Dosen Pengampu
Dr. Muliadi, S.T., M.T.
(197408282006041010)
Nama : Jasman
NDM : 2304204010014
Mata Kuliah : Statistika
Prodi : Magister Arsitektur
Kota Banda Aceh, dengan iklim tropisnya yang cenderung panas dan lembap,
memberikan tantangan unik dalam menciptakan kondisi termal yang nyaman di ruang kelas,
terutama pada periode tertentu dalam setahun. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada
pemahaman mendalam tentang bagaimana karakteristik ventilasi dan lingkungan dapat
memengaruhi tingkat kenyamanan termal di ruang kelas kuliah Fakultas Sains dan Teknologi.
Berbagai faktor menjadi perhatian utama dalam penelitian ini, termasuk jenis ventilasi
yang digunakan (ventilasi alami atau buatan), desain bangunan, orientasi kelas, dan kondisi
lingkungan sekitarnya. Keberhasilan dalam menciptakan tingkat kenyamanan termal yang
optimal diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap partisipasi mahasiswa dalam
proses pembelajaran, meningkatkan konsentrasi, dan mengurangi tingkat kelelahan.
Rumusan masalah
1. Bagaimana karakteristik ventilasi di ruang kelas kuliah Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Ar-Raniry Banda Aceh mempengaruhi tingkat kenyamanan termal mahasiswa?
2. Apa pengaruh kondisi lingkungan, seperti iklim tropis Banda Aceh yang cenderung
panas dan lembap, terhadap tingkat kenyamanan termal di ruang kelas kuliah?
Tujuan masalah
Teori penunjang
Curah hujan bervariasi antara 2000 hingga 5000 mm, dengan kecepatan angin rendah,
kadang-kadang kencang saat hujan, semuanya mempengaruhi kenyamanan termal.
Radiasi matahari yang meningkat dapat diatasi dengan strategi pendinginan, dengan
penghawaan diakui sebagai strategi efektif untuk iklim tropis. Namun, masalah muncul
terkait kelembaban tinggi, yang sulit diatasi dengan sistem pasif. Oleh karena itu,
penggunaan sistem mekanis, seperti AC, dianggap tidak dapat dihindarkan.
Semua karakteristik dan permasalahan ini merupakan bagian dari sistem termal
arsitektur kompleks. Keseimbangan termal di ruang kelas perlu diupayakan melalui
strategi penghawaan efektif dan penanganan optimal kelembaban. Rumus
keseimbangan termal di suatu bangunan (𝑄𝑖 + 𝑄𝑠 ± 𝑄𝑐 ± 𝑄𝑣 ± 𝑄𝑚 − 𝑄𝑒 = 0).
Kinerja termal yang baik dalam arsitektur diukur dari kemampuannya menciptakan
kenyamanan bagi penghuninya. Implementasi strategi penghawaan efektif dan
penanganan optimal input panas serta pendinginan dengan evaporasi menjadi kunci
dalam mencapai keseimbangan termal yang memadai di ruang kelas kuliah Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Perpindahan panas melalui pada bangunan terjadi secara konduksi, konveksi, dan radiasi.
Q𝑐 = A. u. (𝑇𝑜 − 𝑇𝑖) (2. 2)
𝑄𝑣 = 0,33. 𝑁. 𝑉𝑜𝑙 . (𝑇𝑜 − 𝑇𝑖) (2. 3)
𝐶𝑣⋅𝑣⋅𝐴
𝑁= 𝑉𝑜𝐿
× 3600 (2. 4)
b. Temperatur udara
Temperatur, tanda panas dalam substansi (Szokolay S. V., 2004), merujuk pada
temperatur bola kering dalam udara. Perbedaan dengan temperatur bola basah, yang
mempertimbangkan kelembaban, menentukan kemungkinan evaporasi. Dalam
ruangan, temperatur udara dipengaruhi perpindahan panas melalui konduksi, konveksi,
dan evaporasi. SNI 6390 tahun 2011 merekomendasikan rentang nyaman di Indonesia,
temperatur bola kering 24 – 27 ºC atau 25,5 ºC ± 1,5º C, dengan kelembaban relatif
60% ± 5%.
c. Kelembaban udara
Kelembaban udara memengaruhi evaporasi tubuh manusia. Pada lingkungan panas,
berkeringat melepaskan panas melalui penguapan air di kulit. Namun, di lingkungan
panas dan lembab, air sulit menguap, menyebabkan kulit lembab dan mengurangi
efektivitas pendinginan. Dalam grafik pschrometry, istilah seperti kelembaban absolut
(humidity ratio) mencerminkan perbandingan berat uap air dengan berat udara kering.
