untuk masyarakat terhadap energi secara adil dan merata;

i. akselerasi pengembangan teknologi melalui riset dan inovasi teknologi,


industri energi, dan peran jasa energi terutama berbasis pada
pemanfaatan sumber daya energi nasional;

j. transfer, audit, dan clearing house teknologi, pendidikan, dan


pelatihan;

k. kedaulatan energi dengan produktivitas energi yang tinggi;

l. perluasan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan berusaha;

m. kelestarian fungsi lingkungan hidup;

n. optimalisasi pemanfaatan teknologi dalam pemanfaatan energi tak


terbarukan; dan

o. pengelolaan sarana dan prasarana energi yang optimal dengan


stranded asset yang minimum

Landasan Hukum RUKN

Landasan hukum penyusunan RUKN ini adalah:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;


-6-

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022


tentang Cipta Kerja;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha


Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi


Nasional;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral;

8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2021
tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah;

9. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Data Mineral Nomor 143


K/20/MEM/2019 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
2019-2038.
-7-

BAB II
KEBIJAKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

Kebutuhan tenaga listrik sudah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak
dan menjadi modal pembangunan nasional yang berkelanjutan sehingga
pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan harus menganut asas manfaat,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan
sumber daya energi, mengandalkan pada kemampuan sendiri, kaidah usaha
yang sehat, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan, dan
otonomi daerah.

Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya


dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan menetapkan
kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan
tenaga listrik sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan usaha penyediaan
tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun
demikian, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat
berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

Sebagai pelaksanaan kewajiban di bidang ketenagalistrikan, Pemerintah


menetapkan kebijakan dalam usaha penyediaan dan usaha penunjang tenaga
listrik untuk dapat menyediakan tenaga listrik yang andal, aman, berkualitas
baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Penyediaan Tenaga Listrik

Kebijakan Pengembangan Pembangkitan Tenaga Listrik

Pengembangan pembangkitan tenaga listrik berdasarkan prinsip berkeadilan,


berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga listrik nasional dalam jumlah yang cukup, kualitas yang
baik, harga yang wajar secara adil dan merata dalam rangka mendukung
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pengembangan pembangkitan
tenaga listrik juga mendukung target nasional dalam transisi energi untuk
terwujudnya emisi karbon nol bersih atau NZE tahun 2060 atau lebih cepat
-8-

dengan tetap mengutamakan ketahanan energi dan kemandirian energi


nasional.

Peran sektor pembangkitan tenaga listrik dalam transisi energi adalah melalui
pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBET) sebagai sumber energi
yang andal, ekonomis, beroperasi secara berkesinambungan dalam jangka
menengah dan panjang secara bertahap, rasional dan terukur. Strategi transisi
energi sektor pembangkitan dilakukan dengan:

1. mengutamakan keandalan sistem;

2. memanfaatkan teknologi yang andal dalam menerima EBET;

3. konversi bahan bakar pembangkit fosil menjadi bahan bakar yang


bersumber dari EBET;

4. memanfaatkan kemajuan teknologi (advanced technology); dan

5. mekanisme nilai ekonomi karbon.

Sasaran kebijakan pembangkitan tenaga listrik yaitu:

1. terpenuhinya kebutuhan energi listrik nasional secara adil;


2. menjadikan energi listrik sebagai modal pembangunan nasional
berkelanjutan;
3. terwujudnya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional;
4. tercapainya bauran energi listrik yang optimal dan menjamin keseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan tenaga listrik serta penurunan emisi karbon
melalui:
a. meningkatkan peran EBET melalui optimalisasi beberapa faktor seperti
lokasi beban dan potensi EBET dengan memperhatikan konektivitas
antar sistem tenaga listrik dengan prinsip biaya terendah (least cost)
dalam rangka menjaga ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang
cukup, kualitas yang baik dan harga yang wajar;

b. mengurangi peran energi fosil.

5. terwujudnya dekarbonisasi sektor pembangkitan tenaga listrik untuk


tercapainya NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat;
6. penciptaan nilai tambah di dalam negeri; dan
7. penyerapan tenaga kerja.

Pengembangan pembangkitan tenaga listrik harus dilakukan dengan


mempertimbangkan keseimbangan aspek keekonomian, keterjangkauan
harga dan keamanan pasokan tenaga listrik serta pelestarian lingkungan
hidup dengan prioritas:

1. penyediaan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri;


-9-

2. penyediaan energi listrik bagi masyarakat yang belum memiliki akses tenaga
listrik terutama wilayah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (3T) dengan
mengutamakan pengembangan energi setempat;

3. penyediaan energi listrik yang mensinergikan pengembangan sumber daya


energi setempat dengan pengembangan kluster ekonomi secara terpadu
(Renewable Energy Based Economic Development-REBED);

4. penyediaan energi listrik yang mengintegrasikan pengembangan wilayah


yang memiliki potensi sumber daya energi dengan pengembangan industri
(Renewable Energy Based Industrial Development - REBID);

5. pengembangan pembangkitan tenaga listrik dalam kerja sama regional


ASEAN.

Dalam rangka transisi energi menuju NZE tahun 2060 atau lebih cepat
diperlukan kebijakan pengembangan teknologi pembangkitan tenaga listrik
antara lain:

1. Pembangkit Berbahan Bakar Batubara

Pembangkit berbahan bakar batubara umumnya menggunakan teknologi


PLTU subcritical, PLTU supercritical dan PLTU ultra supercritical.

a. Pengendalian penambahan PLTU batubara


Dalam rangka pengendalian emisi CO2 dari PLTU batubara dan
percepatan pengembangan pembangkitan berbasis EBET serta semakin
sulitnya pendanaan proyek PLTU batubara maka perlu dilakukan
pengaturan pengembangan PLTU baru. Pembangunan PLTU baru
dilarang kecuali untuk:

1) PLTU yang telah ditetapkan dalam RUPTL sebelum Perpres 112


Tahun 2022 terbit; atau

2) PLTU yang memenuhi persyaratan antara lain:

a) terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk


peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk
dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan memiliki kontribusi
besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau
pertumbuhan ekonomi nasional;

b) berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah


kaca minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU
tersebut beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU
di Indonesia tahun 2O2l melalui pengembangan teknologi,
carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan; dan
- 10 -

c) beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.

b. Pilihan konversi bahan bakar PLTU batubara


Secara teknologi, bahan bakar PLTU batubara dapat diganti menjadi
bahan bakar yang bersumber dari EBET seperti biomassa maupun
ammonia (fuel switching) melalui retrofitting pada PLTU batubara.
Dengan pilihan retrofitting, umur teknis dan ekonomis PLTU batubara
dapat diperpanjang, sehingga dengan demikian bauran EBET dapat
terus meningkat melalui pemanfaatan aset eksisting yang dapat
mengurangi dampak sosial penutupan PLTU batubara.

Untuk menjaga BPP pembangkitan tenaga listrik, pilihan fuel switching


dan atau retrofitting PLTU batubara dilakukan apabila nilai buku
pembangkit tersebut telah mencapai nol. Fuel switching dan/atau
retrofitting akan membutuhkan biaya investasi tambahan untuk extend
lifetime pembangkit dan tambahan biaya retrofitting namun tetap lebih
ekonomis dibandingkan dengan deccommisioning PLTU batubara
tersebut dan menggantinya dengan membangun PLT EBT baru. Pilihan
fuel switching dan atau retrofitting dapat dipertimbangkan untuk
memenuhi kebutuhan inersia sistem tenaga listrik yang bersumber dari
mesin listrik berputar (generator) karena inersia yang dapat disediakan
oleh inverter pembangkit Variabele Renewable Energy (VRE) sangat
terbatas dan dapat mengurangi efisiensi pembangkit VRE.

2. Pembangkit Berbahan Bakar Gas (PLT Gas)

Walaupun PLT Gas memiliki emisi lebih rendah dari PLTU namun tetap
harus dikurangi untuk mencapai NZE tahun 2060 atau lebih cepat.
Teknologi pembangkit berbahan bakar gas terdiri dari PLTG, PLTGU,
PLTMG, PLTMGU. Bahan bakar gas dapat berasal dari gas alam maupun
gas hasil hilirisasi/gasifikasi batubara. Jika menggunakan gas dari hasil
gasifikasi batubara biasanya dikenal dengan Integrated coal Gasification
Combined Cycle (IGCC).

Sama seperti PLTU batubara, bahan bakar PLT Gas dapat diganti menjadi
bahan bakar yang bersumber dari EBET seperti hidrogen (fuel switching)
melalui retrofitting pada PLT Gas. Dengan pilihan retrofitting, umur teknis
dan ekonomis PLT Gas dapat diperpanjang apabila nilai buku pembangkit
tersebut telah mencapai nol. Fuel switching dan/atau retrofitting PLT Gas
akan meningkatkan bauran EBET, menjaga BPP pembangkitan tenaga
listrik dan memenuhi kebutuhan inersia, peaker dan follower pada sistem
tenaga listrik;
- 11 -

3. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)

Penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dengan menggunakan


PLTD harus dikurangi secara bertahap dan dibatasi beroperasi paling lama
sampai tahun 2030. Selanjutnya PLTD harus diganti dengan pembangkit
berbasis EBET atau apabila terdapat pilihan konversi bahan bakar minyak
menjadi bahan bakar berbasiskan EBET hal tersebut dapat dilakukan;

4. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

Teknologi PLTP mencangkup large system (flash dan dry) dan small system
(binary dan condensing). Pengembangan PLTP dilakukan secara bertahap
dan dimaksimalkan potensinya sesuai dengan kebutuhan sistem tenaga
listrik melalui pengembangan Advance Geothermal System dan sistem panas
bumi non konvensional lainnya;

5. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

Teknologi PLTA mencangkup PLTA reservoir dan PLTA run of river yang
terdiri dari PLTA skala besar, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM),
Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMH). Selain itu terdapat PLTA yang
berfungsi sebagai penyimpan energi listrik yaitu PLTA Pump Storage (PS).

Pengembangan PLTA dioptimalkan sesuai potensi dan kebutuhan sistem.


Produksi tenaga listrik PLTA dapat dikirim ke pusat-pusat beban tidak
terbatas pada pulau dimana PLTA tersebut berada namun juga ke pusat-
pusat beban di pulau lainnya. Pengembangan PLTA sangat penting karena
dapat memberikan balancing bagi intermitensi pembangkit VRE seperti
PLTS dan PLTB;

6. Pembangkit Listrik Tenaga Bioenergi

Teknologi PLT Bioenergi mencangkup Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa


(PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) dan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) yang terdiri dari Incineration dan Landfill Gas Power
Plant. Dengan target NZE, maka peran PLT Bioenergi akan menjadi semakin
penting menggantikan batubara sebagai bahan bakar pembangkit baseload.
Biomassa selain digunakan sebagai bahan bakar PLTBm dapat juga
digunakan untuk co-firing PLTU sebesar 10 sampai 30 % bahkan sampai
100 % apabila dilakukan retrofitting pada PLTU.

7. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)


Teknologi PLTS mencangkup Utility Scale Solar PV, Industrial PV–Large Scale
Grid Connected, Rooftop PV Grid Connected dan Floating PV–Large Scale Grid
Connected. Karakter intermiten PLTS menjadi tantangan untuk penyediaan
- 12 -

tenaga listrik yang aman dan andal sehingga dibutuhkan fleksibilitas grid
dan sistem kontrol teknologi tinggi. Untuk mengatasi intermiten PLTS dapat
dilakukan dengan:
a. peningkatan kualitas forecasting cuaca dan produksi PLTS;
b. teknologi storage;
c. kombinasi dengan PLTA (Pump Storage, PLTA Peaker); dan
d. smart grid.
Dengan keterbatasan potensi EBET yang lain, maka pengembangan PLTS
dimasa depan akan semakin masif terutama pengembangan PLTS atap di
perumahan, fasilitas umum, perkantoran Pemerintah, bangunan komersil
dan Kawasan Industri. Industri PLTS dalam negeri perlu terus didukung
agar agar keekonomian biaya investasi PLTS semakin murah.
8. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)
Teknologi PLTB mencangkup PLTB onshore, PLTB offshore dan PLTB small
onshore. PLTB juga memiliki karakter intermiten sehingga dibutuhkan
fleksibilitas grid dan sistem kontrol dengan teknologi tinggi. Untuk
mengatasi intermiten PLTB dapat dilakukan hal yang sama seperti PLTS.
Lokasi pengembangan PLTB perlu mendapat perhatian karena untuk
adanya dampak lingkungan berupa polusi suara akibat putaran turbin
angin.
9. Pembangkit Listrik Tenaga Laut
Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Laut mencangkup Pembangkit Listrik
Tenaga Arus Laut, Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut dan Thermal.
Energi laut juga memiliki sifat intermiten sehingga dibutuhkan fleksibilitas
grid dan sistem kontrol teknologi tinggi.
Kedepan diharapkan biaya investasi teknologi konversi energi laut dapat
kompetitif sehingga opsi pengembangan EBET di Indonesia semakin
banyak.

10. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

Teknologi PLTN mencangkup small modular reactor, pressurized water


reactor dan teknologi PLTN lainnya yang terus berkembang. Pengembangan
PLTN harus memenuhi persyaratan keselamatan (safety), keamanan
(security), dan garda aman (safeguards). Pemilihan lokasi pembangunan
harus dengan pertimbangan antara lain lokasi harus aman dari ancaman
bencana geologi, daerah tidak padat penduduk, daerah bukan lumbung
pangan, dan lain-lain.
- 13 -

Pembangunan dan pengoperasian PLTN harus mensyaratkan jaminan


pasokan bahan bakar nuklir dan pengelolaan limbah radioaktif. Untuk
memastikan keselamatan dan keamanan pembangunan dan pengoperasian
PLTN harus disetujui oleh badan pengawas tenaga nuklir yang independen.
Pembangunan dan pengoperasian PLTN dilaksanakan berdasarkan
keputusan Komite Pelaksana Program Energi Nuklir ("NEPIO").

11. Pengembangan Storage

Teknologi Storage antara lain mencangkup pump storage (PS) dan battery
energy storage system (BESS) atau teknologi storage lainnya yang terus
berkembang seiring kebutuhan transisi energi. Pada tahapan awal, biaya
investasi storage diperkirakan masih tinggi sehingga storage digunakan
sebagai balancing intermiten dari pembangkit VRE. Pada tahapan
selanjutnya, storage digunakan untuk menyimpan energi dari pembangkit
VRE dan sebagai pembangkit peaker.

RUPTL badan usaha pemegang Wilayah Usaha disusun berdasarkan RUKN.


RUPTL harus mengakomodasi rencana pengembangan sistem penyediaan
tenaga listrik dalam RUKN dan target bauran energi dalam RUPTL harus sesuai
dengan target bauran energi nasional dalam RUKN. Pencapaian target bauran
energi dapat dilakukan dengan memaksimalkan potensi EBET yang ada
dalam Wilayah Usaha, kerja sama antarpemegang Wilayah Usaha atau
pembelian sertifikat EBET. Porsi EBET dalam target bauran energi RUKN
merupakan target minimal dan porsi batubara dan bahan bakar minyak
merupakan target maksimal.

Pengembangan pembangkit tenaga listrik harus direncanakan dengan baik agar


dapat menjamin ketersediaan dengan jumlah yang cukup sehingga tidak terjadi
defisit dan over supply pada sistem tenaga listrik. Defisist tenaga listrik
berdampak terjadinya pemadaman tenaga listrik sedangkan over supply
membuat over investment yang berdampak kenaikan biaya pokok penyediaan
(BPP) tenaga listrik. Untuk itu perencanaan pengembangan pembangkit harus
memenuhi kriteria reserve margin dan Loss of Load Probability (LOLP) sesuai
aturan jaringan tenaga listrik (grid code).
- 14 -

Kebijakan Pengembangan Jaringan Transmisi Tenaga Listrik dan


Smart Grid

Perencanaan pengembangan jaringan transmisi dan gardu induk diarahkan


dapat menjangkau pusat-puat pertumbuhan beban masa depan sehingga
terdapat keserasian dan kontinuitas antara perencanaan dan pertumbuhan
beban. Beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan
jaringan transmisi tenaga listrik dan gardu induk adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas
Jaringan transmisi tenaga listrik dan gardu induk harus memiliki
kapasitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di
wilayah yang akan terhubung. Kapasitas harus dapat mempertimbangkan
pertumbuhan beban dimasa depan sehingga dapat memenuhi kebutuhan
semua jenis pelanggan seperti rumah tangga, bisnis, industri, sosial, dan
kawasan khusus lainnya;
2. Keandalan
Sistem jaringan transmisi harus dirancang dengan tingkat keandalan yang
tinggi (N-1) agar pasokan listrik tetap terjamin dan memperbaiki kualitas
penyediaan tenaga listrik (perbaikan tegangan pada sisi konsumen). Hal
ini dapat dicapai dengan melakukan perencanaan dan pengelolaan yang
baik serta menggunakan peralatan yang andal.
3. Efisiensi

Jaringan transmisi harus dirancang dengan meminimalkan kerugian daya


dan biaya operasional. Hal ini dapat dicapai dengan memilih peralatan
yang efisien dan melakukan pemeliharaan secara teratur.

4. Keselamatan

Pengembangan jaringan transmisi dan gardu induk harus memperhatikan


faktor keselamatan bagi pekerja dan masyarakat sekitar. Hal ini dapat
dicapai dengan melakukan perencanaan dan pengelolaan yang baik serta
mematuhi aturan keselamatan yang berlaku.

5. Skalabilitas

Jaringan transmisi dan gardu induk harus dirancang agar dapat dengan
mudah diperluas dan disesuaikan dengan pertumbuhan kebutuhan listrik
di masa depan.
- 15 -

6. Fleksibilitas

Sistem jaringan transmisi harus memiliki fleksibilitas dan indeks


kekuatan sistem yang baik untuk mengoptimalkan penyaluran potensi
pembangkit khususnya berbasis EBET serta kemampuan untuk
memindahkan tenaga listrik dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

7. Ketersediaan lahan:

Pengembangan jaringan transmisi dan gardu induk memerlukan lahan


yang memadai. Oleh karena itu aspek ketersediaan lahan, hak-hak
masyarakat, dan dampak lingkungan perlu dipertimbangkan.

Dalam pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik dan gardu induk,


perlu dilakukan kajian terhadap berbagai faktor tersebut di atas untuk
memastikan bahwa jaringan transmisi tenaga listrik yang dibangun dapat
berfungsi secara optimal dan memberikan manfaat yang maksimal bagi
masyarakat dan industri. Secara teknis penambahan/pengembangan
jaringan transmisi tenaga listrik dilakukan apabila pembebanan jaringan
telah mencapai 80%, selanjutnya penambahan/pengembangan gardu induk
dilakukan apabila pembebanan pada trafo telah mencapai 70%.

Adapun arah pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik adalah sebagai


berikut:

1. untuk evakuasi daya dari pembangkit tenaga listrik atau dari gardu induk
ke pusat beban yang tidak layak secara teknis dan ekonomis untuk
disalurkan melalui jaringan distribusi;
2. dalam rangka mengurangi susut jaringan tenaga listrik dan drop tegangan
sistem penyaluran karena jauhnya jarak antara pusat pembangkitan
tenaga listrik dengan pusat beban;
3. untuk interkoneksi antar pembangkit dalam satu sistem tenaga listrik
atau interkoneksi antar sistem tenaga listrik sehingga menghasilkan
penyediaan tenaga listrik yang lebih efisien dan energy mix pembangkitan
tenaga listrik yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi primer
setempat terutama sumber EBET;
4. jaringan transmisi antar pulau dapat dipertimbangkan untuk
dikembangkan dengan pertimbangan antara lain agar optimalnya
pemanfaatan sumber energi primer setempat pada suatu pulau dimana
sumber energi primer tersebut tidak dapat atau tidak ekonomis untuk
dipindah ke pulau lain, atau berdasarkan hasil kajian dinyatakan lebih
- 16 -

ekonomis membangun jaringan transmisi dibandingkan membangun


pembangkit tenaga listrik di pulau lain tersebut;
5. jaringan transmisi HVDC dapat dikembangkan antara lain untuk:
a. interkoneksi point-to-point antar sistem besar baik melalui darat
maupun laut agar kedua sistem lebih andal; dan
b. evakuasi daya point-to-point dari pembangkit tenaga listrik yang
menggunakan sumber energi primer setempat ke pusat beban atau ke
sistem tenaga listrik lain yang berjarak sangat jauh;
6. mengembangkan looping jaringan transmisi tenaga listrik untuk
meningkatkan keandalan khusus, misalnya di kawasan industri dan kota
besar;
7. memperbaiki kualitas tenaga listrik, misalnya untuk memperbaiki drop
tegangan pada suatu daerah;
8. perluasan jaringan trasnsmisi tenaga listrik dari grid yang telah ada untuk
menjangkau sistem isolated yang masih dipasok oleh PLTD dengan tetap
mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis;
9. kapasitas hantar jaringan transmisi direncanakan mampu untuk
mengantisipasi kenaikan kapasitas sistem tenaga listrik setidaknya dalam
rentang waktu 30 tahun;
10. jaringan transmisi harus memenuhi kriteria keandalan N-1, baik statis
maupun dinamis. N-1 statis adalah apabila suatu sirkit transmisi padam
maka sirkit-sirkit transmisi yang tersisa harus mampu menyalurkan
seluruh energi listrik sesuai kebutuhan beban sehingga kontinuitas
pasokan tenaga listrik terus terjaga. N-1 dinamis adalah apabila terjadi
gangguan hubung singkat 3 fasa yang diikuti oleh hilangnya 1 sirkit
transmisi, tidak boleh menyebabkan kehilangan ikatan sinkron antar
generator; dan
11. menyalurkan tenaga listrik ke Kawasan Strategis Nasional, Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK), Destinasi Pariwisata Prioritas, Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu dan
Kawasan Industri.

Sementara itu arah pengembangan gardu induk adalah sebagai berikut:

1. pengadaan minimal 1 gardu induk untuk setiap kabupaten/kota kecuali


untuk daerah kepulauan kecil yang menurut hasil kajian tidak layak
secara teknis dan ekonomi;
2. penambahan trafo gardu induk apabila pembebanan trafo telah mencapai
sekitar 70%;
- 17 -

3. jumlah trafo gardu induk dibatasi oleh ketersediaan lahan, kapasitas


transmisi dan jumlah penyulang keluar. Suatu gardu induk dapat
menampung 3 atau lebih unit trafo. Gardu induk baru akan
dikembangkan apabila gardu induk terdekat tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan beban dan tidak memungkinkan lagi dilakukan penambahan
trafo dan perlengkapan serta instrumen pendukung;
4. pembangunan GIS untuk daerah yang memiliki keterbatasan lahan atau
apabila menurut hasil kajian pembangunan GIS lebih ekonomis
dibandingkan dengan gardu induk; dan
5. untuk meningkatkan keandalan dan mengurangi risiko lamanya
pemadaman akibat penggantian trafo apabila terjadi gangguan yang
mengharuskan penggantian trafo, maka dapat dipertimbangkan
penyediaan Interbus Transformer IBT cadangan 1 fasa per lokasi GITET
jenis GIS dan 1 fasa per tipe per provinsi untuk GITET jenis konvensional.

Pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik perlu memperhatikan


Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat agar pelaksanaan
pembangunannya dapat berjalan dengan baik. Pengembangan jaringan
transmisi tenaga listrik dengan menggunakan jenis kabel tanah (underground
cable) dimungkinkan untuk dilakukan pada tempat-tempat tertentu
sepanjang memenuhi aspek teknis dan ekonomis.

Pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik yang ditujukan untuk


mendukung pelaksanaan kegiatan jual beli tenaga listrik lintas negara hanya
dapat dilakukan oleh Pemegang IUPTL setelah memperoleh izin penjualan
atau pembelian tenaga listrik lintas negara dari Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral.

Pengembangan jaringan transmisi dan gardu induk diperlukan di berbagai


wilayah terutama yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
industri. Beberapa wilayah yang memerlukan pengembangan jaringan
tranmisi tersebut meliputi:

1. Kawasan Industri dan perdagangan

Daerah yang memiliki banyak industri dan bisnis membutuhkan pasokan


listrik yang andal dan cukup untuk mendukung operasi mereka. Jaringan
transmisi dan gardu induk yang kuat dan andal sangat penting untuk
memastikan pasokan listrik yang stabil.
- 18 -

2. Kawasan Perdesaan

Di wilayah perdesaan, kebutuhan listrik sering kali lebih rendah daripada


kota besar, namun pengembangan jaringan transmisi yang efisien dan
terjangkau dapat membantu memperbaiki akses terhadap listrik bagi
masyarakat perdesaan.

3. Wilayah Terpencil

Di wilayah terpencil atau di daerah pegunungan, jaringan transmisi yang


kuat dan andal sangat penting untuk memastikan pasokan listrik yang
stabil dan aman bagi penduduk setempat.

4. Wilayah Lintas Negara;

Jaringan interkoneksi antar negara atau wilayah juga diperlukan untuk


memastikan pasokan listrik yang andal dan stabil.

5. Pusat Data dan Server:

Pusat data dan server membutuhkan pasokan listrik yang stabil dan andal
untuk menjalankan operasinya. Oleh karena itu, pengembangan jaringan
transmisi dan gardu induk yang efisien dan andal sangat penting.

Interkoneksi antar sistem tenaga secara teknis memiliki dampak positif antara
lain evakuasi daya, transfer tenaga listrik antar daerah, meningkatkan
efisiensi, meningkatkan keandalan, optimasi cadangan sistem, penurunan
biaya operasi dan dampak positif lainnya. Interkoneksi jaringan transmisi dan
pemilihan level tegangan sangat ditentukan oleh kapasitas daya yang akan
disalurkan sesuai dengan proyeksi pertumbuhan demand.

Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan menjaga kestabilan sistem, untuk


pengiriman tenaga listrik dengan kapasitas besar dan jarak jauh telah mulai
bergeser dari penggunaan sistem bertegangan AC menjadi sistem bertegangan
DC (HVDC). Penggunaan sistem transmisi arus searah (HVDC) mulai
digunakan secara besar-besaran utamanya di dua dekade terakhir. Dengan
HVDC, interkoneksi dua sistem AC asinkron dapat dilakukan. Selain itu,
sistem HVDC juga menawarkan rugi daya yang lebih rendah daripada
transmisi konvensional HVAC terutama untuk transmisi jarak jauh.

Usaha jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka kesempatan untuk


pemanfaatan bersama jaringan transmisi tenaga listrik bagi kepentingan
umum dengan memperhatikan kemampuan kapasitas jaringan transmisi
tenaga listrik dan aturan jaringan tenaga listrik (grid code). Pemegang IUPTL
- 19 -

di bidang pembangkitan tenaga listrik yang memiliki Wilayah Usaha lainnya


dan pemegang IUPTLS dapat memanfaatkan jaringan transmisi tenaga listrik
tersebut melalui mekanisme sewa atau power wheeling. Pengaturan operasi
sistem pada pemanfaatan bersama transmisi tenaga listrik dilakukan oleh
pemegang wilayah usaha.

Jaringan transmisi open access adalah jaringan transmisi yang dapat


digunakan oleh pihak lain selain pemilik aset. Open access berarti akses
terbuka untuk digunakan oleh pihak ketiga. Open access jaringan transmisi
dapat dilakukan pada jaringan transmisi yang dimiliki perusahaan listrik
yang terintegrasi vertikal (dari pembangkitan sampai distribusi) atau jaringan
transmisi yang dimiliki oleh operator jaringan transmisi independen yang
mengoperasikan jaringan transmisi sebagai bisnis terpisah.

Dengan open access, operator jaringan dapat memanfaatkan investasi mereka


dan mengoptimalkan penggunaan infrastruktur mereka. Open access
memungkinkan pihak ketiga menggunakan jaringan transmisi yang dimiliki
oleh perusahaan listrik atau operator jaringan transmisi independen untuk
mengirimkan tenaga listrik dari sumber pembangkit EBET ke konsumen.
Open access ini memungkinkan persaingan yang sehat dan dapat
meningkatkan efisiensi dan keandalan sistem tenaga listrik secara
keseluruhan. Open access pada jaringan transmisi dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:

1. Menerapkan peraturan dan regulasi

Pemerintah dapat membuat peraturan dan regulasi yang memerintahkan


operator jaringan transmisi untuk memberikan akses terbuka ke jaringan
transmisi. Ini dapat mencakup persyaratan untuk menyediakan kapasitas
transmisi yang cukup dan menetapkan tarif yang adil dan terukur.

2. Meningkatkan transparansi

Operator jaringan transmisi harus mempublikasikan informasi tentang


kapasitas transmisi yang tersedia dan tarif yang dikenakan. Ini akan
membantu pihak lain yang ingin mengakses jaringan transmisi untuk
memahami persyaratan dan biaya yang terlibat.

3. Memungkinkan akses untuk berbagai jenis teknologi

Operator jaringan transmisi harus memungkinkan akses untuk berbagai


jenis teknologi pembangkit listrik, termasuk teknologi terbarukan seperti
- 20 -

tenaga surya dan angin. Hal ini akan membantu meningkatkan efisiensi
dan keberlanjutan sistem energi.

Dengan open access pada jaringan transmisi, berbagai pihak dapat


menggunakan jaringan tersebut secara adil, transparan, dan non-
diskriminatif, sehingga mendorong persaingan dan inovasi di sektor energi
listrik. Open access juga dapat membantu mengurangi biaya dan
meningkatkan efisiensi sistem tenaga listrik, karena memungkinkan
penggunaan infrastruktur yang ada secara optimal dan memungkinkan
partisipasi dari berbagai penyedia layanan dan operator jaringan.

Smart Grid adalah suatu sistem grid tenaga listrik yang modern dan canggih
dalam melakukan monitoring dan kontrol dari supply dan demand pada
sistem tenaga listrik. Smart grid juga dapat berfungsi untuk mengintegrasikan
sumber EBET, energy storage dan membentuk komunikasi cerdas pada
jaringan sehingga dapat meningkatkan efisiensi, keandalan dan
keberlanjutan pada jaringan sistem tenaga listrik.

Smart grid perlu dikembangkan pda sistem tenaga listrik karena memberikan
manfaat dibandingkan sistem konvensional antara lain:

1. mampu meningkatkan partisipasi konsumen sebagai prosumer listrik


terutama dalam pemanfaatan PLTS Atap;
2. mampu meningkatkan efisiensi dan keandalan dalam penyediaan tenaga
listrik;
3. mampu meningkatkan ketahanan dan fleksibilitas sistem jaringan tenaga
listrik;
4. kemampuan lebih baik dalam mengintegrasikan sumber energi berbasis
EBET;

Smart grid juga memberikan keuntungan pada stakeholder antara lain:

1. konsumen dapat melakukan penghematan biaya, mengurangi


penggunaan energi dan memonitor serta mengontrol penggunaan energi
baik secara rutin;
2. pemegang wilayah usaha dapat lebih mengoptimasikan operasi sistem
tenaga listrik, menurunkan biaya produksi, menurunkan susut jaringan,
meningkatkan keandalan dan ketahanan sistem jaringan tenaga listrik;
3. Pemerintah dapat mempromosikan energi efisiensi, pengurangan emisi
karbon dan mendukung integrasi pengembangan sumber EBET dalam
jaringan tenaga listrik;
- 21 -

4. provider teknologi atau badan usaha mampu membantu mengembangkan


dan memberikan pelayanan jaringan smart grid.

Smart Grid akan dikembangkan pada pembangkit, jaringan transmisi dan


jaringan distribusi agar monitoring dan kontrol jaringan dapat dilakukan
secara maksimal. Pengembangkan infrastruktur untuk mendukung smart
grid antara lain:

1. digitalisasi pembangkit untuk peningkatan efisiensi.


2. substation automation/digital sub station (DSS).
3. distribution grid management:
a. digitalization of transmission and distribution assets;
b. Online monitoring losses (OML);
c. Fault, Locate, Isolate, Recovery (FLIR);
d. Zero Down Time (ZDT) pada kawasan khusus (KSPN, KI dan Kawasan
Ekonomi lainnya);
4. pembangunan EV Charging Infrastructure;
5. Implementasi Advanced Metering Infrastructure (AMI);
6. Smart Micro Grid (Hybrid Diesel + Photovoltaic) pada daerah-daerah yang
masih menggunakan PLTD.

Smart Grid menggunakan penempatan sensor, meter, dan teknologi


komunikasi untuk mengumpulkan data pasokan dan permintaan listrik
secara real-time. Data ini dianalisis oleh perangkat lunak dengan
menggunakan algoritma untuk mengoptimalkan operasi jaringan,
mengurangi pemborosan energi, dan meningkatkan keandalan pada operasi
sistem tenaga listrik. Smart grid juga memungkinkan komunikasi dua arah
antara grid dan konsumen, memungkinkan konsumen menyesuaikan
penggunaan energi mereka dan berpartisipasi aktif sebagai prosumer.
Teknologi informasi dan komunikasi mempunyai peranan penting untuk
mendukung smart grid. Oleh karenanya pembangunan infrastruktur
informasi dan komunikasi juga harus disiapkan. Keamanan jaringan
informasi dan komunikasi juga perlu diperhatikan dengan serius dalam
menghadapi serangan siber karena dapat merugikan dalam penyediaan
tenaga listrik pada smart grid.
- 22 -

Kebijakan Pengembangan Sistem Distribusi, Listrik Pedesaan


dan Listrik Sosial

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk menyediakan dana


untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan
tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik
di daerah terpencil dan perbatasan serta pembangunan listrik perdesaan.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menyediakan
akses listrik bagi masyarakat tidak mampu (listrik sosial).
Jaringan distribusi sangat penting karena tenaga listrik yang diproduksi dari
pusat pembangkit dan jaringan transmisi dapat didistribusikan ke berbagai
daerah atau wilayah yang membutuhkan. Jaringan distribusi diperlukan
untuk memberikan akses tenaga listrik bagi seluruh masyarakat.
Pengembangan jaringan distribusi dilakukan untuk konsumen Tegangan
Menengah (TM) dan Tegangan Rendah (TR) dan pengembangan listrik
perdesaan dilakukan dengan perluasan akses pelayanan listrik pada wilayah
yang belum terjangkau listrik terutama yang tidak menguntungkan secara
bisnis. Sedangkan pengembangan listrik sosial berdasarkan kondisi jaringan
eksisting dari pemegang wilayah usaha di daerah pemukiman masyarakat
yang menjadi calon penerima bantuan.
Pengembangan jaringan distribusi dan gardu distribusi termasuk listrik
perdesaan dilaksanakan berdasarkan kondisi geografis, sumber energi primer
setempat, serta sebaran pemukiman masyarakat. Pengembangan jaringan
distribusi di daerah isolated dan perdesaan dapat mempertimbangkan sumber
EBET setempat sebagai energi primer.
Strategi pengembangan jaringan distribusi di masa depan harus
mengantisipasi perkembangan distributed generation, prosumer, smart
metering, dan open access. Mekanisme pengembangan distributed generation,
prosumer, smart metering, dan open access dilakukan sesuai dengan grid
code/distribution code.
Pengembangan distributed generation diperlukan untuk:
1. mengurangi kerugian transmisi dan distribusi;
2. mendukung peningkatan bauran EBET dalam energi primer;
3. meningkatkan keandalan pasokan listrik dengan meningkatkan
fleksibilitas jaringan distribusi;
4. mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan energi
Pengembangan distributed generation pada jaringan distribusi dilakukan
melalui analisis beban jaringan, analisis profil tegangan, identifikasi kapasitas
- 23 -

jaringan, menentukan lokasi tambahan pembangkit EBET, implementasi


kontrol jaringan cerdas, monitoring dan pemeliharaan.
Untuk mendukung pengembangan prosumer, Pemerintah telah membuat
kebijakan prosumer antara lain pelanggan PLTS Atap, namun dilarang
memperjualbelikan tenaga listrik yang dihasilkan dari PLTS Atap. Kelebihan
energi listrik dari sistem PLTS Atap yang masuk ke jaringan pemegang IUPTLU
dapat diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik. Pemegang IUPTLU
dapat mengembangkan infrastruktur jaringan distribusi untuk
mengantisipasi munculnya prosumer di masa depan dengan pemberian kuota
penambahan. Prosumer diperlukan untuk meningkatkan partisipasi pada
masyarakat dalam mendorong bauran EBET dalam pembangkitan tenaga
listrik.
Pengembangan smart metering diperlukan untuk mengukur penggunaan
energi dengan lebih akurat. Sehingga dari sisi pelanggan dapat diuntungkan
dengan tagihan listrik yang lebih akurat, memastikan pasokan daya yang
diberikan sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan, dan mempercepat
proses penagihan. Dari sisi penyedia diuntungkan juga dengan identifikasi
masalah jaringan yang lebih akurat sehingga tindaklanjutnya juga lebih cepat.
Smart metering dan prosumer akan dikembangkan dengan lebih efektif jika
lokasi dapat memiliki kriteria:
1. kepadatan populasi dan konsumen listrik yang tinggi
2. ketersediaan infrastruktur jaringan dan teknologi jaringan yang memadai
untuk mengirim dan menerima informasi tentang konnsumsi energi.
3. ketersediaan tenaga teknis yang terlatih di lokasi tersebut.

Mekanisme open access pada jaringan distribusi dilakukan dengan


pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik untuk menyalurkan tenaga
listrik dari pembangkit sampai titik konsumen dengan mengikuti aturan
distribusi tenaga listrik (Distribution Code). Open access dapat berlaku untuk
pemegang IUPTLU terintegrasi, IUPTLU distribusi tenaga listrik, dan IUPTLS.
Antar pemegang izin usaha tersebut dapat melakukan kerjasama dalam
pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik untuk menyalurkan tenaga
listrik maupun operasi paralel.

Guna mendukung pembangunan ketenagalistrikan dan bantuan bagi


masyarakat tidak mampu serta menjaga kelangsungan upaya perluasan
akses pelayanan listrik pada wilayah yang belum terjangkau listrik,
mendorong pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan
kesejahteraan, maka Pemerintah menjalankan program listrik perdesaan yang
- 24 -

merupakan kebijakan Pemerintah dalam bidang ketenagalistrikan untuk


perluasan akses listrik pada wilayah yang belum terjangkau jaringan
distribusi tenaga listrik di daerah perdesaan.

Program listrik perdesaan dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi


ketersediaan daya pada lokasi setempat, ketersediaan sarana prasarana
khususnya akses jalan untuk mobilisasi material dan diutamakan pada
provinsi dengan rasio elektrifikasi yang masih rendah. Rasio elektrifikasi
adalah perbandingan antara jumlah rumah tangga yang sudah menikmati
tenaga listrik dengan jumlah rumah tangga secara keseluruhan pada suatu
wilayah.

Pemerintah mengharapkan dengan program listrik perdesaan ini dapat


mendorong peningkatan rasio elektrifikasi. Selanjutnya peningkatan rasio
elektrifikasi akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat perdesaan,
meningkatkan kualitas bidang pendidikan dan kesehatan, mendorong
produktivitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat perdesaan,
memudahkan dan mempercepat masyarakat perdesaan memperoleh
informasi dari media elektronik serta media komunikasi lainnya,
meningkatkan keamanan dan ketertiban yang selanjutnya diharapkan juga
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Ada beberapa kondisi yang diperlukan agar kebijakan pelaksanaan program


listrik perdesaan berjalan sukses dan berkelanjutan. Tantangan khusus
dalam pengembangan listrik perdesaan adalah mencakup kepadatan
penduduk yang rendah, permintaan energi listrik yang rendah, dan
perekonomian perdesaan yang belum berkembang. Pembangunan listrik
perdesaan sendiri akan berjalan dengan baik jika layanan tenaga listrik di
perdesaan dapat diandalkan, terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat.

Program listrik perdesaan juga harus menguntungkan Pemerintah dan


masyarakat yang dilayani seperti pelayanan publik yang membutuhkan
tenaga listrik yang meliputi kesehatan, pendidikan dasar, pasokan air bersih
dan transportasi. Tantangan dalam listrik perdesaan antara lain kemampuan
masyarakat perdesaan untuk membayar layanan tenaga listrik yang masih
rendah dan adanya tumpang tindih lokasi desa dengan kawasan kehutanan.

Pemerintah terus berupaya mengembangkan beberapa alternatif kebijakan


untuk mempercepat tersedianya akses listrik bagi masyarakat perdesaan dan
mengantisipasi tantangan di masa yang akan datang, yaitu melalui
- 25 -

pengembangan jaringan distribusi pada sistem tenaga listrik existing maupun


pembangunan minigrid (pembangkit komunal) dan telah pula membuka
kesempatan kepada pihak swasta, BUMD dan koperasi untuk berperan serta
menyediakan tenaga listrik skala kecil di perdesaan belum berkembang,
terpencil, perbatasan dan pulau kecil berpenduduk dengan memprioritaskan
penggunaan sumber energi setempat.

Untuk penyediaan tenaga listrik bagi rumah-rumah di perdesaan yang secara


geografis sangat terisolir, distribusi penduduknya tersebar dan sulit dijangkau
oleh jaringan tenaga listrik maupun pembangunan minigrid, Pemerintah telah
memprogramkan pemasangan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE).
Saat ini Pemerintah memprogramkan penyediaan Alat Penyalur Daya Listrik
(APDAL) beserta Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) sebagai sarana
distribusi tenaga listrik kepada masyarakat. APDAL merupakan piranti
penyaluran daya listrik berbasis baterai yang dapat diisi ulang pada SPEL
dengan memanfaatkan energi setempat sebagai sumber energinya (surya, air
dan sebagainya). Setiap penerima APDAL seperti rumah masyarakat dan
fasilitas umum/sosial/agama juga akan dipasang Instalasi Rumah Arus
Searah (IRAS) beserta lampu.

Kebijakan Investasi dan Pendanaan Tenaga Listrik

Investasi cenderung tertarik pada bidang maupun negara yang secara mutlak
memiliki risiko (risk) yang lebih rendah dan berpeluang memperoleh return
yang tinggi. Investasi dengan risk yang tinggi umumnya berkaitan dengan
peluang return yang tinggi pula. Kebijakan investasi dilakukan dengan
menyempurnakan produk regulasi yang mendorong investasi, pemberian
insentif baik fiskal maupun non fiskal, dan memanfaatkan semaksimal
mungkin pendanaan yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.

Pemerintah berupaya memperkecil risiko investasi sektor ketenagalistrikan


dengan memberikan jaminan kepastian hukum melalui penerbitan perangkat
peraturan perundang-undangan yang menjamin kegiatan pelaku usaha,
menghormati kontrak-kontrak yang telah disepakati bersama, dan penerapan
law enforcement. Perbaikan fungsi regulasi dan birokrasi dilakukan dengan
mempermudah prosedur perizinan, mempercepat waktu proses pengadaan,
pemberian subsidi kepada PT PLN (Persero) sebagai upaya menjaga cash flow
agar dapat memenuhi kewajiban dengan pihak lain, dan penetapan Harga
Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero).
- 26 -

Dalam hal kepemilikan usaha di bidang ketenagalistrikan, terdapat beberapa


hal yang diatur untuk semua bidang usaha ketenagalistrikan tidak dibatasi
kepemilikan modalnya kecuali yang dialokasikan atau kemitraan dengan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) sebagai berikut:

1. pembangkitan tenaga listrik dengan kapasitas kurang dari 1 MW;


2. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik atas intalasi
penyediaan tenaga listrik tegangan rendah/menengah;
3. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik atas instalasi
penyediaan tenaga listrik atau instalasi pemanfaatan tenaga listrik
tegangan rendah/menengah;
4. konsultasi di bidang instalasi tenaga listrik.

Pengaturan kepemilikan usaha tersebut diharapkan dapat meningkatkan


iklim investasi dengan mempertimbangkan peran serta Koperasi dan UMKM.

Dengan keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh Pemerintah dan PT PLN


(Persero), partisipasi swasta dalam invetasi pembangunan infrastruktur
khususnya di pembangkit diberikan kesempatan yang luas apabila:

1. membutuhkan pendanaan yang sangat besar;


2. risiko konstruksi yang cukup besar, terutama lokasi baru yang
membutuhkan proses pembebasan lahan;
3. risiko pasokan bahan bakar yang cukup tinggi atau yang belum
mempunyai kapasitas pasokan gas dan/atau infrastrukturnya;
4. pembangkit dari sumber energi baru dan terbarukan;
5. ekspansi dari pembangkit yang telah ada; dan/atau
6. terdapat beberapa investor/developer yang akan mengembangkan
pembangkit di suatu wilayah tertentu.

Pendanaan proyek penyediaan tenaga listrik dengan dana Pemerintah dan


Pemerintah Daerah masih dapat dilakukan untuk proyek yang dilaksanakan
langsung oleh Pemerintah ataupun melalui BUMN atau BUMD. Sumber
pendanaan melalui pinjaman Pemerintah yang diteruskan ke BUMN atau
Subsidiary Loan Agreement (SLA) untuk memperoleh pinjaman investasi
dengan bunga yang rendah. SLA pelaksanaannya akan dilakukan
pengendalian oleh Pemerintah atas besaran pinjaman yang diperbolehkan.
Pemerintah secara rutin mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN)
untuk membantu BUMN membiayai proyek-proyek yang sudah
direncanakan. Alokasi anggaran melalui PMN ini untuk membiayai proyek
peningkatan rasio elektrifikasi, konversi pembangkit listrik tenaga diesel
- 27 -

menjadi EBT, peningkatan kapasitas penyaluran tenaga listrik, dan


peningkatan kapasitas pembangkit EBT.

Untuk pendanaan yang bersifat fleksibel, BUMN dapat secara langsung


memperoleh pendanaan untuk investasinya melalui penerbitan obligasi,
pinjaman langsung, ataupun revenue. Sumber pendanaan yang terakhir
adalah dari swasta murni yang melaksanakan proyek-proyek Independet
Power Producer (IPP) ataupun Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
Proyek-proyek IPP itu sendiri terus mengalami transformasi dalam
pelaksanaannya.

Terkait dengan kemampuan pendanaan yang dimiliki oleh PT PLN (Persero),


kebijakan investasi yang diprioritaskan yang harus dilakukan adalah:

1. pelaksanaan program listrik perdesaan;


2. pembangunan dan perkuatan jaringan transmisi dan distribusi tenaga
listrik;
3. pembangunan dan perkuatan gardu induk;
4. pembangunan pembangkit peaker; dan
5. pembangunan pembangkit tenaga listrik di remote area.

Untuk meningkatkan investasi dibidang ketenagalistrikan, salah satu cara


yang ditempuh oleh Indonesia adalah dengan menjalin kerja sama dengan
negara mitra ataupun forum internasional. Pada saat ini Indonesia telah
menjalin kerja sama dengan negara mitra terkait dengan ketenagalistrikan
baik dalam forum multilateral, regional, maupun dalam forum bilateral
dengan negara mitra pembangunan. Dalam forum multilateral Indonesia
tergabung dalam forum Group of Twenty (G20), dalam forum regional,
Indonesia tergabung dalam forum Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan kerja sama regional
lainnya sedangkan dalam kerja sama bilateral secara aktif Indonesia menjalin
kerja sama yang erat dengan negara mitra pembangunan seperti Amerika
Serikat, Jepang, Jerman, Korea, Denmark, UK, Republik Rakyat Tiongkok,
dan masih banyak lagi.

Dengan kerja sama tersebut, Indonesia mendapat banyak manfaat untuk


mensukseskan program-program kelistrikan di Indonesia. Beberapa program
itu terwujud dalam bentuk ASEAN Power Grid (APG) yaitu interkonektifitas
listrik-listrik diantara negara ASEAN, capacity building dengan negara-negara
yang lebih maju untuk sharing knowledge penerapan kelistrikan untuk
- 28 -

penerapan energi yang lebih bersih, maupun dukungan dalam hal pembuatan
kebijakan terkait ketenagalistrikan di Indonesia.

Kebijakan Bauran Energi Pembangkitan Tenaga Listrik

Pemanfaatan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik diatur sesuai


dengan KEN. Pemerintah menargetkan porsi EBET terus meningkat menjadi
paling sedikit sebesar 23% pada tahun 2025 sepanjang nilai keekonomiannya
terpenuhi. Untuk mencapai target pemanfaatan EBET tersebut diperlukan
regulasi dan insentif yang lebih menarik.

