Anda di halaman 1dari 43

BIOGRAFI BARTHOLOMEUS DIAZ - PENJELAJAH SAMUDRA

Bartolomeus Dias (bahasa Inggris: Bartholomew Diaz) (Algarve, 1450 – Tanjung Harapan,
29 Mei 1500) adalah seorang penjelajah Portugis yang berlayar mengelilingi Tanjung Harapan,
ujung selatan dari Afrika. Pada tahun 1481, ia menyertai Diogo de Azambuja melakukan
ekspedisi di Pantai Emas. Bartolomeu Dias adalah seorang ksatria istana kerajaan, kepala
penjaga gudang kerajaan dan ahli berlayar dari pasukan perang São Cristóvão (Saint
Christopher). Raja John II dari Portugal menunjuk dia pada tanggal 10 Oktober 1486 sebagai
kepala ekspedisi untuk berlayar mengelilingi ujung selatan Afrika dengan harapan mencari rute
perdagangan baru menuju ke Asia.
Dias adalah seorang Knight dari pengadilan kerajaan, pengawas gudang kerajaan, dan berlayar-
master dari perang-orang-, São Cristóvão (Saint Christopher). Raja John II dari Portugal
menunjuk dia, pada 10 Oktober 1486, untuk kepala ekspedisi untuk berlayar di sekitar ujung
selatan Afrika dengan harapan mencari rute perdagangan ke India. Tujuan lain dari ekspedisi ini
adalah untuk mencoba untuk meninjau negara-negara yang dilaporkan oleh João Afonso de
Aveiro (mungkin Ethiopia dan Aden) dengan yang diinginkan Portugis hubungan persahabatan.
Dias juga dikenakan mencari tanah diperintah oleh Prester John, yang adalah seorang pendeta
Kristen dongeng dan pangeran Afrika.
Dias meninggalkan Lisbon di bulan Agustus, 1487 memimpin ekspedisi tiga kapal. utama-
Nya, São Caravel Cristóvão, dikemudikan oleh Pero de Alenquer. Yang Caravel kedua,
Pantaleão São, diperintahkan oleh João Infante dan dikemudikan oleh Alvaro Martins. saudara
Dias ‘Pero Dias adalah kapten kapal memasang persegi dukungan dengan João de Santiago
sebagai pilot.
Ekspedisi berlayar selatan sepanjang pantai Barat Afrika. Extra ketentuan dijemput di
tengah jalan di benteng Portugis Sao Jorge de Mina di Gold Coast. Setelah berlayar terakhir
Angola Dias mencapai mencapai Golfo da Conceição (Walvis Bay) pada bulan Desember.

1
Setelah mengitari Tanjung Harapan pada jarak yang cukup, Dias lanjutan timur dan dimasukkan
apa yang ia bernama Aguada de Sao bra (Teluk Saint Blaise) – kemudian berganti nama menjadi
Mossel Bay – pada 3 Februari 1488. ekspedisi Dias mencapai titik terjauh pada 12 Maret 1488
ketika mereka berlabuh di Kwaaihoek, dekat muara Bushman’s River, di mana padrão-the
Padrão de São Gregorio – didirikan sebelum kembali [2] Dias ingin terus berlayar ke. India,
tetapi ia terpaksa kembali saat krunya menolak untuk melangkah lebih jauh [3] Ia hanya pada
perjalanan pulang bahwa ia benar-benar menemukan Tanjung Harapan, Mei 1488.. Diaskembali
ke Lisbon pada bulan Desember tahun itu, setelah tidak adanya enam belas bulan.
Penemuan bagian sekitar Afrika signifikan karena, untuk pertama kalinya, Eropa bisa
perdagangan langsung dengan India dan bagian-bagian lain di Asia, melewati rute darat melalui
Timur Tengah, dengan tengkulak mahal. Laporan resmi ekspedisi telah hilang.
Dias awalnya bernama Tanjung Harapan di “Tanjung Badai” (Cabo das Tormentas). Ia
kemudian diganti oleh Raja John II dari Portugal ke Tanjung Harapan (Cabo da Boa Esperança)
karena mewakili pembukaan rute ke timur.
Setelah upaya awal, Portugis mengambil cuti selama satu dekade dari eksplorasi Samudera
Hindia. Selama hiatus itu, kemungkinan bahwa mereka menerima informasi berharga dari
seorang agen rahasia, pero da Covilha, yang telah dikirim darat ke India dan kembali dengan
laporan yang berguna untuk navigator mereka. [4]
Menggunakan pengalamannya dengan perjalanan eksploratif, Dias membantu dalam
pembangunan Gabriel São dan kapal adik nya, Rafael São yang digunakan oleh Vasco da Gama
mengelilingi Cape dan melanjutkan rute ke India. Dias hanya berpartisipasi di leg pertama
perjalanan da Gama, sampai Cape Verde Islands. Dia kemudian salah satu panglima ekspedisi
India kedua, dipimpin oleh Pedro Alvares Cabral. armada pertama ini mencapai pantai Brasil,
mengambil kepemilikan itu pada tahun 1500, dan kemudian dilanjutkan ke arah timur ke India.
Dias tewas di dekat Tanjung Harapan bahwa ia presciently telah bernama Tanjung Badai. Empat
kapal mengalami badai besar dari jubah dan hilang, termasuk Dias ‘, pada tanggal 29 Mei 1500.
Sebuah kapal karam ditemukan tahun 2008 oleh Namdeb Diamond Corporation off Namibia
pada awalnya dianggap mungkin kapal Dias ‘, [5] Namun, pulih koin berasal dari waktu
kemudian.
Dias menikah dan memiliki dua anak:
 Simão Dias de Novais, yang meninggal belum menikah dan tanpa masalah
 António Dias de Novais, seorang Ksatria Ordo Kristus, menikah dengan (rupanya itu relatif,
karena nama de Novais ini ditularkan melalui keturunan kakaknya) Joana Fernandes, putri
Fernao Pires dan istri Guiomar Montes (dan adik Brites Fernandes dan Fernao Pires,
menikah dengan Ines Nogueira, putri Jorge Nogueira dan istri, dan punya masalah). cucu
Dias ‘Paulo Dias de Novais adalah penjajah Portugis di Afrika pada abad 16. cucu Dias ‘,
Guiomar de Novais menikah dua kali, sebagai istri kedua ke Dom Rodrigo de Castro, anak
Dom Nuno de Castro dan istrinya Joana da Silveira, oleh siapa dia Dona Paula de Novais

2
dan Dona Violante de Castro, baik meninggal belum menikah dan tanpa masalah, dan untuk
Pedro Correia da Silva, anak alami Cristóvão Correia da Silva, tanpa masalah.

3
PIETER BOTH (1609-1614)

Tanggal lahir bahkan tahun kelahiran dari Pieter Both tidak diketahui pasti (sekitar tahun
1568?), tetapi yang jelas beliau lahir di kota kecil Amersfoot. Masa kecil Pieter Both juga tidak
diketahui. Yang diketahui pasti adalah dia berdagang di Italia dan mempunyai perusahaan di
sana. Perjalanan pertama Pieter Both yang diketahui dilakukan pada tahun 1599 dengan empat
kapal mewakili perusahaan Nieuwe of Brabantsche Compagnie dari Amsterdam menuju
Indonesia. Dia kembali pada tahun 1601 dengan dua kapal yang penuh muatan.
Tidak lama setelah pulang berlayar, para pedagang yang bergabung dalam Verenigde
Oostindische Compagnie (VOC) meminta dia untuk tinggal di Hindia Belanda sebagai Gubernur
Jenderal merangkap juga sebagai Konsul Dagang, dengan tujuan untuk mengorganisasi
kebutuhan perusahaan menjadi lebih baik. Akhirnya pada tahun 1609 Pieter Both menjadi
Gubernur Jenderal Pertama VOC di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa para pedagang
tersebut memilih Pieter Both tidaklah jelas, yang pasti pada tahun 1610 Both berlayar dengan
armada yang terdiri dari 8 kapal, dan sepuluh bulan kemudian, pada tanggal 19 Desember 1610
mendarat di Banten, Jawa Barat.
Tugas pertama Both adalah mencari tempat yang cocok untuk berlabuhnya kapal dan juga
lokasi yang bakal menjadi pusat pemerintahan VOC. Tugas selanjutnya adalah mengatasi
korupsi yang selama ini dilakukan oleh para pedagang VOC dan memastikan monopoli rempah-
rempah di Maluku jatuh ke tangan VOC. Akhirnya Both menjadikan Maluku sebagai pusat
perdagangan, sementara untuk kantor dan pelayanan administrasi dipusatkan di Jawa. Alasannya
adalah persediaan pangan lebih melimpah di Jawa dibandingkan di Maluku. Sejarah
membuktikan bahwa memang akhirnya pulau Jawa mempunyai kedudukan yang strategis selama

