Anda di halaman 1dari 102

³ D º

A
Abaa wastakbara :
Watak iblis. Merasa diri lebih baik. Sombong, enggan, acuh, melecehkan dan menghina
manakala diajak taat kepada wakilNya Allah di bumi.

Memandang diri cukup. Watak akunya kemudian abaa wastakbara. Enggan dan acuh. Bahkan
merasa lebih baik dan lebih atas ilmu dan pengetahuannya. Maka dengan sendirinya sama
sekali tidak membutuhkan bertanya kepada yang ahli tentang Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al
Ghaib dan Allah Asma-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-
Nya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 83)

Ad-din :
Firman Allah dalam QS. Ar Rum ayat 30 adalah ayat yang mengandung makna sebagaimana
dimaksud di atas. Yaitu hamba yang akan bisa memenuhi perintah-Nya untuk “menghadapkan
wajahnya kepada Ad-din (Nya Allah) dengan lurus”.
Makna Ad-din adalah pembalasan. Saat pembalasan ini akan diketahui ketika seseorang
merasakan mati. Bagi yang menjaga diri untuk menghadapkan wajahnya secara lurus karena
secara yakin mengetahui asal tempat fitrah dirinya, yakni Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib Yang
Wajib WujudNya, maka wajahnya (yaitu hati nurani, roh dan rasanya) akan selalu dipelihara
dan dijaga dengan jalan memberlakukan diri selalu berjihadunnafsi agar selalu mengingat-ingat
dan menghayati asal tempat mulanya (Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan dekat sekali ini). Ketika
merasakan mati akan dapat merasakan betapa nikmatnya, betapa indahnya dan betapa
bahagianya (yang gambarannya tidak ada didunia ini) dapat pulang kembali dengan selamat
bertemu kembali dengan tempat asal mulanya sendiri. Yaitu Diri-Nya Tuhan sebagai satu-
satuNya Wujud Mutlak Yang Kekal dan Abadi. Dijadikan oleh-Nya hamba sebagaimana firman-
Nya :
“Wujuuhun yauma idzin naadhirah, ila Rabbiha naadziroh”.
Artinya : “Wajah-wajah mereka dihari itu berseri-seri (karena merasakan betapa senang dan
bahagianya merasakan) kepada Tuhannya melihat”.(QS. Al Qiyamah 22 – 23).
Karena itu dalam QS. Ar Ruum ayat 30 tersebut Allah menyatakan : (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah-Nya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Kepada yang oleh Allah dijadikan hamba yang mengetahui (tidak buta mata hatinya), maka dia
akan dijadikan bisa memenuhi maksud firman-Nya pada ayat berikut (QS. Ar-Rum 31). Yaitu
menjandi hamba yang keras niat dan tekadnya untuk menjadikan dunia ini sebagai pancatan
yang kokoh bagi tujuan taubatnya. Yakni dapat dengan selamat pulang kembali menemui
Tuhannya. Tempat asal mulanya. Rumah sejatinya sendiri. Maka akan dipenuhi perintah Allah
supaya bertaqwa kepada-Nya serta akan dengan tegaknya mendirikan shalat. Shalat yang tegak
adalah shalat yang khusyu’. Yaitu rasa hatinya dapat terlatih untuk dapat merasakan betapa
indah dan nikmatnya mengingat-ingat dan menghayati Diri Tuhan-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan
sangat dekat sekali. Dan dapat terhindar dari larangan Allah tidak termasuk hamba yang
mempersekutukannya.

Kemudian apabila orang tersebut oleh Allah dikehendaki menjadi sebagaimana yang dikandung
dalam akhir ayat Ar-Ruum ayat 30 : “Walaakinna aktsaraannassi laa ya’lamuna” = tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui, maka mesti jatuh ke lembah mempersekutukan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 1


³ D º

Tuhannya, sama sekali tidak disadari. Bahkan menyangka bahwa dirinya mendapat petunjuk
dari Tuhannya. (QS. Az-Zukhruf : 37).

Keadaan sebagaimana maksud penjelasan di atas adalah sebagaimana yang terjadi pada sikap
dan pandangan manusia sejak dulu hingga kini. Memandang sepele saja terhadap kandungan
firman Allah dalam ayat 32 pada QS. Ar-Ruum. Yakni mereka yang memecah belah agama
mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada golongan mereka. Itulah kehidupan hampir setiap orang yang lebih
mengutamakan kepentingan-kepentingan dari dorongan watak akunya nafsu dan akal
sebagaimana ungkapan orang Jawa “Seje silit seje anggit”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Lampiran, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2).

Adil dan Pilihan :


Adil yang dimaksud adalah hamba yang setelah bertemu dengan Wasithah dan mendapat ijin
memperoleh ilmu darinya lalu selalu berusaha dapat mengadili dirinya sendiri supaya hidupnya
tidak mudah ditipu oleh bujuk rayunya nafsu hingga akan selalu dapat cocok dan sejalan
dengan dawuh Guru. Kokoh sebagai murid. Kokoh menjadi hamba yang berkehendak bertemu
dengan Tuhannya. Karena itu hidupnya selalu dalam suasana prihatin. Sadar sebagai hamba
yang al-faqir.

Pilihan yang dimaksud adalah hamba yang dipilih oleh-Nya supaya memenuhi kehendak-Nya.
Hamba yang dipilih oleh Allah SWT menjalani hidup dan kehidupan bagai para Malaikatul-
Muqorrobin. Rela sepenuh hati memberlakukan diri “kal-mayyiti” dihadapan wakil-Nya Allah di
bumi guna memenuhi perintah Nabi Muhammad SAW “Muutuu qabla anta muutu”

Wakil Tuhan di bumi adalah hamba yang dibentuk oleh-Nya secara persis tahu dan kenal pada
Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, ilmu tentang keberadaan-Nya dan jalan lurus
menemui-Nya. Yakni para Guru Wasithah yang silsilahnya tidak pernah terputus sama sekali
sejak dari Nabi Muhammad SAW lewat Sayidina Ali As. hingga kini dan bahkan sampai dengan
kiyamat nanti.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang
Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan
Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 3 – 4).

Ahlu Bait (ahl al bayt) (Nabi Muhammad Saw) :


Ahli baitnya Nabi Muhammad SAW adalah yang mengetahui secara persis segala hal tentang
apa yang ada di dalam dadanya Nabi Muhammad SAW, utamanya hubungannya dengan
keberadaan Diri-Nya Tuhan Yang Al Ghaib, yang juga selalu diingat-ingat, dihayati dan
dirasakan dalam hatinurani, roh dan rasanya Nabi Muhammad Saw dalam melakukan apa
saja, dimana saja dan sedang apa saja.
Karena itu Al Mahdi ini adalah mata rantai yang gilir gumanti (jasadnya) dan sama sekali tidak
pernah putus (silsilahnya), mengalir dari dalam dadanya Nabi Muhammad SAW dengan
Kalamullah (Al Qur’an) sebagai obor yang memadangi (menerangi) tugas dan fungsinya
sebagai yang ditugasi Ilahi meneruskan kerasulannya.
Keterangan di atas sejalan dengan Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi :
Bersabda Rasulullah SAW : “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya. Dan
janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta
kepadaku tetapi membenci kamu, karena kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 2


³ D º

dari kamu. Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, rohmu adalah rohku,
rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang
patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu
dan merugilah orang yang memusuhimu. Sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah
orang berpaling darimu.
Kamu dan para iman dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu Nabi Nuh : siapa yang
naik di atasnya selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam. Kamu semua
seperti bintang; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”.

“Kullu maa ghaaba najmun thala’a najmun ila yaumil-kiyaamah”. Setiap kali bintang itu
tenggelam maka terbit lagi bintang hingga sampai kiyamat.
Kalimat terbit menggunakan fiil madhi (thala’a). Maksudnya antara bintang sebelum dan
sesudahnya (antara guru sebelumnya dan yang dikehendaki Ilahi sebagai penerus tugas dan
fungsinya) itu tidak hanya kenal. Tidak hanya sebagaimana hubungan guru dan muridnya akan
tetapi atas kehendak dan Ijin-Nya digulawentah sedemikian rupa sehingga sekiranya ditinggal
mati telah benar-benar siap menerima pelimpahan. Begitulah sejak Nabi Muhammad SAW
yang mempersiapkan Sayidina Ali bin Abu Thalib Ra. Kemudian melimpahkan wewenang
kepadanya sebagai wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya.

Firman Allah yang berkaitan dengan pperihal di atas adalah sebagaimana dalam QS. Al
Maidah 67 :
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang tidak percaya (terhadap adanya penerusan tugas dan fungsi kerasulan
ini)”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 8 – 9).

Ahli dzikir : (lih. Dzikir – Ahli Dzikir).

Ahli Kitab : (lih. Al Kitab – Ahli Kitab)

Ahli Prihatin : (lih. Ahlul Qurub)

Ahlul-Qurub :
• Hamba yang oleh Tuhannya dijadikan Ahlu al-kurub. Dijadikan hamba yang ahli prihatin.
Hidup dan kehidupannya selalu dalam keadaan prihatin. Hanya saja prihatin ini bukan
susah atau sedih. Prihatin yang dimaksud disini adalah hamba yang dijadikan Tuhannya
selalu mengadili dirinya supaya segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya
sama sekali tidak akan mudah dibujuk oleh tipu dayanya nafsu. Apalagi sampai dijajah dan
diperintah.
Sehingga dengan begitu maka segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya
berada dalam Siliring Qudratullah. Ilmunya lalu menjadilah ilmu yang manfaat karena
dapat mengetahui aibnya diri, aibnya til-kumantiil dunia (=kadonyan =mencintai dunia
dengan segala kehormatannya). Juga dapat selalu mengetahui bencananya amal bagaikan
api memakan habis kayu kering. Yaitu takabur, ria’, sum’ah dan ujub.
(Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim
AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 4).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 3


³ D º

• Ahli prihatin; yang bersungguh-sungguh selalu berjihadunnafsi supaya darah yang mengalir
dalam tubuhnya sebagaimana darah yang mengalir dalam tubuh Nabi Muhammad SAW,
yang aliran darah dalam tubuhnya selalu mendorong semangat hidupnya, watak, supaya
berhasil dalam mengikuti jejak para Malaikatul Muqorrobin. Yang mempunyai kepatuhan
dan keta’atan secara utuh untuk berlaku sujud (kal mayyiti baina yadil ghoosili, bagaikan
mayat yang sepenuhnya pasrah kepada yang berhak dan sah mensucikan). Hal demikian
dilakukan semata-mata demi mempersiapkan diri supaya ditarik “fadhal” an “rahmat”-Nya”,
dijadikan hamba yang “muqorrobun”. Hamba yang didekatkan kepada Diri-Nya oleh-Nya
juga.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 36, 37).

• Ahli prihatin, hamba Allah yang dengan sungguh-sungguh berjihadunnafsi supaya rasa
hatinya selalu dalam keadaan mendzikiri DIRI-NYA DZAT AL GAHIBU YANG MUTLAK
WUJUD-NYA DAN ALLAH ASMA-NYA dalam keadaan apa saja, dimana saja dan sedang
apa saja. Sehingga tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinnya akan senantiasa “katut
siriling qudratullah”. Sama sekali tidak karena diperintah oleh nafsunya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki
Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal b).

‘Ainul Yakin : (Lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu kamilah)

Air :
Firman Allah dalam QS Al Anbiya’ 30 mengatakan :
“Waja’alnaa minal-maa’I kulla syai’im hayyin. Afalaa yu’minuuna?”
“ Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka (tetap saja)
tiada beriman?” Air itu sendiri adalah lambang “ilmu”. Ilmu tentang Huwa. Huwa ini adalah
dhamir. Makna dhamir adalah sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang Dia Dzat Yang
Allah AsmaNya. Yaitulah ilmu tentang mengenal dan mengetahui Satu-satuNya Zat Yang Wajib
WujudNya. Meski Al Ghaib, namun dekat sekali, karena itu amat indah diingat-ingat dan
dihayati.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Lampiran, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2 – 3).

Akal :
Yaitu baitul-makmur. Tempat yang memakmurkan. Tinggal yang mana yang hendak
dimakmurkannya. Nafsunyakah dengan watak aku yang selalu ingin menonjol itu? Ataukah
akan memakmurkan cita-cita hati nurani, roh dan rasanya. Kalaulah yang dicenderungi
pendapat nafsunya, maka ia juga akan menjadi orang yang menuhankan akalnya. Dan
penuhan akal, dengan sendirinya pasti meremehkan kepada adanya “sunnah Allah” yang
menetapkan bahwa untuk dapat menemui-Nya dengan selamat, harus mengikuti Al Hadi. Yakni
harus dengan “wattabi’ sabiila man anaaba ilaiya”. Mengikuti dengan loyal sepenuhnya pada
jalan orang yang kembali kepada-Nya (QS. Lukman 15).

Tetapi apabila yang dicenderungi akal ini adalah cita-cita hati nurani, roh dan rasanya, maka
yang dimakmurkan olehnya dengan sendirinya ya bagaimana agar dakwah untuk cita-cita
ma’rifat billah ini berjalan dengan baik.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib
Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 182).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 4


³ D º

Memfungsikan Akal
Akal yang fungsinya bagai kepala pemerintahan sebuah negeri, potensi dan kemampuannya
akan mendatangkan sebab dibukanya berkah dan rahmat Tuhannya, aman, makmur,
sejahtera dan bahagia serta selamat mencapai tujuan dalam mengendalikan bahtera di
tengah lautan meski harus menghadapi banyak gelombang ganas dan arus yang
menghanyutkan, selama apa yang dilakukannya itu patuh dan tunduk pada cahaya dan cita-
cita hati nuraninya. Cahaya hati nurani yang cita-citanya adalah bagaimana supaya dapat
senantiasa mencahayakan fitrah jati dirinya agar selalu bersentuhan dengan Cahaya di atas
Cahaya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al
Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 50)

Tetapi fungsi akal yang seharusnya dapat patuh dan tunduk kepada dzat, sifat dan af’alnya
hatinurani dalam mengepalai pemerintahan ini, kenyataan yang terjadi justru dikuasai oleh
nafsunya. Manusia demikian dengan sendirinya akan menjadikan nafsunya, aku dan akalnya
sebagai tuhannya. Dengan tipu daya kecerdasan dan kepintarannya untuk memutar balik Al
Haq-Nya.

Akal yang dikuasai oleh selera dan cita-rasa nafsu akibatnya pasti mematikan hati nurani yang
cita-citanya menghantar kembali fitrah jati dirinya sendiri, menghantar rahasia inti manusianya
sendiri, pulang kembali ke tempat asalnya. Yakni menemui Dzat Yang Maha Jati Diri.

Adapun akal yang dihidupkan oleh cahaya hati nuraninya, pikirannya akan bergerak untuk
bertafakkur. Tidak mudah terpedaya mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi, yang
menurut petunjuk dalam Firman-Nya (QS. Al An’am 116), bahwa kebanyakan manusia di
muka bumi ini apabila diikuti niscaya akan menyesatkan dari jalan Allah, disebabkan karena
kehidupan mereka hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka itu tidak lain hanyalah
berdusta terhadap Tuhannya. Bahkan Allah lebih mempertegas lagi, Firman-Nya :
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam
negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahanam;
dan jahanam itu tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imran 196 – 197)

Pikiran yang bergerak ke arah tafakkur akan menghidupkan pikiran itu mempertajam
beningnya hati bagaimana mengurai beberapa Firman Allah yang menyentuh kejadian dirinya
sendiri. Maka secara utuh iapun akan dibuka oleh Tuhannya memahami kandungan Firman-
Nya. Antara lain :
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan
yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.” (QS. Ar Ruum : 8).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al
Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 51 – 53).

Alam :

Alam Hakekat :
Rasa hati yang menyadari bahwa sebenarnya yang bisa, yang kuat, yang memiliki segala ini,
yang bergerak, yang berdaya dan berkekuatan adalah Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib. Bahkan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 5


³ D º

hakekatnya Yang Wujud dan Ada hanya Diri-Nya Dzat Al Ghaib Satu-satu-Nya. Oleh karena
itu betapa takutnya seandainya sangat mudah sekali melupai keberadaan Diir-Nya Dzat Al
Ghaib yang sangat dekat sekali ini.

Hamba Allah yang ditarik oleh-Nya merasakan demikian maka ia akan menyadari bahwa
dirinya adalah bagaikan “daun asam yang berada di tengah-tengah gelombang samudera”.
Gerak yang ada pada dirinya adalah karena katut Qudrat-Nya. Karena itu sama sekali tidak
akan berani ngaku bisanya, kuatnya, miliknya. Tidak berani ngaku daya dan kekuatannya.
Sebab hakekatnya adalah Dia Sendiri Pelaku-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 28).

Alam Jabarut :
Alam hamba yang ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah (karena memperoleh beberan, sawab,
berkah dan pangestunya Wasithah; buah dari tumemennya pada Dawuh Guru); ditarik
membuktikan Dawuh Guru. Yakni rasanya yang dirasakan HANYA ADA DAN WUJUD-NYA
TUHAN (fana dzat; membuktikan mati selamat); menjadi ahli surga “fii maq’adhi shidqin ‘inda
malikin Muqtadirin”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik
Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2).

Alam Kabir :
Jagad besar; Alam semesta raya
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 28).

Alam Lahut :
Alam ruh; Ruh yang ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah (karena memperoleh beberan,
sawab, berkah dan pangestunya Wasithah; buah dari tumemennya pada Dawuh Guru), ditarik
membuktikan Fanak Fillah. Hamba yang demikian adalah hamba yang sadar seyakin-
yakinnya bahwa Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Pemilik Segala yang biasa diaku, Yang Obah
Osik dan Ada serta Wujud hanyalah Tuhan. Dalam rasa hatinya yang nampak dengan
sendirinya hanya Tuhan (Isinya Huw); adalah murid yang berada dalam derajat manggon
(selalu bertempat tinggal dalam dawuh Guru).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik
Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2).

Alam Malakut :
• Alam yang ada dalam dada manusia yang dipersiapkan oleh Allah Swt sebagai “markas
besarnya” Cahaya Illahi yang kekal dan abadi yang langsung tembus pada keberadaan
Citra Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaibu Yang Wajib Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya, apabila
hati nurani, roh dan rasanya berfungsi.

• Alam Malaikatul – Muqorrobin; adalah murid (orang berkehendak bertemu Tuhan nya)
yang senantiasa berusaha terus menerus mendidik, melatih dan mujahadah agar dirinya
terus menerus tumemen (ber-sungguh-sungguh) menjalani petunjuk dan perintahnya
Wasithah. Bermacam ujian berupa cobaan, derita yang harus dialaminya (baik
kemudahan maupun kesulitan) semua menjadi rabuk (pupuk) yang menyuburkan
tumemennya. Adalah derajat murid yang ditarik fadhal dan rahmat Allah (karena

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 6


³ D º

memperoleh beberan, sawab, berkah dan pangestunya Wasithah), ditarik pada derajat
sabar yakni selalu rela memaksa jiwa raganya sendiri (wujudnya nafsu) selalu patuh dan
tunduk dijadikan kendaraan bagi cita-citanya hati nurani, roh dan rasa mendakat kepada
Tuhannya sehingga sampai dengan selamat.
Ditarik membuktikan Alam Malakut, ke Alam Lahut lalu dimasukan ke dalam Alam
Jabarut, karena dipilih Allah sendiri menjadi Ahlu al-baitnya Junjungan Nabi Muhammad
SAW, karena relanya selalu belajar menjadi Ahlul al-kurub (menjadi ahli prihatin). Adalah
buah dari pada ilmu yang manfaat (Huwa maa yu’arrifuka min ‘uyub nafsika min hubbi ad-
dunnya wa afaati’amalika)
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang
Ditarik Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2).

Alam Nasut :
Alam Lupa. Adalah hamba yang thaghut di dalam dadanya (hakekat bumi tempat tinggalnya
disuburkan oleh watak iblis dari bangsa jin dan manusia) yang selalu mengalir dalam
darahnya. Kondisi ini hakekatnya adalah hakekat berhala yang bergetarnya selalu berusaha
membentuk pandangan hidup yang dikira baik, benar, indah; padahal sama sekali tidak
diridhai oleh Tuhannya (mendatang amarah-Nya) dan sama sekali tidak disadari.
Padalah kita semua juga berdada. Berbumi. Maka sekiranya tidak ditarik fadhal dan
rahmatnya untuk sepenuhnya percaya kepada dawuhnya Guru yang hak dan sah, syaitanlah
yang menjadi teman akrabnya. Dan yang demikian, hampir semua penduduk bumi, sama
sekali tidak menyadarinya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik
Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 3).

Alam Shaghir :
Jagad kecil (= dada manusia)
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 28).

Alhamdulillahirabbil ‘alamina,: (lih. Faatehah)

Allah :
Asma-Nya Zat Yang Al-Ghaib dan Wajib Wujud-Nya tetapi Al Ghaib.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 32; Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2).

Hak Allah :
Hak untuk diketahui wujud Dzat Al-Ghaib yang sangat dekat sekali dan ditempatkan pada
tempatnya hingga dapat memenuhi perintah-Nya sebagaimana QS.Al A’raf, 205.

Hak Mutlak-Nya Allah SWT


Allah adalah nama-Nya Dzat Wajibul Wujud (tetapi) Al-Ghayb. “Innani Ana Allah” (QS. Thaha
14). “Sesungguhnya Aku ini Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya, (itulah) Aku Allah (nama-
Ku).
Al-Ghayb adalah isim yang Ghaybun-nya mufrad dan al-nya ma’rifah. Adalah Ada dan Wujud
Diri-Nya Illahi, satu-satunya Dzat Yang Ghayb karena tidak akan pernah menampakkan Diri

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 7


³ D º

di muka bumi. Tidak bisa dilihat oleh mata kepala tetapi bisa disaksikan oleh “mata hati”
apabila rela meminta petunjuk kepada ahlinya.
Al-nya jelas. Jelas dekat sekali. Jelas meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya. Jelas mudah
diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati hingga dapat memenuhi perintah-Nya “Wadzkur
Rabbaka fii nafsika”. Dan ingat-ungatlah Rabbmu di dalam rasa hatimu (QS. Al-A’raf 205).

Adapun yang sama sekali tidak bisa dilihat oleh mata kepala tetapi bukan Diri-Nya Illahi Dzat
Yang Al-Ghayb Allah dalam firman-firman-Nya menyebut al-ghuyuub. Beberapa hal yang
dibangsakan ghayb karena sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Peringatan Bagi Para Pemimpin, Tanjung, Pertengahan
Desember 2006, hal. 2).

Menuhankan Sesuatu Selain Allah


Di dalam firman-Nya Allah menegaskan :
“Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah agar kamu tidak menjadi tercela
dan tidak ditinggalkan (oelh Allah)” (QS. Al Isra’ 22)
Iblis dan juga syaitan yang karena merasa lebih baik akan keberadaan “akunya” penyebab
dia divonis sesat oleh Allah. Karena kesombongannya itu maka ia tidak mau tunduk kepada
perintah Allah supaya sujud, taat dan patuh kepada kholifah Allah. Jadi iapun mengakui
keberadaan adanya Allah dan bahkan pernah berdialog dengan-Nya.

Mengadanya Tuhan yang lain selain Allah itu juga termasuk pada ujud jasadnya sendiri.
Sebab jasad termasuk juga sesuatu selain Dia. Menuhankan ujud jasadnya yang menyentral
pada akunya itulah penyebab adanya hawa, yakni keinginan. Keinginan untuk memenuhi
tuntutan jasad. Padahal hakekat yang ujud hanyalah Dia Semata. Karena selain Dia, Tuhan
Yang Allah Asma-Nya itu disebut bangsa wujud, sebab memang sebenarnya tidak ada dan
tidak ujud. Sehingga kalau ia merasa dan mengaku ujud juga, ini sama saja dengan
menyamai Tuhan Allah. Ngembari Allah. Berangkat dari pengakuan ujudnya itulah yang tidak
disadari sebagai sumbernya segala bencana dan malapetaka. Menjajah dan memerintah
hatinurani, ruh dan rasanya supaya selalu mendukung tuntutan ujud akunya itu.

Ujud jasad yang dicipta Allah mestinya harus dapat patuh dan tunduk dijadikan kendaraan
cita-cita hati nurani, ruh dan rasa untuk mendekat kepada Tuhannya sampai ma’rifat kepada-
Nya yang dengan jalan jihadunnafsi menjadi nafsul-muthmainnah, nafsu yang mapan
dikendalikan hingga dengan rela dan senang kembali kepada Allah karena ridha dan cinta-
Nya, justru malah kebalik. Yakni jasadnya yang tidak lain adalah ujud nafsunya itu yang
menaiki hati, ruh dan rasanya. Diperintah untuk mengingat-ingat apa saja selain Allah. Yakni
mengingat-ingat keinginan dan kesenangannya.
Ruh yan fitrahnya dari Allah itu dijajahnya juga untuk selalu menghidupi semangat nafsunya
agar memiliki daya dan kekuatan guna mewujudkan keinginan, kesenangan, pamrih dan
selera nikmatnya jasad yang tidak pernah ada hentinya.
Maka rasanyapun dijajah pula untuk merasakan irinya, dengkinya, dendam kesumatnya,
syahwatnya, cita angan-angannya, pahitnya, getirnya, enaknya, tidak enaknya, senang,
susahnya, gelapnya, manisnya, celakanya, ambisinya. Sehingga rasa yang menurut fitrahnya
mempunyai tugas mulia disisi-Nya yakni merasakan betapa nikmat rasa mengingat-Nya
hingga sampai benar-benar merasakan dengan yakin akan hakekat Tuhan Allah SWT, tidak
pernah terbesit di dalam hatinya.
“Maka pernahkan kamu memperhatikan orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapakah
kamu tidak mengambil pelajaran?(QS. 45:23).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 8


³ D º

Bahkan dalam surat Al Furqan ayat 44 :


“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya”.
Dengan demikian, sekali lagi, jelaslah bahwa sesuatu yang menjadi Tuhannya yaitu sesuatu
yang dianggap penting atau dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa sehingga manusia
itu membiarkan dirinya dikuasai oleh sesuatu itu. Padahal apa yang dianggap penting lagi.
Begitu seterusnya tidak ada habisnya. Karena itu maka, betapa kedalaman makna kalimah
Tauhid, “laaillaha illAllah” kalimah nafi dan itsbat ini, tidak pernah terpikir untuk diceburi
apalagi untuk dapat tenggelam didalamnya.
Hal demikian terjadi karena sesuatu yang diinginkan dan dengan apa yang dianggapnya
penting itu saling berkejaran. Ia telah disibukkan dan mencebur kedalamnya, dan itulah yang
menjadikannya puas, bangga dan bahkan dipamer-pamerkannya. Sehingga Allah
mengancamnya :
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan untuk menemui Kami disebabkan
mereka telah merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan
dunianya itu dan itulah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya
adalah sebagai ahli neraka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. 10 : 7-8).

Demikian itulah kehidupan cara pandang dan wawasan hidup orang-orang yang dinilai
paling rugi oleh Allah. Perbuatan yang sia-sia, tetapi mereka mengira itulah perbuatan yang
sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan dan kufur
terhadap perjumpaan dengan-Nya. Maka hapuslah semua amalan-amalannya, sedang Allah
tidak akan mengadakkan penilaian bagi amalah mereka nanti di hari kiamat. Demikian yang
dapat kita perhatikan dalam firman Allah surat 18 ayat 105 - 106.
Keadaan yang telah menjadi salah kaprah, salah tetapi telah menjadi kebiasaan yang
dianggap benar adalah menjadikan agama terpecah belah menjadi beberapa golongan yang
masing-masing golongan membagi apa yang ada di dalam golongannya masing-masing,
sebagaimana yang telah kami singgung pada bab pertama tulisan ini.
Hal itu terjadi karena tidak disadari sebab kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa
Islam itu adalah agama Tauhid. Semangat dan gairah beragamanya demi untuk men-
Tauhidkan Dzat Sifat Af’alullah dengan lurus menghadap kepada Wajah Dzat Allah SWT.
Kapan saja dan dimana saja. Itulah fitrah Allah yang menciptakan manusia atas Fitrah-Nya.
Tidak ada perubahan bagi Fitah-Nya. Dan yang demikian itu dilaksanakan dengan
kesungguhannya dalam berjihadunnafsi supaya dengan selamat kembali kepada-Nya. Karena
Allah menghendaki dengan kembali bertaubat kepada-Nya, bertaqwa kepada-Nya,
menegakkan sholat yang khusyu’ dan jangan termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan
yang tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya (QS. Ar
Rum : 30 – 31).
Kemudian di dalam surat Al Mukminun ayat 52 – 56, Allah mengulang kembali tentang hal
seperti itu. Bahkan tersirat ancaman-Nya : “Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya
sampai suatu waktu. Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan
pada mereka itu berarti bahwa Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada
mereka?
Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”.
Betapa lihainya tipu-rayunya nafsu sendiri yang senantiasa dapat bantuan dari iblis dan
syaitan supaya memandang baik apapun yang sebenarnya tidak sejalan dengan kehendak
Allah, hingga dalam menyembahnya itu hanya berada di tepi (QS. 22 : 11 – 13), maka tidak
“njegur” ke dalam.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 9


³ D º

Sebagaimana yang dituturkan Allah dalam QS 22 : 11 – 13 di atas, bahwa di antara manusia


ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Tetap saja di tepi. Di aku-nya kebajikan yang
diperolehnya itu dikira adalah karena hasil usahanya sendiri dengan ilmu dan keahlian yang
menjadi miliknya sendiri. Berbangga dirilah ia. Bahkan juga dipamer-pamerkannya kepada
manusia banyak agar orang banyak itu mengaguminya. Lalu memuji dan menghormatinya.
Tetapi jika ia ditimpa bencana, berbaliklah ia ke belakang. Yakni ngersula. Kecewa. Putus
asa. Menyalahkan sini, menyalahkan sana dikira orang lainlah penyebab sengsara yang
menimpanya. Bahkan menyalahkan Tuhan Allah. Su’udzan pada Allah. Su’udzan pada orang
lain. Maka iri, dengki, dendam, jengkel dan sebagainya selalu menyertai wataknya. Maka
rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.
Sesungguhnya yang diseru itu adalah sejahat-jahat penolong dan sejahat-jahat kawan.
Demikian apa yang tersirat dalam QS. 22 : 11 – 13.
Padahal yang diserunya itu, apa akunya, nafsunya, golongannya atau mungkin juga punden
dan yang dikira dapat menyelematkan dan membahagiakan hidupnya itu, membuat lalat saja
tidak bisa meski berkumpul menjadi satu. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya mengenal (QS. 22 : 73 – 74).

Setiap harinya manusia itu digerakkan oleh tiga kekuatan yang bersumber dari dalam
dadanya sendiri. Tiga kekuatan itu masing-masing adalah hati nuraninya, akalnya dan atau
hati sanubarinya.
Hatinurani adalah hati yang sebenarnya tempat bertemunya cahaya Ilahi. Ia mempunyai
watak seperti kehendaknya malaikat Allah. Cita-citanya adalah selalu dapat dzikrullah,
memuji-Nya dan me-Mahasucikan Dia semata untuk dapat dengan lancar mendekat kepada-
Nya hingga sampai dengan selamat kembali kepada-Nya lagi. Karene itu ia akan dengan rela
hati mau sujud, mau patuh dan tunduk diperintah Allah. Diperintah untuk sujud, patuh dan
tunduk kepada kholifah-Nya. Mengikuti jejak dengan taat kepada jalan orang yang kembali
kepada-Nya (QS. Al Lukman 15). Maka hati ini selalu cinta mengingat-Nya.
“Maka senantiasa ingatlah kepada-Ku (tentu) Aku (juga) ingat kepadamu serta bersyukurlah
kepada-Ku dan jangan kamu termasuk orang-orang yang kufur”. (QS. 2 : 152).
Karena Allah selalu ingat kepadanya, maka “potensi akalnya” juga akan ditunjuki oleh Allah
untuk mendukung cita-cita hati nuraninya itu dalam mempercepat proses pendekatan dirinya
kepada Allah. Ia dengan petunjuk Allah akan dapat mengembangkan suburnya potensui pikir
dalam dzikir. Sehingga tingkah laku dan perbuatannya semata-mata karena siriling
qudratullan, yakni dapat menghayati merdeka sejati dan sempurna. Menghayati sepenuhnya
dengan mapan dan pasti bahwa Dia selalu menyertaimu dimana saja kamu berada dan
sedang apa saja. Kerja sama antara hati nurani dan yang akalnya seperti itu dapat
digambarkan bagaikan raja yang adil dan bijaksana yang bertahta di dalam dadanya.

Akan lain halnya apabila yang mengusai tingkah dan lakunya itu berangkat dari dalam hati-
sanubari. Hati itu letaknya ada di dalam dada sebelah kiri, kira-kira dua jari di bawah susu.
Hati-sanubari ini adalah markasnya nafsu-lawwamah yang bala tentaranya : enggan, masa
bodoh, acuh tak acuh, senang menuruti kehendak nafsu, boro, senang memuji diri, pamer,
senang mencari dan meneliti kesalahan orang lain, senang menganiaya, dusta, pura-pura
lupa kepada kewajiban. Dengan sendirinya kemauan nafsu amarahnya yang letaknya ada di
dada sebelah kiri, akan senang membantunya.
Nafsu amarah yang bala tentaranya : senang berlebihan, royal, angah-angah, serakah,
dengki, dendam, iri, benci, bodoh, tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati (kumingsun),
senang menuruti kemaun syahwat, suka marah-marah, akhirnya gelap tidak mengetahui
Tuhan. Maka iblis dan syaitan juga akan saling berlomba membantunya.
Potensi akalnyapun dengan sendirinya juga di bawah perintahnya, bagai perdana menteri
yang membantu keinginan dan kesenangannya. Maka jadilah ia sebagai raja yang angkara

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 10


³ D º

murka yang bertahta dalam dadanya, yang memerintahkan kepandaian dan kecerdasan
akalnya itu untuk pandai-pandai ngreka-ngreka. Pandai-pandai ngakali, minteri, ngapusi
supaya tidak ketahuan. Dunia yang mestinya digarap, dikelola, dibangun, dimakmurkan
sebagai sarana dan medannya mazro’atyl-akhirat, dibalik.
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu jadi pemakmurnya, maka
mohonlah ampunannya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat
dekat dan lagi memperkenankan”. (QS. 11 : 61).

Penuturan Nabi Salih yang dibadikan dalam firman-Nya telah dapat kita pahami dengan
jelas. Kerja keras, dinamis, kreatif yang harus dikerjakan oleh setiap mukmin untuk dapat
menguasai kondisi tertentu hingga makmur dan sejahtera, disiapkan sebagai sarana dan
medan yang istiqomah, yang madep mantep dan tumemen semata-mata guna menuju
kepada-Nya. Untuk dapat dijadikan memperbanyak lakon dan pitukon dalam memproses jati
diri mendekat kepada Ilahi. Dan karena sadarnya sebagai hamba yang ternyata dalam
perjalanannya itu banyak sekali dosa dan kekeliruan yang dilakukan, maka dengan sadar
pula ia akan selalu memohon kepada-Nya dan kembali bertaubat kepada-Nya.
Jangankan kita yang hamba biasa, sedan manusia yang kemudian dipilih sebagai Nabi dan
Rasul-Nya, menyadari betapa bodohnya dan zalimnya atas dirinya sendiri. Nabi Adam
sebagai contoh kongkrit. Tersandungnya atas dosa dan kesalahan yang dilakukan karena
terbujuk iblis memakan buah kuldi hingga ia kemudian dikirim ke dunia. Karena memang
dipilih oleh-Nya dan kalaulah sekiranya hal itu tidak terjadi, kiranya ia tidak akan beranak
cucu hingga sekarang menjadi sekian banyak manusia isi dunia. Dia menangis dalam
taubatnya dalam doa :
“Rabbana dzalamna aanfusana fainlam taqhfirlana watarhamna lanaa kunanna minal khasirin”
“Ya Tuhan kami bahwa kami telah berbuat aniaya atas diri kami maka seandainya tanpa
Rahmat-Mu, tanpa Belas-Kasih-Mu dan tanpa ampunan-Mu atas diri kami , pastilah kami ini
termasuk orang-orang yang merugi”.

Demikian pula Nabi Yunus, karena putus asa menghadapi kaumnya, yang berada dalam
perut ikan ketika ia berdoa sedang ia berada dalam keadaan marah terhadap kaumnya.
Sekiranya tidak karena nikmat Allah yang menjadikan ia sebagai kekasih-Nya, dipilih-Nya
sebagai Rasul-Nya hingga termasuk orang-orang yang salih, benar-benar akan dicampakkan
ke tanah tandus dalam keadaan tercela (QS. 68 : 48 – 50). Menangislah Nabi Yunus dengan
doanya :
“Laa ilaha illa anta ini kuntu minalzaalimin”.
“Tiada Tuhan selain Engkau, ya Allah, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah dari
antara orang-orang yang zalim”.

Demikian pula kisah Nabi Musa yang suatu ketika karena keberhasilannya membebaskan
kaumnya dari cengkeraman Fir’aun, maka ia lalu merasa bangga, karena memang kekasih-
Nya, segera saja Allah memperingatkan bahwa masih ada orang yang lebih dari padanya.
Maka bersumpahlah Nabi Musa bahwa meski berapa tahunpun ia akan mencari orang yang
disebutkan Tuhannya itu (QS. Kahfi : 60 – 82). Orang yang disebutkan Allah adalah Nabi
Khidir. Dalam perjalanan bersama Musa, ternyata Nabi Musa harus mengakui
kekurangannya. Iapun sadar. Sadar sebagai hamba biasa meskipun oleh Allah dikehendaki
sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Keduanya Nabi Khidir dan Nabi Musa, sama-sama tidak ada
yang mengaku kebiasaannya. Sama-sama menyadari bahwa itu semata-mata dari Tuhannya.
Sahdan Nabi kitapun, Muhammad Rasulullah juga pernah ditegur oleh Allah karena bermuka
masam, merendahkan seseorang yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum. Ia datang
menghadap Rasulullah untuk membersihkan dirinya. Ia datang untuk mohon ajaran tentang
mencapai itu kepada Rasulullah. Namun saat itu Nabi sedang mengharapkan yang dihadapi,
mereka yang mampu, namun ternyata merasa mampu karena itu tidak butuh membersihkan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 11


³ D º

diri. Yang diharapkan Nabi agar menjadi muslim ternyata mereka itu orang-orang yang
sombong karena memandang diri sudah cukup. Orang demikian menurut petunjuk Allah tidak
ada celaan seandainya tidak dilayani. Maka yang seharusnya dilayani adalah mereka yang
justru membutuhkan meskipun yang ini hadir orang yang pada lahirnya hina. Buta dan bodoh.
Kejadian itu dapat kita simak dalam surat Abasa. Surat tentang bermuka masamnya Rasul
karena enggan menerima orang buta, Abdullah bin Ummi Maktum. Karena Nabi dan kekasih-
Nya, maka teguran Allahpun diterimanya dengan rasa ikhlas dan bertaubat kepada-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat
Mentauhidkannya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-Cita Kebangkitan Yang Islami, ,
Tanjung, Januari 1990, hal. 20 – 24).

Penuhan-penuhan Akal.
Ciri manusia yang menuhankan akalnya adalah mereka yang memandang diri cukup. Tidak
memerlukan lagi petunjuk dari orang lain meskipun pembawa petunjuk itu atas kehendak
Allah. Seperti halnya ketegasan Allah dalam surat Abasa di atas. Mereka meski tidak dilayani,
tidak ada celaan dari Allah. Sebab memang tidak butuh membersihkan diri dari dosa terbesar
yang tidak ada ampunannya dihadapan Allah. Yakni dosa syirik lahir dan batin. Sikap
sombong dan angkuhnya karena merasa diri cukup atas hasil ilmunya, pengetahuanya, bakat
dan keahliannya, justru membuat dia tercengang dan heran, dianggapnya mengada-ada
apabila datang peringatan dari Allah dengan perantaraan seorang laki-laki dari antaranya
sendiri agar dia memberi perinatan dan pelajaran kepadanya supaya bertaqwa dan supaya
mendapat rahmat (QS. 7 : 63).
“Bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan
dari antara mereka sendiri maka berkatalah orang-orang yang tidak percaya itu : “Inilah
adalah sesuatu yang amat aneh”. (QS. 50 : 2).

Meski sebenarnya Allah telah banyak sekali mengulang-ulang bagi manusia dalam Al Qur’an-
Nya itu dengan bermacam-macam perumpaan. Namun manusia adalah makhluk yang paling
banyak membantah (QS. 18 : 54). Karena itu dengan tidak sadar sebetulnya peristiwa yang
menimpa nasib Bal’am juga terulang kembali dan terulang kembali. Dengan banyaknya ilmu
pengetahuan apa saja yang telah diserapnya itu justru membuat ia sombong. Sebagaimana
juga yang dialamatkan Allah kepada ahli-kitab. Dengan banyaknya kitab yang dikuasai
dengan dukungan kecerdasannya menghafal dalil-dalil naqli dan akli yang dikuasai, iapun
merasa dan memandangi diri cukup. Bahkan seharusnya orang lain yang harus mengikuti
pandangan dan pendapatnya. Kalau tidak ia akan dengan mudah tersinggung gengsi akunya
dan kehormatannya. Guna mengatasi hal seperti itu sebenarnya Allah juga telah memberi
peringatan sebagaimana dalam surat Al Maidah 77 :
“Katakanlah : “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan
cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang yang
telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus”.

Bagi yang mau jujur, rela dan sadar dalam bertafakur, dalam mawas diri, makarti, disebutkan
Allah sebagai ahli kitab itu tidaklah hanya mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani, tetapi
juga kepada kita yang biasa ngendelkan kitab. Ngendelake pinternya ngaji.Karena itu lalu
memandang diri cukup. Sama dengan berani ngembari Allah. Menyamai Allah. Sebab yang
berani memandang dirinya cukup semestinya hanyalah Dia semata. Sebab itulah maka
takkabur adalah selendangnya Allah.
Memandang diri cukup, maka menjadilah ia orang yang melampaui batas. Melampaui batas
dan wewenang hak-Nya Allah. Sebab hakekat yang bisa, yang kuat, yang empunya segala,
bahkan yang Ada dan yang Ujud hanyalah Dia Sendiri. Sehingga mestinya pandainya akal,
pinternya, cerdasnya, pengusaan berbagai kitab dan ilmu pengetahuannya, seluruhnya

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 12


³ D º

digunakan dan ditujukan untuk mengembang tumbuh suburnya semangat dan luasnya
wawasan dan pandangan hidupnya untuk memperlancar proses pendekatan dirinya kepada
Allah hingga sampai selamat kembali kepada-Nya. Agar supaya tidak dihinakan oleh Allah
pada saat seluruh manusia dibangkitkan. Yakni dihari di mana semua harta benda,
bangunan-bangunan hasil kerja akal dan kepintarannya serta anak laki-laki yang
dibanggainya tidak berguna, kecuali orang yang hatinya telah sampai kepada Allah dengan
hati yang selamat (QS. 26 : 87 – 89).
Orang yang oleh Allah diuji coba dengan kemampuan cerdasnya akal apabila hal itu tidak
digunakan untuk menuju kepada–Nya, pandai dan cerdasnya sang akal justru akan
digunakan untuk mengkapling-kapling Al Qur’an dengan bermacam ragam disiplin ilmu yang
masing-masing bendera pemegang disiplin ilmu membanggai bendera yang dipegangnya itu.
Hingga sempitlah dan piciklah wawasannya. Tidak utuh dana tidak menyatu untuk menuju
kepada Ilahi. Karena itu sangat mengecamnya :
“Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada
orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al
Qur’an itu terbagi-bagi.(QS. 15 : 90 – 91).

Maka dalam hal daya kemampuan akal yang hanyan digunakan untuk menjadi penurut pada
pendapat nafsu, Einstein sendiri ternyata telah memberikan kesaksian dengan katanya :
“Kita telah belajar dari pengalaman yang pahit bahwa pikiran rasional ternyata tidak cukup
untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan sosial kita”.
Bahkan Dr. Schumacher setelah menyadari hal sama mengatakan :
“Masalah-masalah zaman ini tidak dapat dipecahkan dengan oraganisasi, administrasi dan
uang, meskipun saya menyadari bahwa semua itu penting. Kita menderita penyakit metafisika,
maka obatnyapun harus juga metafisika”.

Itulah penyakit rasionalisme yang picik berhubung luput melihat data terpenting, data kunci
untuk memahami kehidupan secara pas dan persis di jalan kehendak Tuhan. Sebagai
akibatnya rasionalisme senantiasa menyeret pada kebutuhan lorong-lorong gelap, menuruti
kehendak hawa nafsunya. Rasio menjadi angkuh dan sombong dan tidak awas lantaran
menderita kebutaan dimensi cahaya yang Ilahi.
“Dan barang siapa yang di dunia sekarang ini buta (hatinya) maka ia kelak di akhirat juga
akan buta dan akan lebih sesat jalannya (tidak kembali kepada Tuhan lagi dengan selamat
dan bahagia di sisi-Nya).

