Anda di halaman 1dari 364

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1945

Cetakan Pertama, Oktober 2018

PENASEHAT

Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI


Dr. Bambang Sadono, S.H., M.H.
Prof. Dr. Hendrawan Supratikno
H. Rambe Kamarul Zaman, M.Sc, M.M.
Martin Hutabarat, S.H.
Ir. H. Tifatul Sembiring

PENGARAH
Dr. Ma’ruf Cahyono, S.H., M.H.

WAKIL PENGARAH
Dra. Selfi Zaini

PENANGGUNG JAWAB
Drs. Yana Indrawan, M.Si.

EDITOR
Tommy Andana, Siti Aminah,
Otto Trengginas Setiawan dan Pradita Devis Dukarno

TIM PENYUSUN
Universitas Indonesia dan Biro Pengkajian Setjen MPR

ISBN :
978-602-5676-18-5

Diterbitkan oleh Badan Pengkajian MPR RI

ii
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa atas telah diterbitkannya Buku Naskah Akademik Rancangan Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Buku Naskah Akademik
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini merupakan
dokumentasi gagasan dari akademisi muda yang menjadi finalis Constitutional Drafting
Padjadjaran Law Fair X Tahun 2018 yang diselenggarakan pada tanggal 20-22 April
2018 di Bandung. Para finalis lomba tersebut adalah Universitas Brawijaya, Universitas
Diponegoro, Universitas Indonesia, Universitas Pelita Harapan, dan Universitas
Tarumanegara.

Mengingat pentingnya buku ini sebagai salah satu referensi ilmiah ketatanegaraan
lndonesia, maka dipandang perlu untuk melakukan penerbitan dan penyebarluasan
dengan maksud agar dapat memperkaya dan memperluas cakrawala pemahaman
ketatanegaraan masyarakat luas, utamanya generasi muda Indonesia.

Materi Buku Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 ini tidak diubah, beberapa koreksi dan revisi redaksional telah
dilakukan dengan tetap memperhatikan autentifikasi materi sebagaimana yang
disampaikan oleh para finalis Constitutional Drafting Padjadjaran Law Fair X Tahun
2018.

Akhir kata, kami menyampaikan permohonan maaf bila terdapat ketidaksempurnaan


dalam penerbitan Buku Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini. Semoga buku ini dapat memberikan
manfaat dan menjadi sumbangsih bagi bangsa dan negara untuk peningkatan pemahaman
konstitusi oleh masyarakat Indonesia.

Kepala Biro Pengkajian,

ttd

Yana Indrawan

iii
iv
Laju perkembangan ilmu pengetahuan bergerak cepat, hampir setiap tahun ada
gagasan baru dari para akademisi yang dapat digunakan untuk menjadi rujukan dalam
pengambilan kebijakan. Pelaksanaan Constitutional Drafting Padjajaran Law Fair
X Tahun 2018 merupakan ajang akademisi muda untuk mempresentasikan gagasan
terbaru di bidang sistem ketatanegaraan lndonesia. Melihat pentingnya naskah yang
memuat gagasan para mahasiswa tentang sistem ketatanegaraan lndonesia, MPR
bermaksud untuk mendokumentasi materi yang dimuat dalam naskah akademik
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tema kegiatan Constitutional Drafting Padjajaran Law Fair X Tahun 2018 yang
diselenggarakan pada tanggal 20-22 April 2018 di Bandung sejalan dengan kegiatan
pengkajian yang dilakukan oleh MPR dalam rangka melaksanakan tugas pengkajian
sistem ketatanegaraan dan menyerap aspirasi masyarakat serta sosialisasi tentang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, kegiatan
ini memiliki peran sebagai media pembelajaran konstitusi bagi generasi muda Indonesia
melalui penulisan naskah akademik yang mengedepankan proses-proses pemikiran,
analisa, serta pemahaman-pemahaman ketatanegaraan yang kritis dan konstruktif.

Penyelenggaraan Constitutional Drafting Padjajaran Law Fair 2018 ini memiliki


materi edukasi nilai-nilai luhur bangsa dan materi kajian terhadap sistem ketatanegaraan
Indonesia sebagai salah satu media atau sarana efektif dalam memberikan pemahaman
mengenai konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia kepada generasi penerus
bangsa.

Demikian penting dan strategisnya keberadaan generasi muda untuk membangun


Indonesia masa depan, sehingga para generasi muda ini harus terus kita bangun jiwanya.
Kita bangun semangatnya agar memiliki semangat kebangsaan yang tinggi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan, nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai persatuan
bangsa, serta nilai-nilai ke-bhinneka-an.

Visi MPR adalah sebagai “Rumah Kebangsaan, Pengawal Ideologi Pancasila dan
Kedaulatan Rakyat”. Dengan visi tersebut, MPR diharapkan dapat menjadi representasi
majelis kebangsaan yang menjalankan mandat konstitusional untuk menjembatani
berbagai arus perubahan, pemikiran, serta aspirasi masyarakat dan

v
daerah. Sebagai lembaga negara yang memiliki wewenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR
diharapkan dapat mengawal ideologi Pancasila sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar. Sebagai lembaga demokrasi dan kedaulatan
rakyat, MPR diharapkan dapat mengawal kedaulatan rakyat melalui kewenangan
tertinggi yang dimilikinya yaitu mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
sesuai dengan kebutuhan penyelenggara negara dan kehendak masyarakat.
Akhir kata, semoga naskah akademik Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat menjadi sumbang saran generasi muda
dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Sekretaris Jenderal MPR RI,

ttd

Ma’ruf Cahyono, SH., MH

vi
SAMBUTAN
PIMPINAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,

Konstitusi merupakan hukum yang dianggap paling tinggi tingkatan dan


tujuannya. Tujuan yang tertinggi itu antara lain mengandung nilai-nilai kebajikan
seperti keadilan, ketertiban, dan perwujudan cita-cita kemerdekaan atau kebebasan
serta kesejahteraan. Dalam konteks konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan bemegara termuat dalam Pembukaan
Alinea ke-4 yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah produk


politik sebagai resultan dari berbagai kepentingan politik masyarakat dan daerah, yang
niscaya akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai
konsekuensi dari karakteristik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution).

Menjadi sebuah catatan bagi kita semua bahwa konstitusi di negara manapun
tidak ada yang sempurna, ada kekurangan atau kelemahan tertentu. Dengan
konstitusi yang jauh lebih sempurna pun belumlah cukup menjamin bahwa
implementasi dari mandat konstitusi tersebut bisa dijalankan sebagaimana rumusan
subtantifnya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk kita pahami bersama,
pelaksanaan dari mandat konstitusi merupakan kebutuhan mendasar bagi bangsa
Indonesia dalam menghadapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri.

Semangat pelaksanaan amanat konstitusi tersebut selaras dengan implementasi


peran dan wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. MPR sebagai salah satu lembaga negara pelaksana kedaulatan
rakyat memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis dan konstitusional.

vii
Dalam kerangka ini, Badan Pengkajian MPR sebagai salah satu alat kelengkapan
MPR - memiliki peran penting untuk mendukung wewenang dan tugas konstitusional
MPR sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang Undang Nomor I7 Tahun 2014 jo, Nomor 42 Tahun
2014 yang kemudian diubah menjadi Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD, maupun Peraturan MPR Nomor I Tahun 2014 Tentang Tata Tertib MPR,
serta Keputusan MPR Nomor 4/MPR/20l4 Tentang Rekomendasi MPR masa Jabatan
2009-2014.

Penyelenggaraan Constitutional Drafting Law Fair X Tahun 2018 dapat


dipandang sebagai salah satu subjek kajian sistem ketatanegaraan yang memiliki peran
penting dalam memberikan pemahaman secara utuh dalam ruang lingkup mengkaji
sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun l945
serta pelaksanaannya.

Constitutional Drafting Law Fair X Tahun 2018 merupakan salah satu upaya dan
ikhtiar kita bersama dalam mengembangkan budaya sadar berkonstitusi, sadar
berdemokrasi, dan sadar akan nilai-nilai kebangsaan. Melalui pemahaman tersebut,
tujuan akhir yang hendak kita capai adalah terbentuknya mental dan karakter bangsa
yang mandiri, bermartabat, berdikari, berintegritas serta berkepribadian Indonesia,
utamanya di kalangan generasi muda Indonesia.

Dalam kesempatan ini, tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada para
finalis Constitutional Drafting Law Fair X Tahun 2018, yang telah bersedia karyanya
diterbitkan. Semoga karya ini dapat memberikan semangat dan inspirasi kepada
generasi muda lainya untuk terus memahami konstitusi dan menjadi rujukan bagi
Anggota MPR dan pihak berkepentingan dalam rangka melakukan pengkajian
komprehensif mengenai sistem ketatanegaraan.

wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Juli 2018


PIMPINAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI
Ketua,

ttd

Dr. BAMBANG SADONO, S.H., M.H.

Wakil Ketua, Wakil Ketua,

ttd ttd

PROF. DR. HENDRAWAN SUPRATIKNO RAMBE KAMARUL ZAMAN, M.SC., M.M.

Wakil Ketua, Wakil Ketua,

ttd ttd

MARTIN HUTABARAT, S.H. Ir. H. TIFATUL SEMBIRING

viii
KATA PENGANTAR KEPALA BIRO PENGKAJIAN MPR RI .............................. iii
SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL MPR RI .....................................................v
SAMBUTAN PIMPINAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI ....................................vii
DAFTAR ISI......................................................................................................................ix

134

ix
TAHUN 1945

x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diskursus mengenai idealitas kenegaraan menghantarkan kita pada evaluasi terhadap
pengejawantahan vital suatu demokrasi perwakilan dan pencerminan kedaulatan rakyat,
yakni Pemilihan Umum. Pemilu demokratis menjadi awal bagi kelangsungan transisi
demokrasi yang mewadahi pluralisme politik dan partisipasi sipil secara terbuka dan
mandiri. Salah satu institusi penting yang menghantarkan pemilu demokratik di negara-
nagara baru adalah adanya badan penyelenggara pemilu (electoral management body)
yang independen yang didukung legitimasi konstitusional yang kuat dan jelas.
Keberhasilan dan keberlangsungan pemilu yang diselenggarakan sesuai prinsip-prinsip
universal demokrasi meniscayakan adanya penyelenggara pemilu yang memiliki
legitimasi konstitusional dan publik. Legitimasi konstitusional idealnya ialah kedudukan
penyelenggara pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Dasar yang menjabarkan
kedudukan, tugas, dan kewenangannya secara jelas. Sedangkan legitimasi publik
berkaitan dengan sikap dan pengakuan partai politik, calon, serta masyarakat terhadap
institusi penyelenggara pemilu dan keputusan-keputusan yang dibuat dalam
penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks Indonesia, untuk membangun kepercayaan
publik kepada electoral management body, maka proses pemilu harus berlangsung secara
demokratik sesuai asas-asas penyelenggaraan pemilu yang demokratik, dan dibutuhkan
rekonstruksi normatif yang berangkat dari pemahaman philosophische grondslag dari
penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.
Membahas pergulatan pencarian sistem pemilu di Indonesia, tidak dapat dialienasikan
dari konsep sistem pemilu itu sendiri. Terdapat beberapa dimensi sistem pemilu dalam
kerangka memahami sebuah sistem pemilu yang tepat untuk diterapkan di sebuah Negara.
Beberapa dimensi sistem pemilu dikemukakan Arend Lijphart yang memberikan 7 (tujuh)
dimensi yang terkait dengan sistem pemilu yaitu:
1. Formula pemilihan (electoral formula);
2. Besaran distrik (district magnitude);
3. Ambang batas (threshold);
4. Jumlah anggota Dewan yang dipilih (the total membership of the body to be
elected);

1
5. Pengaruh pemilihan presiden di pemilihan legislatif (the influence of presidential
election on legislative election);
6. Malapportionment; dan
7. Hubungan antar-partai (inter-party electoral link)1
Selain itu, terdapat isu utama terkait pilihan sistem pemilu proporsional yang hendak
digunakan dalam proses pencarian di Indonesia serta ada 3 (tiga) isu atau dimensi lain
yang dinilai sebagai isu paling strategis, yaitu:
1. Pembagian kursi/formula pemilihan (electoral formula);
2. Besaran daerah pemilihan (district magnitude) dan pembentukan daerah
pemilihan (districting); dan
3. Ambang batas (threshold).
Ketiga isu utama tersebut akan mengarah pada penamaan sistem proporsional yang
dipilih, apakah sistem proporsional tertutup atau sistem proporsional terbuka. Oleh karena
itu, isu tentang penamaan sistem pemilu (proporsional) menjadi satu perdebatan
tersendiri. Selain itu, dalam membahas isu electoral formula sekaligus perlu dibahas
bagaimana penyuaraan (balloting) sebagaimana dikemukakan Rae bahwa penyuaraan
merupakan sebuah spesifikasi peran rakyat bagaimana cara memilih dalam pemilu serta
apakah akan memilih atau tidak dalam pemilu.2 Tiga isu strategis ini merupakan dimensi
utama yang terkait dengan perumusan sistem pemilu (electoral system) yang akan
memberi konsekuensi kepada proporsionalitas hasil pemilu dan sistem kepartaian yang
hendak dibangun.3 Sebagaimana dikemukakan oleh Lijphart 3 (tiga) tipe utama formula
pemilihan dan alokasi kursi yaitu formula majoritarian (plurality, two-ballot systems, dan
alternative vote), proportional representation (largest remainder, highest averages, dan
single transferable vote formulas), dan semi-proportional system (seperti cummulative
vote dan limited vote).
Adapun tujuan utama dari sistem proporsional di beberapa negara adalah untuk
mencapai proporsionalitas dan perwakilan yang lebih baik bagi kaum minoritas


1
Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Form and Performance in Thirty-Six Countries,
New Haven and London, Yale University Press, 1999, hal. 144.
2
Douglas W. Rae, The Political Consequences of Electoral Laws, New Haven dan London, Yale
University Press, 1967, hal. 3.
3
Arend Lijphart, Electoral System and Party System:…op.cit, hal. 10.

2
dibandingkan dengan sistem majoritarian. Pada status quo saat ini, UU Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (pemilu) menyebut adanya dua lembaga
electoral management body (EMB) atau lembaga kepemiluan yakni Komisi Pemilihan
Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sedangkan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak dikategorikan sebagai penyelenggara Pemilu karena
tugas dan kewenangannya tidak secara langsung berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilu. DKPP lebih pada penindakan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Landasan konstitusional KPU pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 mandemen Keempat adalah Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, namun secara
redaksional tertulis “komisi pemilihan umum” dengan huruf kecil sehingga tidak terdapat
ketentuan mengikat yang eksklusif mengenai kelembagaan Komisi Pemilihan Umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Keempat tidak memasukkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke dalam bab yang
mengatur tentang Pemilu. Sehinggaa Pemilukada tidak tergolong dalam rezim Pemilu.
Oleh karena itu dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 amandemen keempat tidak
memasukkan frasa kepala daerah dalam bab Pemilihan Umum. Hal ini berimplikasi pada
awal penyelenggaraan Pilkada, kewenangan untuk menangani sengketa Pemilukada
diserahkan kepada Mahkamah Agung karena tidak termasuk dalam kewenangan MK
untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum.
Namun setelah munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum, menggolongkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal 1 ayat
(4) Ketentuan Umum yang berbunyi, “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Selanjutnya, muncul
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian mengalihkan penanganan
sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Peralihan
kewenangan penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 236C
yang menyatakan bahwa: “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan

3
kepala daerah dan wakil kepada daerah oleh Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi
paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Yang ditindaklanjuti dengan dibuatnya nota kesepahaman pada tahun 2008 tentang
pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa Pilkada dari Mahkamah
Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU Mahkamah Konstitusi (UU
Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya UU Nomor 8 Tahun 2011), tidak ada frasa yang
menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara
sengketa Pilkada. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa
“kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.” Kemudian terdapat frasa
tentang penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan Pasal 29 ayat
(1) huruf e yang mengatakan bahwa “dalam ketentuan ini termasuk kewenangan
memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah
Konstitusi berbagi fokus antara wewenang yang diberikan secara konstitusional dengan
ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pilkada yang diatur dalam UU Mahkamah
Konstitusi yakni paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Mahkamah Konstitusi. Awalnya Mahkamah Konstitusi
hanya cukup menangani sengketa Pemilu Presiden dan DPR, DPD, dan DPRD untuk 5
(lima) tahun sekali. Namun semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap
penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah
Konstitusi jadi disibukkan oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin dan terus
menerus. Hal ini pun kontradiktif dengan penafsiran original intent Undang-Undang
Dasar bahwa Pilkada tak termasuk dalam rezim Pemilu.4
Namun kenyataan bahwa pada hakikatnya Pilkada dilakukan menurut prinsip-prinsip
pemilu, menimbulkan pertanyaan mendasar apakah pengaturan mengenai Pilkada masih
harus dibedakan dengan sekadar alasan original intent dan membiarkannya tanpa
kepastian hukum melalui penormaan. Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa “dipilih
secara demokratis” baik menurut original intent maupun dalam berbagai putusan


4
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/mk/2013/97%20PUU-XI-2013.pdf

4
Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat
maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada
saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda
mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala
daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat sementara pendapat lain menghendaki tidak
secara langsung oleh rakyat yakni melalui DPRD. Latar belakang pemikiran lahirnya
rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah
yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap
daerah yang bersangkutan. Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem
pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat di dalam Pemilihan Kepala Daerah
sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan
yang dilakukan oleh DPRD atau melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Tujuannya ialah menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk
menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan open
legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan
dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat
yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem
pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap
dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan demokrasi
langsung maupun tidak langsung, sama-sama masuk kategori sistem yang demokratis.
Berdasarkan pandangan tersebut kemudian disepakati menggunakan kata demokratis
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala daerah diatur dalam
Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan daerah, maka peraturan
turunan yakni Undang-Undang Pemerintahan Daerah kemudian mengatur pula mengenai
pemilihan kepala daerah dan penyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah
Agung. Jika berdasarkan kewenangannya, pembentuk Undang-Undang menentukan
pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, maka tidak relevan kewenangan
Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah. Menurut Mahkamah konstitusi dalam Putusan 97/PUU-XI/2013
dinyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tidak serta merta dapat dimaknai sebagai
pemilihan umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.

5
Pengalihan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah
Agung kepada Mahkamah Konstitusi bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
072-73/PUU-II/2004, yang mana dalam halaman 114 angka 6 putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan antara lain, sebagai berikut:
“Sebagai akibat logis dari pendapat Para Pemohon yang menyatakan bahwa Pilkada
langsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang
dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 maka perselisihan mengenai hasil
pemilu, menurut Para Pemohon harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Tentang
permohonan Para Pemohon untuk menyatakan Pasal 106 ayat (1) sampai dengan
ayat (7) sebagai bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa
secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa
Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945, sehingga oleh karena itu, perselisihan
mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga
dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang
disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan
sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal
24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang.”
Meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut di atas Mahkamah tidak secara tegas
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung termasuk dalam kategori
pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, namun
Mahkamah memberi ruang kepada pembentuk Undang-Undang untuk memperluas
makna pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 dengan
memasukkan pemilihan kepala daerah. Pun dalam putusan Mahkamah tersebut, terdapat
tiga hakim konstitusi yaitu H. M. Laica Marzuki, A. Mukthie Fadjar dan Maruarar
Siahaan yang memberikan dissenting opinion yang memasukkan pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat sebagai bagian dari rezim hukum pemilihan umum.
Berdasarkan putusan Mahkamah itulah kemudian pembentuk Undang-Undang melalui

6
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
memasukkan pemilihan kepala daerah dalam rezim pemilihan umum, kemudian
mengalihkan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke
Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009
menambahkan satu kewenangan lain dari Mahkamah Konstitusi yaitu menyelesaikan
perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Namun walaupun Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang kebebasan bagi
pembentuk Undang-Undang untuk memasukkan atau tidak memasukkan pemilihan
kepala daerah sebagai bagian dari rezim pemilihan umum berdasarkan putusan
Mahkamah tersebut di atas, akan tetapi Mahkamah Konstitusi kemudian
mempertimbangkan kembali segala aspek yang terkait dengan pemilihan kepala daerah
dari segi original intent, makna teks, dan sistematika pengaturannya dalam UUD 1945,
maupun perkembangan putusan Mahkamah dalam rangka membangun sistem yang
konsisten sesuai dengan UUD 1945. Hal ini menjadi sangat penting mengingat ketentuan
mengenai lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945 dan kewenangannya
masing-masing harus secara rigid mengikuti norma konstitusi. Dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, Mahkamah antara lain mempertimbangkan
sebagai berikut:
“Selain itu dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut
hubungan antar lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945
telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut.
Dalam hal Mahkamah terpaksa harus melakukan penafsiran atas ketentuan yang
mengatur sebuah lembaga negara, maka Mahkamah harus menerapkan penafsiran
original intent, tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk
juga ketentuan tentang kewenangan lembaga negara yang ditetapkan oleh UUD
1945.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalam memahami
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
harus kembali melihat makna teks, original intent, makna gramatikal yang komprehensif
terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas,

7
pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945, harus dimaknai secara limitatif yaitu
pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DRPD, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Makna
tersebut dipegang teguh dalam Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 antara lain,
“Apabila diteliti lebih lanjut, makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan
UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Presiden adalah
dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Pada bagian lain,
putusan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 22 ayat (2) UUD 1945
yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu
tarikan nafas, yakni, "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Berdasarkan putusan tersebut yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun
sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD,
serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali. Dengan
demikian jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan
umum, akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali
karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan
waktu yang berbeda-beda.5 Perdebatan perihal rezim pemilu, sistem pemilu yang paling
tepat dan demokratis hingga permasalahan sengketa pemilihan umum, mengakar pada
suatu problematika fundamental yang belum secara rigid mengatur. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu amandemen terhadap staatsgrundgezets bangsa Indonesia, yakni
Undang-Undang Dasar 1945 untuk meletakkan fondasi konstitusional terhadap sang
pesta demokrasi.

1.2 Identifikasi Masalah


Perubahan UUD 1945 yang telah dilaksanakan secara bertahap dari tahun 1999
hingga 2002 telah menghasilkan UUD yang berlaku saat ini. Dengan semakin
berkembangnya masyarakat Indonesia telah muncul beberapa permasalahan yang
berkaitan secara fundamental dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan


5
Mahkamah Konstitusi, “Bukan Kewenangan Konstitusional”,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12810#.Wq__WqhubIU

8
latar belakang yang telah dipaparkan, identifikasi masalah yang akan diuraikan dalam
naskah akademik Rancangan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ruang lingkup dari rezim Pemilihan Umum didefinisikan?
2. Bagaimana penyesuaian norma yang perlu dilakukan ke dalam konstitusi untuk
menetapkan sistem Pemilihan Umum Republik Indonesia?
3. Bagaimana perumusan penjaminan pertanggungjawaban yang tepat bagi wakil
rakyat terhadap rakyat sebagai pemilih dalam konstitusi?
4. Bagaimana kelembagaan penyelenggaraan pemilihan umum dapat dibuat lebih
efektif secara fundamental dalam konstitusi?
5. Bagaimana penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan hasil pemilihan umum
harus diatur dalam konstitusi?
6. Bagaimana peran Dewan Perwakilan Daerah dapat diperkuat dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia di dalam konstitusi?
7. Bagaimana sistem presidensial dapat diperkuat dalam konstitusi?
8. Bagaimana peran perempuan dalam lembaga legislatif dapat dijamin dalam
konstitusi?

1.3 Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dari penyusunan naskah akademik amandemen UUD 1945 yang kelima ini
adalah:
1. Mendefinisikan ruang lingkup rezim pemilihan umum;
2. Menetapkan sistem pemilu dalam konstitusi;
3. Menginternalisasi penarikan kembali wakil rakyat oleh warga negara ke dalam
konstitusi;
4. Menetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu lembaga yang diatur
secara rinci dalam konstitusi;
5. Menetapkan Mahkamah Pemilu sebagai badan penyelesaian sengketa yang
berkaitan dengan hasil pemilihan umum dalam konstitusi;
6. Memperkuat peran dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia;
7. Menjamin keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.

9
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan naskah akademik rancangan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ini memuat sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan


dan kegunaan, sistematika penulisan serta metode penulisan.
Bab 2 : Dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Bab 3 : Landasan pemikiran Perubahan Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Bab 4 : Pembahasan, yang memaparkan mengenai konsep-konsep Rancangan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Bab 5 : Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Bab 6 : Penutup, yang menguraikan kesimpulan dan saran.

1.5 Metode Penelitian


Dalam melakukan amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut:
1. Metode Yuridis Normatif, atau dalam metode ROCCIPI yang digagas oleh Robert
B. Seidman dan Ann Seidman disebut sebagai kategori aturan (rule) dimana dalam
metode ini dilakukan melalui studi pustaka yaitu dengan menelaah bahan.
a. Bahan hukum Primer, yaitu:
i. UUD 1945 dan perubahannya;
ii. Konstitusi RIS;
iii. UUD Sementara tahun 1950.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu:
i. Buku-buku;
ii. Hasil penelitian;
iii. Risalah sidang;
iv. Artikel atau tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
c. Bahan hukum tersier, berupa:

10
i. Kamus hukum;
ii. Kamus umum;
iii. Ensiklopedi.
Adapun data yang diperoleh berupa data sekunder yang diolah dengan menggunakan
teknik content analisys untuk menghasilkan kesimpulan. Metode Pendekatan ROCCIPI
digunakan untuk meneliti suatu peraturan perundangundangan dengan 7 (tujuh) kategori
yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan),
Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Proses) dan Ideology
(Ideologi).

Rule (Peraturan)
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah menghasilkan konstitusi yang lebih baik dari pendahulunya, namun tidak dapat
dipungkiri ada saja faktor yang muncul sebagai alasan dilakukannya perubahan. Dari
penggunaan frasa yang kurang tepat hingga kerancuan atau ketidaksesuaian pasal tersebut
untuk diterapkan saat ini karena manfaatnya tidak dapat dirasakan apabila tetap
dipertahankan. Perubahan ini juga didorong oleh berbagai macam faktor seperti, belum
dimasukkannya pengaturan mengenai konsep pemilihan umum serta beberapa hal terkait
dengan pemilu, masalah kekuasaan kehakiman, dan masalah lainnya.
Sebuah konstitusi seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 memang memiliki sifat rigid, namun bukan berarti tidak dapat diubah. Dalam UUD
1945 sendiri telah mengatur mengenai perubahan UUD 1945 yang termaktub dalam pasal
37. Dalam hal perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat diamanatkan sebagai pihak
yang berwenang dalam mengubah UUD 1945. Dalam menyusun Rancangan Undang-
Undang Dasar yang menjadi dasar perubahan ialah pertama, perubahan beberapa pasal
yang menimbulkan penafsiran yang ambigu ataupun multitafsir. Padahal Undang-
Undang Dasar seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh bangsa Indonesia, tidak
seharusnya menimbulkan kebingungan. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
kesenjangan hukum yang merupakan masalah yang harus diselesaikan. Kedua,
penambahan beberapa pasal yang diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan
yang timbul akibat adanya kesenjangan dari peraturan yang sebelumnya berlaku.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pokok kajian

11
yang meskipun telah mengalami perubahan masih menimbulkan ketidaksesuaian di
tengah rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan eksistensinya perlu dilakukannya perubahan
kelima.
Perubahan ini tentunya diharapkan mampu mewujudkan perbaikan sistem di berbagai
bidang, yang merata dan dapat dirasakan oleh seluruh pihak. Hal ini juga diharapkan
mampu membawa undang-undang dasar sebagai dasar hukum atau peraturan yang ada di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dapat menjadi alat yang menyatukan seluruh
bangsa dan bukan sebagai alat pemuas dari pihak-pihak tertentu.