4
penjajahan Belanda di Indonesia. Both membangun kantor kecil di kota Jayakarta, kemudian
menjalin kontrak dengan raja-raja Maluku, membuat perjanjian dengan Timor yang saat itu
sudah dijajah oleh Portugis dan mengusir Portugis dari Tidore
Pieter Both berhenti menjadi gubernur jenderal dan digantikan oleh Gerard Reynst pada
tanggal 6 November 1614. Pada tanggal 2 Januari 1615 dengan menaiki kapal “Banda” sebagai
kapal komando, Both meninggalkan Banten dengan armada yang terdiri dari empat kapal
membawa muatan senilai 4.5 juta Gulden, tetapi Both tidak pernah sampai tujuan. Pada tanggal 6
Maret 1615 kapalnya karam diterjang badai di lepas pantai Mauritius, Both berusaha mencapai
pantai tetapi akhirnya tewas sebelum mendarat di pantai. Untuk mengenang namanya, sampai
sekarang nama Pieter Both dipakai sebagai nama salah satu dataran tinggi di Mauritius dengan
nama Pieter Bothberg.

5
DAENDELS-BIOGRAFI SINGKAT DAENDELS

Herman Willem Daendels adalah seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur-
Jenderal Hindia-Belanda yang ke-36, memerintah antara tahun 1808 – 1811. Herman Willem
Daendels dikirim oleh kaisar Perancis, Louis Napoleon Bonaparte dikarenakan pada tahun 1795,
Perancis dapat menaklukan Belanda. Raja Belanda William V, mengasingkan diri ke Inggris dan
menyerahkan seluruh daerah jajahannya untuk sementara waktu kepada Perancis. Belanda jatuh
ketangan Perancis dibawah pimpinan Kaisar Louis Napoleon Bonaparte pada tahun 1806. Hal
tersebut menyebabkan pengaruh poitik liberal Perancis meluas di Belanda dan terjadilah
perubahan peta politik di Belanda yang pengaruhnya sampai ke Indonesia sebagai daerah
jajahannya.
Adapun tujuan dikirimnya Daendels yaitu untuk Memperkuat pertahan di Pulau Jawa
untuk menghadapi serangan Inggris, mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya untuk biaya
perang melawan Inggris, dan memperbaiki kondisi keuangan pemerintah karena kas Negara
kosong.
Kebijakan pemerintahan Daendels yaitu kerja rodi, dan Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya
Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan. Pembangunan jalan Daendels dari Anyer
(Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang pada
awalnya bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga
Panarukan atau sebagai jalan pos, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya dibangunnya
juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan
cepat dan semenjak saat itu, jaringan transportasi darat dipulau Jawa mengalami perkembangan
yang sangat pesat.
Dalam kebijakannya, Daendels inggin melakukan pemberantasan korupsi akan tetapi dia
malah memperkaya diri sendiri dan keluaganya. Daendels gagal memberantas korupsi. Oleh
karena itu Daendels dipanggil pulang ke negeri Belanda dan kedudukannya kemudian digantikan
oleh Jansens.

6
7
BIOGRAFI THOMAS STAMFORD RAFFLES

A. Riwayat Hidup
Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica, 6 Juli 1781 – meninggal
di London, Inggris, 5 Juli 1826 pada umur 44 tahun), Pada 1795, Seorang pria muda
bernama Thomas Stamford Raffles menerima pekerjaan pertamanya di East India
Company sebagai pegawai. Tapi dia belajar keras di waktu luang dan pada 1804, telah
diposting ke Penang (kemudian Prince of Wales Island) dan dipromosikan ke Asisten
Sekretaris Kepresidenan bahwa pulau Malaysia. Penguasaan-Nya atas bahasa Melayu
membuatnya sangat diperlukan untuk Pemerintah Inggris, dan ia kemudian ditunjuk
penerjemah Melayu kepada Pemerintah Inggris. Pada 1811, ia kembali sebagai Gubernur
Letnan Jawa, dan segera dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (sekarang Sumatera).
Sir Thomas Stamford Raffles adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang
terbesar. Ia adalah seorang warganegara Inggris. Ia dikatakan juga pendiri kota dan negara
kota Singapura. Ia salah seorang Inggris yang paling dikenal sebagai yang menciptakan
kerajaan terbesar di dunia. Stamford Raffles sangat terpesona oleh keragaman besar dari
hewan aneh dan tanaman dari Hindia Timur selama masa jabatannya di sana. Dia segera
dipekerjakan ahli zoologi dan botani untuk menemukan semua yang mereka dapat tentang
hewan dan tumbuhan di kawasan dan akan membayar asistennya keluar dari kantong
sendiri untuk mengumpulkan spesimen. Dia juga dihidupkan kembali dan menjadi presiden
Masyarakat Batavia yang aktif terlibat dalam studi sejarah alam Jawa dan daerah
sekitarnya. Dalam memoar tentang dirinya, istrinya Lady Sophia Raffles, pengoleksi
binatang juga menyebutkan, di antara spesies yang indah seperti tapir, badak dan kijang.
Dia menyebutkan bahwa di Inggris. Raffles juga menyimpan beberapa hewan sebagai
hewan peliharaan. Seekor anak beruang juga dia besarkan dengan anak-anaknya dilaporkan
sering bergabung dengannya untuk makan malam, makan mangga dan minum sampanye.
Sir Thomas Stamford Raffles meninggal sehari sebelum ulang tahunnya ke-45 di
tahun 1826. Beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1821 dan 1822, ia memberikan
kontribusi dua makalah dalam Transaksi dari Zoological Society, London, dengan
deskripsi dari beberapa 34 spesies burung dan 13 spesies mamalia, terutama dari Sumatra.

8
Stamford Raffles yang terkenal di kalangan sejarah alam, sejumlah hewan dan
tanaman telah dinamai untuk menghormatinya. Mereka termasuk Megalaima rafflesi (Red-
crowned Barbet), Dinopium rafflesii (Olive-didukung Pelatuk) dan Chaetodon rafflesi
(Butterflyfish berkisi-kisi). Mungkin organisme yang paling khas bernama setelah dia akan
Rafflesia, genus tanaman parasit pada pohon-pohon palem yang ditemukan pada sebuah
ekspedisi ke hutan di Sumatera. Ini adalah endemik ke Asia Tenggara dan menghasilkan
terbesar dan mungkin di dunia yang paling spektakuler (abeit jahat berbau) bunga.

B. Latar Belakang Keluarga


Ayahnya, Kapten Benjamin Raffles, terlibat dalam perdagangan budak di Kepulauan
Karibia, dan meninggal mendadak ketika Thomas baru berusia 15 tahun, sehingga
keluarganya terperangkap utang. Ia langsung mulai bekerja sebagai
seorang pegawai di London untuk Perusahaan Hindia Timur Britania, perusahaan dagang
setengah-pemerintah yang berperan banyak dalam penaklukan Inggris di luar negeri.
Pada 1805 ia dikirim ke pulau yang kini dikenal sebagai Penang, di negara Malaysia, yang
saat itu dinamai Pulau Pangeran Wales. Itulah awal-mula hubungannya dengan Asia
Tenggara.

C. Raffles Di Hindia-Belanda
Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811, ketika Kerajaan
Inggrismengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda dan ia tidak lama kemudian
dipromosikan sebagai Gubernur Sumatera, ketika Kerajaan Belandadiduduki
oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis.
Sewaktu Raffles menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia telah mengusahakan
banyak hal, yang mana antara lain adalah sebagai berikut: beliau mengintroduksi otonomi
terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah
kolonial Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-
peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Sastra Jawa serta
banyak hal lainnya. Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu
yang mengilhami pencarian Raffles akan Candi Borobudur, ia pun kemudian belajar
sendiri Bahasa Melayu. Hasil penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku
berjudul: History of Java, yang menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam
melakukan penelitiannya, Raffles dibantu oleh dua orang asistennya yaitu: James
Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Mariamne, wafat pada tanggal 26
November 1814 di Buitenzorg dan dimakamkan di Batavia, tepatnya di tempat yang
sekarang menjadi Museum Prasasti. Di Kebun Raya Bogordibangun monumen peringatan
untuk mengenang kematian sang istri.
Kebijakan-kebijakan Raffles di Hindia-belanda meliputi beberapa bidang :
1. Bidang Birokrasi Dan Pemerintahan
 Membagi Pulau Jawamenjadi 18 keresidenan (sistem keresidenan ini
berlangsung sampai tahun 1964).
 Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi
menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat.
9
 Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan.
2. Bidang Ekonomi Dan Keuangan
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang
pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam
tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi
(contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah
diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang
berdasarkan anggapan pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.