Memang sejak Decrates berkata : “Saya berpikir maka saya ada”, maka kepercayaan kepada
kemampuan akal untuk memperoleh kebenaran kian menjadi-jadi. Berlebih-lebihan. Akal
yang cenderung sombong, tidak tahu diri sebab ia tidak menyadari batas-batasnya. Bahkan
kemudian keblinger lantaran tidak konsekuen dalam aturan mainnya. Demikian itulah ada
dan keberadaan sang akal yang dijajh oleh nafsu. Akibatnya memang mengerikan.
Memperbanyak saja datangnya berbagai bendu, azab dan bencana di muka bumi. Belum lagi
akibat yang menjebak manusia dalam kegelisahan batin yang menumbuhkan bermacam-
macam penyakit batin, polusi batin dan gersangnya batin. Dan juga tidak disadari akan
menjebak manusia pada keserakahan dalam mengumbar nafsu bangsa hewan yang butuhnya
hanya pada nikmatnya makan dan nikmatnya syhawat. Makan apa saja. Syahwat pada siapa
saja. Asal berhasil, tidak peduli bagaimanapun caranya.
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalanginya diulurkannya lidahnya dan jika
kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka kisahkanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir”. (QS. 7 :
176).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 13


³ D º

Menurut kehendak Allah, nikmat akal yang diberikannya itu dengan luasnya berbagai ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, justru mestinya untuk menumbuhsuburkan
tafakurnya. Memikirkan kejadian diri yang dicipta Allah dari jati diri yang satu (An Nisa ayat 1)
supaya dapat menepati peringatan Allah untuk dapat “biwahidatin” (As Sab 46), lillah semata
kepada-Nya baik dengan sendiri-sendiri atau berdua-dua. Maka jelas dan gamblang bahwa
tanpa hadirnya “hidayah Iman dari Allah”, manusia akan benar-benar menjadi zalim dan
sesat jalan. Hidayah iman yang membangkitkan kesadaran untuk melakukan jihadunnafsi,
perang terbesar dan terus menerus sebagaimana sabda Rasulullah. Akan betapa jadinya
apabila tidak mau sadar diri melakukan jihadunnafsi sebab nafsu yang disiapkan Tuhan Allah
sebagai kendaraan pulang kembali kepada-Nya itu adalah sebuah kendaraan (nafasunya diri,
ujud jiwa raganya sendiri) itu adalah mempunyai perbuatan selalu mengajak kepada semua
yang tidak sekehendak dengan Allah. Selalu mengajak maksiat disang dan malam, pagi dan
petang. Akan tidur maupun bangun tidur. Sifatnya selalu tidak mengerti kepada Tuhan.
Karena itu ia tidak butuh bertemu dengan-Nya. Sebab memang kendaraan. Tidak ada
kendaraan yang ikut masuk ke rumah tuannya. Ia hanya tinggal. Seperti jasad, manakal habis
masa pakainya di dunia, jadilah ia bangkai. Dikubur. Selesai. Sebab nafsu itu yang tidak lain
ujudnya jasad itu mempunyai dzat yang selalu membatah kepada semua perintah Allah. Itulah
sebabnya Allah mengingatkan :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkan dari jalan Allah. Meraka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. 7 : 116).
“Dan kalaulah sekiranya tanpa hidayah iman dari Allah, manusia akan menjadi kacau balau.
Dikacaubalaukan oleh nafsunya sendiri karena mendustakan kebenaran sebenarnya telah
datang pada mereka”. (QS. 50 : 5).

Kacau balau seperti perumpamaan ini :


Diumpamakan Allah menciptakan sebanyak sepuluh ribu manusia. Karena saat ini yang ada
hanya Dia dan hamba-Nya, maka sepuluh ribu manusia itupun masih tetap utuh menyaksikan
Dia. Menuju Dia. Memandang semata hanya kepada-Nya. Untuk mengujinya karena telah
berani menerima amanah dari-Nya itu, maka Allah lalu menciptakan dunia dengan segala isi
kenikmatan didalamnya. Maka yang sembilan per sepuluh dari orang sejumlah sepuluh ribu
ini menoleh kepada dunia. Maka tinggalah seribu saja.
Dari sisa seribu orang ini Tuhan masih mengujinya dengan menciptakan surga. Nah,
kemudian yang sembilan persepuluhnya lalu karena menginginkan masuk surga, tidak lillahi
lagi. Tidak murni lagi semata menuju dan menatap kepada-Nya.
Tinggalah seratus orang. Kepada yang seratus inipun Allah lalu mengujinya dengan
menciptakan neraka. Tidak karena takutnya kepada Allah. Sahdan sempat dihitung-hitungnya
janji pahala dari Tuhannya itu. Lalu ia berpuas dan berbangga diri dengan apa yang dikiranya
itu.
Sepuluh orang sisa dari semula sepuluh ribu itu oleh Allah diuji dengan adanya susah,
senang, sakit, sehat, gelap, terang, sedih, bahagia. Maka yang sembilan akan terperangkap
dengan itu. Kalau hatinya senang, badanya sehat, hatinya gembira, ia akan berjalan menuju
kepada-Nya. Tetapi kalau sedang sakit, gelap, sedih, susah, ia akan berhenti. Sehingga
kadang ia berjalan dan kadang juga berhenti. Tidak ajeg. Tidak istiqomah.
Sehingga tinggal satu sajalah dari sepuluh ribu manusia yang tidak peduli dengan itu semua.
Karena telah mampu mengendalikan nafsunya, atas ijin Tuhannya jua, gambarannya
bagaikan buraq yang dikendarai Nabi ketika dijalankan Allah pada kisah Isra dan Mi’rajnya.
Meski naik gunung atau sedang menuruni jurang, sebagai kendaraan ia tetap lempeng.
Sebab kalau sedang menaiki gunung, kaki yang muka memanjang. Itulah gambaran nafsul
mutmainnah. Bagaimanapun keadaan kondisi, suasana dan situasi yang dihadapi, tujuannya

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 14


³ D º

tetap karenanya ia akan selalu melaksanakan jihadunnafsi supaya nafsunya itu patuh dan
tunduk dijadikan kendaraan untuk mendekat kepada Allah sehingga sampai kepada-Nya.
Dalam surat Al Baqarah ayat 54 Allah SWT, berfirman :
“.... maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu
lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima
taubatmu”.

Maksud dibunuh bukan lalu bunuh diri. Sama sekali tidak. Tetapi yang dibunuh adalah
kehendaknya. Yang dibunuh adalah keinginannya. Kesenangannya. Pamrihnya. Supaya tidak
mempunyai keinginan sendiri. Tidak mempunyai kehendak sendiri. Sebab kalaulah si nafsu ini
mempunyai kehendak sendiri, bebas memilih keinginan dan kesenangannya sendiri, pastilah
ia akan menguasai, memerintah dan menjajah hati nurani, roh dan rasa diperintah untuk
mengikuti kemaunnya. Dan kalau diturut, kemauan yang diinginkan adalah kemauan yang
menyimpang dari jalan Tuhan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat
Mentauhidkannya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-Cita Kebangkitan Yang Islami, ,
Tanjung, Januari 1990, hal. 24 – 28).

Memperalat Tuhan :
Wujud jiwa raga manusia ini sebenarnya tidak bisa apa-apa. Bernafaspun sebenarnya juga
tidak. Apalagi kemudian mempunyai daya dan kekuatan lalu bisa mendengar, bisa melihat,
bisa mencipta angan-angan, menggagas, bisa berfikir, bisa bekerja mengelola garapan
dunia. Sebab fisik manusia ini dicipta Allah dari sesuatu yang hina dan tidak bisa apa-apa.
Allah memulai ciptaan manusia ini dari tanah. Menjadikan keturunannnya dari sari pati air
yang hina (Qs. As Sajdah : 7 – 8). Kemudian menjadi berharga dan ada nilainya tidak lain
karena disempurnakan oleh Allah dengan meniupkan ruh-Nya kedalam jasad manusia.

Ruh yang menandai adanya kehidupan berdunia berupa keluar dan masuknya nafas serta
berdaya kekuatan, sebenarnya ini adalah ruh-Nya. Daya dan Kekuatan-Nya, Bisa-Nya, Kuat-
Nya dan Af’al-Nya. Namun ternyata semua diaku oleh manusia.

Wujud jiwa raga manusia ini sengaja dijadikan demikian oleh Allah sebagai ujian guna dapat
dijadikan kendaraan pulang kembali kepada-Nya dengan cara dan jalan yang harus patuh
dan tunduk pada aturan main-Nya (yang karena Dia tidak ngejawantah maka membentuk
wakil atau utusan), sama sekali tidak dipenuhi. Diingkari bahkan melebihi batas.
Dengan demikian menjadi nyata bahwa hidup manusia ini yang pasti memperalat Tuhannya
untuk memenuhi tujuan dan cita-cita nafsunya.
“Bahkan sebenarnya mereka ingkar untuk menemui Tuhannya” (QS. As Sajdah 10).
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya
berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul”.(QS. Al Furqaan : 27).
“Dan alangkah ngerinya jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa
(karena selama hidupnya telah benar-benar memperalat Tuhannya demi tujuan dan cita-cita
nafsunya) itu menundukan kepalanya dihadapan Tuhannya, (mereka berkata) : “ Ya Tuhan
kami, kami telah meilhat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan
mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”.
“Akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku. Sesungguhnya akan Aku
penuhi jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. (QS. As Sajdah 13).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 12).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 15


³ D º

Menolong Allah :
Firman Allah dalam QS. Al Hajj 40 : “Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolongnya”. Dalam QS. Muhammad 7 : “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu
menolong Allah, niscaya Dia menolonmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Lalu apa yang terkandung dalam maksud firman Alah tersebut? Apakah sealayaknya Allah
ditolong? Sedang Dia adalah segala-galanya,

Maksud yang seharusnya ditolong adalah ketetapan-Nya. Ketetapan Allah karena Dia (Dzat Al
Ghaib) – tidak ngejawantah di muka bumi. Kemudian “inni jaa’ilun fil-ardhi khaliifah”. Dia
membentuk wakil-Nya di bumi. Kemudian semua orang yang mengaku Islam dan beriman,
ngakunya adalah khalifatullah. Padahal wakil dan muwakil itu hakekatnya sama saja. Taatnya
kepada wakil itu buah dan manfaatnya serta sampainya kepada-Nya dengan selamat dan
bahagia, itu sama persis dengan taatnya kepada muwakkil (yang mewakilkan).

Guru Wasithah yang hak dan sah, itu hakekatnya adalah Dia sendiri. Hakekatnya adalah Nur
Muhammad. Seperti juga Nabi Muhammad SAW yang juga Rasul-Nya Allah, hakekatnya
adalah Nur Muhammad yang dibungkus jasad (karena yang akan dibimbing juga beruapa
jasad). Sehingga namanya wakil, ia tahu persis keberadaan si muwakkil. Tahu persis terhadap
keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Allah Nama-Nya. Sebab hakekatnya
adalah Dia sendiri.
Maka dari itu manakala berani ngaku atau merasa menjadi Guru, adalah perbuatan murtad
sebesar-besarnya. Sebab sama saja dengan berani ngembari atau menyamai Tuhan.
Kemudian yang kebetulan ditugasi sebagai wakil, atas kehendak-Nya semata, rasa hatinya
tenggelam ke dalam Aku Ini. Tenggelam ke dalam keberadaan Al Ghaib-Nya. Rasa akunya
sirna dan dengan sendirinya juga habis-habisan dalam jihadunnafsinya, karena betapa
hebatnya rasa takutnya seandainya sampai digoda oleh licik dan julignya nafsu sendiri
manakala muncul hingga sampai beranai ngaku dan merasa menjadi Guru.

Ia sendiri yang ditugasi seperti ini menganggap dirinya seperti halnya seseorang yang nyunggu
ambeng di atas kepalanya. Orang lain dianjurkannya untuk mengambil dengan tangannya
supaya memakan amben yang disungginya. Maka sekiranya ia sendiri juga tidak ikut
menggerakkan tangannya supaya mengambil makanan yang disunggi di atas kepalanya
sendiri, iapun akan kelaparan sendiri.
Maka tugas yang dijalaninya, adalah semata-mata semende Gurunya jua. Semende Guru
yang sebelumnya. Ia lakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah Guru sebelumnya. Sak
derma nglakoni. Sebab ia sendiri sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia kerjakan itu adalah
juga sebagai lakon dan pitukonnya. Lakon dan pitukonnya sendiri yang juga sangat berniat
mendekat kepada-Nya. Jadi ia sendiri juga merasa sebagai murid yang bersama-sama
dengan sesama saudaranya yang berniat mendekat hingga sampai dengan selamat bertemu
dengan-Nya. Sehingga yang disebut Guru itu adalah ucapan yang ke luar dari lesannya yang
berupa petunjuk-petunjuk bagaimana mendekat hingga selamat sampai ma’rifat kepada-Nya.
Sehingga dia sendiri juga niba-nangi melaksanakan apa yang diucapkannya sendiri.

Maka keberadaan wakil-Nya Allah yang seperti ini, yang tidak lain adalah Al-Haadi
kepercayaan-Nya, inilah yang ditentang habis-habisan oleh iblis dan wadya balanya. Supaya
tidak satupun hamba Allah yang namanya manusia ini mengikuti Al Haadi. Betapa dahsyatnya
kebencian dan kesombongannya, terlukiskan dalam firman Allah dalam QS. Al Isra’ 62 :
“Dia (iblis) berkata : “Terangkanlah kepadaku, inikah orang yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh padaku sampai hari kiyaat, niscaya benar-benar
akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sedikit (yang tidak)”.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 16


³ D º

(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan


Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 68-70).

Memang ironis, bahwa dalam firman-Nya, QS. Al-Hadid ayat 25, Allah menyatakan : “Dan
supaya Allah mengetahui, siapakah yang menolong-Nya dan menolong Rasul-Nya dengan
(senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzat Yang) Al Ghaib”.

Rela menolong terjadi karena “rela berkorban”. Jadi menolong Allah berarti rela
mengorbankan watak akunya serta mengorbankan segala macam kepentingan dan
keinginan-keinginan nafsu, seperti gengsi, harga diri, kehormatan, status sosial, dan segala
hal tentang kehormatan dunia yang biasa diaku oleh wataknya nafsu, demi memenuhi seruan
Ilahi, patuh dan tunduk bagaikan patuh dan tunduknya para Malaikatul muqarrabun ketika
diperintah Allah sujud kepada wakil-Nya yang selalu mengada di bumi-Nya.

Menolong Rasul-Nya berati juga rela mengorbankan segala macam pillihannya nafsu dan
watak akunya itu untuk secara benar ber it’ba kepadanya, disertai dengan hati yang tidak
mudah melupai Diri-Nya Ilahi Dzat Yang Al Ghaib, yakni Isi-Nya Huw.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 100 – 101).

Menolong bil-Ghaibi :
Firman Allah dalam surat al Hadid 25 : “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-
Nya dan menolong Rasul-Nya bil-Ghaibi”.

Maksud menolong bil-Ghaibi adalah dengan hati yang selalu mengingat-ingat dan
menghayati Keberadaan Dzat-Nya Yang Al Ghaib itu. Yang hanya bisa diperoleh memang
harus bertanya kepada rasul-Nya. Dan atau kepada wakil-wakilnya yang hak dan sah itu.
Supaya menjadi butiran iman di dalam hati.
Sebab hamba yang karena rela hati dengan kesungguhan jihadunnafsinya kemudian menjadi
hamba yang menolong para utusan-Nya. Yakni rela sepenuh hati karena nafsunya telah patuh
dan tunduk sama sekali berperilaku kal mayyiti baina yadil ghasili = bagai mayit yang patuh
dan tunduk dimandikan oleh yang berhak mensucikan, yaitu Al Haadi yang juga disebut
dengan Guru Wasithah, terus menjadi hamba yang sebagaimana dikehendaki oleh-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya dengan (disertai hati yang selalu
mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujdu-Nya Dzat Yang) Al Ghaib, mereka akan
memperoleh ampunan dan anugerah yang besar”. (QS. Al Mulk 12).

Sebagai hamba Allah yang dilengkapi akal dan otak, uraian di atas, apalagi yang berkaitan
dengan bagaimana menolong Allah dan Utusan-Nya, apalagi proses pikir dalam akal sama
sekali tidak mendapat siraman cerlangnya cahaya Wajah-Nya, jadinya hanya nyrimpeti
bahkan merusak dan bisa meracuni Al-Haq-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 70).

Al ‘Ashri :
Bahwa demi masa (demi waktu) – ayat pertama – adalah menunjukkan betapa pentingnya
waktu selama manusia berada dalam kehidupan dunia. Saking betapa penting dan
menentukannya, Allah sendiri yang bersumpah dengan waktu. Waktu atau masa sepanjang usia
yang dijalani manusia di dunia. Akan menjadi benar-benar rugi, nista dan hina dina karena

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 17


³ D º

tdak akan dikehendaki oleh-Nya digolongkan mereka yang telah sampai kepada-Nya dengan
hati yang selamat. Kecuali yang beriman. Yakni yang imannya itu benar-benar masuk ke dalam
Cahaya Wajah-Nya. Iman yang sejalan dengan rasa jiwanya pada saat menyatakan : “Qaaluu
balaa syahidna”. Menyaksikan Dzat Yang Al Ghaib, namun inilah satu-satunya Dzat Yang Wajib
Wujud-Nya.
Dan karena Dia tidak ngejawantah, maka ia percaya bahwa Allah SWT. membuat wakil sebagai
Al Haadi kepercayaan-Nya di muka bumi. Yaitulah hamba yang dikehendaki sebagai ahladz –
dzikri. Tempat bertanya untuk dapat mengetahui dan mengenal Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang
Al Ghaib Yang Allah Nama-Nya ini. (Inilah yang dimaksud “illalladziina aamanu”).

Kemudian yang tidak akan rugi karena tidak dihinakan oleh-Nya (masuk orang yang telah
sampai kepada Allah dengan hati yang selamat) yakni mereka yang melaksanakan amal-amal
yang saleh. Yaitu orang-orang yang dengan sabar dan tawakkal berusaha untuk dapat mencapi
tingkat dan martabat rasa. Suatu amal perbuatan dan juga pengorbanan (yang sekaligus guna
mendidik diri sendiri dan lain orang), dilakukan denga ikhlas yang seikhlasnya sehingga sama
sekali tidak merasa bahwa dirinya berkorban dan berbakti. Sebab melakukan amal perbuatan –
berkorban dan berbakti yang dikerjakan dengan ikhlas yang seikhlasnya karena Allah, dijalan
Allah dan untuk dapat selamat kembali bertemu dengan-Nya, tentu tidak merasa lagi kalau
sebenarnya sedang berkorban dan berbakti. Akan tetapi tingkah laku dan gerak-gerik orang
yang demikian tentu berfaedah bagi orang lain. Dan inilah praktek mereka yang karena telah
mempunyai ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya, segala amal perbuatannya, pengorbanan dan
pengabdiannya, sama sekali tidak di aku. Hatinya selalu semende pada Gurunya yang dengan
sendirinya akan selaku mengingat-ingat, manghayati dan merasakan nikmatnya rasa merasakan
dzikirnya = merasakan Isi-Nya Hu.

Maka……. sebagaimana dalam surat Al ‘Ashri, senantiasa “watawaa shubil-haqq watawaa


shubishshobri”. Mereka yang saling menguatkan dengan perkara yang haq adalah mereka yang
selalu memberlakukan diri melaksanakan jihadunnafsi. Memerangi nafsunya sendiri agar benar-
benar patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya cita-cita hati nurani, roh dan rasa mendekat
hingga sampai kepada-Nya.

Mereka yang selalu menguatkan yang haq adalah yang jihadunnafsinya itu menjadikan darah
yang mengalir dalam tubuhnya, adalah darah seperti darah yang mengalir dalam tubuh Nabi.
Yakni mengalirnya darah yang membentuk wataknya malaikat dalam dirinya. Karena hanya
para Malaikatlah yang rela hati dan sama sekali meniadakan watak akunya, gengsinya, harga
dirinya, status kehormatan dan sebagainya……. kemudian utuh lahir batin melakukan sujud =
patuh dan tunduk “kal mayyiti baina yadil-ghasili” dihadapan yang memandikan (yang
mensucikannya agar kemudian disucikan oleh-Nya). Yang mensucikannya itu adalah Al Haadi.
Wakil Tuhan di bumi karena Dia tidak ngejawantah di sini. Yakni Guru yang hak dan sah itu.
“Al haqqu min Rabbika”. Al Haq yang menjadi ketetapan Tuhan. Sebab diluar jalur ini ternyata
bentukan dan rekayasanya makhluk yang berani ablasa kepada Tuhannya lalu diberi nama iblis.
Makhluk ini bagai tumbu oleh tutup dengan watak nafsu manusia yang para Malaikat-Nya Allah
pun sempat curiga, mengapa Allah hendak menjadikan khalifah-Nya di bumi dari orang yang
wataknya suka melakukan kerusakan dan saling menumpahkan darah sesamanya. Watak nafsu
dan watak akunya manusia lalu diarahkan oleh kerja kerasnya si iblis dibentuk agar mempunyai
padangan baik terhadap semua pekerjaan dan juga pikiran-pikiran supaya bersama-sama
dengannya melecehkan dang menghina wakil Tuhan di bumi. Yakni melecehkan serta
mentertawakan dengan berbagai fitnah supaya tidak satupun manusia yang mau percaya
kepada Al Haadi ini.
Allah sendiri menyatakan hanya sedikit saja yang luput dari jaringan kerja iblis ini. Hingga
sampai-sampai Allah sendiri menghimbau, sipakah yang menolongnya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 18


³ D º

Itula sebabnya pada surat Al Ashri yang Tuhan sendiri bersumpah dengan masa, diakhri dengan
“watawa shaubish shabri”. Saling berwasiat dengan sabar. Yakni ketahanan diri yang harus
dimiliki supaya tahan uji dalam memberlakukan diri terus menerus melakukan jihadunnafsi.
Mempunyai diri selalu melaksanaan perang terbesar selama : nafas masih berada di dalam
kandung badan. Agar darah yang mengalir dalam badan dan jiwa raganya ini darah yang
seperti darah yang mengalir dalam jasad Nabi Muhammad SAW supaya masuk menjadi
keluarga beliau. Aliran darah yang memerankan : “Watak para Malaikat-Nya”. Dan kuatnya
kesabaran seperti inilah yang akan menumbuhkan semangat jiwa yang taubatan nashuha.
Menumbuhkan semangat ikhlas semata kepada Tuhannya. Menumbuhkan bentukan akhlaqul
karimah. Dan yang lebih penting dan inti, menumbuhkan semangat patuh dan tunduk kepada
Al Haadi kepercayaan Ilaahi. Yakni Guru Wasithah yang hak dan sah sebagai pelanjut tugas
dan fungsi Rasulullah.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 60 – 61).

Asy-Syi’atun : (lih. Nubuwah - Nubuwah Syamsiyah).


……Syi’ahnya ahlul baitnya Junjungan Nabi Muhammad SAW bukanlah dari akar kata syiya’un
yang artinya golongan. Tetapi Asy-Syi’atun yang padanannya adalah “Dhiya’u Asy-Syamsi”.
Yakni cahaya Matahari, yaitu : “Nubuwah Syamsiyah”.

Nubuwah Syamsiyah itu adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh khutbah Junjungan Nabi
Muhammad SAW dan disaksikan lebih dari seratus dua puluh ribu orang : “Ma’asyiran naas!
Ana Shirathullahi al-mustaqiimu alladzi amarakum bi itbaa’ihi, tsumma Ali min ba’di tsumma
wuldi min sulbihi aimmah (ila yaumi al-qiyamah) yahduuna ila Al-Haqqiwa bihi ya’diluuna”.
Artinya Wahai ummat manusia! Aku adalah shirathal-mustaqim yang kamu semua diperintahkan
untuk mengikutinya. Setelahku adalah Ali kemudian dilanjutkan oleh putra-putraku yang datang
dari sulbinya Ali. Mereka semua secara gilir gumanti adalah para imam yang dalam sebuah
silsilah sama sekali tidak akan pernah terputus sampai hari kiyamat, selalu memberi petunjuk
dengan metode tunjuk mengenai Ada dan Wujud satu-satu-Nya Dzat Yang Maha Benar dan
dengan satu-satu-Nya Dzat Yang Maha Benar itu mereka melaksanakan keadilan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Yang Menentukan Keselamatan, Pondok Sufi,
Tanjung, 20 Februari 2007, hal.1 – 2).

Attakiyah :
Berkenaan dengan hal Daabbah; Menyimpan paham kebenaran terhadap keberadaan ilmu
yang seharusnya selalu di-ingat-ingat, dihayati, dan dirasakan oleh hati nuarani, roh dan rasa
terhadap Keberadaan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya, Allah Asma-Nya,
amat sangat dekat sekali hingga sebenarnya amat sangat nikmat dan indah diingat-ingat dan
dihayati dalam rasa hati.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 1).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 19


³ D º

B
Bala Sirullah :
• Bala Sirullah adalah sahabat setianya Wasithah yang dengan tekun dan sungguh-sungguh
kompak dan seia sekata menjalani sumpah dan janji yang telah diikrarkan dihadapan Allah
dengan rasa hati yang selalu disibukkan untuk dilatih merasakan betapa indahnya
mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Illahi (= Al Ghaybullah = Isi-Nya Huw).
Semua yang dijalani dalam membuktikan niatnya berjalan menuju kepada Allah sehingga
sampai kepada-Nya, selalu memenuhi perintah Allah : ”Wabtaghuu ilaii al-Wasiilata”.
Bersandar kepada Guru Wasithah. Sehingga apa yang dijalani tinggal sakderma nglakoni.
Sama sekali tidak berani ngaku.

Bala Sirullah adalah hamba Allah yang dibentuk oleh-Nya dijadikan kekasih-Nya. Adalah
mereka yang dengan sadar dan penuh keyakinan memenuhi petunjuk Allah :
“Sungguh Allah (amat) menyukai orang-orang yang selalu berperang untuk membunuh
watak nafsunya sehingga si nafsu yang wujudnya adalah jiwa raganya menjadi patuh dan
tunduk dijadikan tunggangannya hati nurani, roh dan rasa berjalan di jalan Allah (Shirathal
Mustaqim) dalam barisan yang tertata rapi bagaikan sebuah bangunan yang tersusun
kokoh”. (Arti dan maksud firman Allah dalam QS. Ash Shaf ayat 4).

Bala Sirullah adalah hamba Allah yang ditarik oleh Fadhal dan Rahmat-Nya, menggerakkan
hatinya dengan penuh kesadaran “mau” meminta petunjuk Ilmu Syaththariyah kepada yang
berhak dan sah menunjuki (Wasithah) kemudian dengan bersungguh-sungguh berniat untuk
memfungsikan hatinuarni, roh dan rasanya. Yaitu hamba Allah yang dimengertikan dengan
maksud firman Allah :”inna anzalnaahu fi lalilaatul al-qadr”. Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya di malam al-qadr-Nya. Yang telah diturunkan Allah itu adalah Nur
Muhammad. Bertemunya fitrah manusia dengan asal kejadiannya yang suci yaitu Fitrah-Nya
Allah SWT di dalam rasa. Yakni ketika seseorang baiat Ilmu Syaththaiyah yang juga disebut
Ilmu Nubuwah kepada Wasithah. Dimaksud pada waktu malam adalah di waktu seluruh
penduduk bumi digelapkan oleh mimpi gelapnya. Penduduk bumi hidupnya habis dijajah
dan diperintah nafsu dan watak akunya. Dibalik itu adal hamba yang dikehendaki dengan
hidayah-Nya dituntun untuk memperoleh Ilmu Nubuwah lalu ditetapkan mulia di sisi-Nya
(dijadikan kekasih-Nya), apabila hamba itu kemudian dipahamkan bahwa lailatul al-qadr
yang lebih baik meskipun dibandingkan seribu bulan, mengerti terhadap maksud Allah
menurunkan para Malaikat-Nya dan ar-ruuh.

Diturunkan para Malaikat-Nya Allah (yang markas besarnya di dalam hati nurani) berarti
siap berniat untuk memfungsikan hatinurani. Yaitu menyiapkan diri menjadikan seluruh
hidup dan kehidupannya diniatkan untuk berjalan menuju Tuhan sehingga sampai dengan
selamat dan dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya. Dan caranya harus ngikut jejak
para Malaikat-Nya Allah. Yakni sujud, menghormati dan belajar ka al-mayyiti di hadapan
Wasithah yang berhak dan sah mensucikannya. Dan rohnya diajari, dilatih dan dididik untuk
berada dalam maqam hakekat.
Tetapi juga harus ingat dan waspada bahwa Allah di samping menurunkan Malaikat al-
muqorrobin juga ada Malaikat Harut dan Marut. Adalah mereka yang telah mendapat izin
memperoleh Ilmu Syaththariyah secara hak dan sah dari berhak menunjuki, mengerti dan
bisa bagaimana menjalaninya, akan tetapi dengan sangat tidak pernah disadari merasa
bahwa dirinyalah yang paling bisa dan paling mengerti. Nangsang pada watak akunya lalu
menjadi racun yang menyesatkan. Bahkan menyebarkan ilmu sihir yang mempesona,
sehingga banyak yang terpengaruh mengikutinya. Menjadi sesat dan menyesatkan.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 20


³ D º

Itulah sebabnya mengapa pada firman QS. Al Maidah ayat 35 Allah mengingatkan dengan
petunjuk-Nya, ditujukan kepada orang-orang yang telah beriman (yang berimannya telah
ma’rifatun wa tashdiqun), diperintah supaya bertaqwa. Yaitu supaya bersungguh-sungguh
beribadah kepada Allah dengan benar (itba’ kepada Wasithah) dan ikhlas. Masih diperintah
supaya dapat selamat sampai kepada-Nya, bersandar pada Wasithah dan masih diperintah
lagi untuk selalu memerangi nafsu agar selalu patuh berada di jalan Allah, yakni Shirathal
Mustaqim yang dhahiruhu syareat dan batinya mapan di hakekat (Dawuh Guru), supaya
kamu semua beruntung………………………

Jadi Bala Sirullah adalah (mestinya) kita semua yang telah benar-benar bersiap diri ngenggo
(mematrikan dalam diri kita) guna mengamalkan Lailatu al Qdar. Siap nunggang jaran
napas angin. Setiap ke luar masuknya nafas berusaha selalu dibarengi dengan ingatnya hati
kepada Isi-Nya Huw. Sekali lagi, ingatnya pada Isi-Nya Huw bareng dengan masuknya
nafas. Bukan ke luarnya. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak keluar lagi, namanya
mati. Maka matinya yang selamat (selamat kembali kepada Tuhan).

Cemetinya (pecutnya) supaya jalan terus, tidak jenuh, tidak noleh apalagi berhenti adalah
mujahadah, disertai dengan penampakkan bagusnya pekerti, beningnya hati, sucinya jiwa
raga. Yang dimakan adalah semua makanan yang halal. Yang disandang semua pakaian
yang halal. Demikian pula yang ditempati adalah tempat tinggal yang halal. Sehingga siap
pula menjadi pekerja keras, demi subhaanaka. Lalu senang bersama-sama sesam saudara
secita dan setujuannya untuk meramaikan syiarnya Dinullah. Menjaga prajaning Wasitha
yang telah diatur dengan Organisasi Dawuh Guru. Inilah yang disebut “ahli bagus”
dihadapan Allah SWT.
Lapaknya, alas tempat duduk di atas kuda adalah Syahadat Tharekat lengkap dengan
sumpah-sumpah.
Kemudian “sanggawedinya” yaitu tempat pancatan kaki, shodaqoh jariah.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Warga Syathariyah yang Dihimpun Dalam Organisasi
Dawuh Guru : Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin, oleh Allah Dijadikan BALA SIRULLAH pabial
dengan sungguh-sungguh Siap Mengamalkan Lailatul Al Qadr, Pondok Sufi, Tanjung, 1
Nopember 2005, hal. 1 – 3).

• Bala Sirullah dalam lingkup Jamaah Lil Muqorrobin telah ada sejak ratusan tahun. Hanya
saja memang tidak pernah muncul di atas permukaan. Bala Sirullah adalah sahabat yang
setia tuhu dalam mejalani sebagai murid (orang yang berkehendak bertemu Tuhannya) yang
sirrnya (rasanya) dijaga supaya tidak habis diperintah, diperalat atau dijajah oleh nafsunya.
Mereka disebut pula sebagai ahlul kurub. Ahli prihatin dan prihatin yang ini tidak sama
dengan susah. Akan tetapi hamba Allah yang dengan sungguh-sungguh berjihadunnafsi
supaya rasa hatinya selalu dalam keadaan mendzikiri Diri-Nya Dzat Al Ghaibu Yang Mutlak
Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya dalam keadaan apa saja, dimana saja dan sedang apa
saja. Sehingga tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinnya akan senantiasa “Katut
Siliring Qudratullah”. Sama sekali tidak karena diperintah oleh nafsunya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki
Jaman Al Mahdi, Pembukaan, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. a).

• Sahabat setia lahir batin yang dengan sabar dan tawakkal berusaha untuk dapat mencapai
tingkat dan martabat rasa. Yakni rela sepenuh hati memaksa dirinya untuk melakukan
jihadunnafsi hingga si nafsu (wujudnya jiwa raga ini ) patuh dan tunduk dijadikan
kendaraannya hati nurani, roh dan rasa mendekat kepada Tuhannya sehingga selamat dan
bahagia bertemu dengan-Nya. Yaitu dengan membuktikan kesungguhan berkorban dan
berbakti dalam mendidik diri maupun orang lain yang dijalankan dengan ikhlas yang

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 21


³ D º

seikhlas-ikhlasnya karena Allah, dijalan Allah, dengan Allah, untuk Allah sehingga sama
sekali tidak merasa dirinya tidak berkorban dan berbakti. Hal demikian terjadi karena sirr
(rasa) hatinya telah terlatih dan terdidik merasakan nikmat dan indahnya mengingat-ingat
dan menghayati Keberadaan Citra Diri-Nya Dzat Al Ghaibu Yang Wajib Wujud-Nya Allah
Asma-Nya dan sangat dekat sekali dalam rasa hati. Kerja kerasnya Bala Sirullah dalam
mengelola garapan dunia semata-mata demi dijadikan pancatan yang kokok untuk pulang
menemui Tuhannya lagi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki
Jaman Al Mahdi, Pembukaan, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 1).

Pemimpin Bala Sirullah


Yang memimpin Bala Sirullah ini adalah seorang hamba Allah yang atas kehendak dan Ijin-
Nya serta perintah dari Allah SWT telah digulawentah Gurunya guna melanjutkan tuas dan
fungsinya yang atas kehendak Allah juga diterima dari Gurunya supaya melaksanakan
perintah Tuhannya “Iki detik, iki saat, iki jam, iki waktu lan iki dina kersanE Gusti Allah kowe
mulai kewajiban ngilangi kebodohan seluruh dulur umat Islam bisane pada ma’rifat marang
Allah. Wis masa bodoa aku kari sak derma nglahirake”.

Dalam sebuah kutbah yang disaksikan lebih dari 120.000 orang, Nabi Muhammad SAW
menjelaskan bahwa hamba yang dikehendaki Tuhannya untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagaimana halnya di atas adalah putra-putra beliau sendiri yang datang dari
Sulbinya Sayidina Ali bin Abu Thalib As yang dalam melaksanaka tugas dan fungsinya oleh
Nabi Muhammad SAW disebut sebagai maula, khalifati, al-Hadi, Washi, imam sesudahnya,
yang dengan cara gilir gumanti (dalam rantai silsilahnya) tidak pernah terputus sama sekali
hingga sampai kiyamat.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi
sebagai berikut :
Rasulullah SAW Bersabda :” Aku adalah kotanya ilmu dan kamu (Ya Ali) adalah pintunya. Dan
janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan
cinta kepadaku tetapi membenci kamu (‘Ali), karena kamu adalah bagian dariku dan aku
adalah bagian dari kamu, dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, ruhmu
adalah ruhku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelesanmu adalah penjelesanku.
Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu,
beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu; sejahteralah
orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu. Kamu dan para imam
dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu (Nabi) Nuh; siapa yang naik di atasnya
selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam, sirna dan celaka. Kamu semua
seperti bintang. Setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki
Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 3 – 4).

Bal Tut’tsiruunal – hayaataddunya :


“Tetapi kamu semua memilih kehidupan duniawi” (QS. Al A’la : 16).
Perlu diketahui hakekat dunia adalah wujudnya nafsu manusia yang tidak lain adalah wujudnya
jiwa raga yang menjadi sumber segala sumberya dosa dan kemaksiatan. Dan porosnya nafsu
yang markas besarnya wujudnya jiwa raga adalah watak akunya itu. Dan watak aku yang
kemudian berusaha untuk memperoleh harga diri dan kehormatan sebagaimana layaknya
manusia hidup di dunia, karena di dalam dirinya ada daya dan kekuatan dengan keluar
masuknya nafas sebagai tanda dan bukti hidupnya. Sehingga hidupnya lalu ada harganya dan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 22


³ D º

nilainya. Kemudian lalu diperjuangkan dengan berbagai macam cara dan jalan supaya paling
tidak bertahan, sukur dapat berkembang.

Nafsu yang tidak lain wujudnya jiwa raga ini dicipta oleh Allah dari setetes mani yang
bercampur sengaja dibentuk demikian karena hendak diuji oleh-Nya (QS. Al Insan ayat 2).
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada yang
kufur”. (QS. Al Insan ayat 3).

Ternyata bentuk dan wujudnya ujian dari Allah sungguh sangat berat. Sehingga sekiranya tidak
ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya memang nyata sekali tidak lulus. Bentuk ujian itu
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 14. Yaitu dijadikan indah pada pandangan
manusia dalam kehidupan dunia ini terhadap apa saja yang diingini. Lalu apa saja yang diingini
ini ternyata juga sekaligus dituhankannya. Yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang
banyak dari jenis emas dan perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Ini adalah kesenanan hidup di dunia (yang ternyata mengental dann menjadikannya
lupa bahwa) di sisi Allah-lah sebenarnya tempat kembali yang lebih baik.
“Apa saja yang ada padamu akan lenyap, dan apa yang ada pada sisi Allah inilah yang kekal”.
(QS. An Nahl ayat 96).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 11).

Al Baqarah:

Muqaddimah
Surat yang 286 ayat isinya ini turun pada permulaan tahun Hijriyah di Madinah. Hanya ada
satu ayat (281) turun di Mina. Dinamai Al Baqarah karena di dalamnya ada kisah
penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil.
Dinamai jua dengan “Fusthaathul Qur’an (puncak Al Qur’an). Karena pada awalnya adalah
ayat-ayat yang mengungkap keberadaan Al haq-Nya. Bagaimana supaya menjadi hamba
yang dimuliakan disisi-Nya. Lalu dipilih oleh-Nya menjadi kekasih-Nya. Dinamai juga surat
“Alif-laam-miim” karena dimulai dengan itu. Ada tiga huruf yang dirakit menjadi satu. Di
dalamnya menyimpan rahasia keberadaan Al-Haq-Nya. Juga hak-hak Junjungan Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Sekaligus mempertemukan rahasia inti manusia
dengan hakekat Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya.

Bismillahirrakhmanirrakhim
Ayat yang pertama hingga sampai dengan yang ke lima, itulah ayat-ayat yang menyimpan
kerahasiaan inti manusia yang seharusnya dapat dengan yakin mengenali dan mengetahui
tempat asal-usulnya. Mengungkap keberadaan Al Haq-Nya, bagaimana supaya menjadi
hamba yang dimuliakan disisi-Nya (muttaqin).

1. Alif-laam-miim
Alif adalah simbul : Ahadiyat. Menunjuk kepada keberadaan Satu-satu-Nya Dzat Yang
Mutlak Wujud-Nya. Yang di dalam dunia ini : Al Ghaib. Yang menamai Diri-Nya : Allah
(Innani Ana Allah). Yang Cahaya Diri-Nya dikehendaki oleh-Nya menjadi fitrah manusia.
Menjadi rahasia inti manusia (nuktah gaib). Yang puluhan ribu tahun lamanya disimpan
oleh-Nya dalam rasa yang masih sejati murni pada martabat Hakikatul Insan sebagai
kalimah yang kekal (kalimatan baqiyyatan). Yaitulah Cahaya Diri-Nya yang terkenal
dengan julukan : Nur Muhammad. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-
Nya. Yang Cahaya dengan Dzat-Nya selalu menyatu menjadi satu. Bagaikan samudera

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 23


³ D º

dengan gelombangnya. Atau bagaikan sifat dan mausufnya. Atau bagaikan kertas
dengan putihnya. Atau bagaikan bola dengan bundarnya.

Sedang laamnya menunjuk pada pedoman bikinan Tuhan bagi yang dipilih-Nya supaya
menjadi murid. Yaitu hamba yang dalam menjalani hidup dan kehidupannya dengan
berjiwa raga adalah supaya mengarungi segala cobaan dan ujian dalam berdunia,
semata-mata demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh dan sentosa. Guna mencapai
cita-cita dan tujuan hidup yang sejati murni. Yaitu mendekat hingga sampai dengan
selamat dan bahagia beremu dengan Diri Ilaahi.

Pedoman bikinan Ilaahi itu adalah :”Laa biwushuli ilaihi illa biwaasitahatin”. Dengan
kandungan makna yang memastikan keberadaan jalan lurus-Nya. (Seseorang sama
sekali) tidak akan dapat sampai dengan selamat kepada-Nya, kecuali dengan Wasithah.
Supaya menjadi ummatan wasathan. Ummat yang merasakan berada ditengah-tengah
Tuhannya, dalam rasa hatinya, hingga akan dapat memenuhi amanah Tuhannya dalam
shalat yang ditegakkannya. Yaitu memelihara shalat wustha demi memenuhi
waaqimishshalata lidzikkri. Shalat yang rasa hatinya merasakan berada ditengah-tengah
Tuhannya. Sehingga karena itu yang nampak Ada pada mata hatinya, hanyalah Diri-Nya
Dzat Yan Wajib Wujud-Nya.

Oleh karena itu yang bertindak selaku Wasithah yang pertama, ketika Allah menghendaki
Islam sebagai agama tauhid digelar di atas dunia, tidak lain adalah Junjungan Nabi
Muhammad SAW sendiri (yang dalam menjalani tugasnya tidak pernah terputus meski
jasadnya dibatasi usia. Punya pengganti-pengganti yang telah disiapkan Ilaahi. Yang
dengan cara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali dalam satu rantai silsilah
hingga kini dan sampai kiyamat nanti. Supaya Hak-Nya Allah SWT dan hak-hak
Junjungan Nabi SAW tetap terpelihara hingga hari kiyamat saja yang akan mengakhiri.

Ada pula yang mengeluarkan pendapatnya bahwa Laam itu simbul dari Malaikat Jibril.
Adalah Ruuhul-Amin yang tidak lain adalah Ruh Ilaahi sendiri. Yaitu daya dan kekuatan
Ilahi sendiri. Yang membisikkan wahyu lewat telinga kiri bagi hamba yang dikehendaki
terhadap rahasia yang tersimpan pada huruf Miim yang ditasjid pada kalimat Alif-Laam-
miim. Allah memilih utusan-utusan-Nya dari Malaikat dan dari Manusia. Sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al Haj ayat 75.

Huruf Miim yang ditasjid itu menjadi misal bertemunya dua samudera. Adalah kalimatan
baqiyyatan sebagai kalimah yang abadi. Adalah rahasia inti manusia yang dipertemukan
dengan hakekat-Nya Diri Ilahi. Hingga menjadi nyata kebenaran makna “man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”. Sebab memang fitrah Allah-lah yang telah menciptakan
manusia dari fitrah-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar Ruum ayat 30.

2. Kitab ini tidak ada keraguan padanya, hidayah bagi mereka yang bertaqwa. Adalah Kitab
yang terpelihara (di Lauh Mahfudz-Nya). Karena itu tidak ada yang bisa menyentuhnya
kecuali yang disucikan oleh-Nya. Dan termasuk yang hendak disucikan oleh-Nya adalah
datangnya hidayah yang diterima dengan yakin dan nyata kepada mereka yang bertaqwa
(dengan persyaratan yang dipenuhi).

3. Yaitu mereka yang beriman kepada Al Ghaib. Menunjuk pada keberadaan Satu-Satu-Nya
Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, tetapi Ghaib. Yaitulah Diri-Nya Dzat Yang Allah Nama-
Nya. Yang hanya dapat diperoleh dari yang berhak dan sah menunjukkannya.
Menghidupkan berfungsinya hati nurani yang menjadikan imannya ma’rifatun
watashdiqun. Hingga shalatnya lalu dapat tegak berdiri. Karena hatinya selalu dapat hadir

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 24


³ D º

kepada Diri Tuhannya dalam shalatnya. Lalu rizki yang diterima dari hasil kerja kerasnya,
disadari sebagai anugerah dari Tuhannya. Diketahui sebagai titipan dari Tuhannya
(karena itu sama sekali tidak berani ngaku sebagai miliknya). Maka dari itu betapa relanya
menafkahkan sebagiannya di jalan Tuhannya.

4. Kemudian penjelasan supaya menjadi orang-orang yang bertaqwa pada ayat empatnya.
Yaitu beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang telah
diturunkan sebelummu. Serta yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Maksud apa yang telah diturunkan kepadamu adalah Ilmu-Nya Allah SWT mengenai
Keberadaan Dzat-Nya (Yang Al Ghaib), Sifat-Sifat-Nya, Af’al-Nya dan semua hal yang
dibangsakan wujud. Dibangsakan wujud sebab sebenarnya tidak wujud. Yaitu jagad raya
dengan segala isinya. Termasuk wujud jiwa raganya manusia. Yang dinampakan wujud
pada pandangan mata kepala manusia, adalah sebagai ujian bagi hamba yang
menghambakan diri kepada-Nya. Karena itu harus diperjuangkan supaya menjadi
Laailaaha. Yakni tidak diingat-ingat, tidak dihayati, tidak dicintai, tidak dijadikan tujuan .
Apalagi sampai dituhankan.
Hingga akan benar-benar ditarik oleh-Nya menjadi nafi. Kemudian akan hanya Illa Huwa
yang ada dalam rasa hatinya. Itulah Ilmu-Nya Allah SWT yang menjadi intinya wahyu.
Yang tersimpan pada kitab yang terpelihara di Lauh Mahfudz-Nya. Karena itu tidak akan
dapat menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan oleh-Nya. Serta yakin akan
adanya kehidupan akhirat. Dan yang dapat membuktikan yakin adalah rasa. Seperti
betapa asinnya garam, ini hanya rasa yang membuktikannya. Demikian hal yakin akan
adanya kehidupan akhirat. Merasakannya dapat dijalani sejak sekarang, dengan ilmu
tentang pintunya mati. Sebab ilmu mengenal Wajah Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib
Wujud-Nya adalah ilmu yang ada didalam rasa.