Untuk mendukung target porsi EBET tersebut, diharapkan bauran EBET dalam
pembangkitan tenaga listrik pada tahun 2025 dapat lebih tinggi dari 23%,
sementara itu porsi gas sekitar 22%, BBM paling besar 0,4%, dan sisanya
batubara paling besar 55%. Kemudian pada tahun 2060 dapat terwujud emisi
karbon nol bersih (NZE) dengan tetap mengutamakan ketahanan energi dan
kemandirian energi nasional. Target bauran energi tersebut berlaku baik bagi
PT PLN (Persero) maupun pemegang Wilayah Usaha lainnya dimana dalam
upaya pencapaiannya dapat dilakukan kerjasama antar pemegang Wilayah
Usaha. Dalam hal Wilayah Usaha mempunyai porsi bauran EBET lebih tinggi
dari target Nasional maka kelebihan porsi tersebut dapat menjadi pengurang
porsi bauran energi fosil. Sedangkan bagi Wilayah Usaha yang mempunyai porsi
bauran EBET100% maka tidak perlu memenuhi target bauran energi fosil.

Secara teknis, untuk mendukung peningkatan porsi EBET yang yang bersifat
intermiten (variable renewable energy), fleksibilitas grid menjadi syarat penting
agar keandalan sistem tenaga listrik tetap terjaga, dengan demikian perlu
didorong agar thermal powerplant seperti PLTU batubara menjadi lebih flexible.

Dalam rangka mendukung pencapaian target bauran EBET, selain mendorong


percepatan pembangunan pembangkit dari EBET, Pemerintah juga mendorong
pencampuran biomassa dengan batubara sebagai bahan bakar atau cofiring
PLTU yang telah beroperasi. Penerapan teknologi cofiring PLTU dimasa depan
akan terus dikembangkan dan ditingkatkan. Secara teknologi, bahan bakar
PLTU batubara dapat diganti (fuel switching) menjadi bahan bakar yang
bersumber dari EBET seperti biomassa maupun ammonia melalui retrofitting
PLTU. Dengan pilihan retrofitting, umur teknis dan ekonomis PLTU batubara
dapat diperpanjang, sehingga bauran EBET dapat terus meningkat melalui
- 29 -

pemanfaatan aset eksisting PLTU serta dapat mengurangi dampak sosial


penutupan PLTU batubara.

Untuk mengurangi ketergantungan impor BBM sekaligus meningkatkan


pemanfaatan sumber EBET maka Pemerintah terus mendorong penggunaan
Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai substitusi BBM pada pembangkit tenaga
listrik. Penggunaan BBM untuk pembangkit harus diminimalkan dan terus
dibatasi penggunaannya, kecuali untuk mengatasi daerah krisis penyediaan
tenaga listrik jangka pendek. Penurunan penggunaan BBM untuk pembangkit
tenaga listrik sejalan dengan KEN bahwa pemanfaatan BBM hanya untuk
transportasi dan komersial yang belum bisa digantikan dengan energi atau
sumber energi lainnya.

Dalam KEN ditetapkan bahwa sumber-sumber energi nasional yang didorong


untuk dimanfaatkan dalam pembangkitan tenaga listrik adalah sebagai berikut:
1. sumber energi terbarukan dari jenis energi aliran dan terjunan air, energi
panas bumi, energi gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, energi angin,
energi sinar matahari, biomassa dan sampah;
2. sumber energi baru berbentuk padat dan gas; dan
3. gas bumi, batubara.

Untuk menjaga keamanan pasokan energi primer, maka diprioritaskan


pemanfaatan potensi EBET setempat untuk tenaga listrik. Domestic Market
Obligation (DMO) gas bumi diperlukan untuk menjaga keamanan pasokan gas
PLT Gas. Hal ini dilakukan karena PLT Gas dibutuhkan pada saat transisi
energi. Kedepan bahan bakar PLT Gas dapat diganti (fuel switching) menjadi
bahan bakar yang bersumber dari EBET seperti hidrogen melalui retrofitting PLT
Gas. Dengan pilihan retrofitting, umur teknis dan ekonomis PLT Gas dapat
diperpanjang apabila nilai buku pembangkit tersebut telah mencapai nol. Fuel
switching dan/atau retrofitting PLT Gas dan PLTU akan meningkatkan bauran
EBET, menjaga BPP pembangkitan tenaga listrik dan memenuhi kebutuhan
inersia, peaker dan follower pada sistem tenaga listrik;

Dalam upaya mendorong pemanfaatan sumber EBET yang lebih besar untuk
penyediaan tenaga listrik, penelitian dan kajian kelayakan merupakan salah
satu faktor penting yang harus diperhatikan untuk dilaksanakan agar
pengembangannya dapat dilakukan secara maksimal. Dengan demikian tidak
tertutup kemungkinan untuk dilakukannya kajian ataupun studi pemanfaatan
energi nuklir dalam penyediaan tenaga listrik.
- 30 -

Sejalan dengan KEN, pemanfaatan energi nuklir dilakukan dengan


mempertimbangkan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar,
mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi EBET sesuai nilai
keekonomiannya. Pemanfaatan energi nuklir dapat dipertimbangkan untuk
dapat beroperasi setelah tahun 2030.

Setiap pengusahaan instalasi nuklir wajib memperhatikan keselamatan dan


risiko kecelakaan serta menanggung seluruh ganti rugi kepada pihak ketiga
yang mengalami kerugian akibat kecelakaan nuklir. Faktor lain yang perlu
dipertimbangkan adalah kemandirian industri penunjang dan jasa penunjang
nasional dalam pemanfaatan energi nuklir.

Dengan meningkatnya porsi EBT pada bauran energi, maka dapat mendukung
komitmen Pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca
(GRK). Komitmen tersebut tercantum dalam dokumen Updated Nationally
Determined Contribution (NDC) Indonesia, dimana pada sektor energi memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisi sebesar 314 juta ton CO2e atau sebesar
11% dari total target nasional pada tahun 2030 yang dibandingkan dengan
kondisi Business as Usual (BaU) dengan upaya sendiri dan 446 juta ton CO2e
atau sebesar 15,5% dengan dukungan dari internasional. Selain itu juga,
meningkatnya porsi EBT dapat mendukung rencana Pemerintah Indonesia
untuk Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat.

Kebijakan Manajemen Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga


Listrik

Untuk optimalisasi penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik baik dari sisi
teknis maupun ekonomis maka diperlukan Demand Side Management (DSM)
dan Supply Side Management (SSM). Program DSM dilakukan untuk
mengendalikan pertumbuhan permintaan tenaga listrik sehingga
pembangunan pembangkit khususnya pembangkit beban puncak bisa
dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga listrik bagi masyarakat yang
belum mendapatkan akses tenaga listrik.

Program DSM dapat dilakukan melalui:


1. penghematan pemakaian tenaga listrik melalui:
a. penggunaan teknologi peralatan pemanfaat tenaga listrik yang lebih
efisien;
b. penggunaan alat listrik seperlunya, dan lain-lain.
2. perbaikan faktor beban melalui:
- 31 -

a. mengurangi pemakaian tenaga listrik saat beban puncak;


b. meningkatkan konsumsi pada saat di luar waktu beban puncak; atau
c. menggeser konsumsi saat beban puncak ke luar waktu beban puncak.
Program SSM dapat dilakukan antara lain melalui:
1. peningkatan kinerja pembangkit; dan
2. pemanfaatan excess power dan captive power.

Kombinasi program DSM dan SSM dapat dilakukan dengan pembangunan


PLTA Pumped Storage. Hal ini berdampak positif dalam perbaikan faktor beban
karena dapat menggantikan penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak
maupun gas pada saat beban puncak.

Pemegang IUPTL yang Memiliki Wilayah Usaha dapat melakukan pembelian


tenaga listrik dari pemegang Izin Operasi melalui skema excess power untuk
memperkuat sistem tenaga listrik atau menurunkan BPP Pembangkit.
Pembelian excess power dilakukan dengan jangka waktu kontrak sesuai
kebutuhan sistem (dapat kurang atau lebih dari 1 tahun), namun harganya
dievaluasi setiap tahun sesuai dengan perubahan BPP. Untuk pengoperasian
pembangkit harus mengacu pada Aturan Jaringan sistem atau aturan distribusi
sistem.

Pemegang IUPTL yang memiliki Wilayah Usaha dapat bekerjasama untuk


memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Wilayah Usahanya melalui pemanfaatan
bersama jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik. Pemanfaatan bersama
jaringan transmisi dilaksanakan sesuai kemampuan kapasitas dan aturan
jaringan transmisi. Pengaturan operasi dilakukan oleh operator sistem yang
mengoperasikan sistem paling besar. Sedangkan pemanfaatan bersama
jaringan distribusi dilaksanakan sesuai kemampuan kapasitas dan aturan
distribusi serta pengaturan operasi distribusi dilakukan oleh Pemegang IUPTL
yang Memiliki Wilayah Usaha.

Selain kerjasama penyediaan tenaga listrik, salah satu bentuk efisiensi


penyediaan tenaga listrik adalah pelaksanaan operasi sistem melalui
pembangkitan dengan biaya termurah (least cost). Pengendali operasi sistem
(dispatcher) berperan mengendalikan operasi sistem (dispatch) pembangkitan
agar aman dan andal sesuai grid code. Dalam perencanaan dan pelaksanaan
operasi sistem, dispatcher harus dapat mempertimbangkan kondisi
pembangkitan dengan biaya termurah dan teknis operasional pembangkit
dalam memenuhi prakiraan beban dengan tetap memperhatikan standar
- 32 -

kualitas pelayanan dan kendala jaringan. Dispatcher juga perlu memperhatikan


setiap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT PLN (Persero) dan Badan
Usaha.

Konservasi Energi Bidang Ketenagalistrikan

Roadmap Konservasi Energi bidang ketenagalistrikan disusun dengan


mempertimbangkan strategi dan sasaran Konservasi Energi masing-masing
sektor pengguna energi meliputi 10 (sepuluh) unsur yaitu perencanaan
program, regulasi, standardisasi, sertifikasi, sosialisasi, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan pelatihan, monitoring dan pengawasan,
pelaksanaan program, dan lainnya. Kesepuluh unsur tersebut dikelompokkan
ke dalam 2 (dua) kegiatan sebagai berikut:

1. kegiatan penyediaan energi;


2. kegiatan pemanfaatan energi.

Perencanaan konservasi energi bidang ketenagalistrikan memperhatikan arah


kebijakan konservasi energi dan kebijakan energi nasional yaitu penurunan
intensitas energi 1% per tahun, pencapaian target Nationally Determined
Contribution (NDC) dan pencapaian NZE 2060 sektor energi.

Penerapan konservasi energi dan efisiensi energi di pembangkit listrik antara


lain berupa konversi dari single cycle ke combined cycle, pemanfaatan
teknologi High Efficiency Low Emission (HELE) pada PLTU batubara,
peningkatan efisiensi melalui kegiatan retrofitting turbin, dan rehabilitasi
dan/atau peningkatan efisiensi pembangkit listrik eksisting. Peningkatan
efisiensi energi pembangkit listrik diharapkan dapat menghemat pemakaian
bahan bakar sehingga dapat mengurangi tingkat emisi GRK yang dihasilkan.
Sedangkan peningkatan efisiensi dan konservasi energi di sisi demand
dilakukan melalui upaya manajemen energi, penggunaan peralatan
pemanfaatan energi yang efisien melalui penerapan Standar Kinerja Energi
Minimuum (SKEM) dan fuel switching.

Pemerintah Indonesia telah menyusun rencana peta jalan NZE dimana salah
satu kegiatan yang dilakukan adalah retirement PLTU dan tidak lagi
menggunakan pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil. Dengan
pelaksanaan kedua hal tersebut, maka emisi GRK yang dihasilkan dari sub
sektor ketenagalistrikan akan berkurang secara drastis.
- 33 -

Konservasi Energi pada Sisi Penyediaan Energi di Pembangkit


Listrik

Roadmap konservasi energi untuk kegiatan penyediaan energi mencakup


penggunaan clean coal technology pada PLTU batubara, program peningkatan
efisiensi energi pada pemakaian sendiri serta pembangkitan tenaga listrik
yang efisien dan pelaksanaan manajemen aset pembangkit tenaga listrik.

Pemanfaatan lebih banyak bahan bakar berbasis biomasa untuk digunakan


secara bersama (co-firing) dengan batubara pada PLTU secara langsung akan
dapat menurunkan emisi GRK di sektor pembangkitan listrik Indonesia di
masa mendatang. Co-firing pada PLTU batubara merupakan salah satu cara
untuk meningkatan bauran energi terbarukan yang dapat dilakukan tanpa
memerlukan biaya investasi yang signifikan sekaligus dapat menjadi solusi
penanganan sampah. Hasil uji coba co-firing secara komersial oleh PLN
menunjukkan bahwa co-firing layak secara teknis dan tidak mengganggu
keandalan operasional pembangkit. Oleh karena itu, co-firing selain
meningkatkan efisiensi energi di sisi supply juga dapat menjadi salah satu
strategi krusial untuk mempercepat peningkatan bauran EBET.

Suatu pembangkit tenaga listrik didesain beroperasi secara ekonomis selama


umur tekno-ekonomisnya (economic lifetime). Sebuah unit pembangkit dapat
menjalani mid-life refurbishment untuk mempertahankan kapasitas, efisiensi,
menjaga kesiapan dan keandalan mesin yang sesuai sifatnya harus dipelihara
dan diganti peralatan yang telah aus. Kemudian, pada akhir umurnya,
pembangkit masih dapat diperpanjang umurnya (life extention) dengan
melakukan rehabilitasi (refurbishment) pada komponen-komponen tertentu.
Untuk itu, diperlukan kajian manajemen aset agar umur pengoperasian
pembangkit listrik dapat diperpanjang atau menghentikan pengoperasiannya
karena sudah tidak ekonomis.

Konservasi Energi pada Sisi Pemanfaatan Energi

Manajemen Energi

Kegiatan manajemen energi mewajibkan pengguna energi besar yang


menggunakan energi ≥ 6.000 TOE per tahun untuk menerapkan manajemen
energi yang meliputi:

1. menunjuk manajer energi;


2. menyusun program konservasi energi;
3. Melaksanakan audit energi secara berkala;
- 34 -

4. Melaksanakan hasil audit energi; dan


5. Melaporkan pelaksanaan konservasi energi kepada pemerintah.

Pelaksanaan konservasi energi khususnya manajemen energi di sektor


pengguna energi diharapkan dapat lebih ditingkatkan lagi mencakup
mandatori manajemen energi sektor industri dan transportasi yang
direncanakan mencapai ≥ 4.000 TOE, dan bangunan gedung ≥ 500 TOE.
Penerapan manajemen energi pada industri yang mengonsumsi ≥ 6.000 TOE
pada tahun 2020 mampu menurunkan emisi sebesar 6,7 juta ton CO2e.

Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM)

Labelisasi pada peralatan pemanfaat energi merupakan program


pembubuhan label pada peralatan pemanfaat energi listrik untuk keperluan
rumah tangga dan sejenisnya, yang menyatakan bahwa produk peralatan
tersebut memenuhi syarat-syarat hemat energi. Label yang dibubuhkan pada
peralatan pemanfaat tenaga listrik untuk keperluan rumah tangga dan
sejenisnya, yang menyatakan bahwa produk peralatan tersebut memenuhi
syarat-syarat hemat energi. Label Tanda Hemat Energi (LTHE) merupakan
validasi tertinggi di tingkat nasional terhadap peralatan pemanfaat energi
yang memberikan informasi sekaligus merekomendasikan masyarakat untuk
memilih produk dengan efisiensi energi yang tinggi. Dengan tercantumnya
LTHE pada produk, konsumen semakin yakin terhadap produk tersebut serta
menjamin kualitas produk dalam hal efisiensi energi.

Bagi produsen, LTHE berperan penting dalam menjamin kelayakan tingkat


efisiensi energi produk dan menjadi pilihan utama bagi konsumen serta
mengesampingkan produk kompetitor yang belum memiliki LTHE. Dengan
adanya LTHE, Pemerintah berharap mampu mendorong produsen untuk
selalu meningkatkan kualitas produk dalam hal efisiensi energi dalam rangka
penghematan energi nasional.

Label Hemat Energi (LHE) merupakan solusi cerdas bagi masyarakat dalam
melakukan penggunaan energi, produk berlabel hemat energi tidak hanya
menghemat biaya listrik per bulan, tetapi juga bersifat ramah pada
lingkungan.

Sebagai konsumen, penting untuk menggunakan peralatan yang telah dilabel


hemat energi. Harga murah tidak selalu mendatangkan berkah. Alih-alih
menghemat biaya, peralatan elektronik berharga murah sering kali menuntut
biaya operasional yang lebih tinggi. Selain itu, konsumen dapat turut menjaga
- 35 -

lingkungan dan berkontribusi langsung dalam upaya penghematan energi


nasional demi masa depan yang lebih baik.

Selain labelisasi, pemerintah juga menetapkan SKEM. SKEM adalah


spesifikasi yang memuat sejumlah persyaratan kinerja energi minimum pada
kondisi tertentu yang secara efektif dimaksudkan untuk membatasi jumlah
konsumsi energi maksimum dari produk pemanfaat energi yang diizinkan.
Penerapan standar kinerja energi pada peralatan pemanfaat energi dilakukan
dengan pencantuman label tingkat efisiensi energi. SKEM bertujuan
melindungi dan memberikan informasi kepada konsumen dalam pemilihan
peralatan rumah tangga yang hemat energi dan efisien serta mencegah produk
peralatan rumah tangga yang tidak efisien masuk ke pasar Indonesia.

Sektor Rumah Tangga

Pemanfaatan energi di sektor rumah tangga adalah berupa tenaga listrik


untuk penerangan serta bahan bakar seperti LPG, gas bumi, dan minyak
tanah untuk memasak. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan
pendapatan per kapita, jumlah penggunaan peralatan rumah tangga juga
akan meningkat. Secara garis besar, kegiatan konservasi energi yang
dilakukan untuk menghemat energi di sektor rumah tangga antara lain:

1. Penerapan regulasi SKEM dan Label untuk peralatan rumah tangga;


2. Penurunan rugi-rugi standby power dengan penerapan teknologi
monitoring digital dan sosialisasi;
3. Pembangunan jargas untuk rumah tangga;
4. Konversi dari minyak tanah ke LPG dan/atau kompor listrik/induksi.

Jenis peralatan yang digunakan di rumah tangga umumnya berupa jenis


peralatan yang menggunakan listrik, misalnya lampu, pendingin udara,
kulkas, kipas angin, mesin cuci, setrika, rice cooker, televisi, radio, blender,
dan lainnya. Ke depan, kebijakan SKEM dan label hemat energi juga perlu
diterapkan untuk peralatan lainnya yaitu televisi, kompor listrik, blender,
pompa air, mesin cuci, setrika, chiller, motor listrik, boiler, dan trafo.

Kebijakan penerapan SKEM dan label ini sangat diperlukan karena kualitas
peralatan listrik yang dijual di pasar baik produk dalam negeri maupun impor
sangat beragam dan terkadang kualitasnya tidak sesuai dengan yang
dijanjikan. Dengan pembubuhan label tersebut, konsumen dapat terlindungi
dari produk-produk yang boros energi. Kebijakan ini dapat menjadi sarana
- 36 -

bagi Kementerian/Lembaga terkait untuk melakukan pengawasan produk


yang beredar di pasar.

Sementara itu, penerapan migrasi ke kompor listrik khususnya kompor


induksi untuk seluruh pelanggan rumah tangga membutuhkan kebijakan
pembebasan batasan daya dengan penerapan blok tarif. Peta jalan migrasi ke
kompor listrik mencakup:

1. Tahap Pertama

Melanjutkan upaya PLN untuk mendorong penggunaan kompor listrik di


masyarakat antara lain diskon biaya tambah daya listrik, kampanye
migrasi kompor listrik secara masif, serta diskon harga dan promo lain
terkait kompor listrik dan peralatan masak. Target pengguna dari tahap
pertama ini adalah pelanggan listrik golongan mampu

2. Tahap Kedua

Melakukan field experiment di masyarakat mengenai penggunaan kompor


induksi untuk mendapatkan data pendukung pembuatan kebijakan. Uji
coba lapangan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi kendala-kendala
yang timbul selama penggunaan kompor listrik sekaligus mengamati
penerimaan masyarakat terhadap kompor listrik. Kompor listrik yang
dapat dicoba adalah jenis kompor induksi. Uji coba dapat dilakukan pada
pelanggan PLN yang sudah menggunakan kompor listrik ataupun
responden yang dipilih secara acak.

3. Tahap Ketiga

Spesifikasi gedung pemukiman yang dibangun oleh Kementerian PUPR


didesain untuk menggunakan kompor listrik tanam. Kebijakan ini dapat
juga diberlakukan untuk pemberian Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)
apartemen dan perumahan baru. Penggunaan kompor induksi lebih
hemat dibandingkan penggunaan kompor LPG sebagaimana hasil uji yang
dilakukan Badan Litbang ESDM. Oleh karena itu, kewajiban penggunaan
kompor listrik tidak akan merugikan pengguna bangunan.

4. Tahap Keempat

Program migrasi nasional di Sistem Ketenagalistrikan Jawa-MaduraBali


(Jamali). Program migrasi nasional berupa penukaran kompor LPG dengan
kompor listrik dan peralatan masak untuk rumah tangga 450 VA dan 900
VA/M.
- 37 -

Sektor Komersil

Penggunaan listrik sektor komersial mencapai kurang lebih 90% dari total
seluruh konsumsi sektor tersebut. Secara rata-rata, konsumsi energi spesifik
di bangunan gedung masih boros (setelah dilakukan benchmarking dan masih
banyaknya bangunan gedung yang belum menerapkan manajemen energi).

Secara garis besar, kegiatan efisiensi energi dan rencana ke depan di sektor
bangunan komersial dilakukan melalui cara:

1. Kewajiban penerapan bangunan energi hijau untuk bangunan baru;


2. Kewajiban penerapan konservasi energi untuk gedung pemerintah;
3. Mandatori manajemen energi untuk bangunan gedung yang
mengkonsumsi energi diatas 500 TOE;
4. Penyusunan SKEM chiller untuk jangka pendek dan menengah;
5. Penyediaan insentif dan informasi untuk implementasi efisiensi energi di
bangunan gedung; dan
6. Penyusunan building code.

Dalam jangka menengah diharapkan konsep dan penerapan gedung atau


wilayah/kawasan/kota yang zero energy diharapkan dapat terealisasi. Untuk
itu, dukungan peraturan serta penelitian dan pengembangan tentang zero
energy pada gedung atau kawasan/kawasan/kota perlu dilakukan.
Dukungan peraturan tersebut mencakup pedoman umum bangunan gedung
hijau, petunjuk teknis bangunan gedung hijau, pedoman penyedia jasa
bangunan hijau, peraturan daerah dan Peraturan Gubernur/Walikota/bupati
tentang bangunan gedung hijau, dan sertifikasi bagi penyedia jasa
(perencana, pengawas, dan pelaksana). Zero energy pada bangunan gedung
atau wilayah/kawasan/kota dimaksudkan sebagai swadaya energi yang
berarti bahwa seluruh kebutuhan energinya diproduksi pada gedung atau
pada kawasan/kawasan/kota tersebut.

Selain itu, pada bangunan hijau juga dapat diterapkan smart building/smart
system dan pengintegrasian implementasi energi terbarukan seperti PV
rooftop. Dalam hal teknologi, kegiatan konservasi energi juga dapat dilakukan
dengan penerapan peralatan yang high-eficient (green chiller dan green AC),
smart system, pola operasi dan awaraness.
- 38 -

Sektor Publik

Roadmap sektor publik mencakup penggunaan dan retrofit lampu jalan (PJU)
hemat energi. Pada umumnya konsumsi listrik PJU masih belum hemat energi
karena menggunakan lampu HPS (konvensional) dan belum bermeter. Saat
ini sudah banyak tersedia lampu PJU yang hemat energi. Beberapa kota
melalui bantuan/hibah luar negeri maupun inisiatif sendiri telah memasang
meter listrik, menerapkan lampu hemat energi menggunakan LED dan
menerapkan smart street lighting, diantaranya Surakarta, Makasar, Batang
dan Semarang. Harga lampu PJU hemat energi relatif lebih mahal dibanding
lampu PJU konvensional, tetapi secara total biaya jangka panjang,
penggunaannya masih menguntungkan karena terjadinya penghematan
pembayaran pemakaian listrik. Pada jalur tertentu ketika kondisi lalu lintas
di malam hari sepi, cahaya (efikasi) lampu dapat dikurangi sehingga
mengurangi konsumsi listrik. Pengurangan cahaya ini dilakukan dengan
menggunakan sensor kepadatan lalu lintas. Kualitas lampu PJU hemat energi
yang tersedia di pasar juga beragam sehingga diperlukan penerapan SKEM
pada lampu PJU hemat energi tersebut.

Sektor Industri

Sektor industri di Indonesia, baik migas maupun nonmigas menjadi sektor


dengan konsumsi energi final terbesar kedua di Indonesia. Pada tahun 2020,
konsumsi energi final sektor industri sebesar 328 juta SBM atau 36,5 persen
dari total konsumsi energi final. Sekitar 70% konsumsi energi final di sektor
industri digunakan oleh delapan industri lahap energi, yaitu industri baja,
industri semen, industri pupuk, industri keramik dan kaca, industri pulp dan
kertas, industri tekstil, industri kimia, serta industri makanan dan minuman.
Umur mesin yang tua, sebagian besar berusia di atas 20 (dua puluh) tahun
menyebabkan tingkat konsumsi energi tinggi, kecepatan mesin, dan kualitas
produk rendah. Untuk mengganti/modifikasi mesin dibutuhkan investasi,
sementara bunga komersial perbankan nasional tinggi serta tidak ada industri
permesinan nasional yang memadai.

Efisiensi energi merupakan salah satu kunci utama untuk mengurangi


permintaan energi. Efisiensi pada sektor industri difokuskan pada tiga
langkah utama, yaitu:

1. Manajemen Energi (kewajiban melaksanakan manajemen energi untuk


pengguna sektor industri);
- 39 -

2. Penerapan SKEM untuk peralatan industri;


3. Kebijakan transisi energi untuk elektrifikasi peralatan di sektor industri

Pemerintah mewajibkan seluruh pengguna energi di atas 6.000 TOE per tahun
untuk melaksanakan manajemen energi, termasuk melaporkan konsumsi
energi dan implementasi manajemen energi ke Pemerintah. Manajemen Energi
dapat menjabarkan upaya yang dapat dilakukan untuk menghemat energi di
sektor industri yaitu:

1. optimalisasi beban antara lain dengan pemasangan inverter terutama


pada mesin yang menggunakan motor-motor listrik yang bekerja dengan
beban dinamis dan kapasitas yang cukup besar;
2. mengontrol rasio udara bahan bakar sehingga diperoleh pembakaran yang
efisien;
3. memanfaatkan gas buang antara lain dengan cogeneration atau sistem
combined heat and power (CHP);
4. pengurangan heat losses antara lain dengan isolasi yang cukup dan
optimum pada peralatan;
5. melakukan fuel switching antara lain pemanfaatan gas alam sebagai
bahan bakar untuk menggantikan High Speed Diesel (HSD);
6. melakukan perawatan pada peralatan secara berkala.

Adapun langkah yang dapat dilakukan dalam rangka manajemen energi


adalah dengan melaksanakan audit energi secara berkala dan melaksanakan
rekomendasi hasil audit energi. Audit energi dilaksanakan untuk
mengidentifikasi peluang penghematan energi serta memberikan rekomendasi
bagaimana mengelola penggunaan energi agar lebih efisien. Untuk
melaksanakan manajemen energi diperlukan sertifikasi manajer energi dan
auditor energi dari lembaga sertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Membangun indikator efisiensi energi diperlukan untuk mengetahui tren dan


intensitas energi di setiap subsektor industri. Hal ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan pelaporan manajemen energi oleh industri dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas data yang dibutuhkan untuk membangun indikator
yang dibutuhkan. Indikator tersebut dapat digunakan untuk menyusun suatu
kebijakan dan intervensi serta membantu pemerintah untuk dapat
mengidentifikasi peluang penghematan energi, misalnya dengan melakukan
benchmarking intensitas konsumsi energi, dan menyusun target efisiensi
energi per subsektor.
- 40 -

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan memanfaatkan pelaporan online


yang telah dibangun seperti aplikasi POME dan SIINAS yang berfungsi sebagai
platform pelaporan energi oleh industri. Namun saat ini hanya sebagian kecil
industri yang mau melaporkan konsumsi energinya ke Pemerintah. Hal ini
perlu diatasi dengan memberlakukan insentif bagi yang melaksanakan
manajemen energi dan melakukan pelaporan dan disinsentif bagi industri
yang menolak untuk melakukan pelaporan.

Suatu paket kebijakan yang tepat yang dilengkapi dengan insentif dan
disinsentif serta informasi perlu disusun untuk membuka peluang
penghematan energi di sektor industri. Insentif dan disinsentif dapat
mendorong kepatuhan industri untuk melakukan implementasi manajemen
energi dan melakukan pelaporan. Sedangkan penyediaan informasi yang
mutakhir terkait teknologi, best practices, langkah-langkah efisiensi serta
sumber pembiayaan efisiensi energi akan memudahkan industri untuk
menyusun langkah-langkah efisiensi energi di fasilitas produksinya.

Survei industri spesifik juga perlu dilakukan untuk mendapatkan level data
yang lebih detail. Survei tersebut dapat diprioritaskan untuk industri lahap
energi yang data dan indikatornya belum memadai atau kurang lengkap.
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan lembaga
pemerintah terkait dan organisasi internasional.

Selain itu, untuk pabrik industri yang baru akan dibangun dapat
dimandatkan untuk mengimplementasikan teknologi yang energi efisien atau
bahkan mengimplementasikan teknologi terbaik di kelasnya sebagai salah
satu syarat mendapatkan insentif pajak atau subsidi harga bahan bakar
tertentu.

Sejalan dengan pelaksanaan manajemen energi, juga diperlukan penerapan


SKEM. SKEM merupakan kinerja energi minimum suatu peralatan yang
harus dipenuhi sebelum peralatan digunakan untuk tujuan komersial. Ketika
regulasi sudah ditetapkan, SKEM sifatnya wajib untuk berbagai produk dan
harus didaftarkan dan memenuhi sejumlah persyaratan tertentu sebelum
dapat dijual. Dengan menentukan SKEM akan mencegah masuknya produk
pasar yang tidak efisien dan membantu meningkatkan efisiensi proses
produksi dari waktu ke waktu. Bagi konsumen berarti bahwa produk yang
tersedia di pasar menggunakan lebih sedikit energi dan biaya operasional yang
- 41 -

lebih rendah. Penggunaan produk hemat energi juga mengurangi emisi gas
rumah kaca.

Implementasi SKEM dapat dikombinasikan dengan pembubuhan label pada


suatu peralatan yang ditandai dengan simbol bintang. Semakin banyak
bintang semakin efisien penggunaan energi dari peralatan tersebut. Peringkat
bintang akan dievaluasi secara bertahap untuk memastikan bahwa peralatan
tersebut mengikuti kemajuan teknologi.

Saat ini regulasi SKEM dan labelling hanya diimplementasikan untuk lima
peralatan rumah tangga, sedangkan SKEM untuk peralatan industri seperti
boiler, chiller dan motor listrik belum disusun dan diberlakukan. Untuk
jangka pendek, perlu dilakukan penyusunan SKEM untuk motor listrik
sebagai salah satu pengguna energi listrik terbesar di sektor industri. Di
Indonesia, lebih dari 60% penggunaan energi di sektor industri dipakai untuk
sistem penggerak motor listrik dan total konsumsi diperkirakan akan
meningkat sejalan dengan pertumbuhan aktifitas industri.

Efisiensi peralatan industri juga dapat ditingkatkan melalui proses kontrol


yang baik. Peralatan yang rusak, aus atau bocor selain tidak aman bagi
karyawan industri juga sangat boros energi. Alat-alat seperti pompa dan
kompresor akan lebih efisien jika pemeliharaan dilakukan secara teratur.
Penerapan efisiensi sebagai upaya transisi energi juga meliputi kebijakan
elektrifikasi peralatan di sektor industri dimana ke depan peralatan-peralatan
di sektor industri didoroong dapat beralih ke listrik khususnya pada industri
yang menggunakan low-temperature processes seperti: Makanan & minuman,
tekstil dan kulit, perangkat elektronik, dan industry lainnya.

Sektor Transportasi

Sektor transportasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bauran


energi final. Saat ini kebutuhan energi sektor transportasi didominasi oleh
bahan bakar minyak. Sektor transportasi terbagi menjadi sub-sektor laut,
udara, darat dan perkereta-apian. Konsumsi energi subsektor transportasi
mencakup gasoline (RON≥88), ADO (CN≥48), biosolar, minyak bakar, IDO,
minyak tanah, BBG, dan listrik, yang mencapai 55 MTOE pada tahun 2020.
Sekitar 86% dari konsumsi energi subsektor transportasi dipasok untuk
memenuhi kebutuhan subsektor transportasi darat, disusul subsektor
transportasi udara (7,6%), subsektor transportasi laut (6,3%), dan subsektor
transportasi kereta api (0,6%).
- 42 -

Secara garis besar, kebijakan konservasi energi di dalam sistem transportasi


antara lain:

1. implementasi kendaraan listrik;


2. perpindahan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke transportasi
publik;
3. peningkatan efisiensi teknologi kendaraan;
4. elektrifikasi pelabuhan dan kapal jarak pendek;
5. manajemen transportasi; dan
6. peningkatan standar efisiensi bahan bakar.

Kebijakan Perizinan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Usaha ketenagalistrikan dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan


Berusaha bidang ketenagalistrikan yang terdiri atas usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan sendiri. Izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum (IUPTLU) meliputi jenis usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi
tenaga listrik, distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik.
Jenis usaha penyediaan tenaga listrik tersebut dapat dilakukan secara
terintegrasi meliputi:

1. Usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik;


2. Usaha pembangkitan, transmisi, dan penjualan tenaga listrik;
3. Usaha pembangkitan, distribusi, dan penjualan tenaga listrik.

Untuk jenis usaha yang menjual listrik kepada konsumen akhir, harus
mendapatkan penetapan Wilayah Usaha penyediaan tenaga listrik, meliputi:

1. Usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik;


2. Usaha pembangkitan, transmisi, dan penjualan tenaga listrik;
3. Usaha pembangkitan, distribusi, dan penjualan tenaga listrik;
4. Usaha distribusi dan penjualan tenaga listrik;
5. Usaha penjualan tenaga listrik.

Sementara usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri wajib


mendapatkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan
Sendiri (IUPTLS). Jenis usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri meliputi:

1. Pembangkitan tenaga listrik;


2. Pembangkitan tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik; atau
- 43 -

3. Pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi


tenaga listrik.

Sifat penggunaan usaha penyediaan tenaga listrik sendiri dapat berupa


penggunaan utama, cadangan, darurat, atau sementara.

Khusus perizinan infrastruktur pengisian listrik untuk kendaraan bermotor


listrik berbasis baterai, berupa Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum
(SPKLU), badan usaha yang telah memiliki IUPTLU jenis izin usaha
terintegrasi dapat langsung menjalankan kegiatan usaha SPKLU, dengan
skema bisnis sebagai berikut:

Gambar II.1. Skema Bisnis SPKLU

Sedangkan badan usaha yang menjalankan usaha SPKLU retailer harus


memiliki unit SPKLU minimal di 2 (dua) lokasi pada 2 (dua) provinsi berbeda
dengan suplai listrik dari pemegang IUPTLU Terintegrasi. Badan usaha SPKLU
tersebut harus memiliki izin usaha penjualan tenaga listrik. Berikut adalah
skema bisnis usaha SPKLU retailer:
- 44 -

Gambar II.2. Skema Bisnis SPKLU Retailer

Badan usaha yang menjalankan usaha Stasiun Pengisian Baterai Kendaraan


Listrik Umum (SPBKLU) tidak memerlukan perizinan berusaha tenaga listrik,
namun cukup memiliki perizinan dasar berupa Nomor Induk Berusaha (NIB),
dengan skema bisnis sebagai berikut:

Gambar II.3. Skema Bisnis SPBKLU

Perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik merupakan kepastian hukum


dan sebagai legalistas bagi badan usaha dalam menjalankan usaha
penyediaan tenaga listrik. Dengan adanya perizinan berusaha, Pemerintah
dapat memberikan insentif untuk mendorong percepatan pengembangan di
bidang ketenagalistrikan.
- 45 -

Izin usaha penyediaan tenaga listrik bagi pelaku usaha yang hendak
melakukan usaha penyediaan tenaga listrik baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan umum diberikan oleh Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya. Izin tersebut
meliputi: pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi
tenaga listrik, dan/atau penjualan tenaga listrik.

Dalam melakukan pengurusan perizinan penyediaan tenaga listrik, pelaku


usaha harus memiliki perizinan dasar perizinan berusaha meliputi
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan,
persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi. Bagi pelaku usaha
yang akan mengajukan permohonan penetapan Wilayah Usaha penyediaan
tenaga listrik, maka harus sudah memiliki dokumen kepemilikan lahan
kawasan dan rekomendasi dari Gubernur provinsi setempat. Bagi pelaku
usaha yang akan mengajukan IUPTLU untuk usaha pembangkitan tenaga
listrik, maka harus sudah memiliki kontrak jual beli tenaga listrik dengan
badan usaha pemegang Wilayah Usaha. Standar waktu pelayanan untuk
pemberian perizinan berusaha ketenagalistrikan adalah 5 (lima) hari kerja
apabila dokumen lengkap dan sesuai.

Perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik diperlukan sebagai mekanisme


pembinaan dan pengawasan Pemerintah bagi pelaku usaha dalam rangka
pemenuhan aspek keandalan pasokan tenaga listrik, efisiensi penyediaan
tenaga listrik, dan keselamatan lingkungan. Proses perizinan dilakukan
dengan prinsip kemudahan dan dilakukan secara daring yang dapat dipantau
secara berkala. Apabila izin ditolak, maka akan disampaikan alasan
penolakan serta rekomendasi perbaikan. Pemerintah juga menyediakan
fasilitas pelayanan publik bagi badan usaha yang ingin melakukan konsultasi.

Dalam rangka pengusahaan penyediaan tenaga listrik pada suatu wilayah


oleh pelaku usaha maka diperlukan pemenuhan perizinan berusaha sesuai
dengan peruntukkannya, sebagai legalitas dalam bentuk pernyataan pelaku
usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan
usaha.

Saat ini Pemerintah telah menggunakan pendekatan berbasis risiko dalam


kebijakan perizinan berusaha. Untuk memulai dan melakukan kegiatan
usaha, pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha
dan/atau Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR). PBBR dilakukan
- 46 -

berdasarkan penetapan risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi


UMK-M dan/atau usaha besar, berdasarkan hasil analisis risiko yang
dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehati-
hatian berdasarkan data dan/atau penilaian profesional.

Tingkat risiko tersebut menentukan jenis Perizinan Berusaha. Berdasarkan


penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat risiko,
dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan
menjadi:
1. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah;
2. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah, yang terbagi atas tingkat
risiko menengah rendah dan tingkat risiko menengah tinggi; dan
3. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi.

Perizinan berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah


berupa NIB (Nomor Induk Berusaha) yang merupakan identitas pelaku usaha
sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha. Perizinan berusaha
untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah berupa NIB
dan Sertifikat Standar yang merupakan legalitas untuk melaksanakan
kegiatan dalam bentuk pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar
usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui
sistem Online Single Submission (OSS). Perizinan berusaha kegiatan usaha
dengan tingkat risiko menengah tinggi berupa NIB dan Sertifikat Standar
pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil
verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku
usaha. Sementara Perizinan berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat
risiko tinggi berupa NIB dan Izin yang merupakan persetujuan Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib
dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

Pemerintah terus berupaya mempermudah perizinan di sektor


ketenagalistrikan dengan memanfaatkan sistem daring. Seluruh perizinan
berusaha di sektor ketenagalistrikan telah dilakukan melalui Sistem OSS
PBBR. PBBR meliputi pengaturan mengenai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI), persyaratan dan/atau kewajiban PBBR, dan pedoman
PBBR, serta standar kegiatan usaha dan/atau standar produk. Untuk
pengaturan KBLI, KBLI adalah klasifikasi rujukan yang digunakan untuk
mengklasifikasikan aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia ke dalam beberapa
- 47 -

lapangan usaha/bidang usaha. KBLI dibedakan berdasarkan jenis kegiatan


ekonomi yang menghasilkan produk/output baik berupa barang maupun
jasa. Untuk subsektor ketenagalistrikan, KBLI yang digunakan adalah 35111
sampai dengan 35118 yang mencakup usaha pembangkitan, transmisi,
distribusi, dan penjualan tenaga listrik.

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib


mendapatkan Perizinan Berusaha sesuai dengan kegiatan usahanya,
meliputi: Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum
(IUPTL), penetapan Wilayah Usaha, pengesahan RUPTL, dan izin penjualan,
izin pembelian, dan/atau izin interkoneksi jaringan tenaga listrik lintas
negara. Sementara usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri wajib mendapatkan IUPTLS. IUPTLS wajib dimiliki oleh pelaku usaha
yang menjalankan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan sendiri dengan total kapasitas pembangkit tenaga listrik lebih
dari 500 (lima ratus) kilowatt dalam 1 (satu) sistem instalasi tenaga listrik.
Pelaku Usaha yang menjalankan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan sendiri dengan total kapasitas pembangkit tenaga listrik
sampai dengan 500 (lima ratus) kilowatt dalam 1 (satu) sistem instalasi tenaga
listrik wajib menyampaikan laporan yang disampaikan 1 (satu) kali selama
menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

Untuk kemudahan perizinan, maka permohonan izin usaha penyediaan


tenaga listrik dan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik diajukan secara
elektronik kepada Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS. Permohonan
izin usaha tersebut diajukan dengan melampirkan persyaratan pemenuhan
komitmen administrasi dan teknis.

Kebijakan Penetapan Wilayah Usaha

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliputi jenis usaha
pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik
dan/atau penjualan tenaga listrik. Di samping itu usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara terintegrasi. Usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi
dilakukan oleh satu badan usaha dalam satu Wilayah Usaha. Pembatasan
Wilayah Usaha juga berlaku untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau
- 48 -

penjualan tenaga listrik seperti halnya distribusi tenaga listrik di suatu


kawasan, pusat perbelanjaan yang menjual listrik dan juga apartemen.

Penetapan Wilayah Usaha merupakan kewenangan Pemerintah di bidang


ketenagalistrikan. Untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang dilakukan
secara terintegrasi, usaha distribusi, atau usaha penjualan, Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral atau gubernur sesuai kewenangannya menerbitkan
izin usaha penyediaan tenaga listrik setelah adanya penetapan Wilayah Usaha
dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk memperoleh Wilayah
Usaha, badan usaha harus memperoleh rekomendasi dari gubernur sesuai
dengan kewenangannya, kecuali yang izinnya diberikan oleh Menteri.
Penetapan Wilayah Usaha penyediaan tenaga listrik merupakan salah satu
izin usaha ketenagalistrikan yang telah didelegasikan kepada Kepala BKPM,
namun pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan izin usaha
ketenagalistrikan tersebut tetap dilaksanakan oleh Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral.

Guna menghindari tumpang tindih penetapan Wilayah Usaha penyediaan


tenaga listrik antar badan usaha, kebijakan penetapan Wilayah Usaha oleh
Pemerintah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan
akuntabilitas. Karena Wilayah Usaha penyediaan tenaga listrik bukan
merupakan wilayah administrasi pemerintahan, penetapan Wilayah Usaha
memerlukan koordinasi dengan instansi terkait termasuk Pemerintah Daerah
sebagai pemberi rekomendasi. Penetapan Wilayah Usaha penyediaan tenaga
listrik mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:

1. Pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada tidak mampu menyediakan


tenaga listrik;

2. Pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada tidak mampu memenuhi tingkat
mutu dan keandalan;

3. Pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada mengembalikan sebagian atau


seluruh Wilayah Usahanya kepada Menteri ESDM;

4. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh pelaku usaha belum terjangkau oleh
pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada; dan/atau
- 49 -

5. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh pelaku usaha merupakan kawasan


terpadu yang mengelola sumber daya energi secara terintegrasi sesuai pola
kebutuhan listrik usahanya.

Kebijakan penetapan Wilayah Usaha dimaksudkan untuk mempercepat


penyediaan tenaga listrik secara Nasional. Dalam rangka memenuhi kewajiban
penyediaan tenaga listrik dan meningkatkan utilitas jaringan, dimungkinkan
untuk melakukan kerjasama antar Pemegang Wilayah Usaha dalam
penyediaan tenaga listrik melalui jual beli tenaga listrik dan juga pemanfaatan
bersama jaringan tenaga listrik milik Pemegang Wilayah Usaha lain.

Sampai dengan Desember 2022, Pemerintah telah menerbitkan 57 Wilayah


Usaha termasuk Wilayah Usaha PT PLN (Persero). Sebaran lokasi Wilayah
Usaha tersebut adalah sebagaimana terlihat pada gambar II.1. Pemegang
Wilayah Usaha wajib memenuhi kebutuhan tenaga listrik di dalam Wilayah
Usahanya

Gambar II.4. Peta Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2021

Saat ini, Pemerintah juga telah membuat kebijakan percepatan elektrifikasi di


perdesaan belum berkembang, terpencil, perbatasan, dan pulau kecil
berpenduduk melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk
Skala Kecil (UPTLSK). Kebijakan ini membuka kesempatan kepada pihak
BUMD, badan usaha swasta dan koperasi untuk berperan serta menyediakan
tenaga listrik skala kecil di perdesaan yang belum berkembang, perdesaan yang
terpencil, perbatasan dan pulau kecil berpenduduk dengan total kapasitas
- 50 -

sistem tenaga listrik sampai dengan 50 MW dengan memprioritaskan


penggunaan sumber energi setempat.

Mekanisme pengusulan Wilayah Usaha, tata cara pemilihan badan usaha,


pemberian subsidi untuk pelanggan dengan kapasitas 450 VA (masyarakat
tidak mampu), penetapan tarif, hak dan kewajiban badan usaha dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.

Gambar II.5. Mekanisme Penetapan Wilayah Usaha Bersubsidi

Gambar II.6. Skema Proses UPTLSK Penugasan Pemerintah Bersubsidi


- 51 -

Gambar II.7. Skema Proses UPTLSK Di Wilayah Usaha Tanpa Subsidi

Kebijakan Jual Beli Listrik Lintas Negara

Jual beli tenaga listrik lintas negara hanya dapat dilakukan oleh Pemegang
IUPTLU terintegrasi dan memiliki Wilayah Usaha setelah memperoleh izin
penjualan atau pembelian tenaga listrik lintas negara dari Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral. Walaupun Pemegang IUPTL dapat melakukan
penjualan atau pembelian tenaga listrik lintas negara, namun untuk
melakukan hal tersebut harus memenuhi persyaratan antara lain:

1. kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya telah terpenuhi;


2. harga jual tenaga listrik tidak mengandung subsidi; dan
3. tidak mengganggu mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik
setempat.

Adapun syarat pembelian tenaga listrik lintas negara yang harus dipenuhi
adalah:
1. belum terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik setempat;
2. hanya sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan tenaga listrik setempat;
3. tidak merugikan kepentingan negara dan bangsa yang terkait dengan
kedaulatan, keamanan, dan pembangunan ekonomi;
4. untuk meningkatkan mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik
setempat;
- 52 -

5. tidak mengabaikan pengembangan kemampuan penyediaan tenaga listrik


dalam negeri, dan;
6. tidak menimbulkan ketergantungan pengadaan tenaga listrik dari luar
negeri.

