BERLABEL BAHASA INDONESIA DALAM MAKANAN ATAU MINUMAN IMPOR YANG BEREDAR DI INDONESIA
A. Kasus Biskuit Babi, GINSI Desak Labelisasi Bahasa Indonesia
Suatu produk impor untuk masuk ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan-persyaratan standar yang telah ditetapkan, akan tetapi pelaku usaha dalam memperdagangkan suatu produk pangannya sering melakukan berbagai cara agar produk pangan impor yang dijualnya tersebut laku dalam jumlah yang banyak meskipun terkadang menghalalkan berbagai cara agar konsumen tertarik untuk membelinya. Salah satu perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah kecurangan dalam hal memperdagangkan produk pangan impor yang tidak berlabel bahasa Indonesia, atau masih menggunakan bahasa asing dalam labelnya. Hal ini terjadi salah satunya di Blitar yang dimana peredaran makanan impor tidak berlabel bahasa Indonesia, Kepala Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kota Blitar Harni Setyorini mengatakan dari hasil survey intern 3 bulanan, pihaknya menemukan Mie Instan, Biscuit, Rumput laut kering, Cokelat, Permen dan beraneka jenis makanan ringan yang di letakkan di rak swalayan dan minimarket yang ada di Kota Blitar. Selain itu rata-rata produk itu juga tidak mencantumkan label halal, sehingga selain diduga ilegal produk itu ditakutkan mengandung bahan- bahan berbahaya yang tidak diperbolehkan dalam olahan pangan yang boleh beredar di Kota Blitar.
Menurut Harni pihaknya hanya menegur pemilik toko atau
swalayan yang terbukti masih memajang makanan yang berbahaya itu dan tidak berhak melakukan penyitaan tetapi pihaknya akan melaporkan kasus ini ke BBPOM Surabaya dan Dinas Kesehatan Jawa Timur serta penyidik untuk opsi penindakan ke importir. Harni mengaku produk seperti ini banyak ditemukan di toko dan swalayan di Jalan Ahmad Yani, Jalan Merdeka, Jalan TGP dan Jalan Mawar Kota Blitar. Harni menambahkan dari beberapa kasus, produk yang tidak berlabel Bahasa Indonesia
kebanyakan berasal dari Tiongkok.
Gambar 3.1
Serta Sekjen Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI),
Achmad Ridwan Tento mengatakan labelisasi bahasa Indonesia dalam setiap produk impor di pasar Indonesia harus dijalankan agar para konsumen mengerti informasi produk tersebut dan para pembeli tidak dirugikan.
Achmad Ridwan mengatakan, setiap produk yang dijual di
Indonesia wajib mencantumkan keterangan produk tersebut. Harus dicantumkan produk bila mengandung babi. Menurut Ridwan, setiap produk yang didaftarkan ke BPOM juga harus produk yang sama yang akan dijual. Dia melihat sosialisasi pemerintah terkait labelisasi produk berbahasa Indonesia sudah baik. Namun, pengawasan di lapangan masih belum terlalu ketat.
Produk-produk halal, kata Ridwan, harus dipisah secara jelas
dengan produk-produk haram. Contohnya, di Malaysia sudah ada terminal khusus produk halal di pelabuhan dan bandara.
B. Kontroversi Makanan Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia: BPOM
dan Importir Berhadapan
Perdebatan tentang penggunaan label bahasa Indonesia pada
makanan dan minuman impor mencapai titik puncaknya pekan ini, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan para importir berhadapan dalam pertemuan penting.
Masalah ini mencuat ketika sejumlah konsumen Indonesia mulai
mengeluhkan ketidakjelasan label pada produk impor. Beberapa label hanya menggunakan bahasa asing tanpa terjemahan atau informasi tambahan dalam bahasa Indonesia, yang membuat konsumen kesulitan memahami kandungan, tanggal kedaluwarsa, atau instruksi penggunaan.
BPOM, yang bertugas memastikan keamanan dan kualitas
makanan serta minuman yang beredar di Indonesia, telah mengeluarkan peringatan kepada beberapa importir terkait dengan pelanggaran ini. Mereka berargumen bahwa label yang tidak jelas dapat membahayakan konsumen dan melanggar peraturan yang mengharuskan semua produk impor memiliki label bahasa Indonesia yang jelas.
Namun, para importir juga mengutarakan keprihatinan mereka.
Mereka mengklaim bahwa penerjemahan dan produksi label tambahan dalam bahasa Indonesia dapat menambah biaya produksi, yang akhirnya akan meningkatkan harga jual produk impor tersebut. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan, telah mencoba untuk mencari solusi tengah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan importir. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah memberikan waktu transisi yang cukup bagi importir untuk mengadaptasi perubahan ini tanpa meningkatkan harga secara signifikan.
Dalam pertemuan penting tersebut, para pemangku kepentingan
mencapai kesepakatan awal untuk memberikan tenggat waktu yang wajar bagi importir untuk mematuhi pera turan ini. Kesepakatan ini masih harus melalui proses regulasi yang lebih lanjut sebelum diimplementasikan.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan keamanan
bagi konsumen Indonesia dalam memilih produk makanan dan minuman impor. Sementara konsumen berharap untuk mendapatkan informasi yang jelas, importir menghadapi tantangan dalam menjaga harga tetap bersaing. Kedepannya, kerjasama antara semua pihak terlibat diharapkan dapat menghasilkan solusi yang adil dan memenuhi kepentingan semua pihak.
Berita seperti ini mencerminkan perdebatan yang muncul ketika
hak konsumen dan kepentingan bisnis bertentangan dalam kasus penggunaan label bahasa dalam makanan dan minuman impor. Hal ini memerlukan upaya dan kesepakatan yang cermat dari semua pihak terkait untuk mencari solusi yang tepat.