5. Mereka itulah yang tetap mendapat hidayah dari Tuhan mereka dan merekalah orang-
oranng yang beruntung. Maka perlu diketahui bahwa, perihal keadaan hamba
sebagaima-na yang dijelaskan dari kandungan makna ayat pertama hingga ke lima pada
Al Qur’an surat yang ke dua, semata-mata karena ditarik oleh fadhal dan rahmat
Tuhannya. Dan apabila tidak, adalah sebagaimana penjelasan Tuhan pada QS An Nisa’
ayat 83; “Kalau tidaklah karena (ditarik oleh) fadhal dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu semua mengikut syaitan, kecuali sedikit (diantara kamu semua yang tidak
mengikut syaitan”.

Pengikut syaitan adalah mereka yang sia sekata dengan watak anafsunya. Dan bentuk
nafsu yang tidak lain adalah wujudnya jiwa raga, adalah markas besarnya watak aku yang
layatghaa (benar-benar melebihi batas). Karena itu memandang dirinya serba cukup.
Karena itu meski hanya dibuat dari mani. Tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata,
terhadap keberadaan Al Haqqu min Rabbika.

6. Itulah perikehidupan mereka sebagaimana dijelaskan oleh Allah pada QS, Al Baqarah
ayat 6 sampai dengan ayat 20-nya. Diberi peringatan ataupun tidak diberi peringatan,
sama saja. Mereka tetap dalam kekafirannya. Karena Allah telah mengunci mata hati dan
pendengaran mereka. Penglihatan mereka ditutup. Ngakunya beriman padahal
sebenarnya tidak, menjadi munafik. Maunya hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman. Padalah mereka hanyalah menipu dirinya sendiri. Namun mereka sama sekali
tidak menyadari, dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah-tambah penyakitnya oleh
Allah. Karena itu perbuatan merusak yang mereka lakukan dianggap sebagai perbuatan
perbaikan.
Karena itu pula mereka memandang orang-orang yang berimannya secara benar,
sebagai orang-orang yang bodoh. Padahal mereka sendirilah yang sesungguhnya bodoh.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 25


³ D º

Akan tetapi mereka tidak tahu akan bodohnya itu. Mereka selalu berupaya melakukan tipu
daya dengan syaitan sebagai pemimpinnya. Maka Allahlah yang akan membalas tipu
daya dan olok-olok mereka. Dengan membiarkan mereka terombang ambing dalam
kesesatannya. Mereka itulah yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk. Allah
mengumpamakan mereka bagai orang yang menyalakan api (yang panasnya membakar
dada). Seolah-olah seperti terang (sementara), tetapi nyatanya gelap dan kersang. Allah
memutus mereka dengan tuli, bisu dan buta. Karena itu tidak akan bisa kembali (menjadi
sesat selama-lamanya). Belum lagi betapa dahsyatnya mereka digoncang dengan resah
dan gundah gulana, ketakutan dan kekuatirannya dalam menjalani gelombang kehidupan
yang dikuasi nafsu.
Menjadi gambaran nyata sebagai hamba yang ditinggal jauh Tuhannya. Hingga takutnya
akan mati selalu menyelimuti. Meski begitu Allah meliputi mereka, dengan Maha
Pemurah-Nya bagi kebutuhan nafsu dalam berdunia saja. Demikian juga pengetahuan-
Nya dan kekuasaan-Nya menggenggam mereka dengan azab keras-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Tafsir Al-Baqarah,Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 9 –
12).

Bencana Terbesar :
Sejak mula siap memikul amanah-Nya, manusia ini telah divonis Allah dengan
“zaluumanjahuula”. Sangat zalim dan sangat bodoh (QS. Al Ahzab 72). Dicipta dari mani akan
tetapi tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata (terhadap adanya kebenaran Al-Haq-Nya) (QS.
An Nahl 4). Berwatak layatgha (melebihi batas) karena telah memandang dirinya serba cukup
(QS. Al ‘Alaq 6-7). Oleh karena itu tegas sekali Allah menetapkan bahwa sekiranya tidak ditarik
oleh fadhal dan rahmat-Nya kamu semua (semua manusia ini) pasti mengikuti syetan, kecuali
sedikit (yang tidak) (QS. An Nisa’ 83).

Bencana terbesar yang sama sekali tidak pernah disadari adalah butanya mata hati meski Allah
telah mengingatkan bahwa barang siapa yang hidupnya di dunia sekarang ini buta (mata
hatinya), maka diakheratnya juga akan lebih buta dan lebih sesat jalannya (QS. Al Isra’ 72).
Sesat jalannya karena ketika matinya tidak pulang ke tempat asal mula dari mana ia di
datangkan. Yakni tidak selamat pulang kembali menemui Tuhannya. Tidak fii maq’adi shidqin
‘Inda malikin muqtadirin (QS. Al Qmar 55). Matinya tidak masuk ke dalam tempat yang benar
lalu merasakan kebahagiaan selama-lamanya di sisi Tuhan Yang Berkuasa. Juga sama sekali
tidak “Wujuhun yauma idzin naadhirah, ilaa rabbiha naadzirah” (QS. Al Qiyamah 22-23).
Yakni ketika merasakan mati yang pasti menemui, wajahnya tidak berseri-seri (karena
merasakan betapa bahagianya ilaa rabbiha naadzirah, yaitu melihat kembali (menyaksikan
dengan seyakinnya) terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Zat yang di dunia sekarang ini Al Ghaib
(=satu-satu-Nya Yang Ghaib dan jelas sekali keberadaannya dalam rasa hati).

Sesat jalannya adalah ketika merasakan pati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja (karena
itu tidak bisa mengulang kembali) adalah mereka yang ketika mati wajahnya bermuram durja
karena yakin akan merasakan betapa ngerinya malapetaka yang dahsyat. Yaitu hidup satu
tempat dan satu alam dengan wadya balanya ibllis dan syaitan (QS. Al Qiyamah 24-25). Tidak
satupun hamba yang tidak dihalau kepada Tuhannya (QS. Al Qiyamah 30). Namun mengapa
ketika di dunia dan diberi kesempatan bertanya tidak digunakan sebaik-baiknya untuk
mengenal dan mengetahui Diri-Nya Tuhan yang Wajib Wujud-Nya, Al Ghaib, dekat sekali
meski dibanding dengan ke luar dan masuknya nafas ke dalam dada. Allah Asma-Nya.
Itulah akibat mereka yang medustakan rasul-Nya dan berpaling dari kebenaran Al Haq-Nya
kemudian pergi kepada ahlinya dengan berlagak sombong (QS. Al Qiyamah 32-33). Maka
kecelakaanlah bagimu (hai orang yang medustakan keberadaan Rasul-Nya) dan kecelakaanlah
bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang yang tidak percaya terhadap keberadaan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 26


³ D º

rasul-Nya yang selalu ada dikalanganmu sendiri dari antara kamu sendiri) dan kecelakaanlah
bagimu (QS. Al Qiyamah 34 – 35).

Karena itu seharusnya diperhatikan dengan sungguh firman Allah sebagaimana dalam QS. Ali
Imran 169-170 : “Janganlah kamu mengira bawa orang-orang yang mati di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang
hati terhadap orang-orang yang tinggal dibelakang (masih hidup di dunia) yang belum menyusul
mereka, bawa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”.

Dan jalan Allah itu adalah mereka yang mendapat hidayah-Nya yang dengan hidayah ini
mereka lalu taat sepenuh hati terhadap apa saja yang menjadi petunjuk dan perintah rasul-Nya
yang harus dipenuhi. “Barang siapa yang mentaati Rasul (Nya Allah), sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menadi pemelihara bagi mereka”.(QS. An Nisa’ 80).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 5 – 6).

Benih Fitrahnya Manusia :


Benih fitrah manusia yang kemudian menjadi “inti manusia” yang diletakkan oleh Allah dalam
rasa (karena itu rasa adalah dasar manusia), adalah “Cahaya Diri-Nya Dzat Yang Wajib
Wujud-Nya “ yang menamakan Diri-Nya sendiri dengan Allah dan juga Asmaul-husna, begi
kehidupan hamba-Nya selama di dunia.
Yaitulah Cahaya yang dengan Dzat-Nya sama sekali tidak akan pernah pisah. Bagaikan sifat
dan mausuf. Menyatu dan terus menerus menjadi satu. Bagaikan kertas dan putihnya. Meskipun
dihancurkan, kertas dan putihnya ini tetap saja menyatu menjadi satu.

Jadi tempat asal fitrah manusia yang kemudian menjadi inti manusia ini dari Diri-Nya Sendiri.
Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Yang keberadaan-Nya di dunia ini Al Ghaib (= Satu-
satu-Nya Dzat Yang Wujud dan Yang Ada tetapi Gaib) dan Yang menamakan Diri-Nya Dzat
Yang Al Ghaib ini selama kehidupan hamba-Nya di dunia dengan Nama Allah.

Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya yang mempunyai Keluhuran dan Kemuliaan,
berkehendak agar keluhuran dan kemuliaannya ini tidak dipakai sendiri. Dia berkehendak
untuk dicipratkan kepada hamba-Nya. Dan yang Dia pilih adalah hamba yang namanya
manusia.
Hanya saja untuk mencapai keluhuran dan kemuliaan di sisi-Nya sebagai hamba harus diuji.
Dan supaya dapat lulus dalam ujian dan cobaan yang akan diberikan kepada hamba-Nya
(yang dapat lulus adalah yang dapat selamat kembali kepada Diri-Nya lagi), maka benih yang
masih fitrah yang kemudian menjadi “intinya manusia” oleh Allah dibekali dengan cara dimintai
kesaksian terhadap keberadaan Diri-Nya sebagai Satu-satu-Nya yang dituhankan dan yang
disaksikan Ada-Nya dan Wujud-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al A’raf ayat 172.
Hal itu dilakukan oleh-Nya supaya kelak pada hari kiyamat tidak ada alasan untuk mengatakan
bahwa kami (manusia anak keturunan Adam ini) adalah orang-orang yang lengah terhadap
Keberadaan Satu-Satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 57).

Bentuk dan Ujian dari Allah : (lih. Dunia)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 27


³ D º

“Berkah” : (lih. Ilmu Syaththariah – Pemberkahan Ilmu Nubuwwah)

Bersyukur Kepada Allah : (lih. Syukur – Bersyukur)

Besi Aji Islam Nur Malakiyah :


Perlu diketahui bahwa para Wasithah memang memiliki pusaka-pusaka terbuat dari besi aji
Islam nur Malakiyah yang jelasnya sebagaimana kandungan firman-Nya dalam QS. Al Hadid
ayat 25 : “Bahwa Allah yang telah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa bukti-bukti nyata
terhadap Ada dan Wujud Diri Al-Haq-Nya. Kepada para Rasul-Nya telah pula disertakan Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Diciptakan pula oleh-Nya
Besi yang di dalamnya ada kekuatan hebat (= besi aji Islam Nur Malakiyah karena selalu
berdzikir kepada-Nya) yang padanya banyak manfaat bagi manusia”.
Maksudnya dengan besi yang ada kekuatan luar biasanya itu dapat dipergunakan sebagai
mestinya (atas dasar petunjuk Rasul-Nya) supaya Allah mengetahui siapa yang menolongnya
dan menolong Rasul-rasul-Nya dengan selalu disertai mengingat-ingat Diri-Nya Yang Al Ghaib.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 42 – 43).

Bismillahirrahmanirrahim : (lih. Al Faatehah)

Bitahsiinil Akhlaq :
Bagusnya budi pekerti. Akhlak yang bagus ini terbentuk dari seseorang yang ilmunya manfaat.
Yaitu seseorang yang dengan ilmunya itu selalu mengetahui terhadap aibnya diri. Selalu
mengetahui terhadap aibnya mencintai (tilkumantilnya hati) kepada dunia, serta mengetahui
terhadap bencana amal baik, yaitu watak takabur, sum’ah, ujub dan ria. Dengan demikina
akan dijadikan Allah hamba yang dipandaikan mengadili dirinya sendiri. Sadar bahwa ternyata
aibnya diri selalu menyertai perbuatan salah dan dosa selalu terbawa, maka akan segera diikuti
dengan perbuatan-perbuatan baik. Itulah sebabnya maka seseorang yang bagus pekertinya,
tidak akan mementingkan diri sendiri, dengan rela hati meringankan beban orang lain yang
membutuhkan serta gemar menolong atas derita sesama.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 56).

Buah Dzikir : (lih. Dzikir- Buah Dzikir)

Budi pekerti yang bagus : (Lih. Bitahsiinil Akhlaq)

Butiran Iman : (lih. juga Ma’rifatun Watashdiqun; Nur Muhammad)


• Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhori bahwa “akan datang suatu
zaman yang di zaman itu orang dinyatakan : alangkah pandainya, alangkah bijaksananya,
alangkah kuatnya padahal di dalam hatinya sedikitpun tidak ada butiran imannya”.
Butiran iman yang terasa membutir di dalam rasa. Bagaikan “sak mrica jinumput tetapi
ngemplok jagad raya dengan segala isinya”.
Yaitulah Nur Muhammad. Benih ginaib fitrahnya manusia yang asalnya dari Fitrah-Nya
Allah sendiri.
(Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim
AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 3).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 28


³ D º

• Butiran Iman adalah yang terasa membutir di dalam hati. Yaitu mengadanya Nur
Muhammad sebagai punjer atau titik sentralnya jagad raya dan jagad manusia di dalam
dadanya yang tempatnya di dalam kediamannya rahasia rasa dan hanya diperoleh apabila
rela meminta petunjuk kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW atau para penggantinya
(wakil-wakil) beliau yang selalu mengada, seacara gilir gumanti tidak akan pernah terputus
sama sekali sampai kiyamat nanti.
“Lir kadya sak mrica jinumput hananging ngemplok jagad”. Maksudnya, terasa di dalam hati
bagaikan sebesar mrica akan tetapi memuat jagad raya dengan segala isinya dan juga
jagad manusia yang ada di dalam dadanya (gambaran permisalan butiran iman).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilahi Yang Segera Diwujudkan Dengan Kun
Fayakunnya Adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin Oleh Al-Qaim Al-Mahdi
(Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Tanjung, Pondok Sufi, Desember
2003, hal. 5.)

• Kejutan luar biasa bahwa isi butiran iman itu sesungguhnya adalah keberadaan Al Ghaib-
Nya yang diperoleh dengan cara dan jalan yang hak dan sah yang akan selalu dapat
membutir dalam penghayatan rasa hatinya. Butiran yang “Lir kadya sak mrica jinumput
hananging ngemplok jagad”. Butiran yang menempatkan fitrah jati diri manusia yang
asalnya dari Sang Maha Fitrah ketika ditanya atas kesaksiannya “Alastu biraabikum”
masing-masing menjawab sama ; “Qaalu balaa syahidna”. Fitrah jati diri yang menyaksikan
keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Satu-Satu-Nya Ada dan Ujud. Kemudian
dengan butiran iman itu, apabila Allah melasi dengan ampunan dan rahmat-Nya akan
mengabulkan doa’nya :
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami
ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi
(terhadap Ada dan Ujud-Mu Dzat Yang Maha Satu)”. (QS. Ali Imran ayat 53). Dengan
sendirinya bukan saksi yang palsu. Saksi yang Allah membuka mata hati mengetahui dan
mengenali Al Ghaib-Nya itu dengan yakin dan pasti.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al
Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 18-19)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 29


³ D º

C
“Carilah Ilmu Sejak Dari Ayunan Sampai Ke Liang Lahat :
Mencari Ilmu sejak dari ayunan bearti mencari ilmu sejak dari fitrah jati diirnya sendiri. Fitrah jati
diri yang ketika ini juga dalam keadaan ma’rifat kepada-Nya. Menyaksikan (=weruh=melihat)
Dia Dzat Yang Satu-Satu-Nya Ujud dan Ada sebagaimana firman-Nya :
“Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap fitrah jati diri mereka (seraya berfirman) : ”Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami
lakukan yang demikian ini) agar dihari kiamat nanti kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang lengah terhadap ini (kesaksian terhadap Ada dan Ujud
Satu-Satu-Nya Dzat Yang Al Ghaibi)”. (QS. Al A’raaf : 172).

Kemudian menjadi jelas mengapa juga harus mencari ilmu sampai ke liang lahat. Mencari ilmu
untuk memasuki kubur supaya selamat kembali menemui-Nya lagi. Menyaksikan keberadaan
Dia Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini. Allah Asma-Nya. Al Ghaib Keberadaan-Nya.

Banyak sekali firman Allah tentang ini dengan berbagai peringatan yang sebenarnya cukup
keras. Sebagaimana firman-Nya :
“Dan (di waktu mereka dengan ngeri ketakutan atas dahsyatnya azab mereka tidak bisa
melepaskan diri) mereka berkata : “Kami beriman kepada Allah”, bagaimanakah mereka dapat
mencapai keimanan dari tempat yang jauh?” Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari
Allah sebelum ini; dan mereka (hanya) menduga-duga (saja) tentang (Keberadaan Dia Dzat
Yang) Al Ghaibi dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka
ingini (supaya dikembalikan ke dunia atau diterima keimanannya) sebagaimana yang dilakukan
terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka
dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam”. (QS. Saba’ : 52 – 54).

Ilmu yang menunjukkan tentang Keberadaan Dia Yan Al Ghaib adalah ilmu yang menunjuk
pada Keberadaan Dzat Sifat dan Af’al-Nya sebagai “data kunci” untuk mengenali-Nya.
Mengenali Jati Diri-Nya. Jelas fardhu ‘ain hukumnya untuk dapat mengetahui. Karena ini
adalah “inti aqidah” itu sendiri. Ilmu yang dengan Cahaya Dia Sendiri akan menyentuh lalu
membuka pintunya hati nurani supaya “mata hati”nya tidak buta kepada-Nya yang akibatnya
lalu tidak akan dapat “seolah-olah melihat-Nya”.

Perhatikan beberapa firman Allah di bawah ini :


“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akherat (nanti) ia akan lebih buta
dan lebih tersesat dari jalan (yang selamat dan benar).”
Dan ancaman karena buta terhadap Al Ghaib-Nya :
“Tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui (Dzat Dia Yang) Al Ghaib tentulah
mereka tidak akan dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba’ 14).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib
Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 33 – 35).

Ciri-ciri orang awam : (lih. Manusia – Pembagian Manusia)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 30


³ D º

D
Dada :
Dada adalah gambaran hakekat jagadnya pribadi. Dari dalam dada pula seseorang akan
menjadi sesat atau akan mengarah pada jalan selamat kepada Tuhan. Karena itulah Rasulullah
pernah menunjuk ke arah dadanya sampai tiga kali bahwa “attaqwa ha huna, attaqwa ha
huna”. Di dalam dada terletak sumber yang menggerakkan jasad seluruhnya. Kalau itu baik,
maka baiklah jasad seluruhnya dan jika jelek, maka jeleklah jasad seluruhnya. Itulah hati.
Karena itu supaya lulus dengan selamat tujuannya menuju kepada Allah Swt., selama
menjelajah jagadnya pribadi yang juga selama menjelajah jagad ini, dunia ini, hidup ini, harus
berani ngempet. Berani menahan nafas. Harus sabar dan tawakkal. Harus dengan jihadunnafsi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat
Mentauhidkanya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-cita Kebangkitan Yang Islami, di
Tanjung, 12 Januari 1990, hal. 48 – 49).

Daabbah :
• Sejenis binatang melata;
• Simbul kekasih Allah yang pada pandangan mata manusia dunia dianggap hina, tidak
berguna, pantasnya disingkirkan dan dihabisi karena terlanjur didakwa menyampaikan
sesuatu yang mengada-ngada dan dusta. Hingga supaya terjaga kelestarian dan
keselamatannya oleh Allah disimpan dalam bumi. Yakni bumi-Nya Illahi. Bumi tempat
indahnya mendzikiri Diri-Nya Yang Al Ghaib, mutlak Wujud-Nya (Wajib Wujud-Nya) dan
dekat sekali dalam rasa hati, sehingga dalam haatinya oleh Allah telah dikeluarkan semua
hal tentang dunia.
• Hakekatnya dia adalah Wakil Allah dimuka bumi yang secara hak dan sah telah ditarik
menemui-Nya, tahu persis kehendak-Nya serta memahami dengan benar terhadap Sang
Muwakkal yang atas perintah dan ijin dari Allah dipersiapkan oleh Guru sebelumnya yang
silsilahnya tidak pernah terputus dari Nabi Muhammad SAW hingga kini.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Surat : Ditujukan kepada yang dikehendaki Illahi siap
untuk menolong diri sendiri, Tanjung, 26 Juni 1999, hal. 1)

• Dabbah mempunyai arti kata sejenis binatang melata, sebenarnya sindiran Allah Swt pada
hamba kepercayaan-Nya dan kekasih-Nya yang dalam menjalani “wasjud waqtaribnya”;
ungkapan tangis penalangsanya dalam permohonan ampunan kepada-Nya persis bagaikan
Nabi Yunus : “Laailaaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzdzalimin”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki
Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 7)

• “Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan daabbah (sejenis binatang
melata) dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya keadaan
manusia (yang diuji dengan kehidupan dunia) tidak yakin kepada ayat-ayat Kami”. (QS. An
Naml : 82).

Allah mengibaratkan hamba yang mengatakan kebenaran adanya Dzat Al Haq dan Al
Ghaib, Wajib Wujud-Nya, dekat sekali keberadaan-Nya, Allah Asma’-Nya, mestinya amat
sangat nikmat dan indah diingat-ingat dan dihayati bila ditanyakan kepada ahlinya dengan
Daabbah. Sejenis binatang melata.

Mengapa demikian? Sebab yang secara kebetulan mendapat pelimpahan wewenang


sebagai Al-Mahdi ini adalah orang yang justru selalu menuduh bahwa dirinyalah satu-

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 31


³ D º

satunya hamba Allah yang banyak sendiri dosanya. Banyak sendiri salahnya. Bodoh, apes,
hina dina, nista. Tidak bisa apa-apa. Tidak punya apa-apa. Bisu, tuli dan buta. Faqir sama
sekali. Bahkan dirinyalah orang yang lebih jelek meski dibanding dengan kere di bawah
jembatan.

Oleh karena itu betapa takutnya kepada Tuhannya, sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan
rahmat-Nya serta ampunan dari-Nya. Hidupnya banyak sekali prihatinnya. Yaitu selalu
mengadili dirinya sendiri bagaimana agar supaya hidupnya ini tidak mudah kena tipu
dayanya nafsu. Apalagi sampai diperintah oleh nafsunya dan dijajah olehnya. Betapa
sangat takutnya sekiranya muncul watak berani ngembari Tuhannya. Ngaku bisa dan
merasa ngerti. Sebab seyakinnya dia mengetahui bahwa hakekat guru yang hak dan sah
sebagai wakilnya Nabi Muhammad SAW, ini sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Hanya
karena Dia tidak ngejawantah di muka bumi maka Dia berkehendak membuat wakil yang
mewakili Diri-Nya. Wakil yang tahu secara benar dan persis perihal keberadaan Diri-Nya
Yang Al Ghaib dan Wujud-Nya.

Karena itu dia, selama masih merasakan ada wujud jiwa raganya dan wujudnya dunia,
taubatnya dan mohon ampunnya kepada Allah tidak pernah ada habis-habisnya. Sebab
diketahui bahwa yang demikian ini terjadi karena masih kurangnya lakon dan pitukon yang
seharusnya dipenuhi. Sebab selain Wujud Diri-Nya Yang Mutlak Ada-Nya, semua adalah
nafi. Sehingga apabila masih dirasa adanya, sama saja dengan masih ngembari yang
sebenarnya Wujud. Yakni Tuhannya. Karena itu taubatan nasuhanya mengalir terus
bersama-sama dengan setiap masuknya nafas yang selalu dijaga supaya selalu bersama
dengan ingatnya hati kepada Tuhannya. Apalagi dalam shalatnya sebagai “mi’rajul
mukmimin” ini.

Di samping itu Allah mengibaratkan Daabbah sebagaimana dijelaskan di atas, sebabnya


dalam melaksanakan tugasnya, al-Mahdi yang secara hak dan sah menjadi wakilnya Nabi
Muhammad SAW ini selalu dihina, dilecehkan, dicaci maki dimana-mana. Dinajiskan dan
bahkan divonis sempalan yang seharusnya dibabat habis layaknya binatang melata yang
hanya menjadi sampah kehidupan manusia dalam berdunia dengan watak akunya.
“Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya
jika Engkaku memberi tangguh kepadaku sampai hari kiyamat, niscaya benar-benar aku
sesatkan keturunannya, kecuali sedikit saja yang tidak”.
Begitulah sesumbar iblis yang karena iri dan kemudian dengki luar biasa kepada wakil-Nya
Allah di muka bumi berkata kepada Tuhannya.
Begitu halnya terhadap al-Mahdi yang adalah juga wakil-Nya Allah di bumi. Wakil yang
dengan sendirinya mengetahui secara persis dan benar terhadap Sang Muwakkil. Karena itu
oleh Allah disebut dengan Ahlu-Dzikir. Yaitu hamba yang dibentuk oleh-Nya mempunyai
hati nurani, roh dan rasa selalu berada pada diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib. Satu-satu-Nya
Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Allah Asma’-Nya. Oleh karena itu oleh Allah hati nurani, roh
dan rasanya juga dijadikan senantiasa mengingat-ingat dan menghayati keberadaan Diri-
Nya. Mengetahui bagaimana cara dan jalan untuk bertemu dengan-Nya. Karena itu atas
kehendak dan ijin-Nya lewat ijin guru yang sebelumnya diberi wewenang mengajari tentang
jalan yang lurus dengan ilmu yang mempertemukan inti manusia dengan hakekat Diri-Nya
hingga hamba yang dikehendaki oleh-Nya akan dapat selamat dan bahagia bertemu lagi
dengan-Nya. (Karena itu bagi yang ditugasi seperti itu kemudian ia merasa menjadi Guru
apalagi sampai berani ngaku jadi Guru, adalah perbuatan murtad yang paling besar.
Sebab hakekat Guru adalah Dia Sendiri).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 32


³ D º

“Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepadamu (Muhammad dan para wakilmu yang hak
dan sah itu) adalah baiat kepada Allah”. (QS. Al Fath 10).
Begitu Nabi Muhammad SAW wafat, atas kehendak Allah tugas kerasulan guna menjaga
murninya Islam sebagai agama untuk mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’aullah, yakni Imam Ali
bin Abu Thalib Ra., peluang untuk melaksanakan tugas itu diusahakan untuk ditutup sama
sekali oleh sahabat-sahabat yang lain. Bahkan terjadi sejak menjelang Nabi Muhammad
SAW wafat, dalam keadaan beliau sakit dan berkehendak menulis wasiat supaya keutuhan
ummat terjaga dengan mengakui Ali sebagai maulanya, dibantah dengan sangat keras oleh
salah satu sahabat beliau.

Itulah sebabnya mengapa jasad Nabi Muhammad SAW sampai tiga hari lamanya baru
disemayamkan. Tidak lain karena para sahabat yang ditinggalkan justru ribut
memperebutkan tentang bagaimana menjadi pemuka dalam hal kekuasaan yang kepada
Sayidina Ali bin Abu Thalib Ra. sebagai pelanjut tugas kerasulannya sama sekali tidak ada
wasiat perihal tersebut.

Untuk hal tersebut Nabi Muhammad juga telah pernah bersabda : “Didatangkan beberapa
orang pada hari kiyamat, lalu mereka di bawa ke arah kiri. Aku berteriak, “Ya Tuhanku,
mereka adalah sahabat-sahabatku. Lalu dijawab : “Kamu tidak tahu apa-apa yang mereka
perbuat setelah kamu meninggal. Sesungguhnya mereka itu murtad sejak mereka engkau
tinggalkan”. (HR. Imam Bukhari pada bab Kuntu Alaihim syahida).

Maka Islam lalu dipedoti (dipenggal-penggal) untuk kepentingan selera dan kepentingan
nafsu, golongan, kelompok, politik, kekuasaan dan lain-lain. Dikapling-kapling. Dibagi-bagi
sebagaimana Kalamullah (Al Qur’an) juga dibagi-bagi. Oleh karena itu lalu azab Allh juga
sebagai imbalannya (QS. Al Hijr 90-91). Islam yang buatan Allah dan milik-Nya ini tidak
lagi menjadikan pemeluk yang mengaku Islam agamanya berkehendak untuk mengenali
pemilik-Nya. Sebab pintu untuk dapat masuk dan bertemu dengan pemilik-Nya telah
dengan sengaja ditutup rapat-rapat. Padahal yang menjadi pintu untuk bertemu dengan
Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya tidak lain adalah para Rasul-Nya yang
tidak pernah putus hingga kiyamat.
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan
membawa keterangan-keterangan, mereka telah merasa senang dengan ilmu pengetahuan
yang ada pada mereka dan (akibat yang demikian itu maka) mereka dikepung oleh Azab
Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu”. (QS. Al Mu’minun ayat 83).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 9 – 11).

Dasar Muraqabah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Dasar Qana’ah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Dasar Ridha : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Dasar Sabar : (lih. juga Murid – Jalan Bagi Murid)


• Hanya dapat tercapai bila orang bersedia menangguhkan kesenangan, keinginan,
kepentingan-kepentingan, selera-selera sekarang untuk kesenangan yang jauh lebih besar
dan kekal saat ketika mati bertemu dengan Tuhan di akherat;

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 33


³ D º

• Selalu dengan sadar dan rela memaksa jiwa raganya sendiri (wujud nafsunya) selalu selalu
patuh dan tunduk dijadikan kendaraan bagi cita-citanya hati nurani, roh dan rasa mendekat
kepada Tuhannya sehingga sampai dengan selamat.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik
Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2).

Dasar Taubat : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)


Buah dan manfaat dasar taubat ini akan mampu menjaga dan memelihara dirinya terjerumus
pada hadirnya watak yang akan menyebabkan ia terhapus oleh Allah atas nasib baiknya. Yaitu
ia mestinya dikehendaki Allah menjadi golongan orang yang muttaqien hingga paripurnanya.
Ternyata karena dasar taubatnya lepas, datanglah penyakit yang menyebabkan ia mudah
takbur, sum’ah, ria, ujub, iri, dengki, memandang diri cukup, lalu gampang saja berwatak
kumingsun, sebab dzikirnya, amalnya sudah banyak, perjuangannya sudah hebat, jasanya telah
cukup, dan sebagainya. Sehingga kemudian Allah mencoret dari daftar hamba yang dicintai-
Nya.
Jadi dasar taubat yang selalu dipegangi akan menarik seseorang mempunyai budi pekerti yang
mulia juga sekaligus akan menjaganya mempunyai watak yang selalu ngumawula. Mudah
menangis kepada Allah. Dple-deple kepada Allah. Hingga selalu berharap atas pertolongan-
Nya, Rahmat-Nya dan hidayah-Nya. Maka ia akan selalu rajin beribadah dengan rela dan
ikhlas semata karena-Nya. Meski harus banyak berkorban, baik harta bendanya, pirkiran dan
tenaganya. Maupun berkorban perasaan akibat saking sedikitnya orang-orang yang
dikehendaki Allah berjalan lurus menuju kepada-Nya, sehingga sebagian besar dan banyak
orang adanya hanya menghina dan mencercainya.
Ia akan mudah sadar atas terbukanya hijab hatinya bahwa datangnya keadaan sulit dan susah,
berat, banyak pengorbanan yang harus ditempuhnya, bagi diri yang memang berkehendak
memenuhi kehendak Ilahi, mendekat kepada-Nya, itu justru menjadi hari raya baginya. Yang
demikian justru akan menjadikan kuatnya dan teguhnya mental, sebagai alasnya berbagai
pemberian dari Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Luhur.
“dan jangalah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-
orang yang beriman”. (QS. 15 : 88).
“dan (Allah) menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, (yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan (senantiasa) mengingat-Nya. Ingatlah bahwa
dengan selalu berdzikir kepada-Nya hati menjadi tenteram”. (QS. 13 : 27 – 28).

Kemudian manakala terlanjur berbuat salah dan dosa, ia kan segera menyesal dan berjanji
tidak akan mengulang salah dan dosa yang telah dilakukan itu serta berkemauan kuat untuk
segera memperbaiki diri. Dan karena ia punya guru yang hak dan sah sebagai wakil-Nya
Rasulullah, maka kepadanyalah ia mengadu bagaimana seharusnya supaya permohononan
ampun atas dosa yang telah dilakukannya itu diampuni oleh Tuhannya. Sebab Allah adalah
Maha Pengampun atas segala dosa dan kesalahan hamba-Nya, kecuali dosa mensekutukan
sesuatu dengan-Nya.

Dengan dasar taubat yang selalu dipeganginya, akan menjaga dirinya selalu dalam derajat
sabar. Yakni dengan rela hati memaksa jiwa raganya sendiri untuk dapat memenuhi
kewajibannya sebagai hamba Allah. Ia akan dengan rela memaksa jiwa raganya memegang
teguh talinya Allah.Talinya Allah adalah apa yang menjadi perintah dan petunjuknya guru yang
hak dan sah itu. Juga hablumminannas, tali sesamanya.Yakni mengokohkan tali silaturahminya
dengan sesama saudaranya sesama mukmin dan sesama tujuan dengannya. Sebab jiwa raga
yang tidak lain adalah ujudnya nafsu, kalaulah tidak dipaksa, ia akan hanya enaknya sendiri.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 34


³ D º

Semaunya sendiri, sehingga akan makin menjauhkan dirinya dengan Tuhannya. Sedang dijauhi
Tuhan, inilah yang paling ditakutinya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat
Mentauhidkanya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-cita Kebangkitan Yang Islami, di
Tanjung, 12 Januari 1990, hal. 69 – 70).

Dasar Tawajuh Illallah bil Kulliati : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Dasar Tawakkal ‘Alallah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Dasar Uzlah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Dasar Zuhud : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid)

Data Kunci : (lih. juga Lil Muqorrobin)


Data kunci adalah kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yang seandainya dimisalkan adalah
bagai dua sisi dari sebuah mata uang atau bagai sebuah daun sirih. Meskipun bolak-balinya
tidak sama tetapi apabila digigit, rasanya sama. Gambaran pemisalan ini dibenarkan oleh
firman Allah :
Artinya : “Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang
siapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”
(QS An Nisa’ 80).

Demikian halnya dengan firman Allah dalam QS. Imron ayat 31 :


Katakanlah :” Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai
(pula) kepada kamu serta mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.

Allah adalah Asma-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, Al Ghaib dan meskipun Maha Satu
sangat dekat sekali keberadaan-Nya pada hamba-hamba-Nya, karena Dia selalu menyertai dan
meliputi seluruh isi jagad raya dan jagad manusia. Meliputinya bagaikan roh jasadnya. Betapa
tidak, manusia ini bernafaspun tidak apabila tidak dengan-Nya. Apalagi hingga mempunyai
daya dan tenaga. Karena itu pada firman-Nya QS Ali Imron ayat 28 dan 30 Allah
memperingatkan mengenai keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib itu supaya diketahui seyakinnya
sebagai tempat kembali.
Itulah sebabnya yang disebut mutaqin dengan mendapat jaminan hidayah dari Allah syarat
pertamanya : Iman kepada Al Ghaib (QS. Al Baqarah 2 dan 3).

“Dan dia (rasul) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan (Keberadaan Diri-Nya Dzat
Yang Al Ghaib) Al Ghaib” (QS. At-Takwir 24). Karena itulah maka harus dipahami bahwa Nabi
Muhammad SAW itu yang wafat hanyalah jasadnya. Sedang tugasnya sebagai utusan Allah
(Rasullah) tidak ikut putus. Atas perintah, kehendak serta petunjuk dari Allah SWT secara gilir
gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini sampai dengan kiyamat nanti.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin, Tanjung, 9 Februari
2000, hal. 2).

Dawuh Guru :
Segala petunjuk, perintah dan larangan Guru Washitah yang diucapkan baik secara lisan
maupun tulisan dan dalam bentuk tingkah laku (gerak-gerik).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 35


³ D º

Deple-deple :
• Mereka yang selalu menyembah kepada-Nya adalah mereka yang selalu deple-deple dan
ngawula kepada-Nya.
Deple-deple karena memang apa yang dilakukan dalam ibadah itu sama sekali tidak ada
yang diaku. Semua laku ibadahnya semata-mata kerena memenuhi perintah Guru yang hak
dan sah (yang hakekatnya adalah Rasul-Nya juga). Sebab dengan ingat bahwa ibadahnya
karena Guru, otomatis akan menjadikan hatinya selalu ingat pada Isi-Nya Hu. Yakni Tuhan
Dzat Yang Al Ghaib itu.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 46).

• Deple-deple adalah semua pelaksanaan ibadah dalam memproses diri dalam mendekat
kepada-Nya sama sekali tidak ada yang diaku. Karena selalu sumende guru yang hak dan
sah itu. Dengan sumende guru yang hak dan sah itu otomatis pasti akan selalu ingat pada
isi-Nya Hu. Sebab hakekat Guru adalah Dia Sendiri. Bukanlah orangnya. Orangnya yang
kebetulan ditugasi karena ijin dan kehendak sebagai al-haadi, sama sekali jua tidak akan
berani ngaku. Bahkan iapun menyadari diri jua sebagai murid. Sebagai orang yang sama-
sama dengan sesama saudaranya berkehendak bertemu Tuhannya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 27).

• Bagi hamba yang rasa hatinya selalu lengket dengan Diri-Nya, apapun yang ditemui dalam
hidup dan kehidupan ini adalah sebagai ujian dan cobaan. Karena itu meski seandainya
dilanda cobaan yang seberat apapun, rasa nikmat mengingat-ingat Diri Tuhannya justru
makin menyala. Bahkan dianggapnya sebagai hari raya baginya. Karena sadarnya sepenuh
hati ternyata memang benar bahwa hamba ini apes, hina dan tidak bisa apa-apa. Tidak
punya apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Lalu menjadikan dirinya bangkit untuk selalu
bersandar (deple-deple) kepada Yang Maha Segala-gala-Nya. Sebab, makna kandungan
sabar dan tawakkal itu telah telah menyatu dalam dirinya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.72 – 73).

Dunia :
“Bal tu’tsiruunal-hayaataddunya”. “Tetapi kamu semua memilij kehidupan duniawi” (QS. Al A’la
: 16).
Perlu diketahui bahwa hakekat dunia adalah wujudnya nafsu manusia yang tidak lain adalah
wujudnya jiwa raga yang menjadi sumber segala sumbernya dosa dan kemaksiataan. Dan
porosnya nafsu yang markas besarnya wujudnya jiwa raga adalah watak akunya itu. Dan waktak
aku yang kemudian berusaha untuk memperoleh harga diri dan kehormatan sebagaimana
layaknya manusia hidup di dunia, karena di dalam diri ada daya dan kekuatan dengan keluar
masuknya nafas sebagai tanda dan bukti hidupnya. Sehingga hidupnya lalu ada harganya dan
ada nilainya. Kemudian lalu diperjuangkan dengan berbagai macam cara dan jalan supaya
palling tidak bertahan sukur dapat berkembang.

Nafsu yang tidak lain wujudnya jiwa raga ini dicipta oleh Allah dari setetes mani yang
bercampur, sengaja dibentuk demikian karena hendak diuji oleh-Nya (QS. Al Insan; 2).
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada yang
kufur” (QS. Al Insan ayat 3). Ternyata bentuk dan wujudnya ujian dari Allah sungguh sangat

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 36


³ D º

berat. Sehingga sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya memang nyata sekali tidak
lulus.

Bentuk ujian ini adalah sebagaimana firman-Nya dalam QS Ali Imran 14 yaitu dijadikan indah
pada pandangan manusia dalam kehidupan dunia ini terhadap apa saja yang diingini. Lalu apa
saja yang diingini ini ternyata juga sekaligus dituhankannya. Yaitu wanita-wanita, anak-anak,
harta benda yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang.Ini adalah kesenangan hidup di dunia (yang ternyata mengental dan
menjadikannya lupa bahwa) di sisi Allah-lah sebenarnya tempat kembali yang lebih baik.
“Apa saja yang ada padamu akan lenyap, dan apa yang ada pada sisi Allah inilah yang kekal”
(QS. An Nahl : 96).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.11)

Dzikir (dhikr, zikir) :


• Perintah Allah dengan Firman-Nya dalam QS. A’raf ayat 205 yang arti dan maksudnya :
“Dan ingat-ingatlah Rabbmu di dalam dirimu (di dalam rasa hatimu) dengan merendahkan
diri dan rasa takut, dan (cara mengingat-ingat-Nya) tidak dengan melahirkan dengan kata-
kata (tetapi diingat-ingat di dalam rasa hati), di sepanjang pagi dan petang dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

Yang didzikiri (di ingat-ingat dalam rasa hati) adalah Yang Empu-Nya nama Allah. Yaitu Al
Ghayb. Dzatullah Yang Mutlak Wujud-Nya (tetapi) Al Ghayb. Yang dekatnya lebih dekat Dia
Dzat Yang Al Ghayb ini meskipun dibandingkan dengan putihnya mata dan hitamnya mata
si hama (hadist Qudsi). Bahkan lebih dekat Dia meskipun dibandingkan dengan urat nadi
yang ada di lehernya hamba (Firman Allah dalam QS. Qaaf : 16). Tidak ada yang
menutupi Ada dan Wujud-Nya Yang Al Ghayb itu melainkan adalah jiwa raganya manusia
yang dibangsakan wujud (sebab sebenarnya tidak wujud) dicipta Allah dari setetes mani
akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap kehendak Allah
dan semua perintah-Nya). (QS. Yasin : 77; dll). Karena itu “wadzahiruhu min qibalihi al-
‘azab”. (QS. Al Hadid : 13).

“Inna nahnu nazzalna az zikra wa inna lahu lahaafidzuuna (QS. Al-hijr : 9). “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan dzikir dan Kami pulalah yang menjaganya”. Di dalam QS.
Shaad ayat 1 dan 2 Allah berfirman : “Demi Al Qur’an yang mempunyai dzikir. Tetapi bagi
orang-orang yang tidak percaya dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit”.
Di dalam kitab Ma’na Diir fi bayani ma’rifat bilah, Allah berfirman di dalam dada Al-
Ghauts: “Maka senantiasa zikirilah Diri-Ku niscaya Aku (juga akan) selalu ingat kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku serta janganlah kamu mengingkari (Ada dan Wujud-Nya Diri-Ku
Yang Al Ghayb itu).

“Ana jalisun man zakarani”. Aku selalu duduk berhadap-hadapan dengan orang-orang
yang mendzikir-Ku. Dan tidak ada suatu kaum yang duduk-duduk dalam sebuah majelis
kemudian mereka semua pergi dan sama sekali tidak ada yang mendzikiri-Ku adalah
bagaikan perginya kaum dari bangkainya himar.
Dan seorang hamba yang tidak mendzikiri Aku di dalam rumahnya di atas bumi milik-Ku,
melainkan disaksikan oleh bumi, di hadapan Allah, bumi itu menangisi seseorang hamba
yang demikian halnya itu pada hari kematiannya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 37


³ D º

“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lalai mengingat-ingat (Ada dan
Wujud Diri-Ku Yang Al Ghayb itu Yang) Allah (nama-Ku), mereka itulah golongan syaitan”
(QS. Al Mujadilah : 19).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir, Pondok Sufi,
Tanjung, 13 Desember 2006, hal. 5-6)

• Rasa hati yang senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat
Al Ghaib yang dirasakannya sangat dekat sekali.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.18)

• Dhikr adalah ingat-nya hatinurani, roh dan rasa kepada Dzat yang sangat dekat sekali
keberadaan-Nya yang meski Al Ghaib, Wajib WujudNya. Inilah Ana. Aku yang Nama-Ku
Allah. Dzikir yang mempertemukan inti manusia yang benih fitrahnya berasal dari Diri-Nya
dengan Diri-Nya.
Hakekat dzikir yang benar bukanlah yang jahri, yakni menyebut Asma’-Nya karena yang
diketahui ya memang hanya Asma’-Nya. Padahal sebuah nama, sama saja tidak bisa
berbuat apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa adalah Musamma-Nya. Maka tanyakanlah
kepada ahlinya (ahlu dzikir).

Dan apabila secara benar mengikuti petunjuk guru yang hak dan sah itu, maka ia akan
diajari bagaimana agar dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya selalu bisa
berada dalam “Laailaaha illa Ana”. Yakni mempunyai rasa yang seyakinnya menyadari
bahwa semua saja selain Wujud Diri-Nya adalah nafi. Termasuk wujud jiwa raganya sendiri.
Karena itu yang ditetapkan terus menerus dalam rasa hatinya hanyalah satu saja. Yaitu Dzat
Yang Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya yang hanya bisa diketahui dari ahlinya.

Maka dari itu simak dengan kajian yang jeli dan benar terhadap firman Allah yang
menyatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah membangkitkan seorang Rasul dalam kalangan mereka dari
antara mereka sendiri (pula), yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dab al-Hikmah” (QS. Al
Imran : 164). Dan mereka itulah yang akan dibalasi oleh Allah karena bersyukur bahwa
meski Nabi Muhammad SAW telah wafat ada pelanjut yang meneruskan tugas kerasulannya
serta mengazab mereka yang berbalik kebelakang (yang sama saja dengan menyembah
jasad yang ada dalam kubur). QS. Ali Imran ayat 144-lah yang mejelasi perihal ini.

Mereka yang bersyukur adalah mereka yang mendapat petunjuk Allah bahwa Nur
Muhammad (Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, Allah Asma’-Nya) sebagai
satu-satunya ilmu untuk dapat mengenali keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib itu tetap
mengalir terus hingga kini bahkan sampai dengan kiyamat dan terus mengalir pula sebagai
pintu satu-satunya masuk ke alam akhirat untuk selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-
Nya. Sehingga dengan begitu maka kesaksian terhadap Diri-Nya Dzat Yang Asma’-Nya
Allah tidak sebagai saksi yang palsu. Demikian halnya kesaksiannya terhadap Nabi
Muhammad sebagai Rasul-Nya Allah juga tidak sebagai saksi palsu. Sebab dengan ilmu
yang hak dan sah ini akan dengan seyakinnya hati nurani, roh dan rasa terbimbing untuk
dapat mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya dan cahaya Terpuji-Nya (Nur
Muhammad). Di mana Cahaya dan Dzat-Nya sebagaimana sifat dan mausufnya. Selalu
menyatu menjadi satu sejak di dunia ini hingga di alam akhirat nanti.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 38


³ D º

Untuk hal ini Allah berfirman :” Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nyadan kepada
An-Nuur yang telah kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu
kerjakan”. (QS. At Tagabun : 8).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.13 – 14).

