Anda di halaman 1dari 2

Kesimpulan

Sebelum mempelajari pemikiran Ki Hajar Dewantara, pandangan saya terhadap


peserta didik dan proses pembelajaran cenderung konvensional. Saya memandang
peserta didik sebagai penerima pasif dan lebih menekankan pada pencapaian target
kurikulum semata. Namun, setelah mempelajari konsep-konsep yang diusung Ki
Hajar Dewantara, terjadi perubahan paradigma yang signifikan.
Saya menyadari bahwa setiap peserta didik memiliki kodrat alam atau bakat, minat,
dan kemampuan yang unik. Proses pembelajaran seharusnya menghargai dan
mengakomodasi keunikan tersebut dengan memberikan ruang bagi keterlibatan
aktif dan kreativitas peserta didik. Pembelajaran tidak lagi didominasi oleh guru,
melainkan lebih bersifat partisipatif dengan guru berperan sebagai fasilitator dan
motivator.
Untuk merefleksikan pemikiran Ki Hajar Dewantara di kelas, saya akan segera
menerapkan beberapa hal, seperti menciptakan suasana kekeluargaan (konsep
among), mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal, menerapkan pendekatan Ngerti-
Ngrasa-Nglakoni, serta berperan sebagai pembimbing yang menerapkan konsep
Tut Wuri Handayani.
Dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Ki Hajar Dewantara, saya berharap
dapat membangun lingkungan belajar yang lebih humanis, menghargai potensi
setiap individu, serta membentuk karakter peserta didik yang utuh secara kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Hal ini sejalan dengan visi pendidikan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh.

Refleksi
Mempelajari konsep-konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara membuka wawasan
baru bagi saya sebagai seorang calon pendidik. Sebelumnya, saya cenderung
memandang peserta didik sebagai penerima pasif dan hanya mementingkan
pencapaian target kurikulum. Namun, pemikiran Ki Hajar Dewantara mengajak
saya untuk memandang peserta didik sebagai individu unik dengan kodrat alam atau
bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.
Prinsip Tri Pusat Pendidikan mengajarkan bahwa proses pendidikan tidak hanya
terjadi di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Ini
menyadarkan saya bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, bukan
hanya guru semata. Keterlibatan orangtua dan masyarakat sangat penting dalam
membentuk karakter peserta didik.
Konsep "among" atau rasa cinta, kasih sayang dalam mendidik mengingatkan saya
untuk tidak memandang peserta didik sebagai objek, melainkan subjek yang harus
dihargai dan diayomi. Menciptakan suasana kekeluargaan di kelas akan membuat
peserta didik merasa nyaman dan terdorong untuk mengeksplorasi potensi dirinya.
Prinsip "Tut Wuri Handayani" mengubah persepsi saya tentang peran guru. Guru
bukan lagi penguasa otoriter, melainkan fasilitator yang mendampingi dan
memotivasi peserta didik untuk mandiri dan bertanggung jawab. Ini sejalan dengan
semangat belajar sepanjang hayat yang harus ditanamkan pada diri peserta didik.
Selain itu, saya juga tergerak untuk lebih menghargai nilai-nilai luhur budaya dan
kearifan lokal sebagai sumber kekuatan pendidikan, seperti yang ditekankan dalam
prinsip kebudayaan Ki Hajar Dewantara. Mengintegrasikan unsur-unsur budaya ke
dalam pembelajaran akan membuat materi lebih kontekstual dan dekat dengan
kehidupan peserta didik.
Dengan merefleksikan pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya berkomitmen untuk
menjadi pendidik yang lebih humanis, menghargai keberagaman, dan mampu
memfasilitasi perkembangan peserta didik secara utuh, baik jasmani maupun
rohani. Semoga pendidikan yang saya berikan kelak dapat mencerdaskan kehidupan
bangsa sesuai cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara.

Anda mungkin juga menyukai