Opportunity (Kesempatan)
Hukum memiliki peran sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku masyarakat.
Hukum memuat sistem politik dan juga sistem bernegara, dan menjadi satu kesatuan alat
pengatur sistem yang sah. Fungsi UUD 1945 sebagai sumber hukum memiliki peranan
yang sangat penting untuk mengatur bagaimana negara ini berjalan. Dengan hukum yang
sesuai dengan kultur masyarakat akan memberikan peluang perbaikan kehidupan
berbangsa yang baik. Perdamaian dan kesejahteraan dapat terwujud di tengah masyarakat.
Lembaga negara dapat menjalankan fungsinya dengan perbaikan sistem sesuai yang
diamanatkan oleh UUD 1945. Perubahan diharapkan mampu menciptakan lingkungan
negara yang sesuai dengan kebutuhan sehingga timbul kepercayaan (trust) pada
pemerintah untuk memegang tongkat kekuasaan di Indonesia untuk menjalankan negara.

Capacity (Kemampuan)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
dasar hukum (grondwet) dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia
mencakup segala hal untuk mengatur kehidupan segenap bangsa Indonesia. Perbaikan
sistem lembaga negara agar tercipta check and balances, serta merekonstruksi lembaga
perwakilan rakyat beserta sistem pemilu yang ideal akan membuat Indonesia menjadi
lebih baik. Perubahan konstitusi dimaksudkan untuk dapat dirasakan pada seluruh bangsa
Indonesia, tidak hanya di daerah pusat tapi di seluruh wilayah Indonesia.

Communication (Komunikasi)

12
Sebelum dilakukannya perubahan dalam hal ini pengesahan Rancangan Undang-
Undang Dasar peran masyarakat sangat berarti. Dengan menyampaikan hasil rancangan,
alasan perubahan, justifikasi, dan dampak perubahannya ke publik agar tercipta timbal
balik dan masyarakat mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk berpartisipasi.
Penyampaian rancangan undang-undang dasar tidak hanya dengan metode penyebaran
informasi satu arah, namun juga dapat dilakukan dengan diskusi kelompok untuk
membahas secara bersama-sama kemudian mendapatkan solusi, apakah perubahan ini
dirasakan tepat atau sebaliknya, atau memberikan saran kepada pemerintah. Setelah
dilakukannya perubahan maka diperlukan adanya sosialisasi kepada masyarakat
mengenai perubahannya agar efektivitas dapat tercapai. Penyebaran informasi yang
semakin berkembang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi, sosialisasi
dapat dilakukan dengan mudah baik melalui kampanye media cetak, melalui liputan di
televisi, bahkan melalui media elektronik.

Interest (Kepentingan)
Adanya urgensi perubahan mengaitkan seluruh lapisan masyarakat hingga pemangku
kekuasaan. Perubahan UUD 1945 memiliki efek yang sangat besar bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagai pemenuhan kepentingan dari tujuan hukum itu sendiri,
yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Penyelenggaraan negara yang
berpedoman pada UUD 1945 akan memberikan dampak yang positif berupa
mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu tujuan Negara. Namun akan
percuma jika pemerintah memedomani UUD yang justru tidak sesuai lagi untuk
diterapkan pada masa kini. Untuk itu perubahan UUD 1945 memiliki efek domino yang
mengaitkan dan berdampak bagi seluruh pihak, baik pemegang kekuasaan maupun rakyat
sebagai sasarannya. Diharapkan dengan adanya amandemen kelima Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 ini, dapat menjawab segala tantangan zaman yang ada sehingga
kehidupan bernegara akan menjadi lancar.

Process (Proses)
Indonesia memberlakukan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 yang disusun sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan sendiri. UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis pertama

13
kali.6 Soekarno sendiri sebagai ketua PPKI mengatakan sifat sementara UUD 1945,
karena disadari kurang lengkap dan kurang sempurnanya UUD yang bersifat sementara.
Naskah UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI meliputi Pembukaan dan pasal-pasal yang
terdiri atas 71 butir ketentuan tanpa sebuah penjelasan. Sebagaimana menurut Yamin,
Konstitusi RI adalah yang diputuskan dalam rapat besar PPKI 18 Agustus 1945, sehingga
konstitusi memiliki kekuatan mengikat.7 Dalam prosesnya UUD 1945 sempat berganti
menjadi Konstitusi RIS, UUDS hingga pada akhirnya kembali diberlakukan. UUD 1945
telah mengalami amandemen pada tahun 1999-2002 yang dilakukan dengan 4 (empat)
kali amandemen.
Tuntutan perubahan UUD 1945 merupakan bagian integral dari tuntutan reformasi.
Tidak ada catatan resmi mengenai siapa yang pertama kali melontarkan gagasan
perubahan UUD 1945 secara eksplisit. Isu perubahan UUD 1945 mulai menjadi wacana
yang menyita perhatian publik pada tahun 1998. Berbagai kalangan, mulai dari unsur
akademisi hingga pejabat, melontarkan gagasan-gagasan seputar perubahan UUD 1945.8
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan merupakan adendum atau sisipan dari konstitusi
yang asli. Sehingga konstitusi asli tetap berlaku. Adapun bagian yang diamandemen
merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Bagian perubahan dengan konstitusi
aslinya masih terkait. Nilai-nilai lama dalam konstitusi asli yang belum berubah masih
tetap eksis.

Ideology (Ideologi)
Pancasila yang merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar
budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur dari Pancasila sudah semestinya dapat
diimplementasikan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang merupakan dasar dari hukum Indonesia, yang menempati puncak dari piramida
perundang-undangan. Sesuai dengan seluruh nilai-nilai pokok yang telah teruntai dalam
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk mencapai keadilan,
negara yang berdaulat, persatuan Indonesia dan nilai-nilai lainnya maka diperlukan


6
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan, 1999 – 2002 Jilid I
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), hlm. 13.
7
Mahkamah Konstitusi, Ibid., hlm. 38
8
Mahkamah Konstitusi, Ibid., hlm. 84.

14
perbaikan peraturan yang dapat menyelaraskan masyarakat sehingga dapat meredakan
kesenjangan yang timbul di tengah masyarakat.
Ideologi Pancasila harus selalu diterapkan dalam kehidupan bernegara. Pancasila
sebagai dasar dalam melakukan segala tindakan, termasuk pula dalam hal melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, perubahan UUD 1945
harus mengacu dan berpedoman pada Pancasila sebagai landasan hidup bangsa.

2. Metode Yuridis Empiris atau Penelitian Sosio-legal adalah metode penelitian
yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran
dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran
koresponden adalah fakta yang mutakhir. Pada metode ini diawali dengan
penelitian normatif atau penelaahan terhadap eksistensi dan pemberlakuan UUD
1945 di tengah masyarakat yang menimbulkan kesenjangan, pengumpulan data
dengan studi kepustakaan yang sehubungan dengan permasalahan dan
mengkajinya dari berbagai bidang, seperti sosial, budaya, dan politik.

15
BAB II
DASAR FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS, DAN POLITIS

2.1Dasar Filosofis
Untuk membentuk atau mengubah konstitusi perlu memperhatikan tiga lapisan
konstruksi konstitusi yaitu, ilmu konstitusi, teori konstitusi, dan filsafat konstitusi. Setiap
konstruksi itu, terdapat lapisan-lapisan konstitusi yang bersimbiosis, sehingga konstitusi
itu dapat memenuhi unsur sebagai sebuah konstitusi sekaligus memenuhi unsur
keabsahan suatu undang-undang dan undang-undang itu pun memenuhi syarat sebagai
sebuah konstitusi negara. Konstruksi-konstitusi itu terdiri dari:9
(1) Ilmu Konstitusi, yang terdiri dari lapisan:
a. Ilmu Dogmatik Konstitusi: artinya konstitusi dikonsepkan sama makna
dengan undang-undang, dan konstitusi dikonsepkan sebagai norma
positif yang disusun oleh negara. Undang-undang dikonsepkan sebagai
apa seharusnya, bukan apa senyatanya; 
b. Sosiologi Konstitusi: artinya dalam kajian ini ada 3 padanan yang sering
muncul di parlemen ketika ingin menyusun atau mengubah suatu
konstitusi, yaitu (1) Sosiologi konstitusi, (2) Konstitusi Sosiologi, dan (3)
ilmu hukum sosiologi konstitusi; 
c. Perbandingan Konstitusi: artinya secara makro konstitusi itu harus
memuat semua unsur pluralisme yang hidup dan berkembang di dunia dan
secara mikro konstitusi mencerminkan karakter ke-Indonesiaannya; 
d. Sejarah Konstitusi: artinya dalam menyusun, mengolah, menganalisa,
mensistematisasi, termasuk menginterpretasi suatu konstitusi harus
memperhatikan aspek kesejarahannya sekaligus harus memperhatikan
konstruksi teoretis formal ilmu konstitusi. Aspek kesejarahan konstitusi,
artinya sejarah adalah masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Aspek konstruksi formal ilmu konstitusi berarti melihat masa lalu dengan


9
Abdul Rasyid, Kajian Anggota Komisi Konstitusi Terhadap Perubahan UUD Negara RI Tahun
1945 (Bandung: Cipta Aditya Baktim 2004), hlm. 1-5.

16
tidak terikat oleh hukum ruang dan waktu masa lalu itu sebagai bahan
masukan untuk menyusun atau mengubah konstitusi baru.
e. Psikologi Konstitusi: artinya mengkaji konstitusi dari sudut pandang ilmu
jiwa, baik dari segi psikoanalisis, humanistik, dan ilmu-ilmu perilaku.
Disini orang-orang mempelajari dan memahami wibawa orang-orang
yang diberi kepercayaan duduk di MPR jika MPR masih diberi wewenang
untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945 atau berfikir lain perlu
menempatkan orang-orang yang benar-benar berwibawa diberi wewenang
untuk melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 sebelum diperiksa oleh
hakim MK jumlahnya tidak perlu banyak “Lembaga konstitusi” (bukan
lembaga negara) ini diberi nama “majelis pertimbangan UUD 1945” yang
wewenangnya : (a) melakukan penafsiran terhadap UUD 1945, (b)
melakukan penafsiran terhadap pengertian keadilan, (c) Melakukan
pengertian terhadap pengertian kebenaran, (d) melakukan penafsiran
terhadap penafsiran kesalahan; 
f. Antropologi Konstitusi: artinya mengkaji aspek antropos (manusia),
utamanya aspek kultural berupa hak-hak tradisional (indigiunies people),
hak-hak adat-adat sehingga terintegrasi alam keseluruhan nilai-nilai
politik, ekonomi, sosiologi, dan budaya. 
(2) Teori Konstitusi, terdiri atas:
a. Teori Fungsional Konstitusi: artinya agar konstitusi itu berfungsi efektif
diterima oleh seluruh elemen negara dan masyarakat, maka dalam
merumus bab-bab dan pasal-pasal konstitusi dalam bentuk UUD harus
memperhatikan kaidah-kaidah yang hidup dan berkembang dalam
pluralisme masyarakat dunia dan Indonesia, kemudian merumuskannya
dalam bentuk UUD, sehingga berfungsinya seluruh tata dalam manusia
dengan baik, maka seluruh tata kehidupan akan berjalan dengan baik pula;
b. Teori Sistem Konstitusi: artinya mengkaji apa teori sistem itu dalam
konstitusi, apakah sistem itu, bagaimana pendekatan sistem itu dan
bagaimana analisa sistem itu dipakai untuk mengkaji konstitusi. Ini adalah
sifatnya inter dan lintas disiplin ilmu, akan tetapi tujuan sistem dalam

17
konstitusi adalah untuk menciptakan : (a) Kepastian; dan (b) penertiban,
sehingga masyarakat merasa tertib dengan konstitusi tersebut. Artinya
untuk mencapai kepastian dan ketertiban dengan UUD NRI 1945 gejala-
gejala yang hidup dan berkembang di masyarakat harus dikaitkan secara
fungsional dengan fakta-fakta hidup di masyarakat internasional; 
c. Teori Empirikal Konstitusi: artinya gejala yang hidup dan berkembang di
masyarakat harus dikaitkan secara fungsional dengan fakta masyarakat
dengan tujuan untuk meletakkan ciri pembeda dengan masyarakat yang
berkonstitusi menurut UUD NRI 1945. Artinya ciri-ciri dari isi pasal UUD
NRI 1945 merupakan ciri pembeda dengan UUD negara lain, walaupun
bentuk dan sistem, pemerintahannya sama dengan UUD NRI 1945. Ciri
empirikal ini penting diletakkan mengingat perlunya melakukan ciri
pembeda antara “Lembaga UUD NRI 1945” dengan “Lembaga negara”
yang termuat dalam UUD NRI 1945 yang menganut ajaran pemisahan
kekuasaan dan yang disertakan dengan prinsip check and balances;
d. Teori Sosialisme Konstitusi: artinya, dalam konstitusi harus memuat
perlindungan hak-hak dasar sosial dan keadilan sosial. 
(3) Filsafat Konstitusi, terdiri atas:
a. Kosmologi Konstitusi: artinya bagaimana aspek cosmos yang
menempatkan Indonesia dalam garis khatulistiwa dan senyatanya hidup
dalam berbagai ribu ragam suku, ras, agama, kepercayaan, serta
berkarakter tersendiri, tetapi semuanya bereligiusitas kosmis, sehingga
bangsa Indonesia secara kodrati semuanya bereligi, maka dalam UUD
1945 perlu ada nilai-nilai religiusitas yang termasuk dalam nilai-nilai
kenegaraan dan pemerintahan;
b. Ontologi Konstitusi: artinya mencari, menyelidiki, dan meneliti hakikat
konstitusi dari : (a) isi dasar pengertian konstitusi dan UUD, misalnya
apa konstitusi itu sama dengan UUD, hukum dasar atau norma dasar yang
semuanya bersifat dasar, sehingga konstitusi itu memuat unsur keadilan,
berkepastian dan pantas (untuk bangsa Indonesia); (b) meneliti gagasan
atau cita dari konstitusi itu sendiri, (c) Menetapkan nilai dasar atau norma

18
dasar yang berfungsi sebagai titik awal bagi penetapan nilai kaidah-
kaidah, norma norma dengan tujuan untuk mengembangkan ideologi
(pancasila) yang merupakan bangunan dasar bagi legitimasi aturan-aturan
konstitusi, figur konstitusi dan sistem konstitusi yang ada dan yang sedang
diamati;
c. Epistomologi Konstitusi: artinya menyelidiki seberapa jauh hakikat
tentang ilmu konstitusi dan permasalahan-permasalahan fundamental dari
filsafat konstitusi dimungkinkan adanya. Sehingga pembuat atau
pengubah konstitusi (MPR) mengetahui bahwa cara memperoleh nilai-
nilai yang ada pada konstitusi kemudian bagaimana memasukkan nilai-
nilai ke dalam UU (UUD 1945);
d. Aksiologi Konstitusi: artinya menyelidiki isi penetapan nilai-nilai dan
norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi kemudian dimuat dalam
suatu UUD suatu Negara;
e. Teleologi Konstitusi: artinya bagaimana tujuan konstitusi itu lebih banyak
memuat aspek-aspek statika konstitusi, fungsi dan dinamika konstitusi; 
f. Filsafat Ilmu dari Konstitusi: artinya, a) Mengkaji hal-hal yang bersifat
fundamental yang hidup dan berkembang di dalam empirik masyarakat
(Indonesia) yang pluralis dan berkarakter merupakan ciri khas Indonesia
dan harus dianggap paling unik di dunia serta perlu dipertahankan dan
dilestarikan; b) Menjawab pertanyaan, misalnya bagaimana menjawab
ukuran dan corak keunikan keilmuan dari UUD 1945, juga menjawab
sampai seberapa jauh keilmuan UUD 1945 dapat dikatakan bebas nilai,
sekaligus sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia;
g. Logika Konstitusi: artinya mengkaji susunan logika dari struktur
konstitusi dan memasukkan struktur konstitusi itu ke dalam bab dan pasal-
pasal UUD 1945. Struktur konstitusi itu berupa a) idiologi, b) asas- asas,
c) kaidah-kaidah d) integrasi e) organ konstitusi. Sehingga dalam suatu
UUD harus memuat 3 hubungan, yaitu : 1) Hubungan konstitusi dengan
logika, 2) Hubungan konstitusi dengan Bahasa, 3) Dasar teknik
berargumentasi pada saat merumus suatu bab-bab, pasal-pasal suatu UUD
yang dimuat dalam risalah penyusunan UUD.

19
Ketiga konstruksi itu harus pula dihubungkan secara vertikal-horizontal dan diametris
pengertian dasar hubungan antara rakyat dengan negara sebagai instrumen demokrasi,
negara hukum, perlindungan hak asasi dan sosialis, yaitu: 1) Hubungan kedaulatan, dan
2) Hubungan kerja. Jika hubungan itu bersifat hubungan kedaulatan, maka memerlukan
“Lembaga UUD”, sedangkan kalau hubungan itu hanya sekedar hubungan kerja maka
melahirkan “Lembaga Negara”. Semua hubungan yang bersifat hubungan kedaulatan,
harus dimuat dalam UUD, sedangkan hubungan yang bersifat hubungan kerja tidak mesti
harus dimuat dalam UUD.

2.1.1. Konten Konstitusi


Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Sri Soemantri dalam
disertasinya, menggambarkan secara lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari
konstitusi,10 yakni: Pertama, adanya jaminan terhadap Hak-hak asasi manusia dan
warga negaranya, Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang
bersifat fundamental, Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental. Dengan demikian, apa yang
seharusnya diatur dalam UUD NRI 1945 hanya mengatur penjabaran dari ketiga
masalah pokok tersebut.
Namun, di dalam konstitusi yang ada pada saat ini ada beberapa hal-hal dalam
struktur ketatanegaraan yang tidak bersifat fundamental, tapi kemudian diatur dalam
UUD dalam pembahasan khusus, salah satu diantaranya Komisi Yudisial. Tambah
pula dalam struktur ketatanegaran Indonesia berdasarkan pada prinsip, dimana
kedaulatan rakyat ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara
memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang
dinisbatkan sebagai fungsi lembaga- lembaga negara yang sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip Check and balances yang
selanjutnya melahirkan prinsip pembagian kekuasaan (Distribution of Power).
Sehingga pada prinsipnya, prinsip pemisahan kekuasaan di Indonesia berdasar pada
keterpaduan antara (Separation and distribution of power). Yang mana dalam konsep
perubahan ini, perlu dipertegas melalui fungsi lembaga- lembaga negaranya bahwa


10
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, terjemahan Muhammad Hardani (Surabaya:
Pustaka Eureka, 2005), hlm. 33-34.

20
sebenarnya Indonesia tidak hanya berdasarkan pada prinsip distribution of power
ataupun separation of power, melainkan dalam pemberian kekuasaan, terlebih dahulu
dipisahkan kekuasaannya berdasarkan Teori Trias Politica, dari Montesquieu yang
selanjutnya diadakan pembagian-pembagian kekuasaan secara efektif berdasarkan
prinsip check and balances.
Berikutnya, menurut Miriam Budiarjo bahwa Setiap UUD harus memuat
ketentuan-ketentuan mengenai:11 (1) Organisasi negara, misalnya pembagian
kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudisial; Pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur penyelesaian masalah
pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya; (2) Hak-hak
asasi manusia; (3) Prosedur mengubah UUD; (4) Ada kalanya memuat larangan untuk
mengubah sifat tertentu dari UUD.

2.1.2. Filsafat Negara


Menurut Plato dan Aristoteles ada tiga bentuk Negara yang ideal, yakni: Monarki
(Kerajaan), Aristokrasi, dan Demokrasi. Tetapi dalam zaman modern sekarang,
bentuk Negara yang umum kita jumpai adalah Kerajaan (Monarki), dan Republik.12

Negara Ideal Menurut Plato


Pokok yang mendasari pikiran-pikiran Plato mengenai falsafah Negara ialah:
apakah yang paling baik untuk manusia dan jalan mana yang harus ditempuh untuk
mencapainya.13 Plato memberi jawaban dengan suatu model, yakni ajaran mengenai
empat kebajikan. Keempat kebajikan itu ialah Kebijaksanaan, Keberanian, Tenggang
rasa dan Keadilan. Keempat kebajikan inilah yang harus menjadi unsur-unsur dasar
dari suatu Negara yang ideal. Selanjutnya, menurut urutan pentingnya, dalam Negara
ideal seperti itu ada tiga golongan warga: kaum terpelajar, golongan pertahanan, dan
golongan yang mengusahakan pengadaan makanan (kaum tani, nelayan, dll). Ketiga
golongan inilah yang menjadi pilar-pilar dari Negara yang ideal. Jadi menurut Plato,
yang paling baik bagi manusia ialah hidup dalam suatu Negara yang ideal, dan dasar

11
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.
101.
12
Werner Ziegenfusz, Handbuch der Soziologie (Stuttgart: UTB, 1956), hlm. 118.
13
Plato, Der Staat (Stuttgart: UTB, 1965), hlm. 260.

21
dari Negara ideal in adalah keempat kebajikan tadi. Yang paling memahami kebajikan
tentunya adalah kaum filsuf. Dengan sendirinya, yang paling cocok untuk memerintah
dan memimpin Negara ideal tersebut adalah seorang filsuf.

Pandangan Aristoteles Mengenai Negara


Sementara Aristoteles mendasarkan pandangannya pada ajaran Sokrates
mengenai kebajikan, menciptakan unsur-unsur pokok bagi suatu ajaran mengenai
Negara. Menurut Aristoteles ada enam kemungkinan bagi bentuk-bentuk Negara.
Menurut urutan kebaikannya bagi masyarakat, bentuk-bentuk Negara itu adalah:
Kerajaan, Aristokrasi, Politeia (sebagai bentuk campuran antara Oligarki dan
Demokrasi), Oligarki, Demokrasi dan akhirnya Tyranni.14 Kedua pemikir Yunani itu
sama-sama berpendapat bahwa tugas utama Negara ialah mengatur kehidupan
bersama para warga dalam masyarakat, dalam suatu bentuk yang mengutamakan
keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.

Teori Negara Hukum


Menurut pandangan Nicolaus von Kue, manusia baru benar-benar bebas bila ia
tidak lagi harus mentaati manusia, melainkan mentaati undang-undang. Dengan
demikian, undang-undanglah norma yang tertinggi, yang ditaati oleh setiap orang
tanpa membedakan golongan dan asal-usul. Menetapkan norma-norma dan undang-
undang tidak menjadi hak istimewa seorang penguasa yang karena kelahirannya
ditetapkan punya wewenang untuk itu. Norma dan undang-undang harus ditetapkan
oleh sebuah “panitia” yang terdiri dari kaum bangsawan dan rakyat biasa sebagai
“kuasa di antara dua kekuasaan”.15

2.1.3. Arti Pancasila


Dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen,
maka kita tidak saja harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
pasal-pasal dari Batang Tubuh (the body of the constitution) atau isi daripada UUD
1945 itu, tetapi juga ketentuan-ketentuan pokok yang termaktub dalam Pembukaan


14
Aristoteles, Politics (Oxford: Aeterna Press, 2015), hlm. 94.
15
Johannes Messner, Der Staat (Berlin: Duncker Humlot, 1978), hlm. 72.

22
UUD 1945. Karena Pembukaan UUD 1945 adalah bagian mutlak yang tak dapat
dipisahkan dari Konstutisi Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Penjelasan resmi
dari Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 itu
terkandung Pokok-Pokok Pikiran sebagai berikut:
1. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan; 
2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 
3. Negara Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan; 
4. Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Adapun amat pentingnya dan besar artinya Pembukaan UUD 1945 itu ialah
karena dalam alinea ke-IVnya tercantum Ketentuan Pokok yang bersifat fundamental,
yaitu Dasar Falsafah Negara Republik Indonesia, yang dirumuskan dalam kata-kata
berikut:
“maka disusunlah Kemerdekaan Bangsa Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa; 
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab; 
3. Persatuan Indonesia; 
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; 
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 

Kelima dasar ini tercakup dalam satu nama/istilah yang amat penting bagi bangsa
Indonesia, yaitu: Pancasila. Istilah atau perkataan “Pancasila” memang tidak
tercantum baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945. Di dalam alinea
ke-IV dari Pembukaan UUD 1945 hanyalah disebutkan, bahwa Negara Republik
Indonesia berdasarkan kepada Lima Prinsip atau Asas tersebut, tanpa menyebutkan

23
“Pancasila”. Untuk mengetahui bahwa kelima Prinsip atau Dasar tersebut adalah
Pancasila, maka kita perlu mengadakan penafsiran sejarah maupun penafsiran
sistematis yakni menghubungkannya dengan sejarah lahirnya pemakaian istilah
Pancasila itu sendiri pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila sebagai Dasar Falsafah
Negara Republik Indonesia diusulkan oleh anggota BPPK yaitu Ir. Soekarno dalam
pidatonya di depan Sidang Badan Penyelidik pada tanggal 1 Juni 1945 dan dalam
pidato tersebut, Ir. Soekarno mengusulkan Lima Dasar Negara Indoneisa yang
sekaligus dinamakannya Pancasila: Panca berarti Lima, sedangkan Sila berarti Dasar
atau Asas Kesusilaan.
Dalam pidato 1 Juni 1945 ditegaskan, bahwa maksud Pancasila adalah sebagai
philosophische grondslag daripada Indonesia Merdeka, dan philosophische
grondslag itulah fundamen falsafah, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya
didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.

2.1.4. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia


Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana
tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan
pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana bangsa itu memecahkan
persoalan-persoalan tadi. Tanpa memiliki pandangan hidup maka sesuatu bangsa akan
merasa terus terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang
pasti timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakat sendiri maupun
persoalan- persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa
di dunia ini. Dengan pandangan hidup yang jelas, sesuatu bangsa akan memiliki
pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah politik,
ekonomi, sosial, dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang dinamis dan
semakin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula sesuatu bangsa
akan membangun dirinya.
Dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.

24
Pada akhirnya, pandangan hidup sesuatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai-
nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan
menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Karena itulah dalam
melaksanakan pembangunan misalnya, kita tidak dapat begitu saja mencontoh atau
meniru model yang dilakukan oleh bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan
pandangan hidup dan kebutuhan-kebutuhan bangsa kita sendiri. Suatu corak
pembangunan yang baik dan memuaskan bagi sesuatu bangsa, belum tentu baik atau
memuaskan bagi bangsa yang lain. Karena itu pandangan hidup suatu bangsa
merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa.
Alangkah beruntungnya bahwa pendiri-pendiri Republik ini, dapat merumuskan
secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita, yang kemudian
dinamakan Pancasila. Seperti apa yang ditunjukkan dalam Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1978, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian
bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara kita. di
samping itu, maka bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa
Indonesia. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita
moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah mengakar di dalam kebudayaan
bangsa Indonesia. Ialah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia
akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseimbangan,
baik dalam hidup manusia sebagai manusia dengan alam, dalam hubungan manusia
dengan Tuhannya maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan
rokhaniah.

2.1.5. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia


Pancasila yang dikemukakan dalam Sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945
adalah dikandung maksud untuk dijadikan dasar bagi Negara Indonesia Merdeka.
Adapun dasar itu haruslah berupa suatu falsafah yang menyimpulkan kehidupan dan
cita-cita bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Di atas dasar itulah akan
didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang
menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Oleh karena
Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan menjiwai seluruh isi peraturan dasar
tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia baik itu

25
Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh Negara dan
Pemerintah Republik Indonesia haruslah sejiwa dan selaras dengan Pancasila. Isi dan
tujuan daripada peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari
Pancasila.

