Anda di halaman 1dari 199

MATERI PENDIDIKAN PRA DAN PASCA NIKAH

DALAM KITAB QURRATUL UYUN DAN


RELEVANSINYA DENGAN ISU-ISU PERNIKAHAN
KONTEMPORER

TESIS

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi


Salah Satu Syarat Meraih Gelar Magister Pendidikan (M. Pd)

Oleh :
Muhammad Ridho Alfansuri
NIM : 21210110000023

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2023 M
ii
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FORM (FR)
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Muhammad Ridho Alfansuri
Tempat/Tgl.Lahir : Cilegon, 08 Juni 1997
NIM : 21210110000023
Prodi : Magister Pendidikan Agama Islam
Judul Tesis : Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam Kitab
Quratul Uyun dan Relevansinya dengan isu-isu
pernikahan Kontemporer.

Dosen Pembimbing I : Dr. Sapiudin Shidiq, M.Ag.


Dosen Pembimbing II : Dr. Romlah Abu Bakar Askar, M.A.

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, 07 Mei 2023

M. Ridho Alfansuri
NIM. 21210110000026

iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرمحن الرحيم‬


‫احلمد هلل رب العاملني والصالة والسالم على أشرف األنبياء واملرسلني وعلى آله وصحبه‬
)‫ (أما بعد‬.‫أمجعني‬
Segala puji bagi Allah Swt. tuhan semesta alam yang telah
memberikan kenikmatan jasmani maupun rohani, serta rahmat dan hidayah-
nya, dan kemudahan serta kesabaran dalam menghadapi berbagai rintangan
dan kesulitan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah ini
(Tesis) berkat pertolongan-nya. Sholawat dan salam saya sampaikan dan saya
haturkan kepada manusia yang paling mulia kekasih Allah Swt. yakni
baginda Nabi besar Muhammad Saw. Serta do’a untuk keluarganya,
sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti do’a dan rasa terima kasih
kepada kedua orang tua saya, bapak dan ibu saya, yang mana dalam setiap
sujud mereka selalu mendo’akan kesuksesan anak-anaknya. Mereka yang
telah bersabar dalam mengasuh dan mendidik, memberikan kasih sayang, dan
tentunya selalu ikhlas mendo’akan setiap langkah anak-anaknya demi
tercapai cita-cita yang mulia. Mereka juga selalu memotivasi saya untuk
menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain, selain dari
itu mereka juga berpesan agar menjauhi sifat sombong, angkuh, dengki dan
sebagainya, mereka juga berpesan bersifatlah engkau seperti padi, makin
tinggi makin merunduk. Semoga Allah Swt. senantiasa mengampuni dan
memaafkan segala khilaf dan kesalahannya dan menempatkan mereka derajat
kedudukan yang paling tinggi. Amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
kesempurnaan, untuk itu penulis akan menerima dengan senang hati segala
bentuk koreksi dan saran-saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Pada dasarnya proses penulisan skripsi ini, tidak terlepas dari sumbangsih
maupun dukungan berbagai pihak yang turut memberikan andil, baik secara
moril maupun materil. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
sampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Asep Saepudin Jauhar, M.A, selaku rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Siti Nurul Azkiyah, M.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vii
3. Ibu Dr. Erba Rozalina Yulianti, M.Ag, selaku ketua Jurusan program
Magister Pendidikan Agama Islam.
4. Bapak Toto Edidarmo, M.A., selaku Sekertaris Jurusan program
Magister Pendidikan Agama Islam
5. Bapak Dr. Abdul Ghofur, M.A., selaku dosen Penasihat Akademik
yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis selama di
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Dr. Sapiuddin Shidiq, M.Ag., dan Ibu Dr. Romlah Abu Bakar
Askar, M.A., selaku pembimbing yang selalu sabar memberikan ilmu
dan bimbingannya selama penulis di bimbing oleh beliau, dan juga
memotivasi dan mendo’akan penulis.
7. Kepada seluruh dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan khususnya
dosen Magister Pendidikan Agama Islam, yang dengan sabar dan
ikhlas membagi ilmu, wawasan serta pengalaman kepada penulis
selama studi di kampus ini.
8. Kepada kedua orang tua penulis bapak H. Maliki, S.E., M.Si. dan Ibu
Hj. Robanah, yang selalu memberikan dukungan dan doanya kepada
anaknya sampai detik ini.
9. Kepada Dr. (c.) Wahdah, S.Ag., M.Ag., penulis mengucapkan banyak
terima kasih, atas segala pengorbanannya yang selalu menemani dan
menyemangati penulis sampai hari ini.
10. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2021 Magister
Pendidikan Agama Islam, teman-teman diskusi warung kopi, teman-
teman kosan, teman-teman alumni Pondok Pesantren Daar el-Qolam,
terimakasih atas dukungan, motivasi, serta mendo’akan penulis
sampai saat ini.
Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan yang telah diberikan,
dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya
dan umumnya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran
Rasulullah Saw.

viii
ABSTRAK
Muhammad Ridho Alfansuri. Nim. 21210110000023. Materi Pendidikan Pra dan
Pasca Nikah Dalam kitab Qurratul Uyun Dan Relevansinya dengan Isu-isu
Pernikahan Kontemporer.

Upaya menjadikan pernikahan sebagai nilai ibadah di mata Allah swt yaitu dengan
membangun kehidupan rumah tangga yang sakinah (harmonis). Dalam membentuk
keluarga yang sakinah (harmonis) banyak hal yang perlu dipersiapkan mulai dari
fisik, mental, materi, serta ilmu. Kesenjangan dalam hubungan rumah tangga dapat
berakibat buruk bagi pasangan suami istri mulai dari ketidakharmonisan,
perselingkuhan, hingga tindak kekerasan dan berakhir pada perceraian. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kurangnya kesadaran dan edukasi
baik secara umum maupun agama.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan dan menganalisis materi-materi terkait
pendidikan pra dan pasca pernikahan dalam kitab Qurratul Uyun, diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan edukasi atau parenting dalam bidang
pernikahan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, jenis penelitian yang digunakan yaitu
kepustakaan (library research), dengan pendekatan deskriptif analisis. Sumber data
primer pada penelitian ini adalah kitab Qurratul Uyun, sedangkan sumber data
sekundernya adalah buku, tesis, disertasi, jurnal, majalah, dan tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan pembahasan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dokumentasi dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang
relevan dengan pembahasan ini. Sedangkan teknik analisis data menggunakan
menggunakan metode isi (content analisys).
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut; (1) materi pendidikan pra nikah
dalam kitab Qurratul Uyun karya Muhammad At-Tihami bin Madani, yaitu:
pengetahuan seputar pernikahan, seputar walimatul Urusy atau resepsi pernikahan,
hak dan kewajiban suami istri, adab dan tatakrama dalam melakukan hubungan
suami dan istri. Sedangkan materi pendidikan pra nikah meliputi upaya untuk
memiliki dan mendidik anak. (2) Materi di dalam kitab Qurratul Uyun ini masih
relevan untuk menjawab isu-isu permasalah kontemporer, diantaranya: pernikahan
poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan wanita karir. (3) pendidikan
pra dan pasca Nikah ini memberikan dampak yang positif terhadap ranah sosial,
yaitu; aspek individu, aspek keluarga, dan aspek komunitas.

Kata kunci: Qurratul Uyun, Pra dan pasca Nikah, Pernikahan Kontemporer

ix
ABSTRACT

Muhammad Ridho Alfansuri. Nim. 21210110000023. Pre and Post Marriage


Education Materials in the Book of Qurratul Uyun and Their Relevance to
Contemporary Marriage Issues.

Efforts to make marriage a value of worship in the eyes of Allah SWT is to build a
sakinah (harmonious) household life. In forming a sakinah (harmonious) family,
there are many things that need to be prepared starting from the physical, mental,
material, and knowledge. Disparities in household relationships can have a negative
impact on husband and wife, starting from disharmony, infidelity, to acts of violence
and ending in divorce. This is caused by several factors, including a lack of
awareness and education both in general and religion.
This study aims to describe and analyze materials related to pre- and post-marriage
education in the Qurratul Uyun book, it is hoped that this research can be used as
educational or parenting material in the field of marriage.
This research is a qualitative research, the type of research used is library research,
with a descriptive analysis approach. The primary data source in this study is the
Qurratul Uyun, while the secondary data sources are books, theses, dissertations,
journals, magazines, and writings related to the discussion. The data collection
technique used in this research is documentation by collecting library materials that
are relevant to this discussion. While the data analysis technique uses content
analysis.
The results of this study are as follows; (1) pre-marital education material in the
book Qurratul Uyun by Muhammad At-Tihami bin Madani, namely: knowledge
about marriage, about walimatul Urusy or wedding receptions, rights and
obligations of husband and wife, manners and manners in carrying out husband and
wife relations. While pre-marital education material includes efforts to have and
educate children. (2) The material in the Qurratul Uyun book is still relevant to
address contemporary issues, including: polygamous marriages, domestic violence
(KDRT), and career women. (3) this pre- and post-marriage education has a
positive impact on the social sphere, namely; individual aspect, family aspect, and
community aspect.

Keywords: Qurratul Uyun, Pre and post Marriage, Contemporary Marriage

x
‫خالصة‬

‫حممد رض الفنسورى‪ .‬رقم القيد‪ 21210110000023 :‬مواد تثقيفية قبل وبعد الزواج يف‬
‫كتاب قرة العيون وصلتها بقضااي الزواج املعاصر‪.‬‬
‫اجلهود املبذولة جلعل الزواج قيمة عبادة يف نظر هللا سبحانه وتعاىل هو بناء حياة منزلية سكينة‬
‫(متناغمة)‪ .‬يف تكوين أسرة السكينة ‪ ،‬هناك العديد من األشياء اليت حتتاج إىل االستعداد ‪،‬‬
‫بدءًا من اجلسدية والعقلية واملادية واملعرفية‪ .‬ميكن أن يكون للتفاواتت يف العالقات األسرية‬
‫أتثري سليب على الزوج والزوجة ‪ ،‬بدءًا من التنافر واخليانة الزوجية إىل أعمال العنف وانتهاءً‬
‫ابلطالق‪ .‬وهذا انتج عن عدة عوامل ‪ ،‬منها نقص الوعي والتعليم بشكل عام والدين‪.‬‬
‫هتدف هذه الدراسة إىل وصف وحتليل املواد املتعلقة ابلتعليم قبل وبعد الزواج يف كتاب قرة‬
‫العيون‪.‬‬
‫هذا البحث هو حبث نوعي ‪ ،‬نوع البحث املستخدم هو البحث املكتيب ‪ ،‬مع منهج التحليل‬
‫الوصفي‪ .‬مصدر البياانت األساسي يف هذه الدراسة هو قرة العيون ‪ ،‬بينما مصادر البياانت‬
‫الثانوية هي الكتب واألطروحات واألطروحات واجملالت واجملالت والكتاابت املتعلقة ابملناقشة‪.‬‬
‫تقنية مجع البياانت املستخدمة يف هذا البحث هي التوثيق من خالل مجع مواد املكتبة ذات‬
‫الصلة هبذا النقاش‪ .‬بينما تستخدم تقنية حتليل البياانت حتليل احملتوى‪.‬‬
‫نتائج هذه الدراسة هي كما يلي ؛ (‪ )1‬مادة الرتبية قبل الزواج يف كتاب قرة العيون حملمد‬
‫التهامي بن مدين ‪ ،‬وهي‪ :‬املعرفة ابلزواج ‪ ،‬ووليمة األوروسي أو حفالت الزفاف ‪ ،‬وحقوق‬
‫والتزامات الزوج والزوجة ‪ ،‬وآداهبا وآداهبا يف القيام ابلزوج ‪ ،‬عالقات الزوجة‪ .‬بينما تتضمن‬
‫جهودا إلجناب األطفال وتعليمهم‪ )2( .‬ال تزال املادة املوجودة يف‬
‫ً‬ ‫مواد الرتبية قبل الزواج‬
‫كتاب قرة ا لعيون مناسبة ملعاجلة القضااي املعاصرة ‪ ،‬مبا يف ذلك‪ :‬تعدد الزوجات ‪ ،‬والعنف‬
‫املنزيل )‪ ، (KDRT‬والنساء العامالت‪ )3( .‬هذا التعليم قبل الزواج وبعده له أتثري إجيايب‬
‫على اجملال االجتماعي ‪ ،‬وابلتحديد ؛ اجلانب الفردي واجلانب األسري واجلانب اجملتمعي‪.‬‬
‫الكلمات الدالة‪ :‬قرة العيون ‪ ،‬الزواج قبل وبعد الزواج ‪ ،‬الزواج املعاصر‬

‫‪xi‬‬
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987-Nomor: 054 b/u 198
No Huruf Huruf Keterangan
Arab Latin
1. ‫ا‬ Tidak dilambangkan
2. ‫ب‬ B Be
3. ‫ت‬ T Te
4. ‫ث‬ Ṡ Es dengan titik atas
5. ‫ج‬ J Je
6. ‫ح‬ Ḥ h dengan titik bawah
7. ‫خ‬ Kh ka dan ha
8. ‫د‬ D De
9. ‫ذ‬ Ż Z dengan titik atas
10. ‫ر‬ R Er
11. ‫ز‬ Z Zet
12. ‫س‬ S Es
13. ‫ش‬ Sy es dan ya
14. ‫ص‬ Ṣ es dengan titik di bawah
15. ‫ض‬ Ḍ de dengan titik di bawah
16. ‫ط‬ Ṭ te dengan titik di bawah
17 ‫ظ‬ Ż zet dengan titik di atas
18. ‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
19. ‫غ‬ G Ge
20. ‫ف‬ F Ef
21. ‫ق‬ Q Qi
22. ‫ك‬ K Ka
23. ‫ل‬ L El
24. ‫م‬ M Em
25. ‫ن‬ N En
26. ‫و‬ W We
27. ‫ه‬ H Ha
28. ‫ء‬ ` Apostrof
29. ‫ي‬ Y Ye

2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

xii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ A Fatḥah
َ I Kasrah
َ U Ḍammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai


berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫اَي‬ Ai Fatḥah dan ya

‫اَو‬ Au Fatḥah dan wau

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫اب‬ Ā a dengan garis di atas

‫ِ ييب‬ Ī i dengan garis di atas

‫بُ يو‬ Ū u dengan garis di atas

1. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl, al-dīwān, bukan ad-dāwān.

2. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydid (َ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (‫ )الض رورة‬tidak ditulis ad-ḏarūrah melainkan al-ḏarūrah,
demikian seterusnya.
3. Ta Marbutah

xiii
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbūṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طريقة‬ Ṯarīqah
2 ‫اجلامعية اإلسالمية‬ al- Jāmi’ah al-Islāmiyyah
3 ‫وحدة الوجود‬ Waẖdat al-wujūd

4. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Arab (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-
lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hamid al-Ghazālī ,
Al- al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan denga penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani: Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr
al-Dīn al-Rānīrī

xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR LOGO
DAFTAR ISI ............................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................... 5
C. Pembatasan Masalah ........................................................ 5
D. Perumusan Masalah ......................................................... 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 5
F. Penelitian Terdahulu ........................................................ 6
G. Metode Penelitian ............................................................ 9
H. Teknis Penulisan ...................................................................... 12
I. Sistematika Pembahasan ................................................. 12
BAB II KAJIAN TEORI ........................................................... 13
A. Konsep Pendidikan ........................................................... 13
1. Pengertian Pendidikan ............................................... 13
2. Landasan Pendidikan ................................................. 14
3. Unsur-unsur Pendidikan ............................................. 15
4. Tujuan Pendidikan ..................................................... 16
5. Fungsi Pendidikan ...................................................... 16
B. Pra-Pasca Pernikahan ....................................................... 17
1. Pengertian Pra Nikah ................................................. 17
2. Pengertian Pasca Nikah ............................................. 17
3. Landasan Pendidikan Pra-Pasca Nikah ...................... 18
4. Tujuan Pendidikan Pra-Pasca Nikah .......................... 19
5. Manfaat Pendidikan Pra-Pasca Nikah ....................... 21
6. Materi Pendidikan Pra-Pasca Nikah .......................... 21
7. Ruang Lingkup Pendidikan Pra-Pasca Nikah ............ 22
C. Pernikahan Dalam Islam .................................................. 23
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan ................. 23
2. Hukum Pernikahan ..................................................... 27
3. Rukun pernikahan ...................................................... 29
4. Syarat pernikahan ...................................................... 30
5. Tujuan pernikahan ...................................................... 31
6. Hikmah Pernikahan .................................................... 32
D. Isu-isu Pernikahan Kontemporer ..................................... 33
1. Pernikahan Poligami .................................................. 33
2. Pernikahan Beda Agama ............................................ 36
3. Pernikahan Dini .......................................................... 39
4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ............... 41
5. Kedudukan Istri Sebagai Wanita Karir ..................... 43
xv
6. Pernikahan Sejenis ..................................................... 45
7. Pernikahan Paksa ....................................................... 49
E. Teori Hermeneutika H. G. Gadamer .............................. 51
1. Teori kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah .......... 52
2. Teori Pra-pemahaman ................................................ 52
3. Fusion of Horizon ...................................................... 53
4. Hermeneutika Dialektis ............................................. 54
BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD AT-TIHAMI BIN MADANI
DAN KITAB QURRATUL UYUN ........................................... 55
A. Profil Muhammad At-Tihami bin Madani ..................... 55
1. Biografi ...................................................................... 55
2. Karya-karya ................................................................ 55
B. Pengenalan Kitab Qurratul Uyun Bi Syarhi Nadmi Ibn
Yamun
1. Kitab Qurratul Uyun .................................................. 57
2. Sistematika Pembahasan ........................................... 60
BAB IV ANALISIS MATERI PENDIDIKAN PRA DAN PASCA
NIKAH DALAM KITAB QURRATUL UYUN DAN
RELEVANSINYA DENGAN ISU-ISU PERNIKAHAN
KONTEMPORER ..................................................................... 61
A. Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam Kitab
Qurratul Uyun
1. Materi Pendidikan Pra Nikah ........................................... 61
a. Pengetahuan seputar pernikahan ............................... 61
b. Seputar walimatul urusy ............................................ 75
c. Hak dan kewajiban suami dan istri ............................ 79
d. Adab dan tatakrama dalam melakukan hubungan suami
dan istri ....................................................................... 86
2. Materi Pendidikan Pasca Nikah ....................................... 111
a. Upaya untuk memiliki dan mendidik anak ................ 111
1) Makanan yang harus dihindari oleh istri ....... 111
2) Cara untuk memiliki anak laki-laki dan
perempuan ...................................................... 112
3) Keharusan menjaga kandungan ...................... 112
4) Kewajiban orang tua terhadap anak .............. 113
B. Relevansi Materi Pendidikan Pra-Pasca Nikah dalam Kitab
Qurratul Uyun terhadap Isu-isu Pernikahan Kontemporer
....................................................................................... 116
1. Pernikahan Poligami .................................................. 118
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ............... 121
3. Wanita Karir .............................................................. 126

xvi
C. Implikasi Materi Pra-Pasca Nikah dalam Kitab Qurratul
Uyun terhadap Ranah Sosial ............................................ 130
1. Aspek Individu ........................................................... 131
2. Aspek Keluarga .......................................................... 131
3. Aspek Komunitas ....................................................... 131
BAB V PENUTUP .................................................................... 133
A. Kesimpulan ...................................................................... 133
B. Saran ................................................................................. 134
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 135

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Cover Kitab Qurratul Uyun


Lampiran 2. Daftar Isi Kitab Qurratul Uyun
Lampiran 3. Notulen Seminar Hasil \
Lampiran 4. Notulen Seminar Promosi
Lampiran 5. Cek Plagiasi
Lampiran 6. Surat Tugas Komprehensif
Lampiran 7. Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 8. Bukti Sertifikat Prestasi
Lampiran 9. Bukti Buku Bimbingan Tesis
Lampiran 10. Tentang Penulis

xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan pernikahan adalah ibadah kepada Allah Swt dengan mengikuti
aturan syari’at dan sunnah Nabi Muhammad Saw, dan dilaksanakan dengan
keridhaan untuk membangun dan mewujudkan kebahagiaan hidup berkasih
sayang yang diridhai oleh Allah swt.1 Dalam pernikahan suami istri memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang
sakinah (harmonis) agar dapat menjadi nilai ibadah kepada Allah Swt.2 Dalam
QS. Ar-Rûm ayat 21 Allah swt berfirman:

ِ ِ ِ ِ ‫وِمن اٰيٰتِه اَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن اَنْ ُف ِس ُكم اَزو‬


َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُ ْوا الَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َّم َوَّدةً َّوَر ْْحَةً ا َّن ِ ِْف ٰذل‬
‫ك‬ ً َْ ْ ْ ْ َ َ ْ َ
ٍ ِ ٍ
‫َ َٰل ٰيت ل َق ْوم يَّتَ َف َّكُرْو َن‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum: 21).
Ayat tersebut memberikan penjelasan tentang penciptaan manusia yang
diciptakan berpasangan dari jenisnya untuk menjalin rasa kasih sayang
sesamanya. Rasulullah saw juga menganjurkan umatnya untuk melaksanakan
pernikahan, karena dari pernikahan dapat diperoleh sebuah kebahagiaan.
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis:

‫ َي َم ْع َشَر‬:‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ َ‫َع ْن َعْب ِد للاِ بْ ِن َم ْسعُ ْوٍد َر ِض َي للاُ َعْنهُ ق‬
َ ‫ال لَنَا َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫ َو َم ْن َلْ يَ ْستَ ِط ْع‬,‫ص ْن لِْل َف ْرِج‬
ِ ‫ واَح‬,‫ فَِإنَّه اَ َغض لِلبص ِر‬.‫ م ِن استَطَاع ِمْن ُكم الباء َة فَلي تَ زَّوج‬,‫الشباب‬
ْ َ ََ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َّ
‫ ُمتَ َفق َعلَْي ِه‬.ً‫ فَِإنَهُ لَهُ ِو َجاء‬,‫لص ْوِم‬
َّ ‫فَ َعلَْي ِه ِب‬
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud RA. Dia berkata: Rasulullah bersabda
kepada kami: wahai generasi muda, barangsiapa diantara kamu mampu
berkeluarga hendaklah kawin, sebab ia dapat memejamkan mata dan
menjaga kesucian farji. Barang siapa tidak mampu hendaklah berpuasa,
sebab puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (H. R. Bukhari, Syarh
Bulugul Marom, kitab An-Nikah, No. 974).

1
Soemiyati, Hubungan Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Cet. 4
(Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 8.
2
Wardian, “Desain Pendidikan Pra Nikah Menuju Terbentuknya Keluarga
Sakinah”, Al-Falah, Vol. 17, No. 32, 2017, h. 65.

1
2

Hadis di atas sesungguhnya menyebutkan bahwa pernikahan bisa menjadi


sebuah solusi dalam menjaga kehormatan dan bisa pula menjadi benteng yang
kokoh dalam menahan hawa nafsu.3

Upaya menjadikan pernikahan sebagai nilai ibadah di mata Allah swt yaitu
dengan membangun kehidupan rumah tangga yang sakinah (harmonis). Dalam
membentuk keluarga yang sakinah (harmonis), banyak hal yang perlu
dipersiapkan mulai dari fisik, mental, materi, serta ilmu. Orang-orang yang
paham dan mengerti tentang arti tanggung jawab pernikahan akan selalu
berupaya untuk membangun keharmonisan tersebut.4 Hal itu juga tidak lepas
dari kerjasama antar semua anggota keluarga itu sendiri, karena komunikasi
yang tidak baik dapat menyebabkan kondisi yang tidak harmonis.
Ketidakharmonisan tersebut pada akhirnya menyebabkan pertengkaran antara
pasangan suami istri yang masalah tersebut dapat menghambat tujuan akhir
pernikahan kemudian berujung kepada perceraian.5

Perceraian disebabkan oleh beberapa faktor, umumnya ia didominasi oleh


ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Salah satu penyebab utama maraknya
perceraian adalah faktor nafkah yang tidak terpenuhi dengan baik, sebagaimana
pada kenyataannya sebagian besar perempuan telah mengambil alih peran suami
dalam mencari nafkah. Selain aspek materi, aspek lahir juga berpengaruh.
Semisalnya perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap pasangan, komunikasi
yang tidak terjalin dengan baik, serta kekerasan dalam rumah tangga.6

Kasus perceraian yang terjadi bukan hanya terjadi pada pasangan yang
sudah lama membangun rumah tangga, bahkan perceraian juga banyak
dilakukan oleh pasangan-pasangan muda yang baru menikah, pernikahan usia
dini tidak menjadi pengecualian. Menurut mereka, perceraian adalah solusi
terakhir yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam
rumah tangganya. Angka perceraian di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke
tahun, pada tahun 2017-2021 kasus perceraian mencapai jumlah 447.743 kasus.
Sedangkan pada tahun 2021, meningkat 53,50% dibanding tahun 2020 yang
mencapai 291.677 kasus.7

3
Syaikh Mahmud Al-Mashri, Bekal Pernikahan, Terj. Imam Firdaus (Jakarta:
Qisthi Press, 2010), h. 7.
4
A. Ubaedillah, “Pendidikan Pranikah Perspektif Al-Qur’an”, Disertasi, Program
Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, Pascasarjana, Institut PTIQ Jakarta, 2021, h. 2
5
Kamal Al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 3.
6
Nikmawati, Religiusitas pada Keluarga Sakinah: Studi Kasus pada Peserta
Pemilihan Keluarga Sakinah Tingkat Nasional (Tangerang Selatan: Young Progressive
Muslim, 2018), h. 1.
7
Data diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS), 25 Februari 2022,
https://databoks.katadata.co.id, diakses pada tanggal 25 Juni 2022.
3

Terdapat 337.343 kasus atau sekitar 75,34% perceraian dilangsungkan


karena cerai-gugat (kebanyakan istri yang menggugat) dan diputuskan di
pengadilan. Selain itu, terdapat sekitar 110.440 kasus atau 24,66% dikarenakan
talak, yaitu pihak suami yang mengajukan permohonan kemudian diputuskan
oleh pengadilan. Menurut Fauzi, perceraian terjadi karena beberapa alasan,
yaitu; 1. Ketidakharmonisan, 2. Krisis moral dan akhlak, 3. Perzinahan, dan 4.
Pernikahan tanpa cinta.8

Menghindari hal tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh sebagian besar


pasangan atau bahkan organisasi keagamaan dalam menekan maraknya angka
perceraian dengan beberapa alternatif, di antaranya adalah melalui proses
mediasi atau pendidikan pranikah (pembelajaran keagamaan atau keilmuan yang
menyangkut tentang kehidupan rumah tangga yang dilakukan sebelum
pernikahan).

Pendidikan pranikah merupakan penyediaan bekal pengetahuan,


keterampilan, pemahaman, dan kesadaran dalam membangun kehidupan rumah
tangga.9 Diperlukan strategi, konsep, dan desain tertentu agar pelaksanaan
pendidikan pranikah ini dapat berjalan dengan baik sehingga dapat membantu
pasangan yang ingin menikah untuk membangun keluarga yang sakinah
(harmonis). Begitupun sebaliknya, jika pelaksanaan pendidikan pranikah tanpa
konsep dan strategi yang baik, maka hasilnya juga tidak akan maksimal.

Bahkan di Malaysia, pemerintah menerapkan beberapa persyaratan dan


praktik yang harus dilakukan sebelum menikah. Di Malaysia, pendidikan
pranikah merupakan persyaratan wajib bagi calon pengantin yang beragama
Islam sebelum mereka dapat mendaftarkan pernikahan mereka. Pendidikan ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang tanggung jawab, komitmen,
dan kesiapan dalam memasuki kehidupan pernikahan. Program pendidikan
pranikah di Malaysia biasanya diselenggarakan oleh Jabatan Agama Islam
setempat atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Calon pengantin akan
diminta untuk menghadiri kelas atau kursus pranikah selama beberapa sesi
sebelum mereka diizinkan untuk melangsungkan pernikahan. Program pranikah
biasanya mencakup berbagai topik yang relevan dengan kehidupan berumah
tangga dalam Islam, seperti hukum pernikahan, kewajiban dan hak suami istri,
pentingnya komunikasi dalam pernikahan, perencanaan keuangan, dan kesehatan
reproduksi. Setelah menyelesaikan program pranikah, calon pengantin akan
diberikan sertifikat pranikah yang menyatakan bahwa mereka telah mengikuti
dan menyelesaikan kursus pranikah. Sertifikat ini harus diserahkan saat
pendaftaran pernikahan. Pendidikan pranikah di Malaysia merupakan langkah
yang diambil oleh pemerintah untuk memastikan bahwa calon pengantin
Muslim memahami dan siap menghadapi pernikahan dengan persiapan yang

8
Fauzi, D. A., Perceraian Siapa Takut…, (Jakarta: Restu Agung, 2006), h. 11.
9
H.M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan Penyuluhan Islam dan di
luar Sekolah (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 9.
4

matang. Program ini bertujuan untuk memperkuat pondasi pernikahan dengan


memberikan pemahaman tentang kewajiban, hak, dan tanggung jawab masing-
masing pasangan, serta memberikan keterampilan komunikasi dan manajemen
konflik yang baik. Materi pra nikah yang diberikan meliputi: a) peraturan
perkawinan dan perundangan, b) hukum munakahat, c) prosedur penikahan, d)
pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga, e) manajemen keluarga, f) psikologi
perkawinan dan keluarga, e) kesehatan reproduksi. Kementerian Agama RI
melalui Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, DJ.II/372 Tahun 2011
mengeluarkan peraturan dan pedoman pelaksanaan kursus pranikah. Jika dilihat
dari data di atas, meningkatnya kasus perceraian di masyarakat mengindikasikan
bahwa pelaksanaan pendidikan pranikah belum berjalan dengan baik.10

Persoalan-persoalan atau konflik yang terus terjadi dalam kehidupan


pernikahan menjadi bukti bahwa terdapat masyarakat yang belum memahami
dengan benar apa itu pernikahan. Padahal pada dasarnya, pernikahan dalam
syariat Islam memiliki tujuan yang sangat mulia, dengan memahami tujuan
pernikahan secara benar maka dapat dijadikan tolak ukur serta pedoman dalam
menjalani kehidupan rumah tangga agar mencapai pernikahan yang ideal.11

Konsep pendidikan pranikah masih merupakan konsep umum bahkan


terdapat pro dan kontra terkait pelaksanaannya, sebab itu banyak peneliti-
peneliti yang juga membahas topik ini dalam kajian-kajian yang beragam.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh A. Ubaedil dalam disertasinya
yang membahas terkait pendidikan pranikah dalam kacamata al-Qur’an, konsep
yang dibahas dalam penelitian itu lebih berfokus kepada apa yang ternushush
dalam al-Qur’an.12 Penelitian lain juga dilakukan oleh Dyah Ayu Sari dalam
tesisnya yang berfokus pada kajian pelaksanaan pendidikan pranikah di lembaga
tertentu,13 juga penelitian yang dilakukan oleh Wardian dalam tulisan artikel
yang fokusnya adalah pendidikan pranikah di lingkungan keluarga, sekolah,
kurikulum dalam perkuliahan serta kursus calon pengantin.14 Terakhir peneitian
yang dilakukan oleh Khairun Nisa yang berfokus pada parenting pranikah.15 Dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwasanya materi-materi pendidikan

10
Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pranikah, Kementerian Agama RI Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam 2011. www.bimasislam.kemenag.go.id.
11
Robiah Awaliyah, “Nilai-nilai Pernikahan Ideal Perspektif Hadis dalam Film
Twivortiare”, Jurnal Riset Agama, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2022, h. 53.
12
A. Ubaedillah, “Pendidikan Pranikah Perspektif Al-Qur’an”, Disertasi, Program
Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, Pascasarjana, Institut PTIQ Jakarta, 2021.
13
Dyah Ayu Sri Handayani, “Peran Pendidikan Pranikah Dalam Membangun
Kesiapan Menikah Dan Membentuk Keluarga Sakinah (Studi Kasus Di Lembaga Klinik
Nikah “KLIK” Cabang Ponorogo)”, Tesis, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Ponorogo, 2018.
14
Wardian, “Desain Pendidikan Pranikah Menuju Terbentuknya Keluarga
Sakinah”, Al-Falah, Vol. XVII, No. 32, 2017.
15
Khairun Nisa, “Pendidikan Parenting Pranikah: Upaya Perbaikan Generasi
Berkualitas”, Lentera Pendidikan, Vol. 19, No. 2, 2016.
5

Pra dan Pasca nikah jarang disosialisasikan kepada calon-calon pasangan yang
ingin melangsungkan pernikahan maupun terhadap masyarakat umum.

Berangkat dari hal tersebut, sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian


yang sudah dilakukan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang juga
berhubungan dengan konsep pendidikan Pra dan Pasca nikah, namun konsep
tersebut penulis lihat atau ambil berdasarkan pembahasan yang ada dalam kitab
Qurratul’ Uyun karya Syekh Muhammad al-Tihami bin Madani.

Pembahasan dalam kitab ini cukup menarik, pengarang bukan hanya


menjelaskan terkait pernikahan secara umum mengenai hak-hak dan kewajiban
suami istri, tetapi juga memberikan paparan yang mendetail dalam proses
berumah tangga, mulai dari menjelaskan aspek pernikahan secara umum, kriteria
memilih pasangan, adab-adab melakukan hubungan seksualitas suami-istri,
tanggung jawab suami secara khusus, serta tanggung jawab terhadap pendidikan
anak. Selain kitab Qurratul Uyun, terdapat beberapa kitab yang serupa
diantaranya kitab Fath Izar dan Uqudul Luzain. Dalam kitab Fathul Izar hanya
membahas seputar pernikahan secara umum dan hubungan seksual suami istri,
sedangkan di dalam kitab Uqudul Luzain membahas seputar tata cara
membangun rumah tangga dan kisah-kisah islami terkait pernikahan.

Hal-hal tersebut sangat penting untuk dikaji dalam upaya membangun


kehidupan pernikahan yang ideal menjawab persoalan-persoalan yang terjadi
dalam konteks kekinian. Berdasarkan kepentingan tersebut, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan tema “MATERI PENDIDIKAN PRA DAN
PASCA NIKAH DALAM KITAB QURRATUL UYUN DAN
RELEVANSINYA DENGAN ISU-ISU PERNIKAHAN KONTEMPORER”.

B. Identifikasi Masalah
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan pada latar belakang di atas, terdapat
beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Pemahaman yang kurang mumpuni di kalangan masyarakat terkait
tujuan pernikahan yang harmonis dalam upaya menjadikannya sebagai
nilai ibadah kepada Tuhan.
2. Angka perceraian yang terus meningkat.
3. Pasangan suami istri yang masih krisis akhlak dan moral dan
melupakan hak dan kewajiban masing-masing.
4. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kian mengkhawatirkan.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang disebutkan di atas, agar penelitian
ini menjadi lebih fokus dan komprehensif maka penulis membatasi masalahnya
kepada beberapa hal sebagai berikut:

1. Pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam konsep Islam


6

2. Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah yang dibahas melalui kitab
Qurratul ‘Uyun bi syarhi Ibn Yamun karya Syekh Muhammad al-
Tihami bin Madani
3. Pendidikan Pra dan Pasca Nikah dan implikasinya dalam membangun
kehidupan rumah tangga yang ideal sesuai dengan konteks kekinian
4. Isu-isu pernikahan kontemporer meliputi krisis akhlak dan melupakan
hak dan kewajiban masing-masing

D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan batasan masalah tersebut, maka terdapat pertanyaan-
pertanyaan dalam penelitian ini yang penulis rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana materi pendidikan Pra dan Pasca Nikah yang dibahas dalam
kitab Qurratul ‘Uyun bi syarhi Ibn Yamun karya Syekh Muhammad al-
Tihami bin Madani?
2. Bagaimana relevansinya dengan isu-isu pernikahan kontemporer?
3. Bagaimana Implikasinya dalam aspek sosial?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini


bertujuan untuk:

a. Mendeskripsikan diskursus dalam pendidikan Pra dan Pasca Nikah


b. Menganalisa materi pendidikan Pra dan Pasca Nikah yang dibahas
dalam kitab Qurratul ‘Uyun bi syarhi Ibn Yamun karya Syekh
Muhammad al-Tihami bin Madani
c. Menganalisa materi pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam kitab
Qurratul ‘Uyun bi syarhi Ibn Yamun dan relevansinya dengan isu-isu
pernikahan kontemporer
2. Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini memiliki manfaat
penelitian sebagai berikut:
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
pengayaan konseptual tentang materi pendidikan Pra dan Pasca Nikah
dengan menghubungkannya dengan pembahasan materi yang ada dalam
kitab Qurratul ‘Uyun sehingga akan diketahui konsep pendidikan Pra
dan Pasca Nikah dalam kitab tersebut. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan bahan informasi ilmiah bagi penulis-
penulis lain yang ingin membahas tema serupa dengan kajian yang
berbeda.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan acuan untuk menerapkan pendidikan Pra dan Pasca Nikah di
kalangan masyarakat baik itu melalui organisasi tertentu, majelis
7

ta’lim, pengajian-pengajian, atau Kantor Urusan Agama (KUA)


setempat, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan yang mumpuni
terkait hak dan kewajiban dalam pernikahan dan hasil akhirnya tujuan
dari pernikahan itu sendiri dapat tercapai.

F. Penelitian Terdahulu
Penulis telah melakukan pelacakan terkait beberapa penelitian yang pernah
dilakukan yang juga terkait dengan penelitian ini. Hasilnya, terdapat beberapa
tulisan-tulisan serupa, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

1. Disertasi yang di tulis oleh A. Ubaedil yang berjudul “pendidikan Pranikah


perspektif Al-Qur’an”. Disertasi ini mendukung pandangan tokoh yang lain
yaitu 1) Quraisy shihab, 2) Majid bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, 3)
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdirmah bin kamal bin ‘Abdir Razzaq,
4) Yahya Abdurrahman, 5) ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-khalafi. 6)
Irwansyah Muhammad Jamal, 7) Nastangin, 8) Mahmudin, 9) Munir Huda,
10) Rahmat Rifai Lubis dan Ahmad Sukri Harahap, yang berpandangan
pentingnya; persiapan, pembekalan pranikah, Keberhasilan
penyelenggaraan serta Implementasi dari kurikulum Pendidikan Pranikah,
namun di sisi lain penelitian Irwansyah Muhammad Jamal, Nastangin,
Mahmudin, Munir Huda, Rahmat Rifai Lubis dan Ahmad Sukri Harahap
berbeda pandangan dengan penulis dalam penelitian ini yang tidak hanya
membahas persiapan, pembekalan pranikah, keberhasilan penyelenggaraan
serta Implementasi dari kurikulum Pendidikan Pranikah namun penulis juga
membahas pendidikan pranikah perspektif Al-Qur’an dengan metode tafsir
maudhu’i dan persiapan membina keluarga mawaddah, rahmah dan
sakinah. Temuan penulis dilapangan khususnya di Kota Bogor banyak
sekali para calon pengantin atau remaja usia nikah yang belum paham hal-
hal yang berhubungan dengan pendidikan sebelum nikah seperti apa itu
ta’arruf, apa itu khitbah secara syar’i. Setelah ta’arruf atau khitbah mereka
merasa bebas untuk kemana-mana berdua tanpa ada mahramnya. Begitu
pula foto-foto sebelum nikah prawedding, mereka pamerkan didepan
pelaminan, bahkan ada sepasang suami istri, 17 tahun sudah berumah
tangga tidak mengerti apa itu thalaq, ruju’ dan kewajiban suami dan istri.
Ada pula yang belum paham bagaimana menyelesaikan berbagai macam
problematika hidup dalam berkeluarga dan bermasyarakat.16
2. Tesis yang di tulis oleh Dyah Ayu Sri Handayani yang berjudul “ Peran
Pendidikan Pranikah dalam membangun kesiapan menikah dan membentuk
keluarga sakinah (Studi kasus di lembaga Klinik Nikah “KLIK” cabang
Ponorogo”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan
pendidikan pranikah di lembaga KLIK cabang Ponorogo ini mengadopsi
sistem pendidikan formal yaitu ada aspek; peserta didik, pendidik,

16
A. Ubaedillah, “Pendidikan Pranikah Perspektif Al-Qur’an”, Disertasi, Program
Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, Pascasarjana, Institut PTIQ Jakarta, 2021.
8

kurikulum, metode dan evaluasi. Bentuk pendampingan yang ada di


lembaga KLIK cabang Ponorogo ini terbagi menjadi dua yaitu; bagi yang
belum menikah berupa layanan dan bimbingan ta’aruf dan bagi yang sudah
menikah berupa layanan konseling keluarga. Peran lembaga KLIK cabang
Ponorogo didapatkan melalui perkuliahan intensif dan kegiatan-kegiatan
seperti roadshow seminar dengan tema pernikahan serta kajian bulanan
yang rutin dilakukan.17
3. Artikel dalam sebuah Jurnal yang di tulis oleh Wardian yang berjudul
“Desain pendidikan Pranikah menuju terbentuknya keluarga sakinah”. Hasil
dari penelitian ini bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian
dalam rumah tangga adalah karena faktor ekonomi, perselingkuhan,
penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya.
Sedangkan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis diperlukan desain
pendidikan pranikah yang dilakukan dengan rencana yang baik dan
sistematis melalui: a) pendidikan pranikah di lingkungan keluarga, b)
pendidikan pranikah di sekolah, c) kurikulum pendidikan pranikah di
kampus, d) kursus calon pengantin.18
4. Artikel dalam sebuah Jurnal yang di tulis oleh Khairun Nisa yang berjudul
“pendidikan parenting Pranikah: upaya perbaikan generasi berkualitas”.
Dalam penelitian ini membahas tentang “Pendidikan Parenting Pranikah”
menunjukkan fenomena manusia modern yang semakin jauh dari kesadaran
spritual. Keluarga tentunya harus menyadari betapa pentingnya penanaman
pendidikan keagamaan secara dini untuk anak-anaknya serta melahirkan
keturunan dengan pribadi yang baik dan memiliki ketahanan spritual
khususnya dalam menghadapi tantangan modernitas.19
5. Artikel dalam sebuah jurnal yang di tulis oleh Khairul Muttaqin, yang
berjudul “Menyoal Keabsahan Hadis-Hadis Keintiman; Studi Analisis
Kitab Qurratul Uyun Karya Syaikh Muhammad At-Tihami bin Madani”.
Dalam penelitian ini membahas tentang hubungan intim meliputi hari yang
tepat dan yang tidak tepat untuk bersenggama, tata cara bersenggama dan
pahala bersenggama. Pembahasan-pembahasan tersebut dijelaskan dengan
mengutip hadits-hadits Nabi untuk menguatkan pembahasan tersebut.
Setelah dilakukan telaah secara mendalam didapatkan kesimpulan bahwa
tidak semua hadits keintiman yang disebutkan dalam kitab Qurratul Uyun
bernilai dha’if. Ada sebagian yang shahih dan bisa dijadikan sebagai
landasan hukum. Namun ada juga sebagian hadits keintiman dalam kitab
tersebut yang bernilai dha’if sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan

17
Dyah Ayu Sri Handayani, “Peran Pendidikan Pranikah Dalam Membangun
Kesiapan Menikah Dan Membentuk Keluarga Sakinah (Studi Kasus Di Lembaga Klinik
Nikah “KLIK” Cabang Ponorogo)”, Tesis, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Ponorogo, 2018.
18
Wardian, “Desain Pendidikan Pranikah Menuju Terbentuknya Keluarga
Sakinah”, Al-Falah, Vol. XVII, No. 32, 2017.
19
Khairun Nisa, “Pendidikan Parenting Pranikah: Upaya Perbaikan Generasi
Berkualitas”, Lentera Pendidikan, Vol. 19, No. 2, 2016.
9

hukum. Sebagian hadits tersebut juga bernilai dha’if namun didukung


dengan hadits lain yang kualitasnya lebih baik sehingga tetap bisa dijadikan
landasan hukum dan isinya bisa diamalkan.20
6. Skripsi yang di tulis oleh Romlah, yang berjudul “Kriteria Memilih
Pasangan Hidup Perspektif Kitab Qurratul Uyun (Studi Kasus di Desa
Menganti Kesugihan Cilacap)”. Dalam penelitian ini membahas tentang
Permasalahan dalam memilih pasangan hidup ini membuat banyak individu
yang berhati-hati dalam memilih pasangan sehingga terlebih dahulu
menetapkan kriteria sebelum akhirnya memilih pasangan hidupnya kelak
seperti halnya pernyataan dari salah satu informan yang berada di desa
menganti Kesugihan Cilacap yang mengatakan bahwa dirinya menentukan
kriteria pasangan hidupnya hanya sebatas pada pandangan secara lahiriah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kriteria dalam memliih pasangan di
desa Menganti ini memiliki perbedaan dengan enam kriteria yang ada di
kitab Qurrah Al-Uyun, sebagian dari mereka mengartikan bahwa kriteria
yang paling utama dari pasangan hidup yaitu tentang kekafaahan yang
dimaksud kafaah disini yaitu dalam masalah pendidikan dan status sosial,
selanjutnya yaitu kriteria solihah, maksud solehah yaitu tunduk pada suami
serta penyayang dan penyabar, kriteria cantik menjadi nilai tambah tetapi
tidak menjadikan kriteria cantik tersebut menjadi prioritas utama.21

Dari beberapa penelitian-penelitian yang telah disebutkan terkait


pendidikan pranikah di atas, fokus kajiannya lebih kepada konsep pendidikan
pranikah yang dibahas dalam perspektif Al-Qur’an, pendidikan pranikah yang
dijadikan materi dalam parenting, faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan
yang tidak harmonis, dan praktik pelaksanaan pendidikan pranikah itu sendiri.
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis akan membahas materi pendidikan Pra
dan Pasca Nikah dalam kitab Qurratul ‘Uyun dan relevansinya dengan isu-isu
pernikahan kontemporer, penulis akan menganalisis dan mendeskripsikan
konsep tersebut kemudian penulis akan hubungkan dengan isu-isu pernikahan
kontemporer. Oleh sebab itu, penulis akan melakukan sebuah penelitian tesis
yang berjudul: “Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah Dalam Kitab Qurratul
Uyun Dan Relevansinya Dengan Isu-isu Pernikahan Kontemporer”.

G. Metode Penelitian
Arti khusus mengenai metode adalah cara berpikir sesuai dengan sistem
atau aturan tertentu. Suatu metode berdasarkan prosedur penelitian merupakan
salah satu dari metodologi yang kaitannya adalah penjelasan mengenai teknik
yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data yang ada. Sedangkan

20
Khairul Muttaqin, “Menyoal Keabsahan Hadis-Hadis Keintiman; Studi Analisis
Kitab Qurratul Uyun Karya Syaikh Muhammad At-Tihami bin Madani”, El-Afkar, Vol. 9,
No. 2, 2020.
21
Romlah, Kriteria Memilih Pasangan Hidup Perspektif Kitab Qurratul Uyun
(Studi Kasus di Desa Menganti Kesugihan Cilacap), Skripsi, Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Purwokerto, 2019.
10

penelitian merupakan suatu usaha untuk mencari kembali data atau informasi
untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu.22 Nana Syaodih Sukmadinata
memaparkan bahwa metode penelitian adalah suatu proses atau prosedur
penelitian yang didukung oleh asumsi dan pandangan secara filosofis maupun
ideologis, beberapa pertanyaan, isu-isu yang sedang hangat. Metode dalam
penelitian memiliki peran yang penting untuk memecahkan suatu masalah
tertentu dan mencapai tujuan dari penelitian itu sendiri.23

1. Jenis Penelitian
Secara keseluruhan, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library
research), sumber pencarian datanya melalui kajian pustaka, kemudian data
tersebut dikelompokkan berdasarkan objek penelitian dan menjawab
pertanyaaan yang sudah ditentukan. Penelitian kepustakaan digunakan untuk
meneliti dokumen, buku-buku, maupun naskah yang terkait dengan tema
penelitian.24 Sedangkan jenis penelitian ini adalah kualitatif yaitu prosedur
dalam penelitian yang metodologinya dikaji secara mendalam dan menyeluruh
terhadap suatu fenomena sosial yang diharapkan mampu memberikan hasil
berupa data deskriptif dalam bentuk tulisan atau informasi yang berbeda dari
perilaku sosial orang-orang sekitar yang diamati.25 Menurut Sugiyono,
penelitian kualitatif adalah instrumen kunci yang digunakan untuk meneliti
kondisi objek ilmiah.26

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan deskriptif-analisis dan


Hermeneutika. Ini merupakan pendekatan yang penulis lakukan untuk
memeriksa, mengkaji, dan melakukan analisis referensi yang terkait dengan
tema penelitian untuk mendapatkann gambaran dan keterangan dari objek yang
dibahas secara objektif, sistematis, dan relevan. Selanjutnya menurut Nazir,
penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan atau menguraikan beberapa
fakta atau relasi antar peristiwa yang dibahas secara sistematis.27 Dengan kata
lain, penelitian ini hanya akan mendeskripsikan data-data yang diperoleh dan
akan dianalisis dengan menggunakan perspektif teori yang sudah penulis
tentukan. Berdasarkan hal tersebut, didapatkan konsep pemahaman yang sesuai
dengan totalitas konteks dari objek yang dikaji. Melalui penelitian deskriptif,
data-data akan penulis paparkan sesuai dengan yang tergambar pada saat
penelitian di lakukan secara apa adanya.

22
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian (Banjarmasin: Antasari Press, 2011),
h. 6-7.
23
Jumanta Hamdayama, Metodologi Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h.
52.
24
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Rake Press, 1989), h. 16.
25
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian,… h. 14.
26
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 20.
27
Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 63.
11

2. Sumber Data Penelitian


Menurut Sudaryono, data adalah bahan dalam penelitian dan ia berbeda
dengan objek penelitian sebab data kedudukannya bersifat hierarkis di atas
objek penelitian.28

Penelitian ini membagi data dalam dua bentuk:


a. Data utama (primer), data ini merupakan data prioritas dalam penelitian.29
Amirin dikutip oleh Rahmadi menjelaskan bahwa data utama (primer)
adalah data yang diperoleh langsung dari sumber aslinya berupa data
ataupun informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.30 Adapun data
primer dalam penelitian ini adalah konsep mengenai pendidikan pra nikah
dalam kitab Qurratul ‘Uyun.
b. Data sekunder (pelengkap), merupakan data yang didapatkan melalui
sumber kedua dari data primer yang diperlukan.31 Bentuk data sekunder
dalam penelitian ini yaitu hasil bacaan dari buku-buku, atau karya-karya
lain yang berhubungan dengan objek dalam penelitian ini.

Sumber data merupakan subjek darimana data tersebut diperoleh. Ia juga


dapat diartikan dengan orang atau benda tempat peneliti mengaamati, bertanya
maupun membaca terkait informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Kemudian, informasi dari sumber penelitian inilah yang disebut
data.32 Sumber data penelitian ini juga terbagi dalam dua jenis:

a. Sumber data primer yaitu kitab Qurratul ‘Uyun karya yang dikarang oleh
Syekh Muhammad at-Tihami Ibnu Madani.
b. Sumber data sekunder berupa laporan penelitian, buku-buku, artikel, juga
tulisan-tulisan yang terkait dengan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dokumentasi.


Berikut beberapa tahapan yang akan penulis lakukan:

a. Penulis membaca keseluruhan isi dari kitab Qurratul Uyun sehingga akan
ditemukan beberapa pembahasan terkait topik yang penulis bahas dalam
penelitian ini sebagai data dan sumber data utama. Sedangkan untuk data
pelengkap seperti data biografi atau hal yang berkaitan dengan kehidupan

28
Sudaryono, Teori dan Aplikasi dalam Statistik (Yogyakarta: CV Andi Offset,
2014), H. 66.
29
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2011), h. 87
30
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian,… h. 71.
31
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian,… h. 71.
32
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian,… h. 60.
12

dan karyanya, penulis akan mengumpulkan berbagai karya atau sumber


lain.
b. Data-data yang penulis temukan akan disusun dan dipilah yang mana
utama dan mana data sekunder, kemudian ditetapkan dan dikelompokkan
mana sumber terbaik untuk digunakan. Setelah itu, penulis akan melakukan
analisis pada data utama yang terkait dengan objek bahasan dalam
penelitian ini.
c. Melalui data-data yang didapat, penulis akan menyimpulkan hasil analisis.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan content


analysis (analisis isi) dan Hermeneutika. Metode analisis isi merupakan suatu
prosedur untuk mengungkapkan pokok-pokok pemikiran dari tokoh yang
diteliti, pendekatan ini juga digunakan untuk mengungkap isi dari sebuah buku
yang mendeskripsikan situasi dan masyarakat pada saat itu ditulis.33 Cara ini
penulis gunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam kitab
Qurratul ‘Uyun terkait pendidikan pranikah. Demikian beberapa langkah yang
penulis gunakan:

a. Penulis memulai analisis dengan menetapkan tema-tema tertentu.


b. Mengelompokkan data-data yang diperoleh sesuai dengan kriteria dan
kategori tertentu.

H. Teknik Penulisan

Adapun buku yang dijadikan pedoman dalam teknik penulisan ini adalah
buku “Pedoman Penulisan Tesis Program Magister Fakultas Tarbiyah Dan
Keguruan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta” 2018.

I. Sistematika Pembahasan
Penelitian tesis ini ditulis dalam lima bab. Setiap bab memiliki sub babnya
masing-masing. Secara sistematis, penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

Bab pertama, sebagaimana penelitian pada umumnya yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, teknik penulisan,
dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, dijelaskan beberapa konsep terkait pendidikan Pra dan Pasca
Nikah. Bagian ini akan menjelaskan definisi pendidikan Pra dan Pasca Nikah
secara umum dan khusus dalam ranah Islam secara etimologi maupun
terminologi. Dalam bagian ini juga diuraikan tentang isu-isu pernikahan

33
Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Rineka
Cipta, 1999), h. 14.
13

kontemporer yang terkait kasus-kasus kekinian serta akan dijabarkan terkait


teori yang dipakai dalam penelitian untuk menjadi acuan dalam menganalisis
objek penelitian.

Bab ketiga, dijelaskan tentang metode penelitian, mulai dari jenis


penelitian, data penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bab keempat, mengungkap isi kitab Qurratul ‘Uyun dan pembahasan-


pembahasan yang terkait dengan materi pendidikan Pra dan Pasca Nikah. Untuk
memperjelas pokok bahasan, akan diungkap profil Syekh Muhammad al-Tahami
bin Madani dan karyanya yang memuat latar belakang keluarga, pendidikan,
aktivitas dakwah, serta peran intelektual dan sosial. Dalam bagian ini, juga akan
dibahas terkait analisis dan hasil penelitian. Pada uraian ini akan memuat materi
pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam kitab Qurratul ‘Uyun dan
menghubungkannya dengan isu-isu pernikahan kontemporer.

