Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan
2.1.1.Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan
sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), dan indra
penglihatan (mata). (Notoatmodjo, 2010).

2.1.2. Tingkatan Pengetahuan


Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau
tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan, yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur
bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan
misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab penyakit
TBC, bagiamana cara melakukan PSN (pemberantasan sarang nyamuk),
dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
mengintrepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
Misalnya orang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah,
bukan hanya sekadar menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan
menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup,
menguras, dan sebagainya, tempat-tempat penampungan air tersebut.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi
bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis
adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan,
mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas
objek tersebut.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri
atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat (Notoatmodjo, 2010).

2.1.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman
orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan
seseorang.
2. Tingkat pendidikan
Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat
pendidikannya lebih rendah.
3. Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang
positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu.
4. Fasilitas
Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan
seseorang adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain.
5. Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan
seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia
mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik.
6. Sosial budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.1.4. Pengukuran Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi
materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan
dengan tingkatan-tingkatan diatas.
2.2. Karateristik Ibu yang Mempengaruhi Pengetahuan
2.2.1. Definisi Ibu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan
Nasional, 2011), Ibu berarti wanita yang telah melahirkan seseorang, kata
sapaan untuk wanita yang sudah bersuami, sapaan lazim pada perempuan
baik yang sudah bersuami maupun yang belum.
2.2.2.Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di
dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.
(Notoatmodjo, 2007). Untuk keperluan perbandingan maka WHO
menganjurkan pembagian-pembagian umur sebagai berikut:
1. Menurut tingkat kedewasaan, yaitu:
0 - 14 tahun : bayi dan anak-anak
15 - 49 tahun : orang muda dan dewasa
50 tahun keatas : orang tua
2. Interval 5 tahun
< 1 tahun
1 – 4 tahun
5 – 9 tahun
10 – 14 tahun dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3.Pendidikan
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga
mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan
(Notoatmodjo, 2003). Pendidikan terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:
1. Input; sasaran pendidikan dan pendidik.
2. Proses; upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain.

3. Output; hasil yang diharapkan.


2.3. Sumber Informasi
Sumber informasi berhubungan dengan pengetahuan, baik dari orang
maupun media. Dalam proses peningkatan pengetahuan agar diperoleh hasil
yang efektif diperlukan alat bantu. Fungsi media dalam pembentukan
pengetahuan seseorang menyampaikan informasi atau pesan-pesan
(Notoatmodjo, 2003).

2.4. Kanker Leher Rahim


2.4.1.Definisi
Kanker leher rahim merupakan tumor ganas yang tumbuh dalam leher
rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk kearah rahim yang terletak antara rahim dan liang senggama. Pada
tahap awal (prakanker) tidak menimbulkan gejala yang jelas, perjalanannya
untuk menjadi kanker serviks atau leher rahim memakan waktu 10-20 tahun
(Azwas, 2009).

2.4.2.Epidemiologi
Menurut laporan WHO selama periode tahun 1960-1980 di 28 negara
di dunia mortalitas turun 30%. Di China insiden dan mortalitas kanker serviks
uteri di beberapa daerah juga turun secara drastis. Seperti di Shanghai,
insiden karsinoma serviks dari 26,7/100.000 pada periode 1972-1974 turun
menjadi 2,5/100.000 pada periode 1993-1994, atau turun 56,0%. (Huang Xin,
2011).
Di Indonesia sendiri, diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks
terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka kematiannya diperkirakan 7.500
kasus per tahun. Selain itu, setiap harinya diperkirakan terjadi 41 kasus baru
kanker serviks dan 20 perempuan meninggal dunia karena penyakit tersebut.
Pada tahun 2001, kasus baru kanker serviks berjumlah 2.429 atau sekitar
25,91% dari seluruh kanker yang ditemukan di Indonesia. Dengan angka
kejadian ini, kanker serviks menduduki urutan kedua setelah kanker payudara
pada wanita usia subur usia 15-44 tahun. (Wijaya, 2010).
2.4.3.Etiologi
Sebab langsung dari kanker leher rahim belum diketahui. Ada bukti
kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor
ekstrinsik, diantaranya yang penting: jarang ditemukan pada perawan
(virgo), insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada yang tidak
kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada
usia amat muda (<16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas,
apa lagi bila jarak persalinan terlampau dekat, mereka dari golongan sosial
ekonomi rendah (higiene seksual yang jelek, aktivitas seksual yang sering
berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang dijumpai pada masyarakat
yang suaminya disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada wanita yang
mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus)-tipe 16 atau 18,
dan akhirnya kebiasaan merokok (Sarwono, 2009).
Human Papilloma Virus, sampai saat ini telah diketahui memiliki
lebih dari 100 tipe, di mana sebagian besar di antaranya tidak berbahaya dan
akan lenyap dengan sendirinya. Dari 100 tipe HPV tersebut, hanya 30 di
antaranya yang berisiko kanker serviks. Adapun tipe yang paling berisikon
adalah HPV 16 dasn 18 yang sering ditemukan pada kanker maupun lesi
prakanker serviks, yaitu menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju
keganasan HPV tipe 16 mendominasi infeksi (50%-60%) pada penderita
kanker serviks disusul dengan tipe 18 (10%-15%). (Wijaya, 2010).