3. Bidang Hukum
Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang
dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels berorientasi pada warna kulit (ras),
Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak
hukum pada masa Raffles sebagai berikut:
1. Court of Justice, terdapat pada setiap residen
2. Court of Request, terdapat pada setiap divisi

10
CORNELIS DE HOUTMAN

Cornelis de Houtman (lahir di Gouda, Holland Selatan, Belanda, 2 April 1565 – meninggal
di Aceh, 11 September 1599 pada umur 34 tahun)[1] adalah seorang penjelajah Belanda yang
menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Indonesia dan berhasil memulai perdagangan rempah-
rempah bagi Belanda. Cornelis de Houtman bersama armadanya tiba pada 27 Juni 1596 di
perairan Banten,[1] lalu kembali lagi pada 14 Agustus 1597 membawa 240 kantong lada, 45 ton
pala, dan 30 bal bunga pala[2]. Keberhasilannya ini membuka jalan bagi ekspedisi-ekspedisi
selanjutnya yang berujung pada praktik kolonialisme di Nusantara.

LATAR BELAKANG DAN AWAL PERJALANAN


Pada tahun 1592 Cornelis de Houtman dikirim oleh para pedagang Amsterdam ke Lisboa
untuk menemukan sebanyak mungkin informasi mengenai Kepulauan Rempah-Rempah. Pada
saat de Houtman kembali ke Amsterdam, Jan Huygen van Linschoten juga kembali dari India.
Para pedagang tersebut memastikan bahwa Banten merupakan tempat yang paling tepat untuk
membeli rempah-rempah. Pada 1594, mereka mendirikan compagnie van Verre (yang berarti
"Perusahaan jarak jauh"), dan pada 2 April 1595 empat buah kapal meninggalkan Amsterdam:
Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken.
Perjalanannya dipenuhi masalah sejak awal. Penyakit seriawan merebak hanya beberapa
minggu setelah pelayaran dimulai akibat kurangnya makanan. Pertengkaran di antara para kapten
kapal dan para pedagang menyebabkan beberapa orang terbunuh atau dipenjara di atas kapal. Di
Madagaskar, di mana sebuah perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan

11
kematian lagi, dan kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan. (Teluk di Madagaskar
tempat mereka berhenti kini dikenal sebagai "Kuburan Belanda").

TIBA DI JAWA
Pada 27 Juni 1596, ekspedisi de Houtman tiba di Banten. Hanya 249 orang yang tersisa
dari pelayaran awal. Penerimaan penduduk awalnya bersahabat, tetapi setelah beberapa tabiat
kasar yang ditunjukkan awak kapal Belanda, Sultan Banten, bersama dengan petugas Portugis di
Banten, mengusir kapal Belanda tersebut. Ekspedisi de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa.
Kapalnya takluk ke pembajak. Beberapa tabiat buruk berujung ke salah pengertian dan kekerasan
di Madura: seorang pangeran di Madura terbunuh, beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan
ditahan sehingga de Houtman membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu
berlayar ke Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa
pot merica pada 26 Februari 1597. Kapal-kapal Portugis melarang mereka mengisi persediaan air
dan bahan-bahan di St. Helena. Dari 249 awak, hanya 87 yang berhasil kembali. Cornelis de
Houtman tewas dalam perjalanan keduanya di atas geladak kapal di Aceh saat pertempuran
dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Malahayati tanggal 11 September 1599 dalam
pertempuran satu lawan satu dengan Malahayati.

AKIBAT DARI PERJALANAN INI


Meski perjalanan ini bisa dibilang gagal, ini juga dapat dianggap sebagai semacam
kemenangan bagi Belanda. Pihak Belanda sejak saat itu mulai berlayar untuk berdagang ke
Timur. Dalam lima tahun kemudian, 65 kapal Belanda telah berlayar ke wilayah tersebut dan
bisa disebut memulai penjajahan Hindia Belanda.

12
TUANKU IMAM BONJOL

BIOGRAFI
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri
pada tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di
Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin yang
merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya
Hamatun. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku
Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.
Dia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang
santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum
Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama
penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman dulu populer di tanah
Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum
Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri

13
dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang
Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah
Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan
sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum
Padri. Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan
Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita
yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang
perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para
penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi
kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman
keras, tembakau dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun
1803. Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh
Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni
Sultan Arifin Muningsyah. Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda
pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat
berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada
akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang
sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur,
Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado.
Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang
terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme tersebut juga melahirkan sikap
kepahlawanan dan cinta tanah air. Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol
dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai
penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku
Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

14
BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada Jumat 11 November 1785. Dia lahir dari
rahim Raden Ayu (RA) Mangkorowati yang merupakan selir Sultan Hamengkubuwono III. Dia
ialah pahlawan nasional dari tanah Jawa yang gagah memimpin atau perang Jawa melawan
penjajahan Belanda pada 1825-1830 hingga dikenal sebagai perang Diponegoro.
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Mustahar merupakan salah satu
pahlawan nasional. Namanya dikenang dalam buku-buku sejarah karena pernah memimpin
Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berlangsung mulai 1825 sampai 1830. Ia adalah anak
lelaki paling tua dari keturunan Sultan Hamengkubawana III atau Raden Mas Suraja. Sedangkan
nama ibunya adalah RA Mangkarawati, seorang permaisuri raja. Kendati merupakan anak sultan,
ia tidak ingin hidup dengan segala kemewahan yang biasa dirasakan keluarga kerajaan.
Berdasarkan catatan, Pangeran Diponegoro disebut sebagai pangeran Kesultanan Yogyakarta dan
kelak akan menjadi raja. Namun, dengan cara halus Diponegoro menolak karena merasa tidak
pantas selaku anak selir. Jejak Hidup Dalam sejarah, ia pernah memendam benci terhadap
kolonialisme Belanda yang menjajah Kerajaan Nusantara, dalam hal ini terkait Kesultanan
Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengkubowono IV atau Raden Mas Ibnu Jarot naik tahta di usia
10 tahun, Belanda ikut campur urusan politik kerajaan peninggalan ayahnya hingga membuat
Diponegoro naik pitam. Terkait hal ini, Sagimun dalam Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965)
mengungkapkan alasan lengkapnya. Pangeran Diponegoro menyuarakan perlawanan karena
Belanda datang mengatur internal kerajaan dan juga menetapkan beban pajak kepada rakyat
dengan jumlah yang tidak sedikit.

15
Selain benci Belanda, ia juga diklaim tidak suka dengan bangsa Tionghoa yang ada di
Jawa. Keterampilan orang-orang Tionghoa dalam mengatur keuangan sering memeras
masyarakat Kesultanan Yogyakarta. Terungkap dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008:320)
karya Bernard H.M., mereka kerap memeras dengan aturan pajak tol yang tidak masuk akal.
Mengenai kebencian Diponegoro terhadap Tionghoa, ternyata tidak bisa digambarkan secara
benar. Faktanya, Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785-1855 (2019:727) menerangkan, tidak secara gamblang kebencian tersebut
dianggap benar. Sebab, kata dia, perlakuan Diponegoro kepada orang-orang Tionghoa juga baik.
Bahkan, seiring perjalanan Perang Diponegoro mereka menjadi mitra bisnis dan membantu
Diponegoro dengan ikut masuk menjadi tentara ketika pertempuran melawan Belanda terjadi.
Akhir hayat Aksi yang dijalankan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya di Jawa
membuat Belanda kewalahan. Pada 28 Maret 1830, Belanda mengajak Diponegoro melakukan
gencatan senjata lalu mengadakan perundingan. Belanda ternyata hanya memberi janji manis
kepada Diponegoro ketika itu. Penjajah tersebut bukan mengadakan perundingan, namun malah
menangkap pangeran yang datang tanpa membawa senjata. Saat itu, Perang Diponegoro pun
dikatakan sudah sampai pada akhir perjuangannya karena pemimpinnya berhasil ditahan di
Batavia hingga 3 Mei 1830. Berdasarkan catatan Toby Alice dalam Sulawesi: Islan Crossroads
of Indonesia (1990), Pangeran Diponegoro setelah itu diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan
ke Makassar. Melengkapi itu, tahun 1833 di Makassar, benteng Rotterdam, Diponegoro hidup
bersama istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya. Pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro
meninggal dunia. Berdasarkan Surat Keterangan (SK) yang tertulis dalam Pahlawan Dipanegara
Berjuang (1965) karya Sagimun, usia lanjut adalah penyebab wafatnya Diponegoro. Menurut
catatan profil, pada 6 November 1973, Pangeran Diponegoro diresmikan namanya menjadi salah
satu Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No.87/TK/1973.