Bab kelima adalah penutup. Pada bagian ini akan dikemukakan kesimpulan
yang akan menjawab beberapa pertanyaan di rumusan masalah, kemudian
dilanjutkan dengan beberapa saran yang memuat keterbatasan penelitian dan
rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Dalam KBBI, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” atau mendidik
yang diartikan sebagai pemeliharaan berupa ajaran tentang akhlak dan cerdasnya
pemikiran.1 Secara aspek bahasa, pendidikan cenderung disebut dengan “at-
Tarbiyah”. An-Nahlawi menyebutkan bahwa at-Tarbiyah terdiri dari tiga
komponen kata, yaitu rabâ-yarbâ yang memiliki makna tumbuh. Rabba-yarubbu
yang bermakna menjaga, memelihara, menguasai, menuntun, dan memperbaiki.
Kemudian rabbâ-yurabbî-tarbiyatan yang artinya memelihara, mengatur,
mendidik.2

Sedangkan secara istilah, para ahli berpendapat bahwa pendidikan itu


adalah suatu proses kegiatan yang pengaplikasiannya dilakukan berdasarkan
tagapan-tahapan tertentu dan sifatnya terus menerus (continue) menyesuaikan
perkembangan peserta didik.3 An-Nahlawi menjelaskan kembali bahwa
pendidikan itu adalah menjaga serta memelihara fitrah anak menuju dewasa,
menumbuhkan minat serta mengembangkan potensinya, serta melatih
kesiapannya untuk menghadapi segala macam aspek dalam kehidupan,
khususnya dalam hal kebaikan.4

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 terkait Sistem Pendidikan Nasional


menjelaskan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar
serta terencana dalam hal mencapai keadaan belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.5 Menurut Zakiyah Darajat, pendidikan adalah sebagai salah satu
kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang
mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.6

2. Landasan Pendidikan

1
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h.
76.
2
Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Sholeh: Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak
dalam Islam (Bandung: Al-Bayan, 1996), h. 20.
3
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan (IAIN Walisongo Pres: Aditya
Media, 1992), h. 16.
4
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat
(Jakarta: Gema Insani press, 1995), h. 32.
5
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
6
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 1.

15
16

Sebagai suprastruktur pengetahuan, pendidikan merupakan fasilitas yang


mulia di samping memiliki muatan yang mulia. Oleh karena itu, pendidikan
harus diberikan penghargaan yang layak. Pendidikan tidak dapat dipertahankan
dengan apa adanya, tetapi harus dibuat untuk mencapai tingkat kehebatan,
sehingga pendidikan dapat secara maksimal mengembangkan dan mempercepat
kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual dari siswa didiknya.7

Pendidikan sebagai sarana belajar manusia untuk mengangkat derajatnya,


sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Mujadalah: 11 dan mendayagunakan ilmu
yang dimilikinya, QS. Al-‘Isra’: 36).

               

               



Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:


“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah
kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(Q.S. Al-Mujadillah: 11).

                 

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra’: 36).
Setiap warga negara Indonesia, tanpa membedakan status sosial, ras, suku,
agama, atau jenis kelamin, berhak memperoleh pendidikan yang bermutu yang
disesuaikan dengan minat dan bakatnya, sebagaimana tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak
ini berlaku untuk semua warga negara Indonesia tanpa memandang status sosial,
ras, suku, agama, atau jenis kelamin. Pemerataan dan pendidikan yang
berkualitas akan memberikan keterampilan hidup yang dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia untuk mengenali dan memecahkan masalah dalam diri dan
lingkungannya, yang akan membantu membangun masyarakat modern yang
beradab berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila.

7
Abdul Rahmat, Pengantar Pendidikan: Teori, Konsep, dan Aplikasi (Bandung:
MQS Publishing, 2010), h. 20
17

Sila pertama falsafah hidup berbangsa dan bernegara Pancasila adalah


sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa; Sila kedua Pancasila adalah
kemanusiaan yang adil dan beradab atau yang sederhana dan berbudaya; Sila
kelima Pancasila adalah keadilan sosial atau hak sipil bagi seluruh bangsa negara
Indonesia. Jadi pendidikan memiliki hubungan kritis dengan cara berpikir
falsafah bangsa dan Negara Indonesia. Tujuan utama pendidikan adalah
membina manusia didiknya untuk mencapai “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Namun juga merupakan komponen
penerimaan “keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia” karena merupakan
lembaga milik masyarakat.

Pemerintah bertekad untuk berupaya menciptakan manusia seutuhnya.


Sebagai penanggung jawab sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan
Nasional (Depdiknas) bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Ada tiga
misi perbaikan masyarakat, yaitu (1) mewujudkan negara Indonesia yang aman
dan tenteram; (2) mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang demokratis dan
berkeadilan; terlebih lagi (3) menjadikan negara Indonesia makmur. Setiap
warga negara akan mampu meningkatkan kualitas hidup, produktivitas, dan
daya saingnya terhadap bangsa lain di era global jika bangsa kita menjadi
bangsa yang berkualitas.

3. Unsur-unsur Pendidikan
Unsur-unsur atau Komponen-komponen dalam pendidikan menggabungkan
beberapa hal yang saling berkaitan. Berikut ini adalah contohnya:

a. Motivasi atau tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional


tertuang dalam Peraturan UU Sisdiknas, yaitu khusus untuk membina
kemampuan siswa agar menjadi orang yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan
rohani, berilmu, dan bertakwa. Mampu imajinatif, bebas dan menjadi
warga negara yang berbasis demokratis dan dapat bertanggung
menjawab.
b. Program pendidikan atau kurikulum adalah kumpulan rencana dan
peraturan yang berkenaan dengan sasaran atau tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, serta teknik yang digunakan sebagai aturan untuk
mengkoordinasikan latihan pembelajaran untuk mencapai tujuan
instruktif tertentu. Rencana pendidikan sebagai aturan untuk
mengkoordinasikan latihan pembelajaran memberikan maksud bahwa
dalam rencana pendidikan ada pembantu untuk komunikasi antara guru
dan siswa.
c. Peserta didik yaitu mengacu pada setiap anggota masyarakat yang
berusaha mewujudkan potensi penuh mereka melalui kesempatan
belajar yang disediakan oleh berbagai jalur, jenjang, dan format
pendidikan tertentu.
18

d. Pendidik atau Instruktur adalah tenaga pendidik yang berkualifikasi


sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, konselor, widyaiswara,
pembina, pengarah, fasilitator, dan berbagai tugas sesuai keahliannya,
serta ikut serta dalam mengatur persekolahan atau pendidikan.
e. Interaksi eduktif adalah Proses dimana siswa berinteraksi dengan guru
dan sumber belajar dalam lingkungan belajar dan disebut dengan
interaksi edukatif.
f. Isi pendidikan adalah Materi pembelajaran yang bertujuan membantu
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara
disebut sebagai muatan pendidikan.
g. Dalam lingkungan pendidikan, manusia berinteraksi satu sama lain
secara timbal balik agar keterampilannya dapat terus meningkat.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat seringkali mencerminkan
lingkungan pendidikan.8

4. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No.
Pasal 2 Tahun 1985, tujuan pendidikan adalah “mencerdaskan kehidupan
bangsa” dan “membangun manusia seutuhnya” yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian baik dan mandiri,
memiliki rasa tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa, serta beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.9

Sementara itu, tujuan pendidikan menurut para ahli, seperti yang


disampaikan oleh Maunah, adalah perubahan yang dialami siswa setelah melalui
dan menjalani siklus pendidikan, baik cara berperilaku maupun keberadaan
individu. Siswa dan keberadaan daerah setempat dari iklim tempat siswa itu
berada sangatlah berpengaruh.10 Sebaliknya, tujuan pendidikan menurut Suardi,
adalah seperangkat hasil pendidikan yang harus dicapai peserta didik setelah
mengikuti kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan sendiri merupakan
komponen sistem pendidikan yang menempati posisi sangat sentral dan
memiliki fungsi yang sangat penting dalam seluruh kegiatan pendidikan.11

5. Fungsi Pendidikan
Berikut ini adalah lima jenis fungsi pendidikan menurut Maryati, yaitu:

a. Transmisi (pemindahan) kebudayaan.

8
Teguh Triyanto, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h. 24-26
9
Undang-undang No. 2 Tahun 1985 tentang tujuan pendidikan di Indonesia.
10
Binti Maunah, Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 17
11
M. Suardi, Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi (Jakarta: PT. Indeks, 2010),
h. 11
19

b. Memilih dan mengajarkan peranan sosial


c. Menjamin integrasi sosial
d. Sekolah mengajarkan corak kepribadian
e. Sumber inovasi sosial.12

B. Pra dan Pasca Pernikahan


1. Pengertian Pranikah
Pranikah berasal dari dua komponen kata, “pra” dan “nikah”, kata “pra”
pada “Kamus bahasa Indonesia” adalah kata awal yang artinya “sebelum”.
“Nikah” dalam KBBI adalah suatu ikatan berupa akad pernikahan yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dan prosesnya dilangsungkan
berdasarkan peraturan yang diatur oleh hukum negara dan agama.13

Konsep pranikah itu sendiri memiliki tingkat urgensi yang tinggi,


khususnya bagi mereka yang sedang bersiap untuk melangsungkan pernikahan
dan persiapan untuk membangun kehidupan berumah tangga yang diharapkan
dapat memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan pernikahan, yaitu
membangun rumah tangga yang harmonis, demikian adalah tujuan dari setiap
pasangan yang memutuskan untuk menikah. Dalam hal membangun rumah
tangga itu sendiri, lahir sebuah keluarga yang hal tersebut adalah madrasah
pertama untuk mengembangkan banyak hal terutama dalam penndidikan
perkembangan anak.

2. Pengertian Pasca Nikah


Istilah pasca nikah mengacu pada sesudah atau setelah akad menikah.
Pendidikan setelah menikah sangat penting bagi kemampuan sebuah keluarga
untuk membangun dan membina rumah tangga yang baik sesuai dengan ajaran
Islam.

Banyak orang menikah tanpa memahami sepenuhnya apa itu pernikahan;


yang mereka tahu hanyalah bahwa itu adalah persatuan yang mengikat secara
hukum antara pria dan wanita. Karena Allah telah menjadikan pernikahan
sebagai lembaga yang menentramkan dan menenteramkan hati, maka pandangan
Islam tentang pernikahan sebenarnya jauh lebih komprehensif dan holistik dari
itu.14

Suami dan istri memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing dalam
kehidupan setelah menikah. Pendidikan pasca nikah berikut ini penting untuk
diketahui: pasangan harus mengetahui keistimewaan dan kewajibannya, karena

12
Maryati, Fungsi Pendidikan, 2007, h. 73-74
13
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai
Pustaka, 1998), h. 614.
14
Syaikh Mahmud Al-Mashri, Bekal Pernikahan (Jakarta: Qisthi Press, 2010), h. 7
20

seandainya mereka mengabaikannya, maka pada saat itu keadaan dalam


keluarganya akan memburuk secara bertahap dari hari ke hari.15

3. Landasan Pendidikan Pra dan Pasca Nikah


Segala hal yang ada dalam kehidupan manusia tentunya memiliki suatu
asas atau dasar tertentu. Asas atau dasar itu sendiri adalah suatu landasan bagi
seseorang untuk membangun sesuatu yang di dalamnya berisi suatu petunjuk
atau jalan untuk mencapai tujuan tertentu. Pendidikan juga memiliki sebuah
landasan, dalam hal pendidikan landasannya adalah suatu asas yang diperlukan
untuk mengembangkan suatu bentuk pendidikan.16

Segala sesuatu itu mempunyai landasan, asas atau dasar, begitu pun dengan
pendidikan pranikah yang mempunyai landasan. Disebabkan ia adalah bagian
proses yang praktiknya terkait dan dijalankan oleh manusia, serta juga ada
prinsip-prinsip serta ketentuan yang sumbernya yaitu pada ajaran Islam, yakni
Al-Qur’an dan Sunnah.17

Berikut ini adalah landasan pendidikan pranikah:

1) Anjuran untuk memelihara dan menjaga diri serta keluarga dari


siksa neraka, sebagaimana Allah swt sudah memberitahu manusia
untuk menjaga keluarga di dalam QS. Surah at-Tahrim ayat 6:
ۤ
‫اْلِ َج َارةُ َعلَْي َها َم ٰلكئ َكة غِ َلظ ِش َداد ََّل‬ ِ ِ َّ
ُ ‫ٰيَي َها الذيْ َن اٰ َمنُ ْوا قُ ْوا اَنْ ُف َس ُك ْم َواَ ْهلْي ُك ْم ََن ًرا َّوقُ ْوُد َها الن‬
ْ ‫َّاس َو‬
‫ص ْو َن ٰاللَ َما اََمَرُه ْم َويَ ْف َعلُ ْو َن َما يُ ْؤَمُرْو َن‬
ُ ‫يَ ْع‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”.
2) Konsep pendidikan dalam pranikah merupakan bagian dari tiga
tempat yang dijelaskan oleh para ahli, bahwa pendidikan pranikah
meliputi tiga hal; pendidikan dalam konsep keluarga, pendidikan
dalam ruang lingkup rumah, dan pendidikan dalam ruang lingkup
sekolah.18

15
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada
Media, 2003), h. 151
16
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN MALANG
PRESS, 2008), h. 30.
17
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, h. 41.
18
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2003), h. 109-110.
21

Berikut ini adalah landasan pendidikan pasca nikah di dalam Al-Qur’an


Surat Ar-Rum Ayat 21;

               

     

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum: 21).
Setelah sistem pernikahan pasangan tersebut akan selalu mendapatkan
perasaan yang diliputi kebahagiaan. Saat ini, puncak kemegahan dan
kebahagiaan diinginkan oleh semua jenis orang. Ada lima aturan yang harus
diperhatikan untuk mewujudkan rasa keharmonisan dan kemesraan dalam
keluarga, yaitu sebagai berikut;

a. Sikap santun dan bijak


b. Saling mengingatkan dalam kebaikan
c. Lebih mengutamakan melaksanakan kewajiban dari pada menuntut hak
d. Saling menutupi kekurangan pasangan
e. Saling tolong menolong.

4. Tujuan Pendidikan Pra dan Pasca Nikah


Pranikah sendiri memiliki tujuan sebagaimana tujuan pernikahan.
Pernikahan adalah suatu hubungan antar laki-laki dan perempuan untuk
membina rumah tangga yang harmonis, melestarikan keturunan dan ibadah
kepada Allah swt.

Dalam pernikahan itu sendiripun juga terdapat hikmah yang begitu banyak,
di antaranya; pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah, memelihara diri
dari perbuatan maksiat, memperoleh garis keturunan yang jelas dan sah,
melaksanakan kehidupan sosial antar individu dan kelompok secara teratur
serta mempererat silaturrahmi antar keluarga.19

Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari pernikahan, maka adanya pendidikan
pranikah diharapkan sebagai bentuk persiapan atas segala sesuatu yang
berkaitan dengan segala aspek dalam pernikahan. Pendidikan pranikah itu
sendiri diadakan sebelum prosesi pernikahan dilangsungkan. Tentu dalam

19
BP 4 (Badan Penasihat, Pembinaan, Dan Pelestarian Provinsi Jawa Timur)
Tuntutan Praktis Rumah Tangga Bahagia (Surabaya: BP 4, 2003), h. 10-11.
22

pelaksanaannya sendiri juga harus berdasarkan kedua belah pihak dan harus
dihadiri oleh kedua calon pasangan.

Tujuan pendidikan pra dan pasca nikah antara lain:

a. Mewujudkan keluarga yang bahagia, tenteram, dan harmonis sesuai


dengan apa yang dimaksud Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa,” bunyi Pasal 1 UU Perkawinan Tahun 1974.
Berangkat dari pernyataan di atas bahwa, perkawinan adalah salah satu
jalan untuk mewujudkan keluarga atau kelompok kecil yang bahagia,
damai, baik, dan sejahtera.20
b. Menciptakan kebahagiaan dan kenyamanan dalam membangun rumah
tangga. Sebagaimana dijelaskan di dalam QS. Ar-Rûm ayat 21:

ِ ِ ِ ِ ‫وِمن اٰ ٰيتِه اَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن اَنْ ُف ِس ُكم اَزو‬


َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُ ْوا الَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َّم َوَّدةً َّوَر ْْحَةً ا َّن ِ ِْف ٰذل‬
‫ك‬ ً َْ ْ ْ ْ َ َ ْ َ
ٍ ِ ٍ
‫َ َٰل ٰيت ل َق ْوم يَّتَ َف َّكُرْو َن‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir”.
5. Manfaat Pendidikan Pra dan Pasca Nikah
Dalam buku yang berjudul “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, Amir
Syarifuddin menjelaskan bahwa melaksanakan pendidikan sebelum
melangsungkan pernikahan akan menghasilkan keuntungan tertentu misalnya
dapat memperoleh keluarga yang harmonis, dengan mencapai hal tersebut
manusia dapat membangun relasi dan sosial yang baik di lingkungan keluarga
maupun masyarakat sekitar. Pembiasaan mendidik diri sendiri memang harus
dilakukan sejak dini yang hal itu harus dimulai dari diri sendiri, kemudian
meluas dalam ranah keluarga. Karena dalam hal rumah tangga, harus dibangun
kesadaran akan tanggung jawab khususnya dalam aspek ibadah dan agama agar
tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak diinginkan.21

Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui


pendidikan pra dan pasca nikah diharapkan mampu memberikan banyak

20
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Jakarta: Kementerian Agama
RI, 2011), h. 20.
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 63.
23

manfaat di antaranya yaitu membina hubungan yang baik dengan pasangan,


membangun rumah tangga yang baik dan penuh kasih sayang, melaksanakan
ibadah, mendidik anak, dan membangun relasi sosial dalam keluarga maupun
masyarakat secara luas dengan baik.

Hal tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya pembiasaan atau latihan-
latihan sendiri dini, khususnya dalam hal mendidik diri sendiri yang kemudian
meluas dengan mendidik pasangan, anak, atau keluarga. Itupun juga harus
dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan, hak, serta tanggung
jawab, yang mana jika ingin membangun rumah tangga yang baik dan
harmonis, tidak hanya dilakukan seorang diri namun dilakukan secara bersama
sehingga lahir kepribadian baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
syariat agama.

6. Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah


Materi yang dibahas atau diajarkan dalam pendidikan pranikah meliputi
seluruh pengetahuan tentang pernikahan. Materi yang diajarkan di antaranya
adalah apa saja hal yang harus dilakukan sebelum menikah, kriteria dalam
memilih calon pasangan hidup, bagaimana proses tentang ta’arruf, proses
khithbah, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pernikahan.
Berikut ini adalah materi pendidikan pasca nikah yang diberikan untuk
bimbingan orang menikah, yaitu:

a. Kewajiban suami
1) Memenuhi kebutuhan hidup, yaitu berupa material dan spiritual.
2) Melindungi keluarga Anda dari berbagai bahaya atau ancaman dan
lindungi diri Anda dan keluarga Anda dari pelanggaran atau
berbuat dosa.
3) Mengasihi istri sebagaimana di ajarkan di dalam agama.
4) Mengarahkan dan membimbing seluruh keluarga ke jalan yang
benar.
5) Sopan, santun dan perhatian kepada orang tua, mertua, dan
keluarganya.
b. Kewajiban istri
1) Menjaga kehormatan diri dan rumah tangganya.
2) Membantu suami dalam mengatur rumah tangga.
3) Mendidik, memelihara dan mengajarkan agama kepada anak-
anaknya.
4) Sopan dan hormat kepada orang tua, baik mertua dan keluarganya.

7. Ruang Lingkup dalam Pendidikan Pra dan Pasca Nikah


Beberapa konsep pembelajaran ditawarkan oleh Islam itu sendiri sebagai
sarana pendidikan pra dan pasca nikah untuk calon-calon pasangan, di
antaranya:
24

a. Beberapa materi terkait hubungan suami dengan istri serta konsep


pembentukan keluarga harmonis, ada beberapa landasan dan prinsip
yang harus dipelajari dan dilaksanakan oleh masing-masing calon, baik
itu hal-hal yang bersifat internal maupun eksternal. Hal-hal yang
sifatnya internal meliputi bagaimana bersikap baik dengan sesama
manusia, memilih calon pasangan berdasarkan hati dan keridhaan, bisa
bersosial dan menjalankan suatu hal bersama, bermusyawarah, penuh
cinta, menjalankan keadilan serta kebaikan. Sedangkan hal-hal yang
sifatnya eksternal seperti membangun relasi dengan keluarga besar
ataupun bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.22
b. Beberapa materi terkait tentang masalah hak serta tanggung jawab
masing-masing individu dalam pasangan. Jika proses akad nikah telah
dilangsungkan serta sudah memenuhi syarat dan rukun, serta sah di
mata agama, maka dari hal tersebut melahirkan atau menimbulkan
suatu akibat hukum. Hubungan pernikahan yang harmonis dan baik
lahir dari mereka yang menjalankan hak serta kewajiban dengan benar.
Mengenai pembahasan terkait hak dan kewajiban dalam rumah tangga
dalam ranah Islam, terbagi pada tiga; suami wajib memenuhi hak-hak
istri, di antaranya memperlakukan istri dengan baik, menjaga dan
memberinya nafkah lahir maupun batin, mendidik dan mengayomi istri
dalam pembinaan akhlak dan menghadapi istri dengan penuh
kesabaran, berkasih sayang, dan penuh cinta. Begitu pula sebaliknya,
istri juga harus memenuhi hak-hak suami, di antaranya melayani suami
dengan baik, menjaga diri, serta juga memelihara harta suami.
Kemudian juga terdapat kewajiban yang harus dijalankan secara
bersama, seperti menjaga keseimbangan hak dan tanggung jawab
masing-masing, serta kesadaran diri akan pentingnya hal tersebut.
c. Beberapa materi yang terkait dengan kewajiban suami istri dalam
mendidik anak-anak dan keluarga.
d. Beberapa materi yang terkait dengan bagaimana suami istri mampu
bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat secara luas.23

C. Pernikahan Dalam Islam


1. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan

Pernikahan sebagai sebuah konsep memiliki ruang lingkup yang begitu luas
dan dapat dipotret dari berbagai segi, baik itu sudut pandang agama maupun
hukum dalam masyarakat. Di Indonesia, Hukum Positif atau Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974, berisi tentang hukum perkawinan. Yang menyatakan bahwa:
Sebagai suami istri, seorang pria dan seorang wanita membentuk ikatan lahir

22
Yusdani, Menuju Fiqih Keluarga Progresif (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2011), h. 183.
23
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Jakarta: Kementerian Agama
RI, 2011), h. 86-92.
25

batin dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.24

Regulasi Islam bergantung pada gagasan Kompilasi Hukum Islam (KHI),


tepatnya adalah “ikatan yang sangat dekat untuk tunduk pada perintah Allah
dan melakukannya adalah ibadah yang berharga”. Demikian penjelasan dari
Peraturan UU No. 1 Tahun 1974, yang berarti bahwa akad nikah bukan sekedar
perjanjian perdata yang bernilai agama sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, tetapi juga mencakup lebih dari sekedar perjanjian perdata.25

Menurut Sayyid Sabiq, pernikahan merupakan sarana terbaik untuk


menyalurkan naluri seksual manusia. Pernikahan mampu menjauhkan manusia
dari rasa gelisah, dapat menjaga pandangan mata dari sesuatu yang dilarang,
dan beralih pada sesuatu yang dihalalkan oleh Allah Swt. Sebagaimana firman
Allah Swt di dalam Al-Qur’an, yang berbunyi;

                

    

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum: 21).
Kemudian Sayyid Sabiq juga mengemukakan dalil Hadis Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.;

ٍ َ‫ إِ َّن الرأَةَ تُ ْقبِل ِِف صورةِ َشيط‬:‫ال رسو ُل للاِ صلَّى للا علَي ِه وسلَّم‬
‫ان‬ َ َ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ َر ِض َي للاُ َعْنهُ ق‬
ْ َْ ُ ُ َْ َ ََ َْ ُ َ ْ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
.‫ك يَُرد َما ِِف نَ ْف ِس ِه‬ ِ ِ ِ ٍ ِ
َ ‫صَر أَ َح ُد ُك ْم ا ْمَرأَةً فَ ْليَأْت أَ ْهلَهُ فَإِ َّن ذَل‬
َ ْ‫ص ْوَرةِ َشْيطَان فَِإذَا أَب‬
ُ ‫َو تُ ْدبُر ِِف‬
Artinya: “sesungguhnya perempuan itu datang dan pergi bagaikan syaitan.
Jika salah seorang dari kalian melihat seorang perempuan (dan tergoda),
hendaklah ia mendatangi istrinya, karena hal tersebut dapat mencegah apa yang
terdapat dalam dirinya (yakni gejolak syahwat)” (H. R. Muslim, No. 2491).
Pernikahan merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan keturunan,
menjaga keberlangsungan hidup dan dapat menghindari terputusnya nasab yang
mendapatkan perhatian tersendiri dalam Islam. Keturunan yang banyak dapat
memberi kemaslahatan secara umum dan manfaat yang dapat dirasakan secara

24
Dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
25
Jamaluddin, Buku Ajar Hukum Perkawinan (Lhokseumawe: Unimal Press,
2016), h. 23.
26

khusus. Dengan demikian, banyak negara berusaha untuk memperbanyak


penduduknya dengan memberikan bantuan sebagai motivasi kepada siapa pun
yang memiliki keturunan yang banyak.

Pernikahan menurutnya juga merupakan naluri kebapakan dan keibuan akan


terus berkembang dan semakin sempurna setelah lahirnya anak. Kemudian rasa
kasih sayang akan semakin nampak, dengan itu akan menyempurnakan sifat
kemanusiaan seorang manusia.26

Dari sisi lain, sebagian besar ulama sependapat bahwa perkawinan itu sah
dengan asumsi ada kesepakatan (ijab dan kabul) antara wali perempuan dan
suami, atau antara pertemuan seperti wali dari perempuan.27 Salah satu ibadah
yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Islam adalah terkait dengan
anjuran menikah. Dalam Al-Qur’an dan hadits menjelaskan tentang pernikahan,
yaitu pada QS. An-Nisa ayat 1:

َّ َ‫اح َدةٍ َّو َخلَ َق ِمْن َها َزْو َج َها َوب‬


‫ث ِمْن ُه َما ِر َج ًاَل‬ ِ ‫س َّو‬ٍ ‫َّاس اتَّ ُق ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ ْي َخلَ َق ُك ْم ِم ْن نَّ ْف‬ُ ۤ ‫ٰيَي َها الن‬
ۤ
‫َكثِْي ًرا َّونِ َساءً َواتَّ ُقوا ٰاللَ الَّ ِذ ْي تَ َساءَلُْو َن بِه َو ْاَلَْر َح َام اِ َّن ٰاللَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِْي بًا‬
Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya
pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.28
Penjelasan dari ayat tersebut adalah bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa
diciptakan secara khusus secara individual atau sendirian, kemudian diciptakan
pasangan dari dirinya sendiri. Penciptaan Adam dan Hawa tidak seperti makhluk
lainnya yang melalui proses kehamilan dan kelahiran. Proses penciptaannya
tidak dapat dijelaskan secara ilmu pengetahuan (sains). Namun, anak-anak dari
mereka kemudian terlahir seperti anak-anak pada umumnya yang melalui proses
biologis manusia sebagaimana kehendak dari Allah swt.

26
Akmal Abdul Munir, “Pemikiran Sayyid Sabiq Mengenai Hikmat al-Tasyri’
Hukum Perkawinan dalam Kitab Fiqh al-Sunnah”, Hukum Islam, Vol. 1, No. 2 Desember
2021.
27
Opik Taupik dan Ali Khosim al-Mansyur, Fiqih 4 Madzhab Kajian Fiqih-Ushul
Fiqih (Bandung: tt, 2014), h. 173.
28
Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa tidak diciptakan melalui
proses evolusi hayati seperti makhluk hidup lainnya, tetapi diciptakan secara khusus
seorang diri, lalu diciptakanlah pasangannya dari dirinya. Mekanismenya tidak dapat
dijelaskan secara sains. Selanjutnya, barulah anak-anaknya lahir dari proses biologis secara
berpasangan-pasangan sesuai kehendak-Nya.
27

Hidup berpasangan sudah merupakan ketentuan dan kehendak Allah swt


atas seluruh makhluknya, manusia, binatang sekalipun tumbuh-tumbuhan. Allah
berfirman di dalm surah Adz-Dzariyat ayat 49:

ِ ْ ‫وِم ْن ُك ِل َشي ٍء َخلَ ْقنَا َزْو َج‬


‫ْي لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكُرْو َن‬ ْ َ
Artinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat (kebesaran Allah)” (QS. Adz-Dzariyat: 49).
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, Berpasang-pasangan dalam
arti yang umum ialah berawal berakhir, berlahir-berbatin, berbesar-berkecil,
berhina-bermulia, bertinggi-berendah, berlaut-berdarat, berdahulu-berkemudian,
beebumi-berlangit, bergelap-berterang, berhidup-bermati, beriman-berkafir,
berbahagia-berbahaya, bersyurga-berneraka, dan lain-lain sebagainya. Adapun
makna terbatas ialah berpasang-pasangan, berlaki-laki dan berperempuan, dan
lebih diperkecil yang bersuami-istri. Semua dijadikan Tuhan segala dua atau
sepasang dua. Maka seluruh alam yang diciptakan oleh Allah ini, tidaklah
dijadikan dengan sendiri dan tidaklah berarti, atau kuranglah artinya selama dia
masih sendiri. Hanya Allah saja yang ada sendirinya, tidak ada sesuatu yang jadi
pasangannya.29

Kemudian dalam surah Yasin ayat 36:

‫ض َوِم ْن اَنْ ُف ِس ِه ْم َوِِمَّا ََل يَ ْعلَ ُم ْو َن‬ ِ


ُ ِ‫اج ُكلَّ َها ِمَّا تُْنب‬
ُ ‫ت ْاَلَْر‬
ِ َّ
َ ‫ُسْب ٰح َن الذ ْي َخلَ َق ْاَلَْزَو‬
Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-
pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
sendiri maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS. Yasin: 36).
Allah menetapkan aturan hidup dengan pola tertentu kepada makhluknya,
di antaranya yaitu hidup berpasang-pasangan. Diciptakannya laki-laki dan
perempuan, kemudian menikah, berhubungan biologis, melalui proses kehamilan
dan kemudian melahirkan. Demikian adalah sarana untuk berkembang biak demi
melestarikan keturunan dan mempertahankannya untuk kehidupan selanjutnya.
Masing-masing pasangan juga diberikan Allah swt bekal untuk mencapai tujuan
tersebut baik berupa keilmuan yang dipelajarinya maupun rezeki dan pekerjaan
yang diusahakannya.30 Firman Allah swt dalam surah Al-Hujurat ayat 13:

ِ‫ٰيَي ها النَّاس اِ ََّن خلَ ْقٰن ُكم ِمن ذَ َك ٍر َّواُنْثٰى وجعلْٰن ُكم شعوب َّوقَب ۤاكئل لِت عارفُوا اِ َّن اَ ْكرم ُكم ِعْند ٰالل‬
َ ْ ََ ْ َ َ َ َ َ ً ُْ ُ ْ َ َ َ ْ ْ َ ُ َ
ِ ِ
‫اَتْ ٰق ُك ْم ا َّن ٰاللَ َعلْيم َخبِْي ر‬

29
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, tt), h.
6923
30
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid III (Yogyakarta: Cakrawala Publishing, t.t), h.
196.
28

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahateliti” (QS. Al-Hujurat: 13).
Allah swt juga memberikan beberapa ketetapan dan aturan dalam
pernikahan, sehingga berbeda dengan apa yang biasanya dilakukan oleh binatang
yang melakukan hubungan pernikahan secara bebas. Manusia memiliki fitrah
yang cenderung kepada kebaikan, harga diri dan kehormatan yang harus dijaga.
Justru itu, Allah swt menetapkan batasan-batasan tertentu dan menjadikan
hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan yang sah dan
terdapat unsur keridhaan dalam prosesnya. Pernikahan dilangsungkan sesuai
dengan syarat dan rukun-rukunnya.31

Melalui pernikahan yang sah, pasangan dapat melanjutkan dan menjalani


kehidupan rumah tangga yang memiliki tujuan mulia. Selain itu, perempuan
juga lebih terjaga dari nafsu-nafsu para lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Pernikahan yang damai dan harmonis yang akan mendapat keridhaan dari Allah
swt.32

Islam menganjurkan agar melangsungkan pernikahan dengan beragam


bentuk anjuran.33 Di antaranya adalah QS. Ar-Ra’d ayat 38:

ِ‫ولَ َق ْد اَرس ْلنا رس ًل ِمن قَبلِك وجعلْنا ََلم اَزواجا َّوذُ ِريَّةً وما َكا َن لِرسوٍل اَ ْن ََّّيِْت ِبٰي ٍة اََِّل ِبِ ْذ ِن ٰالل‬
َ َ ُْ َ ََ ً َ ْ ُْ َ َ َ َ َ ْ ْ ُ ُ َ َ ْ َ
‫لِ ُك ِل اَ َج ٍل كِتَاب‬
Artinya: “Sungguh Kami benar-benar telah mengutus para rasul sebelum
engkau (Nabi Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan. Tidak mungkin bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti
(mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa ada
ketentuannya” (QS. Ar-Ra’d: 38).
Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ِ ِ
َ ْ ‫ اَْربَع م ْن ُسنَ ِن الُْر َسل‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَ َم‬
‫ْي اْلَيَاءُ َوالتَّ َعطُر‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ ‫َع ْن أَِب أَيُ ْو‬
َ َ‫ب ق‬
‫اح‬ ِ ِ
ُ ‫َوالس َو ُاك َوالن َك‬

31
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... h. 197.
32
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... h. 197.
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... h. 199.
29

Artinya: “Ada empat hal yang termasuk sunnah para rasul, yaitu: malu,
memakai minyak wangi, bersiwak, dan menikah” (HR. At-Tirmidzi, No.
1080 dan Musnad Imam Ahmad).

Allah swt juga memberikan karunia yang banyak melalui pernikahan.34


Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. An-Nahl ayat 72:

ِ ‫و ٰالل جعل لَ ُكم ِمن اَنْ ُف ِس ُكم اَْزواجا َّوجعل لَ ُكم ِمن اَْزو ِاج ُكم بنِْي وح َف َد ًة َّورزقَ ُكم ِمن الطَّيِٰب‬
‫ت‬ َ ْ ََ َ َ َْ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ً َ ْ ْ ْ َ ََ ُ َ
ِ
‫اط ِل يُ ْؤِمنُ ْو َن َوبِن ْع َمت ٰالل ُه ْم يَ ْك ُفُرْو َن‬
ِ ِ ِ ‫اَفَبِالْب‬
َ
Artinya: “Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis
kamu sendiri, menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-
cucu, serta menganugerahi kamu rezeki yang baik-baik. Mengapa terhadap
yang batil mereka beriman, sedangkan terhadap nikmat Allah mereka
ingkar?” (QS. An-Nahl: 72).
Allah juga berfirman dalam QS. Ar-Rûm ayat 21:
ِ ِ ‫وِمن اٰيٰتِه اَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن اَنْ ُف ِس ُكم اَزواجا لِتس ُكن وا اِلَي ها وجعل ب ي ن ُكم َّموَّدةً َّور ْْحةً اِ َّن‬
َ ‫ِف ٰذل‬
‫ك‬ ْ َ َ َ ْ َ َْ َ َ َ َ َ ْ ْ ُ ْ َ ً َ ْ ْ ْ ْ َ َ ْ َ
ٍ ِ ٍ
‫َ َٰل ٰيت ل َق ْوم يَّتَ َف َّكُرْو َن‬
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar
kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta
dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-
Rum: 21).

Allah swt juga akan memberikan berbagai kemudahan dan memberi


kecukupan kepada mereka-mereka yang siap menikah dan membangun rumah
tangga. Allah swt juga akan memberikan bekal kesabaran dan kekuatan untuk
menanggung semua beban dan tanggung jawab yang diemban.35

Firman Allah swt dalam QS. An-Nur ayat 32:

ِ َ‫الصلِ ِحْي ِمن ِعب ِاد ُكم واِم ۤاكئ ُكم اِ ْن يَّ ُكونُوا فُ َق ۤراء ي ْغنِ ِهم ٰالل ِمن ف‬ ِ ِ
ُ‫ِله َو ٰالل‬
ْ ْ ُ ُ ُ ََ ْ ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ ٰ ‫َواَنْك ُحوا ْاَلَ َي ٰمى مْن ُك ْم َو‬
‫َو ِاسع َعلِْيم‬
Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu
dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu,
baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi

34
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... h. 200.
35
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... h. 200.
30

kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas


(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32).
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Sabda Rasulullah
saw:

‫ ثََلثَة َحق َعلَى للاِ َع ْونُ ُه ْم‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬َ َ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ َر ِض َى للاُ َعنْهُ ق‬
ِ ِ ِ َ‫اهد ِِف سبِي ِل للاِ وال َكات‬ ِ
‫اف‬ َ ‫ب الَّذ ْي يُِريْ ُد الَ َداءَ َوالنَّاك ُح الَّذي يُِريْ ُد‬
َ ‫الع َف‬ ُ َُ ْ َ ُ ‫الُ َج‬
Artinya: “Ada tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan Allah swt,
yaitu: Orang yang berjuang di jalan Allah, seorang budak yang ingin
merdeka, dan orang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR.
Sunan Tirmidzi No. 1579 dan Shahih Ibnu Ashim, Al-Jihad No. 274).

2. Hukum Pernikahan
a. Wajib
Nikah hukumnya wajib untuk mereka yang khawatir dan merasa takut
tidak bisa menjaga diri dan terjerumus dalam zina. Pasangan yang menikah,
akan memiliki hak dan tanggung jawabnya masing-masing, menjaga diri dan
keharmonisan.36

Imam Qurthubi berkata: “Para ulama tidak berbeda pendapat terkait hukum
menikah adalah wajib bagi mereka yang mampu, dan jika tidak menikah itu
akan membahayakan agama dan dirinya”.

Apabila beberapa pasangan yang takut atau khawatir mengenai rezeki, atau
jika seorang laki-laki khawatir tidak bisa menafkahi istrinya, maka sesuai
dengan firman Allah swt, bahwa Dia akan memberikan kemudahan dan
keluasan rezeki, dalam QS. An-Nur ayat 33:

‫ت‬ ِ ‫ف الَّ ِذين ََل ََِيدون نِ َكاحا ح ّٰت ي غنِي هم ٰالل ِمن فِلِه والَّ ِذين ي ب ت غون الْ ِكت‬ ِ ‫ولْيستَ ْع ِف‬
ْ ‫ٰب ِمَّا َملَ َك‬ َ َ ْ ُ َ َْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ ُ َ ْ ُ َ ً َ ْ ُ َْ ََْ
ِ
‫اَْْيَانُ ُك ْم فَ َكاتِبُ ْوُه ْم ا ْن َعلِ ْمتُ ْم فِْي ِه ْم َخْي ًرا َّواٰتُ ْوُه ْم ِم ْن َّم ِال ٰاللِ الَّ ِذ ْي اٰ ٰتى ُك ْم َوََل تُ ْك ِرُه ْوا فَتَ ٰيتِ ُك ْم َعلَى‬
‫اْلَٰيوةِ الدنْيَا َوَم ْن ي ْك ِرْهه َّن فَاِ َّن ٰاللَ ِم ْن بَ ْع ِد اِ ْكَر ِاه ِه َّن َغ ُف ْور‬ ِ ِ ِۤ
ْ ‫ض‬ َ ‫الْبِغَاء ا ْن اََرْد َن ََتَصنًا لتَ ْب تَ غُ ْوا َعَر‬
‫َّرِحْيم‬
Artinya: “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga
kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki
menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian

36
Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Islam House.com,
2012, h. 6.
31

dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.


Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk
melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena
kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa” (QS. An-Nur: 33).
b. Sunnah
Hukum pernikahan menjadi sunnah untuk mereka yang mempunyai
syahwat namun bisa menahan diri dan tidak ada kekhawatiran terkait
imannya.37

c. Haram
Hukum nikah menjadi haram Ketika orang tidak mau menikah karena
khawatir tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya, seperti memberikan
nafkah kepada istrinya baik secara finansial maupun spiritual, maka akad nikah
menjadi tidak sah. Jika nafsu seseorang tidak terlalu kuat atau dia berpikir
bahwa jika dia menikah, dia akan meninggalkan Islam, maka hukum larangan
pernikahan tidak berlaku untuk mereka.38

d. Makruh
Untuk individu yang kondisinya mirip dengan yang dijelaskan di atas tetapi
tidak membahayakan istrinya secara signifikan. Istri tidak banyak mendapatkan
efek madharat ketika menikah. Dengan asumsi kondisinya seperti itu, maka
orang tersebut tidak boleh menikah terlebih dahulu, karena menikah itu
makruh.39

e. Mubah
Bagi orang yang mampu untuk melangsungkan perkawinan, dan jika dia
tidak melakukannya dia tidak khawatir melakukan perselingkuhan atau berzina
dan jika dia menikah dia tidak akan meninggalkan pasangannya, maka pada
saat itu, orang tersebut hukumnya adalah mubah.

Hukum pernikahan seseorang bervariasi, dapat ditentukan oleh keadaan


dari orang tersebut. Dalam menentukan hukum pernikahan harus melihat
setidaknya pada dua hal, pertama kemampuan melaksanakan kewajibanya (baik
itu suami maupun istri) dan yang kedua adalah kesanggupan dalam menahan

37
Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, h. 7.
38
Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Press,
2009), h. 325
39
Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif
(Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 40
32

diri, artinya sanggup atau tidaknya seseorang itu mengendalihan hawa nafsunya
jangan sampai berujung kepada perzinaan.40

3. Rukun Pernikahan
Rukun adalah sesuatu yang termasuk dalam urutan pekerjaan yang
menentukan sah (valid) atau tidaknya suatu pekerjaan tersebut.41 Sesuai dengan
sabda Nabi dari Uqbah :

‫ أَ َحق الشُرْو ِط اَ ْن‬: ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ َ‫َع ْن ُع ْقبَةَ بْ ِن َعا ِم ٍر َر ِض َي للاُ َعْنهُ ق‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬
ِ ‫الشُرْو ِط ِّف ال ْه ِر ِعْن َد َع ْق ِد النِ َك‬
.)‫اح‬ ُ ‫اب‬ ِ َ‫تُو َّّف بِِه ما اِ ْستَ ْحلَلْتُم بِِه ال ُفروج (أَ ْخرجهُ الب َخا ِري ِّف كِت‬
َ ُ َ َ َ ُْ ْ َ َ
Artinya: Dari Uqbah bin Amir ra, ia berkata: Rasulullah Saw: bersabda:
“syarat yang paling patut kalian tepati adalah syarat yang dapat
menghalalkan kemaluan” (HR. Bukhari dalam kitab ke 54 kitab syarat-
syarat, bab k2-6 syarat-syarat dalam mahar ketika akad nikah).

Unsur pokok pernikahan adalah Laki-laki dan perempuan yang akan


menikah, akad nikah itu sendiri, wali yang membuat akad dengan suami, dan
dua orang saksi yang melihat akad nikah ditandatangani adalah bagian
terpenting dari sebuah pernikahan. Rukun nikah yang lengkap menurut
pandangan ini adalah sebagai berikut:

1) Calon mempelai laki-laki;


2) Calon mempelai perempuan;
3) Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan
perkawinan;
4) Dua orang saksi;
5) Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh
suami.42

Al-Jaziri menyatakan bahwa mazhab Malikiyah berpendapat bahwa


perkawinan dibangun di atas lima rukun: wali, mahar (yang harus diperoleh
tetapi tidak harus diterbitkan), suami, istri, dan sighat.43

Hubungan dalam bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan


merupakan bagian dari yang menjadikan perkawinan itu apa adanya, seperti
kebutuhan atau kewajiban adanya laki-laki dan perempuan untuk menjadi calon,

40
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam
Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 109
41
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu' wal Marjam (Semarang: Pustaka Nun,
2012), h. 271.
42
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 61.
43
Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga (Jakarta:
Graha Paramuda, 2008), h. 14
33

wali, ijab kabul, dan dua orang saksi. Rukun nikah telah disempurnakan dalam
istilah hukum Islam tentang pernikahan yang sah.

4. Syarat Pernikahan
Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), suatu pekerjaan (ibadah) hanya sah jika memenuhi
syarat-syarat tertentu, seperti menutup aurat untuk shalat atau mewajibkan
mempelai laki-laki atau perempuan yang beragama Islam, yang diwajibkan oleh
Islam.44

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang


bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, sebaliknya, istilah “syarat nikah”
dan “rukun nikah” masing-masing mengacu pada syarat calon mempelai, wali,
saksi, dan ijab qabul. Dengan kata lain, Islam melarang pernikahan sesama jenis
(laki-laki dengan perempuan, laki-laki dengan perempuan) karena hanya
mengenal perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Adapun secara umum syarat-syarat adalah sebagai aturan, keadaan yang


harus dipenuhi bagi orang yang akan menikah adalah sebagai berikut:

a. Syarat-syarat Suami
1) Bukan mahram dari calon istri;
2) Tidak terpaksa, melainkan atas kemauan sendiri;
3) Jelas orangnya;
4) Tidak sedang ihram.
b. Syarat-syarat Istri
1) Tidak ada halangan yang syara’, yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah.
2) Merdeka, atas kemauan sendiri;
3) Jelas orangnya;
4) Tidak sedang ihram.
c. Syarat-syarat Wali
1) Laki-laki;
2) Baligh;
3) Waras akalnya;
4) Tidak dipaksa;
5) Adil;
6) Tidak sedang ihram.
d. Syarat-syarat Saksi
1) Laki-laki;
2) Baligh;
3) Waras akalnya;
4) Adil;

44
Sohari Sahrani Dan Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 12
34

5) Dapat mendengar dan melihat;


6) Bebas, tidak dipaksa;
7) Tidak sedang mengerjakan ihram;
8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.45
e. Syarat-syarat Shigat
1) Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran;
2) Diucapkan oleh wali atau wakilnya;
3) Tidak diikatkan dengan batas waktu tertentu;
4) Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan);
5) Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab;
6) Menyebut nama calon istri; dan
7) Tidak diulangi dengan perkataan lain.

Shigat harus dilakukan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang
yang membuat atau melakukan akad, orang yang menerima akad, dan saksi.
Shigat harus digunakan untuk menunjukkan waktu akad dan saksi. Entah Shigat
harus menggunakan kalimat yang mengacu pada waktu sebelumnya atau satu
orang harus menggunakan kalimat yang mengacu pada waktu yang akan
datang.46

Agar akad berlaku, Shigat harus terikat oleh batasan tertentu. Misalnya
dengan menyatakan: Anda akan menikah dengan putri saya. Lalu laki-laki itu
menjawab: “Sesungguhnya aku mengakui atau menerimanya”. Akad yang
bergantung pada kondisi atau tanggal tertentu tidak sah, sedangkan akad yang
disebutkan di atas sah dan mengikat.47

5. Tujuan Pernikahan
Perkawinan adalah tujuan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yaitu
rencana usaha manusia dalam kehidupan bersama dan ukhrowi. Di antara
tujuan menikah menurut Imam Syafi'i dalam kitabnya Wahbah Zuhaili adalah:
Menjaga keturunan, menyalurkan nafsu, yang bisa berbahaya jika dikendalikan,
dan memperoleh kenikmatan (surga ada karena tidak ada proses atau
pengendalian kelahiran).48

Tujuan pernikahan bersifat subyektif karena biasanya setiap orang berbeda-


beda tujuan menikahnya. Tujuan pernikahan antara lain, yaitu:

a. Menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT;

45
Sohari Sahrani Dan Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 12
46
Aminuddin Dan Slamet Abidin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia,
1999), h. 34
47
Aminuddin Dan Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, h. 35
48
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi'i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadits (Jakarta: Al-Mahira, 2008), h. 452
35

b. Menjaga iffah (kehormatan diri);


c. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta
memperkembangkan suku-suku bangsa manusia;
d. Memenuhi naluri tuntunan hidup manusia;
e. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan;
f. Membentuk dan mengatur rumah tangga menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas cinta dan kasih sayang;
g. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, serta memperbesar rasa tanggung jawab.49

Pelaku (suami dan istri) akan memperoleh manfaat dari perkawinan yang
ikhlas karena baik laki-laki maupun perempuan akan timbul rasa sayang dan
memiliki, dan mereka akan merasakan manfaat perkawinan, antara lain:
Adanya rasa puas dan senang batin, rasa cinta terhadap istri dan anak-anak
seseorang yang berakar pada tanggung jawab atas kesejahteraan fisik dan
mental mereka.50

6. Hikmah Pernikahan
Dalam pernikahan yang diridhai Allah swt., terdapat banyak hikmah yang
dapat dirasakan. Di antaranya, melalui pernikahan dapat membangun dan
memperkuat ikatan sosial, jiwa persaudaraan yang semakin erat, menyatukan
dua keluarga, saling berempati, tolong menolong serta berkasih sayang. Hal
tersebut akan menimbulkan kebahagiaan.51

Abu Malik Kamal mendeskripsikan terkait hikmah pernikahan sebagai


berikut:

1. Menjalankan perintah Allah swt


2. Menjalankan sunnah Rasulullah saw
3. Menundukan nafsu serta menjaga kehormatan
4. Menjaga kehormaatan perempuan
5. Memperbanyak keturunan
6. Sarana untuk memperoleh syafa’at untuk masuk syurga melalui anak
7. Memperoleh kedamaian, penuh cinta dan kasih sayang.52

D. Isu-isu Pernikahan Kontemporer


1. Pernikahan Poligami

49
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 12-13
50
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993), h. 27
51
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... h. 207.
52
Abu Malik Kamal, Sahih Fikih Sunnah, Jilid III (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
h. 109.
36

Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Greek (Yunani), yang


terdiri dari dua kata, yaitu polus dan games. Polus berarti banyak, sedangkan
games berarti perkawinan, yang mana seorang laki-laki mempunyai isteri lebih
dari seorang dalam satu waktu.53 Menurut ajaran Islam, istilah poligami diambil
dari bahasa Arab ‫ تعدد الزوجات‬yang artinya beristeri banyak lebih dari seorang.54
Para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa poligami adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan.

Poligami, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sistem


perkawinan dimana satu orang memiliki atau mengawini banyak orang yang
berlainan jenis secara bersamaan.55 Poligami, di sisi lain, didefinisikan sebagai
pernikahan antara satu orang dan dua orang atau lebih, di dalam Kamus Ilmiah
Populer, tetapi biasanya mengacu pada pernikahan antara satu suami dan dua
atau lebih istri.56

Secara terminologis, Siti Musdah Mulia menggunakan istilah "poligami"


untuk menggambarkan perkawinan di mana seorang suami menikahi lebih dari
satu perempuan dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan
perkawinan jenis ini seharusnya berpoligami. Secara gamblang, Moch. Anwar
menegaskan, beristri lebih dari satu adalah poligami.57

Orang Arab sering melakukan poligami. Namun, jenis poligami pada masa
itu tidak sama dengan sekarang. Saat ini, poligami melibatkan hidup dengan
banyak istri secara berdampingan. Mereka juga diperbolehkan untuk berpisah
dari salah satu pasangan mereka jika mereka menginginkannya. Namun,
sebelum Islam, perceraian tidak dikenal dalam masyarakat Arab. Perempuan
adalah komoditas atau obyek. Dalam pernikahan itu, laki-laki tidak peduli pada
kebahagiaan atau ketidakpuasan (senangan) istri.

Karena laki-laki yang memiliki pasangan lebih dari satu memiliki


kemampuan materi, maka poligami dapat mengangkat derajat laki-laki.
Akibatnya, masyarakat cenderung menghormati laki-laki yang beristri lebih
dari satu karena keahliannya dalam masalah keuangan. Sedangkan wanita yang
memiliki lebih dari satu suami mengalami perasaan bangga dan terhormat
sebagai akibat dari peningkatan status suaminya.58

53
Hasan Shadily, Ensiklopedi indonesia (jakarta: sinar baru van houve, 1984), h.
2736
54
Anis Ibrahim, Al-Mu'jam Al-Wasith (Mesir: Dar Al-Ma'arif, 1972), h. 405
55
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 885
56
Pius. A Partanto, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), h. 606
57
Moch Anwar, Fiqh Islam: Muamalah, ,Munakahat, Faraid dan Jinayah (Bandung:
Al-Ma'arif, 1980), h. 149
58
Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro dan Kontra (Bandung: Syamil,
2007), h. 2
37

Dijelaskan di dalam Al-Quran pada Surah An-Nisa ayat 3 dan 129


berkaitan dengan poligami, yang berbunyi;

                 

            

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. An-Nisa: 3).

                

       

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 129).
Dalam situasi ini, banyak tokoh kontemporer yang berkomentar tentang
poligami, salah satunya adalah Muhammad Rasyid Ridha yang mengatakan
bahwa tanggapan Al-Syarth dalam Surat An-Nisa ayat 3 di atas adalah bahwa
komitmen untuk memperlakukan wanita secara wajar dan penyangkalan
terhadap tindakan yang tidak wajar terhadap mereka adalah sesuatu yang
seharusnya. Dijauhkan dari sebagai kewajiban untuk menghindari kezaliman
terhadap anak yatim, karena keduanya berpotensi mengganggu tatanan alam
dan menimbulkan kemurkaan Allah SWT.59

Sebaliknya Al-Syaukani, mengklaim bahwa para ulama telah sepakat


bahwa kalimat Syarth ayat tersebut tidak ada artinya, karena boleh bagi mereka
yang tidak takut berlaku adil kepada anak yatim untuk menikah dengan banyak
atau lebih dari seorang.60 Sementara itu, Fazlur Rahman menilai poligami itu
ada kaitannya dan merupakan jawaban penelitian terhadap isu-isu yang ada saat
itu. Dengan demikian, teks ini merupakan teks relevan yang bersandar pada
permintaan sosial yang ada. Dengan menggunakan pendekatan holistik, maka

59
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar Al-Ma'arif, tt), h. 347
60
Muhammad Al-Syaukani, Fath Al-Qadir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt),
h. 529
38

perlu mengkaji semua nas yang berkaitan dengan pernikahan untuk menemukan
konsep pernikahan Islam.

Quraish Shihab menyebutkan sebuah ayat, surat An-Nisa’: 3, yang sering


disebut ketika membicarakan poligami. Secara keseluruhan, termasuk sabda
Nabi kepada Gailan bin Umayyah, yang saat itu memiliki sepuluh istri dan
diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat ketika dia masuk Islam.
Sehubungan dengan pembenaran turunnya ayat an-Nisa’ (4): 3 maka A’isyah
r.a, menggambarkan sikap sebagian orang yang menikah dengan anak yatim
kaya dan cantik yang diasuh tetapi tidak mau memberikan mahar yang pantas
dan memperlakukan mereka dengan tidak adil. Yang dicatat oleh Qurais Shihab
tentang pengungkapan turunnya ayat ini bermaksud untuk membatasi cara
berperilaku ini. Pemberitahuan dua, tiga atau empat di bagian ini pada dasarnya
adalah kepentingan untuk memperlakukan para anak yatim secara wajar.

Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan “kalau khawatir sakit saat makan
makanan ini, habiskan saja makanannya selain yang ada di depan asalkan tidak
khawatir sakit”, bunyi maksud ayat tersebut seperti orang yang melarang orang
lain dari makan makanan tertentu. Jelas perintah untuk makan sumber makanan
yang berbeda hanyalah untuk menonjolkan penolakan makan makanan tertentu
itu.

Demikian Surat An-Nisa' (4): 3 bagi kaum Quraisy hanyalah pembahasan


tentang kewajaran poligami, dan yang mengherankan, itu adalah krisis kecil,
yang mungkin selesai ketika memang dibutuhkan dengan syarat yang tidak
ringan. Apalagi, perbincangan poligami dalam al-Qur'an, menurut Quraisy,
tidak boleh dilihat dari sudut pandang ideal atau positif atau negatif, tetapi
harus dilihat dari sudut pandang tuntunan yang sah. Dalam keadaan yang
berbeda itu mungkin terjadi.61

2. Pernikahan Beda Agama


Undang-Undang Perkawinan tidak secara pasti merumuskan tentang
definisi perkawinan beda agama. Akan tetapi dapat dilihat pada difinis para
ahli di bawah ini;

Rusli dan R. Tama menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah


ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang terjerat dalam
dua peraturan yang berbeda mengenai syarat dan tata cara melangsungkan
perkawinan sesuai dengan hukum agama masing-masing dengan niat

61
M.Quraish Shihab, Tafsir Maudhui ata Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), h. 199
39

membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha


Esa.62

Perkawinan beda agama menurut Ketut Mandra dan I. Ketut Artadi adalah
persatuan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang
berbeda agama dan tetap menjaga perbedaan agamanya sebagai suami istri
guna terciptanya rumah tangga yang bahagia dan langgeng. berdasarkan
keyakinan pada satu Tuhan yang maha kuasa. Sedangkan menurut
Abdurrahman bahwa perkawinan beda agama adalah perkawinan yang
dilakukan oleh orang-orang yang menganut berbagai agama dan keyakinan satu
sama lain.63

Dalam menghukumi perkawinan beda agama para ulama bersandar pada


beberapa ayat berikut ini:

               

                

            

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221).

               

            

               

 

62
Purwaharsanto pr, Perkawinan Campuran Antar Agama Menurut UU RI No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak
(Yogyakarta: tnp, 1992), h.10
63
O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 35
40

Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan


(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di
hari kiamat Termasuk orang-orang merugi” (QS. Al-Maidah: 5).

             

                 

              

                 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah


kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah
kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara
kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-
Mumtahanah: 10).

Rasulullah saw juga bersabda:

َ َ‫صَرانِيَّ ِة َواليَ ُه ْوِديَِّة ق‬


‫ال‬ ِ ‫َح َّدثنَاَ قُتَ ْي بَةُ َح َّدثَنَا لَْيث َع ْن َنَفِ ٍع أَ َّن ابْ َن عُ َمَر َكا َن إِذَا ُسئِ َل َع ْن نِ َك‬
ْ َّ‫اح الن‬
‫ْي َوََل أَ ْعلَ ُم ِم ْن ا ِل ْشَر ِاك َشْي ئًا أَ ْكبَ َر ِم ْن أَ ْن تَ ُق ْو َل ال ْرأَةُ َرب َها‬ ِِ ِ
َ َ ْ ‫إِ َّن للاَ َحَّرَم الُ ْش ِرَكات َعلَى الُْؤمن‬
.ِ‫ِعْي َسى َوُه َو َعْبد ِم ْن عِبَ ِاد للا‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan
kepada kami al-Laits dan nafi’ menceritakan bahwa Ibn Umar ketika
ditanya tentang menikahi wanita Nasrani dan Yahudi, ia menjawab:
41

sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi


kaum muslimin dan aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari
pada seorang perempuan yang berkata Tuhannya adalah Isa, sedangkan isa
adalah salah seorang di antara hamba Allah” (HR. Bukhari, No. H. )
Hadis tersebut berbicara tentang tanggapan Abdullah ibn Umar ketika
ditanya tentang pernikahan muslim dengan wanita ahl al-kitâb. Hadis ini
disandarkan kepada Nafi’ maulaa ibn Umar. Hadis ini dikategorikan sebagai
hadis Mawqûf. Sebagian ulama mengkategorikan hadis mawqûf ke dalam
kelompok hadis dhâ’if. Namun sebagian muhadditsin lainnya, termasuk Subhi
al-Shâlih mengatakan bahwa hadis mawqûf tersebut mungkin saja berstatus
shahih. Itu tergantung pada terpenuhi atau tidaknya kriteria keshahihan hadis.
Oleh sebab itu, apabila hadis tersebut shahih, maka dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan sebuah hukum. Hadis tersebut merupakan sebuah larangan
bagi laki-laki Islam untuk menikahi wanita Nasrani atau Yahudi (ahl al-kitâb).
Karena ajaran mereka yang menyimpang dari ajaran aslinya membuat status
mereka berubah dari ahl al-kitâb kepada status musyrik.64

Dalam konteks al-Qur’an pernikahan beda agama meliputi: pernikahan


dengan orang musyrik, pernikahan pria muslim dengan wanita ahl al-kitâb, dan
pernikahan wanita muslim dengan laki-laki non muslim.

a. Pernikahan dengan orang musyrik

Mayoritas ulama sepakat tentang keharaman menikahi wanita


musyrik/menikahkan wanita muslim dengan pria musyrik, namun siapa saja
yang dapat dikategorikan sebagai orang musyrik itulah yang menjadi
perbincangan. Kontak kebudayaan sudah semakin luas, sehingga bila zaman
Nabi kelompok beda agama yang mereka jumpai adalah, Arab musyrik, Yahudi,
dan Nasrani, demikian pula dengan penganut Zoroaster, Sabi’in. Dengan terjadi
perluasan wilayah akibat penaklukan, maka komunitas non muslim sudah
semakin menyebar. Misalnya, mereka berjumpa dengan penganut Buudha dan
Hindu di India atau agama etnik yang berada di Afrika. Kondisi tersebut
mempengaruhi lalu lintas pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan orang
musyrik dan ahli kitab.65

Dalam hal ini, Yusuf al-Qardhawi juga mengharamkan pernikahan antara


laki-laki muslim dengan wanita musyrikah. Ini didasarkan pada firman Allah
dalam surah al-Baqarah ayat 221 dan surah al-Mumtahanah ayat 10.
Menurutnya, yang dimaksud dengan al-kawâfir (wanita-wanita kafir) yaitu al-
watsaniyyât (wanita-wanita penyembah berhala). Sebuah pernikahan antara
laki-laki muslim dengan perempuan kafir bukan murni ahli kitab, seperti wanita

64
Muhammad Farid, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hadis
Ahkam”, al-Bayyinah: Journal of Islamic Law, Vol. 6, No. 2, h. 6-7.
65
Muhammad Alifuddin, “Analisis Penggunaan Dalil Seputar Larangan Nikah
Beda Keyakinan”, Jurnal al-‘Adl, Vol. 6, No. 2, Juli 2013, h. 91.
42

pennyembah berhala, Majusi, atau salah satu dari kedua orangtuanya adalah
orang kafir maka hukumnya haram. Begitu pula halnya perkawinan antara laki-
laki muslim dengan perempuan musyrikah.66Perempuan musyrikah adalah yang
menyembah berhala, seperti orang-orang musyrik Arab terdahulu.

b. Pernikahan pria muslim dengan wanita ahl al-kitâb

Berdasarkan surah al-Mâidah ayat 5, secara tekstual dapat diketahui bahwa


al-Qur’an telah memperbolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan
wanita ahl al-kitâb. Dalam ayat ini yang dimaksud ahl al-kitâb adalah golongan
pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan oleh Allah swt
kepada Nabi dan Rasul-Nya. Yahudi dan Nasrani adalah dua kelompok agama
yang diakui mempunyai kitab suci; Taurat dan Injil. Al-Qur’an dan Nabi
Muhammad saw menamakan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-
kitâb untuk membedakan mereka dengan penyembah berhala, yakni orang-
orang musyrik dan kafir lainnya. Walaupun menurut pandangan umat Islam
kitab suci mereka telah diubah, setidaknya para ulama sepakat bahwa mereka
itulah yang dimaksud dengan ahl al-kitâb.67

Agama-agama tersebut pada awalnya berpaham tauhid (monoteisme)


dengan kitab sucinya. Tetapi, seiring berjalannya waktu agama-agama tersebut
berbaur dengan paham-paham syirik. Kitab suci mereka juga sudah diintervensi
dari segenap manusia sehingga isinya sudah jauh berbeda dari keasliannya.68

Imam Syafi’i berpendapat bahwa istilah ahl al-kitâb hanya ditujukan pada
orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Bani Israil. Alasannya, nabi
Musa as dan nabi Isa as hanya diutus kepada Bani Israil bukan pada bangsa-
bangsa lain. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang
yang bergama Yahudi dan Nasrani yang berada di negara-negara lain termasuk
kalangan Kristen yang berada di Indonesia tidak termasuk ke dalam golongan
ahl al-kitâb.69
c. Pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim

Sesuai dengan surah al-Mumtahanah ayat 10, maka para ulama sepakat
bahwa pernikahan ini hukumnya haram. Wanita Islam secara mutlak haram
menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam, baik laki-laki musyrik
atau ahl al-kitâb. Seorang suami mempunyai tanggung jawab sebagai pemimpin

66
Aldil Nuari, “Nikah Beda Agama dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi”,
Tesis, Program Pascasarjana UIN sultan Syarif Kasim Riau, 2020, h. 34.
67
Aldil Nuari, “Nikah Beda Agama dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi”, h.
26.
68
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 166.
69
Aldil Nuari, “Nikah Beda Agama dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi”, h.
27.
43

atas istrinya dan istri berkewajiban untuk mematuhinya. Jika pernikahan ini
terjadi, seakan memberikan peluang bagi non muslim untuk menguasai
muslimah.70

Melihat beberapa peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah saw,


beberapa berpendapat bahwa agama adalah sumber konflik yang terjadi. Justru
itu, terdapat beberapa upaya pemecahan konflik tersebut seperti keharusan
membangun sikap toleransi antar individu pemeluk agama, salah satu caranya
adalah melalui pernikahan antar agama. Bentuk konkritnya adalah memberikan
dukungan kepada mereka yang melakukan pernikahan denngan pemeluk agama
lain, selain itu pihak-pihak lain yang terkait seperti lembaga pernikahhan harus
memberi kemudahan atas segala prosedur dan prosesnya, bahkan sebaiknya hal
itu juga diatur dalam perundang-undangan. Lalu bagaimana dengan pandangan
Islam? Affandi Ridwan berpendapat dengan tegas bahwa itu tidak boleh. K. H.
Abdullah Wasi’an jjuga berpendapat bahwa tidak ada perubahan pendapat para
ulama terkait hal itu, yang boleh itu yaitu menikahi ahl al-kitâb yang berpaham
non trinitas. Di Indonesia, sudah tidak ada lagi ahl al-kitâb, semuanya trinitas,
sebab itu jelas tidak boleh menikah dengan mereka.71

Menurut K. H. Abdullah Wasi’an, meskipun dalam surah al-Maidah ayat 5


disebutkan bahwa sembelihan ahl al-kiâb boleh dimakan, demikian juga wanita-
wanitanya boleh dinikahi. Namun perlu diinggat bahwa ahl al-kitâb itu terbagi
dua; trinitas dan non trinitas. Yang boleh dinikahi oleh umat muslim adalah
mereka yang non trinitas karena mereka tidsk meyakini bahwa Yesus itu
Tuhan. Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa “Syirik yang besar adalah orang
Kristen yang mengatakan bahwa Yesus itu anak Tuhan. Karena itu, kita tidak
boleh mengawini wanita Kristen”. Saat ini, di Indonesia sudah tidak ada yang
non trinitas, semuanya trinitas. Ada beberapa yang membolehkan pernikahan
beda agama, tetapi MUI melarang. Islam itu toleran, ada yang berpendapat
bahwa salah satu sikap toleransinya yaitu dengan diperbolehkannya seorang
muslim nikah dengan orang non muslim. Tetapi itu tidak cocok, toleransi Islam
bukan seperti itu.72

Terlepas dari segala perbedaan pendapat yang ada, muncul teori kedaulatan
yang memandang hak penuh berada di tangan rakyat sedangkan penguasa
berkewajiban untuk pengadaannya. Pandangan atas hak tersebut terus
berkembang, kuatnya paham liberalisme dalam perkembangan sejarah
kemudian memunculkan dua aliran liberalisme; klasik dan modern. Dua cabang
paham tersebut tidak mengubah substansi bahwa manusia adalah yang utama.
Pandangan tersebut kemudian memicu akan adanya perkembangan pemikiran

70
Aldil Nuari, “Nikah Beda Agama dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi”, h.
31.
71
Tim Redaksi Percikan Iman, “Nikah Antar Agama, Solusi Konflik?”,
Percikan Iman, No. 5, 1 November 2000, h. 13.
72
Tim Redaksi Percikan Iman, “Nikah Antar Agama, Solusi Konflik?”, h. 16.
44

bahwa hak manusia adalah yang utama sehingga tidak dapat direnggut oleh
siapapun. Dalam pemikiran klasik beberapa doktrin seperti John Locke
menyatakan bahwa hak manusia (HAM) meliputi; hak hidup, hak kemerdekaan,
dan hak milik.73

Indonesia merupakan masyarakat yang plural, terdiri dari berbagai macam


suku, ras, dan kepercayaan. Hal ini memunculkan beragam dampak sosial salah
satunya yaitu tentang pernikahan. Dalam hal ini, dampak sosial berusaha
ditekan dengan munculnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang “Perkawinan” yang
merupakan penyatuan dari seluruh hukum pernikahan di Indonesia.
Permasalahan kemudian muncul, ketika pembatasan pernikahan atas dasar
Undang-undang ini dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”.

Dalam konsep HAM Barat yang saat ini sangat digencarkan, pernikahan
dirumuskan dalam instrumen hukum internasional yaitu Universal Declaration
of Human Rights 1948 (DUHAM), tepatnya pada pasal 16 ayat 3, yaitu: “Laki-
laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan,
kewaarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk
keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam
masa perkawinan dan di saat perceraian; Perkawinan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan keluarga
adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan negara”.
Dalam konsep tersebut, HAM diartikan memberi kebebasan untuk melakukan
pernikahan tanpa memandang agama. Hal ini bertentangan dengan UU No. 1
Tahun 1974 yang menyatakan harus dilakukan sesuai dengan agama masing-
masing. Penjelasan atas UU ini kemudian diperkuat dengan adanya UU No. 39
tahun 1999. Dalam pasal 50 UU ini, tercantum klausa bahwa “Wanita yang
telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.

Dalam tatanan yuridis, sebuah Negara yang telah meratifikasi suatu


instrumen HAM memiliki suatu kewajiban untuk melaksanakan aturan
tersebut. Namun demikian, terdapat kebebasan dalam ratifikasi yang
memberikan peluang dalam hukum untuk dapat diaplikasikan dalam sistem
hukum suatu Negara. Dengan adanya pengertian tersebut, maka secara yuridis
tidak menjadi suatu masalah ketika UU No. 39 Tahun 1999 serta UU No. 1
Tahun 1974 yang berbeda dari DUHAM sebagai instrumen dasar HAM.
Namun, tatanan yuridis tersebut harus mampu dijelaskan dalam tatanan
filosofis tentang HAM, mengingat DUHAM sendiri hanya merupakan
kodifikasi rasional umat manusia atas HAM. Begitu pula UU No. 39 tahun

73
Ahmad Hasanuddin Dardiri, Marzha Tweedo, M. Irham Roihan,
“Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”, Khazanah, Vol. 6,
No. 1, Juni 2013, h. 108.
45

1999, UU No. 1 Tahun 1974 bahkan UUD 1945. Dalam tatanan filosofis,
pengertian atas hak serta pernikahan itu sangat penting artinya. Dalam
pengertian HAM dikaji dalam dua hal penting; pertama menurut konsep
internasional, dan kedua menurut konsepsi Islam. Dalam konsep internasional,
doktrin sepakat menyatakan bahwa HAM merupakan hak kodrati yang dimiliki
oleh umat manusia karena derajatnya yang tinggi sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Sedangkan dalam konsep Islam, HAM ditempatkan berdasar ketuhanan,
umumnya diwujudkan dengan penghormatan terhadap penghormatan orang lain
dalam bentuk kewajiban untuk tidak melakukan penghilangan daripadanya.
Dalam pengertian kedua konsep tersebut terdapat beberapa persamaan, yang
pertama HAM ada untuk manusia karena Tuhan. Dengan demikian, fungsi
kodrati bahwa HAM melekat pada seluruh umat manusia menjadi jelas, karena
setiap manusia adalah ciptaan Tuhan. Lebih lanjut, secara eksplisit pengertian
HAM dalam dunia internasional atas dasar pengertian tersebut, akhirnya juga
menyepakati bahwa HAM merupakan pemberian Tuhan serupa dengan
konsepsi HAM dalam Islam. Pernikahan sendiri dalam DUHAM berdasar
rasionalisme dan liberal menghasilkan paham sekuler yang berusaha
memisahkan dunia dengan agama yang menghasilkan bebasnya perkawinan
beda agama. Berbeda dengan konsep Islam, yang menyatakan bahwa
perkawinan dilaksanakan karena hak untuk nikah sendiri diberikan oleh Tuhan.
Maka menurut Islam, kapan, siapa, dimana, bagaimana, kenapa seseorang itu
melakukan pernikahan adalah hak Tuhan untuk menetapkan mana yang akan
diserahkan pada manusia dalam kepengurusannya. Penjabaran makna
pernikahan dalam DUHAM sendiri kemudian menjadi tidak relevan ketika
mengingat dasar filosofis pengadaannya. Bahwa DUHAM mengakui adanya
Tuhan pemberi hak tersebut, namun kemudian mengapa agama sebagai ajaran
Tuhan tidak dijadikan landasan.74

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang pernikahan antara seorang pria


dari Islam kemudian dengan seorang wanita dari kalangan bukan Islam yang ahl
al-kitâb, berdasarkan pertimbangan manfaat agama dan keharmonisan
hubungan rumah tangga yang tidak dapat dengan mudah dibangun jika
pasangan menikah tidak setuju dengan ide-ide mereka, pandangan hidup atau
agama (Fatwa Majelis Ulama Indonesia 1426 H/2005 M). Jika dilihat secara
konteks KHI yang dikeluarkan pada Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang
sampai hari ini menjadi pegangan bagi hakim-hakim yang lingkupnya di
Pengadilan Agama untuk memutuskan dan menetapkan dasar hukum yang
terkait. Mengenai hal ini KHI jika dilihat pada pasal 40 ayat (c) menjelaskan
tentang pelarangan seorang laki-laki dengan keyakinan Islam untuk
melangsungkan pernikahan dengan perempuan yang berkeyakinan bukan Islam,
selanjutnya ditambah lagi pada pasal 44 menjelaskan tentang pelarangan
wanita beragama Islam dengan laki-laki yang non muslim. Sudah jelas bahwa
dalam Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa segala bentuk
74
Ahmad Hasanuddin Dardiri, Marzha Tweedo, M. Irham Roihan,
“Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”, h. 111-112.
46

pernikahan berlangsung pada pasangan yang secara keyakinan berbeda, maka


tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia.
Kesimpulan yang diambil dalam problematika di atas, melihat kondisi dan
kultur khususnya pada masyarakat di Indonesia akan tetapi secara moral jika
melihat kultur budaya serta agama di Indonesia pernikahan beda agama sedikit
banyak tetap akan menjadi polemik di kalangan masyarakat dan ikut
menciptakan gesekan sosial di masyarakat karena pada hakikatnya pernikahan
dianggap suatu hal yang sakral dan suci yang dalam pelaksanaan dan syarat
pernikahannya wajib mengikuti ketentuan agama. Melihat dari pandangan
pemikiran di atas, maka senada dengan beberapa kaidah fikih yang dapat
disandingkan:

‫صالِ ِح‬ ِ ‫اس ِد ُم َق َّدم َعلَى َج ْل‬


َ َ‫ب ال‬
ِ ‫درء ال َف‬
َ ُ َْ
Artinya: “Menolak mafsadah (kemudharatan) didahulukan dari maslahah”.

Melihat dari kaidah di atas tentu dapat menjadi pedoman dalam penetapan
ini, sehingga mencegah mudharat menjadi hal yang penting sebelum terjadi hal
tidak diinginkan. Terlebih lagi pernikahan bentuknya akad yang kuat dalam
rangka tujuan membina keluarga yang harmonis.75

Terdapat beberapa orang yang haram dinikahi untuk masa tertentu (selama
masih ada hal-hal yang mengharamkannya) dan saat penghalang tersebut
sudah tidak ada maka halal untuk dinikahi. Adapun sebagai berikut:76

1) Halangan bilangan, yaitu mengawini wanita lebih dari empat. Para ulama
sepakat mengharamkan hal tersebut. Apabila ada orang yang baru masuk
Islam, mempunyai istri lebih dari empat orang, maka harus memilih empat
orang diantara mereka untuk dijadikan istri tetapnya. Jika diantara istri-
istri ada yang bersaudara (kakak beradik), maka harus menceraikan salah
satunya, demikian menurut pendapat Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam
Hanbali. Imam Hanbali berpendapat, jika pernikahan lebih dari empat istri
tersebut terjadi dalam satu keadaan, maka akad pernikahannya batal.
Sedangkan jika terjadi dalam beberapa akad,maka sah pernikahannya
dengan empat orang istri yang pertama.
2) Halangan mengumpulkan, yaitu dua orang perempuan bersaudara haram
dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu bersamaan. Apabila
mengawini mereka berganti-ganti, seperti seorang laki-laki mengawini
seorang wanita, kemudian wanita tersebut meninggal atau dicerai, maka

75
Muhammad Ilham, “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan
tatanan Hukum Nasional”, h. 57.
76
Agus Hermanto, “Larangan Perkawinan Perspektif Fikih dan Relevansinya
dengan Hukum Perkawinan di Indonesia”, Muslim Heritage, Vol. 2, No. 1, Mei-
Oktober 2017, h. 137-145.
47

laki-laki itu boleh mengawini adik atau kakak perempuan dari wanita yang
telah meninggal dunia tersebut.
3) Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu waktu perkawinan itu
disebutkan dalam surah an-Nisâ’ ayat 23. Keharaman mengumpulkan dua
wanita dalam satu perkawinan ini juga diberlakukan terhadap dua orang
yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan keponakan. Para Imam
Madzhab sepakat tentang keharaman mengumpulkan dua perempuan
bersaudara untuk dinikahi dalam satu masa. Diharamkan juga menikahi
seorang perempuan beserta bibinya, baik bibinya dari pihak bapak maupun
dari pihak ibu. Dalam KHI pasal 41 ayat (1) sebagai berikut; 1) Seorang
pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a) Saudara kandung,
seayah atau seibu serta keturunannya. b) Wanita dengan bibinya atau
keponakannya.
4) Halangan kafir, yaitu wanita musyrik haram dinikah. Maksud wanita
musyrik ialah yang menyembah selain Allah. Tidak halal bagi seorang
muslim dan tidak sah pernikahannya atas orang kafir dan orang murtad
karena ia telah keluar pada akidah dan petunjuk yang benar.
5) Halangan ihram, yaitu wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram
umrah maupun ihram haji tidak boleh dikawini. Dalam riwayat Tirmidzi
tidak disebutkan adanya kalimat ‘tidak boleh meminang‛. Kata tirmidzi
hadíth ini Hasan Shahíh. Sebagian para sahabat mengamalkan hadítsini,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Ishaq berpendapat demikian pula.
Mereka menganggap kawinnya orang sedang ihram tidak sah dan jika
dilaksanakan juga hukumnya bathil. Akan tetapi, ada satu riwayat yang
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW, kawin dengan Maimunah
ketika beliau ihram. Hadith tersebut dipertentangkan oleh riwayat Muslim
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, kawin dengan Maimunah
itu diwaktu halah haji (selesai menunaikan haji).
6) Halangan iddah, yaitu wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah cerai
maupun iddah ditinggal mati.
7) Halangan perceraian tiga kali, yaitu wanita yang ditalak tiga haram kawin
lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang
lain dan telah berhubungan badan serta dicerai oleh suami terakhir itu dan
telah habis masa idah-nya, hal ini berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229.
8) Halangan peristrian, yaitu wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki
lain (wanita yang terpelihara), maka haram dinikahi. Perempuan yang
terpelihara maksudnya adalah wanita yang bersuami. Sehingga boleh
dinikahi jika sudah menjadi janda dan habis masa iddah-nya.

Peraturan perkawinan beda agama umumnya dirangkai menjadi 3 macam.


Pertama, seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik. Kedua,
seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik, dan ketiga, seorang
laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita ahli kitab.
48

Terkait dengan persoalan hubungan antar agama, MUI sebagaimana


tertuang dalam Fatwanya dalam Silaturahmi II tahun 1400/1980 dan diperkuat
dengan Fatwanya Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 menegaskan bahwa
perkawinan beda agama itu dilarang. Qaul Mu’tamad menyatakan bahwa
hubungan pria Muslim dengan wanita dalam kitab adalah tidak sah dan haram.77

Para ahli sependapat dengan MUI bahwa memang ada perbedaan pendapat
tentang perkawinan antara laki-laki dan perempuan muslim, berbeda dengan
larangan nikah antara perempuan muslim dan laki-laki non muslim. Namun MUI
mempertimbangkan bahwa mafsadah perkawinan beda agama lebih besar
daripada maslahatnya, maka Majelis Ulama memfatwakan perkawinan tersebut
hukumnya haram.78

Hak Asasi Manusia membahas tentang Perkawinan Beda Agama. Pasal 28


B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.79 Pasal 10 ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia memuat amanat konstitusi
ini. Pasal 10 memahami ayat (1) “Setiap orang berhak memilih untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”
dan ayat (2) “Perkawinan yang sah dapat terjadi atas kebebasan pikiran calon
istri dan calon istri yang bersangkutan, sesuai pengaturan undang-undang”.80

Dalam penjelasan Pasal 10 Peraturan ini, dimaklumi bahwa yang dimaksud


dengan perkawinan yang sah atau substantif adalah perkawinan yang
diselesaikan atau dilaksanakan menurut peraturan-peraturan dan yang dimaksud
dengan kebebasan berpikir adalah wasiat yang dibawa ke dalam dunia dari
harapan suci tanpa paksaan, misrepresentasi atau ketegangan dan tekanan dari
siapa pun, terhadap calon istri dan/atau suami.81

Dari ketentuan hukum di atas, dapat diduga bahwa pilihan untuk memilih
pasangan hidup tidak serta merta diberikan secara eksklusif kepada setiap orang,
kecuali tetap harus sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh peraturan dan
pedoman, termasuk ketentuan untuk Perkawinan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menghendaki agar setiap
perkawinan dilakukan dengan memperhatikan pengaturan setiap agama dan
keyakinan.

3. Pernikahan Dini

77
Fatwa MUI, tentang perkawinan beda agama, 4/Munas VII/MUI/8, 2005
78
Fatwa MUI, Tentang Perkawinan Campur, Munas II, 1980.
79
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 28 Ayat 1, 1945
80
UU RI, Tentang Hak Asasi Manusia, Nomor 39, 1999.
81
UU RI, Tentang Hak Asasi Manusia, Nomor 39, 1999.
49

Definisi nikah dini adalah pernikahan di bawah usia yang diizinkan UU


Perlindungan Anak RI dan UU Perkawinan RI dengan penyebab yang beragam.
Nikah dini adalah pernikahan yang terjadi pada anak-anak. Anak, sesuai dengan
definisi yang diterima secara nasional adalah orang yang berusia anatara 0-18
tahun. Jika menikah atau dinikahkan pada usia tersebut maka pernikahannya
dianggap sebagai pernikahan anak atau pernikahan dini.82

Pernikahan dini atau usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh
sepasang pemuda dan pemudi. Perkawinan diperbolehkan jika laki-laki berumur
19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 7 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974; namun demikian, pemerintah
memiliki kebijakan mengenai perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan
dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa kebijakan
penyelenggaraan keluarga berencana ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam agama Islam, ada beberapa hadis Nabi yang berkaitan dengan
pernikahan dini, yang berbunyi;

‫ب ِمْن ُك ْم اَ ْن‬ ِ ‫ال اِنَّ ُك ْم قَ ْد بَلَ ْغتُ ْم َمْب لَ َغ‬


َّ ‫الر َج ِال ِم ْن َشأْ ِن النِ َس ِاء فَ َم ْن اَ َح‬ َ ‫اس َجَ َع َم َوالِيَهُ فَ َق‬
ٍ َّ‫ابن َعب‬
َ ‫ا َّن‬
ِ
.‫ع للاُ ِمنْهُ نُ ْوَر ِاَل ْسلَِم‬ ِ ِ
َ ‫اَُزِو َجهُ َزَّو ْجتُهُ َلْ يَْزن َر ُجل قَط اَلَّ نََز‬
Artinya: “Ibnu Abbas mengumpulkan budak-budaknya dan berkata:
“Sesungguhnya kalian telah sampai pada umur laki-laki yang menginginkan
wanita, maka barang siapa dari kalian yang ingin menikah, akan aku
menikahkannya. Tidak berzina seorang laki-laki kecuali Allah akan
mencabut darinya cahaya Islam” (al-Ifshah fi Ahadis an-Nikah li Ibnu Hajar
al-Haitami, hlm. 14).

‫ َي َم ْع َشَر‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ َ‫َع ْن َعْب ِد للاِ بْ ِن َم ْسعُ ْوٍد َر ِض َي للاُ َعْنهُ ق‬
َ ‫ال لَنَا َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫ َو َم ْن َلْ يَ ْستَ ِط ْع‬,‫ص ْن لِْل َف ْرِج‬
ِ ‫ واَح‬,‫ فَِإنَّه اَ َغض لِْلبص ِر‬.‫ م ِن استَطَاع ِمْن ُكم الباءةَ فَلي تَ زَّوج‬,‫اب‬
ْ َ ََ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ِ َ‫الشب‬ َ
ِ
.ً‫ فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬,‫لص ْوم‬ ِ
َ ‫فَ َعلَْيه ِب‬
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud RA. Dia berkata: Rasulullah bersabda
kepada kami: wahai generasi muda, barangsiapa diantara kamu mampu
berkeluarga hendaklah kawin, sebab ia dapat memejamkan mata dan
menjaga kesucian farji. Barang siapa tidak mampu hendaklah berpuasa,
sebab puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (H. R. Bukhari, Syarh
Bulugul Marom, kitab An-Nikah, No. 974).

Dalam hadis di atas, Rasulullah saw. Menggunakan kata syabab


yang sering dimaknai sebagai pemuda. Syabab adalah seorang yang

82
Fatma Amilia, “Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal
Musawa, vol 8 no 2 Juli 2009, h. 34.
50

telah mencapai masa aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga
puluh tahun. Masa aqil baligh umumnya telah dialami oleh tiap orang
pada rentang usia sekitar 14-17 tahun. Generasi yang lahir pada
zaman kita banyak yang telah memiliki kemasakan seksual, tetapi
belum meiliki kedewasaan berpikir.83

Adapun pemahaman para pakar hukum Islam mengenai istilah batasan


nikah dini, sebagain besar mendefinisikannya dengan pernikahan pernikahan
yang dilakukan oleh orang belum mencapai usia baligh, yaitu ketika laki-laki
mengalami mimpi hingga keluar air mani dan menstruasi bagi wanita.-Para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang
dianggap baligh. Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa anak
laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15
tahun. Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang dianggap baligh yaitu
anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak
perempuan.-Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan bahwa
anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak
perempuan.84

Hukum pernikahan dini masih menjadi pro-kontra dikalangan para ulama,


ada yang membolehkan ada yang melarang. Adapun pendapat tersebut sebagai
berikut:

a. Hukumnya boleh (mubah)

Pernikahan dini hukumnya boleh (mubah) secara syar’i dan sah, seorang
laki-laki dewasa menikahi perempuan yang masih kecil (belum haidh). Dalil
kebolehannya adalah Al-Quran dan As Sunah.-Firman Allah Q.S An Nisa: 4.
Menafsirkan ayat ini, “sampai mereka cukup umur untuk kawin”,
Mujahid berkata: artinya baligh. Jumhur ulama berkata: baligh pada anak laki-
laki terkadang oleh mimpi, yaitu di saat tidur; bermimpi sesuatu yang
menyebabkan keluarnya air mani yang memancar, yang darinya akan menjadi
anak.-Masa ‘aqil balligh seharusnya telah dialami oleh tiap-tiap orang pada
rentang usia 14-17 tahun. Salah satu tanda yang biasa dipakai sebagai patokan
apakah kita sudah ‘aqil baligh atau belum adalah datangnnya mimpi basah
(ihtilam). Akan tetapi pada masa kita sekarang, datangnya ihtilam sering tidak
sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran sehingga kita telah memiliki
kedewasaan berpikir. Generasi yang lahir pada zaman ini banyak yang telah
memiliki kemasakan seksual, tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.-
Beberapa pendapat para mufassir tentang sampainya waktu menikah
bulugh al-nikah dalam QS. An Nisa’: 6 juga bervariasi. Ada yang berpendapat
bahwa ukuran sampainya waktu nikah ditandai dengan kematangan fisik dan

83
M. F. Adhim, Indahnya Pernikahan Dini (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 46-47
84
Habibah Nurul Umah. “Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia Perspektif
Hukum Keluarga Islam”, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 5, No. 2 (2020), h. 113.
51

ada pula yang berpendapat bukan kematangan fisik tetapi kematangan secara
psikis. Karena seseorang yang telah dewasa secara fisik belum dijamin dewasa
secara psikis. Artinya, ia telah cakap dan mampu memikul tanggung jawab.
Dalam Tafsîr Ibnu Katsîr surat an-Nisa: 4 tersebut dijelaskan bahwa ayat
ini adalah sebuah perintah untuk menikah sebagaimana pendapat sebagian dari
ulama mewajibkan nikah bagi mereka yang mampu. Al-Marâghy menafsirkan
sebagaimana yang dikutip oleh Mustofa, kalimat washâlihîn, para laki-laki atau
perempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami istri,
seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Quraish Shihab
menafsirkan ayat tersebut “washâlihîn”, yaitu seseorang yang mampu secara
mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan berarti yang taat
beragama, karena fungsi perkawinan memerlukan persiapan bukan hanya
materi, tetapi juga persiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon laki-laki
maupun calon perempuan.85

Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua


pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama
seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia
dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga
diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar
baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa. Jika melihat pemikiran
ulama klasik (salaf) seperti Maliki, Syafi’I, Hambali dan Hanafi, mereka tidak
mensyaratkan mumayyis ataupun kedewasaan bagi calon mempelai. Bagi
mereka, akil dan baligh saja cukup. Kebijakan ini bukan tanpa alasan akan
tetapi kenyataan bahwa memang tidak adanya ayat Al-Quran yang secara jelas
mengatur tentang batas usia nikah. 86

b. Hukumnya di larang

Pandangan jumhur ulama yang membolehkan nikah dini diatas di


sangkal oleh At-Thahawy dan Ibnu Hazm, yang berpandangan persoalan ini
belum menjadi ijma’. Pijakannya adalah pendapat Ibnu Syubramah yang
mengatakan bahwa akad nikah denga gadis yang belum baligh (sebelum usia
pubertas) tidak sah. Menurutnya, nilai esensial perkawinan adalah memenuhi
kebutusan biologis dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak
terpenuhi pada diri anak yang belum baligh.87

85
Habibah Nurul Umah. “Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia Perspektif
Hukum Keluarga Islam”, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 5, No. 2 (2020), h. 115-116.
86
Habibah Nurul Umah. “Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia Perspektif
Hukum Keluarga Islam”, h. 116.
87
Habibah Nurul Umah. “Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia Perspektif
Hukum Keluarga Islam”, h. 116.
52

Ibn Syubramah mencoba melepaskan diri dari kurungan teks. Ia mendekati


persoalan tersebut secara historis, sosiologis, dan kultural. Sehingga dalam
menyikapi perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA, Ibn
Syubramah memandangnya sebagai hak khusus (previllege) bagi Nabi
Muhammad SAW yang tidak bisa ditiru umatnya sama persis dengan
kebolehan beliau beristri lebih dari 4 orang wanita. Pendapat tersebut di ikuti
oleh undang-undang Negara Syiria pada pasal 15 UU perkawinan Syiria
menyebutkan: “kecakapan bertindak dalam perkawinan diisyaratkan berakal
dan baligh”. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan ketentuan ini
adalah prinsip istislah (kemaslahatan), realitas social, dengan memerhatikan
beratnya tanggung jawab perkawinan.88

Syaikh Yusuf al-Qardhawi membolehkan taqyid al-mubah (pembatasan


hal yang boleh) untuk suatu kemaslahatan. Dalam hal ini, pembatasan usia
perkawinan boleh dilakukan selama untuk tujuan kemaslahatan umat. Menurut
Husein Muhammad, salah satu faktor yang menjadi perhatian fuqaha menilai
hukum perkawinan adalah ada atau tidaknya unsur kemaslahatan atau
kekhawatiran terjadinya hubungan seksual di luar nikah. Jika kekhawatiran ini
tidak dapat dibuktikan maka perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Sebab, perkawinan pada usia belia dapat menimbulkan kemudharatan seperti
munculnya gangguan fungsi reproduksi pada perempuan. International Islamic
Center for Population Studies & Research Al-Azhar menyatakan bahwa
perkawinan anak usia dini tidak memiliki dasar dan argumentasi keagamaan
yang kuat dan shahih dalam perspektif Islam.89

Ditinjau dari aspek psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah antara 19
sampai dengan 25 tahun. Ciri-ciri psikologis yang paling mendasar adalah
adalah mengenai pola perasaan, pola pikir dan pola perilaku tampak
diantaranya: stabilitas mulai timbul dan meningkat; citra diri dan sikap
pandangan lebih realistis, menghadapi masalah secara lebih matang dan
perasaannya menjadi lebih tenang.

Sejumlah besar bahaya kehamilan yang akan terlihat cukup dini untuk
pernikahan diperbolehkan pada usia 21 tahun untuk laki-laki dan orang yang
berusia 19 tahun untuk perempuan. Oleh karena itu, pria di bawah usia 21 tahun
dan wanita di bawah usia 19 tahun dianggap melakukan pernikahan dini atau
muda.90 Pernikahan dini tidak hanya buruk bagi kesehatan, tetapi juga

88
Habibah Nurul Umah. “Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia Perspektif
Hukum Keluarga Islam”, h. 116-117.
89
Habibah Nurul Umah. “Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia Perspektif
Hukum Keluarga Islam”, h. 117.
90
Y. Widyastuti, Kesehatan Reproduksi (Yogyakarta: Fitramaya, 2009), h. 31
53

mempengaruhi berapa lama pernikahan akan bertahan. Kemungkinan


perceraian dipengaruhi oleh tidak adanya pernikahan.91

Berikut beberapa dampak positif dan negatif dari pernikahan dini atau
pernikahan di usia muda, adalah sebagai berikut:

a. Dari segi psikologis, anak juga belum siap dan belum memahami hubungan
seksual. Akibatnya, anak akan mengalami trauma psikologis jangka
panjang yang sulit disembuhkan. Sang anak akan murung dan meratapi
hidupnya yang berakhir dalam sebuah pernikahan yang ia sendiri tidak
paham dengan pilihan hidupnya. Selain itu, ikatan pernikahan akan
menghapus hak anak untuk mengenyam pendidikan (9 tahun pelatihan
wajib), kesempatan untuk bermain dan mengambil bagian dalam waktu
luangnya dan hak istimewa lainnya yang dimiliki anak sejak lahir.92
b. Dari segi sosial, dengan adanya faktor sosial budaya masyarakat yang
menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rendah dan hanya
memandangnya sebagai pelengkap seks dari laki-laki.
c. Dari segi kesehatan, wanita di bawah usia 20 tahun yang menikah lebih
mungkin terkena kanker rahim. Sejak awal, sel-sel serviks masih muda dan
sel-sel rahim belum matang.
d. Segi hukum, di Indonesia, ada tiga undang-undang yang dilanggar secara
hukum: Pertama, menurut pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya
diperbolehkan jika laki-laki dan perempuan itu berusia sekurang-kurangnya
16 tahun. Pasal 6: ayat (2) Setiap orang yang berumur di bawah 21 tahun
yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. Kedua,
undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang jaminan
anak pasal 26 ayat (1) wali wajib dan bertanggung jawab atas; a.
membesarkan, mendidik, dan melindungi anak-anak; b. mengembangkan
anak sesuai dengan kemampuan dan bakatnya; dan c. melarang anak
menikah pada masa usia anak-anak. Ketiga, UU PTPPO tahun 2007 (UU
No. 21).

Penyebab terjadinya pernikahan dini adalah sebagai berikut;

a. Pendidikan, khususnya pendidikan anak, memegang peranan penting. Jika


seorang anak berhenti sekolah ketika diminta, maka mereka bekerja untuk
mengisi waktu. Anak merasa cukup mandiri pada saat ini, sehingga ia
mampu menghindari dirinya sendiri. Hal yang sama berlaku untuk anak-
anak yang putus sekolah dan menganggur; selama mereka tidak memiliki
pekerjaan, mereka melakukan kegiatan yang tidak produktif. Salah satunya
adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, jika liar bisa menyebabkan
kehamilan di luar nikah. Akibatnya, diharapkan karena anak-anak

91
Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di
Lombok Timur NTB) (Malang: Ahlimedia Press, 2021), h. 31-32
92
Deputi, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 31
54

diharuskan bersekolah selama sembilan tahun, jumlah pernikahan dini akan


berkurang sedikit atau signifikan.
b. Memiliki hubungan biologis, beberapa contoh pernikahan dini banyak
dikemukakan karena anak-anak tersebut telah memiliki hubungan yang
biologis layaknya pasangan suami dan istri. Karena orang tua percaya
bahwa anak perempuan mereka tidak lagi perawan, mereka cenderung
segera menikahkan anak mereka dalam keadaan seperti itu, yang
merupakan aib bagi keluarga. Ada juga kasus kehamilan tanpa kehadiran
ibu dan ayah, ketika keluarga wanita menyadari bahwa solusi terbaik
menurut keluarga wanita adalah untuk memberikan anak mereka.93
4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan adalah serangan atau penyerangan terhadap fisik serta integritas
terhadap fisik dan mental yang lurus.94 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendefinisikan kekerasan sebagai “suatu hal yang bersifat kekerasan” atau
“suatu perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan
kerugian fisik atau harta benda orang lain”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan istilah “rumah tangga”


sebagai “segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan rumah tangga dan
yang berkenaan dengan keluarga”. Menurut Pasal 2 UU PKDRT, yang
dimaksud dengan “rumah tangga” adalah pasangan seseorang, anak-anak
(termasuk anak angkat dan anak tiri), orang yang tinggal dalam rumah tangga
karena hubungan darah, perkawinan, menyusui, mengasuh, atau perwalian,
sebzagaimana serta orang-orang yang bekerja untuk menghidupi rumah tangga
dan tinggal di rumah tangga selama mereka ada.95

Berikut dalil-dalil kesesuaian Islam dengan penghapusan berbagai


kekerasan dalam rumah tangga:

a. Perlindungan terhadap fisik

‫ َوََل‬,ً‫ َوََل اِ ْمَرأَة‬,ِ‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َشْي ئًا قَط بِيَ ِده‬ ِ
َ ‫ب َر ُس ْو ُل للا‬
َ ‫ضَر‬َ ‫"ما‬ َ :‫ت‬
ِ
ْ َ‫ قَال‬,َ‫َع ْن َعاكئ َشة‬
."ِ‫اه َد ِِف َسبِْي ِل للا‬
ِ ‫ إََِّل أَ ْن َُي‬,‫خ ِادما‬
َ ً َ
Artinya: Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah saw. sama sekali tidak
pernah memukul dengan tangannya pelayan beliau atau pun seorang
wanita, kecuali saat berjihad di jalan Allah.96

93
Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 32-33
94
Maria Ulfa, Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana Untuk
Mahasiswa Bidan (Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), 2013), h. 9
95
Koes Irianto, Praktik dalam Kesehatan Reproduksi (Bandung: Alfabeta, 2015).
96
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Ihya al-Turas al-Arabi, tt), h. 1814.
55

Mullah Ali Al-Qari menyatakan bahwa penyebutan khusus perempuan


dan pembantu dalam hadis ini agar keduanya lebih diperhatikan. Agar
pemukulan terhadap perempuan dan pembantu tidak dilakukan. Hal ini
seriring dengan banyak pemukulan yang dilakukan kepada keduanya.
Meskipun diperbolehkan memukul keduanya dengan syarat-syarat tertentu
terutama dalam hal pendidikan (ta’dib) dan perbaikan (islah) tetapi
meninggal pemukulan itu lebih baik dan lebih utama.97

َّ‫العْب ِد ُث‬ ِ ِ ِ َ َ‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ِ


َ ‫ال ََل ََْيل ُد أَ َح ُد ُك ْم ا ْمَرأَتَهُ ج ْل َد‬ َ ‫َع ْن َعْبد للا بْ ِن َزْم َعةَ َع ِن النَِّ ِب‬
.‫آخ ِر اليَ ْوِم‬
ِ ‫َُي ِامعها ِِف‬
َُ َ
Artinya: “Dari Abdullah bin Zam’ah dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya seperti ia
memukul seorang budak, kemudian menggaulinya di waktu sore” (H.R.
Al-Bukhari).

Hadits ini menunjukkan betapa buruk perbuatan memukul istri dengan


semena-mena kemudian di akhir hari atau di malam hari ia memanfaatkan
istrinya untuk menyalurkan kebutuhan syahwatnya. Menurut Al-Tibi, hadis
ini mengajarkan tentang pergaulan yang baik dan memperlakukan istri
dengan lemah lembut. Pemukulan yang tidak menyiksa yaitu untuk
mendidik hanya diperbolehkan jika istri melakukan kedurhakaan dan tidak
berubah dengan nasihat dan tindakan lainnya. Namun memaafkannya tetap
lebih utama.98

b. Perlindungan psikis

                

                

   

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak

97
Nuruddin Mulla al-Qari, Miraqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Masabih, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2002), h. 3716.
98
Nuruddin Mulla al-Qari, Miraqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Masabih, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2002), h. 2119.
56

menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang


banyak” (QS. An-Nisa: 19).
Menurut al-Sa’adi, firman Allah “dan bergaullah dengan mereka secara
patut” hal ini mencakup pergaulan dengan perkataan maupun perbuatan,
karena itu suami wajib menggauli istrinya dengan baik, berupa hubungan
yang baik, mencegah adanya gangguan, memberikan kebaikan, dan ramah
dalam bermuamalah, dan termasuk dalam hal itu adalah memberi nafkah
serta pakaian dan semacamnya. Suami wajib memberikan kebutuhan istri
sesuai standar yang disesuaikan dengan kemampuan suami pada masa dan
tempat tersebut. Seyogyanya bagi para suami untuk tetap bersama istrinya
walaupun membenci mereka, karena dalam hal tersebut tersimpan hal
kebaikan yang banyak. Di antara kebaikan yang banyak itu adalah pelaksanaan
perintah Allah dan menerima wasiat-Nya. Hal itu menjadi penyebab
kebahagiaan dunia akhirat. Di samping itu pemaksaan dirinya untuk
bertahan padahal ia membencinya adalah sebuah perjuangan melawan hawa
nafsu dan menghiasi diri dengan akhlak yang luhur. Mungkin saja kebencian
itu akan lenyap dan akan diganti dengan kecintaan sebagaimna yang nyata
terjadi, dan mungkin juga darinya ia akan diberikan rizki yaitu anak yang
salih yang berguna bagi kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat.99

c. Perlindungan dari kekerasan Seksual

            

Artinya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk


melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena
kamu hendak mencari Keuntungan duniawi” (QS. An-Nur: 33).
Ayat ini melarang untuk memaksa hamba perempuan untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, hanya karena
mencari keuntungan kehidupan duniawi dari pelacuran itu. Majikan yang
memaksa budaknya untuk melakukan perbuatan tercela akan memikul dosa
dari perbuatan yang dilakukan budaknya. Allah Maha pengampun terhadap
perempuan-perempuan yang dipaksa itu, Maha Penyayang kepada mereka
setelah mereka dipaksa.100

Budiary mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai


segala jenis tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga,
seperti suami terhadap istrinya, yang mengakibatkan kerugian fisik, psikologis,
seksual, dan finansial, serta ancaman dan perampasan kebebasan, di dalam

99
Abd al-Rahman al-Sa’adi, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-
Mannan (Tt: Muassasah al-Risalah, 1997), h. 187.
100
Kementerian Agama RI. Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI.
https://tafsirweb.com/6161-quran-surat-an-nur-ayat-33.html.
57

rumah tangga atau keluarga. Selain itu, caci maki, kurangnya hubungan
emosional, ketidaksetiaan, dan penggunaan kekuasaan untuk mengontrol istri
merupakan tanda dari hubungan suami-istri.

Masalah perilaku kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan


kepastian hukum yang sah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang
di antara lain dijelaskan bahwa:

a. Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Republik


Indonesia Tahun 1945, setiap warga negara berhak atas rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga,
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran hak asasi
manusia, dan bentuk diskriminasi yang harus diberantas.
c. Sedangkan korban perilaku kekerasan di dalam rumah tangga yang
sebagian besar adalah perempuan, harus mendapat jaminan dari negara dan
masyarakat untuk menjauhi dan dibebaskan dari kebrutalan atau bahaya
kebiadaban, siksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
d. Padahal mengingat renungan dan pertimbangan yang disinggung dalam
huruf a, b, c, dan d, menetapkan Peraturan penghentian perilaku agresif di
rumah adalah penting.
e. Pasal 356 KUHP (KUHP) menjadi landasan hukum bahwa perbuatan
kekerasan suami terhadap istri merupakan unsur tindak pidana yang
serius.101

Kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuk, sebagaimana


didefinisikan oleh UU No. 23 Tahun 2004, Empat jenis kekerasan dalam rumah
tangga terhadap istri yang dilaporkan dalam 23 tahun 2004 adalah sebagai
berikut:

a. Tindakan kekerasan fisik menyebabkan rasa sakit, sakit, atau cedera serius.
Menampar, memukul, meludah, menarik rambut, menendang, membakar
dengan rokok, melukai dengan senjata, dan perilaku kekerasan lainnya
termasuk dalam kategori ini. Biasanya, perawatan ini akan menyisakan
wajah memar, gigi patah, atau bekas luka lainnya di wajah pasien.
b. Kekerasan emosional/mental yang mendalam, adalah suatu manifestasi
yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan
kemampuan untuk bertindak, perasaan tidak berdaya dan ketahanan mental
yang ekstrim pada seseorang. Ungkapan yang memalukan, menyakitkan
atau merendahkan, mengucilkan istri dari dunia luar, dan mengancam atau
menakut-nakuti istri sebagai cara untuk memaksakan kehendaknya adalah
contoh perilaku kekerasan yang termasuk pelecehan emosional.

101
Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 10-11
58

c. Kekerasan semacam ini termasuk melepaskan pasangan dari kebutuhan


internalnya, memaksanya untuk berhubungan seks, mendorong hasrat
seksualnya sendiri, tidak berfokus pada pemenuhan istri.
d. Kekerasan ekonomi: Adalah melanggar hukum bagi siapa pun untuk
menelantarkan siapa pun yang menjadi anggota rumah tangganya, bahkan
jika orang tersebut diharuskan untuk hidup, merawat, atau menghidupi
dirinya sendiri oleh hukum atau dengan kesepakatan. Kekerasan semacam
ini termasuk tidak menafkahi istri bahkan membelanjakan uang istri.

Kekerasan finansial atau ekonomi yang ekstrem atau berat sebagai


demonstrasi transaksi ganda, dan kontrol melalui sarana moneter melalui
pemaksaan korban untuk bekerja dengan cara licik termasuk prostitusi,
membatasi korban untuk bekerja bagaimanapun mengabaikannya, mengambil
tanpa informasi dan tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan, merampas
dan menguasai harta benda korban. Kekerasan ekonomi dalam bentuk ringan, di
mana korban sengaja dibuat bergantung secara ekonomi, tidak berdaya, atau
kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi.102

5. Kedudukan Istri Sebagai Wanita Karir


Karena kesimpulan yang salah tentang perbedaan antara laki-laki dan
perempuan akan berdampak lebih dari sekadar masalah ilmiah, perbedaan ini
perlu didiskusikan dengan lebih hati-hati. Namun, hal itu juga berdampak lebih
jauh pada masalah kebebasan dasar. Dengan menganggap bahwa manusia
secara turun-temurun berbeda tanpa memberikan penjelasan yang lengkap, hal
itu cenderung digunakan sebagai keaslian realitas sosial yang menganggap laki-
laki sebagai orang utama dan perempuan sebagai orang kedua atau berikutnya.

Jika potensi kedua belah pihak antara suami dan istri dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin dengan keikhlasan, maka suami istri dapat menjadi
pasangan sederajat yang harmonis dalam kehidupan nyata, terutama ketika
mereka menikah. Jika kehidupan keluarga dapat dibuat bermanfaat, kemitraan
yang setara dapat dibuat. Karena berbagai faktor yang menghalangi laki-laki
dan perempuan untuk mewujudkan kemitraan keluarga perempuan yang setara,
keadaan ini terwujud sepenuhnya.103

Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an tentang mengerjakan amal


yang shaleh, yang berbunyi;

                  

      

102
Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 11-12
103
Wati Rahmi, “Konsep Islam Terhadap Kemitrasejahteraan Wanita di Keluarga”,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. XXXI, 2001, h. 23
59

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu,


yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS. Al-
Kahfi: 110).

             

   

Artinya: “Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya


serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”
(QS. At-Taubah: 105).

Al-Imam Qurthubi berpendapat sebagaimana dikutip oleh Burhan


Wirasubrata, Bekerjalah kamu! bekerja disini ditujukan kepada seluruh
manusia. Bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan, semua umat Islam
memiliki hak untuk melakukan pekerjaan yang halal.104 Melakukan perbuatan
amal shaleh sudah jelas bahwa semua manusia baik itu laki-laki maupun
perempuan harus melakukanya. Dan wanita karir atau istri bekerja dalam niat
untuk membantu ekonomi keluarga adalah bagian dari melaksanakan amal
shaleh.