2.1.6. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945


Awal dari pembahasan mengenai Perubahan Pembukaan UUD NRI 1945 dimulai
sejak Rapat Pleno Ke-2 Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (BP MPR RI), 6 Oktober 1999 yang dipimpin oleh Amin Rais selaku ketua.
Disampaikan oleh Juru Bicara F-PG, Tubagus Haryono, Pembukaan UUD NRI 1945
sebagai bagian yang sangat fundamental dari Indonesia. Pembukaan UUD NRI 1945
bersifat sekali dan selamanya, yakni Proklamasi Kemerdekaan RI, untuk Negara
Kesatuan RI, dan dasar negara Pancasila.16 banyak dari anggota rapat yang
menyetujui untuk tidak mengubah Pembukaan UUD NRI 1945.Muhammadi dari F-
Reformasi, Vincent Radja dari F-KKI, Taufiequrochman Ruki dari F-TNI/Polri, Andi
Mattalatta dari F-PG, Hamdan Zoelva dari F-PBB, Antonius Rahail dari F-KKI,
Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB, Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri, dan Valina
Singka Subekti dari F-UG yang pada intinya menyatakan tidak ada perubahan dalam
Pembukaan UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan Pembukaan menyangkut eksistensi
dan cita-cita negara; terdapat perjanjian luhur antar anak negeri di wilayah nusantara
ini untuk menjadi suatu bangsa; memuat falsafah-falsafah dasar negara, tujuan negara,
dan juga dasar negara serta pernyataan Proklamasi.
Muhammadi dari F-Reformasi menyampaikan pendapat yang sama, yaitu:
“…amandemen yang akan datang itu hanya mencakup Batang Tubuh dengan
tetap mempertahankan Pembukaan dan menghapuskan Penjelasannya, Aturan
Tambahan, dan bagian yang sudah tidak sesuai dengan jaman...”
Sehingga, dalam laporan Harun Kamil saat Rapat Pleno Ke-3 BP MPR RI, 14
Oktober 1999, yang dipimpin oleh H. M. Amin Rais, mengatakan bahwa semua fraksi

16
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses pada Hasil Perubahan UUD NRI 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku II tentang Sendi-Sendi/Fundaman Negara
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 68.

26
sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD NRI 1945; yang diubah adalah
Batang Tubuh dan Penjelasan UUD NRI 1945; dan jika ada hal-hal yang bersifat
normatif dalam Penjelasan UUD NRI 1945, dimasukkan ke dalam Batang Tubuh
UUD NRI 1945.
Begitupun pada Perubahan UUD NRI 1945, Hobbes Sinaga dari F-PDI
Perjuangan menyampaikan kesepakatan fraksi-fraksi ketika rapat sebelumnya untuk
tidak mengubah Pembukaan UUD NRI 1945. Selain itu, Agun Gunandjar Sudarsa
dari F-PG, Abdul Khaliq Ahmad dari F-KB, Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP,
Hamdan Zoelva dari F-PBB, Asnawai Latif dari F-PDU, A. M. Luthfi dari F-
Reformasi, Antonius Rahail dari F-KKI, Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB,
Hendi Tjaswadi dan Taufiequrochman Ruki dari F-TNI/Polri, Valina Singka Subekti
dari F-UG, Sutjipno, dari F-PDI Perjuangan, M. Hatta Mustafa dan Valina Singka
Subekti dari F- PG, Zain Badjeber dari F-PPP, Yusuf Muhammad dari F-KB, Hamdan
Zoelva dari F- PBB, dan Patrialis Akbar dari F-Reformasi melaksanakan kesepakatan
yang dilaporkan oleh Jakob Tobing dalam Rapat Ke-5 BP MPR RI, 5 Maret 2000,
yang dipimpin oleh H. M. Amien Rais, untuk tidak mengubah Pembukaan UUD NRI
1945, tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Pemerintahan
Presidensiil.
Ketidakdapatannya Pembukaan UUD NRI 1945 untuk diubah memiliki sejarah
panjang, khususnya dalam proses pembuatannya. Pembukaan ini dirumuskan oleh
Panitia Sembilan yang sebenarnya tidak termasuk dalam tugas panitia tersebut yang
resminya diberi nama Panitia Kecil. Namun pada kenyataannya, Pembukaan UUD
NRI 1945 menjadi hal yang penting, khususnya dalam Hukum Tata Negara Indonesia.
Pembukaan ini, pada awalnya dikenal dan terkenal dengan nama Piagam Jakarta.
Meskipun piagam tersebut memang dimaksudkan sebagai “Rancangan Undang-
undang Dasar” yang harus ditetapkan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI), namun Ketua BPUPKI pada saat itu tidak menyetujui hal
itu menjadi agenda pembicaraan. Hingga pada Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, tanpa mengalami kesulitan, panitia
menyepakati dan menetapkan Piagam tersebut sebagai Pembukaan UUD NRI 1945.
Berikut empat pokok pikiran yang terkandung dalam UUD NRI 1945:

27
1. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Negara mengatasi segala paham golongan; mengatasi segala paham
perseorangan. Negara menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa
Indonesia seluruhnya;
3. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; 
4. Negara berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan; 
5. Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam “lampiran” Ketetapan MPRS-RI No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, Bagian I, No. 3 Sub. c.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945juga memuat Pancasila sebagai Dasar
Negara. Oleh karena itu, dikemukakan pendapat bahwa Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945 tidak dapat diubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil Pemilihan
Umum.
Selanjutnya, jika ditinjau secara yuridis, dapat diketahui mengenai sejauh mana
Pembukaan tidak dapat diubah, yaitu:
1. Tentang tata urutan peraturan perundang-undangan di Negara Republik
Indonesia; 
2. Tentang Kedudukan ketentuan yang berbunyi, bahwa “Undang-undang Dasar
1945 terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuhnya; 
3. Tentang kedudukan ketetapan MPRS yang berisi ketentuan yang berbunyi
“Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk MPR
hasil pemilihan umum.”17
Sehingga dari tinjauan-tinjauan tersebut, semakin memperlihatkan bahwa sulit
untuk menemukan ranah perubahan dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Celah yang
paling memungkinkan adalah dengan masalah politik. Selain itu, apabila ditentukan


17
Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung: PT Alumni, 2006),
hlm. 195-196.

28
dalam UUD NRI 1945, masalah dapat diubah atau tidaknya Pembukaan tidak dapat
diatur dalam peraturan perundang-perundangan yang lain, termasuk Ketetapan MPR.
Dengan perkataan lain, hal itu harus diatur dalam Undang-undang Dasar.18

2.1.7. Kedudukan Pembukaan UUD 1945


Kedudukan Pembukaan dalam kerangka konstitusional Indonesia dapat dijelaskan
dari teori hukum stuffenbau theorie yang digagas oleh Hans Kelsen dan
dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Hans Nawiasky dalam buku Allgemine
Rechstlehre memaparkan tentang stuffenbau theorie yang mengelompokkan norma
hukum dalam suatu negara menjadi empat kelompok yang terdiri atas
staatsfundamentalnorm (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945), staatsgrundgesetze
(pasal-pasal UUD 1945), formelle gesetze (undang-undang) serta verordnungen dan
autonome satuzungen.19 (peraturan perundang-undangan lainya). Pembukaan UUD
1945 sebagai staatsfundamentalnorm atau Pokok Kaidah Fundamental Negara.20
Hanya dapat diubah oleh pembentuknya atau bila hendak membubarkan negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 untuk digantikan dengan negara yang baru. Atas dasar
Pokok Pikiran dan makna alinea-alinea yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945
sebagaimaan diuraikan di atas dapat ditegaskan bahwa Negara Kesaturan Republik
Indonesia (NKRI) dibangun atas dasar paham kekeluargaandan kegotong-royongan
dalam mewujudkan prinsip “semua buat semua” dan “sociale rechtsvaardigheid” atau
“politiekeconomische democratie” atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Paham kekeluargaan Indonesia, semangat kegotong—royongan, prinsip “semua buat
semua” dan cita-cita keadilan sosial merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara
yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pokok Kaidah Fundamental Negara sebagaimana dimaksud harus dijadikan
sumber motivasi sekaligus sebagai tolak ukur yang diejawantahkan dalam batang
tubuh UUD 1945, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lain yang
berada di bawahnya. Dengan kata lain Pembukaan UUD 1945 sebagai Pokok Kaidah


18
Ibid., hlm. 201.
19
Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan I: Jenis Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hlm. 46-47.
20
Notonegoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara (Yogyakarta: Kanisius, 1971), hlm. 34.

29
Fundamental Negara adalah jiwa atau roh kebangsaan Indonesia yang menjadi dasar
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Mengenai kedudukan pembukaan sebagai kaidah fundamental negara ini perlu
diketahui adanya dua paham mengenai konstitusi: paham konstitusi dalam arti sempit
dan dalam arti luas. Menurut paham konstitusi dalam arti sempit, pembukaan
konstitusi itu secara hukum tidak merupakan bagian dari konstitusi. Ia “sekadar
berjalan mendahului konstitusi”. Pembukaan konstitusi hanya memuat proses faktual
mengenai terjadinya konstitusi, serta keyakinan yang berkaitan dengan cita-cita
bangsa, namun tidak mempunyai watak normatif.21
Menurut paham konstitusi dalam arti luas maka pembukaan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari konstitusi. Lebih dari itu prinsip-prinsip non-hukum yang
dituangkan dalam pembukaan merupakan apriori-hukum yang mendahului dan
sekaligus menjadi hukum positif. Dalam paham ini, fungsi pembukaan dipandang
sebagai apriori hukum yang memberi makna hukum sekaligus watak normatif pada
ketentuan hukum yang dituangkan dalam batang tubuh konstitusi dalam bentuk
sebagai pasal. Sebagai konsekuensinya, ketentuan hukum yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada apriori hukum adalah bukan hukun dan secara yuridis
batal karena hukum. Para pendiri Negara Republik Indonesia yang menyusun
Konstitusi Proklamasi menganut paham konstitusi dalam arti luas.22
Dalam konstitusi Indonesia, Pembukaan Konstitusi Proklamasi adalah tonggak
dari pendirian Republik yang tak bisa diubah. Seperti diingatkan oleh Prof.
Notonagoro, “Bahwa Mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1945
adalah pokok Kaidah Negara yang fundamental yang ditegakkan oleh revolusi dan
tidak boleh diubah-ubah begitu saja; bahwa yang berhak merubah Mukadimah
Undang- Undang Dasar Sementara tahun 1945 hanyalah pembentuk-pembentuk
Negara, ialah mereka yang turut menyusun Proklamasi serta mereka yang
merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian dipasangkan Mukaddimah Undang-
Undang Dasar.”


21
Zain Badjeber, “Menyimak dan Menerapkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945,” Jurnal Ketatanegaraan 1 (2016), hlm. 90.
22
Gregorius Harianto, “Kajian FIlosofis Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai Pokok Kaidah Fundamental Negara,” Jurnal Ketatanegaraan 1 (2016), hlm.
30.

30
2.1.8. Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945
Penjelasan UUD 1945 memuat penegasan bahwa dalam pembukaan UUD 1945
termaktub empat pokok pikiran yang satu sama lain berkaitan secara holistik dan
menegakkan lima prinsip Pancasila.
Pokok Pikiran I, bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan
meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta
mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan. Dalam Pokok Pikiran
I, Negara Indonesia menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia
seluruhnya; Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi
segala paham golongan, mengatasi segala paham perorangan. Dari Pokok Pikiran I
kita melihat bahwa merdeka terlebih dahulu harus ada persatuan. Persatuan adalah
condition sine quanon. Tanpa persatuan, kemerdekaan tidak akan pernah ada.
Pokok Pikiran II, bahwa negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh warganya. Hal ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial yang
didasarkan pada kesadaran bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama
untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
pokok pikiran kedua adalah penjelmaan sila kelima Pancasila.
Pokok Pikiran III, bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan
rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat.
Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat yang juga
disebut sistim demokrasi. Pokok Pikiran III menegaskan bahwa persatuan yang dituju
dan keadilan sosial yang hendak dicapai harus melalui cara yang demokratis dalam
arti musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagaimana ditegaskan dalam Pancasila
dan pada dasarnya berlaku dalam kehidupan keluarga. Pluralitas bangsa Indonesia
baik dari aspek suku, agama yang dianut, asal keturunan maupun tingkat sosial harus
disadari dapat menjadi sumber konflik. Konflik sebagai potensi harus di atas dan
bukan untuk ditutupi. Dan cara mengatasinya adalah melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat yang disemangati paham kekeluargaan Indonesia. Oleh karena itu

31
sistim negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas
kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Pokok Pikiran IV, bahwa Negara Indonesia adalah negara yang Berke-
Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok
Pikiran IV menegaskan makna cita negara kekeluargaan Indonesia sebagai bangsa
yang religius dan berkeadaban. Dengan demikian kepercayaan atau iman pada Tuhan
Yang Maha Esa adalah iman yang berakal budi (Fides et Ratio). Malapetaka manusia
terbesar terjadi karena iman tidak berjalan dengan akal budi. Ketika iman dilepaskan
dari akal budi maka manusia dapat terjebak pada keyakinan subjektif seraya menolak
atau bahkan meniadakan keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Dalam praktek
kehidupan sehari-hari ini bahkan banyak orang yang mengakui beriman tetapi tidak
bertakwa.
Pembukaan UUD 1945 yang terdiri dari empat alinea tersebut secara keseluruhan
diilhami empat Pokok Pikiran di atas.23 Bahwa cita-cita untuk mendirikan Negara
Indonesia Merdeka hanya mungkin apabila pertama-tama seluruh rakyat Indonesia
bersatu, bersatu alam kehendak dan bersatu dalam perjuangan (Pokok Pikiran I).
Persatuan adalah langkah awal yang harus diselesaikan. Setelah bersatu lalu apa yang
harus dilakukan? Yakni negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (Pokok Pikiran II). Cara apa yang perlu ditempuh agar keadilan
sosial dapat diwujudkan tanpa merusak persatuan? Pilihannya adalah dengan
memenuhi kehendak rakyat melalui permusyawaratan/perwakilan yang tidak
mengutakan mayoritas ataupun minoritas semata. Jadi demokrasi seturut cita negara
kekeluargaan terutama merupakan cara berdialog atau berkomunikasi dengan
mengutakan win-win solution. Terakhir, semua Pokok-Pokok Pikiran tersebut
didasarkan pada rasa syukur dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar kemanusian yang
adil dan beradab sangat penting mengingat keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa
terwujud dalam kelembagaan agama tertentu yang menurut sejarahnya bersifat
dogmatis dan ekspansionis, sehingga potensial menjadi sumber konflik. (Pokok
Pikiran IV)


23
Darji Darmodharho, Sekitar Pancasila, UUD 1945, dan Pembangunan Sistem Hukum Indonesia
(Malang: Bayumedia Publishing, n.a.), hlm. 56.

32
2.1.9. Konsep dan Prinsip yang Termaktub dalam Alinea-Alinea Pembukaan
UUD 1945
Cita negara kekeluargaan terwujud alam cita hukum (Rechstidee) dan cita moral
yang mengandung nilai-nilai. Nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik lahiriah maupun batiniah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Dengan demikian cita hukum merupakan “bintang pemandu” bagi
pencapaian Tujuan Nasional. Sebagai nilai dasar yang bersifat idealistik, cita hukum
memiliki peran tinggi. Pertama sebagai pedoman yang mengarahkan suatu norma
hukum positif menuju sesuatu yang adil. Hamid Attamimi menegaskan hal tersebut
tanpa menyertakan peran cita moral.24
Secara khusus dapat ditegaskan pula bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif tetapi sekaligus berfungsi sebagai dasar
yang bersifat konstitutif yaitu menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan
kehilangan maknanya sebagai hukum.25 Cita hukum dan cita moral tersebut
termaktub dalam keempat alinea pembukaan UUD 1945 yang dapat dibagi menjadi
lima keyakinan yakni keyakinan politik-emansipatoris, keyakinan historis-telelogis,
keyakinan religius, keyakinan tekad, serta keyakinan filsafat.
1. Keyakinan politik-emansipatoris bangsa Indonesia terkandung pada alinea
pertama; 
2. Keyakinan historis dan visi teleologis perjuangan bangsa Indonesia
terkandung pada alinea kedua; 
3. Keyakinan religious-liberatif dan kemerdekaan yang terkandung pada alinea
ketiga; 
4. Keyakinan tekad yang harus diemban oleh negara dalam mewujudkan tujuan
nasionalnya yang terkandung pada alinea keempat; 
5. Keyakinan filsafati tentang dasar falsafah negara yang tercantum pada alinea
keempat 


24
Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hlm. 45.
25
Gustav Radbruch, Grundzuge der Rechtsphilosophie (Heidelberg: C.F. Muller Verlag, 1993),
hlm. 49.

33
Alinea I berbunyi; Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.
Dalam alinea I ditegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan
merupakan hak asasi setiap bangsa. Dalam karangannya yang berjudul “Ke Arah
Persatuan”; Soekarno antara lain menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia adalah
suatu nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu dan
menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti. Lebih lanjut dinyatakan pula
bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang ada di kelebaran dan
keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa.26 Dengan demikian maka
paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tidak bersifat sempit atau hanya demi
bangsa sendiri, bukan chauvunisme. Paham kebangsaan Indonesia meliputi dasar
kemanusian yang adil dan beradab; jadi yang adil bagi bangsa Indonesia adil pula
bagi bangsa lain. Dalam Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 juga disebut sebagai
“internasionalisme”.27 Oleh karena itu eksploitasi manusia atas manusia lainya wajib
dihapuskan dan wajah memperlakukan sesama manusia secara adil dan setara.
Alinea I tersebut menegaskan cita moral rakyat dan bangsa Indonesia yang
meliputi pengakuan, penghargaan, dan bahkan perjuangan bagi pemajuan hak-hak
asasi manusia. Atas dasar itu Bangsa Indonesia menyatakan bahwa penjajahan harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusian dan peri-keadilan yang
merupakan cita moral bangsa Indonesia. Kemerdekaan, peri-kemanusian dan peri-
keadilan dengan demikian juga menegaskan tentang cita moral dan cita hukum dari
rakyat dan bangsa Indonesia yang pada gilirannya dijadikan dasar bagi perumusan
politik hukum nasional.
Alinea II berbunyi; Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


26
Slamet Muljana, Kesadaran Nasional (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974), hlm. 74.
27
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995),
hlm. 76.

34
Dalam Alinea II dinyatakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan bahwa
kemerdekaan Indonesia itu bukanlah hadiah atau pemberian dari penjajah.
Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari perjuangan yang panjang yang harus
disyukuri. Rasa syukur dan penghargaan yang panjang harus disyukur. Rasa syukur
dan penghargaan atas perjuangan pergerakan kemerdekaan menunjukkan cita moral
rakyat yang luhur. Namun kemerdekaan bukanlah titik akhir. Kemerdekaan hanyalah
bagaikan sebuah pintu gerbang dan di balik pintu gerbang itulah Negara Indonesia
yang dicita-citakan. Dengan demikian menjadi kewajiban moral segenap rakyat untuk
berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Artinya kemerdekaan hanyalah sebuah
tantangan baru yang membentuk Negara Indonesia yang tidak hanya bebas dari
penjajahan akan tetapi bebas untuk bersatu, berdaulat, dan menciptakan keadilan
dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
1. Negara Indonesia yang merdeka berarti bebas untuk menentukan nasibnya
sendiri; 
2. Negara Indonesia yang bersat, berarti merupakan satu kesatuan yang meliputi
rakyat dan wilayah Indonesia tanpa terkecuali; 
3. Negara Indonesia yang berdaulat, berarti memiliki kewenangan penuh untuk
mengatur sendiri seluruh hal ihwal kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara Indonesia 
4. Negara Indonesia yang adil dan makmur, berarti negara yang mewujudkan
kondisi kehidupan rakyat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan. Adil dalam arti bahwa setiap rakyat hidup layak sesuai kemanusian
yang berkeadaban dan sesuai dengan baktinya yang diberikannya kepada
bangsa dan negara. Makmur dalam arti bahwa setiap rakyat hidup
berkecukupan, baik lahirian maupun batiniah.
Alinea III berbunyi; Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea III memuat penegasan tentang religiusitas bangsa Indonesia yang
menunjukkan cita moral rakyat yang luhur bahwa dirinya hanyalah ciptaan Yang
Maha Kuasa dan karena itu segala sesuatunya berasal dari pada-Nya dan terjadi

35
perkenan- Nya. Bahwa pada dasarnya untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas
tidak cukup dasarnya untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas tidak cukup dengan
adanya keinginan yang luhur, akan tetap pertama-tama adalah berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa. Bangsa Indonesia meyakini bahwa manusia memang harus punya
cita-cita dan berkuasa untuk mewujudkannya, tetapi akhirnya apa yang harus terjadi
diserahkan kepada kehendak Tuhan. Alinea III juga memuat pernyataan kemerdekaan
Negara Indonesia. Dengan pernyataan ini Pembukaan UUD 1945 sekaligus dapat
dinyatakan sebagai penegasan yang lebih menyeluruh dari teks Proklamasi yang
dibacakan pada 17 Agustus 1945.
Alinea IV berbunyi; Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alinea IV memuat tujuan yang hendak diwujudkan setelah merdeka yaitu bukan
sekadar bebas dari penjajahan melainkan adalah bebas untuk terbentuknya suatu
“Pemerintahan Negara Indonesia” yang meliputi segenap aspek kekuasaan
pemerintahan negara yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang
berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara sebagai berikut:
1. Pertama Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ini berarti segenap kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus memiliki kemampuan dan
kewibawaan untuk melindungi bangsa dan negara dalam segenap aspeknya
dan tanpa membedakan suku, agama, keturunan maupun golongan.
Pemerintah yang dimaksud juga adalah pemerintah yang mengatasi paham
dan kepentingan perseorangan maupun paham dan kepentingan golongan.

36
Jadi pemerintah yang bersatu dengan seluruh rakyatnya yang mengatasi
seluruh golongan- golongannya dalam lapangan apapun serta dalam suasana
bersatunya rakyat dan pemimpinya, antara golongan-golongan rakyat satu
sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, semangat
kekeluargaan; 
2. Kedua, Pemerintah Negara Indonesia yang memajukan kesejahteraan umum.
Artinya Pemerintah negara yang mampu secara ajeg dan berkesinambungan
meningkatkan dan memelihara kesejahteraan rakyat seluruhnya secara adil,
tanpa diskriminasi dan tanpa kecuali. Kesejahteraan di sini meliputi
kesejahteraan materiil maupun spiritual yang tercermin pada adanya rasa
aman, tenteram, tertib, damai, dan makmur;
3. Ketiga, Pemerintah Negara Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Yang dimaksudkan adalah bahwa Pemerintah Negara wajib menciptakan
kehidupan bangsa yang cerdas; bukan hanya cerdas dalam aspek intelektual,
spiritual ataupun emosional. Kehidupan bangsa yang cerdas harus tercermin
juga dalam wujud kondisi hidup dan kehidupan rakyat warga negara yang
sejahtera dan berkeadaban yang tinggi. Dengan kata lain kehidupan bangsa
yang cerdas juga mencerminkan kemampuan untuk mengikuti perkembangan
dan kemajuan peradaban dunia sehingga mampu sejajar dengan bangsa lain
yang telah maju. Jadi cerdas orangnya dan cerdas pula kepribadiannya dan
taraf kehidupan atas dukungan lingkungan alam sekitarnya. “Mencerdaskan
kehidupan bangsa: dengan demikian juga berarti membangun kemampuan
untuk hidup produktif, bukan sekedar dalam aspek having namun utamanya
juga dalam aspek being. Aspek having pada dasarnya didorong oleh tuntutan
rohaniah yang berupa hati nurani. Oleh karena itu mencerdaskan kehidupan
bangsa juga berarti menciptakan keseimbangan lahir-batin yang terwujud
dalam “manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya.”;
4. Keempat, Pemerintah Negara Indonesia yang mampu ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Hal ini berarti bahwa Pemerintah Negara Indonesia harus
berkemampuan dan berkewajiban untuk ikut menciptakan ketertiban dunia.
Dengan kata lain Pemerintah Negara Indonesia harus merdeka dan berdaulat,

37
bebas dari tekanan pengaruh kekuatan asing. Ketertiban dunia tersebut harus
diwujudkan atas dasar tidak adanya lagi penjajahan suatu negara oleh negara
lain dalam suasana persahabatan tanpa permusuhan serta dalam kondisi
kehidupan yang adil dan makmur. Selanjutnya ketertiban dunia juga harus
diwujudkan atas dasar dan demi terwujudnya keadilan sosial. Ketertiban dunia
harus menjadi bagian atau dalam rangka perwujudan keadilan sosial bagi umat
manusia. Bangsa Indonesia menyadari bahwa “ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
merupakan bagian integral dari kesejahteraan dan keadilan sosial bangsa
Indonesia, bahkan dapat disebut sebagai condition sine quanon.
Dalam mencapai keempat tujuan bernegara di atas, Negara Indonesia
diselenggarakan berdasarkan: (1) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusian Yang
Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (5) Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia yang secara bersama-sama disebut sebagai Pancasila.

2.1.10.Pancasila dan Pembukaan UUD 1945


Penting untuk juga membahas bagaimana hubungan antara Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. Pada dasarnya hubungan antara Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945 dapat dibagi menjadi dua yakni hubungan formal dan hubungan materiil
Dalam hubungan formil, dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam
pembukaan UUD 1945 maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar
hukum positif. Dengan demikian tata kehidupan bertatanegara tidak hanya bertopang
kepada asas-asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan
keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius
dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya berdampak pada Pancasila. Jadi berdasarkan
tempat terdapatnya Pancasila secara formal dapat disimpulkan bahwa; Pertama,
rumusan Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia adalah seperti yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV. Kedua, bahwa pembukaan UUD
1945 berdasarkan pengertian ilmiah, merupakan pokok kaidah negara yang
fundamental.Dalam hubungan yang bersifat formal antara Pancasila dengan
Pembukaan

38
UUD NRI Tahun 1945 dapat ditegaskan bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar
Negara Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan
Pokok Kaidah Negara yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia
mempunyai dua macam kedudukan, yaitu; Pertama, sebagai dasarnya karena
pembukaan itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum
Indonesia; Kedua, memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib
hukum tertinggi.
Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan sumber bagi batang tubuh UUD
NRI Tahun 1945. Hal ini disebabkan karena kedudukan hukum Pembukaan berbeda
dengan pasal-pasal atau batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa selain
sebagai Mukadimah, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mempunyai kedudukan atau
eksistensi sendiri. Akibat hukum dari Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan
Pancasila sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan
hukum dan melekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.
Dalam hubungan yang bersifat material harus tinjau kembali proses perumusan
Pancasila secara kronologis, materi yang dibahas oleh BPUPKI yang pertama-tama
adalah dasar filsafat Pancasila baru kemudian pembukaan UUD 1945. Setelah pada
sidang pertama pembukaan UUD 1945 BPUPKI membicarakan dasar filsafat negara
Pancasila.
Jadi berdasarkan urut-urutan tertib hukum Indonesia pembukaan UUD 1945
adalah sebagai tertib hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia
bersumberkan pada Pancasila. Hal ini berarti secara material tertib hukum Indonesia
dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai tertib
sumber hukum Indonesia meliputi sumber nilai, sumber materi sumber bentuk dan
sifat. Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan Pembukaan UUD
1945 sebagai pokok kaidah dasar yang fundamental, maka sebenarnya secara material
yang merupakan esensi atau inti sari dari pokok kaidah negara fundamental tersebut
tidak lain adalah Pancasila.
Adapun hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara
material menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan yang tidak lain adalah
Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD 1945 yang demikian

39
itulah maka Pembukaan UUD 1945 dapat disebut sebagai Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental, sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro, esensi atau intisari Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental secara material tidak lain adalah Pancasila.28
Menurut pandangan Kaelan, bilamana proses perumusan Pancasila dan
Pembukaan ditinjau kembali maka secara kronologis materi yang di bahas oleh
BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila, baru kemudian
pembukaan. Setelah sidang pertama selesai, BPUPKI membicarakan Dasar Filsafat
Negara Pancasila dan berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh
Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama Pembukaan UUD 1945.29

2.1.11.Prinsip Pokok Penyelenggaraan Negara


Pembukaan UUD 1945 mencerminkan falsafah hidup (weltanschauung) dan
pandangan dunia (world view) bangsa Indonesia serta cita-cita hukum yang
menguasai dan menjiwai hukum dasar baik tertulis (UUD) maupun tidak tertulis.
UUD mewujudkan pokok-pokok pikiran itu dalam rumusan pasal-pasalnya yang
secara umum mencakup prinsip-prinsip pemikiran dalam garis besarnya.
Menurut Jimly Asshiddiqie selanjutnya yang mengemukakan adanya sepuluh
prinsip pokok yang mendasar penyusunan sistim penyelenggaraan Negara Indonesia
dalam rumusan Undang-Undang Dasar. Kesepuluh prinsip pokok itu meliputi:30
1. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
Undang-Undang Dasar merupakan dokumen hukum yang mewujudkan cita-
cita bersama setiap rakyat Indonesia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Sesuai dengan pengertian sila pertama Pancasila sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, setiap manusia Indonesia sebagai
rakyat dan warga negara Indonesia diakui sebagai insan beragama
berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa
tersebut merupakan pandangan dasar dan bersifat primer yang secara
substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa Indonesia.