16
SULTAN HASANUDDIN

Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di


Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Sultan Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangapesebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa
yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat
Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat dari
Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki takhta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah
meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia dijuluki De
Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan di
Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa
mulai tahun 1653 sampai 1669. Kesultanan Gowa adalah merupakan kesultanan besar di
Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada 12 Januari 1631. Dia lahir dari pasangan Sultan
Malikussaid, Sultan Gowa ke-15, dengan I Sabbe To’mo Lakuntu. Jiwa kepemimpinannya sudah
menonjol sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia juga pandai berdagang.
Karena itulah dia memiliki jaringan dagang yang bagus hingga Makassar, bahkan dengan orang
asing.

17
Hasanuddin kecil mendapat pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala. Sejak kecil ia
sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap
ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia dipercaya menjadi delegasi untuk
mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.
Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa.
Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat menjadi raja, yaitu saat berusia 24
tahun atau pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari perbedaan
tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya diteruskan oleh Hasanuddin.
Selain dari ayahnya, dia memperoleh bimbingan mengenai pemerintahan melalui
Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng Pattingaloang. Sultan Hasanuddin merupakan guru
dari Arung Palakka, salah satu Sultan Bone yang kelak akan berkongsi dengan Belanda untuk
menjatuhkan Kesultanan Gowa.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli
perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-
orang Spanyol dan Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri menjual dengan
harga yang ditetapkan oleh mereka, selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan
cengkih di beberapa tempat, supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka Sultan
Hasanuddin menolak keras kehendak itu, sebab yang demikian adalah bertentangan dengan
kehendak Allah katanya. Untuk itu Sultan Hasanuddin pernah mengucapkan kepada Kompeni
"marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba kegiatan". Tetapi Kompeni tidak
mau, sebab dia telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, sedang Sultan Hasanuddin
memandang bahwa cara yang demikian itu adalah kezaliman.
Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi belum berhasil menundukkan
Kesultanan Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman beserta
sekutunya kembali menyerang Makassar. Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga pada
akhirnya Kesultanan Gowa terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa Sultan
Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya.
Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada
Tahun 1669. Kompeni berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada
tanggal 24 Juni 1669. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

18
KAPITAN PATTIMURA

BIOGRAFI
Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina
Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama) mengatakan bahwa
“pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah
beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang
terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram Selatan"
Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya
Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut kepda
belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari
rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang
buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan
Kapitan Pattimura.
Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan
pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan menentang Belanda ia
juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan
Jawa. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan
bumi hangus oleh Belanda.
Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun
dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar
biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil

19
merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas,
termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil
dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja
benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan
yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura
akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk
agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang
gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan
kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh
pemerintah Republik Indonesia.

20
BIOGRAFI CUT NYA DHIEN

Biografi singkat Cut Nya Dhien adalah riwayat seorang tokoh perempuan Indonesia yang
tak kenal menyerah. Ia dijuluki "Ratu Aceh" lantaran tekadnya yang kuat dalam melawan
kolonial Belanda di Aceh. Ia menghabiskan masa hidupnya dengan terus melakukan
pertempuran. Semua itu ia lakukan demi menggapai cita-cita bangsa, yakni terbebas dari
kekuasaan penjajah. Kelahiran dan Masa Awal Cut Nya Dhien Cut Nyak Dhien adalah keturunan
bangsawan Aceh, lahir pada 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim,
Aceh Besar. Saat menginjak usia 12 tahun, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra
Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII. Suaminya seorang pemuda berwawasan luas dan
taat kepada agama. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Dalam riwayat sejarah Aceh, Teuku Ibrahim berjuang melawan kolonial Belanda. Atas
alasan itu, Teuku Ibrahim seringkali meninggalkan Cut Nyak Dhien dan anaknya. Setelah
berbulan-bulan meninggalkan Lam Padang, Teuku Ibrahim datang untuk menyerukan perintah
mengungsi dan mencari perlindungan di tempat yang aman. Cut Nyak Dhien bersama penduduk
lainnya kemudian meninggalkan Lam Padang pada 29 Desember 1975. Pada 29 Juni 1878,
Teuku Ibrahim wafat. Kematian sang suami membuat Cut Nyak Dhien terpuruk. Namun,
kejadian itu tak membuatnya putus asa, sebaliknya menjadi alasan kuat Cut Nyak Dhien
berjuang menggantikan sosok suaminya.
Cut Nya Dhien Bersama Teuku Umar Selepas kematian suaminya, Cut Nyak Dhien
menikah lagi dengan Teuku Umar, cucu dari kakek Cut Nyak Dhien. Tidak hanya diikatkan
dengan tali pernikahan, tetapi keduanya bersatu untuk memerangi penjajah. Bukan karena
semata-mata ingin mendapatkan sosok kepala rumah tangga di dekatnya, tetapi Cut Nyak Dhien
beralasan ingin berjuang bersama dengan laki-laki yang mengizinkannya terjun ke medan perang
untuk melawan Belanda. Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar menguatkan barisan para

21
pejuang untuk kembali mengusir kape Belanda dari bumi Aceh. Keduanya melakukan
pertempuran dengan semangat juang membara. Salah satu keberhasilan mereka yakni merebut
kembali kampung halaman Cut Nyak Dhien. Teukur umar juga berpura-pura tunduk kepada
Belanda demi mendapatkan pasokan persenjataan yang kemudian mereka gunakan untuk
kembali menyerang penjajah. Baca juga: Melumpuhkan Teuku Umar hingga Cut Nyak Dhien di
Bulan Puasa Berjuang Sampai Pengasingan Belakangan, Teuku Umar gugur dalam medan laga
di Meulaboh. Suami keduanya itu gugur karena itikad penyerangannya telah diketahui Belanda
sejak awal. Meskipun orang-orang terkasihnya telah meninggalkannya, Cut Nya Dhien terus
melangsungkan pertempurannya selama enam tahun. Ia bergerilya dari satu wilayah ke wilayah
lainnya. Selama itu, ia bersama rakyat dan pejuang lainnya, dihadapkan pada penderitaan,
kehabisan makanan, uang, dan pasokan senjata. Cut Nyak Dhien dengan keadaan fisiknya yang
mulai renta terus berupaya melarikan diri dari Belanda.
Meskipun pada saat itu, pasukan tempurnya melemah karena ancaman Belanda.
Sayangnya, panglima pasukannya, Pang Laot berkhianat. Ia bersama-sama Belanda mencari
keberadaan Cut Nyak Dhien. Mereka berhasil menemukan persembunyian Cut Nyak Dhien dan
kemudian membawanya ke Kutaradja. Atas permintaan Pang Laot kepada Belanda, Cut Nyak
Dhien mendapat perlakuan baik oleh Belanda. Gubernur Belanda di Kutaradja, Van Daalen,
tidak menyenangi hal tersebut sehingga Cut Nyak Dhien diasingkan ke pulau Jawa, tepatnya
Sumedang pada 1907. Setahun, masa pengasingannya, Cut Nyak Dhien mengembuskan napas
terakhirnya. Ia menjadi salah satu sosok wanita Indonesia yang patut dicontoh keberaniannya.
Sejak tanggal 2 Mei 1964, Cut Nyak Dhien dianugerahi sebagai pahlawan nasional.