Dalam kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu karangan Wahbah Az Zuhaily,


wanita karir adalah seorang wanita yang bekerja untuk mendapatkan rezekinya
dan penghidupannya, termasuk juga pekerjaan dimbidang pemerintahan.
Jumhur ulama selain Mazhab Maliki berpendapat bahwa itu diperbolehkan,
mereka memberikan ketentuan bahwa pekerjaan atau profesi termasuk kafa‟ah
dalam pernikahan. Namun, Mazhab Maliki berpendapat bahwa pekerjaan atau
profesi tidak termasuk dalam kafa’ah. 105

Setiap keluarga pasti mendambakan kebaikan (sehat, sakinah, dan


sejahtera) dalam hidupnya dan keluarganya, baik secara fisik maupun mental, di
dunia maupun di akhirat.106 Hal ini diikhtiarkan dengan aktifitas wanita dalam
memelihara rumah tangganya membahagiakan suaminya, membentuk keluarga

104
Burhan Wirasubrata & Kundan D. Nuryakien, Menggugat Sejarah Perempuan:
Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam , Cet.1 (Jakarta: Cendikia Sentra
Muslim, 2001), h. 119
105
Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Dar Al-Fikr, Damaskus, 2011),
h. 90
106
Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Jakarta: Yamiba, 2013),
h. 94.
60

bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Namun, tidak
berarti wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan oleh syara’. Karena
tidak ada seorangpun yang mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash yang
sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Dengan prinsip ini, maka
Yusuf Al- Qaradhawi memberikan hukum kebolehan (jaiz) pada wanita yang
bekerja atau melakukan aktifitas di luar rumah. Menurutnya, kadang-kadang ia
dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia membutuhkannya.
Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedang ia tidak
ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia
sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-
minta.

Dalam hal lain, pihak keluarga juga dapat membutuhkan wanita untuk
bekerja seperti membantu suaminya, mengasuh anak- anaknya atau saudaranya
yang masih kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua. Yusuf Al-
Qaradhawi memberikan ketentuan wanita dapat bekerja, dengan syariat bahwa
pekerjaan yang diambil itu disyariatkan. Artinya, pekerjaan itu tidak haram
atau dapat mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita yang bekerja
untuk melayani lelaki, wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur
yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau
menjadi penari yang merangsang nafsu, bekerja di bar untuk menghidangkan
minum-minuman keras, menjadi pramugari di kapal terbang dengan
menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa
disertai mahram, bermalamdi negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-
aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam baik untuk laki-laki maupun
wanita.

Dalam bekerja, wanita harus memenuhi adab wanita muslimah ketika


keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak
gerik. Kemudian pekerjaan yang diambil, tidak menjadikan wanita itu
mengabaikan kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban
terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan tugas pertama dan
utama.107

Kaum wanita di era globalisasi yang sedang berlangsung, khususnya kaum


terpelajar, menuntut status yang setara dengan kaum pria. Wanita, di sisi lain,
secara implisit didevaluasi di beberapa masyarakat. Para cendekiawan Islam
modernis sering memegang keyakinan bahwa Al-Qur'an memberikan status
setara kepada kedua jenis kelamin ini. Pelajaran Islam yang memiliki sumber
utama Al-Qur'an untuk situasi ini menyinggung pengaturan dan sekaligus
implikasi logis. Secara normatif Al-Qur'an lebih mengutamakan kedudukan
yang setara bagi manusia, namun secara logika Al-Qur'an menyatakan bahwa
laki-laki pasti lebih diuntungkan dari pada perempuan.

107
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Seputar Muslimah, (Jakarta: Al-Izzah,
1998), h. 50.
61

Kewajiban laki-laki untuk menafkahi istri bukanlah perbedaan mendasar;


sebaliknya, ini melayani tujuan praktis. Artinya, kelebihan suami tidak
berkurang hanya karena ia tidak memiliki kelebihan di bidang ekonomi. Jika
istri secara ekonomi bergantung pada warisan atau dari penghasilannya sendiri
dan menafkahi keluarganya, bukan berarti kelebihan dan keunggulan suami
berkurang, karena suami tidak memiliki keunggulan dalam hal ekonomi.108

Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan para istri yang mengikuti organisasi
atau menjadi karyawan, seperti berikut:

a. Jika Anda ingin pergi ke rapat, menghadiri rapat, atau pergi bekerja, Anda
harus menyelesaikan hal-hal di sekitar rumah terlebih dahulu, seperti
menyiapkan pakaian untuk suami dan anak, membuatkan makanan untuk
keluarga, dan sebagainya, agar Anda kehidupan rumah dapat berjalan lancar
dan tanpa stres. Karena melakukan hal itu atau bekerja saat rumah
berantakan tidak ada gunanya bagi istri.
b. Apa yang harus dihindari oleh pasangan yang sedang bekerja adalah tidak
membiarkan masalah melayani suami dan anak-anaknya diserahkan kepada
pembersih rumah atau pembantu, atau memihak pasangannya (suami),
sementara dia secara pribadi berpindah-pindah tempat tanpa hambatan,
tanpa memberikan perhatian apa pun ke seluk-beluk. Tak henti-hentinya
keluar dari masalah keluarga yang menjadi kewajibannya.
c. Perlu diingat bahwa pertengkaran terus-menerus dan ketidakcocokan suami
dan istri di rumah sering menyebabkan hasil yang tidak diinginkan,
termasuk kefatalan atau kematian di dalam rumah tangga.
d. Untuk memastikan bahwa suaminya tidak memerlukan bantuan untuk
kebutuhannya, istri harus menahan diri untuk tidak bertindak seolah-olah
ingin melarikan diri dari perlindungan suaminya dengan mencari pekerjaan
di luar rumah. Yang terpenting suaminya tidak lagi harus menafkahi
kebutuhan materinya. Akibatnya, dia tidak lagi mau menuruti suaminya
dan bebas melakukan aktivitas di luar rumah dengan pakaian yang indah,
selalu berharap menarik perhatian pria lain untuk tujuan melayani
masyarakat dan tujuan lainnya.109\

6. Pernikahan Paksa
Para ulama sepakat bahwa hukum asal perkawinan adalah jâiz
(diperbolehkan) atau mubah. Tetapi, hukum asal tersebut dapat berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dari mubah bisa
berubah menjadi sunnah bagi orang yang berkehendak serta memiliki
kemampuan menafkahi. Menjadi wajib, bagi orang yang memiliki kecukupan
dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina). Menjadi makruh, bagi orang

108
Wati Rahmi, “Konsep Islam Terhadap Kemitrasejahteraan Wanita, h. 28-29
109
Abu Bakar Al-Asy'ari, Tugas Wanita Dalam Islam (Jakarta: Media Dakwah,
1991), h. 48
62

yang belum mampu dalam hal nafkah dan lain-lain. Menjadi dilarang bahkan
haram bagi orang yang akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.

Pernikahan paksa merupakan suatu perbuatan yang dilakukan tanpa ada


dasar suka rela di antara dua belah pihak (laki-laki maupun perempuan). Nikah
paksa juga dikenal dengan istilah lain yaitu “nikah ijbâr”. Mengenai nikah ijbâr
itu sendiri yaitu sebuah pernikahan yang dilakukan oleh dua belah pihak laki-
laki maupun perempuan dengan cara pemaksaan atau mengawinkan seseorang
dengan cara yang keras sehingga tidak ada unsur kerelaan di antara
keduanya.110

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia Besar (KBBI) menyatakan bahwa kawin


paksa bukanlah sebuah pilihan, yaitu tindakan yang dilakukan tanpa
sepengetahuan atau persetujuan para pihak. Dalam Islam nikah paksa dikenal
dengan istilah “nikah ijbar” berasal dari kata “ajbara-yujbiru-ijbaaran”, “nikah
paksa” juga disebut sebagai “nikah ijbar”. Atau mirip dengan kata Akraha,
argham, dan alzama qahran wa qahran, yang kesemuanya berarti “kewajiban
atau kewajiban dengan paksaan yang tiada habisnya”.

Nikah Ijbar atau kawin paksa, adalah ketika dua orang menikah tanpa
persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan dan di bawah paksaan.111
Pernikahan adalah sebuah komitmen yang memiliki kualitas/sifat yang belum
pernah ada sebelumnya, dalam arti yang berbeda sama saja dengan tanggung
jawab antara keduanya, salah satunya adalah rencana atau kesepahaman antara
dua individu atau orang.112

Menurut KHI Pasal 16, “Perkawinan tergantung pada pengaturan calon istri
dan calon suami,” perkawinan juga diatur atas persetujuan calon perempuan
dan laki-laki yang beruntung. Sesuai pasal 6 ayat 1 Peraturan Perkawinan 1974,
perkawinan harus didirikan atas persetujuan dua calon istri dan calon suami.113

Hadis mengenai wali ijbar dalam pernikahan, sebagai adanya persetujuan


mempelai perempuan dalam pernikahan adalah sebagai berikut;

‫ الَِيُ أَ َحق بِنَ ْف ِس َها ِم ْن َولِيِ َها َوالْبِ ْكُر تُ ْستَأْذَ ُن ِِف‬:‫ال‬
َ َ‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ب‬ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
َّ َِّ‫اس أَ َّن الن‬
ِ
.‫ال نَ َع ْم‬
َ َ‫ص َماتُ َها ق‬ ُ ‫نَ ْفس َها َوإِ ْذنُ َها‬

110
Hisdiyatul izzah, Mir’atul Firdausi, Tiyan Iswahyuni, “Faktor dan Dampak
Nikah Paksa terhadap Putusnya Pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam”, The
Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law, Vol. 2, No. 1, April, 2021, h. 62.
111
Asy-Syaukani, Ringkasan Nailul Authar (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 432
112
Maskhur Anhari, Usaha-usaha Untuk Kepastian Hukum dalam Perkawinan
(Surabaya: Diantama, 2006), h. 13
113
Undang-undang Republik Indonesia, pasal 6 ayat 1 Peraturan Perkawinan 1974
63

Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah
bersabda: Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya,
sedangkan anak gadis harus dimintai izin darinya, dan izinnya adalah
diamnya? Dia menjawab; "Ya" (HR. Muslim, Juz 2, hlm. 130).114
Jika kita menggali lebih dalam, kita akan melihat bahwa tidak banyak
kaitannya dengan faktor keuangan. Namun, ada hubungan yang kuat untuk
memperkuat ikatan keluarga dan dalam hal ini para tokoh setempat yang
bersifat doktrin. Apakah ada perbedaan dalam mendefinisikan ijbar, yaitu hak
menikah dengan pengasuh, selain mengatakan bahwa itu ada hubungannya
dengan wali mujbir, wali yang berhak menikah dengan orang yang berada di
bawah perwalian meskipun tidak mau. Hal ini karena wali mujbir berhak
menikahkan dengan orang yang berada di bawah perwalian meskipun mereka
tidak mau. Orang-orang utama dari wali mujbir adalah ayah dan kakek (ayah,
dll.), Yang dianggap paling sayang kepada wanita yang benar-benar mereka
asuh. Selain itu, mereka tidak berhak atas ijbar.115

Wali Mujbir adalah orang tua yang memaksa anaknya menikah atau
menikah atas pilihannya sendiri, bukan pilihan anaknya. Dengan demikian,
ungkapan “kawin paksa” dan “ikrah” digunakan secara timbal balik di
masyarakat kita. Sebaliknya, Ijbar berbeda dengan Ikrah. Ini lebih merupakan
tanggung jawab langsung karena ayah adalah wali ijbar dan percaya bahwa
putrinya belum memiliki kapasitas untuk bertindak secara mandiri. Dalam
pemikiran Imam Syafii, istilah ijbar dikaitkan dengan beberapa syarat, antara
lain:

1) Tidak ada permusuhan (penghinaan) wanita dengan calon pasangannya.


2) Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu kepada ayah dan
keluarganya.
3) Calon suami (orang yang dijodohkan) haruslah orang yang sekufu/
setingkat/sebanding.
4) Mahar atau mas kawin, tidak kurang dari mahar pada umumnya, yaitu
mas kawin perempuan lain yang setara.
5) Calon pasangannya dinilai tidak akan melakukan perbuatan/kegiatan
yang akan menyakiti hati sang wanita.116

Dalam istilah fikih sendiri, kawin paksa merupakan salah satu fenomena
sosial yang timbul akibat tidak adanya kerelaan antara kedua calon mempelai
untuk menjalankan sebuah perkawinan atau hal tersebut merupakan gejala
sosial dan masalah yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Praktik kawin
paksa yang masih berlangsung hingga saat ini adalah akibat kontribusi dari

114
Muslim bin al-Hijaj Abu al-‘Isin al-Qusyairi, Sahih Muslim, juz 2, h. 130.
115
Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif
(Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 40
116
Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum , h. 41-42
64

cara pandang terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial. Hukum Islam di


Indonesia telah mengatur salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan dari
calon mempelai. Seorang wali wajib menanyakan terlebih dahulu kepada anak
yang berada di bawah perwaliannya mengenai kerelaannya untuk
dinikahkan.117

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan


sumber hukum positif bagi umat Islam di Indonesia, menganut prinsip atau
asas kesukarelaan dalam perkawinan, sebagaimana yang telah dianut oleh
hukum Islam sendiri mengenai kesukarelaan dalam perkawinan. Dalam pasal 6
ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa
perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai dan
persetujuan tersebut harus dilaksanakan atas kehendak bebas, tanpa paksaan
dari calon mempelai pria maupun wanita untuk melaksanakan perkawinan.
Meskipun pengertian dari kawin paksa itu sendiri juga tidak dijelaskan secara
implisit dalam hukum positif, namun dari konsep kesukarelaan atau
persetujuan bebas dan tanpa paksaan dari kedua calon mempelai dapat
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kawin paksa adalah suatu perkawinan
yang terjadi karena adanya unsur paksaan dari orang lain, yang dalam hal ini
adalah orang tuanya, dimana orang tua memaksa anaknya untuk menikah
dengan orang pilihannya tanpa adanya persetujuan atau kerelaan dari anaknya
tersebut.

d. Teori Hermeneutika H. G. Gadamer


Gadamer, yang datang dengan interpretasi ontologis, tidak melihat
hermeneutika sebagai cara untuk menerjemahkan keberadaan; sebaliknya, dia
melihatnya sebagai pemikiran filosofis. Padahal, dia tidak menganggap
hermeneutika sebagai metode karena menurut pandangannya pemahaman yang
benar adalah yang masuk ke tataran ontologis, bukan tataran metodologis.
Artinya, kebenaran dapat ditemukan melalui dialektika daripada metode
dengan mengajukan banyak pertanyaan. Akibatnya, bahasa muncul sebagai
media penting untuk dialog.

Gagasan fundamental hermeneutika Gadamer lebih bersifat ontologis.


Kasus ontologis dan kelengkapannya adalah kualitas hermeneutika filosofis
Gadamer. Hermeneutika filosofis, menurut Gadamer, bukanlah cara berfilsafat,
melainkan cara baru dalam memahami fenomena. Gagasan Gadamer mengenai
pemahaman dan signifikansi ontologi dalam konstruksi landasan dealectic-
spekulatif bagi pemikiran universal dan sebagai sumber inspirasi bagi reaksi
yang dianggap terlalu idealis terhadap teori Scheiermacher dan Dilthey.118

117
Abu Bakar, “Kawin Paksa (Sebuah hegemoni laki-laki atas Perempuan)”, al-
Ahkam, No. VIII, 1 Juni 2013, h. 73.
118
Abdul Chalik, Hermeneutika Untuk Kitab Suci (Surabaya: tp, 2010), h. 27
65

Pengalaman estetika berfungsi sebagai katalis untuk penelitian Gadamer.


Menurut Gadamer, cakrawala adalah kondisi di mana interpretasi dalam
memahami teks juga harus membawa dunianya sendiri, dan teks pengarang
menciptakan dunianya sendiri. Tujuan interpretasi adalah “lebenswelt”, atau
memahami dunia dari berbagai perspektif. Makna sebuah teks adalah makna
sejarah karena teks yang ditulis oleh pengarang menjadi kekayaan sejarah.
Dassein adalah kesadaran, pemahaman diri, jadi untuk mencapai rencana, ada
sesuatu yang harus diperjuangkan dan dilawan, khususnya biasa yang dibangun
dalam kebiasaan.

Di sini Gadamer menemukan pentingnya prasangka (prasangka) dalam


pembentukan cakrawala pemahaman. Bagi Gadamer, pemahaman didasarkan
pada signifikansi historisnya dan tidak berusaha memahami dari keadaan
kosong. Sudut autentik kesejarahan dan komponen abstrak penerjemah sangat
penting untuk dipahami. Memahami masa lalu tidak berarti memperkenalkan
masa lalu kepada kita, tetapi upaya untuk mengubahnya sebagai klarifikasi
ontologis hermeneutik dilakukan melalui saran historisitas, bias yang dapat
diverifikasi, pertukaran hermeneutik dan fonetik bahasa.119

1. Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah

Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah adalah kesadaran


penerjemah seseorang terhadap keadaan hermeneutika. Teori ini menegaskan
bahwa pemahaman seorang penafsir dipengaruhi oleh lingkungannya, mulai
dari tradisi, budaya, dan pengalaman hidup.

Penolakan kritis bahwa tidak semua sejarah atau pengetahuan sejarah


terkait dengan kita dapat dihasilkan dari menerima hubungan erat yang ada
antara masa lalu dan masa kini. Ambil misalnya, hubungan kita dengan studi
tentang suku Bushman. Gadamer setuju dengan ini, tetapi secara intrinsik kita
masih mengandung hubungan antara situasi dan sejarah kita saat ini, termasuk
bagaimana kita memandangnya. Akibatnya, pemahaman dan sejarah pada
dasarnya saling terkait.120

Gadamer juga melihat bagaimana pemahaman dan sejarah saling bercermin.


Dia menegaskan bahwa sementara kita terus berusaha untuk memahami,
mengevaluasi, dan mengintegrasikan sesuatu, kita juga berbagi pengalaman
masa lalu kita untuk mendapatkan pemahaman tentang diri kita sendiri dan
menempatkan diri kita dalam perspektif tertentu. Dengan demikian, hubungan
selanjutnya ini menunjukkan hubungan yang cerdas, dan itu menyiratkan

119
Agus Darmaji, Pergeseran Hermeneutika Ontologis Melalui Bahasa dalam
Pemikiran Hans Georg Gadamer (Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 1999), h. 121
120
Gadamer, Philosophical Hermeneutics (London: University of California Press,
1976), h. 11
66

bahwa hubungan antara sejarah dan pemahaman bisa positif dan bisa juga
negatif, hubungan antara aspek-aspek praktis tertentu.121

Gadamer melihat bahwa praksis bukanlah sesuatu yang di luar, karena


pemahaman itu sendiri dihargai sebagai sesuatu yang di luar, karena
pemahaman itu sendiri dihargai sebagai suatu kegiatan. Oleh karena itu,
pemahaman itu sendiri pada hakekatnya adalah praktek. Selain itu, pemahaman
adalah tindakan historis dan reflektif. Memahami berarti membuat kepentingan
lain atau mengartikannya sehingga kegiatan semacam ini dalam jangka panjang
menjadi penting bagi sejarah atau kebiasaan yang akan diberikan kepada orang-
orang di masa depan.122

2. Teori Pra-Pemahaman

Dalam Pra-pemahaman Siklus seorang penerjemah harus mendapatkan


penilaian yang mendasari dalam mencari tahu teks. Pra-pemahaman yang
merupakan posisi dasar penerjemah atau informasi awal untuk membantu
memahami teks. Pra-pemahaman harus terbuka dan mampu menerima kritik
dan belajar darinya.

Heidegger dalam penggambarannya tentang pre-structure of understanding


dan bagian-bagian kesejarahan yang khas dari kehidupan manusia, memaknai
bahwa translasi atau translasi tidak akan pernah tercapai dengan asumsi tidak
ada bias sebelumnya.123

Menurut Heidegger, kami tidak memahami apa pun dari kesadaran kosong,
tetapi justru karena kami baru saja mengesampingkan tujuan tertentu
sehubungan dengan apa yang perlu kami pahami. Prasangka sudah tertanam
dalam diri kita. Akibatnya, tidak mungkin untuk memahami masa kini tanpa
terlebih dahulu mempertimbangkan masa lalu atau sebaliknya. Pada akhirnya,
demonstrasi pemahaman terikat pada realitas-realitas mediator itu sendiri.
Tidak mengherankan bila Gadamer memandang sejarah makna sebagai
landasan keberadaan manusia. Masa lalu lebih dari sekedar kumpulan fakta
yang bisa dianggap sebagai objek kesadaran; sebaliknya, itu adalah aliran
bergerak yang melaluinya kita bergerak dan berpartisipasi dalam setiap upaya
untuk memahami.124

3. Fusion of Horizon

Ada dua horizon pengetahuan dalam teori Gadamer: horizon pengetahuan


penafsir dan horizon pengetahuan teks. Kedua kaki horison tersebut itu

121
Gadamer, Philosophical Hermeneutics, h. 13
122
Gadamer, Philosophical Hermeneutics, h. 14
123
Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evasnston: Northwestern University Press, 1969), h. 86
124
Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher , h. 177
67

diberikan atau dihubungkan, sehingga tekanan di antara keduanya bisa


bertahan. Penafsirnya harus mencermati cakrawala sejarah teks (asbabun
nuzul).

Gadamer menegaskan bahwa keterasingan adalah upaya ilmu manusia


untuk mendekati teks dari jarak jauh. Ini berarti melepaskan penafsir dari objek
yang ditafsirkan. Melalui mediasi kesadaran akan efek sejarah, jarak dapat
dijembatani dan ikatan dibangun kembali. Fusion of horizon adalah efek
historis yang terjadi antara subjek dan objek. Gadamer mengurutkan argumen
antara jarak dan kombinasi ulang dalam tiga lingkaran unik, khususnya estetik
atau gaya, sejarah otentik, dan bahasa.125

Sejarah atau adat istiadat sebelumnya harus dilihat menurut perspektif


sejarah yang otentik itu sendiri. Untuk memahami makna tradisi dalam konteks
sejarah, penafsir memposisikan dirinya seolah-olah berada di tengah cakrawala
sejarah. Agar cakrawala tradisi dan penafsir menjalin persahabatan, penafsir
juga harus memahami cakrawalanya sendiri. Dengan menyatukan cakrawala
masa lalu dan masa kini, akan diperoleh pemahaman yang komprehensif.

Proses pemahaman (penafsir) harus menyadari bahwa cakrawala teks,


cakrawala pengarang, dan cakrawala pembaca semuanya dipertimbangkan.
Setiap cakrawala memiliki dunianya sendiri yang berbeda, memungkinkan
pemahaman baru yang lebih produktif muncul dari ketiganya. Gadamer
mengatakan bahwa cakrawala utama yang harus diperhatikan adalah horizon
teks dan horizon pembaca. Pembaca teks akan memulai dengan cakrawala
hermeneutiknya, tetapi ia juga harus memperhatikan dan mengakui secara
terbuka bahwa teks memiliki cakrawalanya sendiri, yang berbeda dengan
cakrawala pembaca, dan bahwa teks harus dialek atau hidup.126

4. Hermeneutika Dialektis

Ketika teks dipahami, dimaknai, dan diajak berdialog dengan pembaca,


maka akan terdengar dan hidup, dan interpretasi kita akan menjadikan teks
bermakna.

Cara pemahaman dan penerjemahan yang paling umum dengan kerangka


persuasif membutuhkan empat unsur, yaitu bildung, sensus communis,
judgment/pertimbangan, dan teste. Pertama-tama, bildung adalah kursus
pemahaman atau terjemahan, jika seseorang membaca teks, setiap pengalaman
yang mereka miliki mungkin menjadi faktor terpenting. Humaniora dan ilmu
kehidupan tidak dapat dipahami atau ditafsirkan tanpa bildung. Kedua, sensus
communis atau pertimbangan praktis lainnya dilakukan secara cerdas. Sensus
communis digunakan untuk memahami konteks di balik pola perilaku manusia.

125
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an
(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 49
126
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an , h. 50
68

Ketiga, Judgment atau Pertimbangan adalah sesuatu yang ada hubungannya


dengan apa yang perlu dilakukan. Keempat, Teste atau rasa, sebagai sikap
subyektif mengenai rasa atau keseimbangan antara kebebasan intelektual dan
naluri indrawi.127

Dalam operasinya, Gadamer menyamakan selera dengan rasa, tetapi rasa


tidak menggunakan pengetahuan indera/akal. Hermeneutika adalah seni
pemahaman yang didasarkan pada kesadaran dialogis atau dialektis dari
berbagai tradisi dahulu dan tradisi sekarang sehingga semuanya benar-benar
melebur menjadi satu cakrawala pemahaman dan melahirkan produktivitas
makna teks, menurut teori ini. Oleh karena itu Gadamer mengatakan bahwa
realitas itu pluralistik sesuai dengan cakrawala kebiasaan wacana umum.128

127
Jean Gordin, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer (Yogyakarta: Ar-
Ruz Media, 2012), h. 198
128
Jean Gordin, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer, h. 207-208
BAB III
BIOGRAFI MUHAMMAD AT-TIHAMI BIN MADANI DAN KITAB
QURRATUL UYUN

A. Profil Abi Muhammad At-Tihami bin Madani


1. Biografi

Syekh At-Tihami Kannun, atau Abu Abdillah Muhammad At-Tihami bin


Madani bin Ali bin Abdullah Kannun, adalah seorang sufi, ahli hadits, dan
ulama ahli fiqih dalam mazhab Maliki. Syekh At-Tihami berasal dari kota Fez
Maroko, tetapi dia tinggal dan bekerja di Tangier, yang berada di pantai Afrika
Utara di sebelah barat Selat Gibraltar di bagian utara Maroko.1

Dalam rutinitas sehari-harinya, Syaikh At-Tihami disebut sebagai dai atau


mubalig, tampil dalam bidang hadits dan fikih serta berbagai bidang, dan
mendominasi banyak cabang-cabang ilmu lainya. Kegiatannya sehari-hari
sangat padat, dan majelis tempatnya mengajar selalu padat dengan penelitian
ilmiah, buku hadits, cerita, dan biografi orang-orang baik, serta ceramah atau
nasehat-nasehat. Syaikh At-Tihami juga salah satu pengkhutbah, ketika
kesempatan tiba untuk mengajar, penduduk setempat akan berkumpul dan
memohon dengan dia dan mendengarkan pesannya yang sarat dengan nasihat
berharga dari beliau.2

Syaikh At-Tihami meninggal di Tangier, pada hari kamis tangga l7 Rajab


tahun 1331 H/1913 M.3 Atau menurut vesi lain 1333 H/1915 M.4 Dilihat dari
tahun musonnif menyelesaikan penyusunan kitab Qurrah Al-‘Uyun yakni tahun
1305 H/1888 M.5 diperkirakan Syaikh At-Tihami hidup pada pertengahan abad
ke-12 Hijriah atau abad ke-18 M.

2. Karya-karya

Syaikh At-Tihami juga dikenal sebagai ulama yang pandai menulis. Selain
kitab Qurrah Al-‘Uyun, sejumlah besar karya-karyanya yang lain adalah
sebagai buku-buku dalam disiplin ilmu hadits, hukum fikih ibadah, akhlak atau
etika, dan lain sebagainya, di antaranya adalah:

1
Khoiruddin, Al-A’lam Qamusy Tarajim (Beirut: Dar Al-Ilm Al-Malayin, 2002),
h. 65.
2
Abdul Hafid bin Muhammad At-Tahir, Mu'jam Asy-Syuyuh (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2003), h. 128.
3
Abdus Salam, Ithaf Al-Mutali (Beirut: Dar Al-Garb Al-Islami, 1997), h. 104.
4
Khoiruddin, Al-A’lam Qamusy Tarajim (Beirut: Dar Al-Ilm Al-Malayin, 2002),
h. 65.
5
Muhammad At-Tihami, Qurrah Al-Uyun bi Syarh Nazm Ibn Yamun (Kediri: Ats-
Tsuroyya, tt), h. 71

69
70

a. Nasihah Al-Mu’min Al-Rasyid fi Al-Haddi ‘ala Ta’allumi Aqaid Al-


Tauhid. Kitab ini berisi nasehat-nasehat agar termotivasi dalam
mempelajari tauhid.
b. Aqrobu Al-Masalik ila Al-Muwato’ Malik. Kitab ini merupakan ta’liq
(komentar atau catatan di pinggir kitab) terhadap kitab Al-Muwato’ karya
Imam Malik. Kitab ini dicetak di Maroko pada tahun 1988 M.
c. Manahil Al-Safa fi Halli Al-Fazi Asy-Syifa. Kitab ini merupakan ta’liq
terhadap kitab Asy-Syifa karya Al-Qadi ‘Iyad.
d. Arba’una Haditsan fi Fadli Al-Hajj baitillahi Al-Harami. Kitab ini berisi 40
hadis yang menjelaskan keutamaan melakukan Haji. Kitab yang berjumlah
10 lembar selesai dikarang pada tahun 1308 H, dan dicetak di kota Fez,
Maroko.
e. Arba’una Haditsan fi Fadli As-Solah ‘ala An-Nabi. Kitab ini berisi 40 hadis
yang menjelaskan keutamaan bershalawat kepada Nabi. Kitab yang
berjumlah 10 lembar ini selesai dikarang pada tahun 1308 H, dan dicetak di
kota Fez, Maroko.
f. Arba’una Haditsan fi Az-Zakah. Kitab ini berisi 40 hadis yang menjelaskan
tentang Zakat. Kitab yang berjumlah 10 lembar ini selesai dikarang pada
tahun 1308 H, dan dicetak di kota Fez, Maroko.
g. Arba’una Haditsan fi Fadli Al-Jihadi. Kitab ini berisi 40 hadis yang
menjelaskan keutamaan berjihad. Kitab ini dicetak di kota Fez, Maroko.
h. Arba’una Haditsan fi Fadli Siyami ramadan wa Qiyamihi. Kitab ini berisi
40 hadis yang menjelaskan keutamaan puasa Ramadhan dan sholat malam
pada bulan Ramadhan. Kitab ini dicetak di kota Fez, Maroko.
i. Arba’una Haditsan fi Fadli As-Solah wa Al-Muhafazah ‘alaiha. Kitab ini
berisi 40 hadis yang menjelaskan keutamaan sholat dan keutamaan menjaga
sholat. Kitab ini dicetak di kota Fez, Maroko.
j. Arba’una Haditsan fi Fadli Yaum Al-Jum’ah wa Barakatiha Al-
Muddakharah lihazihi Al-Ummah Al-Muhammadiyyah. Kitab ini berisi 40
hadis yang menjelaskan keutamaan dan berkah dari hari jum’at. Kitab ini
dicetak di kota Fez, Maroko.
k. Arba’una Haditsan fi Fadli Al-Hailalah. Kitab ini berisi 40 hadis yang
menjelaskan keutamaan kalimat tauhid. Kitab ini dicetak di kota Fez,
Maroko.
l. Irsyad Al-Qari li Sahih Al-Bukhari. Kitab ini merupakan ta’liq terhadap
kitab Sahihnya Al-Bukhari. Kitab ini dicetak di kota Fez, Maroko pada
tahun 1328 H.
m. Al-Mulimmu bi Syarh Al-Fazi Sahih Muslim. Kitab ini merupakan ta’liq
terhadap kitab Sahihnya Imam Muslim.
n. Hadyah Al-Muhibbin ila Maulid Sayyid Al-Mursalin. Kitab ini
menjelaskan mengenai tuntutan-tuntunan yang hendaknya dipersiapkan
dalam menyambut maulid Nabi.
o. Taqyid fi Birri Al-Walidain. Kitab ini menjelaskan mengenai pentingnya
berbakti terhadap orang tua. Kitab yang berjumlah 8 lembar ini selesai
dikarang pada tahun 1308 H, dan dicetak di kota Fez, Maroko.
71

p. Taqyidat fi Niyyah Al-Murid Al-‘Uqud. Kitab yang berjumlah 8 lembar ini


selesai dikarang pada tahun 1308 H, dan dicetak di kota Fez, Maroko.
q. Khotmun. kitab yang berjumlah 24 lembar ini selesai dikarang pada tahun
1308 H, dan dicetak di kota Fez, Maroko.
r. Hadyah Al-Muhib Al-Musytaq Al-Mustaham li Ru’yah Man Asna Alaih
Al-Malik Al-Khollaq fi Al-Manam. Kitab ini menjelaskan tuntunan-
tuntunan agar dapat bertemu Nabi dalam mimpi.
s. Irsyad Al-Kholaiq li Adab Az-Ziyarah Manba’ Al-Haqaiq. Kitab ini
menerangkan etika-etika dalam berziarah ke makam Nabi.6

Syaikh At-Tihami diketahui telah menulis banyak kitab-kitab yang


tercantum di atas, jadi tidak menutup mungkin ada kitab-kitab lain yang
ditulisnya atau karangannya yang belum didokumentasikan atau dicetak.

B. Pengenalan Kitab Qurratul Uyun Bi Syarhi Nadmi Ibnu Yamun


1. Kitab Qurratul Uyun

Kitab Qurratul Uyun yang dihimpun oleh Syaikh At-Tihami merupakan


syarah atau penjelasan nadzam yang disusun oleh Syaikh Qasim bin Ahmad bin
Musa bin Yamun At-Talidi Al-Akhmasi atau yang terkenal dengan sebutan
Ibnu Yamun. Nadzam ini diselesaikan oleh Ibnu Yamun pada periode
Ramadhan 1069 H/1659 Hijrah, sedangkan Syekh At-Tihami menyelesaikan
Qurratul Uyun pada 12 Ramadhan 1305 H/1888 Hijrah.7 Karena jarak tahun
dan generasi yang sangat jauh, Syekh At-Tihami dan Syekh Ibnu Yamun tidak
bertemu secara langsung seperti yang dilakukan para murid dan guru.

Kitab Qurratul Uyun adalah nama yang dipilih oleh Syaikh At-Tihami
sebagai judul buku syarah nadzam karya Ibnu Yamun. Selain cantik, sebuah
nama memiliki banyak makna dan menyampaikan pesan. Dua suku kata yang
membentuk Qurratul Uyun adalah Qurah dan Uyun. Ada beberapa implikasi
dari kata Qurrah, diantaranya: dingin dan sejuk. Sebaliknya, Al-Uyun adalah
bentuk jamak dari Al-‘Ain, yang berarti “mata”. Oleh karena itu, Qurratul
Uyun dapat diartikan sebagai sesuatu yang enak dipandang mata, menyejukkan
mata, atau lebih spesifiknya sebagai sesuatu yang menyenangkan hati dan
menyejukkan mata.

Syekh At-Tihami menggunakan sejumlah kitab untuk menjelaskan dan


menguraikan nazm Ibnu Yamun. Meskipun Musannif tidak mencatat daftar
pustakanya, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa Syekh At-Tihami
mendasarkan pendapatnya pada sejumlah kitab dan pandangan ulama dalam
catatannya, seperti berikut:

6
Abdus Salam, Ithaf Al-Mutali (Beirut: Dar Al-Garb Al-Islami, 1997), h. 104.
7
Muhammad At-Tihami, Qurrah Al-Uyun bi Syarh Nazm Ibn Yamun, h. 71
72

1) Kitab Awarif Al-Ma’arif karya Syihabuddin Abu Hafs Umar As-


Suhrawardi.
2) Kitab Al-Adab karya Abu Bakr Ahmad bin Husain bin Ali Al-Baihaqi.
3) Kitab An-Nazar fi Aham An-Nazar bi Hasah Al-Basar karya Ibnu Qatan.
4) Kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Gazali.
5) Kitab Awwaliyat As-Suyuti karya Abdurrahman bin Abu Bakr As-Suyuti.
6) Kitab Idah Al-Masalik ila Qawaid Al-Imam Al-Malik karya Abu Al-Abbas
Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi.
7) Kitab Mukhtasar Ahkam Al-Imam Al-Burzuli karya Ahmad bin Yahya Al-
Wansyarisi.
8) Kitab Fatawa Al-Burzuli Jami’ Masail Al-Ahkam karya Abu Al-Qasim bin
Ahmad Al-Burzuli.
9) Kitab Al-Barakah fi Fadli Sa’yi wa Al-Harakah karya Muhammad bin
Abdurrahman bin Umar Al-Hubaisyi.
10) Kitab At-Targib wa At-Tarhib karya Abu Al-Qasim Al-‘Asbihani.
11) Kitab At-Taudih Syarh Mukhtasar Ibni Hajib karya Khalil bin Ishaq.
12) Kitab Al-Madkhal karya Ibnu Al-Haj Al-Maliki.
13) Kitab Mukhtasar Al-‘Allamah Khalil karya Khalil bin Ishaq.
14) Kitab Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtasar Al-Khalil karya Al-Hatab Ar-
Ra’ini Al-Maliki.
15) Kitab Asy-Syamil fi Fiqh Al-Imam Al-Malik karya Bahram bin Abdullah
Ad-Damiri.
16) Kitab Sahih Al-Bukhari karya Muhammad bin Isma’īl Al-Bukhari.
17) Kitab Sahih Muslim karya Abu Al-Husain Muslim bin Hajjaj.
18) Kitab Musnad Ahmad karya ahmad bin Hanbal.
19) Kitab Fath Al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
20) Kitab Irsyad As-Sari Syarh Sahih Al-Bukhari karya Abu Al-Abbas
Syihabuddin Ahmad Al-Qastallani.
21) Kitab Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj karya Imam An-Nawawi.
22) Kitab Ad-Dibaj Ala Sahih Al-Muslim bin Hajjaj karya Abdurrahman bin
Abi Bakar As-Suyuṫi.
23) Kitab Faid Al-Qadir Syarh Al-Jami’ As-Sagir karya Abdurrauf Al-Munawi.
24) Kitab Talkhis Sahih Al-Imam Muslim karya Imam Al-Qurtubi.
25) Kitab Al-Mu’jam Al-‘Ausat karya Sulaiman bin AhmadAt-Tabrani.
26) Kitab Syarh Allamah Zarruq ala Al-Muqaddimah Al-Waglisiyyah karya
Ahmad Zarruq.
27) Kitab Adab Al-Akli karya Ahmad bin ‘Imad Al-‘Aqfahsi.
28) Kitab An-Nasihah Al-Kafiyah li man Khasahullah bi Al-Afiyah karya
Ahmad Zarruq.
29) Kitab Al-Misbah Al-Munir fi Garib Al-Syarh Al-Kabir karya Ahmad bin
Muhammad bin Ali Al-Fayyumi.8

8
Muhammad At-Tihami, Qurrah Al-Uyun bi Syarh Nazm Ibn Yamun, h. 71
73

Syaikh Al-Tihami berulang kali mengutip pandangan Syaikh Zaruq dari


kitab An-Nashihah sebagai bagian dari penjelasannya. Hal ini dibahas dalam
beberapa bab diskusi tentang berbagai topik. Dalam buku Ihya Ulumuddin, dan
Al-Wansyarisi, Imam Al-Ghozali menawarkan perspektifnya dalam urutan
berikutnya.

Al-Tihami menggunakan istimbath Al-Hukumi, yang mengacu pada


mazhab Maliki, dalam pandangannya tentang fikih. Ini masuk akal mengingat
bahwa dia adalah seorang ulama dan 'alim terkenal di mazhab Maliki, yang
berarti bahwa dia adalah anggota mazhab Maliki secara default. Saat
menelusuri tokoh-tokoh yang fatwanya sering dijadikan acuan mushonif dalam
Qurratul Uyun, penulis menemukan data sebagai berikut:

a) Al-Wansharisy. Ia memiliki nama asli Ahmad Wadah Yahya Wadah


Muhammad Al-Wansyarisy Al-Talmasany. Abu Al-Abas juga seorang
faaqih dari mazhab Maliki (834-914 H/1430-1508 Promosi). Bukan hanya
‘alim Abu Abas seorang ulama ulung atau produktif dalam hal menulis
kitab-kitab, kitab-kitabnya antara lain: 1) Idhoh Al-Masalik ila Qowaid ‘ala
Imam Malik, 2) Al-Mi’yar Al-Mu’rob: Fatawi Ulama Ifriqiyah wa Andalus
wa Biladi Al-Maghribi, 3) Nawazil Al-Mi’yar Al-Mukhtasor min Ahkami
Al-Barzaly.
b) Kitab An-Nasihah Al-Kafiyah adalah kitab tasawuf yang disusun oleh
Imam Ahmad bin Ahmad bin Muhammad, yang dikenal sebagai Zaruq. Dia
adalah seorang Sufi ala Maliki yang meninggal pada tahun 899.9

2. Sistematika Pembahasan

Kitab Qurrah Al-Uyun ini secara metodis terdiri dari 11 bagian, yang
memahami dan menggambarkan 105 ayat nazm Ibnu Yamun. Kesebelas pasal
tersebut adalah:

1) Pasal 1 tentang nikah, rukun-rukunnya dan hukumnya.


2) Pasal 2 tentang manfaat dan bahaya pernikahan.
3) Pasal 3 tentang membangun rumah tangga, dan seputar penyelenggaraan
pesta pernikahan/walimah Al-‘Ursi.
4) Pasal 4 tentang waktu yang tepat untuk malam pertama dan etika dalam
menghadapi malam pertama.
5) Pasal 5 tentang etika dalam berhubungan seksual, dan tatacara
berhubungan seksual yang paling nikmat.
6) Pasal 6 tentang makanan tertentu yang hendaknya dihindari oleh pengantin
wanita.
7) Pasal 7 tentang anjuran-anjuran ketika berhubungan seksual dan posisi
berhubungan seksual yang hendaknya dihindari.

9
Muhammad At-Tihami, Qurrah Al-Uyun bi Syarh Nazm Ibn Yamun, h. 71
74

8) Pasal 8 tentang tempat-tempat yang hendaknya dihindari dalam


berhubungan seksual.
9) Pasal 9 tentang etika tidur.
10) Pasal 10 tentang hak dan kewajiban suami-istri.
11) Pasal 11 merupakan penutup yang menjelaskan tentang mendidik dan
melatih anak.10

Salah satu khazanah kitab kuning adalah kitab Qurratul Uyun yang sangat
populer di kalangan pesantren tradisional sebagai acuan kehidupan berumah
tangga dan aktivitas seksual suami istri: mulai dari rukun dan tata cara
perkawinan, memilih pasangan yang ideal untuk hidup, dan etika hubungan.
seks, untuk mengajar anak-anak.

Syaikh At-Tihami memberikan banyak argumen dari Alquran dan hadits


dalam kompilasi buku ini. Jumlah hadits yang disitasi mencapai 165. Selain itu,
mengutip pendapat para akademisi, sedangkan selebihnya hanya berupa
gagasan mereka. Karena Nadzam Ibnu Yamun hanya memberikan informasi
yang berfungsi sebagai penjelasan, maka gagasan-gagasan yang dikemukakan
dalam Kitab Qurratul Uyun tidak berbeda dengan yang Ibnu Yamun uraikan
dan jelaskan.

10
Muhammad At-Tihami, Qurrah Al-Uyun bi Syarh Nazm Ibn Yamun, h. 71
BAB IV
ANALISIS MATERI PENDIDIKAN PRA DAN PASCA NIKAH DALAM KITAB
QURRATUL UYUN DAN RELEVANSINYA DENGAN ISU-ISU
PERNIKAHAN KONTEMPORER

A. Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam Kitab Qurratul Uyun
1. Materi Pendidikan Pra Nikah
a. Pengetahuan Seputar Pernikahan
1) Hukum dan Rukun Menikah
Di dalam menjelaskan tentang Hukum nikah, Muhmmad At-Tihami
bin Madani membaginya menjadi lima bagian, yaitu; wajib, sunnah,
makruh, mubah, dan haram. Selanjutnya beliau menerangkan pengertian
dari hukum yang lima itu:

“wajib, adalah membenarkan dari kadar kemampuan atasnya dan


takut pada perbuatan zina dengan meninggalkannya. sunnah, adalah
membenarkan dari mengharapkan keturunan dan ia tidak takut
berbuat zina dengan meninggalkannya baik ia ingin atau tidak dan
walaupun pernikahan akan memutuskannya dari ibadah selain yang
wajib. makruh, adalah membenarkan orang yang tidak berhasrat
kepada pernikahan di dalamnya dan tidak mengharapkan keturunan
dan memutuskannya dari ibadah selain yang wajib. mubah, adalah
membenarkan dari orang yang tidak takut melakukan zina dan tidak
mengharapkan keturunan dan tidak memutuskannya ibadah selain
yang wajib. haram, adalah membenarkan orang yang membahayakan
dengan wanita karena tidak mampu melakukan senggama dan
memberi nafkah atau memiliki pekerjaan haram, walaupun ia ingin
menikah dan tidak takut berbuat zina”.1

Setelah memaparkan pengertian tentang hukum nikah, Muhammad


At-Timahi bin Madani menjelaskan bahwa pembagian ini akan berlaku
seumpamanya dalam seorang wanita. Seperti perkataan Ibnu Arafah yaitu:

“Ibnu Arafah menambahi dengan jalan yang lain dalam wajibnya atas
nikah dan dia adalah wanita yang lemah dari memelihara dirinya dan
tidak berdayaan menutupinya selain dengan menikah”.2

Muhammad At-Tihami melanjutkan dengan menjelaskan perbedaan


pandangan di kalangan ulama tentang hukum nikah, menanyakan apakah
lebih utama menikah atau meninggalkan pernikahan karena ibadah. Orang

1
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun bi Syarhi Nadzm Ibnu Yamun (Beirut: Dar
Ibnu Hajm, 2004), h. 33
2
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 33

75
76

rajih (Pendapat yang kuat) percaya bahwa lebih penting berkumpul di


antara keduanya karena pada kenyataannya, meninggalkan pernikahan
untuk beribadah tidak membawa kesenangan.

Dari uraian di atas, Muhammad At-Tihami membagi hukum nikah


menjadi lima bagian, yaitu; wajib, sunnah, haram, makruh, mubah.
Selanjutnya dijelaskan mengenai pengertian dari masing-masing hukum
nikah tersebut dengan sangat detail, sebagaimana pendapatnya At-Tuwaijri
yang membagi hukum nikah menjadi lima.

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa hukum yang lima itu


termasuk kepada wanita, maka diwajibkan kepada wanita yang lemah
dalam menahan dirinya dan tidak sanggup dalam menutupinya selain
dengan menikah. Sebagaimana dijelaskan oleh At-Tuwaijri mengenai
wajibnya menikah bahwa “wajib untuk mereka yang khawatir dan merasa
takut tidak bisa menjaga dirinya dan terjerumus dalam zina”.3

Muhammad At-Tihami juga memaknai sejumlah atau pokok-pokok


perkawinan, yang terbagi menjadi lima bagian, tepatnya; dua orang yang
menandatangani atau mengikat perjanjian (suami dan wali). Dan ada akad
yang jelas bagi istri dan mahar, yang dimaksud dengan mahar yang jelas
adalah sama dengan akad nikah dan sighat dengan menyebutkan mahar.4

Dari pembahasan di atas tentang rukun nikah, Muhammad At-


Tihami membagi rukun nikah menjadi lima, yaitu; suami, istri, wali, mahar,
dan shighot. Sebagaimana dijelaskan juga oleh Amir Syarifuddin bahwa
rukun nikah itu lima, akan tetapi menurut Al-Jaziri ulama madzhab Maliki
menerangkan tentang hukum nikah tentang mahar bahwa mahar itu harus
ada tetapi tidak harus dimunculkan.5

Sesuai dengan pembahasan di dalam kitab ini bahwasanya mahar di


dalam perkawinan adalah yang jelas, akan tetapi tidak dijelaskan mengenai
mahar itu dimunculkan atau tidak di dalam kitab ini. Penulis melihat bahwa
mengenai dimunculkannya mahar itu tergantung dari kesepakatan pasangan
yang akan menikah, akan tetapi kebanyakan orang yang melakukan
pernikahan memunculkan mahar.

2) Anjuran dan Keutamaan Menikah

Di dalam menjelaskan tentang anjuran menikah Muhammad At-


Tihami menghimbau dan menyebutkan bagi orang yang ingin menikah,

3
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Islam House.com,
2012, h. 6
4
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 34
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 61
77

banyak sekali hadis dan atsar mengenai ajuran menikah. Dibawah ini akan
dijelaskan hadis dan atsar ulama, yaitu sebagai berikut:

‫ال النَِّب‬َ ‫ فَ َق‬,‫اف‬ ُ ‫ َع َّك‬:ُ‫ال لَه‬ ُ ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يُ َق‬َ ‫ أَ َّن َر ُج ًل َد َخ َل َعلَى النَِّب‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫َع ْن أَِب ذَ ٍر‬
,‫ َوََل َجا ِريَة‬:‫ال‬ َ َ‫"وََل َجا ِريَة؟" ق‬ ُ ‫"ي َع َّك‬ ِ
َ :‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫ ََل‬:‫ال‬ َ َ‫ك َزْو َجة؟" ق‬ َ َ‫اف ! أَل‬ َ :‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬َ
ِ
‫ت م َن‬ ِ
ِ ْ ‫الشيَاط‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫ ق‬,‫ َوأَ ََن بٍَْي ُم ْوسر‬:‫ال‬ ِ
َ َ‫ت بٍَْي ُم ْوسر؟" ق‬ ِ
َ ‫ لَ ْو ُكْن‬,‫ْي‬ َّ ‫ت م ْن إ ْخ َوان‬ َ ْ‫ "أَن‬:‫ال‬ َ ْ‫"وأَن‬
َ :‫ال‬َ َ‫ق‬
."‫ أََر ِاذ ُل أَْم َواتِ ُك ْم ُعَّزابُ ُك ْم‬,‫ ِشَر ُارُك ْم ُعَّزابُ ُك ْم‬,‫اح‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ‫النَّصارى ُكْن‬
ُ ‫ إ َّن م ْن ُسنَِّّت الن َك‬,‫ت َراهبًا م ْن ُرْهبَان ْم‬ َ ََ
Artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki masuk menghadap Nabi
saw, Nabi saw bertanya kepadanya laki-laki itu bernama Ukaf: maka
Nabi saw bersabda: “Hai Ukaf! apakah kamu mempunyai istri?” Ukaf
berkata: tidak, beliau bersabda: “apakah kamu mempunyai budak
perempuan?” Ukaf berkata: tidak mempunyai budak perempuan,
beliau bersabda : “apakah kamu orang kaya yang baik ?” Ukaf
berkata : saya adalah orang kaya yang baik, beliau bersabda : kamu
termasuk temannya syetan. “kamu dari saudara syaitan, jika kamu
seorang nasrani, maka kamu adalah salah seorang pendeta di antara
pendeta mereka. Sesungguhnya sebagian dari sunahku adalah nikah,
maka sejelek-jeleknya kalian adalah kalian yang membujang dan
sejelek-jeleknya orang mati adalah yang mati membujang” (H.R.
Musnad Imam Ahmad, Juz 5, Bab Mujalidul Khamis, No. 21450,
Hlm. 163).

َ‫اع ِمْن ُك ْم البَاءَة‬ ِ ‫الشب‬


ْ ‫اب! َم ِن‬
َ َ‫استَط‬ َ َّ ‫"ي َم ْع َشَر‬
ِ
َ :‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ال‬ ٍ ‫َح َدثَنَا ُع َمُر بْ ُن َح ْف‬
َ َ‫ َوق‬,‫ص‬
."‫فَ ْليَ تَ َزَّو ْج‬
Artinya: “Dan Nabi bersabda: “wahai para pemuda! Barang siapa
dari kalian yang mampu untuk menikah, maka menikahlah” (H.R.
Bukhari, Juz 7, Bab barang siapa yang tidak mampu menikah maka
berpuasa, No. 5065, Hlm. 3).6

Hal itu menunjukkan beberapa hikmah dalam kitab syarah hadits,


antara lain: Seorang pemuda harus menikah terlebih dahulu. Karena
perintah hadits ini pada hakikatnya berfungsi untuk menunjukkan
kewajiban, bahkan ada yang menegaskan bahwa seorang pemuda harus
menikah. Hadis Nabi di atas menyebutkan dua keutamaan yang luar biasa
dalam pernikahan, yaitu; dapat menurunkan pandangan dan melindungi alat
kelamin lebih efektif. Tentunya akan lebih banyak keuntungan setelah
menikah, seperti memiliki anak, berusaha untuk membantu suaminya, dan
berbagai hasil dari pernikahan tersebut.

6
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 37.
78

Mengingat tidak semua pemuda memiliki kemampuan fisik, namun


sebagian besar pemuda memiliki keduanya, maka kemampuan yang
disebutkan dalam hadits sebelumnya meliputi kemampuan materil dan
fisik. Menjelang akhir hadits, Rasulullah mendekati/menyerukan kepada
para remaja secara tegas, karena merekalah yang lebih digarisbawahi untuk
melakukan ajaran/sunnah tersebut. Di sisi lain, panggilan ini juga dapat
dilakukan kepada orang tua yang belum menikah dan mampu memberikan
dukungan materi dan fisik.7

Salah satu ibadah yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam
Islam terkait dengan anjuran menikah dalam Al-Qur’an dan hadits adalah
pernikahan. Sebagaimana di jelaskan di dalam QS. An-Nisa’: 1, Ayat
tersebut mengatakan bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa diciptakan secara
khusus sebagai individu sebelum diciptakan sebagai pasangan dari dirinya
sendiri.

Semua makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, bahkan tumbuhan,


disediakan dan dikehendaki oleh Allah SWT untuk hidup berpasang-
pasangan. Allah Swt berfirman dalam surah adz-Dzariyat ayat 49:
Kemudian, dalam surah Yasin ayat 36, Allah menetapkan standar-standar
keberadaan dengan contoh khusus untuk hewan-hewannya, mengingat
hidup untuk berpasang-pasangan. Dia menjadikan laki-laki dan perempuan
menikah, berhubungan secara biologis dengan mereka, melalui proses
kehamilan, dan kemudian melahirkan.

Dari uraian di atas, bisa kita lihat bahwa anjuran untuk menikah
sangatlah banyak dan banyak memiliki manfaat karena manusia diciptakan
berpasang-pasangan.

Dalam kitab ini dijelaskan beberapa hadis mengenai keutamaan


menikah diantaranya yaitu;

."ِ‫ص َلةٍ ِم ْن َغ ِْيه‬


َ ‫ْي‬
ِ ِ ْ‫ "ص َلةُ الت زِو ِج أَف‬:‫ال معاذُ بن جب ٍل ر ِضى للا عْنه‬
َ ْ ‫ِ ُل م ْن اَْربَع‬
َ َ َُ َ ُ َ ُ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ َ‫َوق‬
Artinya: “Dan Mu’adz bin Jabal berkata: “shalat orang yang menikah
lebih utama dari pada empat puluh shalatnya orang yang belum
menikah” (kitab Faid Al-Qodir, No. 4 dan kitab Targib wa Tarhib
No. 124).