Untuk mendapatkan izin penjualan, izin pembelian, dan/atau izin


interkoneksi jaringan tenaga listrik lintas negara, pelaku usaha mengajukan
permohonan dengan melengkapi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Izin penjualan atau pembelian
tenaga listrik lintas negara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima tahun) dan dapat diperpanjang. Pemegang izin penjualan atau
pembelian tenaga listrik lintas negara wajib melaporkan pelaksanaan
penjualan atau pembelian tenaga listrik lintas negara secara berkala setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Dalam rangka implementasi kesepakatan ASEAN terkait dengan ASEAN Power


Grid maka Pemerintah akan memfasilitasi proses pelaksanaannya dengan
tetap memperhatikan kepentingan Nasional. Rencana Interkoneksi
ketenagalistrikan lintas negara dalam kerangka kerja sama ASEAN Power Grid
(APG) tercantum dalam dokumen ASEAN Interconnectivity Master-plan Study
(AIMS) yang mengidentifikasikan 3 (tiga) titik interkoneksi antara Indonesia
dengan negara ASEAN. Interkoneksi Kalimantan Barat - Sarawak telah
beroperasi sejak 2016, sedangkan 2 (dua) titik interkoneksi lainnya (Sumatera
- Peninsula Malaysia) dan (Kalimantan Utara - Sabah) sedang dalam tahap
perencanaan.

Kebijakan Pengaturan Operasi dan Jaringan Ketenagalistrikan

Pemegang IUPTL wajib menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar


mutu dan keandalan yang berlaku, memberikan pelayanan yang sebaik-
baiknya kepada konsumen dan masyarakat dengan memenuhi ketentuan
keselamatan ketenagalistrikan. Untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik
yang aman, andal, dan efisien, maka pengoperasian sistem tenaga listrik
harus mengacu aturan jaringan sistem tenaga listrik (grid code). Aturan
jaringan sistem tenaga listrik (grid code) juga mengatur pembangkit EBET
dalam jaringan sistem tenaga listrik untuk mendorong peran pembangkit
EBET dalam jaringan sistem tenaga listrik.
- 53 -

Aturan jaringan sistem tenaga listrik (grid code) disusun berdasarkan kondisi
struktur sistem tenaga listrik untuk diberlakukan kepada pelaku usaha
penyediaan tenaga listrik, atau pemakai jaringan sistem tenaga listrik, dan
konsumen tenaga listrik yang terdiri atas:

1. pengelola operasi sistem tenaga listrik;


2. pengelola transmisi tenaga listrik;
3. pengelola pembangunan infrastruktur tenaga listrik;
4. pengelola pembangkit tenaga listrik;
5. pengelola distribusi tenaga listrik;
6. konsumen tenaga listrik yang instalasinya secara langsung tersambung ke
jaringan transmisi; dan
7. pelaku usaha atau pemakai jaringan dan konsumen tenaga listrik dengan
perjanjian khusus termasuk kerja sama operasi (KSO).

Untuk menjelaskan prosedur umum mengenai aturan jaringan sistem tenaga


listrik, penyelesaian perselisihan, dan penilaian kembali secara periodik
pengoperasian dan manajemen jaringan transmisi (grid), maka dibentuk
Komite Manajemen Aturan Jaringan (KMAJ) yang bertugas:

1. melakukan evaluasi atas aturan jaringan sistem tenaga listrik dan


implementasi aturan jaringan sistem tenaga listrik, termasuk upaya
peningkatan peran pembangkit energi baru dan terbarukan dalam
jaringan sistem tenaga listrik;
2. melakukan kajian atas usulan perubahan aturan jaringan sistem tenaga
listrik yang disampaikan oleh pelaku usaha atau pemakai jaringan dan
konsumen tenaga listrik;
3. membuat rekomendasi dalam hal diperlukan perubahan aturan jaringan
sistem tenaga listrik;
4. mempublikasikan rekomendasi perubahan aturan jaringan sistem tenaga
listrik; dan
5. melakukan investigasi dan membuat rekomendasi dalam penegakan
aturan jaringan sistem tenaga listrik.

Untuk mengimplementasikan hal tersebut di atas, maka pemegang izin usaha


penyediaan tenaga listrik melalui unit pengelola operasi sistem melakukan
pengaturan operasi sistem ketenagalistrikan dengan ketentuan sesuai aturan
jaringan sistem tenaga listrik (grid code) yang berlaku. Pengelola operasi
sistem merencanakan operasi sistem untuk mendapatkan kondisi
pembangkitan dengan biaya termurah (least cost) dalam memenuhi prakiraan
- 54 -

beban dengan tetap memperhatikan kendala jaringan dan standar kualitas


pelayanan. Rencana operasi sistem tersebut juga dilakukan untuk mengatur
alokasi/kuota pembangkit termasuk pembangkit EBT intermitent.

Rencana operasi sistem harus mencakup informasi sebagai berikut:

1. estimasi alokasi bulanan produksi neto pembangkit dan prakiraan beban


sistem. Alokasi bulanan PLTA memperhatikan elevasi air, kondisi
lingkungan, serta kebutuhan irigasi dan kebutuhan lain, sedangkan
untuk pembangkit EBT intermitent dengan memperhatikan prakiraan
cuaca (weather forecast) dari pengelola pembangkit EBT intermitent, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), atau instansi terkait lain;
2. alokasi pengambilan minimum energi dari pembangkit berkontrak take or
pay (TOP);
3. rencana pengeluaran (outages) unit pembangkit dan transmisi;
4. proyeksi harga energi, prediksi fuel mix, capacity factor (CF) pembangkit,
dan susut transmisi;
5. estimasi energi tidak terlayani, aliran daya, kendala transmisi, dan margin
keandalan;
6. rencana kesiapan pembangkit, mampu pasok, dan pembebanan
pembangkit paralel milik konsumen tenaga listrik; dan
7. rencana pembangkitan dan beban pengelola pembangkit power wheeling.

Monitoring realisasi rencana operasi sistem tenaga listrik di atas dilakukan


berdasarkan ketentuan aturan jaringan tenaga listrik (grid code) yaitu melalui
mekanisme pelaporan yaitu:

1. laporan Tahunan

KMAJ menerbitkan laporan tahunan rangkuman operasi jaringan tahun


sebelumnya.

2. laporan kejadian penting

Pelaku usaha atau pemakai jaringan dan konsumen tenaga listrik harus
melaporkan kejadian penting seperti gangguan besar dalam sistem.

3. laporan khusus

Laporan khusus harus disusun oleh KMAJ berdasarkan permintaan dari


Pemerintah atau atas permintaan 1 (satu) atau lebih pelaku usaha atau
pemakai jaringan dan konsumen tenaga listrik.
- 55 -

Selain itu, monitoring harian terhadap kondisi sistem tenaga listrik dilakukan
melalui aplikasi online untuk memperoleh informasi terkait parameter operasi
sistem tenaga listrik.

Kebijakan Pengaturan Efisiensi Penyediaan Tenaga Listrik

Parameter subsidi listrik antara lain meliputi bauran energi, harga energi
primer, tarif tenaga listrik, volume bahan bakar, Specific Fuel Consumption
(SFC) dan susut jaringan. Dalam rangka pengendalian subsidi listrik yang
diberikan kepada Pemegang Izin Usaha Tenaga Listrik, maka pemegang izin
usaha tenaga listrik melaksanakan efisiensi penyediaan tenaga listrik pada
pembangkit tenaga listrik berdasarkan target besaran SFC pembangkit tenaga
listrik dan susut pada jaringan tenaga listrik berdasarkan target besaran
susut jaringan tenaga listrik.

Pengaturan SFC pembangkit tenaga listrik dilakukan dengan memperhatikan


pola operasi pembebanan, keandalan sistem tenaga listrik, mutu pelayanan
tenaga listrik, Nett Plant Heat Rate (NPHR) dan teknologi pembangkit.
Sedangkan pengaturan besaran target dan realisasi susut jaringan tenaga
listrik dilakukan dengan memperhatikan pola pengoperasian pembangkit,
pembebanan jaringan transmisi dan distribusi termasuk trafo tenaga dan
trafo distribusi, serta kualitas daya listrik pada jaringan tenaga listrik.

Strategi pencapaian target SFC pembangkit tenaga listrik dan target susut
jaringan tenaga listrik disusun oleh Pemegang Izin Usaha Tenaga Listrik
dalam dokumen workplan dan action plan.

Kebijakan Tarif Tenaga Listrik

Tarif tenaga listrik adalah tarif yang dikenakan kepada konsumen atas
penyediaan tenaga listrik oleh pemegang IUPTLU yang memiliki Wilayah
Usaha. Kebijakan Pemerintah mengenai tarif tenaga listrik bahwa penerapan
tarif tenaga listrik yang mengkompensasi Biaya Pokok Penyediaan (BPP)
tenaga listrik dan margin yang wajar atau disebut tarif keekonomian
dilakukan secara bertahap dan terencana dengan mempertimbangkan kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat.

Tarif tenaga listrik yang diberlakukan kepada konsumen oleh pemegang


IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha wajib mendapatkan penetapan tarif dari
- 56 -

Menteri ESDM setelah memperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR). Penetapan tarif tenaga listrik dilakukan dengan
memperhatikan:

1. keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku


usaha penyediaan tenaga listrik;
2. kepentingan dan kemampuan masyarakat;
3. kaidah industri dan niaga yang sehat;
4. BPP tenaga listrik;
5. efisiensi pengusahaan;
6. skala pengusahaan dan interkoneksi sistem; dan
7. tersedianya sumber dana untuk investasi.

Dalam rangka memberikan pedoman dalam penetapan tarif tenaga listrik


untuk konsumen (alur penetapan, pihak yang terlibat, maupun ketentuan
waktu), Pemerintah mengatur tata cara permohonan persetujuan harga jual
tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dan tata cara permohonan
penetapan tarif tenaga listrik.

Untuk dapat memperoleh penetapan tarif tenaga listrik oleh Menteri ESDM,
Pemegang IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha mengajukan permohonan
penetapan tarif tenaga listrik kepada Menteri dengan melengkapi RUPTL, BPP
tenaga listrik, susunan struktur dan golongan tarif tenaga listrik. Dengan
kelengkapan tersebut, akan dilakukan evaluasi antara lain meliputi besaran
BPP tenaga listrik, komposisi bauran energi, tingkat efisiensi penyediaan
tenaga listrik, susunan struktur dan golongan tarif tenaga listrik, dan
keuntungan usaha yang wajar.

Tarif tenaga listrik yang ditetapkan untuk diterapkan pemegang IUPTLU yang
memiliki Wilayah Usaha dapat berdasarkan struktur dan golongan tarif
tenaga listrik. Struktur tarif tenaga listrik dapat dibedakan berdasarkan
tegangannya yaitu tegangan tinggi, tegangan menengah, tegangan rendah.
Golongan tarif tenaga listrik dapat dibedakan sesuai dengan peruntukannya
antara lain: layanan sosial, rumah tangga, bisnis, industri, kantor
pemerintah, penerangan jalan umum, traksi, penjualan curah, layanan
dengan kualitas khusus, dan/atau peruntukan lain yang ditetapkan oleh
Menteri. Namun demikian, Pemerintah mendorong kepada badan usaha agar
pengaturan tarif dapat dibuat sederhana dan mudah dipahami konsumen
atau masyarakat.
- 57 -

Penggolongan tarif tenaga listrik khususnya untuk PT PLN (Persero) saat ini
terdiri dari 38 golongan tarif yang terdiri dari golongan tarif subsidi sebanyak
25 golongan dan golongan tarif nonsubsidi sebanyak 13 golongan. Terhadap
13 golongan tarif non subsidi, diterapkan penyesuaian tarif tenaga listrik
(tariff adjustment) setiap 3 bulan apabila terjadi perubahan terhadap realisasi
indikator makro ekonomi (kurs, Indonesian Crude Price/ICP, inflasi, dan
Harga Patokan Batubara/HPB).

Pemerintah tetap berupaya agar tarif tenaga listrik tetap kompetitif khususnya
bagi golongan tarif nonsubsidi untuk dapat mendorong tumbuhnya investasi
di sektor ketenagalistrikan. Namun demikian, dengan memperhatikan kondisi
masyarakat dan industri terkini, serta untuk menjaga daya beli masyarakat,
Pemerintah dapat memutuskan untuk tidak diberlakukannya tariff
adjustment. Dampak dari kebijakan tersebut, Pemerintah harus menyediakan
kompensasi tarif tenaga listrik.

Untuk menjaga kesehatan APBN atas pembiayaan energi khususnya untuk


kompensasi tenaga listrik, Pemerintah perlu secara bertahap maupun
langsung melakukan penerapan Tariff Adjustment untuk dapat mengurangi
kompensasi listrik, dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi
nasional.

Penggolongan tarif tenaga listrik PT PLN (Persero) sebanyak 38 golongan saat


ini dianggap masih terlalu banyak dan seringkali membingungkan
masyarakat. Dengan beberapa golongan tarif masih memiliki market share
yang kecil dan besaran tarif yang sama, maka ke depan dapat dilakukan
penyederhaan golongan tarif sehingga tarif menjadi lebih sehat dan
berkeadilan.

Sebagai tindak lanjut untuk Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik


Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk transportasi jalan,
Pemerintah telah mengatur tarif tenaga listrik yang diberlakukan pada
pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai yang mengacu pada ketentuan
tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero) meliputi:

1. tarif tenaga listrik untuk keperluan penjualan curah, untuk pengisian


listrik pada tegangan menengah. Tarif tenaga listrik untuk keperluan
penjualan curah tersebut menggunakan faktor pengali Q sebesar 1,01.
- 58 -

2. tarif tenaga listrik untuk keperluan layanan khusus, untuk pengisian


listrik pada tegangan rendah. Tarif tenaga listrik untuk keperluan layanan
khusus tersebut menggunakan faktor pengali N sebesar 1.
3. tarif tenaga listrik untuk keperluan layanan khusus, untuk pengisian
listrik dari Badan Usaha SPKLU kepada pemilik KBL Berbasis Baterai.
Tarif tenaga listrik tersebut merupakan biaya pembelian tenaga listrik
atau energy charge (kWh) sesuai dengan tarif tenaga listrik untuk
keperluan layanan khusus menggunakan faktor pengali N paling tinggi
1,5.

Penerapan faktor pengali N untuk tarif tenaga listrik untuk pengisian listrik
dari Badan Usaha SPKLU kepada pemilik KBL Berbasis Baterai ditetapkan
oleh Badan Usaha SPKLU. Selain dikenai tarif tenaga listrik untuk keperluan
layanan khusus, pemilik KBL Berbasis Baterai dapat dikenai biaya layanan
pengisian listrik untuk setiap 1 (satu) kali pengisian listrik pada SPKLU
dengan Teknologi Pengisian Cepat (Fast Charging) atau Teknologi Pengisian
Sangat Cepat (Ultrafast Charging). Hal tersebut meurpakan salah satu upaya
untuk menarik minat investor, khususnya yang menyediakan layanan Fast
Charging dan Ultrafast Charging karena perlu investasi lebih mahal.

Kebijakan Subsidi Listrik

Subsidi listrik adalah belanja negara yang dialokasikan oleh Pemerintah


dalam APBN dan/atau APBN Perubahan sebagai bantuan kepada konsumen
pelanggan agar dapat menikmati listrik dari PT PLN (Persero) dengan tarif yang
terjangkau. Subsidi listrik wajib diberikan oleh Pemerintah kepada konsumen
yang tidak mampu.

Kebijakan Pemerintah mengenai subsidi listrik adalah melanjutkan


pelaksanaan subsidi listrik untuk lebih tepat sasaran dan lebih efisien. Saat
ini subsidi listrik diberikan kepada konsumen golongan rumah tangga,
golongan sosial seperti tempat ibadah, sekolah, dan rumah sakit, golongan
bisnis kecil dan industri kecil yang merupakan pelaku Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM). Untuk subsidi listrik paling banyak diberikan kepada
konsumen golongan rumah tangga, dimana kebijakan subsidi listrik saat ini
untuk seluruh pelanggan rumah tangga daya 450 VA masih diberikan subsidi
listrik dan pelanggan rumah tangga 900 VA diberikan kepada rumah tangga
miskin dan tidak mampu berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
(DTKS) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI, untuk itu Pemerintah
- 59 -

terus mengembangkan integrasi atas penggunaan setiap DTKS terbaru agar


penerima subsidi listrik lebih tepat sasaran.

Subsidi listrik setiap tahunnya diberikan oleh Pemerintah setelah melakukan


pembahasan sebelum tahun berjalan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebelum akhirnya ditetapkan dan dianggarkan dalam APBN untuk tahun
berikutnya.

Pemerintah terus mengkaji pengembangan terhadap pelaksanaan pemberian


subsidi listrik yang diselaraskan dengan daya beli masyarakat, dengan
merencanakan untuk merubah skema pemberian subsidi listrik yang semula
berdasarkan golongan tarif tenaga listrik menjadi subsidi secara langsung
kepada rumah tangga miskin dan tidak mampu berdasarkan DTKS.

Selain itu, untuk optimalisasi interoperabilitas dan pemanfaatan data


administrasi kependudukan (Adminduk) berbasis Nomor Induk
Kependudukan (NIK) untuk peningkatan akurasi data penerima program
Pemerintah seperti Program Bantuan dan Subsidi Listrik, maka Pemerintah
mendorong kepada pemegang IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha
menggunakan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk perorangan dan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk badan
usaha sebagai dasar pemberian nomor ID pelanggan.

Optimalisasi subsidi listrik dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi


penyediaan tenaga listrik yaitu penurunan Biaya Pokok Penyediaan (BPP)
tenaga listrik, dapat dilakukan upaya antara lain:

1. Kebijakan harga energi primer pembangkit (batubara dan gas)


2. program diversifikasi energi pembangkit BBM ke non BBM;
3. pengendalian efisiensi penyediaan tenaga listrik yaitu pembangkitan
berupa pengaturan SFC dan penyaluran berupa pengaturan besaran
susut jaringan tenaga listrik (losses);
4. optimalisasi bauran energi dengan memaksilkan penggunaan pembangkit
listrik berbahan bakar gas dan batubara; dan
5. meningkatkan peran energi baru dan terbarukan dalam pembangkitan
tenaga listrik.
- 60 -

Kebijakan Harga Pembangkitan dan Sewa Jaringan Tenaga


Listrik

Kebijakan penetapan harga jual dan sewa jaringan tenaga listrik merupakan
instrumen pengaturan untuk menjaga keseimbangan (fairness) para pihak
yang bertransaksi. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan
persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Persetujuan harga jual tenaga listrik dapat berupa harga
patokan. Untuk mendorong minat investor dan menjaga iklim usaha yang
baik, harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan
berdasarkan prinsip usaha yang sehat.

Untuk mendorong pemanfaatan EBET untuk pembangkit tenaga listrik,


Pemerintah terus berupaya melakukan penyempurnaan pengaturan harga
jual tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan EBET
seperti PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLT Air, PLTBm, PLTBg, PLTBn, PLTSa, PLTP,
PLT Laut dan PLT Hybrid melalui penetapan harga patokan, sedangkan untuk
PLTA Peaker, PLT BBN dan PLT Energi laut melalui harga kesepakatan. Di
samping itu, Pemerintah juga membuat pengaturan mekanisme harga jual
untuk pembangkit non energi baru terbarukan berkapasitas besar serta
pembelian kelebihan tenaga listrik (Excess Power) dari pemegang izin operasi.

Faktor pembentuk harga jual tenaga listrik yaitu terdiri:

1. Komponen A (CAPEX)

merupakan biaya investasi, antara lain biaya dari: tanah, pekerjaan sipil
dan gedung, peralatan mekanikal dan elektrikal, biaya konstruksi.
Komponen A ini dihitung pengembaliannya selama masa kontrak.

2. Komponen B

merupakan biaya operasi dan pemeliharaan tetap, antara lain:


administrasi, gaji, training, spare part, maintenance periodik, asuransi.

3. Komponen C

merupakan biaya bahan bakar, antara lain: biaya pembelian batubara


atau gas, termasuk biaya transportasi bahan bakar

4. Komponen D
- 61 -

merupakan biaya operasi dan pemeliharaan tidak tetap, antara lain:


pelumas, fuse, bahan kimia, unscheduled maintenance.

5. Komponen E

merupakan biaya pengadaan jaringan transmisi dari pembangkit ke titik


interkoneksi.

Komponen harga jual yang paling dominan pada umumnya adalah biaya
bahan bakar kecuali excess power dari PLTA/M. Biaya bahan bakar sangat
dipengaruhi dari jenis dan harga energi primer yang digunakan, serta lokasi
pembangkit.

Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan
berdasarkan prinsip usaha yang sehat. Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga
jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Untuk pembangkit EBT, harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit EBT
akan dievaluasi setiap tahun dengan mempertimbangkan rata-rata harga
kontrak PT PLN (Persero). Jika evaluasi mengakibatkan perubahan harga,
ketentuan perubahan harga diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam hal pembelian tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang
memanfaatkan sumber Energi Terbarukan menyebabkan peningkatan biaya
pokok pembangkit tenaga listrik PT PLN (Persero), PT PLN (Persero) harus
diberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan dan
pembayaran dilaksanakan sesuai kemampuan keuangan negara berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemegang IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha dapat melakukan pembelian


tenaga listrik dan/atau sewa jaringan tenaga listrik dari Badan Usaha Lain.
Pemegang IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha mengajukan permohonan
persetujuan harga jual dan sewa jaringan tenaga listrik secara tertulis kepada
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlauku antara lain:

1. Persyaratan administratif meliputi:


a. Profil dan nomor induk berusaha Badan Usaha penjual tenaga listrik
atau penyewa jaringan tenaga listrik;
- 62 -

b. Surat penetapan pengembang atau letter of intent (LoI);


c. Data dan informasi kepemilikan saham dan pengurus perusahaan
sampai dengan tingkatan penerima manfaat terakhir.
2. Persyaratan teknis meliputi:
a. Informasi terkait kelayakan teknis harga jual tenaga listrik atau sewa
jaringan tenaga listrik;
b. Informasi terkait kelayakan finansial harga jual tenaga listrik atau
sewa jaringan tenaga listrik;
c. Berita acara harga perkiraan sendiri;
d. Berita acara kesepakatan harga.
3. Informasi terkait kelayakan teknis harga jual tenaga listrik atau sewa
jaringan tenaga listrik meliputi:
a. Kapasitas pembangkit atau kapasitas sewa jaringan tenaga listrik;
b. Lokasi dan titik interkoneksi;
c. Faktor ketersediaan (availability factor) dan/atau faktor kapasitas
(capacity factor);
d. Suplai dan karakteristik bahan bakar pembangkit atau spesifikasi
teknis jaringan tenaga listrik yang disewakan;
e. Rencana commercial operation date.
4. Informasi terkait kelayakan finansial harga jual tenaga listrik meliputi:
a. Rincian besaran harga jual tenaga listrik yang terdiri atas komponen
harga yang merepresentasikan:
1) Biaya investasi;
2) Biaya operasi dan pemeliharaan tetap;
3) Biaya bahan bakar;
4) Biaya operasi dan pemeliharaan tidak tetap; dan/atau
5) Biaya jaringan atau fasilitas khusus;
b. Lama kontrak;
c. Model harga jual tenaga listrik meliputi harga flat, harga staging, atau
harga dasar;
d. Perhitungan eskalasi harga jual tenaga listrik;
e. Pola dan mekanisme kerja sama;
f. Mekanisme pembayaran;
g. Model finansial dan parameter finansial harga jual tenaga listrik.
5. Informasi terkait kelayakan finansial sewa jaringan tenaga listrik meliputi:
a. Besaran sewa jaringan tenaga listrik;
b. Lama kontrak;
- 63 -

c. Pola dan mekanisme kerja sama;


d. Model finansial dan parameter finansial sewa jaringan tenaga listrik.

Usaha transmisi tenaga listrik wajib membuka kesempatan pemanfaatan


bersama jaringan transmisi untuk kepentingan umum, dan untuk usaha
distribusi tenaga listrik dapat membuka kesempatan pemanfaatan bersama
jaringan distribusi. Pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan distribusi
(power wheeling) dilakukan melalui sewa jaringan antara pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik yang melakukan usaha transmisi dan/atau
distribusi dengan pihak yang akan memanfaatkan jaringan transmisi
dan/atau distribusi setelah mendapat persetujuan harga atas sewa dari
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Adapun pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau distribusi


tersebut harus memperhatikan kemampuan kapasitas jaringan transmisi
dan/atau distribusi. Pemerintah telah memberikan pedoman Pemanfaatan
Bersama Jaringan Tenaga Listrik dimana kebijakan penetapan harga sewa
jaringan termasuk pemanfaatan bersama jaringan didasarkan pada
mekanisme business to business berdasarkan prinsip usaha yang sehat.

Kebijakan Harga Energi Primer

Energi merupakan salah satu komponen utama dalam pembangkitan tenaga


listrik sehingga harga energi primer menjadi faktor pembentuk biaya pokok
penyediaan tenaga listrik (BPP). Secara umum, energi primer untuk
pembangkit merupakan komoditas dengan harga pasar tergantung dengan
jenis energinya. Dengan kondisi seperti itu maka BPP tenaga listrik sangat
dipengaruhi oleh harga energi yang dipengaruhi oleh pasar energi primer.

Batubara yang menjadi sumber energi utama pembangkitan saat ini


merupakan komoditas yang dipengaruhi harga pasar. Harga batubara
mengacu pada harga acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk
mewujudkan penyediaan energi dengan harga yang wajar dan menjaga tingkat
keekonomian BPP tenaga listrik maka Pemerintah dapat memberikan
kebijakan harga energi untuk pembangkit tenaga listrik. Pemerintah telah
menetapkan kebijakan pasokan dan harga batubara untuk sektor
pembangkitan melalui kewajiban domestic market obligation (DMO) dan
kebijakan batas atas harga batubara untuk pembangkit listrik sebesar US$70
per metric ton. Untuk menjamin keberlanjutan pasokan batubara untuk
- 64 -

pembangkit listrik, Pemerintah akan menyiapkan kebijakan skema


pengelolaan dana kompensasi DMO batubara melalui badan layanan umum
yang akan mengumpulkan dana atau iuran kompensasi DMO batubara.

Sementara itu, Gas Bumi dan minyak bumi yang dilihat sebagai sumber daya
alam strategis, pasokan dan harga diatur oleh pemerintah. Harga energi
lainnya seperti uap panas bumi maupun bioenergi secara umum berdasarkan
kesepakatan bisnis yang dipengaruhi oleh pasar energi tersebut.

Kebijakan Perlindungan Konsumen Ketenagalistrikan

Dalam melakukan kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Pemegang


IUPTLU (Ijin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Umum) wajib:

1. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standarmutu dan keandalan


yang berlaku;
2. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Konsumen dan
masyarakat;
3. memenuhi ketentuan Keselamatan Ketenagalistrikan; dan
4. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Standar mutu dan keandalan sistem tenaga listrik harus diberlakukan sesuai
dengan aturan jaringan pada sistem setempat yang meliputi:

1. aturan jaringan Sistem Tenaga Listrik (grid code); dan/atau


2. aturan distribusi tenaga listrik.

Dalam hal pemenuhan tingkat mutu pelayanan harus memenuhi sebagai


berikut:

1. Pemenuhan tingkat mutu pelayanan tenaga listrik harus memenuhi


indikator mutu layanan tenaga listrik pada suatu Wilayah Usaha;
2. Pemenuhan indikator mutu layanan wajib dilakukan oleh pemegang
IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha;
3. Dalam pemenuhan indikator mutu layanan, pemegan IUPTLU distribusi
dan/atau penjualan tenaga listrik yang memiliki Wilayah Usaha dapat
melakukan pengadaan;
4. Dalam hal tidak dapat memenuhi indikator mutu layanan, pemegang
IUPTLU yang memiliki Wilayah Usaha wajib memberikan pengurangan
tagihan listrik untuk pascabayar atau penambahan kilowatt-hour (kWh)
untuk prabayar kepada konsumen pada bulan berikutnya.
- 65 -

Indikator mutu layanan pada suatu Wilayah Usaha ditetapkan oleh Menteri
atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal Konsumen pada
golongan tarif tertentu menginginkan mutu pelayanan yang lebih baik,
indikator mutu layanan dituangkan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

Sebagai Acuan IUPTLU, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri


Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2017 jo Permen ESDM No
18 Tahun 2019 tentang Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) dan Biaya yang terkait
penyaluran tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) yang mengatur antara lain:

1. Pemerintah menetapkan besaran TMP setiap awal tahun;


2. Besaran TMP wajib diumumkan di tempat-tempat yang mudah diketahui,
agar konsumen mengetahui besaran TMP di daerahnya;
3. Wajib memenuhi TMP yang telah ditetapkan dan memberikan
pengurangan tagihan kepada konsumen yang berhak jika realisasinya
melebihi dari besaran yang telah ditetapkan; dan
4. Wajib menyampaikan laporan realisasi TMP dan pengurangan tagihan
kepada Pemerintah. Sumber data pelaporan realisasi TMP menggunakan
hasil pengukuran dan aplikasi pelaporan Pemegang IUPTLU yang
dipantau oleh Pemerintah.

Indikator TMP mencakup aspek teknis (tegangan tinggi, tegangan menengah,


tegangan rendah, frekuensi, lama gangguan/padam, jumlah
gangguan/padam, dan kecepatan menanggapi pengaduan) dan aspek
komersial (kecepatan pelayanan penyambungan baru tegangan menengah,
kecepatan pelayanan penyambungan baru tegangan rendah, kecepatan
pelayanan perubahan daya tegangan menengah, kecepatan pelayanan
perubahan daya tegangan rendah, waktu koreksi kesalahan rekening, dan
kesalahan pembacaan kWh meter).

Dari indikator tersebut terdapat sebagian indikator yang menjadi indikator


pinalti. Saat ini terdapat 13 (tiga belas) indikator TMP yang 6 (enam)
diantaranya adalah indikator pinalti (lama gangguan/padam, jumlah
gangguan/padam, kecepatan pelayanan penyambungan baru tegangan
rendah, kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan rendah, Waktu
koreksi kesalahan rekening, dan kesalahan pembacaan kWh meter). Besarnya
pengurangan tagihan untuk (indikator jumlah gangguan/padam, kecepatan
pelayanan penyambungan baru tegangan rendah, kecepatan pelayanan
perubahan daya tegangan rendah, Waktu koreksi kesalahan rekening, dan
kesalahan pembacaan kWh meter diberikan kepada konsumen adalah sebesar
- 66 -

20% untuk konsumen dengan tarif subsidi dan sebesar 35% untuk konsumen
dengan tarif non-subsidi..

Penentuan besaran indikator TMP dilakukan dengan mempertimbangkan


konfigurasi, kompleksitas, dan operasi sistem tenaga listrik, serta kondisi
geografis, termasuk untuk sistem terisolasi. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan kemudahan mendapatkan listrik (getting electricity) yang
merupakan salah satu indikator dalam kemudahan berusaha (Ease Of Doing
Business) oleh Bank Dunia, Pemerintah menetapkan indikator kecepatan
pelayanan penyambungan baru tegangan rendah serta biaya penyambungan.

Kebijakan Pemenuhan Kecukupan Pasokan Tenaga Listrik

Pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik dalam memenuhi kecukupan


pasokan listrik dengan menyediakan pasokan tenaga listrik selama 24 (dua
puluh empat) jam sehari pada suatu Wilayah Usaha. Pemenuhan kecukupan
pasokan tenaga listrik wajib dilakukan oleh pemegang IUPTLU yang memiliki
Wilayah Usaha.

Pemegang IUPTL wajib menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar


mutu dan keandalan yang berlaku, memberikan pelayanan yang sebaik-
baiknya kepada konsumen dan masyarakat serta memenuhi ketentuan
keselamatan ketenagalistrikan. Perlindungan konsumen dilakukan dalam
berbagai bentuk, antara lain:

1. Penyusunan regulasi yang mengatur pemenuhan hak-hak konsumen dan


sanksi kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hak-hak
konsumen tersebut;
2. Menyediakan akses bagi konsumen menyampaikan pengaduan,
selanjutnya untuk pengaduan yang sifatnya sistemik, ditindaklanjuti
dengan penyusunan kebijakan agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa
yang akan datang; dan
3. Pemerintah melakukan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan oleh
pemegang IUPTL.

Hak-hak konsumen dalam pelayanan penyediaan tenaga listrik diwujudkan


dengan penetapan tingkat mutu pelayanan tenaga listrik. Penetapan tingkat
mutu pelayanan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik juga akan dapat memberikan gambaran:
- 67 -

1. seberapa baik mutu pelayanan tenaga listrik di area pelayanan tersebut;


dan
2. seberapa jauh keberhasilan Pemegang IUPTL dalam peningkatan
pelayanan.

Akses bagi konsumen menyampaikan pengaduan dapat berupa penyampaian


pengaduan secara langsung, surat, e-mail, faksimili/telepon, kolom surat
pembaca di media cetak nasional, dan media sosial.

Sedangkan kewajiban dan tanggung jawab konsumen antara lain:

1. Konsumen wajib:
a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul
akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;
c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
e. menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.
2. Konsumen bertanggung jawab terhadap kerugian pemegang Perizinan
Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
kepentingan umum jika tidak melaksanakan kewajiban. Tanggung jawab
Konsumen antara lain:
a. membayar denda atas keterlambatan pembayaran pemakaian tenaga
listrik;
b. membayar tagihan susulan pemakaian tenaga listrik;
c. membayar ganti kerugian atas kerusakan/kehilangan instalasi tenaga
listrik yang dimiliki oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum; dan/atau
d. tanggung jawab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. Dalam hal Konsumen berkeberatan dalam melaksanakan tanggung
jawabnya maka akan dilakukan investigasi ketenagalistrikan.

Kebijakan Penyelesaian Perselisihan

Hubungan komersial usaha penyediaan tenaga listrik melibatkan beberapa


pihak, antara lain Pemerintah (pihak pertama) sebagai pengambil kebijakan
atau regulator dan sebagai mediator, pihak kedua adalah pengusaha atau
pengelola sebagai pelaksana kebijakan tersebut yang dalam hal ini sebagai
pihak operator atau pihak Pemegang IUPTLU (PLN dan badan usaha swasta
- 68 -

lainnya, BUMD, koperasi), pihak ketiga adalah pihak investor (dalam negeri
dan luar negeri) yang terkait dalam aspek permodalan, dan pihak keempat
adalah pihak konsumen sebagai pengguna tenaga listrik.

Dalam hal hubungan komersial usaha ketenagalistrikan, terjadi interaksi


antar pelaku usaha dengan pengguna usaha atau konsumen. Dalam interaksi
tersebut, tidak dipungkiri kemungkinan munculnya perselisihan akibat
perbedaan persepsi antar pihak atas perjanjian kerja sama yang telah
disepakati bersama dan berkembang menjadi permasalahan usaha. Kebijakan
penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul akibat pelaksanaan
hubungan komersial meliputi:

1. aspek hukum;
2. aspek teknik; dan
3. aspek finansial.

Pemerintah selalu mendorong agar perselisihan usaha penyediaan tenaga


listrik dapat diselesaikan secepat mungkin melalui jalan musyawarah atau
mediasi. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan umumnya dihindari
karena akan memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang relatif besar.
Musyawarah mufakat merupakan pilihan utama dalam menyelesaikan setiap
perselisihan yang terjadi untuk mendapatkan solusi atau kesepakatan bagi
kepentingan para pihak. Pelaksanaan musyawarah oleh para pihak dapat
melibatkan unsur Pemerintah terkait untuk melakukan fasilitasi atau
mediasi.

Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator atau mediator dalam


penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan usaha
ketenagalistrikan, antara lain:
1. Penyelesaian melalui konsultasi

Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan bersifat “personal”


antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak
yang lain merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya
kepada klien tersebut untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut.
2. Penyelesaian melalui negosiasi dan perdamaian

Pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri
perselisihan yang timbul diantara mereka. Kesepakatan mengenai
penyelesaian harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh
para pihak. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:
- 69 -

a. diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari;


b. penyelesaian sengketa harus dilakukan dalam bentuk pertemuan
langsung oleh dan antara para pihak yang bersengketa; dan
c. keputusan hasil yang diambil berdasarkan kesepakatan dan
musyawarah bersama.

Negoisasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di


luar pengadilan. sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum
dan setelah proses persidangan pengadilan dilakukan baik didalam
maupun di luar sidang pengadilan.

3. Penyelesaian melalui mediasi

Merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya


negoisasi yang dilakukan oleh para pihak atas kesepakatan tertulis para
pihak sengketa atas beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang
fasilitator yang mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi
terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa
untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan. Kesepakatan
tertulis bagi penyelesaian sengketa atau beda pendapat adalah final dan
mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.

4. Penyelesaian melalui konsiliasi

Berdasarkan Black’s Law Dictionary pada prinsipnya konsiliasi atau tidak


berbeda jauh dengan perdamaian.

5. Penyelesaian Arbitrase

Arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk


menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa
yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan
juga dapat memberi konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum
atas permintaan dari para pihak yang memerlukannya tidak terbatas para
pihak dalam perjanjian.

Dalam hal perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk


mufakat penyelesaian perselisihan antara para pihak dapat dilakukan melalui
litigasi, yaitu proses menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama
lain di muka pengadilan. Pada dasarnya penyelesaian perselisihan secara
litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif
- 70 -

penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil. Namun mengingat


hubungan komersial ketenagalistrikan juga dapat melibatkan pihak asing,
banyak pertimbangan yang melandasi para pelaku usaha ketenagalistrikan
tersebut untuk memilih jalur non-litigasi sebagai upaya penyelesaian
perselisihan yang dihadapi.

Penyelesaian perselisihan non litigasi antara lain dengan menyerahkan


kepada para ahli yang disepakati untuk menjatuhkan putusan atas
perselisihan yang terjadi diantara mereka. Pada prinsipnya, perselisihan yang
diselesaikan adalah perselisihan yang sangat khusus dan kompleks
(complicated), karena itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang
spesialis profesional. Dan dalam hal putusan ahli tidak dapat diterima,
penyelesaian perselisihan dapat diputus oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) atau Badan Arbitrase lainnya yang ditunjuk. Penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase melibatkan pihak ketiga yang memiliki wewenang
untuk memutus sengketa para pihak yang putusannya bersifat final dan
mengikat.

Kebijakan Penegakan Ketentuan Pidana Bidang


Ketenagalistrikan

Tenaga listrik memiliki potensi bahaya yang cukup besar bagi manusia
maupun makhluk hidup lainnya serta dapat mengganggu/merusak daya
dukung lingkungan. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan pengawasan yang
komprehensif terhadap pengusahaan dan pemanfaatan tenaga listrik, serta
penindakan yang tegas terhadap pengusahaan dan pemanfaatan yang tidak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan pidana dapat
dikenakan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hal-
hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penegakkan ketentuan pidana bidang ketenagalistrikan dengan melakukan


penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan selain dapat dilakukan
oleh Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) juga dapat dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagalistrikan yang telah
memperoleh pengangkatan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
dengan cara-cara yang profesional, bebas korupsi, bermartabat dan
terpercaya.
- 71 -

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan merupakan


salah satu dari sedikit undang-undang yang di dalamnya terdapat unsur
tindak pidana yang melibatkan PPNS dalam rangka penegakan hukumnya.
Tindak Pidana Ketenagalistrikan tertuang dalam pasal 49 hingga pasal 55 dari
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dengan
ancaman pidana penjara mulai dari 2 (dua) tahun hingga 7 (tujuh) tahun dan
denda mulai dari sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) hingga Rp.
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

Dalam melakukan proses penyidikan pidana ketenagalistrikan, cara beracara


tetap mengikuti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Seluruh proses mulai dari prosedur pelaporan terjadinya dugaan pidana,
pelaksanaan Wasmatlistrik atau Penyelidikan PPNS, sampai penyidikan dan
penyelesaian berkas perkara berpedoman kepada KUHAP.

Pemakaian listrik secara melawan hukum adalah pidana yang paling banyak
terjadi di bidang ketenagalistrikan, walaupun sudah dikenakan denda perdata
dengan membayar tagihan susulan akibat pemakaian listrik secara tidak sah
tetapi masih banyak ditemukan konsumen ataupun bukan konsumen yang
memakai listrik secara illegal. Terhadap yang telah membayar tagihan
susulan karena operasi Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), PPNS
tetap dapat menuntut secara pidana. akibat perbuatannya tersebut.

Selain pidana di bidang ketenagalistrikan, PPNS dapat memberikan sanksi


administrasi. Apabila tidak terpenuhinya asas kepatuhan terhadap sanksi
administrasi, maka sanksi pidana dibidang ketenagalistrikan akan tetap
dikenakan sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
menyebabkan terjadinya kebakaran, kematian, atau tidak terpenuhinya
keselamatan ketenagalistrikan.

Ketentuan Pidana Bidang Ketenagalistrikan

Pelanggaran-pelanggaran di bidang ketenagalistrikan yang dapat dikenakan


ketentuan pidana, yaitu:
1. melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum
tanpa IUPTL untuk kepentingan umum;
2. melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri
tanpa IUPTLS;
- 72 -

3. melakukan penjualan kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi


kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah atau Pemerintah
Daerah;
4. tidak memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;
5. menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum;
6. melakukan usaha penyediaan tenaga listrik dengan tidak memenuhi
kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman;
7. melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik tanpa izin;
8. mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi; dan
9. memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan
pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI).

Pelanggaran dan pengabaian terhadap ketentuan pidana tersebut di atas akan


ditindaklanjuti oleh PPNS Ketenagalistrikan dengan melakukan pengawasan,
pengamatan, penelitian, dan pemeriksaan (wasmatlitrik), dan apabila unsur
pidananya terpenuhi maka dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan, sesuai
dengan kewenangannya.

Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari dan menemukan


suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan. Bentuk kegiatan penyelidikan berupa
kegiatan yang tidak mengandung upaya paksa seperti observasi, interview,
penyamaran, dan penggunaan informan.

Sedangkan penyidikan adalah tindakan penyidik untuk mencari dan


mengumpulkan bukti, untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangka. Bentuk kegiatan penyidikan berupa kegiatan
mengandung upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, dan tindakan lain yang diperlukan
sesuai dalam kewenangan yang dimiliki oleh PPNS sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Penindakan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil


Ketenagalistrikan

PPNS memiliki wewenang untuk melakukan penindakan dan penyidikan


kepada setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap tindak pidana di bidang ketenagalistrikan. Adapun wewenang PPNS
terdiri atas:
- 73 -

1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan


berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
2. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan
tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
3. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka dalam perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
ketenagalistrikan;
4. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
5. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha
ketenagalistrikan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
6. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha ketenagalistrikan yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
7. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
ketenagalistrikan; dan
8. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana di bidang ketenagalistrikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Penanganan Susut Jaringan Non Teknis Tenaga Listrik

Pencurian energi listrik merupakan hal anomali atau menyimpang di


masyarakat. Tanpa pelaksanaan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL),
pemakaian listrik illegal dapat menjadi sangat tinggi. Padahal, pencurian
listrik tersebut menyebabkan susut non teknis meningkat dan berdampak
meningkatnya subsidi negara kepada PT PLN Persero.

P2TL merupakan langkah positif dalam menertibkan dan mengamankan


energi listrik yang dimanfaatkan masyarakat (pelanggan) secara tidak sah
serta dapat menurunkan susut non teknis dan menghindari bahaya listrik
bagi masyarakat. Dalam pelaksanaan P2TL, banyak kendala yang dihadapi
seperti resistensi dan/atau perlawanan masyarakat terhadap petugas PLN,
modus operandi yang beragam dan semakin canggih, dan keterlibatan orang
dalam/internal. Hal ini membuat PLN melibatkan PPNS Ketenagalistrikan
dalam melaksanakan Operasi P2TL.

Target tim P2TL adalah semua pelanggan atau pun bukan pelanggan yang
melakukan tindakan/perbuatan yang menyebabkan bertambahnya
- 74 -

pemakaian tenaga listrik sehingga lebih besar dari yang semestinya atau dari
daya resmi yang terpasang. Pencurian aliran listrik seperti pencantolan ke
jaringan milik PT PLN dan merubah atau mengutak-atik alat pembatas dan
pengukur (kWh atau kVARh meter) sehingga mengurangi rekening
pembayaran atau menambah daya tanpa seijin PT PLN, merupakan tindakan
kejahatan yang menyebabkan bertambahnya pemakaian tenaga listrik lebih
besar dari yang semestinya.

Tindakan pencurian aliran listrik, tidak hanya merugikan PT PLN secara


finansial melainkan juga merusak citra PT PLN selaku pemasok aliran tenaga
listrik. Penyantolan juga merugikan masyarakat pelanggan lain yang tidak
ikut mencantol karena berdampak tegangan turun atau tidak stabil yang
mengakibatkan peralatan listrik tidak berfungsi dengan baik. Kondisi inilah
yang dikeluhkan pelanggan sehingga menurunkan citra PT PLN.

Bagi pelanggan yang melakukan pelanggaran atau terdapat temuan


pelanggaran pada persil pelanggan, maka dikenakan sanksi sebagai berikut :

1. pemutusan sementara;
2. pembongkaran rampung;
3. pembayaran tagihan susulan;
4. pembayaran P2TL lainnya.

Bagi non pelanggan atau bukan pelanggan yang melakukan pelanggaran atau
terdapat temuan pelanggaran pada persil pelanggan, maka dikenakan sanksi
sebagai berikut :

1. pemutusan rampung;
2. pembayaran ganti rugi pemakaian tenaga listrik;
3. pembayaran biaya P2TL lainnya.

Pelanggan atau bukan pelanggan yang melakukan pelanggaran dan tidak


menyelesaikan TS sesuai golongan pelanggarannya, namun menyambung
kembali aliran listrik ke satuan instalasi yang bermasalah secara tidak sah,
maka akan dikenakan P2TL ulang dengan TS ganda.

Terdapat 4 (empat) golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu:


1. pelanggaran Golongan I (P I) merupakan pelanggaran yang mempengaruhi
batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi;
2. pelanggaran Golongan II (P II) merupakan pelanggaran yang
mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya;
- 75 -

3. pelanggaran Golongan III (P III) merupakan pelanggaran yang


mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi; dan
4. pelanggaran Golongan IV (P IV) merupakan pelanggaran yang dilakukan
oleh bukan konsumen.

Pelanggan yang melakukan pelanggaran P I lebih dari 1 (satu) kali


pelanggaran, maka pelanggan tersebut diwajibkan tambah daya dan
bersamaan dengan penyelesaian TS. Selanjutnya PLN secara berkala
melakukan peningkatan sosialisasi dan tindakan preventif agar masyarakat
teredukasi, meningkatkan sarana/prasarana untuk pelaksanaan di lapangan.
Serta mengedukasi masyarakat tentang bahayanya melakukan pemakaian
listrik secara illegal.

Pemakaian listrik yang bukan haknya adalah bila mana ada pelanggan atau
konsumen yang telah melakukan pemakaian listrik tanpa alas hak yang sah,
sebagaimana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana ketenagalistrikan
atas perbuatan melawan hukum atau peristiwa pidana karena suatu
kejahatan yang dapat dipidana karena mengandung suatu makna yang terkait
di dalamnya. Sedangkan tindak pidana atau merupakan aplikasi daripada
tindak pidana beserta barang atau alat yang diperuntukan guna meniru atau
memalsukan, jadi tindak pidana secara umum dinyatakan secara tegas
adalah dilarang karena melanggar Undang-Undang yang berlaku.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setiap orang yang


melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa
izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp.2 milyar rupiah. Tenaga listrik tidak lagi terbatas
penggunaannya sebagai keperluan rumah tangga, melainkan juga untuk
keperluan industri.

Dalam pengertian benda, tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder
yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam
keperluan, tetapi, tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi,
elektronika, atau isyarat. walaupun secara jelas bahan tenaga listrik itu
bukan merupakan benda yang terwujud.

Jadi tenaga listrik dan gas sebagai jenis benda yang dapat dijadikan obyek
kejahatan pencurian sebagaimana yang dimaksud pada Peraturan Direksi
PLN Nomor 088.Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik,
yang menyangkut pelanggaran dan atau non pelanggaran dan tagihan
- 76 -

susulan kepada pelanggan atau konsumen, yang menggunakan tenaga listrik


yang bukan haknya secara melawan hukum, dapat dikatakan tindak pidana
pencurian tenaga listrik.