22
WAHIDIN SOEDIROHOESODO

BIOGRAFI
Wahidin Sudirohusodo, dr. adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya
Wahidin Sudirohusodo selalu dikaitkan dengan organisani Budi Utomo karena meskipun
Wahidin Sudirohusodo bukan merupakan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, Wahidin
Sudirohusodo menjadi salah satu penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Pria yang lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 7 Januari 1852 ini
menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di Yogyakarta yang kemudian dia lanjutkan dengan
bersekolah di Europeesche Lagere School yang juga berlokasi di Yogyakarta. Setelah
menyelesaikan studinya di sekolah tersebut, Sudirohusodo memutuskan untuk masuk di Sekolah
Dokter Jawa atau yang juga dikenal dengan sebutan STOVIA di Jakarta.
Selama hidupnya, Sudirohusodo yang diketahui merupakan keturunan Bugis-Makassar ini
sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila dia disukai banyak orang.
Dari pergaulannya inilah, Sudirohusodo akhirnya sedikit banyak mengerti penderitaan rakyat
akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai
salah satu cara yang bisa dilakukannya untuk sedikit membantu meringankan penderitaan adalah
dengan memanfaatkan profesinya sebagai dokter, selama mengobati rakyat, Sudirohusodo sama
sekali tidak memungut bayaran.
Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan
dan mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota

23
di Jawa. Para tokoh itu kemudian diajaknya untuk menyisihkan sedikit uang mereka yang
nantinya digunakan untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu
melanjutkan sekolahnya. Namun sayangnya, ajakan Sudirohusodo ini kurang mendapat
sambutan.
Perjuangan Sudirohusodo tidak sampai disitu saja. Di Jakarta, Sudirohusodo mencoba
mengunjungi para pelajar STOVIA dan menjelaskan detail gagasannya. Saat itu, Sudirohusodo
menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan
dan meninggikan martabat bangsa. Ternyata gagasan Sudirohusodo ini mendapat sambutan baik
dari para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana buruknya
nasib rakyat Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena
itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin
Sudirohusodo sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1917. Jasadnya kemudian dimakamkan di desa
Mlati, Yogyakarta.

24
CONRAD THEODORE VAN DEVENTER

Conrad Theodor "Coen" van Deventer (lahir di Dordrecht, 29 September 1857 – meninggal
di Den Haag, 27 September 1915 pada umur 57 tahun) adalah seorang pengacara Belanda,
penulis tentang Hindia Belanda dan anggota Dewan Negara Belanda. Ia dikenal sebagai juru
bicara Gerakan Politik Etis Belanda. Dia tinggal di Surinamestraat 20, Den Haag (1903–1915),
bekas kediaman John Ricus Couperus, putranya penulis Louis Couperus dan anggota
keluarganya yang lain (1884–1902).
Dia pada usia muda bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu sepuluh tahun, Deventer
telah menjadi kaya, karena perkebunan perkebunan swasta serta maskapai minyak BPM yang
bermunculan saat itu banyak membutuhkan jasa penasihat hukum.
Pada sebuah surat tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer
mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena
mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah
jajahan.
Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een
Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substansial adalah "Hutang yang
demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim". Tulisan itu berisi
angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara
yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil
kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda ("Indonesia"), sementara Hindia
Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut
dikembalikan.
Ketika Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri
daerah jajahan Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat

25
pribumi di Jawa dan Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan
tugasnya (1904). Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan,
kemudian dengan tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan
tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak kalah terkenalnya
adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde,
yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.
Van Deventer adalah putra dari Christiaan Julius van Deventer dan Anne Marie Busken
Huet. Pamannya adalah penulis Conrad Busken Huet. Ia menikah dengan Elisabeth Maria Louise
Maas; mereka tidak memiliki anak.[1] Van Deventer menghadiri HBS di Deventer dan belajar
hukum di Universitas Leiden. Ia meraih gelar doktor pada bulan September 1879 dengan tesis:
"Zijn naar de grondwet onze koloniën delen van het rijk" ("menurut konstitusi, daerah jajahan
kita bagian dari kerajaan Belanda").[2] Pada tanggal 20 Agustus 1880 ia dipekerjakan untuk
Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Kementerian Koloni untuk diangkat sebagai pejabat
layanan sipil.[3] Bersama istrinya Van Deventer melakukan perjalanan pada bulan September
1880 ke Batavia dengan kapal uap Prins Hendrik;[4] ia diangkat sebagai panitera di Raad van
Justitie (Dewan Kehakiman) di Amboina pada bulan Desember 1880.[5] Sejak tahun 1881 Van
Deventer sudah dilihat oleh publik sebagai otoritas dalam kasus masalah posisi ekonomi Hindia
Belanda dalam kaitannya dengan tanah air Belanda. Dalam ceramah yang diadakan pada
pertemuan "Indisch Genootschap" ("Institut Hindia") pendapatnya tentang masalah ini disajikan
sebagai sangat penting.[6]
Pada bulan Juni 1882 Van Deventer ditunjuk sebagai panitera di "Landraden" (dewan
tanah) di Amboina, Saparua, dan Wahoo; ia juga ditunjuk sebagai oditur militer (sebuah jabatan
hukum) di pengadilan militer di Amboina.[7] Pada Maret 1883 ia diangkat menjadi anggota
Dewan Kehakiman di Semarang[8] dan pada tahun yang sama ia menulis serangkaian artikel di
Soerabaijasch Handelsblad, dengan judul Gedichten van F.L. Hemkes (puisi oleh F.L. Hemkes;
Frederik Leonardus Hemkes adalah seorang penyair Belanda, yang tinggal di Afrika Selatan
(1854-1887)[9]).[10] Van Deventer menulis pada Februari 1884 sebuah artikel dalam "Het
Indisch Weekblad voor het Recht" (Jurnal Hukum Hindia Belanda), berjudul De Indische
Militairen en het Koninklijke Besluit van 13 Oktober 1882 nummer 26 (Militer di Hindia
Belanda dan perintah kerajaan tanggal 13 Oktober 1882), di mana ia membahas persidangan
seorang tentara Bugis di depan pengadilan sipil (polisi) dan bukan pengadilan militer.[11] Pada
bulan April 1885 Van Deventer berhenti dari pekerjaannya sebagai anggota Dewan Kehakiman
di Semarang dan diangkat menjadi pengacara dan jaksa pada Majelis Kehakiman tersebut.[12]
Dalam periode hidupnya Van Deventer juga aktif sebagai letnan dua di schutterij.[13] Pada tahun
yang sama, 1885, dia berhenti dari pekerjaannya di Dewan Kehakiman dan bergabung dengan
praktik hukum LLM B.R.W.A. baron Sloet van Hagensdorp dan LLM M.H.C. van Oosterzee;
dia menggantikan Mr. Van Oosterzee, yang akan kembali ke Belanda.[14]
Rumah Van Deventer dari tahun 1903 hingga 1915, Surinamestraat 20, Den Haag[15][16]

26
Van Deventer bekerja sebagai pengacara swasta dari tahun 1885 hingga 1888. Pada bulan
Mei 1888 ia mengambil cuti ke Eropa[17] dan bepergian dengan istrinya dengan kapal uap
Prinses Amalia dari Batavia ke Belanda.[18] Kembali ke Eropa ia menulis serangkaian artikel,
berjudul De Wagner-feesten te Bayreuth (festival Wagner di Bayreuth), yang ia kunjungi untuk
surat kabar "De Locomotief";[19] dalam periode ini Van Deventer adalah karyawan tetap koran
ini. Ia kembali ke Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1889 dengan kapal uap Sumatra.[20] Ia
melanjutkan praktik pengacaranya dan juga menjadi komisaris perseroan terbatas "Hȏtel du
Pavillon".[21] Pada bulan September 1892 ia diangkat sebagai penjabat anggota Komite Direksi
Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Perusahaan Kereta Api Hindia Timur Belanda).
[22] Pada Juli 1893 Van Deventer dipromosikan menjadi pangkat militer letnan satu di Schutterij
di Semarang.[23]
Ia pergi untuk kunjungan singkat kedua di Eropa pada Mei 1894 dan, setelah kembali,
diangkat menjadi anggota komite pengawas HBS di Semarang.[24] Dalam surat kabar
"Locomotief" dia menulis sebuah artikel berjudul Samarangsche bazar – eigen hulp (Bazar
Samarang), di mana dia membela diri dari tuduhan bahwa prospektus dari firma ini
(Samarangsche bazar), yang dibuat olehnya, tidak akurat.[25] Dia meninggalkan Hindia Belanda
(secara permanen) pada bulan April 1897 dengan kapal uap Koningin-Regentes;[26] kembali ke
Eropa dia mengunjungi festival Wagner dan menulis tentang "Wagneriana" di The Locomotief
tanggal 11 November dan 16 Desember 1897.[27] Pada tahun 1898 Van Deventer menulis
beberapa artikel tentang perayaan penobatan di Belanda, di mana ratu Wilhelmina dimahkotai, di
"Locomotief".[28] Dia juga menulis serangkaian empat artikel, yang disebut "Het Wilhelmus als
Nederlands Volkslied" (Wilhelmus sebagai lagu kebangsaan Belanda), untuk Locomotief tahun
itu[29] dan memberikan perspektifnya kepada Locomotief tentang persidangan Zola.[30]
Pada tahun 1899 Van Deventer menulis artikel yang sangat berpengaruh, berjudul "Een
Ereschuld" (hutang kehormatan) di majalah Belanda "De Gids". Dalam artikel ini Van Deventer
menyatakan bahwa Belanda memiliki hutang kehormatan hampir 190 juta gulden di seberang
Hindia Belanda dan harus membayar hutang kehormatan ini.[31][32] Ketika anggaran Hindia
Timur Belanda dibahas di Tweede Kamer (DPR) banyak perhatian diberikan pada artikel Van
Deventer, meskipun tidak semua anggota setuju dengan isi artikel.[33] Van Deventer ditunjuk
sebagai anggota dewan editorial "The Gids" sejak 1 Januari 1901.[34] Selama tahun-tahun
berikutnya sampai kematiannya, dia menulis banyak artikel di majalah ini.[35] Pada bulan Juni
1901 Van Deventer menerima pencalonannya untuk asosiasi pemilihan Schiedam (untuk Liga
Demokratik Berpikir Bebas), yang berlokasi di Schiedam, untuk pemilihan Dewan Perwakilan
Rakyat, tetapi tidak terpilih.[36] Dalam kuliahnya, Van Deventer menunjukkan dirinya seorang
pendukung untuk pengangkatan Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Timur Belanda di Hindia
Belanda.[37] Pada bulan Juni 1902 ia diangkat sebagai anggota "Algemeen Nederlands
Verbond" (Asosiasi Umum Belanda)[38] dan menulis dalam het "Tijdschrift voor Nederlands-
Indië" (Majalah untuk Hindia Belanda) bersama-sama dengan yang lain, sebuah konsep program

