Anda di halaman 1dari 4

KESIMPULAN DAN REFLEKSI PENGETAHUAN SERTA PENGALAMAN BARU DARI

PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA


Oleh : HARTONO

1. Intisari Pemikiran Ki Hajar Dewantara


Sebagai salah seorang yang tumbuh besar pada masa kolonial, jiwa dan pemikiran Ki Hajar
Dewantara terkesan radikal bagi pemerintah kolonial saat itu. Bertolak dari pengalaman beliau yang
melihat sistem Pendidikan kolonial yang hanya mendidik anak-anak pribumi sebagai “pekerja” dan
“pembantu” Belanda pada berbagai bidang, memupuk jiwa dan pemikiran beliau untuk merancang satu
sistem Pendidikan yang merdeka bagi siapa saja. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi kelahiran beliau
sebagai salah satu inisiasi pendirian Lembaga Pendidikan dan pengajaran pada yang disuarakan pada
sekitar tahun 1920. Buntutnya tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta,
sebagai bentuk upaya beliau untuk merubah sistem Pendidikan dan pengajaran menjadi lebih demokratis
dengan memperhatikan hak-hak anak didik secara menyeluruh. Atau dalam istilah lain dikenal dengan
sistem Pendidikan merdeka.
Salah satu pemikiran beliau dalam dunia Pendidikan yang sangat menginspirasi saya, adalah
ketika beliau mendefinisikan antara Pendidikan dan pengajaran yang selama ini saya pahami sama saja.
Menurut saya secara konsep, mendidik artinya mengajarkan sesuatu ilmu dan pengetahuan kepada anak
didik. Pemahaman saya tentang kedua istilah di atas berhenti pada mengajarkan ilmu dan pengetahuan
sebagai bekal hidup semata. Tetapi Ki Hajar Dewantara memberikan pengertian tentang Pendidikan dan
pengajaran jauh lebih luas dari apa yang saya pikirkan. Dalam bukunya, beliau berkata
“Pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses pendidikan dalam
memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan
Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia
mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia
maupun sebagai anggota masyarakat” (Ki Hajar Dewantara, 2001).
Dalam kaitanya dengan ini beliau memperkenalkan semboyan yang akrab di telinga para Guru di
Indonesia yaitu Ing Ngarso sung tulodho, Ing madya mangun karso, tut wury handayani. Ing ngarso sung
tulodho mengandung makna bahwa dalam mendidik dan mengajar, guru adalah teladan bagi anak
didiknya. Ing Madya mangun karso mengandung makna bahwa dalam proses Pendidikan dan
pengajaran, ketika seorang guru berada di tengah-tengah anak didiknya, maka ia harus menjadi
pendorong dan teman dalam berkolaboratif. Sedangkan tut wury handayani mengandung makna bahwa
guru harus senantiasa memberikan semangat dan energi positif kepada anak didiknya agar tidak
menyerah pada kesuliatan yang dia hadapi, sehingga anak-anak akan tetap berkarya bagi dirinya dan
bagi masyarakat meski pada kondisi apapun. Konteks pemikiran seperti ini beliau lengkapi dengan
perumpamaan beliau terhadap guru dan anak didiknya. Menurutnya, guru adalah petani dan anak didik
sebagai tanamannya. Perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak semata-mata ditentukan tempat
dimana tanaman itu ditanam, akan tetapi kesiapan dan kesigapan serta pemahaman mandalam dari
petanilah yang diyakini sebagai faktor utama penentu pertumbuhan dari tanaman yang ditanam. Maka
secara singkat dapat simpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak didik sangat ditentukan
oleh siapa yang membimbing dan menuntunnya dalam peristiwa Pendidikan, dan dalam kondisi yang
bagaimana anak didik tersebut memperoleh pengajaran. Anak didik yang mengalami model Pendidikan
dan pengajaran dalam kondisi guru mengetahui dan memahami jelas jenis karakter dan jiwa anak didik,
akan tumbuh lebih baik ketimbang anak didik yang dituntun tanpa memperhatikan karakter dan
kemampuannya secara personal.
Jika kita kontekstualkan seluruh pemikiran-pemikiran KHD ini dalam Tindakan nyata
Pendidikan dan pengajaran, maka kita akan menemukan kondisi Pendidikan dan pengajaran yang
berorientasi kepada siswa. Siswa dipandang sebagai subjek (pelaku utama) pembelajaran atau dalam
Bahasa modern kita kenal dengan istilah student centered yakni Pendidikan dan pengajaran yang berpusat
pada siswa. Pada kondisi Pendidikan dan pengajaran seperti ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator
dan teman berkolaborasi siswa dalam belajar. Guru harus lebih banyak mendengar siswa ketimbang
harus otoriter dengan materi yang diajarkan. Namun agar siswa berperan aktif, bukan berarti guru harus
diam saja, tetapi ia harus memiliki sifat komunikatif dan jiwa persuasif untuk merangsang daya pikir
anak didiknya. Pendidikan semacam ini menitikberatkan kodrat anak pemeran utama pembelajaran.
Kodrat anak yang harus menjadi pertimbangan adalah kodrat kemanusiaannya dan kodrat alamiahnya.
Untuk memastikan bahwa Pendidikan berjalan dengan baik sesuai kodrat anak, maka guru harus
mengetahui lebih dalam tentang karakter, kebiasaan, kesukaan, dan kecenderungan anak didik. Sehingga
pembelajaran dapat didesain sesuai kondisi anak didik. Maka dalam strategi semacam ini, guru tidak lagi
mengajar, tetapi menuntun agar anak dapat belajar secara merdeka dan menuntun karakter dan
kebiasaannya menjadi sebuah kekuatan bagi anak didik. Anak diberi kebebasan dalam memilih apa yang
mau dipelajari, tetapi dalam waktu yang sama guru menuntun agar kebebasan tersebut bersifat tidak
mutlak, anak dipahamkan nilai dan norma yang harus ditaati dalam mengekspresikan kebebasannya,
sehingga akan membentuk karakter anak yang peka dan perduli dengan keadaan sekelingnya baik di
sekolah maupun di masyarakat.