Ahli Dzikir :
• Ahli adalah sebagaimana ungkapan kata seperti ahli kubur, yaitu orang yang telah mati
karena itulah dia selalu bertempat tinggal dalam kubur.
Demikian halnya ahli dzikir. Dia adalah hamba yang dibentuk oleh Allah berdasar ilmu
yang diterima dari Gurunya, dibentuk mempunyai hati nurani, roh dan rasa yang selalu
maqam (bertempat tinggal) dalam dzikir. Bertempat tinggal dalam rasa hati yang
senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghaib yang
dirasakannya sangat dekat sekali.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan,
Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 18 – 19).

• Hamba yang dibentuk Tuhannya berhati nurani, roh dan rasanya selalu berada di dalam
dzikir. Selalu mengingat-ingat, menghayati dan merasakan Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi
Dzat Yang Al Ghaib dan dekat sekali. Meskipun hamba ini tetap saja sebagaimana
layaknya manusia biasa, dalam menjalani hidup dan kehidupan dunianya. Sebagaimana
firman-Nya dalam QS. An Nabi’ya ayat 7, bahwa mengadanya Rasul menyatu dengan
mengadanya ahli dzikir. “Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu, melainkan
beberapa orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka mintalah
petunjuk kamu kepada ahli dzikir apabila kamu tidak mengetahui” (QS. 21 :7).

Dengan mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud-Nya Dzat Satu-Satu-Nya Yang Al
Ghaib, Allah Nama-Nya, Mutlak Wujud-Nya, karena amat sangat dekat sekali sehingga
dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, karena dijadikan Allah
rela meminta petunjuk kepada ahlinya, maka shalatnyapun akan berdiri tegak. Dan tegak
berdirinya shalat karena memenuhi perintah Tuhannya. “Wa aqimishshalaata lidzikrii”.
Kemudian fahsya’ dan munkarnya akan disingkirkan ilaahi dari dalam dirinya. Dan rezeki
yang diperoleh dari hasil kerja kerasnya, sama sekali tidak akan pernah berani ngaku
bahwa itu adalah miliknya. Hanyalah menjadi akon-akon donya. Maksudnya hanya pura-
pura saja diaku menjadi miliknya. Sehingga dengan senang hati sebagiannya
dibelanjakan di jalan Tuhannya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilaahi Yang Segera Diwujudkan dengan Kun
Fyakun-Nya adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin oleh Al-Qaim Al-Mahdi
(Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Pondok Sufi, Tanjung, Desember
2003, hal. 52 – 53).

• Hamba-hamba yang disucikan, wakil Diri-Nya Ilahi karena Dia tidak pernah ngejawantah
di bumi ini; secara baik mengenal Diri-Nya Dzat yang Al Ghaib-Nya Ilahi. Yang hati
nurani, roh dan rasanya selalu maqom pada Diri-Nya. Karena itu yang ternikmat diingat-
ingat dan dihayati, juga Diri-Nya Satu-satu-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya.
Tempat bertanya perihal Diri-Nya Yang Al Ghaib ini. Sebagaimana tugas dan fungsinya
Rosul Ilahi. (yang dalam QS. Takwir 24 difirmankan olehNya). Bagi hamba yang
dikehendaki mendekat kepada-Nya dan ada niatan hati untuk bertanya tentang
keberadaan Diri-Nya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 39


³ D º

• Hamba yang hati nurani roh dan rasanya oleh Allah senantiasa dibentuk dan dijadikan
maqam (bertempat tinggal) pada Diri-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000,
hal. 2).

Soroknya Dzikir :
Setiap kali akan dzikir mukul (Dzikir Huw-Huw-Huw) yang kita lakukan sehabis shalat, fidak
sehabis Shalat Maghrib atau rerebo tahlil, ada sorok dzikir dengan cara dibatin. Yaitu : NUR
CAHYA PUTIH WUJUD INGSUNG YA INGSUNG AREP NYATAKAKEN SEJATINE
HUW…HUW….HUW…
Kalau diganti dengan bahasa Indonesia lebih kurang : NUR CAHYA PUTIH WUJUD SAYA YA
SAYA AKAN MENYATAKAN SEJATINYA HUW….HUW…HUW….
Nur Cahya Putih adalah fitrahnya manusia atau hakekat manusia atau benih ghayb sucinya
manusia, dari Tuhan kembali kepada Tuhan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Imam Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin Kepada
Segenap Warga Syathariyah, Lampiran 1,Pondok Sufi, Tanjung, 18 Apriil 2005, hal. 1).

Bunyinya Dzikir Yang Dapat Didengar Telinga Adalah Huw-Huw-Huw


Huw yang wawu didhammah adalah bunyinya rasa. Adalah Huwiyatu ar Rabbi. Huw yang
isinya adalah Rabb (yang dibisikkan lewat telinga kiri sebagaimana yang dilakukan Junjungan
Nabi Muhammad SAW ketika membai’at Sayidina Ali Bin Abu Thalib serta para ahlul baitnya).

Huw ini sebenarnya telah ada di dalam surat Al Ikhlas. Qul Huwa Allahu Ahad.
Qul adalah fiil amar. Artinya perintah yang berlaku sekarang. Huwa adalah dhamir. Artinya
sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati mengenai Huwa (mengenai Dia), yakni Allah,
adalah satu-satunya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya tetapi Al Ghayb.

“Qul innama huwa ilaahun waahidun, wa innani bariun mimma tusyrikuuna” (QS. Al An’am :
19). “Katakanlah bahwa sesungguhnya Huwa (huwiyatu ar Rabbi) adalah ilaahun waahid. Dan
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).
“Faqul hasbiyallahu laailaaha illa huwa…” (QS. At Taubah : 129). Arti dan maksudnya :
“Maka katakanlah : “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada ilah selain Huwa (Huwiyatun ar
Rabbi)…..”.
Di dalam QS. Fathir ayat 15 Allah berfirman : “Yaa ayyuhannasu antumu al-fuqaraau illallah,
wallahu huwa al-ghaniyyu al-hamiidu”. “Wahai manusia kamu semua adalah al-faqir (apes,
hina, nista, bodoh tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak bisa apa-apa dan bahkan
tidak ada apa-apanya, karena itu seharusnya kamu semua) berkehendak kepada Allah”.
Wallahu Huwa adalah mubtada’ dan khabar. Maksudnya Allah itu adalah Huwa (yang
tersimpan dalam rasa hati). Dialah Dzat Yang Maha Kaya Raya, tidak kurang suatu apa dan
Maha Terpuji
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir, Pondok Sufi,
Tanjung, 13 Desember 2006, hal. 6 – 7).

Buah dan Manfaat Dzikir :


Buah dan manfaat dzikir yang disertai hadirnya rasa hati terhadap maknanya dzikir, yakni
betapa nikmatnya menghati dan merasakan dzikir (mengingat-ingat dan mengintai-intai Isi-
Nya Hu = Al ghaib-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya) sebagaimana disebutkan di bawah ini.
“Wahai murid (hamba yang berkehendak bertemu Tuhannya), wajib atas kamu supaya
berusaha memperbanyak dzikir dengan menghadirkan maknanya agar dapat membekaskan
adanya buah dan manfaat dzikir. Dan sebenarnyalah bahwa buah dan manfaat daripada
dzikir saking banyaknya takkan bisa dihitung”.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 40


³ D º

Di antara buahnya dzikir serta membekasnya adalah sepinya batin daripada berbagai
kecondongan apa saja selain-Nya hingga sampai pada membuktikan selamatnya mati. Sama
sekali juga tidak ada rasa kumandel kepada apa saja dan siapa saja, selain hanya kepada
Dzat Allah SWT.
Dan diantara berkahnya antara lain pada soal makanan dan yang semacamnya makanan
yang bahkan sepertinya menjadi banyak sesuatu yang sebenarnya sedikit, serta mencukupi
meski sebenarnya (seandainya dihitung) sedikit.
Berkah lainnya yakni diamnya lesan atas keadaan dunia dan semua yang menjadikan senang
dan nikmatnya dunia. Tidak memuji dan juga tidak mencela.

Yang termasuk guna dan faedah dzikir adalah terbukanya hijab yang mendinding hati
sehingga akan dapat mengetahui berbagai macam indahnya ajaib-Nya dan juga terhadap
rahasianya alam rasa.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 59)

Dzikri Daim : (lih. Shalat – Shalat Daim).

Dzikri Ismu Ghaib : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Dzikri Ismu Zat : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Dzikir Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Dzikir Itsbat Faqod: (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Dzikir Nafi Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Dzikir Tanazzul : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Dzikir Taroki : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 41


³ D º

F
Al- Faatehah :
Salah satu surat dalam Al Qur’an bernama Al-Faatehah. Surat ini diturunkan di Mekah dan
merupakan surat yang pertama-tama diturunkan lengkap 7 ayat. Disebut Al Faatehah karena
dengan surat ini dibuka dan dimulainya Al Qur’an. Sebagai bacaan yang sangat mulia, pada
kitab yang terpelihara di Lauh Mahfudz-Nya. Karena itu tidak akan dapat menyentuh kecuali
hamba-hamba yang disucikan oleh-Nya.

Al Faatehah yang Ummul Kitab, tujuh ayatnya dibaca berulang-ulang dalam melaksanakan
shalat yang ditegakkan. Telah menghimpun seluruh isi dan kandungan Al Qur’an. Karena itu
apabila mengetahui intinya, Dia ini adalah ruuhul-ruuh. Sebagai wadah “mata hati” ketika
menyaksikan Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Dzat Yang nyata-
nyata mudah dan amat indah untuk senantiasa dipandangi bila jihadunnafsinya hingga nyata
membuka mata hati.

Pada Khotbah Junjungan Nabi SAW yang agung di Ghadir Khum, dengan persiapan yang
matang guna memenuhi kehendak dan perintah Tuhannya. Yang isinya meletakkan kepastian
kebenaran Al haq-Nya. Namun ternyata ramai-ramai didustakan, dibantai dan disingkirkan,
oleh mereka yang diungkap Junjungan Nabi SAW dalam khotbahnya, sebagai kelompok
pendurhaka, munafik, licik, pelampau batas dan saudara-saudara setan yang saling
membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.

Pada khotbahnya yang Agung itu, Junjungan Nabi SAW menjelaskan garis tegasnya Allah
Wajalla.
Wahai umat manusia!
“Aku adalah shirathal-mustaqim yang kalian diperintahkan supaya mengikutinya. Setelahku
adalah Ali. Kemudian dilanjutkan putra-putraku yang datang dari sulbinya. Mereka adalah para
Imam yang membimbing kepada kebenaran dan dengan kebenaran itu mereka menjalankan
keadilan”.
(Kemudian Junjungan Nabi SAW membaca Surat Al Faatehah sampai akhir dan melanjutkan
kotbahnya) :
“Ayat-ayat ini diturunkan oleh Allah berkenaan denganku dan mereka (yaitu Imam Ali As., dan
yang disebut putra-putranya yang atas kehendak Allah SWT ditugasi melanjutkan tugas dan
fungsinya Junjungan Nabi SAW sebagai Rasullah yang ada dalam satu rantai silsilah dengan
cara gilir gumanti, sama sekali tidak pernah terputus hingga kiyamat nanti)”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 5).

Kandungan ayat demi ayat Surat Al Faatehah.

Bismillahirrahmanirrahim

• Dengan menyebut Nama Allah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Pada ayat
pertama ini Bismi-nya gandeng menjadi satu. Sebab dengan menyebut Nama-Nya berarti
(seharusnya) rasa hati telah mengenali Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang empu-Nya nama
Allah yang meskipun Al Ghaib, nyata sangat dekat sekali dalam rasa hati. Artinya sama
dengan telah mengetahui rahasia yang ada pada titiknya ba’ (yang hanya diperoleh atas ijin
dan hidayah-Nya dari yang disebut oleh Khotbah Junjungan Nabi sebagai putra-putranya;
khotbah di Ghadir Khum).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 42


³ D º

Maha pemurah karena Dialah Dzat Yang melimpahkan segala kebutuhan hidup dari
kehidupan hamba-hamba-Nya. Bahkan kepada hamba yang kafirpun Allah meliputinya
(QS.2 : 19). Sebab hamba yang kafirpun kalaulah tidak dengan ijin-Nya, bernafaspun tidak
apalagi hingga berdaya dan bertenaga. Hanya saja lalu diaku dan diperalat oleh hawa
nafsu dan syahwatnya. Namun sama sekali tidak disadarinya, karena itu betapa hebat
ancaman azab yang diterima oleh mereka.

Yang Maha Penyayang karena Dia-lah Dzat yang senantiasa menyayangi hamba-hamba
pilihan-Nya. Supaya selalu berada pada keimanan dan ketaqwaan yang benar-benar
sejalan dengan kehendak-Nya. Dan cara menyayanginya justru diuji dengan berbagai
cobaan yang bermacam-macam. Dan karena disayangi, hamba yang demikian sadar
sesadar-sesadarnya bahwa diwujudkannya berjiwa raga dalam kehidupan dunia memang
sebagai tempat ujian dari Diri-Nya. Karena itu justru akan malah menyuburkan niat dan
tekadnya dalam berlaku sabar dan tawakkal membuktikan jihadunnafsinya. Demi mendekat
kepada-Nya sehingga sampai dengan selamat dan bahagia bertemu lagi dengan Diri-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000,
hal. 6).

• Pembukaan yang membuka terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al GhaibNya yang
dekat sekali dalam hati yang mencahaya. Hingga apabila Bismillahirrahmanir- rahim
diucapkan dengan kata, Rasa hati langsung menghayati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib Wu-
jud-Nya. Lalu mencahaya dengan Diri-Nya.

Dan kenalnya hati yang padanya ada pancaran cahaya-Nya yang menyejukkan ini. Pada
kebenaran Al-hadi yang dipercaya Ilahi sebagai wakil-Nya, menjadikan rasa jiwa yang
selalu hidup dengan Diri-Nya. Menjadikan rasa jiwa dengan Arrahman dan Arrahim-Nya.
Dapat menikamati rasa ngumawula kepadanya. Karena itu betapakah yang ada dalam
dada. Apakah tidak pernah diperhatikan. Lalu apakah tidak kamu tolong sendiri untuk
menyelamatkan.

Padahal dada adalah misalnya jagad raya. Yang keberadaannya berintikan pada Diri-Nya
Dzat Yang Maha Kuasa. Sebagai Sang Pencipta juga sekaligus Yang Menggerakkannya.
Namun padanya juga ada iblis dan syaitan serta semua wadya bala lelembut dari bangsa
jin dan manusia yang “laayatgha dan an raahustaghna”. Yang maunya membikin ruwet dan
menggelapkan keberadaan Diri-Nya. Agar Ada dan Wujud-Nya Yang Al Ghaib dan dekat
sekali ini, diganti saja dengan keberadaannya. Demikian halnya pada isinya dada.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia SuciWajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk
Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, 30 Oktober 1996, hal 1 – 2).

Alhamdulillahirabbil ‘alamina,:

• Segala puji bagi Rabb semesta alam, ayat yang kedua. Dengan sadar memuji-Nya maka
habislah watak nagkunya hamba, kemudian suburlah gairah mencintai Diri-Nya Rabb. Yang
menunjuk pada keberadaan Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya. Yang
dirasakan dekat sekali dalam rasa hati. Karena itu menjadilah hamba yang senang hati
selalu mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Rabb Sang Pendidik, sang
Pelindung, Sang Pemelihara, Sang Pengayom yang Menguasai seluruh alam. Alam kabir
maupun alam shagir yangada dalam dada hamba yang bertakarrub kepada-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000,
hal. 6).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 43


³ D º

• Segala puji hanyalah bagi-Nya semata, Tuhan semesta alam. Satu-satu-Nya yang ditaati.
Sebab Dia-lah Dzat satu-satuNya yang Memiliki segala ini, yang Mendidik, Yang
Memelihara Dan Mengayomi, dan Yang Mengalirkan rasa cinta hamba kepada Diri-Nya.

Namun bagi dada yang adalah jagatnya manusia. Semisal apa yang ada dalam jagat raya
Ciptaan-Nya, diruwetkan oleh segala cipta angan-angannya. Lalu menggelapkan
keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dan dekat sekali. Karena gengsi bertanya kepada AL-
Hadi yang ahli dalam hal ini. Maka Wayaqdzifuuna bil ghaibi min makaanin ba’iidin, yakni
hanya menduga-duga saja pada keberadaan (Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang) Al Ghaib
dari tempat yang jauh (q.s. saba’. 53).
Maka yang muncul adalah wataknya yang berani ngembari Diri-Nya. Ngembari Ada-Nya
dan ngembari Wujud-Nya. Dengan ngakunya pada keberaan ada dan wujudnya dirinya.
Lalu watak akunya itulah yang merajalela. Dengan komando nafsu untuk menghabisi
nikmatnya hati mengingati Diri-Nya. Hingga puja dan pinuji yang mestinya adalah hanya
layak bagi Diri-Nya. Diserobotnya untuk memenuhi kepuasannya dunia.

Padahal dengan mengucap alhamdulillahirabbil ’alamin. Bagi yang dalam dadanya ada
isinya dzikir yang menghayati Keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib, dekat sekali. Akan se-
gera menghidupkan kesadarannya sebagai hamba yang bodoh, dungu, tuli, apes, hina,
tidak bisa apa-apa, tidak kuat apa-apa dan tidak punya apa-apa. Yang kalaulah tidak
karena dengan-Nya, fadhal-Nya dan Rahmat-Nya. Tidak hanya apes, hina, nista, dan
bahkan tidak berharga. Sahdan jalan syaitanlah yang akan diikuti. Lalu watak ngembari
Diri-Nya. Menyatu dengan watak aku yang tak pernah disadari sama sekali.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi
Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 2 – 3)

Ar-Rahman Ar-Rahim.:

• Mempertajam terbukanya kesadaran pada diri hamba yang dikehendaki sebagai al faqir
yang selalu butuh kepada Diri Illahi. Karena itu selalu bertekad bulat dan dengan secara
benar mengenali Diri-Nya Yang Al Ghaib supaya dengan mudah diingat-ingat dan dihayati
sebagai tempat Yang Kekal dan Yang Abadi untuk menggantungkan diri.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000,
hal. 6).

• Ar-Rahman-Nya membuka cakrawalanya pikiran yang hatinya mengenali Diri-Nya Tuhan.


Bahwa ia hidup didunia tidaklah sendirian. Banyak yang lain dan bermacam-macam. Untuk
diketahui sebagai bacaan betapa luasnya ilmu-Nya Tuhan. Yang menghidupi hamba
meskipun tidak taat kepada-Nya. Dan yang menjadikannya tak tergoncang terhadap
tingkah mereka. Yang menjadikan dunia menjadi lahan nafsunya. Hingga emosi dan ambisi
yang biasa memabukkan mereka yang menggeluti nafsunya dengan dunianya, tidak akan
memahami kandungan kalimah nafi itsbat ini.

Ar Rahman-Nya yang membuka wawasan luasnya karena hidayah yang melapangkan


dadanya. Karena telah memahami kalimah thayyibah-Nya yang tersusun dari kalimah nafi
dan kalimah itsbat ini. Menjadikan hidupya untuk tetap mendidik diri pribadi. Bertapa di
tengah-tengah praja (zuhud) dan menyendiri ditengah-tengah kalangan (uzlah). Di tengah
praja berkepedulian membangun kerja, kerjasama dengan siapa saja. Memajukan
sebagaimana layaknya kehidupan berdunia. Namun bertapa rasa hatinya. Tidak kumantil
kepada semua ujud yang ada. Tetapi kumantil kepada Diri Tuhannya. Sehingga seandainya
berhasil membangun apa saja yang besar manfaatnya bagi sesama. Yang disyukuri

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 44


³ D º

bukannya wujudnya bangunan yang melibatkannya. Akan tetapi Diri Ilahi yang menjadikan
hati ini mau. Sehingga dengan begitu, amal perbuatannya tidak akan dimakan api, bagai
kayu kering yang terbakar habis-habisan, yakni takabur, ujub, ria’ dan sum’ah yang telah
menjadi latah. Maka ditengah kalangan tempat kerja kerasnya mengelola garapan dunia.
Dan dengan pikiran yang dibekali ilmu pengetehuan dan teknologi tinggi. Tidak ditujukan
sebagaimana kebiasaan hidupnya manusia berdunia. Untuk bersenang-senang dan
menumpuk harta, akan tetapi menyendiri demi lakon dan pitukon guna mendekat hingga
ma’rifat.

Kemudian dalam menghayati Ar Rahum-Nya Illahi. Terbukanya dada karena dibuka oleh-
Nya. Supaya menjadi hamba yang mendekat kepada Diri-Nya. Suci yang kahesti, karena itu
tidak pernah lumpuh dalam berjihadunafsi. Luhur kang ginayuh, karena amanat-Nya untuk
menjadi Khaira Ummati. Disadari dengan sepenuh hati. Maka tujuan hidup yang sejati
murni ini, ternyata rumpil margane. Akeh Pengorbanane. Gede Cobane, Adoh, jero dan
lembut tebane. Karena itu apabila lepas dari tali yang diulurkan Illahi, yang sama artinya
dengan mematikan dzikir yang seharusnya selalu mencahaya dengan Al Ghaib-Na Dzat
Yang Menguasai dadanya. Putus asalah yang akan membantai semangat ini. Lalu
tersungkur di bawah kaki berhala yang selalu melirik kelengahannya. Karena itu bagi
hamba yang hidupnya dikuasai Ar Rahim-Nya; “Wurudul faqati a’yadul muridina. Falfaqotu
basthul mawaahibi”. Bahwa datangnya keadaan rekasa, kangelan dan pengorbanan, yaitu
semua hal yang sama sekali tidak disenangi. Bagi hamba yang tekad hidupnya demi
mendekat kepada-Nya hingga sampai, hal demikian justru menjadi hari raya. Sebab
mengetahui makna belas kasih-Nya, bahwa keadaan demikian justru akan menjadikan
lemek yang sentosa bagi beberapa pemberian dari Diri-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi
Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, 30 Oktober 1996, hal 3 – 6).

Maaliki yaumiddin

• Yang Menguasai hari pembalasan, ayat empatnya. Dia pula Raja yang menyambut hadirnya
hamba yang pulang kepada-Nya. Karena itu disini menanam dan disitu memetik. Apabila
menanamnya taat mengikuti petunjuk Sang Raja Yang Maha Kuasa, memetiknyapun akan
memperoleh sebagaimana yang dijanjikan oleh-Nya. Tetapi apabila menanamnya dengan
caranya sendiri dan semaunya sendiri, hasilnya diancam dengan sama sekali tidak diterima
oleh Sang Raja dan dibuang sia-sia. Balasan yang dipetiknya adalah penyesalan selama-
lamanya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000,
hal. 7).

• Yang menguasai hari pembalasan. Dia-lah Maha Raja Diraja Yang Berdiri Sendiri dan
Berkuasa. Di hari yang setiap manusia pasti akan menemui. Dan yang ketika masih di sini.
Karena nafsu yang menghidupi lalu menguasai. Maunya pergi dan lari. Karena maunya
semua orang takut mati.

Padahal bagi yang kenal Diri-Nya secara baik dan benar jalannya. Lalu menjadikan hidup
di dunia ini untuk dikelola guna pancatan yang kokoh bagi cita-cita pulang kembali
menemui-Nya. Mati adalah puncak kebahagiaan-nya. Menjadi pintu gerbang bertemu
dengan Diri-Nya A-Ghaib-Nya dengan wajah yang berseri-seri kerena merasakan nikmatnya
mati. Karena Tuhannya melihat (dengan mata hati yang padang karena sirnanya semua
hijab yang menutupi). Sebagai mana firman Nya diSurat Al-Qiyamat.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 45


³ D º

Dengan Maliki yaumiddin yang dihayati dalam rasa hati. Maka zaman keadilan
sebagaimana cita-cita ummat akan terpenuhi. Sebab semua hamba yang Aku sebutkan
dimuka akan dipandaikan Illahi mengadili diri. Dengan jihadunnafsi yang selalu
menghidupkan semangat mendekat, maka, rasa takutnya apabila Tuhan menjauh dari
dirinya (yang menyebabkan rasa menjadi berat merasakan nikmatnya mengingat-ingat dan
menghayati keberadaan Diri-Nya Yang dekat sekali) menjadikannya selalu bertaubatan
nasuha.

Maka firman-Nya yang kebanyakan manusia mengesampingkannya


“wahuhadzdzirukumullahu nafsahu”. Dan Allah memperingatkanmu terhadap keberadaan
Diri-Nya itu. Sebagaimana di surat Al Imran ayat 28 dan 30-nya. Terhadap satu-satu-Nya
Dzat Yang Al Ghaib dan jelas sekali Ada-Nya dan Wujud-Nya. “Inilah Tuhanmu Dzat Yang
Al Ghaib itu maka ingat-ingatlah selalu dalam hatimu”. Sebagaiman di surat At Takwir ayat
24-nya itu. Bahwa Dia, Rasul Illahi yang tugasnya sebagaimana aku jelaskan di muka, yang
secara gilir gumanti tidak putus dibatasi oleh wafatnya jasad nabi.
“Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”
Begitulah ungkapan tanya pengjaga-penjaga neraka yang menggelegak marah. Setiap kali
dilemparkan kepadanya sekumpulan orang-orang berdosa. Mereka menjawab :
“Benar ada”. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka
kami mendustakannya dan kami mengatakan :
“Allah tidak mendatangkan sesuatupun.” Maka firman-Nya memutuskan :
“Kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. Dan mereka berkata :
“Sekiranya kami mendengarkan dan memikirkan niscaya kami tidak termasuk alhi neraka
yang menyala-nyala”. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi semua
ahli neraka yang menyala-nyala. Begitulah peringatan Ilalahi di surat Al Mulk ayat 7 hingga
sebelasnya.

Kemudian di ayat dua belasnya. Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya
dengan (selalu ingat Wujud-Nya Dzat Yang) Al Ghaib (dekat sekali dalam rasa hati), karena
itu sangat mudah diingat-ingat dan dihayati bila dikehendaki) mereka akan memperoleh
ampunan dan kanugrahan yang besar.

Itulah “Maaliki yaumiddin”. Maha Raja Yang Mengusai hari pembalasan. Maka bagi yang
dikehendaki, alangkah hebat rasa takutnya apabila sekiranya ditinggalkan oleh-Nya. Karena
harapan hidupnya adalah dapat kembali dengan selamat menemui-Nya. Maka rasa cinta
untuk dapat selalu mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya, akan dijalani meski harus
menghadapi betapapun beratnya resiko yang ditemui.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi
Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 6 –
9).

Iyyakana’ budu waiyyaakanasta’in.:

• Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan, terjemahan ayat yang ke lima.
Adalah ungkapan hamba yang pandai bersyukur kepada-Nya. Adalah ungkapan hamba
yang ridha dan ikhlas kepada-Nya. Adala ungkapan hamba yang secara nyata rasa hatinya
mengenali Ada dan Wujud DiriNya. Ungkapan hamba yang deple-deple dan pasrah
bongkokan kepada-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000,
hal. 7).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 46


³ D º

• Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan. Sebab kami menyadari bahwa kulluman ‘alaiha faanin Wayabqo wajhu
Rabbika dzul Jalali wal ikraam (Q. S. Ar- Rahman 26 – 27).

Kami menyadari dengan seyakin-yakinnya dalam rasa ini. Dengan ajaran dari-Mu lewat
Utusan yang Engkau tugasi itu bahwa Huwal awwalu Huwal-akhiru, Huwa adzdzahiru Huwa
al-bathinu. Hanyalah DiriMu Satu-satuNya Dzat Yang Wajib WujudNya yang meskipun Al
Ghaib dekat sekali dalam rasa hati sebab selain Diri-Mu. Termasuk wujud diriku dan apa
saja yang menempel disini, sebenarnya memang tidak wujud dan tidak ada (Engkau adakan
Wujudnya adalah sebagai ujian untuk dapat lulus ditiadakan, agar tidak menjadi hijab yang
mematikan hati untuk menemui-Mu lagi).

Karena itu betapa al-fakirnya hamba-Mu ini. Kalau sekiranya tidak hanya untuk menyembah
kepada-Mu, maka hidup kami akan sia-sia dan sesat selama-lamanya. Maka aku akan
selalu nggandul kepadaMu. Sebab betapa keadaan hidup yang aku jalani. Semua
Tergenggam di Tangan-Mu, maka hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan dan kasih
sayang.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia SuciWajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk
Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 9 – 10).

IhdinashshiraathalMustaqim. :

• Ihdina – mengandung makna bagi yang dibuka rasa sadarnya sebagai hamba yang apes,
hina, tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa. Sahdan bisanya hanya
menambah salah dan dosa. Maka kesadarannya lalu berkata : “Seandainya tidak diberi
hidayah yang nyata oleh-Nya, tidak hanya apes, hina dina dan sama sekali sia-sia serta rugi
dalam menjalani hidup ini, bahkan matinya pun akan sesar selama-lamanya. Tidak bisa
pulang kembali bertemu dengan DiriNya Illahi. Padahal itulah yang amat sangat ditakuti”.

Hidayah nyata itu adalah hati yang dimaukan Tuhannya menjalani Shirathal mustaqim.
Yang ternyata amat sangat sedikit sekali hamba yang diberi mengerti tentang ini. Padahal
itulah sunnah (perikehidupan nyata) yang dijalani Junjungan Nabi Muhammad SAW serta
para penggantinya yang hak dan sah melanjutkan tugas dan fungsi kerasulan. Yang hingga
kini tetap ada bahan hingga kiayamat tiba. Bagai sinar matahari yang senantiasa
memandangi jagadnya pribadi. Dalam dadanya lalu memancar dengan Nubuwah
Qomariyah. Karena Nur Muhammad sebagai Cahaya TerpujiNya Dzat Yang Mutlak Wujud-
Nya. Selalu mengalirkan cahaya di dalam dadanya.

Shiratal-mustaqim itu dhahirnya syareat dengan batin yang mapan di hakekat. Syareat
adalah perintahnya Guru yang hak dan sah sebagaimana telah banyak dijelaskan
terdahulu. Yang dapat dilihat mata kepala dan dikerjakan anggota jasadnya. Sedangkan
hakekat adalah hati nurani, roh dan rasa yang telah berfungsi untuk selalu mengingat-ingat
dan menghayati Diri-Nya Dzat Al Ghaib dan Mutlak Wujud-Nya (yang tersimpan dalam
titiknya ba’ = hakekat rumahnya Junjungan Nabi Muhammad SAW yang hakiki).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000,
hal. 7).

• Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan satu-satu-Nya milik-Mu itu. (bukan jalan–jalan yang
menceraiberaikan kami dari jalanmu, sebagaimana yang Engkau firmankan dalam Surat Al-
An’am ayat 153 itu).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 47


³ D º

Dan oleh karena jalan itu adalah milik-Mu. Maka memang seharusnya bahwa kewajiban
yang pertama-tama adalah mengenali Diri-Mu sebagai Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Oleh
karena itu kami sama sekali tidak enggan dan sama sekali tidak malu bertanya kepada yang
ahli tentang ini, lalu mengikuti jejak para malaikat-Mu yang Engkau dekatkan itu. Untuk
berbuat sujud, yakni kalmayyiti dihadapan wakil-Mu dimuka bumi. Yang kami sadari
memang harus dengan kesungguhan memerangi nafsu. Sebagaimana dalam petunjuk-Mu
dalam Surat AL-Hijr 98 : “fasabbih bihamdirabbika wakun minassajidina.”

Jalan-Mu yang sangat lembut dan samar-samar. Sebagaimana Diri-Mu Yang juga sangat
lembut sekali untuk dapat selalu dihayati. Mudah sekali terjadi dengan tiba-tiba lupa
mengingati apa lagi hingga menghayati. Sedangkan syaitan dan wadya balanya yang
lembut dan yang kasar. Begitu beraneka dan bermacam-macam. Sebanyak jenis dan
macam makhluk-Mu dijagad manusia, jin dan syaitan. Maka dengan tanpa pembimbingnya
Al-Hadi sang Penunjuk jalan yang Engkau percaya mewakili-Mu sebagai tugas penerusan
utusan-Mu. Yang menjelaskan perihal hidayah-Mu. Banyak terjadi yang terdampar di
tengah jalan. Akibat gejolak nafsu dan syaitan yang terus menerus memburu, lalu mudah
sekali ditumbuhi watak ngendelake benere dewe, ngendelake panemune dewe, ngendelake
wicarane dewe. Lalu sama sekali lupa dengan akibat yang akan diperolehnya. Yaitu
“faqod ta’arrodha liahwaaisysyaithaani lahu”. Maka benar-benar telah menawar-kan dirinya
supaya disesatkan syaithan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi
Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 10 –
11).

Shiraathallladhiina an’amta ‘alaihim. :

• (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (jalan) mereka yang sesat. Jalan orang-orang yang
telah diberi nikmat oleh-Nya adalah jalan orang-orang yang dengan hidayah-Nya
diluluskan dalam menghayati dan mengamalkan shirathal mustaqim. Ditarik oleh fadhal dan
rahmat-Nya didekatkan kepada Diri-Nya. Sehingga ketika mati yang pasti akan ditemui,
akan dapat merasakan betapa bahagianya bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Mutlak
Wujud-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000,
hal.7).

• Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka. Nikmat
mereka yang Engkau tarik menjadi muqorrobuuna. Hamba-Mu yang Engkau bentuk
manjadi firman-Mu di Surat. Al-Waaki’ah ayat 88 dan 89 itu. “ adapun jika dia termasuk
orang yang didekatkan (kepada-Mu) maka dia memperoleh ketentraman dan rizki serta
jannatun na’im.”

Adalah hamba yang mengalir dalam cahaya nuraninya. Nur Kenabian yang mencahayakan
Diri-Mu dalam hati nurani, roh dan rasanya itu. Yaitu Nur Mmuhammad yang telah menjadi
inti manusianya sendiri. Lalu mengerakkan jihadunnafsi hingga sampai saat mati karena
tidak engkau hinakan dengan segala apa saja yang mestinya nafi. Lalu Engkau tiadakan
hijab itu dari dalam hati yang intinya “siiri ma’nawi”. Hingga ketika Engkau bangkitkan
menjadi hamba yang sebagaimana firmanMu di Surat Asy-Syu’ara ayat 89. Engkau
jadikan: man atAllaha biqolbin salim. “Orang yang telah sampai kepada Allah dengan hati
yang telah selamat “. Sehingga ketika mati rasa nikmat yang ditemui, Engkau yakinkan
dengan: “Wujuhun yauma idzin naadhirah, ilaa Rabbiha naadhirah”. Itulah mereka yang

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 48


³ D º

putih berseri wajahnya, maka mereka berada dalam rahmat Allah dan kekal di dalamnya.
FirmanMu di Surat Ali Imran ayat 107.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi
Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 12)

Ghairil maghdhubi ‘alaihim walaadhaalliin. :

• Jalan yang dimurkai adalah jalan yang iblis sebagai pemimpinnya. Hingga watak dan
pandangan-pandangannya dengan sendirinya juga mengikut kepadanya. Yang selalu
memandang indah, baik dan benar berdasarkan watak akunya. Dan pada QS.2 ayat 90
Allah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bagi keadaan mereka “Alangkah buruknya
(perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah
diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah
(mendapat) kemurkaan.Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan”.

Maksud apa yang telah diturunkan Allah pada ayat diatas adalah Ilmunya Allah SWT
mengenai bagaimana mengenal dan mengetahui Keberadaan Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang
Mutlak Wujud-Nya, Allah namaNya, amat sangat dekat sekali dalam rasa supaya dapat
dengan mudah selalu diingat-ingat dan dihayati dan dijadikan tujuan hidup sebagai tempat
kembali. Itulah karunia yang diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
dikehendaki. Yakni kepada semua Nabi-Nya, semua Rasul-Nya dan juga kepada para
pengganti Junjungan Nabi Muhammad SAW yang atas kehendak dan ijin-Nya meneruskan
tugas dan fungsinya sebagai utusannya yang ada dalam satu rantai silsilah dengan cara gilir
gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai kiamat nanti. Dan itulah
yang diiri lalu jadi membenci. Pilih menjual diri dengan kekafiran dan dengan azab yang
menghinakan.

Adapun jalan mereka yang sesat adalah mereka yang telah dikunci mati atas hatinya dan
pendengarannya. Penglihatannya ditutup. Karena itu mereka ini sama sekali buta dan tuli
terhadap keberadaan Al-Haq-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.17 ayat 72 “ Dan
barang siapa yang buta (mata hatinya) di dunia ini, niscaya diakherat (nanti) ia akan lebih
buta dan lebih tersesat jalan(nya)”. Yakni yang tidak kembali pulang kepada Tuhannya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000,
hal.7 – 8).

• Bukan (jalan) mereka yan dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Yang dimurkai adalah mereka yang memilih jalan bukan jalan kehendak-Nya. Karena
enggan, acuh, sombong dan angkuh. Lalu watak aku yang dikomandoi nafsu yang
berbicara, maka watak abaa wastakbaranya menjadikannya tidak mengikut jejak para
malaika-Nya. Yang taatnya kepada diri-Nya bahkan rela diperintahkan sujud taqorrub.
Yakni memberlakukan diri kal-mayyiti bagai mayit dihadapan wakil Ilahi yang ada di bumi
hingga sekarang ini.

Bahkan kesombongannya berani bicara lantang dihadapan Tuhannya (padahal bisanya


bicara itu kalaulah tidak digerakkan Daya dan Kekuatan Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-
Nya, dan menjadikan jiwa raganya ada nafas sebagai tanda kehidupannya, menggerakkan
jari kelingking saja yang namanya hamba ini tidak akan bisa). Yaitu keberania bicara
melecehkan wakil-Nya, “Ana khairu minhu”. Aku lebih baik dari pada wakil-Mu itu.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 49


³ D º

Itulah makhluk yang ablasa kepada-Nya. Lalu bergerak cepat dan bahkan kilat, menularkan
kepada semua manusia di bumi milik-Nya. Dengan kesaktiannya berhasil membentukkan
pandangan baik. Padahal sama sekali tidak sejalan dengan kehendak Azza Wajjala. Yang
merubah nafsu manusia menjadi berhala yang dipuja. Karena itu mereka mendapat murka
sesudah (mendapat) kemurkaan. Yang menjual dirinya sendiri dengan ketidak percayaan
terhadap apa yang telah diturunkan Allah. Karena dengkinya, Allah menurunkan karunia-
Nya (untuk dijadikan wakil-Nya di muka bumi milik-Nya ini). Kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu sangat buruk sekali perbuatan
mereka. Dan kemudian siksa yang menghinakannya yang akan diterimanya. Demikian
kandungan firman-Nya di surat Al Baqarah ayat 90-nya.

Dan yang sesat karena taghut yang menjadi pilihan kenikmatan dan kesenangan. Yakni
mereka yang hati, roh dan rasanya dicelupkan ke dalam nafsunya. Hingga nafasu yang
hakekatnya adalah dunianya manusia, menjadi raja yang mengusai jagad manusia yang
ada dalam dadanya. Lalu mereka menjadi orang-orang yang lebih menyukai kehidupan
dunia, daripada kehidupan akhirat (yang hidup langgeng dengan Tuhannya). Dan
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah serta menginginkan agar jalan Allah itu
bengkok. Mereka itulah yang hidupnya ada pada kesesatan yang jauh (Firman-Nya di surat
ibrahim ayat 31).

Karena itu mendalami kalam-Nya di surat Al Faatehah yang selalu diulang ini, bagi yang
dikehendaki dimasukkan oleh-Nya dalam sibghah-Nya, yakni dalam celupan Cahaya Diri-
Nya adalah pembukaan yang membuka kewajiban hati nurani, roh dan rasa. Agar tidak
dicelupkan oleh watak akunya manusia ke dalam nafsunya. Supaya tujuan hidayah yang
diberikan oleh-Nya kepada hamba yang dipilih-Nya, membumi di dalam dadanya (tidak
ngawang diangan-angan dan dipikirannya akal yang kecenderungannya pada watak aku
yang maunya melebihi batas, karena dijadikan Tuhan memang terbatas, namun maunya
tidak mau terima dengan keterbatasannya).

Padahal persoalan agama yang ini adalah Al Haq min Rabbika, adalah Hak-Nya Illahi Yang
Dia Sendiri Berdiri Tegak di dalamnya. Karena itu dia menantang hamba-Nya dalam QS.
Fushshilat ayat 53 : “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu)? Bahwa sesungguh-
nyalah Dia menyaksikan segala sesuatu”.

Sedang fitrah manusia yang kini dibungkus oleh wujudnya jiwa dan raga, yang oleh-Nya
disesuaikan dengan dunia sebagai tempat ujiannya, asalnya adalah Diri-Nya. Karena itu
dalam sistem kerohanian manusia, oleh Allah dilengkapi dengan instrumen yang nadanya,
suaranya dan juga bisikan-bisikannya menyatu dengan Cahaya Diri-Nya. Arahnya lurus
kepada Diri-Nya Al Ghaib-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan Yang Allah Asma-Nya,
ada titik temu dalam rahasia inti manusia, yaitu Nur Muhammad yang tidak lain adalah
Cahaya Terpuji-Nya. Cahaya yang dengan Wujud Dzatnya selalu menyatu bagai sifat dan
mausufnya itu.

Dan oleh karena Wujud Dzat-Nya tak akan pernah ngejawantah di bumi ini, sedang Dia
berkehendak supaya hamba-Nya dapat selamat ditempat ujian dunia, untuk kembali
menemui-Nya lagi, maka bagi hamba yang dikehendaki dicelupkan dalam Cahaya-Nya,
akan dijadikan mengerti oleh firman-firman-Nya di bawah ini :
“Apakah belum datang kepadamu berita-berita orang-orang kafir dahulu?” Maka mereka
telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka dan mereka memperoleh azab
yang pedih.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 50


³ D º

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul
mereka (membawa) keterangan-keterangan, lalu mereka berkata :
“Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” Lalu mereka ingkar dan
berpaling; dan Allah tidak memerlukan mereka. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji
(QS. At Taghabun ayat 5 dan 6).

“Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Cahaya yang telah kami
turunkan” (QS. At Taghabun ayat 8).
Cahaya itu adalah cahaya Diri-Nya Dzat Al ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Karena itu sama
sekali tidak akan pernah padam, selalu bersinar memberi pepadang pada hati nurani, roh
dan rasa “waman yu’minu billah yahi qalbah”. Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah (dengan Allah, bukan dengan watak aku yang dikomandani oleh nafsu), niscaya Dia
akan memberi petunjuk kepada hatinya (QS. At Taghabun 11).

Cahaya Diri-Nya itulah hidayah yang memasuki hati nurani, roh dan rasa. Ada suaranya
dan karena itu dapat di dengar dengan telinga, keterangan-keterangan dan penjelasan-
penjelasannya. Karena itu juga dapat dimintai petunjuk terhadap Keberadaan Diri-Nya Yang
Al Ghaib, dekat sekali, mudah diingat-ingat dan dihayati. Serta betapa jalan untuk selamat
dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya. Sebab Cahaya-Nya adalah apa yang ke luar dari
antara dua bibir utusan-Nya. Karena itu tidak akan pernah mati. Meski jasadnya Nabi
Muhammad SAW telah tiada di dunia ini. Kesinambungan tugas kerasulannya telah diatur
sendiri oleh Illahi. Sebab ia adalah tali Illahi yang dijulurkan ke dunia ini oleh Tangan Tuhan
Sendiri.

Karena itu, pembukaan yang membuka hati nurani, roh dan rasa ini, bagi yang dikehendaki
Illahi dimasukkan, dimasukkan ke dalam celupan-Nya, akan dapat mencerna kandungan
firman-Nya di bawah ini. Lalu dapat membumi dalam dirinya dan juga membumi di sini,
sekarang ini dan seterusnya, sehingga pada saat mati yang pasti akan ditemui. Karena
mudah sekali diikuti apabila lulus berjihadunnafsi yakni :
Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (aku yang selalu berada
bersamamu dan ditengah-tengahmu, niscaya Allah (juga akan) mencintai kamu dan
mengampuni dosa-dosamu”.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Firman-Nya di surat Al Imran ayat 31.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia SuciWajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk
Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 13 – 18).

Fakir (Al-Faqier, Al-Faqr) :


• Faqr adalah simbol hamba yang tekadnya luar biasa kuatnya, agar dapat selamat kembali
pulang bertemu dengan Diri-Nya lagi. Dengan kesadaran yang nyata-nyata al-fqr atas
dirinya, yang tidak hanya apes, hina, nista dan tidak bisa apa-apa. Bahkan sebenarnya
memang benar-benar nafi, tidak wujud dan tidak ada.

Karena itu jihadunnafsinya guna memenuhi amanah Al-Haq-Nya. Semata-mata demi


membuktikan kalimah nafi yaitu “Laailaaha”. Hingga apa saja selain Tuhannya, termasuk
wujud jiwa raganya, harus dapat ditiadakan sama sekali. Supaya tidak menjadi hijabnya
mata hati dalam membuktikan kandungan makna kalimah itsbat, akni “Illallah”. Hingga
hanya Diri Illahi yang satu-satu-Nya nyata dalam rasa hatinya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Rahasia Yang Terkandung Dalam Makna Al Fqr dan
Muraqqqa’ (Jubah), Majalah Afkaar, hal. 5, Edisi 68 Februari 2007).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 51


³ D º

• Yaitu hamba Allah yang selalu menuduh kepada dirinya sendiri bahwa dirinyalah orang
yang paling banyak sendiri dosa-dosanya, paling banyak sendiri salah dan kurangnya, apes,
hina, nista, tidak bisa apa-apa dan tidak punya apa-apa, merasa jelek sendiri meskipun
dibanding dengan kere di bawah jembatan. Sadar sebagai hamba yang disebutkan oleh
Firman Allah : “Yaa ayyuhan-naasu antumul-fuqaraa”. Hamba yang fakir. Karena itu rasa
hatinya selalu berharap untuk dapat selalu dekat dengan Yang Tidak Punya Apes,
Langgeng, Sempurna dan Maha Kuasa.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 57 – 58).