27
kolonial; dalam program ini penulis menyatakan bahwa kekuasaan administratif harus lebih
terletak pada penduduk Hindia Belanda dan bahwa pemerintah Belanda harus membatasi campur
tangannya hanya pada prinsip-prinsip pemerintahan umum.[39] Tampaknya bertentangan bahwa
ia juga menandatangani telegram yang dikirim ke jenderal J. B. van Heutsz, di mana ia
dilengkapi dengan pengajuan Panglima Polim (seorang pemimpin lokal), yang dicapai dengan
kekuatan militer, di Aceh.[40]
Van Deventer menjadi anggota dewan Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi
Kerajaan Belanda (1903)[41] dan pada tahun yang sama menghadiri pertemuan "Institut
Kolonial Internasional" di London.[42] Pada bulan September 1904 ia diangkat menjadi ksatria
dalam Ordo Singa Belanda.[43] Dia terus menulis artikel di majalah yang berbeda, selain The
Gids; misalnya ia menerbitkan serangkaian empat artikel di Soerabaijasch Handelsblad pada
bulan Desember 1904, yang berjudul "Over de suikercultuur- en suikerindustrie" (tentang
industri gula).[44] Pada 19 September 1905 Van Deventer terpilih sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dari Demokratik Berpikir Bebas untuk daerah pemilihan Amsterdam IX[45]
dan karena itu ia menekankan tiga titik fokusnya mengenai kebijakan Hindia Timur Belanda:
pendidikan, irigasi, dan emigrasi.[46] Ia juga seorang promotor yang disebut Kebijakan Etis
Belanda[45] tetapi pada saat yang sama mengatakan dalam pidatonya yang diberikan di DPR
pada 16 November 1905, bahwa jika persuasi tidak berhasil maka tidak dapat dihindari untuk
menggunakan kekuatan militer.[47] Dalam serangkaian artikel di "Soerabajasch Handelsblad"
pada bulan Agustus 1908 yang berjudul "Insulinde's toekomst" (masa depan Hindia Belanda) ia
menulis tentang pentingnya pendidikan dan penciptaan lapangan kerja baru bagi penduduk asli di
tingkat manajemen yang lebih tinggi.[48] Van Deventer tidak terpilih kembali dan meninggalkan
Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 21 September 1909.[49]
Van Deventer terpilih menjadi anggota parlemen lagi pada 19 September 1911, ketika ia
diangkat sebagai anggota Eerste Kamer (Senat) oleh Negara Bagian Friesland.[49] Pada periode
ini ia juga diangkat menjadi anggota Max Havelaar Foundation; Yayasan ini dinamai
berdasarkan buku terkenal yang ditulis oleh Multatuli, dan tujuan dari yayasan tersebut adalah
untuk mengangkat materi dan spiritual penduduk asli di Hindia Belanda.[50] Pada bulan
Februari 1912 Van Deventer, sebagai anggota Senat, melakukan perjalanan selama beberapa
bulan ke Hindia Belanda.[51] Ia mengunjungi hampir semua pulau, termasuk namun tidak
terbatas pada Sumatra, Jawa, Celebes, dan Borneo.[52] Ia tetap menjadi anggota Senat sampai 16
September 1913, ketika ia terpilih kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk
daerah pemilihan Assen.[45] Dia mempertahankan posisi ini sampai kematiannya, pada 27
September 1915. Pada bulan Juni 1914 dia diangkat sebagai delegasi resmi Belanda pada
Konferensi Opium Internasional yang diadakan di Den Haag.[53] Pada tahun 1913 ia mendirikan
Yayasan Kartini untuk dapat mendirikan sekolah putri di Hindia Belanda. Pada bulan September
1915 Van Deventer jatuh sakit parah (dia menderita peritonitis[54]) dan dirawat di rumah sakit

28
Palang Merah di Den Haag.[55] Dia meninggal pada usia 57 tahun pada 27 September 1915[56]
dan tubuhnya dikremasi di Westerveld (Driehuis).[57]
Sebagian besar Van Deventer menulis tentang keuangan Hindia Timur Belanda, hak-hak
para pejabat pribumi dan pendidikan mereka serta tentang industri gula. Ketika dia aktif sebagai
jurnalis untuk "Locomotief" dia sangat tertarik dengan Wagner dan Festival Wagner. Karena ia
adalah anggota dewan direksi majalah "De Gids", sebagian besar artikelnya kemudian
diterbitkan di sana.[35][58]

Kartinischool ("sekolah Kartini") di Semarang pada masa Hindia Belanda


Ketika pada tahun 1911 surat-surat Kartini diterbitkan, Van Deventer terkesan sekali,
sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi yang panjang-lebar, sekadar untuk
menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok dengan cita-cita Deventer sendiri: mengangkat
bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, memperjuangkan emansipasi mereka.
Secara pribadi, Van Deventer pernah bertemu dengan Kartini, waktu puteri Bupati Jepara
itu berumur 12 tahun, tapi komunikasi tidak berlanjut. Waktu Kartini mulai menulis surat-
suratnya kepada teman-teman puteri di Negeri Belanda, keluarga Van Deventer sudah
meninggalkan Indonesia. Baru lewat surat-surat terbitan Abendanon, keluarga Deventer menaruh
minat terhadap cita-cita Kartini.
Sejak itulah, Nyonya Van Deventer tampil ke muka. Tahun 1913 ia mendirikan Yayasan
Kartini, yang dimaksudkan untuk membuka sekolah-sekolah bagi puteri-puteri pribumi sesudah
van Deventer meninggal (1915), Nyonya Deventer sendirilah yang mengurus segala-galanya
dengan tak kenal lelah. Ribuan murid puteri pun memasuki "Sekolah Kartini" yang bernaung di
bawah Yayasan Kartini.
Waktu Belanda diduduki Jerman (1940), Nyonya Deventer meninggal dalam usia 85 tahun.
Ia mewariskan sejumlah besar dana yang harus dimanfaatkan untuk memajukan bangsa
Indonesia dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dana tersebut dikelola oleh Van Deventer-Maas
Stichting.

