Anda di halaman 1dari 4

BAB III

KASUS DALAM BERITA MENGENAI PENGGUNAAN YANG TIDAK


BERLABEL BAHASA INDONESIA DALAM MAKANAN ATAU
MINUMAN IMPOR YANG BEREDAR DI INDONESIA

A. Kasus Biskuit Babi, GINSI Desak Labelisasi Bahasa Indonesia


Suatu produk impor untuk masuk ke dalam wilayah Indonesia
harus memenuhi persyaratan-persyaratan standar yang telah ditetapkan,
akan tetapi pelaku usaha dalam memperdagangkan suatu produk
pangannya sering melakukan berbagai cara agar produk pangan impor
yang dijualnya tersebut laku dalam jumlah yang banyak meskipun
terkadang menghalalkan berbagai cara agar konsumen tertarik untuk
membelinya. Salah satu perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku
usaha adalah kecurangan dalam hal memperdagangkan produk pangan
impor yang tidak berlabel bahasa Indonesia, atau masih menggunakan
bahasa asing dalam labelnya. Hal ini terjadi salah satunya di Blitar yang
dimana peredaran makanan impor tidak berlabel bahasa Indonesia, Kepala
Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL) Dinas Kesehatan Kota Blitar Harni Setyorini mengatakan dari
hasil survey intern 3 bulanan, pihaknya menemukan Mie Instan, Biscuit,
Rumput laut kering, Cokelat, Permen dan beraneka jenis makanan ringan
yang di letakkan di rak swalayan dan minimarket yang ada di Kota Blitar.
Selain itu rata-rata produk itu juga tidak mencantumkan label halal,
sehingga selain diduga ilegal produk itu ditakutkan mengandung bahan-
bahan berbahaya yang tidak diperbolehkan dalam olahan pangan yang
boleh beredar di Kota Blitar.

Menurut Harni pihaknya hanya menegur pemilik toko atau


swalayan yang terbukti masih memajang makanan yang berbahaya itu dan
tidak berhak melakukan penyitaan tetapi pihaknya akan melaporkan kasus
ini ke BBPOM Surabaya dan Dinas Kesehatan Jawa Timur serta penyidik
untuk opsi penindakan ke importir. Harni mengaku produk seperti ini
banyak ditemukan di toko dan swalayan di Jalan Ahmad Yani, Jalan
Merdeka, Jalan TGP dan Jalan Mawar Kota Blitar. Harni menambahkan
dari beberapa kasus, produk yang tidak berlabel Bahasa Indonesia

kebanyakan berasal dari Tiongkok.

Gambar 3.1

Serta Sekjen Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI),


Achmad Ridwan Tento mengatakan labelisasi bahasa Indonesia dalam
setiap produk impor di pasar Indonesia harus dijalankan agar para
konsumen mengerti informasi produk tersebut dan para pembeli tidak
dirugikan.

Achmad Ridwan mengatakan, setiap produk yang dijual di


Indonesia wajib mencantumkan keterangan produk tersebut. Harus
dicantumkan produk bila mengandung babi. Menurut Ridwan, setiap
produk yang didaftarkan ke BPOM juga harus produk yang sama yang
akan dijual. Dia melihat sosialisasi pemerintah terkait labelisasi produk
berbahasa Indonesia sudah baik. Namun, pengawasan di lapangan masih
belum terlalu ketat.

Produk-produk halal, kata Ridwan, harus dipisah secara jelas


dengan produk-produk haram. Contohnya, di Malaysia sudah ada terminal
khusus produk halal di pelabuhan dan bandara.

B. Kontroversi Makanan Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia: BPOM


dan Importir Berhadapan

Perdebatan tentang penggunaan label bahasa Indonesia pada


makanan dan minuman impor mencapai titik puncaknya pekan ini, ketika
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan para importir
berhadapan dalam pertemuan penting.

Masalah ini mencuat ketika sejumlah konsumen Indonesia mulai


mengeluhkan ketidakjelasan label pada produk impor. Beberapa label
hanya menggunakan bahasa asing tanpa terjemahan atau informasi
tambahan dalam bahasa Indonesia, yang membuat konsumen kesulitan
memahami kandungan, tanggal kedaluwarsa, atau instruksi penggunaan.

BPOM, yang bertugas memastikan keamanan dan kualitas


makanan serta minuman yang beredar di Indonesia, telah mengeluarkan
peringatan kepada beberapa importir terkait dengan pelanggaran ini.
Mereka berargumen bahwa label yang tidak jelas dapat membahayakan
konsumen dan melanggar peraturan yang mengharuskan semua produk
impor memiliki label bahasa Indonesia yang jelas.

Namun, para importir juga mengutarakan keprihatinan mereka.


Mereka mengklaim bahwa penerjemahan dan produksi label tambahan
dalam bahasa Indonesia dapat menambah biaya produksi, yang akhirnya
akan meningkatkan harga jual produk impor tersebut.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan, telah
mencoba untuk mencari solusi tengah yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumen dan importir. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan
adalah memberikan waktu transisi yang cukup bagi importir untuk
mengadaptasi perubahan ini tanpa meningkatkan harga secara signifikan.

Dalam pertemuan penting tersebut, para pemangku kepentingan


mencapai kesepakatan awal untuk memberikan tenggat waktu yang wajar
bagi importir untuk mematuhi pera turan ini. Kesepakatan ini masih
harus melalui proses regulasi yang lebih lanjut sebelum
diimplementasikan.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan keamanan


bagi konsumen Indonesia dalam memilih produk makanan dan minuman
impor. Sementara konsumen berharap untuk mendapatkan informasi yang
jelas, importir menghadapi tantangan dalam menjaga harga tetap bersaing.
Kedepannya, kerjasama antara semua pihak terlibat diharapkan dapat
menghasilkan solusi yang adil dan memenuhi kepentingan semua pihak.

Berita seperti ini mencerminkan perdebatan yang muncul ketika


hak konsumen dan kepentingan bisnis bertentangan dalam kasus
penggunaan label bahasa dalam makanan dan minuman impor. Hal ini
memerlukan upaya dan kesepakatan yang cermat dari semua pihak terkait
untuk mencari solusi yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai