Michelle/17, Nadine/18, Satria/28. Pada kesempatan kali ini kami akan mempresentasikan sebuah topik yaitu
“Proklamasi dan Masa Awal Kemerdekaan Indonesia. Pada presentasi kali ini kami akan menjelaskan mengenai
persiapan kemerdekaan Indonesia, proklamasi Indonesia, terbentuknya NKRI, Perjuangan Mempertahankan
Kemerdkaan, Perkembangan Politik Indonesia pada Masa Kemerdkaan, Perkembangan Ekonomi Indonesia pada
Masa Kemerdekaaan
Mr. Mohammad Yamin, pada 29 Mei 1945, menyampaikan gagasan dasar negara yang terdiri dari:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Mr. Soepomo, pada 31 Juni 1945, mengusulkan gagasan dasar negara sebagai berikut:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir dan batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat
Ir. Soekarno, pada 1 Juni 1945, menyampaikan gagasan dasar negara yang meliputi:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Dengan demikian, sidang pertama BPUPKI memberikan kontribusi penting dalam perumusan dasar negara
Indonesia merdeka melalui paparan gagasan tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu.
Panitia Sembilan
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan gagasan mengenai lima sila dasar negara Republik
Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancasila. Peristiwa ini diabadikan dengan penetapan
tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila.
Meskipun demikian, hingga akhir masa sidang pertama BPUPKI, belum tercapai kesepakatan rumusan dasar
negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat. Untuk mengatasi impasse ini, dibentuklah suatu panitia
kecil yang terdiri dari Sembilan orang dan dipimpin oleh Ir. Soekarno. Panitia ini dikenal sebagai Panitia
Sembilan, yang bertugas mengolah usulan dari anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.
Pertemuan Panitia Sembilan berhasil menghasilkan rumusan yang dikenal sebagai Jakarta Charter atau
Piagam Jakarta. Rumusan ini disetujui secara bulat dan ditandatangani pada 22 Juni 1945, menandai langkah
penting dalam perjalanan perumusan dasar negara Indonesia merdeka.
Pembentukan PPKI
Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan setelah dianggap telah menyelesaikan tugasnya, yaitu menyusun
rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia. Sebagai penggantinya, dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ir. Soekarno diangkat sebagai Ketua PPKI, sedangkan Drs. Mohammad Hatta
menjadi wakil ketua, dan Mr. Achmad Subardjo diangkat sebagai penasihat.
Awalnya, PPKI terdiri dari 21 anggota, kemudian ditambah 6 orang sehingga total anggotanya menjadi 27
orang. Tugas utama PPKI adalah mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan keperluan pergantian
kekuasaan dari pihak Jepang kepada bangsa Indonesia.
Secara simbolik, pada tanggal 9 Agustus 1945, Jendral Terauchi melantik PPKI dengan memanggil tiga tokoh
nasional, yakni Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Dr. Radjiman Wiedyodiningrat ke Saigon/Dalat,
Vietnam. Mereka dipanggil untuk menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia. Informasi tersebut
mencakup pelaksanaan kemerdekaan yang dapat dilakukan dengan segera dan wilayah Indonesia mencakup
seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda.
Peristiwa Rengasdengklok
Teks di atas menggambarkan peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, yang merupakan
bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini dipicu oleh kabar menyerahnya Jepang
kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Beberapa tokoh pemuda, terutama Sutan Syahrir, mengetahui
berita ini dan segera bertemu dengan Mohammad Hatta.
Sutan Syahrir mengusulkan agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa melalui
PPKI, namun usulannya tidak disetujui. Soekarno-Hatta berpendapat bahwa pelaksanaan proklamasi harus
mengikuti prosedur maklumat Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945. Mereka khawatir terhadap kekuatan
militer Jepang di Indonesia dan ingin menjaga stabilitas.