Sehingga dikatakan seorang telah melakukan Pemakaian Listrik yang bukan


haknya secara melawan hukum dapat mendapat acaman pidana apabila
negara telah menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman
berdasarkan peraturan-peraturan perundang yang berlaku. Peraturan-
peraturan yang mengatur akibat hukuman dan pelanggaran- pelanggaran
semacam itu bukan hanya dapat datang dari pemerintah pusat, melainkan
datang dari pemerintah daerah, secara komprehensif yang kita kenal dengan
peraturan daerah, hukum pidana positip pada dewasa ini merupakan suatu
lembaga yang tumbuh dan berkembang.

Pemakaian listrik yang bukan haknya secara melawan hukum termasuk


tindak pidana pencurian ketenagalistrikan pada dasarnya selama hukum
bertujuan untuk menciptakan suana kondusif di dalam pergaulan hidup
bermasyarakat, bernegara agar tercipta keserasian, suatu ketentuan dan
suatu kepastian hukum. Tata cara perlindungan hukum dan keamanan di
luar maupun di dalam proses peradilan, anggaran P2TL, Penyiapan
laboratorium P2TL, sanksi bagi penanggung jawab, pelaksana lapangan dan
petugas administrasi P2TL diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direksi.
Vonis atau hukuman yang hendak dijatuhkan merupakan suatu upaya
terakhir, bahwa pada dasarnya terhadap setiap hukuman pasti terdapat
keberatan, akan tetapi tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan
ketentuan, bilamana seseorang itu dapat dihukum.

Kriteria Pemakaian Listrik Yang Bukan Haknya Secara Melawan Hukum

Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana


pemakaian listrik yang bukan haknya secara melawan hukum harus
dibuktikan serta memenuhi kriteria tindak pidana dengan sengaja dengan
mudah diketahui dan dapat dibuktikan. Sebagai contoh dalam pasal 51 ayat
(3) Undang-Undang 30 tahun 2009 adalah setiap orang yang menggunakan
tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan
pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp.
2.500.000.000,00,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Sehingga pemakaian listrik yang bukan haknya secara melawan hukum


adalah menggunakan tenaga listrik bukan haknya atau tidak sesuai dengan
- 77 -

peruntukannya, hal ini sudah diatur dalam Undang undang Nomor. 30 tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan dalam pasal 51 ayat (3) maka dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian tenaga listrik.

Karena perbuatan telah melawan hukum yang menggunakan energi bukan


haknya yang dapat merugikan Negara atau dapat merugikan orang lain atau
dapat mengakibatkan membahayakan yaitu kematian, untuk itu dapat
dikatagorikan sebagai pencurian tenaga listrik karena adanya energi listrik
yang hilang atau susut jaringan yang hilang akibat disalurkan secara sengaja
maupun tidak sengaja secara tidak syah.

Oleh karena itu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana


pencurian pemakaian listrik yang bukan haknya secara melawan hukum.
Salah satu contoh tindak pidana pencurian, yaitu pencurian dengan
mengambil aliran listrik atau biasa dikenal dengan pencantolan. Jenis ini bisa
dibilang paling merugikan dan modus operandi tergolong sulit, hal ini
disebabkan karena sifat daya itu sendiri yang memang kasat mata mesti bisa
dirasakan. Tindakan ini termasuk losses non teknis (hilangnya energi atau
listrik atau daya bukan karena unsur teknis).

Keteknikan dan Perlindungan Lingkungan

Selain bermanfaat, tenaga listrik juga berpotensi membahayakan. Kesalahan


dalam pembangunan dan pemasangan, pengoperasian maupun pemanfaatan
tenaga listrik dapat membahayakan keselamatan makhluk hidup, harta benda
dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, penyelenggaraan ketenagalistrikan
wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan guna mewujudkan
kondisi tenaga listrik yang andal, aman bagi instalasi, aman dari bahaya
terhadap manusia dan makhluk hidup lain, serta ramah bagi lingkungan.
Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan meliputi:
1. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
2. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan
3. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.

Selain hal tersebut di atas, dalam setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib
memenuhi ketentuan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
- 78 -

Kebijakan Standardisasi Ketenagalistrikan

Tenaga listrik selain bermanfaat bagi kehidupan masyarakat juga dapat


mengakibatkan bahaya bagi manusia apabila tidak dikelola dengan baik.
Pemerintah dalam rangka menjaga keselamatan ketenagalistrikan
menetapkan standardisasi, pengamanan instalasi peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik. Tujuan keselamatan ketenagalistrikan antara lain melindungi
masyarakat dari bahaya yang diakibatkan oleh tenaga listrik, meningkatkan
keandalan sistem ketenagalistrikan, meningkatkan efisiensi dalam
pengoperasian dan pemanfaatan tenaga listrik.

Kebijakan dalam standardisasi tersebut meliputi standar peralatan tenaga


listrik (yaitu alat atau sarana pada instalasi pembangkitan, penyaluran, dan
pemanfaatan tenaga listrik), standar pemanfaat tenaga listrik (yaitu semua
produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik
untuk berfungsinya produk atau alat tersebut). Untuk peralatan dan
pemanfaat tenaga listrik yang memenuhi Standar Nasional Indonesia
dinyatakan dengan Sertifikat Produk untuk dapat membubuhi Tanda SNI
( ) dan tanda keselamatan ( ) pada peralatan tenaga listrik dan pemanfaat
tenaga listrik.

SNI pada prinsipnya diterapkan secara sukarela, namun dalam hal SNI
berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan
masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan
ekonomis, instansi teknis (Kementerian ESDM) dapat memberlakukan SNI
secara wajib. Pemerintah telah memberlakukan SNI wajib untuk sejumlah
produk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang terkait dengan
keselamatan khususnya untuk keperluan penggunaan rumah tangga, dengan
pertimbangan bahwa peralatan tersebut dioperasikan oleh masyarakat umum
dan tidak ahli di bidang listrik. Lingkup peralatan tenaga listrik dan
pemanfaat tenaga listrik yang SNI nya telah diberlakukan wajib yaitu sesuai
dengan Peraturan Menteri ESDM.

Untuk proses sertifikasi produk yang telah diberlakukan SNI Wajib,


berpedoman pada peraturan perundang0undangan yang berlaku. Proses
sertifikasi produk adalah proses menilai apakah suatu produk memenuhi
persyaratan seperti yang tercantum dalam standar. Untuk itu yang harus
dilakukan untuk adalah :
- 79 -

1. pastikan jenis produk apa yang ingin disertifikasi, ingat objek utama
sertifikasi produk adalah produknya bukan perusahaan, hal ini berbeda
dengan sertifikasi sistem manajemen yang menjadikan perusahaan objek
sertifikasinya.
2. cek apakah Produk yang anda ingin sertifikasi sudah ada Standar nya,
dalam hal ini apakah SNI nya sudah ditetapkan, jika SNI nya belum ada,
maka produk anda tidak dapat disertifikasi.
3. setelah memastikan SNI nya, cek apakah ada Lembaga Sertifikasi Produk
(LSPro) yang sudah terakreditasi oleh KAN untuk SNI tersebut, jika tidak
ada LSPro yang terakreditasi berarti produk belum dapat disertifikasi,
namun anda bisa meminta LSPro untuk menambah ruang lingkup
akreditasinya kepada KAN sehingga produk anda bisa disertifikasi.
Khusus untuk SNI yang sudah diwajibkan, beberapa kementerian
mengatur tentang penunjukan sementara LSPro yang belum diakreditasi
untuk melakukan sertifikasi, namun dipersyaratkan dalam jangka waktu
tertentu harus sudah terakreditasi.
4. anda dapat menghubungi langsung LSPro terkait untuk detail
persyaratannya.

Kegiatan sertifikasi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dengan


mengajukan aplikasi ke LSPro dan mengikuti proses sertifikasi yang ada di
LSPro. Dalam melakukan proses sertifikasi tersebut, Lembaga Sertifikasi
Produk (LSPro) haruslah mengoperasikan skema sertifikasi yaitu aturan,
prosedur dan manajemen untuk melakukan sertifikasi terhadap produk –
produk tertentu. Skema berisi tata cara/persyaratan-persyaratan dan
mekanisme apa saja yang diperlukan dan dilakukan dalam pelaksanaan
sertifikasi produk tertentu. Dari mulai proses seleksi, determinasi, review,
keputusan dan atestesi. Jadi dalam melakukan sertifikasi, LSPro haruslah
memastikan bahwa kegiatan sertifikasi yang dilakukannya sesuai dengan
skema yang dioperasikannya. Pada prinsipnya skema sertifikasi produk
sangatlah bergantung dari jenis , karakteristik serta proses produksi produk
tersebut.

Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk


tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua
pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan
memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan
hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta
perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang
- 80 -

sebesar-besarnya sedangkan pengertian Standardisasi adalah proses


merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan
mengawasi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan
semua Pemangku Kepentingan.

Pada sektor ketenagalistrikan dengan adanya standar baik itu standar


peralatan dan pemanfaat tenaga listrik serta sistem untuk memenuhi aspek
keselamatan ketenagalistrikan sesuai amanat peraturan perundang-
undangan. Dimana aspek keselamatan ketenagalistrikan merupakan segala
upaya atau langkah pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik, pengamanan instalasi tenaga listrik, dan pengamanan
pemanfaat tenaga listrik untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi
instalasi, aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, serta
ramah lingkungan.

Pengujian standardisasi dilakukan pada laboratorium sesuai dengan


ketentuan sebagai berikut:

1. laboratorium pengujian terakreditasi Komite Akreditasi Nasional dan


memiliki perizinan berusaha jasa penunjang tenaga listrik dari Lembaga
OSS;
2. dalam hal laboratorium pengujian merupakan sumber daya eksternal dari
Lembaga Sertifikasi Produk, pengujian harus dilengkapi dengan perjanjian
subkontrak; dan
3. dalam hal pengujian tidak dapat dilakukan oleh laboratorium pengujian
dalam negeri, pengujian dapat dilakukan oleh laboratorium pengujian luar
negeri dengan dilengkapi perjanjian subkontrak.

Hingga saat ini terdapat 8 laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat


tenaga listrik, sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

Tabel II.1. Daftar Laboratorium Pengujian Peralatan Dan Pemanfaat Tenaga


Listrik
NO. NAMA BADAN USAHA RUANG LINGKUP SERTIFIKASI
- kipas angin
- tusuk kontak/kotak kontak
- RCCB
- MCB
1 PT SUCOFINDO (PERSERO) - Luminer Magun Kegunaan Umum
- Luminer Tanam
- Luminer Pencahayaan Jalan Umum
- Luminer Kegunaan Umum Portabel
- Luminer Lampu Sorot
- 81 -

- Luminer Portabel

- Luminer Magun Kegunaan Umum


- Luminer Tanam
PT VERTEX GLOBAL - Luminer Pencahayaan Jalan Umum
2
INDONESIA - Luminer Kegunaan Umum Portabel
- Luminer Lampu Sorot
- Electric Fan (Kipas Angin)
PT UL INTERNATIONAL
3 Tusuk Kontak, Kotak Kontak
INDONESIA
- Kipas Angin
- Sakelar untuk instalasi listrik tetap rumah tangga dan
BALAI PENGUJIAN MUTU sejenisnya
4 BARANG KEMENTERIAN - Tusuk Kontak dan Kotak Kontak untuk Keperluan Rumah
PERDAGANGAN Tangga dan Persyaratan - - Umum
- Pemutus sirkuit proteksi arus lebih atau MCB (Miniature
Circuit Breaker)
PT HARTONO ISTANA
5 Kipas Angin
TEKNOLOGI
PT TUV RHEINLAND
6 Kipas Angin
INDONESIA
PT RAJAWALI BASKARA
7 Kipas Angin
PERKASA
kWh meter
Pemutus Tenaga Mini (MCB)
Isolator
Stick Isolasi
PHB TR
PHB TM
Trafo Distribusi
Transformator arus (CT)
Transformator tegangan (PT)
Relai Jarak
Relai Diferensial Kawal Pilot
PT PLN (PERSERO) PUSAT
8 Relai Arus Lebih
SERTIFIKASI
Relai Tegangan Lebih/Kurang
Relai Arah
Relai cek sinkron
Relai Gangguan Tanah Terbatas (REF)
Relai Penutup Balik
Relaik Diferensial Trafo Tenaga
Relai Tunda Waktu
Relai penguat medan hilang
relai thermal overload
Transformator Tenaga
Penangkap Petir/Arrester

Standardisasi ketenagalistrikan merupakan salah satu bentuk komitmen


untuk pemenuhan keselamatan ketenagalistrikan, utamanya untuk peralatan
- 82 -

dan pemanfaat tenaga listrik harus memenuhi ketentuan SNI yang telah
diberlakukan wajib oleh Pemerintah. Seiring dengan berjalannya waktu
peralatan listrik pun semakin canggih dan beragam jenis serta variannya.
Untuk itu, pemerintah berkewajiban menyediakan SNI yang terbaru seiring
dengan perkembangan peralatan yang ada di pasar sebagai acuan.

Sehubungan dengan implementasi kebijakan pemerintah dalam rangka


mendorong perkembangan kendaraan bermotor listrik dan energy storage
system di Indonesia dan untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan
energi, dan konservasi energi sektor transportasi, dan terwujudnya energi
bersih, serta komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2)
sebesar 29 persen pada tahun 2030, diperlukan peraturan untuk mendukung
program tersebut. Usaha pemenuhan tersebut, berkaitan dengan
ketersediaan SNI bidang ketenagalistrikan untuk kendaraan listrik
khususnya PKLU dan energy storage system oleh Direktorat Jenderal
Ketenagalistrikan. Melalui Komite Teknis, Direktorat Jenderal
Ketenagalistrikan merumuskan Rancangan SNI untuk selanjutnya ditetapkan
menjadi SNI oleh BSN.

II.B.1.a. Perumusan SNI di Bidang Ketenagalistrikan

Usaha pemenuhan ketersediaan SNI bidang ketenagalistrikan oleh Direktorat


Jenderal Ketenagalistrikan diwujudkan dengan mengelola 15 Komite Teknis
yang merumuskan Rancangan SNI untuk selanjutnya ditetapkan menjadi SNI
oleh BSN. Penetapan SNI dapat berupa penerapan SNI secara sukarela dan
pemberlakuan SNI secara wajib. Hingga tahun 2022 telah diterbitkan sekitar
602 SNI di bidang ketenagalistrikan.

II.B.1.b. Pemberlakuan SNI Wajib Ketenagalistrikan

Hingga saat ini terdapat 12 ruang lingkup SNI di bidang ketenagalistrikan


yang diberlakukan secara wajib meliputi 2 ruang lingkup SNI sistem
ketenagalistrikan dan 10 ruang lingkup produk peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik, sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

Tabel II.2. Daftar SNI Wajib di Bidang Ketenagalistrikan

NO NOMOR DAN JUDUL SNI LINGKUP PEMBERLAKUAN

1. SNI IEC 60196:2015 Frekuensi Standar (IEC 60196:2009, IDT) Sistem/Instalasi


- 83 -

NO NOMOR DAN JUDUL SNI LINGKUP PEMBERLAKUAN

2. SNI 0225:2011 Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2020 (PUIL Sistem/Instalasi


2020)

SNI 8528-1:2018 Lengkapan listrik – Pemutus sirkuit untuk


proteksi arus lebih untuk instalasi rumah tangga dan sejenis -
3. Produk
Bagian 1: Pemutus sirkuit untuk operasi AB (IEC 60898-1:2015,
MOD)

a. SNI IEC 61008-1:2017 Pemutus Sirkit Arus Sisa Tanpa


Proteksi Arus Lebih Terpadu untuk Pemakaian Rumah
Tangga & Sejenisnya – Bagian 1: Persyaratan Umum (IEC
61008-1:2013, IDT).
b. SNI 04-6956.2.1-2005 Pemutus sirkit arus sisa tanpa
proteksi arus lebih terpadu untuk pemakaian rumah tangga
4. dan sejenisnya (RCCB) – Bagian 2-1: Penerapan persyaratan Produk
umum RCCB yang berfungsi tak tergantung dari Tegangan
saluran.
c. SNI IEC 61008-2-2:2014 Pemutus sirkit arus sisa tanpa
proteksi arus lebih terpadu untuk pemakaian rumah tangga
dan sejenis (RCCB) – Bagian 2-2: Penerapan aturan umum
RCCB yang berfungsi tergantung dari voltase lin (IEC 61008-
2-2:1990, IDT).

SNI IEC 60669-1:2013 Saklar untuk instalasi rumah tangga dan


5. instalasi listrik magun rumah tangga dan sejenis - Bagian 1 : Produk
Persyaratan umum (IEC 60669-1 (2000), IDT).

a. SNI IEC 60884-1:2014 Tusuk kontak dan kotak kontak


untuk keperluan rumah tangga dan keperluan sejenis
Bagian 1: Persyaratan Umum (IEC 60884-1 :2006, IDT); dan
6. Produk
b. SNI 04-3892.1.1-2003 Tusuk-kontak dan kotak-kontak
untuk keperluan rumah tangga dan sejenisnya – Bagian 1-1:
Persyaratan umum – Bentuk dan Ukuran.

a. SNI IEC 61347-1:2011 Perlengkapan Kendali Lampu –


Bagian 1: Persyaratan Umum dan Keselamatan.
7. Produk
b. SNI IEC 61347-2-3:2011 Perlengkapan Kendali Lampu –
Bagian 2.3: Persyaratan Khusus Ballast Elektronik A.B
untuk lampu fluorescen.

a. SNI IEC 60598–1:2016 Luminer - Bagian 1: Persyaratan


umum dan pengujian (IEC 60598-1:2014, IDT).
b. SNI 04–6973.2.1-2005 mengenai Luminer - Bagian 2-1:
Persyaratan Khusus - Luminer Magun Kegunaan Umum.
c. SNI IEC 60598-2-2:2016 Luminer – Bagian 2-2: Persyaratan
khusus – Luminer tanam (IEC 60598-2-2:2011, IDT).
d. SNI IEC 60598-2-3:2016 Luminer - Bagian 2-3: Persyaratan
khusus – Luminer untuk pencahayaan jalan umum (IEC
60598-2-3:2002 dan Amd.1:2011, IDT).
8. Produk
e. SNI IEC 60598-2-4:2012 Luminer – Bagian 2: Persyaratan
khusus – Seksi 4: Luminer kegunaan umum portabel (IEC
60598-2-4:1997, IDT).
f. SNI IEC 60598-2-5:2016 Luminer - Bagian 2-5:Persyaratan
Khusus - Luminer Lampu Sorot (IEC 60598-2-5:2015, IDT).
g. SNI IEC 60598-2-12:2016 Luminer –Bagian 2-12:
Persyaratan khusus – Lampu tidur dipasang pada stop
kontak instalasi listrik. (IEC 60598-2-12:2013, IDT, Eng)
h. SNI IEC 60598-2-20:2012 Luminer-Bagian 2-20: Persyaratan
khusus - Rantai Cahaya (IEC 60598-2-20:2010, IDT).
- 84 -

NO NOMOR DAN JUDUL SNI LINGKUP PEMBERLAKUAN

a. SNI IEC 7859:2013 Peranti listrik rumah tangga dan sejenis-


Keselamatan -Bagian 1: Persyaratan umum (IEC 60335-
1:2010, MOD).
9. b. SNI 7609:2011 Peranti listrik rumah tangga dan sejenis - Produk
Keselamatan -Bagian 2-80: Persyaratan khusus untuk Kipas
Angin (IEC 60335-2-80 Edition 2.2 (2008-09) ”Household and
similar electrical appliances – Safety – Part 2-80: Particular
requirements for fans”, MOD)).

a. SNI IEC 60670-1:2015 Kotak dan selungkup untuk


lengkapan listrik pada instalasi listrik magun untuk
rumah tangga dan sejenis- Bagian 1: Persyaratan umum
(IEC 60670-1:2011, IDT).
b. SNI IEC 60670-22:2017 Kotak dan selungkup untuk
lengkapan listrik pada instalasi listrik magun rumah
10 tangga dan sejenis - Bagian 22: Persyaratan khusus
untuk kotak dan selungkup hubung (IEC 60670-22:
2015, IDT).
c. SNI IEC 60670-23:2012 Kotak dan selungkup untuk
lengkapan listrik pada instalasi listrik magun rumah
tangga dan sejenis-Bagian 23: Persyaratan khusus untuk
kotak dan selungkup lantai (IEC 60670-23:2006, IDT).

a. SNI IEC 61386-1:2012 Sistem konduit untuk manajemen


kabel- Bagian 1: Persyaratan umum (IEC 61386-1:2008,
IDT).
b. SNI IEC 61386-21:2012 Sistem konduit untuk
11. manajemen kabel - Bagian 21: Persyaratan khusus - Produk
Sistem konduit kaku (IEC 61386-21:2008, IDT).
c. SNI IEC 61386-22:2012 Sistem konduit untuk
manajemen kabel - Bagian 22: Persyaratan khusus -
Sistem konduit semifleksibel (IEC 61386-22:2002, IDT).

a. SNI IEC 60838-1:2017 Berbagai fiting lampu- Bagian 1:


Persyaratan umum dan pengujian (IEC 60838-1:2016,
lDT, Eng); dan
12. b. SNI IEC 60838-2-3:2017: Persyaratan khusus Fiting Produk
lampu untuk lampu LED linear berkaki dobel (IEC 60838-
2-3:2016, IDT, Eng);
c. SNI 04-0534-1989: Fiting lampu arus bolak-balik.

Dengan pertimbangan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat dan


pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), Pemerintah memberlakukan wajib
sejumlah SNI utamanya SNI terkait peralatan dan pemanfaat tenaga listrik
untuk rumah tangga dan sejenis yang dituangkan dalam regulasi. Khusus
untuk produk, penerapan SNI dilakukan melalui mekanisme sertifikasi
produk dimana bagi produk peralatan yang memenuhi SNI dibubuhi tanda
SNI ( ) dan tanda keselamatan ( ).
- 85 -

Gambar II.8. Skema Sertifikasi Produk

II.B.1.c. Pengawasan Penerapan SNI Ketenagalistrikan

Pengawasan terhadap penerapan SNI ketenagalistrikan dilaksanakan secara


mandiri maupun melalui kerjasama dengan instansi terkait yang memiliki
kewenangan dalam pengawasan produk di pasar. Pengawasan dilakukan
melalui penerimaan pengaduan masyarakat atau melaksanakan uji petik
terhadap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik baik yang beredar di pasar
maupun yang terpasang pada instalasi tenaga listrik.

Untuk kemudahan akses informasi perihal standardisasi ketenagalistrikan


yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan terkait. Pemerintah tengah
menyusun sistem informasi standardisasi ketenagalistrikan yang berisi salah
satunya informasi terkait SNI, Produk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik
yang sudah SNI, sistem validasi nomor registrasi sertifikat produk, sistem
informasi data dengan Kementerian/Lembaga terkait (Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Direktorat
Jenderal Pengawasan Barang Beredar, Kepolisian Republik Indonesia,
Lembaga Inspeksi Teknik) serta pengembangan untuk aplikasi mobile yang
mudah diakses oleh masyarakat.
- 86 -

II.B.1.d. Rekomendasi Persetujuan dan Penandasahan Rencana Impor


Barang (RIB) Modal dalam Rangka Pembangunan atau
Pengembangan Industri Pembangkitan Tenaga Listrik

Pemberian persetujuan dan penandasahan Rencana Impor Barang (RIB)


dilakukan dalam rangka untuk pemberian fasilitas pembebasan bea masuk
atas impor barang modal yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan
pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum.

Impor Barang Modal tersebut harus disetujui dan ditandasahkan oleh


Pemerintah dan hanya diberikan untuk barang modal yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri, barang yang sudah diproduksi di dalam negeri
namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan, atau barang yang
sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi
kebutuhan industri. Dibawah ini adalah alur permohonan persetujuan dan
penandasahan RIB dalam rangka pembangunan pembangkit listrik untuk
kepentingan umum.

Gambar II.9. Alur Permohonan Persetujuan dan Penandasahan RIB


- 87 -

Gambar II.10. Alur Permohonan Persetujuan dan Penandasahan RIB

Kebijakan Peningkatan Penggunaan Komponen Dalam Negeri

Kebijakan peningkatan penggunaan komponen dalam negeri adalah upaya


untuk mendorong penggunaan lebih banyak komponen dan bahan baku yang
diproduksi di dalam negeri dalam produksi barang dan jasa. Tujuan utama
dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam
negeri, mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan daya
saing industri dalam negeri.

Kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti


memberikan insentif atau fasilitas kepada produsen yang menggunakan
komponen dalam negeri dalam produksinya, menetapkan persyaratan
minimum penggunaan komponen dalam negeri dalam lelang dan kontrak
pemerintah, dan melarang impor komponen yang sejenis dengan yang dapat
diproduksi di dalam negeri.

Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dilakukan melalui


pemberlakuan peraturan perundang-undangan terkait Tingkat Kandungan
Dalam Negeri (TKDN). Dalam rangka mendorong peningkatan penggunaan
produk barang dan jasa dalam negeri di sektor ketenagalistrikan, Pemerintah
mengatur kewajiban penggunaan barang dan atau jasa produksi dalam negeri
untuk setiap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan untuk
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Pusat,
instansi Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik
- 88 -

daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, koperasi, perseorangan,


swadaya masyarakat, dan lembaga/badan usaha lainnya dalam melakukan
usaha Ketenagalistrikan yang sumber pembiayaannya berasal dari anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah,
termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri.

Kewajiban penggunaan barang dan atau jasa produksi dalam negeri tersebut
harus dicantumkan dalam dokumen lelang/penawaran pembangunan
infrastruktur ketenagalistrikan dan dalam kontrak pelaksanaan
pembangunan. Pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi atas besaran
TKDN pada setiap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Penyedia
barang/jasa pada pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dapat
dikenakan sanksi apabila nilai TKDN pada akhir proyek yang diverifikasi tidak
mencapai besaran TKDN yang ditetapkan atau tidak melaksanakan sama
sekali penggunaan produksi dalam negeri.

Dampak positif dari peningkatan penggunaan komponen dalam negeri adalah


dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, menciptakan
lapangan kerja, mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan
daya saing industri dalam negeri. Selain itu, peningkatan penggunaan
komponen dalam negeri dapat meningkatkan kemampuan teknologi dan
kapasitas produksi dalam negeri serta memberikan manfaat bagi lingkungan
dan masyarakat sekitar lokasi produksi.

Namun, ada beberapa kendala dan dampak negatif yang mungkin terjadi.
Peningkatan penggunaan komponen dalam negeri dapat meningkatkan biaya
produksi, yang dapat mengurangi daya saing produk dalam negeri di pasar
internasional dan membatasi pilihan konsumen dalam memilih produk
dengan kualitas yang lebih baik dari luar negeri. Selain itu, jika persyaratan
TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) terlalu tinggi, produsen mungkin
kesulitan untuk memenuhinya dan hal ini dapat menghambat pertumbuhan
industri.

Target TKDN untuk sektor ketenagalistrikan di Indonesia sesuai dengan


regulasi yang berlaku pada bidang perindustrian. Target ini merupakan upaya
pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam
negeri dalam produksi barang dan jasa, sekaligus meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
- 89 -

Untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri, perlu ada kerja


sama antara berbagai pihak, seperti pemerintah, industri, akademisi, dan
masyarakat. Pemerintah dapat berperan aktif dalam memberikan insentif
atau fasilitas bagi produsen yang menggunakan komponen dalam negeri
dalam produksinya, menetapkan persyaratan minimum penggunaan
komponen dalam negeri dalam lelang dan kontrak pemerintah, serta
mengeluarkan kebijakan yang mendukung pengembangan industri dalam
negeri. Industri juga dapat berperan aktif dengan meningkatkan kemampuan
teknologi dan kapasitas produksi dalam negeri serta mengembangkan
pasokan bahan baku dan komponen dalam negeri. Besarnya target TKDN saat
ini ditetapkan oleh pemerintah melalui regulasi di bidang perindustrian yang
dipengaruhi oleh kondisi industri dan ekonomi.

Target TKDN sebesar 100% merupakan target jangka panjang yang akan
memerlukan waktu dan upaya yang signifikan untuk mencapainya,
tergantung pada banyak faktor, seperti kondisi industri dalam negeri, pasokan
bahan baku dan komponen dalam negeri, dan persaingan global.

Oleh karena itu perlu dilakukan investasi besar-besaran dalam


pengembangan industri dan teknologi dalam negeri, termasuk pengembangan
sumber daya manusia yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
diperlukan. Selain itu, diperlukan dukungan penuh dari pemerintah,
termasuk insentif dan kebijakan yang mendorong penggunaan komponen
dalam negeri dalam produksi barang dan jasa bidang ketenagalistrikan.

Penggunaan Komponen Dalam Negeri memiliki beberapa keuntungan dan


manfaat yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri
dalam negeri, antara lain:

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi: Penggunaan komponen dalam


negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dapat
meningkatkan kegiatan produksi, menciptakan lapangan kerja, dan
meningkatkan pendapatan masyarakat.
2. Meningkatkan daya saing industri dalam negeri: Penggunaan komponen
dalam negeri dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri
dengan mengurangi ketergantungan pada impor, meningkatkan
kemampuan teknologi, dan mengurangi biaya produksi.
3. Mengurangi ketergantungan pada impor: Penggunaan komponen dalam
negeri dapat mengurangi ketergantungan pada impor, sehingga
- 90 -

memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan mengurangi risiko


fluktuasi harga dan pasokan dari negara lain.
4. Meningkatkan kualitas produk: Penggunaan komponen dalam negeri
dapat meningkatkan kualitas produk karena dapat memastikan
ketersediaan bahan baku dan komponen yang sesuai dengan standar
kualitas nasional.
5. Meningkatkan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitar lokasi
produksi: Penggunaan komponen dalam negeri dapat meningkatkan
manfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitar lokasi produksi karena
dapat memperkuat hubungan antara industri dan masyarakat sekitar,
meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan industri, dan
meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar.

Dalam rangka membangun industri dalam negeri yang kuat dan


berkelanjutan, penggunaan komponen dalam negeri merupakan hal yang
penting untuk ditingkatkan dan didukung oleh semua pihak terkait.

Dalam industri ketenagalistrikan, beberapa lini atau bagian yang


menggunakan komponen dalam negeri antara lain:

1. Pembangkit listrik: Pada pembangkit listrik, beberapa komponen yang


dapat menggunakan komponen dalam negeri antara lain mesin turbin,
generator, dan sistem kontrol.
2. Jaringan transmisi dan distribusi: Pada jaringan transmisi dan distribusi,
beberapa komponen yang dapat menggunakan komponen dalam negeri
antara lain trafo, kabel listrik, isolator, dan perlengkapan lainnya.
3. Perangkat listrik dan elektronik: Perangkat listrik dan elektronik seperti
meteran listrik, saklar, dan sistem kontrol lainnya dapat menggunakan
komponen dalam negeri.
4. Komponen dan perlengkapan lainnya: Komponen dan perlengkapan
lainnya seperti baterai, panel surya, dan perlengkapan kelistrikan lainnya
juga dapat menggunakan komponen dalam negeri.

Namun demikian, perlu diingat bahwa tidak semua komponen dalam negeri
sudah tersedia dan memiliki kualitas yang memadai untuk digunakan di
industri ketenagalistrikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk terus
meningkatkan kualitas dan ketersediaan komponen dalam negeri agar dapat
digunakan secara optimal dalam industri ketenagalistrikan.
- 91 -

Untuk mencapai target Kebijakan Peningkatan Penggunaan Komponen Dalam


Negeri, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman publik: Kesadaran dan


pemahaman publik tentang pentingnya penggunaan komponen dalam
negeri perlu ditingkatkan melalui sosialisasi dan kampanye yang efektif.
2. Meningkatkan peran Pemerintah: Pemerintah perlu memberikan
dukungan yang lebih besar dalam bentuk insentif fiskal, kebijakan regulasi
yang jelas dan konsisten, serta pengawasan yang ketat terhadap
pelaksanaan TKDN oleh industri.
3. Meningkatkan kerja sama antara industri dan pemasok lokal: Industri
perlu meningkatkan kerja sama dengan pemasok lokal dalam hal
pengembangan produk dan teknologi yang berkualitas, sehingga dapat
meningkatkan kualitas produk dan daya saing industri dalam negeri.
4. Meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan: Investasi
dalam penelitian dan pengembangan produk dan teknologi dapat
meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan kemampuan teknologi
industri dalam negeri.
5. Meningkatkan ketersediaan bahan baku dan komponen dalam negeri:
Pemerintah dapat memberikan insentif bagi produsen lokal untuk
meningkatkan produksi dan meningkatkan kualitas bahan baku dan
komponen yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri.
6. Meningkatkan pengawasan dan evaluasi: Pengawasan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan TKDN oleh industri dan pemerintah perlu
ditingkatkan untuk memastikan pencapaian target yang diharapkan.

Untuk meningkatkan penggunaan TKDN pada industri, perlu dilakukan


upaya untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan komponen dalam
negeri, mengurangi biaya produksi, serta meningkatkan daya saing produk
dalam negeri. Selain itu, perlu dilakukan juga pengawasan dan evaluasi yang
ketat terhadap pelaksanaan TKDN oleh industri dan pemerintah untuk
memastikan tercapainya target yang diharapkan. Hal ini akan membantu
mencapai tujuan dari Kebijakan Peningkatan Penggunaan Komponen Dalam
Negeri.
- 92 -

Kebijakan Kelaikan Teknik Ketenagalistrikan

Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki Sertifikat Laik
Operasi (SLO). Ketentuan yang mengatur terkait kewajiban memiliki SLO telah
diuji oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 melalui Putusan Perkara No. 58/PUU-XII/2014 yang
pada intinya memperkuat kewajiban memiliki SLO. Hal tersebut selaras
dengan ketentuan Pasal 54 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bahwa dalam hal instalasi
listrik rumah tangga masyarakat dioperasikan tanpa sertifikat laik operasi,
dampak yang timbul akibat ketiadaan sertifikat laik operasi menjadi tanggung
jawab penyedia tenaga listrik.

Kewajiban SLO harus dipenuhi instalasi pembangkit, transmisi, distribusi,


dan pemanfaatan tenaga listik sebagai syarat beroperasi komersial maupun
penyambungan baru melalui proses sertifikasi instalasi tenaga listrik yang
berupa serangkaian kegiatan pemeriksaan dan pengujian peralatan listrik dan
instalasinya serta verifikasi instalasi tenaga listrik untuk memastikan suatu
instalasi tenaga listrik dan peralatan telah berfungsi sebagaimana kesesuaian
persyaratan yang ditentukan dan dinyatakan laik dioperasikan. Pelaksana
pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik dilakukan oleh Lembaga
Inspeksi Teknik (LIT) yang memiliki perizinan berusaha untuk kegiatan usaha
jasa penunjang tenaga listrik sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi badan
usaha yang dipersyaratkan.

Pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik tersebut diajukan oleh


pemilik instalasi kepada LIT pada saat instalasi tenaga listrik telah selesai
dibangun dan dipasang, direkondisi, dilakukan perubahan kapasitas,
dilakukan perubahan instalasi, direlokasi, atau masa berlakunya akan habis.
Pengajuan permohonan SLO ini dilengkapi dengan persyaratan seperti
IUPTLU, IUPTLS atau identitas pemilik instalasi pemanfaatan tenaga listrik
tegangan tinggi dan tegangan menegah, lokasi instalasi, jenis dan kapasitas
instalasi, gambar dan tata letak instalasi, diagram satu garis, spesifikasi
teknik peralatan utama instalasi serta standar yang digunakan. Jika instalasi
yang disertifikasi berupa instalasi pemanfaatan tegangan rendah maka
pemilik instalasi cukup menyampaikan data identitas pemilik instalasi
pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah, lokasi instalasi yang dilengkapi
dengan titik koordinat, jenis dan kapasitas instalasi, gambar instalasi
- 93 -

dan/atau diagram satu garis dan peralatan yang dipasang ke LIT tegangan
rendah.

LIT kemudian akan menguji dan membuat laporan hasil pemeriksaan dan
pengujian berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan untuk
selanjutnya diajukan permohonan registrasi secara daring kepada
Pemerintah. Penerbitan nomor register SLO dilakukan setelah hasil evaluasi
dinyatakan sesuai dengan ketentuan dalam waktu paling lama 4 (empat) hari
kerja.

Gambar II.11. Alur Permohonan SLO

Melalui penerapan SLO ini, diharapkan dapat terwujud instalasi tenaga listrik
yang andal sehingga dapat beroperasi secara berkesinambungan sesuai
spesifikasi yang telah ditentukan. Selain itu juga untuk menciptakan kondisi
instalasi tenaga listrik yang aman sehingga bahaya yang mungkin timbul bagi
manusia dan makhluk hidup lainnya yang dapat berupa kecelakaan dan
kebakaran akibat listrik dapat diantisipasi. Hal yang tidak kalah penting juga
adalah instalasi tenaga listrik yang ramah lingkungan sehingga tidak
menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup saat instalasi tenaga listrik
dioperasikan.

Kewenangan terkait dengan SLO untuk instalasi penyediaan tenaga listrik,


instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi dan instalasi
pemanfaatan tenaga listrik tegangan menengah maupun instalasi
pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah merupakan kewenangan
Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, seluruh proses pengawasan terhadap
pelaksanaan sertifikasi instalasi tenaga listrik dilakukan oleh Pemerintah.
Untuk menunjang pelaksanaan sertifikasi instalasi tersebut dan dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, transparansi serta
akuntabilitas pelaksanaan sertifikasi instalasi tenaga listrik, pelaksanaan
sertifikasi instalasi tenaga listrik serta registrasi SLO telah dilakukan secara
daring sejak tahun 2015. Pemerintah terus melakukan pembaruan sistem
- 94 -

informasi untuk menyesuaikan kebutuhan data dan kebijakan kelaikan


teknik ketenagalistrikan yang diantaranya mengintegrasikan antar sistem
informasi di bidang ketenagalistrikan, sistem informasi milik penyedia tenaga
listrik dan pemangku kepentingan lainnya agar akses pelaksanaan sertifikasi
instalasi tenaga listrik menjadi mudah, transparan dan mampu telusur
melalui Sistem Informasi Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik (SI UJANG
GATRIK) yang dapat diakses melalui www.siujang.esdm.go.id.

Sebagai upaya untuk mendukung ketahanan energi nasional, peningkatan


bauran energi baru terbarukan serta peningkatan rasio elektrifikasi,
pemerintah memberikan kebijakan terhadap instalasi pembangkit untuk
kepentingan sendiri dengan total kapasitas sampai dengan 500 kW (lima ratus
kilowatt) dan kontrol panelnya menjadi 1 (satu) bagian tidak terpisahkan
dinyatakan telah memenuhi ketentuan wajib SLO, sehingga pemilik instalasi
cukup mengajukan permohonan register surat keterangan pemenuhan
ketentuan wajib SLO kepada Pemerintah dengan melampirkan sertifikat
produk atau surat pernyataan bertanggung jawab terhadap aspek
keselamatan ketenagalistrikan dari pemilik Instalasi Tenaga Listrik yang
dilengkapi dengan dokumen garansi pabrikan yang masih berlaku, hasil
commissioning test dari teknisi distributor atau dokumen pemeliharaan
instalasi pembangkit tenaga listrik. Selain itu, dalam memastikan kelaikan
teknik suatu instalasi tenaga listrik agar terciptanya kondisi instalasi yang
andal, aman dan ramah lingkungan, pemerintah terus memperbarui
ketentuan kebijakan kelaikan teknik ketenagalistrikan dalam peraturan
perundangan di bidang ketenagalistrikan yang dituangkan dalam mata uji
sertifikasi instalasi tenaga listrik diantaranya mata uji sertifikasi instalasi
Battery Energy Storage System (BESS) dan infrastruktur pengisian listrik
untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai atau SPKLU.
- 95 -

Gambar II.12. Lingkup SLO untuk Stasiun Pengisian Listrik Umum

Untuk menjamin keamanan dan keandalan dari infrastruktur pengisian listrik


untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, maka untuk sistem
instalasi yang menyuplai dari charging station wajib memiliki SLO, sementara
untuk instalasi charging station wajib memiliki sertifikat produk/Sertifikat
Penggunaan Produk Tanda Sertifikat Nasional Indonesia (SPPT SNI).

Kebijakan Keselamatan Ketenagalistrikan

Tenaga listrik disamping bermanfaat, dapat juga membahayakan bagi


masyarakat dan lingkungan hidup. Untuk itu, selain diperlukan kepatuhan
terhadap ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), setiap kegiatan
usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan
ketenagalistrikan.

Untuk lingkup instalasi tenaga listrik, maka K3 bersifat melengkapi K2


dimana Keselamatan Ketenagalistrikan adalah segala upaya atau langkah
pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik,
pengamanan instalasi tenaga listrik, dan pengamanan pemanfaat tenaga
listrik untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi instalasi, aman dari
bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, serta ramah lingkungan.

Tujuan keselamatan ketenagalistrikan adalah untuk menciptakan kondisi:


1. Andal dan aman bagi instalasi, merupakan kondisi instalasi tenaga listrik
yang beroperasi secara berkesinambungan dalam kurun waktu yang telah
- 96 -

direncanakan, dan mampu mengantisipasi timbulnya risiko kerusakan


akibat ketidaknormalan operasi dan gangguan;
2. Aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, merupakan
kondisi tercapainya kondisi instalasi tenaga listrik bebas dari bahaya
listrik, bahaya mekanik, bahaya termal, dan/atau bahaya kimia;
3. Ramah lingkungan merupakan kondisi instalasi tenaga listrik yang
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.

Gambar II.13. Hubungan Antara K3 dan K2

Keselamatan ketenagalistrikan wajib diterapkan pada setiap instalasi


penyediaan tenaga listrik sesuai dengan persyaratan umum keselamatan
ketenagalistrikan dan setiap instalasi pemanfaatan tenaga listrik, peralatan
dan pemanfaat tenaga listrik sesuai dengan SNI di bidang ketenagalistrikan.
Dalam memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan tersebut maka
untuk setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki SLO.
Selain itu, setiap badan usaha penunjang tenaga listrik wajib memiliki
Sertifikat Badan Usaha (SBU) penunjang tenaga listrik dan setiap tenaga
teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki Sertifikat Kompetensi
Tenaga Teknik Ketenagalistrikan (SKTTK) serta setiap kegiatan usaha
ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Penerapan
keselamatan ketenagalistrikan juga harus dilaksanakan pada kegiatan
- 97 -

perencanaan, pembangunan dan pemasangan, pemeriksaan dan pengujian,


pengoperasian dan pemeliharaan serta pengawasan instalasi tenaga listrik.

Gambar II.14. Ilustrasi Instalasi Tenaga Listrik yang Wajib Menerapkan K2

Dalam upaya untuk meningkatkan ketaatan dalam penerapan keselamatan


ketenagalistrikan, Pemerintah mewajibkan kepada pemilik instalasi tenaga
listrik yang berbentuk badan usaha untuk memiliki Sistem Manajemen
Keselamatan Ketenagalistrikan (SMK2) sebagai bagian dari sistem
manajemen badan usaha secara keseluruhan dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan ketenagalistrikan guna terciptanya keselamatan
ketenagalistrikan. SMK2 tersebut diterapkan pada kegiatan pengoperasian
dan pemeliharaan instalasi tenaga listrik yang diberlakukan pada instalasi
penyediaan tenaga listrik (instalasi pembangkit tenaga listrik dengan
kapasitas paling kecil 5 MW, instalasi transmisi tenaga listrik, instalasi
distribusi tenaga listrik) dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik dengan
kapasitas daya paling kecil 200 kVA.

Penerapan SMK2 yang harus dipenuhi oleh pemilik instalasi meliputi hal-hal
sebagai berikut:

1. Penetapan kebijakan badan usaha terkait keselamatan ketenagalistrikan.

2. Penetapan organisasi SMK2.

3. Perencanaan pemenuhan kebijakan badan usaha terkait keselamatan


ketenagalistrikan.

4. Pelaksanaan kebijakan badan usaha terkait keselamatan


ketenagalistrikan.

5. Evaluasi dan tindak lanjut penerapan keselamatan ketenagalistrikan.

Penerapan SMK2 harus diaudit paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun oleh
internal badan usaha maupun pihak lain yang memiliki kompetensi audit
- 98 -

SMK2 dan dilaporkan kepada Pemerintah. Untuk menunjang pengawasan


dan evaluasi terhadap penerapan SMK2 pada khususnya dan pengawasan
penerapan keselamatan ketenagalistrikan pada umumnya, maka diperlukan
sistem informasi terintegrasi yang mencakup seluruh aspek pemenuhan
ketentuan keselamatan ketenagalistrikan dan pelaporan audit penerapan
SMK2. Berdasarkan laporan tahunan pelaksanaan audit penerapan SMK2
tersebut, Pemerintah memberikan sertifikat ketaatan kepada pemilik
instalasi berdasarkan predikat ketaatan atas hasil penilaian ketaatan
penerapan SMK2 yang telah dilakukan.

Dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan ketenagalistrikan (safety


culture) dan untuk memberikan apresiasi kepada pemilik instalasi,
Pemerintah memberikan penghargaan kepada pemilik instalasi tenaga listrik
yang telah menerapkan ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.
Penghargaan keselamatan ketenagalistrikan telah diselenggarakan sejak
tahun 2018 dengan kategori penghargaan yang disesuaikan dengan
perkembangan kebijakan keselamatan ketenagalistrikan setiap tahunnya.

Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan keselamatan


ketenagalistrikan, Pemerintah dibantu oleh Inspektur Ketenagalistrikan
dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan upaya sebagai
berikut:

1. Penyuluhan dan bimbingan;

2. Pengawasan langsung melalui inspeksi ke instalasi tenaga listrik atau


memerintahkan audit penerapan SMK2; dan/atau

3. Pengawasan tidak langsung melalui pemeriksaan laporan tahunan


pelaksanaan audit penerapan SMK2.

Selain itu, apabila terdapat potensi atau kejadian kecelakaan, kejadian


berbahaya, kegagalan operasi, gangguan yang berdampak pada masyarakat
dan/atau untuk kepentingan penilaian kinerja keselamatan
ketenagalistrikan, Pemerintah dapat membentuk tim untuk melakukan
investigasi dengan keanggotaan tim dapat melibatkan akademisi, tenaga ahli,
dan/atau wakil instansi terkait lainnya.
- 99 -

Kebijakan Tenaga Teknik Ketenagalistrikan

Dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan


sampai dengan pengoperasiannya maka Pemerintah mewajibkan setiap
kegiatan usaha ketenagalistrikan untuk memenuhi ketentuan keselamatan
ketenagalistrikan yang salah satu komponennya adalah ketersediaan tenaga
teknik kompeten yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi
tenaga teknik ketenagalistrikan.

Di era modern, kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan bergerak


mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mulai dari
teknologi transisi energi penggunaan energi primer, teknologi smart grid untuk
meningkatkan sistem tenaga listrik, dan teknologi lainnya. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini berorientasi terhadap ramah
lingkungan, peningkatan aspek keselamatan di subsektor ketenagalistrikan,
dan perkembangan teknologi Internet of Things (IoT) yang sangat cepat,
mendorong perubahan ke arah:

a. Elektrifikasi, dengan ketersediaan energi listrik yang cukup maka


mendorong terciptanya penggunaan listrik untuk tujuan lain, seperti
untuk transportasi kendaraan listrik serta peralatan pendukungnya yakni
SPKLU dan SPBKLU;
b. Desentralisasi, yang didorong oleh penggunaan sistem sumber energi
terdistribusi (Distributed Energy Resources-DER) atau dikenal juga dengan
pembangkit tersebar (Distributed Generation-DG) seperti Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PTLS) Atap dan penyimpanan energi sehingga
berpotensi menciptakan pola bisnis penjualan baru di subsektor
ketenagalistrikan; dan
c. Digitalisasi, didorong dengan munculnya dan berkembangnya dengan
sangat cepat Internet of Things (IoT) dan sistem serta peralatan yang
cerdas, seperti smart grid, smart meter, smart sensor, smart appliances and
devices.