Fana ‘Fillah :
• Rohnya telah fana fillah. Yakni daya dan kekuatan yang ada dalam jiwa raganya dengan
bukti keluar masuknya nafas, telah seyakinnya sirna ke dalam Celupan-Nya Allah.
Gambaran seperti kepala yang dimasukkan ke dalam air samudera, lalu matanya dibuka.
Maka yang nampak ada hanyalah air samudera.
Hamba yang demikian halnya karena ilmu dan laku yang diamalkan sesuai dengan perintah
Gurunya itu dilakukan dengan sabar dan tawakkal untuk dapat mencapai tingkat dan
martabat rasa. (lih. Martabat Rasa)
(Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim
AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 5).

• Ruh yang ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah (karena memperoleh beberan, sawab, berkah
dan pangestunya Wasithah; buah dari tumemennya pada Dawuh Guru), ditarik
membuktikan Fanak Fillah. Hamba yang demikian adalah hamba yang sadar seyakin-
yakinnya bahwa Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Pemilik Segala yang biasa diaku, Yang Obah
Osik dan Ada serta Wujud hanyalah Tuhan. Dalam rasa hatinya yang nampak dengan
sendirinya hanya Tuhan (Isinya Huw); adalah murid yang berada dalam derajat manggon
(selalu bertempat tinggal dalam dawuh Guru).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik
Fadhal dan Rahmat-Nya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2)

Fardhu ‘ain :
Kewajiban yang tidak bisa dihindari bagi orang yang mengaku beragama Islam – siapa saja,
dari mana asal usulnya, bila sudah mukallaf (sudah dapat menerima pengertian dan sudah bisa
menyimpan rahasia).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.18).

Fuadi : (lih. Qishrun)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 52


³ D º

G
Gerjalibin : (lih. Lil Muqorrobin)

Al-Ghaib (Al Ghayb) :


• Isi-Nya Huw;

• Isim yang mufrad dan ma’rifah. Menunjuk kepada Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang
Mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya. Adalah satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya,
yang apabila dengan rela dan ikhlas meminta petunjuk kepada ahlinya yang pasti tetap ada
sejak Nabi Muhammad SAW sampai dengan kiamat, akan dapat ma’rifah. Akan dapat
dengan mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Seruan Akbar Imam Zaman Di Abad Harapan,
Mengajak Bersama Dengan Tuhan Mewujudkan Cita-Cita Negara Yang Merdeka Sejati dan
Sempurna, Pondok Sufi, Tanjung, 27 Mei 2002, hal. 2).

• Isim yang mufrad dan ma’rifah. Dalam Ilmu Syathariyah hal itu menunjuk kepada
keberadaan Satu-Satu-Nya Dzat Yang Allah Asma-Nya, Mutlak Wujud-Nya dan ma’rifah.
Jelas amat sangat dekat sekali dan jelas-jelas amat sangat mudah dan indah untuk selalu
diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, apabila jihadunnafsinya menjadikan rela
bertanya kepada ahlinya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Oktober 2001, hal. 1).

• Isim mufrad dan ma’rifah, yaitu tentang satu-satunya Zat Yang Al-Gaib yang tidak akan
pernah menampakan (ngejawantah) Diri-Nya di muka bumi namum jelas sekali
keberadaan-Nya, terang dan gamblang serta sangat mudah diingat-ingat dan dihayati
dalam rasa hati apabila secara benar ditanyakatan kepada ahlinya. Sebagaimana firman
Allah : “Bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui (tentang keberadaan
Allah Zat yang Al-Ghaib” (QS:Al-Anbiya’: 7).

Diri Illahi Yang Al Ghaib, Innani Ana Allah, yang amat sangat dekat dalam rasa hati,
sebenarnya berada dalam “satu titik temu” dengan “inti manusia”, yang selalu mencahaya
dalam rasa jiwa dengan “dzikir sirrun ma’nawiyun” yang diperoleh dari Guru yang hak dan
sah menunjukan hakekat Tuhan Yang Al Ghaib. Dari sini akan dapat menghayati dan
merasakan betapa indah gambaran orang yang mengenali keberadaan Diri-Nya dengan
Ilmu Tauhid secara tuntas dan menyeluruh, bagai ikan dalam samudera yang luas tiada
batas.

Sebenarnya, manusia dengan segala makhluk sisi jagad raya, serta jagad raya itu sendiri,
dengan Tuhannya Yang Al-Ghaib dan Wajib Wujud-Nya itu, bagaikan ikan dalam
samudera. Hidup, bernafas, makan, tidur, bergerak, sampai mati, tetap berada dalam
samudera. Tidak ada satu selpun yang tidak diliputi oleh aiar samudera.
Oleh karena itu jika dicermati dengan hati yang bening dan pikiran yang jernih, betapa
kuatnya kemauan Allah SWT. dalam menonjolkan keberadaan Diri-Nya Yang Maha Segala-
galanya. Satu tetapi menyeluruh, dalam “dzikir sirrun ma’nawiyun” yang dihayati dalam rasa
hati sebagai butiran iman yang “gedenya sak mrica jinumput” (besarnya seperati sebutir
merica), tetapi apabila digelar (dibuka) “ngemplok jagad” (meliputi seluruh jagad).
Kuatnya kemauan Allah SWT agar Diri-Nya diketahui dan dikenali oleh hamba-Nya yang
bernama manusia, diungkap lengkap dengan kalam-Nya yang 30 juz itu, supaya selalu

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 53


³ D º

diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati dalam rasa hati serta dijadikan tujuan hidup
untuk mendekatkan diri sehingga dapat bertemu dengan-Nya lagi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.11 – 12).

Ghairil maghdhubi ‘alaihim walaadhaalliin. : (lih. Faatehah)

Al Ghauts :
“Qaalallahu Ta’ala fi al-Ghauts. Innani Ana Al-Ghayb aqrabu ilaika min bayadhi ‘ainika ila
siwadi ‘ainika. Wa nahnu aqrabu ilaihi min habli al-warid. Laa hi jaabaka illa’anaitaka al-
wujudiyata. Wa ‘anaitaka al-wujudiyata wujudunnafsika, khalaqna min nutfah faidza huwa
khasimun mubin”.
Allah SWT berfirman di dalam (dada) Al Ghauts. Al-Ghauts adalah ratunya waliyullah yang ada
di darat (di atas bumi), yaitu para Wasithah. Karena itu gilir gumanti. “Sesungguhnya aku ini
adalah Dzat Al-Ghayb yang lebih dekat Aku meskipun kamu bandingkan dengan pitihnya
matamu dan hitamnya matamu. Kami lebih dekat kepada hamba-Ku meskipun dibandingkan
dengan urat nadi yang ada di leher hamba-Ku itu. Tidak ada hijab kecuali jiwa ragamu yang
bangsa wujud. Dan jiwa ragamu yang bangsa wujud itu adalah wujudnya nafsumu, Yang Kami
cipta dari setetes mani akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap
Ada dan Wujud-Nya Diriku Dzat Al-Ghayb Yang amat sangat dekat sekali di dalam rasa hati),
serta memusuhi dan mendustakan hamba-Ku Yang Aku utus mewakili Diri-Ku (karen Aku Al-
Ghayb) guna menunjukkan Ada dan Wujud Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu supaya dengan mudah
selalu diingat-ingat dan dijadikan tujuan kembali”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Memenuhi Perintah Allah, Pondok Sufi, Tanjung Anom, 22
Nopember 2006, hal. 2).

Al Ghuyub :
Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata fisik, dibangsakan gaib tetapi bukan DiriNya
Illahi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal.19).

Guru : (lih. juga Wasithah; Wasiilata)


Guru dalam ilmu ini (Ilmu Syaththariah, Edt.) adalah guru (yang digugu = dipercaya sepenuh
hati apa yang menjadi petunjuk dan perintahnya dan kemudian ditiru segala hal yang berkaitan
dengan ibadahnya kepada Allah Swt. dan inilah yang dimaksud “Sunnahnya Rasul”. (lih.
Sunnah – Sunnah Rasul). Yaitu jalan yang harus dilalui supaya dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, yakni bertemu dengan Allah. Sehingga akan dapat merasakan hidup bahagia
selama-lamanya diakhirat (=”fi maq’adi shidqin ‘inda malikin muqtadirin”). Karena itu maka lalu
menjadi hamba yang banyak sekali dzikirnya. Dengan demikian maka maksud kandungan
firman Allah dalam QS. Al Ahzab : 21, benar-banar nyata di depan mata dan benar-benar
dapat dihayati dalam rasa hati.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 13).

Guru Yang Hak dan Sah :


• Washitah Yang Hak dan Sah.
Guru yang berhak dan sah. Maksud yang berhak adalah karena secara benar ada rantai
silsilah yang tidak pernah putus sama sekali sejak dari Nabi Muhammad SAW hingga kini

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 54


³ D º

dan yang atas kehendak dan ijin-Nya ditugasi melanjutkan tugas dan fungsi guru yang
sebelumnya.
Yang dimaksud sah adalah benar-benar dikehendaki oleh-Nya dengan jalan memperoleh
pelimpahan wewenang meneruskan tugas dan fungsi gurunya yang silsilahnya tidak
pernah putus sama sekali hingga sampai kepada Sayyidina Ali Bin Abu Thalib Ra dari
Nabi Muhammad SAW.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan
Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak
Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.13).

• Pengganti/wakil-wakil Nabi SAW sebagai putra-putranya yang suci dalam satu mata rantai
silsilah yang secara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai
kiamat nanti (disebut hak); dan atas petunjuk dan perintah Allah Swt secara sah
memperoleh ijin dari Guru yang sebelumnya guna melanjutkan tugas dan fungsinya
dengan cara digulawentah dan dipersiapkan sebagai penerus/peng-ganti Junjungan Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Disebut juga Al Mahdi (Lih. Imam Mahdi, Al Qaim).

Seseorang yang memperoleh kewenangan mengajari ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya,


yang kewenangannya itu karena telah dipersiapkan dan telah mendapat ijin dari Guru
yang sebelumnya yang rangkaian silsilahnya ini tidak pernah putus terus menerus, lewat
Sayyidina Ali bin Abu Thalib Ra., dari Nabi Muhammad Saw.
Lurus dan terus menerusnya rangkaian silsilah yang hak dan sah ini adalah satu-satunya Al
Wasiilata untuk dapat selamat sampai kepada-Nya. Memenuhi firman Allah dalam QS. Al
Maidah ayat 35 :
‘Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau cari
untuk dipegangi supaya dapat selamat sampai kepada-Nya itu Al Wasiilata, dan
berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”. (lih. juga Wasilah -
Wasiilata)
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya
dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang
Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 42).

Hakekat Guru Yang Hak dan Sah :


Hakekat guru yang hak dan san itu adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu bagi yang ditugasi
pelanjutnya Rasul sama sekali tidak akan berani mengaku atau merasa menjadi guru. Sebab
hal demikian adalah perbuatan murtad terbesar.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 25).

Guru Wasithah yang hak dan sah, itu hakekatnya adalah Dia sendiri. Hakekatnya adalah Nur
Muhammad. Seperti juga Nabi Muhammad SAW yang juga Rasul-Nya Allah, hakekatnya
adalah Nur Muhammad yang dibungkus jasad (karena yang akan dibimbing juga berupa
jasad). Sehingga namanya wakil, ia tahu persis keberadaan si muwakkil. Tahu persis terhadap
keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Allah Nama-Nya. Sebab hakekatnya
adalah Dia sendiri.
Maka dari itu manakala berani ngaku atau merasa menjadi Guru, adalah perbuatan murtad
sebesar-besarnya. Sebab sama saja dengan berani ngembari atau menyamai Tuhan.
Kemudian yang kebetulan ditugasi sebagai wakil, atas kehendak-Nya semata, rasa hatinya
tenggelam ke dalam Aku Ini. Tenggelam ke dalam keberadaan Al Ghaib-Nya. Rasa akunya
sirna dan dengan sendirinya juga habis-habisan dalam jihadunnafsinya, karena betapa

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 55


³ D º

hebatnya rasa takutnya seandainya sampai digoda oleh licik dan julignya nafsu sendiri
manakala muncul hingga sampai beranai ngaku dan merasa menjadi Guru.

Ia sendiri yang ditugasi seperti ini menganggap dirinya seperti halnya seseorang yan nyunggu
ambeng di atas kepalanya. Orang lain dianjurkannya untuk mengambil dengan tangannya
supaya memakan amben yan disungginya. Maka sekiranya ia sendiri juga tidak ikut
menggerakkan tangannya supaya mengambil makanan yang disunggi di atas kepalanya
sendiri, iapun akan kelaparan sendiri.
Maka tugas yang dijalaninya, adalah semata-mata semende Gurunya jua. Semende Guru
yang sebelumnya. Ia lakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah Guru sebelumnya. Sak
derma nglakoni. Sebab ia sendii sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia kerjakan itu adalah
juga sebagai lakon dan pitukonnya. Lakon dan pitukonnya sendiri yang juga sangat berniat
mendekat kepada-Nya. Jadi ia sendiri juga merasa sebagai murid yang bersama-sama
dengan sesama saudaranya yang berniat mendekat hingga sampai dengan selamat bertemu
dengan-Nya. Sehingga yang disebut Guru itu adalah ucapan yang ke luar dari lesannya yang
berupa petunjuk-petunjuk bagaimana mendekat hingga selamat sampai ma’rifat kepada-Nya.
Sehingga dia sendiri juga niba-nangi melaksanakan apa yang diucapkannya sendiri.

Maka keberadaan wakil-Nya Allah yang seperti ini, yang tidak lain adalah Al-Haadi
kepercayaan-Nya, inilah yang ditentang habis-habisan oleh iblis dan wadya balanya. Supaya
tidak satupun hamba Allah yang namanya manusia ini mengikuti Al haadi. Betapa dahsyatnya
kebencian dan kesombongannya, terlukiskan dalam firman Allah dalam QS. Al Isra’ 62 :
“Dia (iblis) berkata : “Terangkanlah kepadaku, inikah orang yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh padaku sampai hari kiyaat, niscaya benar-benar
akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sedikit (yang tidak)”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 68 – 70).

Adap dan Tata Krama Terhadap Guru Yang Hak dan sah
Hal ini bisa kita amati dengan jelas pada firman-Nya QS An Nuur ayat 62 :
“Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar mukmin ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama
Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak
meninggalkannya sebelum mereka meminta ijin kepadanya. Sesungguhnya orang-
orang yang meminta ijin kepadamu mereka itulah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka ijin kepadamu karena sesuatu keperluan,
berilah ijin kepada siapa yang kamu kehendaki, dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Kemudian pada ayat berikutnya (QS. An Nuur ayat 63) menjelaskan tentang adab dan tata
krama terhadap Guru yang hak dan sah yang hakekatnya adalah Rasul-Nya juga :
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang
berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya itu takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 48).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 56


³ D º

H
Al Hablun Minallah Wa Hablun Minannas :
Dalam QS. Ali Imran ayat 112 Allah berfirman :
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh
kepada Hablun minallah wa hablun minannas, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari
Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan melampaui batas”.
Hablun minallah yang dimaknai oleh para mufassir Tail-Nya Allah itu tidak lain adalah
mengadanya Guru Wasithah yang secara hak dan sah sebagai penggantinya Nabi Muhammad
SAW selaku Rasulullah yang secara gilir gumanti dalam sebuah rantai silsilah tidak pernah
terputus sama sekali, hanya satu saja di dunia yang hingga kini dan sampai kiyamat nanti tetap
ada ditengah-tengah umatnya. Keberadaannya untuk mensucikan manusia supaya hati nurani,
roh dan rasanya selalu bersentuhan terus menerus dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Suci
hingga sewaktu-waktu merasakan mati yang pasti akan ditemui akan ditarik oleh fadhal dan
rahmat-Nya merasakan betapa indahnya serta betapa nikmat dan bahagia mulus dan selamat
kembali kepada Diri-Nya lagi.
Mengadanya Guru yang hak dan sah seperti itu adalah kehendak Tuhan supaya mengajari
manusia dengan Ilmu Nubuwah, dengan an Nuur, dengan hikmah dan dengan Kitab yang
terpelihara di Lauh Mahfudz-Nya karena itu tidak akan dapat menyentuhnya kecuali hamba-
hamba Allah yang disucikan oleh-Nya.
Itu semua secara ringkas telah terangkum dalam sumpah dan janji dihadapan Guru yang hak
dan sah dikehendaki Ilahi meneruskan tugasnya Junjungan Nabi SAW lengkap dengan syahadat
tarekatnya.

Kemudian bagaimana menjadi hamba yang bertanggung jawab terhadap Hablun minannaas
juga telah terungkap pada sumpah dan janji dihadapan Guru. Utamanya pada sumpah : “Saya
dengan bersenang hati bahwa semua murid (=orang yang berkehendak bertemu Tuhannya)
yang sadar atas al-faqienya, mereka semua adalah saudara saya lahir dan batih di dunia hingga
sampai akherat. Saya bersenang hati untuk selalu bersama-sama dalam beribadah kepada-Nya
dan saya bersenang hati untuk saling tolong menolong dalam kemelaratannya. Tetapi saya juga
bersenang hati untuk melakukan perpisahan dalam kedurhakaannya”.
Mereka yang seperti itulah yang tidak akan diliputi kehinaan di mana saja mereka berada.
Namun dalam firman Allah di atas (QS. Ali Imran 112 itu), masih ada ancamannya; dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang
benar. Hal itu terjadi karena mereka durhaka dan melampaui batas.
Durhaka dan melampui batas itu terjadi karena setelah memperoleh ilmu dari Guru yang hak
dan sah itu, watak sembrana dan gemampangnya tetap saja dipelihara. Lalu memandang
dengan sebelah mata terhadap dawuh-dawuhnya Guru yang hak dan sah itu, apalagi sampai
berani meremehkan ilmu Nubuwah yang telah diberikan kepadanya. Hal seperti ini sama saja
dengan membunuh para Nabi-Nya Allah tanpa alasan yang benar dan kafir terhadap ayat-ayat
Allah yang ayat-ayat-Nya itu adalah sebagai bukti dan saksi nyata terhadap Keberadaan Al haq-
Nya (= Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya = An-Nuur =
ilmu Nubuwah yang mencahaya dalam dada semua nabi-Nya) serta bukti dan saksi nyata
terhadap hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW.

Karena itulah maka jihad di jalan Allah, yakni memerangi nafsunya sendiri-sendiri hingga patuh
dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasa berjalan di jalan lurusnya hingga

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 57


³ D º

sampai dengan selamat bertemu dengan-Nya adalah kewajiban pokok yang sama sekali tidak
boleh disembronokan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Memperingati Wafatnya Almarhum Bapak KY. Mohmmad
Kusnun Malibari (Khaul) ke XXI, Lampiran, 15 Juni 2000,hal. 1 – 2).

Al Hadi
Al-Hadi = pemimpin = penunjuk jalan, sebagaimana firman Allah dalam surat Ar Ra’du ayat 7:
“Sesungguhnya kamu (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum
ada seorang penunjuk jalan”.
Atas kehendak dan seijin Allah, agar supaya kesinambungan itu tidak putus sampai kiamat,
Muhammad Rasulullah sendiri sebetulnya telah mempersiapkannya. Apa dan siapa yang diper-
siapkan oleh Rasulullah, demikian pula apa dan siapa yang dipersiapkan oleh para khalifah
beliau, wakil-wakil beliau yang hak dan sah sebagai penunjuk jalan itupun karena adanya
kehendak Allah jua sebagaimana firman-Nya dalam surat 16 ayat 2 :
“Dia menurunkan para Malaikat dengan ruh dari perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-
Nya di antara hamba-hamba-Nya, yaitu : “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak
ada Tuhan selain Aku, maka hendaklah kamu bertaqwa kepada-Ku”.

Al-Hadi yang dikehendaki Allah sebagai pelanjut tugas risalah Rasulullah memang harus dapat
diajak bicara. Bisa diajak komunikasi langsung dari mulut dengan mulut. Bukan dengan tulisan
dan bukan dengan bacaan. Sebab memberi peringatannya, memberi pelajarannya harus
langsung dapat didengar oleh telinga orang yang menghendaki petunjuk darinya. Ia
dikehendaki Allah sebagai realisasi petunjuk-petunjuk-Nya sebab Dia memang tidak
“ngejawantah”. Sedang untuk dapat sampai kepada-Nya, seseorang yang dikehendaki oleh-
Nya harus tahu secara persis siapa hakekat Dia, tahu persis kehendak-Nya dan jalan-Nya. Tahu
persis tentang manusia yang diciptakan dari “min nafsin-waahidatiin” supaya secara tepat, pas
dan benar dengan ilmu yang diterima dari penerus rasul itu supaya “biwahidatin”. Sebab Islam
adalah agama Tauhid, untuk dapat lurus menatap Wajah-Nya.
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa lisan mereka supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang
Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan
Yang Maha Kuasa dan lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ibrahim ayat 4).

Kejelasan yang demikian kiranya tepat pada saat sebagai jalan untuk menemukan dan
memperoleh kokohnya hidayah iman. Sekaligus juga sebagai data kunci untuk membangkitkan
hidupnya “Cahaya Tauhid” bagi hamba Allah yang memang dikehendaki oleh-Nya sebagai
hamba “Cahaya-Nya” di muka bumi.
“(Dialah Tuhan) Yang Mengetahui Al Ghaib (Nya sendiri), maka Dia tidak akan memperlahirkan
tentang Al-Ghaib-Nya itu kepada seorangpun. Kecuali kepada orang yang diridhoi-Nya dari
Rasul(Nya), maka Dia sesungguhnya mengadakan penjaga-penjaga di muka bumi dan
dibelakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah
menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yangada
pada mereka dan Dia menghitung segala sesuati satu persatu”. (QS. 72 : 26 – 28).

Firman Allah di atas dalam surat AL-Jin ini, telah begitu jelas. Bahwa hanyalah orang yang
memang diridhoi-Nya, dicintai-Nya yang dipilih-Nya untuk mengetahui dan memperoleh
tentang Al-Ghaib-Nya itu, yang didapatnya dari Rasul.
Sedang kita semua sependapat bahwa sebenarnya orang-orang yang diridhai oleh-Nya, orang-
orang yang dicintai oleh-Nya, tidak hanya mereka yang sejaman dengan Muhammad
Rasulullah saja. Sebab ajaran Muhammad Rasulullah tidak hanya berhenti pada jamannya.
Karena itu di muka bumi kami telah menulis bahwa percaya kepada wakil-Nya Rasul yang hak

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 58


³ D º

dan sah yang silsilahnya tidak putus dan telah dipersiapkan oleh wakil yang sebelumnya, karena
kehendak Allah semata, yang rantai silsilahnya itu sampai kepada Sayyidina Ali hingga kepada
Nabi Muhammad Rasulullah. Percaya kepada wakilnya Rasul seperti itu sama dengan percaya
kepada muwakil. Percaya kepada Rasulullah SAW saendiri. Baik buah dan manfaatnya maupun
sampainya dengan selamat kembali kepada-Nya.
Kemudian yang dikehendaki sebagai wakil, tidak harus keturunannya. Tidak harus ada
hubungan darah. Sebagai ilmu-Nya Allah bukanlah barang warisan. Terserah kepada kehendak
Allah sendiri. Hanya kebetulan biasanya memang ada sambung darah.
Pada tulisan di atas kami sebutkan bahwa wakil setelah Nabi Muhammad Rasulullah yang
dipersiapkan adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Tentang ini sebetulnya baik sejarah maupun
hadis Rasulullah sendiri banyak menuturkan. Seperti ungkapan Rasulullah yang mengatakan
kalau aku ini kotanya ilmu maka Ali adalah pintunya.
Demikian juga ketika Ali bin Abi Thalib diperintah oleh Rasulullah supaya menjaga keluarga,
tidak diajak untuk ikut maju perang yang dipimpin oleh Rasulullah sendiri. Sedang sebelumnya,
Ali tidak pernah absen dalam ikut maju berperang. Kegelisahan hatinya karena tidak diikutkan
itu dihibur oleh Rasulullah dengan sabdanya :
“Tidakkah engkau suka bila kedudukanmu disisiku seperti kedudukan Harus di sisi Musa? Hanya
saja tidak ada Nabi lagi sesudahku...”.

Lebih jelas lagi keberadaan wakil-Nya dalam urusan jalan lurus menuju kepada Allah, bukan
wakil dalam hal kekuasaan politik, kalau toh pernah di satu tangan itu hanyalah kebetulan saja,
yakni sepulang dari Haji Wada’ dan beristirahat di Ghadir Khum (telaga Khum), Rasulullah
memerintahkan mendirikan tenda (kemah), kemudian beliau berseru :
“Kurasa seakan-akan aku segera dipangggil (Allah) dan segera pula akan memenuhi panggilan
itu. Maka sesungguhnya aku meninggalkan padamu ats-Tsaqalin. Yang satu lebih besar (lebih
agung) dari yang kedua. Yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku. Jagalah baik-baik kedua peninggalanku
itu, sebab keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganku di al-Haud”.
Kemudian beliau berkata lagi :
“Sesungguhnya Allah Azza Wajalla adalah pemimpinku, dan aku adalah pemimpin (maula) bagi
setiap mukmin”. Lalu beliau mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib sambil bersabda : “Barang
siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka dia ini (Ali) adalah juga pemimpin
baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya”.

Hadits di atas diriwayatkan dari Zaid bin Atqam sebagai hadits ’marfu’ di halaman 109 juz III
dari Kitabnya Al-Mustadrak dengan keterangan hadits ini shahis sesusai syarat Bukhari dan
Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkan. Juga Al Hakim meriwayatkan hadits ini dari Zaid
bin Arqam melalui sanad lain, dan menerangkan bahwa hadits ini isnadnya shahih sesuai
persyaratan Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Tampaknya, dibalik sejarah perkembangan Islam sejak awalnya ada sesuatu yang tidak terbuka
apa adanya. Sehingga kita juga pernah membaca keterangan Abu Dzar Al-Ghiffari, sahabat
Rasulullah yang terkenal zuhudnya itu bahwa ia mengatakan :
“Nabi Muhammad SAW itu membawa ilmu dua gendongan. Yang satu gendongan apabila saya
sampaikan, maka semua orang akan senang menyambutnya. Tetapi kalau yang satu gendongan
lagi saya sampaikan, maka leher saya dipenggal orang”.

Apa yang dikatakan oleh Abu Dzar Al-Ghiffari di atas adalah tentang ilmu Syareat dan ilmu
Hakekat. Sebab syareat tanpa hakekat itu kosong dan hakekat tanpa syareat itu kafir zindik.
Kedua-duanya harus saling menguatkan. Syareat yang mengatur tertibnya ibadah lahir, sedang
yang hakekat mengatur tertibnya batin agar supaya senantiasa dapat mengingati Tuhan yang
Allah Asma-Nya itu. Senantiasa mengingat-Nya di mana saja dan kapan saja bahkan
menghayati dan merasakan sehingga bukti nyata ma’rifat kepada-Nya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 59


³ D º

Saat itu karena timbulnya berbagai benturan akibat adanya intrik-intrik politik kekuasaan, di
mana penerus risalah Rasulullah, wakil beliau setelah beliau wafat untuk kepentingan mendekat
kepada-Nya hingga ma’rifat kepada-Nya kebetulan Ali bin Abi Thalib, kemudian diteruskan oleh
putranya, yakni Hassan bin Ali (kebetulan pas kulit dagingnya) sedang penguasa ketika itu
adalah Mu’awiyah yang sangat mencurigai manakala Ali dan anak keturunannya itu mempunyai
pengaruh kuat dan meluas. Dicurigai akan mengganggu kekuasaannya. Untuk itu memang
sejarah mencatat dimana Gubernur yang dalam khutbahnya tidak memfitnah Ali, jabatannya
bisa dipecat oleh penguasa saat itu. Karena dikejar-kejar, diintimidasi, bahkan dibunuh, maka
pengikut Ali bin Abi Thalib, kemudian juga pengikut Hassan bin Ali, yang mengikutinya itu
sebenarnya adalah karena suatu ilmu tentang ma’rifat billah, demi keselamatannya, terpaksa
mengadakan attakiyah. Menyimpan paham demi keselamatan. Dari sinilah kiranya mengapa
Abu Dzar Al Ghiffari berkata bahwa kalau yang satu gendong lagi saya sampaikan, leher saya
akan dipenggal orang.

Dari uraian singkat di atas kiranya tampak bahwa penulis-penulis sejarah dan mungkin juga
bahkan penulis-penulis Hadits utamanya yang berkaitan dengan ahlul-baitnya Rasul, dengan
terpaksa tidak diangkat di atas permukaan, demi keselamatan keluarga Rasulullah yang selalu
dikejar-kejar, difitnah dan bahkan dibantai sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Husen bin
Ali di Karbela. Hingga warna sejarah Islam yang mengalir sampai sekarang, demikian nyatanya.
Hal ini kami kemukakan bukan maksud kami akan mengikut adanya golongan yang
mengkultuskan Ali dan keturunannya. Sama sekali tidak. Sebab pengkultusan adalah syirik.
Sedang apa yang kami maksudkan dengan tulisan ini adalah tentang ilmu. Tentang ilmu yang
Imam Al Ghazali sendiri pernah mengatakan :
“Begitulah halnya seorang yang berkehendak bertemu Tuhannya (murid) membutuhkan seorang
syech atau guru: sang penunjuk yang membimbingnya pada jalan lurus. Sebab jalan keagamaan
ternyata begitu samar-samar, dan jalan syaitan begitu beraneka. Barang siapa yang tidak
mempunyai sang penunjuk yang menjadi panutannya, dia akan dibimbing syaitan ke arah
jalannya. Dan hendaklah ia berpegang teguh pada gurunya itu bagaikan pegangan seorang
buta dipinggir sungai, di mana dia sepenuhnya menyerahkan diri kepada sang guru
pembimbingnya, serta tidak berselisih pendapat dengannya”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat
Mentauhidkannya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-Cita Kebangkitan Yang Islami, ,
Tanjung, Januari 1990, hal. 35 – 38).

Hafiyun : (lih. Qishrun)

Haji : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji)

Hajar Aswad : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji)

Hak Allah : (lih. Allah – Hak Allah)

Hak Rasullah SAW : (lih. Rasul – Hak Rasulullah SAW)

Hak Malaikatan : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah)

Hak Mardus Sarpin : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah)

Hak Perdewaan : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah)

Hak Wisnu : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 60


³ D º

Hakekat :
• Hakekat adalah hati ini selalu mengingat-ingat Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib (yang
diperoleh dari pemberian Guru dan yang telah dibisikkan ke dalam rasa hati), ketika
melaksanakan kewajiban syariat. Hal tersebut seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-
Nya :
“Tangan Allah di atas tangan mereka – sekuasa-kuasanya hamba yang berada di atas
permukaan bumi dan di bawah langit sjagat raya ini masih Kuasa Allah, maka barang siapa
yang melanggar janjinya, maka akibat ia melanggar janjinya itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barang siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan
memberikan kepadanya anugerah yang besar”. (QS.:48, Al Fath : 10).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 36).

• Terbukanya kesadaran hamba atas kesungguhannya dalam menjalani lakon dan pitukon
atas perintah Gurunya yang hak dan sah bahwa hakekatnya Yang Bisa, Yang Kuat, Yang
Memiliki Segala Maujud, Yang Berbuat (tandang), Yang Bergerak (obah osik), bahkan yang
Ada dan Wujud hanyalah Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib Yang Allah Asma-Nya. Sadar
sepenuh hati bahwa sebenarnya hamba ini adalah bagaikan daun asam berada di atas
gelombang samodra.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000,
hal. 3).

• Hati nurani, roh dan rasa yang telah berfungsi untuk selalu mengingat-ingat dan menghayati
Diri-Nya Dzat Al Ghaib dan Mutlak Wujud-Nya (yang tersimpan dalam titik ba’ = hakekat
rumahnya Junjungan Nabi SAW yang hakiki)
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000,
hal. 7).

Hamba Yang Merdeka Sejati dan Sempurna : (lih. Merdeka Sejati)

Hamuruk :
• Mempersiapkan dan mengajari untuk melanjuti penerusan tugas dan kewenangan Guru
sebelumnya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
Wujud-Nya, Jilid I, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 47).

• Mengajari sehingga permasalahan-permasalahan apa saja yang berkaitan dengan ilmu,


cara dan jalan untuk mendekat kepada-Nya sehingga sampai dengan selamat ma’rifat
kepada-Nya. Menghantar yang percaya dan dengan jihadnya melaksanakan semua
petunjuk dan perintahnya ke arah muqarrabin (orang yang didekatkan oleh-Nya kepada-
Nya) kemudian digolongkan oleh-Nya : “Wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbika
naadzirah” = Wajah-Nya berseri-seri, kepada Tuhannya melihat (QS. Al Qiyamah : 22 –
23). Inilah shirathal mustaqiem itu. Dan inilah yang ditentang habis-habisan oleh sesumbar
iblis yang pasti akan membentuk pandangan baik buat manusia di bumi-Nya terhadap
apapun yang sebenarnya tidak sekehendak dengan Kehendak-Nya Allah (QS. Al Hijr : 39).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al
Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 167 – 168).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 61


³ D º

Hati : (lih. manusia)

Hati ‘Adam : (lih. Manusia – Hati)

Hati yang bening : (Lih. Tashfiatul qalbi)

Hijab :
Sesuatu yang menghalangi hati seorang hamba terhadap Tuhan-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib
Wujud-Nya.

Hijab Terbesar.
Hijab terbesar dan terhebat adalah wujudnya jiwa raga. Wujud jiwa raga yang menjadi
markas besarnya hawa nafsu dan syahwat. Wujud jiwa raga hakekatnya adalah dunia. Wujud
jiwa raga yang semestinya sebagai kendaraan hatinurani, ruh dan rasa, namun ternyata justru
sebaliknya. Malah dia yang mengendalikan (nunggangi), memperalat, memerintah dan
menjajah rasa hati.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 75).

Al Hikmah :
• “Mereka itulah orang-orang yang telah kami beri al kitab, al Hikmah dan al Nubuwah. Jika
orang-orang itu mengingkarinya (tiga macam itu), kami akan menyerahkannya kepada kaum
(lainnya) yang sekali-kali tidak mengingkarinya”. (QS. Al An’am ayat 89).
Al Hikmah adalah hamba yang sebagaimana di atas (lih. Al Kitab), lalu secara benar dan
ikhlas berjalan di atas jalan lurus-Nya Allah. Dan tauladan nyata jalan lurus-Nya Allah SWT
adalah dengan mengadakannya Bangunan Imamah-Nya Allah, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW dalam khutbahnya di Ghadir Khum :
“Wahai ummat manusia! Aku adalah shirathal mustaqim yang kamu semua diperintahkan
untuk mengikutinya. Setelah aku adalah Ali; kemudian dilanjutkan oleh putra-putraku yang
datang dari sulbinya Ali. Mereka adalah para Imam (yang dalam rantai silsilahnya tidak
pernah terputus sama sekali sampai hari kiamat), yang memberi petunjuk kepada kebenaran
dan dengan kebenaran itu mereka menjalankan keadilan”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 92).

• Yakni pahamnya sang akal pikiran anugerah Tuhan, terhadap kebenaran mutlak yang
menjadi hak-Nya Allah. Kemudian dengan kesadaran penuh hati berusaha mencari dan
menemukan, Sang Guru sejati yang tidak lain adalah Rasul-Nya Ilaahi. Untuk dimintai
petunjuk hak-Nya Allah, sehingga seyakinnya mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud-
Nya Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al Ghaib dan amat sangat dekat sekali, dalam rasa hati. Lalu
dengan kebenaran mutlak, yakni mengada-Nya Diri Ilaahi yang dapat dengan mudah
diingat-ingat dan dihayati itu.
Ia akan bersungguh-sungguh untuk selalu dapat mengadili dirinya sendiri, agar tingkah laku
dan perbuatannya, gerak dan gerik lahirnya dan batinnya, sama sekali terbebas dari
perintahnya nafsu dan watak akunya. Lalu menjadi hamba yang merdeka sejati. Menam-
pakan sosok yang Rabbani. Karena segala tingkah laku dan perbuatannya, serta gerak dan
gerik lahirnya dan batinnya, dapat murni katut (ngikut) silir-Nya qudratullah.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilaahi Yang Segera Diwujudkan dengan Kun
Fyakun-Nya adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin oleh Al-Qaim Al-Mahdi

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 62


³ D º

(Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Pondok Sufi, Tanjung, Desember
2003, hal. 53).

“Huriyyah Tammah” :
• Kemandirian yang dijamin oleh tingkah laku dan perbuatan serta gerak dan gerik yang tidak
diperintah oleh nafsu, tetapi di dalam “siliring qudratullah” (lih. siriling qudratullah).

• Jiwa yang merdeka sejati. Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar;
ingatlah : ”Yadu al ulya aula min yadi assufla”. Artinya tangan yang di atas lebih mulia dari
tangan yang di bawah. Tegasnya, memberi itu lebih mulia dari pada meminta.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam
Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 3.)

• Mereka yang dimasukkan Tuhannya sebagai keluarga Nabi Muhammad SAW. Yakni darah
yang mengalir dalam tubuhnya Nabi Muhammad SAW, yaitu darah yang selalu
menyemangati “jihadunnafsi” sehingga nafsunya benar-benar patuh dan tunduk dijadikan
tunggangannya hati nurani, roh dan rasanya yang rela dan ikhlas bagaikan watak para
malalikat-Nya. Sirna watak akunya tenggelam ke dalam kehendak Sang Maha Aku. Karena
patuh dan tunduk, supaya sujud (“kal mayyiti baina yadi al ghasili”) dihadapan
wakil/pengganti-Nya di muka bumi karena Dia Dzat Yang Al Ghaib itu tidak ngejawantah.
Realisasi nyata dari firman Allah dalam QS. Al Maidah 35 : “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan carilah untuk dapat sampai (dengan selamat kembali)
kepada-Nya itu Al-Wasiilata, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan”. (Qs. Al Maidah 35).
Melahirkan munculnya manusia-manusia merdeka sejati. Bebas dan merdeka dari segala
bentuk penjajahan dan perbudakan yang membelenggu dan yang mengikat sehingga tetap
saja miskin, terbelakang, bodoh, sempit wawasan, picik pandangan adalah suatu kiprah
perjuangan : suci kang kahesti, luhur kang ginayuh, adoh, jero, lembut kang tinebo, rumpil
margane, akeh pengorbanane, gede cobane, nagging sempurno wusanane.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam
Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 4).

Huwa : (lih. juga Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu Syaththariah)


• Dia yang AsmaNya Allah, Yang Wajib WujudNya Dzat Yang Al Ghaib.

• Huw adalah berasal dari “Qul Huwa Allah Ahad”. Huwa adalah dhomir. Makna dhomir
adalah sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati. Yaitu mengenai Dia Dzat Yang Allah
Nama-Nya adalah ahad. Satu-satu-Nya Dzat Yan Mutlak Wujud-Nya. Karena itulah maka
rasa ini sebenarnya mempunyai kewajiban menyatakan ma’rifat billah.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Maksud dan Tujuan Khaul, Pondok Sufi, Tanjung, 20
Juni 2006, hal. 3).

• Dhamir mengenai Keberadaan Dia Yang Allah AsmaNya. Makna dhamir adalah sesuatu
yang tersimpan di dalam hati mengenai Ada dan Wujud Ahadiyah (Satu-satunya Dzat Yang
Wajib WujudNya, tetapi Al Ghaib, amat sangat dekat sekali dalam rasa hati karena itu
sebenarnya sangat indah dan amat mudah untuk senantiasa diingaat-ingat dan dihayati
apabila rela bertanya kepada ahlinya).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Okotber 2000, hal 4).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 63


³ D º

Isi-Nya Huw
“Wallahu Huwa al-ghaiyyul hamidu”, Allah iku Huw (Isi-Nya Huw Dzat) Yang Maha Kaya dan
Maha Terpuji (QS. 35, Faathir : 15).
Karena itu Isi-Nya Huw adalah RAHASIA AL-GHAYBULLAH (ilmu tempatnya di dalam rasa). Isi-
Nya Huw adalah Dzatullah. Isi-Nya Huw adalah Daya dan Kekuatan Allah (Sifatullah). Isi-Nya
Huw adalah Wujudullah.

Hanya saja rasa merasakan betapa dipertemukan dengan Dzatullah itu adalah di alam pati.
Tidak di dunia sekarang. Jadi ya tidak bernafas. Tidak mamang tidak ragu-ragu sama sekali
bahwa itulah Wujud-Nya Dzatullah, tetapi sama sekali tidak bisa mengatakan. Hal ini di alam
pati. Di dunia sekarang, perintahnya adalah mendzikiri-Nya. Mengingat-ingat Diri-Nya (Isi-
Nya Huw). Jadi ya Isi-Nya itulah Allah, maka ingat-ingatlah!

Apabila hal seperti itu diingkari, ragu-ragu, lalu membuat-buat dusta bahwa Isi-Nya Huw
barulah kata-kata, misalnya, dan sebagainya, masih ada di atasnya, itulah yang diancam
Allah berbuat zalim. Mendurhakai Allah. Apa ada sesuatu yang di atas-Nya Allah?
Naudzubillah min zalik.
(K.H. Mohammad Munawwar Afandi, Dari Imam Jamaah Lil-Muqorrobin (hamba yang diutus
Allah sebagai orang yang memberi peringatan (Nadzirun), kepada yang rela diperingatkan),
Tanjung, 28 Mei 2006, hal. 2).

Kullu Syai’in Bial Huwa Baathilun


Itu adalah ungkapan Imam Ali bin Abu Thalib Ra. selaku guru Wasithah sesudah Kanjeng
Nabi Muhammad SAW., bahwa segala sesuatu (perbuatan apa saja, gerak gerik lahir
maupun bathin manusia) tanpa dengan Huwa batal.
Huwa adalah dhamir. Sesuatu yang tersimpan dalam hati. Tentang Diri-Nya Dzat Al Ghaib
yang dekat sekali. Maka tanpa dengan-Nya, semua dan apa saja semu dan pura-pura. Batal.
Sia-sia. Itulah sebabnya Allah tegas-tegas mengingatkan : “Walaa tad’u ma’allaahi ilaahaa
aakhara; laailaaha illa huwa. Kullu syaiin haalikunilla wajhahu. Lahu alhukmu wailaihi
turja’uuna”. (QS. Qashash 88).

Artinya : “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah tuhan apapun yang lain.
Sebab selain Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan Allal Asma’-Nya (yakni Isi-Nya Huw)
adalah laailaaha, yaitu nafi. Tidak ada. Tiap-tiap sesuatu (yang wujud dan yang ada selain
Wujud Diri-Nya (Isi-Nya) pasti binasa, kecuali Dzat-Nya (yakni Isi-Nya Huw), Bagi-Nya-lah
segala penentuan dan hanyalah kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.

Karena itu, dengan tulisan ini mengandung maksud memenuhi perintah Ilaahi sebagaimana
firman-Nya dalam QS Al Hajj ayat 49 sampai dengan 51.
Katakanlah : “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang yang
nyata kepada kamu semua”. Maka orang-orang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh,
bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Dan orang-orang yang berusaha dengan
maksud menentang ayat-ayat Kami dengan melemahkan (kemauan untuk memenuhi seruan
Al haq-Nya ini), mereka itu adalah ahli neraka.

Orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh yang dijamin Allah
mendapat ampunan dan rezeki yang mulai sebagaimana kandungan firman-Nya di atas
adalah orang yang keimanannya terasa membumi di dalam dadanya. Sehingga rasa jiwanya
selalu terjaga berada di dalam dhikir. Yakni mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw itu.
Sehingga Dia menjadi Raja dan Merajai dadanya. Tidak iman yang sangka-sangka dan
menduga-duga.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 64


³ D º

Orang yang mengerjakan amal-amal yang saleh adalah mereka yang dengan sabar dan
tawakkal harus dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Yaitu mereka yang saking
ikhlasnya dalam berkorban dan berbakti kepada Allah, di jalan Allah, karena Allah, dengan
Allah, untuk Allah guna menuju hingga bertemu dengan Diri-Nya Dzat Al ghaib Yang Allah
Asma’-Nya ini sampai tidak terasa bahwa dirinya sedang berkorban dan berbakti. Karena rasa
hatinya terlatih dan terdidik merasakan nikmatnya melaksanakan dawuh Guru dan indahnya
mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw.

Itulah sebabnya bagi orang yang dikehendaki minta petunjuk ilmu Syaththariyah dengan jalan
yang hak dan sah pasti diberi petunjuk bahwa niatnya itu adalah memohon ilmu kepada
ilmunya Guru yang saleh.
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini sepenuh hati bahwa sesungguhnya Al
Haq itu dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan
yang lurus”. (QS. Al Hajj 54).
Menjadi jelas dan nyata bahwa apa yang kita hayati, kita yakini kebenarannya lalu kita
amalkan dengan amal-amal yang saleh, adalah merupakan kesungguhan membuktikan niat
dan tekad dengan selalu berjihadunnafsi untuk memenuhi kehendak-Nya dan selalu berada di
jalan-Nya. Adalah menyiapkan diri sendiri agar Belas Kasih-Nya Ilahi menarik kita menjadi
muqorrobun.
“Wamimman khalaqnaa ummatun yahduuna bilhaqqi wabihi ya’diluuna”. Artinya : “Dan di
antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat (jamaah) yang memberi petunjuk dengan
Al-Haq-Nya, dan dengan Al-Haq itu (pula) mereka menjalankan keadilan”. (QS. Al A’raf 181).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 50).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 65


³ D º

I
Iblis :
Iblis adalah makhluk golongan jin (QS. Kahfi 50). Watak jahatnya abaa wastakbara. Ana
khairun minhu, merasa lebih luhur dari pada wakil-Nya Allah di bumi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki
Jaman Al mahdi, Lampiran Surat : Ditujukan kepada Yang Dikehendaki Illahi Siap Untuk
Menolong Diri Sendiri, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal.4).