28
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, hlm. 23.
29
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2000), hlm. 92.
30
Jimly Asshiddiqie, Tinjauan Akademis Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta:
Badan Pembinaan Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2001), hlm. 43.

40
Karena itu, nilai-nilai luhur keberagaman menjadi jiwa yang tertanam jauh
dalam kesadaran, kepribadian, dan kebudayaan bangsa Indonesia sehari-hari.
Jiwa keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu juga
diwujudkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam
Undang-Undang Dasarnya.Lebih lanjut keyakinan prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa diwujudkan dalam sila kedua Pancasila yaitu sila kemanusian yang
adil dan beradab yang berisi paham kemanusian yang menjamin peri
kehidupan yang adil dan dengan keadilan itu kualitas peradaban bangsa dapat
terus meningkat dengan sebaik- baiknya. Oleh karena itu prinsip keimanan
dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan erat dan bahkan
menjadi prasyarat utama untuk terciptanya keadilan dan peri kehidupan yang
berkeadilan itu sendiri menjadi prasyarat pula bagi pertumbuhan dan
perkembangan peradaban bangsa Indonesia di masa depan.Dalam kehidupan
bernegara Ke-Tuhanan Yang Maha Esa diwujudkan dalam kedaulatan rakyat
(demokrasi) dan sekaligus dalam paham kedaulatan hukum (nomokrasi) yang
saling berjalan dan melengkapi satu sama lain. Keduanya diwujudkan dalam
pelembagaan sistim demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy) dan prinsip negara hukum yang demokratis (democratische
rechstaat)
2. Cita Negara Hukum dan The Rule of Law
Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat) dan bukan Negara
Kekuasaan (Machstaat). Di dalamnya terkandung pengertian adanya
pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya
prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistim konstitusional
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi
manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas
dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam
hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham Negara
Hukum itu hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin dalam

41
penyelenggaraan negara itu adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip
the Rule of Law and not of Man yang sejalan dengan pengertian nomokrasi,
yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum. 

3. Paham Kedaulatan Rakyat


Seiring dengan negara hukum, Negara Indonesia juga menganut paham
kedaulatan rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam
negara Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus didasari berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pelaksanaannya, kedaulatan
rakyat diselenggarakan berdasarkan hukum dan konstitusi (constitutional
democracy). Demokrasi yang dimaksud berarti bukanlah demokrasi tanpa
batas dan dapat melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu perwujudan
gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektivitas, dan
keteladanan kepemimpinan, dukungan sistim pendidikan masyarakat, serta
basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan
berkeadilan. Oleh karena itu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum
diselenggarakan secara beriringan. Untuk itulah Undang-Undang Dasar
hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah
Negara Hukum yang demokratis dan Negara Demokratis yang berdasar atas
hukum. Keduanya adalah perwujudan nyata dari prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa yang dikonstruksikan sebagai paham kedaulatan Tuhan.
4. Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan
Kedaulatan rakyat Indonesia diselenggarakan secara langsung dan melalui
sistim perwakilan. Secara langsung kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga
cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah;
Presiden dan Wakil Presiden; Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-
ketentuan hukum berupa Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi
legislatif), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol)

42
terhadap jalanya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan
melalui sistim perwakilan yaitu melalui lembaga parlemen dua kamar
(bikameral) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota,
pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui sistim perwakilan
yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat DaerahPenyaluran kedaulatan
rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan
umum dan pemilihan presiden. Disamping itu kedaulatan rakyat dapat pula
disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat,
hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan informasi, hak atas kebebasan
berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainya yang dijamin dalam
Undang-Undang Dasar. Namun demikian, prinsip kedaulatan rakyat yang
bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran yang sah
sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Sudah seharusnya lembaga
perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah diberdayakan fungsinya
dan pelembagaannya, sehingga dapat memperkuat sistim demokrasi yang
berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional) dan prinsip negara hukum
yang demokratis tersebut di atas.
5. Pemisahan Kekuasan dan Prinsip Check and Balances
Prinsip kedaulatan yang berada dari rakyat tersebut di atas selama ini hanya
diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan
penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat dan yang
diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak
terbatas. Dari majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara
vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya.
Oleh karena itu prinsip yang dianut disebut sebagai prinsip pembagian
kekuasaan (distribution of power). Akan tetap dalam Undang-Undang Dasar
ini kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara
memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang
dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip Check and Balances.
Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat,

43
tetapi Majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederhana dengan
lembaga negara lainya. Cabang kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden
dan Wakil Presiden. Sedangkan cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif
dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.Majelis
Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan penjelmaan seluruh rakyat yang
strukturnya dikembangkan dalam dua pintu yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu prinsip perwakilan daerah
dalam Dewan perwakilan Daerah harus dibedakan hakikatnya dari prinsip
perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Agar seluruh aspirasi
rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang terdiri dari dua pintu. Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang terdiri dua kamar itu sederhana dan saling mengontrol satu sama
lain sesuai dengan prinsip check and balances. Dengan adanya prinsip check
and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur dan dibatasi sehingga
tidak ada penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara.
6. Sistem Pemerintahan Presidensial
Negara Indonesia merupakan negara yang berpenduduk terbesar keempat di
dunia. Komposisi penduduknya sangat beragam baik dari suku bangsa, etnis,
agama, maupun dari banyak segi lain. Wilayah Indonesia pun sangatlah luas
dan ada lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Kompleksitas dan keragaman
itu sangat menentukan peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam
masyarakat sehingga tidak dapat dihindari keharusan berkembangnya sistim
multi partai dalam sistim demokrasi yang hendak dibangun. Agar peta
konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat tersebut dapat
disalurkan dengan sebaik-baiknya menurut prosedur demokrasi, berkembang
keinginan agar sistim pemerintahan yang dibangun adalah sistim parlementer
ataupun setidak-tidaknya varian dari sistim pemerintahan
parlementer.Namun terlepas dari kenyataan bahwa sistim parlementer itu
pernah gagal dipraktikkan dalam sejarah Indonesia modern di masa lalu dan
karena itu membuatnya kurang popular di mata masyarakat, realitas
kompleksitas keragaman kehidupan bangsa Indonesia justru membutuhkan

44
pemerintahan yang kuat dan stabil. Jika kelemahan sistim presidensial yang
diterapkan di bawah Undang-Undang Dasar ini maka ekses-ekses dalam
praktek penyelenggaraan sistim pemerintahan presidensial tidak perlu
dikhawatirkan lagi. Keuntungan sistim presidensial adalah lebih menjamin
stabilitas pemerintahan. Sistim ini dapat dipraktikkan dengan tetap
menerapkan sistim multi-partai yang dapat mengakomodasikan konfigurasi
politik dalam masyarakat yang dilengkapi dengan pengaturan konstitusional
untuk mengurangi dampak negatif atau kelemahan bawaan dari sistim
presidensial.
7. Persatuan dan Keragaman
Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku bangsa, agama,
dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan
bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman itu.
Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united) tetapi
tidak boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed). Oleh karena itu, prinsip
persatuan Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan. Prinsip
persatuan juga tidak boleh dipersempit maknanya ataupun diidentikkan
dengan pengertian pelembagaan bentuk Negara Kesatuan yang merupakan
bangunan negara yang dibangun atas moto Kebhinekaan-tunggal-ikaan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara Persatuan
dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu yang mengatasi
segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dengan
tanpa kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi individu diakui
kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat.
Kehidupan orang per orang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat
khusus yang dimiliki seseorang atau segolongan orang atas dasar kesukuan
dan keagamaan dan lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang
berbeda dari orang atau golongan lain dalam masyarakat. Negara Persatuan
mengakui keberadaan masyarakat warga negara karena kewarganegaraan.
Dengan demikian, Negara Persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa
Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip

45
kewarganegaraan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan. Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau
cita negara yang bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan
pluralisme dan menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan
kewajiban asasinya dalam Undang-Undang Dasar ini.

8. Negara Kesatuan Dengan Federal Arrangement


Dalam Negara Federal (federal state, bondstaat), konsep kekuasaan asal atau
kekuasaan sisa (reside power) berada di tangan Pemerintah Daerah,
sedangkan kekuasaan Pemerintah Pusat ditentukan keluasan dan batas-
batasnya dalam konstitusi dan undang-undang yang berlaku. Sebaliknya,
dalam Negara Kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), kekuasaan asal itu
berada di tangan Pemerintah Pusat, kepada pemerintah daerah ditentukan
keluasan dan batas- batas kekuasaan yang diberikan oleh Pusat berdasarkan
ketentuan konstitusi atau undang-undang. Pelimpahan kewenangan (transfer
of authority) dari pusat ke daerah diatur menurut asas otonomi atau
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan sebagaimana
mestinya.Negara Indonesia adalah negara yang terbentuk Negara Kesatuan
(unitary state), Kekuasaan asal berasal di pemerintah pusat. Namun,
kewenangan (authority) pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam
Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Sedangkan kewenangan yang
tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar atau undang-undang
ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Hubungan-hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Provinsi serta Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Kota, tidak diatur
berdasarkan asas dan tugas pembantuan (medebewind). Dengan demikian
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, baik daerah provinsi maupun daerah
kabupaten dan kota, tidak terdapat hubungan pertanggungjawaban yang
bersifat hierarkis, yang terkait dengan asas dekonsentrasi itu. Hubungan
pertanggungjawabkan hanya terkait dengan pelaksanaan tugas perbantuan,
baik dari pusat ke daerah provinsi dan kabupaten/kota maupun dari daerah

46
provinsi ke daerah kabupaten dan kota. Dengan pengaturan konstitusional
yang demikian itu, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia
diselenggarakan dengan federal arrangement atau pengaturan yang bersifat
federalistis. Pengaturan demikian dimaksudkan untuk menjamin agar seluruh
bangsa Indonesia benar-benar bersatu dalam keragaman dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip keadilan antara pusat dan
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota juga makin terjamin. Otonomi dan
kebebasan rakyat di hadapan jajaran pemerintah pusat dan daerah juga makin
tumbuh dan berkembang sesuai dengan prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat. Oleh karena itu, susunan Negara Kesatuan dengan pengaturan yang
bersifat federal tersebut dikembangkan sebagaimana mestinya dengan tetap
memperhatikan perbedaan tingkat kemampuan antar daerah di seluruh
Indonesia. Oleh sebab itu, pelaksanaan prinsip Negara Kesatuan dengan
pengaturan federal hendaklah dilaksanakan secara bertahap. Daerah-daerah
yang belum dapat melaksanakan diri. Daerah-daerah itu juga tidak perlu
memaksakan diri untuk secepat mungkin menerapkan prinsip otonomi daerah
yang seluas-luasnya dengan meninggalkan sama sekali penyelenggaraan
pemerintah daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Pemerintah Pusat
bertanggungjawab menyukseskan pelaksanaan agenda otonomi daerah yang
dilakukan secara bertahap itu. Di samping itu meskipun susunan pemerintahan
telah sepenuhnya bersifat desentralistis, tetapi Pemerintah Pusat tetap
memiliki kewenangan koordinasi antar daerah provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi memiliki kewenangan koordinasi antar daerah
kabupaten/kota sebagaimana mestinya.
9. Paham Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Pasar
SosialPaham kedaulatan rakyat Indonesia selain berkenaan dengan
demokrasi politik juga mencakup paham demokrasi ekonomi. Distorsi
kelemahan yang terdapat dalam demokrasi politik melalui sisim perwakilan
politik diatasi dengan mengadopsi sistim perwakilan fungsional sebagai
pelengkap. Sistim Perwakilan politik diwujudkan melalui lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, sedangkan sistim perwakilan fungsional diwujudkan
melalui lembaga Dewan Perwakilan Daerah yang berorientasi teritorial dan

47
kedaerahan. Dengan demikian perwakilan golongan atau selaku ekonomi dan
golongan-golongan rakyat lainya di luar sistim kepartaian dapat disalurkan
aspirasinya melalui lembaga perwakilan daerah. Degan adanya doktrin
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu, sistim sosial di Indonesia dapat
dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga
menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh dan menjadi basis sosial
bagi kemajuan bangsa dan negara di masa depan.Dalam paham demokrasi
sosial (social democracy) itu, negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan
(welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dan kapitalisme terus
berkembang dan memengaruhi hampir seluruh segi kehidupan umat manusia
melalui arus globalisasi yang terus meningkat, tetapi aspirasi ke arah
sosialisme baru di seluruh dunia juga berkembang sebagai pengimbang.
Sebagai akibatnya, paham kapitalisme itu sendiri juga terus mengadopsikan
elemen-elemen konstruktif dari paham sosialisme dan demikian pula
sebaliknya dalam hubungan yang bersifat konvergen. Oleh karena itu, paham
market socialism terus berkembang dalam kerangka pengertian pasar sosial.
Oleh karena itu tekad the founding fathers untuk mengadopsikan kedua paham
tersebut dalam rumusan Undang-Undang Dasar dalam Bab XIV tentang
Kesejahteraan Sosial tetap harus dipertahankan dengan mencantumkan
gagasan demokrasi ekonomi dan paham ekonomi pasal sosial itu dalam
Undang-Undang Dasar ini. Pemikiran demikian itu mendasari perumusan
berbagai ketentuan dasar mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial
Indonesia yang hendak diwujudkan di masa depan.
10.Cita Masyarakat Madani
Berkaitan dengan pengertian-pengertian yang berkenaan dengan kepentingan
keberdayaan masyarakat madani atau civil society. Dalam hubungan antara
negara, masyarakat dan pasar. Perkembang sangat pesat disertai oleh
gelombang globalisasi yang mempengaruhi peri kehiduipan umat manusia.
Pengertian-pengertian masyarakat madani yang perlu ditingkatkan
keberdayaanya, haruslah menjadi perhatian sungguh-sungguh setiap
penyelenggara negara. Bahkan untuk menjamin peradaban bangsa dimasa
depan ketiga wilayah domain negara, masyarakat dan pasar itu sama-sama

48
harus dikembangkan keberdayaanya dalam hubungan yang funsional sinergis
dan seimbang. Materi undang-undang dasar harus tetap terjamin tingkat
abstarksi perumusannya dan disamping itu keseluruhan norma-norma yang
bersifat mendasar memang harus tidak dimuat dalam konstitusi tertulis,
bahkan dalam sistem hukum indonesia harus pula dikembangkan adanya
pengertian mengenai hukum yang dibuat oleh negara, hukum yang diputus
hakim yang merupakan yurisprudensi. Hukum yang dikembangkan sebagai
doktrin ilmu hukum. Hukum yang tumbuh dalam praktek. Dan hukum hidup
dikalangan masyarakat sendiri. Yang penting untuk disadari adalah institusi
negara dibentuk dengan maksud untuk mengambilalih fungsi-fungsi yang
secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh
institusi masyarakat. Institusi negara dibentuk justru dengan maksud untuk
makin mendorong tumbuh dan bekembangnya peradaban bangsa indonesia,
sesuai dengan cita-cita masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera lahir
dan batin demokratis dan berkeadilan.

2.2Dasar Sosiologis
Landasan sosiologis adalah landasan yang mengharuskan adanya perhatian terhadap
nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat di dalam rumusan hukum yang
dibuat.31 Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan atau dasar
sosiologis (sociologische grondsIag) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Keyakinan umum dapat berupa
kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan
masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini, maka peraturan perundang-
undangan diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara
efektif.32


31
Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, “Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan” http://jdih.den.go.id/17/pentingnya-harmonisasi-peraturan-perundangundangan diakses 15
Maret 2018.
32
Badan Pendidikan dan Pelatihan DIY, “Methoda Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan
(Disusun kembali dari bahan materi diklat Legal Drafting oleh Sopingi Widyaiswara Bandiklat Pemda
DIY)” http://diklat.jogjaprov.go.id/v2/kegiatan/artikel/item/92-methoda-pembuatan- peraturan-
perundang-undangan-disusun-kembali-dari-bahan-materi-diklat-legal-drafting-oleh-sopingi- widyaiswara-
bandiklat-pemda-diy diakses 15 Maret 2018.

49
Dalam perspektif sosiologis, hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya adalah
untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, maka
penyelenggaraan yang demikian itu berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu
sendiri untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, suatu masyarakat akan
menyelenggarakannya dengan cara tertentu yang berbeda dengan pada masyarakat yang
lain. Perbedaan ini berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat
dalam masyarakat untuk penyelenggaraan keadilan itu dan hak ini berarti adanya
hubungan yang erat antara institusi hukum suatu masyarakat dengan tingkat
perkembanagn organisasi sosialnya.33
Seperti dijelaskan di atas, didapati bahwa keberlakuan sosiologis cenderung lebih
mengutamakan pendekatan yang empiris. Selain itu, keberlakuan sosiologis
mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (1) kriteria pengakuan (recognition
theory), (2) kriteria penerimaan (reception theory), atau (3) kriteria faktisitas hukum. Dari
ketiga ini, kriteria yang sering dipakai adalah kriteria yang pertama. Kriteria ini
menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan
daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang
bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara
sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya.34
Sebagai sebuah institusi sosial, maka ciri yang harus dimiliki oleh suatu kaidah
hukum adalah:35
1. StabilitasHukum sebagai sebuah institusi sosial harus menciptakan suatu
kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan
itu. Keadaan ini mengandung arti bahwa dalam masyarakat tidak lagi terdapat
kesimpangsiuran tentang siapa yang berwenang untuk menentukan batas-batas
dan isi dari hubungan-hubungan antara sesama anggota masyarakat dalam
kaitannya dengan tuntutan dan pemberian keadilan itu. Apabila batas-batas yang
demikian itu tidak ditentukan, barang tentu akan terjadi keributan dan pemborosan
tenaga masyarakat. 


33
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 121.
34
Muhtadi, “Tiga Landasan Keberlakuan Peraturan Daerah : Studi Kasus Raperda Penyertaan
Modal Pemerintah Kota Bandar Lampung kepada Perusahaan Air Minum “Way Rilau” Kota Bandar
Lampung,” Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum 7 (Mei-Agustus 2013), hlm. 214-215.
35
Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm. 118.

50
2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan kebutuhan dalam
masyarakatDi dalam ruang lingkup kerangka yang telah diberikan dan dibuat,
maka haruslah dilihat apakah anggota-anggota masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan- kebutuhannya. Dengan demikian, tuntutan kebutuhan yang bersifat
pribadi dipertemukan dengan pembatasan-pembatasan dalam kerangka sosial. 
3. Berwujud norma
Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia, maka hukum menampilkan
wajahnya dalam bentuk norma-norma. Norma-norma inilah yang merupakan
sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi
kebutuhannya secara terorganisasi. Melalui norma-norma tersebut, terjelmalah
posisi-posisi yang kait mengait secara sistematis dalam rangka penyelenggaraan
kebutuhan tersebut. Keadaan yang demikian itu terjelma oleh karena norma-
norma tersebut menetapkan tentang posisi dari masing-masing anggota
masyarakat dalam hubungan dengan suatu pemenuhan kebutuhan tertentu dan
bagaimana kaitannya dengan posisi anggota masyarakat yang lain.
4. Jalinan antar institusi
Sekalipun berbagai institusi dalam masyarakat itu diadakan untuk
menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan tertentu, namun tidak dapat dihindari
terjadinya tumpang tindih antara mereka itu. Keadilan, misalnya, dilayani oleh
institusi hukum. Namun demikian, tidak semua pemenuhan kebutuhan yang
berhubungan dengan keadilan itu bisa dipuaskan oleh institusi tersebut. Institusi
ekonomi tentulah turut serta pula dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut,
khususnya dalam hubungan dengan keadilan yang bersegi kebendaan. Adanya
jalinan antara berbagai institusi dalam masyarakat itu menyebabkan bahwa
pengubahan pada suatu institusi akan memberikan dampaknya terhadap institusi
lainnya.
Salah satu teori yang berkembang dari pemikiran sosiologis ini adalah Teori
Pengakuan atau “The Recognition Theory.” Teori ini berpokok pangkal pada pendapat
bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan kepada penerimaan atau pengakuan oleh

51
mereka kepada siapa kaedah hukum tersebut tertuju.36 Hoebel pernah mengemukakan
bahwa, “...flatly behavioristic and empirical in that we understand all human law to
reside in human behavior and to be discernible through objective and accurate
observation of what men do in relation to each other and the natural forces that impinge
upon them.”37 Roscoe Pound menyarankan agar dilakukan studi sosiologis pada saat
mempersiapkan pembuatan undang-undang. Pound mengatakan :“...but is not enough to
compare the law themselves. It is more important to study their social operation and effect
which the they produce, if any, then put in action...” D’Anjaou pun menjelaskan adanya
kaitan erat antara pembuatan undang-undang dan habitat sosialnya.38
Hart mengemukakan adanya tiga karakteristik hukum dan sistem hukum, yaitu
validity, efficacy, dan acceptance. Suatu aturan mungkin valid apabila dilacak secara
formal sesuai dengan prosedur system pembuatan dan perubahan aturan hukum. Namun,
suatu aturan belum tentu mempunyai efficacy. Suatu hukum dikatakan mempunyai
efficacy jika aturan hukum itu ditaati secara umum. Selain itu dibutuhkan juga
acceptance, yakni masyarakat menerima aturan itu sebagai aturan yang valid.39
Konstitusi yang merupakan landasan filosofis bangsa indonesia tentunya harus
mampu mengakomodir apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat. Bukan masyarakat
secara partikulir, melainkan masyarakat secara universal. Sehingga dalam konstitusi
bangsa Indonesia tentunya harus juga mengakomodir bagaimana tuntutan masyarakat
Indonesia demi perbaikan sistem yang selayaknya dijalankan demi terciptanya
kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
Pandangan sosiologis melihat bahwa hukum sebagai kaedah merupakan perwujudan
dari sikap tindak atau perilaku yang paling banyak terjadi, sehingga merupakan
perwujudan statistik dari sikap tindak atau perilaku dalam kenyataan.40 Landasan
sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah


36
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 91.
37
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 14.
38
Betha Rahmasari, “Mekanisme dan Dasar Keberlakuan Legal Drafting di Indonesia,” Jurnal
Hukum 13 (Mei 2016), hlm. 82.
39
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), hlm. 64.
40
Purbacaraka, Sendi-Sendi, hlm. 14.

52
dan kebutuhan masyarakat dan negara.41 Oleh karenanya, keberlakuan sosiologis dapat
dilihat melalui sarana penelitian empiris tentang perilaku warga masyarakat. Jika dari
penelitian tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku dengan mengacu kepada
keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan empiris kaidah hukum. Dengan
demikian, norma hukum mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.42

2.2.1. Kebutuhan untuk Amandemen UUD 1945


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga yang berwenang
melakukan amandemen UUD NRI 1945 mengklaim bahwa semua komponen bangsa,
mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, forum rektor, seluruh partai
politik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Wapres, menyetujui pada
periode pemerintahan saat ini akan terjadi amandemen kembali terhadap Undang-
Undang Dasar. Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, mengatakan bahwa faktanya
sekarang seluruh partai politik, Presiden, Wakil Presiden, ooganisasi masyarakat,
hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah setuju untuk dilakukan amandemen.
Sehingga ia menyimpulkan bahwa dukungan untuk melakukan amandemen sudah
100 persen.43

2.2.2. Integrasi Rezim Pemilu


Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menegaskan bahwa pemilihan
kepala daerah (pilkada) bukan merupakan rezim pemilu. Keputusan ini berdasarkan
Pasal 22E UUD 1945. Pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut
Pilkada bukanlah rezim dari pemilu, memunculkan banyak pertanyaan di DPR RI.
Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai kewenangan KPU dalam
menyelenggarakan Pilkada, juga apakah MK akan menyelesaikan sengketa Pilkada


41
Indonesia, Undang–Undang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan, UU No. 12 Tahun
2011, LN. No.82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Lampiran 1.
42
Rahmasari, “Mekanisme dan Dasar,” hlm. 84.
43
Robbi Khadafi, “MPR: Semua Komponen Bangsa Setuju UUD DIamandemen,”
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/01/21/54031/25/25/-MPR-Semua-Komponen-Bangsa-
Setuju-UUD-Diamandemen diakses Pada 19 Maret 2018.

53
yang tidak termasuk rezim pemilu.44 Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004
menerangkan bahwa penentuan sistem pemilihan kepala daerah merupakan open
legal policy pembentuk UU. Putusan lain bernomor 97/PUU-XI/2013 bahwa Pilkada
dinyatakan sebagai rezim pemerintah daerah, tidak masuk dalam rezim pemilu dalam
pasal 22E UUD 1945.
Namun open legal policy yang diberikan oleh MK kepada pembentuk UU ini
menimbulkan banyak pertentangan dari masyarakat. Satu masalah nyata adalah
Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang sedang dibahas di DPR terus
melahirkan polemik dan perdebatan. Pasalnya, dalam salah satu poin dalam Pemilu
Serentak 2019 pemerintah ingin menggunakan sistem proporsional tertutup.
Menanggapi polemik itu Ketua Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai wacana
tersebut sangat bertentangan dengan keinginan rakyat. Sekaligus, dia menegaskan ini
tidak sesuai dengan agenda reformasi yang memperjuangkan pemilu untuk dilakukan
secara terbuka, jujur, dan adil.45
Menurut pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago
mengatakan bahwa sistem proporsional tertutup memiliki beberapa kelemahan. Di
antaranya adalah mempersempit kanal partisipasi publik dalam Pemilu, serta
menjauhkan akses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascaPemilu.
Proporsional tertutup, membuat komunikasi politik tidak berjalan secara efektif.
Tidak hanya itu, krisis calon anggota legislatif juga menjadi sulit dihindari karena
sedikitnya yang berminat dan serius maju menjadi Caleg. Hal itu disebabkan siapa-
siapa saja yang duduk di parlemen nantinya sudah bisa diprediksi sejak jauh-jauh hari
lantaran keputusannya ditentukan oleh partai. Pada sistem proporsional tertutup,
partai berkuasa penuh dan menjadi penentu siapa-siapa saja yang akan duduk di kursi
parlemen, setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi.46 Oleh karena
itu, dibutuhkan kejelasan yang konstitusional mengenai rezim pemilu dan pilkada


44
MK, “MK Sebut Pilkada Bukan Rezim Pemilu,”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10565#.Wq8qKSN7Fo4 diakses
pada 19 Maret 2018.
45
Putera Negara, “RUU Pemilu Sistem Proporsional Tertutup Dinilai ‘Khianati’ Agenda
Reformasi,” https://news.okezone.com/read/2017/03/18/337/1646129/ruu-pemilu-sistem-proporsional-
tertutup-dinilai-khianati-agenda-reformasi diakses pada 19 Maret 2018.
46
Ahmad Islamy Jamil, “Ini Plus Minus Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup,”
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/07/23/oaqz26354-ini-plus-minus-pemilu-dengan-
sistem-proposional-tertutup diakses pada 19 Maret 2018.