2.4.4.Faktor Risiko
Adapun faktor-faktor risiko terjadinya kanker leher rahim, meliputi:
1. Aktivitas Seksual Pertama Kali
Wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan
meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Wanita yang berhungan
seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima
kali lipat. (Rasjidi, Irwanto, Wicaksono, 2008).
2. Kebiasaan berganti Pasangan
Berganti-ganti pasangan seks dan pola kehidupan seksual yang
menyimpang menyebabkan wanita rentan terhadap penyakit hubungan
seksual dan menjadi mudah terinfeksi HPV. (Sari, Indrawati, Harjanto,
2012).
3. Umur
Menurut Aziz M.F.(2006), umumnya insidens kanker serviks sangat
rendah di bawah umur 20 tahun dan sesudahnya menaik dengan cepat
dan menetap pada usia 50 tahun.
4. Infeksi HPV
Infeksi HPV umumnya terjadi setelah wanita melakukan hubungan
seksual. Selama hidupnya, hampir setengah wanita dan laki-laki pernah
terkena infeksi HPV, dan 80% dari wanita terkena infeksi sebelum umur
50 tahun. Sebagian infeksi HPV bersifat hilang-timbul, sehingga tidak
terdeteksi dalam kurun waktu dua tahun setelah infeksi. Hanya sebagian
kecil saja dari infeksi tersebut yang menetap dalam jangka lama,
sehingga menimbulkan kerusakan lapisan lendir menjadi prakanker.
(Wijaya, 2010).
5. Paritas
Proses melahirkan sedikit banyak akan melukai dan merusak leher rahim.
Semakin sering melahirkan, semakin banyak perlukaan dan kerusakan sel
yang terjadi. Penelitian menunjukkan wanita yang melahirkan lebih dari
tiga kali mempunyai risiko terkena kanker servuks dibandingkan mereka
yang melahirkan kurang dari tiga kali. (Sari, Indrawati, Harjanto, 2012).
6. Merokok
Menurut Nurwijaya (2010), wanita yang merokok memiliki risiko dua
kali lebih besar terhadap kanker serviks dari pada wanita yang tidak
merokok. Bahan-bahan kimia yang ditemukan dalam rokok setelah
terhisap melalui paru-paru dapat terdistribusi luas ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Beberapa senyawa tersebut dapat dijumpai pada
lendir serviks wanita yang merokok.
7. Kontrasepsi Hormonal
Penggunaan kontrasepsi hormonal, yakni metode kontrasepsi yang
menggunakan hormone estrogen dan progesteron dalam jangka waktu
lama akan meningkatkan risiko kanker serviks. Penggunaan 10 tahun
meningkatkan risiko sampai 2 kali. (Sari, Indrawati, Harjanto, 2012).
8. Ras
Ras sedikit banyak juga berpengaruh terhadap risiko terjadinya kanker
serviks. Pada ras Afrika-Amerika kejadian kanker serviks meningkat
sebanyak dua kali dari ras Amerika-Hispanik. Sementara, untuk ras Asia-
Amerika memiliki angka kejadian kanker serviks yang sama dengan
warga Amerika. Hal ini berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi. (Wijaya,
2010).

2.4.5.Gejala Kanker Leher Rahim


Menurut Huang Xin (2011), adapun gejala-gejala terjadinya kanker
leher rahim, meliputi:
1. Perdarahan per vaginam: pada stadium awal terjadi perdarahan sedikit
pascakontak, sering terjadi pasca koitus atau periksa dalam.
2. Sekret per vaginam: pada stadium awal berupa keputihan bertambah,
disebabkan iritasi oleh lesi kanker, disebabkan hipersekresi.
3. Gejala sistemik: semangat melemah, letih, demam, mengurus, anemia,
udem.
4. Nyeri: Apabila kanker sudah menyebar ke panggul, maka pasien akan
menderita keluhan nyeri punggung, hambatan dalam berkemih, serta
pembesaran ginjal. (Wijaya, 2010).