Untuk mengakomodasi hal-hal tersebut, salah satu implementasinya


Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penyediaan SPKLU dan SPBKLU. Kebutuhan kompetensi
dalam penyediaan SPKLU dan SPBKLU telah diakomodasi di dalam Standar
Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan (SKTTK) sehingga dapat
menunjang terwujudnya tenaga teknik yang kompeten.
- 100 -

Selain itu telah disusun standar kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan


terkait dengan bidang Penjualan Tenaga Listrik, SMK2, Pemeriksaan TKDN,
dan Pemeriksaan Lingkungan. Penambahan standar kompetensi tersebut
diharapkan mampu menjawab perubahan regulasi dan arah kebijakan yang
berorientasi ramah lingkungan.

Perkembangan teknologi digital seperti yang ada pada saat ini sangat
berdampak pada seluruh aspek bisnis yang ada, termasuk di industri
ketenagalistrikan sehingga mengharuskan adanya transformasi yang mau
tidak mau perlu diikuti juga oleh kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM)
dalam menghadapi era Digitalisasi. Peningkatan skill atau transformasi SDM
dengan merancang sebuah strategi guna menghasilkan pekerjaan yang sesuai
dengan kebutuhan harus dapat dipersiapkan secara dini mengingat adanya
penggunaan sistem otomatisasi dan robot mengakibatkan penggunaan tenaga
kerja pada suatu industri atau perusahaan/bisnis akan mengalami
penyesuaian.

Untuk mengakomodasi pemenuhan dan penyiapan kebutuhan tenaga teknik


yang kompeten, Pemerintah menyadari perlunya kerja sama dan sinergi lintas
Kementerian/Lembaga terkait melalui link and match antara kurikulum pada
dunia pendidikan vokasi/keterampilan atau pelatihan dengan dunia industri
dan usaha serta para pemangku kepentingan di subsektor ketenagalistrikan.
Melalui link and match, diharapkan dapat memberikan manfaat peningkatan
penyerapan tenaga kerja lokal di subsektor ketenagalistrikan.

Pendidikan vokasi diprogramkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki:

1. Kompetensi penguasaan IPTEK


2. Produktif
3. Sebagai aset bangsa berpenghasilan sendiri
4. Unggul dalam kompetisi menghadapi persaingan global
5. Berkembang secara berkelanjutan.

Untuk itu, dalam menghasilkan lulusan pendidikan vokasi yang memiliki


keterampilan kerja yang handal dan sesuai dengan kebutuhan industri,
tentunya lembaga pendidikan vokasi harus menerapkan sistem yang efektif,
seperti:

1. Pengajar yang kompeten


2. Infrastruktur yang memadai
- 101 -

3. Sumber daya pendukung yang mencukupi


4. Kurikulum yang relevan dengan dunia usaha

Sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) untuk area


pekerjaan konsultansi, pembangunan dan pemasangan, pemeriksaan dan
pengujian, pengoperasian dan pemeliharaan pada instalasi tenaga listrik,
telah disusun Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang
telah dikemas ke dalam suatu jabatan untuk level 1 s.d. level 9 sesuai dengan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Namun begitu, standar
kompetensi jabatan tersebut harus tetap selalu di kaji ulang agar memenuhi
tuntutan perubahan zaman.

Tidak hanya itu, diperlukan juga harmonisasi dan/atau saling pengakuan


terhadap standar dan sertifikat kompetensi yang ada di subsektor
ketenagalistrikan, baik instansi di dalam negeri maupun luar negeri. Melalui
skema ini tenaga teknik diharapkan dapat memiliki pengakuan dan daya
saing baik di tingkat lokal maupun internasional.

Pemenuhan standar kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan dinilai


melalui kegiatan sertifikasi kompetensi yang dilakukan oleh Lembaga
Sertifikasi Kompetensi sesuai dengan okupasi jabatan tenaga teknik dan
dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang diregistrasi pemerintah. Dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, pemerintah
memberlakukan Sistem Informasi Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik
Ketenagalistrikan (SI SKTTK) secara daring sebagai bentuk pengawasan
terhadap pelaksanaan sertifikasi sehingga menjadi lebih cepat dan efisien.

Kebijakan Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan

Pembangunan di sektor ketenagalistrikan harus berwawasan lingkungan dan


sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Setiap kegiatan usaha
penyediaan tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup dan memenuhi ketentuan Keselematan
Ketenagalistrikan, diantaranya untuk mewujudkan kondisi ramah
lingkungan, baik untuk instalasi pembangkitan maupun instalasi transmisi
tenaga listrik.

Dalam rangka mewujudkan kondisi yang ramah lingkungan pada instalasi


pembangkitan, maka setiap kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang memiliki
- 102 -

dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan wajib memiliki


persetujuan lingkungan. Selain itu, pembangkit tenaga listrik harus memiliki
Persetujuan Teknis Pengelolaan Lingkungan sesuai dengan kegiatan
pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan. Agar sejalan dengan tahap
perencanaan, pembangkit listrik harus melalukan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup pada aspek pengendalian pencemaran udara,
pengendalian pencemaran air, pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) dan limbah non-B3.

Pada kegiatan pembangkit tenaga listrik khususnya bahan bakar fosil, perlu
diperhatikan juga mengenai dampak lainnya yang timbul, yaitu emisi Gas
Rumah Kaca (GRK). Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi
Persetujuan Paris dan berkomitmen untuk mengurangi pengurangan emisi
GRK sesuai yang tercantum pada dokumen Enhanced-Nationally Determined
Contribution (e-NDC) sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,20%
dengan dukungan internasional di tahun 2030 dari Business as Usual.
Berdasarkan dokumen tersebut, target sektor energi meningkat dari yang
semula 314 juta ton CO2e menjadi sebesar 358 juta ton CO2e atau 12,5%
dengan kemampuan sendiri, dan 446 juta ton CO2e atau 15,5% dengan
bantuan internasional dari skenario Business as Usual (BAU). Untuk
mencapai target pengurangan emisi GRK tersebut, upaya yang dilakukan
antara lain adalah pengoperasian pembangkit EBT, dan penggunaan energi
bersih seperti teknologi High Efficiency, Low Emission (HELE) pada PLTU
batubara dan pemanfaatan gas pada pembangkit tenaga listrik.

Untuk komitmen pengurangan emisi jangka panjang, Pemerintah


merencanakan transisi energi dengan salah satunya adalah mengurangi PLTU
batubara dan pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar fosil lainnya.
Untuk mendukung penerapan tersebut, Pemerintah menerapkan
perdagangan karbon yang untuk pertama kalinya akan diterapkan kepada
PLTU Batubara dan kemudian akan berkembang pada pembangkit tenaga
listrik bahan bakar fosil lainnya. Perdagangan karbon akan dilaksanakan
melalui mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi GRK. Secara umum
proses dari perdagangan karbon adalah unit pembangkit tenaga listrik yang
menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan Teknis Batas Emisi Pelaku
Usaha (PTBAE-PU) yang diberikan, maka diharuskan membeli emisi dari unit
PLTU yang menghasilkan emisi dibawah PTBAE-PU dan/atau melakukan
offset emisi dengan membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK) yang
- 103 -

telah diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


Saat ini Pemerintah sedang merencanakan program penerapan pajak karbon
yang pertama kali akan diterapkan pada PLTU batubara. Dengan adanya
penerapan perdagangan karbon dan pajak karbon diharapkan dapat lebih
mendorong efisiensi energi sehingga dapat mengurangi emisi GRK yang
dihasilkan.

Selain instalasi pembangkitan, pemerintah juga menaruh perhatian untuk


mewujudkan kondisi yang ramah lingkungan pada instalasi jaringan
transmisi tenaga listrik. Seperti yang telah diketahui bahwa jaringan
transmisi tenaga listrik didominasi oleh saluran udara baik berupa Saluran
Udara Tegangan Tinggi (SUTT) maupun Saluran Udara Tegangan Ekstra
Tinggi (SUTET). Dalam perencanaan pembangunan SUTT dan SUTET, pemilik
instalasi wajib menyusun dokumen lingkungan hidup yang memuat rencana
pengelolaan lingkungan pada kegiatan pra konstruksi, konstruksi, operasi
dan pasca operasi. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan jaringan transmisi adalah Ruang Bebas dan Medan
Elektromagnetik.

Ruang Bebas adalah ruang yang dibatasi oleh bidang vertikal dan horizontal
di sekeliling dan di sepanjang konduktor Jaringan Transmisi Tenaga Listrik di
mana tidak boleh ada benda di dalamnya demi keselamatan manusia,
makhluk hidup, dan benda lainnya serta keamanan operasi Jaringan
Transmisi Tenaga Listrik. Batasan Ruang Bebas bervariasi tergantung jenis
tower jaringan transmisi dan level tegangan yang digunakan. Ruang Bebas
wajib dipenuhi oleh pemilik instalasi dan masyarakat yang berada di sekitar
jaringan transmisi. Pemilik instalasi wajib memenuhi ketentuan Ruang Bebas
dalam rangka melaksanakan pembangunan, pengoperasian, dan
pemeliharaan jaringan transmisi, sedangkan masyarakat wajib memenuhi
ketentuan Ruang Bebas untuk beraktifitas di sekitar jaringan transmisi.

Untuk memenuhi ketentuan di bawah Ruang Bebas, masyarakat pemegang


hak atas tanah, bangunan dan/atau tanaman di bawah jaringan transmisi
tenaga listrik dibatasi aktifitasnya dengan tidak melakukan kegiatan yang
memasuki dan berpotensi memasuki ruang bebas. Oleh karena itu,
masyarakat pemegang hak atas tanah, bangunan dan/atau tanaman di
bawah jaringan transmisi tenaga listrik mendapatkan Kompensasi.
- 104 -

a. Penampang Memanjang
Ruang Bebas

b. Pandangan Atas Ruang Bebas


c. Pandangan Depan Ruang Bebas
Gambar II.15. Ruang Bebas Jaringan Transmisi

Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas


tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda lain yang terdapat di atas
tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk
pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan
hak atas tanah. Kompensasi dihitung oleh Lembaga Penilai Independen yang
telah memiliki izin dari Pemerintah sesuai dengan formula yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Pemerintah kemudian menetapkan besaran
Kompensasi sebelum dibayarkan kepada pemegang hak atas tanah,
bangunan dan/atau tanaman.

Isu yang tidak kalah penting dalam pembangunan jaringan transmisi tenaga
listrik adalah paparan atau radiasi medan elektromeganetik yang dihasilkan
saat jaringan transmisi telah beroperasi. Medan elektromagnetik terdiri dari 2
(dua) parameter yaitu medan listrik dan medan magnet. Kedua parameter
tersebut seringkali memunculkan kekhawatiran di masyarakat karena
berkaitan dengan kesehatan tubuh manusia. Namun demikian berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, belum ada efek samping dari
paparan medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan oleh SUTT dan
SUTET terhadap kondisi kesehatan.

Pemerintah telah menetapkan ambang batas paparan medan magnet dan


medan listrik yang diperbolehkan dalam operasi SUTT dan SUTET melalui SNI
- 105 -

04-6950-2003 tentang Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran


Udara tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) – Nilai Ambang Batas Medan Listrik
dan Medan Magnet sebagaimana Tabel dibawah ini.

Tabel II.3. Ambang Batas Medan Listrik Maksimum yang Diizinkan pada
Frekuensi 50/60 Hz
Kuat Medan Listrik kV/m
Karakteristik Pemaparan
(efektif)
Yang berhubungan dengan pekerjaan
- sepanjang hari kerja 10
- jangka pendek 30 *
- hanya pada lengan -
Yang berhubungan dengan masyarakat umum
- sampai dengan 24 jam/hari ** 5
- beberapa jam/hari *** 10

catatan:

* durasi paparan medan antara 10 kV/m dan 30 kV/m dapat dihitung dari
rumus t≤80/E, dengan t adalah durasi dalam jam/hari kerja dan E adalah
kuat Medan Listrik dalam kV/m

** pembatasan ini berlaku untuk ruang terbuka di mana anggota masyarakat


umum dapat secara wajar diperkirakan menghabiskan sebagian besar
waktu selama satu hari, seperti kawasan rekreasi, lapangan untuk
bertemu dan lain-lain yang semacam itu

*** nilai kuat Medan Listrik dapat dilampaui untuk durasi beberapa
menit/hari, asalkan diambil tindakan pencegahan untuk mencegah efek
kopling tak langsung

Tabel II.4. Tabel b. Ambang Batas Medan Magnet Maksimum yang Diizinkan
pada Frekuensi 50/60 Hz
Medan Magnet (Rapat
Karakteristik Pemaparan Fluks Magnet) mT
(Efektif)
Yang berhubungan dengan pekerjaan
- sepanjang hari kerja 0,5
- jangka pendek 5*
- hanya pada lengan 25
- 106 -

Yang berhubungan dengan masyarakat umum


- sampai dengan 24 jam/hari ** 0,1
- beberapa jam/hari *** 1

catatan:

* durasi paparan paling lama adalah 2 (dua) jam per hari kerja

** pembatasan ini berlaku untuk ruang terbuka di mana anggota masyarakat


umum dapat secara wajar diperkirakan menghabiskan sebagian besar
waktu selama 1 (satu) hari, seperti kawasan rekreasi, lapangan untuk
bertemu dan lain-lain

*** nilai kuat Medan Magnet dapat dilampaui untuk durasi beberapa
menit/hari, sepanjang diambil tindakan pencegahan untuk mencegah efek
kopling tak langsung

Kebijakan Perizinan Usaha Jasa Penunjang Ketenagalistrikan

Kebijakan usaha jasa penunjang tenaga listrik diarahkan untuk


meningkatkan:

1. peran pemerintah atau pemerintah daerah selaku regulator;


2. peran badan usaha selaku pelaksana usaha jasa penunjang tenaga listrik
(operator) dalam pemenuhan ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;
3. kompetensi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan
4. kemudahan, tranparansi dan akuntabilitas pada pelaksanaan pelayanan
publik terkait usaha jasa penunjang tenaga listrik.

Dalam rangka mendukung terciptanya keselamatan ketenagalistrikan, setiap


badan usaha yang bergerak pada usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib
memiliki perizinan berusaha sesuai dengan tingkat potensi risiko kegiatan
usahanya. Berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah terkait
penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko, kegiatan usaha
diklasifikasikan dalam 4 kategori tingkat risiko, yaitu :

1. kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi,


2. kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah tinggi,
3. kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah,
4. kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah.
- 107 -

Badan usaha juga wajib mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI) dalam menentukan cakupan kegiatan usahanya. Jenis
usaha jasa penunjang tenaga listrik beserta KBLI dan kategori tingkat risiko
kegiatan usaha serta kewenangan penerbit perizinan berusahanya dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel II.5. Jenis Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik

KBLI Kewenangan Pemerintah


Tingkat
No. Pusat/
Risiko Kode Judul Jenis Usaha Parameter
Provinsi
BUMN, PMA, atau BLU
Menteri
Pengoperasian Pemerintah Pusat
Pengoperasian Instalasi
35121 Instalasi Penyediaan BUMD, PMDN,
Tenaga Listrik
Tenaga Listrik koperasi, BLU Gubernur
Provinsi/Kab/Kota

Pembangunan dan BUMN, PMA, kantor


Pemasangan Instalasi perwakilan asing, atau Menteri
1 Tinggi
Tenaga Listrik BLU Pemerintah Pusat
43211 Instalasi Listrik
dan BUMD, PMDN,
Pemeliharaan Instalasi koperasi, BLU Gubernur
Tenaga Listrik Provinsi/Kab/Kota
Pemeriksaan dan
Jasa Inspeksi Teknik
71204 Pengujian Instalasi Tenaga Seluruh Menteri
Instalasi
Listrik
BUMN, PMA, atau BLU
Menteri
Pengoperasian Pemerintah Pusat
Pengoperasian Instalasi
35122 Instalasi Pemanfaatan BUMD, PMDN,
Tenaga Listrik
Tenaga Listrik koperasi, BLU Gubernur
Provinsi/Kab/Kota
BUMN, PMA, kantor
perwakilan asing, atau Menteri
Aktivitas Keinsinyuran
Konsultansi dalam Bidang BLU Pemerintah Pusat
71102 dan Konsultansi Teknis
Instalasi Tenaga Listrik BUMD, PMDN,
Ybdi
koperasi, BLU Gubernur
Menengah Provinsi/Kab/Kota
2
Tinggi
Sertifikasi Peralatan dan
Pemanfaat Tenaga Listrik
dan
71201 Jasa Sertifikasi Seluruh Menteri
Sertifikasi Badan Usaha
Jasa Penunjang Tenaga
Listrik
Laboratorium Pengujian
Jasa Pengujian
71202 Peralatan dan Pemanfaat Seluruh Menteri
Laboratorium
Tenaga Listrik

Penelitian dan Penelitian dan BUMN, PMA, atau BLU


72102 Menteri
Pengembangan Pengembangan Pemerintah Pusat
- 108 -

KBLI Kewenangan Pemerintah


Tingkat
No. Pusat/
Risiko Kode Judul Jenis Usaha Parameter
Provinsi
Teknologi dan BUMD, PMDN,
Rekayasa koperasi, BLU Gubernur
Provinsi/Kab/Kota
Aktivitas Sertifikasi Sertifikasi Kompetensi
74322 Seluruh Menteri
Personel Independen Tenaga Teknik
BUMN, PMA, atau BLU
Menteri
Pemerintah Pusat
Pendidikan Teknik
85497 Pendidikan dan Pelatihan BUMD, PMDN,
Swasta
koperasi, BLU Gubernur
Provinsi/Kab/Kota
BUMN, PMA, atau BLU
Usaha jasa lain yang Menteri
Pemerintah Pusat
Menengah Aktivitas Penunjang berkaitan secara langsung
3 35129 BUMD, PMDN,
Rendah Tenaga Listrik Lainnya dengan pembangkitan
tenaga listrik koperasi, BLU Gubernur
Provinsi/Kab/Kota

Usaha jasa penunjang tenaga listrik dapat dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan
umum, dan koperasi yang berusaha di bidang usaha jasa penunjang tenaga
listrik sesuai dengan klasifikasi, kualifikasi, dan/atau sertifikat badan usaha
jasa penunjang tenaga listrik. Terkait dengan badan usaha swasta dapat
berbentuk:

1. badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;


2. bukan badan hukum yang telah didaftarkan pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia; atau
3. kantor perwakilan asing yang dibentuk oleh badan usaha jasa penunjang
tenaga listrik asing atau usaha perseorangan jasa penunjang tenaga listrik
asing.

Badan usaha jasa penunjang tenaga listrik untuk jenis usaha:

1. konsultansi dalam bidang instalasi tenaga listrik,


2. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik,
3. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik,
4. pengoperasian instalasi tenaga listrik,
5. pemeliharaan instalasi tenaga listrik, dan
6. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan,

wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU). Sertifikat Badan Usaha adalah
pengakuan formal terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan
- 109 -

pelaku usaha di bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik. SBU merupakan
salah satu persyaratan dalam standar perizinan berusaha. Pelaksanaan
sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah atau Lembaga Sertifikasi Badan Usaha yang telah diakreditasi
oleh Pemerintah. Sebagai upaya peningkatan pelayanan sertifikasi badan
usaha, Pemerintah telah membangun Sistem Informasi Usaha Jasa
Penunjang Tenaga Listrik (SI UJANG GATRIK) yang dapat diakses melalui
www.siujang.esdm.go.id. Dalam rangka peningkatan pembinaan dan
pengawasan badan usaha penunjang tenaga listrik, Sertifikat Badan Usaha
(SBU) wajib mendapatkan registrasi dari Pemerintah melalui SI UJANG
GATRIK. Selain itu, SI UJANG GATRIK juga menyediakan fasilitas
pengunggahan laporan tahunan untuk memfasilitasi badan usaha pemegang
SBU dalam melaksanakan kewajibannya. SI UJANG GATRIK tidak hanya
memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, namun juga memberikan
kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi terkait
ketersediaan badan usaha penunjang tenaga listrik berdasarkan klasifikasi,
kualifikasi, maupun lokasinya.

Badan usaha untuk kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib
mendapat perizinan berusaha. Perizinan berusaha dapat diperoleh badan
usaha melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
(Online Single Submission) yang dikelola oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal. Permohonan perizinan berusaha yang masuk melalui OSS akan
diproses sesuai dengan tingkat risiko kegiatan usahanya. Untuk kegiatan
usaha yang memiliki tingkat risiko tinggi dan menengah tinggi, akan
dilakukan verifikasi pemenuhan standar usaha oleh pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan untuk
kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah, OSS dapat
menerbitkan perizinan berusaha berupa sertifikat standar setelah badan
usaha menyampaikan self declare atas pemenuhan standar usaha. Dalam
rangka meningkatkan kepatuhan badan usaha penunjang tenaga listrik
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, pemerintah dan
pemerintah daerah melaksanakan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan standar dan tingkat risiko kegiatan usahanya.
Informasi terkait dengan persyaratan perizinan berusaha jasa penunjang
tenaga listrik dan informasi lain terkait usaha jasa penunjang tenaga listrik
dapat diperoleh melalui beberapa kanal, yaitu website www.gatrik.esdm.go.id,
- 110 -

contact center ESDM 136, email infogatrik@esdm.go.id, dan media sosial


twitter, instagram, youtube maupun facebook @infogarik.

Badan usaha jasa penunjang tenaga listrik dengan jenis usaha pemeriksaan
dan pengujian instalasi tenaga listrik, sertifikasi kompetensi tenaga teknik
ketenagalistrikan, sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik dan
sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik merupakan badan usaha
yang diberikan kewenangan untuk dapat melaksanakan kegiatan sertifikasi
pada subsektor ketenagalistrikan atau biasa disebut sebagai Lembaga
Sertifikasi Ketenagalistrikan. Selain perizinan berusaha, lembaga sertifikasi
ketenagalistrikan tersebut juga memiliki kewajiban untuk mendapatkan
akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lembaga sertifikasi ketenagalistrikan yang kewenangan akreditasinya
dilaksanakan oleh Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan
adalah Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Tenaga
Teknik Ketenagalistrikan (LSK), Lembaga Inspeksi Teknik Tenaga Listrik (LIT)
dan Lembaga Inspeksi Teknik Tegangan Rendah (LIT TR). Sedangkan untuk
Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) akreditasinya dilaksanakan oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN). Dalam rangka pembinaan terhadap lembaga
sertifikasi ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan
melaksanakan penilaian kinerja minimal satu tahun sekali dengan kriteria
dan pedoman yang telah ditetapkan. Hasil penilaian kinerja lembaga
sertifikasi ketenagalistrikan akan dipublikasikan sebagai bentuk apresiasi
bagi lembaga sertifikasi ketenagalistrikan dan informasi bagi masyarakat
pengguna jasa lembaga sertifikasi ketenagalistrikan.

Sebagai upaya mendorong terpenuhinya ketentuan keselamatan


ketenagalistrikan pada instalasi tenaga listrik, pada pelaksanaan usaha jasa
pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik, pemerintah
mewajibkan badan usaha pemegang perizinan `berusaha jasa pembangunan
dan pemasangan instalasi tenaga listrik untuk menyampaikan laporan hasil
pekerjaan kepada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan secara daring untuk
mendapatkan Nomor Identitas Instalasi Tenaga Listrik (NIDI). NIDI adalah
nomor yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan atas nama
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk instalasi tenaga listrik yang
telah selesai dipasang dan/atau dibangun oleh pelaku usaha jasa
pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik dan/atau pelaku
usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki perizinan berusaha di bidang
- 111 -

ketenagalistrikan. Di dalam NIDI mencakup informasi mengenai detail


informasi instalasi tenaga listrik yang digunakan dalam pelaksanaan
Sertifikasi Laik Operasi (SLO).

Kebijakan Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik Untuk


Kepentingan Telekomunikasi, Multimedia, dan/atau Informatika

Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telematika dapat


dilakukan dan wajib memperhatikan kaidah keselamatan ketenagalistrikan.
Diharapkan pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan
telematika mampu mendorong ekspansi konektivitas jaringan telekomunikasi
yang medukung terwujudnya digitalisasi di seluruh wilayah Indonesia dan
transformasi digital yang merata bagi seluruh Bangsa Indonesia. Selain itu,
dengan perkembangan teknologi informasi, pemanfaatan jaringan tenaga
listrik untuk kepentingan telematika dapat mendukung pelaksanaan
penyediaan tenaga listrik berbasis smart grid dan menyongsong era listrik 4.0.
Dengan smart grid dan era listrik 4.0. akan mendorong terciptanya jaringan
tenaga listrik yang handal, berdaya guna dan adaptif.

Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi,


multimedia, dan/atau informatika (telematika) hanya dapat dilakukan
sepanjang tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik dan
mendapatkan persetujuan pemilik jaringan sebagai pemegang perizinan
berusaha penyediaan tenaga listrik. Pemanfaatan jaringan tenaga listrik
untuk kepentingan telematika dapat berupa pemanfaatan penyangga
dan/atau jalur sepanjang jaringan, serat optik pada jaringan, konduktor pada
jaringan, dan/atau kabel pilot pada jaringan. Dalam hal pemilik jaringan telah
memberikan persetujuan untuk pemanfaatan jaringan tenaga listriknya
untuk kepentingan telematika, pemilik jaringan menyampaikan laporan
kepada Pemerintah dengan melampirkan dokumen sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Atas laporan yang disampaikan oleh
pemillik jaringan, Pemerintah akan menerbitkan nomor registrasi laporan
pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telematika.

Pemilik jaringan dan pemanfaat jaringan selama menjalankan usahanya


memiliki kewajiban untuk:

1. menjaga fungsi utama jaringan tenaga listrik untuk penyaluran tenaga


listrik
- 112 -

2. memenuhi standar teknis dan ketentuan keselamatan ketenagalistrikan


3. menyampaikan laporan atas pelaksaan kegiatannya
4. memberikan ganti kerugian dalam hal badan usaha menimbulkan
kerugian kepada pihak lain akibat pekerjaan yang dilakukannya.

Dalam rangka pengawasan terhadap pemanfaatan jaringan tenaga listrik


untuk kepentingan telematika, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan
membentuk tim teknis. Pengawasan yang dilakukan oleh tim teknis dapat
berupa pengawasan rutin maupun pengawasan insidentil yang dapat
dilakukan melalui verifikasi laporan awal dan laporan berkala serta inspeksi
lapangan.

Kebijakan Pengawasan Keteknikan

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berdasarkan norma, standar,


prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam
hal:

1. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga


listrik;
2. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi,
multimedia, dan informatika;
3. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;
4. pemenuhan persyaratan keteknikan;
5. pemenuhan aspek pelindungan lingkungan hidup;
6. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
7. penggunaan tenaga kerja asing;
8. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan tenaga iistrik;
9. pemenuhan persyaratan perizinan;
10. penerapan tarif tenaga listrik; dan
11. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha penunjang tenaga listrik

Pengawasan keteknikan adalah pengawasan terhadap pemenuhan ketentuan


keselamatan ketenagalistrikan pada pelaksanaan usaha penyediaan tenaga
listrik dan usaha penunjang tenaga listrik termasuk aspek-aspek lain yang
berkaitan untuk memastikan agar dalam proses pembangunan,
pengoperasian, dan pemeliharaan instalasi penyediaan tenaga listrik maupun
instalasi pemanfaatan tenaga listrik telah sesuai dengan ketentuan
keselamatan ketenagalistrikan.
- 113 -

Pengawasan merupakan bentuk kontrol pemerintah terhadap pelaksanaan


suatu kebijakan yang penerapannya diharapkan bukan terbatas pada
penegakan atau pemberian sanksi ketidakpatuhan/ketidaksesuaian saja,
namun juga terkait pembinaan terhadap stakeholder yang bertujuan untuk
memberikan masukan dalam pemenuhan ketentuan peraturan perundang-
undangan, evaluasi kinerja dan rekomendasi perbaikan (corrective).

Prosedur pengawasan keteknikan sebagai berikut:

1. Penyiapan kegiatan pengawasan


a. Penyiapan kertas kerja/checklist untuk kegiatan pengawasan
b. Pengumpulan bahan dan data-data awal terkait obyek pengawasan
c. Penyiapan surat tugas kegiatan pengawasan
d. Penyiapan peralatan pendukung untuk kegiatan pengawasan (APD,
alat ukur, alat uji)
e. Koordinasi dengan pemilik/pengelola obyek pengawasan
2. Pelaksanaan kegiatan pengawasan
a. Penjelasan maksud dan tujuan kegiatan pengawasan kepada
pemilik/pengelola obyek pengawasan sesuai Surat Tugas.
b. Penjelasan/paparan terkait obyek pengawasan oleh pemilik/pengelola
obyek pengawasan.
c. Diskusi teknis obyek pengawasan (terkait data operasi, pemeliharaan,
sertifikat/perizinan, uji produk, dll).
d. Inspeksi lapangan.
e. Diskusi teknis terkait analisis/temuan Tim Inspektur
Ketenagalistrikan, referensi regulasi dan standardisasi, referensi
terhadap kejadian serupa (benchmark dan lesson learned).
f. Penyusunan Risalah Hasil Inspeksi/Berita Acara yang memuat data-
data teknis, hasil inspeksi, dan rekomendasi dari Tim Inspektur
Ketenagalistrikan berdasarkan hasil analisis/evaluasi data dan
inspeksi lapangan.
3. Tindak lanjut kegiatan pengawasan
a. Penyusunan laporan hasil pengawasan keteknikan oleh Tim Inspektur
Ketenagalistrikan.
b. Penyampaian laporan hasil pengawasan keteknikan kepada pimpinan
c. Dalam hal kejadian pada obyek pengawasan memerlukan
pertimbangan teknis dari pakar/akademisi, maka dapat dilakukan
rapat pembahasan bersama dengan pakar/akademisi.
- 114 -

d. Penyusunan surat rekomendasi berdasarkan hasil inspeksi dan hasil


rapat pembahasan bersama pakar/akademisi.
e. Penyampaian surat rekomendasi kepada pemilik/pengelola obyek
pengawasan dapat berupa peringatan/teguran, rekomendasi untuk
melaksanakan langkah-langkah pemeliharaan, peningkatan kinerja,
dan perbaikan.
f. Monitoring dan evaluasi tindak lanjut yang dilaksanakan oleh
pemilik/pengelola obyek pengawasan atas surat rekomendasi.

Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan, Pemerintah Pusat atau


Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dibantu oleh Inspektur
Ketenagalistrikan, dapat melakukan beberapa tindakan, yaitu:

1. inspeksi pengawasan di lapangan;


2. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan;
3. melakukan penelitian dan evaiuasi atas laporan pelaksanaan usaha di
bidang ketenagalistrikan; dan
4. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan
perizinan berusaha berdasarkan usulan rekomendasi dari Inspektur
Ketenagalistrikan.

Obyek pengawasan keteknikan adalah segala aspek yang wajib memenuhi


ketentuan keselamatan ketenagalistrikan, dapat berupa badan usaha
penyediaan tenaga listrik, badan usaha penunjang tenaga listrik, instalasi
penyediaan tenaga listrik, maupun instalasi pemanfaat tenaga listrik.

Berdasarkan waktu pelaksanaan, pengawasan keteknikan dapat dibagi


menjadi 2 (dua) kategori yaitu:

1. Pengawasan keteknikan terencana

Pengawasan keteknikan terencana adalah kegiatan pengawasan


keteknikan yang dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah disusun
(bersifat reguler). Penentuan obyek pengawasan keteknikan terencana
berdasarkan prioritas atas isu-isu terkait dan ketersediaan anggaran.

2. Pengawasan keteknikan insidentil

Pengawasan keteknikan insidentil adalah kegiatan pengawasan


keteknikan yang tidak terjadwal dan bersifat sewaktu-waktu berdasarkan
penugasan pimpinan, antara lain: kejadian padam meluas/blackout,
gangguan penyediaan tenaga listrik, kebakaran, kecelakaan kerja pada
subsektor ketenagalistrikan, gangguan pasokan energi primer, pengaduan
- 115 -

masyarakat, maupun kejadian tertentu yang berpotensi dapat


menyebabkan kendala dalam penyediaan tenaga listrik.

Pengawasan keteknikan diperlukan untuk memastikan pemenuhan


keselamatan ketenagalistrikan dalam menciptakan kondisi andal dan aman
bagi instalasi tenaga listrik, aman dari bahaya akibat listrik bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya, dan ramah lingkungan yaitu:

1. Penyediaan tenaga listrik


a. Kondisi penyediaan tenaga listrik yang aman, andal, efisien
b. Pemasangan, pengujian, pengoperasian, dan pemeliharaan
dilaksanakan oleh badan usaha tersertifikasi dan memiliki kompetensi
yang sesuai
c. Menggunakan peralatan-peralatan yang telah memenuhi
standardisasi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pemanfaatan tenaga listrik
a. Kondisi pemanfaatan tenaga listrik yang aman, andal, efisien
b. Pemasangan dan pengujian dilaksanakan oleh badan usaha
tersertifikasi dan memiliki kompetensi yang sesuai
c. Menggunakan peralatan-peralatan yang telah memenuhi standardisasi
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan keteknikan dilaksanakan terhadap badan usaha penyediaan


tenaga listrik, badan usaha penunjang tenaga listrik, instalasi penyediaan
tenaga listrik, maupun instalasi pemanfaat tenaga listrik.

Hasil pengawasan keteknikan berupa laporan hasil pengawasan yang


disampaikan kepada pimpinan dan menjadi dasar dalam penentuan
kebijakan/rekomendasi oleh pimpinan sebagai tindak lanjut. Berdasarkan
hasil pengawasan keteknikan, pimpinan dapat melaksanakan langkah-
langkah sebagai berikut:

1. Penyampaian surat rekomendasi hasil pengawasan keteknikan kepada


pemilik/pengelola obyek pengawasan
2. Pemberian sanksi administratif sesuai ketentuan dan tahapan dalam
peraturan perundang-undangan
3. Apabila diperlukan, dapat diusulkan penyusunan/perubahan regulasi
terkait berdasarkan hasil evaluasi pengawasan keteknikan.
- 116 -

Dalam perkembangannya kedepan, tatakelola sektor ketenagalistrikan akan


mengalami perubahan yang besar seiring dengan tuntutan kebutuhan
penyediaan energi listrik yang bersih, andal dan kualitas yang terjaga serta
terjangkau baik dari segi akses maupun harga, dimana dalam hal ini
pengelolaan energi listrik mulai di sisi supply sampai pemanfaatannya di sisi
pengguna akhir, harus dilakukan secara seimbang dan saling berkaitan
mencakup aspek security, equity, dan environmental sustainability.
Sejalan dengan hal tersebut, pengendalian dan pengoperasian instalasi listrik
terutama yang terhubung kesistem kelistrikan tentunya harus ditopang
dengan penggunaan perangkat canggih untuk mendukung operasi yang
efisien. Modernisasi peralatan menjadi keharusan dengan menerapkan
teknologi monitoring dan kendali secara real time yang terintegrasi mulai dari
sisi penyediaan tenaga listrik sampai ke beban, penerapan jaringan
cerdas/smart grid dan internet of things, serta antisipasi masuknya energi
terbarukan di grid system yang semakin masif akan mengubah paradigma dan
metode pengawasan sektor ketenagalistrikan dalam beberapa tahun ke depan.
Fungsi pengawasan keteknikan yang diemban oleh Pemerintah dibantu oleh
Inspektur Ketenagalistrikan akan banyak dihadapkan dengan hal baru terkait
perkembangan teknologi dan kebijakan yang mungkin tidak hadapi/ditemui
sebelumnya.
Peningkatan dan penguatan pengawasan dilakukan melalui dukungan
kebijakan, penyediaan personil yang memiliki integritas dan secara kuantitas
maupun kualitas kompetensinya memadai, serta terpenuhinya sarana
termasuk sistem informasi yang berkelanjutan. Kondisi tersebut menjadi
tuntutan kebutuhan yang dapat memudahkan dan memperluas akses
pengawasan dengan mempertimbangkan antaralain beban tugas dan
kebutuhan organisasi, pertumbuhan usaha ketenagalistrikan, penambahan
jenis dan/atau jumlah objek instalasi tenaga listrik dengan lingkup diseluruh
wilayah Indonesia, serta dinamika global yang berhubungan dengan sektor
ketenagalistrikan yang pasti akan menjadi tantangan bagi pelaksanaan
pengawasan. Diperlukan juga sinergi antara Inspektur Ketenagalistrikan di
Pemerintah Pusat dengan Inspektur Ketenagalistrikan di Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan efektifitas pengawasan menjadi lebih luas sesuai dengan
lingkup kewenangannya.

Implementasi aplikasi perangkat lunak berbasis daring dapat menjadi akses


data base dan sumber informasi penting dalam pelaksanaan inspeksi
ketenagalistrikan berkaitan dengan objek pengawasan di lapangan dan
- 117 -

evaluasi terhadap pemenuhan ketentuan perundang-undangan, serta


menjadi sarana dan sebagai fasilitasi bagi publik/masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam pengawasan, memberikan informasi, masukan dan
laporan pengaduan.
- 118 -

BAB III
KONDISI PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK SAAT INI

Dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional, usaha penyediaan tenaga


listrik di Indonesia tidak hanya semata-mata dilakukan oleh PT PLN (Persero)
saja, tetapi juga dilakukan oleh BUMD, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat.

Usaha penyediaan tenaga listrik yang telah dilakukan oleh BUMD, swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat tersebut diantaranya adalah membangun
dan mengoperasikan sendiri pembangkit tenaga listrik yang kemudian tenaga
listriknya di jual kepada PT PLN (Persero) atau lebih dikenal Independent Power
Producer (IPP) ataupun membangun dan mengoperasikan sendiri pembangkit,
transmisi dan/atau distribusi tenaga listrik secara terintegrasi yang kemudian
tenaga listriknya dijual langsung kepada konsumen di suatu wilayah usaha
khusus yang dikenal dengan istilah usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi
atau Private Power Utility (PPU).

Kondisi penyediaan tenaga listrik yang disajikan dalam bab ini mencakup
potensi energi primer Indonesia dan kondisi sistem tenaga listrik berdasarkan
data pengusahaan pemegang IUPTLU baik dalam Wilayah Usaha PT PLN
(Persero) maupun dalam wilayah usaha pemegang IUPTLU lainnya (PPU),
beserta data IUPTLS yang memiliki pembangkit yang memanfaatkan sumber
energi primer selain BBM.

Data Sumber Energi Primer

Indonesia memiliki beraneka ragam potensi sumber energi primer yang dapat
dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik diantaranya adalah batubara,
minyak dan gas bumi, panas bumi, air, surya, bioenergi, bayu, arus laut dan
nuklir.
- 119 -

Tabel III.1. Data Potensi Sumber Energi Primer


SUMBER ENERGI PRIMER
Panas Bumi (MWe)3) Bioenergi (MW)4) Nuklir (Ton) 6)
No. Provinsi Batubara Gas Bumi Minyak Bumi Total Air Surya Angin Arus Laut
Jumlah Terukur
(Juta Ton)1) (BSCF)2) (MMSTB)2) Kapasitas (MW)4) (GW)4) Biomassa*) Biogas (MW)4) (MW)5)
Lokasi U308 Th
(MW)
1 Aceh 1.122 478 28 19 1.086 1.459 101 1.182 29 2.361 - - -
2 Sumatera Utara 15 369 33 18 2.026 1.440 122 3.939 116 356 - - -
3 Sumatera Barat 495 - - 19 1.680 1.484 43 1.199 50 428 - - -
4 Riau 2.004 - - 4 45 227 290 10.437 56 22 321 - -
5 Jambi 6.815 1.237 1.193 9 812 807 122 3.326 29 37 - - -
6 Sumatera Selatan 43.853 6.561 597 7 1.241 906 285 5.953 59 - - - -
7 Bengkulu 630 - - 5 764 378 14 729 10 1.513 - - -
8 Lampung 152 - - 13 1.758 64 121 1.544 73 3.509 - - -
9 Kep. Bangka Belitung - - - 7 105 2 46 474 11 1.787 - 2.840 4.729
10 Kep. Riau - 1.704 225 - - - 30 43 14 922 1,4 - -
11 DKI Jakarta - - - - - - 40 53 0 4 - - -
12 Jawa Barat - 1.691 564 42 4.763 381 156 1.540 463 12.727 - - -
13 Jawa Tengah 0,8 - - 14 1.342 123 176 1.970 388 8.560 - - -
14 D.I. Yogyakarta - - - 1 10 11 30 150 36 2.058 - - -
15 Jawa Timur 0,1 4.330 685 11 1.284 82 176 3.054 397 10.204 - - -
16 Banten 58 - - 7 651 18 52 355 114 5.497 3.715 - -
17 Bali - - - 6 335 5 22 78 58 1.554 324 - -
18 NTB - - - 3 175 21 23 698 45 3.993 12.228 - -
19 NTT - - - 31 1.224 64 369 323 46 12.024 3.279 - -
20 Kalimantan Barat 466 5 65 3.781 92 4.067 38 5.432 - 2.394 -
21 Kalimantan Tengah 11.251 - - 12.096 150 4.016 15 11.817 - - -
22 Kalimantan Selatan 13.220 5.547 303 3 50 112 53 1.247 49 8.455 - - -
23 Kalimantan Timur 59.691 2 17 10.370 101 2.982 27 212 - - -
24 Kalimantan Utara 3.703 4 43 22.107 36 287 3 73 - - -
25 Sulawesi Utara - 5.069 55 9 838 51 12 489 11 2.783 89 - -
- 120 -

SUMBER ENERGI PRIMER


Panas Bumi (MWe)3) Bioenergi (MW)4) Nuklir (Ton) 6)
No. Provinsi Batubara Gas Bumi Minyak Bumi Total Air Surya Angin Arus Laut
Jumlah Terukur
(Juta Ton)1) (BSCF)2) (MMSTB)2) Kapasitas (MW)4) (GW)4) Biomassa*) Biogas (MW)4) (MW)5)
Lokasi U308 Th
(MW)
26 Sulawesi Tengah 3 30 833 1.373 39 434 14 1.174 - - -
27 Sulawesi Selatan 43 21 516 822 60 1.113 89 8.345 - - -
28 Sulawesi Tenggara 0,6 13 318 230 85 200 14 1.795 - - -
29 Gorontalo - 5 160 78 6 476 7 137 - - -
30 Sulawesi Barat 28 13 406 422 20 508 7 651 - - -
31 Maluku - 18 568 142 77 47 4 22.518 - - -
15.784 374
32 Maluku Utara 8 15 576 68 17 37 3 521 29 - -
33 Papua Barat 134 3 75 3.036 66 106 3 1.803 30 - -
12.060 118
34 Papua 39 - - 32.889 252 376 10 21.305 - - -
Total 143.731 54.830 4.174 357 23.766 95.049 3.286 54.714 2.287 154.577 20.016 5.234 4.729
Keterangan:
*)Total potensi biomassa termasuk potensi POME Nasional sebesar 1.283 MW dan belum termasuk potensi pengembangan berbasis

lahan (Hutan Tanaman Energi/HTE)

Sumber:
1) Roadmap Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara – KESDM, 2021

2) Buku Statistik Minyak dan Gas Bumi Semester I 2022, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi – KESDM, 2022

3) Peta Distribusi Potensi Panas Bumi Indonesia, Badan Geologi, Desember 2020

4) Pemutakhiran Data Potensi Energi Terbarukan, Puslitbang Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan

Konservasi Energi – Balitbang ESDM, 2021


5) Peta Potensi Energi Laut Indonesia, Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan – KESDM 2022

6) Nuklir: Laporan Teknis Ringkas, BRIN


- 121 -

Batubara

Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batubara yang cukup


besar. Berdasarkan Roadmap Pengembangan dan Pemanfaatan
Batubara yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada
September 2021, sumber daya batubara Indonesia hingga akhir tahun
2020 mencapai sekitar 143 miliar ton.

Sumber daya terbesar berada di Wilayah Kalimantan mencapai sekitar


61,5% dari total sumber daya nasional. Di wilayah Kalimantan sendiri,
potensi paling besar berada di Provinsi Kalimantan Timur sekitar 68%
dari total Kalimantan.

Wilayah Sumatera juga memiliki sumber daya batubara yang cukup


besar sekitar 38,3% dari total sumber daya nasional. Provinsi dengan
sumber daya batubara terbesar di wilayah Sumatera adalah Provinsi
Sumatera Selatan dengan total sumber daya mencapai sekitar 80% dari
total Sumatera.

Wilayah Jawa, Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara hanya


memiliki sumber daya batubara dengan total sekitar 0,2% dari total
sumber daya nasional.

Gas Bumi

Indonesia memiliki cadangan gas bumi sekitar 54,83 TCF dengan rincian
cadangan terbukti sekitar 36,34 TCF dan cadangan potensial sekitar
18,49 TCF. Cadangan tersebut sebagian besar tersebar di Wilayah
Maluku sekitar 29% dari total cadangan nasional dan Wilayah Papua
sekitar 22% dari total cadangan nasional.

Wilayah Kalimantan dan Wilayah Jawa juga masing-masing memiliki


cadangan gas bumi sekitar 11% dan 10% dari total cadangan nasional.
Adapun Wilayah dengan cadangan gas bumi terkecil adalah Wilayah
Sulawesi sebesar 9% dari total cadangan nasional.

Minyak Bumi

Total cadangan minyak bumi di Indonesia adalah 4,17 Ribu MMSTB


dengan rincian cadangan terbukti sekitar 2,27 Ribu MMSTB dan
- 122 -

cadangan potensial sekitar 1,90 Ribu MMSTB. Cadangan tersebut paling


banyak berada di Wilayah Sumatera sekitar 50% dari total cadangan
minyak bumi nasional dan di Wilayah Jawa sekitar 30% dari total
cadangan minyak bumi nasional.

Di Wilayah Sumatera cadangan minyak bumi tersebar di Sumatera


Bagian Tengah sekitar 64% total cadangan minyak bumi di Wilayah
Sumatera dan Sumatera Bagian Selatan sekitar 32% total cadangan
minyak bumi di Wilayah Sumatera. Sedangkan di Wilayah Jawa,
cadangan minyak bumi sebagian besar berada di Provinsi Jawa Barat
sekitar 55% dari total cadangan minyak bumi di Wilayah Jawa.

Cadangan minyak bumi juga terdapat di Wilayah Maluku sekitar 9% dari


total cadangan minyak bumi nasional, Kalimantan sekitar 7% dari total
cadangan minyak bumi nasional, Papua sekitar 3% dari total cadangan
minyak bumi nasional dan Sulawesi sekitar 1% dari total cadangan
minyak bumi nasional.

Panas Bumi

Berdasarkan data Badan Geologi yang tercantum dalam Peta Distribusi


Potensi Panas Bumi Indonesia pada Desember 2020, Indonesia memiliki
total potensi panas bumi sebesar 23.765,5 MW tersebar di 357 lokasi
potensi panas bumi dengan rincian potensi spekulatif sebesar
5.981 MW, potensi hipotetik sebesar 3.363 MW dan potensi cadangan
sebesar 14.421,5 MW. Potensi tersebut tersebar di Wilayah Sumatera
sekitar 40% dari total potensi nasional yang tersebar 101 lokasi serta
Wilayah Jawa sekitar 35% dari total potensi nasional yang tersebar di 81
lokasi.

Di Wilayah Sumatera, potensi panas bumi sebagian besar terbesar di


Provinsi Sumatera Utara sekitar 21% dari total potensi di Wilayah
Sumatera, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Lampung dengan
potensi masing masing sekitar 18% dari total potensi di Wilayah
Sumatera dan Provinsi Sumatera Selatan dengan total potensi sekitar
13% dari total potensi di Wilayah Sumatera.

Di Wilayah Jawa, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi panas bumi


paling tinggi dengan potensi sekitar 57% dari total potensi di Wilayah
Jawa. Selain itu, terdapat Provinsi Nusa Tenggara Timur juga memiliki
- 123 -

potensi panas bumi yang cukup besar, mencapai 5% dari total potensi
panas bumi nasional yang tersebar di 31 lokasi.

Air

Berdasarkan Pemutakhiran Data Potensi Energi Terbarukan yang


dilakukan oleh Puslitbang Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru
Terbarukan, dan Konservasi Energi – Balitbang ESDM pada tahun 2021,
Indonesia memiliki potensi air sebesar 95.049 MW dengan rincian
potensi run off river sebesar 94.637 MW dan reservoir/bendungan
sebesar 376 MW. Potensi bendungan mengacu pada data rencana PLTA
Bendungan dari PUPR tahun 2015-2027.