54
yang dapat dipecahkan melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

2.2.3. Menggagas Constituent Recall


Status quo di Indonesia saat ini, mekanisme recall terbilang sangat sederhana.
Cukup usul DPP Parpol disampaikan kepada pimpinan DPR. Pimpinan DPR akan
meneruskan kepada Presiden untuk dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Presiden dan DPR dalam hal ini sifatnya hanya sebagai kotak surat dan pengesahan
saja. Pasalnya baik Pimpinan DPR maupun Presiden tidak bisa menolak usul itu.
Sifatnya hanya administratif. Kewenangan besar Parpol yang ditegaskan MK ini
menimbulkan tanya, benarkah Parpol dapat mencabut mandat seorang anggota DPR
yang diberikan ribuan konstituennya. Apalagi hanya dengan alasan melanggar
Anggaran Dasar atau Anggaran rumah Tangga (AD/ART) yang seringkali tidak jelas.
Banyak pihak mempertanyakan hal ini. MK dalam putusannya
menyatakan recall tidak melanggar Konstitusi. Menurut Mahkamah, salah satu upaya
dalam memberdayakan Parpol adalah dengan memberikan hak atau kewenangan
untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap anggotanya, agar
anggota bersikap dan berbuat tidak menyimpang. Apalagi bertentangan dengan
AD/ART. Mahkamah khawatir, kalau Parpol tidak diberi wewenang menjatuhkan
sanksi terhadap anggotanya yang menyimpang dari AD/ART atau kebijaksanaan
Parpol maka anggota Parpol bebas berbuat semena-mena.47
Namun hal ini ditepis oleh dua hakim konstitusi Prof. Jimly Asshidiqie dan
Maruarar Siahaan. Dalam dissenting opinion nya, baik Jimly dan Maruarar sepakat
bahwa jika recalling anggota DPR semata-mata atas dasar pelanggaran AD/ART
partai yang bersifat hukum privat, maka hal itu merupakan pengingkaran atas sifat
hubungan hukum anggota DPR dengan konstituen dan lembaga negara, yang
seyogianya tunduk pada hukum publik (konstitusi). Menurut kedua hakim konstitusi
tersebut, recalling yang dilakukan partai politik terhadap anggotanya yang duduk di
DPR, baik karena alasan-alasan disiplin partai dan alasan pelanggaran anggaran dasar


47
Aru, “Mempertanyakan Hegemoni Recall Anggota DPR di Tangan Partai Politik,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16071/mempertanyakan-hegemoni-irecalli-anggota-dpr-di-
tangan-partai-politik diakses pada 19 Maret 2018.

55
dan rumah tangga, di samping diatur oleh hukum privat AD/ART partai juga harus
tunduk pada hukum publik.48
Dalam rangka pengawasan anggota Parlemen, seharusnya mekanisme itu tidak
menjadi monopoli Parpol, tetapi juga konstituen.
Penggunaan hak recall oleh Parpol cenderung menjadikan Parpol dominan terhadap
anggota partainya sehingga anggota dewan lebih mementingkan kepentingan
partainya dari pada membawakan aspirasi rakyat. Anggota dewan yang bersangkutan
akan takut pada tindakan recall yang sewaktu-waktu dapat dikenakan terhadap
dirinya. Dengan demikian, menurut Laica parlemen menjadi tidak solid serta tidak
stabil, dikendalikan oleh elit partai-partai politik dari luar
Seorang anggota DPR tidak boleh diberhentikan dari jabatannya dengan cara
ditarik oleh pemimpin partai politiknya karena alasan berbeda pendapat dengan
pimpinan partainya atau partai politiknya. Sejalan denga prinsip kedaulatan rakyat
dan sistem suara terbanyak, maka mekanisme recall yang paling tepat adalah
constituent recall, yaitu apabila tuntutan pemberhentian terhadap anggota itu datang
dari warga masyarakat daerah pemilihan dari anggota DPR yang bersangkutan
berasal. Dengan demikian, setiap wakil rakyat yang mengabdi kepentingan rakyat
yang diwakilinya dapat terlindungi kedudukannya dari kemungkinan diancam oleh
pimpinan partai politiknya karena idealis yang diperjuangkan untuk rakyat.49

2.2.4. Integrasi Penyelesaian Sengketa Pemilu di Badan Peradilan Pemilu


Awalnya penyelesaian sengketa pemilu tidak diberikan kepada lembaga
peradilan, melainkan kepada lembaga legislatif, seperti Inggris yang memberikannya
kepada Parlemen sampai dengan tahun 1868, atau Perancis yang sejak abad ke 18
memberikannya pada Etats Generaux hingga berlakunya Konstitusi Republik kelima
pada 1958. Alasan pemberian mekanisme penyelesaian sengketa pemilu kepada
lembaga legislatif saat itu juga sangat dipengaruhi oleh prinsip pemisahan kekuasaan
yang cenderung kaku saat itu, dimana tiap cabang kekuasaan dianggap independen
dari cabang kekuasaan lainnya dan tidak dapat membuat keputusan yang


48
Ibid.
49
Jimly Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), hlm. 64-67.

56
mempengaruhi komposisi cabang kekuasaan lainnya.50 Namun kini dalam
perkembangannya banyak negara yang memberikan kewenangan memutus sengketa
pemilu kepada lembaga peradilan baik itu pengadilan biasa, pengadilan konstitusi,
pengadilan administratif, maupun pengadilan khusus pemilu. Dengan
mempercayakan pada lembaga peradilan hal itu diharapkan dapat menjamin segala
sengketa yang terjadi dapat diselesaikan secara hukum dan berdasarkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam konstitusi,51 karena negara-negara di dunia
beranggapan bahwa dalam pemilu terdapat hak-hak dari warga negara yang
merupakan HAM dan kebanyakan diakui oleh konstitusi negara-negara di dunia,
sehingga untuk menjamin hak tersebut ditegakkan maka penyelesaian sengketa
pemilu harus diberikan kepada pengadilan. Hak-hak tersebut menurut International
IDEA terdiri dari:
1. The right to vote and to run for elective office in free, fair, genuine and
periodic election conducted by universal, free secret and direct vote;
2. The right to gain access, in equal conditions, to elective public office;
3. The right to political association for electoral purposes; dan
4. Other rights intimately related to these, such as right to freedom of expression,
freedom of assembly and petition, and access to information on political
electoral matters.
Di Indonesia sendiri, terdapatnya fenomena judicialization of politics dalam
kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pemilu memang tidak dapat
dilepaskan dari tujuan dibentuknya MK itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat
bahwa pertimbangan dibentuknya MK kental dengan muatan politis.52 Salah satu
alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak dapat dilepaskan dari
konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya Indonesia
baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi, dimana
pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu
kekuatan politik yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah
UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah

50
Ibid., hlm. 63-64.
51
Ibid, hlm. 62.
52
Wicaksana Dramanda, “Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”, http://pleads.fh.unpad.ac.id/?p=152 diakses pada 1 Februari 2018.

57
Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya,
apabila semakin terbaginya lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang
saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran
pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik yang
kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran pengadilan akan
semakin lemah.53 Maka dari itu dengan terdapatnya banyak partai dan tidak
terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan ketika dibentuknya MK, tak heran
apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-masalah
politik, sebagaimana hal itu tercermin dimana begitu banyaknya perkara perselisihan
hasil pemilu yang diputus oleh MK.
Di Indonesia melalui kewenangannya memutus perkara perselisihan hasil pemilu
yang merupakan bentuk judicialization of politics, maka terbuka kemungkinan bagi
MK menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya karena pemilu itu sendiri
merupakan salah satu mekanisme bagi para pesertanya untuk dapat duduk di cabang
kekuasaan lain yaitu legislatif maupun eksekutif. Terbukanya kemungkinan bagi MK
menjadi objek politisasi tersebut dapat kita lihat dari banyaknya perkara perselisihan
hasil pemilu yang dimohonkan kepada MK. Banyaknya perkara perselisihan hasil
pemilu yang dimohonkan tersebut membuat MK sangat kerepotan dalam
menanganinya. Bahkan sebelum ini MK tidak hanya kerepotan dalam menangani
perselisihan hasil pemilu legislatif dan presiden saja yang dilangsungkan lima tahun
sekali, tetapi juga kerepotan menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala
daerah (pilkada) akibat terlalu banyaknya perkara sengketa pilkada yang masuk.
Banyaknya perselisihan hasil pilkada yang masuk ke MK tersebut disebabkan adanya
anggapan bahwa “apabila kalah dalam pilkada maka dibawa saja ke MK” yang
membuat 90% pilkada berujung di MK.54 Puncaknya adalah ketika mantan Ketua MK
Akil Mochtar ditangkap karena menerima suap ketika menangani sengketa pilkada
sehingga akhirnya MK melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menghapus
kewenangan MK dalam memutus sengketa pilkada. Namun dapat dikatakan bahwa


53
Tom Ginsburg, “Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East
Asia”, Global Jurist Advance, Vol. 2, No. 2, (2002), hlm. 17.
54
Gatra, “Fadel: 90% Pilkada Berujung pada MK”, https://www.gatra.com/politik-1/pemilu-
1/pilkada-1/31178-fadel-90-persen-pilkada-berujung-pada-mk.html diakses pada 1 Februari 2018.

58
akibat terungkapnya perkara suap yang menimpa ketua MK tersebut membuat
tereduksinya kepercayaan rakyat kepada MK.
Memang sejak awal keberadaan MK dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-
perkara politik dan ketatanegaraan yang salah satunya adalah mengenai perselisihan
hasil pemilu, dengan begitu diharapkan permasalahan mengenai pemilu dapat
diselesaikan secara hukum sesuai prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi.
Namun, harus diingat pula bahwa kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil
pemilu merupakan suatu bentuk judicialization of politics yang harus diimbangi
melalui prinsip pembatasan diri (judicial restraint) agar MK sebagai lembaga
peradilan dapat menjaga kedudukannya dan tidak menjadi objek politisasi dari cabang
kekuasaan lainnya, dan mampu fokus pada tugas utama yang lebih minim sarat
politiknya seperti pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Oleh karena itu, kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu sudah
seharusnya dialihkan dari Mahkamah Konstitusi ke Peradilan Pemilu yang secara
khusus mengadili seluruh sengketa pemilu dengan hukum acara yang lebih singkat,
penyidik khusus, penuntut khusus, hakim khusus dan lain sebagainya. Perlunya akan
kebutuhan peradilan khusus pemilu dalam pelaksanaan pemilihan umum merupakan
sebuah cita hukum (ius constituendum) yang tujuannya untuk memproteksi hak
konstitusional warga negara dan peserta pemilihan tersebut. Pemilu dapat
memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam
penyelenggaraan tahapan pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam
kehidupan negara demokrasi, sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat
penyelesaian pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama tahapan suatu pemilu
berlangsung. Ide awal peradilan khusus Pemilu sebenarnya suatu solusi untuk
mewujudkan salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelenggaraan
pemilu diantaranya adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum,
adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan peserta pemilu
menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu
penyelenggaraan pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atau merasa
dirugikan dalam penyelenggaraan tahapan suatu pemilu untuk mendapatkan kepastian
hukum, dapat mengajukan permasalahan tersebut di Peradilan Pemilu. Sehingga
dengan adanya Peradilan Pemilu, maka permasalahan-permasalahan hukum di pemilu

59
yang selama ini menumpuk di Mahkamah Konstitusi dapat diselesaikan dengan baik
dan terfokus.
Contoh tersebut tentu menunjukkan bahwa kewenangan MK memutus
perselisihan hasil pilkada telah membuat MK menjadi objek politisasi dari para
peserta pilkada. Saat ini, meskipun MK sudah tidak lagi berwenang memutus
perselisihan hasil pilkada, namun perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif
yang masuk ke MK setiap 5 tahun sekali tetap membuat MK kewalahan karena
banyaknya jumlah perkara yang masuk sebab perkara perselisihan hasil pemilu
sampai sejauh ini merupakan perkara yang paling banyak diajukan di MK dimana
dalam pemilu 2014 saja terdapat 702 kasus mengenai perselisihan hasil pemilu
legislatif yang dimohonkan kepada MK, jumlah tersebut menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan dibanding pemilu tahun 2004 dimana terdapat 274 perkara, dan pemilu
tahun 2009 dengan 627 perkara.55

2.2.5. Dorongan Penguatan Dewan Perwakilan Daerah


Penduduk Indonesia mendukung amandemen UUD yang berkaitan dengan
peningkatan wewenang DPD agar lebih mampu memperjuangkan kepentingan daerah
yang diwakilinya. Publik menginginkan DPD memiliki wewenang yang setara
dengan DPR, khususnya yang berkaitan dengan fungsi legislasi.56 Salah satu masalah
yang menjadi perhatian dalam melakukan amandemen adalah belum adanya
kedudukan dan kewenangan yang memadai kepada DPD sebagai lembaga perwakilan
dalam kerangka struktur lembaga perwakilan bikameral. Keterbatasan kewenangan
DPD berdasarkan konstruksi yang dibangun dalam konstitusi membawa konsekuensi
kurang optimalnya peran DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah dan
masyarakat di tingkat nasional. Demikian disampaikan oleh Yunus Sjamsoeddin,
seorang anggota DPD RI, bahwa DPD tidak mampu berbuat banyak jika keputusan
pembahasan RUU ada di tangan DPR, padahal anggaran untuk menyusun RUU
tersebut juga tidak sedikit. Pernyataan ini disampaikan karena dalam lima tahun masa
baktinya, DPD telah menghasilkan 164 rancangan undang-undang, namun tidak

55
Pramono, Penanganan Sengketa Pemilu, hlm. 19-20.
56
Lembaga Survei Indonesia, “Amandemen UUD 1945 dan Penguatan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD),” http://www.lsi.or.id/riset/290/amandemen-uud-45-dan-penguatan-wewenang-dewan-perwakilan-
daerah-dpd diakses pada 19 Maret 2018.

60
satupun RUU itu dibahas oleh DPR.57 Hal yang serupa juga disampaikan oleh
Ginandjar Kartasasmita, ketua DPD pada periodenya, yang mengeluhkan rendahnya
respon DPR terhadap berbagai usulan RUU yang diajukan DPD. Lebih lanjut Ia
mengatakan bahwa dari 12 usul RUU inisiatif DPD, 10 diantaranya diserahkan
kepada DPR tetapi yang ditindak lanjuti hanya satu.58
Keterbatasan-keterbatasan DPD ini memang sah secara konstitusional dalam
hukum positif Indonesia, namun belum tentu sah secara demokratik atau menurut
keinginan rakyat. Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
atau dasar sosiologis (sociologische grondsIag) apabila ketentuan-ketentuannya
sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Kondisi dan
kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat,
kecenderungan dan harapan masyarakat. Kecenderungan dan harapan masyarakat
dapat kita lihat dari survei rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) dengan judul Peluang
dan Harapan DPD RI: Sebuah Evaluasi Publik.59
Survei yang dilaksanakan pada Desember 2011 ini berusaha mengukur
pengetahuan responden tentang DPD, sikap responden terhadap penguatan
kedudukan, tugas, dan wewenang DPD, harapan responden terhadap DPD, serta sikap
responden terhadap rencana perubahan kelima UUD 1945 terkait posisi dan
kewenangan DPD. Dengan jumlah sampel 1220, diperkirakan margin of error sebesar
2.9%. Melalui survei ini, ditemukan bahwa sesungguhnya secara umum masyarakat
sudah mengenali keberadaan DPD RI secara kelembagaan serta 87,6% responden
mengenal tugas DPD untuk mewakili kepentingan daerah di pusat. Namun demikian,
hanya 24,7% responden mengaku mengetahui bahwa kewenangan DPD hanyalah
memberikan pertimbangan kepada DPR dan tidak punya kewenangan untuk ikut
memutuskan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan keinginan rakyat
daerah provinsi.


57
Anonim, “164 RUU Usulan DPD Tidak Dibahas DPR,”
https://www.antaranews.com/print/142807/164-ruu-usulan-dpd-tidak-dibahas-dpr diakses pada 19 Maret
2018.
58
Anonim, “Ginandjar Keluhkan Rendahnya Respons DPR atas RUU Usulan DPD,”
https://www.antaranews.com/berita/128166/ginandjar-keluhkan-rendahnya-respon-dpr-atas-ruu-usulan-
dpd diakses pada 19 Maret 2018.
59
Lembga Survei Indonesia, “Peluang dan Harapan Masyarakat atas DPD RI,”
http://www.lsi.or.id/riset/416/Harapan_Masyarakat_atas_DPD_RI diakses pada 19 Maret 2018.

61
Dari survei ini juga ditemukan bahwa mayoritas responden berharap atau sangat
berharap agar DPD RI memiliki kewenangan lebih banyak dan lebih luas. Mereka
yang berharap atau sangat berharap agar DPD RI ikut serta memutuskan undang-
undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah mencapai 78%; dan DPD RI dapat
menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap pemerintah sebesar 74%. Sebanyak 70%
responden berharap atau sangat berharap bahwa DPD bisa bersama- sama dengan
DPR membuat undang-undang. Sementara itu, sebanyak 71% berharap atau sangat
berharap DPD bisa bersama-sama DPR memberikan persetujuan atas RAPBN.
Bahkan lebih jauh, 64% responden juga berharap bahwa DPD juga memiliki
wewenang untuk ikut mengangkat pejabat publik yang penting.
Dari temuan-temuan dalam survei ini, kita dapati bahwa keinginan masyarakat
secara mayoritas adalah menguatkan posisi DPD dalam tugasnya mewakili
kepentingan daerah di tingkat pusat. Maka dari itu, diperlukan upaya penguatan
kewenangan DPD dalam kerangka struktur bikameral. Kebijakan untuk menguatkan
kewenangan DPD ini dinilai menggambarkan keinginan yang berkembang di tengah
masyarakat dan karenanya memenuhi kelakuan peraturan secara sosiologis.
Direktur LSI, Saiful Mujani, memaparkan ada dua alasan utama kenapa dukungan
publik begitu kuat terhadap DPD. Pertama, publik memandang kinerja demokrasi
secara umum tidak memuaskan. Kedua, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol
sudah sangat rendah. Ini dibuktikan oleh temuan survei LSI, sebesar 51,8 persen
publik tidak yakin bahwa parpol telah bekerja sebagaimana diharapkan rakyat.
Akibatnya, 76,9 persen publik lebih mengapresiasi mekanisme pemilihan anggota
DPD yang didasarkan pada perseorangan, bukan parpol.60

2.2.6. Penguatan Sistem Presidensiil


Kemudian, adanya kebutuhan untuk mempertegas sistem presidensiil melalui
amandemen UUD NRI 1945. Menurut Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan, terdapat lima
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur suatu keberhasilan pemerintahan.
Pertama adalah aspek politik, apakah internal politik di pemerintah itu kuat? Apakah


60
Anonim, “Usulan Amandemen UUD 1945 Diujung Tanduk,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17304/usulan-amandemen-uud-1945-diujung-tanduk
diakses pada 19 Maret 2018.

62
dukungan partai politik pemerintah kuat? Apakah dukungan partai politik pemerintah
kuat? Apakah ada pertentangan antara presiden dan wakil presiden serta partai
pendukungnya? Indikator kedua adalah mengenai respon pemerintah terhadap
masalah sosial akibat nilai tukar rupiah, harga yang tak terkendali, kenaikan BBM.
Ketiga adalah aspek ekonomi, yaitu apakah pertumbuhan ekonomi sekarang lebih
tinggi dari sebelumnya. Indicator keempat adalah mengenai hubungan antar lembaga
negara, apakah hubungan antar lembaga negara seperti DPR dan Pemerintah, MA dan
KY, atau lainnya berjalan harmonis atau sebaliknya. Indikator terakhir adalah
mengenai hubungan dengan luar negeri seperti hubungan dengan ASEAN, Eropa,
Australia, dan sebagainya. Hubungan ini akan berguna untuk menaikan citra
Indonesia di mata Internasional.61
Apabila melihat pada kelima indikator tersebut, maka dua diantaranya adalah
mengenai pemerintahan dan partai politik. Hal ini menandakan bahwa salah satu
faktor penting dalam keberhasilan suatu negara adalah bagaimana pemerintahannya
itu sendiri berjalan. Hubungan antara partai politik dengan pemerintahan memang
saling ketergantungan satu sama lainnya. Di satu sisi, partai politik merupakan
pencerminan aspirasi rakyat yang diperjuangkan dalam pemerintahan. Di sisi lain,
pemerintahan seperti layaknya kompetisi yang akan menyaring partai politik mana
yang akan bermain dalam pemerintahan selama masa jabatan tertentu. Pemerintahan
membutuhkan dukungan dan peran dari partai politik pula dalam menjalankan
fungsinya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila keduanya dapat saling mempengaruhi
keadaan suatu negara atau jalannya pemerintahan.
Permasalahan multipartai yang dihadapi oleh Indonesia dianggap menghambat
jalannya pemerintahan. Banyaknya partai politik dalam koalisi yang dibangun
dianggap dapat mengakibatkan kebuntuan pendapat akibat dari banyaknya
kepentingan dan pendapat yang diutarakan. Keadaan yang sama dapat pula terjadi
pada kekuasaan legislatifnya. Hubungan yang kurang baik antara eksekutif dengan
legislatif dapat membawa dampak buruk pada jalannya pemerintahan, seperti
misalnya menurunnya fungsi legislasi. Hal ini pula yang bagi sebagian besar


61
Murdaningsih Dwi, “Ketua MPR Sebut Lima Indikator Keberhasilan Pemerintah,”
http://www.republika.co.id/berita/mpr-ri/berita-mpr/15/05/16/nodysy-ketua-mpr-sebut-lima-indikator-
keberhasilan-pemerintah diakses pada 19 Maret 2018.

63
pengamat digunakan untuk melihat apakah pemerintahan berjalan dengan baik atau
tidak.
Tercatat pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, terdapat
40 undang-undang yang berhasil ditandatangani pada tiga tahun awal masa
kepemimpinannya.62 Sedangkan dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, pada tahun 2010 disepakati 70 RUU masuk Program legislasi Nasional
(Prolegnas), tetapi hanya 18 RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Menurut
Ketua DPR Marzukie Alie, sepanjang tahun 2012 DPR baru menyetujui pengesahan
30 UU namun 20 diantaranya merupakan UU kumulatif terbuka seperti perjanjian
atau ratifikasi internasional, UU tentang Anggaran, dan UU tentang Pembentukan
Daerah Otonom Baru. Hanya 10 UU yang tergolong prioritas atau masuk dalam
Prolegnas 2012, jumlah tersebut dianggap jauh dibawah target yang ditetapkan oleh
pemerintah dan DPR, yakni 69 RUU.63 Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo
memang belum selesai, namun kinerja dari pemerintahannya dianggap lebih lambat
daripada pemerintahan Presiden SBY.64 Pada tahun awal bekerja, DPR hanya berhasil
menghasilkan tiga undang-undang dari 39 RUU yang harus diselesaikan pada tahun
awal sebagai hasil kesepakatan Prolegnas 2015.65 Di penghujung tahun 2016, tercatat
baru 22 RUU yang berhasil disahkan menjadi undang-undang.66 Padahal dalam lima
tahun ke depan, DPR, DPD, dan Pemerintah telah menyetujui 159 RUU dalam
Prolegnas 2015-2019.67


62
Data Center, “Daftar Undang-Undang yang Ditandatangani Presiden Megawati Tahun 2004,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11481/daftar-undangundang-yang-ditandatangani-presiden-
megawati-tahun-2004 diakses pada 19 Maret 2018.
63
Anita Yossihara, “Kinerja Legislasi Pun di Bawah Target,”
https://nasional.kompas.com/read/2012/12/27/02261545/Kinerja.Legislasi.Pun.di.Bawah.Target diakses
pada 19 Maret 2018.
64
Kiswondari, “Dibanding Rezim SBY, Kinerja Era Jokowi Dinilai Lebih Lambat,”
https://nasional.sindonews.com/read/1069029/12/dibanding-rezim-sby-kinerja-era-jokowi-dinilai-lebih-
lambat-1449949699 diakses pada 19 Maret 2018.
65
Abi dan Sarwanto, “Setahun Bekerja DPR Hanya Hasilkan Tiga Undang-Undang,”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151001143452-32-82122/setahun-bekerja-dpr-hanya-hasilkan-
tiga-undang-undang diakses pada 19 Maret 2018.
66
M-25, “Sepanjang 2016, 22 RUU Telah Sah Jadi UU,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5862593001f54/sepanjang-2016--22-ruu-telah-sah-jadi-uu
diakses pada 19 Maret 2018.
67
Admins, “Masa Depan Fungsi Legislasi,”
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/26-mediaindonesia/608-masa-depan-fungsi-
legislasi.html diakses pada 19 Maret 2018.

64
Selain masalah kuantitas UU yang menurun, kualitas UU yang dihasilkan juga
kerap dipertanyakan. Pasalnya, tidak sedikit UU yang digugat atau diuji materi di
Mahkamah Konstitusi (MK). Dari situs resmi MK, diketahui sedikitnya ada 11 UU
produk DPR periode 2009-2014 yang diuji materi. Bahkan sebagian UU beberapa kali
diuji materi atas permohonan kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Pegajuan
permohonan uji materi itu merupakan salah satu indikator rendahnya kualitas UU
tersebut, yang dianggap masyarakat UU tersebut bertentangan dengan konstitusi serta
peraturan perundang-undangan lainnya.68
Menurunnya pencapaian legislatif ini sebagian besar dipengaruhi oleh kerjasama
antara eksekutif dengan legislatif yang kurang baik. Tersandera secara politik
merupakan satu dari sekian banyaknya alasan yang menyebabkan efektifitas dan
efisiensi kerja pemerintah menurun. Pada pemerintahan SBY, politik akomodatif
yang sangat mementingkan keseimbangan dan harmoni politik, menyebabkan SBY
cenderung merangkul dan memuaskan semua kalangan dengan keinginan
mengakomodasi semua partai ke dalam pemerintahan. Politik akomodatif ini
cenderung tidak mengehendaki adanya “oposisi” dan membangun koalisi sebesar-
besarnya. Koalisi yang dibangun pun menjadi kebesaran (oversized coalition) dengan
menguasai 75% kursi di parlemen. Meskipun dalam kabinet hampir diisi oleh
sebagian besar partai koalisi, tidak menjamin pemerintahan akan berjalan dengan
baik-baik saja.69 Misalnya saja Partai Golkar dan PKS, yang merupakan partai koalisi
pendukung pemerintah pada saat pencalonan presiden dan wakil presiden, hampir
menjadi partai oposisi karena bertentangan pendapat dengan SBY.70 Hubungan yang
kurang baik ini tentu saja berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan, seperti
kebijakan-kebijakan yang tidak akan berjalan efektif dan lancar.


68
Anita Yossihara, “Kinerja Legislasi Pun di Bawah Target,”
https://nasional.kompas.com/read/2012/12/27/02261545/Kinerja.Legislasi.Pun.di.Bawah.Target diakses
pada 19 Maret 2018.
69
The Indonesian Institute Center for Public Policy Research, “Menakar Kinerja Satu Tahun
Pemerintahan SBY-Boediono,” http://www.theindonesianinstitute.com/wp-
content/uploads/2014/03/Update-Indonesia-Volume-V-no.-07-November-2010-Bahasa-Indonesia.pdf
diakses pada 19 Maret 2018.
70
Bochri dan Rachman, “Partai Golkar dan PKS Diatas Angin dalam Koalisi,”
http://www.kompasiana.com/b_rachman/partai-golkar-dan-pks-diatas-angin-dalam-
koalisi_54ff68f4a33311944d50ff61 diakses pada 19 Maret 2018.

65
Diperlukan suatu evaluasi terhadap hubungan antara eksekutif dengan legislatif
agar hubungan yang dibangun dapat bertahan hingga akhir masa kepemimpinan.
Perbaikan pun sudah semestinya dilakukan untuk mengurangi kekurangan
mekanisme yang dipilih.

2.3Dasar Yuridis
Dalam konstitusi Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ditetapkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum
(rechtstaat). Hal ini ditegaskan melalui Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sebelum menjadi ayat tersendiri, penegasan
bahwa Indonesia merupakan negara hukum hanya terdapa t dalam Penjelasan Umum
UUD 1945. Dengan demikian, maka Negara Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa
dirinya adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukanlah negara yang
berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Negara Hukum Indonesia adalah negara
hukum yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang merupakan falsafah dan dasar negara.
Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan cerminan dari jiwa Bangsa Indonesia,
haruslah menjadi sumber hukum dari semua peraturan hukum yang ada.71
Secara umum, negara hukum (rechtstaat) dapat diartikan bahwa negara yang
susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam peraturan perundang-undangan (hukum)
sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Begitu
pula dengan rakyatnya, tidak bisa bertindak sekehendaknya yang bertentangan dengan
hukum.72 Menurut Joeniarto, asas negara hukum mengandung arti bahwa dalam
penyelenggaraan negara tidakan penguasa harus didasarkan hukum dan bukan didasarkan
kekuasaan atau kemauan penguasa belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan
penguasa serta melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan terhadap hak
asasi anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang- wenang.73 Konsep ini sejalan
dengan pengertian negara hukum menurut Bothling, yaitu “de staat, waarin de
wilsvriheid van gezagsdragers is beperket door grezen van recht.” yang artinya adalah


71
Al Atok A Rosyid, Negara Hukum Indonesia, diambil dari http://lab.pancasila.um.ac.id/wp-
content/uploads/2016/05/Negara-Hukum-Indonesia-Oleh-A-Rosyid-Al-Atok.pdf diakses pada 19 Maret
2018.
72
Ibid.
73
Joeniarto, Negara Hukum (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1968), hlm. 53.