2. Refleksi Pemikiran Saya Sebelum dan Sesudah Memahami Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Sebelumnya, sebagai guru saya berpikir bahwa mendidik anak adalah sesuai materi dan panduan
yang terdapat di buku pegangan saya sebagai guru. Sehingga Ketika saya merumuskan tujuan
pembelajaran, maka indikator-indikator tujuan tersebut terkonsentrasi hanya pada muatan materi
pembelajaran semata. Bagi saya guru adalah satu-satunya yang menentukan keberhasilan anak didik.
Sebab tolak ukur saya yang juga menjadi tolak ukur kurikulum yang sebelumnya diterapkan adalah
tingkat keberasilan terhadap materi ajar yang dibuktikan dengan dokumentasi daftar hadir dan nilai hasil
evaluasi.
Namun setelah saya membaca dan memahami lebih dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, tidak
satu kalipun seingat saya beliau menyinggung keberhasilan anak didik diukur dari seberapa tinggi nilai
yang diperolehnya. Sebab benar bahwa nilai adalah angka yang bisa menjadi berapa saja sesuai keinginan
guru. Saya sebagai guru lupa sesuatu yang paling penting dalam kegiatan pembelajaran di kelas saya,
saya lupa bahwa pertumbuhan karakter individu dan sosial yang dimiliki anak didik saya justru lebih
penting dari segalanya. Berbeda dengan sebelumnya, sekarang saya lebih memahami bahwa Pendidikan
dan pengajaran adalah sebuah proses yang menuntun segala aspek yang ada dalam diri siswa secara
lahiriah. Sehingga diperlukan sebuah desain dan metode Pendidikan dan pengajaran yang tepat.

3. Strategi Yang Saya Terapkan Untuk Mengkontekstualkan Pemikiran Ki Hajar Dewantara


Sebagai guru, saya mengakui kekeliruan saya selama ini bahwa anak didik saya adalah objek
dalam peristiwa pembelajaran, dan subjeknya adalah saya sebagai guru. Saya selalu menganggap diri
saya sebagai hakim utama dalam menentukan ”keadilan” bagi anak didik saya. Berangkat dari perasaan
sadar akan kekeliruan ini, saya harus Kembali merancang desain dan model pembelajaran yang merdeka
dan menuntun bagi anak didik saya, sebuah desain pembelajaran yang berpihak pada siswa dan
menjadikan siswa dan lingkungannya sebagai hal utama penentu pembelajaran. Untuk memperbaiki
kekeliruan saya sebelumnya saya merancang strategi pembelajaran sebagai berikut :
a. Belajar Sambil Bermain;
Dalam salah satu artikel yang dimuat dalam websitependidikan.com/2016/07/pengertian-dan-
contoh-metode-belajar-sambil-bermain.html, menjelaskan bahwa belajar sembari bermain menjadi
salah satu metode belajar yang efektif dan cukup menarik terutama di kalangan anak-anak. Melalui
metode pembelajaran yang satu ini, siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Belajar sembari bermain
juga merupakan metode yang tidak membosankan, karena menyediakan media pembelajaran serta
cara mengajar yang cukup menyenangkan. Kondisi usia anak didik di SMP yang masih berkisar 12
tahun hingga 14 tahun, adalah usia yang tepat bagi anak dalam mengenal lingkungannya lebih jauh.
Sebab usia seperti ini anak didik senang mengenal hal-hal baru atau hal-hal unik yang ia jumpai.
Salah satu materi Pendidikan agama Islam yang cocok dengan metode ini ialah kaidah hubungan
dengan sesama manusia. Dalam permainan anak-anak akan lebih memahami makna suportivitas
dan kerja sama dengan manusia di sekelilingnya. Oleh karena itu model pembelajaran seperti ini
menjadi salah satu pilihan saya dalam menuntun siswa. Namun supaya anak didik lebih mengenal
siapa dirinya dan bagaimana kondisi lingkungan sosialnya, saya memilih jenis permainan rakyat
yang asli dari Kabupaten Wakatobi. Dengan demikian, diharapkan agar anak belajar dengan penuh
rasa merdeka dan Bahagia, tetapi disatu sisi tumbuh rasa bangga dan rasa cintanya terhadap
daerahnya.