ِ ْ‫ "تَزَّوجوا! فَِإ َّن ي وما مع التَّزو ِج َخي ر ِمن عِب َادةِ أَل‬:‫اس ر ِضى للا َعْن هما‬ ِ
‫ف‬ َ ْ ْ َ َ َ ً َْ ْ ُ َ َ ُ ُ َ َ ٍ َّ‫ال َعْب ُد للا بْ ِن َعب‬ َ َ‫َوق‬
."‫ "تَ َزَّو ُج ْوا! فَإِ َّن َخْي َر َه ِذهِ الَُّم ِة اَ ْكثَُرَها نِ َساء‬:‫اب‬
ِ ‫ِا لِْلعَّز‬
ُ ً ْ‫ال اَي‬َ َ‫ َوق‬."‫َع ٍام‬

7
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, Jilid 6 (Jakarta:
Darus Sunnah, 2010), h. 222-223.
79

Artinya: “Dan Abdullah bin Abbas berkata: “menikahlah kalian!


Maka sesunguhnya satu hari bersama orang yang menikah lebih baik
dari pada beribadah seribu tahun”. Dan berkata lagi Ibnu Abbas
kepada bujangan: “menikahlah kalian! Maka sesungguhnya sebaik-
baik ummat ini adalah yang lebih banyak wanitanya” (H.R. Bukhari,
Juz 7, Bab Katsratu An-Nisa’, No. 5069, Hlm 3).

Dalam kitab Syarah Hadits di terangkan bahwa yang dimaksud oleh


Ibnu Abbas tentang hadits di atas adalah Rasulallah Saw, mengingat dialah
yang paling banyak memiliki jodoh. Oleh karena itu makna kata-kata Ibnu
Abbas adalah bahwa individu terbaik dari umat ini adalah Rasulallah Saw,
untuk itu ikutilah dia. Atau, maksud dari hadits di atas adalah bahwa orang
yang memiliki istri paling banyak adalah yang terbaik di antara umat-umat
Rasulallah. Seorang pria yang empat pasangan lebih mulia daripada
individu yang memiliki tiga pasangan. Yang lebih baik dari yang beristri
dua adalah yang beristri tiga. Individu yang memiliki dua pasangan lebih
unggul dari individu yang monogami. Selain itu, individu monogami lebih
unggul daripada orang lajang.

Karena Ibnu Abbas menasihati Said bin Jubair untuk menikah dan
mendemonstrasikan keutamaan pernikahan dengan mengatakan,
“menikahlah, karena sebaik-baik orang ini adalah yang memiliki istri lebih
banyak”, tafsir Ibnu Abbas yang kedua lebih mendekati kebenaran. Karena
musuh-musuh Islam jelas tidak menyukai jumlah umat Islam yang terus
bertambah, maka diketahui bahwa para aktivis yang mengkampanyekan
keluarga kecil telah memperjuangkan perjuangan dari misi-misi musuh
Islam.8

."‫"زِو ُج ْوِن! فَِإِن اَ ْكَرهُ أَ ْن أَلْ َقى للاَ َعا ِزًب‬ ِ ٍ ِ


َ :‫ َوَكا َن َمطْ ُع ْو ًَن‬,ُ‫ال َعْب ُد للا بْ ِن َم ْسعُ ْود َرض َى للاُ َعْنه‬
َ َ‫َوق‬
Artinya: “Dan Ibnu Mas’ud dalam keadaan sakit berkata:
“nikahkanlah aku! Maka sesungguhnya aku tidak senang jika
menghadap Allah dalam keadaan membujang” (kitab Al-Umm, Juz 7,
Hlm. 7/ Musnaf Ibnu Abi Syaibah, Juz 3, Hlm. 453).

Dari uraian hadis di atas, dijelaskan bahwa keutamaan menikah


sangatlah banyak dan beragam, Melalui pernikahan yang sah, pasangan
dapat melanjutkan dan menjalani kehidupan rumah tangga yang
memiliki tujuan mulia. Selain itu, perempuan juga lebih terjaga dari
nafsu-nafsu para lelaki yang tidak bertanggung jawab.

Allah swt juga akan memberikan berbagai kemudahan dan


memberi kecukupan kepada mereka-mereka yang siap menikah dan

8
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, Jilid 6, h. 230-
231.
80

membangun rumah tangga. Selain itu, Allah swt akan memberikan bekal
kesabaran dan kekuatan untuk memikul semua tanggung jawab yang di
embannya.9

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa pernikahan itu dianjurkan dan


sunnah, dan memiliki banyak keutamaan di dalamnya, seperti berikut:

a) Kelahiran anak, sebab tujuan dari pernikahan ialah mempertahankan


kesinambungan keturunan.
b) Mencari kecintaan Allah.
c) Mencari kecintaan Rasulullah.
d) Mencari berkah dengan do’a anak sholeh sholehah dan syafaat
kematian anak yang masih kecil.
e) Berlindung dari setan dengan menyingkirkan bisikan-bisikan
syahwat.
f) Menenangkan jiwa karena bercampur dengan istri.
g) Menciptakan ketenangan hati, sesorang pasti akan berat bila
melakukan sendirian. Merupakan usaha dan latihan untuk memegang
kepemimpinan dan urusan keluarga.10
3) Manfaat dan bahaya menikah

Di dalam kitab ini Muhammad At-Thihami menjelaskan mengenai


manfaat dan bahaya menikah, beliau membaginya menjadi dua faidah.
Selanjutnya beliau menegaskan:

“Pertama: untuk menikah ada beberapa manfaat dan yang paling


besar adalah mengharapkan keturunan dan beberapa bahaya dan yang
paling besar adalah membutuhkan kepada tercapainya yang haram.
Kedua: setiap syahwat dapat mejadikan kerasnya hati kecuali
syahwat untuk berjima’ maka sesungguhnya menjernihkan hatinya
dan karena ini ada pada para-para Nabi AS dapat melakukannya”.11

Manfaat dari pernikahan adalah untuk menundukkan pandangan,


menjaga kemaluan Anda dan mengharapkan keturunan yang baik.
Membersihkan jiwa, dapat membantu seseorang mempersiapkan diri untuk
beribadah, dan juga dapat membantu seseorang melepas penat. Terlebih
lagi, menghadapi keluarga dan menginspirasi untuk mempersiapkan diri
kemudian merawat dan merasa cukup. Selain itu, menjadi kaya raya juga
termasuk keuntungan dari pernikahan, dan menunjukkan seseorang
bersemangat akan kerinduan surga. Sementara itu, bahaya/risiko
pernikahan adalah tidak berdayanya mencari rezeki yang halal berdasarkan

9
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid III (Yogyakarta: Cakrawala Publishing, tt.), h.
200
10
Ibnu Qudamah, Mukhtasar Minhajul Qashidin (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1997),
h. 86
11
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 45-46.
81

apa yang sah dan memenuhi segala keinginan pasangan dalam segala
keadaan.

Dari uraian di atas, Muhammad At-Tihami menjelaskan berbagai


manfaat dari pernikahan, sebagaimana di utarakan juga oleh Sayyid Sabiq
bahwasanya melalui pernikahan dapat membangun dan memperkuat ikatan
sosial, jiwa persaudaraan yang semakin erat, menyatukan dua keluarga,
saling berempati, tolong menolong serta berkasih sayang. Penulis
mengamati bahwa dari berbagai manfaat nikah, hal tersebut merujuk
kepada kebahagiaan.12

Mengenai bahaya/resiko pernikahan adalah lemahnya mencari rezeki


yang halal, khususnya kekurangan mencari sumber daya yang sah untuk
memenuhi kebutuhan pasangan, sebagaimana dimaklumi bahwa komitmen
suami adalah memberikan kebutuhan hidup baik materi maupun spiritual,
dan menjaga keluarga dari berbagai bahaya. Dan menjaga keluarga dari
pelanggaran, serta membimbing dan mengarahkan keluarga ke jalan yang
benar. Sebagai kepala keluarga, suami harus bertanggung jawab mencari
harta yang sah.

Dari pengamatan penulis bahwa di dalam kitab Qurratul Uyun ini


lebih banyak menjelaskan mengenai manfaat menikah dari pada bahayanya,
sebagaimana dijelaskan oleh Abu Malik Kamal bahwa hikmah pernikahan
adakah untuk menjalankan perintah Allah Swt dan mengikuti sunnah Nabi
Saw. Terkait mencari harta yang halal istri harus mengingatkan kepada
suami agar memberikan harta yang halal kepada keluarganya, agar tercipta
keluarga yang harmonis dan di ridhai Allah Swt.13

Selanjutnya dijelaskan mengenai manfaat memiliki istri shalehah,


sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Nabi SAW:

ِ ‫ وخي ر مت‬,‫ "الدنْيا متاع‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ


ُ‫اع َها ال ْرأَة‬
َ
ََ ُ ْ َ َ ََ َ َ ‫َع ْن َعْبد للا بْ ِن َع ْمُرْو أَ َّن َر ُس ْو َل للا‬
."ِ‫ْي َزْو َج َها َعلَى اآل ِخَرة‬ ِ ِ ِ ٍ ِ َّ
ُ ْ ‫ َوم ْن َخ ِْي َمتَاع َها الَْرأَةُ تُع‬,‫ "الدنْيَا َمتَاع‬:‫ َوِّف ِرَويَة‬."ُ‫الصاْلَة‬
Artinya: “Dan Nabi bersabda: dunia adalah perhiasan dan sebaik-
baiknya perhiasan dunia adalah wanita shalehah”, dalam riwayat lain:
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-bainya perhiasan dunia adalah
wanita yang membantu suaminya atas akhirat” (H.R. Shahih Muslim,
Juz 2, Bab sebaik-baiknya wanita adalah wanita shalihah, No. 1467,
Hlm. 1090).

12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 197
13
Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, Jilid III (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), h. 109
82

Di dalam kitab syarah hadis Muslim karya Imam Nawawi, Al-


Qurthubi menjelaskan tentang hadis di atas tentang wanita shalihah, ketika
dia melihatnya dia menyenangkannya, dan ketika dia memerintahkanya dia
mematuhinya, dan ketika dia ditinggal dia akan menjaga dirinya dan
hartamu. Dan wanita yang shalihah adalah wanita yang membantu
suaminya tentang urusan akhirat, dan itu adalah sebaik-baiknya wanita.14

‫استَ َف َاد ال ْؤِم ُن بَ ْع َد تَ ْق َوى للاِ َخْي ًرا لَهُ ِم ْن‬


ْ ‫"ما‬
َ :‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ب‬َّ َِّ‫ َع ِن الن‬,َ‫َع ْن أَِب أَُم َامة‬
ُ ِ ‫زوج ٍة‬
‫اب َعْن َها‬ ِ ِ ِ ِ َ َ‫ إِ ْن أَمرَها أَط‬,‫اْل ٍة‬
َ ‫ َوإ ْن َغ‬,ُ‫ َوإ ْن أَقْ َس َم َعلَْي َها اَبََّرتْه‬,ُ‫ َوإ ْن نَظََر إلَْي َها َشَّرتْه‬,ُ‫اعتْه‬ ََ َ ‫ص‬ َ َ َْ
ِ
."‫َح ِفظَْتهُ ّف نَ ْفس َها َوَماَلَا‬
ِ ِ

Artinya: “Dan Nabi bersabda: tidak bermanfaat bagi seorang mukmin


setelah bertakwa kepada Allah, lebih baik dari pada memiliki seorang
istri yang sholehah, jika ia memberi perintah maka ia akan
mentaatinya, jika ia memandangnya maka ia membahagiakannya,
jika bersumpah atasnya maka ia menjalankannya, jika jauh darinya
maka ia menjaga diri dan hartanya” (H.R. Sunan Ibnu Majah, Juz 1,
Bab sebaik-baiknya wanita, No. 1847, Hlm. 596).

Di jelaskan di dalam kitab syarah Faidhul Qadir, Ath-Thayyi berkata


bahwa taqwa dibagi menjadi dua bagian; satu setengahnya adalah menikah
dan setengahnya adalah hal lain, karena dalam menikah itu terdapat
pemeliharaan dari syaithan, mematahkan nafsu, menangkal godaan
syahwat, menundukkan pandangan, dan menjaga kesucian. Untuk
melindunginya dari perbuatan zina, mentaati suaminya, menjaga apa yang
dimiliki suaminya dengan tidak mengkhianati dirinya dan hartanya.15
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ‫َع ْن َعلِ ِي بْ ِن أَِب طَال‬
ُ‫ اَ ْن تَ ُك ْو َن َزْو َجتُه‬:‫ "اَْربَع م ْن َس َع َادة الَْرء‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ال‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬
َ َ‫ب ق‬
."ِ‫ َوأَ ْن يَ ُك ْو َن ِرْزقُهُ ِّف بَلَ ِده‬,‫ْي‬ ِِ ‫ وخلَطَ ُاؤه‬,‫ وأَوََلده اَب رارا‬,ً‫اْلة‬
َ ْ ‫صاْل‬
َ ُ ُ َ ً َْ ُ ُ ْ َ َ ‫ص‬
ِ
َ
Artinya: “Dan Nabi bersabda: ada empat hal yang termasuk dari
kebahagiaan manusia: pertama, jika ia memiliki istri shalehah.
Kedua, memiliki anak-anak yang berakhlak baik. Ketiga,
pergaulannya dikelilingi dengan orang shaleh. Keempat, sumber
rezekinya ada dalam negaranya” (Kitab Faidhul Qadir, Juz 1, Bab
Harfu Hamdzati, No. 920, Hlm. 466).

Di dalam kitab syarah hadis Faidhul Qadir menjelaskan hadis di atas


tentang empat hal yang termasuk kebahagiaan manusia, yaitu baik
agamanya, sebab yang dimaksud adalah ketakwaan secara agama dan

14
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (Beirut: Dar Al-Ma'rifk ah,
1995), h. 852
15
Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 1 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1416), h. 259
83

dunia. Anak-anak yang shaleh dan shalehah dan bertakwa kepada Allah
Swt. sahabat-sahabat yang bergaul dengannya, orang-orang shaleh yang
menjunjung hak-hak Allah dan hak-hak makhluknya. Tempat tinggalnya,
baik itu negeri tempat lahirnya atau bukan, ia memilih tinggal di negeri
tersebut karena mayoritas orang tinggal disana, atau karena bermusafir, dan
selainnya.16
ِ ِ ِ ِ َ َ‫َع ْن َعاكئِ َشةَ ق‬
ْ َ‫ َخْي ُر ن َساء أَُّم ِّت أ‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫صبَ ُح ُه َّن َو ْج ًها َوأَقَل ُه َّن‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬
‫َم ْهًرا‬
Artinya: “sebaik-baik perempuan dari umatku yaitu yang memiliki
keceriaan di wajahnya dan sedikit maskawinya” (kitab Faidh Al-
Qadir, Juz 3, No. 4091, Hlm. 492)

4) Kriteria Memilih Istri


Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa setiap pernikahan ada
pertimbangan beberapa hal. Dan pertimbangan suami dalam memilih
seorang istri yang sepadan kepadanya.17 Selanjutnya ditegaskan dengan
hadis Nabi SAW:

‫ فَلَ يَُزِو ُج َها اَِلَّ ِِم َّْن َكا َن ُك ُف ًؤا‬،ُ‫ِ ُع َك ِرْْيَتَه‬


َ َ‫ فَ ْليَنْظُْر اَ َح ُد ُك ْم أَيْ َن ي‬،‫اح ِرق‬
ِ ِ
ُ ‫ اَلن َك‬:‫َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َم ْرفُ ْو ًعا‬
.‫ ِمَُاكئِلً اَْو ُم َقا ِرًب‬: ‫ََلَا" اَ ْي‬
Artinya: “Nikah itu seperti seorang budak perempuan, maka
hendaklah salah seorang di antara kalian untuk melihat dimana akan
meletakkan kemuliaannya, maka jangan menikahinya kecuali dari
orang yang seimbang”, maksudnya: adalah seimbang atau mendekati
seimbang” (HR. Imam Baihaqi, Sunan Kubro Li Al-Baihaqi, Juz 7,
Hlm. 82).

Berikut dalil-dalil para ulama untuk menjelaskan masalah kafaah


atau keseimbangan, sebagai berikut: agama dan keturunan serta ketidak
sempurnaan bentuk tubuh dan kerja yang jelas. Sebagaimana di jelaskan di
dalam hadis Rasulullah SAW bersabda:

‫ تُْن َك ُح الْ َم ْرأَةُ لِ َم ِاَلَا َو َجَ ِاَلَا َونَ َس ِاِبَا َوِديْنِ َها‬:‫ال‬
َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ب‬ َّ َِّ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ َع ِن الن‬
ِ ِ
ْ َ‫ك بِ َذات الديْ ِن تَ ِرب‬
.‫ت يَ َد َاك‬ َ ‫فَ َعلَْي‬
Artinya: “seorang wanita dinikahi karena hartanya, kecantikannya,
nasabnya, dan agamanya. Maka menikahlah kamu dengan wanita

16
Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 1, h. 466
17
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 56
84

karena agamanya agar kamu bahagia” (H.R. Shahih Bukhari, Juz 7,


Bab Al-Ikhfa Fi Ad-Din, No. 5090, Hlm. 7).

Nabi Muhammad menyebutkan empat alasan menikahi wanita dalam


kitab sharah hadits. Perhatian terhadap keempat hal tersebut bukanlah
suatu halangan/pembatasan, karena terkadang wanita dinikahi bukan
karena keempat faktor tersebut. Misalnya, pernikahannya karena dia ingin
memiliki banyak anak, karena keluarga wanita itu dikenal memiliki banyak
anak. Ada juga wanita yang dinikahi karena kecerdasan mereka dan ingin
mendapatkan pengetahuan penting dan ingin belajar dari mereka.

Yang jelas, Rasulullah Saw merujuk empat hal tersebut saja bukan
sebagai halangan atau pembatasan, melainkan dengan alasan memberikan
model dan faktor yang banyak dicari oleh manusia. Nabi menekankan
agama dan moralitas lebih dari empat faktor lainnya. Wanita yang taat dan
berakhlak tidak akan menyia-nyiakan hakmu, tidak akan membocorkan
rahasiamu, dan akan menjaga anakmu dengan baik jauh lebih baik daripada
wanita yang soleh dan berakhlak mulia.

Manfaat menikahi wanita karena memiliki harta adalah istri dapat


memberikan uang kepada suaminya untuk modal berdagang, atau mungkin
meninggal sehingga mendapat warisan, atau mungkin suaminya tidak mau
banyak, karena wanita miskin akan membutuhkan semuanya dari suaminya.
Wanita berdarah biru dan terkemuka di antara kaumnya adalah mereka
yang menikah karena alasan kehormatan. Sementara wanita menikah
karena kecantikan mereka, ini sangat jelas dan tidak perlu ditelaah lebih
lanjut. Karena agama tidak terlepas dari akhlak mulia, maka perempuan
yang dipilih karena alasan agama biasanya adalah wanita yang taat
beribadah dan berakhlak mulia.18

Kemudian dijelaskan bahwa jika wanita yang ingin kamu nikahi


adalah yang baik akhlaknya,19 sebagaimana Hadis Nabi SAW di dalam
kitab Sunan Ibnu Majah;

‫ ََل تُْن َك ُح ال ْرأَةُ ِلَ َم ِاَلَا فَلَ َع َّل َجَا ََلَا‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ
ِ‫ال رسو ُل ٰالل‬
ْ ُ َ َ َ‫ ق‬,‫َع ْن َعْب ِد للاِ بْ ِن َع ْمُرْو‬
َ
‫يُْرِديْ َها َوََل لِ َم ِاَلَا فَلَ َع َّل َم ِاَلَا يُطْغِْي َها‬
Artinya: “seorang wanita tidak dinikahi karena kecantikannya,
barangkali kecantikannya akan membinasakan dan juga bukan karena
hartanya, barangkali hartanya akan menindasnya” (Ihya Ulumuddin
No. 290, H. 2, dikeluarkan oleh Ibnu Majah hadis dari Abdullah bin
Amr(.

18
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, Juz 6, h. 282.
19
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 58.
85

Jangan mandul jika ingin menikahi wanita.20 Karena Rasulullah SAW


menyatakan dalam riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad, sebagai berikut:

،‫ تَ َزَّو ُج ْوا الْ َوُد ْوَد الْ َولُْوَد فَِإِن َم َكاثِر بِ ُك ُم ْال َُم ِم‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ قاَ َل النَِّب‬,‫َع ْن َم ْعق ِل بْ ِن يَ َسا ٍر‬
‫ِْن ُه ْم اَبُ ْوُه ْم اِبْ َر ِاهْي ُم َخلِْي ُل‬ ِ ‫ فَإِ َّن ذَرا ِري الْمسلِ ِمْي ََْت‬،‫وَلَ تَْنكِحوا عجوزا وَلَعاقِرا‬
ُ ‫ ََْي‬،‫ت ظ ِل الْ َع ْر ِش‬ َ َْ ْ ُ َ ً َ َ ًْ ُ َ ْ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
."‫ٰالل يَ ْستَ ْغفُرْو َن آل َبكئه ْم‬
Artinya: “menikahlah kalian dengan wanita yang penuh kasih sayang
dan mampu melahirkan anak yang banyak, maka sesungguhnya aku
membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan ummat lain dan
janganlah kalian menikah dengan wanita yang sudah tua dan wanita
yang mandul, maka sesungguhnya anak-anak muslim berada dibawah
naungan arasy, mereka dikumpulkan oleh bapak mereka yaitu Nabi
Ibrahim kekasih Allah, mereka memohon ampunan untuk orang tua
mereka” (H.R. Sunan Abu Daud, Juz 2, Bab An-Nahyi an Tajawaja
man lam yalid min An-Nisa’, No. 2050, Hlm. 22).

Di dalam kitab syarah hadis Nailul Awthar mengenai hadis di atas


bahwa hadis ini menunjukkan tentang syariat menikah, dan disyariatkan
menikahi wanita yang bisa memiliki anak, untuk memperoleh keturunan
dan memperbanyak umat Nabi Saw. Karena Nabi akan membanggakannya
di akhirat kelak.21

Dan jika Anda ingin menikah, maka menikahlah dengan seorang


gadis.22 Karena Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Ibnu Majah, yaitu
sebagai berikut:

:‫ال‬َ َ‫ ق‬,ِ‫ َع ْن َج ِده‬,‫ َع ْن أَبِْي ِه‬,‫صا ِر ِي‬ َ ْ‫اع َدة الَن‬


ِ ‫ح َّدثَِن عب ُد الر ْْح ِن ب ِن س ِال ب ِن عْت بةَ ب ِن ع ِوِْي ب ِن س‬
َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َْ َ
ِ ِ ِ
ُ ‫ فَإن َُّه َّن أَ ْع َذ‬،‫ َعلَْي ُك ْم ِبْلَبْ َكا ِر‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫ب اَفْ َو ًاها َوأَنْتَ ُق أَْر َح ًاما َوأَ ْح َس ُن‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ق‬
."‫أَ ْخلَقًا‬
Artinya: “hendaklah kalian menikahi wanita gadis karena mereka
lebih segar mulutnya dan lebih memiliki keralaan dengan yang
sedikit dan lebih bagus akhlaknya” (H.R. Sunan Ibnu Majah, Juz 1,
Bab Tajwiju Al-Abkara, No. 1861, Hlm. 598).

Di dalam kitab syarah hadis Faidhul Qadir mengenai hadis di atas


yaitu, anjuran untuk menikahi perempuan perawan, karena mereka
memiliki mulut yang paling manis, maksudnya adalah manis dalam hal

20
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 58.
21
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar, Jilid 6 (Mesir:
Matbaah Al-Halaly, 1952), h. 125.
22
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 59.
86

ucapan. Menjaga kehormatannya dengan tidak bergaul dengan laki-laki


sembarangan. Ia juga bersih rahimnya dan kemungkinan mampu
melahirkan banyak keturunan darinya.23

Selain itu, jika ingin menikah, maka menikahlah dengan wanita yang
bukan mahram.24 Karena Rasulullah SAW menyatakan, yang tidak
diketahui sumbernya dalam kitab-kitab hadis terkenal:

ِ ِ
َ ‫"َلَ تَْنك ُحوا الْ َقَرابَةَ الْ َق ِريْبَةَ فَِإ َّن الْ َولَ َد ُُيْلَ ُق‬:ُ‫ال الغََزِال َرْحَهُ للا‬
."‫ضا ِوًي‬ َ َ‫ق‬
Artinya: “janganlah kalian menikahi wanita yang masih ada
hubungan keluarga, maka sesungguhnya anak yang dilahirkan akan
kurus” (Kitab Ihya Ulumudin, Juz 2, Hlm. 41, dan Kitab Al-Gharib
wa Lughah).

Maksud hadits di atas mengenai langsing/kurus adalah karena


kurangnya nafsu, mendekati konflik, timbulnya perselisihan dan
menunjukkan kekuatan untuk tidak merasakan nafsu atau hilang syahwat,
ketika menikahi wanita yang masih ada hubungan keluarga.

Menurut uraian di atas, kriteria memilih istri adalah sepadan karakter


dan agamanya, tidak mandul, menikah dengan perempuan, dan tidak
mahram. Islam membolehkan manusia untuk memilih pasangan hidupnya
dengan bebas dan mudah. Namun, Allah terus memberikan tanda-tanda
untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dalam memilih pasangan.
Allah menetapkan/menganjurkan untuk memilih calon pasangan sebelum
menikah.

Dalam hal ini agar seseorang dapat secara akurat mengidentifikasi


pasangan hidupnya. Menurut M. Fadhilah, kriteria pemilihan calon
pasangan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
Akhlak yang baik, cinta, dan agama yang sama dapat menghasilkan
keturunan. Karena mereka pada akhirnya akan menjalani kehidupan
berumah tangga, pilihlah wanita yang berpegang teguh pada pedoman
agama. Dan jagalah keluargamu jangan biarkan pernikahannya berakhir di
antah berantah atau berantakan.

5) Hukum Talak
Menurut Muhammad At-Tihami, bahwa sesungguhnya
memakruhkan thalaq pada keadaan ikhtiar (berusaha) hal ini justru
menempatkan dan mempercepat perpisahan. Thalak Sunni berlaku ketika
istri suci, suami belum melakukan jima pada istrinya, dan talak itu dalam

23
Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 4 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1416), h. 335
24
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 59
87

keadaan terpaksa.25 Tapi perkara tersebut adalah di benci oleh Allah, karena
Nabi saw bersabda :

‫ض ا ْْلَلَ ِل إِ ََل ٰاللِ الطَّلَ ُق‬ ِ


ُ َ‫ اَبْغ‬: ‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬ َ َ‫ ق‬,‫َع ْن َعْب ِد للاِ بْ ِن ُع َمَر‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
Artinya: “perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”
(H.R. Sunan Ibnu Majah, Juz 1, Bab Hadatsana Suwaid bin Sa’id,
No. 2018, Hlm. 650).

Mengenai hadits di atas, dalam kitab syarah hadits menjelaskan


bahwa perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT.
Perceraian dapat dibagi menjadi empat macam kategori: wajib, haram,
makruh, dan sunnah. Pertama, perceraian yang haram yaitu talak bid’i
(bid’ah). Kedua, cerai makruh, disebut juga cerai tanpa alasan yang kuat,
padahal perkawinan bisa berlanjut. Ketiga, talak wajib, khususnya talak
dalam bentuk cerai (di mana perkawinan tidak dapat lagi disatukan atau
dilanjutkan). Keempat, talak yang disunnahkan, khususnya talak yang istri
tidak memiliki sifat afifah atau menjaga harga atau kehormatan diri.

Meskipun perceraian yang secara hukum dapat diterima atau


diperbolehkan yaitu ketika pasangan memiliki etika dan perilaku yang
buruk dan menerima konsekuensi yang merugikan jika dia terus
bersamanya tanpa dapat mencapai tujuannya dengan menikah. Karena
mencapai tujuan pernikahan adalah aspek pernikahan yang paling penting.26

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa thalaq


adalah dapat menenangkan jiwa dua orang yang saling membenci dan janji
dari Allah dengan kecukupan pada semua dari keduanya dengan
kebijakannya,27 Sebagai firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Nisa: 130;

‫َواِ ْن يَتَ َفَّرقَا يُ ْغ ِن ٰاللُ ُكلًّ ِم ْن َس َعتِ ِه‬


Artinya: “Apabila mereka berdua berpisah, maka Allah akan memberi
kecukupan pada mereka berdua” (QS. Al-Nisa’: 130).
Dalam kitab Tafsir Al-Misbah dijelaskan tentang ayat di atas, jika
keadilan dasar tidak dapat dipahami, dan keselarasan yang disarankan
gagal, maka tidak akan ada penggantinya. cara yang dapat diambil dengan
pengecualian pemisahan yang layak. Hal ini dengan alasan bahwa tujuan
pernikahan adalah untuk mengenalkan ketenangan dan keharmonisan dalam
kehidupan keluarga sepasang suami istri. Allah SWT akan memberikan
kecukupan bagi setiap pasangan jika suami dan istri tidak dapat mencapai

25
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 152
26
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 10, h. 61.
27
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 153
88

kesepakatan yang berujung pada perceraian mereka. Mungkin masing-


masing dari mereka mendapat pasangan baru, atau masing-masing dari
mereka merasa puas hidup sendiri dengan latihan yang berbeda atau apapun
dari keluasan keanggunan Tuhan.28

Jangan biarkan suami menceraikan pasangannya kecuali ada krisis


atau darurat yang didapat dari pasangannya. Artinya adalah sesuatu yang
sejalan dengan “keburukan istrinya dan kekurangan istrinya yang telah
berlalu” dan “jangan biarkan istrinya melakukan hal-hal buruk”. Jika Anda
telah menceraikan istrinya, jangan menyinggung perasaannya, dan jika dia
meminta cerai suami tidak boleh menceritakan atau mengumbar ketika
istrinya memiliki kekurangan sesuatu.

Jika salah satu pasangan tidak didapati menyakiti yang lain, itu
merupakan penangguhan dengan cara yang baik, dan jika pasangan tidak
menyakiti atau menyinggung perasaan istri setelah perceraian, itu
merupakan pelepasan dengan cara baik terhadap istri.

Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa talaq adalah adalah perbuatan


yang dibolehkan akan tetapi dibenci oleh Allah Swt. Selanjutnya
Muhammad At-Tihami menjelaskan di dalam kitabnya mengenai manfaat
talaq yaitu dapat menenangkan antara suami dan istri yang saling
membenci. Terkait talaq suami jangan terburu-buru menjatuhkan talaq
kapada istri, sebelum mempertimbangkannya kecuali suami sudah
memikirkan matang-matang.

Pada saat ini talaq dijadikan sebagai jalan terakhir oleh suami dan
istri untuk menghindari permasalah keluarga, tanpa berfikir panjang
kedepan. Banyak sekali dampak yang dihasilkan akibat talaq atau cerai,
terutama dampak kepada anak. Anak akan kehilangan salah satu peran dari
kedua orang tuanya, dan kehidupan yang layak untuk anak kedepannya.

b. Seputar Walimatul Urusy (resepsi pernikahan)


1) Anjuran Mengadakan Walimatul Urusy
Di dalam menjelaskan tentang walimatul Urusy, Muhammad At-
Tihami menjelaskan bahwasanya walimatul Urusy diperlukan dalam
pernikahan. Selanjutnya timbul pertanyaan apakah walimatul Urusy ini
wajib atau sunnah? Ada yang berpendapat bahwa di sunnahkan melakukan
keduanya. Adapun yang di sunnahkan adalah atas dasar kemampuannya,
tidak ada pemborosan atau pembanggaan diri dan paling sedikitnya itu
adalah satu kambing untuk walimah.29

28
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz 2 (Ciputat: Lentera Hati,
2005), h. 608.
29
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 70
89

Sebagaimana di jelaskan dalam kitab Shahih Bukhari, hadis riwayat


Anas:

‫صلَّى ٰاللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم َعلَى َشْي ٍئ ِم ْن نِ َساكئِِه َما أَْوَلَ َعلَى‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫س َر ِض َي ٰاللُ َعنْه‬
َ ‫ " َما أَْوَلَ النَِّب‬:‫ال‬ ٍ َ‫َع ْن اَن‬
."ٍ‫ب اَْوَلَ بِ َشاة‬َ َ‫َزيْن‬
Artinya: “Dari Anas ra, ia berkata : “Nabi saw tidak melaksanakan
walimah atas sesuatu dari istri-istrinya dengan suatu walimah atas
Zainab, Beliau mengadakan walimah dengan satu kambing” (H.R.
Shahih Bukhari, Juz 7, Bab walimah walau bisyatin, No. 5168, Hlm.
24).

Dalam kitab hadits sharah, tersirat tentang perkataan Anas


sehubungan dengan hadits di atas, bahwa Rasulullah SAW mengadakan
walimah dengan menyembelih seekor kambing. Menurut keterangan Anas
di atas, Rasulullah SAW melakukan walimah yang paling utama dengan
menyembelih seekor kambing. Menurut ulama fikih, menyembelih kambing
merupakan batas jamuan dalam walimah. Padahal, menurut hadits zahir
Abdurrahman bin Auf, jamuan walimah tidak boleh melebihi satu kali
penyembelihan kambing. Hadits ini juga dapat dilihat dengan kondisi
dalam keadaan tertentu.30

Dari gambaran di atas, Muhammad At-Tihami memaknai bahwa jika


tidak mampu menanggung atas biaya kambing, maka dengan dua mud dari
gandum, dan dengan dua mud gandum ini adalah walimah yang paling
sedikit. karena Nabi SAW pernah walimah dengan dua mud dari gandum
untuk walimah istri-istrinya.31 Sebagaimana Hadis Nabi SAW di dalam
kitab Shahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Shafiyyah binti Syaibah:

‫ض نِ َساكئِِه ِِبُدَّيْ ِن ِم ْن َشعِ ٍْي‬


ِ ‫ َعلَى بَ ْع‬،‫صلَّى ٰاللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ‫عن‬
ْ َ‫ قَال‬،َ‫صفيَّةَ بِْنت َشْي بَة‬
َ ‫ اَْوَلَ النَِّب‬:‫ت‬ َ َْ
Artinya: “Dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata : Nabi saw
mengadakan walimah atas sebagian istri-istrinya dengan dua Mud
dari gandum” (H.R. Shahih Bukhari, Juz 7, Bab man aulam biaqali
min syatin, No. 5172, Hlm. 24).

Muhammad At-Tihami menganjurkan bahwa walimah bertujuan


untuk mengikuti sunnah Nabi SAW dan walimah sebagai kesenangan di
dalam hati. Dan jika bertujuan dengan memberi makan maka memberi

30
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, Juz 6, h. 541
31
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 70
90

makananya kepada orang baik jangan kepada orang yang jahat.32


Sebagaimana Hadis Nabi SAW riwayat Imran bin Hushin:

ِِ ِ ِ ِ ِ
َ ْ ‫صلَّى ٰاللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َع ْن إِ َجابَة طَ َع ِام الْ َفاسق‬
.‫ْي‬ َ ‫اَن َر ُس ْو ُل ٰالل‬
َ ‫ نَ َه‬:‫ال‬ ٍ ْ‫ص‬
َ َ‫ْي أَنَّهُ ق‬ َ ‫َو َع ْن ع ْمَرا َن بْ ِن ُح‬
Artinya: “Dan dari Imran Bin Hushin bahwasannya Nabi saw
bersabda: Rasulullah saw melarang kami dari mendatangi undangan
makan bersama orang-orang fasiq” (Fathul Bari Ibnu Hajar, Juz 9,
Hlm. 250).

Seperti yang ditunjukkan oleh Imam Masrudi: Walimah adalah


upacara pernikahan untuk mengumumkan pertunangan pasangan dan
mengungkapkan rasa syukur atas karunia Allah SWT. yang diberikan
kepada kedua mempelai untuk dijadikan ikon komunitas Islam dan menarik
minat kaum muda untuk menikah.33

Hukum walimatulursy dipandang berbeda-beda oleh para ulama.


Sebagian orang merasa terpaksa melakukannya, sebagian lainnya
menganggapnya sebagai sunnah muakkadah (prioritas). Mayoritas ulama
berpendapat bahwa hukum walimah adalah sunnah dan tidak wajib.
“Mayoritas ulama berpendapat bahwa walimah adalah sesuatu yang sunnah
dan tidak wajib,” sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Kamil Muhammad
Uwaidah.34

Dapat ditarik kesimpulan bahwa memelihara atau mengadakan


walimatul ‘ursy adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat
dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw berdasarkan pendapat para ulama di
atas dan didukung oleh dalil syar’i mengenai status hukum walimah ‘ursy.

2) Menghadiri Undangan Walimatul Urusy


Muhammad At-Tihami dalam pembahasan ini mendahuluinya
dengan perkataan wajib memenuhi undangan walimatul urusy, selanjutnya
beliau menjelaskan jika orang yang di undang sedang puasa maka
hukumnya sunnah.35 Karena Nabi SAW bersabda yang diriwayatkan oleh
Umar Ra:

‫ فَِإ ْن‬،‫ إِذَا ُد ِع َي أَ َح ُد ُك ْم إِ ََل َولِْي َم ٍة فَ ْليَأْ ِِتَا‬: ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬َ َ‫َع ْن إِبْ ِن ُع َمَر ق‬
.‫ َوَم ْن َد َخ َل َعلَى َغ ِْي َد ْع َوةٍ َد َخ َل َشا ِرقًا َو َخَر َج ُمغِْي ًرا‬،‫صاكئِ ًما فَ ْليَ َد ْع‬ ِ ِ
َ ‫ َوا ْن َكا َن‬،‫َكا َن ُم ْفطًرا فَلْيُطْ َع ْم‬

32
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 70-71
33
Imam Masrudi, Bingkisan Pernikahan (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), h. 76
34
Khamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, h. 516
35
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 72
91

Artinya: “jika salah seorang di antara kalian diundang untuk


menghadiri walimah, maka hadirilah dan jika kalian tidak puasa,
maka makanlah dan jika ada di antara kalian berpuasa, maka biarkan
makanan itu. Dan barangsiapa masuk atas walimah tanpa diundang,
maka dia masuk seperti pencuri dan keluar dengan membawa
kekacauan” (H.R. Shahih Bukhari, No. 5173, Shahih Muslim, No.
1429).

Selain itu, Muhammad At-Tihami memberikan penjelasan tentang


persyaratan untuk menghadiri undangan tersebut. Dalam kitab
“Mukhtashor” diungkapkan bahwa ada lima rukun untuk mendatangi
undangan, khususnya; tidak ada individu yang tersakiti, tidak ada lantai
sutra yang dibentangkan, tidak ada komposisi makhluk hidup seperti di
dinding, gerombolan individu yang berdesak-desakan, dan tidak mengunci
pintu untuk mencegahnya.

Muhammad At-Tihami membahas tata cara menghadiri undangan


atau walimah usai membicarakan syarat-syaratnya. Saat menghadiri
undangan, seseorang seharusnya tidak melakukannya untuk memuaskan
kesenangan perutnya; Sebaliknya, seseorang harus melakukannya dengan
niat untuk mematuhi syari’at, menghormati saudaranya, mengungkapkan
kegembiraan atasnya, dan mengunjunginya (silaturahmi) sambil mencegah
perutnya dari kerakusan dengan mengendalikannya.36

Muhammad At-Tihami juga merinci bahwa wajib untuk menghindari


apa yang menjadi standar dalam walimah dari kemungkaran dan perbuatan
dosa, sebagaimana dilarang oleh syariah. Untuk situasi ini adalah sebagai
berikut: pencampuran pria dan wanita, kecenderungan sia-sia untuk wanita
yang merdeka, minum khamr, pergi ke kamar wanita untuk melihat darah
wanita itu, dan bermain-main dengan wanita itu. Kejahatan walimah sangat
banyak dan beragam sehingga tidak dapat dihitung, dan itu unik untuk
setiap bangsa, desa, dan adat. Jika Anda tidak berusaha menghindarinya,
Anda akan menghadapi atau mendapatkan murka Allah SWT.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan pendapat dari Ibnu


Arabi yang mengatakan bahwa Nabi SAW memenuhi setiap undangan
kaum muslimin. Dan di sunnahkan kepada orang yang senang bepergian
memenuhi undangannya, dan makruh hukumnya mempercepat
mendatanginya.37

Secara umum menghadiri undangan bagi setiap orang yang diundang


oleh saudaranya yang muslim wajib hukumnya untuk menghadirinya,
selama tidak ada udzur untuk menghadirinya dan hal itu merupakan fardlu

36
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 73-74
37
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 77
92

‘ain artinya setiap orang secara pribadi harus menghadiri undangan tersebut
tanpa diwakili oleh orang lain. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw :
Apabila salah seorang di antara kalian diundang kepada suatu walimah,
maka hendaklah ia menghadirinya”

Secara umum, jika seorang kerabat Muslim mengundang Anda, Anda


wajib harus pergi, selama tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya dan
undangan itu fardlu ’ain. Artinya Anda harus menghadiri sendiri tanpa
diwakilkan oleh orang lain. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW : Jika
salah seorang dari kalian dipersilakan untuk pergi ke walimah, maka dia
harus pergi ke walimah itu”.38

Menurut Ibnu Hajar, berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk


menerima atau memenuhi undangan di dalam kitab Fathul Al-Barri:

a) Pihak yang mengundang mukallaf, merdeka dan dewasa (berakal


sehat).
b) Undangan tidak boleh di khususkan bagi orang-orang kaya saja dan
meninggalkan orang-orang miskin.
c) Tidak boleh dimaksudkan untuk menunjukan kecintaan terhadap
pribadi seseorang; baik lantaran kesukaan maupun keseganan
kepadanya.
d) Orang yang mengundang bergama Islam. Hal ini berdasarkan pada
pendapat yang shohih.
e) Kewajiban memenuhi undangan khusus pada hari pertama.
f) Tidak didahului (undangan). Siapa yang mengundang dahulu maka
undangan wajib dipenuhi, sementara berikutnya tidak wajib
dipenuhi.
g) Tidak ada hal yang mengganggu kehadirannya, yaitu adanya
kemungkaran dan perbuatan lain yang tidak dibenarkan syariat
(terdapat aktivitas maksiat).
h) Tidak ada halangan.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa bertemu atau mendatangi


walimatul ‘ursy adalah fardhu kifayah, yaitu perilaku atau perbuatan yang
menganggap seseorang atau suatu majelis telah melakukannya, maka orang
lain dianggap telah gugur kewajibannya.

Demikian pula, jika seorang Muslim diundang ke pernikahan


(walimatul ‘ursy) dan ada keadaan yang mencegah mereka untuk
menghadiri karena ketidaktaatan pada acara tersebut, seperti jamuan di
mana minuman keras disajikan, penyanyi yang menperlihatkan auratnya,
atau tamu yang menerima undangan baik dari pria maupun wanita dalam

38
Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 2007), h. 234
93

satu ruangan (bercampur). Dalam keadaan ini, tidak dapat hadir atau tidak
boleh untuk hadir.

Hal yang sama berlaku untuk berbagai pembenaran lainnya, termasuk


penyakit, hujan lebat, udara yang sangat dingin, ketakutan akan
perampokan, lingkungan yang tidak aman, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, seseorang dapat menolak undangan resepsi pernikahan jika
kondisi ini terpenuhi.

c. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri


1) Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa untuk perintahkan
istrinya dalam mengerjakan kewajiban shalat dan semisalnya. Dan
mengajarkan pada istrinya yang di farduhkan agamanya, seperti hukum
haidh dan mandi hadats besar

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa dia harus menyuruh


istrinya untuk melakukan sholat wajib dan hal-hal lain seperti itu. Dan
menginstruksikan istrinya untuk beriman yang difardukan dalam syariat
Islam, seperti siklus menstruasi dan mandi hadats besar.39 Karena
sesungguhnya Allah memberikan perintah kepadanya untuk menjaga
istrinya dari api neraka, Allah SWT berfirman:

.‫َّٰيَي َها الَّ ِذيْ َن ءَ َامنُ ْوا قُ ْوا اَنْ ُف َس ُك ْم َواَ ْهلِْي ُك ْم ََن ًرا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6).
Dalam kitab Tafsir Al-Misbah dimaknai bahwa dalam lingkungan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam keluarga Nabi yang telah
digambarkan dalam Al-Qur’an, bagian di atas memberikan arahan kepada
pemeluknya untuk meneladani dan merawat keluarga Anda, khususnya
pasangan, anak-anak, dan semua orang yang berada di bawah tanggung
jawab Anda, dengan mengarahkan dan mengajari mereka sehingga Anda
pasti selamat dari api neraka.

Ayat sebelumnya menunjukkan bahwa dakwah dan pendidikan harus


dimulai di rumah. Meski ditulis untuk ayah atau laki-laki, bukan berarti itu
hanya untuk mereka. Bait atau ayat ini ditujukan kepada wanita dan pria
(ibu dan ayah) karena bagian yang serupa (contohnya yang memerintahkan
untuk menahan diri atau puasa) juga ditujukan kepada laki-laki dan
perempuan. Ini menunjukkan bahwa sama seperti setiap orang tua

39
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 154
94

bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, kedua orang tua bertanggung


jawab atas pasangan mereka dan juga anak-anak mereka.40

Seorang suami tidak hanya harus mengajari istrinya ilmu agama


tetapi juga mendorong dan mengarahkannya untuk belajar agama. Jika
suami tidak setuju bahwa istrinya harus melanjutkan pendidikannya dalam
ilmu agama, maka suami berdosa. Sesungguhnya bahwa orang pertama
yang bergantung pada seorang laki-laki di Hari Kiamat adalah istri dan
anak-anaknya.

Dijelaskan bahwa suami wajib memerintahkan keluarganya untuk


berbuat kebaikan dan melarang kemungkaran. Dan dijelaskan bahwa suami
bertanggung jawab terhadap isteri atau budaknya dan anak-anaknya ketika
membiarkan untuk tidak mengerjakan shalat.

Muhammad At-Tihami bin Madani juga bercerita tentang betapa


pentingnya menafkahi keluarga. Dalam perbincangan banyak hadits yang
memaknai tentang kehati-hatian memberi nafkah kepada keluarga dengan
tujuan yang ikhlas dan makanan yang halal.41 Sebagaimana dijelaskan di
dalam hadis di bawah ini:

ِ ‫ "إِ َّن ِمن الذنُو‬: ‫ال رسو ُل للاِ صلَى للا َعلَْي ِه وسلَّم‬
‫ب‬ َ َ‫س َر ِض َى للاُ َعْنهُ ق‬
ٍ َ‫ك بْ ِن أَن‬ِ ِ‫عن مال‬
ْ َ َََ ُ َ ْ ُ َ َ َ‫ ق‬,‫ال‬ َ َْ
."‫الس ْعي َعلَى العِيَ ِال‬ ِ
َّ ‫ إََِّل‬,‫ص ْوم َوََل ج َهاد‬ ِ
َ ‫ص َلة َوََل‬
َ ‫ذُنُ ْوًب ََليُ َكفُرَها‬
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya dari dosa-dosa
masih ada dosa yang tidak dapat dihapusnya dari shalat dan tidak
dapat di hapusnya dari puasa dan tidak dapat dihapusnya dari jihad,
kecuali berusaha memberi nafkah atas keluarga” (Hilyatul Auliya’ li
Abi Nu’aim, No. 9086, Juz 1, Hlm. 287).

ٍ َ‫ث ب ن‬ ِ ِ ِ َ َ‫عن ع ْقبةَ ب ِن ع ِام ٍر ق‬


,‫ات‬ َ ُ ‫"م ْن َكا َن لَهُ ثََل‬ َ : ‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل‬ َ ‫ت َر ُس ْو ُل للا‬ ُ ‫ َس ْع‬:‫ال‬ َ ْ َ ُ َْ
ِ
‫ب للاُ لَهُ الَنَّةَ البَتَّةَ إََّل أَ ْن يَ ْع َم َل َع َم ًل ََل‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ أَْو َج‬,ُ‫فَأَنْ َف َق َعلَْيه َّن َواَ ْح َس َن إلَْيه َّن َح َّّت يُ ْغنْيه َّن للاُ َعْنه‬
."ُ‫يُ ْغ َفُرلَه‬
Artinya: “Dan Nabi saw bersabda: barangsiapa yang ada kepadanya
tiga anak wanita, maka ia memberi nafkah atas mereka dan berbuat
baik kepada mereka, sehingga Allah mencukupkan mereka darinya
dan Allah mewajibkan kepadanya masuk surga dengan anak
perempuannya kecuali jika dia melakukan suatu perbutan yang tidak
ada ampunan kepadanya” (H.R. An-Nasa’i, No. 4306 dan Ibnu Majah

40
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz 14, h. 326-327
41
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 46
95

dalam kitab Al-Adab, Bab birrul walidain wa Al-Ihsan ila banati, No.
3659).

ِ ِ َ َ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ َر ِضى للاُ َعْنهُ ق‬


‫ب الدنْيَا َح َلًَل‬ َ َ‫"م ْن طَل‬ َ :‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ال َر ُس ْولُ للا‬ َ َ‫ ق‬,‫ال‬
ِ ‫ جاء ي وم‬,ِ‫ وتَعط ًفا علَى جا ِره‬,‫ وسعيا علَى ِعيالِِه‬,‫واستِع َفافًا ع ِن السأَلَ ِة‬
َ‫القيَ َام ِة َوَو ْج ُههُ َكال َق َم ِر لَْي لَة‬ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ًْ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ
ِ ِ
."‫ِبَان‬ ْ ‫اخًرا ُمَراكئِيًا لَق َي للاَ يَ ْوَم القيَ َام ِة َوُه َو َعلَْيه َغ‬
ِ ِ ‫ ومن طَلَب ها ح َلًَل تَ َكاثُرا م َف‬,‫الب ْد ِر‬
ُ ً َ َ َ ْ ََ َ
Artinya: “Dan Nabi saw bersabda : barangsiapa mencari harta dunia
yang halal dan memelihara diri dari kemaslahatan dan berusaha atas
mencukupi keluarganya dan kasih sayang atas tetangganya, maka dia
akan datang pada hari kiamat dengan wajahnya seperti bulan
purnama di malam hari dan barangsiapa mencari harta yang halal
untuk memperbanyak harta dan membanggakan diri dan menipu,
maka pada hari kiamat, dia akan bertemu Allah, sementara Allah
murka atasnya” (Kitab Kanjul ‘Ummal, No. 9247 dan Takhrij Ihya
Ulumuddin lil Iraqi, No. 3, Hlm. 273).

Lebih lanjut, Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa suami


sebenarnya wajib beramal dengan menafkahi istrinya karena suami akan
mendapat pahala jika berbuat demikian. Seorang suami harus
membersihkan hati nuraninya dari niatnya jika mencari nafkah dengan
berpura-pura atau bersaing untuk kebutuhan istrinya, yang menjadi
kebiasaan.42

Jika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri, dia wajib
memperlakukan mereka semua dengan adil, kecuali jika masalahnya adalah
masalah yang tidak dimiliki oleh laki-laki tersebut. Apa yang tidak dimiliki
seorang suami adalah kemampuan untuk melakukan hal-hal seperti keadilan
cinta, menghabiskan waktu bersama istrinya, memandangi mereka, dan
membuat lelucon, antara lain.

Selain itu, Nabi SAW menyatakan dalam hadits yang diriwayatkan


oleh Abu Hurairah ra:

‫ت عِْن َدهُ اِْمَرأَ ََت ِن فَلَ ْم يَ ْع ِد ْل بَْي نَ ُه َما‬ َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ْ َ‫ َم ْن َكان‬: ‫ال‬ َ ‫ َع ِن النَِّب‬,َ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرة‬
.‫ َماكئِل‬:‫ َوِّف ِرَوايٍَة‬.‫َجاءَ يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة َو ِشقَّهُ َساقِط‬
Artinya: “Barangsiapa memiliki beberapa istri maka dia tidak berlaku
adil diantara keduanya, dia akan datang pada hari kiamat dengan
pecah tubuhnya dan jatuh”. Dan dalam riwayat lain mengatakan:
“Pecah dan bungkuk tubuhnya” (H.R. Sunan At-Tirmidzi, Juz 2, Bab
ma jaa fi At-Taswiyati baina Ad-Darairi, No. 1141, Hlm. 438).

42
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 159
96

Di dalam kitab Attanwir syarah Al-Jami’ Al-Shaghir menjelaskan


mengenai hadis di atas, apabila seorang suami memiliki dua orang istri atau
lebih, tetapi ia tidak menyamakan mereka terhadap apa yang ia miliki, baik
itu pakaian, pemeliharaan, waktu untuk bermalam, maka kelak ia akan
datang pada hari kiamat dengan pecah tubuhnya dan jatuh.43

Selanjutnya dari kemampuan untuk melakukan keadilan yang


diharapkan diberikan kepada pasangannya adalah tentang pemeliharaan dan
hubungan dengan pasangannya. Selain itu, suami wajib memberi istrinya
makanan, wewangian, atau contoh keduanya. Seperti memberikan tekstur
kain berbulu dan perhiasan serta sutera selama apapun tidak ada
kecenderungan terhadap pasangan lain. Dengan asumsi seseorang tidak
lebih di sayangi, diyakini tidak akan ada pilih kasih dengan menciptakan
kecenderungan dan meratakan kesukaan kita.

Selain itu, Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa akhlak


seorang suami terhadap istrinya adalah akhlak yang harus bersabar ketika
istrinya mengatakan hal-hal yang menyakitkan, dan harus bermurah hati
ketika istrinya sedang marah. Dengan kata lain, seorang suami tidak boleh
merayu istrinya dengan kata-kata kasar dan tidak boleh cemburu
berlebihan.44

Dan satu lagi kesopanan suami adalah bahwa suami harus


menyembunyikan rahasia istrinya dari anggota keluarganya seperti saudara
dan pamannya dan semacamnya. Menjaga rahasia setiap suami istri
sebenarnya merupakan amanat yang harus dijaga, dan tidak boleh ada
suami atau istri yang menceritakannya kepada orang lain. Karena
penjelasan ancamannya sangat keras dalam hal itu, ada kekosongan yang
harus diisi. karena, pada kenyataannya, itu berasal dari tindakan bodoh.

Suami harus memperlakukan semua istrinya dengan adil jika ia


memiliki lebih dari satu. Ketika Anda datang kepadanya dan suami Anda
mendidik dan menasihati istrinya, jangan condong ke salah satu dari
mereka. Jika istri tidak mematuhi perintah suaminya dalam hal-hal praktis,
suami boleh diam atau menegurnya.