Potensi air sebagian tersebar terletak di Wilayah Kalimantan sekitar 51%


dari total potensi air nasional dan Papua sekitar 38% dari total potensi
air nasional. Di Wilayah Kalimantan, potensi sebagian besar tersebar di
Provinsi Kalimantan Utara dengan potensi sekitar 46% dari total potensi
air di Wilayah Kalimantan, Provinsi Kalimantan Tengah sekitar 25% dari
total potensi air di Wilayah Kalimantan, dan Provinsi Kalimantan Timur
sekitar 21% dari total potensi air di Wilayah Kalimantan. Adapun potensi
air di Wilayah Papua sebagian besar terletak di Provinsi Papua sekitar
92% dari total potensi air di Wilayah Papua.

Surya

Pemutakhiran potensi surya dilakukan dengan memperhatikan luasan


lahan potensial dan penyaringan intensitas radiasi. Berdasarkan hasil
pemutakhiran tersebut, total potensi surya di Indonesia mencapai
sebesar 3.294 GW.

Wilayah dengan potensi surya terbesar adalah Wilayah Sumatera


dengan potensi mencapai 36% total potensi surya nasional. Potensi
tersebut tersebar di seluruh Sumatera dengan potensi terbesar terletak
di Provinsi Riau sebesar 25% dari total potensi surya di Wilayah
Sumatera dan Provinsi Sumatera Selatan dengan total potensi sebesar
24% dari total potensi surya di Wilayah Sumatera.

Provinsi dengan potensi surya terbesar adalah Nusa Tenggara Timur


dengan total potensi mencapai 94% total potensi surya di Wilayah Nusa
Tenggara atau sebesar 11% dari total potensi surya nasional. Adapun
provinsi dengan potensi surya terendah ada Provinsi Gorontalo dengan
- 124 -

potensi surya hanya sebesar 3% dari total potensi surya di Wilayah


Sulawesi atau sebesar 0,2% dari total potensi surya nasional.

Bioenergi

Potensi bioenergi di Indonesia mencapai 57 GW dengan rincian 54,7 GW


potensi biomassa dan 2,3 GW potensi biogas. Total potensi biomassa
tersebut telah memperhitungkan potensi POME Nasional sebesar 1.283
MW. Potensi tersebut belum termasuk potensi pengembangan berbasis
lahan (Hutan Tanaman Energi/HTE).

Wilayah Sumatera memiliki total potensi biomassa terbesar hingga


mencapai 54% total potensi biomassa nasional. Potensi ini sebagian
besar tersebar di Provinsi Riau dengan potensi biomassa mencapai 36%
dari total potensi biomassa di Wilayah Sumatera dan di Provinsi
Sumatera Selatan dengan potensi biomassa sebesar 21% dari total
potensi biomassa di Wilayah Sumatera. Adapun wilayah dengan potensi
biomassa terendah adalah Wilayah Maluku, Papua dan Nusa Tenggara
dengan total potensi biomassa hanya sebesar 3% dari total potensi
biomassa nasional.

Potensi biogas terbesar berada di Wilayah Jawa hingga mencapai 64%


total potensi biogas nasional. Potensi tersebut tersebar sebagian besar di
Provinsi Jawa Barat dengan potensi biogas sebesar 33% dari total
potensi biogas di Wilayah Jawa serta Provinsi Jawa Timur dan Jawa
Tengah dengan total potensi biogas masing-masing mencapai 28% dari
total potensi biogas di Wilayah Jawa.

Angin

Indonesia memiliki potensi angin sebesar 154,6 GW dengan rincian


potensi angin onshore sebesar 60,4 GW dan potensi angin offshore
sebesar 94,2 GW. Wilayah dengan potensi angin terbesar adalah Wilayah
Maluku, Papua dan Nusa Tenggara dengan potensi mencapai 40% total
potensi angin nasional. Potensi ini tersebar sebagian besar di Provinsi
Maluku dengan potensi angin sebesar 36% total potensi angin di Wilayah
Maluku, Papua dan Nusa Tenggara serta Provinsi Papua dengan potensi
angin sebesar 34% dari total potensi angin di Wilayah Maluku, Papua
dan Nusa Tenggara.
- 125 -

Wilayah Jawa juga memiliki potensi angin yang cukup besar yaitu
sebesar 26% dari total potensi angin nasional. Potensi angin tersebut
tersebar di Provinsi Jawa Barat sebesar 31% dari total potensi angin di
Wilayah Jawa, Provinsi Jawa Timur sebesar 25% dari total potensi angin
di Wilayah Jawa, dan Provinsi Jawa Tengah dengan potensi angin
sebesar 21% dari total potensi angin di Wilayah Jawa.

Adapun wilayah dengan total potensi angin terendah adalah Wilayah


Sumatera dengan potensi angin hanya mencapai 7% dari total potensi
angin nasional. Potensi angin terbesar berada di Provinsi Lampung
sebesar 36% dari total potensi angin di Wilayah Sumatera, Provinsi Aceh
sebesar 22% dari total potensi angin nasional, Provinsi Kepualauan
Bangka Belitung sebesar 16% dari total potensi angin di Wilayah
Sumatera dan Provinsi Bengkulu dengan sebesar 14% dari total potensi
angin di Wilayah Sumatera.

Arus Laut

Menurut Peta Potensi Energi Laut Indonesia, Indonesia memiliki potensi


arus laut teoritikal sebesar 142.972 MW, teknikal sebesar 57.189 MW
dan praktikal sebesar 20.016 MW. Potensi tersebut terletak di 17 titik
lokasi yang tersebar di 9 provinsi.

Potensi arus laut praktikal terbesar berada di provinsi Nusa Tenggara


Barat sebesar 61% dari total potensi arus laut praktikal nasional. Potensi
tersebut tersebar di Selat Lombok dan Selat Alas. Selain itu, Provinsi
Banten juga memiliki potensi arus laut praktikal yang cukup besar yaitu
sebesar 19% dari total potensi arus laut praktikal nasional yang berada
di Selat Sunda.

Nuklir

Berdasarkan Laporan Teknis Ringkas, BRIN, terdapat potensi sumber


daya terukur thorium sebesar 4.729 ton dan U308 sebesar 5.234 ton.
Potensi tersebut tersebar di Bangka Belitung sebesar 2.840 ton U308
dan 4.729 ton Th serta Kalimantan Barat sebesar 2.394 ton U308.

Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Sesuai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang


Ketenagalistrikan, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum
- 126 -

dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya
masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. BUMN dalam
hal ini PT PLN (Persero), diberikan prioritas pertama untuk melakukan usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

Selain PT PLN (Persero) terdapat 56 badan usaha (status sampai dengan


Desember 2022) yang memiliki penetapan Wilayah Usaha penyediaan tenaga
listrik yang meliputi 49 Wilayah Usaha yang terintegrasi, 1 Wilayah Usaha
transmisi, distribusi dan penjualan serta 7 Wilayah Usaha distribusi dan
penjualan. Peta dan lokasi 57 badan usaha pemegang wilayah dijelaskan
dalam Gambar III.1 dan Tabel III.2 dibawah ini.

Gambar III.1. Peta Wilayah Usaha

Tabel III.2. Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik


Pemegang Wilayah
No Lokasi Wilayah Usaha Jenis Usaha
Usaha
Seluruh wilayah Republik Indonesia kecuali
1 PT PLN (Persero) yang ditetapkan Pemerintah sebagai Wilayah Terintegrasi
Usaha bagi badan usaha lainnya atau koperasi
PT Perkebunan Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei, Kab.
2 Terintegrasi
Nusantara III Simalungun, Prov. Sumatera Utara
Kawasan Industri Medan Star, Tanjung
PT Nadika Listrik
3 Morawa, Kab. Deli Serdang, Prov. Sumatera Terintegrasi
Mandiri
Utara
Kawasan Industri Medan, Prov. Sumatera
4 PT Dwi Maharani Terintegrasi
Utara
PT Mabar Desa Semelinang Tebing, Kec. Peranap, Kab.
5 Terintegrasi
Elektrindo Indragiri Hulu, Prov. Riau
Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kec. Pelalawan,
6 PD Tuah Sekata Kec. Teluk Meranti dan Kawasan Teknopolitan Terintegrasi
di Kab. Pelalawan dan Kab. Siak, Prov. Riau
- 127 -

Pemegang Wilayah
No Lokasi Wilayah Usaha Jenis Usaha
Usaha
PT Riau Perkasa Kawasan Industri Pelindo, Kawasan
7 Terintegrasi
Energi Pengembangan Pelabuhan Terpadu, Prov. Riau
Pulau Batam dan sekitarnya, kecuali yang
ditetapkan Pemerintah sebagai Wilayah Usaha
8 PT PLN Batam Terintegrasi
bagi badan usaha lainnya atau koperasi, Prov.
Kep. Riau
PT Batamindo
Kawasan Industri Batamindo Kota Batam,
9 Investment Terintegrasi
Prov. Kep. Riau
Cakrawala
Kawasan Industri Tunas, Kota Batam, Prov.
10 PT Tunas Energi Terintegrasi
Kep. Riau
PT Panbil Utilitas Kawasan Industri Panbil, Kota Batam, Prov.
11 Terintegrasi
Sentosa Kep. Riau
PT Soma Daya Kawasan Pulau Karimun Zona I Kabupaten
12 Terintegrasi
Utama Karimun, Prov. Kep. Riau
PT Karimun Power Kawasan Pulau Karimun Zona II Kabupaten
13 Terintegrasi
Plant Karimun, Prov. Kep. Riau
Kawasan Pariwisata Terpadu Bintan Resort,
PT Bintan Resort Distribusi dan
14 Kec. Teluk Sebong, Kab. Bintan, Prov. Kep.
Cakrawala Penjualan
Riau
Kawasan Industri Bintan, Desa Teluk Lobam,
PT Bintan Inti Distribusi dan
15 Kec. Seri Kuala Lobam, Kab. Bintan, Prov. Kep.
Industrial Estate Penjualan
Riau
PT Bintan Alumina KEK Galang Batang, Kab. Bintan, Prov. Kep.
16 Terintegrasi
Indonesia Riau.
PT Energi Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok,
Distribusi dan
17 Pelabuhan Kecamatan Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara,
Penjualan
Indonesia Prov. DKI Jakarta

Kawasan Industri Kota Bukit Indah Cikampek,


PT Tatajabar Distribusi dan
18 Kab. Karawang dan Purwakarta, Prov. Jawa
Sejahtera Penjualan
Barat

PT Dian Swastika PT Pindo Deli & Paper Mill di Kel. Adiarsa


19 Sentosa - Barat, Kec. Karawang Barat, Kab. Karawang, Terintegrasi
Karawang 1 Mill Prov. Jawa Barat
PT Dian Swastika PT Pindo Deli & Paper Mill di Desa Kuta
20 Sentosa - Mekar, Kec. Ciampel, Kab. Karawang, Prov. Terintegrasi
Karawang 2 Mill Jawa Barat
Kp. Turijaya RT 06/RW07 Desa
Distribusi dan
21 PT Tegar Primajaya Segaramakmur, Kec. Tarumajaya, Kab. Bekasi,
Penjualan
Prov. Jawa Barat
Kp Pasir Tangkil RT 013 – RW 005, Bandarjati,
PT Cibinong Center Distribusi dan
22 Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Prov. Jawa
Industrial Estate Penjualan
Barat
Wilayah PT Gerbang Teknologi Cikarang,
23 PT Bekasi Power Terintegrasi
Kabupaten Bekasi, Prov. Jawa Barat
Kawasan Industri Jababeka, Megalopoplis
Manunggal 2100, East Jakarta Industrial Park,
PT Cikarang
24 Hyundai Inti Development, dan Gunung Terintegrasi
Listrindo
Cermai Inti (Lippo Cikarang) berikut
perluasannya, Prov. Jawa Barat
Kawasan Industri Kendal, Kab. Kendal, Prov.
25 PT United Power Terintegrasi
Jawa Tengah
PT Berkah
Kawasan Java Integrated Industrial and Port
26 Kawasan Manyar Terintegrasi
Estate (JIIPE), Kab. Gresik, Prov. Jawa Timur
Sejahtera
PT Lamong Energi
27 Terminal Teluk Lamong, Prov. Jawa Timur Terintegrasi
Indonesia
- 128 -

Pemegang Wilayah
No Lokasi Wilayah Usaha Jenis Usaha
Usaha

PT Pupuk Komplek Industri PT Petrokimia Gresik Unit


28 Terintegrasi
Indonesia Utilitas III, Prov. Jawa Timur

PT Dian Swastika Wilayah Pabrik PT Indah Kiat Pulp & Paper di


29 Terintegrasi
Sentosa – Serang Kabupaten Serang, Prov. Banten
PT Dian Swastika
Wilayah Pabrik PT Indah Kiat Pulp & Paper di
30 Sentosa - Terintegrasi
Kota Tangerang Selatan, Prov. Banten
Tangerang Mill
PT Sumber Tenaga Tower A dan B Apartment City Light, Ciputat, Distribusi dan
31
Lestari Kota Tangerang Selatan, Prov. Banten Penjualan
Pabrik Sulfindo Adi Usaha, Jl. Raya
PT Merak Energi
32 Bojonegara, Desa Mangunreja, Kecamatan Terintegrasi
Indonesia
Puloampel, Kab. Serang, Prov. Banten

33 PT Krakatau Posco Area Pabrik Baja Terpadu PTKP, Prov. Banten Terintegrasi

Kawasan Industri Krakatau, kecuali Kawasan


PT Krakatau Daya
34 Krakatau Posco (Wilayah Usaha PT Krakatau Terintegrasi
Listrik
Posco Energy), Kota Cilegon, Prov. Banten
Kawasan Pemukiman Penduduk di Kecamatan
PT Mikro Kisi
35 Pinupahar dan Kecamatan Ngadu Ngala Kab. Terintegrasi
Sumba
Sumba Timur, Prov. Nusa Tenggara Timur

PT Energia Prima Desa Barunang, Kecamatan Kapuas Tengah,


36 Terintegrasi
Nusantara Kab. Kapuas, Prov. Kalimantan Tengah

Kawasan Industri PT Surya Borneo Industri di


PT Surya Borneo Kelurahan Kumai Hulu dan Sungai Desa
37 Terintegrasi
Industri Tendang, Kecamatan Kumai, Kab.
Kotawaringin Barat, Prov. Kalimantan Tengah
Kawasan PT Wijaya Triutama Plywood Industri,
PT Wijaya
PT Basirih Industrial dan PT Intan Wijaya
38 Triutama Plywood Terintegrasi
International, Tbk - Kota Banjarmasin, Prov.
Industri
Kalimantan Selatan
Wilayah Operasional Tambang PT Adaro
PT Makmur
39 Indonesia di Kab. Tabalong dan Kab. Terintegrasi
Sejahtera Wisesa
Balangan, Prov. Kalimantan Selatan

PT Kariangau Kawasan Industri Kariangau, Kota Balikpapan,


40 Terintegrasi
Power Prov. Kalimantan Timur

Kawasan Industri Kimia PT Batuta Chemical


Industrial Park Kecamatan Bengalon
41 PT Bakrie Power Terintegrasi
Kabupaten Kutai Timur, Prov. Kalimantan
Timur

PT Kaltim Daya Kaltim Industrial Estate, Bontang Utara, Kota


42 Terintegrasi
Mandiri Bontang, Prov. Kalimantan Timur

Wilayah Usaha Industri Kehutanan PT Sarana


PT Kalimantan Bina Semesta Alam dan PT KD Mineral IDN, di
43 Terintegrasi
Powerindo Kec. Muara Kaman, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Prov. Kalimantan Timur

Kawasan Pertambangan PT Berau Coal (Site


PT Indo Pusaka
44 Lati, Site Suaran dan Site Binungan), Kab. Terintegrasi
Berau
Berau, Prov. Kalimantan Timur

Kawasan Pemukiman Penduduk Desa Merabu,


PT Sinang Puri
45 Kecamatan Kelay, Kab. Berau, Prov. Terintegrasi
Energi
Kalimantan Timur
Kawasan Pemukiman Penduduk Desa Teluk
PT Teluk Sumbang
46 Sumbang, Kec. Biduk-biduk, Kab. Berau, Prov. Terintegrasi
Energi
Kalimantan Timur
- 129 -

Pemegang Wilayah
No Lokasi Wilayah Usaha Jenis Usaha
Usaha
Kawasan Pemukiman Penduduk Desa Long
PT Long Beliu Tau
47 Beliu, Kecamatan Kelay, Kab. Berau, Prov. Terintegrasi
Energi
Kalimantan Timur
Kab. Bulungan, Prov. Kalimantan Utara dan
PT Kayan Hydro
48 Kawasan Industri Sangkulirang, Kab. Kutai Terintegrasi
Energi
Timur, Prov. Kalimantan Timur
Area Pertambangan PT Pesona Khatulistiwa
PT Sumber Alam Nusantara, Desa Tengkapak dan Desa Apung,
49 Terintegrasi
Sekurau Kec. Tanjung Selor, Kab. Bulungan, Prov.
Kalimantan Utara
PT Kalimantan Kawasan Industri PT KIKI di Tanah Kuning
50 Energi Lestari dan PT KIPI di Mangkupadi, Prov. Kalimantan Terintegrasi
Indonesia Utara
PT Indonesia Kawasan Industri Indonesia Morowali Transmisi,
51 Morowali Industrial Park (IMIP), Kec. Bahodopi, Kab. Distribusi dan
Industrial Park Morowali, Prov. Sulawesi Tengah Penjualan
Kawasan Industri PT Kendari Industrial
PT Sultra Energi
52 Pratama, Kec. Moramo Utara, Kab. Konawe Terintegrasi
Indonesia
Selatan, Prov. Sulawesi Tenggara
PT Karampuang Desa Karampuang, Kecamatan Mamuju, Kab.
53 Terintegrasi
Multi Daya Mamuju, Prov. Sulawesi Barat
PT Weda Bay Kawasan Industri PT IWIP (PT WBN) Kab.
54 Terintegrasi
Energi Halmahera Tengah, Prov. Maluku Utara
Kawasan Industri Pulau Obi di Halmahera,
55 PT Obi Sinar Timur Terintegrasi
Prov. Maluku Utara
PT Biogreen Power Kawasan PT Tunas Sawa Erma, Kab. Boven
56 Terintegrasi
Jayapura Digoel, Prov. Papua
PT Puncakjaya Kawasan Pertambangan PT FI, Kab. Mimika,
57 Terintegrasi
Power Prov. Papua

Konsumsi Tenaga Listrik

Konsumsi tenaga listrik nasional mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar


5% per tahun selama 5 tahun terakhir. Konsumsi tenaga listrik nasional
tumbuh sekitar 5% pada tahun 2019 lalu turun menjadi 2,4% tahun 2020
akibat pandemi Covid-19. Pada tahun setelahnya, konsumsi tenaga listrik
kembali meningkat menjadi sebesar 7,8% pada tahun 2021 dan sebesar 4,7%
pada tahun 2022. Perkembangan konsumsi tenaga listrik nasional didominasi
oleh konsumsi tenaga listrik di wilayah usaha PT PLN (Persero) lalu diikuti
konsumsi tenaga listrik di luar wilayah usaha PT PLN (Persero) dan konsumsi
tenaga listrik oleh IUPTLS. Adapun berdasarkan sektor, konsumsi tenaga
listrik nasional didominasi oleh sektor industri dan rumah tangga.
- 130 -

Gambar III.2. Perkembangan Konsumsi Tenaga Listrik Nasional Berdasarkan


Wilayah Usaha (dalam TWh)
*Konsumsi IUPTLS merupakan estimasi berdasarkan kapasitas terpasang pembangkit

Gambar III.3. Perkembangan Konsumsi Tenaga Listrik Nasional Per Sektor


Pemakai (dalam TWh)

Pada tahun 2022, konsumsi tenaga listrik nasional didominasi oleh konsumsi
tenaga listrik di Wilayah Usaha PT PLN (Persero), diikuti dengan konsumsi
tenaga listrik di Wilayah Usaha non PT PLN (Persero) dan terakhir di IUPTLS.
Di Wilayah Usaha PT PLN (Persero), konsumsi tenaga listrik didominasi oleh
sektor rumah tangga (sekitar 33% dari konsumsi tenaga listrik nasional) dan
sektor industri (24% dari konsumsi tenaga listrik nasional). Sedangkan di
Wilayah Usaha non PT PLN (Persero), konsumsi tenaga listrik di dominasi
hanya pada sektor industri (18% dari konsumsi tenaga listrik nasional).
Wilayah Usaha dengan konsumsi tenaga listrik terbesar adalah PT Indonesia
- 131 -

Morowali Industrial Park, PT Weda Bay Energi, PT Cikarang Listrindo dan PT


PLN Batam.

Gambar III.4. Konsumsi Tenaga Listrik Nasional Tahun 2022 Per Sektor Per
Wilayah Usaha (dalam TWh)

Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik

Pada tahun 2022, total kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik nasional
mencapai sekitar 83,8 GW yang terdiri dari pembangkit di Wilayah Usaha PT
PLN (Persero) sekitar 82% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional,
PPU sekitar 11% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional, IUPTLS
sekitar 7% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional dan Pemerintah
sekitar 0,1% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional.

Pembangkit di Wilayah Usaha PT PLN (Persero) sebagian besar adalah milik PT


PLN (Persero) sendiri sekitar 49% dari total kapasitas terpasang pembangkit
nasional dan milik IPP sekitar 31% dari total kapasitas terpasang pembangkit
nasional. Adapun pembangkit di Wilayah Usaha selain PT PLN (Persero)
sebagian besar dimiliki oleh IUPTLS yang terhubung dengan sistem PPU sekitar
6% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional dan milik PPU sendiri
sekitar 5% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional.
- 132 -

Gambar III.5. Kapasitas terpasang pembangkit nasional tahun 2022 per pemilik

Berdasarkan sumber energinya, terdapat 71,2 GW pembangkit yang


bersumber dari energi fosil (85% dari total kapasitas terpasang pembangkit
nasional) dan 12,6 GW pembangkit yang bersumber dari EBT (15% dari total
kapasitas terpasang pembangkit nasional). Pembangkit fosil terbesar adalah
PLTU/MT dengan total kapasitas mencapai 55% dari total kapasitas terpasang
pembangkit nasional dan PLTG/GU/MG/MGU dengan total kapasitas sekitar
25% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional. Adapun pembangkit
dengan sumber EBT di dominasi oleh PLTA/M/MH sekitar 8% dari total
kapasitas terpasang pembangkit nasional, PLT Bio sekitar 4% dari total
kapasitas terpasang pembangkit nasional dan PLTP sekitar 3% dari total
kapasitas terpasang pembangkit nasional.

Gambar III.6. Kapasitas Terpasang Pembangkit Nasional Tahun 2022 per Jenis
- 133 -

Kapasitas pembangkit terpasang selama 5 (lima) tahun terakhir mengalami


kenaikan dengan rata-rata kenaikkan setiap tahunnya adalah sekitar 6%.
Pertumbuhan ini paling rendah terjadi di tahun 2021 dimana pertumbuhan
kapasitas terpasang pembangkit nasional hanya mencapai sekitar 3%. Akan
tetapi di tahun 2022, angka pertumbuhan tersebut telah meningkat hingga
mencapai sekitar 9%. Selama 5 (lima) tahun terakhir, pembangkit yang
terhubung di Wilayah Usaha PT PLN (Persero) mengalami peningkatan rata-
rata pertahun yang cukup rendah yaitu sekitar 6% bila dibandingkan dengan
pembangkit yang terhubung dengan Wilayah Usaha selain PLN yang
mengalami peningkatan tertinggi yaitu rata-rata sekitar 14% setiap tahunnya.

Gambar III.7. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


Nasional Berdasarkan Pemilik (dalam GW)

Selama 5 (lima) tahun terakhir, pembangkit yang terbesar masih didominasi


oleh PLTU/MT yang mengalami penambahan rata-rata sekitar 9% setiap
tahunnya. Selain itu, PLTG/GU/MG/MGU juga mengalami peningkatan yang
cukup tinggi yaitu sekitar 3% setiap tahunnya. Kapasitas terpasang PLTD
selama 5 (lima) tahun terakhir mengalami penurunan sekitar 2% setiap
tahunnya seiring dengan adanya program dediesilesasi.
- 134 -

Saat ini Pemerintah telah memprioritaskan untuk mengembangkan


pembangkit EBT sebagai bentuk pemenuhan komitmen Pemerintah terhadap
penurunan target emisi gas rumah kaca. Selama 5 (lima) tahun terakhir, total
kapasitas terpasang pembangkit EBT mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 6% setiap tahunnya. Pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2020
yaitu sebesar 3% akan tetapi pada tahun 2021 angka pertumbuhan tersebut
meningkat menjadi 6%. Pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit EBT
paling tinggi terjadi pada tahun 2022 yaitu sebesar 9%.

Gambar III.8. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


Nasional Per Jenis (dalam GW)

Pembangkit dengan sumber EBT di Indonesia didominasi oleh PLTA/M/MH.


Meskipun kapasitas terpasang PLTS paling kecil dibandingkan dengan
pembangkit dengan sumber EBT lain, pembangkit dengan peningkatan
tertinggi selama 5 (lima) tahun terakhir adalah PLTS yaitu sebesar 43%.
Adapun pembangkit dengan pertumbuhan terendah selama 5 (lima) tahun
terakhir adalah PLTB yaitu sebesar 2%.
- 135 -

Gambar III.9. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik


Dengan Sumber EBT (dalam GW)

Dalam 5 (lima) tahun terakhir, sebagian besar pembangkit di Wilayah Jawa


yaitu sekitar 59% dari total kapasitas pembangkit nasional pada tahun 2022
dan Wilayah Sumatera yaitu sekitar 18% dari total kapasitas pembangkit
nasional pada tahun 2022. Akan tetapi dalam 5 (lima) tahun terakhir, wilayah
dengan peningkatan kapasitas terpasang pembangkit adalah Wilayah
Maluku, Papua dan Nusa Tenggara yaitu sebesar 21% dan Wilayah
Kalimantan yaitu sebesar 11%.

Gambar III.10. Perkembangan Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga


Listrik per Wilayah (dalam GW)
- 136 -

Sistem Transmisi

PT PLN (Persero) memiliki dan mengoperasikan sebagian besar jaringan


transmisi kecuali sebagian kecil di Pulau Sulawesi yang dimiliki oleh swasta
namun dioperasikan oleh PT PLN (Persero). Selain PT PLN (Persero), terdapat
wilayah usaha yang memiliki jaringan transmisi sendiri yaitu PT PLN Batam,
PT Krakatau Daya Listrik, PT Cikarang Listrindo, PT Makmur Wisesa
Sejahtera, PT Indonesia Morowali Industrial Park, PT Weda Bay Energi dan
PT Puncakjaya Power. Beberapa badan usaha pemegang IUPTLS juga memiliki
Jaringan transmisi seperti PT Indonesia Asahan Aluminium, PT Freeport
Indonesia dan PT Poso Energy.

Panjang jaringan transmisi tenaga listrik selama 5 (lima) tahun terakhir


mengalami kenaikan dengan rata-rata kenaikkan setiap tahunnya adalah
sekitar 6%. Pada tahun 2019, pertumbuhan panjang jaringan transmisi
tenaga listrik adalah sekitar 11%. Pertumbuhan ini mengalami penurunan
menjadi sekitar 4% pada tahun 2020 akibat pandemi covid-19. Pada tahun
2021, pertumbuhan kembali meningkat menjadi sekitar 6%.

Gambar III.11. Perkembangan Panjang Jaringan Transmisi Tenaga Listrik


(dalam kms) per Pemilik

Jaringan transmisi di Indonesia di dominasi oleh jaringan bertegangan 150


kV. Dalam 5 (lima) tahun terakhir, jaringan transmisi 150 kV meningkat
sekitar 7% setiap tahunnya. Adapun jaringan dengan pertumbuhan tertinggi
- 137 -

selama 5 (lima) tahun adalah jaringan transmisi 500 kV dengan pertumbuhan


rata-rata sekitar 8% setiap tahunnya.

Gambar III.12. Perkembangan Panjang Jaringan Transmisi Tenaga Listrik


(dalam kms) per Tegangan

Kapasitas gardu induk selama 5 (lima) tahun terakhir mengalami kenaikan


dengan rata-rata kenaikkan setiap tahunnya adalah sekitar 6%. Pada tahun
2019, pertumbuhan gardu induk adalah sekitar 10%. Pertumbuhan ini
mengalami penurunan menjadi sekitar 4% pada tahun 2020 akibat pandemi
covid-19. Pada tahun 2021, pertumbuhan kembali meningkat menjadi sekitar
5%. Sebagian besar gardu induk terletak di Wilayah Usaha PT PLN (Persero).
- 138 -

Gambar III.13. Perkembangan Kapasitas Gardu Induk (MVA) per Pemilik

Sistem Distribusi

Jaringan distribusi selama 5 (lima) tahun terakhir mengalami kenaikan


dengan rata-rata kenaikkan setiap tahunnya adalah sekitar 1,8%. Dalam 5
(lima) tahun terakhir, jaringan distribusi tegangan menengah mengalami
kenaikan rata-rata sekitar 2,3% setiap tahunnya sedangkan jaringan
tegangan rendah mengalami kenaikan rata-rata sekitar 1,5% setiap tahunnya.
Gardu distribusi juga mengalami peningkatan sekitar 3,7% setiap tahunnya
dalam 5 (lima) tahun terakhir.

Gambar III.14. Perkembangan Panjang Jaringan Distribusi Tenaga Listrik


- 139 -

69.967
68.834
65.971
63.319
60.602

2018 2019 2020 2021 2022


Kapasitas Trafo Gardu Distribusi (MVA)

Gambar III.15. Perkembangan Kapasitas Trafo Gardu Distribusi (dalam MVA)

Perkembangan Rasio Elektrifikasi Dan Rasio Desa Berlistrik

Rasio elektrifikasi atau jumlah rumah tangga di seluruh Indonesia yang sudah
menikmati tenaga listrik untuk mendukung kehidupan masyarakat baru
mencapai sekitar 99,63% dari seluruh jumlah rumah tangga yang berjumlah
sekitar 80 juta rumah tangga. Ini berarti masih ada sekitar 0,40% jumlah
rumah tangga atau sekitar 293 ribu penduduk di Indonesia yang belum dapat
menikmati tenaga listrik.

Sedangkan perkembangan rasio elektrifikasi nasional dari tahun 2018 sampai


dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 2018 mencapai
sekitar 98,30%, akhir tahun 2019 sekitar 98,89%, akhir tahun 2020 sekitar
99,20 %, akhir tahun 2021 sekitar 99,45%, dan akhir tahun 2022 mencapai
sekitar 99,63%. Kenaikan rasio elektrifikasi tersebut merupakan hasil
penambahan rumah tangga berlistrik rata-rata sekitar 2,9 juta rumah tangga
per tahun yang sebagian besar terdiri dari penyambungan listrik PT PLN
(Persero).
- 140 -

Adapun sebaran rasio elektrifikasi per provinsi adalah sebagai berikut:

Gambar III.16. Sebaran Rasio Elektrifikasi per Provinsi Tahun 2022

Rasio desa berlistrik yang didefinisikan sebagai perbandingan jumlah


desa/kelurahan berlistrik dibagi dengan jumlah desa/kelurahan keseluruhan
pada suatu wilayah. Pada triwulan IV tahun 2022, rasio desa berlistrik telah
mencapai 99,79% dari seluruh jumlah desa/kelurahan yang ada di Indonesia
yang berjumlah 83.441 desa/kelurahan. Ini berarti masih ada sekitar 175
desa (0,21%) di Indonesia yang belum mendapatkan akses tenaga listrik.

Adapun rasio elektrifikasi dan rasio desa berlistrik tahun 2022 per provinsi
adalah sebagaimana berikut:

Sebaran rasio desa berlistrik per provinsi adalah sebagai berikut:

Gambar III.17. Sebaran Rasio Desa Berlistrik per Provinsi Tahun 2022
- 141 -

Pada Tahun 2022 Kementerian Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri


Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, Tentang Pemberian Dan
Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, Dan Pulau
Tahun 2022 menetapkan jumlah desa/kelurahan seluruh Indonesia sebanyak
83.763 desa/kelurahan. Peningkatan jumlah desa/kelurahan yang sangat
tajam tersebut karena banyak terjadi pemekaran semenjak kebijakan otonomi
daerah diterapkan. Hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah yang memiliki
program untuk meningkatkan rasio desa berlistrik mencapai 100% pada
tahun 2024.
- 142 -

BAB IV
PROYEKSI KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
NASIONAL

Kebutuhan energi listrik akan terus meningkat di masa depan sehingga harus
diantisipasi agar energi listrik dapat tersedia dalam jumlah yang cukup dengan
kualitas yang baik dan harga yang wajar. Upaya penyediaan energi listrik di
masa depan harus dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan global terkait
perlindungan lingkungan hidup dan penurunan emisi GRK untuk mencapai
target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat. Bab ini akan menguraikan
proyeksi kebutuhan tenaga listrik nasional dan rencana penyediaan tenaga
listrik pada pembangkitan dan transmisi.

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Metodologi

Proyeksi kebutuhan tenaga listrik menggunakan kombinasi beberapa metode


antara lain:

1. Top-Down

Proyeksi kebutuhan tenaga listrik dihitung dengan metode econometric


regression analysis menggunakan software Simple-E. Parameter input yang
digunakan yaitu pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, dan tarif tenaga
listrik. Asumsi data pertumbuhan ekonomi menggunakan data Bappenas
(Visi Indonesia Emas 2045), data pertumbuhan penduduk menggunakan
data BPS dan data tarif tenaga listrik menggunakan data Direktorat Jenderal
Ketenagalistrikan KESDM;

2. Bottom-Up

Hasil proyeksi pada butir 1 diatas kemudian ditambahkan dengan rencana


kebutuhan tenaga listrik pada KI, KEK, smelter, SKPT, dan DPP. Asumsi
data kebutuhan tenaga listrik menggunakan data Kementerian
Perindustrian, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Kementerian
Kelautan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha pemegang IUPTLU serta IUPTLS.
- 143 -

Hasil proyeksi butir 1 dan 2 kemudian dikonsolidasikan dengan target


konservasi energi dan elektrifikasi kebutuhan tenaga listrik pada sektor
industri, rumah tangga, transportasi (kendaraan bermotor listrik), dan produksi
hidrogen dengan menggunakan software Low Emissions Analysis Platform
(LEAP).

Gambar IV.1. Kombinasi Metodologi Dalam Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Periode proyeksi kebutuhan tenaga listrik mulai tahun 2023 sampai 2060
menyesuaikan dengan perencanaan KEN. Hasil proyeksi dikelompokkan
menjadi 6 sektor pelanggan yaitu Rumah Tangga, Bisnis, Publik, Industri,
Kendaraan Bermotor Listrik, dan produksi hidrogen. Proyeksi kebutuhan
tenaga listrik nasional adalah kumulatif penjumlahan proyeksi kebutuhan 34
provinsi. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tersebut selanjutnya diolah
dalam pemodelan optimasi penyediaan tenaga listrik (pembangkit dan
transmisi) menggunakan software Balmorel dengan prinsip least cost investment
dan least cost dispacth.
- 144 -

Gambar IV.2. Metodologi Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Data Historis

Dalam dua puluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi dan penduduk


Indonesia terus meningkat setiap tahun dengan rata-rata pertumbuhan
ekonomi sekitar 4,8% dan penduduk sekitar 1,8%. Dalam era globalisasi,
perubahan ekonomi dunia dapat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2009 dan 2020 ketika
pertumbuhan ekonomi dunia mengalami penurunan akibat dampak krisis
keuangan dan pandemi Covid-19 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
mengalami penurunan. Data historis pertumbuhan ekonomi dan penduduk
Indonesia tahun 2000 sampai 2022 digambarkan dibawah ini.

Gambar IV.3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan penduduk


Indonesisa tahun 2000-2022

Pertumbuhan konsumsi tenaga listrik sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan


ekonomi, penduduk dan tarif tenaga listrik. Pertumbuhan konsumsi tenaga
listrik berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk namun
- 145 -

berbanding terbalik dengan tarif tenaga listrik. Dalam dua puluh tahun
terakhir, terjadi kenaikan konsumsi tenaga listrik dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 8,1% per-tahun. Kenaikan konsumsi tersebut disebabkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor industri dan bisnis.

Asumsi dan Target

Proyeksi kebutuhan tenaga listrik menggunakan asumsi dan target antara lain
pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, rencana pengembangan KI,
KEK, SKPT, DPP, Kendaraan Bermotor Listrik, dan produksi hidrogen.

Pertumbuhan Ekonomi

Asumsi pertumbuhan ekonomi menggunakan data Bappenas (Visi Indonesia


2045) dengan dua skenario yaitu pertumbuhan ekonomi skenario rendah dan
skenario tinggi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi skenario rendah sekitar 5,5%
per-tahun (2023-2045 6,1%, 2046-2060 4,5%). Rata-rata pertumbuhan
ekonomi skenario tinggi sekitar 6,3% per-tahun (2023-2045 6,9%, 2045-2060
5,5%). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 – 2060 dua skenario diatas
dapat dilihat pada Gambar dibawah ini..

Gambar IV.4. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dan PDRB Indonesia tahun


2023 – 2060

Pertumbuhan Penduduk

Asumsi pertumbuhan penduduk Indonesia menggunakan dua data yaitu


periode 2023-2045 menggunakan data proyeksi BPS dan periode 2046-2060
menggunakan proyeksi LPEM FEUI. Rata-rata pertumbuhan penduduk
Indonesia tahun 2023 – 2060 sekitar 0,5% per-tahun. Pertumbuhan penduduk
Indonesia tahun 2023 - 2060 digambarkan dalam Gambar dibawah ini..
- 146 -

Gambar IV.5. Proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2023 – 2060

Pengembangan KI, KEK, smelter, SKPT, DPP

Tambahan kebutuhan tenaga listrik untuk KI, KEK, smelter, SKPT, DPP dan
Kendaraan Bermotor Listrik menggunakan data dari Kemenerian ESDM,
Kementerian Perindustrian, Dewan Nasional KEK, Kementerian Kelautan
Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Daerah
dan Badan Usaha pemegang IUPTLU serta IUPTLS. Total tambahan kebutuhan
tenaga listrik mencapai 15,7 GW terdiri dari KI sebesar 10,9 GW, KEK 2 GW,
smelter 2,5 GW, SKPT 0,2 GW dan DPP 0,1 GW. Tambahan kebutuhan tenaga
listrik terbesar adalah di Pulau Sulawesi, diikuti Sumatera, Kalimantan, Jawa
Madura Bali, dan Maluku Papua serta Nusa Tenggara.

Gambar IV.6. Rencana kebutuhan tenaga listrik KI, KEK, smelter, SKPT, DPP
- 147 -

Kendaraan Bermotor Listrik

Upaya penurunan emisi sektor transportasi dilakukan melalui diversifikasi


menuju Kendaraan Bermotor Listrik seperti sepeda motor listrik, mobil listrik,
dan bus listrik. Proyeksi kebutuhan tenaga lisrik menggunakan asumsi yaitu
penjualan sepeda motor baru tahun 2040 adalah 100% motor listrik, penjualan
mobil baru tahun 2050 adalah 100% mobil listrik, dan penjualan bus baru
tahun 2060 adalah 80% bus listrik.

Dalam pemodelan optimasi penyediaan tenaga listrik, flexibilitas demand


kendaraan bermotor listrik merupakan salah satu faktor pendukung untuk
mengakomodasi pembangkit VRE massif ke dalam sistem. Kendaraan listrik
diharapkan charging pada siang hari agar dapat menyerap produksi tenaga
listrik VRE dan menurunkan beban puncak pada malam hari. Untuk itu
diperlukan kebijakan pembedaan tarif listrik antara siang dan malam hari
sehingga EV akan terdorong lebih banyak melakukan charging pada siang hari.
Untuk mendukung pertumbuhan kendaraan listrik, Pemerintah terus
mendorong pembangunan SPBKLU dan SPKLU.

Gambar IV.7. Flexibilitas charging kendaraan listrik mengakomodasi


pembangkit VRE massif ke dalam sistem

Hidrogen

Pengurangan emisi di sektor industri dan transportasi dilakukan dengan


pemanfaatan hidrogen menggantikan bahar bakar fosil untuk proses di sektor
industri (elektrifikasi tidak dapat untuk dilakukan) dan sektor trasnportasi
(keterbatasan bioenergi). Hidrogen juga dibutuhkan sebagai sumber energi atau
bahan baku di sektor industri (pupuk dan baja) dan sektor tranportasi
(kendaraan truk dan kapal laut).

Produksi hidrogen direncanakan menggunakan pembangkit VRE yang memiliki


intermitensi karena kondisi cuaca, pergerakan awan, dan kecepatan angin.
Produksi hidrogen diasumsikan sebagai penyimpan energi sehingga dapat
mengurangi fluktuasi intermitensi keluaran pembangkit VRE tersebut.
- 148 -

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik Nasional

Proyeksi kebutuhan tenaga listrik dibagi menjadi tiga skenario yaitu skenario
Business as Usual (BaU), skenario International Energy Agency (IEA), Skenario
Rendah dan Skenario Tinggi. Penjelasan masing-masing skenario adalah
sebagai berikut.

Skenario BaU

Proyeksi menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,9% per-


tahun, pertumbuhan penduduk rata-rata 0,5% per-tahun, dan tanpa aksi
penurunan emisi melalui elektrifikasi sektor lain dan efisiensi penggunaan
energi untuk mencapai karbon netral atau NZE.

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 337 TWh
meningkat menjadi 1.347 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan
tenaga listrik sekitar 3,9% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun
2060 untuk pelanggan Rumah Tangga sekitar 281 TWh, Bisnis sekitar 238 TWh,
Publik sekitar 87 TWh, Industri sekitar 701 TWh, dan Kendaraan Bermotor
Listrik sekitar 39 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario BaU
dijelaskan dalam Gambar dibawah ini.

Gambar IV.8. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario BaU per golongan
pelanggan 2023 – 2060
- 149 -

Skenario IEA+

Proyeksi menggunakan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 2021-2030


diatas 5% per-tahun, 2031-2050 sekitar 4% per-tahun, dan 2051-2060 sekitar
2% per-tahun. Asumsi rata-rata pertumbuhan penduduk 2021-2050 0,6% per-
tahun dan 2051-2060 sekitar 0,2% per-tahun.

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 376 TWh
meningkat menjadi 1.744 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan
tenaga listrik sekitar 4,2% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun
2060 untuk pelanggan Rumah Tangga sekitar 247 TWh, Bisnis sekitar 170 TWh,
Publik sekitar 62 TWh, Industri sekitar 678 TWh, dan Kendaraan Bermotor
Listrik sekitar 365 TWh dan Hidrogen 222 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan
tenaga listrik skenario IEA+ dijelaskan dalam Gambar dibawah ini..

Gambar IV.9. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario IEA per golongan
pelanggan 2023 – 2060

Skenario Rendah

Proyeksi menggunakan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,5% per-


tahun, rata-rata pertumbuhan penduduk 0,5% per-tahun dan aksi penurunan
emisi untuk mencapai karbon netral atau NZE melalui elektrifikasi di sektor
industri dan transportasi. Pada skenario ini juga memperhitungkan kebutuhan
- 150 -

tenaga listrik untuk KI, KEK, smelter, DPP dan SKPT yang direncanakan akan
dibangun berdasarkan masukan pada FGD penyusunan RUKN.

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 363 TWh
meningkat menjadi 1.846 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan
tenaga listrik sekitar 4,8% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun
2060 untuk pelanggan Rumah Tangga sekitar 316 TWh, Bisnis sekitar 218 TWh,
Publik sekitar 80 TWh, Industri sekitar 734 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik
sekitar 321 TWh dan Hidrogen 178 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga
listrik skenario rendah dijelaskan dalam Gambar dibawah ini.

Gambar IV.10. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario rendah per


golongan pelanggan 2023 – 2060

Skenario Tinggi

Proyeksi menggunakan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 6,3% per-


tahun, rata-rata pertumbuhan penduduk 0,5% per-tahun, dan aksi penurunan
emisi untuk mencapai karbon netral atau NZE melalui elektrifikasi di sektor
industri dan transportasi. Pada skenario ini juga telah memperhitungkan
kebutuhan tenaga listrik untuk KI, KEK, smelter, DPP dan SKPT yang
direncanakan akan dibangun.
- 151 -

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 377 TWh
meningkat menjadi 2.152 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan
tenaga listrik sekitar 5,2% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun
2060 untuk pelanggan Rumah Tangga sekitar 390 TWh, Bisnis sekitar 268 TWh,
Publik sekitar 99 TWh, Industri sekitar 845 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik
sekitar 336 TWh dan Hidrogen 215 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga
listrik skenario tinggi dijelaskan dalam Gambar dibawah ini.

Gambar IV.11. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik skenario tinggi per golongan
pelanggan 2023 – 2060

Konsumsi Listrik per Kapita

Konsumsi listrik per kapita merupakan suatu indikator kemajuan suatu negara.
Konsumsi listrik per kapita merupakan jumlah energi listrik yang digunakan
atau dimanfaatkan baik secara langsung ataupun tidak langsung dibagi jumlah
penduduk dalam periode satu tahun. Dalam skenario rendah, konsumsi listrik
per kapita tahun 2023 sebesar 1.366 kWh meningkat menjadi 5.580 kWh tahun
2060 lebih tinggi dari skenario BaU namun lebih rendah dari skenario tinggi.
- 152 -

Gambar IV.12. Perbandingan konsumsi listrik per kapita skenario BaU,


rendah, dan tinggi

Prakiraan Penyediaan Tenaga Listrik (Optimasi Supply)

Metodologi

Pemodelan optimasi penyediaan tenaga listrik pada pembangkitan dan


transmisi menggunakan aplikasi Balmorel dengan metode Linear Programming
untuk mendapatkan penyediaan tenaga listrik yang least cost. Input dalam
pemodelan meliputi: potensi energi primer, kapasitas pembangkit existing dan
rencana, retirement pembangkit, Technology Catalogue (efisiensi, capex, opex, life
time, unit size, ramping rate, minimum loading, dll), proyeksi harga bahan bakar,
faktor emisi, kebijakan pengembangan pembangkit, pola beban per jam dalam
setahun, pola VRE per jam dalam setahun (surya, angin, arus laut, hydro run of
river), pola mingguan hydro-reservoir dalam setahun, kapasitas hantar
transmisi, biaya investasi transmisi antar pulau.
- 153 -

Gambar IV.13. Metodologi Optimasi Kapasitas Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik menggunakan Balmorel

Pemodelan meliputi 244 sistem tenaga listrik dengan periode waktu dimulai
tahun 2023 sampai 2060 dengan objective function menghasilkan rencana
penyediaan tenaga listrik pembangkit dan transmisi yang least-cost, unit
commitment dan economic dispatch. Hasil pemodelan akan mendapatkan
rencana pembangkit, produksi energi listrik, bauran energi, emisi CO2, BPP,
dan interkoneksi jaringan transmisi.

Asumsi discount rate yang digunakan sebesar 10%. Resolusi waktu untuk
optimasi investasi adalah 208 time slices dalam setahun dan hourly dispatch
adalah 8.736 time slices dalam setahun. Teknologi pembangkit untuk opsi
pembangkitan lebih dari 1.000 (800 existing dan 200 opsi investasi). Teknologi
pembangkit untuk opsi investasi terdiri dari pembangkit Variable Renewable
Energy (VRE) mencakup PLTS, PLTB on shore dan off shore dan PLTAL.
Teknologi energi terbarukan mencakup PLTA, PLTP, PLTBm, PLTBg, dan PLTSa.
Teknologi nuklir mencakup Small Modular Reactor (SMR) dan PLTN. Teknologi
Carbon Capture Storage (CCS) mencakup IGCC CCS, PLTGU CCS dan PLTU CCS
yang digunakan dalam skenario Low Emission dan teknologi cofiring biomasa
- 154 -

PLTU. Opsi investasi pembangkit mulai tahun 2026-2030 terdiri dari teknologi
EBET, teknologi gas, dan IGCC. Setelah tahun 2030, opsi investasi hanya
berasal dari teknologi EBET.