b. Budaya Siswa Sebagai Pijakan Utama Pembelajaran;


Secara operasional model Pembelajaran yang berpijak pada karakteristik budaya harus
memperhatikan aspek-aspek yang menyertainya, seperti jenis pengetahuan, kebermaknaan kegiatan
belajar, dan aspek positif lainnya dalam pengenalan budaya. Pendidikan berbasis budaya mengakui
bahwa budaya merupakan bagian penting dan mendasar dari Pendidikan, sebagai wahana untuk
mengekspresikan ide dan gagasan anak didik di dalam kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran
dengan startegi seperti ini saya menggunakan istrumen-instrumen budaya di Kabupaten Wakatobi
sebagai alat dan media pembelajaran. Anak didik dituntun untuk memahami bahwa budaya daerah
menjadi ciri khasnya sebagai manusia berbudaya dan perlu pemahaman mereka terkait kekayaan
budayanya sebagai putra daerah Kabupaten Wakatobi. Materi Pendidikan yang relevan sesuai
dengan model pembelajaran semacam ini adalah Ketika guru menuntun siswa untuk memahami
makna ”ubul wathon minal iman” atau mencintai tanah air sepenuh hati merupakan sebagian dari
iman.

c. Mendesain Situasi Pembelajaran yang Menyenangkan.


Sebelum mendesain situasi pembelajaran yang menyenangkan bagi anak didik saya, maka sebagai
penuntun, saya harus memahami kondisi alam dan latar belakang sosial anak didik saya. Sebagai
guru di pedesaan, saya memahami betul bahwa sebagai anak-anak dari desa pegunungan, anak
didik saya memiliki tempat-tempat favorit untuk melampiaskan suka citanya. Dari hasil observasi
saya, tempat yang paling mereka sukai untuk dikunjungi ialah pantai. Maka pada waktu-waktu
tertentu dan pada materi tertentu misalnya pada materi Mengenal Kebesaran Allah, pantai menjadi
media yang paling tepat dijadikan lokasi pembelajaran sehingga situasi pemeblajaran akan sesuai
dengan keeinginan dan kebahagiaan anak didik. Karena menuntun anak didik pada saat hatinya
bahagia akan mempermudah anak didik tersebut mencapai tujuan pendidikannya pada materi
terkait.

Demikian hasil refleksi saya dan tindakan-tindakan nyata yang harus saya ambil dalam
menyesuaikan proses Pendidikan dan pengajaran anak didik saya di sekolah sesuai dengan system
Pendidikan dan pengajaran yang dikenalkan Bapak Ki Hajar Dewantara. Selain strategi dan desain
pembelajaran di atas, tentu masih banyak metode-metode Pendidikan dan pengajaran yang menuntun
yang dapat diterapkan di sekolah saya secara umum dan di kelas saya secara khusus. Saya sebagai guru
akan berusaha semaksimal mungkin dengan mengkombinasikan naluri dan jiwa saya sebagai guru dan
orang tua anak didik saya, agar mereka dapat belajar dengan perasaan Bahagia dan merdeka, sehingga
akan lebih mudah untuk memberi tuntunan dalam mengarahkan karakternya kepada hal-hal postif.
Langkah utama yang harus saya lakukan adalah terlebih dahulu memperbaiki laku saya sebagai guru,
agar pantas dijadikan panutan bagi anak didik saya, kemudian baru menerapkan strategi dan desain
pembelajaran yang tepat bagi anak didik saya untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan
pemahaman mereka sebagai manusia individu dan sebagai anggota masyarakat. Diharapkan dengan
kondisi pembelajaran seperti di atas, anak didik dapat belajar dengan perasaan damai dan merdeka, saya
sebagai guru lebih mudah menuntun mereka ke arah kebahagiaan yang setinggi-tingginya sesuai
kodratnya sebagai manusia merdeka.

Wakatobi, 07 September 2022

HARTONO
Calon Guru Penggerak Angkatan 6

Anda mungkin juga menyukai