Selain itu, Muhammad At-Tihami mengklarifikasi bahwa suami


tidak melarang istrinya melakukan perbuatan yang diperbolehkan selain
melakukan pekerjaan di bawah standar. Jika seorang istri mengambil
pekerjaan bekam dan pekerjaan tangan (berat), misalnya, suami dapat
melarang istri untuk tidak melakukannya kecuali seseorang yang Anda
izinkan untuk dia lakukan secara terus-menerus, dalam hal ini suami

43
Muhammad bin Ismail As-Shan'ani, Attanwir Syarah Al-Jami' Al-Shagir, Jilid 2
(Riyadh: Darus Salam, 2011), h. 193
44
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 158
97

mencegah istrinya melakukan hal tersebut. Pekerjaan buruk adalah


pekerjaan yang memalukan karena merendahkan martabatnya.45

Ketika akad nikah (atau perjanjian nikah) ditandatangani, baik laki-


laki yang menjadi suami maupun perempuan yang menjadi istri dalam
perkawinan mendapatkan banyak hak dalam keluarga. Selain itu, mereka
memikul tanggung jawab karena mereka berkomitmen pada pernikahan.46

Ada dua macam hak yang dimiliki oleh suami dan istri dalam hal hak
dan kewajibannya: kewajiban yang bersifat materi dan immateriil.
Kewajiban zhahir atau harta benda yang bersifat material meliputi mahar
dan pemeliharaan. Sementara itu, komitmen kewajiban yang bersifat
immateril adalah komitmen kewajiban batin pasangan terhadap
pasangannya, misalnya, hidup berdampingan dengan pasangannya secara
baik/positif, memimpin pasangan dan anak-anaknya.47

Sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ulfatmi bahwa suami


wajib memenuhi hak-hak istri, di antaranya memperlakukan istri dengan
baik, menjaga dan memberinya nafkah lahir maupun batin, mendidik dan
mengayomi istri dalam pembinaan akhlak dan menghadapi istri dengan
penuh kesabaran, berkasih sayang, dan penuh cinta.48

2) Hak dan Kewajiban Istri Terhadap Suami


Menurut Muhammad At-Tihami, seorang istri harus benar-benar
menaati suaminya dalam segala hal yang dia pelajari dari dirinya sendiri
jika itu bukan tindakan durhaka kepada Allah sesuai dengan perintah
suaminya. Jika pasangan pergi dengan izin suaminya, kenakan pakaian
sederhana yang sesuai dengan syariat dan berhati-hatilah saat berjalan-jalan
dan istri tidak boleh terlalu akrab dengan teman dari suaminya.49

Menurut sebagian ulama, seorang istri agar dapat berkomunikasi


dengan tetangganya, ia harus menyadari bahwa rumahnya harus berpegang
pada prinsip-prinsip dasar, seperti bercumbu dengan suaminya. Istri wajib
menjaga suaminya jika ada aib, menjawab panggilan suaminya,
membahagiakan suaminya dalam hubungan seksual, tidak mengkhianati
suaminya baik tentang dirinya maupun harta suaminya, dan tidak keluar
rumah tanpa izin suaminya.

45
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 154
46
Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 1999), h. 63
47
Abdul Al-A'ti Mahmudah, Keluarga Muslim (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 223
48
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Jakarta: Kementerian Agama
RI, 2011), h. 86-92
49
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 156-157
98

Menurut penjelasan Muhammad At-Tihami, hak suami didahulukan


di atas haknya sendiri dan hak seluruh keluarganya karena suami bersedia
menafkahi keduanya. Istri harus menyayangi anak-anaknya dan menjaga
kebersihan dirinya agar suami bisa bersenang-senang dengan istrinya. Istri
juga harus tetap diam-diam tentang aib suami, istri harus berdiskusi
bersama suaminya ketika dia ingin menegur anaknya.50

Muhammad At-Tihami memberi tahu tentang siksaan yang dialami


oleh istri yang tidak patuh. Ada sekumpulan pengalaman yang
mengisahkan bahwa seorang laki-laki datang kepada para sahabat
Rasulullah SAW, dia mengadu kepada mereka tentang jodohnya, maka
setiap sahabat mengatakan segala sesuatu mempertimbangkan apa yang
didengarnya dari Nabi SAW.51 Berikut ungkapan para sahabat Nabi:

ِ ِ ِ ِ ِِ
ُ ‫ "لَ ْو أََم ْر‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل‬
‫ت‬ َ ‫ت َر ُس ْو ُل للا‬ُ ‫ َس ْع‬:ُ‫ال اَبُ ْو بَ ْك ٍر الصديْ ُق َرض َي للاُ َعْنه‬ َ ‫فَ َق‬
."‫ت ال ْرأَةَ أَ ْن تَ ْس ُج َد لَِزْوِج َها‬
ُ ‫أَ َح ًدا أَ ْن يَ ْس ُج َد ِلَ َح ٍد لََم ْر‬
َ
Artinya: “Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berkata saya mendengar
Rasulullah saw bersabda: jika aku memerintahkan kepada seseorang
untuk bersujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan
wanita untuk sujud kepada suaminya” (H.R. Sunan Ad-Darimi, Juz 2,
Bab An-Nahyu an yasjuda liahadin, No. 1505, Hlm. 918).

Menurut hadits yang telah dibahas di atas dalam kitab At-Tanwir


Syarah Al-Jami' Al-Shagir, Nabi akan memerintahkan wanita untuk
bersujud kepada suaminya jika seseorang diperintahkan untuk
melakukannya kepada selain Allah. Karena ia merupakan makhluk yang
memiliki kemuliaan, dan di dalamnya terdapat hak-hak suami atas istri
serta hak pasangan satu sama lainnya.52

"‫ات‬ِ َ‫ "لَعن للا الس ِوف‬:‫ َِسعت رسو َل للاِ صلَى للا علَي ِه وسلَّم ي ُقو ُل‬:‫عن اِب ِن عمر ر ِضى للاُ عْنه‬
َُ ُ َ َ ْ َ َ ََ َْ ُ َ ُْ َ ُ ْ ُ َ َ َ ََ ُ ْ ْ َ
ِ ُ ‫اش فَتُ َس ِو‬ ِ ‫ "الَِّت ي ْدعوها زوجها إِ ََل‬:‫ال‬
َ َ‫ات َي َر ُس ْو َل للاِ؟ ق‬ ِ
ُ‫ف لَهُ َوتَ ْشتَغل َعْنه‬ ِ ‫الفَر‬ َ ُ َْ َ ُْ َ ُ َ‫ َوَما الُ َس ِوف‬:‫قْي َل‬
."‫َح َّّت يَ ْغلِبَهُ النَّ ْوُم‬
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra berkata aku mendengar Nabi saw
bersabda: “Allah melaknat Al-Musawwifat” saya bertanya siapa Al-
Musawwifat itu ya Rasulullah? Nabi bersabda: “dia adalah wanita
yang diajak suaminya ke tempat tidur, maka dia mengulur-ulur waktu

50
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 157
51
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 51
52
Muhammad bin Ismail As-Shan'ani, Attanwir Syarah Al-Jami' Al-Shagir, Juz 9,
172
99

padanya dan sibuk mengerjakan urusan lain sehingga suaminya


tertidur” (kitab Faidh Al-Qadir, Juz 5, No. 7269, Hlm. 272)
Dalam pembahasan hadis di atas mengenai siksa istri yang durhaka
kepada suaminya bahwasanya istri di tuntut agar taat kepada suaminya,
karena jika wanita tidak taat kepada suaminya Allah Swt akan melaknat
wanita tersebut.

Lebih lanjut, Muhammad At-Tihami memaknai bahwa sangat


menitikberatkan pada masing-masing pasangan untuk tidak mengungkap
rahasianya kepada orang lain karena memang ada perintah yang harus
diperhatikan dan lubang yang harus ditutup dan dilihat dari apa yang ada.
Ancaman atau bahaya yang keras untuk menjaga kehormatan antara suami
istri. Intinya karena memang dari kegiatan orang bodoh, dan cukup bagi
setiap orang untuk tidak mengikuti ceritanya dan menahan diri untuk tidak
menyebarkannya lebih jauh.53

Bahwasannya istri tidak diizinkan untuk mematuhi suaminya dalam


hal-hal yang keharamannya masih diperdebatkan. Larangan tersebut masih
diperdebatkan, namun maknanya berbeda. Setelah itu, suaminya mungkin
mengikuti seseorang yang menurutnya dianggap tidak haram.

Kewajiban suami terhadap istrinya adalah hak istri, sebagaimana


telah disebutkan sebelumnya. Secara umum, seorang istri berkewajiban
untuk menegakkan dua jenis hak: hak material (atau material) dan hak non
material (atau spiritual). Hak non kebendaan meliputi perlakuan baik suami
terhadap istrinya, sedangkan hak kebendaan meliputi mahar dan nafkah.
Dan Hak istri yang harus ditunaikan oleh suami.

Berikut ini adalah perincian atau kekhususannya: Ketika suami


berpoligami, istri diperlakukan dengan adil, diperlakukan dengan baik, serta
lembut dan penuh kasih sayang. Ia telah terikat atau bersedia melaksanakan
semua hak suami. Dengan hormat, sang suami mengunjungi istrinya dan
memelihara kehormatannya.

Berdasarkan uraian tentang hak dan kewajiban istri dan suami di


atas, ada beberapa hal yang mungkin tidak berlaku dalam keadaan sekarang
ini, antara lain kewajiban istri, seperti: tidak boleh keluar rumah kecuali
mendapat izin dari orang terdekatnya yaitu suami.

Apalagi kebebasan pasangan yang seolah-olah mengatur istrinya,


misalnya, menahan pasangannya untuk tidak keluar rumah. Jika
pasangannya pergi karena kondisi yang parah, dia harus menunjukkan
kepada suaminya keadaan untuk pergi keluar. Suami harus mengajarkan

53
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 152.
100

syarat-syarat keluar rumah pada pagi atau malam hari dengan mengenakan
pakaian yang tidak menonjol, dan memanjangkan dari pakaiannya.

d. Adab dan Tatakrama dalam Melakukan Hubungan Suami dan Istri


1) Waktu yang Dianjurkan dan Dihindari
Muhammad At-Tihami memberikan penjelasan untuk menjauhi atau
pantangan dari dua belas hari per tahun, yaitu sebagai berikut: 12
Muharram, 10 Shafar, 4 Rabiul Awal, 18 Rabiuts Tsani, 18 Jumadil Ula, 12
Jumadits Tsaniyah, 12 Rajab, 26 Syaban, 24 Ramadhan, 2 Syawal, 18
Dzulka’dah, dan 8 Dzulhijah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qomah
bin Shadwan dari Ahmad bin Yahya secara marfu, hadits Nabi SAW.54

Selain memahami dua belas hari per tahun, diterangkan juga manfaat
atau keuntungan dari tujuh hari per minggu. Sebagaimana Hadits Ibnu
Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’la: Sabtu adalah hari tipu
daya dan penipuan, Minggu adalah hari menanam dan aktivitas seksual,
Senin adalah hari bepergian dan mencari makan, dan Selasa adalah hari
konflik dan korupsi. selanjutnya, Rabu adalah hari tidak mengambil dan
tidak memberi, dan Kamis adalah hari mencari kebutuhan hidup dan
menghadap para penguasa dan Jumat adalah hari melamar dan menikah.

Selain itu, Muhammad At-Tihami memaknai bahwa persetubuhan


menjelang awal bulan lebih diprioritaskan daripada menjelang akhir bulan.
Seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa tanaman ditanam setiap awal
bulan, saat menghasilkan lebih banyak buah daripada di akhir bulan.55

Karena ada sebuah hadits yang di riwayatkan dari Aisyah,


disunnahkan untuk berbulan madu di bulan Syawal. Selain itu, Muhammad
At-Tihami memaknai bahwa berhubungan seks pada hari Minggu lebih
diprioritaskan daripada awal bulan dan hari yang berbeda, penilaian ini
bergantung pada apa yang di riwayatkan oleh Ali Abi Thalib, bahwasanya
Allah SWT menjadikan langit dan bumi pada hari ahad. Ketika mendapat
informasi tentang hari ahad, Rasulullah Saw bersabda:

َ‫ ِلَ َّن ٰاللَ ابْتَ َدأ‬،ٍ‫ يَ ْوُم َغ ْر ٍس َو ِع َم َارة‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ب‬ ٍ ِ‫َع ْن َعلِي بْ ِن أَِب طَال‬
‫فِْي ِه َخ ْل َق الدنْيَا َو ِع َم َارتَ َها‬
Artinya: “hari ahad adalah hari menanam dan membangun karena
sesungguhnya Allah memulai pada hari ahad untuk menciptakan
dunia dan membangunnya” (kitab Al-Misbah dan kitab Ruhul Bayan,
Juz 8, Hlm. 240).

54
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 68
55
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 66
101

Di sunnahkan melakukan senggama pada hari Jum’at,56 sesuai


dengan hadis Nabi SAW yang berbunyi:

،‫ِا‬ ٍ
ً ْ‫اح َو ُخطْبَة اَي‬ ٍ ‫ "يَ ْوُم نِ َك‬:‫ال‬
َ ‫ فَ َق‬،ُ‫صلَّى ٰاللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َعْنه‬ ِ
َ ‫ فَ َق ْد ُسئ َل‬:‫ال‬ َ َ‫َع ْن أَِب َسعِْي ِد الُ ْد ِر ِي ق‬
َّ ‫ف َعلَْي ِه‬ ِ ِ ‫نَ َك‬
‫ب َعلَْي ِه َما‬ٍ ‫ت ُش َعْي‬َ ‫ َوُم ْو َسى بِْن‬،‫السلَ ُم ُزلَْي َخا‬ َّ ‫آد ُم َح َّواءَ َعلَْي ِه َما‬
ُ ‫ َويُ ْو ُس‬،‫السلَ ُم‬ َ ‫اح فْيه‬ َ
."‫س‬ ِ ِ
َ ‫السلَ ُم بَلْقْي‬
َّ ‫ َو ُسلَْي َما ُن َعلَْيه‬،‫السلَ ُم‬
َّ
Artinya: “Maka sungguh di tanya Nabi saw dari hari jum’at, maka
beliau bersabda: hari pernikahan dan melamar juga, pada hari jum’at,
Nabi Adam as menikah pada hari jum’at dengan Hawa dan Nabi
yusuf as menikah dengan zulaikha pada hari jum’at dan Nabi Musa as
menikah dengan putri Nabi Syu’aib as pada hari jum’at dan Nabi
sulaiman as menikah dengan Ratu Balqis pada hari jum’at” (kitab Ar-
Raudhil Unufi atau FaidhAl-Qadir, Juz 1, Hlm. 265).

Selain itu, diriwayatkan bahwa Nabi SAW menikahi Khadijah pada


hari Jumat dan menikahi Aisyah pada hari yang sama, dan ini adalah
riwayat yang benar. Selain itu, Muhammad At-Tihami membahas
kebolehan melakukan hubungan seksual setiap saat, baik malam maupun
siang hari, karena ia ingin menjelaskannya dalam waktu dekat.57
Sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an :

‫نِ َسآ ُؤُك ْم َح ْرث لَّ ُك ْم فَأْتُ ْوا َح ْرثَ ُك ْم اَ َّن ِشْئ تُ ْم‬
Artinya: “Istri-istri kalian adalah seperti tempat tanah kalian
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 223).
Dalam kitab Tafsir Al-Misbah, ayat di atas mengatakan bahwa istri
adalah tempat bercocok tanam. Ini tidak hanya berarti bahwa anak adalah
hasil dari keturunan ayah (suami). Istri hanya berfungsi sebagai ladang
penerima benih. Asalkan benar demikian, jangan salahkan lahan jika yang
tumbuh apel, padahal Anda membutuhkan atau menginginkan mangga,
karena bibit yang Anda tanam adalah bibit apel, bukan bibit mangga.

Dijelaskan juga bahwa menabur benih di lahan kering tidaklah bagus.


Saat memilih pasangan pilihlah lahan yang subur, karena itu adalah pilihan
cerdas. Waktu tahun dan musim tanam harus mengontrol seberapa subur
tanah itu. Anda tidak boleh terus-menerus menanam benih atau
memaksanya untuk menghasilkan. Wahai suami, pilih waktu yang tepat,

56
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 67
57
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 113-114
102

atur masa kehamilan, jangan ingin memanen terus menerus karena akan
merugikan ladang.

Dan kedepankanlah atau prioritaskan hubungan seksual untuk


kepentingan agamamu di dunia dan akhirat, bukan hanya untuk memuaskan
nafsu, dan bertakwa kepada Allah SWT dalam semua hubungan, termasuk
pernikahan. Jangan beranggapan bahwa Allah SWT tidak mengetahui
keadaan Anda atau semua yang Anda rahasiakan.58

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa terlepas dari apakah


Anda lebih suka berhubungan seks di siang hari atau di malam hari,
berhubungan seks di awal malam lebih penting karena waktu mandi di
jinabat justru akan menjaga waktu. Berbeda dengan menjalin hubungan di
penghujung malam, jika Anda memiliki jadwal yang padat, Anda bisa saja
melewatkan sholat subuh berjamaah atau sholat karena tidak memiliki
cukup waktu.

Apalagi jika melakukan jima’ menjelang akhir malam akan


membawa kepada tidur, dan bisa mengubah bau mulutnya, maka pada saat
itu di khawatirkan karenanya akan memicu kepada gairah. Intinya adalah
kamu memupuk kasih sayang dan harmoni. Selain itu menurut Imam Al-
Ghazali, hukumnya adalah makruh untuk melakukan jima’ di awal malam
agar tidak tidur dalam keadaan tidak suci.

Mengenai penjelasan tentang hari yang harus dihindari dalam


bersenggama Muhammad At-Tihami mengabarkan bahwasanya melakukan
senggama yang harus dihindari ada delapan hari, yaitu: Hari rabu terakhir
dari setiap bulan, dan tanggal tiga dari setiap bulan, dan tanggal lima dari
setiap bulan, dan tanggal tiga belas dari setiap bulan, dan tanggal enam
belas dari setiap bulan, dan tanggal dua puluh satu dari setiap bulan, dan
tanggal dua puluh empat dari setiap bulan, dan tanggal dua puluh lima dari
setiap bulan.59

Muhammad At-Tihami menjelaskan pada hari Sabtu bahwa dia tidak


melakukan hubungan seksual, terlepas dari hari kedelapan di atas. Nabi
diajukan pertanyaan terkait dengan hari sabtu dan kemudian beliau
bersabda: “Hari penipuan dan hari kelicikan”. Karena hari Sabtu adalah hari
ketika orang-orang Quraisy bertemu dalam sebuah pertemuan untuk
mencari masalah dalam pembunuhan Nabi SAW.

Selain itu, Selasa adalah hari yang dilarang; Bahkan, Nabi SAW
pernah ditanyai tentang hari Selasa. Maka Nabi SAW bersabda: “Selasa
adalah hari berdarah karena dijelaskan bahwa Siti Hawa mengalami
pendarahan haid, anak Adam dibunuh oleh saudaranya, Jarjis, Zakaria,

58
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz 1, h. 480-481
59
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 61-62
103

Yahya, anak mereka, dan dukun Firaun dibunuh, dan Siti Hawa telah darah
haid Istri Firaun siti Asiah binti Muzahim dan sapi Bani Israil juga dibunuh
pada hari selasa.

Selain itu, hari yang diharamkan adalah hari Rabu, ketika Nabi SAW
mendapatkan informasi tentang hari Rabu, Nabi bersabda: “Karena Fir’aun
dan kaumnya tenggelam di laut merah pada hari Rabu, maka Allah
membinasakan kaum A'd, orang-orang Tsamud, dan Nabi Shalih. Rabu
terakhir setiap bulan adalah hari terburuk. Terlebih lagi, dalam penegasan
lain dikatakan. “hari rabu adalah adalah tidak ada pengembalian dan tidak
ada pemberian”.

Selain itu, Muhammad At-Tihami mengisyaratkan saat-saat jima


dilarang. Sebagaimana dimaklumi bahwa melakukan jima’ dilarang dalam
kondisi siklus kewanitaan atau pada masa haid.60 Karena Allah berfirman:

ِ ‫ض قُ ْل ُه َو اَذًى فَا ْعتَ ِزلُوا النِ َساءَ ِّف ال ِحْي‬


‫ض‬ ِ ‫ك َع ِن الْ َم ِحْي‬
َ َ‫َويَ ْسئَ لُ ْون‬
َ
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh,
Katakanlah, haidh adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh” (QS. Al-Baqarah:
222).

Dalam Tafsir Al-Misbah dimaknai bahwa mahidh adalah tempat atau


musim dari siklus kewanitaan, atau haid itu sendiri. Karena laki-laki
Yahudi tidak makan atau keluar rumah bersama perempuan yang sedang
haid, maka pertanyaan di atas diajukan. Akibatnya, fokus utama pertanyaan
mereka bukan pada definisi menstruasi melainkan pada petunjuk Ilahi yang
harus diterima suami ketika istrinya mengalami menstruasi.

Siklus kewanitaan menyebabkan gangguan fisik dan mental bagi


wanita, juga bagi pria. Secara fisik, tubuh wanita dapat terpengaruh oleh
keluarnya darah segar. Karena kontraksi rahim, perutnya sering menjadi
tempat yang sakit. Di sisi lain, ketika tamu bulanan muncul, nafsu seksual
seorang wanita merosot secara signifikan, dan emosinya sering lepas
kendali. Darah yang berbau tidak sedap dan tidak sedap dipandang mata
merupakan salah satu bagian dari kejengkelan bagi pria, selain emosi
temperamental sang istri yang juga kerap mengganggu ketenangan
pasangannya atau siapapun di sekitar sang wanita.61

Sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dilarang berhubungan intim


dengan istri yang sedang haid, karena alasan berikut: serta dalam keadaan
nifas, dan seperti keadaan yang mirip dengannya. Menjima’ pasanganya

60
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 117
61
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz 1, h. 478-479
104

pada saat mengeluarkannya atau haid hukumnya adalah haram, jadi


barangsiapa yang menerima bahwa itu halal, sesungguhnya dia kafir.

Penyakit kusta dapat ditularkan kepada anak-anak yang lahir melalui


aktivitas seksual saat haid dan nifas. Juga, jangan mengkritik apa yang
dikatakan oleh Syariat karena Anda sebenarnya harus berhati-hati
dengannya.62 Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Imam Ahmad dan
lainnya, sebagai berikut:

‫ص َّدقَهُ ِِبَا يَ ُق ْو ُل أَْو أَتَى‬ ِ َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ


َ َ‫ َم ْن أَتَى َكاهنًا ف‬:‫ال‬ َ ‫ أَ َن َر ُس ْو ُل للا‬,‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرَة‬
‫صلَّى ٰاللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ٍ ِ ‫ أَو أَتى امرأَةً ِّف دب ِرها ف قد ب ِر‬،‫حاكئِِا‬
َ ‫ئ ِمَّا أُنْ ِزَل َعلَى ُُمَ َّمد‬ َ َ ْ ََ َ ُُ َْ َ ْ ً َ
Artinya: “Barangsiapa datang kepada dukun peramal, maka
membenarkannya dengan apa yang dia katakan atau mendatangi
(menjima’) istrinya yang sedang haidh atau mendatangi (menjima’)
istrinya melalui dubur, maka sungguh ia telah melepaskan diri dari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw” (H.R. Sunan Abu
Daud, Juz 4, Bab fi Al-Kahin, No. 3904, Hlm. 15).

Di jelaskan di dalam kitab syarah hadis bahwa tidak diperkenankan


kedalam dubur karena dubur itu tempat kotor, sedangkan Islam agama yang
bersih dan mencintai kebersihan. Begitu pula diharamkan menggauli istri
dalam lubang anus saat istri sedang haid alasannya karena kedua tempat ini
(faraj dan anus) sama-sama diharamkan oleh Allah Swt dan Rasulnya.63

Arti dari hadits di atas adalah benar-benar melepaskannya atau perlu


menegur dan menjauhi diri sendiri dan pada dasarnya tidak bermaksud
untuk menjadi kafir dan kecuali jika ada melakukan jima’ ketika kondisi
haid dan nifas maka harus membayar kaffarat sebagaimana dikatakan Al-
Munawi.64 Maka dalam hadits Ath-Thabrani, dari Ibnu Abbas dikatakan:

ِ ِ ِ ِ
‫َّق‬
ْ ‫صد‬َ َ‫ َم ْن أَتَى ْامَرأَتَهُ فی َحْيِ َها فَ ْليَت‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬َ َ‫ ق‬,‫ال‬ َ َ‫اس ق‬ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
‫ف ِديْنَا ٍر‬
ُ ‫ص‬
ِ ِ ِِ
ُ ‫بديْنَا ٍر َوَم ْن أَ ََت َها َوقَ ْد أَ ْدبََر الد‬
ْ ‫ فَن‬،‫َّام َعْن َها َوَلْ تَ ْغتَس ْل‬
Artinya: “Barangsiapa menjima’ istrinya dalam keadaan haid, maka
dia bersedekah dengan satu dinar dan barangsiapa menjima’ istrinya
dan sungguh mendapatkan darah haid yang keluar darinya dan tidak
mandi hadats besar, maka ia bersedekah setengah dinar” (kitab At-
Tanwir Syarh Al-Jami’ Al-Shagir, No. 23).

62
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 118-119
63
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Juz 8 (Beirut: Dar
Al-Tibah, tt), h. 180
64
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 120
105

Muhammad At-Tihami menjelaskan dalam bait syair berikut ini,


bahwa empat malam ini dihindari dari melakukan jima’, yaitu: malam Idul
Adha, karena ada yang mengatakan bahwa jima’ di malam idul adha akan
menetapkan bahwa keturunan akan menjadi seorang membunuh. Juga,
malam pertama setiap bulan, dan malam tengah setiap bulan, Dan malam
terakhir setiap bulan.65

Dimakruhkan melakukan jima’ pada tiga malam dari setiap bulan,


yaitu: pada awal bulan dan pada akhir bulan dan pada pertengahan bulan.
syaitan menghadiri mereka dalam malam-malam tersebut, dan akan
mengakibatkan gila pada anak yang terlahir.

Dalam Kitab Qurrotul Uyun disebutkan bahwa waktu terbaik untuk


bercinta suami-istri adalah setelah Sholat Isya. Namun, boleh juga
dilakukan di waktu lain seperti setelah Subuh, Dzuhur, atau Maghrib.
Tidak dianjurkan melakukannya ketika masuk waktu Ashar bahkan ada
yang menghukumi makruh. Waktu yang paling diutamakan untuk bercinta
suami-istri adalah selepas Isya karena memiliki waktu luang yang cukup
panjang dan tidak terburu-buru. Dengan mengetahui waktu yang tepat
untuk bercinta, pasangan suami istri dapat menjalankan hubungan intim
mereka dengan baik dan sesuai dengan syariat Islam.

2) Doa yang Dianjurkan


Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa suami dituntut dalam
memasuki waktu senggama dengan istrinya, di sunnahkan melakukan
senggama setelah shalat isya, dan dibolehkan jika setelah shalat magrib dan
sebelum isya. Dalam memasuki senggama di bolehkan bulan dan hari-hari
yang lain kecuali apa yang harus dihindari darinya.66

Dijelaskan bahwa untuk memasuki senggama dan tatakramanya


bahwa suami harus bersih badannya dan menghiasinya dengan taubat dari
semua dosa dan kesalahan dan kekurangan yang dilakukan, maka suami
memasuki senggama dalam keadaan bersih yang rapi, dan yang baik
maknanya: mudah-mudahan Allah Ta’ala akan menyempurnakan kepada
suami tentang urusan agamanya dengan melakukan senggama atas istrinya
dan sebagai pernyataan dalam hadits :

ِ ِ ِ ِ ‫من تَزَّوج فَ َق ِد استكْمل نِص‬:‫ال‬ ِ


َ‫ فَلْيَ تَّق ٰالل‬،‫ف ديْنه‬
َ ْ َ َ َْ َ َ ْ َ َ َ‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَنَّهُ ق‬ ِ َ‫َع ْن أَن‬
َّ َِّ‫س َع ِن الن‬
َ ‫ب‬
ِ‫ص‬ ِ
‫َّان‬ِ ‫ف الث‬ ْ ‫ِّف الن‬
Artinya: “Barangsiapa yang menikah, maka telah menyempurnakan
setengah dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam

65
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 121
66
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 1-79
106

setengah yang lainnya” (Kitab Faidul Al-Qadir, Juz 6, Bab harfu Al-
Mim, Hlm. 103).

Di jelaskan dalam kitab Faidhul Qadir bahwa pernikahan dikatakan


sebagai penyempurna iman, di riwayat lain dikatakan sebagai penyempurna
agama. Taqwa terbagi menjadi dua; satu setengahnya adalah menikah, dan
setengahnya yang lain. Abu Hatim berkata: ia dapat menguatkan agama
seseorang dengan menjaga kemaluan dan perutnya, itu cukup dengan
menikah.67

Jika mengerjakan yang sunnah dalam tatakrama bersenggama itu,


Maka dahulukan kaki yang kanan Kemudian mengucapkan:

Bismillahi, wa shalatu wa shalamu ‘ala Rasulullah,


Assalamualaikum.

Kemudian mengerjakan Shalat dua raka’at atau lebih banyak dengan


membaca surat-surat yang mudah, Kemudian membaca Surat Al-Fatihah
(3 Kali), Dan membaca Surat Al-Ikhlas (3 Kali), Setelah itu membaca doa:

Allahumma Barik li fi Ahli wa Barik li Ahli fii, Allahumma Ar-


Dzukhum minni war Dzuknii minhum war Dzuknii Al-Fahum wa
mawadatahum war Dzukhum ulfii wa mawadatii wa habib ba’dzanaa
ila ba’din.

Artinya: “Ya Allah, berilah berkahilah aku dalam keluargaku dan


berkahilah krpada keluargaku dalam diriku, Ya Allah limpahkanlah
rezkimu kepada mereka dari tanganku dan limpahkanlah rezkimu
kepadaku dari tangan mereka dan limpahkanlah kerukunan mereka
dan kasih sayang mereka dan rezki mereka untuk rukun kepadaku dan
kasih sayang kepadaku dan semoga engkau menumbuhkan rasa cinta
diantara kami”.68
Selanjutnya Muhammad At-Tihami memberikan peringatan kepada
suami untuk memerintahkan istrinya dengan berwudhu jika ada istri tanpa
bersuci pada waktu ingin melakukan senggama, Kemudian memerintah
pada istrinya dengan melakukan Shalat Maghrib dan Isya, kemudian suami
memerintah pada istrinya untuk melakukan Shalat dua raka’at
dibelakangnya dan untuk mengamini atas doanya.

Selanjutnya dijelaskan Bahwa suami jika telah selesai dari Shalat dan
berdoa, maka sesungguhnya suami mencium kening pada istrinya dan
duduk di hadapan istrinya dan memberi salam atasnya,
kemudian meletakkan tangannya di atas ubun-ubun istrinya dan tangan

67
Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 1 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1416), h. 259
68
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 80
107

suami ada di depan kepala dan dari suami menguntaikan ucapan pada dahi
istrinya.69 Dan suami mengucapkan:

َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِِ ِ


َ ُ‫ اَللَّ ُه َّم إِِن أَ ْسئَ ل‬:‫ال‬
‫ك‬ َّ َِّ‫ب َع ْن أَبِْيه َع ْن َجده أَ َّن الن‬
َ ‫ب‬ ٍ ‫َع ْن َع ْمرْو بْ ِن ُش َعْي‬
ُ
ِ‫ك ِمن َش ِرها و َش ِر ما جب ْلت ها علَيه‬ ِ ِ
ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ‫َخْي َرَها َو َخْي َر َما َجبَ ْلتَ َها َعلَْيه َوأَ ُع ْوذُب‬
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu kebaikan
tabiatnya (istri) dan kebaikan apa yang telah Engkau tabiatkan
atasnya, dan aku berlindung kepada Engkau dari kejelekan tabiatnya
dan kejelekan apa yang Engkau tabiatkan atasnya” (H.R. Abu
Dawud, Juz 2, No. 248 dan Ibnu Majah, Juz 1, No. 617).

Sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Hadits di atas, dan


disebutkan juga bahwa barangsiapa yang mengamalkan doa-doa itu: “maka
Allah akan memberikan kebaikan kepadanya dan di jauhkannya dari
kejelekan istrinya”.

Kemudian suami meletakkan tangannya diatas ubun-ubun istrinya


dan membaca Surat Yasin dan Al-Waqi’ah dan Adh-Dhuha dan Al-Insyirah
dan An-Nashri dan ayat Kursi. Dan ayat ini adalah pelindung diri dari
musuh”. Kemudian membaca surat Al-Qadar 3 kali. Sesungguhnya doa
yang di sebutkan ini tidak di khususkan dibaca pada malam ketika ingin
memasuki senggama, tapi dituntut menyebutnya dalam setiap pagi dan
sore. Maka sungguh di sebutkan bahwa orang yang rajin membaca atas doa
itu pada pagi dan sore, maka akan mendapat petunjuk untuk kebahagiaan.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwasanya suami


di tuntut untuk mendahulukan dengan meletakkan tangannya pada leher
istrinya setelah itu suami membacakan “Ya Raqibu” sebanyak tujuh kali,70
kemudian suami membaca:

‫ْي‬ ِ ِ َّ ‫فَآا ٰلل خي ر ٰح ِفظًا وهو اَرحم‬


َ ْ ‫الراْح‬ ُ َ ْ ََُ َْ ُ
Artinya: “Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah
Maha Penyayang diantara para penyayang” (QS. Yusuf: 64).
Maka sungguh telah di terangkan bahwa barangsiapa melakukan hal
itu, maka Allah menjaga atasnya dan keluarganya dan tidak di khawatirkan
dari kejelekan mereka. Dan begitu juga di peruntukan melakukan hal itu
pada anak kecil, maka sesungguhnya Allah Ta’ala menjaga anak tersebut
dengan barakahnya.

69
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 82
70
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 85
108

Dijelaskan juga bahwa suami dituntut untuk meletakkan tangannya


di atas ubun-ubun istrinya dan membasuh anggota tangan dan kaki
pengantin perempuan dengan air dalam wadah dan suami membaca Asma
Allah Ta’ala dan dan membaca Shalawat atas Nabi SAW, kemudian
memercikkan dengan air itu pada sudut rumah, maka sungguh telah di
nyatakan bahwa melakukan hal itu akan menolak kejahatan syaitan berkat
pertolongan Allah Ta’ala.

Dan dijelaskan dari Sayyidinaa Ali bin Abi Thalib, bahwa Nabi SAW
bersabda kepadanya:

‫اخلَ ْع‬ ِ ِ َّ ِ ِ ٍ ِ‫َع ْن َعلِ ِي بْ ِن أَِب طَال‬


ْ َ‫ك ف‬ َ َ‫س بَْي ت‬ ُ ‫ إ ْذ َد َخلَت الْ َعُرْو‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسل َم‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ب‬
.‫الر ْْحَِة‬
َّ ‫ك َسْب عُ ْو َن نَ ْو ًعا ِم َن الْبَ َرَك ِة َو‬ ِ ‫ش بِِه اَرَكا َن الْب ي‬ ِ ِ
َ َ‫ يَ ْد ُخ ُل بَْي ت‬،‫ت‬ ْ َ ْ َّ ‫نَ ْعلَْي َها َوا ْغس ْل ِر ْجلَْي َها ِبلْ َماء َوُر‬
Artinya: “jika pengantin perempuan memasuki rumahmu, maka
lepaslah sandalnya Dan bersihkan kakinya dengan air dan percikkan
dengannya pada sudut rumah, maka akan masuk dalam rumahmu
kurang lebih tujuh puluh dari keberkahan dan rahmat” (kitab
Fawaidul Majmu’ah dan kitab Al-Ikhtishas, Juz 1, Hlm. 132).

Selanjutnya dijelaskan Bahwasannya disunahkan pada orang yang


ingin melakukan jima’ untuk menyebut nama Allah Ta’ala dan membaca
doa, sebagaimana dalam kitab Shahih Bukhari:

ِ ِ‫ اَللَّ ُهمَّ َجنِْب نَا الشَّْيطَا َن و َجن‬،ِ‫ بِس ِم ٰالل‬:‫ال‬ ِ


‫ب‬ َ ْ َ َ‫ ق‬,‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ َع ِن النَِّب‬,‫اس‬ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
.‫َِّرهُ الشَّْيطَا ُن‬
ُ َ‫َّر بَْي نَ ُه َما َولَد َلْ ي‬ ِ ِ
َ ‫الشَّْيطَا َن َما َرَزقْ تَنَا فَإنَّهُ إ ْن قَد‬
Artinya: “Dengan menyebut asma Allah, jauhkanlah kami dari syetan
dan jauhkan syaitan dari apa yang telah engkau rezekikan kepada
kami, Maka sesungguhnya jika melakukan jima’ diantara keduanya,
maka Allah menakdirkan menjadi anak dan syaitan tidak akan
membuatnya bahaya” (H.R. Shahih Bukhari, Juz 4, Bab sifat Iblis wa
zunudihi, No. 3271, Hlm. 22).

Dan disunahkan pada orang yang ingin melakukan jima’ untuk


memulai dengan mengucapkan “Basmalah” dan membaca surat “Al-Ikhlas”
dan jangan membaca takbir dan tahlil dan mengucapkan:

ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ اَللَّ ُه َّم‬،‫ بِ ْس ِم ٰالل الْ َعظْي ِم‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫اج َع ْل َها ذُ ِريَّةً طَيِبَةً إِ ْن‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫اس‬ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
‫ص ْلِب‬ ِ َ ِ‫ُكْنت قَدَّرت أَ ْن ُتْ ِرج َذل‬
ُ ‫ك م ْن‬ َ َْ َ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang maha besar, Ya Allah,
jadikanlah istriku ini penyebab adanya keturunanku yang baik,
109

apabila Engkau memastikan keturunan itu keluar dari tulang


rusukku” (kitab Ihya Ulumuddin, Juz 2, Hlm. 46 dan kitab Al-
Ghuniyah li Thalibi Thariqil Haqqi, Juz 1, Hlm. 103).

Dijelaskan bahwa orang yang melakukan jima’ dan tidak menyebut


asma Allah, syaitan akan membungkusi atas perkencingannya, maka akan
melakukan jima’ bersamanya. Dan dijelaskan juga bahwa syaitan menetap
di atas penis seorang laki-laki, maka jika suami tidak membaca “Basmalah”
maka syaitan menuangkan bersama suami kepada istrinya dan syaitan
menggeluarkan air mani dalam kemaluan istrinya, sebagaimana yang di
keluarkan suami.

Selanjutnya dijelaskan bahwa Sesungguhnya disunahkan kepadanya


ketika ingin keluar air mani untuk membaca Firman Allah dengan pelan-
pelan:

‫ك قَ ِديْ ًرا‬ ِ ِ
َ ‫َوُه َو الَّذى َخلَ َق ِم َن الْ َماء بَ َشًرا فَ َج َعلَهُ نَ َسبًا َو ِص ْهًرا َوَكا َن َرب‬
Artinya: “Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air mani,
lalu jadikan manusia itu punya keturunan dan musaharah dan adalah
Tuhanmu Maha Kuasa” (Q.S. Al-Furqon: 53).
Apabila kamu telah mendekati dari keluar air mani, maka bacalah
dalam hatimu dan jangan gerakkan bibirmu:

‫ت َخلْ ًقا ِ ِْف بَطْ ِن َه ِذهِ الْ َم ْرأَةِ فَ َك ِونْهُ ذَ َكًرا‬ ِ ِ ِ


َ ‫ت َخلَ ْق‬ َ ‫ اَللَّ ُه َّم إِ ْن ُكْن‬:‫ال الغََزِال ِِف إِ ْحيَاء عُلُ ْوم الديْ ِن‬َ َ‫ق‬
.‫ْي‬ ِ
َ ْ ‫ت َخْي ُر الْ َوا ِرث‬ ِ ‫ ر‬،‫و َسَّهُ أَ ْْحَ َد ِِبَ ِق ُُمَ َّم ٍد صلَّى ٰالل َعلَْي ِه وسلَّم‬
َ ْ‫ب ََل تَ َذ ْرِن فَ ْرًدا َوأَن‬ َ َ ََ ُ َ َ
Artinya: “Ya Allah apabila Kau ciptakan seorang makhluk dari perut
wanita ini, maka jadikanlah ia seorang laki-laki dan namakanlah ia
Ahmad, dengan Haknya Nabi Muhammad saw, wahai Tuhanku,
janganlah Kau biarkan Aku sendiri dan kau adalah sebaik-baiknya
Dzat yang memberi warisan” (Al-Ghuniyah li Thalibi Thariqil Haqqi
Azza wa Jalla, juz I, halaman 103 atau Ihya Ulumuddin).
Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwasanya suami
jika ingin keluar mani sebelum istrinya keluar, maka sesungguhnya di
tuntut darinya untuk memberi waktu sehingga istri keluar air mani karena
hal itu adalah sunnah.71 Sebagaimana dijelaskan di dalam hadis:

ِ ‫ تِسعة لِلنِسا ِء والْع‬: ‫ اَلشَّهوةُ ع ْشرةُ أَجز ٍاء‬:‫ال‬


ُ‫اشَرة‬ َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ‫س أ‬ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
َ َ َ َْ َْ َ َ َْ َ ِ‫َن َر ُس ْو َل للا‬
.‫لِ ِلر َج ِال إَِلَّ أَ َّن ٰاللَ َستَ َرُه َّن ِب ْْلَيَ ِاء‬

71
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 109
110

Artinya: “Syahwat itu ada sepuluh bagian : sembilan bagian untuk


wanita, dan yang kesepuluh untuk laki-laki, kecuali jika Allah
menutupi kaum wanita dengan sifat malu” (kitab Adab An-Nisa li
Abdi Al-Malik bin Habib, bab ma jaa fi fadli syahwat Al-Marati ala
syahwat Al-Rajuli, No. 76, Hlm. 83).

Dan sesungguhnya seorang istri, jika ingin keluar air mani sebelum
suaminya keluar, maka sesungguhnya di tuntut darinya untuk segera
mencabut penisnya, karena sesuangguhnya istri dalam rasa kesakitan
padanya.

Sesungguhnya berkumpulnya air mani laki-laki dan air mani


perempuan dapat menyebabkan kepada rasa cinta dan apabila tidak
berkumpulnya air mani dapat menyebabkan kepada pertengkaran. Apabila
air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang lahir akan
menyerupai ayahnya. Apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-
laki, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ibunya”.

3) Tatakrama dalam Berhubungan Suami Istri


Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa, tatakrama melakukan
jima’ adalah suami untuk tidak menjima’ istrinya dan ia dalam keadaan
berpakaian, sehingga suami melepas semuanya. Selanjutnya suami masuk
bersama istrinya dalam satu selimut, karena sesungguhnya suami di
sunnahkan melepaskan pakaian dan ada di tempat tidur. Sesungguhnya
suami jangan menjima’ istrinya dan keduanya dalam keadaan telanjang.72

Dan di jelaskan juga bahwa Nabi SAW ketika melakukan jima’ akan
menutupi kepalanya dan melirihkan suaranya dan berkata kepada istrinya:
"‫لس ِكيْ نَ ِة‬
َّ ‫ك ِب‬ِ ‫" َعلَي‬. Dan semestinya untuk tidak menjima’ dalam keadaan
ْ
telanjang dan tidak ada atas keduanya suatu yang menutupinya, karena
sesungguhnya Nabi SAW melarang dari hal itu dan mencelanya. Dan
sungguh ada sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra menutupi kepalanya,
karena itu malu kepada Allah.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan tentang manfaat


tidur dalam keadaan telanjang, dan memiliki beberapa manfaat yaitu; dapat
menenangkan tubuh dari kepananasan yang bergerak pada siang hari, dapat
memudahan membolak-balik tubuh ke kanan dan ke kiri, termasuk
kebahagiaan atas istri dengan menambah kenikmatan, mengikuti perintah,
karena sesungguhnya Nabi saw melarang dari menyia-nyiakan harta dan
tidur dalam berpakaian dapat meningkatkan kerusakannya, menjaga
kebersihan jika dalam pakaian tidur terdapat di dalamnya kutu.

72
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 89
111

Setelah menerangkan manfaat tentang tidur tanpa pakaian,


Muhammad At-Tihami mengabarkan bahwa suami jika ingin melakukan
jima’ untuk menggoda istrinya dan bermain-main dengan apa yang di
bolehkan, contohnya meraba dan memeluk dan mencium dalam selain
kedua mata istrinya.73 Dan jangan mendatanginya atas istri dengan
mengejutkan, karena sabdanya Nabi SAW:

،ُ‫ َلَيَ َق َع َّن أَ َح ُد ُك ْم َعلَى ْامَرأَتِِه َك َما تَ َق ُع الْبَ ِهْي َمة‬:‫صلَى للاُ َو َسلَّ َم‬ ِ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬ َ َ‫ ق‬,‫ك‬ َ ْ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
"‫ "اَلْ ُقْب لَةُ َوالْ َكلَ ُم‬:‫ال‬ َّ ‫ َوَما‬:‫لِيَ ُك ْن بَْي نَ ُه َما َر ُس ْول قِْي َل‬
َ َ‫الر ُس ْو ُل ؟ ق‬
Artinya: “jangan salah seorang di antara kalian memperlakukan atas
istrinya, sebagaiman kamu memperlakukan binatang karena ada
diantara keduanya menggunakan perantara” dikatakan : dan apa
perantara itu ? Nabi saw bersabda: “mencium dan berbicara yang
baik” (Riwayat Abu Mansyur Ad-Dailami di dalam Musnad Al-
Firdaus dan ibnu Subki dalam Thabaqat Asy-Syafiiyah, Juz 6, Hlm.
311).

Dan memulai dengan kelembutan dan berbicara dengan kemesraan


dan mencium dengan kehangatan. Dijelaskan bahwa seorang suami ketika
mendatangi istrinya tanpa menyajikan senda-gurau dan tidak mencium
kening istrinya atau dengan mencium kedua mata istri, maka dapat
menyebabkan pada perceraian dan pada percekcokan dan dia
adalah menyebabkan perselisihan dan ada anak yang lahir dalam keadaan
bodoh dan lemah otaknya.

Selanjutnya di jelaskan bahwa suami harus membuat mulutnya


harum dengan minyak dan semisalnya. karena sesungguhnya hal itu yang
menyebabkan untuk menambah rasa cinta dan mengharumkan mulut tidak
di khususkan pada waktu malam ketika ingin melakukan jima’ tapi
mengharumkan mulut di tuntut dalam waktu yang lain.

Muhammad At-Tihami menerangkan beberapa faidah tentang


tatakrama dalam berjima’ yaitu sebagai berikut:

Manfaat pertama: Disunahkan pada wanita untuk berhias diri karena


suaminya dan memakai wangi-wangian. Manfaat yang kedua: Disunahkan
pada wanita untuk memakai celak pada kedua matanya dan untuk
mewarnai kedua tangan dan kakinya dengan pacar tanpa mengukir dan
tanpa menghitamkan. Manfaat yang ketiga: Tidak boleh menggunakan
kepingan dirham dan dinar yang di lubangi dan menjadikan dalam kalung,
berbeda dengan perhiasan, sesungguhnya makruh untuk seorang wanita
meninggalkannya. Mempercantik diri dengan emas dan perak, maka di

73
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 91
112

perbolehkan untuk wanita. Manfaat keempat: menggemukkan seorang


wanita pada dirinya dari perhiasan. Manfaat yang kelima: Wanita manapun
yang menggunakan wangi-wangian dan minyak, kemudian keluar dari
rumahnya dengan tanpa seizin suaminya, maka ia berjalan menuju
kemurkaan Allah dan kebencian-Nya sehingga ia kembali pada rumahnya.74

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menerangkan keutamaan


tatacara melakukan jima’, sesungguhnya suami untuk membaringkan tubuh
istri di atas kasur yang diberi wangi-wangian dan suami naik keatas tubuh
istrinya dan menjadikan kepala istrinya diletakkan pada kerendahan dan
suami mengangkat pantat istrinya dengan bantal.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa suami ketika


ingin melakukan jima' untuk memegang zakarnya dengan tangan kirinya
dan menggosokkan ujung kepala penisnya pada permukaan kemaluan istri
dan istri akan merangsangnya, kemudian melepasnya masuk kedalam
kemaluan istrinya dan jangan mencabut penisnya sehingga keluar air mani.
Jika telah merasakan dengan keluar air mani, maka suami memasukan
tangannya kebawah pinggul istrinya dan menggerakkan penisnya dengan
gerakan yang bertenaga, maka sesungguhnya akan menemukan untuk hal
itu kepada kenikmatan yang sangat besar dan tidak akan bisa di gambarkan
rasa nikmatnya itu.75

Dijelaskan bahwa cara untuk membuat istri merasakan


kenikmatannya ketika melakukan jima’ adalah dengan membaringkan
istrinya, maka suami menelungkup di atas punggungnya dan kepala istrinya
di rundukkan lebih rendah dan angkatlah pinggang istrinya dengan bantal
dan suami menggosokkan ujung atas permukaan kemaluan istri, maka istri
akan merangsangnya, kemudian kerjakanlah setelah itu apa yang di
inginkan. Apabila suami telah merasakan akan keluar air mani, maka suami
untuk memasukan tangannya kebawah pinggul istrinya dan mengangkatnya
agar mempertingginya. Sesungguhnya suami dan istri akan merasakan
dalam hal itu pada kenikmatan yang sangat besar dan tidak bisa di
gambarkan.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan mengenai dua


peringatan dalam pembahasan ini, yaitu sebagai berikut:

Pertama: Syaidina Umar bin Abdil Wahab berkata : semestinya


kepada orang yang ingin berjima dengan istrinya yang masih gadis untuk
tidak mengeluarkan air maninya dari istrinya. Kedua: semestinya kepada
istri untuk menjepitkan kemaluannya atas penis suaminya ketika ingin

74
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 96-99.
75
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 107
113

keluar air mani dengan jepitan yang keras, maka sesungguhnya hal itu
dalam puncak kenikmatan kepada suami.76

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan tentang tatakrama


melakukan jima’ pada tempat yang aman. Sesungguhnya hal yang di tuntut
ketika melakukan jimak untuk tidak ada seseorang bersamanya dalam
kamar dan walaupun anak kecil. Dan dijelaskan jika suami yang
berkeinginan pada istrinya, maka di sunahkan terlebih dahulu untuk tidak
ada seseorang dalam rumah selain istrinya atau budak wanitanya, jika
bahwa ada seseorang hal itu adalah aurat dan aurat yang wajib untuk di
tutupi.

Penjelasan mengenai melakukan jima’ dan ada orang didalam kamar


atau rumah, dan ketika mungkin mengeluarkan seseorang dari dalam rumah
hukumnya makruh. Adapun jika tidak mampu mengeluarkan dari rumahnya
karena tidak memiliki untuknya tempat tinggal kecuali satu rumah
umpamanya, maka sesungguhnya ia membuat penghalang diantaranya dan
di antara mereka dan kamu menjaga dari bersuara dalam melakukan jima’.77

Dalam penjelasan tentang tempat melakukan jima’ yang dihindari


Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa berhati-hatilah melakukan
jima’ di atas atap rumah dan di bawah pohon yang berbuah karena
sesungguhnya akan membuat sakit kepada anak. Dan berhati-hatilah dari
berjima’ menghadap kepada qiblat atau membelakangi kepadanya, ketika
ada yang melakukan jima’ di tanah lapang, maksudnya adalah di padang
pasir.

Dan juga berhati-hatilah dari melakukan jima’ menghadap pada


bulan purnama, maksudnya adalah bulan dan matahari. Karena ada
keterangan bahwa melakukan jima’ dari keduanya akan di laknat yang
melakukan hal itu. Akan tetapi dijelaskan di dalam kitab “Al-Madkhal”,
pendapat yang paling masyhur dalam hal ini adalah dibolehkan.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan pendapat yang


masyhur adalah di bolehkan, tapi pendapat yang di pilih adalah
meninggalkan untuk menghasilkan keturunan, maka sungguh di katakan
bahwa melakukan jima’ pada bawah atap rumah dan di bawah pohon yang
berbuah dan menghadap matahari dan bulan, maka akan mengakibatkan
dalam melahirkan anak memiliki sifat pencuri dan memiliki sifat
sombong.78

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa untuk berhati-hati ketika


dalam melakukan jima’, yaitu dalam kedaan sangat haus dan lapar dan

76
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 108
77
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 127-128
78
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 137-138
114

marah-marah karena sesungguhnya akan menghilangkan kekuatan berjima’.


Dan dalam keadaan gembira yang berlebihan karena sesungguhnya akan
menyebabkan cedera dan dalam keadaan kenyang akan mengakibatkan rasa
sakit pada persendian tubuh dan demikian pula dalam keadaan kurang tidur
(ikut berjaga-jaga) dan dalam keadaan sedih, karena sesungguhnya akan
menghilangkan kekuatan berjima.

Dan berhati-hatilah dalam melakukan jima’ yang sebelumnya telah


muntah-muntah atau deari atau kelelahan atau mengeluarkan darah atau
berkeringat atau setelah kencing yang banyak sesungguhnya sangat
menimbulkan bahaya pada tubuh. Orang yang berkeinginan memiliki
mental tubuh yang keras atau kuat, maka berhati-hatilah melakukan jima’
pada waktu musim panas dan memiliki mental tubuh yang dingin atau
lemah, maka berhati-hatilah melakukan jima’ dalam musim dingin dan
semestinya untuk mengurangi dari melakukan jima’ pada musim panas dan
musim dingin.79

Hak Wanita adalah orang yang memenuhi kepadanya dengan


melakukan jima’ pada setiap jum’at paling sedikit dua kali dan
memeliharanya (melakukan jima’ untuk kesehatan). Jika seorang laki-laki
yang mental tubuh dingin atau lemah, maka melakukan jima’ satu kali.
Memutuskan dengan satu kali melakukan jima’ dalam satu kali suci wanita,
karena sesungguhnya suami mampu membuat istrinya hamil dan
membentenginya. Benar demikian, semestinya suami untuk menambah dan
mengurangi dengan menghitung kebutuhan istrinya dalam melindungi
kesehatan istri, karena sesungguhnya melindungi kesehatan istrinya
merupakan kewajiban atas suami.