Pemodelan optimasi dibagi menjadi 3 model yaitu:

1. Model Nasional
Mencakup sistem besar dalam Wilayah Usaha PLN yang terkoneksi dalam
grid, Wilayah Usaha yang bekerja sama dengan PLN, dan opsi interkoneksi
antar sistem maupun antar pulau.

2. Model PPU
Mencakup seluruh sistem tenaga listrik Wilayah Usaha Non-PLN dan
IUPTLS.

3. Model Remote
Mencakup sistem tenaga listrik skala kecil di PLN yang berada di daerah 3T
dan opsi interkoneksi terbatas dalam Pulau Papua.

Pemodelan optimasi rencana penyediaan tenaga listrik dilakukan dengan 4


skenario. Penjelasan 4 skenario yang digunakan sebagai berikut:

1. Business as Usual (BaU)

Dalam skenario BaU, penambahan pembangkit tenaga listrik berdasarkan


prinsip least cost tanpa adanya intervensi kebijakan sehingga seluruh
teknologi yang tersedia akan berkompetisi untuk menyediakan tenaga listrik
termurah termasuk pembangkit fosil maupun EBET. Penambahan PLTU
tidak dibatasi dan dikompetisikan dengan seluruh teknologi pembangkit
yang tersedia. Teknologi rendah karbon yaitu CCS untuk PLTU dan PLTGas
juga dikompetisikan dengan seluruh teknologi pembangkit yang tersedia.

2. Zero Emission (ZE) Decommissioning

Dalam skenario ZE Decommissioning, penambahan pembangkit berbasis


kebijakan pemanfaatan EBET yang agresif dan dilakukan decomissioning
pembangkit fosil saat book value nya mencapai nol. Penambahan
pembangkit Gas dan IGCC diperbolehkan sampai tahun 2030 dan setelah
tahun 2030 penambahan pembangkit hanya berasal dari teknologi EBET
secara agresif.

Pada skenario ini, penambahan PLTU mengacu pada Perpres 112/2022.


Pengembangan teknologi zero/low carbon menggunakan pembangkit EBET
- 155 -

termasuk PLTN. Asumsi harga teknologi EBET cenderung turun setiap 5


atau 10 tahun.

3. Zero Emission (ZE) Retrofitting (Fuel Switching)

Dalam skenario ZE Retrofitting (Fuel Switching), penambahan pembangkit


berbasis kebijakan pemanfaatan EBET yang agresif dan fuel switching
pembangkit fosil dengan bahan bakar biomasa, amonia, dan hidrogen saat
book value nya mencapai nol. Penambahan pembangkit gas dan IGCC
diperbolehkan sampai tahun 2030 dan setelah tahun 2030 penambahan
pembangkit hanya berasal dari EBET secara agresif. Asumsi harga teknologi
EBET cenderung turun setiap 5 atau 10 tahun.

Pada skenario ini, penambahan PLTU mengacu Perpres 112/2022.


Pengembangan teknologi zero/low carbon menggunakan pembangkit EBT
termasuk PLTN dan fuel switching pembangkit fosil saat book value
mencapai nol. Fuel switching dan/atau retrofitting PLTU menggunakan
bahan bakar biomasa atau ammonia dan fuel switching dan/atau retrofitting
PLT Gas menggunakan bahan bakar hidrogen. Hal ini dilakukan untuk
optimasi pemanfaatan aset dan mengurangi dampak sosial penutupan
pembangkit fosil.

4. Zero Emission (ZE) Carbon Capture Storage (CCS)

Dalam skenario ZE CCS, penambahan pembangkit berbasis pada kebijakan


pemanfaatan EBET yang agresif dan implementasi teknologi CCS pada
pembangkit yang berlokasi di dekat lapangan minyak dan gas bumi saat
book value nya mencapai nol. Implementasi CCS juga didukung dengan
cofiring biomasa (BECCS) untuk mengurangi emisi CO2 sampai zero
emission. Penambahan PLT Gas dan IGCC diperbolehkan sampai tahun
2030 dan setelah tahun 2030 penambahan pembangkit hanya berasal dari
EBT, PLT Gas + CCS, dan IGCC CCS. Asumsi harga teknologi EBET
cenderung turun dalam setiap 5 atau 10 tahun.

Pada skenario ini, penambahan PLTU mengacu Perpres 112/2022.


Pengembangan teknologi zero/low carbon menggunakan pembangkit EBET
(termasuk PLTN) dan fuel switching atau implementasi teknologi CCS pada
pembangkit fosil saat book value mencapai nol.
- 156 -

Dilakukan analisis sensitivitas dengann 4 skenario. Penjelasaan masing-masing


skenario sebagai berikut:

1. Kebutuhan Tenaga Listrik (Demand)

Kebutuhan tenaga listrik dalam pemodelan RUKN menggunakan demand


skenario rendah sebesar 1.846 TWh. Untuk menguji sensitivitas kebutuhan
tenaga listrik, maka demand IEA sebesar 1.744 TWh dan skenario tinggi
sebesar 2.152 TWh akan dimodelkan.

Analisis sensitivitas bertujuan mengukur dampak demand terhadap rencana


penyediaan tenaga listrik seperti kapasitas pembangkitan, kapasitas
transmisi, rencana operasi interkoneksi antar pulau, pemanfaatan EBET,
bauran energi pembangkitan, emisi CO2, dan BPP.

2. Pemanfaatan PLTS

Pengembangan PLTS dalam pemodelan dibagi menjadi 3 kapasitas


maksimum yaitu 200 GW, 450 GW dan 700 GW. Skema 200 GW atau low
memperkirakan pengembangan PLTS yang moderat. Kapasitas 200 GW
didapatkan dari sisa perhitungan seluruh ketersediaan sumber energi primer
selain PLTS untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik. Kapasitas 450 GW
didapatkan dari perhitungan optimasi least cost dimana keseimbangan
supply-demand terjaga dengan tetap mengutamakan adanya pembangkit
thermal untuk menjaga inersia sistem. Kapasitas 700 GW didapatkan
melalui perhitungan optimasi least cost dimana keseimbangan supply-
demand terjaga dengan implementasi PLTS dan Baterai.

Analisis sensitivitas bertujuan mengukur dampak pengembangan kapasitas


PLTS terhadap penambahan PLTN dan baterai sebagai storage, bauran
energi, emisi CO2, dan BPP tenaga listrik.

3. Fleksibilitas Demand

Fleksibilitas demand pada sistem ketenagalistrikan akan mempengaruhi


besarnya kebutuhan pembangkit dan teknologi penyimpanan
(storage)/baterai pada sistem tersebut. Fleksibilitas demand sisi konsumen
dilakukan dengan mengurangi penggunaan tenaga listrik pada saat beban
puncak malam hari berpindah pada siang hari saat produksi tenaga listrik
dari PLTS maksimal. Fleksibilitas demand mencakup konsumen sektor
- 157 -

Rumah Tangga, Bisnis, Komersial, Industri, dan Electric Vehicle (EV) smart
charging.

Analisis sensitivitas bertujuan mengukur dampak fleksibilitas demand


terhadap kapasitas baterai pada sistem, bauran energi, emisi CO2 , dan BPP
tenaga listrik.

4. Biaya Teknologi

Terdapat dua skema tren penurunan biaya teknologi yaitu trend penurunan
sesuai teknologi katalog (semua teknologi pembangkit) dan trend penurunan
hanya teknologi PLTS dan PLTB. Penurunan biaya teknologi diproyeksikan
setiap 5 atau 10 tahun sesuai tren teknologi katalog.

Analisis sensifitas bertujuan mengukur dampak penurunan biaya teknologi


terhadap rencana penyediaan tenaga listrik khususnya pembangkitan
tenaga listrik, bauran energi, emisi CO2, BPP tenaga listrik.

Data dan Asumsi

Kapasitas pembangkit terpasang dan rencana merupakan salah satu input yang
menentukan hasil pemodelan. Kapasitas pembangkit menggunakan angka
Daya Mampu Netto (DMN) yaitu kapasitas terpasang pembangkit dikurangi
dengan pemakaian sendiri atau house load. DMN digunakan karena kebutuhan
tenaga listrik sebagai input model merupakan kebutuhan tenaga listrik di sisi
pengguna. Data kapasitas terpasang pembangkit dan rencana yang digunakan
adalah data RUPTL Pemegang Wilayah Usaha dan rencana IUPTLS yang sedang
proses pengajuan izin.

Masa operasi atau umur keekonomian pembangkit menentukan rencana


penyediaan khususnya pembangkit pengganti. Masa operasi pembangkit PLTU,
PLTG/MG/GU diasumsikan 25-30 tahun. Khusus PLTD diasumsikan
beroperasi sampai tahun 2030 atau sesuai kontrak PPA nya. Setelah masa
operasi berakhir, pembangkit tersebut akan dilakukan pengakhiran masa
operasi atau decommissioning pada skenario ZE Decommissioning dan BaU atau
penggantian energi primer dengan konsep retrofitting dan fuel switching pada
skenario ZE Retrofitting atau implementasi teknologi CCS pada skenario LE.

Kapasitas pembangkit diproyeksikan terus mengalami kenaikan sampai dengan


tahun 2030 sesuai rencana dalam RUPTL Pemegang Wilayah Usaha maupun
rencana IUPTLS. Kenaikan kapasitas diproyeksikan rata-rata sekitar 4 GW
- 158 -

sampai tahun 2030. Kapasitas pembangkit setelah tahun 2030 diproyeksikan


mengalami penurunan sesuai dengan masa operasinya skenario ZE
Decommissioning atau dilakukan penggantian bahan bakar melalui fuel
switching dan retrofitting pada skenario ZE Retrofitting atau implementasi
teknologi CCS pada skenario LE. Grafik kapasitas pembangkit berdasarkan
jenis disajikan pada Gambar dibawah ini.

Gambar IV.14. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Berdasarkan Jenis dan Status

PLTU diproyeksikan akan terus naik dan mencapai puncak kapasitas pada
tahun 2030 sekitar 65 GW atau naik sebesar 22 GW dari tahun 2022. Kenaikan
ini disebabkan oleh PLTU yang telah tercantum dalam RUPTL pemegang
Wilayah Usaha dan PLTU yang masuk kriteria Perpres 112/2022. PLTU dalam
Wilayah Usaha PLN diproyeksikan mencapai sekitar 75% dari total kapasitas
PLTU Nasional. Kapasitas PLTU diproyeksikan akan semakin turun sesuai
dengan masa operasi atau masa kontraknya. Grafik kapasitas PLTU
berdasarkan pemilik disajikan pada Gambar dibawah ini.

Gambar IV.15. Proyeksi kapasitas PLTU berdasarkan pemilik

Kementerian ESDM bekerja sama dengan Pemerintah Denmark telah


menyusun Technology Data for Indonesian Power Sector yang berisikan daftar
- 159 -

teknologi pembangkit EBET maupun fosil beserta parameter-parameter tekno-


ekonomi pembangkit. Parameter ini mencakup efisiensi pembangkit, capital
expenditure, biaya operasi dan pemeliharaan yang bersifat tetap maupun
variabel, masa operasi pembangkit, kapasitas setiap unit, ramping rate dan
technical minimum loading. Parameter ini menjadi input setiap pembangkit
dalam pemodelan optimasi penyedian tenaga listrik di masing-masing sistem.

Dalam katalog teknologi tersebut juga mencakup tren penurunan biaya


pembangkit dalam kurun waktu setiap 5 atau 10 tahun. Tren estimasi levelized
cost of electricity (LCOE) dibagi menjadi pembangkit VRE dan pembangkit
konvensional. Tren LCOE pembangkit VRE disajikan pada Gambar dibawah ini.

Gambar IV.16. Proyeksi LCOE Pembangkit VRE dan Teknologi Penyimpanan


Energi

Hasil Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik

Hasil Skenario

Hasil optimasi penyediaan tenaga listrik dibagi menjadi empat skenario yaitu
skenario Business as Usual (BaU), ZE Decommisioning, ZE Retrofitting, dan Low
Emission. Penjelasan masing-masing skenario adalah sebagai berikut.

a. BaU

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 9,6 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 446 GW. Pembangkit
EBET mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 78% terdiri dari PLTS
dengan porsi sekitar 59% dan 19% pembangkit EBET lainnya seperti PLTB,
- 160 -

PLTBio, PLTA, dan PLTP. Sisanya 22% berasal dari pembangkit fosil terdiri dari
PLTU sekitar 21% dan PLT Gas sekitar 1%.

Gambar IV.17. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario BaU

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 1.480 TWh, pembangkit


fosil akan memproduksi 49% energi listrik terdiri dari PLTU 46% dan PLT Gas
3%. Sedangkan sisanya 51% berasal dari pembangkit EBET terdiri dari PLTS
akan memproduksi sekitar 26% dan pembangkit EBET lainnya (PLTA, PLTB,
PLTBio dan PLTP) akan memproduksi sekitar 25% energi listrik.

Gambar IV.18. Proyeksi Produksi Pembangkitan Skenario BaU

Bauran energi merupakan porsi produksi berdasarkan jenis bahan bakar terdiri
dari batubara, gas, BBM, dan EBET. Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai
25% dan akan terus meningkat setelah 2025 dengan adanya pengembangan
pembangkit EBET. Bauran EBET akan mencapai 51% pada tahun 2060.
- 161 -

Gambar IV.19. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario BaU

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 274 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2060 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 642 juta ton CO2.

Gambar IV.20. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario BaU

Pengembangan transmisi antar pulau dan antar provinsi akan berkembang


disebabkan sistem tenaga listrik yang memiliki keterbatasan potensi energi
akan membutuhkan transfer energi listrik dari provinsi lain atau pulau lain.
Namun pada skenario ini pembangunan pembangkit fosil masih dapat
diperbolehkan diseluruh sistem tenaga listrik sehingga kebutuhan transmisi
berkurang dibandingkan dengan skenario yang lain.

Pulau Jawa akan membutuhkan transfer energi listrik dari pulau Sumatera
sehingga Interkoneksi Sumatera-Jawa akan mulai tahun 2045 untuk
- 162 -

memenuhi kebutuhan tenaga listrik di pulau Jawa yang akan meningkat setiap
tahun.

Gambar IV.21. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario BaU Tahun 2060

Untuk menyediakan tenaga listrik sebesar 446 GW dan storage sebesar 74 GW


termasuk PLTA Pumped Hydro sampai tahun 2060 dibutuhkan biaya investasi
mencapai 435 Miliar USD atau sekitar 11,4 Miliar USD per tahun. Kebutuhan
investasi pembangkit mencapai sekitar 425 Miliar USD dengan investasi
terbesar adalah pengembangan PLTU (95 GW) sekitar 157 Miliar USD (37%).

Sedangkan biaya investasi yang diperlukan untuk interkoneksi antar provinsi


dalam pulau sampai tahun 2060 diperkirakan mencapai sekitar 10 Miliar USD.

Gambar IV.22. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario BaU
- 163 -

b. ZE Decommissioning

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 16,6 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 705 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 65%. Kapasitas pembangkit energi
baru seperti PLTN dan Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan sekitar 6%
dari total kapasitas. Pembangunan PLTN pertama kali mulai tahun 2029
sebesar 0,3 GW. Sisa 29% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti PLTB,
PLTA, PLTBio, PLTP, PLTAL dan Waste Heat.

Gambar IV.23. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario ZE Decommissioning

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sekitar 1.945 TWh, pembangkit ET


akan memproduksi 83% tenaga listrik Nasional. PLTS akan memproduksi
sekitar 34% dan pembangkit ET lainnya seperti PLTA, PLTB, PLTBio dan PLTP
akan memproduksi sekitar 49% tenaga listrik. Sisanya 17% produksi tenaga
listrik berasal dari pembangkit energi baru PLTN.

Gambar IV.24. Proyeksi Produksi Pembangkit Skenario ZE Decommissioning


- 164 -

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 23% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.

Gambar IV.25. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario ZE


Decommissioning

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 283 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2030 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 473 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
seiring besarnya retirement PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2055
karena seluruh pembangkit fosil (PLTU dan PLT Gas) memasuki masa
retirement. Pada tahun 2059, emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan
mendekati nol.

Gambar IV.26. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario ZE


Decommissioning
- 165 -

Pengembangan transmisi antar pulau dan antar provinsi akan berkembang


disebabkan sistem tenaga listrik yang memiliki keterbatasan potensi EBET akan
membutuhkan transfer energi listrik dari provinsi lain atau pulau lain. Pulau
Jawa yang memiliki keterbatasan potensi EBET akan membutuhkan transfer
energi listrik dari pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, Lombok, dan
Sumba. Interkoneksi Sumatera-Jawa akan mulai tahun 2034, Interkoneksi
Jawa-Kalimantan mulai tahun 2036, Interkoneksi Jawa-Lombok mulai tahun
2027, dan Interkoneksi Jawa-Sumba mulai tahun 2042 diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga listrik Pulau Jawa.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Batam-Bintan, diperlukan


interkoneksi dari Pulau Sumatera-Batam-Bintan mulai tahun 2026 dan Pulau
Bangka-Belitung mulai tahun 2040. Selain itu akan ada interkoneksi
Kalimantan-Sulawesi mulai tahun 2055. Interkoneksi dalam Pulau Kalimantan
akan mulai tahun 2036. Kepulauan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur akan saling terinterkoneksi mulai 2048 dan interkoneksi dalam Pulau
Papua akan mulai 2029.

Gambar IV.27. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario ZE Decommissioning Tahun 2060

Untuk menyediakan tenaga listrik sebesar 705 GW dan storage sebesar 95 GW


(termasuk PLTA Pumped Hydro) sampai tahun 2060 dibutuhkan biaya investasi
mencapai 1.113 Miliar USD atau sekitar 29 Miliar USD per tahun. Kebutuhan
investasi pembangkit mencapai sekitar 947 Miliar USD dengan investasi
terbesar adalah pengembangan PLTN (44 GW) sekitar 261 Miliar USD (23%).
Sedangkan biaya investasi yang diperlukan untuk interkoneksi antar provinsi
maupun antar pulau sampai tahun 2060 diperkirakan mencapai sekitar 167
Miliar USD.
- 166 -

Gambar IV.28. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario ZE Decommissioning

c. ZE Retrofitting

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 17,1 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 722 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 64%. Kapasitas pembangkit energi
baru seperti PLTN dan Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan sekitar 2%
dari total kapasitas. Pembangunan PLTN pertama kali mulai tahun 2032
sebesar 0,4 GW. Sisa 34% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti PLTA,
PLTB, PLTBio, PLTAL, PLTP, Ammonia dan Hidrogen. Ammonia digunakan pada
PLTU yang dilakukan retrofit saat book value nya mencapai nol sedangkan
hidrogen digunakan pada PLT Gas yang dilakukan fuel switching saat book value
nya mencapai nol.
- 167 -

Gambar IV.29. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario ZE Retrofitting

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 1.944 TWh, pembangkit


energi terbarukan akan memproduksi 77% tenaga listrik Nasional. PLTS akan
memproduksi sekitar 33% tenaga listrik Nasional dan PLT EBT lainnya seperti
PLTA, PLTB, PLTBio dan PLTP akan memproduksi sekitar 44% tenaga listrik.
Sisa 23% produksi tenaga listrik berasal dari energi baru dimana PLTN sebesar
7%, Amonia sebesar 11% dan Hidrogen sebesar 5%. serta Waste Heat 0,2%

Gambar IV.30. Proyeksi Produksi Pembangkitan Skenario ZE Retrofitting

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 22% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.
- 168 -

Gambar IV.31. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario ZE Retrofitting

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 290 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2030 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 478 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
seiring besarnya retrofitting PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2055
karena seluruh pembangkit fosil memasuki masa retrofitting. Pada tahun 2059,
emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar IV.32. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario ZE Retrofitting

Pada skenario ZE Retrofitting, pengembangan transmisi antar pulau dan antar


provinsi akan berkembang disebabkan sistem tenaga listrik yang memiliki
keterbatasan potensi EBET akan membutuhkan transfer energi listrik dari
provinsi lain atau pulau lain. Pulau Jawa yang memiliki keterbatasan potensi
EBET akan membutuhkan transfer energi listrik dari pulau lain seperti,
Sumatera, Kalimantan, Lombok, dan Sumba. Interkoneksi Sumatera-Jawa
akan mulai tahun 2034, Interkoneksi Jawa-Kalimantan mulai tahun 2034,
Interkoneksi Jawa-Lombok mulai tahun 2027, dan Interkoneksi Jawa-Sumba
- 169 -

mulai tahun 2044 diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik Pulau
Jawa.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Batam-Bintan, diperlukan


interkoneksi dari Pulau Sumatera-Batam-Bintan mulai tahun 2026 dan Pulau
Bangka-Belitung mulai tahun 2040. Selain itu akan ada interkoneksi
Kalimantan-Sulawesi mulai tahun 2048. Interkoneksi dalam Pulau Kalimantan
akan mulai tahun 2036. Kepulauan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur akan saling terinterkoneksi mulai 2049 dan interkoneksi dalam Pulau
Papua akan mulai 2029.

Gambar IV.33. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario ZE Retrofitting Tahun 2060

Untuk menyediakan tenaga listrik sebesar 722 GW dan storage sebesar 93 GW


termasuk PLTA Pumped Hydro sampai tahun 2060 dibutuhkan biaya investasi
mencapai 850 Miliar USD atau sekitar 26 Miliar USD per tahun. Kebutuhan
investasi pembangkit mencapai sekitar 751 Miliar USD dengan investasi
terbesar adalah pengembangan PLTS (458 GW) sekitar 168 Miliar USD (20%).

Sedangkan biaya investasi yang diperlukan untuk interkoneksi antar provinsi


maupun antar pulau sampai tahun 2060 diperkirakan mencapai sekitar 99
Miliar USD. Selain perkuatan transmisi antar sistem, transmisi diperlukan
untuk evakuasi daya dari pembangkit EBT ke pusat-pusat beban di dalam
suatu sistem maupun antar sistem.
- 170 -

Gambar IV.34. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario ZE Retrofitting

d. Zero Emission (ZE) Carbon Capture Storage (CCS)

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 16,5 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 701 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 66%. Kapasitas pembangkit energi
baru seperti PLTN dan Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan sekitar 5%
dari total kapasitas, pembangunan PLTN pertama kali mulai tahun 2029
sebesar 0,3 GW. Sisanya 24% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti
PLTA, PLTB, PLTBio, PLTAL, PLTP dan 5% berasal dari pembangkit fosil seperti
PLTU 3% dan PLT Gas 2%.

Gambar IV.35. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Skenario ZE CCS


- 171 -

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 1.944, pembangkit EBET


akan memproduksi 90% tenaga listrik Nasional. PLTS akan memproduksi
sekitar 34% tenaga listrik Nasional dan PLT EBT lainnya seperti PLTA, PLTB,
PLTBio dan PLTP akan memproduksi sekitar 56% tenaga listrik. Produksi tenaga
listrik berasal dari energi baru PLTN sebesar 12%. Sisanya 10% berasal dari
produksi pembangkit terdiri PLTU 6% dan PLT Gas 4%.

Gambar IV.36. Proyeksi Produksi Pembangkitan Skenario ZE CCS

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 23% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.

Gambar IV.37. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Skenario ZE CCS


- 172 -

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 285 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2030 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 474 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
Pada tahun 2059, emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar IV.38. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Skenario ZE CCS

Pada skenario ZE CCS, pengembangan transmisi antar pulau dan antar provinsi
akan berkembang disebabkan sistem tenaga listrik yang memiliki keterbatasan
potensi EBET akan membutuhkan transfer energi listrik dari provinsi lain atau
pulau lain. Pulau Jawa yang memiliki keterbatasan potensi EBET akan
membutuhkan transfer energi listrik dari pulau lain seperti, Sumatera,
Kalimantan, Lombok, dan Sumba. Interkoneksi Sumatera-Jawa akan mulai
tahun 2035, Interkoneksi Jawa-Kalimantan mulai tahun 2036, Interkoneksi
Jawa-Lombok mulai tahun 2027, dan Interkoneksi Jawa-Sumba mulai tahun
2042 diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik Pulau Jawa.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Batam-Bintan, diperlukan


interkoneksi dari Pulau Sumatera-Batam-Bintan mulai tahun 2026 dan Pulanu
Bangka-Belitung mulai tahun 2040. Selain itu akan ada interkoneksi
Kalimantan-Sulawesi mulai tahun 2047. Interkoneksi dalam Pulau Kalimantan
akan mulai tahun 2037. Kepulauan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur akan saling terinterkoneksi mulai 2055 dan interkoneksi dalam Pulau
Papua akan mulai 2029.
- 173 -

Gambar IV.39. Proyeksi Kapasitas, Bauran dan Transmisi Antar Provinsi


Skenario ZE CCS Tahun 2060

Untuk menyediakan tenaga listrik sebesar 705 GW dan storage sebesar 91 GW


termasuk PLTA Pumped Hydro sampai tahun 2060 dibutuhkan biaya investasi
mencapai 1,005 Miliar USD atau sekitar 26 Miliar USD per tahun. Kebutuhan
investasi pembangkit mencapai sekitar 893 Miliar USD dengan investasi
terbesar adalah pengembangan PLTN (32 GW) sekitar 196 Miliar USD (22%).

Sedangkan biaya investasi yang diperlukan untuk interkoneksi antar provinsi


maupun antar pulau sampai tahun 2060 diperkirakan mencapai sekitar 113
Miliar USD. Selain perkuatan transmisi antar sistem, transmisi diperlukan
untuk evakuasi daya dari pembangkit EBT ke pusat-pusat beban di dalam
suatu sistem maupun antar sistem.

Gambar IV.40. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangkitan dan Transmisi


Tenaga Listrik Skenario ZE CCS
- 174 -

Analisis Sensitivitas

a. Demand

Gambar IV.41. Hasil Analisis Sensitivitas Demand tehadap Kapasitas


dan Produksi Pembangkit

Kebutuhan tenaga listrik skenario tinggi diproyeksikan tumbuh sampai


2.152 TWh pada tahun 2060 atau 306 TWh lebih tinggi jika dibandingkan
skenario rendah dan 408 TWh lebih tinggi jika dibandingkan skenario
IEA+. Hasil pemodelan kapasitas pembangkit pada demand skenario
tinggi diproyeksikan tumbuh sampai 764 GW pada tahun 2060. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 61%. Sedangkan kapasitas
pembangkit skenario rendah diproyeksikan mencapai 722 GW atau turun
sebesar 42 GW dan kapasitas pembangkit skenario IEA+ diproyeksikan
mencapai 651 GW atau turun sebesar 113 GW pada tahun 2060

Skenario tinggi akan memproduksi tenaga listrik sekitar 2.242 TWh pada
tahun 2060 sedangkan skenario rendah memproduksi sekitar 1.944 TWh
atau turun sekitar 298 TWh dan skenario IEA+ memproduksi sekitar
1.790 TWh atau turun sekitar 452 TWh.
- 175 -

Gambar IV.42. Hasil Analisis Sensitivitas Demand tehadap Emisi

Emisi CO2 skenario rendah relative sama dibandingkan skenario tinggi


dan IEA+ dan ketiga analisis senstivitas ini menghasilkan emisi CO2 nol
sebelum tahun 2060.

Gambar IV.43. Hasil Analisis Sensitivitas Demand tehadap BPP

Perbandingan BPP tenaga listrik pembangkitan dan transmisi pada tahun


2060 untuk skenario IEA+ diproyeksikan sebesar 8,0 cUSD/kWh,
skenario rendah sebesar 8,3 cUSD/kWh dan skenario tinggi sebesar 8,7
cUSD/kWh.
- 176 -

b. Solar PV

Gambar IV.44. Hasil Analisis Sensitivitas Pemanfaatan PLTS

Pemanfaatan PLTS untuk RUKN dipilih pada kisaran 450 GW, pemilihan
ini mempertimbangkan proyeksi ketersediaan lahan untuk PLTS,
kesiapan industri lokal, teknologi balancing VRE yang semakin tersedia
dan kapasitas pembangunan setiap tahunnya. Sebagai analisis
sensitivitas, angka sekitar 200 GW (low PV) dan 700 GW (high PV) dipilih
untuk perbandingan opsi pemanfaatan PLTS yang lebih moderat dan
optimis.

Pemanfaatan PLTS untuk RUKN diproyeksikan akan mencapai sekitar


458 GW pada tahun 2060, sedangkan low PV akan mencapai sekitar 225
GW dan high PV akan mencapai sekitar 673 GW. Pada skenario RUKN
kebutuhan PLTN akan mencapai sekitar 17 GW, pemanfaatan PLTS yang
lebih rendah akan membutuhkan PLTN lebih besar hingga mencapai 45
GW, sedangkan pemanfaatan PLTS lebih besar akan menurunkan
kebutuhan PLTN sampai dengan 11 GW.

Emisi CO2 dari RUKN cenderung lebih tinggi dibandingkan Low PV dan
high PV mengingat peningkatan produksi tenaga listrik yang berasal dari
pembangkit fosil. Ketiga analisis senstivitas ini menghasilkan emisi CO2
nol sebelum tahun 2060.

Perbandingan BPP tenaga listrik pembangkitan dan transmisi


diproyeksikan sebesar 8,3 cUSD/kWh untuk PV RUKN pada tahun 2060
dan 9,0 cUSD/kWh untuk Low PV atau naik sebesar 0,7 cUSD/kWh.
Sedangkan high PV menghasilkan BPP Pembangkitan dan Transmisi
- 177 -

sekitar 7,4 cUSD/kWh atau paling rendah jika dibandingkan PV RUKN


dan low PV.

c. Fleksibilitas Demand

Gambar IV.45. Hasil Analisis Sensitivitas Fleksibilitas Demand

Pemanfaatan fleksibilitas demand pada RUKN terdiri dari fleksibilitas


demand pada sektor pelanggan sampai dengan 15%. Demand di sisi
pelanggan yang fleksibel adalah peralihan pola pembebanan dari waktu
beban puncak di sore dan malam hari ke siang hari dimana banyak
terdapat PLTS yang beroperasi. Fleksibilitas demand juga diaplikasikan
pada kendaraan listrik berbasis baterai atau Electric Vehicle (EV) dari
natural charging ke smart charging. Natural charging pengisian baterai EV
pada malam hari di rumah atau garasi dan digunakan untuk operasional
EV pada pagi dan sore hari. Sedangkan smart charging, pengisian baterai
EV akan dialihkan ke siang hari di kantor, pusat bisnis dan tempat
pengisian baterai umum atau SPKLU. Sebagai analisis sensitivitas, akan
dimodelkan kondisi dimana fleksibilitas demand dan EV smart charging
tidak diaplikasikan pada sisi pelanggan.

Fleksibilitas demand pada RUKN akan memproyeksikan kapasitas


pembangkitan tenaga listrik sebesar 722 GW dengan kebutuhan storage
sebesar 93 GW. Sedangkan tanpa fleksibilitas demand, pemodelan akan
memproyeksikan kapasitas pembangkitan tenaga listrik sebesar 742 GW
dengan kebutuhan storage sebesar 207 GW. Dengan kombinasi kapasitas
pembangkitan yang relatif sama, terlihat bahwa tanpa fleksibilitas
demand, akan dibutuhkan kapasitas teknologi storage lebih dari dua kali
lipat.
- 178 -

Emisi CO2 sebelum tahun 2060 dari pemodelan tanpa fleksibilitas


demand cenderung lebih tinggi dibandingkan RUKN dengan fleksibilitas
demand mengingat peningkatan produksi tenaga listrik yang berasal dari
pembangkit fosil meningkat karena kebutuhan fleksibilitas sistem yang
disuplai oleh pembangkit gas dengan respon yang cepat. Kedua analisis
senstivitas ini menghasilkan emisi CO2 nol sebelum tahun 2060.

Perbandingan BPP tenaga listrik pembangkitan dan transmisi


diproyeksikan sebesar 8,3 cUSD/kWh untuk RUKN dengan fleksibilitas
demand pada tahun 2060 dan 9,9 cUSD/kWh tanpa fleksibilitas demand
atau naik sebesar 2,6 cUSD/kWh.

d. Biaya teknologi

Gambar IV.46. Hasil Analisis Sensitivitas Biaya Teknologi

Dalam pemodelan RUKN, biaya teknologi akan menentukan pemilihan


pembangkit untuk dioptimasi dalam pemodelan penyediaan tenaga
listrik. Berdasarkan outlook biaya pembangkitan yang dipublikasikan
oleh lembaga Internasional maupun Nasional, biaya pembangkit EBT
diprediksi akan cenderung turun pada masa yang akan datang. Analisis
sensitivitas biaya teknologi pada RUKN mempertimbangkan tren
penurunan biaya teknologi seluruh pembangkit EBT, sedangkan
technology price akan memodelkan penurunan biaya teknologi terbatas
hanya pada PLTS dan PLTB.

RUKN akan memproyeksikan kapasitas pembangkitan tenaga listrik


sebesar 722 GW dengan kebutuhan storage sebesar 93 GW. Sedangkan
technology price, pemodelan akan memproyeksikan kapasitas
pembangkitan tenaga listrik sebesar 686 GW dengan kebutuhan storage
- 179 -

sebesar 45 GW. Dengan kombinasi kapasitas pembangkitan yang relatif


sama, terdapat perbedaan pada pemanfaatan PLTS, PLTB, PLTA dan
PLTB yang cenderung naik sebesar 5 GW dan penurunan pemanfaatan
PLTP sebesar 1 GW. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penurunan
harga ataupun tanpa penurunan harga pembangkit EBT konfigurasi
pembangkit untuk penyediaan tenaga listrik nasional relatif sama.

Emisi CO2 sebelum tahun 2060 dari pemodelan technology price


cenderung sedikit lebih tinggi dibandingkan RUKN dengan tren
penurunan biaya pembangkitan EBT. Peningkatan ini disebabkan
meningkatnya produksi tenaga listrik yang berasal dari pembangkit fosil
karena kebutuhan fleksibilitas sistem yang disuplai oleh pembangkit gas
dengan respon yang cepat.

Kedua analisis senstivitas ini menghasilkan emisi CO2 nol sebelum tahun
2060. Perbandingan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik
pembangkitan dan transmisi diproyeksikan sebesar 8,3 cUSD/kWh
untuk RUKN dengan tren penurunan biaya pembangkitan pada tahun
2060 dan 8,7 cUSD/kWh untuk technology price atau naik sebesar 0,4
cUSD/kWh.
- 180 -

BAB V
RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN TENAGA
LISTRIK NASIONAL

Peningkatan Rasio Elektrifikasi

Dalam Kebijakan Energi Nasional sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang ditetapkan melalui Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2020, rasio elektrifikasi nasional ditargetkan 100%
mulai tahun 2020. Namun sampai dengan akhir tahun 2022 tercatat bahwa
rasio elektrifikasi baru mencapai 99,63%, angka ini dibawah target yang
tercantum dalam RPJMN sekitar 0,37%.

Pemerintah terus berupaya melakukan percepatan peningkatan rasio


elektrifikasi untuk mengejar target 100% dengan menyiapkan akses listrik
melalui perluasan jaringan distribusi, pembangunan minigrid, dan program
Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) beserta Alat Penyalur Daya Listrik
(APDAL). Bagi masyarakat yang sudah terjangkau akses listrik tapi tidak
mampu menyambung sebagai pelanggan PT PLN (Persero), pemerintah
menyiapkan progam Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL). Melalui program-
program tersebut, diharapkan pada tahun 2024 rasio elektrifikasi nasional telah
mencapai 100%.

Untuk mencapai peningkatan rasio elektrifikasi menjadi sekitar 100% pada


tahun 2024 tersebut, diperlukan penambahan sekitar 0,29 juta rumah tangga
berlistrik. Sementara itu untuk mempertahankan rasio elektrifikasi tetap dilevel
100%, maka diperlukan penambahan rata-rata sekitar 0,38 juta rumah tangga
berlistrik per tahun mulai tahun 2024 sampai dengan 2060.

Penambahan rumah tangga berlistrik dapat berupa penyambungan listrik dari


PT PLN (Persero) maupun non PT PLN (Persero). Target rasio elektrifikasi dapat
tercapai dengan syarat tercukupinya pendanaan pembangunan infrastruktur
penyediaan tenaga listrik dan kendala-kendala dalam pembangunan
infrastruktur penyediaan tenaga listrik dapat diatasi. Apabila anggaran PT PLN
(Persero) tidak mencukupi untuk menambah rumah tangga berlistrik maka
diperlukan sumber pendanaan lain, misalnya pendanaan dari APBN.
- 181 -

Gambar V.1. Target Rasio Elektrifikasi (dalam %)

Hal yang perlu menjadi perhatian dalam peningkatan rasio elektrifikasi tidak
hanya penyambungan listrik ke rumah, namun juga perlu memperhatikan
keandalan dan mutu sistem tenaga listrik, sehingga tidak menimbulkan
permasalahan lain seperti seringnya terjadi pemadaman. Dengan kata lain
penyambungan listrik harus diimbangi dengan penambahan pasokan di sisi
hulu dan perkuatan sistem penyaluran di sisi hilir.

Pembangkitan Tenaga Listrik

Pengembangan pembangkit tenaga listrik menyesuaikan dengan proyeksi


kebutuhan tenaga listrik yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi regional sangat dipengaruhi oleh arah pengembangan
masing-masing regional. Pengembangan regional Sumatera diarahkan sebagai
basis industri baru dan gerbang kawasan Asia, Kalimantan sebagai basis
industri pengolahan dan lumbung energi nasional, Sulawesi sebagai basis
industri pangan dan gerbang Kawasan Timur Indonesia, Bali, Nusa Tenggara
dan Maluku sebagai basis wisata internasional dan perikanan, dan Papua
sebagai basis pangan dan sektor ekonomi berbasis sumber daya alam.

Sampai tahun 2060, pertumbuhan rata-rata ekonomi Sumatera diproyeksikan


sebesar 6,2% per-tahun, Jawa 5,4% per-tahun, Kalimantan 6,5% per-tahun,
Bali dan Nusa Tenggara 6,6% per-tahun, Sulawesi 6,9% per-tahun, Maluku
8,4% per-tahun dan Papua 7,7% per-tahun.
- 182 -

Gambar V.2. Proyeksi pertumbuhan ekonomi regional Indonesia 2023 – 2060

Regional Sumatera

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 62 TWh meningkat
menjadi 357 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan tenaga listrik
sekitar 5% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2060 untuk
pelanggan Rumah Tangga sekitar 60 TWh, Bisnis sekitar 31 TWh, Publik sekitar
17 TWh, Industri sekitar 126 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik sekitar 65 TWh
dan Hidrogen 58 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik dijelaskan dalam
Gambar dibawah ini.

Gambar V.3. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional Sumatera 2023-2060


- 183 -

Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 5,2 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 207 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 79%. Kapasitas pembangkit energi
baru seperti PLTN dan Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan sekitar 0,5%
dari total kapasitas. Pembangunan PLTN pertama kali mulai tahun 2034
sebesar 1 GW. Sisanya 20,5% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti
PLTA, PLTB, PLTBio, PLTAL, PLTP, Ammonia dan Hidrogen.

Gambar V.4. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Sumatera 2023-2060


Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 442 TWh, pembangkit ET
akan memproduksi 90% energi listrik. PLTS akan memproduksi sekitar 51%
energi listrik dan pembangkit ET lainnya seperti PLTA, PLTB, PLTBio dan PLTP
akan memproduksi sekitar 39% tenaga listrik. Sisa 10% produksi tenaga listrik
berasal dari energi baru dimana PLTN sebesar 2%, Amonia sebesar 6% dan
Hidrogen sebesar 2%.

Gambar V.5. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Sumatera 2023-2060


- 184 -

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 43% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.

Gambar V.6. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Sumatera 2023-


2060

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 31 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2038 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 63 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
seiring besarnya retrofitting PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2055
karena seluruh pembangkit fosil memasuki masa retrofitting. Pada tahun 2056,
emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar V.7. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Sumatera 2023-2060


- 185 -

Regional Jawa-Bali

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 205 TWh
meningkat menjadi 1.002 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan
tenaga listrik sekitar 4,5% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun
2060 untuk pelanggan Rumah Tangga sekitar 205 TWh, Bisnis sekitar 158 TWh,
Publik sekitar 49 TWh, Industri sekitar 349 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik
sekitar 205 TWh dan Hidrogen 37 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik
dijelaskan dalam Gambar dibawah ini.

Gambar V.8. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional Jawa Bali tahun
2023 s.d. 2060

Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 2,9 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 159 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 41%, diikuti oleh PLTB dengan
porsi 23%, Amonia dengan porsi 12%, dan Hidrogen dengan porsi 7%. Sisanya
17% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti PLTA, PLTBio, PLTP, dan
PLTAL.
- 186 -

Gambar V.9. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Jawa Bali 2023-2060

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 624 TWh, pembangkit ET


akan memproduksi 66% energi listrik. PLTB akan memproduksi sekitar 20%
energi listrik dan pembangkit ET lainnya seperti PLTBio, PLTA, PLTS, PLTP dan
PLTAL akan memproduksi sekitar 46% tenaga listrik. Sisa 34% produksi tenaga
listrik berasal dari energi baru dimana Ammonia sebesar 22% dan Hidrogen
sebesar 12%.

Gambar V.10. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Jawa Bali 2023-2060

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 17% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.
- 187 -

Gambar V.11. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Jawa Bali


2023-2060

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 169 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2035 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 232 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
seiring besarnya retrofitting PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2055
karena seluruh pembangkit fosil memasuki masa retrofitting. Pada tahun 2056,
emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar V.12. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Jawa Jawa Bali
2023-2060
- 188 -

Regional Kalimantan

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 19 TWh meningkat
menjadi 192 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan tenaga listrik
sekitar 7,8% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2060 untuk
pelanggan Rumah Tangga sekitar 20 TWh, Bisnis sekitar 12 TWh, Publik sekitar
5 TWh, Industri sekitar 104 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik sekitar 23 TWh
dan Hidrogen 27 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik dijelaskan dalam
Gambar dibawah ini.

Gambar V.13. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional Kalimantan 2023-


2060

Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 4,1 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 157 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 49%. Kapasitas pembangkit energi
baru seperti PLTN dan Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan sekitar 9%
dari total kapasitas, pembangunan PLTN pertama kali mulai tahun 2032
sebesar 0,25 GW. Sisanya 42% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti
PLTA, PLTB, PLTBio, PLTP, Ammonia dan Hidrogen.
- 189 -

Gambar V.14. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Kalimantan 2023-


2060

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 440, pembangkit ET akan


memproduksi 73% energi listrik. PLTA akan memproduksi sekitar 34% energi
listrik dan pembangkit ET lainnya seperti PLTBio, PLTS, PLTB, dan PLTP akan
memproduksi sekitar 39% tenaga listrik. Sisa 27% produksi tenaga listrik
berasal dari energi baru dimana PLTN sebesar 26%, Ammonia sebesar 1% dan
Hidrogen sebesar 0,1%.

Gambar V.15. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Kalimantan 2023-


2060

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 17% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.
- 190 -

Gambar V.16. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Kalimantan


2023-2060

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 23 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2030 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 92 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2034 dan 2040
seiring besarnya retrofitting PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2055
karena seluruh pembangkit fosil memasuki masa retrofitting. Pada tahun 2059,
emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar V.17. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Kalimantan 2023-


2060
- 191 -

Regional Sulawesi

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 48 TWh meningkat
menjadi 153 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan tenaga listrik
sekitar 3,4% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2060 untuk
pelanggan Rumah Tangga sekitar 18 TWh, Bisnis sekitar 10 TWh, Publik sekitar
5 TWh, Industri sekitar 89 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik sekitar 19 TWh
dan Hidrogen 12 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik dijelaskan dalam
Gambar dibawah ini.

Gambar V.18. Proyeksi Kebutuhan tenaga listrik Regional Sulawesi

2023-2060

Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 1,2 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 53 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 58%, diikuti oleh PLTB dengan
porsi 13%, PLTA dengan porsi 9%, dan Amonia dengan porsi 9%. Sisanya 11%
berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti PLTBio, PLTP, dan Hidrogen.
- 192 -

Gambar V.19. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional Sulawesi 2023-2060

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 158 TWh, pembangkit ET


akan memproduksi 86% energi listrik. PLTS akan memproduksi sekitar 29%
energi listrik dan pembangkit ET lainnya seperti PLTBio, PLTA, PLTB, dan PLTP
akan memproduksi sekitar 57% tenaga listrik. Sisa 14% produksi tenaga listrik
berasal dari energi baru dimana Ammonia sebesar 14% dan Hidrogen sebesar
0,04%.

Gambar V.20. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional Sulawesi 2023-2060

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 21% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.
- 193 -

Gambar V.21. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional Sulawesi 2023-


2060

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 42 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2036 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 55 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
seiring besarnya retrofitting PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2054
karena seluruh pembangkit fosil memasuki masa retrofitting. Pada tahun 2055,
emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar V.22. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional Sulawesi 2023-


2060
- 194 -

Regional Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara (MPNT)

Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik

Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2023 sebesar 29 TWh meningkat
menjadi 142 TWh pada tahun 2060. Rata-rata pertumbuhan tenaga listrik
sekitar 7,4% per-tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik tahun 2060 untuk
pelanggan Rumah Tangga sekitar 12 TWh, Bisnis sekitar 6 TWh, Publik sekitar
4 TWh, Industri sekitar 66 TWh, Kendaraan Bermotor Listrik sekitar 10 TWh
dan Hidrogen 44 TWh. Hasil proyeksi kebutuhan tenaga listrik dijelaskan dalam
Gambar dibawah ini.

Gambar V.23. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik Regional MPNT 2023-2060

Optimasi Pembangkitan Tenaga Listrik

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai tahun 2060, diperlukan


tambahan pembangkit rata-rata sekitar 3,7 GW per tahun. Kapasitas
pembangkit pada tahun 2060 diproyeksikan mencapai 146 GW. PLTS
mendominasi kapasitas dengan porsi sekitar 82%, diikuti oleh PLTB dengan
porsi 8%, dan Amonia dengan porsi 5%. Kapasitas pembangkit energi baru
seperti PLTN dan Small Modular Reactor (SMR) diproyeksikan sekitar 1% dari
total kapasitas, pembangunan PLTN pertama kali mulai tahun 2032 sebesar
0,15 GW. Sisanya 4% berasal dari pembangkit EBET lainnya seperti PLTA,
PLTBio, PLTP, dan Hidrogen.
- 195 -

Gambar V.24. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Regional MPNT 2023-2060

Berdasarkan produksinya pada tahun 2060 sebesar 280 TWh, pembangkit ET


akan memproduksi 83% energi listrik. PLTS akan memproduksi sekitar 63%
energi listrik dan pembangkit ET lainnya seperti PLTBio, PLTA, PLTB, dan PLTP
akan memproduksi sekitar 20% tenaga listrik. Sisa 17% produksi tenaga listrik
berasal dari energi baru dimana Amonia sebesar 9%, PLTN sebesar 4%, dan
Hidrogen sebesar 2%, dan Waste Heat 2%.

Gambar V.25. Proyeksi Produksi Pembangkitan Regional MPNT 2023-2060

Pada tahun 2025, bauran EBET mencapai 18% dan akan terus meningkat
setelah 2025 dengan adanya pengembangan pembangkit EBET. Bauran EBET
akan mencapai 100% pada tahun 2060.
- 196 -

Gambar V.26. Proyeksi Bauran Energi Pembangkitan Regional MPNT 2023-


2060

Emisi CO2 tahun 2023 mencapai sekitar 25 juta ton CO2 dan mendekati tahun
2036 terjadi puncak emisi CO2 sebesar 46 juta ton CO2 kemudian akan terus
turun pada tahun berikutnya. Emisi menurun tajam pada tahun 2045 dan 2050
seiring besarnya retrofitting PLTU dan berkurang signifikan setelah tahun 2055
karena seluruh pembangkit fosil memasuki masa retrofitting. Pada tahun 2055,
emisi pada pembangkitan tenaga listrik akan mendekati nol.