Ihdinashshiraathal Mustaqim. : (lih. Faatehah)

Ihram : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji)

Ikhlas :
• Ikhlas adalah bersih. Artinya sama sekali bebas dari perbuatan syirik lahir dan bathin.
Tandange (menjalani perintah) tetap aktif dan dinamis, tetapi sama sekali tidak berani
ngaku (si nafsu) sebab manusianya telah benar-benar yakin dan sadar mengetahui bahwa
yang bisa Tuhan, yang kuat Tuhan, yang pemilik segala sesuatu termasuk pemilik wujud
jiwaraganya adalah Tuhan. Bahkan yang obah-osik juga Tuhan. Hingga sebenarnya yang
Wujud dan Yang Ada hanyalah Tuhan.
Karena itu hatinya lalu dijaga supaya tidak mudah melupai Tuhannya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 95).

• Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman, kata-Nya : “Ikhlas itu sirri (rahasia rasa) dari sirii
(rahasia rasa-Ku). Aku letakkan rasa ikhlas seperti itu di hati orang yang Aku cintai di antara
hamba-Ku”.
Ikhlas adalah sejati murninya rasa. Kesejatiaannya abadi pada sisi-Nya, bersih dari segala
campuran. Ada dalam fitrah jati diri, yang dicintai; yang rasa kesejatian diri-Nya ada di
dalamnya.
Karena cintanya semata-mata kepada-Nya, bercahaya dengan Nur Muhammad-Nya dalam
hati lalu nikmat mengingati Dia yang dekat sekali dan rohnya tenggelam ke dalam
samudera Keberadaan Aku-Nya dan rasanya yang menikmati Ujud Al-Haq-Nya pada titik
temunya makna ginaib-Nya Al Ghaibi, senantiasa dalam mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-
Nya.
Ikhlas adalah kesejatian rasa yang mengenal hakekat-Nya sejati murninya, terbuka
mengenali Tuhannya, mengamati segala dengan realitasnya Azza Wajalla dalam perjalanan
untuk menafikan akunya dan ujud dunia yang biasa dilarutkan pilihan nafsu yang menjadi
guru ; lalu kerja kerasnya, diberlakukan untuk memproses diri mendekat kepada-Nya,
bertaubat kepada-Nya, ngumawula kepada-Nya; hingga terbuka dan mengetahui semua
aib dan lemahnya diri yang dzaluman dan jahulanya senantiasa setia mengikuti. Maka,
tanpa belas kasih, pertolongan dan daya tarikan dari-Nya, hidup ini akan menjadi sia-sia
dan merugi kejadiannya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Islam dan Kebangkitannya, Agustus 1992, hal1. 1)

Illallah : (lih. Ilmu Syaththariah)

Ilmu Dzikir :
Ilmu yang menghidupkan hati-nurani, roh dan rasa dalam dada hamba yang dikehendaki
memperoleh hidayah-Nya lalu menjadi hidup, dengan Diri-Nya Dzat Al-Ghaib yang jelas dan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 66


³ D º

nyata mudah didzikiri dan dihayati dalam rasa hati. Sehingga “lubang cahaya yang ini adalah
minhajun”. Dibuka oleh-Nya menjadi mata hati. Yang akan senantiasa dengan rela
memandangi Diri Ilahi. Tembus dengan Nur Muhammad-Nya. Tempat asal fitrah manusia di
simpan (oleh-Nya) dalam rasa.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Intinya Ilmu ini (Ilmu Tauhid) Sejak Nabi Adam AS hingga
Kono, Sedikit Sekali Yang Rela Mencari Lalu Menekuni, Tanjung, Awal Maret 2001, hal. 2).

Ilmu Nubuwah : (lih. Nubuwah)

Ilmu Syaththariah :

• Ilmu Syaththariah yang asal kata syathran. Artinya pusat konsentrasi. Pusat konsentrasinya
batin. Yakni hati nurani, roh dan rasa yang selalu mengingat-ingat, menghayati dan
merasakan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Wajib Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya (= Isi-Nya
Huw).
Juga asal kata Syathara yang artinya membelah memjadi dua. Yang dibelah adalah kalimah
tauhid “Laailaha Ilallah”. “Laailaha” itu kalimah nafi dan “ilallah” kalimah itsbat. Yang
harus diperjuangkan untuk dinafikan adalah semua hal selain Tuhan termasuk wujud jiwa
raga. Dan yang diitsbatkan (ditetapkan dalam hati nurani, roh dan rasa) adalah Diri-Nya
Ilahi (= Isi-Nya Huw).
Bisa juga dari asal kata syutran yang maknanya adalah hamba yang oleh Allah telah
dikeluarkan dari dalam hatinya semua hal tentang dunia sehingga yang dirasa ada
hanyalah Diri-Nya Dzat Al GhaibYang Wajib Wujud-Nya (=Isi-Nya Huw).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Beberapa Catatan Ketika Imam Ali As Dihadirkan,
Tanjung, 25 April 1999, hal. 3).

• Di dalam Kitab Futuhati al-uluhiyyah dijelaskan oleh para Wasithah asal kata Syathariyah
adalah : “Thariqu as-saairiina ilallah wahum Asy-Syathar min ahli muhibbah ilallah; wa
haadza ath-thariqu mabniyyun ‘ala salamti al-mauti liqaulihi Ta’ala walaa tamuutunna illa wa
antum muslimun wa bi al iradati li khabrin muutu qabla antamutu”.
Maksudnya adalah bahwa ilmu Syathariyah ini adalah ilmunya orang-orang yang dengan
bersama-sama menempuh jalan menuju kepada Allah sehingga sampai bertemu dengan-
Nya. Mereka adalah Asy-Syathar adalah orang-orang yang ahli di dalam mencintai Allah.
Dan ini adalah satu-satunya jalan yang tetap untuk selamatnya mati guna memenuhi
amanah Allah : “janganlah kamu semua mati kecuali mati selamat yang dengan rasa damai
dan bahagia bertemu dengan-Nya”. Juga memenuhi perintah Junjungan Nabi Muhammad
SAW dalam sebuah hadistnya : “(belajar) matilah kamu semua sebelum mati”, (supaya
mengalami rasanya mati yang benar sebagaimana wafatnya para kekasih Allah). Yaitu mati
dalam keadaan :”wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbiha naadzirah”. Wajah-wajah
mereka (orang-orang yang matinya selamat dengan rasa bahagia bertemu Tuhannya) di
hari itu wajahnya berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat (dengan mata hati). (QS.
Al-Qiyamah : 22-23).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir, Pondok Sufi,
Tanjung, 13 Desember 2006, hal. 1).

• Ilmu tentang Tuhan, ilmu untuk mengenal Diri-Nya Dzat Yang Al-Ghaib Wajib Wujud-Nya,
dekat sekali dalam rasa hati, Allah Asma-nya. Ilmu Syaththariyah adalah ilmu yang menjadi
pingitan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.72, Al-Jin: 26 -27.
“Yang Maha Mengetahui Al-Ghaib, maka tidak dilahirkan-Nya yang Al-Ghaib itu kepada
seorangpun jua, kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya…” (QS.72 Al-Jin :26-27).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 67


³ D º

Bahwa hanya Dialah yang mengetahui Al-Ghaib itu, maka Dia sama sekali tidak
memperlihatkan (dalam mata hati) tentang keberadaan Diri-Nya Yang Al-Ghaib itu kepada
seorangpun, kecuali bagi orang yang diridhoi-Nya (ilmu tersebut hanya dapat diperoleh)
dari Rasul-Nya.

Perlu diketahui pula bahwa keberadaan Rasul-Nya Allah dalam kalangan ahli Syaththariyah,
tidak terputus ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Sebab yang wafat hanyalah jasadnya
saja. Sedang Nurnya (Nur Muhammad) Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya;
di mana antara Cahaya dan Dzat-Nya bagaikan sifat dan mausuf, bagaikan kertas dan
putihnya – tetap menyatu dan menjadi satu, tidak ikut mati. Nur yang selalu ikut mencahaya
dalam dada yang diridhoi oleh-Nya hingga sampai dengan kiamat. Dan yang ditugasi Allah
mengalirkan Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini adalah Rasul-Nya.
“Maka berimanlah kamu semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Nur yang telah
Kamiturunkan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS.64 At-Taghaabun : 8).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 28, 29)

• Karena itu pula maka Ilmu Syaththariyah adalah juga Ilmu Tauhid. Ilmu untuk dengan
seyakinnya mengenal dan mengetahui Satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya dan
Allah Asma-Nya itu supaya senantiasa ditauhidkan oleh hamba. Yaitu supaya dengan
mudah selalu diingat-ingat, dihayati, diinjen-injen dan bahkan dirasakan keberadaan-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Oktober 2000, hal.1)

Ilmu Tauhid = ilmu yang menunjukkan keberadaan Diri-Nya Dzat Satu-Satu-Nya Yang
Wajib Wujud dan Yang Ada, Al Ghaib, Allah Asma’-Nya supaya ini pula Satu-Satu-Nya
yang diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, karena Islam memang agama Tauhid =
memenuhi perintah Allah “udkhuluu fissilmi kaaffah”. Sebab yang utuh dan sempurna serta
menyeluruh, hanya satu juga. Yakni Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya.

Di samping itu untuk supaya menyeluruh masuknya dalam Islam, maka semua unsur
kejadian manusia juga harus masuk semua. (lih. Manusia).
Islamnya jasad supaya selamat (tidak menjadi hijab yang menggelapi penglihatan mata hati
kepada keberadaan Diri-Nya) harus memenuhi kewajiban syareat. Islamnya hati nurani
supaya menjadi hamba yang ditarik oleh-Nya menjadi orang yang bisa sampai kepada-Nya
dengan hati yang selamat harus memenuhi kewajiban tarekat. Berada pada jalan menuju
Allah. Dan karena yang dituju Tuhan, maka yang harus selalu diingat-ingat oleh hati ini;
kapan saja, di mana saja, sedang apa saja (dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir
batinnya), adalah juga yang dituju itu. Yaitu Tuhan Dzat Yang Al-Ghaib itu.
Islamnya roh supaya tidak diaku dan dijajah oleh nafsu, berkewajiban menyatakan hakekat.
Dan supaya Islamnya rasa supaya benar-benar ditarik oleh-Nya menyatakan ma’rifat
kepada-Nya harus mengenal dan mengetahui “inti jati dirinya sendiri” yang berada di
dalamnya hingga dengan demikian akan dengan sendirinya mengenal dan mengetahui Diri-
Nya Dzat Tuhan Yang Al-Ghaib. Sebab dari sinilah asal fitrah manusia. Selamatnya harus
berguru secara hak dan sah kepada yang hak dan sah menunjuki. Bertemunya secara yakin
dan nyata di alam pati. Seba ketemu dengan Tuhan bukanlah ketika di dunia sekarang.
Sekarang ini yang bisa dilakukan adalah mengingat-ingat dan menghayati. Maka disebut
dengan pintu dan “kaannaka taraahu”. Pintu yang menjadi bagian dari rumah yang tidak
terpisah sama sekali.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 29 – 30).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 68


³ D º

• Ilmu yang menunjukan “pintunya mati”, supaya bisa mati dengan hati yang selamat. Mati
yang selamat adalah sebagaimana yang dikehendaki oleh firman Allah : “… dan janganlah
Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, yaitu pada hari di mana harta benda
dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah (mati) dengan
hati yang selamat” (QS:26, Asy-Syua’ra, ayat 87 s/d 89).

Ayat ini menjelaskan supaya dijadikan hamba yang dapat sampai kepada Allah dengan hati
yang selamat. Ketika harta benda dan anak laki-laki tidak berguna di hari para hamba Allah
dibangkitkan, dan tidak dijadikan hamba yang dihinakan oleh Allah.

Oleh karena itu Ilmu Syaththariyah ini disebut juga Ilmu yang menunjukan tentang
keberadaan diri Tuhan Yang Al-Ghaib, Allah Asma’-Nya supaya mata hati (hati nurani,
bukan hati sanubari) dapat menangkap dengan yakin dan jelas atas keberadaan Diri-Nya
Tuhan itu, hingga dengan mudah dapat selalu diingat-ingat dalam segala tingkah laku dan
perbuatan, di mana saja, kapan saja serta dalam keadaan apa saja. Lebih-lebih pada saat
sedang melaksanakan ibadah shalat.

• Ilmu supaya hatinurani, roh dan rasa dapat senantiasa Syathara illahi. Senantiasa
menghadap atau hadir kepada Diri-Nya Yang Mutlak Wujud-Nya, Al Ghaib, Allah Asma-
Nya dan amat sangat dekat sekali.

Cara menghadap atau hadir kepada Diri-Nya Yang Mutlak Wujud-Nya :

Cara menghadapnya hati nurani atau hadirnya hati nurani kepada-Nya setelah mengenal
dan mengetahui mengenai Keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dari yang berhak dan sah
menunjuki adalah selalu mengingat-ingat-Nya (mendzikiri-Nya) dan diupayakan (dilatih)
bersama-sama dengan setiap masuknya nafas. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak
keluar lagi, mati namanya.

Cara hadirnya roh adalah dengan senantiasa nginjen-nginjen (mengintai-intai dan selalu
menghayati) kepada Daya Kuat-Nya karena menyadari seyakinnya bahwa hamba ini adalah
bagaikan daun asam yang berada diatas gelombang samudra. Geraknya dan obah osiknya
semata-mata karena katut gelombang. Karena itu sama sekali tidak berani ngaku kuatnya,
bisanya, segala dan apa saja yang biasa diaku manusia sebagai miliknya. Dan karena itu
pula maka yang paling ditakuti hamba demikian adalah apabila hatinya sangat mudah
melupai Tuhan yang amat sangat dicintainya.

Cara hadirnya rasa adalah senantiasa merasakan betapa nikmat dan betapa indahnya rasa
hati selalu merasakan Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Satu-SatuNya Yang Mutlak WujudNya.
Maka dari itu Syathara berarti juga membagi dua. Yang dibagi adalah kalimah “Laa ilaaha
illallah”. “Laa ilaaha” itu kalimah nafi dan “illallah” adalah kalimah itsbat.

Yang harus diperjuangkan dengan memperbanyak lakon dan pitukon (dengan cara rialat,
riyadhah dan mujahadah) agar benar-benar dapat dinafikan adalah semua saja, termasuk
wujud jiwa raganya, akon-akon dunianya dan segala isi jagad raya yang dipandang mata
wujud dan ada. Harus dapat dinafian supaya tidak menjadi hijabnya mata hati terhadap
kandungan makna kalimah illallah, yakni kalimah itsbat. Yaitu Ada dan Wujud Dir Satu-
satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, Allah Asma-Nya, yang meskipun Al Ghaib, nyata
dapat dirasakan Keberadaan-Nya berdasar bimbingan Gurunya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 69


³ D º

Al-Ghaib adalah isim yang mufrad dan ma’rifah. Dalam Ilmu Syaththariyah hal itu menunjuk
kepada keberadaan Satu-satu-Nya Dzat Yang Allah Asma-Nya, Mutlak Wujud-Nya dan
ma’rifah. Jelas amat sangat dekat sekali dan jelas-jelas amat sangat mudah dan indah
untuk diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, apabila jihadunnafsinya menjadikannya
rela bertanya kepada ahlinya. Sedang yang sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala,
adalah al-ghuyub. Dibangsakan gaib, tetapi bukan Diri-Nya Illahi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Oktober 2000, hal. 1)

• Ilmu Syaththariyyah adalah ilmu tentang butiran iman. Butiran iman yang gendenya sak
mrica jinumput, tetapi apabila digelar ngemplok jagad. Butiran iman itu adalah NUR
MUHAMMAD. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya (Isi-Nya Huw). Itu
adalah benih. Benih yang ditanamkan ke dalam dada yang dikehendaki oleh-Nya. Benih
tersebut menjadi berkembang dan subur sangat tergantung pada masing-masing orang
yang memperolehnya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Supaya Warga Syaththariyyah Ditarik oleh Fadhal dan
Rahmat-Nya Menjadi Hamba Yang Didekatkan Kepada-Nya, Tanjung, 1998, hal. 1).

Hukum meminta Ilmu Syaththariyah


Meminta petunjuk Ilmu Syaththariyah kepada yang mempunyai hak dan sah, hukumnya
“fardhu ‘ain”; suatu kewajiban yang tidak bisa dihindari bagi yang mengaku beragama Islam;
siapa saja, dari mana saja asal-usulnya; bila sudah “mukallaf” (sudah dapat menerima
pengertian dan sudah bisa menyimpan rahasia), bahkan lebih wajib meskipun dibandingkan
denan kewajiban-kewajiban yang lain, termasuk shalat. Mengingat amanat Allah :
“..Wa aqimish shalaata li dzikrii” (QS.20 Thoha; 14). “..Dan kerjakanlah shalat untuk berzikir
(mengingat-ingat Aku”.

Begitulah pentingnya dzikir dalam shalat agar mencapai tingkat khusu’ dan agar supaya
ketika shalat tidak shaun (lalai) yang justru diancam dengan “fawailun”.

Aku, Dzat Al-Ghaib Yang Allah Asma’-Ku, sama sekali tidak bisa digambarkan, tidak bisa
dibayangkan, tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya, namun akan sangat mudah diingat-
ingat dan dihayati dalam rasa hati apabila secara benar ditanyakan kepada ahlinya, yaitu ahli
dzikir. Ahli adalah sebagaimana ungkapan kata seperti ahli kubur, yaitu orang yang telah mati
karena itu dia selalu bertempat tinggal dalam kubur.

Demikian halnya ahli dzikir. Dia adalah hamba yang dibentuk oleh Allah berdasar Ilmu yang
diterima dari Gurunya, dibentuk mempunyai hati nurani, ruh dan rasa yang selalu maqam
(bertempat tinggal) dalam dzikir. Bertempat tinggal dalam rasa hati yang senantiasa
mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al-Ghaib yang dirasakan
sangat dekat sekali.

Meminta petunjuk ilmu tentang pintunya mati, supaya apabila sewaktu-waktu mati yang pasti
akan ditemui dan hanya sekali saja dirasakan, dijadikan hamba yang “wujuhun yaumaidzin
naadhiroh, ilaa Rabbiha naazhiroh”. Dijadikan hamba yang di hari matinya itu merasakan
kebahagiaan yang luar biasa karena dapat selamat, hingga wajahnya (rasa hatinya) berseri-
seri (bercahaya), kepada Tuhannya dia melihat (kandungan makna QS.75, Al-Qiyamah, 22-
23). “Wajah-wajah mereka (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat
kepada Tuhannya”.
Keadaan demikian itu karena sebelum dia mati yang sebenarnya, memenuhi panggilan Nabi
Muhammad SAW : ”Muutuu qabla an tamuutuu” (matilah engkau sebelum engkau mati).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 70


³ D º

Sebab mati yang benar itu : jasad membusuk, hati ‘adam, ruh sirna dan hanya tinggal sirr
(rasa) yang kembali ke akhirat.

Cara Memperoleh Ilmu Syaththariyah


Di samping harus ada izin dari Guru yang hak dan sah, bagi yang bersangkutan (yang
berkendak memperoleh ilmu), harus ada niat yang kuat dan mantap. Maksud dan kandungan
niat minta petunjuk Ilmu Syathhthariyah, biasanya diniatkan dengan ungkapan sebagai
berikut:

“Nawaitu lidukhuuli thariiqish shaalihiin fardhan lillahi ta’aalaa”, atau


“nawaitu an adkhula thariiqish shaallikhiin fardhan lillahi ta’aalaa”.
Yang diterjemahkan: “Saya berniat untuk ‘masuk’ – mohon petunjuk – ilmunya Guru yang
shaleh fardhu karena Allah Ta’ala”.

Diterjemahkan sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan tujuan agar para
pengamal ilmu ini akan dapat menjadi orang yang benar-benar bermujahadah (memerangi
hawa nafsunya sendiri) hingga membentuk diri menjadi orang yang sabar dan tawakkal
supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa (lih. martabat rasa).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.18, 19, 27)

Bagi yang berkehendak kuat memperoleh ilmu harus mengetahui dan menyadari bahwa, Allah
itu adalah Asma-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya tetapi Al-Ghaib. Sebagaimana halnya
asma’ (nama) dengan sendirinya tidak bisa apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa dan segala-
galanya adalah Dzat-Nya Yang Al Ghaib itu.
Seperti halnya apabila seseorang menikah, apakah akan puas dan menerima kalau hanya
menikah dengan namanya saja, tetapi tidak dengan orangnya? Karena itu perlu diketahui
pula bahwa firman Allah :
“Dan Dia (Rasul) tidaklah bakhil untuk menerangkan perihal Al Ghaib (QS. At.Taqwir; 24)”.
Ayat ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, tetapi berlaku
bagi umat Islam hingga kiamat. Meski ternyata sebagian tidak yakin, maka lalu azab Tuhan
datang dan menghancurkan disaat “Daabbah” diberdayakan, sebagaimana firman-Nya
dalam QS:27, An-Naml; 82 :
“Dan apabila telah putus hukuman mereka, Kami keluarkan binatang melata (daabbah) dari
bumi yang mengatakan kepada mereka bahwa manusiia tidak mempercayai ayat-ayat Kami”.
Kehadiran Rasul selalu berada ditengah-tengahmu sebagai mana firman Allah :
“Kenapakah kamu kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepadamu dan Rasul-Nya berada
bersamamu? Dan barangsiapa yang bepegang teguh kepada Allah sesungguhnya ia telah
diberi petunjuk” (QS:49, Al-Hujurat; 7).
Ternyata oleh umat Islam ayat tersebut sudah tidak diyakini kebenarannya. Sehingga Al-Haqqu
min Rabbika, maunya mereka Al-Haqqu itu diganti harus dari golonganku, dari pendapatku,
dari kepandaianku, dari usulanku, dari mahzabku, dari siasatku, dari kebijakan-kebijakanku,
dari kekuasaanku, dari harga diri dan kehormatanku dan seterusnya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.32 – 33).

Persiapan Memperoleh Ilmu Syaththariyah.


Setelah mempunyai niat yang kuat dan hati yang mantap, lalu mandi (besar), bersuci (sebab
akan disentuh dengan Dzat Yang Maha Suci). Adapun niatnya sebagai berikut :
“Nawaitul ghusla lidhukhuuli thariiqish shaalikhiin fardan lillahi ta’aala”

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 71


³ D º

Kemudian berpuasa, minimal tiga hari. Dimana pada hari terakhir berpuasa, baru akan
mendapat izin memperoleh ilmunya. Adapun niat puasa adalah sebagai berikut :
“Nawaitu shauma ghodin lidhukhuuli thariiqish shaalikhiin fardan lillahi ta’aalaa”.

Dan yang harus dipersiapkan lagi adalah dilatih memahami mukaddimahnya Ilmu
Syaththariyah. Yaitu dzikir tujuh (7) macam, yang harus dilatih oleh orang yang ditugasi untuk
melatih mukaddimah dzikir.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.33 – 34).

Pemberkahan Ilmu Al Nubuwwah

Pemberkahan
Untuk memperoleh Ilmu Syatththariyah yang akan diisikan ke dalam rasa hati, harus
melewati tata cara berkah (disebut berkah karena mendapat keberkahan ilmu tentang Dzat
Allah dari Guru yang hak dan sah); dapat disebut juga ba’iah. Pada saat di mana
ditunjukan ilmu Al-Nubuwwah sang murid harus dalam keadaan suci.

Pemberkahan (Bai’at) tersebut memenui firman Allah dalam QS : 48. Al Fath; 10 : “Bahwa
sesungguhnya orang-orang yangn ba’iat kepada kamu (Nabi Muhammad SAW dan para
penerusnya atau wakil-wakilnya Nabi Muhammad SAW yang berhak dan sah melanjuti tugas
kerasulannya), itu sebenarnya ba’iat (langsung dengan) Allah Sendiri” (QS:48, Al Fath; 10).

Hanya saja karena Allah tidak mewujud secara langsung (ngejawantah), maka Allah
berkehendak membuat wakil Diri-Nya, yakni hamba yang dikehendaki-Nya untuk berfungsi
sebagai penyambung lidah (Rasul-Nya). Karena itu Guru (yang dalam warga Syaththariyah
disebut Wasithah), sama sekali tidak akan berani mengaku atau merasa menjadi Guru. Hal
demikia sama saja berani terjungkal di lembah murtad yang terbesar : Sama dengan
menyekutukan Tuhan. Apa yang ia jalankan semata-mata karena sekedar melaksanakan
perintah Guru sebelumnya (sak derma nglakoni), sebagai lakon dan pitukon dirinya untuk
mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga selamat bertemu dengan-Nya.

Di dalam proses pemberkahan ini, murid juga bersumpah dan berjanji. Antara lain sama
sekali tidak boleh melakukan dosa besar dan dosa-dosa kecil yang terus menerus. Harus
dengan sabar dan tawakkal dalam menyembah kepada-Nya hingga sampai dengan
selamat dan yakin bertemu dengan-Nya saat mati yang pasti menemuinya. Untuk itu, maka
harus memenuhi panggilan Nabi Muhammad SAW yang menjadinya madhulnya hadits :
”muutuu qabla anta muutuu”. Karena telah mempunyai ilmunya mati, maka jadikanlah
untuk belajar mati sebelum mati yang sebenarnya. Supaya matinya seperti matinya para
kekasih Illahi, khusnul khatimah. Dan janji berikutnya adalah tentang bagaimana belajar
mati itu, yaitu harus melaksanakan perintahnya Guru yang menunjuki ilmu itu. Yakni
mengumpulkan syariat dan hakekat. (lih. syariat, hakekat).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal.34 – 35).

Sumpah dan janji Murid (lih. Murid – Sumpah dan Janji Murid)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Edt), Ilmu Syaththariyyah adalah ilmu tentang
butiran iman. Butiran iman yang gendenya sak mrica jinumput, tetapi apabila digelar
ngemplok jagad. Butiran iman itu adalah NUR MUHAMMAD. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya
Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya (Isi-Nya Huw). Itu adalah benih. Benih yang ditanamkan ke
dalam dada yang dikehendaki oleh-Nya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 72


³ D º

Benih tersebut menjadi berkembang dan subur sangat tergantung pada masing-masing
orang yang memperolehnya.

Langkah Pertama;
Supaya mapan ilmunya, kemudian dapat berkembang dan menjadi subur, lalu benar-benar
menjadi murid (menjadi orang yang dikehendaki oleh-Nya dengan secara benar dan benar-
benar berkehendak bertemu dengan-Nya), haruslah pandai bersyukur kepada-Nya. Yaitu
dapat mengerti dan memahami kandungan sumpahnya sendiri ketika berhadapan dengan
Guru. Sumpah itu adalah (sumpah dan janji murid secara lengkap dapat dilihat : Murid –
Sumpah dan janji murid, Edt.) :
“Suka kula ing Guru ingkang muruk in kula punika angsal rahmat saking Allah; saking donya
malah tumeka akherat pisan. Dene ati kula madep maring Allah”.
Rasa syukur yang tiada terhingga kepada-Nya dengan dipertemukan Guru yang hak dan
sah yang oleh Nabi Muhammad SAW disabdakan “Walau bainahu wa bainaka bahrun-
naar” = meskipun antara Guru yang hak dan sah itu dengan kamu (supaya dapat bertemu)
harus menyeberangi lautan api, terjadi karena rahmat-Nya. Karena belas kasih-Nya.

Langkah Kedua;
Meskipun sebenarnya berguru secara benar kepada yang berhak dan sah menunjuki ilmu
dan jalan lurus hingga selamat dan bahagia bertemu dengan-Nya adalah kebutuhan
masing-masing diri, namun ketika dihadapan Guru yang hak dan sah itu, disumpah.
Sumpah tersebut adalah :
“Suka kula ing sekehing faqir ingkang miturut ing Guru punika sedaya sederek kula. Sederek
lahir terusing batin, sederek ndonya dumugining akherat. Suka kula bebarengan in ndalem
pangabektine; suka kula tulung tinulungan in ndalem kemlaratane lan suka kula pepisahan in
ndalem durhakane”.

Dari langkah pertama dan kedua di atas, maka terjadilah pemrosesan diri untuk menjadi
hamba yang benar-benar siap didekatkan kepada-Nya, karena dengan itu lalu dimapan
oleh-Nya dengan mantapnya dua modal dasar. Yakni dijadikan hamba yang dengan
mudah dapat mengerti dan memahami semua dawuh-dawuhnya Guru, petunjuk-
petunjuknya, perintah-perintahnya dan juga cita-citanya. Lalu ditanamkan pada hatinya
tekad bagaiman supaya selalu dengan rela “mau” (gelem) memaksa jiwa raganya
melaksanakan dawuhnya Guru, petunjuknya, perintah-perintahnya serta membela cita-
citanya.

Mantapnya hal di atas karena dikehendaki oleh-Nya bisa mengerti dan memahami
kandungan makna dari ungkapan Guru Wasithah bahwa : “Seberat-beratnya melaksanakan
dawuh guru masih berat apabila tidak melaksanakan”. Dengan demikian akan
dipertemukan (oleh Allah) : “Asaa anyaj’allahu laka waliyyan min auliyaaillahi wa aaminan
minal aafaati fi daraini”. Maksudnya :”Semestinyalah Allah menjadikan masing-masing kamu
menjadi kekasih-Nya sebagaiman para kekasih-Nya (yang telah ditarik oleh fadhal dan
rahmat-Nya merasakan betapa nikmat dan bahagianya bertemu lagi dengan Diri-Nya), serta
diselamatkan dengan aman sentausa dari bencananya du akampung yakni dunia dan
akherat.”
Perintahnya Guru adalah supaya tumemen (bersungguh-sungguh) memerangi nafsunya agar
dengan sebaik-baiknya dapat memenuhi janji yang telah diterima dihadapan Guru. (lih.
Murid – Sumpah dan Janji Murid)

“Inggih kula nrimah janji saking penjenengan” (= Iya saya terima janji dari Bapak) jawab
sipenerima janji.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 73


³ D º

“Wis, saiki wis gugur kewajibanku. Kari gumantung marang kowe dewe-dewe. Yen Tumemen
anggonmu pada mbibinau bebarengan karo sedulurmu ing ngendi bae sing wis ketata
jamaahe, yekti ya bakal pada mekoleh kanugrahan saka Kang Allah Kuawasa lahir batin,
ndonya akherat. Yem sembrana, sing bakal nampa bendu ya sing pada sembrana. Mual
pada dingati-ngati”. “Sudah, sekarang tinggal tergantung kepada kamu semua. Apabila
kamu semua bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengamalkan Dawuh Guru
(perintahnya Wasithah), Allah pasti memberikan kepada kamu semua kanugrahan yang
besar di dunia dan di akherat. Tetapi apabila sembrono, sebaliknya azab dan bendu-Nya
Allah SWT akan ditimpakan kepada yang sembrono. Karena itu, berhati-hatilah”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Supaya Warga Syaththariyyah Ditarik oleh Fadhal dan
Rahmat-Nya Menjadi Hamba Yang Didekatkan Kepada-Nya, Tanjung, 1998, hal.1 – 3) .

Mukaddimah Ilmu Syaththariah


Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa termasuk persiapan untuk mendapat izin dari Guru
yang hak dan sah menunjukan Ilmu Syaththariah adalah dilatih mukaddimahnya ilmu, yang
diperagakan pada jagad pribadi.
Mukaddimah ini adalah sebagai “pelataran” atau “tangga” untuk masuk ke dalam Ilmu
Syaththariah. Banyaknya ada 7 (tujuh) macam dzikir, disesuaikan dengan jumlah nafsu
manusia yan juga ada tujuh macam. Sebab “mlebu maring Allah” atau bercita-cita supaya
dapat selamat pulang kembali bertemu dengan Diri-Nya Illahi harus dengan mengendarai
nafsu. Mukaddimah tersebut adalah sebagai berikut.

TUJUH MACAM DZIKIR.

Thawaf (di dalamnya ada dua macam dzikir);


Mengucap kalimah : Laa ilaahaa ilallah (sebanyak 3 x).
Dilakukan pada diri (jagad) pribadi. Caranya memutar kepala, mulai dari bahu kiri. Alat
penunjuknya adalah dagu (simbol Pena-Nya Allah SWT dengan tintanya Nur
Muhammad). Dengan dagu tersebut lalu untuk menggris dada (mulai dari bahu kiri)
menuju bahu kanan, berpusat pada pusar (udel), membentuk Lam Alif dengan mengucap
kalimah : Laa ilaaha (dzikir pertama), dengan menahan nafas.
Setelah sampai pada bahu yang kanan lalu menarik nafas, baru mengucapkan kalimah
itsbat : Illallah, yang dipukulkan (oelh dagu) tersebut ke dalam hati sanubari yang letaknya
kira-kira dua jari di bawah susu kiri.

Perlu diketahui bahwa dzikir itsbat tersebut adalah nomor dua. Perlu diketahui pula bahwa
bahu yang kanan, tempat menarik nafas ketika hendak mengucap kalimah nafi : “Illallah,
adalah simbolnya “maqam firoq”. Simbol pisahnya yang hak dan batal. Simbol nafinya
dzat, sifat dan af’alnya hamba supaya dapat membuktikan bahwa satu-satunya Yang
Wujud dan Yang Ada adalah yang diitsbatkan (yang ditetapkan) dalam hati. Yaitu Diri-
Nya Illahi Yang Al Ghaib yang hanya dapat diketahui dari Guru Wasithah yang berhak
dan sah menunjuki.

Perlu dipahami pula bahwa mukaddimahnya yang nomor satu dan nomor dua di atas, di
dalamnya ada maksud dan kandungan maknanya.
Bahu kiri (tempat mulai thawaf) dan bahu kanan (sebagai simbol mawam firoq) adalah
simbol hamba yang mempunyai keberanian dengan tekad yang mantap, meski betapapun
berat resiko yang harus ditanggung guna dapat memenuhi amanah Illahi. Jadi simbol
keberanian memikul amanah dari Allah SWT yaitu :
“Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin”. “Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin
(mati)”,

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 74


³ D º

Yang mengandung makna supaya menyembah Tuhan Yang Asma-Nya Allah dengan
kesungguhan berjihadunnafsi supaya dapat lulus dalam mengikuti watak dan jejak para
“malaikatul muqorrobin”, rela sepenuh hati sujud (=memberlakukan diri bagai mayit yang
patuh dan taat dihadapan yang berhak dan sah mensucikan), hingga akan ditarik fadhal
dan rahmat-Nya dapat seyakinnya merasakan kehadiran yang disembah itu. Yaitu selamat
bertemu dengan Diri-Nya Illahi.

Karena itu ketika menjelajahi jagad ( menjalani kehidupan dunia sebatas umur masing-
masing sebagai ujian dan cobaan ini ) supaya dapat lulus harus berani menahan nafas
(ngempet ambengan). Lambang untuk dapat mencapai sesuatu yang amat sangat penting.
Agar dapat menjadi hamba-Nya Ratu Adil karena dapat dimengertikan bagaimana
caranya mengadili diri sendiri supaya hidupnya tidak ditipu daya apalagi hingga sampai
diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu. Lalu menjadi hamba yang “hurriyah tammah”.
Menjadi hamba yang rasa jiwanya merdeka sejati. Menjadi hamba cahaya-Nya Illahi di
muka bumi. Dijadikan oleh-Nya dapat mengaktualisasikan fitrahnya jati diri.

Karena itulah maka ketika melakukan dzikir itsbat (Ilallah), dagu dipuklkan ke arah hati
sanubari supaya markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak dapat berfungsi (dapat
dikendalikan). Setelah melakukan dzikir thawaf sebagaimana di atas tga (3) kali,
dilanjutkan dengan dzikir berikutnya.

Nafi Itsbat (temasuk bagian dzikir pertama)


Kalimah Nafi Itsbat (kalimah Thayyibah) yaitu : “Laa Ilaaha Ilallah” (dilafahkan
secukupnya).
Dzikir ini dilakukan sebanyak mungkin dengan menghidupkan cipta angan-angan, bahwa
semua hal tentang dunia dan apa saja termasuk jiwa raganya, nafi. Tidak ada. Dibarengi
dengan hati mengintai-intai Diri-Nya Illahi (Isi-Nya Huw). Dan apabila ternyata masih
selalu merasakan ada terhadap apa saja (dan ternyata pula memang demikian yang
terjadi), maka segera saja menyadari atas salah dan dosanya sendiri. Masih banyaknya
lakon dan pitukon yang belum dijalani. Masih banyak sekali keteledorannya dan masih
sangat kurang kesungguhannya dalam berjihadunnafsi. Dengan demikian jiwa dan
taubatan nasuhanya terus menghidupi diri. Itulah sebabnya mengapa warga Syaththariah
ini apabila melakukan dzikir nafi itsbat (Laa ilaaha ilallah), suara yang dikeraskan adalah
juga suara nafinya. Yakni suara Laa ilaaha ilallah. Sebab begitu mengucap “ ill (yang
lengkapnya illallah), suara seperti dimasukkan ke dalam yang mempunyai Asma’ Allah,
yaitu Isi-Nya Huw.

Itsbat Faqod
Dzikri nomor tiga itsbat faqad, yaitu : illallah (diucapkan sebanyak tujuh kali).
Dipukulkan ke dalam hati sanubari dengan alat pemukul dagu. Bermaksud mempertegas,
bahwa hanya Diri-Nyalah (Isi-Nya Huw) Dzat Yang Wujud dari Yang Ada. Sehingga hati
yang menjadi markas besarnya nafsu lawwamah ini benar-benar diam (sirep). Benar-benar
tidak menyala (lerep) Tidak akan mengganggu perjalanan dan cita-cita hati nurani, ruh
dan rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai ma’rifa kepada-Nya.

Ismu Dzat
Ke empat dzikir Ismu Dzat, yaitu Allah, (diucapkan sebanyak tujuh kali).
Arah yang dipukul oleh dagu tepat pada tengah-tengah dada. Mengarah ruh yang
keberadaannya di dalam hati nurani. Supaya benar-benar disadari dan dipahami bahwa
ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan dengan keluar masuknya nafas dalam
dada lalu karena itu wujud jiwa raga mempunyai daya dan kekuatan, ini semua adalah
Min Ruuhihi. Daya dan kekuatan-Nya Allah SWT. Sama sekali bukan daya kekuatannya

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 75


³ D º

nafsu yang terbiasa telah diaku oleh wataknya nafsu. Sebab bila yang demikian diterus-
teruskan, sama saja dengan telah berani menjadi hamba yang menyekutukan Tuhannya.
Dengan sendirinya, segala tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinya berada di dalam
kemusyrikan. Selalu berada dalam perbuatan dosa terbesar yang sama sekali tidak ada
ampunannya di hadapan Tuahn.

Dzikir Taroki
Nomor lima dzikir Taroki. Yaitu : Allah-Huwa (dibaca Huw), (sebanyak 7 kali). Ucapan
Allah diambil dalam dada dan Huw dimasukkan ke dalam baitul makmur (markasnya
berpikir). Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai oleh cahaya
Illahi, sehingga potensnyai pikir akan benar-benar dapat digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah dunia untuk membuktikan hablum minannas-nya. Bagi mengelola
garapan dunia yang oleh Allah dicipta tidak sia-sia dan tidak batal ini, namun karena
markasnya berpikir selalu diterangi oleh Cahaya-Nya, sama sekali tidak akan ditujukan
untuk mengumpulkan harta benda dunia. Sama sekali tidak untuk bersenang-senang.
Sama sekali tidak untuk ngumbar hawa nafsu dan syahwat. Berbangga-bangga dan
bermegah-megah dengan kehidupan dunia. Tetapi semata-mata demi Sub-haanaka.
Demi untuk mensucikan Zat Yang Maha Suci. Karena itu hasil kerja kerasnya, semata-
mata dijadikan sebagai pancatan yang kokoh guna mensucikan diri supaya dapat sampai
selamat dan bahagia bertemu lagi dengan Dzat Yang Maha Suci.

Dzikir Tanazul
Dzikir ke enam disebut dzikir Tanazul. Yaitu : Huw – Allah (sebanyak 7 kali).
Huw diambil dari baitul makmur (otak) dan kalimah Allah dimasukkan ke dalam dada.
Sebab akhirat itu pintu masuknya ada di dalam dada. Attaqwa haahuna (tiga kali)
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang dituding beliau adalah dadanya.
Sehingga akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan Cahaya Illahi, bahwa hidup
dan kehidupan dunia dengan segala kewajiban hamba yang dilakukannya adalah
merupakan proses nyata terhadap kandungan makna innaa Lillaahi wa innaa ilahi
rooji’uuna.

Dzikir Ismu Ghaib


Nomor tujuh dzikir Ismu Ghaib. Yaitu : Huwa (Huw, dengan mulut tertutup, secukup-nya).
Dengan mata terpejam dan mulut dikatubkan. Yang di arah tepat ditengah-tengah dada
menuju ke arah kedalaman rasa yang telah diisi dengan dzikir (ingat hati nurani pad Al
Ghaib, IsiNya Huw). Dzikir Huw ini asalnya dari Ha’ wawu di dhammah. Yaitu dhanir
huwa. Dhamir maknanya “sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang Ada dan Wujud
DiriNya Zat Al Ghaib Yang Allah Asma’-Nya”. Ini adalah makna kandungan firman Allah
dalam Surat Al Ikhlas ayat 1. “Qul huwa Allahu Ahad”.

Mukaddimah Ilmu Syaththariah (dzikir tujuh macam) di atas adalah sebagaimana maksud
yang dikandung pada firman Allah :
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan,
dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh
buah jalan tersebut) (QS :23, Al Mu’minuun ayat 17).

Maka perlu pula diketahui bahwa hal diatas adalah penjelasan adanya :”ar rooshikuuna fil
Ilmi” (orang-orang yang mendalam ilmunya) tentang keberadaan Ada dan Wujud Diri-Nya,
Dzat Yang Wajib wujud-Nya, Al Ghaib, dekat sekali dalam rasa hati, Allah Asma’-Nya,
supaya ungkapan firman-Nya perihal “Ulul Albaab” tidak hanya dibibir saja. Dan supaya
tidak terperosok kepada mereka yang karena condong pada kesesatan lalu menjadikan
ayat-ayat yang “mutasyaabihaat” itu untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 76


³ D º

(berdasar watak akunya yang ciri khasnya abaa wastakbara). Adalah kandungan makna
firman-Nya dalam QS : 3, Al Imran :7 .
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an, dan yang lain mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-
orang yang mendalam ilmunya berkata :”Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 43 – 49).

Ilmu Tasawuf :
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang diajarkan supaya hamba yang telah mendapat ijin memperoleh
dzikir Huw yang hak dan sah itu, secara benar dapat mengerti, memahami dan melaksanakan
terhadap semua Dawuhnya Guru dan Pituturnya Guru (terhadap semua perintahnya dan
petunjuk-petunjuknya).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Kitab Mamlukat, dalam Maj’uah Risalah 2002, Tanjung
Anom, 17 Mei 2000, hal. 21).

Ilmu Tauhid : (lih. juga Ilmu Syaththariah)


Disebut intinya ilmu, karena ia adalah “nyawanya” jagad raya dengan segala isinya. Termasuk
jagad manusia, juga nyawanya Islam agama milik-Nya. Disebut inti karena ini adalah satu-
satunya ilmu yang penyampaiannya dengan metode tunjuk, mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya
Dzat yang didunia ini Al-Ghaib. Yakni satu-satu-Nya Dzat Yang tidak akan pernah menampakan
Diri (ghaib), tetapi jelas dan nyata mutlak Wujud-Nya. Jelas dan nyata sekali dalam rasa hati.
Jelas dan nyata amat mudah diingat-ingat dan dihayati, apabila rela mencari lalu rela meminta
kepada yang berhakdan sah menunjuki. Nama yang lain adalah Ilmu Dzikir, Ilmu
Syaththariyah.(lih. Ilmu Syaththariyah).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Intinya Ilmu ini (Ilmu Tauhid) Sejak Nabi Adam AS hingga
Kono, Sedikit Sekali Yang Rela Mencari Lalu Menekuni, Tanjung, Awal Maret 2001, hal. 1).

Ilmu Yakin :
Ilmu yakin adalah dibukanya nafsu terhadap berbagai keajaibannya “maa kaana fii ‘alamil kabir
kamitsli maa kaana fi ‘alamishshagir”.
Ainul Yakin; dibukanya hati terhadap alam mitsal-Nya Tuhan
Hakkul Yakin; dibukanya roh terhadap alam ajaib-Nya Tuhan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 60).

Ilmu Yang Manfaat :


• Ilmunya itu; Ilmu yang memberitahukan dan memperkenalkan terhadap keberadaan Diri-
Nya Yang Al Ghaib itu. Supaya hanya itu yang diingat-ingat dan dihayati dalam hati nurani
(= mentauhidkan-Nya). Agar benar-benar bermanfaat baginya. Dan ilmu yang manfaat itu
adalah ilmu yang menjadikan dirinya selalu mengetahui atas aibnya diri.
Dan tentang hal besar perihal aibnya diri adalah masih ngaku dan masih merasa adanya
wujud dirinya. Sebab bila masih saja begitu, masih bertempat pada ngembari Diri-Nya Dzat
Yang Wajib Wujud-Nya. Di samping sumber segala dosa adalah wujudnya jiwa raga yang

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 77


³ D º

ternyata sebagai markasnya watak akunya nafsu dan segala seleranya. Keinginan-
keinginannya.

Termasuk hal besar tentang aibnya diri adalah rasa til kumantilnya kepada dunia. Dunianya
watak akunya yang pandai berpura-pura dan juga dunianya harta benda, kedudukan dan
gengsinya, kehormatan diri.

Dan ilmu yang manfaat itu termasuk ini. Mengetahui terhadap bencananya amal yang
bagaikan kayu kering dimakan api. Yang mestinya menjadi hamba kekasih-Nya. Lalu
dicoret dari daftar yang ada di sisi-Nya. Yaitu takabur, sum’ah, ria dan ujub.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah Al Ghaib-Nya Ilahi
Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, Tanjung, 30 Oktober 1996, hal. 59).