Selanjutnya dijelaskan bahwa tidak semestinya kepada suami untuk


mengurangi melakukan jima’ atas istri sehingga menimbulkan bahaya pada
istri dan tidak memperbanyak melakukan jima’ atas istrinya sehingga istri
merasa bosan. Syaikh Zaruq berkata dalam kitab: “An-Nashihah” dan
suami jangan memperbanyak melakukan jima’ atas istrinya sehingga istri
merasa bosan dan jangan menjarangkan melakukan jima’ sehingga istrinya
merasa tidak menimbulkan bahaya.80

Maka jika istri kamu mengeluh ingin melakukan jima’, maka berkata
syaikh Zarruq dalam kitab “At-Taudih” suami harus memenuhi untuk
melakukan jima’ atas istrinya dengan empat kali dalam setiap malam dan
empat kali dalam siang hari. Dan istri disini tidak boleh menolak keinginan
suami dari melakukan jima’tanpa udzur karena hadits Ibnu Umar ra, ia
berkata:

79
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 123-124
80
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 126
115

ِ ِ ِ‫ت ْامَرأَة إِ ََل الن‬ ِ ‫ جاء‬,‫ال‬ ِ


ْ َ‫ فَ َقال‬،‫صلَّى ٰاللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫ َي َر ُس ْو َل‬:‫ت‬ َ ‫َّب‬ َ َ َ َ‫َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َرض َي للاُ َعْن ُه َما ق‬
."‫ب‬ ٍ َ‫ت َعلَى ظَ ْه ٍر قَت‬ ْ َ‫ "أَ ْن َلَ َتَْنَ َع نَ ْف َس َها َولَ ْو َكان‬:‫ال‬ َّ ‫ٰاللِ ! َما َحق‬
َ َ‫الزْو ِج َعلَى الْ َم ْرأَةِ ؟ ق‬
Artinya: “Seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw, wanita
itu berkata: Ya Rasulallah! apa hak seorang suami atas istrinya?
Rasulullah saw bersabda: “jika suami mengajak melakukan jima’
maka dirinya jangan menolak ajakan suaminya, meskipun dia berada
diatas punggung unta” (H.R. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 32,
Hlm. 145).

Di dalam hadis yang lain Nabi SAW bersabda:


ِ ِ َّ ‫ إِ َذا َد َعا‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
ْ َ‫الر ُج ُل َزْو َجتَهُ إِ ََل فَراش َها فَأَب‬
‫ت‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬ َ َ‫ ق‬,‫ال‬ َ َ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ ق‬
ِ ِ
‫صبِ َح‬ َ ‫ِم ْن َذل‬
ْ ُ‫ك لَ َعنَ ْت َها الْ َملَكئ َكةُ َح َّّت ت‬
Artinya: “jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya,
maka dia menolak dari hal itu, para malaikat akan melaknatnya
sehingga waktu subuh” (H.R. Shahih Bukhari, Juz 4, Bab idza qala
ahadukum aamiin wal malaikat fi sama’ aamiin, No. 3237, Hlm.
116).

Muhammad At-Tihami menjelaskan kepada suami di malam


memasuki senggama untuk tidak membiarkan seseorang berhenti didekat
pintu kamarnya, agar tidak mengganggu ketenangan atasnya dan
sesungguhnya suami menyenangkan pengantin perempuan dengan
perkataan yang baik untuk mendapat perhatian dan menyenangkannya. Dan
disunahkan kepada keluarganya agar mengirimkan kepadanya hadiah di
hari kedua pernikahannya dan sesungguhnya disunnahkan kepada saudara-
saudaranya mengunjungi pada hari kedelapan pernikahannya.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa suami di


haramkan jika mendatangi istrinya dan diantara kedua matanya melihat
selain istrinya karena sesungguhnya hal itu merupakan jenis dari zina.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama bahwasanya “Barangsiapa
mengambil sebuah kendi yang berisi air dingin dan bayangan diantara
matanya bahwasannya yang diminum adalah khamar, maka menjadi air itu
atasnya adalah haram”.

Dan di makruhkannya kepada suami jika mendatangi istrinya setelah


bermimpi basah. Dilarang menyentuh kemaluan dengan tangan kanan dan
jangan mendatangi istrinya setelah terjadi mimpi junub sehingga dia mandi
atau membasuh kemaluannya atau kencing. Bahwasanya hal itu dapat
mngakibatkan penyakit gila pada anak yang lahir. Maksudnya adalah ada
sisa air mani dari mimpi junub yaitu pengaruh permainan syaitan
116

dengannya, maka jika permulaan dari persetubuhan tersebut menjadi anak,


dikendaliakan atas anak itu dari syetan.81

Muhammad At-Tihami menjelaskan dalam berjima’ memegang


dzakar dengan tangan kanan hukumnya yaitu, makruh. Karena ada
keterangan larangan memegang dengan tangan kanan, sebagaimana
sabdanya Nabi saw:

َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ِِ ِ ِ


ُ‫ َلَ ْيََس أَ َح ُد ُك ْم ذَ َكَره‬:‫ال‬ َ ‫ َع ْن أَبْيه أَ َّن َر ُس ْو َل للا‬,َ‫َع ْن َعْبد للا بْ ِن أَِب قَتَ َادة‬
‫بِيَ ِمْينِ ِه‬
Artinya: “Janganlah ada salah seorang diantara kalian yang
memegang dzakar dengan tangan kanannya” (H.R. Ad-Darimi, Juz 1,
Bab An-Nahyu an Al-Istinja’i bil yamini, No. 700, Hlm. 533).

Dan larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan adalah


makruh tanzih yaitu yang harus ditinggalkan dan untuk memuliakan tangan
kanan karena Nabi saw bersabda:

‫ت إَِزا ِري‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ‫َع ْن َعاكئِ َشةَ ق‬


َ ‫ َْيْي ِن ل َو ْج ِهي َوشَ ِال ل َما ََْت‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬
Artinya: “Tangan kananku untuk mukaku dan tangan kiriku untuk
sesuatu yang ada dibawah sarungku” (kitab Kanjul ‘Ummal, No.
26151).

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa makruh memegang


kemaluan wanita dan melihat segala sesuatu dari suami istri pada kemaluan
yang ada pada keduanya, karena sesunguhnya akan menyebabkan sakit
mata dan meninggalkan rasa malu dan sungguh melihat apa yang
dimakruhkan, maka akan mendatangkan saling benci.82

Sebagaimana di jelaskan dalam hadits Nabi saw bersabda:

‫ إِ َذا َج َام َع أَ َح ُد ُك ْم َزْو َجتَهُ أَْو‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ٍ َّ‫َع ْن َعْب ِد للاِ بْ ِن َعب‬
َ ‫ قَالَ َر ُس ْو ُل للا‬,‫اس قال‬
ِ ِ ِ
‫الع َمى‬
َ ‫ث‬ َ ‫َجا ِريَتَهُ فَ َل يَْنظُُر إِ ََل فَ ْرج َها لَ َّن ذَل‬
ُ ‫ك يُ ْوِر‬
Artinya: “Apabila salah seorang diantara kalian melakukan jima’
dengan istrinya atau hamba sahayanya, maka jangan melihat pada
kemaluannya karena sesungguhnya hal itu akan mengakibatkan
kebutaan” (HR. Ibnu Hibban, No. 231 atau kitab Al-Jami’ Al-Shagir,
No. 551).

81
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 142-143
82
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 140
117

Maksud dari hadis Nabi SAW di atas adalah sebagaimana Aisyah ra


berkata: aku tidak melihat hal itu dari Rasulullah saw dan beliau tidak
pernah melihatnya dari kemaluanku dan jika kami mandi dalam satu bak
mandi dan tangan kami saling menyelisihi mengambil air di dalamnya.

Selanjutnya dijelaskan apabila seorang laki-laki melihat aurat dirinya


sendiri tanpa keadaan darurat maka ada dua pendapat tetang hukumnya
yaitu, haram dan makruh. Dari yang di makruhkan bahwa melihat
kemaluan sendiri dan adapun dalam syariah adalah hukumnya boleh,
sebagaimana dijelaskan bahwasanya di halalkan untuk suami istri sehingga
melihat kemaluan, seperti perkataan Imam Malik.

Muhammad At-Tihami menjelaskan sesungguhnya dimakruhkan


untuk suami mendatangi istrinya dalam keadaan yang tidak baik nafsu
istrinya, karena hal itu akan merusak agama dan akal istrinya. Dan di
makruhkan juga kepada suami istri untuk mengusap kemaluan mereka
berdua dengan sepotong kain. Sesungguhnya hal itu dapat mendatangkan
sikap saling membenci dan di tuntut seorang suami untuk menyediakan
setiap dari mereka berdua sepotong kain lap untuk mengusap
kemaluannya.83

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwasannya


disunahkan bagi suami, jika melakukan jima’ dan ingin mengulanginya agar
membabasuh kemaluannya, sesungguhnya menguatkan anggota badan dan
membangkitkan semangat dan Nabi saw melakukan hal itu. Sebagian
ulama mengkhususkannya yang pertama, adapun untuk mengulangi
melakukan jima’ maka wajib membasuh kemaluannya agar najis tidak
masuk kedalam kemaluan istrinya yang lain. Dan hal itu tidak di sunnahkan
kepada wanita.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwasannya di


larang minum air dingin ketika setelah bersenggama dan begitu juga
membasuh dzakar dengan air dingin karena bisa membahayakannya.
Dijelaskan bahwa tidak semestinya untuk membasuh dzakarnya dengan air
dingin ketika setelah melakukan jima’, sampai dzakar benar-benar lemas
dan mengakhiri atasnya beberapa saat.84

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa dibolehkan kepada suami


untuk masturbasi dengan tangan istrinya dan adapun dengan tangannya
sendiri, maka menurut jumhur ulama hukumnya haram. Suami jangan
mengeluarkan air mani tanpa izin istrinya dan jangan mencabut
kemaluannya dari kemaluan hamba sahaya, kecuali mendapat izin dari

83
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 141-142
84
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 147-148
118

tuanya. Dan dikatakan bahwa mencabut kemaluan suami hukumnya


makruh secara mutlak.

Menjima’ istri yang masih gadis untuk tidak mengeluarkan air mani
darinya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dan cepat-
cepatlah suami memasukkan air sperma pada rahim istrinya. Mudah-
mudahan Allah menjadikan kepadanya seorang keturunan yang akan di beri
pertolongan dengannya. Dijelaskan bahwa tidak apa-apa mengeluarkan air
mani untuk kebaikan istrinya yang menyusui atau karena khawatir atas
anak yang menyusu.85

Muhammad At-Tihami menjelaskan tentang memakai celana dalam,


beliau menyebutkan bahwa memakai celana di anjurkan dalam hak
pengantin perempuan dan demikian itu adalah akan di anjurkan dalam hak
seorang wanita secara mutlak.86 Sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

ِ ِ ِ ِ َ َ‫ب بْ ِن ُمنَ بِ ٍه ق‬ ِ ‫َع ْن وْه‬


ْ ‫ فَانْ َك َش َف‬،‫صلَّى ٰاللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫ت‬ َ ‫ت َعلَى َع ْهد َر ُس ْول ٰالل‬ ْ ‫ص ِر َع‬
ُ ً‫ أَ َّن ْامَرأَة‬,‫ال‬ َ
ِ ِ ِ ِ
.‫ َرح َم ٰاللُ الْ ُمتَ َس ْرِوَلَت م ْن أَُّم ِ ْت‬:‫صلَّى ٰاللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫فَِإ َذا ه َي بِ َسَرا ِويْ َل فَ َق‬
َ ‫ال‬
Artinya: “sesungguhnya ada seorang wanita yang jatuh pada masa
Rasulullah, maka tersingkap aurat perempuan tersebut, maka jika di
ketahui wanita itu dengan celana maka bersabda Nabi: Semoga Allah
segera memberi rahmat kepada wanita-wanita dari umatku” (Adab
An-Nisa’ li Abdi Al-Malik bin Habib, Juz 1, Hlm. 214 atau kitab Al-
Jami’ Al-Shagir, No. 4421).

Disunahkan untuk seorang wanita memakai celana, apabila ia naik


kendaraan atau berpergian karena di khawatirkan tersingkap auratnya, jika
ia jatuh dan adapun dalam tidak naik kendaraan atau berpergian, maka
biasakan memakai kain penutup tentang perihal dirinya.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan tentang manfaat


memakai celana dalam. Sebagaimana dijelaskan oleh ulama terdahulu
sebagai berikut: Diriwayatkan dari Rasulullah saw, sesungguhnya memakai
celana dan mereka para sahabat memakainya dalam masanya Nabi saw dan
Nabi saw mengizinkannya. Dijelaskan juga bahwa sesungguhnya dari
pakaian yang menutupi mereka dan bentengilah wanita-wanita kalian
dengan celana, apabila mereka keluar rumah.87

4) Posisi yang Dianjurkan dan yang Dihindari

85
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 134-135
86
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 101
87
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 102
119

Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa senggama boleh di


lakukan pada setiap gaya dari gaya yang di inginkan, Karena Firman Allah
Ta’ala: “Maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki”. Maksudnya adalah atas keadaan dan waktu yang di
kehendaki, jika hal itu ada pada tempat keluar anak, karena wanita laksana
kendaraannya suami, maka dengan cara apa yang di kehendaki.88

Akan tetapi gaya yang di sunahkan adalah “suami naik ke atas


tubuhnya istri dengan lembut”. Selanjutnya Muhammad At-Tihami
menjelaskan dengan mencoba gaya yang lain, seperti dikatakan di dalam
nadzam “dari arah belakang istrinya”. Sebagaimana dijelaskan di dalam
hadis Nabi SAW:

َ ْ‫ ََل َب‬:‫الس َل ُم‬


‫س‬ َّ ‫الص َلةُ َو‬ َ ‫ فَ َق‬،‫ ِم ْن َخ ْل ِف َها‬: ‫ يَ ْع ِن‬،‫ إِ َّن َزْوِج ْي ََّيْتِْي ِن ُم ْدبَِرًة‬,‫ال‬
َّ ‫ال َعلَْي ِه‬ َ َ‫َع ْن َجابِ ٍر ق‬
.‫اح ٍد‬ِ ‫ك إِ َذا َكا َن ِِف س ٍم و‬
َ ُ
ِ
َ ‫بِ َذل‬
Artinya: “sesungguhnya suamiku menjima’ aku bagian belakang,
yakni : dari arah belakang istrinya, Maka Nabi saw bersabda: “tidak
apa-apa dengan melakukan jima’dari arah belakang istrinya itu, jika
tetap ada tertuju pada satu lubang” (H.R. At-Tirmidzi, No. 2979 dan
Ath-Thohawi dalam Syarh Ma’ani Atsar, Juz 3, Hlm. 41).

Maksud dari hadis di atas mengenai satu lubang adalah kemaluan


istri. Dan dijelaskan bahwa dari sebagian Al-Fudhalak (orang yang cermat)
menjelaskan bahwa gaya inilah yang sampai pada kenikmatan dari semua
gaya dengan banyak dan bahwa di dalamnya melakukan jima’ dari arah
belakang banyak obat untuk tubuh.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa hindarilah


melakukan jima’ dalam keadaan berdiri, karena sesungguhnya akan
menyebabkan lemah ginjal. Selanjutnya melakukan jima’ dengan cara istri
naik mendudukinya, karena sesungguhnya mengakibatkan menderita ginjal
dan sakit perut dan nyeri pada saraf. Dan jauhilah melakukan jima’ ketika
istri menaiki di atas suami karena sesungguhnya mengakibatkan bernanah
dalam saluran kencing yaitu penis suami.89

Dijelaskan Bahwasanya melakukan jima’ atas posisi miring, maka


akan mengakibatkan nyeri pinggang. Maksudnya adalah menjauhi salah
satu yang mengakibatkan menjadi lemah atau sakit dan akan mempersulit
dalam mengeluarkan mani.

Dan Jangan mendatangi istrinya untuk melakukan jima' dengan


posisi berlutut, karena sesungguhnya hal itu akan merasa kesulitan atas

88
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 129
89
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 131
120

istrinya. Dan jangan berjima’ dengan posisi miring karena hal ini akan
menyebabkan sakit pada lambung dan hindarilah melakukan jima’ dengan
posisi istri di atas suami, karena hal itu akan mengakibatkan nyeri
pinggang dan kebuntuan pada saluran kencing suami.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami mengisyaratkan tentang


penjelasan senggama dalam dubur dengan hadis-hadis Nabi SAW, beliau
mencantumkan beberapa hadis Nabi terkait senggama dalam dubur sebagai
berikut:

‫ إِتْ يَا ُن النِ َس ِاء ِِف أ َْدبَِرِه َّن َحَرام‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬ َ َ‫َع ْن ابْ ِن ُع َمَر ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
Artinya: “Menjima’ wanita dalam lubang dubur mereka adalah
haram” (riwayat Ibnu Jarir dalam kitab Al-Kanjul ‘Ummal, No.
44869).

Selanjutnya hadis Nabi yang menjelaskan tentang orang terlaknat:

‫ َم ْلعُ ْون َم ْن أَتَى ْامَرأَتَهُ ِِف ُدبُِرَها‬:‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ َ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ ق‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬
Artinya: “Terlaknat orang yang menjima’ wanita dalam lubang
duburnya” (H.R. Sunan Abu Daud, Juz 2, Bab fi jami’ An-Nikah, No.
2162, Hlm. 249).

Di dalam kitab Attanwir Syarah Al-Jami’ Al-Shagir dijelaskan


bahwa jangan mendatangi wanita dari dubur mereka, sesungguhnya Allah
Swt memperbolehkan melakukannya di ladang yang merupakan tempat
kelahiran, bukan di rerumputan yang merupakan tempat yang jelek dan
tempat bercocok tanam.90

Selanjutnya hadis Nabi yang menjelaskan bahwasanya ada tujuh


orang di hari kiamat yang Allah tidak akan liat, sebagaimana sabda Nabi
SAW:

ِ
ِ‫القيامة‬ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َ َ ‫ َسْب َعةُ ََل يَْنظُُر للاُ إلَْيه ْم يَ ْوَم‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬َ َ‫ ق‬,‫ال‬ َ َ‫ك ق‬ َ ْ ِ َ‫َع ْن أَن‬
ِ ‫ ال َف‬:‫الدا ِخلِْي‬
‫اع ُل َوال ْفعُ ْو ُل بِِه‬ ِ
َ َ ْ َّ ‫ اُْد ُخلُ ْوا النَّ َار َم َع‬:‫َوََل يَُزكْي ِه ْم َويَ ُق ْو ُل ََلُْم‬
Artinya: “Ada tujuh orang yang Allah tidak akan melihat pada
mereka di hari kiamat dan Allah tidak akan membersihkan mereka
dan Allah berfirman kepada mereka: Masuklah kalian ke neraka
bersama mereka yang memasukinya: merupakan bentuk dari fa’il dan
maf'ul bih” (kitab Irwau Al-Ghalil, Juz 8, Hlm. 59).

90
Muhammad bin Ismail As-Shan'ani, Attanwir Syarah Al-Jami' Al-Shagir, Juz 1,
h. 349
121

Adapun yang dimaksud tujuh orang dari hadis di atas adalah


senggama sesama jenis, orang yang menikah dengan tangannya sendiri,
orang yang senggama dengan hewan, orang yang senggama dengan istrinya
lewat dubur, memadu wanita dengan anak perempuannya, orang yang
berzina dengan istri terangganya, dan orang yang menyusahkan
tetangganya sehingga di laknatnya.

Dan diriwayatkan dari Abdurrahman bin Qasim : bahwa ada seorang


polisi Madinah datang atas Imam Malik, maka pertanyaannya dari seorang
laki-laki yang melaporkan kepadanya bahwasannya sungguh ia telah
mendatangi istrinya melakukan jimak dalam duburnya, maka Imam Malik
berkata kepadanya : menunjukkan bahwa dipukul sampai merasa sakit,
maka sesungguhnya ia mengakui pada perbuatan itu, pisahkanlah diantara
keduanya.

Dan adapun bersenang-senang dengan bagian selain dubur, maka


diperbolehkan. sebagaimana diperbolehkan bersenang-senang dengan kedua
paha istri dan apa yang menyerupai keduanya. selanjutnya dijelaskan
bahwa Aisyah ra pernah ditanya, apa saja yang di halalkan untuk seorang
laki-laki dari istrinya jika ada seorang istri sedang haid? Maka Aisyah ra
berkata: setiap sesuatu asal tidak melewati kemaluannya.91

Ihwal posisi bersenggama, menurut para ulama posisi paling baik


adalah si suami di atas dan istri di bawah, lalu pinggul istri diganjal dengan
bantal. Lalu suami bisa penetrasi pada kemaluannya dengan tempo sesuka
hatinya. Sebelum memasukkan zakar ke dalam kemaluan istri hendaknya
suami membaca basmalah. Boleh juga si suami mendatangi istri dari arah
belakang, zakar tetap dimasukkan pada kemaluan istri dari arah belakang.

Haram hukumnya memasukkan zakar pada dubur, apapun alasannya.


Dan hendaknya si suami membuat si istri mencapai klimaks atau orgasme
dalam setiap persenggamaan. Hendaknya suami mampu bersenggama
hingga tiga atau empat kali orgasme agar istrinya benar-benar terpuaskan.

5) Tatakrama Sebelum Tidur


Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwasanya tidur memiliki
beberapa tatakrama, beliau membaginya menjadi dua kemanfaatan, yaitu
sebagai berikut:

Pertama, Diantaranya untuk berwudhu ketika ingin tidur.92 Karena


Nabi saw bersabda:

91
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 133-134
92
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 145
122

َ َ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ٍ


ْ‫ضأ‬
َّ ‫ك فَتَ َو‬
َ ‫ِ َج َع‬ َ ‫ إِذَا أَ َخ ْذ‬:‫ال‬
ْ ‫ت َم‬ َ ‫ أَ َّن َر ُس ْو َل للا‬,‫َح َدثَِن البَ َراءُ بْ ُن َعا ِزب‬
َّ ِ‫ض ْوءَ َك ل‬
ِ‫لصلَة‬
ُ ‫ُو‬
Artinya: “Jika ingin memulai ketempat tidur kamu, maka
berwudhulah seperti kamu berwudhu untuk shalat” (H.R. Shahih
Muslim, Juz 4, Bab ma yakulu ingda naum waakhdi Al-Madja’i, No.
2710, Hlm. 2081).

Di dalam kitab syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi


dijelaskan bahwa jika kamu menghampiri tempat tidurmu, aku
menyerahkan wajahku kepadamu, dan dalam riwayat lain aku menyerahkan
diriku kepadamu, yaitu aku pasrah dan tunduk padamu. Artinya saya
menaruh kepercayaan kepadamu dan mengandalkanmu dalam semua
urusanku, sama seperti seseorang menghandalkan punggungnya pada apa
yang mendukungnya. Dan mengharapkan pahala darimu dan takut
kepadamu.93

Dijelaskan bahwa sesungguhnya boleh melakukan shalat dengannya,


jika niatnya untuk berwudhu atas bersuci. Selanjutnya tidur atas sisinya
miring kekanan dan meletakkan tangannya yang kanan di bawah pipinya
yang kanan dan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri sebagaimana
kedaan Nabi saw melakukan.

Selanjutnya adalah untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala ketika ingin


tidur manakala memulai ke tempat tidur maka sungguh ada Nabi saw
ketika ingin tidur mengucapkan:

ٰ َ َ‫عن أَِب هري رةَ ع ِن النَِّب صلَى للا علَي ِه وسلَّم ق‬


َ ‫ َوبِ ْس ِم‬،‫ت َحْنِب‬
‫ك‬ َ ‫ك َرِب َو‬
ُ ‫ض ْع‬ َ ‫ اَلل ُه َّم ِب ِْس‬:‫ال‬ َ ََ َْ ُ َ َ ََْ ُ َْ
.‫ْي‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٰ
َ ْ ‫الصاْل‬
َّ ‫ظ به عبَ َاد َك‬ ُ ‫اخ َفظْ َها ِبَا ََْت َف‬
ْ َ‫ْت نَ ْفسي فَا ْغف ْر ََلَا َوإ ْن اَْر َس ْلتَ َها ف‬
َ ‫ اَلل ُه َّم إ ْن أَْم َسك‬،ُ‫أَْرفَ ُعه‬
Artinya: “Ya Allah dengan namamu, wahai Tuhanku aku letakkan
lambungku. Dan dengan nama mu aku mengangkatnya. Ya Allah,
sesungguhnya aku telah menahan jiwaku, maka ampunilah jiwaku
ini. Apabila Engkau melepaskannya, maka jagalalah jiwaku dengan
apa yang Engkau telah memelihara hamba-hamba mu yang shaleh”
(H.R. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 13, Bab Musnad Abi Hurairah,
No. 7938, Hlm. 322).

Diterangkan bahwa barangsiapa yang berdzikir kepada Allah ketika


tidurnya, maka tidak akan dikuasai syaitan. Dan barangsiapa tidak berzikir
kepada Allah ketika tidur, maka semalaman syetan bermain-main
dengannya pada suatu keadaan. Dan barangsiapa yang membaca surat Al-

93
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Juz 5, h. 734.
123

Baqarah ayat 163-164 dan bershalawat atas Nabi saw sebanyak sepuluh
kali semalaman ketika ingin tidur maka sungguh dalam penjagaan Allah
dan perlindungannya.

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa ketika


bangun tidur untuk berzikir kepada Allah, apabila bangun dari tidurnya
berdoalah. Sebagaimana Hadis Nabi SAW bersabda:

ِ‫ اَ ْْلمد ِٰلل‬:‫ال‬
ُ ْ َ َ َ‫ ق‬,‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِذَا انْتَبَهَ ِم ْن نَ ْوِم ِه‬
َ ‫ َكا َن النَِّب‬:‫ال‬ َ َ‫ان ق‬ ِ ‫عن ح َذي َفةَ ب ِن اليم‬
ََ ْ ْ ُ ْ َ
ِ َ َ‫الَّ ِذى أَ ْحي‬
‫اَن بَ ْع َد َما أََماتَنَا َوإِلَْيه الن ُش ْوُر‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami
setelah mematikan kami. Dan kepada nya kami kembali setelah
dibangkitkan” (H.R. Shahih Bukhari, Juz 8, Bab ma yaqulu idza
nama, No. 6312, Hlm. 69).

Di dalam kitab syarah hadis diterangkan bahwa hadis di atas adalah


doa bangun dari tidur, maka sebaiknya mengucapkan hadis diatas, karena
tidur merupakan kematian kecil, sebagaimana firman Allah Swt, “dan
dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan dia mengetahui apa
yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian dia membangunkan kamu
pada siang hari” (QS. Al-An’am: 60).94

Kedua, orang yang banyak tidur dapat mengakibatkan fakir dan


malas dan pelupa dan tidur atas keadaan kenyang dapat mengakibatkan
kepikunan. Dijelaskan bahwasanya ada tiga perkara yang mengakibatkan
kepikunan dan kadang-kadang juga dapat mematikan yaitu, menikahi
wanita lanjut usia dan tidur atas keadaan kenyang dan masuk ke toilet
dalam keadaan kenyang.95

Selanjutnya Muhammad At-Tihami menjelaskan tentang adab orang


yang junub sebelum tidur, semestinya kepada orang yang junub untuk tidak
mencukur rambut dan memotong kuku dan tidak mengeluarkan darah dan
tidak mengambil sesuatu dari badannya. Dan anggota badan yang junub
agar tidak kembali di akhirat dalam keadaan junub.

Sesungguhnya di sunnahkan untuk orang yang junub, baik laki-laki


atau perempuan untuk berwudhu ketika ingin tidur mungkin jika segera
untuk mandi, maka ia tidur dalam keadan bersih dari hadats besar.
janganlah tidur dalam keadaan junub pada malam hari atau siang hari,
sehingga dia berwudhu seperti wudhunya untuk melakukan shalat. Dan
tidak di sunahkan padanya bertayamum ketika tidak mungkin berwudhu

94
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, Jilid 8, h. 326-
327
95
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 147
124

dan tidak batal wudhu orang yang junub karena tidur, kecuali ia bersetubuh
yang membatalkan wudhu.96

2. Materi Pendidikan Pasca Nikah


a. Upaya untuk Memiliki dan Mendidik Anak
1) Makanan yang Harus Dihindari oleh Istri
Muhammad At-Tihami Dalam menjelaskan bagaimana makanan
yang dilarang untuk mempelai wanita yang dapat mencegahnya atau
membahayakan untuk kehamilannya. Bahwa ketika mempelai wanita
memasuki hari ketujuh, ia dilarang mengkonsumsi apapun yang ada di
dalamnya yang dapat menimbulkan rasa panas atau rasa pahit, seperti
turmus, zaitun, dan kacang-kacangan, karena justru dapat mematikan
syahwat dan mencegahnya untuk hamil.97

Terlebih lagi, alasan utama pernikahan adalah untuk melahirkan


anak, Dan diminta agar makan siangnya berupa daging ayam dan jambu biji
dan buah delima dan apel dan makanan semacamnya.

Selain itu, Muhammad At-Tihami menyarankan ibu hamil untuk


mengonsumsi makanan yang dianjurkan. Muhammad At-Tihami menyuruh
atau menyarankan kepada wanita yang sedang hamil untuk mengunyah
kemenyan arab dan luban dan memperbanyak. Sebagaimana dijelaskan di
dalam kitab Qurratul Uyun, sebagai berikut;

“Wahai kaum wanita yang sedang hamil! berilah makan anak yang
dikandungan kalian dengan menyan Luban, karena menyan luban itu
bisa menambah akal dan menghilangkan riya’ dan memudahkan
untuk menghafal dan bisa menghilangkan sifat pelupa pada diri
anak”.98

Muhammad At-Tihami menyarankan ibu hamil untuk mengkonsumsi


safarjal atau dikenal juga dengan jambu biji pir, karena Rasulullah SAW
bersabda, dari riwayat Auf bin Malik :

‫الس َف ْر َج َل فَِإنَّهُ َُيَ ِس ُن الْ َولَ َد‬


َّ ‫ ُكلُ ْوا‬:‫لى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ٍ ِ‫ف ب ِن مال‬
ِ
َ ‫ص‬َ ‫ال َر ُس ْو ُل للا‬
َ َ‫ ق‬,‫ك‬ َ ْ ‫َع ْن َع ْو‬
Artinya: “Makanlah oleh kalian wanita-wanita yang sedang hamil
jambu safarjal, maka sesungguhnya akan memperbagus anak” (Dari
Ad-Dailami di dalam Musnad Al-Firdaus dan kitab Al-Jami’ Al-
Shagir, No. 6405,).

96
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 144
97
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 112
98
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 112
125

Selain itu, dijelaskan bahwa Allah menurunkan wahyu kepada Nabi


Saw setelah orang-orang mengeluh kepadanya tentang penampilan buruk
anak-anak mereka: Beri mereka perintah untuk memberikan jambu pir
kepada wanita hamil di bulan ketiga dan keempat. Terlebih lagi, dia harus
menghindari makanan yang tidak enak dan makanan yang banyak
dicampur.

2) Cara untuk Memiliki Anak Laki-laki dan Perempuan


Muhammad At-Tihami menjelaskan apabila seseorang ingin
mempunyai anak laki-laki, maka kemudian, mintalah istrinya untuk tidur
miring kesisi kanan ketika dia selesai melakukan jima’ dan jika ingin
memiliki keinginan untuk mempunyai seorang anak perempuan, maka
untuk tidur di sisi yang berlawanan (sisi kiri).

Selain itu, Ibnu Ardhun menjelaskan hal itu dengan asumsi bahwa
dengan menjatuhkan spermanya untuk bergeser ke bagian kanan perutnya
dan setelah itu untuk mengeluarkan kemaluannya. Kemudian pada saat itu,
miringkan pasangannya ke sisi kanannya juga. maka pada saat itu
sebenarnya akan menghasilkan seorang anak laki-laki, jika Allah Ta'ala
menghendaki. Barang siapa yang menginginkan anak laki-laki, maka diberi
nama ketika jodohnya sedang hamil, dengan nama Muhammad.99

Islam tidak melarang usaha (ihtiyar) bagi pasangan suami istri untuk
dikaruniai anak. Yang tidak boleh dilewatkan adalah "menyangkal" atau
kecewa dengan pemberian Tuhan jika keduanya dimuliakan dengan anak
gadis atau perempuan. Kita jangan terlalu disibukkan ingin memiliki anak
laki-laki sehingga kita mengabaikan nikmat Allah berupa anak perempuan.
Karena tak satu pun dari mereka yang pernah tahu, antara laki-laki dan
perempuan, siapa di antara mereka yang lebih mencintai orang tuanya.

Pasangan suami-istri dapat berusaha (ikhtiyar) untuk memiliki anak


laki-laki jika mereka menginginkannya dengan melakukan sebagai berikut:
1. Berdoa, 2. Membangun pola hubungan intim, 3. Mengindahkan tuntunan
klinis.

3) Keharusan Menjaga Kandungan


Muhammad At-Tihami menjelaskan bahwa jika seorang wanita
sedang hamil dan mengalami gangguan kehamilan dan menggunakan
sesuatu yang mendinginkan (merusak) rahim agar rahim tidak menerima
anak atau membahayakan apa yang ada di dalam perut, maka perbuatan itu
dilarang.100

99
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 149
100
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 136
126

Dijelaskan bahwa tsiqaf adalah perbuatan sihir dan keberadaan


tempat kehamilan (rahim) yang dirusak sebelum ruh ditiup itu dilarang, dan
jika setelah ruh ditiupkan, maka dia membunuh anaknya sendiri terlepas
dari perbedaan pendapat. Selain itu, menggunakan metode yang akan
merugikan atau merusak kandungannya sendiri dan mempertahankan
kekuatan asli rahim untuk hamil dianalogikan dengan mengeluarkan air
mani di luar rahim.

Abu Abbas Al-Wansyarisi berpendapat bahwa sesuai dengan


larangan yang disepakati para ulama muhaqqiq dan nadzar, membekukan
sesuatu adalah haram, artinya tidak boleh dengan alasan apapun dan tidak
boleh. Menurut apa yang dijelaskan oleh para ulama, ditentukan larangan
menggunakan sesuatu yang akan membekukan rahim atau mengeluarkan
sesuatu yang ada di dalam rahim dari air mani, tidak diperbolehkan.

Selain itu, Abu Abbas Al-Wansyarisi menjelaskan bahwa tidak ada


ulama yang berselisih dengan Imam Al-Lakhami mengenai kebolehan
mengeluarkan sperma dari rahim atau menggugurkan kandungan sebelum
empat puluh hari. Kecuali suami menggugurkan haknya untuk
membebaskan budak setelah aborsi, atau seorang istri harus membebaskan
budak dan memberikan pendidikan kepadanya.101

Para ahli fikih sepakat bahwa mengeluarkan janin pada perut yang
telah berjiwa adalah haram. Pengakhiran dini setelah janin memiliki roh
atau berumur empat bulan, telah disepakati ulama tentang keharamannya
karena dianggap membunuh orang. Hal ini juga tersirat dalam Al-Qur’an
surat Al-An’am ayat 151;

                  

               

               

Artinya: “Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas


kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,
dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada
mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang
keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.

101
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 137
127

demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu


memahami(nya)” (QS. Al-An’am: 151).
Menurut Mahmud Shaltut, para ulama membahas tentang ketentuan-
ketentuan pokok hukum tentang aborsi pada masa kehamilan itu sendiri.
Mereka juga sepakat bahwa hukumnya haram, termasuk golongan tindak
pidana (jarimah), jika aborsi dilakukan setelah janin dihembuskan ruh atau
setelah lewat empat bulan. Oleh karena itu, jika janin dalam kandungannya
lahir hidup, pelaku dapat dikenai diyat (denda), sedangkan jika janin lahir
mati, pelaku dapat dikenai denda harta lainnya.102

Adapun keabsahan bagi wanita yang menggugurkan kandungan di


dalam perutnya setelah ruh ditiupkan di janin dalam perutnya, para ahli
fikih sepakat bahwa mereka wajib membayar ghurrah (budak laki-laki atau
perempuan). Hukum yang sama juga berlaku untuk pelaku aborsi dan
pasangannya yaitu suaminya.

4) Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak


Muhammad At-Tihami memberikan penjelasan mengenai
pembinaan, pendidikan, dan pengajaran anak dalam diskusi ini. Tentang
bagaimana membekali dan mendidiknya, maka suami istri harus mendidik
anak-anaknya untuk mendidik anak-anaknya sejak kecil, karena sebenarnya
anak adalah amanah dari pihak-Nya, Allah SWT. jangan gunakan anaknya
selain dalam kerangka atau pemeliharaan istri yang saleh, karena benar-
benar asi orang-orang yang memperoleh dari harta haram, tidak akan
dimuliakan atau barokah kepada anak-anaknya.103

Selain itu, dijelaskan pula bahwa suami dan istri harus bersikap baik
kepada anak dan merasa kasihan kepada mereka karena bersikap kasar atau
kejam kepada anak justru dapat menyebabkan seorang anak membenci
orang tuanya, maka berhati-hatilah. Selain itu, konon seorang anak yang
dididik sejak kecil akan hidup bahagia dan puas atau bahagia di masa
tuanya.

Menurut petunjuk Muhammad At-Tihami, kedua orang tua harus


mengajarkan kepada anaknya tentang qana'ah, tata cara makan dan minum,
cara berpakaian, dan arti kalimat "Laa Ilaaha Illallah”. Mereka juga harus
mengajari mereka untuk tidak meludah di masjid, tidak mengusap hidung
di masjid, tidak meludah dengan mendekati orang lain dan cara duduk
mereka, tidak meniru ucapan, tidak mengambil tempat orang lain, tidak
meniru dan berbohong.104

102
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (Cairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 289
103
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 160
104
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 161
128

Orang tua harus mengajarkan anaknya untuk tidak bergaul dengan


teman yang memiliki akhlak yang buruk karena sesungguhnya sumber dari
setiap keburukan adalah awal dari keburukan dan orang tua tidak
memisahkan dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan karena
sesungguhnya perempuan adalah saudara dalam urusan hukum. Oleh karena
itu, segala sesuatu yang di anjurkan oleh Syara’ harus disampaikan kepada
sang anak, maknanya agar diteguhkan dalam hatinya seperti meneguhkan
sebuah ukiran di sebuah batu. Sebaliknya, segala sesuatu yang dicela oleh
syara’ dan kebiasaan untuk berhati-hati darinya sehingga merasa takut
melakukan hal itu.

Ulama Fiqh sepakat bahwa orang tua pada prinsipnya memiliki


kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Hal ini karena
menelantarkan anak-anak ketika mereka masih kecil dan belum mumayyiz
dapat berdampak negatif bagi mereka dan masa depan mereka, bahkan
dapat membahayakan jiwa mereka. Oleh karena itu, anak-anak ini perlu
dididik dan dirawat dengan baik.

Orang tua berkewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya


sebagai bagian dari tanggung jawab kepada mereka. Kewajiban ini
bukanlah akibat dari kekuasaan orang tua melainkan lebih kepada
landasannya. Orang tua berhak mendisiplinkan dan mengoreksi anak-
anaknya; mereka dapat memberikan perintah kepada anak-anaknya, dan
anak tersebut harus mengikuti perintah tersebut. Fakta bahwa orang tua
bertanggung jawab untuk menegakkan hak-hak anak-anak mereka
dicontohkan oleh kewajiban yang harus dipenuhi orang tua kepada mereka.

Sebagaimana dapat dilihat dari uraian di atas, orang tua


berkewajiban mendidik anaknya, baik melalui homeschooling atau
pendidikan di rumah, schooling atau pendidikan di sekolah, maupun
pesantren, hingga perguruan tinggi. Ini adalah hak anak yang harus
dilindungi semaksimal mungkin. Di rumah, aspek pendidikan yang paling
penting bagi anak adalah mendidik mereka dan membiasakan diri berdoa
kepada mereka. sebagaimana difirmankan Allah dalam ayat 132 Q.S. Thaha
(20).

               

Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat


dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat
(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (QS. Thaha: 132).
Muhammad At-Tihami juga mengatakan bahwa orang tua mempelai
wanita berhak untuk mengajari anaknya bagaimana menjadi pribadi yang
baik dan bagaimana bergaul dengan suaminya. Adapun menjadikan bumi
129

untuknya, maka dibuatkan untukmu seperti langit dan tentang


dijadikankannya tempat tidur, demikian pula dia dibuatkan untukmu
sebagai tempat tidur dan tentang dibuatkan budak wanita untuknya, maka
dia dijadikan untukmu sebagai seorang budak dan tentang dia yang patuh,
maka pada saat itu sebagai penurut atau sebagai dari petunjuk atau nasehat
ini.105

Memang, saat seorang wanita gembira atau bahagia, dia tertawa


terbahak-bahak, dan saat dia sedih, dia menangis dengan keras. Dalam
kitab Syarah Nazham Ibnu 'Imad, Syekh Syarif Al-Husni mengatakan
bahwa ketika Nabi Adam bertemu dengan Siti Hawa dan melihatnya, dia
berbicara dengan bahasa yang tidak dapat dia mengerti karena dia bahagia,
dan terlihat seperti tawa yang jelek.

Menikahkanlah seorang anak ketika mereka sudah cukup umur Pada


kelayakanya dalam menikah, terserah orang tua dan wali khususnya, dan
pemerintah pada umumnya, untuk mencarikan pendamping bagi anak
perempuan atau gadis. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an sebagai
berikut ini;

             

     

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara


kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”
(QS. An-Nur: 32).

Tentu tidak akan ada wanita yang berjuang sendiri untuk mencari
pasangan hidup jika hal ini dilakukan. Selain itu, Allah SWT akan
membalas jasa orang tua yang telah bekerja keras membesarkan, merawat,
dan mendidik anaknya dengan sabar bahkan setelah mereka menikah, yaitu
berupa surga. Menurut Auf bin Malik RA, Rasulullah SAW pernah
bersabda: "Anak-anak itu akan menjadi tabir baginya dari neraka jika dia
memiliki tiga anak perempuan yang dia nafkahi dengan baik sampai mereka
menikah atau mati” Hadist riwayat Al-Baihaqi.

Dari uraian di atas, bahwasanya orang tua atau wali dari anak
terkhususnya anak perempuan wajib didiknya hingga ia menikah. Adapun
setelah menikah diterangkan di dalam kitab ini bahwa orang tua wajib
mengajari anak perempuannya mengenai kebaikan dan tatakrama bergaul

105
Muhammad At-Tihami, Quratul Uyun, h. 78
130

dengan suaminya. Seorang istri yang baik harus mengetahui tugasnya di


dalam rumah tangga, salah satunya adalah membantu suami dalam urusan
rumah agar terciptanya rumah tangga yang harmonis.

B. Relevansi Materi Pendidikan Pra dan Pasca Nikah dalam Kitab Qurratul
Uyun terhadap Isu-isu Pernikahan Kontemporer
Dalam pernikahan, terdapat beberapa isu-isu tertentu yang perlu dibahas
bahkan dicarikan solusi yang terbaik untuk penyelesaiannya. Isu pernikahan
selalu menjadi topik yang hangat dalam konteks kontemporer karena
pernikahan memiliki dampak sosial, budaya, agama, dan legal yang luas.
Beberapa alasan mengapa isu pernikahan terus diperbincangkan adalah
disebabkan oleh perubahan sosial, kesetaraan gender, perubahan peran gender,
budaya populer dan media sosial, perceraian dan masalah perkawinan. Semua
faktor ini berkontribusi terhadap ketertarikan dan perhatian publik terhadap isu
pernikahan dalam konteks kontemporer. Isu pernikahan terus berkembang
seiring dengan perubahan sosial, budaya, dan nilai-nilai dalam masyarakat
modern.

Menarik membahas isu-isu terkait pernikahan yang kemudian dihubungkan


dengan pembahasan-pembahasan serupa yang ada di dalam kitab-kitab klasik.
Kitab klasik tetap relevan dengan masa sekarang karena mereka menyajikan
tema, nilai-nilai, dan pemikiran universal yang masih berlaku dalam kehidupan
manusia. Dengan menggunakan teori horizon yang diusung oleh gadamer,
setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kerelevanan tersebut cukup
signifikan di antaranya pemahaman manusia; kitab klasik sering kali menyentuh
isu-isu yang fundamental mengenai manusia dan kemanusiaan. Mereka
membahas perjalanan emosional, konflik moral, ambisi, cinta, kesedihan, dan
kegembiraan manusia yang tetap relevan hingga saat ini. Kitab klasik membantu
dalam memahami diri sendiri, manusia lain, dan kompleksitas kehidupan
manusia secara lebih mendalam. Kemudian sejarah dan budaya, relevansi tema
universal, dan warisan budaya yang bernilai. Meskipun kitab klasik sering kali
ditulis pada zaman yang berbeda, mereka tetap relevan karena mereka
mengajarkan nilai-nilai, mengangkat isu-isu universal, dan memberikan
perspektif yang berharga terhadap kondisi manusia. Salah satu kitab klasik yang
penulis bahas dalam penelitian ini yaitu kitab Qurratul ‘Uyun karya Muhammad
at-Tihami yang ia tulis sekitar tahun 1884 Masehi di Maroko.

Pada abad ke-18, Maroko adalah sebuah kerajaan di Afrika Utara dengan
sistem politik yang didasarkan pada monarki absolut. Beberapa ciri dan kondisi
yang dapat digambarkan tentang negara Maroko pada periode tersebut di
antaranya; Kesultanan Maroko, Pada tahun 1880, Sultan Maroko saat itu adalah
Sultan Moulay Hassan I, yang memerintah dari tahun 1873 hingga 1894.
Kekuasaan Sultan sangat dominan dan otoritasnya meliputi politik, agama, dan
kehidupan sehari-hari rakyat Maroko. Selanjutnya sekitar abad ke-19, Maroko
menjadi target kolonisasi oleh negara-negara Eropa, terutama Spanyol dan
131

Prancis. Pada tahun 1880, kedua negara tersebut telah memperluas pengaruh
mereka di beberapa wilayah Maroko, meskipun proses kolonisasi belum
sepenuhnya selesai. Wilayah-wilayah tertentu di Maroko diperintah oleh
penguasa lokal yang tunduk pada kekuasaan Spanyol atau Prancis. Selain
intervensi Eropa, Maroko juga mengalami persaingan internal antara suku-suku
dan penguasa lokal yang berusaha memperluas kekuasaan mereka di wilayah
tertentu. Persaingan ini sering kali memicu konflik dan pertempuran antara
kelompok-kelompok tersebut, menciptakan situasi politik yang kompleks di
negara tersebut.

Dalam hal hukum keluarga Islam, mereka masih menggunakan mazhab


Maliki. Tetapi, dikarenakan pengaruh yang besar dari hukum Spanyol dan
Perancis serta hukum lokal di sisi yang lain, maka kedua hukum tersebut sedikit
mempengaruhi hukum keluarga Islam. Ketika ikatan dari kolonialisme terlepas
dari Negara tersebut, sistem hukum keluarga dikodifikasi sesuai dengan kondisi
sistem hukum Islam. Di antara beberapa kasus yang berkaitan dengan Islam,
misalnya seperti poligami serta hak waris serta kasus-kasus yang sampai
sekarang masih sering dibahas seperti perwalian, hak asuh, perempuan yang
bekerja, dan sejenisnya.

Setidaknya menurut penulis, kitab ini ditulis menyesuaikan konteks saat


itu. Di samping masa kolonialisme yang mencekam Negara dengan sistem-
sistem hukumnya yang cukup jauh dari hukum Islam. at-Tihami berusaha untuk
memberikan panduan praktis dan nasihat mengenai pernikahan, termasuk etika
pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta kiat-kiat untuk menjaga
keharmonisan dalam rumah tangga. Walaupun pada saat itu sistem-sistem
kolonial masih cukup berpengaruh di masyarakat, at-Tihami tetap mencoba
untuk memberikan edukasi terkait bagaimana tinjauan Islam terkait membangun
rumah tangga yang harmonis dan melahirkan keturunan-keturunan baik yang
merdeka, berilmu, beradab serta merdeka. Isu Pernikahan merupakan salah satu
aspek yang penting dalam hukum keluarga. Pernikahan adalah institusi hukum
yang mengatur ikatan sah antara dua individu yang diakui secara hukum sebagai
suami dan istri. Hukum keluarga mengatur persyaratan, prosedur, dan efek
hukum dari pernikahan, termasuk persyaratan usia, keabsahan pernikahan,
proses pernikahan, hak dan tanggung jawab pasangan suami istri, pembagian
harta bersama, hak asuh anak, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan
kehidupan keluarga. Pentingnya hukum keluarga dalam mengatur pernikahan
adalah untuk melindungi hak-hak individu, memastikan keadilan dalam
hubungan keluarga, dan menciptakan kerangka hukum yang memberikan
kepastian hukum bagi pasangan suami istri dan keluarga mereka.

Berdasarkan konteks zaman tersebut, pengarang kitab sepertinya berusaha


untuk menyesuaikan isinya agar tetap relevan dengan keadaan dan masalah yang
dihadapi oleh pembaca pada saat itu hingga hari ini. Dikarenakan kitab yang
tidak memperhatikan konteks zaman dapat kehilangan daya tarik dan
manfaatnya karena tidak mencerminkan realitas dan tantangan yang dihadapi
132

oleh masyarakat pada masa-masa tertentu. Berikut kerelevanan materi-materi


yang terkandung dalam kitab tersebut jika dihubungkan dengan isu-isu
pernikahan kekinian yaitu:

1. Pernikahan Poligami
Poligami adalah praktik memiliki lebih dari satu pasangan atau pasangan
hidup secara bersamaan. Hubungan poligami telah ada dalam sejarah manusia
sejak zaman kuno dan masih ada dalam beberapa masyarakat di dunia saat ini.

Dalam melihat poligami, posisi wanita patut dipertimbangkan, pada masa


pra-Islam misalnya, wanita boleh diperjual-belikan, dan yang sudah berumah
tangga sepenuhnya menjadi milik suami dan mutlak harus tunduk di bawah
kekuasaan suami. Mereka tidak memiliki hak sipil, bahkan hak warispun tidak
dipunyai, yang ada justru merekalah yang diwariskan. Perempuan menjadi
kebutuhan syahwat dan kemewahan bagi laki-laki. Sebelum menikah wanita
berada di bawah kekuasaan ayahnya, dan ketika menikah beralih kepada
kekuasaan laki-laki. Kekuasaan itu mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya, dan membunuh. Konsekuwensi dari ini poligami adalah hal yang
lumrah, dan tidak ada batasannya.106

Jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, umat terdahulu telah


mempraktikkan sistem poligami.107 Poligami dilakukan oleh orang-orang yang
perkasa atau yang memiliki kekuasaan, seperti para raja atau para panglima
perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan bentuk keperkasaannya seseorang.108

Dikalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk perkawinan poligami


lazim dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri tidak menyebutkan
batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki begitu juga
jumlah selirnya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama memberikan
penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak.109

Setelah Islam datang, poligami dibatasi dan tersusun dalam aturannya


sendiri. Namun, bagaimanapun budaya patriarki masih melekat pada
kebudayaan Arab, dan menghapus seluruhnya adalah sesuatu yang sulit. Di sisi
lain Islam juga mengatur hubungan hak dan kewajiban suami-istri, yang tidak
ditemukan dalam tradisi sebelum Islam. Ada beberapa hadis yang menjelaskan
tentang kewajiban suami-suami atas istri mereka, meski istri tetap masih dalam

106
Al-Hamid al-Husaini, Baitun Nubuwwah: Rumah Tangga Nabi Muhammad
(Bandung: Yayasan al-Hamidiy, 1997), h. 14.
107
Supardi Mursalim, Menolak Poligami (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), h.
17
108
Abdurrahman Husen, Hitam Putih poligami (Depok: Fakultas Ekonnomi UI,
2007), h. 2
109
Supardi Mursalin, Menolak Poligami, h. 18
133

taraf pemuas bagi laki-laki. Tapi apa yang dilakukan Islam ini mengindikasikan
sebuah proses untuk keluar dari jerat-jerat bias gender pra-Islam.\

Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai


alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks
laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar
tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelacuran yang jelas-jelas
diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar
suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari
jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku
adil.

Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-
hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya
hanya tiga maka baginya haram menikah dengan empat orang. Jika ia hanya
sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga
orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua
orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.

Syarat-syarat berlaku adil tersebut, ditemukan di dalam dua ayat poligami


yaitu surat An-Nisa: 3 dan surat An-Nisa: 129 yang berbunyi sebagai berikut:

                

             

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. An-Nisa: 3).

Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai
berikut:

               

        

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan
134

perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya


Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 129)
Dalam hal ini, banyak tokoh-tokoh kontemporer yang memberikan
komentar terkait poligami salah satunya adalah Muhammad Rasyid Ridha
memberikan komentar, bahwa jawab Al-Syarth dalam ayat di atas keharusan
berlaku adil terhadap wanita serta larangan berbuat tidak adil terhadap mereka,
merupakan sesuatu yang harus dihindari sebagaimana kewajiban menghindari
berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim, karena keduanya dapat merusak
tatanan kehidupan dan akan dimurkai oleh Allah SWT.110

Karena itu, An-Nisa’ (4): 3 bagi Quraish hanya berbicara tentang kebolehan
poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilakukan saat
amat diperlukan dengan syarat yang tidak ringan. Sebagai tambahan,
pembahasan poligami dalam Al-Quran, menurut Quraish, hendaknya tidak
ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut
pandang pengaturan hukum. Dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.111

Dalam kitab ini, meskipun at-Tihami tidak memberikan penjelasan yang


begitu mendetail terkait dengan poligami dan unsur-unsurnya. Akan tetapi,
apabila disesuaikan dengan menggunakan teori dialogis Gadamer, kata-kata
“memberi nafkah yang adil kepada para istri”, dapat diartikan bahwa bagi suami
yang memiliki istri lebih dari satu disyaratkan untuk adil dan setara dalam
memperlakukan istri-istri yang dimiliki. Seorang suami harus mampu
memberikan perlakuan yang adil dan setara terhadap semua istri dalam hal
waktu, kasih sayang, perhatian, nafkah, tempat tinggal, dan hak-hak lainnya.
Jika seorang suami tidak dapat memenuhi syarat keadilan ini, maka dianjurkan
agar ia membatasi diri hanya memiliki satu istri. Penting untuk dicatat bahwa
sementara poligami diizinkan dalam Islam, agama juga menekankan pentingnya
perlakuan adil dan pemberian hak-hak yang setara kepada semua istri yang
dimiliki. Poligami seharusnya tidak digunakan sebagai sarana penindasan atau
memanipulasi perempuan, tetapi harus dilakukan dengan tanggung jawab dan
niat baik untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan keluarga.

Jika melihat pada masa di saat kitab ini ditulis dan ditinjau berdasarkan
teori horizon historisitas, sebagaimana Gadamer menekankan bahwa setiap
pemahaman dilakukan dalam konteks sejarah dan budaya tertentu. Ia mengklaim
bahwa pemahaman manusia tidak dapat dipisahkan dari pengalaman sejarah dan
budaya yang mempengaruhi pemahaman seseorang. Gadamer juga menyatakan
bahwa dalam interpretasi, ada suatu penyatuan atau perpaduan (fusion) antara
horizon pemahaman seseorang sebagai pembaca atau penafsir dengan horizon
penulis atau konteks asal teks tersebut. Maka sekitar abad ke-18, at-Tihami

110
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar Al-Ma'arif, tt), h. 347
111
M.Quraish Shihab, Tafsir Maudhui ata Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), h. 199
135

hidup di Negara Maroko yang Maroko masih berada di bawah pemerintahan


Kesultanan Maroko, yang pada saat itu mengalami perubahan politik, sosial, dan
budaya yang kompleks bahkan terkait dengan kondisi perempuan.