Kelembaban jenuh terjadi saat udara tak bisa menampung lebih banyak uap air. Jumlah
maksimum uap air yang bisa ditampung udara pada suhu tertentu disebut kelembaban
saturasi. Kelembaban relatif adalah perbandingan kelembaban saturasi dengan
kelembaban absolut, diukur dalam persentase.
d. Kecepatan angin
Kecepatan angin mempengaruhi pendinginan tubuh di bangunan, menggeser zona
nyaman pada suhu udara tinggi dengan meningkatkan evaporasi dan menciptakan
sensasi dingin. Dalam penelitian ini, perhitungan angin krusial dalam perpindahan
panas konvektif. Kenyamanan termal diukur dengan kepuasan 80% penghuni, merujuk
pada standar ASHRAE 55:2004. Dalam iklim tropis, penelitian oleh Wong dan Khoo
(2005) menunjukkan rentang suhu udara yang diterima berkisar 27,1 – 29,3°C,
mencerminkan adaptasi penghuni yang memengaruhi toleransi terhadap suhu
melampaui standar ASHRAE 55:2004.
Konfigurasi ruang Barisan ruang tunggal (single row). Tiap Barisan ruang ganda. Tiap ruang hanya
ruang memiliki akses ke ruang luar dari memiliki akses ke ruang luar dari 1 sisi
dua sisi sehingga penghawaan alami dapat sehingga infiltrasi kecil
terjadi.
Komposisi selubung Semakin luas jendela semakin besar Meminimalisir jendela untuk mengurangi
(massiflubang/kaca): potensi penghawaan alami namun diikuti perolehan panas dan infiltrasi (tightly
jendela perolehan panas yang tinggi. Posisi, jenis, sealed).
dan ukuran jendela mempengaruhi laju
penghawaan dalam ruang (Lechner, 2001).
Peneduh Peneduh dapat mencegah panas matahari Peneduh berfungsi mencegah panas masuk
masuk dalam ruang namun dapat dalam ruang (Szokolay S. V., 2004).
mengurangi kecepatan angin dan
distribusinya (Hildebrand, 2012).
Material Material selubung lightweight dengan Material lightweight namun rapat (tightly
massa termal yang rendah. Pada bangunan sealed). Pada bangunan bertingkat rendah,
bertingkat rendah, atap dominan menerima atap dominan menerima panas sehingga
panas sehingga diperlukan strategi tertentu diperlukan strategi tertentu pada atap.
pada atap. (Brager, Borgeson, dan Lee,
2007)
Sumber: Lechner, 2001; Szokolay, 2004; Ling dkk, 2007; Brager dkk, 2007; Hildebrand, 2012
Bentuk dan orientasi bangunan berpengaruh pada penerimaan panas dan kebutuhan
energi. Studi ini menekankan geometri bangunan berupa balok memanjang dengan
aspek rasio sebagai parameter bentuk. Penelitian Ling dkk (2007) menunjukkan bahwa
aspek rasio 1:1 merupakan bentuk teroptimum, meminimalkan total radiasi yang
diterima. Panduan rancangan bangunan di Amerika Serikat (2013) menguji berbagai
bentuk bangunan dalam iklim tropis, dengan menyarankan bahwa bentuk memanjang
dengan 3-4 lantai dapat memaksimalkan penghawaan dan pencahayaan alami.
Umumnya, untuk mengurangi perolehan panas, disarankan aspek rasio 1,3 hingga 2
dengan sisi panjang menghadap Utara dan Selatan (Szokolay S., 2004). Rekomendasi
lain dari Yeang dan Riley, Cotgrave, Farragher (2017) untuk iklim tropis adalah aspek
rasio 1:3. Inanici dan Demirbilek (2000) menunjukkan bahwa optimalitas aspek rasio
dan ukuran jendela bervariasi, dengan kondisi tropis lembab menghasilkan aspek rasio
1:2 dan ukuran jendela 25%.