66
negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan
hukum.74 Begitu pula menurut Sudargo Gautama, bahwa dalam suatu negara hhukum
terdapat pembatasan kekuasan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa,
tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi
oleh hukum. Dengan demikian, suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum
apabila tindakan dari pihak yang berwajib, penguasa atau pemerintah secara jelas ada
dasar hukumnya sebagai dasar dari tindakan yang berwajib, penguasa atau pemerintah
yang bersangkutan.75
Sebagai konsekuensi dari sebuah negara hukum, dalam menjalankan kehidupan
bernegara Indonesia harus berdasarkan hukum. Dalam hal ini, hukum dijunjung tinggi.
Setiap tindakan atau perbuatan dalam kehidupan bernegara, harus berdasarkan hukum.
Tidak hanya berlaku bagi pemerintahnya saja, melainkan seluruh rakyatnya. Sehingga,
dalam hal mengamandemen konstitusi negara harus pula berdasarkan hukum yang
berlaku. Mengenai amandemen atau perubahan terhadap konstitusi ini, pedoman yang
digunakan adalah Pasal 37 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur
proses perubahan UUD 1945. Sedangkan naskah yang menjadi objek perubahan adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada 18
Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
oleh serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR sebagaimana
tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.
Pada sidang tahunan MPR tahun 1999, seluruh fraksi membuat kesepakatan tentang
arah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:76
1. Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; 
2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Sepakat untuk mempertegas sistem presidensiil;
4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan
UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan


74
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: Mandar Maju,
2013), hlm. 1.
75
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 8.
76
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, hlm. 11.

67
5. Sepakat untuk menempuh cara addendum dalam melakukan amandemen terhadap
UUD 1945.
Kelima kesepakatan tersebut merupakan patokan atau dasar dalam melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan UUD 1945 memuat dasar
filosofis dan normative yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945, selain itu dalam
pembukaan UUD 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tujuan negara serta dasar negara yang harus tetap dipertahankan. Negara
kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya Negara Indonesia dan
dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk
ditinjau dari berbagai latar belakang. Penguatan sistem presidensiil bertujuan untuk
memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh
Indonesia dan telah dipilih oleh para pendiri bangsa. Peniadaan penjelasan UUD 1945
dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status “penjelasan” dari
sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Perubahan UUD 1945
dengan cara addendum berarti perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan dengan tetap
mempertahankan naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana terdapat dalam
Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah
perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.

2.4Dasar Politis
Hubungan antara politik dan hukum merupakan suatu hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Hukum dan politik sesungguhnya sebagai subsistem kemasyarakatan adalah
bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan.77 Satjipto
Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Menurutnya dalam studi ilmu politik hukum, terdapat beberapa pertanyaan mendasar,
yaitu:78
1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada?


77
Nurfaika Ishak, “Politik Hukum Pengaturan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,” Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 5 (2016), hlm. 117.
78
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 151.

68
2. Cara- cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut?
3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah?
4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam
memutuskan proses pemilihan tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut dengan baik?
Menjadi pertanyaan kemudian dalam hubungan antara politik dan hukum, manakan
yang menjadi variabel terpengaruh atas yang lainnya? Untuk mendapat pengertian yang
baik, perlu dipahami bahwa kebenaran ilmiah dalam ilmu sosial dan humaniora tidak ada
yang mutlak, hanyalah kebenaran relatif. Hukum sebagai produk politik adalah benar
adanya jika didasarkan pada das Sein dengan mengonsepsikan hukum sebagai undang-
undang. Sebagai undang-undang, sebuah hukum dibuat oleh lembaga legislatif, maka ia
merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak politik yang saling
bersaingan. Jika kita mendasarkan pemikiran hukum dengan das Sollen, adanya hukum
sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan memberi arti hukum di luar undang-undang.
Dalam pengertian ini, hukum bukan merupakan produk politik. Menurut Mahfud MD.,
politik hukum adalah legal policy atau kebijakan resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum
lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Jadi di dalamnya termasuk pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum yang akan
dicabut atau tidak diberlakukan sepenuhnya untuk mencapai tujuan negara.79 Dapat kita
mengerti bahwa politik hukum adalah jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan
hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara. Pijakan
utama dalam politik hukum adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem
hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu.80
Berbicara mengenai tujuan negara, kita berbicara tentang dunia cita, yaitu suasana
ideal yang harus dijelmakan. Tujuan negara merupakanapa yang hendak diwujudkan oleh
negara yang bersangkutan dengan menggunakan organisasi pemerintah yang dilengkapi


79
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: RajawaliPers, 2011), hlm. 1.
80
Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi (Jakarta:
RajawaliPers, 2011), hlm. 14.

69
kekuasaan. Menurut Charles E. Merriam sebagaimana dikutip oleh Soelistyati Ismail
Gani, tujuan negara mencakup:81
1. External security (keamanan keluar), merupakan seluruh tugas perlindungan
negara terhadap serangan-serangan dari luar terhadap kelompok itu sendiri. 
2. Internal order (ketertiban kedalam), merupakan tujuan negara yaitu sistem
dalam mana dapat diadakan perkitaan yang layak tentang apa yang akan
dilakukan dalam bidang sosial dan siapa yang akan melakukannya. 
3. Justice (keadilan), mengumpamakan adanya sistem nilai dalam perhubungan
individu, agar setiap orang memperoleh bagiannya berdasarkan nilai-nilai itu.
4. General Welfare (kesejahteraan umum), termasuk didalamnya juga
keamanan, ketertiban, keadilan, kebebasan, tugas-tugas preventif seperti
pencegahan ancaman bahaya alam, dan lain-lain. 
5. Freedom (kebebasan), yaitu kesempatan mengembangkan dengan bebas
hasrat-hasrat individu akan ekspresi, kebebasan harus disesuaikan dengan
gagasan kesejahteraan umum. 
Tujuan Negara Republik Indonesia sendiri dapat kita lihat pada pembukaan UUD NRI
1945. Pembukaan UUD NRI 1945 mencangkup empat pokok pikiran yaitu: pertama,
bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencukupi segala paham golongan
dan paham perorangan; kedua, bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh warganya; ketiga, bahwa Negara Indonesia menganut paham
kedaulatan rakyat. negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat
yang juga disebut sebagai sistem demokrasi; dan keempat, bahwa Negara Indonesia
adalah negara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang
adil dan beradab.82
Selain keempat pokok pikiran itu, keempat alinea Pembukaan UUD NRI 1945
masing-masing mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai
keseluruahan sistem berpikir materi UUD NRI 1945. Alinea pertama menegaskan
keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan itu adalah hak asasi segala bangsa, dan


81
Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 74.
82
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 63-64.

70
karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alinea kedua menggambarkan proses
perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil
mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea ketiga menegaskan pengakuan bangsa
Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan
spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya,
yang atas dasar keyakinan spiritual serta dorongan luhur itulah rakyat Indonesia
menyatakan kemerdekaannya. Alinea keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia
mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam
rangka melembagakan keseluruhan cita- cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur dalam wadah negara Indonesia.83
Dengan pemahaman bahwa politik hukum merupakan kebijakan resmi tentang hukum
yang akan diberlakukan dengan pijakan utama kepada tujuan negara tersebut, lantas
apakah politik hukum tersebut mencakup pula pada Undang Undang Dasar itu sendiri?
Perihal ini kembali kepada pertanyaan apakah hukum (Undang Undang Dasar)
determinan terhadap politik atau sebaliknya. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus
pahami perbedaan pengertian konstitusi dan Undang Undang Dasar.
Hingga saat ini, dikenal adanya dua pengertian terhadap konstitusi. Pertama,
konstitusi dalam arti sempit yang menyamakan konstitusi dengan Undang Undang Dasar.
Kedua, konstitusi dalam arti luas yang mengacu pada ketentuan-ketentuan hukum tentang
sistem ketatanegaraan suatu negara atau dengan kata lain hukum tata negara.84 Pendapat
serupa juga dapat ditarik dari rumusan pengertian konstitusi yang dikemukakan para ahli.
Misalnya Herman Heller yang membagi pengertian konstitusi menjadi tiga:85
1. Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit (konstitusi sebagai
pengertian sosial politik). Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik
didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis
dan sosiologis.


83
Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia, hlm. 64.
84
Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 174.
85
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 140.

71
2. Die Verselbstandgte recstsverfassung (konstitusi sebagai pengertian hukum).
Konstitusi merupakan suatu kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi
mengandung pengertian yuridis.
3. Die geshereiben verfassung (konstitusi sebagai suatu peraturan hukum).
Konstitusi yang ditulis sebagai suatu naskah sebagai Undang-undang yang
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Demikian juga dengan pengertian konstitusi oleh F. Lasalle, yang membagi konstitusi
dalam dua pengertian:86
1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau polotische begrip).
Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan nyata (dereele machtsfactoren)
dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-
kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut
diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain;
itulah yang sesungguhnya konstitusi. 
2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang
memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan. 
Baik pengertian dari Heller maupun Lasalle memandang konstitusi mengandung
pengertian yang lebih luas dari sekedar Undang Undang Dasar. Menurut Heller, UUD
termasuk bagian konstitusi dalam pengertian normatif, sementara secara lebih luas
terdapat bagian konstitusi dalam pengertian yuridis, ataupun sosial politik. Lasalle juga
menyatakan bahwa konstitusi mengandung pengertian yang lebih luas dari UUD, tetapi
dari pengertian yuridis, Lassalle menyamakan konstitusi dengan UUD, sebagai naskah
(dalam arti berbentuk tertulis) yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan. Konstitusi secara keseluruhan mencakup kehidupan politik di dalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan, maka dari itu kebijakan pembentukan atau
perubahan terhadap Undang Undang Dasar juga merupakan bagian dari politik hukum.
Inilah yang terjadi pada saat pembentukan Negara Republik Indonesia. Dalam rangka
mendirikan suatu negara, politik yang pertama kali dilakukan oleh tiap bangsa adalah
mentransformasikan serba konsep yang terkandung dalam ideologi yang dianutnya ke
dalam pengertian kehidupan kenegaraan beserta penyelenggaraannya, dan dituangkan


86
Ibid., hlm. 10.

72
dalam konstitusi negara (Undang Undang Dasar). Politik hukum yang serupa juga terjadi
pada upaya-upaya perubahan UUD NRI 1945 yang sudah dilakukan. Amandemen
merupakan turunan dari istilah Bahasa Inggris amandement artinya perubahan atau
mengubah (to amend, to change, to alter, and to revise). Dalam konteks “perubahan
konstitusi” yang dimaksudkan adalah constitustional amendment atau constitutional
revision atau constitutional alteration.87 Dalam pengertian yang lebih luas, Bagir Manan
menggunakan istilah ‘pembaruan’ yaitu memperbarui Undang Undang Dasar dengan cara
menambah, merinci, dan menyusun ketentuan yang lebih tegas. Kata pembaruan disini
termasuk pula memperkukuh sendi-sendi yang telah menjadi konsensus nasional seperti
dasar negara, bentuk negara kesatuan (negara persatuan) dan bentuk pemerintahan
republic
Secara etimologik, kata amandemen berasal dari bahasa Inggris, “to amend” yang
berarti, to make better, to remove the foults. Kata amandemen berarti, a change for better,
a correction of errors foults, etc, a revision or addition proporsed or made in a bill, law,
constitution, etc.88 Istilah amandemen atau perubahan di sini digunakan dalam arti umum
yakni ‘perubahan’, bukan dalam arti khusus seperti di Amerika Serikat. Di sini
amandemen diartikan sebagai perubahan kalimat, penyisipan kata, pencabutan pasal, dan
penambahan pasal baru serta tidak harus dibuatkan satu amandemen untuk setiap pasal
yang akan diubah melainkan bersikap kumulatif. Secara resmi istilah yang dipakai di
Indonesia adalah “perubahan.”
Perubahan konstitusi sudah semestinya memperhatikan politik hukum nasional
dengan tujuan menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki untuk
mewujudkan cita-cita atau tujuan negara. Sistem hukum nasional merupakan kesatuan
hukum dan perundang-undangan yang terdiri dari banyak komponen yang saling
bergantung, yang dibangun untuk mencapai tujuan negara dengan berpijak pada dasar
dan cita hukum negara yang terkandung di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD
1945.89


87
Ishak, Politik Hukum Pengaturan Amandemen…, hlm. 123.
88
Abdulkadir Besar, Perubahan UUD 1945 tanpa Paradigma: Amandemen bukan, Konstitusi-
baru setengah hati (Jakarta: Pusat Studi Universitas Pancasila, 2002), hlm. 13.
89
Moh. Mahfud MD., Membangun Politik, hlm. 22-23.

73
Dalam upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan
negara, politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut:90
1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 
2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni:
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 
3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak- hak asasi
manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua
ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat,
membangun keadilan sosial. 
4. Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk: melindungi semua
unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan
teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan,
mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum),
menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan keadaban dan kemanusiaan.
5. Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila,
yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai
kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum
prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. 
Sunarjati Hartono menyatakan beberapa hal yang terkait dengan pembentukan dan
pengembangan (pembaruan) hukum nasional Indonesia yaitu:91
1. Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum
adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila.
Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang
akan datang;


90
Ibid., hlm. 30-32.
91
Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat (Bandung: Alumni,
1971), hlm. 31.

74
2. Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan
bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas
kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan
persoalan yang baru pula; 
3. Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional.
Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar
memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak
diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang
adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan. 
Dalam rangka pembangunan hukum nasional, perubahan konstitusi harus didasarkan
pada paradigma perubahan. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan
konstitusi lama, dan dengan argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan
sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat,
paradigma perubahan tersebut adalah sebagai berikut:92
1. Mengembalikan hak atas kedaulatan kepada rakyat dengan cara melaksanakan
pemilihan sistem distrik untuk pemilihan anggota DPR dan pemilihan secara
langsung untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; 
2. Mengubah struktur keanggotaan MPR dan menggunakan sistem bikameral dalam
pembuatan Undang-undang. MPR dipertahankan sebagai sebuah “forum” dan
dikurangi kewenangannya terutama yang terkait dengan sistem presidensiil.
Sistem presidensiil menjadi suatu pilihan, karena sistem ini lebih menjamin
stabilitas pemerintahan dalam waktu tertentu (fixed term). Sistem perwakilan
bikameral menjadi pilihan. Sistem bikameral akan lebih memberikan legitimasi
produk perundang-undangan nasional dimasyarakat lokal, karena Dewan
Perwakilan Daerah diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan publik;
3. Pengawasan DPR terhadap eksekutif tetap dipertahankan. Sistempresidensiil
yang dikhawatirkan akan memperkokoh kedudukan Presiden harus tetap
diimbangi dengan pemberdayaan DPR; 


92
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi (n.a.:
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur INTRANS, 2004), hlm. 85.

75
4. Mengubah kekuasaan yang sentralistik dan menganti ke arah lebihdesentralistik
secara terencana dan pelaksanaanya harus dipertimbangkan setelah terlaksananya
sosialisasi perundang-undangan yang mengatur otonomi daerah; 
5. Mengurangi kekuasaan Presiden dengan cara mendistribusikan secara vertikal dan
membagikan kekuasaan secara horizontal. Dalam kondisi tertentu perlu dilakukan
pengurangan kekuasaan Presiden dengan menyimpangi prinsip sistem
pemerintahan presidensiil; 
6. Menata kembali sistem peradilan untuk memulihkan kepercayaan pencari
keadilan; 
7. Memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi melalui lembaga peradilan. 
Dalam pengertian bahwa politik hukum harus memiliki pijakan utama yaitu tujuan
negara, maka Indonesia seharusnya menyepakati nilai-nilai universal dalam Pembukaan
UUD NRI 1945 yang dikonkretisasikan dalam sila-sila Pancasila dalam menetapkan
hukum yang berlaku untuk memenuhi perubahan kehidupan masyarakat. Perubahan
terhadap UUD NRI 1945 sudah sangat menyeluruh, tetapi sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya pemerintah dalam menetapkannya masih ragu-ragu, sehingga amandemen
terhadap keempat UUD NRI 1945 ini terkesan setengah- setengah, belum optimal.
Sehingga solusinya adalah perlu diadakan amandemen terhadap UUD NRI tahun 1945.

76
BAB III
LANDASAN PEMIKIRAN PERUBAHAN UUD 1945

3.1 Prinsip Good Governance


Pemerintahan (governance) secara luas didefinisikan sebagai suatu tindakan
kekuasaan politik untuk mengatur perwujudan kepentingan publik suatu bangsa.93
Definisi lain mengenai pemerintahan dikemukakan oleh seorang sarjana dari Nepal yaitu
K.K. Gurugharana yang menyatakan bahwa pemerintahan adalah pemberlakuan arah dan
kontrol atas tindakan warga negara dimana kekuasaan dioperasikan untuk mengatur
sumber-sumber daya sosio-ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara.94 Melihat definisi
tersebut maka suatu pemerintahan yang baik dapat diinterpretasikan sebagai salah satu
bentuk pelaksanaan, efisiensi, dan keefektifan lembaga pemerintah dalam menjalankan
tujuan dan kebijakan nasional hasil konsensus bersama. Oleh karena itu didalamnya
terkandung elemen-elemen seperti:
1. Akuntabilitas pejabat pelayanan publik;
2. Transparansi atas prosedur yang dikeluarkan oleh pemerintah;
3. Pandangan perilaku dan keputusan yang rasional;
4. Kebebasan memperoleh informasi untuk menjamin perkembangan ekonomi;
5. Kejelasan aturan-aturan hukum mengatur perilaku pemerintah serta institusi
terkait yang disetujui oleh warga negaranya.
Istilah governance seperti dikatakan Horby95 pada dasarnya menunjukkan pada
tindakan, fakta, atau perilaku governing, yakni mengarahkan atau mengendalikan atau
mempengaruhi masalah publik dalam suatu negara. Sementara arti good dalam good
governance mengandung makna nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak
rakyat untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam pencapaian tujuan kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Good mengandung makna pula bahwa
terdapat aspek fungsional pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan


93
UNDP, Public Sector ManagementL Governance and Sustainable Human Development (New
York: UNDP, 1995), hlm. 45.
94
K.K. Gurugharana, Democracy and Decentralisation: A Policy Perspective on Nepal
(Kathamandu: Political Science Association of Nepal, 1996), hlm. 37.
95
A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (London: Oxford
University Press, 1981), hlm. 608

77
tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Dari segi functional aspect96 governance dapat
ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dalam upaya mencapai
tujuan yang telah ditetapkan atau sebaliknya.
Mengacu pada pemahaman demikian, Billah97 memberikan makna pada good
governance sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai bersifat
mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi masalah-masalah publik untuk
mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan-tindakan keseharian. Dengan demikian tataran
good governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan saja, melainkan
juga pada tataran masyarakat sipil, seperti yang dipresentasikan oleh organisasi non-
pemerintahan. Konsep good governance dalam konteks ini meliputi tiga dimensi utama
yakni ekonomi politik dan administrasi yang ada dalam kawasan negara (state) dan
masyarakat (society) yang saling berinteraksi untuk menjalankan fungsinya masing-
masing. Ketiga institusi ini harus saling berkaitan dan bekerja dengan prinsip-prinsip
kesetaraan, tanpa ada upaya untuk mendominasi satu pihak terhadap pihak lain.

Dengan demikian untuk mewujudkan good governance maka harus ada peran yang
setara dan kerjasama yang bersifat strategis antara negara dengan masyarakat yang
mengaci pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemen konstituennya seperti
legitimasi, akuntabilitas, perlindungan HAM, kebebasan, transparansi, pembagian
kekuasaan, dan kontrol masyarakat. Berdasarkan hal ini, UNDP98 kemudian mengajukan
karakteristik good governance sebagai berikut:


96
LAN dan BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Cetakan Pertama, hlm. 5.
97
Billah, Good Governance and Social control (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 45
98
LAN, “penerapam Good Governance di Indonesia”. Laporan Kerja Tahun 2007, hlm. 40.

78
1. Participation: Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui mediasi institusi legitimasi yang
mewakili kepentingannya. Pastisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of Law: Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu,
terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparency: Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi,
proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat
dimonitor.
4. Responsiveness: Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk
melayani setiap stakeholders.
5. Consensus Orientation: Good Governance menjadi perantara kepentingan yang
berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik
dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity: Semua wara negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency: Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan
sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber
yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability: Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat (civil society) bertanggungjawab pada publik dan lembaga
stakeholder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang
dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal
organisasi.
9. Strategic Vision: Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good
governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan
dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

79
3.2 Hak asasi Manusia
Istilah “Human Rights” mulai digunakan pada tahun 1742, diskursus tentang hak-hak
dasar manusia ini dapat dikatakan baru mulai berkembang serius setelah terbitnya buku
The Rights of Man dari Thomas Paine tersebut. Selanjutnya istilah “Human rights”
ditetapkan dan dirumuskan dengan resmi dalam “Declaration of Independence”
(Amerika) pada tahun 1776 atas jasa Thomas Jefferson. Setelah itu, muncul antara
penulisan buku The Rights of Man (1791) yang ditulis oleh Thomas Paine dan buku The
Liberator (1831) yang ditulis oleh William Lloyd Garrison, yang sangat menekankan
pentingnya apa yang ia sebut sebagai “The Great Cause Of Human Rights”.99 Menurut
John Locke, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara
kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. Jack Donnely
mengartikannya sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Mahfud MD mengartikan HAM sebagai hak yang melekat pada martabat manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hal tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka
bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati) bukan merupakan pemberian manusia
atau negara.

Pada UUD NRI 1945 tidak terdapat pernyataan mengenai arti HAM itu sendiri.
Pengertian HAM dapat ditemukan di UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang definisinya adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Kemudian dapat ditemukan pula pada Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia yang
terdapat pada TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 menyebutkan bahwa hak asasi
manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal,
dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak
berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh


99
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi
Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, Jakarta: Pustaka LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial), 2015, hlm. 202.

80
diabaikan atau dirampas oleh siapapun.100 Namun, Pasal 1 TAP MPR RI Nomor
I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002 menentukan bahwa TAP MPR RI
Nomor XVII/MPR/1998 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dokumen-dokumen internasional terkait HAM pada umumnya tidak memberikan


pengertian HAM secara eksplisit. Sebut saja Universal Declaration of Human
Rights/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on
Civil and Political Rights/Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR/Kovenan
Sipol), serta International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR/Kovenan Ekosob). Tidak
satupun dokumen-dokumen di atas yang memberikan pengertian HAM secara eksplisit.
Namun, apabila dilihat dari pengertian-pengertian yang dipaparkan sebelumnya serta
kandungan ketentuan HAM dalam dokumen-dokumen internasional dapat ditarik garis
umum mengenai HAM yaitu hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa yang
bersifat kodrati dan universal.

Perhatian terhadap HAM pada dasarnya juga terdapat pada Magna Carta pada tahun
1215. Namun, perumusan yang secara jelas dalam peradaban berkembang pesat pada
abad ke-17 serta abad ke-18. Hal ini dapat dilihat dengan bermunculannya berbagai
instrumen-instrumen yang memuat perihal penegakan HAM tersebut di berbagai negara.
Di Inggris muncul Petition of Rights (1628), Habeas Corpus Act (1679), dan Bill of Rights
(1689). Di Amerika kemudian muncul Declaration of Independence (1776) dan di
Perancis muncul Declaration of The Rights of Man and Citizen (Declaration des droits
de l’homme et du citoyen) (1789).101

Dalam perkembangannya, kesadaran akan pentingnya instrumen perlindungan HAM


berkembang ke seluruh dunia. Hal ini terlihat dengan bermunculannya berbagai dokumen
internasional baik yang menyinggung perihal HAM bahkan secara khusus membahas


100
Pembukaan piagam HAM dalam TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang HAM
101
Rocky Gerung, (ed), Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, dan Kasus, Depok: Filsafat UI Press,
hlm 3.

81
mengenai HAM itu sendiri. Sebagai contoh terdapat Europan Convention of Human
Rights (1952) yang ditujukan secara regional untuk negara-negara di Eropa serta Cairo
Declaration on Human Rights in Islam (1990) yang merupakan hasil Konferensi Islam
ke-19 yang dilaksanakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Charter of the United Nations (1945) yang juga menjadi penanda lahirnya PBB juga
juga menaruh pemenuhan hak-hak dasar manusia serta penghargaan terhadap martabat
manusia sebagai hal yang penting untuk diupayakan. Meskipun piagam tersebut tidak
ditujukans secara khusus untuk memberikan ketentuan mengenai HAM. Selanjutnya,
muncul DUHAM (1948), Kovenan Sipol (1966), Kovenan Ekosob (1966), serta berbagai
dokumen internasional lainnya baik yang sekadar menyinggung HAM maupun yang
menjadikan HAM sebagai fokus pembahasannya.

Jika dilihat dalam perkembangan tuntutan maupun kesadaran pentingnya penegakan


HAM tersebut, secara garis besar muncul dari adanya pelanggaran hak dasar serta
perbuatan yang dianggap tidak manusiawi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan poin-
poin pertimbangan dalam berbagai dokumen HAM. Sebagai contoh, pada poin
menimbang yang terdapat dalam alinea ke-dua Pembukaan DUHAM dinyatakan:

“Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia


telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa
kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat
manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta
kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita
yang tertinggi dari rakyat biasa,…”

Selain pada DUHAM, munculnya dokumen HAM sebagai jawaban atas tindakan tidak
manusiawi atau adanya konflik juga dapat dilihat dari lahirnya Declaration of The Rights
of Man and Citizen sebagai gagasan yang dikembangkan setelah revolusi Perancis.

Seiring berkembangnya kesadaran atas pentingnya penegakan HAM di dunia, di


Indonesia sendiri HAM mendapatkan ruang yang semakin besar dalam perhatian
masyarakat. Sama halnya dengan di berbagai negara lainnya, HAM merupakan suatu hal
yang baru di Indonesia. Meskipun, dulunya konsepsi tersebut tidak disapa dengan

82
terminologi HAM. Dalam lingkaran peradaban Indonesia maka sejak beratus-ratus tahun
manusia itu telah mempunyai hak dan kewajiban kepada diri sendiri, kepada keluarga,
kepada masyarakat, dan kepada negara. Hak dan kewajiban ini diakui dan diatur menurut
hukum adat. Sebagian dari padanya ada yang dituliskan.102 Pendirian Budi Utomo pada
tahun 1908 dapat dianggap sebagai titik awal timbulnya kesadaran untuk mendirikan sutu
negara kebangsaan yang terlepas dari cengkeraman kolonial, yang kemudian, dalam
konteks HAM dikenal sebagi perwujudan dari the right of self-determination.103

Albert Venn Dicey dalam An Introduction to the Study of The Law of the Constitution
(1973) seperti yang dikutip oleh El-Muhtaj, menyebutkan ada tiga unsure fundamental
dalam rule of law, yaitu: (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang, dalam arti, seseorang hanya boleh dihukum karena melanggar hukum;
(2) kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum. Petunjuk ini berlaku baik bagi
masyarakat biasa maupun para pejabat; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh
undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.104

Dalam paham negara hukum, jaminan-jaminan perlindungan hak asasi manusia


dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut
rechstaat. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia
itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam UUD atau konstitusi tertulis negara
demokrasi konstitusional (constitutional democracy), dan dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti
format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara dan mekanisme hubungan
antarlembaga negara. Menurut Steenbeek, UUD NRI 1945 berisi tiga pokok materi
muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan
warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegararaan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan, ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang
juga bersifat fundamental.105 Sehingga keberadaan ketentuan mengenai jaminan HAM


102
Ismail Suny, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yarsif Watampone, 2004, hlm. 157.
103
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Bandung: PT Alumni, 2001, hlm. 2.
104
Majda El-Muhtaj, HAM dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007, hlm. 24.
105
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1987, hlm. 51.