Pada abad ke-18, Maroko masih diwarnai oleh tradisi dan budaya yang
kuat. Perempuan umumnya terikat pada peran-peran tradisional yang membatasi
akses mereka ke pendidikan dan peluang ekonomi. Masyarakat Maroko pada
masa itu cenderung menganut nilai-nilai patriarki, di mana laki-laki memiliki
kontrol dan dominasi yang lebih besar dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini
memungkinkan munculnya praktik-praktik poligami yang sewenang-wenang dan
terkesan menindas perempuan. Perempuan pada saat itu umumnya diharapkan
untuk menjadi ibu dan istri yang patuh, dengan peran utama mereka adalah
menjaga rumah tangga dan keluarga. Praktik poligami juga umum terjadi, di
mana beberapa pria memiliki beberapa istri. Poligami sering kali menciptakan
dinamika kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam
perkawinan. Praktik-praktik tersebut tentu memberikan pengaruh yang cukup
besar bagi masyarakat yang hidup pada saat itu, sebab itu cukup brilian at-
Tihami menulis suatu kitab yang berhubungan dengan pedoman berumah
tangga, dan ia juga memasukan materi terkait “suami-suami yang memiliki istri
lebih dari satu”, dan hal itu dikenal dengan praktik poligami. At-Tihami
berusaha menggambarkan bahwa praktik poligami pada masa itu sudah ada, dan
ia berusaha memberikan edukasi melalui tulisan bahwa walaupun perempuan
memiliki kewajiban yang harus patuh dan taat kepada suami, suami tetap harus
menjalankan seluruh kewajibannya dan menunaikan hak-hak istri, meskipun
memiliki istri lebih dari satu. Suami wajib berlaku adil dalam hal nafkah, tempat
tinggal, serta hak-hak yang lain.

Poligami sudah ada sejak zaman kuno dan terus ada dalam berbagai budaya
dan agama di berbagai periode waktu. Kitab ini dapat memberikan solusi terkait
permasalahan poligami dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung
di dalam pembahasannya dulu, kini, hingga mendatang menyesuaikan konteks
masing-masing zaman.

2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


Dalam kitab ini, Muhammad at-Tihami menjelaskan terkait bagaimana
seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya dengan baik, baik dalam
perkataan bahkan perbuatan. Suami dianjurkan untuk memperlakukan istri
dengan penuh kasih sayang, penghormatan, keadilan, dan perhatian. Setiap
hubungan suami-istri unik, dan cara perlakuan yang tepat dapat bervariasi
tergantung pada konteks dan kebutuhan individu. Penting bagi suami untuk
membangun komunikasi yang baik dengan istri, saling mendengarkan, dan
memahami satu sama lain, harapan, dan kebutuhan masing-masing. Dalam
praktiknya, suami dan istri sebaiknya berkomitmen untuk saling memahami,
menghargai, dan bekerja sama dalam membangun hubungan yang sehat dan
harmonis.\
136

Di samping adanya hak dan kewajiban suami istri, semua hal tidak selalu
berjalan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Terdapat beberapa tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh pasangan
suami istri, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga, baik itu secara
verbal atau non verbal.

Berdasarkan pengertiannya, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)


adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota
dalam rumah tangga misalnya suami terhadap istri yang berakibat menyakiti
secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan
kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan
antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya
kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk
mengendalikan istri.112

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, menurut Undang-undang


No 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 macam, yaitu; Kekerasan fisik, Kekerasan
emosional/psikologis, kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
Kekerasan ekonomi.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan


hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain
menegaskan bahwa: Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan, Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sebenarnya merupakan
unsur yang berat dalam tindak pidana.113

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah yang kompleks


dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berinteraksi. Berikut adalah
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya KDRT:

a. Ketidaksetaraan gender: Ketidaksetaraan gender adalah faktor penting


yang dapat menyebabkan KDRT. Ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan
antara pria dan perempuan, norma sosial yang merendahkan perempuan,
dan ketidaksamaan dalam hak-hak sosial dan ekonomi dapat menciptakan
lingkungan di mana KDRT dapat terjadi.
b. Siklus kekerasan: Beberapa kasus KDRT terjadi dalam pola siklus
kekerasan di mana fase ketegangan, ledakan kekerasan, dan fase
penenangan berulang. Ketika tekanan meningkat, terjadilah ledakan

112
Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di
Lombok Timur NTB) (Malang: Ahlimedia Press, 2021),
113
Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di
Lombok Timur NTB) (Malang: Ahlimedia Press, 2021),
137

kekerasan yang dapat mengakibatkan luka fisik, emosional, atau seksual


pada korban. Fase penenangan sering kali diikuti oleh penyesalan dan
harapan perubahan, yang membuat korban terjebak dalam pola yang
berulang.
c. Masalah pengendalian diri dan kemarahan: Masalah pengendalian diri dan
kemarahan yang tidak sehat pada pelaku dapat memicu perilaku kekerasan
dalam rumah tangga. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi,
kecemasan, tekanan, atau konflik dengan cara yang sehat dapat
menyebabkan pelaku menggunakan kekerasan sebagai bentuk ekspresi atau
pemecahan masalah.
d. Riwayat kekerasan masa lalu: Seseorang yang telah menjadi korban
kekerasan dalam masa lalu mungkin lebih rentan untuk menjadi pelaku
KDRT di kemudian hari. Trauma dan pengalaman buruk tersebut dapat
mempengaruhi cara individu berinteraksi dalam hubungan, mengubah pola
perilaku, dan menghasilkan siklus kekerasan yang terus berlanjut.
e. Faktor sosial dan ekonomi: Faktor sosial seperti kemiskinan, tingkat
pendidikan rendah, kurangnya akses ke layanan kesehatan dan dukungan
sosial, serta kondisi lingkungan yang tidak aman dapat menjadi faktor
risiko dalam terjadinya KDRT. Ketidakstabilan ekonomi dan tekanan sosial
juga dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam rumah tangga.

Penting untuk diingat bahwa setiap kasus KDRT, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya dapat berbeda dalam setiap situasi. Solusi untuk
mengatasi KDRT melibatkan upaya yang holistik, termasuk pendidikan,
pemberdayaan perempuan, perubahan sosial, dukungan korban, dan
penghukuman yang tegas terhadap pelaku.

Apabila merujuk kepada kitab ini, Muhammad at-Tihami dengan jelas


memaparkan bahwa suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama
yang hal tersebut harus dijalankan secara baik untuk menciptakan rumah
tangga yang baik pula. Seorang istri harus berbuat taat kepada suaminya
selama suami tersebut tidak memerintahkannya kepada perbuatan-perbuatan
yang dilarang agama. Sebagaimana hadis yang berbunyi:

ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ "لَ ْو أََم ْر‬:‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل‬
‫ت أَ َح ًدا أَ ْن‬ َ ‫ت َر ُس ْو ُل للا‬ُ ‫ َس ْع‬:ُ‫ال اَبُ ْو بَ ْك ٍر َرض َي للاُ َعْنه‬ َ ‫فَ َق‬
."‫ت ال ْرأَةَ أَ ْن تَ ْس ُج َد لَِزْوِج َها‬
ُ ‫يَ ْس ُج َد ِلَ َح ٍد لََم ْر‬
َ
Artinya: “Maka Abu Bakar ra berkata saya mendengar Rasulullah saw
bersanda : jika aku diperintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang
lain, karena aku pasti perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya”
(H.R. Sunan Ad-Darimi, Juz 2, Bab An-Nahyu an yasjuda li ahadin, No.
1505, Hlm. 918).

Secara teks, banyak yang berpendapat bahwa hadis tersebut mengandung


unsur merendahkan perempuan, namun apabila melihat pada asbâb al-wurûd-nya
138

maka tidak demikian. Hadis tersebut secara makna menjelaskan bahwa betapa
seorang istri harus taat kepada suami sebagai bentuk penghormatan dan terima
kasih atas kerja keras dan usaha yang selama ini suami lakukan dalam menopang
dan menjadi pemimpin dalam rumah tangganya.

Jika melihat paparan yang dijelaskan oleh Muhammad at-Tihami dan hadis
yang dikutipnya. Ini bisa disesuaikan dengan pendekatan dialogis dalam teori
hermeneutika Gadamer dalam artian bagaimana seorang pembaca dalam
berdialog secara terbuka dengan teks yang ada. Penulis memahami bahwa secara
tekstual dalam konteks Islam, tidak ada perintah atau ajaran dalam agama yang
menyatakan bahwa istri harus sujud kepada suami. Islam mengajarkan
kesetaraan dan saling penghormatan antara suami dan istri sebagai mitra dalam
rumah tangga. Setiap individu dalam Islam diperintahkan untuk sujud hanya
kepada Allah sebagai bentuk ibadah dan penghormatan kepada-Nya.

Dalam hubungan suami-istri, Islam mengajarkan adanya tanggung jawab


dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Suami diperintahkan untuk
memperlakukan istri dengan kebaikan, kasih sayang, penghormatan, dan
keadilan. Begitu pula, istri juga diperintahkan untuk memperlakukan suami
dengan penuh kasih sayang dan menghormati perannya sebagai kepala keluarga.
Pada beberapa tradisi atau budaya yang tidak terkait langsung dengan ajaran
agama Islam, mungkin ada praktik atau tindakan yang secara budaya atau
tradisional menekankan penghormatan tertentu kepada suami. Namun, penting
untuk membedakan antara praktik budaya dengan ajaran agama Islam itu
sendiri.

Dalam konteks hubungan suami-istri dalam Islam, kesetaraan, saling


penghormatan, dan saling berkomunikasi adalah nilai-nilai yang dijunjung
tinggi. Kedua belah pihak diharapkan untuk saling menghargai dan bekerja sama
untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia.

Jika berpatokan kembali pada teori Prasangka dan pemahaman pra-reflektif


Gadamer, disadari bahwa setiap pembaca atau penafsir membawa pengalaman,
nilai-nilai, dan asumsi yang dapat mempengaruhi cara mereka memahami teks
atau fenomena tersebut. Kesadaran akan prasangka tersebut membantu pembaca
untuk bersikap terbuka dan kritis terhadap makna yang muncul dalam dialog.

Menyesuaikan teori tersebut, penting untuk dicatat bahwa ketaatan istri


kepada suami dalam Islam tidak berarti ketaatan tanpa syarat atau absolut. Ada
beberapa hal yang perlu dipahami terkait dengan konsep ketaatan istri. Ketaatan
istri kepada suami harus selalu dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Allah
dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Tidak ada ketaatan yang diperintahkan
jika suami memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Allah atau
menyalahi prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Selanjutnya disebabkan
kepemimpinan dan tanggung jawab suami; Islam memberikan tanggung jawab
kepemimpinan kepada suami dalam rumah tangga. Suami diharapkan untuk
139

bertanggung jawab dalam memimpin keluarga, melindungi, memberi nafkah,


dan menjaga keberlanjutan kehidupan keluarga secara adil dan baik.

Ketaatan istri tidak boleh diartikan sebagai bentuk dominasi atau


penindasan. Islam mengajarkan pentingnya hubungan suami-istri yang
didasarkan pada kasih sayang, penghormatan, dan saling membantu. Ketaatan
istri kepada suami seharusnya bersifat sukarela dan dilakukan atas dasar cinta,
bukan karena paksaan atau ketakutan. Meskipun ada tanggung jawab
kepemimpinan suami, Islam juga menegaskan kesetaraan dan saling
penghormatan antara suami dan istri. Suami dan istri memiliki hak dan
tanggung jawab masing-masing dalam rumah tangga. Hubungan yang sehat dan
harmonis membutuhkan saling pengertian, komunikasi, dan kerjasama antara
suami dan istri.114

Penting untuk dipahami bahwa konsep ketaatan istri dalam Islam bukanlah
untuk mengekang atau merendahkan perempuan, tetapi untuk menciptakan
kerangka dan keseimbangan dalam hubungan suami-istri. Tujuannya adalah
untuk membangun keluarga yang harmonis, saling mendukung, dan mencapai
kedamaian dalam ikatan pernikahan.

Menurut penulis, KDRT yang praktiknya sudah ada dari zaman Nabi saw
hingga saat ini, tidak dapat dibenarkan meskipun ada alasan-alasan tertentu.
Tidak ada pembenaran atas setiap kekerasan yang dilakukan oleh seseorang
karena masih ada solusi lain dalam penyelesaian masalah baik itu masalah kecil
atau besar.

Apabila melihat pada teori pemahaman historis kontekstual Gadamer,


paparan yang dijelaskan oleh Muhammad at-Tihami serta hadis yang dikutipnya
masih relevan jika diaplikasikan pada zaman sekarang. Melirik masa lalu, masa
dimana Nabi saw masih hidup, ia melarang keras praktik kekerasan dalam
bentuk apapun. Nabi Muhammad saw. secara jelas melarang setiap bentuk
kekerasan dalam rumah tangga. Beliau mengajarkan bahwa suami dan istri harus
saling mencintai, menghormati, dan memperlakukan dengan lemah lembut.
Dalam ajaran Islam, perlakuan baik terhadap pasangan hidup, termasuk larangan
kekerasan dalam rumah tangga, adalah prinsip yang sangat ditekankan. Ini
menunjukkan pentingnya membangun hubungan yang harmonis, saling
menghormati, dan saling mendukung di dalam rumah tangga.

Di zaman sekarang hal tersebut masih sama, penting bagi suami untuk
tetap menghormati perempuan. Konsep penghormatan dan kesetaraan gender
berlaku dalam semua konteks dan era, termasuk dalam hubungan suami-istri.
Dalam banyak negara dan masyarakat, telah terjadi pergeseran sosial yang
signifikan dalam pandangan tentang peran gender dan hubungan antara suami
114
Sifa Mulya Nurani, “Relasi Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perspektif
Hukum Islam”, Al-Syakhsiyyah: Journal of Law and Family Studies , Vol. 3, No. 1 (2021),
h. 105.
140

dan istri. Semakin banyak perempuan yang memperoleh pendidikan, terlibat


dalam karier profesional, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Oleh karena
itu, penting bagi suami untuk menghormati perempuan sebagai mitra yang
setara dalam hubungan.

Penghormatan dalam hubungan suami istri mencakup beberapa aspek;


menghargai pendapat dan keputusan, menghormati privasi dan batasan pribadi,
membantu dalam tanggung jawab rumah tangga, serta menghormati hak-hak
dan kebebasan istri. hubungan suami-istri yang sehat didasarkan pada saling
penghormatan, kesetaraan, dan komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.
Penghormatan bukan hanya kewajiban suami terhadap istri, tetapi juga
kewajiban istri terhadap suami. Kedua belah pihak harus saling menghormati
dan bekerja sama untuk membangun hubungan yang harmonis dan saling
mendukung. Apabila hal tersebut dijalankan secara baik, maka tidak akan
pernah ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk apapun.

3. Wanita Karir
Dalam kitab Qurratul ‘Uyun, Muhammad at-Tihami memaparkan bahwa
seorang istri dilarang mentaati suami dalam perkara yang diharamkan. Sesuai
dengan teori dialogis Gadamer, ini bisa dipahami bahwa dalam kebanyakan
agama, ketaatan terhadap pasangan hidup dianggap penting, tetapi tidak
mutlak atau tanpa batas. Dalam situasi di mana suami memerintahkan sesuatu
yang dianggap haram atau melanggar prinsip moral, banyak pendekatan agama
dan hukum mengakui bahwa ketaatan kepada suami tidak harus melanggar
prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi. Misalnya, dalam Islam, ada prinsip
ketaatan kepada suami, tetapi ketaatan tersebut tidak berlaku jika suami
memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Dalam
konteks tersebut, istri memiliki hak dan kewajiban untuk menolak perintah
yang dianggap melanggar ajaran agama.

Hal yang sama dapat ditemukan dalam perspektif agama dan hukum
lainnya. Prinsip-prinsip moral dan etika sering kali dianggap lebih penting
daripada ketaatan kepada pasangan dalam hal-hal yang diharamkan atau
melanggar prinsip-prinsip moral yang jelas. Namun, penting untuk mencatat
bahwa pandangan dan praktik dapat bervariasi di antara individu, budaya, dan
interpretasi agama. Ketika menghadapi dilema moral atau agama yang
kompleks, penting untuk berkonsultasi dengan pemimpin agama, penasihat
keluarga, atau figur otoritatif lainnya untuk mendapatkan pandangan yang
lebih spesifik sesuai dengan konteks dan keyakinan pribadi individu.

Lebih lanjut, at-Tihami menjelaskan bahwa seorang suami wajib


memerintahkan keluarganya untuk berbuat kebaikan dan melarang segala
bentuk perbuatan maksiat. Seorang suami juga bertanggung jawab terhadap
isteri dan anak-anaknya dalam perkara ibadah kepada Allah swt. Sekarang
yang menjadi pertanyaan adalah, apakah seorang suami berhak memberikan
141

izin kepada istri apabila ingin melakukan hal yang baik? Terutama dalam
kerjasama menunjang rumah tangga?

At-Tihami menjelaskan kembali, bahwa seorang suami tidak berhak


melarang istrinya untuk melakukan hal-hal yang baik selama itu tidak
bertentangan dengan ajaran agama. Jika berkaca pada teori dialogis gadamer,
kata “hal-hal yang baik” tersebut memiliki beragam pemahaman. Bisa itu
menyangkut perkara ibadah maupun berupa materi seperti “bekerja dan
berkarir”.

At-Tihami mengutip sebuah hadis yang berbunyi:

ِ ‫ وخي ر مت‬,‫ "الدنْيا متاع‬:‫ال‬


ُ‫اع َها ال ْرأَة‬ َ َ‫ ق‬,‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ‫َن رسو َل للا‬َّ ‫َع ْن َعْب ِد للاِ بْ ِن َع ْمُرْو أ‬
ََ ُ ْ َ َ ََ َ َ ْ ُ َ
َ ِ ‫اعها الرأَةُ تُعِْي زوجها علَى ال‬ ِ ِ ٍ ِ َّ
."ِ‫َخَرة‬ َ َ َ ْ َ ُ ْ َْ َ َ‫ َوم ْن َخ ِْي َمت‬,‫ "الدنْيَا َمتَاع‬:‫ َوِِف ِرَويَة‬."ُ‫الصاْلَة‬
Artinya: “Dan Nabi bersabda: dunia adalah perhiasan dan sebaik-
bainya perhiasan dunia adalah wanita shalehah”, dalam riwayat lain: “dunia
adalah perhiasan dan sebaik-bainya perhiasan dunia adalah wanita yang
membantu suaminya atas akhirat” (H.R. Shahih Muslim, Juz 2, Bab
sebaik-baiknya wanita adalah wanita shalihah, No. 1467, Hlm. 1090).

Pada zaman Nabi Muhammad saw, beberapa istri Nabi terlibat dalam
pekerjaan atau memiliki pekerjaan sebelum menikah. Contohnya adalah
Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi, yang merupakan seorang
pengusaha sukses sebelum menikahi Nabi Muhammad. Khadijah memiliki
bisnis perdagangan yang makmur dan memiliki karyawan yang bekerja
untuknya. Selain Khadijah, beberapa istri Nabi juga terlibat dalam berbagai
aktivitas seperti pertanian, pembuatan pakaian, dan perdagangan. Mereka tidak
terbatas pada peran domestik saja, tetapi juga berpartisipasi dalam ekonomi
dan berkontribusi pada masyarakat. Namun, penting untuk diingat bahwa
praktik dan peran perempuan pada zaman Nabi sangat dipengaruhi oleh konteks
sosial dan budaya pada masa itu. Pekerjaan perempuan pada saat itu umumnya
tidak dilakukan di luar rumah atau di tempat-tempat yang terbuka. Mereka
lebih cenderung terlibat dalam pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah atau
dalam lingkungan yang lebih terbatas.

Peran perempuan dalam bekerja pada masa itu mungkin berbeda dari
konsep modern tentang karir atau pekerjaan di luar rumah. Namun, penting
untuk diingat bahwa perempuan pada masa itu memiliki peran penting dalam
ekonomi dan masyarakat, dan beberapa istri Nabi memiliki keahlian dan
kemampuan yang mereka gunakan untuk berkontribusi pada kehidupan mereka
dan komunitas Muslim.

Sesuai dengan teori Horizon-Kontekstual Gadamer, suatu teks dapat


diinterpretasikan menyesuaikan dengan zamannya. Berbeda dengan konteks di
142

masa lalu, abad ke-21 memperlihatkan berbagai perubahan yang drastis di


semua wilayah masyarakat Muslim, termasuk wilayah peran perempuan.
Dimulai pada pertengahan tahun 1960, perempuan membawa isu-isu baru
terkait: kesamaan besaran upah dengan laki-laki; dihilangkannya diskriminasi
atas dasar seks, ras, agama, warna kulit, serta asal daerah; dibebaskannya
perempuan untuk melakukan aktifitas di luar rumah tidak hanya dituntut
menjadi be a good wifes and mothers; serta kesamaan perempuan dengan laki-
laki dalam bidang pendidikan, pekerjaan, politik (kesempatan untuk dipilih),
bahkan di dalam rumah tangga. Pada saat itu perempuan tidak hanya
mengkritisi supremasi laki-laki di masyarakat, tetapi perempuan mulai
bereksperimen dengan tubuhnya.115

Harus diakui bahwa peranan kaum wanita dalam abad saat ini amatlah
menonjol. Banyak posisi yang tadinya didominasi kaum pria sekarang sudah
mulai beralih dan diduduki oleh kaum wanita. Hal ini tidak hanya terjadi di
negara-negara sangat maju, tapi juga di negara-negara industri baru, dan
bahkan di negara-negara berkembang. Perempuan memiliki peran dan fungsi
yang sangat strategis dalam keluarga dan masyarakat.116

Di banyak negara perempuan telah mampu menduduki jabatan publik.


Tidak hanya itu, di dalam rumah tangga pekerjaan-pekerjaan domestik telah
dikerjakan bersama-sama antara suami dan istri di banyak negara. Oleh
karenanya perempuan bisa berbagi peran dengan kaum laki-laki, termasuk
dalam keluarga. Bagaimana permasalahan nafkah, bahkan ditanggung oleh
kedua belah pihak, dan tidak hanya ada pada suami. Jikapun istri tidak bekerja,
mereka dengan suka rela mengurus urusan keluarga dan anaknya, bahkan tanpa
dibayar sekalipun.

Kaum wanita di era globalisasi sekarang ini terutama yang berpendidikan


menuntut status yang sejajar dengan pria. Namun sebagian masyarakat
menyatakan secara tegas bahwa wanita diberikan status yang lebih rendah.
Secara normatif al-Qur'an memihak kesetaraan status bagi pria dan wanita,
namun secara konteksrual al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan
tertentu kaum pria atas kaum wanita.

Alasan karena kaum pria memberi nafkah kepada isteri bukanlah


merupakan perbedaan hakiki melainkan hanya bersifat fungsional saja. Artinya,
jika ada isteri yang secara ekonomi dapat mandiri baik dari harta waris atau
dari penghasilan sendiri dan memberikan penghasilannya untuk kepentingan

115
Yuliana Riana P dan Hedi Pudjo Santoso, “Faktor-faktor yang Berpengaruh
terhadap Pandangan Postfeminisme melalui Pemaknaan atas Representasi Perempuan
dengan Sexual Appearance di dalam Iklan” dalam Beyond Borders: Communication
Modernity and History (Jakarta: STIKOM, 2010), h. 50.
116
Syakwan Lubis “Gerakan Feminisme dalam Era Postmodernisme Abad 21”,
DEMOKRASI, Vol. V, No. 1, Th. 2006.
143

keluarganya tidak berarti kelebihan dan keunggulan suami menjadi berkurang


karena ia tidak memiliki keunggulan dalam bidang ekonomi.

Situasi yang demikian sepenuhnya terwujud karena berbagai faktor yang


menyebabkan terjadinya kesenjangan antara pria dan wanita dalam
mewujudkan kemitrasejajaran wanita di keluarga. Dalam kehidupan yang nyata
khususnya dalam kehidupan berumah tangga, seorang suami dan seorang isteri
menjadi mitra sejajar yang harmonis jika potensi daya keduanya dapat
dimanfaatkan secara maksimal dengan penuh keikhlasan.117

Bagi istri yang aktif dalam organisasi atau menjadi pegawai, ada beberapa
hal yang harus diperhatikan, antara lain: a. Bila hendak pergi rapat, menghadiri
pertemuan atau pergi ke tempat kerja, harus diselesaikan dahulu urusan-urusan
rumah tangganya, b. Yang harus dihindari oleh istri yang aktif adalah jangan
sampai urusan-urusan melayani suami dan anak-anaknya diserahkan begitu saja
kepada pembantu, atau malahan diserahkan kepada suaminya, d. Istri
hendaknya menghindari tingkah-laku yang seolah-olah hendak mengeluarkan
diri dari perlindungan suami dengan cara mencari pekerjaan di luar rumah
tangga.118

Pendapat dan pandangan mengenai peran perempuan dalam bekerja telah


berubah seiring dengan perkembangan masyarakat dan kesetaraan gender.
Bahkan dalam situasi di mana istri bekerja, keseimbangan dan koordinasi
antara pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga sering kali menjadi
pertimbangan penting untuk mencapai keselarasan dalam kehidupan pribadi
dan keluarga. Diskusi terbuka, saling pengertian, dan kompromi antara
pasangan dalam hal ini dapat membantu menentukan bagaimana peran dan
kontribusi masing-masing anggota keluarga dapat diintegrasikan dengan baik.

Dalam Islam, ada prinsip-prinsip umum yang berhubungan dengan peran


dan tanggung jawab perempuan dalam masyarakat. Islam mengakui hak-hak
dasar perempuan, termasuk hak untuk bekerja, memperoleh pendidikan, dan
berkontribusi pada masyarakat. Al-Qur'an menggarisbawahi pentingnya
pemahaman dan pendidikan bagi semua individu, tanpa membedakan gender.

Dalam banyak kasus, seorang wanita dalam Islam diperbolehkan untuk


bekerja di bidang-bidang yang sesuai dengan keahliannya, selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama. Namun, terdapat
beberapa pandangan yang berbeda mengenai batasan dan kondisi yang mungkin
berlaku tergantung pada interpretasi agama dan budaya.

117
Wati Rahmi, “Konsep Islam Terhadap Kemitrasejahteraan Wanita di Keluarga”,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. xxxi, 2001, h. 23
118
Abu Bakar Al-Asy'ari, Tugas Wanita Dalam Islam (Jakarta: Media Dakwah,
1991), h. 48
144

Beberapa pandangan memandang bahwa perempuan seharusnya


memberikan prioritas pada peran sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, dan
bekerja di luar rumah sebaiknya dalam batasan yang tidak mengganggu tugas-
tugas domestik dan peran dalam keluarga. Pandangan ini lebih mengedepankan
nilai-nilai keluarga dan peran tradisional perempuan dalam mendidik anak-anak
dan merawat keluarga.

Namun, terdapat pula pandangan yang lebih inklusif yang menekankan


kesetaraan gender dan mengakui hak perempuan untuk memilih karir, mencapai
pendidikan yang tinggi, dan berpartisipasi dalam kehidupan profesional dan
sosial. Pandangan ini menganggap bahwa perempuan memiliki potensi dan
kemampuan yang sama seperti laki-laki untuk berkontribusi dalam dunia kerja.

Dalam prakteknya, banyak wanita Muslim yang sukses sebagai profesional,


akademisi, dokter, pengusaha, dan dalam berbagai bidang lainnya. Mereka
mencapai prestasi dalam karir mereka dengan memadukan tanggung jawab
keluarga dan pekerjaan dengan cara yang seimbang.

Dalam kesimpulannya, pandangan agama Islam terhadap wanita karir


mencerminkan keragaman interpretasi dan konteks budaya yang berbeda. Ada
ruang untuk interpretasi dan pemahaman yang beragam, yang memungkinkan
perempuan Muslim untuk mengembangkan karir mereka sesuai dengan
keyakinan, nilai-nilai, dan aspirasi pribadi mereka, selama tidak melanggar
prinsip-prinsip agama yang mendasar.

Materi yang dipaparkan oleh at-Tihami dalam kitab ini dapat dijadikan
referensi dan relevan dengan masa sekarang ini, bahwa perempuan yang sudah
menikah diperbolehkan untuk berkarir dengan syarat ia sudah mendiskusikan
hal tersebut dengan suaminya.

C. Implikasi Materi Pra dan Pasca Nikah dalam Kitab Qurratul Uyun terhadap
Pernikahan
Implikasi adalah suatu konsekuensi (akibat langsung) dari hasil penemuan
suatu penelitian ilmiah. Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan di
dalam kitab Qurratul Uyun karya Muhammad At-Tihami bin Madani bahwa,
materi-materi pendidikan pra dan pasca Nikah yang ada di dalam kitab ini
nampak lengkap dan penting untuk calon pasangan yang ingin menikah.
Implikasi pendidikan pra dan pasca nikah merujuk pada konsekuensi atau
akibat yang mungkin muncul dari suatu hubungan antara dua orang sebelum
dan sesudah mereka menikah secara resmi. Amir Syarifuddin menjelaskan
bahwa melaksanakan pendidikan sebelum melangsungkan pernikahan akan
menghasilkan keuntungan tertentu misalnya dapat memperoleh keluarga yang
harmonis, dengan mencapai hal tersebut manusia dapat membangun relasi dan
sosial yang baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar.
Pembiasaan mendidik diri sendiri memang harus dilakukan sejak dini yang hal
145

itu harus dimulai dari diri sendiri, kemudian meluas dalam ranah keluarga.
Karena dalam hal rumah tangga, harus dibangun kesadaran akan tanggung
jawab khususnya dalam aspek ibadah dan agama agar tidak terjerumus ke
dalam hal-hal yang tidak diinginkan.119

Pendidikan pra dan pasca nikah mengacu pada pelatihan atau bimbingan
yang dilakukan oleh lembaga tertentu terhadap pasangan yang ingin
melangsungkan pernikahan. Bimbingan pra dan pasca nikah bertujuan untuk
membantu calon pasangan dalam mempersiapkan diri secara fisik, emosional,
dan psikologis untuk kehidupan pernikahan yang sehat dan bahagia. Terdapat
beberapa implikasi atau manfaat yang dapat diharapkan dari pendidikan pra dan
pasca nikah merujuk kepada kitab Qurratul Uyun, sebagai berikut:

1. Implikasi Materi Pendidikan Pranikah

Adapun Implikasi materi pendidikan pranikah dapat diuraikan sebagai


berikut:

a. Pemahaman yang lebih baik tentang pasangan: pendidikan pranikah


dapat membantu pasangan untuk lebih memahami satu sama lain
secara mendalam, termasuk nilai-nilai, tujuan hidup, harapan, dan
harapan masing-masing. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang
pasangan, mereka dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan
kokoh.
b. Keterampilan komunikasi yang lebih baik: pendidikan pranikah sering
kali melibatkan latihan komunikasi yang memperkuat keterampilan
komunikasi pasangan. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan jujur,
terbuka, dan empati sangat penting dalam menghadapi masalah dan
tantangan dalam pernikahan.
c. Penanganan konflik yang sehat: pasangan diajarkan cara mengenali dan
menangani konflik dengan cara yang sehat dan konstruktif. Ini
membantu mencegah konflik yang destruktif dan memungkinkan
pasangan untuk mencari solusi bersama dalam situasi sulit.
d. Persiapan menghadapi peran baru: pernikahan membawa perubahan
peran dalam kehidupan setiap individu. Pendidikan pra dan pasca nikah
membantu pasangan mempersiapkan diri untuk menghadapi peran baru
sebagai suami dan istri, serta membantu mereka memahami tanggung
jawab dan kewajiban mereka.
e. Kesadaran tentang tantangan pernikahan: pendidikan pranikah
membantu mengungkapkan berbagai tantangan yang mungkin dihadapi
oleh pasangan dalam pernikahan mereka. Ini dapat mencakup masalah
keuangan, perbedaan budaya, atau masalah keluarga. Dengan

119
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 63.
146

menyadari tantangan ini, pasangan dapat lebih siap dan memiliki


persiapan yang lebih baik dalam menghadapinya.
f. Persiapan mengenai keidupan seksual: pendidikan pranikah sering
mencakup informasi tentang kehidupan seksual dalam pernikahan. Ini
membantu pasangan memahami pentingnya keintiman dan membuka
komunikasi yang jujur tentang kebutuhan dan keinginan masing-
masing.
g. Menguatkan ikatan emosional: melalui pernikahan pranikah, pasangan
dapat mengalami momen-momen yang mendalam dan intim bersama,
yang dapat menguatkan ikatan emosional di antara mereka.
h. Membuka ruang untuk diskusi penting: bimbingan pranikah
memberikan kesempatan bagi pasangan untuk membahas masalah atau
pertanyaan yang mungkin belum mereka ajukan sebelumnya. Ini
membuka ruang untuk diskusi penting yang dapat membantu mereka
dalam pengambilan keputusan dan perencanaan masa depan.
i. Menyadari pentingnya komitmen: pendidikan pranikah menekankan
pentingnya komitmen dalam pernikahan dan membantu pasangan
untuk memahami arti penting dari janji pernikahan yang diucapkan.

Implikasi pendidikan pranikah dapat bervariasi tergantung pada program


bimbingan yang diikuti dan penerimaan pasangan terhadap bimbingan tersebut.
Namun, secara keseluruhan pendidikan pranikah dapat menjadi investasi yang
berharga dalam membantu calon pasangan membangun fondasi yang kuat
untuk pernikahan yang bahagia dan baik.

2. Implikasi Materi Pendidikan Pasca Nikah

Implikasi pendidikan pasca nikah mengacu pada panduan, dukungan, dan


arahan yang diberikan kepada pasangan suami istri setelah pernikahan mereka.
Pendidikan atau bimbingan ini bertujuan untuk membantu pasangan mengatasi
tantangan dan kesulitan yang mungkin muncul dalam pernikahan mereka, serta
memperkuat ikatan emosional dan keintiman di antara mereka. Berikut adalah
beberapa implikasi atau manfaat dari bimbingan pasca nikah:

a. Penyesuaian peran: setelah menikah, pasangan diharuskan belajar


beradaptasi dengan peran baru sebagai suami dan istri. Pendidikan
pasca nikah membantu mereka memahami dan menghormati peran
masing-masing serta menjalankan tugas-tugas yang berkaitan dengan
peran tersebut.
b. Komunikasi yang efektif: komunikasi yang baik adalah kunci dalam
setiap hubungan yang sehat. Pendidikan pasca nikah membantu
pasangan untuk belajar berkomunikasi secara efektif, terbuka, dan
jujur, sehingga dapat mengatasi masalah dan menyampaikan kebutuhan
mereka dengan baik.
c. Penanganan konflik: tidak ada hubungan yang bebas dari konflik.
Pendidikan pasca nikah membekali pasangan dengan keterampilan
147

untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat


dan membangun.
d. Pengelolaan keuangan bersama: pendidikan pasca nikah juga dapat
membantu pasangan untuk mengelola keuangan bersama dengan
bijaksana, menciptakan rencana anggaran, dan menghindari masalah
finansial yang dapat menyebabkan ketegangan dalam pernikahan.
e. Kehidupan seksual yang baik: pendidikan ini juga dapat membantu
pasangan dalam memahami kebutuhan dan keinginan seksual masing-
masing, serta mengatasi masalah yang mungkin muncul dalam
kehidupan seksual mereka.
f. Perencanaan keluarga: apabila pasangan berencana untuk memiliki
anak, pendidikan pasca nikah dapat membantu mereka mempersiapkan
diri secara fisik, emosional, dan finansial untuk menjadi orang tua yang
tangguh.
g. Meningkatkan keintiman dan rasa kasih sayang: pendidikan pasca
nikah berfokus pada memperkuat ikatan emosional antara suami dan
istri, sehingga meningkatkan keintiman, rasa saling percaya, dan kasih
sayang di antara mereka.
h. Pembagian tugas dan tanggung jawab: pendidikan ini juga membantu
pasangan untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam pernikahan
dengan adil, berdasarkan kekuatan dan minat masing-masing.

Pasangan memiliki situasi dan tantangan yang berbeda-beda. Oleh


karena itu, pendidikan pasca nikah harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
keinginan pasangan secara individual. Apabila pasangan mengalami
kesulitan yang serius, terutama dalam hal kesehatan mental atau fisik,
sebaiknya mereka mencari bimbingan dan dukungan dari profesional
terlatih, seperti psikolog atau konselor perkawinan.
148
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembahasan di dalam kitab Qurratul Uyun bi Syarhi Ibn Yamun karya


Syaikh Muhammad At-Tihami tentang pendidikan pra dan pasca nikah
kebanyakan berisi tentang Hadist Nabi dan Nazdam para ulama-ulama.
Materi pendidikan pra nikah yang di bahas di dalam kitab Qurratul Uyun
meliputi; pengetahuan seputar pernikahan (hukum dan rukun menikah,
anjuran dan keutamaan menikah, manfaat dan bahaya menikah, kriteria
memilih istri, dan hukum talak), seputar walimatul Urusy atau resepsi
pernikahan (anjuran mengadakan dan menghadiri undangan walimatul
urusy), hak dan kewajiban suami istri (hak dan kewajiban suami terhadap
istri, hak dan kewajiban istri terhadap suami), adab dan tatakrama dalam
melakukan hubungan suami dan istri (waktu yang dianjurkan dan dihindari,
doa yang dianjurkan, tatakrama dalam berhubungan suami istri, posisi yang
dianjurkan dan yang dihindari, tatakrama sebelum tidur). Sedangkan materi
pendidikan pasca nikah meliputi; upaya untuk memiliki dan mendidik anak
(makanan yang harus dihindari oleh istri, cara untuk memiliki anak laki-
laki dan perempuan, kaharusan menjaga kandungan, kewajiban orang tua
terhadap anak).
2. Materi di dalam kitab qurratul uyun masih relevan untuk menjawab isu-isu
permasalah kontemporer, diantaranya: pernikahan poligami, di dalam kitab
ini dibahas mengenai pembagian nafkah dengan adil kepada istri-istrinya.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), di dalam kitab ini dibahas
mengenai hak dan kewajiban suami istri, suami diwajibkan berbuat baik
kepada istrinya dan juga sebalinya. Wanita karir, di dalam kitab ini dibahas
mengenai diperbolehkannya seorang istri bekerja selama pekerjaan itu baik
dan tidak merendahkan martabat seorang wanita.
3. Materi-materi pendidikan pra dan pasca nikah dalam kitab Qurratul Uyun
memberikan implikasi yang cukup penting terhadap pasangan yang ingin
atau sudah menikah. dalam aspek pranikah, materi tersebut dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pasangan, keterampilan
komunikasi yang lebih baik, penanganan konflik yang sehat, persiapan
menghadapi peran baru, kesadaran tentang tantangan pernikahan,
persiapan mengenai kehidupan seksual, menguatkan ikatan emosional,
membuka ruang untuk diskusi penting, menyadari pentingnya komitmen.
sedangkan implikasi materi pendidikan pasca nikah mengacu pada
penyesuaian peran setelah menikah, komunikasi yang efektif, penanganan
konflik, pengelolaan keuangan bersama, kehidupan seksual yang baik,
perencanaan keluarga, meningkatkan keintiman dan rasa kasih sayang,
pembagian tugas dan tanggung jawab.

149
150

B. Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan,


disebabkan keterbatasan penulis dalam upaya meneliti. Kajian ini dirasa masih
sangat jauh dari kata sempurna, materi pendidikan pra dan pasca nikah di dalam
kitab Qurratul Uyun ini mengajarkan kepada kita untuk terus berusaha dalam
menjalani kehidupan rumah tangga, agar tercipta tujuan pernikahan itu sendiri
yaitu keluarga yang Sakinah (Harmonis). Dan untuk menggali lebih jauh
terhadap sumber-sumber asalnya, dengan begitu akan ditemukan hasil-hasil
yang baru terhadap penelitian ini.

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan masih sangat banyak
kekurangan dan keterbatasan, namun setelah menyelesaikan penelitian ini
penulis banyak menemukan hal-hal yang positif dan bermanfaat, di harapkan
dapat menjadikan sebuah motivasi kepada pembaca dan pemikir, baik
akademisi maupun masyarakat pada umumnya untuk meneliti terkait
pendidikan pra dan pasca nikah, agar menghasilkan penelitian yang lebih
objektif. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca demi kesempurnaan penelitian ini dan penelitian-penelitian
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan, (IAIN Walisongo Pres:
Aditya Media, 1992).
Adhim, M. F., Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta: Gema Insani, 2002).
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Juz 8, (Beirut:
Dar Al-Tibah, tt).
Al-Asy'ari, Abu Bakar, Tugas Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Media
Dakwah, 1991).
Al-A'ti, Abdul, Mahmudah, Keluarga Muslim, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984).
Al-Hayali, Kamal, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005).
al-Husaini, Al-Hamid, Baitun Nubuwwah: Rumah Tangga Nabi Muhammad,
(Bandung: Yayasan al-Hamidiy, 1997).
Al-Mashri, Syaikh Mahmud, Bekal Pernikahan, Terj. Imam Firdaus,
(Jakarta: Qisthi Press, 2010).
Al-Munawi, Abdur Rauf, Faidhul Qadir, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1416).
al-Qusyairi, Muslim bin al-Hijaj Abu al-‘Isin, Sahih Muslim, juz 2.
Al-Syarakhsi, Syamsuddin, Al-Mabsuth, Vol. 11, (Beirut: Dar Al-Ma'rufah,
1989).
Al-Syaukani, Muhammad, Fath Al-Qadir, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, tt).
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syarah Shahih Al-Bukhari, Jilid 6,
(Jakarta: Darus Sunnah, 2010).
Aminuddin Dan Abidin, Slamet, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia,
1999).
Anhari, Maskhur, Usaha-usaha Untuk Kepastian Hukum dalam Perkawinan,
(Surabaya: Diantama, 2006).
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani press, 1995).
An-Nawawi, Abi Zakariya, Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, Vol. 20,
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1984).
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Ma'rifk ah,
1995).
Anshori, Abdul Ghofur, Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum
Positif , (Yogyakarta: UII Press, 2011).
Anwar, Moch, Fiqh Islam: Muamalah, ,Munakahat, Faraid dan Jinayah,
(Bandung: Al-Ma'arif, 1980).
Arifin, H.M., Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan Penyuluhan Islam
dan di luar Sekolah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
As-Shan'ani, Muhammad bin Ismail, Attanwir Syarah Al-Jami' Al-Shagir,
Jilid 2, (Riyadh: Darus Salam, 2011).

151
152

Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nailul Authar, Jilid 6,


(Mesir: Matbaah Al-Halaly, 1952).
Asy-Syaukani, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006).
At-Tahir, Abdul Hafid bin Muhammad, Mu'jam Asy-Syuyuh, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003).
At-Tihami, Muhammad, Quratul Uyun bi Syarhi Nadzm Ibnu Yamun,
(Beirut: Dar Ibnu Hajm, 2004).
At-Tihami, Muhammad, Qurrah Al-Uyun bi Syarh Nazm Ibn Yamun,
(Kediri: Ats-Tsuroyya, tt).
at-Tuwaijri, Muhammad bin Ibrahim, Ringkasan Fiqih Islam, Islam
House.com, 2012.
Awaliyah, Robiah, “Nilai-nilai Pernikahan Ideal Perspektif Hadis dalam
Film Twivortiare”, Jurnal Riset Agama, Volume 2, Nomor 2, Agustus
2022.
Aziz, Abdul, Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum
Islam, (Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar,
2012).
Badan Pusat Statistik (BPS), 25 Februari 2022,
https://databoks.katadata.co.id, diakses pada tanggal 25 Juni 2022.
Bakri, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993).
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Lu'lu' wal Marjam, (Semarang: Pustaka
Nun, 2012).
BP 4 (Badan Penasihat, Pembinaan, Dan Pelestarian Provinsi Jawa Timur)
Tuntutan Praktis Rumah Tangga Bahagia, (Surabaya: BP 4, 2003).
Chalik, Abdul, Hermeneutika Untuk Kitab Suci, (Surabaya: tp, 2010).
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam
Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2005).
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
Darmaji, Agus, Pergeseran Hermeneutika Ontologis Melalui Bahasa dalam
Pemikiran Hans Georg Gadamer, (Jakarta: Tesis Universitas
Indonesia, 1999).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1998).
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
Deputi, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
Eoh, O. S, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996).
Fatwa MUI, tentang perkawinan beda agama, 4/Munas VII/MUI/8, 2005
Fatwa MUI, Tentang Perkawinan Campur, Munas II, 1980.
153

Fauzi, D. A., Perceraian Siapa Takut…, (Jakarta: Restu Agung, 2006).


Fibrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi
Kasus di Lombok Timur NTB), (Malang: Ahlimedia Press, 2021).
Gadamer, Philosophical Hermeneutics, (London: University of California
Press, 1976).
Gordin, Jean, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer,
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2012).
Hamdayama, Jumanta, Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara,
2005).
Handayani, Dyah Ayu Sri, “Peran Pendidikan Pranikah Dalam Membangun
Kesiapan Menikah Dan Membentuk Keluarga Sakinah (Studi Kasus Di
Lembaga Klinik Nikah “KLIK” Cabang Ponorogo)”, Tesis,
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2018.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2003).
Husen, Abdurrahman, Hitam Putih poligami, (Depok: Fakultas Ekonnomi
UI, 2007).
Ibrahim, Anis, Al-Mu'jam Al-Wasith, (Mesir: Dar Al-Ma'arif, 1972).
Ilyas, Asnelly, Mendambakan Anak Sholeh: Prinsip-Prinsip Pendidikan
Anak dalam Islam, (Bandung: Al-Bayan, 1996).
Irianto, Koes, Praktik dalam Kesehatan Reproduksi (Bandung: Alfabeta,
2015).
Jamaluddin, Buku Ajar Hukum Perkawinan, (Lhokseumawe: Unimal Press,
2016).
Kamal, Abu Malik, Sahih Fikih Sunnah, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007).
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008).
Khoiruddin, Al-A’lam Qamusy Tarajim, (Beirut: Dar Al-Ilm Al-Malayin,
2002).
Lubis, Syakwan, “Gerakan Feminisme dalam Era Postmodernisme Abad
21”, DEMOKRASI, Vol. V, No. 1, Th. 2006.
Lutfi, Ahmad, Homoseks Dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Surakarta:
Fakultas Syari'ah IAIN Surakarta, 2016).
Maryati, Fungsi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
Masrudi, Imam, Bingkisan Pernikahan, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006).
Maunah, Binti, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009).
Mubarak, Saiful Islam, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung: Syamil,
2007).
Mursalim,Supardi, Menolak Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007).
Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 2007).
154

Muttaqin, Khairul, “Menyoal Keabsahan Hadis-Hadis Keintiman; Studi


Analisis Kitab Qurratul Uyun Karya Syaikh Muhammad At-Tihami
bin Madani”, El-Afkar, Vol. 9, No. 2, 2020.
Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).
Nikmawati, Religiusitas pada Keluarga Sakinah: Studi Kasus pada Peserta
Pemilihan Keluarga Sakinah Tingkat Nasional, (Tangerang Selatan:
Young Progressive Muslim, 2018).
Nisa, Khairun, “Pendidikan Parenting Pranikah: Upaya Perbaikan Generasi
Berkualitas”, Lentera Pendidikan, Vol. 19, No. 2, 2016.
Nurani, Sifa Mulya, “Relasi Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam
Perspektif Hukum Islam”, Al-Syakhsiyyah: Journal of Law and Family
Studies, Vol. 3, No. 1 (2021).
Palmer, Richard, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evasnston: Northwestern
University Press, 1969).
Partanto, Pius. A, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Arloka, 1994).
Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pranikah, Kementerian Agama RI
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam 2011.
www.bimasislam.kemenag.go.id.
Prahara, Erwin Yudi, Materi Pendidikan Agama Islam, (Ponorogo: STAIN
Press, 2009).
Purwaharsanto pr, Perkawinan Campuran Antar Agama Menurut UU RI No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita
Media Cetak, (Yogyakarta: tnp, 1992).
Qudamah, Abi Muhammad Abdullah Ibn, Al-Mughni, Vol. 10, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1984).
Qudamah, Ibnu, Mukhtasar Minhajul Qashidin, (Jakarta: Pustaka Kautsar,
1997).
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian, (Banjarmasin: Antasari Press,
2011).
Rahmat, Abdul, Pengantar Pendidikan: Teori, Konsep, dan Aplikasi,
(Bandung: MQS Publishing, 2010).
Rahmi, Wati, “Konsep Islam Terhadap Kemitrasejahteraan Wanita di
Keluarga”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. XXXI, 2001.
Ramulyo, Muhammad Idris, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 1999).
Riana, Yuliana dan Santoso, Hedi Pudjo, “Faktor-faktor yang Berpengaruh
terhadap Pandangan Postfeminisme melalui Pemaknaan atas
Representasi Perempuan dengan Sexual Appearance di dalam Iklan”
dalam Beyond Borders: Communication Modernity and History,
(Jakarta: STIKOM, 2010).
155

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar Al-Ma'arif, tt).


Romlah, Kriteria Memilih Pasangan Hidup Perspektif Kitab Qurratul Uyun
(Studi Kasus di Desa Menganti Kesugihan Cilacap), Skripsi, Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2019.
Rozikin, Mokhamad Rohma, LGBT Dalam Tinjauan Fikih, (Malang: UB
Press, 2017).
Sa'abah, Marzuki Umar, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas
Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jilid III, (Yogyakarta: Cakrawala Publishing,
t.t).
Sahrani, Sohari Dan Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Salam, Abdus, Ithaf Al-Mutali, (Beirut: Dar Al-Garb Al-Islami, 1997).
Shadily, Hasan, Ensiklopedi indonesia, (jakarta: sinar baru van houve, 1984).
Shihab, M. Quraish, Tafsir Maudhui ata Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996).
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Misbah, Juz 2, (Ciputat: Lentera
Hati, 2005).
Sholeh, Asrorun Niam, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga,
(Jakarta: Graha Paramuda, 2008).
Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1999).
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
(Yogyakarta: Liberty, 2007).
Suardi, M., Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi, (Jakarta: PT. Indeks,
2010).
Subagyo, Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011).
Sudaryono, Teori dan Aplikasi dalam Statistik, (Yogyakarta: CV Andi
Offset, 2014).
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013).
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Press, 1989).
Syaltut, Mahmud, Al-Fatawa, (Cairo: Dar al-Qalam, 1966).
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an,
(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009).
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana,
2006).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2003).
156

Taupik, Opik dan al-Mansyur, Ali Khosim, Fiqih 4 Madzhab Kajian Fiqih-
Ushul Fiqih, (Bandung: tt, 2014).
Triyanto, Teguh, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014).
Ubaedillah, A., “Pendidikan Pranikah Perspektif Al-Qur’an”, Disertasi,
Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, (Pascasarjana, Institut
PTIQ Jakarta, 2021).
Ulaisy, Muhammad, Minah Al-Jalil Syarh Mukhtashar Sayyid Kholil, Vol.
19, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989).
Ulfa, Maria, Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana
Untuk Mahasiswa Bidan, (Perpustakaan Nasional: Katalog dalam
Terbitan (KDT), 2013).
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian
Agama RI, 2011).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 28 Ayat 1, 1945
Undang-undang No. 2 Tahun 1985 tentang tujuan pendidikan di Indonesia.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-undang Republik Indonesia, pasal 6 ayat 1 Peraturan Perkawinan
1974
Undang-Undang Republik Indonesia, Tentang Hak Asasi Manusia, Nomor
39, 1999.
Uwaidah, Khamil Muhammad, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2017).
Wardian, “Desain Pendidikan Pra Nikah Menuju Terbentuknya Keluarga
Sakinah”, Al-Falah, Vol. 17, No. 32, 2017.
Widyastuti, Y., Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Fitramaya, 2009).
Wirasubrata, Burhan & Nuryakien, Kundan D., Menggugat Sejarah
Perempuan: Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam,
Cet.1, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2001).
Yasin, A. Fatah, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN
MALANG PRESS, 2008).
Yusdani, Menuju Fiqih Keluarga Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2011).
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi'i: Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta: Al-Mahira, 2008).
Lampiran-lampiran

Lampiran 1. Cover kitab Qurratul Uyun


Lampiran 2. Daftar isi kitab Qurratul Uyun
Lampiran 3. Notulen Seminar Hasil
Lampiran 4. Notulen Seminar Promosi
Lampiran 5. Cek Plagiasi Tesis
Lampiran 6. Surat Tugas Komprehensif
Lampiran 7. Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 8. Bukti Sertifikat Prestasi
Lampiran 9. Bukti Buku Bimbingan Tesis
Lampiran 10. Tentang Penulis

TENTANG PENULIS

Muhammad Ridho Alfansuri, lahir pada tanggal 08 Juni 1997, di


kampung Larangan Ds. Harjatani Kec. Kramatwatu Kab. Serang Banten.
Putra pertama dari pasangan H. Maliki, S.E., M.Si., dan Hj. Robanah.
Menempuh Pendidikan Dasar di SD Kedaleman I Cilegon-Banten pada pagi
sampai siang hari, dan Sekolah Madrasah di MI Jauharotul An-Naqiyah Kp.
Larangan pada siang hingga sore hari. Dan pada malam harinya ngaji Al-
Qur’an dalam bimbingan kakek KH. Abdul Ham bin Shodif Al-Muarif
Larangan. Setelah menyelesaikan sekolah dasar dan madrasah di kampung
halaman, melanjutkan belajar Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah
Aliyah (MA) di Pondok Pesantren Modern Daar El-Qolam Gintung, yang
didirikan oleh KH. Ahmad Rifa’I Arief selama enam tahun.
Setelah tamat dari pondok pesantren, lalu melanjutkan pendidikan
tinggi Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengambil jurusan Tafsir
Hadis di Fakultas Ushuluddin pada tahun 2015. Di sela-sela waktu kuliah
Ridho juga meneruskan menjadi mahasantri di pondok pesantren Ummul
Qura’ Pondok Cabe pada tahun 2015 dan Baitul Qura’ Ciputat Timur pada
tahun 2016. Dan pada tahun 2021 melanjutkan pendidikan Strata 2 nya di
Universitas yang sama dengan mengambil jurusan Magister Pendidikan
Agama Islam (MPAI) Fak. Tarbiyah dan Keguruan.
Pada masa kuliah Ridho aktif dalam bidang organisasi, baik intra
maupun ektra kampus, seperti; Pengurus Departemen Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (KOMFUF)
periode 2016-2017, Pengurus Departemen Dewan Eksekutif Mahasiswa
(DEMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2018-2019, Ketua Bidang
PAO Lintasan Kalam (LinK) Ciputat periode 2018-2020, Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Keluarga Mahasiswa Cilegon (KMC) Jakarta periode 2018-2021,
Pengurus Departemen Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat
periode 2020-2022.

Anda mungkin juga menyukai