Gambar 3 Ilustrasi window to wall ratio pada fasad bangunan (Building and
Construction Authority, 2010)
Dalam penghawaan alami, luas jendela yang besar diperlukan untuk aliran udara.
Bukaan (porosity) yang menghadap arah datang angin sebaiknya minimal 20% dari luas
permukaan untuk mendukung penghawaan silang (Organization of American States,
2013). Ukuran jendela berdampak pada perolehan radiasi panas matahari; penelitian
Liping dan Hien (2007) menunjukkan bahwa peningkatan WWR dapat meningkatkan
kenyamanan termal, tetapi perlu peneduh tambahan. Selain WWR, Window to Floor
Ratio (WFR) juga relevan, menunjukkan perbandingan luas jendela dengan luas lantai.
Penghawaan alami dapat menciptakan kondisi nyaman dengan ukuran inlet sekitar 20%
dari total luas lantai (Tantasavasdi, Srebric, dan Chen, 2001).
Efektivitas penghawaan silang juga dipengaruhi oleh ukuran jendela yang berfungsi
sebagai inlet dan outlet. Aldawoud (2016) menunjukkan bahwa semakin besar ukuran
inlet, semakin banyak udara yang mengalir dalam bangunan, mempengaruhi laju
pertukaran udara dan suhu dalam ruang. Ukuran inlet dan outlet yang sebanding di
dinding sejajar dapat menghasilkan kecepatan rata-rata tertinggi (Allard, 1998:70).
Ukuran WWR V rata-rata (%)
WWR Inlet 1/3 WWR Outlet 1/3 35
WWR Inlet 1/3 WWR Outlet 2/3 39
WWR Inlet 1/3 WWR Outlet 1 44
WWR Inlet 2/3 WWR Outlet 1/3 34
WWR Inlet 2/3 WWR Outlet 2/3 37
WWR Inlet 2/3 WWR Outlet 1 45
WWR Inlet 1 WWR Outlet 1/3 32
WWR Inlet 1 WWR Outlet 2/3 36
WWR Inlet 1 WWR Outlet 1 47
Gupta (2017) meneliti rancangan jendela untuk penghawaan alami di iklim tropis,
menyoroti bahwa ukuran jendela, kecepatan angin, dan posisi jendela berpengaruh pada
efektivitas penghawaan. Peningkatan ukuran jendela hingga 25% dari luas lantai
meningkatkan kecepatan angin, tetapi efeknya berkurang saat melebihi 25%. Posisi dan
ketinggian jendela perlu disesuaikan untuk mencapai penghawaan alami yang optimal.
Dalam konteks ini, penggunaan jendela sebagai elemen transparan atau bukaan
dioperasikan juga mempengaruhi strategi penghawaan mekanis dan alami.
Metode penelitian
Identifikasi variabel
Bentuk bangunan Aspek rasio Aspek rasio (L/W) adalah perbandingan sisi panjang bangunan meter:
(L) dengan sisi lebar (W), sementara ketinggian bangunan (H) meter
konstan. Sisi panjang bangunan (L) adalah sisi yang terdiri atas
deretan jendela kelas. Sementara sisi lebar (W) merupakan sisi
tanpa jendela pada ruang kelas.
Ukuran jendela Luas jendela Luas jendela adalah panjang x lebar jendela, termasuk kusen. m²
Dalam studi ini, luas kaca sama dengan luas bukaan karena semua
jendela diasumsikan jendela kaca operasional (dapat dibuka-
tutup).
b. Variabel kontrol
Objek penelitian
Populasi dalam penelitian ini merujuk pada wilayah generalisasi yang terdiri dari
bangunan perguruan tinggi pemerintah di iklim tropis lembab. Pemilihan bangunan ini
didasarkan pada karakteristik umumnya yang dirancang untuk penghawaan alami namun
sering beralih menggunakan AC. Fokus penelitian tertuju pada bangunan perkuliahan yang
melibatkan ruang-ruang kelas. Syarat-syarat bangunan perguruan tinggi, sesuai dengan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45 tahun 2007, menjadi panduan dalam menentukan
populasi penelitian, sebagaimana tercantum dalam Tabel 6.