29
RADEN HADJI OEMAR SAID TJOKROAMINOTO

Biografi
Salah satu pahlawan pergerakan nasional yang dikenal dengan nama Raden Hajdi Oemar Said
Tjokroaminoto dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1882 di Desa Bukur, Madiun, Jawa Timur,
Indonesia.
H.O.S Tjokroaminoto masuk pangreh praja setelah dia menamatkan studi di OSVIA, Magelang
pada tahun 1990. Kurang lebih selama 7 tahun ia bergabung dalam keanggotaan pangreh praja,
kemudian ia keluar di tahun 1907 karena sistem pendidikan di sana yang dinilai berbau feodal.
Di Indonesia, dia adalah ketua dari Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dia mulai bergabung dengan
Sarekat Islam sejak bulan Mei 1912. Sebelum menjabat sebagai ketua SI, dia bekerja sebagai
teknisi di Pabrik Gula Rogojampi. Selain sebagai pimpinan SI, dia dianggap guru yang patut
diteladani. Ajaran dan didikannya terhadap muridnya melahirkan beberapa tokoh nasional lain,
seperti : Kartosuwiryo (berhaluan agamis), Muso Alimin (berhaluan sosialis/komunis), dan
Soekarno (berhaluan nasionalis). Soekarno, salah satu murid H.O.S Cokroaminoto, adalah tokoh
proklamator dan nasionalis yang menjabat sebagai presiden pertama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sedangkan Muso merupakan pelopor pemberontakan PKI di Madiun,
Indonesia. Muridnya yang lain, Kartosuwiroyo, yang menginginkan terbentuknya Negara Islam
Indonesia menjadi dalang dari gerakan DI/TII.
H.O.S Tjokroaminoto sempat ditangkap oleh Belanda di bulan Agustus 1921. Cukup setahun dia
harus tinggal dibalik jeruji besi, kemudian dia dibebaskan di bulan April 1922. Setelah bebas, ia
mendirikan markas di Kedung Jati di tahun 1922. Di tahun yang sama, ia juga mendirikan
Pembangunan Persatuan.
Di bulan September 1922, dia mulai menulis dan menerbitkan sebuah artikel berseri berjudul
"Islam dan Sosialisme" di Soeara Boemiputera. H.O.S Tjokroaminoto menghembuskan nafas
terakhirnya pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, Indonesia, karena penyakit yang
dideritanya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Pekuncen,
Yogyakarta, Indonesia.

Pendidikan
Menamatkan studi di OSVIA (1990)
Karir
Ketua Sarekat Islam (SI) sejak Mei 1912.

30
BIOGRAFI SINGKAT KH. AHMAD DAHLAN

“Jangan kamu anggap urusan kecil, Muhammadiyah adalah besar…”, inilah salah satu
pernyataan K.H. Ahmad Dahlan, yan tertulis dalam buku Biografi Singkat (1869-1923) K.H.
Ahmad Dahlan. Dalam buku ini, Adi Nugraha ingin menceritakan sosok K.H. Ahmad Dahlan
sebagai pendiri Muhammadiyah. Yang ketika itu umat Islam dan ajaran Islam sedang dilanda
krisis kepercayaan. Seperti ungkap K.H. Ahmad Dahlan dalam buku ini, “tidak mungkin Islam
lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang
bertanggungjawab?”

K.H. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu
Bakar bin Kiai Sulaiman dan Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim. Ayahnya seorang khatib
tetap Masjid Agung Yogyakarta. Sedangkan adalah putri dari Penghulu Besar di Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, tahun 1869. Sebelum ia mendapat gelar dan
nama K.H. Ahmad Dahlan, nama yang diberikan orangtuanya adalah Muhammad Darwis. Nama
K.H. Ahmad Dahlan, ia peroleh dari para Kiai setelah ia selesai menunaikan ibadah haji.

Setelah ia kembali ke Kauman, ia berniat ingin mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.


Alasannya, karena ia merasa resah melihat keadaan umat Islam waktu itu dalam keadaan jumud,
beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik. Dari kondisi inilah hatinya tergerak
untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya menurut ajaran dari Al
Quran dan Hadis.

31
Tekadnya ini, ia amalkan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi
ini, didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Pendirian organisasi ini dipengaruhi
oleh gerakan tadjin (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad
bin Abd Al-Wahab di Arab Saudi, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir dan
lain-lain. Bertolak dari sini, salah satu tindakan nyata yang dilakukannya adalah memperbaiki
arah kiblat, yang awalnya lurus ke barat, tapi kemudian dengan mengacu pada ilmu falak dibuat
agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari Langgar Kidul milik
K.H. Ahmad Dahlan. Caranya dengan membuat garis shaf.

Semenjak didirikan, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan. Selain giat


memberikan pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, ia juga mendirikan berbagai sekolah.
Gerakan membangun pendidikan itu terus berkembang hingga saat ini.

Dalam perjuangannya ini, K.H Dahlan jatuh sakit, dan pada Jumat malam, 7 Rajab tahun
134 Hijriah, ia menghembuskan napas terakhirnya di hadapan keluarganya. Kemudian ia
dimakamkan di makam milik keluarganya di Karangkajen, Yogyakarta.

Dari semua keterangan yang Adi Nugraha tulis dalam buku ini, sudah mewakili biografi
singkat K.H. Ahmad Dahlan. Tetapi, jika dibaca dengan saksama, ada kesalahan ketik yang
menurut saya cukup fatal. Tahun kelahiran K.H. Ahmad Dahlan ada yang tertulis 1968, ada juga
yang tertulis 1969. Di bab 1, penulis banyak menceritakan silsilah tata ruang di Kauman. Padahal
judul di bab 1 adalah Biografi K.H. Ahmad Dahlan. Bukankah seharusnya penulis banyak
menceritakan tentang sosok K.H. Ahmad Dahlan, sejak lahir, masa kanak-kanak, masa remaja,
sampai dia mengutuskan mendirikan Muhammadiyah? Kemudian, penulis juga banyak menulis
kata-kata yang tidak biasa dan tidak menuliskan artinya. Dengan begitu pesan yang disampaikan
ke pembaca kurang kena. Bertolak dari sini, sebagai buku biografi, buku ini sudah cukup
memberi gambaran tentang K.H.Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah.(Riska)***

32
ERNEST DOUWES DEKKER

Nama Lengkap:Dr. Ernest François Eugène Douwes DekkerAlias:Danudirja Setiabudi


Lahir:8 Oktober 1879 di PasuruanWafat:28 Agustus 1950 di bandung, Jawa Barat
Penghargaan:Pahlawan Nasional
Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi, adalah seorang pejuang kemerdekaan dan
pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah salah seorang pencetus dasar-dasar Nasionalisme
Indonesia pada awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan
Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama Nusantara sebagai nama untuk
Hindia Belanda yang merdeka.
Douwes Dekker adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan
Indonesia, selain Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.Douwes Dekker
terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana yang dia tulis pada
riwayat hidupnya, saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913.
Ayahnya, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, adalah seorang agen di Bank
Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya,
Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet, sementara itu, ibu Douwes
Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman dan Jawa.
Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-
pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir
sewaktu keluarga Douwes Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester
Cornelis, Batavia, Jakarta Timur pada tahun 1883, dari situ keluarga Douwes Dekker berpindah
lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.
Pendidikan dasar yang ditempuh Douwes Dekker di Pasuruan, Sekolah lanjutan pertama
diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah

33
setingkat HBS di Batavia. Sesudah lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember
Doeren" di daerah Malang, Jawa Timur milik bangsa Belanda.
Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, ia sering
membela para pekerja, sehingga tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja,
namun disukai pegawai-pegawai bawahannya.
Akibat dari konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di
Kraksaan sebagai laboran, namu berulang sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen
karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani, hingga akhirnya ia
dipecat.
Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Douwes Dekker memutuskan
berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan
Inggris, ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.
Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya yaitu Julius dan Guido, menyusul.
Douwes Dekker tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon, di sana ia mulai berkenalan
dengan sastra India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil
pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya. Douwes Dekker menikah dengan Clara
Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman dan Belanda pada tahun 1903, dan
mendapat lima orang anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-
laki), yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan
keduanya bercerai. Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel
(1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927, Johanna adalah seorang guru
yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan
Douwes Dekker. Dari perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak, di saat Douwes Dekker
dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini akhirnya berpisah, dan di kala itu kemudian
Johanna menikah lagi dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (Arthur
Kolmus). Sewaktu Douwes Dekker melarikan diri dari Suriname dan menetap sebentar di
Belanda tahun 1946, ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta
Geertzema nee Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda memiliki anak satu.
Nelly kemudian menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran pulang ke
Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda, mengetahui bahwa Johanna telah menikah
dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikah mempersunting Nelly sebagai
Istrinya yang ke 3, pada tahun 1947 Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja
Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Harumi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh
Sukarno (Presiden RI Pertama).
Sepeninggalan Douwes Dekker, Harumi menikah lagi dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964
dan kini tinggal di amerika serikat