Setelah perbedaan sikap ini, para pemuda kembali berunding pada malam 16 Agustus 1945. Kesepakatan
dicapai untuk membawa Soekarno-Hatta ke luar kota, dan pada pukul 04.30, mereka tiba di Rengasdengklok,
Karawang. Namun, di sana, mereka disambut baik oleh pasukan Peta pimpinan Syudanco Subeno.
Meskipun ada niat untuk mendesak Soekarno-Hatta, tetapi keduanya tetap pada pendiriannya. Ahmad
Soebardjo datang pada pukul 17.30 dan memberitahu kebenaran menyerahnya Jepang kepada Sekutu.
Mendengar berita ini, Soekarno-Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta. Dengan jaminan
dari Ahmad Soebardjo, Syudanco Subeno melepaskan Soekarno-Hatta, dan proklamasi kemerdekaan RI
akhirnya dilaksanakan esok hari selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB.
Pukul 04.00 WIB, Soekarno membacakan teks proklamasi yang disetujui oleh semua yang hadir. Perdebatan
muncul mengenai siapa yang harus menandatangani teks proklamasi. Hatta mengusulkan tandatangan oleh
semua yang hadir, tetapi Sukarni mengusulkan hanya Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia yang
menandatanganinya.
Usulan Sukarni diterima, dan Sayuti Melik diminta mengetik naskah proklamasi dengan beberapa perubahan.
Pembacaan proklamasi diputuskan dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Teks proklamasi
diubah, ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta, dan ditetapkan tanggal pembacaan.
2. Proklamasi Kemerdekaan
Setelah melalui perjuangan yang begitu panjang bangsa Indonesia akhirnya memproklamasikan
kemerdekaannya. Adapun rangakian proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai berikut:
Proklamasi Kemerdekaan
Pada pagi 17 Agustus 1945, persiapan upacara pembacaan proklamasi kemerdekaan dilakukan di Jalan
Pegangsaan Timur No. 56. Rumah Soekarno sudah dipadati oleh massa yang ingin menyaksikan peristiwa
bersejarah ini. Dr. Muwardi memerintahkan Latief Hendraningrat untuk menjaga keamanan, dibantu oleh
Arifi n Abdurrahman untuk mengantisipasi gangguan tentara Jepang.
Pukul 10.00 WIB, upacara dimulai dengan pidato dan pembacaan proklamasi. Bendera Merah Putih
dikibarkan oleh Latief Hendraningrat dan S. Suhud. Rakyat menyanyikan Indonesia Raya secara serempak.
Upacara ditutup oleh sambutan Wali Kota Jakarta, Suwiryo, dan dr. Muwardi. Peristiwa ini, meskipun
sederhana, membawa pengaruh luar biasa bagi bangsa Indonesia, menjadi tonggak berdirinya negara
Republik Indonesia yang berdaulat.
Tanggapan Masyarakat
Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia memunculkan berbagai tanggapan dari
rakyat:
Rapat raksasa di Lapangan Ikada dihadiri oleh rakyat, membuktikan kewibawaan pemerintah baru.
Tanggapan positif dari berbagai daerah dengan pekik merdeka, doa syukur, dan semangat kemerdekaan
membakar keberanian rakyat.
Setelah proklamasi dinyatakan, terbentuklah suatu negara yaitu negara Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan,
kelengkapan pemerintahan segera dibentuk untuk memastikan berlangsungnya pembangunan yang baik. Para
pemimpin membentuk lembaga pemerintahan dan kelengkapan negara sehari setelah proklamasi. PPKI mengadakan
rapat-rapat yang menghasilkan keputusan-keputusan penting sebagai berikut:
Selain itu, diangkat pula empat pejabat negara yang mengepalai beberapa lembaga negara, antara lain,
Kusumahatmaja (Mahkamah Agung), Gatot Tarunamiharja (Jaksa Agung), A.G. Pringgodigdo (Sekretaris
Negara), Sukarjo Wiryopranoto (Juru Bicara Negara)
e. Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP):
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk KNIP untuk menggantikan PPKI. Soekarno dan Hatta
mengangkat 135 anggota KNIP yang mencerminkan masyarakat Indonesia. Anggota PPKI kecuali Soekarno
dan Hatta menjadi anggota KNIP yang dilantik pada 29 Agustus 1945. KNIP memiliki tugas pengawasan dan
berhak ikut serta dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
f. Membentuk Kekuatan Pertahanan dan Keamanan:
Pada tanggal 23 Agustus, Presiden Soekarno mengesahkan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai badan
kepolisian yang menjaga keamanan. TKR (Tentara Keamanan Rakyat) didirikan pada tanggal 5 Oktober,
dengan Supriyadi sebagai pimpinan. BKR terdiri sebagian besar dari mantan anggota PETA, KNIL, dan Heiho.