Aspek Keterangan
Ketinggian bangunan maksimum 4 lantai dengan ketinggian plafon minimum 2,8 m
Material dinding bata, batako diplester dicat atau dilapisi keramik, kaca.
Material penutup atap genteng keramik atau aluminium gelombang dicat
Material plafon gypsum dicat
Material lantai keramik
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45 tahun 2007
Verifikasi
a. DesignBuilder
Simulasi kinerja termal bangunan dan beban pendinginan dilakukan dengan
DesignBuilder 5.0 oleh DesignBuilder Software Limited. DesignBuilder merupakan
software untuk memeriksa kinerja bangunan dan lingkungan yang dapat digunakan
secara efektif dalam berbagai tahapan proses perancangan. DesignBuilder dapat
digunakan untuk memeriksa konsumsi energi, kinerja termal hingga pencahayaan alami
pada bangunan. Tabel 10. menunjukkan fitur yang dimiliki DesignBuilder.
Design Builder
Kelebihan - Analisis kinerja bangunan mulai dari
termal, pencahayaan hingga energi.
- Visualisasi model dan tapak.
- Analisis per zona dapat dilakukan.
- Kinerja energi bangunan menggunakan
EnergyPlus.
- Output berupa kinerja tahunan (annual),
bulanan, harian, hingga per jam.
- Output meliputi konsumsi energi
bangunan, perpindahan panas (selubung
dan ventilasi), panas internal,
kenyamanan termal (discomfort hour,
faktor iklim seperti temperatur udara,
kelembaban relatif, MRT, temperatur
operatif), produksi CO2, dan perancangan
HVAC
Kelemahan - Tidak memiliki output kecepatan angin.
Untuk mengetahui kecepatan angin dan
distribusi tekanan perlu dilakukan
simulasi lanjutan dengan CFD di
DesignBuilder.
Sumber: DesignBuilder user manual, 2009
b. Objek verifikasi dan input simulasi
Objek yang dipilih sebagai base case sekaligus objek verifikasi adalah gedung Sains
dan Teknologi UIN Ar-Raniry seperti yang ditunjukkan gambar 5. Objek dipilih karena
mewakili populasi penelitian dimana gedung Sains dan Teknologi merupakan
bangunan perkuliahan yang terdiri atas ruang kelas dan ruang seminar yang memiliki
karakter okupansi yang sama dengan ruang kelas. Gedung Sains dan Teknologi
memiliki karakter bangunan berpenghawaan alami, seperti memiliki bukaan lebar dan
lubang angin serta bentuk bangunan yang ramping, namun beralih menggunakan AC.
Tabel 10. menunjukkan karakteristik fisik bangunan sementara Tabel 11. menunjukkan
properti termal material yang digunakan sebagai input simulasi. Tabel 12. menunjukkan
input simulasi terkait sumber panas internal. Penyederhanaan pada model simulasi
diuraikan di Tabel 13. menunjukkan model simulasi.
Gambar 14. menunjukkan pola okupansi penghuni ruang serta penggunaan lampu dan
penghawaan alami selama pengukuran yang akan menjadi input simulasi. Saat pengukuran di
ruang berpenghawaan alami, kondisi ruang kosong. Lampu juga dalam kondisi mati. Jendela
yang berada di ketinggian manusia dibuka sementara jendela yang lebih tinggi dibiarkan
tertutup. Sementara gambar 15. menunjukkan input pola okupansi penghuni ruang serta
penggunaan lampu dan AC selama pengukuran di ruang berpenghawaan mekanis. Saat
pengukuran, kelas digunakan mulai pukul 08.00 hingga siang hari sekitar pukul 12.00. Dari
hasil observasi, di atas pukul 12.00 kondisi kelas cenderung kosong. Lampu dinyalakan selama
kuliah berlangsung. Namun, karena menggunakan proyektor, tidak semua lampu dinyalakan.