Gambar V.27. Proyeksi Emisi CO2 Pembangkitan Regional MPNT 2023-2060


- 197 -

Transmisi Tenaga Listrik

Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke


sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antar
sistem. Pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik secara umum
direncanakan untuk evakuasi daya dari pembangkit ke pusat beban, mengatasi
kondisi kerawanan sistem, mendukung target penjualan energi listrik,
mengatasi bottleneck, meningkatkan keandalan dan fleksibilitas operasi sistem.
Usaha transmisi tenaga listrik dapat dilakukan oleh badan usaha baik sebagai
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik di bidang transmisi tenaga listrik
atau pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi yang memiliki
transmisi tenaga listrik. Selain kepada BUMN, kesempatan untuk melakukan
usaha transmisi tenaga listrik juga diberikan kepada BUMD, badan usaha
swasta yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, dan swadaya masyarakat.

Pada saat ini, sistem tenaga listrik yang telah terhubung melalui jaringan
transmisi antara lain:

1. Sistem Sumatera melalui jaringan transmisi 275 kV dan 150 kV yang


meliputi seluruh Provinsi di Pulau Sumatera;

2. Sistem Batam melalui jaringan transmisi 150 kV yang meliputi Wilayah


Usaha PT PLN Batam di Pulau Batam dan terinterkoneksi dengan Sistem
Bintan yang merupakan bagian dari Wilayah Usaha PT PLN (Persero) di
Pulau Bintan;

3. Sistem Bintan melalui jaringan transmisi 150 kV yang meliputi Pulau Bintan
dan terinterkoneksi dengan Sistem Batam;

4. Sistem Bangka melalui jaringan transmisi 150 kV yang meliputi Pulau


Bangka;

5. Sistem Jawa – Bali melalui jaringan transmisi 500 kV dan 150 kV yang
meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta,
Jawa Timur, Banten dan Bali;

6. Sistem Khatulistiwa melalui jaringan transmisi 150 kV meliputi Provinsi


Kalimantan Barat dan telah terhubung melalui jaringan transmisi 275 kV
dengan Sistem Serawak yang merupakan interkoneksi antar Negara;

7. Sistem Kalseltengtim melalui jaringan transmisi 150 kV yang meliputi


Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi
Kalimantan Timur;
- 198 -

8. Sistem Sulutgo atau Sulbagut melalui jaringan transmisi 150 kV yang


meliputi Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo;

9. Sistem Sulbagsel melalui jaringan transmisi 275 kV dan 150 kV yang


meliputi Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan;

10. Sistem Lombok melalui jaringan transmisi 150 kV yang meliputi Pulau
Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat;

11. Sistem Timor melalui jaringan transmisi 70 kV meliputi sebagian Pulau


Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur;

12. Sistem Jayapura melalui jaringan transmisi 150 kV dan 70 kV meliputi


sebagian Provinsi Papua.

Seiring dengan pertumbuhan konsumsi tenaga listrik dan rencana


pengembangan pembangkit tenaga listrik maka diperlukan pembangunan
jaringan transmisi baru dari pembangkit ke transmisi backbone dan
pengembangan jaringan transmisi (dalam sistem maupun antar sistem
interkoneksi) yang telah ada. Kedepan diperlukan pengembangan jaringan
transmisi antara lain:

1. Perkuatan sistem Sumatera melalui jaringan transmisi backbone 500 kV


di bagian timur;
2. Sistem Bangka dengan sistem Sumatera melalui jaringan transmisi 150
kV sehingga sistem Bangka dapat menerima transfer energi murah dari
Sumatera Selatan yang akan didominasi oleh PLTU Mulut Tambang;
3. Sistem Sumatera dengan sistem Jawa – Bali menjadi sistem Sumatera –
Jawa – Bali (SJB) melalui jaringan transmisi HVDC. Selain untuk
meningkatkan keandalan bagi kedua sistem, transmisi HVDC ini
diperlukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber energi primer
setempat untuk pembangkitan tenaga listrik, seperti sumber EBT dari
panas bumi dan tenaga air di Pulau Sumatera secara umum serta
batubara secara khususnya di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.
Kelebihan tenaga listrik dari Pulau Sumatera dapat ditransfer melalui
jaringan transmisi HVDC sehingga memberikan dampak positif antara lain
menambah pasokan tenaga listrik bagi Pulau Jawa tanpa menambah
emisi CO2 di Pulau Jawa dan mendorong percepatan peningkatan porsi
EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik, karena porsi
konsumsi tenaga listrik nasional yang terbesar berada di Jawa dan
- 199 -

Sumatera. Pengendalian emisi CO2 di pulau Jawa perlu menjadi perhatian


mengingat pulau Jawa semakin padat penduduk dan telah banyak PLTU;
4. Sistem 500 kV Jawa dengan sub sistem 150 kV Bali melalui jaringan
transmisi 500 kV apabila ada hasil kajian yang menyimpulkan bahwa
pembangunan jaringan transmisi 500 kV Jawa – Bali dinyatakan layak
secara teknis dan ekonomis dibanding membangun pembangkit baru di
Pulau Bali. Selain itu deklarasi Bali Clean Energy perlu menjadi
pertimbangan;
5. Sistem Kalseltengtim dengan sistem Kaltara termasuk Pulau Tarakan
menjadi sistem Kalseltengtimra melalui jaringan transmisi 150 kV. Perlu
dikaji dan dipertimbangkan pengembangan backbone interkoneksi
Kalimantan dengan tegangan yang lebih tinggi untuk antisipasi
peningkatan beban jangka panjang dan transfer tenaga listrik bagi
Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki relatif sedikit sumber energi
primer;
6. Sistem Sulbagsel dengan sistem Sultra melalui jaringan transmisi 150 kV,
namun perlu dikaji lebih lanjut terkait level tegangan interkoneksi yang
akan menjadi backbone Sulbagsel mengingat makin luasnya cakupan
sistem tenaga listrik Sulbagsel dan berkembangnya smelter di Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Tenggara; dan
7. Untuk jangka panjang dapat dikaji transmisi antara pulau yang kaya akan
potensi sumber energi primer dengan pulau yang memiliki keterbatasan
potensi namun kebutuhan tenaga listriknya relatif tinggi, seperti antara
Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa, antara Pulau Flores dan Pulau Sumba
dan/atau Sumbawa.

Sementara itu beberapa sistem tenaga listrik yang dalam memasok


kebutuhan tenaga listrik hanya menggunakan sistem distribusi perlu
dikembangkan sistem transmisi antara lain:

1. Sistem Sumbawa Bima dengan jaringan transmisi 150 kV dan 70 kV;


2. Sistem Flores dengan jaringan transmisi 70 kV yang akan
mengoptimalkan pemanfaatan energi panas bumi; dan
3. Sistem Sumba dengan jaringan transmisi 70 kV.

Perkembangan teknologi jaringan transmisi tenaga listrik telah memasuki era


level tegangan Ultra High Voltage (UHV), yaitu sistem transmisi dengan tegangan
di atas 765 kV. Di beberapa negara bahkan sudah mencapai 1000 kV. Selain
tegangan Alternating Current (AC), saat ini juga telah dikembangkan teknologi
- 200 -

Direct Current (DC) dalam rangka transfer energi skala besar, karena sistem
tersebut lebih baik dari sisi kestabilan sistem serta mengurangi efek negatif
transfer energi skala besar jika menggunakan sistem AC.

Untuk mendukung peningkatkan bauran EBT dan pemenuhan demand listrik


ke depan salah satu upaya yang dilakukan dengan pengembangan interkoneksi
tenaga listrik antar sistem di dalam pulau dan interkoneksi tenaga listrik antar
pulau untuk mengatasi miss match demand listrik dengan potensi EBT, karena
demand listrik utamanya di Jawa bali sedangkan potensi EBT banyak diluar
Jawa (Kaltara, Sumut, Sulteng). Selain itu dari sisi regulasi/kebijakan dengan
banyaknya rencana pengembangan pembangkit listrik EBT yang akan
terhubung pada sistem transmisi, maka diperlukan antisipasi dalam
pengembangan sistem transmisi dengan memperhatikan pedoman
penyambungan yang tertuang dalan Aturan Jaringan Tenaga Listrik (Grid Code)
dan saat ini sudah ada permen ESDM Nomor 20 Tahun 2020 tentang Aturan
Jaringan Sistem tenaga Listrik (Grid Code).

Pada skenario ZE Retrofitting, pengembangan transmisi antar pulau dan antar


provinsi akan berkembang disebabkan sistem tenaga listrik yang memiliki
keterbatasan potensi EBET akan membutuhkan transfer energi listrik dari
provinsi lain atau pulau lain. Pulau Jawa yang memiliki keterbatasan potensi
EBET akan membutuhkan transfer energi listrik dari pulau lain seperti,
Sumatera, Kalimantan, Lombok, dan Sumba. Interkoneksi Sumatera-Jawa
akan mulai tahun 2033, Interkoneksi Jawa-Kalimantan mulai tahun 2034,
Interkoneksi Jawa-Lombok mulai tahun 2027, dan Interkoneksi Jawa-Sumba
mulai tahun 2044 diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik Pulau
Jawa.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Batam-Bintan, diperlukan


interkoneksi dari Pulau Sumatera-Batam-Bintan mulai tahun 2026. Selain itu
akan ada interkoneksi Kalimantan-Sulawesi mulai tahun 2055. Interkoneksi
dalam Pulau Kalimantan akan mulai tahun 2034. Kepulauan Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur akan saling terinterkoneksi mulai 2035 sampai
2058 dan interkoneksi dalam Pulau Papua akan mulai 2029.
- 201 -

Gambar V.28. Rencana Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar


Provinsi

Proyek transmisi pada dasarnya dilaksanakan oleh BUMN, sedangkan transmisi


terkait dengan pembangkit milik IPP dilaksanakan oleh pengembang IPP sesuai
dengan dokumen Request for Proposal (RFP). Namun demikian, terbuka opsi
proyek transmisi untuk juga dapat dilaksanakan oleh swasta dengan skema
bisnis tertentu, misalnya Build Operate Transfer (BOT) atau Build Lease Transfer
(BLT) ataupun power wheeling.

Jaringan transmisi tenaga listrik merupakan infrastruktur vital yang


dibutuhkan untuk menyalurkan energi yang dibangkitkan oleh pembangkit
listrik. Pada tahun 2030, pemerintah telah menargetkan penambahan kapasitas
pembangkit listrik sebesar kurang kurang lebih 40 Giga Watt sehingga
diperlukan tambahan jaringan transmisi tenaga listrik sepanjang kurang lebih
47.000 kms.

Usaha transmisi tenaga listrik wajib membuka kesempatan untuk pemanfaatan


bersama jaringan transmisi tenaga listrik bagi kepentingan umum dengan
memperhatikan kemampuan kapasitas jaringan transmisi tenaga listrik dan
Grid Code, sehingga Pemegang IUPTLU di bidang pembangkitan tenaga listrik
yang memiliki Wilayah Usaha lainnya dan pemegang IUPTLS dapat
memanfaatkan jaringan transmisi tenaga listrik tersebut melalui mekanisme
sewa atau power wheeling. Pengaturan operasi sistem pada pemanfaatan
bersama transmisi tenaga listrik dilakukan oleh operator sistem yang
mengoperasikan sistem paling besar pada sistem setempat.

Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat menyediakan dana untuk


pembangunan sarana transmisi tenaga listrik di daerah yang belum
- 202 -

berkembang, daerah terpencil dan perbatasan serta pembangunan listrik


perdesaan.

Distribusi Tenaga Listrik

Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi
atau dari pembangkitan ke konsumen. Usaha distribusi tenaga listrik dapat
dilakukan oleh badan usaha baik sebagai IUPTL di bidang distribusi tenaga
listrik atau Pemegang IUPTL terintegrasi yang memiliki distribusi tenaga listrik.
Selain BUMN, kesempatan untuk melakukan usaha distribusi tenaga listrik
juga diberikan kepada BUMD, badan usaha swasta yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, dan swadaya masyarakat.

Usaha distribusi tenaga listrik dapat membuka kesempatan untuk pemanfaatan


bersama jaringan distribusi tenaga listrik bagi kepentingan umum dengan
memperhatikan kemampuan kapasitas jaringan distribusi tenaga listrik dan
mengacu pada Aturan Jaringan Distribusi Tenaga Listrik (Distribution Code).
Sehingga Pemegang IUPTL di bidang pembangkitan tenaga listrik, Pemegang
IUPTL yang memiliki Wilayah Usaha dan pemegang izin operasi dapat
memanfaatkan jaringan distribusi tenaga listrik milik badan usaha distribusi
melalui mekanisme sewa.

Pengaturan operasi distribusi pada pemanfaatan bersama distribusi tenaga


listrik dilakukan oleh Pemegang IUPTL yang memiliki Wilayah Usaha.
Pemerintah daerah dapat menyediakan dana untuk pembangunan sarana
distribusi tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil dan
perbatasan serta pembangunan listrik perdesaan.

Pengembangan sarana distribusi tenaga listrik diarahkan untuk perbaikan


tegangan, perbaikan SAIDI dan SAIFI, penurunan susut jaringan tenaga listrik
dan rehabilitasi jaringan tua. Disamping itu, pengembangan sistem distribusi
tenaga listrik diarahkan juga untuk dapat menyalurkan tenaga listrik ke
Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Destinasi
Pariwisata Prioritas, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, Sentra Kelautan
dan Perikanan Terpadu dan Kawasan Industri.

Pengembangan jaringan distribusi tenaga listrik perlu memperhatikan Rencana


Tata Ruang Wilayah setempat agar pelaksanaan pembangunannya dapat
berjalan dengan baik. Pengembangan jaringan distribusi tenaga listrik dengan
menggunakan jenis kabel bawah tanah (underground cable) dimungkinkan
- 203 -

untuk dilakukan pada tempat-tempat tertentu sepanjang memenuhi aspek


teknis dan ekonomis.

Dalam rangka menjaga mutu tegangan sebagaimana diatur dalam Aturan


Jaringan Distribusi (Distribution Code) dan mengurangi susut jaringan tenaga
listrik dalam sistem distribusi tenaga listrik, maka panjang saluran distribusi
tenaga listrik yang sudah maksimal perlu ditingkatkan level tegangannya.
Untuk daerah pusat beban dengan jumlah konsumen besar yang cukup
banyak, seperti kawasan industri dan daerah kota besar, maka penggolongan
tegangan saluran 66 kV menjadi kategori jaringan distribusi tenaga listrik perlu
dikaji lebih lanjut.

Seiring dengan peningkatan pemanfaatan potensi sumber EBT skala kecil


untuk pembangkitan tenaga listrik antara lain PLTM, PLTMH, PLTS, PLTBm,
dan PLTBg dimana tenaga listriknya akan disalurkan ke sistem tenaga listrik PT
PLN (Persero), maka diperlukan kesiapan sistem distribusi tenaga listrik untuk
menerimanya. Apabila sistem distribusi tenaga listrik diperkirakan tidak layak
secara teknis dan ekonomis, maka perlu dipertimbangkan pembangunan
jaringan transmisi tenaga listrik dengan GI pengumpul sebelum tenaga listrik
tersebut disalurkan ke jaringan transmisi tenaga listrik.

Apabila dengan pertimbangan pemenuhan tenaga listrik melalui jaringan


transmisi tenaga listrik dinilai tidak layak secara teknis dan ekonomis, maka
sistem isolated dapat diterapkan. Pengertian sistem isolated adalah sistem
distribusi tenaga listrik yang berdiri sendiri dan tidak terhubung langsung
dengan jaringan transmisi tenaga listrik yang ada dan wilayah pelayanannya
terbatas.

Pengembangan jaringan distribusi tenaga listrik dengan teknologi smart grid


dan kabel laut (submarine cable) antar pulau dapat dilakukan sepanjang
memenuhi kebutuhan sistem dan ketersediaan teknologi. Untuk meningkatkan
keandalan dan mengoptimalkan bauran energi pembangkitan pada suatu
daerah terpencil yang jauh dari sistem besar, maka dapat dikembangkan micro
grid.

Pengembangan jaringan distribusi tenaga listrik di daerah perbatasan negara


dimana dilakukan kegiatan jual beli tenaga listrik lintas negara hanya dapat
dilakukan oleh Pemegang IUPTL setelah memperoleh izin penjualan atau
pembelian tenaga listrik lintas negara dari Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral.
- 204 -
- 205 -

LAMPIRAN
- 206 -
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2023
2023
0%
Nasional
0% 0% 0% 0% 89,6 GW
1,1 GW 0%
5% 0%
8%
3,6 GW 6% EBT
20%
0,3 GW 1% BBM
1,1%

19% 59%
BATUBARA
59%
0,3 GW GAS
19%
2,9 GW 1,2 GW 4 GW

1,6 GW 1,9 GW 0,4 GW

0,3
0,8 GW 1,4 GW 0,6 GW
0,4 GW 0,7 GW
0,1 GW

3,7 GW
4,3 GW

4,4 GW 0,3 1,1 GW


1,6 GW
1,2 GW
0,5 GW
12,5 GW 0,9 GW

1,2 GW
1 GW
1 GW 2,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
14,0 9,5 GW 70.000,0
9,4 45.000,0
4,7 12,6 GW 10 GW
0,1 0 GW 25.000,0
0,7 GW
550,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2024
2024
0%
Nasional
0% 0% 0% 95,6 GW
1,3 GW 1% 0%
5% 0%
8% EBT
3,7 GW 6% 20%
0,7 GW 1% BBM
1,0%

17% 62%
BATUBARA
GAS 62%
0,3 GW 17%
2,9 GW 1,5 GW 5 GW

1,5 GW 2 GW 0,4 GW

0,3
0,9 GW 1,4 GW 0,7 GW
0,4 GW 0,8 GW
0,1 GW

4 GW
5,8 GW

4,5 GW 0,3 1,1 GW


1,7 GW
1,3 GW
0,5 GW
12,6 GW 0,9 GW

1,2 GW
1,2 GW
1 GW 2,3 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
14,0 9,6 GW 70.000,0
9,4 50.000,0
4,7 13,1 GW 10,3 GW
0,1 0 GW 25.000,0
0,8 GW
550,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2025
2025
1% 0%
Nasional
1% 0% 0% 103,7 GW
1,5 GW 0%
5% 0%
8% EBT
3,8 GW
22%
1,2 GW 6%
1% BBM
0,9%
15% 62%
BATUBARA
0,3 GW GAS 62%
15%
3,1 GW 2,3 GW 5,8 GW

1,6 GW 2,5 GW 0,5 GW

0,3
1 GW 1,4 GW 0,9 GW
0,4 GW 0,8 GW
0,1 GW

4,5 GW
5,9 GW

4,5 GW 0,3 1,3 GW


1,7 GW
1,3 GW
0,6 GW
13,2 GW 0,9 GW

1,4 GW
1,4 GW
1,1 GW 2,4 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
14,0 11,1 GW 80.000,0
9,4 50.000,0
4,8 13,7 GW 10,7 GW
0,2 0 GW 25.000,0
0,9 GW
600,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2026
2026
1%
Nasional
2% 0% 0% 134,2 GW
1,8 GW 6% 0%
0%
6,3 GW 7% EBT
4,3 GW 5% 29%

7% 57%
BATUBARA
0% BBM 57%
13% 0,2%
0,3 GW
3,9 GW 6,7 GW 9,3 GW GAS
13%

1,7 GW 5,1 GW 0,8 GW

0,3
1,2 GW 1,8 GW 0,9 GW
0,4 GW 0,8 GW
0,1 GW

4,4 GW
6,9 GW

5,8 GW 0,3 1,7 GW


3,2 GW
1,5 GW
0,7 GW
13,5 GW 1 GW

2,2 GW
2 GW
1,3 GW 3,5 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,4 GW 80.000,0
11,0 55.000,0
5,5 15 GW 12,9 GW
0,2 0 GW 25.000,0
1 GW
600,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2027
2027
1%
Nasional
3% 0% 0% 142,5 GW
6% 0%
2 GW
0%
6,6 GW 7% EBT
7,4 GW 5% 29%

7% 57%
BATUBARA
0% BBM 57%
13%
0,3 GW 0,0%

3,9 GW 7,7 GW 10 GW GAS


13%

2,2 GW 5,4 GW 0,8 GW

0,8
1,3 GW 1,8 GW 0,9 GW
0,4 GW 0,7 GW
0,1 GW

4,4 GW
0
6,9 GW

6,1 GW 0,3 1,8 GW


3,4 GW
1,6 GW
0,7 GW
13,5 GW 1,1 GW

2,2 GW
2 GW
1,3 GW 3,9 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,4 GW 80.000,0
11,0 55.000,0
5,3 15,1 GW 13,7 GW
0,0 0 GW 25.000,0
0,9 GW
600,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2028
2028
1%
Nasional
0% 0% 148,9 GW
3% 0%
2 GW 6% 0%
7,1 GW 7% EBT
9,9 GW 5% 29%

6% 57%
BATUBARA
0% BBM 57%
13%
0,3 GW 0,0%

4 GW 8 GW 10,7 GW GAS
13%

2,2 GW 6,5 GW 0,8 GW

0,8
1,3 GW 1,8 GW 1 GW
0,4 GW 0,7 GW
0,1 GW

4,4 GW
0
7 GW

6,3 GW 0,3 1,8 GW


3,6 GW
1,6 GW
0,8 GW
13,6 GW 1 GW

2,3 GW
2 GW
1,3 GW 4,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,5 GW 85.000,0
11,0 60.000,0
5,3 15,1 GW 13,9 GW
0,0 0 GW 30.000,0
0,9 GW
650,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2029
2029
1%
Nasional
3%
2 GW 0% 0% 0% 163,6 GW
0%
7%
7,4 GW EBT
7%
11,3 GW 5% 30%

7% 57%
BATUBARA
0% 57%
13% BBM
0,3 GW 0,0%

6,6 GW 9,7 GW 11,1 GW GAS


13%

2,2 GW 8,2 GW 0,9 GW

0,8
1,3 GW 1,8 GW 1 GW
0,4 GW 0,7 GW
0,1 GW

4,3 GW
0
9,5 GW

6,6 GW 0,3 1,8 GW


4,1 GW
1,9 GW
0,8 GW
13,7 GW 1,1 GW

2,4 GW
2,2 GW
1,4 GW 4,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,6 GW 95.000,0
11,0 60.000,0
5,3 16,4 GW 14,5 GW
0,0 0 GW 30.000,0
1 GW
700,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2030
2030
1%
Nasional
3% 0% 0%
0% 183,7 GW
2,2 GW
0%
9,1 GW 8%
EBT
7%
13,4 GW 32%
6%
55%
7% BATUBARA
55%

0,3 GW 0% 13% BBM


0,0%
8 GW 11,4 GW 12,3 GW
GAS
13%
2,4 GW 8,9 GW 1 GW

0,8
7,1 GW 1,8 GW 1,1 GW
0,4 GW 0,9 GW
0,2 GW

4,4 GW
0
9,5 GW

6,8 GW 0,3 1,9 GW


4,8 GW
2 GW
0,8 GW
13,9 GW 1,3 GW

2,5 GW
2,6 GW
1,4 GW 4,4 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,7 GW 100.000,0
11,0 70.000,0
5,3 17,2 GW 15,8 GW
0,0 0 GW 35.000,0
1,1 GW
800,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2031
2031
1%
Nasional
4% 0% 0% 194 GW
2,4 GW 0%
0%
9,7 GW 8%
EBT
15,8 GW 8% 36%
51%
7% BATUBARA
51%
8%
0,3 GW 13%
0% BBM
8,5 GW 11,7 GW 13,1 GW 0,0%
GAS
13%
2,4 GW 9 GW 1 GW

0,8
7,3 GW 1,9 GW 1,1 GW
0,4 GW 1,2 GW
0,2 GW

4,4 GW
0
9,7 GW

7,1 GW 0,3 2 GW
5,2 GW
2,1 GW
0,8 GW
13,9 GW 1,3 GW

2,7 GW
2,6 GW
2,5 GW 5 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,7 GW 100.000,0
11,0 70.000,0
5,3 17,9 GW 17 GW
0,0 0 GW 35.000,0
1,1 GW
850,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2032
2032
1% 0%
Nasional
4% 0% 203,9 GW
2,4 GW 0%
0%
10,2 GW 9%
EBT
16,2 GW 8% 49% 38%
BATUBARA
8% 49%

8%
0,4 GW
12%
9 GW 12,1 GW 14,1 GW 0%
BBM
0,0% GAS
12%
2,5 GW 9,3 GW 1,1 GW

0,8
7,4 GW 1,9 GW 1,1 GW
0,8 GW 1,5 GW
0,2 GW

4,4 GW
0
9,8 GW

7,6 GW 0,3 2 GW
5,7 GW
2,8 GW
0,8 GW
13,9 GW 1,3 GW

2,8 GW
2,7 GW
3,3 GW 5 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,7 GW 100.000,0
11,0 75.000,0
5,3 19,7 GW 17,9 GW
0,0 0 GW 40.000,0
1,2 GW
900,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2033
2033
1% 0%
Nasional
0% 217,8 GW
3,6 GW 5% 0%
0%
10,3 GW 9%
17,5 GW 45% EBT BATUBARA
12% 44% 45%

8%
0,4 GW 8%
11%
9,2 GW 12,3 GW 14,2 GW
0% BBM GAS
0,0% 11%
3,1 GW 10,6 GW 1,1 GW

0,8
7,9 GW 2,2 GW 1,2 GW
0,9 GW 2,2 GW
0,4 GW

4,4 GW
0
10,6 GW

8,1 GW 0,3 2,1 GW


6,1 GW
3,5 GW
0,8 GW
14 GW 1,3 GW

3 GW
2,9 GW
3,6 GW 5,7 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 12,8 GW 100.000,0
11,0 80.000,0
5,3 21,8 GW 18,7 GW
0,0 0,1 GW 40.000,0
1,2 GW
950,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2034
2034
1% 0%
Nasional
1% 232,7 GW
3,6 GW 6% 0%
0%
11 GW 9% 41% BATUBARA
18,4 GW EBT 41%
14% 48%

9%
0,4 GW
8% 10%
9,6 GW 12,4 GW 14,2 GW
0% BBM GAS
0,0% 10%
4,7 GW 12,1 GW 1,1 GW

0,8
8,5 GW 2,2 GW 1,2 GW
1,9 GW 3,1 GW
0,7 GW

5,2 GW
0,1
10,6 GW

9 GW 0,3 2,2 GW
6,6 GW
3,6 GW
0,8 GW
14,3 GW 1,4 GW

3,4 GW
2,9 GW
4,5 GW 5,7 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 13,1 GW 150.000,0
11,0 85.000,0
5,3 22,6 GW 19,8 GW
0,0 0,6 GW 45.000,0
1,3 GW
1.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2035
2035
1% 0%
Nasional
1%
0%
242,3 GW
3,7 GW
0%
7%
12 GW 9% 40% BATUBARA
19,1 GW EBT
40%

14% 49%

0,4 GW 9%
8% 11%
10 GW 12,8 GW 14,2 GW
0% BBM GAS
0,0% 11%
4,7 GW 12,1 GW 1,1 GW

0,8
8,5 GW 2,2 GW 1,2 GW
1,9 GW 3,1 GW
0,7 GW

5,2 GW
0,1
10,6 GW

10,1 GW 0,3 2,2 GW


6,9 GW
4 GW
0,8 GW
14,6 GW 1,4 GW

3,4 GW
3,2 GW
5,1 GW 6 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 13,3 GW 150.000,0
11,0 90.000,0
5,3 23,6 GW 21,7 GW
0,0 0,9 GW 45.000,0
1,4 GW
1.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2036
2036
1% 0%
Nasional
2% 256,3 GW
4 GW 0%
0%
7% 37%
12,8 GW BATUBARA
10% 37%
19,6 GW
EBT
15% 53%

0,4 GW 9% 10%
8%
10,6 GW 13 GW 14,3 GW
0% BBM GAS
0,0% 10%
8,6 GW 13,4 GW 1,2 GW

0,8
8,6 GW 2,2 GW 1,3 GW
1,9 GW 3,6 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
10,7 GW

10,4 GW 0,3 2,3 GW


7,1 GW
4 GW
0,8 GW
14,6 GW 1,4 GW

4,3 GW
3,4 GW
5,4 GW 6,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 13,9 GW 150.000,0
11,0 95.000,0
5,3 25,6 GW 21,8 GW
0,0 1,2 GW 50.000,0
1,5 GW
1.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2037
2037
1% 0%
Nasional
2% 275,6 GW
4,4 GW 0%
0%
8% 34% BATUBARA
13,7 GW 34%
20,4 GW 10%

18% EBT
56%
0,6 GW 10%
9% 8%
11,1 GW 14,1 GW 14,3 GW
0% BBM GAS
0,0% 10%
8,6 GW 14,9 GW 1,2 GW

0,8
9 GW 2,8 GW 1,7 GW
1,9 GW 11,2 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11 GW

11,8 GW 0,3 2,4 GW


7,3 GW
4 GW
0,8 GW
14,6 GW 1,4 GW

4,4 GW
3,8 GW
6,1 GW 7,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,8 GW 150.000,0
11,0 100.000,0
5,3 25,7 GW 21,8 GW
0,0 1,2 GW 50.000,0
1,6 GW
1.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2038
2038
1% 0%
Nasional
4% 295,2 GW
4,6 GW 0%
0%
14,6 GW 9%
BATUBARA
21,5 GW 10% 32% 32%

EBT
20%
8% 60%
0,7 GW
8% 8%
11,7 GW 14,7 GW 14,4 GW 0% GAS
BBM8%
0,0%

10,7 GW 19,5 GW 1,3 GW

0,8
9,4 GW 2,8 GW 1,9 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11 GW

12,8 GW 0,3 2,6 GW


7,6 GW
4 GW
0,8 GW
17,1 GW 1,4 GW

4,8 GW
4 GW
6,5 GW 8,1 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,8 GW 150.000,0
11,0 100.000,0
5,3 25,6 GW 21,8 GW
0,0 1,2 GW 55.000,0
1,7 GW
1.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2039
2039
1% 0%
Nasional
5%
0%
310,9 GW
4,8 GW
0%
15,4 GW 9%
BATUBARA
29%
24,8 GW 29%
10%

21% EBT
6% 65%
0,7 GW 7% GAS
12% 0% BBM6%
11,7 GW 14,7 GW 14,4 GW 0,0%

12,3 GW 19,6 GW 1,3 GW

0,8
10,9 GW 3,6 GW 2,1 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11,5 GW

14 GW 0,3 2,7 GW
7,7 GW
4 GW
0,8 GW
19,8 GW 1,4 GW

5,1 GW
4,3 GW
7,9 GW 8,6 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,8 GW 150.000,0
11,0 100.000,0
5,3 25,4 GW 21,8 GW
0,0 1,2 GW 60.000,0
1,8 GW
1.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2040
2040
1% 0%
Nasional
5%
0%
330 GW
5 GW
0%
15,6 GW 9% BATUBARA
27% 27%
34,3 GW
10%

8% EBT
21%
0,7 GW 7% 65%
GAS
12% 0% BBM8%
12,3 GW 15,4 GW 14,6 GW 0,0%

15,3 GW 19,6 GW 1,4 GW

0,8
10,9 GW 3,6 GW 2,1 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11,5 GW

14,6 GW 0,3 2,9 GW


7,9 GW
5,5 GW
0,9 GW
19,8 GW 1,3 GW

6,2 GW
4,4 GW
8,8 GW 8,6 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,8 GW 200.000,0
11,0 100.000,0
5,3 25,4 GW 21,8 GW
0,0 1,2 GW 60.000,0
2 GW
1.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2041
2041
1% 0%
Nasional
5%
0%
351,5 GW
5,2 GW
0%
16,8 GW 9% BATUBARA
26% 26%
34,3 GW
12%

9%
EBT
20% 65%
0,8 GW 7% GAS
11% 0% BBM9%
13,1 GW 15,8 GW 14,7 GW 0,0%

18,5 GW 19,6 GW 1,4 GW

0,8
10,9 GW 3,6 GW 2,3 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11,5 GW

16,3 GW 0,3 3,3 GW


8,5 GW
9,9 GW
1,1 GW
19,8 GW 1,4 GW

6,2 GW
4,7 GW
14,7 GW 9,6 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 200.000,0
11,0 150.000,0
5,3 25,4 GW 21,8 GW
0,0 1,2 GW 65.000,0
2,9 GW
1.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2042
2042
1% 0%
Nasional
0%
370,9 GW
5,8 GW
0%
6%
BATUBARA
17,9 GW 9% 24% 24%
34,2 GW
14%
9%
EBT GAS
0,8 GW 19% 8% 67% 9%
0% BBM
11% 0,0%
14,2 GW 17 GW 14,7 GW

22,9 GW 19,6 GW 1,5 GW

0,8
10,9 GW 4 GW 2,5 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11,5 GW

18,1 GW 0,3 3,6 GW


9,2 GW
11,7 GW
1,2 GW
19,8 GW 1,4 GW

6,3 GW
4,9 GW
18,2 GW 10,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 200.000,0
11,0 150.000,0
5,3 25,4 GW 21,7 GW
0,0 1,2 GW 65.000,0
4,2 GW
1.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2043
2043
1% 0%
Nasional
5% 393,1 GW
6,1 GW 0%
0%
BATUBARA
18,9 GW 9% 24% 24%
34,2 GW
15%
9%
EBT GAS
18% 8% 0% 9%
0,8 GW 67%
BBM
10% 0,0%
15,1 GW 17,2 GW 14,8 GW

24,5 GW 19,6 GW 1,6 GW

0,8
10,9 GW 4,6 GW 2,7 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,3 GW
0,1
11,5 GW

18,1 GW 0,3 3,9 GW


9,8 GW
12,5 GW
1,5 GW
19,8 GW 1,6 GW

6,3 GW
5,2 GW
29,5 GW 10,6 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 200.000,0
11,0 150.000,0
5,3 25,4 GW 23,5 GW
0,0 1,2 GW 70.000,0
5,5 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2044
2044
1% 0%
Nasional
0%
409,4 GW
6,2 GW
0%
6% BATUBARA
20 GW 9% 23% 23%
34,2 GW
16%
9%
GAS
EBT
9% 9%
0,9 GW 18% 0% 68% BBM
10% 0,0%
15,7 GW 17,4 GW 14,9 GW

26,6 GW 19,5 GW 1,7 GW

0,8
11,2 GW 5 GW 2,8 GW
1,9 GW 13,8 GW
0,7 GW

5,4 GW
0,1
11,4 GW

18,5 GW 0,3 4,2 GW


10,6 GW
13,4 GW
1,5 GW
19,8 GW 1,7 GW

6,3 GW
5,5 GW
33,3 GW 11 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 200.000,0
11,0 150.000,0
5,3 25,4 GW 26 GW
0,0 1,2 GW 70.000,0
7 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2045
2045
1%
Nasional
1% 431,5 GW
6,2 GW 6% 0%
0%
20,4 GW 11% 17% BATUBARA
17%
34,2 GW
10% GAS
17% 10%
0% BBM
11% 0,0%
EBT
0,9 GW 17% 10% 73%
15,7 GW 17,4 GW 15 GW

28 GW 19,6 GW 1,8 GW

0,8
11,3 GW 5 GW 3 GW
2 GW 15,6 GW
0,7 GW

8,2 GW
0,1
11,4 GW

20,4 GW 0,3 4,5 GW


11,1 GW
13,3 GW
1,7 GW
19,1 GW 1,9 GW

6,3 GW
5,9 GW
35,2 GW 11,7 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 200.000,0
11,0 150.000,0
5,3 29,4 GW 27,4 GW
0,0 1,2 GW 75.000,0
11,6 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2046
2046
1% 2%
Nasional
446,7 GW
6,2 GW 5% 0%
0%
21,4 GW 15% BATUBARA
11% 15%
34,2 GW 9% GAS
0% 9%
BBM
18% 13% 0,0%

EBT
1 GW 9% 76%
17%
15,4 GW 17,4 GW 15,1 GW

29,2 GW 19,6 GW 1,8 GW

0,8
11,3 GW 5,7 GW 3,2 GW
2 GW 16,3 GW
0,7 GW

8,4 GW
0,1
11,4 GW

21,4 GW 0,3 4,7 GW


11,2 GW
13,9 GW
2 GW
19,1 GW 2,2 GW

6,3 GW
6,4 GW
38,5 GW 12,5 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 200.000,0
11,0 150.000,0
5,3 29,1 GW 27,4 GW
0,0 2,3 GW 75.000,0
14,6 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2047
2047
1% 3%
Nasional
462,6 GW
6,7 GW 5% 0%
0%
22,3 GW 13% BATUBARA
11% 13% GAS
34,2 GW 9% 9%
0% BBM
0,0%
19% 14%

1,1 GW EBT
9% 78%
16%
15,4 GW 17,3 GW 15,1 GW

29,8 GW 19,6 GW 1,8 GW

0,8
11,3 GW 5,9 GW 3,3 GW
2,1 GW 18,9 GW
0,8 GW

8,6 GW
0,1
11,4 GW

23,4 GW 0,3 4,9 GW


11,3 GW
13,9 GW
2,3 GW
19,1 GW 2,7 GW

6,3 GW
6,8 GW
42,5 GW 13,4 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 14,7 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 28,6 GW 27,4 GW
0,0 2,5 GW 80.000,0
17,2 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2048
2048
1% 3%
Nasional
478,5 GW
6,7 GW 0%
0%
5% 13% BATUBARA
22,3 GW GAS
12% 13%
34,2 GW 9% 9%
0% BBM
0,0%
20% 14%

1,1 GW EBT
9% 78%
16%
15,1 GW 17,2 GW 15,2 GW

30 GW 19,5 GW 1,9 GW

0,8
11,3 GW 6 GW 3,4 GW
2,3 GW 21,5 GW
1 GW

8,6 GW
0,1
11,4 GW

25,7 GW 0,3 5,1 GW


10,9 GW
13,5 GW
3,1 GW
18,5 GW 3 GW

5,9 GW
9,3 GW
42,5 GW 14,3 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 16,2 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 28,6 GW 26,5 GW
0,0 4,6 GW 80.000,0
21,9 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2049
2049
Nasional
1% 4% 499 GW
7,4 GW 0%
5% 0%
24,6 GW 11% BATUBARA
11% GAS
34,2 GW 12% 9%
0% 9% BBM
0,0%
14%
21%
1,1 GW 9% EBT
15% 80%
15,1 GW 17,2 GW 15,2 GW

30,3 GW 19,5 GW 1,9 GW

0,8
11,3 GW 6 GW 3,5 GW
2,8 GW 24 GW
1,1 GW

8,6 GW
0,1
11,5 GW

28,4 GW 0,3 5,4 GW


11,3 GW
13,5 GW
3,5 GW
18,5 GW 3,7 GW

5,9 GW
9,3 GW
43,6 GW 15 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 18 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 28 GW 26,5 GW
0,0 5 GW 80.000,0
27,7 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2050
2050
Nasional
1% 4% 522,6 GW
7,7 GW 0%
5% 0%
25,7 GW 10% BATUBARA
GAS
12% 8% 10%
8% BBM
34,2 GW 0% 0,0%

14%
22%
1,2 GW 9% EBT
15% 81%
15,3 GW 17,8 GW 15,5 GW

31,7 GW 19,3 GW 2 GW

0,8
11,3 GW 6 GW 3,5 GW
3,1 GW 25,7 GW
1,2 GW

9,5 GW
0,1
11,5 GW

30,6 GW 0,3 5,9 GW


12 GW
13,6 GW
3,5 GW
18,5 GW 4 GW

5,8 GW
9,8 GW
48,3 GW 15,6 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 18 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 28 GW 26,6 GW
0,0 5,4 GW 80.000,0
35 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2051
2051
Nasional
1% 547,2 GW
7,9 GW
0% 0% GAS BBM
5% 0% 8%
5% BATUBARA 8%
26,4 GW 8% 0,0%
5%
34,2 GW
11% 13%

9%
24%
1,2 GW 15% EBT
87%
17,9 GW 17,9 GW 19,3 GW

32,7 GW 19,2 GW 2,1 GW

0,8
11,3 GW 5,9 GW 3,6 GW
3,1 GW 27,2 GW
1,2 GW

9,5 GW
0,1
11,3 GW

33 GW 0,3 6,2 GW
12,3 GW
14,3 GW
4 GW
18,5 GW 4,3 GW

5,8 GW
10,5 GW
51,9 GW 16,2 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 18 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 27,9 GW 26,5 GW
0,0 5,7 GW 85.000,0
40,1 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2052
2052
Nasional
1% 568,4 GW
7,9 GW
0% 0% GAS BBM
5% 0% 9%
5% 8% BATUBARA 8% 0,0%
27,2 GW 5%
34,2 GW 13%
11%

9%
1,2 GW 25% EBT
14%
88%
18,1 GW 17,9 GW 19,3 GW

35,1 GW 19 GW 2,1 GW

0,8
11,6 GW 5,9 GW 3,6 GW
3,2 GW 27,7 GW
1,2 GW

10,5 GW
0,1
11,4 GW

34,5 GW 0,3 6,4 GW


12,4 GW
14,3 GW
4 GW
18,5 GW 4,7 GW

5,8 GW
10,7 GW
56,4 GW 16,8 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 18 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 29,1 GW 26,6 GW
0,0 6 GW 85.000,0
47 GW
2.000,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2053
2053
Nasional
1% 588,9 GW
8,3 GW BBM
0% 0% BATUBARA
5% 0% 9%
4% 8% 4% GAS 0,0%
28,6 GW 8%
34,2 GW 13%
11%
9%

1,3 GW 26% 14% EBT


88%
18,8 GW 18 GW 19,2 GW

36,9 GW 18,6 GW 2,2 GW

0,8
11,8 GW 5,9 GW 3,8 GW
3,2 GW 28,6 GW
1,2 GW

11,8 GW
0,1
11,6 GW

34,5 GW 0,3 6,8 GW


12,8 GW
15 GW
4,1 GW
18,5 GW 5,2 GW

5,9 GW
11,1 GW
60 GW 17 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 18 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 32 GW 26,5 GW
0,0 6,5 GW 85.000,0
51,2 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2054
2054
Nasional
0% 604,7 GW
9,2 GW 0% BBM
0% BATUBARA
0,0%
6% 1% 9%
4% 6% 4% GAS
28,5 GW 6%
34,1 GW 13%
11%
9%

1,3 GW 27% 14% EBT


89%
22,8 GW 18 GW 19,2 GW

39,5 GW 17,4 GW 2,3 GW

0,8
12,4 GW 6 GW 4 GW
3,3 GW 29,6 GW
1,2 GW

11,8 GW
0,1
9,4 GW

34,5 GW 0,3 7,2 GW


13,5 GW
15,8 GW
4,1 GW
18,5 GW 5,6 GW

5,9 GW
11,4 GW
60 GW 17 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
16,0 18 GW 250.000,0
11,0 150.000,0
5,3 34,7 GW 26,5 GW
0,0 6,7 GW 85.000,0
55,6 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2055
2055
Nasional
0% 0% 628 GW BBM
9,4 GW 0,0%
BATUBARA
GAS
0%
12% 12% 0%
0%
29,4 GW 0%
34,1 GW 0% 5% 8%
7%
11% 14%

1,3 GW EBT
29% 100%
27,6 GW 18 GW 19 GW

43,8 GW 18 GW 2,3 GW

0,8
7,4 GW 6,9 GW 4,2 GW
3,3 GW 29,7 GW
1,1 GW

11,8 GW
0,1
10,1 GW

36,6 GW 0,3 7,4 GW


13,5 GW
16,5 GW
4,1 GW
18,4 GW 6 GW

5,8 GW
11,7 GW
60 GW 17,4 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
19,0 18 GW 250.000,0
13,0 150.000,0
6,3 34,7 GW 25,9 GW
0,0 7,3 GW 85.000,0
67,1 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2056
2056
Nasional
0% 0% 652,6 GW BBM
9,4 GW 0,0%
BATUBARA
GAS
0% 0%
12% 12% 0%
0%
31,5 GW
34,3 GW 0% 5% 8%
7%
11% 13%

1,4 GW EBT
30% 100%
32 GW 18 GW 19 GW

46,8 GW 18,8 GW 2,3 GW

0,8
7,7 GW 8,6 GW 4,4 GW
3,3 GW 30,4 GW
1,1 GW

12 GW
0,1
10,4 GW

40,3 GW 0,3 7,7 GW


14,1 GW
16,7 GW
4,2 GW
18,4 GW 6,3 GW

5,8 GW
11,8 GW
61,3 GW 18,1 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
19,0 18 GW 250.000,0
13,0 150.000,0
6,3 34,7 GW 25,8 GW
0,0 7,7 GW 90.000,0
70,3 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2057
2057
Nasional
0% 0% 670,9 GW BBM
9,4 GW 0,0%
BATUBARA
GAS
0% 0%
12% 12% 0%
0%
32,7 GW
0% 5% 8%
34,5 GW
7%
11% 13%

1,5 GW EBT
31% 100%
33,9 GW 18 GW 19 GW

48,3 GW 19,3 GW 2,3 GW

0,8
8 GW 8,6 GW 4,5 GW
3,4 GW 30,8 GW
1,1 GW

12,8 GW
0,1
10,5 GW

42,3 GW 0,3 8 GW
14,3 GW
16,9 GW
4,3 GW
18,4 GW 6,7 GW

5,8 GW
12 GW
62,4 GW 18,5 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
20,0 18 GW 250.000,0
13,0 150.000,0
6,7 34,7 GW 25,6 GW
0,0 7,9 GW 90.000,0
76,6 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2058
2058
Nasional
0% 0% 684,1 GW BBM
9,4 GW 0,0%
BATUBARA
GAS
0% 0%
12% 12% 0%
0%
33,5 GW
0% 5% 8%
34,3 GW
7%
11% 13%

1,5 GW EBT
32% 100%
35,1 GW 18 GW 19 GW

49,8 GW 19,5 GW 2,2 GW

0,8
8,3 GW 8,6 GW 4,6 GW
3,4 GW 31,3 GW
1,1 GW

13,4 GW
0,1
10,6 GW

43,5 GW 0,3 8,4 GW


14,5 GW
17,2 GW
4,3 GW
18,4 GW 7,1 GW

5,8 GW
12,3 GW
63,1 GW 18,8 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
20,0 18 GW 250.000,0
13,0 200.000,0
6,7 34,7 GW 25,6 GW
0,0 8,1 GW 90.000,0
80,7 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2059
2059
Nasional
0% 0% 698,6 GW BBM
9,5 GW 0,0%
BATUBARA
GAS
0% 0%
12% 12% 0%
0%
34,4 GW
0% 5% 8%
34,6 GW
7%
11% 13%

1,6 GW EBT
32% 100%
36,5 GW 18 GW 19 GW

51,4 GW 19,7 GW 2,3 GW

0,8
8,5 GW 8,7 GW 4,7 GW
3,4 GW 31,5 GW
1,1 GW

13,9 GW
0,1
10,6 GW

44,3 GW 0,3 8,9 GW


14,8 GW
17,5 GW
4,4 GW
18,4 GW 7,5 GW

5,8 GW
12,4 GW
64,2 GW 19,1 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
21,0 18 GW 250.000,0
14,0 200.000,0
7,0 35,5 GW 25,6 GW
0,0 8,3 GW 90.000,0
84,4 GW
2.500,0
Proyeksi Kapasitas, Bauran Energi dan Transmisi Antar Provinsi Tahun 2060
2060
Nasional
0% 0% 721,5 GW BBM
9,7 GW 0,0%
BATUBARA
GAS
0% 0%
11% 12% 0%
0%
35,9 GW 0% 5%
34,6 GW 8%
7%
13%
11%

1,6 GW EBT
33% 100%
37,9 GW 19 GW 19 GW

53,5 GW 19,7 GW 2,5 GW

0,8
8,6 GW 9,6 GW 4,7 GW
3,6 GW 31,5 GW
1,1 GW

13,9 GW
0,1
10,6 GW

44,3 GW 0,3 9,3 GW


15,2 GW
17,5 GW
4,4 GW
18,4 GW 7,8 GW

5,8 GW
13,2 GW
64,7 GW 19,5 GW Kebutuhan Tenaga Listrik (TWh)
Kapasitas Minimum Transmisi (GW)
21,0 19 GW 250.000,0
14,0 200.000,0
7,0 37,1 GW 25,7 GW
0,0 8,5 GW 90.000,0
94,1 GW
2.500,0

Anda mungkin juga menyukai