• Ini adalah hamba karena manfaat ilmunya, telah mulai bisa membalik watak. Watak
manusia apabila mendapat koreksi bahkan celaan; biasanya kecewa, marah dan tidak
terima; namun dia justru bersyukur. Diterima sebagai datangnya peringatan dari Tuhan
untuk mawas diri dan koreksi diri. Bersyukur dan menyadari terhadap masih banyaknya
kelengahan, kesalahan dan menganggap ringan setiap persoalan. Kemudian, watak
manusia apabila dipuji, lalu senang dan bangga. Justru bagi dia diterima dengan rasa
takut, sekiranya sampai berani ngembari Tuhanya. Sebab segala puja dan puji hanyalah
bagi Diri-Nya Illahi.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka
Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 59).

Ilmu Yang Sempurna :


Ilmu yang sempurna adalah “Ilmuhu Ta’ala li Dzatihi wa lisifatihi wa li af’alihi wa lijami’I al-
maujudad”. Yaitu ilmu-Nya Allah mengenai Ada dan Wujud Dzat-Nya Yang Al Ghayb dekat
sekali di dalam rasa hati, meliputi serta menyertai hamba-hamba-Nya. Mudah sekali diingat-
ingat dan dihayati dalam rasa hati di mana saja, kapan saja, sedang apa saja dan dalam
keadaan yang bagaimanapun juga, apalagi dalam keadaan shalat, apabila dijadikan oleh
Allah rela meminta petunjuk kepada ahlinya. Supaya dijadikan tujuan tempat kembali.

Kemudian sifat-Nya. Sifat-Nya Allah adalah Daya dan Kuat-Nya.


Daya itu kebisanan (bisa) dan kepunyaan. Kuat itu kekuatan. Semua itu milik-Nya Allah dan Hak
Mutlak-Nya. Jadi belajar menghayati hakekat. Bahwa hakekatnya Yang Bisa, Yang Pemilik
Semua dan Yang Kuat adalah Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya Allah nama-Nya. Hamba
ini sebenarnya hanyalah bagaikan daun asam yang berada di atas gelombang samudera. Katut
Siliring Qudrat-Nya.

Mengenai af’al-Nya. Semua yang bergerak di alam jagad raya ini termasuk gerak manusia
sebenarnya adalah Perbuatan Allah. Bayang-bayang-Nya Allah. Sebab sebenarnya Yang Wujud
dan Yang Ada hanyalah Diri-Nya Dzat Yang nama-Nya Allah tetapi Al Ghayb, dapat terasa
nyata di dalam rasa apabila dijadikan rela meminta petunjuk kepada ahlinya.

Walijami’I al maujuda. Dan kepada semua hal yang dibangsakan wujud. Yakni ciptaan Allah,
langit dan bumi dengan segala isinya yang dicipta Allah tidak batal supaya dikelola, digarap
demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh pulang kepada-Nya. Sebab semua hal yang
nampaknya wujud oleh indra mata manusia sebenarnya adalah bangsa wujud sebab
hakekatnya Yang wujud hanya satu, Diri-Nya Illahi Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. Oleh karena
itu apabila digarap dan dikelola tidak untuk pancatan pulang kepada Yang sebenarnya Wujud,
benar-benar menjadi batal dan sia-sia.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 78


³ D º

Betapa bertaqwa kepada Allah dengan sempurna telah banyak sekali dijelaskan. Kemudian
Kitab yang selalu diajarkan dan yang tetap dipelajari adalah Kitab-Nya Allah yang ditulis Allah
dengan Nur Muhammad. Diajarkan dengan Nur Muhammad. Tetap dipelajari dengan Nur
Muhammad. Karena itu tidak bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan oleh
Allah.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Allah ‘Azza Wa Jalla Kepada Hamba Yang
Ditugasi Sebagai Pelaku (Imam) Al Qaim Al Mahdi, Tanjung, 10 Juli 2007, hal.1 – 2).

Imam :
Mengada (atas kehendak Allah SWT) demi melestarikan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad
SAW sebagai Rasulullah agar selalu berada di tempatnya. Yaitu ditengah-tengah umat supaya
menjadi panutan bagi semua murid (= orang yang berkehendak bertemu Tuhannya). Dijaga
dan dipelihara oleh Allah SWT dengan 4 (empat martabat). Yakni Mursyidun, Murbiyun,
Nasihun dan Kamilun.
Sekaligus, dia adalah Wasithah. Yakni hamba yang dikehendaki Tuhannya untuk menunjukkan
“ilmu tentang pintunya mati yang selamat”. Dalam firman-firman-Nya, Ia disebut pula sebagai
al-Haadi, al-Wasilata, Waliyyan Mursyida, Imamun Mubin, al-Mudzir, ahli Dzikir dan bahkan
Allah menyebutnya juga dengan Rasul. Sebab wakil itu sama dengan muwakkal.
Dengan sabdanya Junjungan Nabi Muhammad SAW menyebutnya dengan al-Maula, al-Washi,
Amirul Mukminin, Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin dan sebagainya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Tambahan Penjelasan Tentang Struktur Umat Manusia
Dalam Kerajaan Tuhan, dalam Majmu’ah Risalah 2002, Pondok Sufi, Tanjung, 19 Maret 2002,
hal. 3).

Imam Mahdi (Al-Mahdi, Al Qaim al-Mahdi) :


• Imam mereka yang dike-hendaki Allah memperoleh hidayah dari-Nya.
• Imam mereka yang memurnikan Islam sebagai agama yang lurus menatap wajah-Nya
Dzat Yang Wajib Wujud- Nya, Al Ghaib dan Allah Asma-Nya dan hanya itu saja satu-
satunya yang ditetapkan Ada dan Wujud-Nya dalam hatinurani roh dan rasanya, sehingga
benar-benar menghayati maksud menTauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya.
• Imam Mahdi adalah Imam mereka yang dengan taat dan sungguh-sungguh mengikuti
sunnah-Nya Nabi Muhammad SAW dan sunnahnya para wakil-Nya yang lurus (hingga
sampai dengan selamat bertemu Allah). Bukan yang medoti agama Allah untuk
kepentinga dirinya, golongannya, selera watak akunya nafsu yang biasa didukung oleh
ilmu yang di aku untuk gengsi dan harga diri kehormatan akunya lalu puas dan bangga
dengan itu. Tetapi Imam mereka yang bersiap diri naik ke perahu Nabi Nuh sebagaimana
yang disabdakan Nabi Muhammad SAW di bawah ini :
“Aku adalah kotanya ilmu dan kamu (Ya Ali) adalah pintunya. Berdustalah orang yang
mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu (Ali), karena kamu adalah bagian
dariku dan aku adalah bagian dari kamu, dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah
darahku, ruhmu adalah ruhku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah
penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang
menolakmu, beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang
memusuhimu : sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling
darimu. Kamu dan para Imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu (Nabi)
Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak naik) akan
tenggelam, sirna dan celaka. Kamu semua seperti bintang. Setiap kali bintang itu
tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiamat”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Al
Hakim, Adz Dzahabi).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah,
Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 8 – 9).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 79


³ D º

• Hamba yang dibentuk oleh-Nya senantiasa berada di dalam hidayah-Nya, supaya


hidayah yang diperoleh dari Tuhannya itu diberikan pula kepada hamba yang dikehendaki
oleh-Nya memperoleh hidayah-Nya; sehingga menjadi hamba yang mau dan rela terus
menerus melakukan jihadunnafsi hingga nafsunya (yang tidak lain wujud jiwa raganya)
menjadi kalah lalu rela dijadikan kendaraannya hatinurani, roh dan rasa mendekat
kepada Tuhannya sehingga sampai dengan selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-
Nya.
Inilah maksud dan tujuan hidayah-Nya Allah SWT yaitu memfungsikan jasad menjadi
patuh dan tunduk sebagai kendaraan dengan menjalankan kewajiban syareat.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret
2000, hal. 3).

• Al Qaim al-mahdi yang juga sering disebut Imam Mahdi adalah hamba Allah yang
dengan hidayah-Nya menegakkan Kebenaran Mutlak AL-Hak-Nya Allah Azza Wajalla
sehingga hak-Nya Allah SWT dan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai
Rasul-Nya kembali ditempatnya.

Allah adanya nama-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. “Innani Ana Allah”. (QS. Thaha 14)
Sesungguhnya Aku inilah (Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang ) Allah (nama-Ku).
Jadi Allah adalah sebuah nama. Sebagaimana layaknya sebuah nama, yang pasti tidak
bisa apa-apa. Yang bisa apa-apa bahkan menciptakan jagad seisinya adalah Yang Punya
nama Allah itu. Yaitu Dzat-Nya. Meski Al-Ghaib, Mutlak Wujud-Nya. Amat sangat dekat
sekali dalam rasa hati. Selalu meliputi dan senantiasa menyertai. Hingga jelas-jelas
mudah diingat-ingat dan dihayati. Dan inilah Hak Mutlak-Nya Allah SWT yang seharusnya
dengan seyakinnya dikenali dan diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang bernama
manusia yang telah diperlengkapi dengan alat untuk mengenali dan mengetahui Ada dan
Wujud-Nya bahkan hingga seyakinnya dapat bertemu dengan Diri-Nya. Dan ini pula yang
dibela oleh Al Qaim Al Mahdi supaya dapat kembali pada tempatnya.
Tempatnya (untuk mengingat-ingat dan menghayati) di dalam rasa hati. Kemudian supaya
dijadikan tujuan hidup sebagai “tempat kembali setelah jasadnya habis masa menjalani
ujian berjiwa raga dengan dunia”. Disebut tempat kembali sebab fitrah manusia, yakni
benih ginaib rahasia manusia, tempat asalnya adalah Fitrah-Nya Allah ‘Azza Wajalla,
yang selama di dunia ternyata yang pasti digelapkan oleh hawa nafsu dan pesona dunia
dengan segala kehormatannya.

Kemudian mengembalikan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.


Hakekat Nabi Muhammad adalah Nur Muhammad. Cahaya Terpuji-Nya Dzat Wajibul
Wujud, Yang Cahaya dengan Dzat-Nya selalu menyatu menjadi saru bagaikan kertas dan
putihnya. Dan inilah yang harus terus menerus dapat disaksikan (seyakinnya dapat dilihat
dengan mata hati) oleh orang-orang yang dengan lahir dan batin setia sebagai
pengikutnya.
Karena itu Nabi Muhammad yang dimakamkan hanyalah jasadnya. Sedang tugas
kerasulannya tidak pernah dihentikan oleh Allah sampai dengan hari ini dan hingga
kiamat nanti. Karena itulah, maka apabila Allah mengungkap mengadanya Rasul dalam
firman-firman-Nya bisa dipastikan menggunakan fiil mudhare’ atau fiil amr. Maksudnya
berlaku sekarang ini juga seterusnya. Sebagai wakil itu sama dengan muwakkal. Dan
Nabi Muhammad SAW sendiri juga telah dengan tegas berwasiat : “Kamu semua wajib
mengikuti sunnahku dan juga sunnahnya para penggantiku (wakilku) yang lurus (nya
hingga sampai bertemu dengan Azza Wajalla, dan yang al-mahdi (yang memperoleh

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 80


³ D º

hidayah dari Allah SWT). Gigitlah sunnahnya itu kuat-kuta dengan gigimu (karena saking
langkanya yang dijadikan mengerti akan hal ini)”.
Kemudian maksud mengembalikan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai
Rasul-Nya adalah dikembalikan selalu mengada ditengah-tengah umat yang
mempercayai sebagai pembimbing di jalan lurus-Nya Allah SWT (Shirathal Mustaqim).

Al Qaim al-Mahdi yang juga dijuluki Imam Mahdi, karena tugas dan kewajibannya, dialah
hamba yang menjadi Imam orang-orang yang dikehendaki memperoleh hidayah-Nya.
Yaitu hamba yang muttaqien, orang-orang yang sekarang dan seterusnya beriman kepada
Al Ghaib (yu’minuuna bi al-Ghaib). Satu-satu-Nya Dzat Yang Ghaib, jelas Wajib Wujud-
Nya, jelas-jelas dekat sekali dalam rasa hati dan jelas-jelas mudah diingat-ingat dan
dihayati. Apabila jihadunnafsinya menjadikannya rela bertanya kepada ahlinya (ahli
dzikir). Hamba yang dibentuk Tuhannya berhati nurani, ber-roh dan ber rasa selalu
berada di dalam dzikir. Selalu mengingat-ingat, menghayati dan merasakan Diri-Nya Illahi
Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya. Meskipun juga tetap sebagaimana
layaknya manusia yang hidup di dunia.
Kemudian “wayuqimunashshalata”. Mendirikan shalat. Tegak berdirinya shalat karena
shalatnya khusyuk. Memenuhi perintah Allah : “Wa aqimishshalata lidzikri”. Dan dirikanlah
sholat untuk mengingat-ingat AKU. Dalam sholatnya terasa ada Kalimatan Baqiyyatan.
Kalimat yang kekal, lalu dengan nikmat dan indah mengingat-ingat dan menghayati Ada
dan Wujud Diri Tuhannya dalam shalatnya. Hingga benar-benar fungsional. Fahsya’ wal
munkarnya, disingkirkan oleh Allah SWT. Hingga meskipun tidak dalam keadaan sholat
sebagaimana yang diwajibkan 5 kali dalam sehari semalam, shalat daimnya terus
berjalan. Yakni hubungannya dengan Diri-Nya Ilahi dengan cara terus menerus
mengingat-ingat Ada dan Wujud Tuhan-Nya Dzat Yang Al Ghaib itu lestari dijalani,
dimana saja, kapan saja dan sedang apa saja.

Kemudian “wamin maa razaqnaahum yunfiquun”. Menyadari sepenuh hati bahwa hasil
keringat kerja kerasnya yang mendatangkan rezeki, itu adalah milik-Nya Allah. Sama
sekali tidak akan berani ngaku. Karena itu denan sangat rela sebagiannya dibelanjakan di
jalan Allah. Dinamakan rezeki karena diperoleh dengan jalan yang halal. Meskipun
sedikit, selalu pandai mensyukuri kepada Yang Memberi. Kemudian sekarang dan
seterusnya juga beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan kepada yang sebelummu. Yaitu al-Kitab, al-Hikmah, al-Nubuwah dan juga an-
Nuur, yang tersimpan di Lauh Mahfudz-Nya sehingga karena itu tidak akan dapat
menyentuhnya kecuali hamba yang disucikan oleh-Nya.
Serta dengan akhirat yakin. Yakin dapat dirasakan sejak sekarang masih di dunia. Sebab
telah memperoleh ilmu tentang pintunya yang ada dalam rasanya. Sehingga sewaktu-
waktu mati yang pasti dijalani dan dirasakan, akan ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya ke
dalam “fii maq’adhi shidqin ‘inda malikin muqtadirin”. Kembali ke tempat yang benar (lalu
merasakan bahagia selama-lamanya) disisi-Nya Dzat Yang Menjadi Raja dan Berkuasa.
Mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah dari Tuhannya dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.
(Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim
AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal. 6, 8).

• Al Mahdi yang banyak diungkap oleh sabda Nabi Muhammad SAW adalah anak
keturunan beliau sendiri. Muncul dari arah (wilayah timur). Ia akan memenuhi bumi
dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi dengan kezliman
dan penganiayaan. Berperan mengemballikan hak Allah dan hak Nabi SAW ke tempat

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 81


³ D º

semestinya. Oleh karena itu kemunculannya diikuti dengan pelenyapan yang batal dengan
Kun FayakunNya Allah SWT.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai
Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 7)

• Imam atau pimpinan yang seyakinnya telah mendapat hidayah Allah yang dengan hidayah
Allah ia menjalani tugas dan kewajiban memberikan hidayah kepada hamba yang
dikehendaki oleh Allah dipimpin dan dibimbing di jalan lurus-Nya Allah. Yaitu jalan lurus
yang tembus pada Ada dan Wujud Diri Ilalhi yang pintu masuk menemui Diri-Nya Illahi
Dzat Al Ghaib ini ada di dalam rasa hati sehingga sewaktu-waktu mati yang pasti akan
ditemui adan dirasakan akan dapat merasakan mati selamat dengan rasa bahagia
bertemu dengan Diri Illahi Dzat Yang Maha Raja Diraja dan berkuasa atas kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat.
Pada penjelasan junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya, Imam Mahdi
oleh beliau disebut Al-Qaim Al-Mahdi adalah putra-putranya sendiri dari sulbinya
Sayidina Ali bin Abu Thalib secara gilir gumanti adalah sebagai imam dalam sebuah
rantai silsilah yang sama sekali tidak pernah terputus sampai kiyamat memberi petunjuk
mengadanya Al-HaqNya Allah SWT dan dengan Al-HaqNya mereka menjalankan
keadilan.
Disebut juga sosok Satriya Piningit atau sosok Ratu Adil (lih. Satriya Piningit, Ratu Adil).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Sosok Ratu Adil/Imam Mahdi/Satriya Piningit dan
Ajaranya, Tanjung, 4Juni 2004, hal. 2).

• Senjatanya terdiri atas Nubuwah, Al Qur’an dan Jamaah. (lih. Nubuwah, Al Qur’an dan
Jamaah Lil-Muqorrobin).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai
Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 7).

Jaman Imam Mahdi Sebelum Dimunculkan Secara Nyata Dimuka Bumi Oleh-Nya.

Ilmu yang diajarkan olehnya ada dua, yaitu ilmu dzikir dan ilmu tawasuf.
Ilmu dzikir adalah ilmu yang menjadikan setiap hamba yang dikehendaki akan dapat
mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Ilahi Yang Al-Ghaib dan amat sangat dekat sekali.
Yang menjadi tempat asal usul hakekat manusianya sendiri. Kemudian supaya selalu
diingat-ingat dan dihayati. Itulah ilmu Nubuwwah yang mengalirkan Nur Muhammad (Isi-
Nya Huw) ke dalam setiap dada. Hamba yang dihadirkan kepada Diri-Nya dengan rahmat-
Nya. Disebut juga dengan ilmu Syathariyah sebab itulah satu-satunya pintu mati untuk dapat
dengan selamat bertemu dengan Diri Ilahi. Yang hanya diperoleh dengan ijin Wasithah
karena oleh Allah hamba demikian sama artinya telah diboyong oleh-Nya dari alam nasut
ke alam malakut. Atau dari dzulumat kepada nuur. Karena itulah sesungguhnya, Hamba
yang dihadirkan dengan cara bai’at ketika menerima ilmu di hadapan Guru yang hak dan
sah itu. Sesungguhnya dimasukkan oleh-Nya ke dalam alam lahut yang ngejawantah.
Karena itu apabila tidak dengan hati yang tulus dengan tekad pasrah pejah gesang.
Dikhawatirkan akan menjadi hamba yang tidak kuat derajat didekatkan.

Karena itupula ilmu kedua yang diajarkan, adalah ilmu tasawuf yang membersihkan,
membeningkan, memurnikan dan mensucikan, terhadap mapannya semua unsur kejadian
manusia pada kewajibannya. Yaitu jasad, hati nurani, roh dan rasa. Pada kewajiban
syareat, tharekat, hakekat dan ma’rifatnya. Yang kesemuanya itu terlaksana karena
tumemennya (bersungguh-sungguh) terhadap bimbingan Guru yang hak dan sah mengajari
ilmu Nubuwwah itu.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 82


³ D º

Jadi ilmu tasawuf adalah ilmu yang diajarkan supaya hamba yang telah mendapat ijin
memperoleh dzikir Huw yang hak dan sah itu, secara benar dapat dimengerti, memahami
dan melaksanakan terhadap semua Dawuhnya Guru dan Pituturnya Guru (terhadap semua
perintahnya dan petunjuk-petunjuknya).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Kitab Mamlukat, dalam Maj’uah Risalah 2002, Tanjung
Anom, 17 Mei 2000, hal. 20 – 21).

Jaman Imam Mahdi

Suatu jaman dimana Allah menetapkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan rela memenuhi
petunjuk dan perintah al-mahdi yang tidak lain (al-Mahdi ini) pelanjut tugas dan fungsi
rasul-Nya juga. Sehingga umat pada saat demikian ini selalu berada bersama-sama rasul-
Nya. Sebab keberadaannya menurut firmanNya juga sebagai saksi.
“Wayakuunurrasuulu ‘alaikum syahida” (QS. Al baqarah 143). Artinya : “Dan keberadaan
Rasul yang berada ditengah-tengahmu semua agar menjadi saksi (atas perbuatan) kamu
semua”.
“Wafii haadza liyakuuna ar-Rasuulu syahiidan ‘alaikum”. (QS. Al Hajj 78). Artinya : “Dan
dalam hal yang demikian ini (yakni yang berjihadnya umat yang dengan jihad yang sebenar-
benarnya), dan telah dipilih Allah sendiri (umat yang demikian ini, karena itu Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk umat seperti ini dalam agama suatu kesempitan), keberadaan Rasul-
Nya yang selalu berada ditengah-tengahmu semua ini supaya menjadi saksi atas dirimu
semua”.

Jaman Iman Mahdi adalah sebuah jaman dimana umat sama sekali tidak berani berselisih
dengan ayat-ayat-Nya Allah. Yang semua ayat-ayatNya Allah ini pada dasarnya mengarah
pada satu titik kebenaran tentang Al Haq-Nya yang Mutlak dan Wajib Wujud-Nya. Sedang
tentang Al Haq-Nya yakni keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib ini tidak mungkin dapat
diketahui apabila tidak lewat rasul-Nya (QS. Takwir 24, Al Imron 179, dan banyak lagi).

Karena itu umat pada jaman ini benar-benar yakin terhadap benarnya keterangan Allah
sebagaimana diungkap dalam, QS Ali Imran 101 dan Al Hujurat 7. “Wafiikum rasuuluhu”
(dan Rasul-Nya pun selalu berada ditengah-tengahmu semua), dan “wa’lamu anna fiikum
rasuulallaahi” ( dan ketahuilah olehmu semua bahwa Rasulullah itu selalu berada di tengah-
tengahmu semua).

Berselisih saja tidak berani apalagi sampai mendustakan. “Walladziina kadzdzabuu


biayyatina sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun”. Artinya :”Dan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami, nanti pasti Kami tarik mereka dengan berangsur-angsur (ke
arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui”. (QS. Al A’raf 182).

“Inkullu illa kadzdzaba ar-rasula fahaqqa ‘iqaab” (QS. Shad 14). Artinya : “Mereka semua
itu tidak lain adalah mendustakan rasul-rasul, maka pastilah (bagi mereka) azab-ku”.
Dan supaya tidak berselisih dengan Kalamullah dimana Tuhan sendiri telah bersumpah,
sebagai sumpah yang sangat besar terhadap Kalam-Nya sebagai bacaan yang sangat
mulia, pada kitab yang terpelihara (di Lauh Mahfudz-Nya), tidak menyentuhnya kecuali
hamba-hamba yang disucikan oleh-Nya (QS. Al Waqia’ah 76-79). Maka supaya tidak
berselisih seharusnya mengikut hamba yang disucikan oleh-Nya. Yaitulah al-Mahdi al-
Mahdi yang dikehendaki oleh-Nya sebagai pelanjut (wakil-Nya) Nabi Muhammad SAW
yang secara hak dan sah ditugasi melanjutkan tugas dan funsi kerasulannya.
Sebab apabila tidak, sama dengan menganggap remeh saja Al Qur’an ini. Buktinya
sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Waqi’ah 82, Al Qur’an yang Kalam-Nya ini kamu

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 83


³ D º

jadian alat pencari rezeki dengan mendustakan benarnya keberadaan Al-Haq-Nya Yang
Mutlak Wujud-Nya yang hanya bisa diketahui lewat Rasul-Nya.

Hamba Allah yang dikehendaki diberi hidayah, pasti akan lapang dada dalam memasuki
Islam sebagai pengamalan realitas nyata Al Haq-Nya. Bukan realitas nyatanya nafsu dan
watak akunya manusia yang isi hatinya condong kepada kesesatan sehingga mengikuti ayat-
ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Lain dengan yang
dikehendaki Allah mendalam ilmunya (orang-orang rabbani) yang mengimani ayat-ayat
mutasyabihat, bahwa ini semua dari sisi Allah (kandungan makna QS Al Imran 7), yang
hanya bisa dijadikan pelajaran nagi ulul-albab (dengan ijin-Nya memperoleh ilmu
mengenal dan mengetahui tentang keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dan dekat sekali
lalu hanya ini Satu-Satu-Nya Dzat Yang ditetapkan dalam hati dan senantiasa diingat-ingat
dan dihayati).

Maka hamba sebagaimana di atas akan dengan lapang menangkap maksud firman Allah
sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. Al imran 81 di bawah ini:
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi. Sungguh apa
saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu
seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-
sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman (maksudnya meminta ikrar
semua Nabi-Nabi-Nya) : “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap
yang demikian itu?” Mereka mejawab :”kami mengakui”. Allah berfirman : ”Kalau begitu
saksikanlah (hari para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Ali Imran
81.

Para Nabi yang dikumpulkan Allah di atas termasuk di dalamnya juga Nabi Muhammad
SAW sebagai “khatamunnabi”. Dan Rasul yang dimaksud dalam ayat di atas adalah
keberadaan adanya penerusan tugas dan fungsi kerasulannya Nabi Muhammad SAW yang
sisilahnya tidak pernah putus hingga kini sampai dengan kiyamat nanti, yang oleh Allah
disebut Rasul juga. Sebab wakil itu kedudukannya sama dengan muwakkil. Begitulah sikap
para Nabi yang oleh Allah memang dijaga dan dipelihara kebersihan dan kesucian
hatinuraninya, roh dan rasanya.

Sebagaiman kisah nabi Musa yang Kalamullah. Ulul Azmi. Pembebas bangsa yang tertindas
dari keganasan Fir’aun. Satu-satunya Nabiyullah yang tingkat pendidikannya hingga di
perguruan tinggi (‘Ainun Syam di Mesir yang bahkan satu kelas dengan fir’aun). Suatu ketika
karena keberhasilan-keberhasilannya terbersitlah dalam rasa hatinya ras bangga atas
dirinya. Maka segera saja Allah memperingatkan bahwa ada hamba-Nya yang tingkat
mukasyafahnya di atas beliau. “Wafauqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim” (QS. Yusuf 76). Artinya :
“Dan di atas tiap orang yang berilmu itu ada lagi yang lebih tinggi ilmunya”.
Maka Nabi Musa Kalamullah yang Ulul Azmi pada ukuran derajadnya di sisi Tuannya,
ketika diperintah berangkat mencari hingga menemukan orang tersebut, beliau berangkat
dan bersumpah meski harus berapa tahun lamanyya sebelum menemukan, tidak akan
kembali pulang.

Ternyata setelah dapat menemukan, belaiu tidak lulus. Namun karena memang dijaga dan
dipelihara oleh Tuhannya, sama sekali Nabi Musa tidak kecewa dan sama sekali juga tidak
berputus asa dan bersedih hati. Sebagai hamba Allah yang terpelihara oleh-Nya, justru
makin menyadari betapa sebenarnya bahwa hamba ini adalah makhluk yang apes dan hina
dina. Tidak bisa apa-apa. Tidak tahu apa-apa. Kalaulah tidak ditarik oleh fadhal dan
rahmat-Nya, tidak hanya hina dan nista bahkan bisa menjadi sesat ketika mati yang pasti
ditemui dan hanya sekali saja merasakannya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 84


³ D º

(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan


Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 38 – 39).

Perikehidupan Umat/Masyarakat Yang Dipimpin oleh Imam Mahdi

Perikehidupan umat/masyarakat yang dipimpin oleh Imam Mahdi yang dijelaskan


bertepatan dengan memperingati peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya Junjungan Nabi Muhammad
SAW dengan tema “Mempersiapkan Umat Yang Sejalan dengan Kehendak Allah SWT.,
semua itu semata-mata terbentuk dan terjadi atas ijin-Nya Allah SWT, Ridha-Nya dan
Magrifah-Nya yang menarik dengan fadhal dan rahmat-Nya sehingga masing-masing
pribadi dalam keluarga besar umat/ masyarakat itu secara benar menyadari sebagai hamba
Allah yang niat hidupnya untuk boyong kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kentalnya niat yang mbalung sumsum atau mendarah daging seperati ini, karena secara
benar meyakini sepenuhnya maksud yang dijelaskan oleh Junjungan nabi Muhammad SAW
dalam sebuah haditsnya bahwa “Innamal a’malu binniyat wa innama likullimri’in maa nawa.
Faman kanat hijratuhu ilallahi wa rusulihi fahijratuhu ilallahi wa rasulihi. Waman kaanat
hijratuhu ila addunya yusibuha awimraoatin yankihuha fahijratuhu ilaa maa hajara ilahi”.

Arti dan maksudnya bahwa sesungguhnya amal perbuatan itu diterima oleh Allah harus
dengan niat. Sebab segala hal, buah dan manfaatnya sangat terganatung pada niatnya.
Kalaulah niat hidupnya itu demi untuk hijrah (boyong) kepada Allah dan Rasul-Nya
(memboyong batinnya kepada dawuh Guru Wasithah), sama artinya dia telah memboyong
hidup dan kehidupannya dalam Celupan Allah dan syafaat Rasul-Nya (beberan, sawab dan
berkah pangestunya Guru Wasithah). Dan barang siapa yang memboyong hidup dan
kehidupannya untuk memperoleh dunia yang dikira membahagiakannya serta untuk
memperoleh wanita yang hendak dikawinnya, maka dia kan hanya memperoleh itu.

Rela Mengikuti Jejak Para Malaikat-Nya Allah

Sebagaimana yang digambarkan dengan jelas dan gamblang oleh Allah betapa hidup
dan kehidupan hamba-Nya yang kebetulan adalah Kekasih-Nya, Nabi-Nya dan Rasul-
Nya, yakni junjungan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang niat
hidupnya demi untuk boyong kepada Allah dan Rasul-Nya, rela sepenuh hati mengikut
petunjuk Malaikat-Nya Allah yang oleh Allah di utus untuk membimbingnya dalam
perjalanan suci kang kahesti, luhur kang ginayuh dan sempurna yang diperolehnya. Yaitu
bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Sempurna, berdialog, dan menerima perintah
untuk melaksanakan kewajiban shalat.

“Allahu yashthafii minal malaaikati rusulan waminannasi. Innallalaha samii’un bashiruirun


(QS. Al Hajj : 75). Artinya, Allah memilih utusan-utusan-Nya dari Malaikat dan dari
Manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Maka umat atau masyarakat yang sejalan dengan kehendak Allah adalah umat atau
masyarakat yang dipimpin oleh Imam Mahdi yang sepenuh hati rela mengikuti jejak para
Malaikat-Nya Allah. Yaitu rela sepenuh hati mentaati perintah Allah untuk sujud, yakni
memberlakukan diri “ka al-mayyiti baina yadi al-ghasili” kepada Wakil-Nya Allah yang
ada dibumi.
Allah adalah Nama-Nya Dzat Tuhan Yang Mutlak Wujud-Nya. Karena Diri-Nya Dzat yang
memperkenalkan diri dengan nama Allah ini Al-Ghaib, tidak akan pernah menampakan
diri di muka bumi. Sedang Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib ini diperintahkan

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 85


³ D º

oleh Allah supaya seyakinnya diimani. Artinya seyakinnya diketahui dan dikenali supaya
dengan mudah selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati sebagaimana perintah-
Nya dalam QS Al A’raf : 205, serta dijadikan tujuan hidup sebagai tempat kembali, maka
Allah lalu memilih utusanyang ditugasi mewakili Diri-Nya Yang Al Ghaib itu. Khusus
kepada para Nabi-Nya Allah memilih utusan Malaikat, sedang kepada manusia biasa
Allah memilih utusan manusia.
Kemudian kepada siapa saja yang menentang hal ini, membantahnya, tidak
mempercayainya, mendustakannya, maka merekalah yang hidup dan kehidupannya
mengikuti jejak makhluk yang berani ablas (menetang) Tuhannya yang oleh Allah dijuluki
Iblis. Iblis dengan segala wadyabalanyalah yang kemudian mengikat nafsu manusia
dibentuk memandang indahnya semua hal yang dikira benar dan dikira baik, padahal
sama sekali salah dihadapan Allah. Disinilah letak kebenaran mutlak-Nya betapa seorang
harus mempunyai seorang Guru yang secara hak dan sah ditugasi Allah meneruskan
tugas dan kewajiban Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Guru yang
hak dan sah dijaga oleh Allah dengan martabat mursyidun, merbiyun, nasihun dan
kamilun.

Peri Kehidupan Umat/masyarakat Yang Sejalan Dengan Kehendak Allah

Peri kehidupan umat/masyarakat yang sejalan dengan kehendak Allah adalah peri
kehidupan umat/masyarakat yang dengan sepenuh hati rela dipimpin oleh Imam Mahdi
yang di akhir zaman ini dibentuk sebagai hamba yang dijumenengkan (dinobatkan)
Tuhannya menjadi pelaku Ratu Adil, guna memimpin Kerajaan Tuhan yang diwujudkan di
atas permukaan bumi-Nya. Yaitu peri kehidupan umat/ masyarakat yang Gerakan
Jamaah Lil-Muqorrobin sebagai cikal bakalnya yang masing-masing warganya dengan
sungguh-sungguh memenuhi amanat Allah sebagaimana yang dimaksud dengan firman-
Nya dalam QS. Al A’raf ayat 205. “Wadzjur Rabbaka fii nafsika tadharru’an wakhiifatan
waduunal jahri mina al qauli bi al-ghuduwwi wa al-asnal, walaa takun mina al-ghaafilin”.
Maksud dan penjelasannya : ingat-ingatlah Rabbmu, yakni isi-Nya Huw di dalam dirimu,
di dalam dadamu, yakni di dalam rasa hatimu. Sebab Rabbmu (Isi-Nya Huw) Yang Ada
dan Wujud-Nya tidak dapat dilihat dengan mata hati (tetapi dapat dengan mudah diingat-
ingat dan dihayati) karena terdinding(tertutup, terhijab) oleh wujudnya nafsu. Dan
wujudnya nafsu adalah jenggelegnya jiwa raga manusia. Tertutup pula oleh akon-akon
donya (harta dunia yang biasa di aku oleh manusia) serta jagad raya dengan segala
isinya. Karena itu apabila semua hijab itu telah dapat dinafikan (dengan pertolongan
Allah), ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya karena lakon dan pitukonnya yang tela
memadai dan memperoleh ampunan-Nya atas beberan, berkah, sawab dan pangestunya
Guru Wasithah) maka yang nampak jelas dan nyata hanya Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat
Yang Allah Nama-Nya. Hal demikian akan dibuktikan Allah dalam alam pati (fanak dzat).
Karena itu jangan sekali-kali mamang dan jangan sekali-kali ragu-ragu bahwa siapapun
yang telah mendapat ilmu dengan izinnya Guru kemudian taat sepenuh hati kepada
semua petunjuknya dan perintahnya, Allah sendiri yang akan mengangkatnya.
Dan untuk dapat diangkat oleh Allah ke tempat sempurna seperti itu maka harus
“tadharru’an wakhiifatan” yaitu merendahkan diri dan mempunyai rasa takut.
Merendahkan diri berarti mau belajar bersungguh-sungguh agar ilmu yang diterimanya
menjadi ilmu yang manfaat sehingga bersungguh-sungguh pula mempelajari dasar taubat
dan seterusnya.

Hamba yang “tadharru’an” tidak akan mau kenal dengan hati yang “mentengkreng”.
Yakni hati yang termakan pengaruh iblis. Juga tidak mau kenal dengan watak “cengkre”
yang sumbernya dari ngendel-ngendelake wicarane dewe, ngalap cukup penemune dewe,

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 86


³ D º

nggugu benere dewe. Yakni watak yang menjadi teman akrabnya syaitan (faqadta’arradha
li ahwaaisysyaithaani lahu).
”Wa khiifatan”, rasa takut. Karena itu hidupnya selalu hati-hati dan waspada. Berusaha
supaya dapat selalu pandai mengadili diri. Menegur diri, menasehati diri, memerintah diri
agar selalu rela menjalani Dawuhnya Guru.
“Waduunal jahri minal qauli”. Cara mengingat-ingat Diri-Nya Dzat Tuhan Yang Allah
Nama-Nya, tidak mengucap dengan kata akan tetapi di batin. Agar batin yang menjadi
jagad manusia yang ada di dalam dadanya hanya Diri-Nya Rabb yang berkuasa. Yang
merajai batinya sebagai tempat berlindung dan bergantung serta berpasrah diri. Sebab
batin dimana bukan Diri-Nya Illahi yang menguasai maka dengan sendirinya akan
dikuasai oleh bisikan-bisikan kejahatan dari bangsa jin dan bangsa manusia.
Membatin Rabb (mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw) dengan sebaik-baiknya
dijalani sepanjang pagi dan petang. Artinya sepanjang siang dan malam supaya tidak
termasuk golongan orang-orang yang lalai yang akan pasti disesatkan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Perikehidupan Umat/masyarakat Yang Dipimpin
Oleh Imam Mahdi, , Tanjung, 4 September 2004, hal.1 – 4).

Iman – Beriman : (lih. Ma’rifatun wa tashdiqun)

”Inna anzalnaahu fi lalilaatul al-qadr” :


Sesungguhnya Kami telah menurunkan-nya di malam al-qadr-Nya. Yang telah diturunkan Allah
itu adalah Nur Muhammad. Bertemunya fitrah manusia dengan asal kejadiannya yang suci yaitu
Fitrah-Nya Allah SWT di dalam rasa. Yakni ketika seseorang baiat Ilmu Syaththaiyah yang juga
disebut Ilmu Nubuwah kepada Wasithah. Dimaksud pada waktu malam adalah di waktu seluruh
penduduk bumi digelapkan oleh mimpi gelapnya. Penduduk bumi hidupnya habis dijajah dan
diperintah nafsu dan watak akunya. Dibalik itu adal hamba yang dikehendaki dengan hidayh-
Nya dituntun untuk memperoleh Ilmu Nubuwah lalu ditetapkan mulia di sisi-Nya (dijadikan
kekasih-Nya), apabila hamba itu kemudian dipahamkan bahwa lailatul al-qadr yang lebih baik
meskipun dibandingkan seribu bulan, mengerti terhadap maksud Allah menurunkan para
Malaikat-Nya dan ar-ruuh.

Diturunkan para Malaikat-Nya Allah( yang markas besarnya di dalam hati nurani) berarti siap
berniat untuk memfungsikan hatinurani. Yaitu menyiapkan diri menjadikan seluruh hidup dan
kehidupannya diniatkan untuk berjalan menuju Tuhan sehingga sampai dengan selamat dan
dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya. Dan caranya harus ngikut jejak para Malaikat-Nya
Allah. Yakni sujud, menghormati dan belajar ka al-mayyiti di hadapan Wasithah yang berhak
dan sah mensucikannya. Dan rohnya diajari, dilatih dan dididik untuk berada dalam maqam
hakekat.
Tetapi juga harus ingat dan waspada bahwa Allah di samping menurunkan Malaikat al-
muqorrobin juga ada Malaikat Harut dan Marut. Adalah mereka yang telah mendapat izin
memperoleh Ilmu Syaththariyah secara hak dan sah dari berhak menunjuki, mengerti dan bisa
bagaimana menjalaninya, akan tetapi dengan sangat tidak pernah disadari merasa bahwa
dirinyalah yang paling bisa dan paling mengerti. Nangsang pada watak akunya lalu menjadi
racun yang menyesatkan. Bahkan menyebarkan ilmu sihir yang mempesona, sehingga banyak
yang terpengaruh mengikutinya. Menjadi sesat dan menyesatkan.

Itulah sebabnya mengapa pada firman QS. Al Maidah ayat 35 Allah mengingatkan dengan
petunjuk-Nya, ditujukan kepada orang-orang yang telah beriman (yang berimannya telah
ma’rifatun wa tashdiqun), diperintah supaya bertaqwa. Yaitu supaya bersungguh-sungguh
beribadah kepada Allah dengan benar (itba’ kepada Wasithah) dan ikhlas. Masih diperintah
supaya dapat selamat sampai kepada-Nya, bersandar pada Wasithah dan masih diperintah lagi

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 87


³ D º

untuk selalu memerangi nafsu agar selalu patuh berada di jalan Allah, yakni Shirathal Mustaqim
yang dhahiruhu syareat dan batinya mapan di hakekat (Dawuh Guru), supaya kamu semua
beruntung………
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Warga Syathariyah yang Dihimpun Dalam Organisasi
Dawuh Guru : Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin, oleh Allah Dijadikan BALA SIRULLAH pabial
dengan sungguh-sungguh Siap Mengamalkan Lailatul Al Qadr, Pondok Sufi, Tanjung, 1
Nopember 2005, hal. 1 – 2).

”Innahu Kaana Zaluman Jahula”


“Wala uqsimu binnafsi al-lawwaamati”. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
dirinya sendiri. Adalah Firman Allah QS. Al Qiyamah ayat 2 yang menjelaskan bahwa bagi yang
matinya selamat saja masih sangat menyesali atas kesemberonoannya, kurangnya lakon dan
pitukonnya, kurangnya kesungguhannya; apalagi bagi yang sesat. Menyesalnya saja sungguh
amat sangat mengerikan sekali, belum lagi siksa yang sama sekali tidak ada keringanannya di
tempat sesat selama-lamanya.

Penyebab utamanya karena : “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampui


batas, karena dia memandang dirinya serba cukup. (QS. Al-‘Alaq : 6 – 7). Hingga karena itu
sama sekali tidak sadar dan sama sekali tidak insaf bahwa kesediaannya memikul amanat Allah
yang ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semua menolak karena
khawatir akan mengkhianatinya. Dan manusia yang bersedia memikul amanah itu oleh Allah
tidak dipuji bahkan divonis “innahu kaana zaluman jahula”. (QS. Al Ahzab : 72).

Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim dan bodoh. Sangat zalim karena dalam
menjalani hidup dan kehidupan dunia hanya habis untuk menzalimi dirinya sendiri. Menganiaya
dirinya sendiri. Hidupnya hanya untuk mencintai dunia dan meninggalkan akherat. (QS. Al
Qiyamah : 20 – 21).
Sehingga sewaktu-waktu mati yang hanya sekali dirasakan. Wajah-wajah mereka bermuram
durja, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. (QS.
Al Qiyamah : 24-25).

Menzalimi dirinya sendiri karena hidupnya hanya untuk mencintai dunia. Dan hakekat dunia
adalah nafsunya manusia. Dan nafsunya manusia adalah wujud jiwaraganya yang dicipta oleh
Allah dari setetes mani akan tetapi ternyata hanya menjadi penentang yang terang-terangan,
sama sekali tidak pernah memperoleh perhatian. (QS. Yasin : 77).

Hidupnya lalu seia sekata dengan iblis. Menentang habis-habisan terhadap ketetapan Allah
membuat wakil di bumi yang diutus mewakili Diri-Nya supaya menunjukkan dengan methode
tunjuk Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghayb Yang dekat sekali di dalam rasa hati
supaya dengan mudah diingat-ingat dan dihayati serta dijadikan tujuan tempat kembali.
Ditentang dengan kesombongan yang sangat dan permusuhan yang sengit. (QS. Shaad : 2).
Dan berkata : “Kamu tidak lain hanyalah orang yang membuat kepalsuan belaka”. (QS. Ar. Rum
: 58).

Demikian itulah Allah mengunci mata hati orang-orang yang tidak mengetahui (mengadanya
ilmu yang seyakinnya dapat mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi Dzat
Yang Al Ghayb, dekat sekali di dalam rasa hati serta meliputi dan menyertai hamba-hamba-
Nya). Adalah maksud firman Allah dalam QS. Ar Rum ayat 59.

Orang-orang yang hidupnya hanya habis untuk menzalimi diri justru menyangka bahwa dirinya
telah berbuat yang sebaik-baiknya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 88


³ D º

Hidupnya hendak membuat maksiat (perbuatan yang sama sekali tidak sejalan dengan
kehendak Allah) terus menerus. (QS. Al Qiyamah : 5).

Sangat bodoh. Di vonis Allah sungguh sangat bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak pernah
disadari. Akibat watak manusia yang melampui batas dan memandang dirinya serba cukup.
Sama sekali tidak disadari bahwa hal demikian sama saja dengan menyuburmakmurkan watak
iblis di dalam dirinya. Sungguh sangat bodoh.

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isinya jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakannya untuk mengerti (bahwa di dalam rasa hatinya
itu ada fitrah jatidirinya yang dicipta oleh Allah dari Fitrah-Nya), dan mereka mempunyai mata
tetapi tidak digunakannya untuk memperhatikan (bahwa apa saja yang bisa dilihat oleh mata
kepala itu berasal dari Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghayb Yang Mutlak wujud-Nya), dan
mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan seruan Allah dan
rasul-Nya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-
orang yang lalai. (QS. Al A’raf : 179).

“Fainnaha laa ta’ma al abshaaru walaakin ta’ma qulubu allati fi ashshuduuri”. (QS. Al Hajj : 46).
“Maka sesungguhnya bukanlah mata kepalanya yang buta akan tetapi yang buta adalah mata
hatinya yang ada di dalam dada”.
“Waman kaana fi hadzihi a’ma fahuwa fi al-akhirati a’ma wa adhallu sabiila”. “Dan barang
siapa yang di dunia ini buta (mata hatinya) maka di akherat ia juga buta dan lebih sesat
jalannya”. (QS. Al Isra’ : 72).

Manusia yang divonis Allah sangat bodoh (yang ternyata tidak pernah disadari), bodoh karena
mata hatinya dibiarkan buta. Dibiarkan tidak mengetahui bahwa di dalam rasa hatinya itu ada
fitrah jati dirinya yang dicipta oleh Allah dari Fitrah Allah sendiri (QS. Ar Rum : 30). Di dalam
rasa hatinya tidak ada titik temunya fitrah jati dirinya atau benih ghayb sucinya dengan Fitrah-
Nya Allah Swt.
Di dalam rasa hatinya ada “lubang cahaya”. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Al Ghayb Yang
Mutlak Wujud-Nya (= Nur Muhammad). Lubang cahaya itu adalah pintu satu-satunya untuk
dapat selamat pulang kembali bertemu dengan Diri-Nya Illahi. “Wa fii anfusikum afalaa
tubshiruuna?” (QS. Adz Dzariyat : 21). “Dan di dalam dirimu (ada hal seperti itu) apakah kamu
tidak lihat?”