Di luar jam kuliah, lampu dimatikan. AC dinyalakan sejak pagi, sekitar pukul 08:00 hingga
pukul 16:00 meskipun tidak ada aktivitas dalam ruang.
Gambar 14. Input pola okupansi serta penggunaan lampu dan AC selama pengukuran
Gambar 15. Input pola okupansi serta penggunaan lampu dan AC selama pengukuran
c. Pengukuran lapangan
Tabel 14 Instrumen pengukuran kondisi termal bangunan
Instrumen Fungsi Range Resolusi Akurasi
Heat Index Mengukur suhu 0 – 50 °C 0,1 °C ± 0,8 °C (15 –
WBGT Meter udara 40 °C)
WBGT2010SD
(d=75 mm)
Mengukur globe 0 – 80 °C 0,1 °C ± 0,6 °C (15 –
temperature 40 °C)
Mengukur 5 – 95% RH 0,1% RH ≥ 70% RH: 3%
kelembaban reading + 1%
RH
< 70% RH: ±
3% RH
Hot-wire Mengukur suhu 0 – 50 °C 0,1 °C ± 0,8 °C
Anemometer udara
AM-4234 SD
Mengukur 5 – 95% RH 0,1% RH ≥ 70% RH: 3%
kelembaban reading + 1%
RH
< 70% RH: ±
3% RH
Mengukur 0,2 – 5 m/s 0,01 m/s ± (5% + a)
kecepatan angin reading a = 0,1
m/s
5,1 – 35 m/s 0,1 m/s
Hot-wire Mengukur 0,2 – 20 m/s 0,1 m/s ± (5% + a)
Anemometer YK kecepatan angin reading a = 0,1
2005 m/s
Gambar 18. Metode analisis hasil verifikasi oleh Amos-Abanyie, Akuffo, dan Kutin-Sanwu
(2013).
e. Rancangan eksperimen.
Eksperimen dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat. Eksperimen dilakukan dengan simulasi menggunakan DesignBuilder. Total
model yang disimulasikan adalah 40 model dengan variasi orientasi, aspek rasio, dan
luas jendela.
1. Orientasi
Orientasi yang diuji adalah 90⁰ dan 180⁰sesuai gambar 3.10. Sudut dihitung dari
arah hadap sisi panjang bangunan (L) yang hanya terdiri atas jendela. Kondisi 90⁰
menunjukkan sisi panjang bangunan menghadap Timur dan Barat, dimana Timur
merupakan arah datang angin dengan frekuensi tertinggi di Surabaya. Sementara
kondisi 180⁰ adalah saat sisi panjang bangunan menghadap Selatan dan Utara,
dimana radiasi panas yang diterima lebih rendah.
Gambar 19. Orientasi yang diuji dalam eksperimen
f. Luas jendela
Studi ini mengasumsikan semua jendela dapat dioperasikan, dengan luas bidang
transparan setara dengan luas bukaan. Untuk mencapai penghawaan silang, bukaan
yang menghadap arah angin minimal sebesar 20% dari luas permukaan diperlukan
(Organization of American States, 2013). Berkaitan dengan efisiensi pendinginan, studi
ini mengacu pada presentase optimum kaca antara 15-35% dari dinding, menunjukkan
hubungan antara penghematan energi melalui pencahayaan alami dan konsumsi energi
untuk pendinginan. Semua jendela dalam penelitian ini dianggap dapat dioperasikan,
dengan luas inlet dan outlet yang sama besar. Ukuran inlet dan outlet yang setara pada
dinding sejajar menghasilkan kecepatan rata-rata tertinggi (Allard, 1998:70). Tabel 18
menunjukkan variasi luas jendela yang diselidiki, di mana penambahan luas jendela
dilakukan dengan menambah lebar, sebagaimana dijelaskan oleh Gupta (2017) yang
menyatakan bahwa peningkatan lebar bukaan dapat meningkatkan kecepatan angin jika
ukuran inlet tetap dan outlet sama. Pengecualian terjadi pada model dengan aspek rasio
1,75 yang memiliki dinding lebih sempit, sehingga penambahan luas jendela dilakukan
dengan menambah jendela terpisah.