83
dalam UUD NRI 1945 merupakan konsekuensi logis Indonesia sebagai negara hukum
dan hal yang jaminan HAM merupakan hal yang memang seyogyanya diatur dalam UUD
NRI 1945 menilik kepada materi muatan UUD menurut Steenbeek tersebut.

Pada dasarnya UUD NRI 1945 telah memiliki muatan yang sejalan dengan penegakan
HAM, baik pada pembukaan UUD NRI 1945 maupun dalam batang tubuh UUD NRI
1945 tersebut. Ismail Suny dalam pidato yang berjudul Perlindungan HAM dalam
Konstitusi Indonesia menyebutkan bahwa jika kita meneliti UUD 1945 dari sudut
pandangan HAM, kita akan menemukan lebih banyak di dalamnya dari pada banyak
orang menduga bahwa ia tak mengandung HAM atau beberapa pasal saja yang secara
langsung mengenai HAM.

UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya
memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasal-pasal
yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia itu adalah:

1. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

2. Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”;

3. Pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan


pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebaganya ditetapkan dengan undang-
undang.”;

4. Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”;

5. Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pembelaan negara”;

84
6. Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran”;

7. Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara.”

Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja


yang memang benar-benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi
manusia, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu’. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yag lain, sama
sekali bukanlah rumusan tentang hak asasi manusia atau human rights, melainkan hanya
ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens’ rights atau biasa juga disebut the
citizens’ constitutional rights.

Perbedaan antara HAM dan hak warga negara tersebut dapat dilihat dalam
universalitasnya. HAM bersifat universal sementara hak warga negara ditujukan terbatas
untuk warga negara saja. Pun pada UUD 1945 naskah asli tidak terdapat istilah HAM
juga karena saat itu memang belum dikenal terminology HAM. Terminology HAM
pertama kali dikemukakan oleh Eleanor Roosevelt sebagai Ketua Human Rights
Commission of the United Nations saat perumusan DUHAM.106 Dalam
perkembangannya, selain di UUD 1945, ketentuan mengenai HAM diatur pula dalam
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasca reformasi upaya penegakan HAM
dilakukan dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan ag terkait dengan HAM
sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Ratifikasi terhadap
instrument internasional tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
masa lalu, serta pemberantasan praktek KKN.107

Status Quo


106
Todung Mulya Lubis, Human Rights Discourses in Contemporary Indonesian History 1945-
1993.
107
Woro Winandi, Reformasi Penegakan HAM di Era Globalisasi, pada HAM: Hakekat, Konsep,
dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, hlm. 51.

85
Status Quo

Ketentuan mengenai HAM dalam konstitusi tertulis Indonesia saat ini terdapat pada
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari sepuluh pasal, yaitu Pasal 28A
hingga Pasal 28J UUD NRI 1945. Bab tersebut lahir setelah perubahan UUD NRI 1945
yang kedua. Dalam perubahan ketiga dan keempat dari UUD NRI 1945 setelah itu,
ketentuan mengenai HAM tidak pernah diubah. Perubahan kedua UUD NRI 1945
dilaksanakan pada tahun 2000. Sehingga, pada dasarnya saat muatan mengenai jaminan
HAM itu dimasukkan ke dalam UUD NRI 1945 melalui perubahan tersebut, telah
terdapat berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun instrumen hukum
internasional terkait HAM yang diberlakukan di Indonesia. Misalnya TAP MPR RI
Nomor XVII/MPR/1998 Tentang HAM, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang HAM, Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 50 Tahun 1993 tentang
Pembentukan Komnas HAM, maupun instrumen hukum internasional seperti Convention
of The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Atas Anak) yang telah disahkan
dengan Keppres RI No. 36 Tahun 1990, dan berbagai sumber hukum lainnya.

Meskipun telah ada dasar hukum lain terkait HAM di Indonesia, memasukkan HAM
ke dalam UUD NRI 1945 yang merupakan konstitusi tertulis negara dipandang sebagai
upaya mengoptimalkan penegakan HAM tersebut. dimasukkannya HAM ke dalam
konstitusi diharapkan akan semakin memperkuat komitmen untuk pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia, karena akan menjadikannya sebagai hak yang
dilindungi secara konstitusional (constitutional rights). Pesan ini kemudian ditangkap
oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I dan direkomendasikan kepada Sidang Tahunan MPR tahun
2000 agar dimasukkan ke dalam perubahan kedua UUD 1945.108

Banyak kalangan memandang bahwa pencantuman bab khusus mengenai HAM


dalam UUD merupakan “lompatan besar” dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Pasal-
pasal HAM sebagaimana terdapat pada UUD 1945 dinilai sangat singkat dan sederhana.
Maka, kehadiran perubahan kedua UUD 1945 merupakan suatu kemajuan yag signifikan,
sebagai buah dari perjuangan panjang dari pada pendiri bangsa.109

108
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Bandung: PT Alumni, 2001, hlm. 84.
109
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 20.

86
Terdapat berbagai pengelompokan hak asasi manusia yang dikenal. Meskipun,
Donnelly berpendapat bahwa dari perspektif hukum internasional, “semua hak adalah
saling tergantung dan tidak terbagi” (interdependent and indivisible). Namun, meskipun
masing-masing HAM tersebut saling berkaitan pengelompokan HAM tetap berkembang
dan digunakan dalam berbagai hal. Misalnya dalam melihat tingkat prioritas dalam HAM,
dalam proses pembelajaran, bahkan dalam sistematika dokumen-dokumen yang secara
khusus membahas HAM maupun yang membahas hal lebih luas tapi memiliki kandungan
ketentuan jaminan HAM.

Salah satu pengelompokan HAM yang populer adalah pengelompokan menurut Karl
Vasak. Ahli hukum Perancis tersebut membagi HAM dalam tiga generasi yang
dikelompokkan sesuai dengan ruang lingkupnya. Generasi pertama ialah yang tergolong
dalam hak-hak sipil dan politik, terutama yang berasal dari teori-teori kaum reformis yang
dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke-18, yang berkaitan dengan revolusi-revolusi
Inggris, Amerika, dan Perancis. Beliau lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah
dalam pencarian martabat manusia. Termasuk dalam kelompok ini adalah hak-hak
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2-21 DUHAM.110 HAM pada generasi ini
mengemukakan hak-hak sebagai individu dan bertolak kepada kebebasan individu itu
sendiri.

Sementara itu, generasi kedua adalah yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya. Paham ini merupakan kebalikan dari HAM generasi pertama jika dilihat
dalam hubungannya dengan tanggung jawab negara. Menurut paham ini, negara memikul
tanggung jawab menjamin agar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat dapat
terpelihara dan berkembang. HAM generasi kedua, merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari paham negara hukum kesejahteraan (welfare state) dan paham
demokrasi sosial. Sebagai ilustrasi adalah ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam
Pasal 22-27 DUHAM.

Selanjutnya generasi ketiga yaitu hak-hak solidaritas (solidarity rights) merupakan


rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Mereka yang tidak setuju
terhadap pengelompokan generasi ketiga, mempersoalkan kemungkinan tumpang tindih


87
dengan hak asasi generasi lain. Hak ini tercantum dalam Pasal 28 DUHAM. Jika dilihat
dari pemaparan di atas, maka pada dasarnya sistematika penulisan hak-hak yang ada
dalam DUHAM berkesesuaian dengan generasi-generasi HAM menurut Vasak tersebut.

Roy Gregory dan Giddings, seperti yang dikutip oleh Manan dan Harijanto, membagi
HAM dalam dua kategori, yaitu: hak-hak substantif (substantive rights) dan hak-hak
prosedural (procedural rights). Kategori hak-hak substantif berisi hak-hak dasar dan
kebebasan dasar yang terdapat dalam generasi pertama, kedua, dan ketiga. hak-hak
generasi ketiga dikatakan oleh Gregory dan Giddings bersifat controversial. Misalnya,
hak-hak kolektif kelompok minoritas, hak atas pembangunan ekonomi, hak atas
lingkungan yang baik, dan lain-lain. Hak-hak prosedural terbagi atas dua kategori.
Pertama, hak atas administrasi yang baik (rights to good administration). Hak ini
berkenaan dengan hak untuk menerima pelayanan atau perlakuan yang adil dan wajar dari
para pejabat adminsitrasi negara yang yang melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hak
ini, terutama, berkaitan dengan hak-hak substantif yang telah disebutkan di atas. Kedua,
hak mengajukan keluhan (the right to complain), hak untuk didengar (right to be heard),
dan hak menerima tindakan-tindakan pemulihan apabila seseorang mengalami kerugian
akibat sikap tindak pemerintah (the right to have correction action) Dalam hal ini, Penulis
menekankan pada hak memilih dan dipilih serta kesempatan yang sama untuk ikut serta
dalam pemerintahan.

3.3 Perlindungan Hak Konstitusional


Hak konstitusional warga negara adalah hak yang dijamin oleh negara yang dalam hal
ini adalah pemerintah sebagaimana yang termaktub di dalam UUD 1945. Konstitusi
dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi kekuasaan, agar tidak diterapkan secara
sewenang-wenang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konstitusi sangat
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hak-hak warga negara agar terhindar dari
kesewenang-wenangan pemerintah yang dapat merugikan hak warga negara. Negara
Indonesia adalah negara Welfare State (negara kesejahteraan), sebagaimana disebutkan
dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-IV dengan kalimat “memajukan kesejahateraan
umum” membawa konsekuensi bahwa negara (pemerintah) harus aktif memberikan
perlindungan dan jaminan kepada warganya. Adapun salah satu ciri negara Welfare State
yaitu adanya perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin

88
hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas yang dijamin itu.111
Undang-Undang Dasar sebagai constitusional right menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan
dan penjaminan akan hak-hak dasar warga negara. Dari berbagai literatur hukum tata
negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi
(konstitusionalisme) terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Peradilan yang bebas dan mandiri; dan
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan rakyat.112
TAP MPR-RI No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, menyatakan Pembukaan UUD
Tahun 1945 telah mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi
pelaksanaan HAM dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional patut menghormati
hak asasi manusia yang termaktub dalam Universal Declaration of Human Rights serta
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.
HAM dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat erat, demokrasi memberikan
pengakuan lahirnya keikutsertaan publik secara luas dalam pemerintahan, peran serta
publik mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan. Aktualisasi peran publik dalam
ranah pemerintahan memungkinkan untuk terciptanya keberdayaan publik. Perlindungan
dan pemenuhan HAM melalui rezim yang demokratik berpotensi besar mewujudkan
kesejahteraan rakyat.113 Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
bangsa ini telah menjunjung tinggi HAM. Sikap tersebut tampak dari Pancasila dan UUD
Tahun 1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan HAM
warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau


111
Marbun, et.al., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm.
38.
112
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 2
113
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(Jakarta: PT Rajawali Pers, 2008), hlm. 45.

89
penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak
konstitusional warga negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana. Hak
memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap
individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.
Inti dari penegakan hak-hak sipil dan politik adalah untuk melindungi individu dari
penyalahgunaan kekuasaan dari penguasa. Terlebih lagi dengan terjadinya pergeseran
fungsi dan tugas negara dari fungsi negara yang hanya sebagai penjaga malam ke fungsi
mewujudkan kesejahteraan warga negara (welfare state). Campur tangan negara yang
terbuka luas tersebut mengharuskan adanya sejenis tertib peraturan hukum untuk
melindungi perlakuan sewenang-wenang negara terhadap warga negara. Pada prinsipnya
setiap negara demokratis memuat jaminan hak-hak asasi termasuk hak-hak sipil dan
politik dari setiap orang atau penduduk pada konstitusi negara. Namun semuanya sangat
tergantung pada political will penguasa untuk memberikan ruang bagi keberadaan hak-
hak sipil dan politik tersebut. Pada tataran ini diperlukan upaya kedua belah pihak agar
tidak terjadi tindak-tindak penindasan ataupun pengekangan pelaksanaan hak-hak sipil
dan politik setiap orang ataupun warga negara yang berada di negara tersebut.114
Hak sipil dan hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih,
penjaminan hak dipilih secara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2);
Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3). Sementara hak memilih juga diatur dalam
Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat
(1) UUD 1945. Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan
adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Setiap warga negara
mempunyai hak-hak yang sama dan implementasinya hak dan kewajiban pun harus
bersama-sama.115 Konkretisasi dari ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan di bawahnya, sesuai ketentuan yang ada dalam Undang-
Undang tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia.


114
Muhardi Hasan dan Estika Sari, “Hak Sipil dan Politik,” Demokrasi Vol. IV, No. 1 (2005),
hlm. 95.
115
A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila (Yogyakarta,
Kanisius, 1993), hlm. 117.

90
3.4 Indonesia sebagai Negara Kesatuan dan Negara Hukum
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Pasal ini adalah pengaturan asli UUD NRI 1945
sebelum perubahan yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Dalam pasal ini dapat
tercermin bentuk negara dan bentuk pemerintahan Indonesia, yaitu berbentuk negara
Kesatuan dan bentuk pemerintahan Republik. Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih
menjelaskan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan pengertian pengertian tentang negara
senantiasa berubah-ubah. Hal tersebut disebabkan karena pengertian pengertian itu
dilahirkan menurut panggilan zamannya dan juga karena alam pikiran dari penciptanya
tidak bebas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya. Kenyataan-kenyataan tersebut
bisa berupa agama, aliran-aliran, atau paham-paham lainnya yang mempengaruhi
manusia dalam pandangan hidupnya. Dari pandangan-pandangan tersebut maka muncul
pengertian pengertian tentang negara.116
Beberapa sarjana terkenal mengemukakan teorinya mengenai pengertian negara,
yaitu:117
1. Kranenburg merumuskan bahwa negara adalah suatu organisasi yang timbul
karena kehendak dari suatu golongan/bangsanya sendiri.
2. Roger H. Soltau mengemukakan bahwa negara adalah alat/agency atau
wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan
bersama atas nama masyarakat.
3. Harold J. Laski menjelaskan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian
dari masyarakat itu.
4. Robert M. Mac Iver merumuskan bahwa negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah
dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah
yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.


116
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm.
47.
117
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ibid, hlm. 55-57.

91
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang
rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga
negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan
(kontrol) monopolistik dari kekuasaan yang sah.118 Selain membahas tentang pengertian
negara, Miriam Budiardjo juga menjelaskan mengenai sifat hakikat negara, yaitu:119
1. Sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian
penerbitan dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah, maka
dengan memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk
memakai kekerasan fisik secara legal.
2. Sifat monopoli, negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama
dari masyarakat.
3. Sifat mencakup semua, semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk
semua orang tanpa kecuali.
Padmo Wahjono menjelaskan bahwa sifat hakikat negara adalah sebagai organisasi
kekuasaan. Negara adalah semata-mata sebagai alat untuk memaksakan supaya
pengelompokan-pengelompokan manusia itu tunduk dan supaya berlakulah tata tertib
dalam masyarakat. Pengelompokan tersebut lahir karena adanya rasa bersatu yang erat
dan di samping itu karena mereka menghadapi bahaya bersama. Dengan mengutip
Kranenburg, yang pokok dalam hakikat negara adalah atas dasar bahaya bersama dan
keinginan mengatur diri sendiri. Sifat mengatur diri sendiri ini dengan sendirinya
memerlukan sesuatu yang bisa memaksakan peraturan-peraturan itu. Padmo Wahjono
menyimpulkan bahwa hakikat lahirnya negara tersebut karena ada ikatan keinginan
daripada manusia-manusia tersebut untuk menaati sesuatu peraturan-peraturan yang lebih
tinggi dari dirinya sendiri.120
Selanjutnya, Tim Perumus akan membahas mengenai bentuk negara. Jimly
Asshidiqie, menjelaskan bahwa bentuk negara adalah bentuk organ atau organisasi
sebagai keseluruhan.121 Moh. Kosnardi dan Bintan Saragih menjelaskan bentuk-bentuk
negara dengan menggunakan terminologi “bangunan negara”. Baik Jimly Asshiddiqie


118
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1985, hlm. 40-41.
119
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Op.Cit., hlm. 58-60.
120
Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Jakarta: Ind-Hill-Co, 2003, hlm. 51-53.
121
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006,
hlm. 258.

92
dan Moh. Kosnardi dan Bintan Saragih sama-sama berpandangan bahwa terdapat tiga
bentuk atau bangunan negara, yaitu negara kesatuan, negara federasi, dan negara
konfederasi.122 Tim Perumus akan membahas ketiga bentuk negara ini demi mendapatkan
pemahaman dan gambaran yang lebih luas mengenai bentuk-bentuk negara yang ada di
dunia. Tim Perumus memulai pembahasan dengan analisis teoretis mengenai negara
kesatuan. Suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan pemerintah pusat
merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan hanya badan legislatif di pusat
lah yang memiliki wewenang membentuk undang-undang. Kekuasaan Pemerintah yang
di daerah bersifat derivatif dan seringkali berbentuk daerah otonom, sehingga tidak
dikenal adanya badan legislatif pusat dan daerah yang sederajat.123
C. F. Strong dalam karyanya yang ternama dan banyak dirujuk mengenai konstitusi,
Modern Political Constitutions, menjelaskan mengenai esensi negara kesatuan: the
essence of a unitary state is that the sovereignity of is undivided, or, in other words, that
the powers of the central government are unrestricted, for the constitution of unitary state
does not admit any other law making body than the central one.124 Esensi negara kesatuan
adalah bahwa kedaulatan tersebut tidak terbagi, atau dengan kata lain bahwa kekuasaan-
kekuasaan pemerintah pusat tidaklah dibatasi, karena konstitusi dari sebuah negara
kesatuan tidak mengakui badan legislatif selain badan legislatif pusat. C. F. Strong juga
menjelaskan bahwa terdapat dua ciri yang mutlak melekat pada suatu negara kesatuan
yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Desentralisasi adalah penyerahan
urusan pemerintahan dari pemerintah pusat sebagai tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan. Negara kesatuan pada
hakekatnya dapat tersentralisasi (centralized unitary state) dan dapat pula
terdesentralisasi (decentralized unitary state) seperti Indonesia. Betapapun luas dan
besarnya kekuasaan daerah otonom dalam negara kesatuan yang terdesentralisasi, namun
daerah otonom tersebut tidak akan memiliki apa yang disebut Kranenburg “pouvoir


122
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Op.Cit., hlm. 207, serta Jimly Asshidiqie, Ibid, hlm. 259.
123
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ibid.
124
C. F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidswick & Jackson Limited, 1960, hlm.
80.

93
constituent”, yaitu kekuasaan untuk membentuk UUD dan UU sendiri serta kekuasaan
yudikatif.125
Soepomo mengartikan istilah negara hukum dengan: “…bahwa Republik Indonesia
dibentuk sebagai negara hukum artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-
peraturan hukum berlaku pula bagi segala adan dan alat-alat perlengkapan negara”.
Berdasarkan pembahasan pada Simposium Indonesia Negara Hukum, dijelaskan bahwa
“negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberi
perlindungan hukum pada masyarakat, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan
timbal balik”. Dengan mengutip Ensiklopedia Indonesia, A. Mukthie Fadjar
menghadapkan istilah negara hukum (rechtsstaat) dengan istilah negara kekuasaan
(machtsstaat). Negara hukum adalah negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat
pada rakyat. Selanjutnya, dijelaskan bahwa negara kekuasaan adalah negara yang
bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kekuasaan semata-mata. Joeniarto
merumuskan bahwa:
“Asas Negara Hukum atau asas The Rule of Law, berarti dalam penyelenggaraan
Negara tindakan-tindakan penguasanya harus didasarkan kepada hukum, bukan
didasarkan pada kekuasaan atau kemauan daripada penguasanya belaka dengan
maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi
kepentingan masyarakatnya yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi dari pada
anggota-anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang-wenang.”126
Gumplowics mengajarkan bahwa negara tersebut tidak lain daripada suatu “eine
organisatio der herrschaft einer minoritar uber eine majoritat”, organisasi dari
kekuasaan golongan kecil atas golongan besar. Menurut Gumplowics, hukum
berdasarkan ketaatan golongan yang lemah kepada golongan yang kuat.127 Menurut
Azhari, rechtstaat pada permulaannya merupakan negara penjaga malam
(nachtwachterstaat), yakni di mana negara hanya sebagai penjamin ketertiban dan
pertahanan keamanan saja. Negara baru bertindak apabila ketertiban dan keamanan


125
_Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era
Orde Baru ke Era Reformasi, Depok: DIA FISIP UI, 2009, hlm. 146.
126
Joeniarto, Negara Hukum, Yogyakarta: YBPGM, 1968, hlm. 53.
127
A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang: Widyagama University Press, 1993, hlm. 4-
6.

94
terganggu. Tetapi kemudian pemakaian rechtstaat digunakan sebagai konsep negara
hukum formal.128
Negara hukum formal tersebut, sebagaimana merujuk pada pandangan Friedrich Julis
Stahl, memiliki empat unsur, yaitu: adanya perlindungan HAM, adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan, adanya pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
129
(wetmatigheid van bestuur), dan adanya peradilan yang bebas. Negara hukum formal
kemudian berubah lagi menjadi negara hukum material, yakni di mana tugas negara
dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi lebih luas. Akhirnya pada
perkembangan berikutnya, konsep rechtsstaat telah digunakan sebagai negara
kesejahteraan (verzorgingstaat).130
Sebaliknya di Indonesia, rechtsstaat tidak diartikan langsung sebagai negara hukum,
tetapi istilah rechtsstaat dipahami sebagai negara berdasarkan atas hukum, sebagaimana
dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945. Oleh karena itu, konsep rechtsstaat Indonesia
tidak dapat dikategorikan langsung ke dalam konsep rechtsstaat Eropa Continental atau
tidak dapat diidentikkan dengan konsep rule of law Anglo Saxon, sebelum terlebih dahulu
memahami apa unsur-unsurnya dan bagaimana tujuan negara berdasarkan atas hukum itu.
Sebagaimana diketahui bahwa ada tujuh unsur yang termuat dalam konsep negara hukum,
yaitu empat unsur dalam konsep rechtsstaat dan tiga unsur dalam konsep rule of law.
Enam dari tujuh unsur tersebut, menurut Azhari, telah terpenuhi oleh negara Indonesia
sebagai persyaratan suatu negara hukum. Tetapi unsur-unsur tersebut dimodifikasi sesuai
dengan cita negara hukum lainnya. Dengan demikian, rechtsstaat merupakan negara
berdasarkan atas hukum sesuai dengan cita negara Pancasila, dengan kata lain bukan
termasuk dalam konsep Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon. Arti rechtsstaat dalam
negara Indonesia harus sesuai dengan tujuan negara itu sendiri.131 Oleh karena itu, konsep
rechtsstaat bagi Indonesia merupakan negara berdasarkan atas hukum yang dikategorikan
kepada negara kesejahteraan (verzorgingsstaat) yaitu negara yang makmur material dan
makmur spiritual.132


128
Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Op.cit.,
hlm. 143.
129
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999, hlm.
23.
130
Azhari, Loc.cit
131
Azhari, Ibid., hlm. 144.
132
Sayuti, “Konsep Rechtsstaat dalam Negara Hukum Indonesia”, hlm. 23.

95
Jimly Asshiddiqie berpandangan bahwa konsep negara hukum selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan teknologi dan konstelasi sosial. Beliau menjelaskan bahwa
prinsip-prinsip negara hukum dapat dielaborasi paling tidak menjadi dua belas, yaitu:133
1. Supremasi Hukum, adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip
supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum
sebagai pedoman tertinggi.
2. Persamaan dalam Hukum, bahwa setiap orang adalah sama kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan.
3. Asas Legalitas, bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-
undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau mendahului
perbuatan yang dilakukan.
4. Pembatasan Kekuasaan, terdapat adanya pembatasan kekuasaan negara dan
organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara
vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
5. Organ-organ Pemerintahan yang Independen, sebagai bentuk upaya pembatasan
kekuasaan, saat ini berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan
pemerintahan yang bersifat independen.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, sebagai suatu unsur yang mutlak
keberadaannya dalam negara hukum.
7. Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa dalam setiap negara hukum, harus terbuka
kesempatan bagi warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi
yang menjadi kompetensi peradilan tata usaha negara.
8. Peradilan Tata Negara, bahwa upaya pembentukan mahkamah konstitusi sebagai
upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan
untuk menjamin demokrasi.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia, bahwa dengan adanya perlindungan
konstitusional terhadap HAM dengan jaminan hukum bagi tuntutan
penegakannya melalui proses yang adil.


133
Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 182-185.

96
10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), bahwa dalam dipraktikkannya
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan
keadilan masyarakat.
11.Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat),
bahwa gagasan negara hukum yang demokratis adalah untuk mencapai tujuan
nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
12.Transparansi dan Kontrol Sosial, bahwa dengan adanya transparansi dan kontrol
sosial terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga dapat
memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan
keadilan.

3.5 Demokrasi Perwakilan


Demokrasi berakar dari dua kata dalam bahasa Yunani, “demos” yang berarti
“rakyat” dan “cratos” yang berarti kekuasaan. Secara harafiah kata “demokrasi” dapat
diartikan sebagai “kekuasaan pada rakyat.” Seringkali konsep demokrasi dikontraskan
dengan konsep oligarki (yang meletakkan kekuasaan pada sedikit orang) dan konsep
monarki (yang meletakkan kekuasaan pada satu orang).134 Namun dalam
perkembangannya dewasa ini hampir seluruh negara-negara modern di dunia menyebut
dirinya sebagai negara demokrasi, bahkan untuk negara-negara monarki modern,
kekuasaan kerajaan dilimitasi oleh mekanisme demokrasi yang tercantum pada konstitusi
negara tersebut.135
Demokrasi adalah suatu ide yang berdiri atas logika persamaan. Logika tersebut
memandatkan bahwa untuk menjalankan suatu pemerintahan maka diperlukan
persetujuan dari yang diperintah. Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah suatu
pergeseran kuasa dari raja kepada rakyat sehingga kedaulatan raja yang sebelumnya
absolut berada di tangan rakyat. Perlawanan tersebut bersumber dari ketakutan terhadap
penyalahgunaan dan hegemoni kekuasaan oleh institusi-institusi kuasa seperti raja dan

134
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: PT Eresco, 1981), hlm.
22-23.
135
Muchamad Ali Safa’at, “Kedudukan DPD dalam Struktur Parlemen Indonesia Pasca Perubahan
Keempat UUD 1945” (Tesis Magister, Universitas Indonesia, 2004), hlm. 49.