“Innahu kaana zaluman jahula”. “Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.
Adalah orang-orang sebagaimana yang disebutkan dalam Firman Allah : “Alladziina khasiruu
anfusahum fahum laa yu’minuuna” (QS. Al An’am : 20). Yaitu orang-orang yang merugikan
dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang tidak beriman. Tidak beriman kepada Ada dan
Wujud Diri-Nya Tuhan Yang Al Ghayb tempat asal fitrah jati diri manusia diciptakan oleh Allah
yang ada di dalam rasanya. Tidak ma’rifatun. Maka juga tidak beriman kepada mengadanya
wakil-Nya Allah yang ada di bumi yang diutus oleh Allah supaya menunjukkan dengan metode
tunjuk Ada dan Wujud Diri-Nya Yang Al Ghayb supaya dapat dengan mudah selalu diingat-
ingat dan dihayati dalam rasa hati dan dijadikan tujuan tempat kembali. Tidak watashdiqun.
Bahkan dengan sombongnya menentang dan mendustakan dengan permusuhan yang sengit.

Mereka itulah orang-orang yang oleh Allah ditetapkan kufur. Ketika masih berada di dunia
hanya menduga-duga saja Ada dan Wujud-Nya Al Ghayb dari tempat yang jauh. (QS. As Saba’
: 53). Maka mata hati yang ada di dalam rasanya, buta. Ditutup oleh gelapnya nafsu dan watak
akunya. Saat mati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja dirasakan sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalamQS. Saba’ ayat 51 :

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 89


³ D º

“Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang yang mengingkari
Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Tuhan Yang Al Ghayb itu) terperanjat ketakutan (saat matinya);
maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (oleh
wadya balanya iblis di bawa ke tempat sesat mereka selama-lamanya)”.

Kemudian di ayat 54-nya di QS. Saba’ ini Allah sama sekali tidak memenuhi keinginan mereka.
Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (ingin dikembalikan ke dunia
untuk meluruskan kekeliruannya) sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang
serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (ketika masih berada
di dunia) dalam keraguan yang mendalam
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengapa Kebanyakan Manusia Matinya Sesat dan Hanya
Sedikit Yang Selamat? Pondok Sufi, Tanjung, akhir Desember 2006, hal. 1 – 4).

Vonis Zaluuman Jahuula itu diantaranya adalah memotong-motong agama Tauhid ini berdasar
kepentingan mereka.
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku
adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.
Kemudian mereka memotong-motong (agama Tauhid ini berdasar pada) urusan/kepentinan
mereka masing-masing (lalu)di antara mereka menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing ).
Maka biarkanlah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa),
Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka
tidak sadar? (QS. Al Mukminun ayat 51 – 56).
Karena memang tidak sadar, maka jalan sesat yang ditempuhnya dikiranya itu adalah sarana
untuk memperoleh hidayah dari Tuhannya.

Itulah akibat dari mendustakan keberadaan Rasul-Nya Allah yang sebenarnya tidak pernah
terputus meski Nabi Muhammad SAW telah wafat. Dan karena perbuatannya yang tidak
disadari bahwa itu menyesatkan, maka sikap pendustaan itu telah dianggap benar. Bahkan
yang beranggapan bahwa rasul-Nya Allah itu masih terus berlanjut hingga kini sampai
kiyamat nanti, maka inilah yang justru harus disingkirkan dan harus dengan ramai-ramai
dihabisi.

Karena demikian halnya keadaan manusia penghuni dunia, belum lagi yang menganggap
bahwa nilai hidup itu terletak pada uang dan kondisi ekonomi yang menentukan
kebahagiaan, akhirnya Tuhan sendiri menetapkan batas kesabarannya dengan azab dan
bendu yang mengerikan dan membinasakan. Kecuali bagi hamba yang dijadikan oleh-Nya
menjadi bibit yang mencahayakan Diri-Nya di permukaan bumi milik-Nya ini karena kokohnya
keyakinan bahwa ditengah-tengah kalangan mereka sendiri dan dari antara mereka sendiri
ada Rasul-Nya atau wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya yang lalu
menyaksikan terhadap semua perbuatan yang mereka kerjakan demi membuktikan cita-cita
mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga selamat dan bahagia bertemu lagi dengan Diri-
Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 61).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 90


³ D º

Insan Kamil : (lih. juga Martabat Tujuh)

Kesadaran Insan Kamil


Hamba yang dikehendaki memiliki kesadaran insan kamil; selalu memiliki kesadaran tinggi
bahwa dirinya adalah hamba biasa yang apes, nista, hina dina dan tidak bisa apa-apa.
Menyadari bahwa tanpa pertolongan dan ampunan dari-Nya, tidak hanya apes nista dan
hina, bahkan akan tersesat jalan jika tidak bisa kembali menemui-Nya lagi. Karena itu ia
percaya sepenuhnya adanya wakil-Nya Allah di bumi yang itu adalah Al Haadi sebagai Al
Wasilata yang menunjukinya untuk dapat kembali menyaksikan Keberadaan Ada dan Wujud-
Nya Dzat Yang Al Ghaib itu seperti ketika menjelang dikirim ke dunia yang masing-masing diri
menjawab : “Qalu balaa syahidna”. (QS. Al A’raf :172).

Firman Allah dalam QS. Al Ahzab 15 : “Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji
kepada Allah dahulu : “Mereka tidak akan berbalik kebelakang (mbalela)””. Dan adalah
perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabnya.

Janji memikul amanahnya (QS. AL Ahzab 72) yang ketika masing-masing diri siap menerima
justru sama sekali tidaklah dipuji, tetapi malah mendapatkan vonis dari Allah dengan sebutan
“innahu kaana zaluman jahula”.

Kesadaran sebagai insan kamil yang kesadaran tingginya menyebabkan ia menggerakkan


niatan dalam hatinya untuk selalu berjihadunnafsi lalu patuh dan tunduk kepada yang berhak
dan sah sebagai wakil-Nya Allah di bumi supaya menunjuki dengan ilmu dan jalan mengenali
Jati Diri-Nya yang dapat selamat dan bahagia berjumpa dengan-Nya, mengikuti anjuran-Nya
sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Ahzab 24 :
“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya
dan menyiksa orang yang munafik, jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan
Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib
WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 6 – 7).

“Inti Manusia” : (lih. juga Benih Fitrahnya Manusia)


............... di dalam rasa (yang tempatnya ada di dalam roh manusia yang paling dalam, dan
Roh tempatnya di dalam qalbun nuraniyun), di dalam rasa yang sebegitu dalam tempatnya ada
“inti manusia”. “Inti manusia” yang asal mula tempatnya dari Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang
Wajib Wujud-Nya. Sehingga antara “Inti Manusia” dengan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan
Allah Asma-Nya sama sekali tidak ada jarak dan juga tidak ada batasnya. Bahkan bagaikan
kertas dan putihnya. Bagaikan sifat dan mausuf. Meski dihancurkan sehancur-hancurnya tetap
menyatu dan menjadi satu. Maka “inti manusia” inilah yang ketika diminta kesaksian oleh Allah
di alam fitrahnya semuanya saja menjawab sama, yakni :
“Benar wahai Tuhan, kami semua menjadi saksi” (mengetahui dengan jelas, yakin dan nyata
dengan penglihatan intinya manusia terhadap Ada dan Wujud-Nya Tuhan). (QS. Al A’raf : 172).
Tuhan meminta kesaksian tersebut maksudnya pada nanti di hari kiyamat (yakni di mana
seseorang merasakan mati sebagai pintu kembali kepada Diri-Nya) setelah melewati masa ujian
dan cobaan kehidupan dunia tidak lalu menjadi hamba yang lengah terhadap bagaimana
seharusnya dapat menyaksikan lagi keberadaan satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Lampiran, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 91


³ D º

“In Washalta Bil Akli Dhalta” :


“Jika kamu berkehendak bertemu Tuhan dengan ngendelake akalmu, itu sesat”. Kecenderungan
akal adalah pada nggugu benere dewe. Ngendel-ngendelake wicarane dewe, Ngalap cukup
penemune dewe. Padahal, sama sekali tidak sejalan dengan dawuh Guru. Maka sama saja
dengan “faqad ta’arradha liahwaisysyaithani lahu”. Sama saja dengan menawar-nawarkan
dirinya supaya disesatkan oleh syaitan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang
Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan
Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 6 – 7).

“In Washalta Bil-hawa Dhalta” :


“Jika kamu berkehendak bertemu Tuhan dengan ngendelake nafsumu, watak akumu, itu batal”.
Keinginan nafsu dan watak akunya adalah bagaimana supaya perjuangannya,
pengorbanannya, pengabdiannya itu dihargai dan dihormati. Dapat memperoleh penghargaan
dan penghormatan. Status sosial, gengsi, derajat dan martabat diantara manusia. Berkharisma.
Bila hal demikian masih tersisa dalam rasa jiwanya, yaitu sama dengan dirumangsani, sama
dengan “sammun qoothilun”. Sama saja dengan racun yang membunuh. Sesatlah kamu.

Sejarah telah mencatat. Berapa saja sahabat Nabi Muhammad SAW yang telah pernah beliau
sebut sebagai ahli surga (guna mbombong semangat supaya tidak nglokro), namun ternyata
karena rumangsani, bahkan di aku, sewafatnya Nabi Muhammad SAW justru dengan sengit
memusuhi penerusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Memusuhi dan bahkan
membentuk jaringan menghancurkan Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Demikian pula pada jaman
Guru-Guru sebelum kami. Berapa banyak saja tokoh yang pernah diandalkan oleh Almarhum
ternyata tidak lulus. Tidak kuat derajat. Lalu dimurkai (oleh Allah) dan disesatkan.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang
Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan
Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 8 – 9).

“In Washalta Bila Anta Qabalaka watawalaka biluthfihi” :


“Jika kamu berkehendak bertemu Tuhan tidak dengan kamu (ora kelawan kowe) yaitulah yang
diterima dengan penuh belas kasih dari Tuhanmu”.”
Maksud tidak dengan kamu (ora kelawan kowe) adalah mereka yang mendekatkan diri kepada
Allah SWT hingga selamat bertemu dengan-Nya dengan sama sekali tidak diaku. Tidak
dirumangsani. Karena hatinya selalu bersandar (semende) pada Guru yang otomatis
mencahaya dengan Dzikir (dengan Isi-Nya Huw).

Tandange panggah. Bahkan aktif dan dinamis tetapi dalam rasa hatinya tidak merasa bahwa
dirinya sedang berkorban dan berbakti. Sebab dalam rasa hatinya yang ada hanyalah Dawuh-
Nya Guru. Dan inti Dawuh Guru adalah membuktikan hingga nyata terhadap Isi-Nya Huw.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang
Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan
Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal.9 – 10).

Islam Agama Tauhid :


Dan Islam yang agama Tauhid, maksudnya mengandung makna bahwa supaya selamat dalam
ujian dan fitnah dunia serta ujian dan fitnah watak hawa nafsu dan sahwatnya yang selalu
berkeinginan mencukupi kebutuhan selera dan keinginannya, maka emosi watak akunya
manusia harus terkendali di dalam genggaman rasa hati yang mentauhidkan Dzat Sifat dan
Af’al-Nya. Sehingga sentuhan Keberadaan Cahaya-Nya Yang Ada serta Ujud-Nya Yang Ghaib
ini, menyentuh langsung di dalam hati nurani nurani, roh dan rasa. Sebab sebenarnyalah bahwa

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 92


³ D º

“rasa inti” manusia bersumber dari “rahasia Jati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib ini”. Maka
kenalilah Dia dengan sebenar-benarnya mengenal Jati Diri-Nya. Sebab, manakala tidak,
perbuatan mensekutukan Dia dengan watak akunya sendiri di setiap perbuatan serta tingkah
laku lahir batinnya, akan selalu menyertainya. Padahal perbuatan syirik ini adalah satu-satunya
dosa yang takkan di ampun sama sekali oleh-Nya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib
Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 130)

Ismu Dzat : (lih. Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah)

Isra dan Mi’raj:


Isra dan Mi’raj nabi Muhammad SAW yang hamba dan Rasul-Nya adalah peristiwa yang Tuhan
Sendiri melibatkan diri. Dia Dzat Yang Al Ghaib memang sama sekali tidak akan “ngejawantah”
di muka bumi ini, tetapi sebenarnya ngejawantah pada penglihatan “mata hati” atau rasa
batinnya Nabi Muhammad SAW dari petunjuk Malaikat Jibril yang diutus oleh-Nya supaya
“membaca” Keberadaan Dia Dzat Yang Wajib Wujud-Nya itu. Lalu mencahayakan isi dada
Nabi yang langsung menyentuh Cahaya di atas Cahaya. Karena itu maka ayat tentang Isra’ di
awali dengan “Subhaana”. Sebab tidak akan menyentuh-Nya apabila tidak disucikan oleh-Nya.

Peristiwa dijalankannya Nabi Muhammad SAW yang hamba-Nya, merupakan Fadhal-Nya Allah
Swt. yang menarik hamba-Nya dengan Daya dan Kekuatan-Nya mendekat hingga sampai
dengan yakin yang seyakin-yakinnya bahagia menemui-Nya. Proses perjalan yang tidak datang
dengan tiba-tiba. Sebab beliau telah seacara ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya membuktikan
seruan Allah : “Wajaahidu fillahi haqqa jihaadih”. Beliau telah secara habis-habisan sebagai
panutan dalam jihadnya. Dalam memerangi nafsunya sehingga nafsu beliau telah benar-benar
sujud kal-mayyiti baina yadil ghasili. Bebas dan merdeka sama sekali dari pengaruh watak
akunya, watak emosinya dan watak yang menduniakan dunia untuk selera dan kepentingannya.
Hingga kebesaran jiwa beliau, maka seperti sama sekali tidak kenal yang namanya tersinggung,
gela, kecewa, kecil hati, putus asa, ragu-ragu, wa sumelang, engko gek engko endang. Apalagi
yang namanya iri, benci, dendam. Bahkan beliau yang Nabi pilihan ini tidak pernah sama sekali
merasa dirinya suci. Sahdan, malah taubatan nashuuhanyalah yang selalu lekat pada rasa jiwa
beliu. Satu perjalanan yang harus di awali dengan keberanian membelah dada. Membelah
watak akunya sehingga sepenuhnya “deple-deple” kepada Yang Azza Wajalla, mengikut jejak
Malaikat-Nya, lalu disucikan dan diisilah dada beliau dengan sebuah bejana emas isinya iman.
Bejana sebagai gambaran wadah yang kokoh dan kuat. Emas gambaran indahnya pancaran
iman yang memcahaya menyencuh Cahaya di atas Cahaya, yang membutir dalam dalam pada
gelora rasa dan menyemangati cita-cita.

Proses perjalanan mendekat kepada-Nya atas ijin dan kehendak-Nya menyadarkan hamba
bahwa ujud dunia dan ujud jiwa raga yang biasa diaku bagaimana dapat dimewahkan ini,
sebenarnya adalah lahan ujian. Karena itu bagi yang dikehendaki memahami dengan kehendak
Tuhan, iapun akan rela mengorbankan segala-galanya demi Subhanaaka. Akal dan pikiran
serta berbagai bakat dan keahlian yang dikembangkan guna mengelola dunia ini, bagaimana
agar dapat menjadi medan yang subur aman dan sentosa untuk berbuat banyak terhadap lakon
dan pitukon mendekat kepada-Nya. Bagaikan Nabi Muhammad SAW ketika Isra’ dinaikkan di
atas buraq sebagai kendaraan. Buraq adalah lambang “nasul muthmainnah”. Nafsu yang telah
rela, patuh dan tunduk (sujud kal mayyiti baina yadil ghasili dihadapan yang berhak
memandikan (mensucikan), yaitu Wasithah, seperti halnya Nabi yang rela disucikan dadanya
oleh Malaikat Jibril yang diutus Tuhannya. Nafsu yang telah patuh dan tunduk dijadikan
tunggangannya hati nurani roh dan rasa mendekat hingga dengan selamat mencapai ma’rifat

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 93


³ D º

kepada-Nya ini, disamping cepat bagaikan kilat (ini kalau Nabi), juga tetap madep dan mantep
dalam mengarah kepada-Nya. Yakni “ngaji”. Ngarah marang siji. Meski harus menghadapi
berbagai cobaan, rintangan, hambatan, tantangan dan berbagai hal baik yang menyenangkan
maupun yang menyakitkan. Tidak kaget, tidak takut, tidak was sumelang dan kuatir, tidak
gundah gulana dan tidak mudah dimakan oleh emosinya. Tetap. Tetap satu arah yang dituju.
Yakni Dia yang selalu diingat-ingat, dihayati dan dirasakan dalam ruang hatinya.
Seperti gambaran buraq yang tetap, tidak jungkir dan tidak jongklang meski harus naik gunung
maupun turun jurang. Sebab ia sadar atas berita yang disampaikan Gurunya betapa ngeri dan
sengsaranya akibat apabila dia melanggar sumpah dan janji yang telah rela diterima saat ia
menerima ilmu tentang pengisian butiran iman dalam dadanya.

Sumpah itu antara lain : isi pernyataan kesaksiaannya terhadap kandungan dua kalimah
syahadat. Bahwa dalam segala tingkah dan perbuatannya, di mana saja dan kapan saja, dalam
suasana dan cuaca bagaimanapun dialaminya, hatinya harus selalu hanya mengingat-ingat-
Nya. Sebab selalin Al Ghaib yang diisikan sebagai benih butiran iman di hatinya, semua itu :
“laa ilaaha”. Semua nafi dan tidak ada. Termasuk watak akunya, ujud jiwaraganya, segala yang
dimilikinya, semua itu hakekatnya tidak ada. Sekali-kali jangan dituhankan. Jangan sekali-kali
lekat di hati. Agar supaya tidak menghanyutkan arah butiran imannya untuk menemui-Nya lagi
ke arah yang selain-Nya. Maka makna “illallah-lah” yang tetap dalam hati. Makna itsbat –
karena hanya “mengitsbatkan Dia dalam segala tingkat laku dan perbuatannya”. Hanya Dia
yang akan ditetapkan Ada dalam ingatan rasa hatinya.

Kemudian syahadat kedua memberikan pengertian bahwasanya untuk dapat demikian


kehidupan rasa yang dibatinnya, harus bertemu dengan Nur Muhammad yang akan mengajari
tentang ilmu yang menetapkan Dia Dzat Yang Al Ghaib dalam hatinya. Nabi Muhammad SAW
yang berupa jasad boleh wafat, sebab kulit dagingnya memang manusia biasa. Akan tetapi Nur
Muhammad-nya tidak ikut terkubur. Tidak mati, meski penerusnya ganti jasad berpuluh kali
secara gilir gumanti sejak Nabi Muhammad SAW hingga kini (yang saat sekarang ini telah
empat puluh satu kali).

Maka “Wainthutii’uuhu tahtaduu” (QS. An Nur : 54) = dan jika kamu taat kepadanya niscaya
kamu mendapat hidayah (dari-Nya), berlaku pula terhadap wakil (pengganti) Nabi Muhammad
SAW berserta sunnah yang diajarkan secara hak dan sah merealisasi perintah Allah (QS.
Lukman : 15) : “Wattabi’ sabiila man anaaba ilaiyya” = dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku.

Disumpah pula untuk selalu pandai-pandai mensyukuri terhadap nikmat yang diberikan oleh-
Nya. “Rasa kula tetep anarima sih kanugrahanipun Allah”. Sebab perlu diketahui bahwa
kesadaran didirinya dengan hati “mau” berniat memohon ilmu ini untuk mendekat hingga
sampai selamat dalam ma’rifat kepada-Nya, selamat menemui-Nya saat mati menjemputnya,
itu tidak akan terjadi apabila Dia tidak menghendaki dengan hidayah-Nya. Padahal keberadaan
hati dihidupkan Tuhan dengan niatan seperti ini, adalah puncak kenikmatan tertinggi bagi
hamba kekasih-Nya.

Disumpah pula supaya setiap diri hamba dengan niatan yang luhur seperti ini supaya selalu
menyadari sebagai hamba yang “faqir”. Menyadari bahwa dirinya adalah hamba yang tidak
punya apa-apa. Tidak bisa apa-apa. Apes, hina dan nista. Jelek sendiri meski harus
dibandingkan dengan peminta-minta di bawah kolong jembatan. Bisanya justru hanyalah
menambah dosa dan kesalahan. Kemudian sadar sepenuhnya seandainya Allah tidak
menghendaki mengampuninya; Allah tidak menghendaki menolongnya, yang terjadi mestilah :
“inni kuntu minadzdzaalimin”. Benar-benar termasuk menjadi hamba yang zalim. Aniaya dan
sesat selama-lamanya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 94


³ D º

Karena itu dalam sumpah itu haruslah senang bersama-sama sesama saudaranya dalam
ibadahnya; senang bersama-sama sesama saudaranya saling tolong menolong dalam
kemelaratannya (melarat lahir dan melarat batin) serta kemudian juga disumpah bila memang
terpaksa, senang pepisahan di dalam durhakanya.

Kemudian juga dijanji. Adapun janji pertama yakni dilaran sama sekali melakukan dosa-dosa
besar yang oran Jawa mengenalnya dengan malima. Madon (zina), membunuh orang tanpa
dosa (nenung, nyantet, memfitnah),main dan segala jugi, mencuri (termasuk ngapusi, korupsi
dan sebangsanya) serta melakukan dosa kecil yang terus-terusan. Kemudian sekiranya sadar
keterusan melanggarnya, menyadari kezaliman atas dirinya, segera memohon ampun kepada-
Nya dengan jalan menghadap Al Haadi yang membimbingnya, sebagaimana firman-Nya :
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jika mereka menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nsa’ : 64).

Janji kedua melaksanakan perintah Allah yang jadi madlul-Nya Al Qur’an : “Wa’bud Rabbaka
hatta ya’tiyakal – yaqien” = menyembah kepada Allah sehingga Dia hadir kepadamu (sampai)
yakin. Maksudnya sampai Dia menarikmu dengan fadhal-Nya mendekat hingga sampai
kepada-Nya dengan selamat (ma’rifat kepada-Nya). Sehingga matimu mati yang selamat dan
bahagia menemui-Nya. Karena itu jangan mudah putus asa, waleh, noleh (berpaling) meskipun
harus menghadapi bermacam-macam cobaan dan ujian berat di dunia. Sebab dunia memang
disiapkan Tuhan sebagai tempat ujian dan cobaan (fitnah).

Janji yang ketiga merupakan penekanan supaya dalam melaksanakan janji yang kedua di atas
benar-benar terhayati dengan yakin dan madep mantep sebab ilmu ma’rifat billah memang
dalam rangka untuk menemui-Nya. Maka janji yang ketiga itu ialah janji untuk melaksanakan
perintah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang jadi madlulnya hadis : “Muutu qabla antamuutu”
= (belajar) matilah kamu sebelum mati (yang sebenarnya). Sedang bagaimana belajar mati
sebelum mati yang sebenarnya itu menghadirimu, maka harus melaksanakan janji yang nomor
empat. Yakni melaksanakan perintah Guru Wasithah mengumpulkan syariat dan hakekat.
Syareat adalah semua perintahnya Guru yang dapat saearta harus dikerjakan oleh gerakan
anggota jasad. Yaitu shalat, zakat, puasa, mujahadah, guyub rukun, bersama-sama dalam
ibadahnya, bertolong-tolongan dalam kemeleratannya, akhlaknya baik, tingkah lakunya utama,
dan hakekat yaitu dalam melaksanakan semua kewajiban syareat, hati jangan sampai mudah
lupa dengan Al Ghaib-Nya. Yakni dzikir sirri. Dzikir Ghaibun fil-ghaibi, isinya Hu yang hanya
dibatin di dalam hati. Firman Allah dalam QS Al Fath ayat 8 – 10 : “Sesungguhnya Kami
mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu
sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya. Dan
bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka itu berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya kanugrahan yang besar”. (QS Al Fath : 8 -
10).

Pada firman Allah di QS Al Fath 8 memberikan petunjuk dengan jelas bahwa keberadaan
Rasulullah adalah sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Saksi yang
menyaksikan langsung hal-hal yang dikerjakan oleh umat yang dibimbingnya. Saksi nyata.
Bukan saksi palsu. Maka juga harus selalu berada ditengah-tengah umatnya, sebgaimana
firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 101 : “ Wa fikum Rasuuluhu” = bahwa Rasul-Nya pun
berada ditengah-tengahmu. Demikian juga dalam Firman Allah QS. Al Hujurat : 7 : “Wa’lamu

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 95


³ D º

anna fiikum Rasuulallahi” = dan ketahuilah bahwa di tengah-tengahmu itu ada Rasul-Nya
Allah”.

Kemudian pada QS Al Fath di atas di ayat 9-nya, Allah Swt tegas menggariskan sunnah-Nya
supaya keimanan umat ini menguatkan-Nya dan membesarkan-Nya. Allah yang Maha Kuat lagi
Maha Mengalahkan, lalu apanya yang dikuatkan untuk-Nya? Yang dikuatkan adalah
ketetapan-Nya. Ketetapan yang telah biasa dilecehkan oleh umat yang juga mengakunya telah
beriman kepada-Nya, sedang mereka hanya menduga-duga saja tentan Keberadaan Ada dan
Ujud-Nya Al Ghaib dari tempat yang jauh. (QS. Saba’ ayat 52 dan 53).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib
Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 78 – 83).

Lain-lain tentang Isra’ dan Mi’raj (Edt).

• Kemudian ada pula dikatakan bahwa Malaikat Jibril dalam menghantar Nabi Muhammad
SAW, ketika telah sampai di pintunya masuk menghadap langsung kehadirat Allah Swt.
karena tidak kuat derajatnya, hanya Nabi Muhammad SAW yang masuk sedang Malaikat
Jibril tinggal di luar. Ini memang benar. Sebab diterima masuk atau tidak oleh-Nya, ini
sangat tergantung kepada masing-masing pribadi. Pembimbing atau Guru memang hanya
menyertai perjalanan ini sampai ke pintu masuk itu. Tetapi perlu diketahui, bahwa siapapun
yang telah lulus dihantar sampai ketempatnya pintu masuk, menjadi suatu jaminan akan
pasti diterima kehadirannya oleh Sang Pemilik Kerajaan. Keadaan seperti itu menjadi tanda-
tanda kuat bagi seseorang yang telah dikehendaki atas hidayah-Nya menerima ilmu pintu
nya mati, yaitu tentang Al Ghaib-Nya. Kemudian dilaksanakan dan diamalkan menurut
petunjuk Al Haadi yang membimbingnya, lalu ketika ajal dirasakan siap menjemputnya,
kemudian :
- pertama : ia menyadari dalam pengakuannya terhadap Guru atau Wasithah yang hak
dan sah itu sebagai Gurunya.
- Kedua, sadar untuk memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahannya terhadap
Gurunya yang dengan sendirinya akan selalu memohonkan ampun kepada Tuhannya.
- Ketga, mohon dooa dan restu kepada Gurunya itu supaya Allah dengan hidayah-Nya
menunjuki untuk dapat dengan selamat membuktikan ilmu guna menemui-Nya,
adalah merupakan jaminan bahwa Allah SWt. akan menariknya. Menarik dengan Fadhal
dan Rahmat-Nya masuk ke dalam Kerajaan-Nya dengan selamat dan bahagia abadan
abada bertemu lagi dengan-Nya.

Kemudian : “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan”,
diulang-ulang Allah Swt. sampai sebanyak 10 kali dalam surta Al Mursalat. Yaitu ayat 15,
19, 24, 28, 34, 37, 40, 45, 47 dan 49.
Dan pendusta yang celaka besar itu ialah mereka yang mendustakan adanya “pintu
gerbang” untuk mengenali hakekat Jati Diri-Nya Yang Al Ghaib itu selamat menemui-Nya.
Pintu gerbang itu adalah Al-Haadi-Nya yang keberadaannya tidak putus ketika Nabi
Muhammad SAW telah wafat, yang silsilahnya gilir gumanti bagai rantai yang tidak pernah
putus, sejak KN Muhammad SAW hingga kini, lewat S. Ali bin Abi Thalib Ra. Persis bagai
yang disabdakan Nabi tercinta : “Ana madinatul ‘ilmi (al ikmah) wa ‘Ali babuha” = Aku ini
kotanya (dan hikmah) dan ‘Ali itu adalah pintunya”.
Ini pulalah “ rahasia” bahwa Nabi Muhammad SAW Rasulullah ini diutus untuk seluruh
alam. Alam kabir dan alam shaghir. Alam dunia dan alam akherat. Alam nyata dan alam
gaib-Nya. Alam dunia hingga kiyamat tiba dan alam kubur. Yang keseluruhan alam-alam
itu ada di dalam-Nya. Milik-Nya. Dicipta oleh-Nya. Menjadi abang atau ijo semata-mata di

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 96


³ D º

Tangan-Nya. Tangan Dia Dzat Yang Wajib Wjud-Nya. Yaitulah Al Ghaib yang ilmu untuk itu
juga dipersiapkan oleh-Nya yang pintu gerbangnya adalah Al Haadi-Nya dan kepercayaan-
Nya.

Ancaman bagi para pendusta berlaku juga bagi mereka yang melangggar sumpah dan janji
yang telah dibuatnya. Sumpah dan janji sebagaimana dalam QS Al Fath ayat 10, bahwa
mereka yang melanggar janji yang mereka terima dari Al Haadi yang hakekatnya adalah
Rasul-Nya, sama saja dengan melanggar janji dengan Allah. Padahal sekuasa-kuasa apa
saja termasuk seluruh manusia di jagad ini, masih Kuasa Dia. Pelanggar-pelanggar janji-
janji itu sebagaimana yang diperlihatkan Allah ketika Nabi Muhammad SAW dijalankan
dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebagaimana Firman-Nya: “ Dan tidaklah kami jadikan
penglihatan yang Kami perlihatkan kepadamu itu melainkan sebagai ujian bagi manusia”. (Al
Isra’ 60).

Bagi mereka yang memenuhi janji, artinya lulus menghadapi ujian dalam jihadunnafsinya
bersama Hidayah-Nya, digambarkan adanya sekelompok kaum yang menanam benih pada
suatu hari, kemudian tumbuh subur dan diketamnya pada hari itu juga. Dan setiap habis
diketam, langsung berbuah kembali, lalu diketamnya lagi. Begitulah keadaannya secara
berulang-ulang. Dan ketika ditanyakan oleh beliau kepada Malaikat Jibril, beliau
memperoleh jawaban bahwa hal itu adalah gambaran ummat beliau yang sepenuh hati rela
dan ikhlas dalam jihadnya mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi memenuhi
seruan Tuhannya membuktikan ; “Utruk nafsaka wa ANA milkun” = Tinggalkanlah
kebutuhan jiwa ragamu (sebab itu) adalah Tanggungan-Ku.
Maksudnya yang meninggalkan itu adalah tekad dan rasanya. Sedang keadaan jiwa
raganya tetap sebagaimana layaknya manusia dengan kerja kerasnya mengelola dan
membangun dunia. Tetapi tekadnya tidak sebagaimana halnya umumnya manusia. Sama
sekali tidak untuk memuktiwibawakan jiwa raganya. Juga sama sekali tidak untuk
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Apalagi untuk bersenang-senang
ngumbar hawa nafsu dan syahwatnya. Tidak sama sekali. Tekadnya demi untuk agar supaya
dapat membuktikan lakon dan pitukon memproses atas tujuan dan cita-caiata mendekat
hingga sampai dengan selamat menemui Tuhannya. Karena rasa hatinya yang dirasakan
hanyalah bagaimana dapatnya senantiasa merasakan nikmatnya mengingat-ingat-Nya.
Oleh karena itu, ia akan selalu mendidik dan melatih dirinya bagaimana supaya terlatih
“betah nglakoni jihadunnafsi” = terlatih memiliki ketahanan mental dalam melakukan jihad
(memerangi nafsunya sendiri) dengan jalan riyadah dan mujahadah. Memperbanyak dzikir,
shalawat dan istigfar pada saat manusia nikmat dengan tidurnya (habis tengah malam).
Berdiri di malam yang panjangdan berat buat nafsunya agar supaya mau diajak melakukan
shalat-shalat malam hingga menjelang saat subuh datang.
Firman Allah : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang
yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya”. (QS. Al Baqarah : 45 – 46).
Maka kanugrahan yang besar bagi yang memenuhi janji yang janji itu dilakukan oleh
dirinya dengan saksi Al Haadi ketika setelah menerima ilmu tentang Jati Diri-Nya,
hakekatnya janji yang dilakukan itu adalah langsung berjanji dengan Dia Sendiri. Itulah
sebabnya maka Allah mempertanyakan mereka yang tidak pernah melakukan hal itu
sebagaimana Firman-Nya : “Katakanlah :”Sudahkah kamu menerima janji dari Allah
sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya atau apakah kamu hanya mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”(QS. Al Baqarah : 80).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al
Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 86 – 89).

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 97


³ D º

• Yang Tidak Lulus Diuji Oleh-Nya


Kehinaan yang tiada habis-habisnya bagi yang tidak lulus diuji oleh Allah diperlihatkan
dalam perjalanan Nabi Muhammad SAW ketika di Isra’ dan di Mi’rajkan. Antara lain :

9 Ada kaum yang dipukul dengan batu hingga pecah dan tiap-tiap selesai dipecah
kemudian terkatup kembali, lalu dipecah lagi dan terkatup kembali secara berulang-
ulang dengan tiada henti-hentinya.
Setelah ditanyakan kepada Malaikat Jibril, jawabnya adalah mereka yang otaknya
merasa keberatan untuk menunaikan shalat fardhu.

9 Ada juga kaum yan hanya ada secawat kain untuk menutupi alat pengeluarannya yang
depan dan secawat kain untuk menutup alat pengeluarannya yang belakang. Mereka
berkeliaran seperti unta dan kambing yang sedang digembalakan. Yang mereka makan
adalah tananam berduri serta pahit rasanya, serta bara api neraka jahanam dan batu-
batuannya yang panas.
Ternyata itulah mereka yang tidak mengeluarkan hartanya dalam menunaikan
kewajiban zakatnya.

9 Oleh Allah beliau diperlihatkan pula adanya suatu kaum yang sedang berenang di
lautan darah lalu pada mulutnya dimasuki batu. Melihat kejadian seperti itu beliau
bertanya kepada Malaikat yang jawabnya adalah mereka yang suka dan serakah makan
riba. Seperti rentenis, pemeras dan sebagainya. Itulah gambaran makhluk Allah
(manusia) yang karena memang Allah menjadikan bumi ini mubah sehingga mereka
lalu mengerahkan segala pikiran, daya dan kekuatan yang dimilikinya untuk
mengeksploitasi bumi ini. Mereka lakukan seolah-olah mereka bermudlarabah dengan
Allah Ta’ala di mana Allah bertindak sebagai pemilik modal sedangkan mereka aktif
mengerjakannya (memutarnya). Sama sekali lupa bahwa itu semua milik-Nya. Termasuk
ujud geraknya, pikiran dan segala daya dan kekuatan yang dikerahkannya. Itu semua
Allah penggerak-Nya. Karena itu pengumpul harta dengan cara serakah dan semena-
mena itu perbuatan yang sama sekali tidak berfaedah bagi dirinya. Tidak menjadi
penyehat berupa darah yang mengaliri tubuhnya, namun justru menjadi lautan darah
yang direnanginya lalu mulutnya berisi batu.

9 Penglihatan yang diberitahukan kepada Rasulullah dalam perjalanan Isra’nya termasuk


perbuatan mereka yang suka menjatuhkan kehormatan sesamanya dengan cara
mengumpat, menjelek-jelekkan, membicarakannya dengan cara rahasia pencarian aib
dan cela sesamanya, maido, mencela dan sebagainya.
Gambarannya adalah mereka yang kuku tangannya berupa tembaga, kemudian
mereka mencakari muka mereka sendiri. Pandangan kedua berkenaan dengan watak
mereka yang seperti itu disaksikan Rasul bahwa mereka mengambil potongan-potongan
daging mereka sendiri lalu memakannya. Pandangan ketiga beliau saksikan mereka
mengambil daging-daging sesamannya yang sudah busuk lantas dimakannya.

9 Kemudian beliau saksikan juga kamu yang dimukanya tersedia daging yang masak dan
segar terletak di dalam periuk dan daging yang mentah lagi pula busuk dalam periuk
yang lain. Tetapi mereka justru memakan daging yang mentah lagi busuk dan
meninggalkan daging masak yang baik dan segar itu.
Kata Jibril : “Itulah laki-laki dari umatmu yang mempunyai istri yang halal lagi baik-baik,
tetapi masih juga mendatangi wanita tuna susila. Iapun bermalam dengan wanita itu
sampai pagi. Demikian halnya dengan wanita yang meninggalkan suaminya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 98


³ D º

9 Kemudian beliau meneruskan perjalanan hingga sampai pada sebatang kayu yang
melintang di tengah jalan. Tidak sehelai kain atau benda apapun yang melaluinya,
melainkan pasti tersobek karenanya. Maka bertanyalah beliau, “Apakah gerangan ini
wahai Jibril?” Jawab Jibril, “Ini adalah perumpaan sekelompok umatmu yang suka
duduk-duduk di jalan lalu membuat gangguan di situ”.

9 Dijumpai dalam perjalanan beliau ini seorang lelaki yang mengumpulkan seberkas kayu
dan ia sudah tidak kuat mengangkatnya, tetapi masih juga ditambahnya.
“Ini adalah seorang dari umatmu,” kata Jibril, “yang menanggung amanat dari manusia
yang mana ia sudah tidak mampu menunaikannya, tetapi masih juga menanggung-
nanggungnya”.

9 Ada pula dijumpai kamu yang digunting lidah dan bibirnya dengan gunting besi. Tiap-
tiap selesai digunting, tumbuh lagi. Begitulah dilakukan secara terus menerus.
Penjelasan Jibril, itulah tukang-tukang pidato penyebar fitnah, penyebar kebohongan
dan pendustaan.

9 Kemudian beliau perhatikan suatu lobang yang kecil kemudian dari dalamnya keluar
seekor lembu yang sangat besar. Lembu itu ingin kembali masuk ke lobang tempat ke
luar tadi, tetapi tidak bisa. “Inilah perumpaan dari umatmu yang mengucapkan
perkataan yang muluk-muluk, kemudian ia menyesal dengan apa yang telah diucapkan,
tetapi ia tidak dapat lagi menariknya”. Penjelasan Malalikat Jibril pada beliau.

9 Diperlihatkan juga pada beliau suatu kaum yang perutnya buncit-buncit sebesar rumah,
sehingga setiap hendak bergerak ia tersungkur jatuh. Ini adalah perumpamaan orang-
orang yang suka memakan harta riba. Mereka tidak bisa berdiri.

9 Beliau saksikan juga beberapa kaum yag mulutnya seperti moncong unta. Ternganga
lebar lalu dimasuki bola-bola api, kemudian bola api tersebut keluar dari duburnya.
Begitu seterusnya. Yang ini adalah gambaran mereka yang memakan harta anak yatim
secara aniaya.

Maka siapapun tanpa petunjuk Allah Ta’ala lalu memperoleh pandangan terhadap
kebenaran Ilmu Al Haq-Nya, kemudian dijeguri dengan jihadunnafsi beserta Al Haadi
sebagai pembimbingnya, watak aku yang berguru nafsulah yang diutamakannya, ini berlaku
kepada siapa saja.

Hubungan Dakwah Dengan Peristiwa Isra’ dan Mi’raj


Sependapat dengan ungkapan kata Abdul Karim Zaidan pada tulisannya di Ushulud Dakwah
Cetakan II hal 285 dan 286 bahwa :
“Bahwa Allah Swt. memuliakan umat Islam ini dengan bentuk memadukannya dengan
Rasulullah dalam komitmen melaksanakan tugas dakwah”.
Demikian halnya dengan Firman Allah bahwa :
“Dan tidaklah Kami jadikan pemandangan yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan
sebagai ujian bagi manusia”. (QS. Al Israa’ : 60).

Pada bab sebelum ini (penjelasan sebelumnya Edt.) telah demikian jelasnya berbagai upaya
mengungkap kehendak Allah Swt. berkenaan dengan peristiwa di Isra’ dan di Mi’rajkannya
Nabi Muhammad SAW. yang disebut Allah tegas-tegas dengan “bi’abdihi”. Yakni hamba-
Nya.

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 99


³ D º

Hamba yang dipilih oleh Dia Sendiri sebagai Nabi sekaligus utusan yang dipercaya mewakili-
Nya di muka bumi ini supaya membimbing manusia yang percaya kepadanya untuk dapat
mengenal dengan ilmu tentang Jati Diri Al Ghaib-Nya (QS. Takwir 24) serta jalan lurus untuk
dapatnya selamat kembali bertemu dengan-Nya sehingga dapat mati dengan rasa bahagia
karena Dia Sendiri yang menyambut kehadirannya setelah lulus di uji oleh-Nya dengan fitnah
dunia dan fitnahnya ujud jiwa raganya.

Sedang dalam peristiwa dijalankannya beliau dengan Isra’ dan Mi’raj adalah merupakan
gambaran nyata bagi hamba Allah yang telah diluluskan dengan berbagai ujian dan fitnah
yang menghantamnya. Maka di dalamnya banyak mengandung hikmah. Hikmah yang
membuka tabir gelap gulitanya watak akunya manusia yang selalu dikerjai oleh watak
nafsunya sendiri yang kecenderungan kuatnya memandang jiwa dan raganya harus dapat
diperjuangkan mati-matian untuk meraih kenikmatan gengsi dan kehormatan pada mukti
wibawanya kehidupan dunia. Kemudian akan menjadi jelaslah maksud Firman Allah dalam
QS. Al Ihsan ayat 29 dan 31 :
“Sesungguhnya inilah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki (keselamatan
bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.
Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Dia memasukkan siapa yang dikehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang zalim
disediakan-Nya azab yang pedih”. (QS. Al Insaan : 29 – 31).
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al
Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 89 – 93).

Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah)

Itsbat Faqod : (lih. Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah)

Itba’ :
Mengikuti, mencontoh dalam ucapan dan tingkah laku Rasul – Guru Yang Hak dan Sah
sebagai wakil Rasul.

Iyyakana’ budu waiyyaakanasta’in.: (lih. Faatehah)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 100


³ D º

J
Jabarut : (lihat Alam - Alam Jabarut)

Jagad Kecil : (lih. Alam Shaghir)

Jagad Besar : (lih. Alam - Alam kabir)

Jamaah Lil Muqorrobien : (lih. Lil Muqorrobin – Jamaah Lil Muqorrobin)

Jaman Al Mahdi: (lih. Imam – Imam Mahdi – Jaman Imam Mahdi)

Janji Murid : (lih. Murid – Sumpah dan Janji Murid)

Jariyah : (lih. Shadaqah Jariyah)

Jasad : (lih. manusia).

Jawa :
Dibalik kata Jawa ada maknanya. Yaitu “Nyawa”. Karena itu apabila orang Jawa kemudian
dikatakan kepadanya : “Wah, kamu ini tidak Jawa (Kowe iku ora Jawa)”, terbersit kesan
menghina. Sama dengan dikatakan sebagai orang yang tidak mengerti. Akibat perbuatan yang
seenaknya sendiri dan semaunya sendiri.

Padahal dibalik itu ada makna yang lebih mendalam. Orang Jawa dikatakan tidak jawa apabila
orang tersebut tidak mengetahui dan tidak mengenali “nyawanya sendiri”. Nyawanya sendiri
yang tidak lain adalah “inti manusianya sendiri” yang tempat asalnya dari Diri-Nya Dzat Al
Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, dekat sekali keberadaan-Nya dan Allah Asma-Nya. Sehingga
ungkapan tentang “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” = barang siapa yang tahu akan
jati dirinya (=nyawanya) maka pasti tahu akan Tuhannya, bukanlah ungkapan kosong yang
mengada-ada dan dusta. Sebab dengan mengetahui jati dirinya yang ini adalah benih fitrahnya
sendiri, inti manusianya sendiri, yang tempat asalnya dari Tuhan Dzat Yang Maha Rahman,
dengan sendirinya pasti tahu terhadap Diri Tuhannya sebagai tempat asal usulnya sendiri.

Jadi sejalan dengan perintah Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis dimana beliau
bersabda ; “UTHLUBUL ‘ILMA MINALMAHDI ILALLAHDI”. Yang artinya : “Carilah ilmu sejak dari
ayunan (ilmu tentang fitrah jati dirinya sendiri) sampai dengan (ilmu) dalam liang lahat”. Yaitu
ilmu yang menunjukkan pintunya mati. Pintunya mati yang ada di dalam dadanya sendiri.

Mati itu tidak lain adalah pulang kembali. Namanya kembali, pasti masuk; tidak keluar. Itulah
ilmu yang mempertemukan “inti manusianya sendiri” dengan tempat asal usulnya sendiri, yakni
“hakekat Diri-Nya Dzat Al Ghaib, Allah Asma-Nya dan Wajib Wujud-Nya”.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan
Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya
Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, Lampiran hal. 1).

Jihadunnafsi : (lih. juga Nafsu)


Memerangi nafsunya sendiri adalah perang terbesar meski dibandingkan dengan perang
memakai senjata dan bahkan akan banyak menghabisi harta dan jiwa. Sebab perang seperti
itu, pasti tidak akan terjadi apabila nafsu itu patuh dan tunduk. Patuh dan tunduk menjadi

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 101


³ D º

tunggangan yang akan dikendarai oleh cita-cita hati nurani, roh dan rasa mendekat kepada-
Nya. Sebab tanpa kendaraan nafsu, mustahil akan dapat sampai kepada-Nya dalam tempo
seusia masing-masing di dunia. Tanpa kendaraan nafsu, perjalanan mendekat hingga sampai
kepada-Nya ini akan memakan waktu lebih dari 3.000 tahun lamanya.
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk
Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib
Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 183 – 184).

Jumrah : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji)

Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah 102

Anda mungkin juga menyukai