Analisis pengaruh desain terhadap kinerja termal dan energi bangunan dilakukan
dengan kuadran yang menghubungkan aspek desain dengan variabel yang
mempengaruhi kinerja bangunan. Kinerja termal dan energi bangunan dipengaruhi
perpindahan panas, baik secara konduksi, konveksi, maupun radiasi. Dengan grafik
yang menghubungkan aspek desain dan variabel yang mempengaruhi kinerja
bangunan (seperti variabel lingkungan, perpindahan panas, dan lainnya), pengaruh
desain terhadap kinerja bangunan dapat dianalisis lebih lanjut. Gambar 23.
menunjukkan contoh grafik hubungan variabel desain (aspek rasio) terhadap aliran
panas melalui ventilasi.
Gambar 23. Grafik pengaruh desain terhadap kinerja bangunan.
4. Metode optimasi
Optimasi dilakukan untuk mengetahui konfigurasi selubung teroptimum untuk
bangunan pendidikan di iklim tropis lembab. Indikator yang digunakan adalah
kinerja termal (discomfort hour) dan energi pendinginan. Optimasi dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama menggunakan parameter kinerja termal dan energi base
case. Tenorio (2002) menggunakan metode presentasi tersebut dalam penelitiannya
terhadap hunian berpenghawaan hibrida (Gambar 24). Gambar 25 menunjukkan
kuadran evaluasi hubungan antara kinerja termal (saat moda pasif) dan energi
pendinginan (saat moda aktif). Kondisi eksisting menjadi batasan untuk
menentukan apakah beban pendinginan tergolong tinggi atau rendah. Hal yang
sama berlaku pada discomfort hours. Hasil optimal tercapai pada kondisi C dimana
discomfort hours dan energi pendinginan lebih rendah dari kondisi base case.
Gambar 24. Metode presentasi beban pendinginan dan durasi overheating (Tenorio,
2002)
Gambar 32. Kinerja energi pendinginan tiap luas jendela (orientasi Utara-Selatan)
d. Kinerja discomfort hour pada model dengan luas jendela berbeda
Gambar 33. Kinerja discomfort hour tiap luas jendela (orientasi Timur-Barat)
Gambar 34. Kinerja discomfort hour tiap luas jendela (orientasi Utara-Selatan)
2 1
3 1
4 2
5 3
6 2
7 3
8 2
9 3
10 3
Studi ini, yang dilakukan di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh,
memberikan pemahaman yang mendalam mengenai dampak karakteristik ventilasi dan
lingkungan terhadap kenyamanan termal di ruang kelas kuliah. Hasil penelitian
mengungkapkan beberapa kesimpulan utama.
Pertama, variasi aspek rasio bangunan memengaruhi dimensi ruang kelas, dan interval 0,75
dipilih untuk memberikan sensitivitas optimal. Temuan menunjukkan bahwa aspek rasio 1,75
mencerminkan bentuk kompak, sementara 4 mewakili bangunan hibrida yang lebih panjang.
Namun, aspek rasio di bawah 1,75 dapat menghasilkan lebar ruang melebihi rekomendasi
untuk penghawaan silang.
Kedua, pentingnya ukuran jendela terungkap, di mana peningkatan luas jendela hingga 25%
dari luas lantai dapat meningkatkan kecepatan angin dalam ruang. Namun, temuan ini diberi
catatan untuk model dengan aspek rasio 1,75 yang memerlukan penambahan jendela terpisah.
Relevansi dan implikasi praktis dari penelitian ini terletak pada pemilihan sampel yang
mencerminkan karakteristik bangunan perguruan tinggi di iklim tropis lembab. Temuan ini
dapat digeneralisasi untuk meningkatkan efisiensi energi dan desain bangunan serupa.
Implikasi praktisnya mencakup panduan bagi perancang bangunan untuk meningkatkan
kondisi termal dan efisiensi energi di ruang kelas kuliah.
Kesimpulan akhir studi ini menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek rasio, ukuran
jendela, dan karakteristik iklim dalam merancang ruang kelas agar mencapai tingkat
kenyamanan termal optimal di lingkungan tropis lembab. Temuan ini memberikan wawasan
berharga bagi perancang dan pengelola bangunan perguruan tinggi di wilayah serupa.
Daftar Pustaka