Meskipun telah menyatakan diri sebagai negara yang merdeka Indonesia masih mengalami gangguan dari negara –
negara lain. Bangsa Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya. Ada beberapa insiden dan peperangan yang
terjadi seperti:
I. Perjuangan Fisik
1. Insiden Hotel Yamato
Insiden Hotel Yamato terjadi pada tanggal 19 September 1945 di Hotel Yamato, Surabaya. Kejadian ini
dimulai ketika sejumlah orang Belanda mengibarkan bendera Belanda (merah-putih-biru) di tiang bendera
Hotel Yamato. Tindakan ini memicu kemarahan rakyat Surabaya, yang segera mendatangi hotel tersebut
dengan niat untuk menurunkan bendera tersebut.
Dengan perjuangan, akhirnya bendera Belanda berhasil diturunkan, dan bagian bendera yang berwarna biru
dirobek. Selanjutnya, bendera tersebut dikibarkan kembali sebagai bendera Indonesia (merah-putih). Proses
pengibaran bendera Merah Putih disertai dengan pekikan Merdeka yang bergema berulang kali. Insiden ini
menjadi simbol semangat perjuangan rakyat Surabaya dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
2. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya, 27 Oktober - 20 November 1945, adalah konflik antara tentara Indonesia dan Sekutu,
mencapai puncak pada 10 November. Awalnya, kedatangan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby dan Brigade
49/Divisi India direspon baik, tetapi ketika NICA ikut serta, rakyat memberontak.
Bentrokan pada 30 Oktober menewaskan Mallaby, memicu penambahan pasukan Sekutu di bawah Mayor
Jenderal R.C. Mansergh. Ultimatum Sekutu pada 9 November diabaikan, dan pada 10 November, serangan
besar diluncurkan dengan 30.000 pasukan, pesawat, tank, dan kapal perang.
Meskipun Surabaya jatuh, perlawanan dipimpin oleh pahlawan seperti Bung Tomo dan tokoh agama terus
berlanjut berhari-hari. Pertempuran Surabaya menjadi simbol perlawanan nasional, dan 10 November
diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Antara tanggal 15-20 Oktober 1945, pertempuran sengit terjadi antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan
pemuda melawan tentara Jepang yang lebih bersenjata. Pertempuran berakhir setelah perundingan antara
pihak Indonesia yang diwakili oleh Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono dengan pihak Jepang yang diwakili
oleh Letnan Kolonel Nomura. Bung Tomo, pemimpin BPRI pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,
juga dikenal sebagai orator yang membangkitkan semangat perlawanan. Ia ditangkap pada 1978 dan
meninggal pada 7 Oktober 1981.
4. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa adalah perlawanan rakyat Indonesia terhadap tentara Sekutu di Ambarawa, Jawa
Tengah. Brigadir Jenderal Bethel memimpin tentara Sekutu yang tiba di Semarang pada 20 Oktober 1945
untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengurus tawanan perang.
Awalnya, kedatangan Sekutu disambut baik, namun tanpa sepengetahuan Indonesia, tentara Sekutu juga
melibatkan tentara NICA. Ketika membebaskan tawanan perang Belanda di Magelang dan Ambarawa,
mereka malah bersenjata, memicu kemarahan Indonesia dan pertempuran terbuka.