2.4.6.Stadium Klinik Kanker Leher Rahim


Stadium klinik yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut
FIGO (Federation International of Gynecologists and Obstetricians), sebagai
berikut:
Gambar 2.1. Klasifikasi Stadium Klinik menurut FIGO

2.4.7.Diagnosa Kanker Leher Rahim


Metode untuk membantu diagnosis yang sering digunakan adalah:
1. PAP SMEAR
a. Kapankah Tes Pap Smear dilakukan?
Tes Pap merupakan salah satu pemeriksaan sel serviks untuk
mengetahui perubahan sel, sampai mengarah pada pertumbuhan sel
kanker sejak dini. Apusan sitologi pap diterima secara universal
sebagai alat skrining kanker serviks. Metode ini peka terhadap
pemantauan derajat perubahan pertumbuhan epitel serviks.
Pemeriksaan Tes Pap dianjurkan secara berkala meskipun tidak ada
keluhan terutama bagi yang berisiko (1-2 kali setahun). Berkat teknik
Tes Pap, angka kematian turun sampai 75% (Rasjidi Imam, 2008).
b. Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Pap Smear?
Untuk melakukan Pap smear, pasien berbaring telentang dengan paha
terbuka dan lutut ditekuk. Kemudian, sebuah alat yang bernama
spekulum dimasukkan ke dalam vagina untuk menahan vagina agar
tetap terbuka sehingga leher rahim terlihat jelas. Setelah itu, dilakukan
usapan pada leher rahim menggunakan alat spatula untuk
mendapatkan sel-sel serviks. Hasil usapan dioleskan pada kaca objek
dan disemprot suatu bahan kimia untuk memfiksasinya. Sediaan
tersebut dikirim ke laboratorium untuk selanjutnya dilihat melalui
mikroskop. (Sari, Indrawati, Harjanto, 2012).
2. IVA
IVA (inspeksi visual dengan asam asetat) adalah tes visual dengan
menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 2%) dan larutan lugol pada
serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan
olesan. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia
sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. Interpretasi Tes
IVA adalah IVA positif bila ditemukan adanya area berwarna putih
(acetowhite) dan permukaannya meninggi dengan batas yang jelas di
sekitar zona transformasi. (Rasjidi, Irwanto, Sulistyanto, 2008).
3. Biopsi
Karsinoma serviks stadium dini lesinya tidak jelas, untuk dapat
memperoleh jaringan kanker secara akurat, harus dilakukan biopsi dari
multipel titik, secara terpisah diperiksa patologinya. Untuk meningkatkan
akurasi biopsi, kini sering digunakan reagen iodium, lampu fluorosensi
vagina, kolposkopi dan cara lain untuk membantu pengambilan sampel
biopsi. (Huang Xin, 2011).
4. Thin Prep (Liquid Base Cytology)
Thin Prep adalah skrining sel-sel abnormal dengan cara visualisasi,
seperti halnya Pap Smear. Thin Prep juga berfungsi mendeteksi kelainan
pada leher rahim dengan berbasis cairan (Liquid Base Cytology). Cairan,
seperti getah pada leher rahim, dijadikan sampel dan dimasukkan ke
dalam suatu cairan lalu dibawa ke laboratorium. (Wijaya, 2010).
5. Kolposkopi
Di bawah cahaya kuat dan kaca pembesar secara visual binokular
langsung melalui kolposkop mengamati lesi di serviks uteri dan vagina.
Terhadap pasien dengan hasil sitologik abnormal atau kecurigaan klinis
perlu dilakukan kolposkopi. (Huang Xin, 2011). Indikasi Kolposkopi
antara lain: Adanya temuan positif dan pemeriksaan skrining, tes Pap,
IVA, dan HPV DNA. Lalu lesi serviks yang mencurigakan, dan
sebagainya (Rasjidi. Irwanto, Sulistyanto, 2008).