34
RADEN ADJENG KARTINI

BIOGRAFI
Raden Adjeng Kartini atau Raden Ayu Kartini merupakan sosok wanita pribumi yang
dilahirkan dari keturunan bangsawan anak ke 5 dari 11 bersaudara ini merupakan sosok wanita
yang sangat antusias dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kartini sangat gemar membaca
dan menulis,tapi sangat di sayangkan orang tuanya mengharuskan Kartini menimba ilmu hanya
sampai sekolah dasar karena harus dipingit tetapi karena tekad bulat kartini untuk mencapai cita
citanya, Kartini mulai mengembangkan dengan belajar menulis dan membaca bersama teman
sesama perempuannya, saat itu juga Kartini juga belajar bahasa Belanda.
Kartini tidak pernah patah semangat,dengan rasa keingintahuan yang sangat besar, kartini
ingin selalu membaca surat surat kabar, buku buku dan majalah eropa dari situlah terlintas ide
untuk memajukan wanita wanita Indonesia dari segala keterbelakangan.ditambah dengan
kemampuannya berbahasa Belanda, Kartini juga surat menyurat dengan korespondensi dari
Belanda.
Sempat terjadi surat menyurat antara Kartini dan Mr.J.H Abendanon untuk pengajuan
beasiswa di negeri Belanda, tetapi semua itu tidak pernah terjadi dikarenakan Kartini harus
menikah pada 12 November 1903 dengan Raden Adipati Joyodiningrat yang pernah menikah 3
kali.
Perjuangan Kartini tidak berhenti setelah menikah, beruntung Kartini memiliki suami yang
selalu mendukung akan cita citanya untuk memperjuangkan pendidikan dan martabat kaum
perempuan, dari situlah Kartini mulai memperjuangkan untuk didirikannya sekolah Kartini pada
tahun 1912 di Semarang. Pendirian sekolah wanita tersebut berlanjut di Surabaya, Jogjakarta,

35
Malang, Madiun, Cirebon. Sekolah kartini didirikan oleh yayasan kartini, adapun yayasan
Kartini sendiri didirikan oleh keluarga Van Deventer dan Tokoh Politik etis.
Kartini meninggal Selang beberapa hari setelah melahirkan anak pertama bernama R.M
Soesalit pada 13 September 1904, tepatnya 4 hari setelah kelahiran R.M Soesalit, saat itu usia
Kartini masih telatif muda di usia 25 tahun.
Setelah kematian Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda Mr.J.H Abendanon mulai membukukan surat menyurat kartini dengan teman temannya
di eropa dengan judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap
Terbitlah Terang”.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati
kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu
menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada
masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya
dari belenggu diskriminasi.

Penghargaan
Tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Setiap tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal
sebagai Hari Kartini
Namanya dijadikan nama jalan di beberapa kota di Belanda. Seperti di Utrecht, Venlo,
Amsterdam, Haarlem

36
BIOGRAFI SINGKAT SOEKARNO PRESIDEN PERTAMA RI

Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau
mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur,
Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu,
sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika.
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.
Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi
Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah
Bharata Yudha yaitu Karna. Nama “Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf
“a” berubah menjadi “o” sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I, ejaan nama Soekarno diganti olehnya
sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah. Ia tetap
menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda
tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa
SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere
Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya.
Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische
Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ). Ia berhasil meraih gelar “Ir”
pada 25 Mei 1926.

37
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional
lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan
kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Mengguga, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus
memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun
1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila.
Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara
aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

38
BIOGRAFI MOHAMMAD YAMIN

Biografi
Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Yamin merupakan pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkenal di Indonesia. M.
Yamin memiliki pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika ia bersekolah di
Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di sekolah guru. M. Yamin
juga mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertanian Bogor, Sekolah Dokter Hewan
Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta.
M. yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair terkemuka
angkatan pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang sebagian
dari karyanya menggunakan bahasa melayu. Karya-karya tulis M. Yamin diterbitkan dalam
jurnal Jong Sumatra. Ia juga merupakan salah satu pelopor puisi modern. M. Yamin banyak
menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal yaitu Gajah Mada (1945), Sejarah
Peperangan Diponegoro, Tan Malaka(1945) Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darah (1928),
Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951)
Karir M. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat sebagai ketua Jong
Sumatera Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Setelah itu pada tahun 1931, ia bergabung ke
Partai Indonesia. Tetapi partai tersebut dibubarkan. Karir politiknya berlanjut ketika M. Yamin
mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilipo, dan Amir
Syarifudin.
Sebagai sastrawan, gaya puisi suami dari Siti Sundari ini dikenal dengan gaya berpantun
yang banyak menggunakan akhiran kata berima. Tak hanya itu, ia pun disebut-sebut sebagai
orang pertama yang menggunakan bentuk soneta pada tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan
Pujangga Baru yang berdiri pada tahun 1933. Dibesarkan dalam dunia pendidikan yang berlatar
belakang Belanda, bukan berarti Yamin, sapaannya, memihak Belanda yang kala itu menduduki
Indonesia. Semangat nasionalismenya tetap berkobar dan dibuktikan dalam bentuk karya sastra
dan menghindari kalimat yang kebarat-baratan.

39
M. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di mana
akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan
merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat M. yamin juga pernah
diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara, di
antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952),
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan
Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas
IKBN Antara (1961–1962).
M. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan
di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia menjabat sebagai
Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai
dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.

40
ABIKOESNO TJOKROSOEJOSO

Abikoesno Tjokrosoejoso (juga dieja Abikusno Cokrosuyoso, lahir di Kota Karanganyar,


Kebumen tahun 1897 meninggal tahun 1968) adalah salah satu Bapak Pendiri Kemerdekaan
Indonesia dan penandatangan konstitusi. Ia merupakan anggota Panitia Sembilan yang
merancang pembukaan UUD 1945 (dikenal sebagai Piagam Jakarta). Setelah kemerdekaan, ia
menjabat sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Presidensial pertama Soekarno dan juga
menjadi penasihat Biro Pekerjaan Umum.
Kakak Tjokrosoejoso adalah Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin pertama Sarekat
Islam. Setelah kematian saudaranya pada 17 Desember 1934, Abikoesno mewarisi jabatan
sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Bersama dengan Mohammad Husni
Thamrin, dan Amir Sjarifoeddin, Tjokrosoejoso membentuk Gabungan Politik Indonesia, sebuah
front persatuan yang terdiri dari semua partai politik, kelompok, dan organisasi sosial yang
menganjurkan kemerdekaan negara itu. Mereka menawarkan dukungan penuh kepada otoritas
pemerintahan kolonial Belanda dalam hal pertahanan untuk melawan Jepang jika mereka
diberikan hak untuk mendirikan parlemen di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Belanda menolak
tawaran tersebut.

41
BIOGRAFI MOHAMMAD HATTA

BIOGRAFI
Dr. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa
dengan sebutan Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap disandingkan
dengan Soekarno. Tak hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta juga dikenal sebagai
seorang organisatoris, aktivis partai politik, negarawan, proklamator, pelopor koperasi, dan
seorang wakil presiden pertama di Indonesia. Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia terpilih
menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond wilayah Padang pada tahun 1916. Pengetahuan
politiknya berkembang dengan cepat saat Hatta sering menghadiri berbagai ceramah dan
pertemuan-pertemuan politik. Secara berkelanjutan, Hatta melanjutkan kiprahnya terjun di dunia
politik. Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan
sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya,
organisasi tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera
berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische
Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai
bendahara pada tahun 1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI,
Hatta mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan
Pertentangan Kekuasaan". Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia
yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut
terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan
dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.
Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional
untuk perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama
Indonesia dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi
internasional. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.
Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda
bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat
sebelum akhirnya dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia
Free. Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan
organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
42
politik rakyat Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan. Pada tahun 1933, Soekarno
diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta. Ia mulai menulis mengenai
pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah kolonial
Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan
menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul, Papua. Pada
masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca
buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya,
pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir
dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada
anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.
Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada
tahun 1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat
itulah Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti nama menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua. Sehari
sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan
keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah
tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia.
Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia
dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian
linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena
kecurangan Belanda. Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui
Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia
dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya
kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI
sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan
dipimpin oleh Jenderal Soedirman. Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27
desembar 1949, Ratu Juliana memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.
Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-
ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam
karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli
1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari
kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.
Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia,
Gemala, dan Halida. Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto
Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta
mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang
diberikan oleh Presiden Soeharto.

43

Anda mungkin juga menyukai