Pada saat tentara Sekutu ingin menduduki dua desa di sekitar Ambarawa, pasukan Indonesia di bawah Letkol
Isdiman berusaha membebaskan desa tersebut. Letkol Isdiman gugur, dan Panglima Divisi Banyumas, Kolonel
Sudirman, mengambil alih pimpinan. Pada 12 Desember 1945, pasukan Indonesia menggunakan taktik
pengepungan dan melancarkan serangan terhadap tentara Sekutu di Ambarawa.
Setelah beberapa hari pertempuran sengit, pada 15 Desember 1945, pasukan Indonesia berhasil
mengalahkan Sekutu dan menguasai kota Ambarawa. Kemenangan ini dirayakan dengan mendirikan
Monumen Palagan di Ambarawa.
Pasukan Sekutu di bawah Brigadir Mac Donald tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945 dengan tujuan
melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Hubungan buruk dengan pihak
Republik Indonesia memicu berbagai bentrokan. Pada 23 Maret 1946, pertempuran meletus antara rakyat
Bandung dan Sekutu, terutama di Desa Dayeuhkolot.
Dalam pertempuran ini, Muhammad Toha dan Ramdan berusaha meledakkan gudang amunisi Sekutu dan
gugur setelah berhasil. Keadaan kota menjadi tidak aman, dan atas ultimatum Sekutu, pemerintah Republik
Indonesia menginstruksikan evakuasi kota. Sebelum meninggalkan Bandung, TKR dan rakyat membakar kota,
yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api.
Pertempuran dimulai pada 13 Oktober 1945 ketika para pemuda menyerang gedung-gedung pemerintahan
yang dikuasai oleh Sekutu. Konflik merambat ke kota-kota lain seperti Pematang Siantar dan Brastagi. Akibat
seringnya insiden, pada 18 Oktober 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum melarang rakyat membawa
senjata dan menuntut penyerahan senjata.
Pada 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan bertuliskan "Fixed Boundaries Medan Areas" untuk
menunjukkan wilayah kekuasaan mereka. Istilah "Medan Area" menjadi terkenal. Sekutu dan NICA mengusir
unsur-unsur Republik Indonesia, tetapi pemuda melakukan perlawanan, membuat kota tidak aman.
Pada 10 Desember 1945, Sekutu melancarkan operasi militer besar-besaran dengan pesawat tempur. Para
pejuang Indonesia membalas serangan, menciptakan situasi konflik yang berlanjut.
7. Pertempuran Puput Margarana
Pertempuran Puputan Margarana terjadi pada 20 November 1946 antara Indonesia dan Belanda di Bali.
Sekitar 2000 pasukan Belanda datang ke Bali dengan tujuan membentuk Negara Indonesia Timur, dan
mereka mencoba membujuk Letkol I Gusti Ngurah Rai untuk bergabung, yang ditolaknya.
Pada 18 November 1946, I Gusti Ngurah Rai menyerang posisi Belanda di Tabanan, berhasil melumpuhkan
satu detasemen polisi. Belanda merespons dengan memobilisasi seluruh pasukan di Bali dan Lombok untuk
menghadapi Ngurah Rai.
Dalam pertempuran ini, pasukan Ngurah Rai melakukan "puputan" atau perang habis-habisan, bertekad
untuk tidak mundur sampai titik darah penghabisan. Pertempuran berakhir dengan gugurnya Letkol I Gusti
Ngurah Rai dan 96 anggota pasukannya. Di pihak Belanda, diperkirakan sekitar 400 tentara tewas.
Sebagai penghormatan, Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa didirikan di bekas medan pertempuran untuk
mengenang peristiwa tragis ini.
Serangan ini dipimpin oleh pasukan TNI dari Brigade 10/Wehkreise III di bawah Letnan Kolonel Soeharto,
dengan persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pasukan TNI mendekati dan menyusup ke dalam kota
pada malam sebelum serangan. Pagi tanggal 1 Maret 1949, saat jam malam berakhir, serangan umum
dilancarkan dari berbagai penjuru kota, mengambil pasukan Belanda dengan kejutan, sehingga pasukan TNI
berhasil memukul mundur pasukan Belanda dari Yogyakarta dalam waktu singkat.