2.4.8.Terapi Kanker Leher Rahim


Pengobatan kanker serviks tergantung pada tingkatan stadium klinis.
Secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan terapi (Setiati, 2009)
yaitu:
1. Operasi
Operasi sederhana dilakuka pada tingkat stadium awal (prakanker) dari nol
hingga 1A. Jika kanker berada pada stadium 2A/2B, maka histerektomi
radikal akan dilakukan. Seluruh rahim diangkat berikut sepertiga vagina
dan penggantung rahim akan dipotong sedekat mungkin dengan dinding
panggul. Indung telur dapat diangkat ataupun tidak; tergantung usia
pasien. Bila pasien masih mengalami menstruasi, indung telur akan
ditinggal. Walaupun vagina dipotong, tidak berarti pasien tidak bisa
berhubungan seks. Awalnya, penderita hanya akan merasa tidak nyaman
karena vagina menjadi lebih pendek.
2. Radioterapi
Terapi ini dilakukan jika kanker serviks ini sudah berada dalam stadium
2B ke atas. Operasi sudah tidak dapat dilakukan lagi dan cara yang dapat
ditempuh adalah dengan radiasi atau penyinaran.
3. Kemoterapi
Jika dalam waktu satu tahun pasien sudah pernah diradiasi, maka proses
radiasi tidak mungkin lagi dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi
komplikasi. Pengobatan dengan cara penyinaran dan kemoterapi berbeda
dengan operasi. Meskipun sepertiga vagina harus diangkat, tetapi penderita
masih dapat melakukan hubungan seks. Umumnya diberikan pada Stadium
klinis ІV B dan hanya bersifat paliatif.

2.4.9.Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui:
1. Pencegahan Primer
a. Menunda onset aktivitas seksual
Menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan
secara monogami akan mengurangi risiko kanker serviks secara
signifikan.
b. Penggunaan kontrasepsi barier
Dokter merekomendasikan kontrasepsi netode barier (kondom,
diafragma, dan spermisida) yang berperan un tuk proteksi terhadap
agen virus.
2. Pencegahan Sekunder
a. Pencegahan Sekunder – Pasien dengan Risiko Sedang
Hasil tes Pap yang negative sebanyak tiga kali berturut-turut dengan
selisih waktu antarpemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter
sangat dianjurkan. Untuk pasien (atau partner hubungan seksual yang
level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkqan untuk melakukan tes
Pap tiap tahun).
b. Pencegahan Sekunder – Pasien dengan Risiko Tinggi
Pasien yang memulai hubungan seksual saat usia < 18 tahun dan
wanita yang mempunyai banyak partner (multiple partner) seharusnya
melakukan tes Pap tiap tahun. Interval sekarang ini dapat diturunkan
menjadi setiap 6 bulan untuk pasien dengan risiko khusus, seperti
mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan dilakukan untuk mencegah komplikasi klinik dan
kematian awal. (Pencegahan tertier dapat dilakukan berupa
penyuluhan terhadap pasangan penderita kanker serviks khususnya
yang telah menjalani histerektomi total agar tetap memperlakukan
pasangannya sebagaimana biasanya, sehingga keharmonisan
hubungan suami istri tetap terjaga. Konseling dapat dilakukan
terhadap penderita stadium lanjut agar faktor psikologis tidak
memperburuk keadaan.

Menurut Delia Wijaya (2010), adapun upaya pencegahan, meliputi:


1. Mengurangi Faktor Resiko
Virus papilloma ini dapat menular dari seorang penderita kepada orang
lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularannya dapat melalui kontak
langsung dan lewat hubungan seks. Oleh karena itu, jangan melakukan
hubungan intim dengan pasangan yang berganti-ganti.
2. Melakukan Pemeriksaan Skrining Secara Teratur
Uji skrining kanker serviks dapat digunakan untuk mengetahui apakah
seorang wanita memiliki serviks normal atau tidak. Skrining dapat
mendeteksi kanker yang terjadi pada fase awal sebelum kanker tersebut
memberikan gejala-gejala atau keluhan-keluhan secara klinis.
3. Vaksinsi HPV
Vaksin HPV sebaiknya diberikan sebelum kontak seksual pertama atau
sebelum wanita terpapar dengan HPV. Vaksin diberikan sebanyak 3 dosis
dalam periode 6 bulan, yaitu pemberian awal, 2, dan 6 bulan berikutnya.
Mekanisme kerja Vaksin HPV dengan cara meningkatkan sistem
kekebalan tubuh untuk menangkap dan menghancurkan HPV tipe 16 dan
18 (merupakan penyebab utama 70% kasus kanker serviks) sebelum
memasuki tubuh dan menginfeksi sel-sel serviks. Vaksinasi HPV yang
diberikan kepada pasien bisa mengurangi infeksi Human Papilloma
Virus, karena mempunyai kemampuan proteksi >90%. (Rasjidi, Irwanto,
Wicaksono, 2008).

Anda mungkin juga menyukai