Serangan ini berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam, mematahkan propaganda Belanda yang
menyatakan Republik Indonesia telah tidak ada. Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 mendapat
dukungan internasional dan mengubah sikap pemerintah Amerika Serikat terhadap Belanda. Amerika Serikat
yang awalnya mendukung Belanda, mulai menekan Belanda untuk berunding dengan pihak Republik
Indonesia. Dengan desakan internasional dan tekanan dari gerilyawan Indonesia, Belanda akhirnya bersedia
melakukan perundingan dengan Republik Indonesia.
Delegasi:
Indonesia: Sutan Syahrir (Ketua Delegasi)
Belanda: Wim Schermerhorn (Ketua Delegasi)
Inggris: Lord Killearn (Mediator perundingan)
Kesepakatan
Belanda mengakui de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Sumatra, Jawa, dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah Republik Indonesia paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Republik Indonesia dan Belanda sepakat membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), di
mana salah satu negara bagian adalah Republik Indonesia.
Dalam bentuk RIS, Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
Dampak :
Republik Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari beberapa negara, antara lain Inggris,
Amerika Serikat, Mesir, Lebanon, Suriah, Afghanistan, Myanmar, Yaman, Saudi Arabia, dan Uni Soviet.
Muncul pihak yang mendukung dan menolak hasil perundingan di kalangan rakyat Indonesia.
Sebagian rakyat Indonesia menganggap hasil perundingan merugikan Indonesia.
2. Perundingan Renville
Agresi Militer Belanda I mendapat reaksi keras dari dunia internasional, terutama dalam forum PBB. Dalam
upaya penyelesaian damai, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) dengan perwakilan
dari Australia (mewakili Indonesia) dipegang oleh Richard Kirby, Belgia (mewakili Belanda) dipegang oleh Paul
van Zeeland, dan Amerika Serikat (mewakili Indonesia dan Belanda) dipegang oleh Frank Porter Graham.
KTN kemudian mengusulkan perundingan yang diselenggarakan di atas kapal Angkatan Laut Amerika Serikat
yang bernama USS Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan nama
Perundingan Renville.
Delegasi
Indonesia: Amir Syarifuddin Harahap (Ketua Delegasi)
Belanda: Abdul Kadir Widjojoatmodjo (Ketua Delegasi)
KTN: Frank Porter Graham, Richard Kirby (Mediator perundingan)
Penghentian tembak-menembak.
Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik
Indonesia.
Disetujuinya garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan
melalui masa peralihan terlebih dahulu.
Dampak
Wilayah Indonesia menjadi sempit dan dikelilingi oleh wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda
Pada 22 Desember 1948, PBB mengadakan sidang untuk mengatasi agresi militer Belanda terhadap
Indonesia. Resolusi dikeluarkan, mendesak penghentian permusuhan dan pembebasan pemimpin Indonesia
yang ditahan. KTN kemudian diubah menjadi UNCI, dipimpin oleh Merle Cochran. UNCI memperluas
wewenangnya untuk mengawasi implementasi resolusi.
Inisiatif UNCI memunculkan perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda, yang berlangsung pada 14
April 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta, dikenal sebagai Perundingan Roem-Royen atau Renville.
Pada perundingan Renville, delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sementara Belanda diwakili
oleh Dr. J. H. van Royen. UNCI, dipimpin oleh Merle Cochran, bertindak sebagai mediator.
Kesepakatan :
Pihak Indonesia menyatakan kesiapannya untuk:
1. Menghentikan perang gerilya.
2. Bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian, menjaga ketertiban, dan keamanan.
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
4. Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Pihak Belanda menyatakan kesiapannya untuk:
1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
2. Menjamin penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3. Tidak mendirikan negara di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948.
4. Berusaha agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke
Yogyakarta.
Kesepakatan:
1. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
3. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan
RIS.
4. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh
Belanda.
5. RIS harus membayar semua utang Belanda sejak tahun 1942.
6. Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia Serikat.
7. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan dapat dimulai.
8. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia.
9. Negara Indonesia berubah bentuk menjadi negara serikat yang tidak sesuai dengan cita-cita
Proklamasi
Pada 27 Desember 1949, kesepakatan Konferensi Meja Bundar diimplementasikan dengan penyerahan
kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Ratu Juliana dari Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
kepala delegasi RIS, Drs. Moh. Hatta di Belanda. Sementara di Jakarta, A.H.J. Lovink menyerahkan
kedaulatan kepada wakil pemerintah RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Penyerahan ini menandai
berakhirnya masa penjajahan Belanda secara formal di Indonesia.
5. Perkembangan Politik Indonesia pada Masa Kemerdekaan
1. Republik Indonesia Serikat
Setelah Konferensi Meja Bundar, Indonesia mengubah bentuk negara menjadi Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. RIS berbentuk federasi, mencakup negara bagian seperti
Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dll. Sistem pemerintahan dipimpin
oleh presiden dan menteri di bawah perdana menteri. Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS,
sedangkan Drs. Moh. Hatta menjadi Perdana Menteri. RIS memiliki konstitusi baru dan terbentuk
sesuai dengan wilayah geografis yang mencakup seluruh Indonesia.
2. Kembali Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Setelah menyadari bahwa bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak sesuai dengan aspirasi
kesatuan dan persatuan bangsa, muncul gerakan untuk mengembalikan Indonesia menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demonstrasi dan tekanan masyarakat dari negara-negara bagian
mendorong hampir seluruh wilayah untuk bergabung kembali dengan Republik Indonesia, kecuali
Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur.
Pada April 1950, setelah pendekatan dan ajakan, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur
menyatakan keinginan untuk bergabung kembali dengan NKRI. Kedua negara bagian tersebut
memberikan mandat kepada pemerintah RIS untuk mengadakan pembicaraan dengan pemerintah RI.
Pada 12 Mei 1950, pemerintah RIS dan pemerintah RI menandatangani sebuah piagam persetujuan
untuk segera membentuk negara kesatuan.
Pada 19 Mei 1950, piagam persetujuan tersebut ditandatangani, dan RIS dibubarkan. Republik
Indonesia kembali terbentuk pada 17 Agustus 1950. Kabinet RIS yang dipimpin oleh Hatta mengakhiri
masa tugasnya bersamaan dengan perubahan ini.
Gangguan Keamanan :
Selama masa-masa ini Indonesia mengalami gangguan keamanan dari dalam negeri seperti:
4. Diplomasi ke India:
Pada tahun 1946, Indonesia membantu India dengan pengiriman bantuan beras
Sebagai imbalannya, India berjanji mengirimkan bahan pakaian yang dibutuhkan oleh rakyat
Indonesia.
Pengiriman bantuan bersifat politis dan ekonomis, memperkuat solidaritas antar negara Asia.
Perkembangan ekonomi Indonesia pada masa kemerdekaan diwarnai oleh sejumlah masalah, antara lain:
1. Inflasi Tinggi:
Inflasi yang tinggi terjadi beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Penyebabnya adalah peredaran mata uang Jepang yang tidak terkendali.
Pemerintah menghadapi kesulitan karena belum memiliki mata uang nasional, dan kas
negara kosong.
4. Diplomasi ke India:
Indonesia membantu India dengan pengiriman beras sebagai imbalan bantuan pakaian.
Selain aspek ekonomis, pengiriman ini juga bersifat politis karena India aktif mendukung
solidaritas negara-negara Asia.
6. Penembusan Blokade:
Angkatan laut Republik Indonesia, dengan dukungan pemerintah daerah penghasil barang
ekspor, berhasil menembus blokade.
Upaya ini memungkinkan Indonesia menjual barang-barang ekspor dan memperoleh barang-
barang impor yang dibutuhkan.