97
gereja. Menurut buku Vindiciae Contra Tyrannos yang ditulis oleh kaum
Monarchomacha sebagaimana dikutp oleh Arief Budiman, meskipun raja dipilih oleh
Tuhan, namun dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tidak ada orang yang
dilahirkan sebagai raja, dan tidak mungkin bahwa seseorang menjadi raja tanpa rakyat.
Ajaran mendasar tersebut menjadi landasan pergerakan Revolusi Prancis dan menjadi
fondasi dari paham Kedaulatan Rakyat dan Perwakilan.136
Seorang tokoh yang berperan dalam pengembangan ide kedaulatan rakyat adalah John
Locke yang menuliskan dalam Second Treatise of Civil Government bahwa keberatan
utama yang ia miliki terhadap kerajaan adalah bahwa tanpa dasar persetujuan yang
diperintah, maka suatu absolutisme dari suatu kerajaan dapat dilihat sebagai kekerasan
belaka.137 Kekerasan tersebut akan mencederai kemuliaan kodrati seorang manusia yang
menjadi warga negara. Hal itu tidak sepatutnya terjadi karena secara lahiriah manusia
mempunyai hak-hak pokok yang tidak dapat dikurangi sehingga negara pun lahir karena
disebabkan adanya perjanjian dengan warga negaranya dan bertujuan menjamin hak-hak
asasi tersebut. Perjanjian yang terbentuk dinamakan oleh Rousseau sebagai kontrak sosial
yang bertujuan untuk membentuk suatu badan (pemerintah) yang diserahi kekuasaan
untuk menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat dan untuk memaksa bilamana ada
pelanggaran peraturan.138 K.H. Abdurrahman Wahid bahkan pernah menegaskan
pentingnya demokrasi yang dianggap dapat terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi
politik yang cukup setara (tidak ekspolitaitif). Munculnya pemahaman mengenai relasi
kuasa politik yang setara krusial untuk menegakkan otonomi demokrasi yang berdiri atas
dia unsur penting menurut Held yaitu adanya “kebebasan” dan “kesetaraan.”139 Serupa
namun tidak sama dengan proposisi dari Held, Robert A. Dahl menyatakan bahwa


136
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi
Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 9
137
Diane Revitch & Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik & Modern – Tulisan Tokoh-
tokoh Pemikir Ulung Sepanjang Masa, Yayasan Obor Indonesia, Yogyakarta, 2005, hlm. 72
138
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia
dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Nusa Media, Malang, 2007, hlm. 36
139
Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang
Sedang Berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 14

98
setidaknya ada lima kriteria bagi suatu pemerintahan untuk dapat dikatakan demokratis.
Lima kriteria tersebut meliputi:140
1. Partisipasi yang efektif: Seluruh genap masyarakat harus mempunyai kesempatan
yang efektif untuk memberikan opini dan pandangan mereka sebelum suatu
kebijakan diterapkan
2. Persamaan suara: Setiap rakyat harus mempunyai kesempatan yang sama untuk
memberikan suara dan suara tersebut harus diperhitungkan sama
3. Pemahaman yang cerah: Setiap anggota masyarakat harus diberikan kesempatan
untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan
4. Pengawasan agenda: Kebijakan-kebijakan negara harus selalu terbuka untuk
diubah apabila dikehendaki oleh rakyat
5. Pencakupan orang dewasa: Semua (atau paling tidak sebagian besar penduduk
dewasa) seharusnya memiliki hak-hak kewarganegaraan penuh yang mencakup
empat poin-poin di atas

Pada intinya, kedaulatan rakyat dapat direduksi menjadi empat unsur yaitu:
kebebasan, kesamaan/kesetaraan, suara mayoritas, dan pertanggungjawaban.141 Pertama-
tama, kebebasan dalam konsep kedaulatan rakyat hidup dalam batasan-batasan
konstitusional dan hukum. Hal tersebut ditafsirkan Rousseau dengan cara bahwa seorang
subjek memiliki kebebasan politik sepanjang kehendak tersebut selaras dengan kehendak
kelompok dalam suatu tata sosial. Sedangkan John Rawls melihat kebebasan sebagai
suatu kondisi di mana individu tidak hanya dibolehkan atau tidak dibolehkan untuk
melakukan sesuatu namun juga pemerintah dan anggota masyarakat lain memiliki
kewajiban hukum untuk tidak merintanginya. Dalam konteks politik, unsur kebebasan
terkait dengan kemampuan untuk memilih secara bebas pada saat pemilihan umum tanpa
paksaan dan intervensi.
Kedua, perihal prinsip persamaan/kesetaraan, setiap individu mempunyai nilai politik
yang sama dan terejawantahkan dalam adagium yang berbunyi, “one man, one vote, one
value.” Kedudukan tiap-tiap anggota masyarakat setara, tanpa mempedulikan latar


140
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 52-53
141
Khairul Fahmi, “Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum
Anggota Legislatif,” Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, Juni 2010, hlm. 130

99
belakang kaya/miskin maupun terpelajar/tidak. Prinsip ketiga yaitu konsep suara
mayoritas merupakan konsekuensi dari prinsip kebebasan dan kesamaan/kesetaraan.
Demokrasi hidup dalam hal kebebasan dan kesamaan hak politik rakyat mengambil
bentuk konkrit melalui pilihan politik yang disalurkan melalui prosedur suara rakyat yang
diukur secara kualitatif (majority principle) dan teraktualisasi melalui voting.142 Maka
dapat disimpulkan bahwa atas dasar prinsip suara mayoritas, kedaulatan rakyat
membentuk tatanan sosial apabila mengambil bentuk kehendak mayoritas karena tata
sosial harus selaras dengan kehendak daripada subjek sebanyak-banyaknya.143
Unsur keempat adalah adalah asas pertanggungjawaban yang timbul dari pemberian
kekuasaan dari rakyat kepada pihak-pihak penyelenggara negara. Oleh karena pemerintah
harus bertanggung jawab kepada rakyat, maka akuntabilitas menjadi salah satu prinsip
mendasar dalam demokrasi menurut Miriam Budiarjo dan S.W. Couwenberg.
Akuntabilitas sendiri adalah bentuk pertanggungjawaban pejabat publik terhadap rakyat
yang memberikan mandat untuk mengatur urusan dan kepentingan mereka sehingga
setiap pilihan kebijakan yang diambil oleh pejabat publik harus dikembalikan kepada
rakyat yang telah memilih mereka.
Meskipun kedaulatan rakyat dapat direduksi menjadi asas-asas yang kurang lebih
sama, namun dalam perkembangan demokrasi di seantero dunia telah muncul berbagai
model. Model-model yang bermunculan adalah upaya berbagai bangsa untuk menjawab
pertanyaan fundamental mengenai demokrasi yaitu: Who will do the governing? And to
whose interests should the government be responsive to when the people are in
disagreement and have divergent preferences? Sesuai dengan prinsip keempat kedaulatan
rakyat yaitu suara mayoritas mada ada bentuk majoritarian model of democracy yang
pada ujungnya membentuk consensus model of democracy yang menerima kekuasaan
mayoritas atas minoritas sebagai batas minimal dan berusaha secara maksimal untuk
mendapatkan dukungan mayoritas.144
Dalam sistem participatory democracy, kekuasaan tidak hanya berasal dari rakyat,
dan dikelola oleh rakyat untuk kepentingan rakyat namun juga dilaksanakan “Bersama”


142
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara Jakarta, 2006, hlm. 76-77
143
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 349
144
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty Six
Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1999), hal. 1-2.

100
rakyat. Akan tetapi model tersebut sepertinya sulit diterapkan secara murni dalam negara
yang memiliki populasi yang cukup besar, dan dalam perkembangannya ternyata
dibutuhkan penyesuaian sehingga pada dewasa ini demokrasi bersifat tidak langsung atau
perwakilan (representative government) di mana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk
duduk dalam lembaga perwakilan rakyat yang akan melaksanakan mekanisme
pemerintahan. Dalam model ini kekuasaan tertinggi masih di tangan rakyat namun
pelaksanaannya dilakukan oleh wakil yang ditunjuk oleh rakyat. Ini berbeda dari bentuk
demokrasi langsung (direct democracy) di mana semua anggota masyarakat berkumpul
bersama untuk menentukan kebijakan ala Athena. International Commission of Jurist
menentukan bahwa syarat-syarat demokrasi perwakilan under rule of law adalah:
1. Adanya proteksi konstitusional;
2. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Adanya pemilihan umum yang bebas;
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;
5. Adanya tugas oposisi; dan
6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa peralihan fungsi pemerintahan kepada organ-organ


tertentu dilakukan atas dasar hak yang dimiliki rakyat melalui adanya pemilihan umum
yang bebas.

3.6 Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah


Salah satu dari keenam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan menurut
International Commission of Jurist dalam konferensi di Bangkok pada tahun 1965 adalah
diadakannya pemilihan umum yang bebas. Dapat dikatakan bahwa tidak ada demokrasi
tanpa adanya pemilihan umum karena pada esensinya, pemilihan umum adalah suatu cara
bagi rakyat yang dulunya hanya dianggap sebagai suatu massa yang senantiasa patuh
kepada penguasa tanpa wajah dan identitas untuk memegang kedaulatan atas bangsa dan
negaranya sendiri.
Pemilihan umum yang bebas adalah suatu ajang bagi rakyat untuk menyatakan
hasratnya terhadap garis-garis politik dari negara yang menaunginya dengan cara

101
menentukan orang-orang yang harus melaksanakan kebijaksanaan politik rakyat.145 Ali
Moertopo memberikan pengartian pemilihan umum sebagai “sarana yang tersedia bagi
rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan asas yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945.” Sedangkan menurut Haris, pemilihan umum dapat dilihat
sebagai salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang diharapkan bisa
mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
demokrasi. Hal tersebut tampaknya diamini oleh Karim sebagaimana dikutip oleh Dani
yang menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan sarana demokrasi untuk
membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah (bottom-up)
menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar
memancar ke bawah sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat dan
untuk rakyat.146
Eksistensi pemilihan umum telah diakui oleh negara-negara yang bersendikan asas
kedaulatan rakyat, dan hadir sebagai beberapa hal pada saat yang bersamaan. Lembaga
pemilihan umum sebagai suatu sistem norma dalam penyampaian hak demokrasi rakyat
terdiri dari jalinan kaidah-kaidah dan unsur-unsur yang berhubungan erat satu sama lain.
Apabila terdapat satu unsur dari sistem norma tersebut yang tidak berfungsi dengan baik
maka keseluruhan dari lembaga pemilihan umum akan terpengaruh. Pada saat yang
bersamaan, pemilihan umum juga dapat dilihat sebagai suatu proses yang harus dijalani
oleh rakyat tahap demi tahap secara tertib dan teratur berdasarkan jalinan norma-norma
untuk menyampaikan hak demokrasi warga negara. Tahap-tahap yang didasari oleh
jalinan norma tersebut terdiri dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye,
pnyusunan dan perhitungan suara, pemantapan hasil pemilihan, peresmian atau
pelantikan para calon terpilih.
Menurut Aurel Croisant, pemilihan umum secara fungsional harus memenuhi tiga
tuntutan147:
1. Mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih
2. Dapat mengintegrasikan rakyat


145
Ismail Suny, Mencari Keadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 405
146
Karim Dani, Sistem Politik dan Pemilu di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), hlm.
11
147
Pito, Mengenal Teori-Teori Politik dari Sistem Politik sampai Korupsi, (Bandung: Nuansa,
2007), hlm. 306

102
3. Menghasilkan mayoritas yang cukup besar untuk menjamin stabilitas
pemerintahan dan kemampuan untuk memerintah (governability)

Asas-asas dari pemilihan umum termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan meliputi prinsip-prinsip langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Prinsip-prinsip tersebutlah yang menjadi dasar dari
pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan pemilihan umum di
Indonesia dimulai dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pemilihan Anggota
Konstituante dan Anggota DPR sampai dengan undang-undang terbaru yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum beserta semua peraturan
pelaksana di bawahnya. Menurut Ari Darmastuti dan Tabah Maryanah, penjelasan dari
asas-asas tersebut adalah sebagai berikut148:

1. Langsung berarti bahwa masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi langsung
dalam pemilihan umum atas keinginannya sendiri tanpa harus melalui perantara.
Asas ini juga berarti bahwa aksesibilitas bagi penyandang cacat juga terjamin
sehingga mereka dapat langsung memilih tanpa perlu mewakilkannya kepada
orang lain.
2. Umum berarti bahwa pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yang
memenuhi persyaratan tanpa adanya pembeda berdasarkan agama, suku, ras, jenis
kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial lain
3. Bebas berarti bahwa tiap-tiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai
pemilih memiliki kebebasan untuk menentukan siapa yang akan ia pilih sesuai
dengan aspirasinya tanpa ada tekanan, paksaan atau intervensi dari siapa pun
4. Rahasia berarti bahwa dalam menentukan pilihannya tiap pemilih dijamin
kerahasiaannya karena isi dari surat suara yang diberikan tidak dapat diketahui
oleh siapa pun. Hal tersebut penting agar pemilih dapat terjauh dari intimidasi
5. Jujur berarti bahwa semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan
umum harus bertindak dan bersikap jujur sebagaimana telah diuraikan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku


148
Ari Darmastuti dan Tabah Maryanah, Peningkatan Kesadaran Perempuan Terhadap
Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir di Keluarahan Bumi Waras Bandar Lampung, Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIP, Universitas Lampung, 2004.

103
6. Adil berarti bahwa setiap pihak dalam rangkaian penyelenggaraan pemilihan
umum bertindak dan mendapatkan perlakuan yang sama, bebas dari kecurangan

Paling tidak ada tiga tujuan pemilihan umum di Indonesia149:


1. Pergantian pemerintahan secara damai dan tertib
2. Agar lembaga negara dapat berfungsi sesuai dengan maksud Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
3. Untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara

Selain itu menurut Surbakti, tiga tujuan lain dari pemilihan umum adalah150:
1. Mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah dan alternatif kebijakan
umum
2. Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada
badan-badan perwakilan rakyat yang terpilih melalui partai-partai yang
memenangkan kursi sehingga integrasi tetap terjamin
3. Sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara
dan pemerintah dengan mengikutsertakan rakyat dalam proses politik

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, Indonesia telah mengadakan berbagai


macam sistem pemilihan umum tergantung pada perkembangan dinamika politik dari
para pemangku kekuasaan. Jika dilihat dari kedudukan individu rakyat, maka terdapat
sistem pemilihan mekanis dan organis. Jika sistem mekanis melihat bahwa rakyat terdiri
atas individu-individu yang memiliki hak suara masing-masing, maka sistem organis
membagi rakyat ke dalam organ-organ kelompok individu berdasarkan aspek-aspek
seperti geneologis, lapisan sosial, organisasi, kelembagaan, dan lain-lain sehingga hak
suara terletak pada kelompok.151
Dari bermacam-macam kombinasi sistem pemilihan umum, sistem mekanis bersendi
pada dua prinsip pokok yaitu sistem distrik (single-member constituency) dan sistem
proporsional/perwakilan berimbang (multi-member constituency). Pada sistem distrik,


149
Abdul Bari Azed, S.H., “Sistem Pemilihan Umum di Indonesia,” Jurnal Hukum dan
Pembangunan April 198, hlm. 174
150
Ramlan Surbakti, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999), hlm. 181
151
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1981), hlm. 333-335

104
wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (constituencies) yang jumlahnya
sama dengan jumlah anggota badan perwakilan rakyat. Tiap distrik memiliki seorang
wakil yang terpilih dari suatu distrik atas perolehan suara terbanyak. Di lain pihak, sistem
proporsional membagi persentase kursi di badan perwakilan rakyat berdasarkan
persentase jumlah suara yang diperoleh oleh tiap-tiap partai politik. Variasi atas sistem
proporsional bisa juga diterapkan atas dasar hare system atau list system.
Namun harus ditekankan bahwa ruang lingkup pemilihan umum menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tercantum dalam Pasal 22E ayat (2) yaitu
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sehingga, muncullah
pembahasan mengenai pemilihan kepala daerah yang menurut Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 “dipilih secara demokratis.” Ini berarti
bahwa meskipun terdapat perbedaan nomenklatur di antara kedua istilah tersebut, namun
keduanya sama-sama berakar pada demokrasi perwakilan. Ali Maskur Musa melihat
kaitan antara pemilihan kepala daerah dengan kedaulatan rakyat (sebagai suatu sistem
demokrasi), hal ini mencakup152:
1. Rakyat secara langusung menggunakan hak-hak politiknya (hak pilih)
2. Wujud nyata dari responsibility dan accountability dari kepemimpinan politik
3. Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara
pemerintah dan rakyat

Rowland pun menambahkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung selain
sebagai upaya penciptaan pemerintahan yang demokratis dan pengembalian “hak-hak
dasar” rakyat dalam pemilihan pemimpin daerah, juga berperan sebagai perluasan
partisipasi politik rakyat dalam menentukan pemimpinnya sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat serta memiliki legitimasi yang kuat.

3.7 Partai Politik


Mengutip teori Jean Jaques Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah
proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan.
Pernyataan Rousseau ini seakan mengatakan, bahwa demokrasi bagi sebuah negara


152
Ali Maskur Musa, “Pilpres Langsung,” Sinar Harapan, 30 Januari, 2003, hlm. 10

105
adalah sebuah pembelajaran menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan yang
sempurna. Padahal disadari oleh Rousseau, bahwa kesempurnaan bukanlah milik
manusia. Oleh karenanya, yang menjadi ukuran ada tidaknya sebuah demokrasi dalam
sebuah negara bukan ditentukan oleh tujuan akhir, melainkan lebih melihat pada fakta
tahapan yang ada. Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan
sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Dengan begitu Rousseau seolah
ingin mengatakan bahwa jika menempatkan demokrasi secara kaku dan ideal, tidak akan
pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.153
Hal inilah yang juga disadari oleh Hans Kelsen. Uraiannya tentang demokrasi menjadi
lebih tertata dan terstruktur. Ini untuk membuktikan, bahwa demokrasi adalah sebuah
proses yang berkelanjutan menuju kesempurnaan. Awal dari datangnya ide demokrasi
menurut Hans Kelsen adalah adanya ide kebebasan yang berada dalam benak manusia.
Pertama kali, kosakata “kebebasan” dinilai sebagai sesuatu yang negatif. Pengertian
“kebebasan” semula dianggap bebas dari ikatan-ikatan atau ketiadaan terhadap segala
ikatan, ketiadaan terhadap segala kewajiban. Namun, hal inilah yang ditolak oleh Hans
Kelsen. Pasalnya, ketika manusia berada dalam konstruksi kemasyarakatan, maka ide
“kebebasan” tidak bisa lagi dinilai secara sederhana, tidak lagi semata-mata bebas dari
ikatan, namun ide “kebebasan” dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak
sendiri. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Hans Kelsen mengenai
demokrasi.154
Tipe demokrasi yang ideal diwujudkan dalam derajat yang berbeda-beda. Demokrasi
langsung adalah demokrasi yang mempunyai derajat paling tinggi. Demokrasi langsung
dapat ditandai dengan fakta, bahwa pembuat peraturan, dan juga fungsi eksekutif dan
fungsi legislatif, dilakukan oleh masyarakat di dalam pertemuan akbar atau sebuah
pertemuan umum. Pelaksanaan semacam ini hanya mungkin terjadi di dalam masyarakat-
masyarakat kecil dan di bawah kondisi-kondisi sosial yang sederhana. Oleh karenanya,
dalam pendapat Hans Kelsen dan sebagian besar pemikir politik dan ketatanegaraan
lainnya, demokrasi langsung semacam ini tidak lagi mendapatkan tempat dalam konsep


153
Ini adalah kesimpulan penulis berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Jean Jaques
Rouseau. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian
Sosial), Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm 113.
154
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan pertama, Penerbit Nuansa
dan penerbit Nusamedia, Bandung, 2006, hlm 404.

106
demokrasi modern yang saat ini sedang diwacanakan oleh banyak pemerintahan di dunia.
Hal yang paling mungkin terjadi adalah suatu demokrasi dimana fungsi legislatif
dijalankan oleh parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan fungsi eksekutif dan yudikatif juga
dijalankan melalui pemilihan umum yang dijamin keabsahannya. Pada kondisi ini, Hans
Kelsen menyatakan pendapatnya bahwa suatu pemerintahan adalah sebuah “perwakilan”
karena sepanjang pejabat-pejabatnya dipilih oleh rakyat, maka pejabat tersebut
bertanggungjawab penuh terhadap pemilihnya. Jika kemudian pemerintahan tidak bisa
bertanggungjawab penuh terhadap pemilihnya, maka hal ini tidak bisa disebut sebagai
“perwakilan yang sesungguhnya”.
Dalam demokrasi modern, Hans Kelsen berpendapat bahwa apa yang terjadi dewasa
ini di negara-negara yang mengatasnamakan negara demokrasi, ternyata tidak
sepenuhnya memahami proses keterwakilan ini. Prinsip keterwakilan yang dipahami oleh
Hans Kelsen ternyata berorientasi pada ada tidaknya proses pertanggungjawabannya
terhadap pemilih serta terdapatnya suatu kendaraan esensial dalam rekrutmen perwakilan
yakni partai politik yang sehat dan ideal. Ini artinya, demokrasi dalam konteks perwakilan
mengharuskan adanya pertanggungjawaban yang besar, terutama secara moral, kepada
para pemilihnya serta pertanggungjawaban terhadap partai politik yang mengusungnya.

3.8 Sistem Proporsional


Sistem pemilihan proporsional adalah suatu sistem di mana kursi yang tersedia di
parlemen dibagikan kepada partai-partai politik sesuai dengan imbangan perolehan suara
yang didapat partai politik atau organisasi peserta pemilihan bersangkutan. Sistem
pemilihan ini juga sering disebut sebagai sistem berimbang. Dalam sistem proporsional,
wilayah suatu negara dibagi-bagi dalam daerah-daerah pemilihan. Daerah-daerah
pemilihan ini akan mendapat sejumlah kursi yang harus diperebutkan, memiliki luas
daerah pemilihan, pertimbangan politik dan sebagainya. Karena jumlah kursi yang
dimiliki tiap daerah pemilihan lebih dari satu maka sistem pemilihan proporsional juga
disebut "multi-member constituency". Sisa suara yang dimiliki masing-masing peserta
pemilihan umum di daerah pemilihan tertentu tidak dapat digabungkan dengan sisa suara

107
di daerah pemilihan lainnya.155 Beberapa hal positif mengenai sistem proporsional ini
adalah suara yang terbuang lebih sedikit dan partai-partai politik kecil atau minoritas
kemungkinan besar mendapatkan kursi di parlemen. Sisi negatif dari sistem ini yang patut
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1. Mempermudah fragmentasi partai politik yang akan menimbulkan partai-
partai politik baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi golongan-
golongan masyarakat justru memiliki kecenderungan untuk mempertajam
perbedaan yang ada dan karena itu kurang terdorong untuk mencari dan
memanfaatkan persamaan; 
2. Setiap calon yang terpilih menjadi anggota parlemen akan merasa dirinya
lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang merasakan
loyalitasnya kepada rakyat yang secara teori diwakilinya;
3. Banyaknya partai politik mempersulit pembentukan pemerintah yang stabil,
terlebih lagi dalam sistem pemerintahan parlementer karena pembentukan
pemerintah/kabinet harus dilakukan dengan kerja sama antara berbagai partai
politik itu;156
Ada dua jenis sistem di dalam sistem proporsional, yaitu ;
1. Sistem Proporsional Tertutup (List proportional representation) disini partai-
partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup
memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada;
2. Sistem Proporsional Terbuka (the single transferable vote) : para pemilih diberi
otoritas untuk menentukan pilihannya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan
kuota yang sudah diatur sesuai perundang-undangan yang berlaku.

3.8.1. Sistem Proporsional Terbuka


Menurut Farrel, sistem proporsional selalu diasosiasikan dengan nama 4 empat orang,
yaitu Thomas Hare (Inggris), Victor d’hondt (Belgia), Eduard Hagenbach-Bischoff
(Swiss), dan A. Saint Legue (Perancis). Meskipun demikian menurut Farrel asosiasi itu


155
Sri Soematri M., "Pelaksanaan Pemilu Indonesia (Menelusuri UU Pemilihan dan UU Partai
Politik dan Golkar)," dalam Dahlan Thaib dan Ni'matul Huda (ed.), Pemilu dan Lembaga Perwakilan dalam
Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII, 1992), hlm. 22.
156
Ni'Matul Huda dan Imam Nasef, Penataan Demokrasi..., ed. 1 (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 47.

108
tidak selamanya tepat sebab kemunculan sistem proporsional adalah berhimpitan dengan
perekembangan demokrasi perwakilan, dan terutama dengan perluasan Universitas hak
pilih dan perkembangan partai massa.157
Sejak awal demokrasi mulai dilaksanakan, partisipasi selalu menjadi inti dale praktiknya.
Seperti yang pernah terjadi pada masa Yunani Kuno, seseorang dianggap sebagai warga
negara jika telah berpartisipasi dalam memberikan putusan dan memiliki jabatan.158
Dalam demokrasi perwakilan, lembaga-lembaga dale sistem politik memang diminta
bekerja menjalankan fungsinya dari pengelolaan aspirasi politik rakyat dan lembaga-
lembaga tersebut melakukan berbagai aktivitas yang secara terus menerus mempengaruhi
pendapat masyarakat. Peran lembaga-lembaga tersebut dalam pemerintahan perwakilan
memang dibutuhkan sebagai mekanisme dan institusi bagi ekspresi kehendak kehendak
rakyat yang diwakili.159
Sistem proporsional terbuka, karena rakyat dan sebagian para politisi,
menganggap sistem Pemilu dengan cara proporsional tertutup anti demokrasi, kontra
produktif dan juga bertentangan dengan era transparansi yang tengah kita galakkan.
Sementara pemilih (konstituen) tidak merasa terwakili, karena mereka hanya disodori
gambar, tanpa mengetahui siapa yang harus mereka pilih. Dengan sistem proporsional
terbuka, yang akan tampil pada Pemilu hanyalah orang-orang yang cukup dikenal
masyarakat atau dikenal konsituennya. Dengan begitu, rakyat pemilih tahu yang
dipilihnya, tidak seperti membeli kucing di dalam karung, sebagaimana yang kerap kita
lakukan. Dengan cara ini, maka jangan harap akan muncul orang-orang yang tidak
dikenal, karena ia pasti tidak akan dipilih. Hanya persoalannnya, apakah cara ini telah
menjawab pertanyaan yang paling hakiki dari masyarakat.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakanmenurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari” “kedaulatan berada di


157
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada,
2009. Hlm. 30.
158
Pengakuan tersebut terjadi jika kewarganegaraan bagi para laki-laki dewasa mengandung arti
keterlibatannya dale urusan-urusan publik. Lihat dalam Fitra Arsil, “Mencegah Pemilihan Umum Menjadi
Alat Penguasa (To Prevent The General Election From Being A Tool of The Authority)”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 9 No.4, (Desember 2012), hlm. 571.
159
Muchamat Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik
dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 52.

109
tanganrakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab,
hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk
pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih
wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara
langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilwakilnya yang akan
menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat,
membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan
anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan,
yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk
di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan
pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih
mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak
hati nuraninya, tanpa perantara.

3.9 Lembaga Perwakilan Rakyat


Walaupun Rousseau, menginginkan tetap berlangsung demokrasi langsung seperti
zaman Yunani Kuno, tetapi karena luasnya wilayah suatu Negara, bertambahnya jumlah
penduduk dan bertambah rumitnya masalah-masalah kenegaraan, maka keinginan
Rousseau tersebut tidak mungkin terealisasi, maka muncul lah sebagai gantinya
demokrasi tidak langsung melalui lembaga-lembaga perwakilan.160 Konsep lembaga
perwakilan adalah dimana kekuasaan rakyat disalurkan melalui lembaga perwakilan atau
sering disebut parlemen161 Tugas utama parlemen adalah membuat undang-undang, di
samping fungsi lain yang berbeda di berbagai negara. Istilah parlemen dan legislatif
memiliki kesamaan nafas terhadap arti yang dimaksudkannya. Parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat umumnya memiliki tiga fungsi162:


160
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1988), hlm. 79.
161
Makmur Amir dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat (Jakarta:Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI, 2005), hlm. 10.
162
Safa’at, “Kedudukan DPD dalam Struktur Parlemen…” hlm. 70.

110
1. Fungsi pembentukan undang-undang;
2. Fungsi pengawasan, untuk mengawasi eksekutif agar berfungsi menurut undang-
undang yang dibentuk parlemen;
3. Fungsi pendidikan politik rakyat, dimana rakyat dapat mengikuti persoalan yang
menyangkut kepentingan umum dan menilainya sehingga sadar akan hak dan
kewajibannya.
Dalam demokrasi perwakilan, kekuasaan memerintah hanya didapat atas persetujuan
rakyat itu sendiri. Namun perwujudan kekuasaan rakyat tidak ternyata pada pemilihan itu
sendiri, melainkan kewajiban wakil untuk mengadakan hubungan pertanggungjawaban
atas kehendak konstituennya. Mengenai perwakilan ini dapat dipahami lebih lanjut
melalui teori-teori perwakilan yang dikenal dengan teori mandat, di samping teori-teori
lainnya seperti teori organ, teori sosiologi, teori hukum objektif, dan lain-lain. Teori
mandat yang menyangkut hubungan wakil dan konstituennya dikenal beberapa
pengertian:163
1. Teori mandat imperatif, dimana si wakil sudah mendapat instruksi-instruksi dari
yang diwakili, kewenangan si wakil amat terbatas yaitu pada apa yang telah
ditentukan oleh yang diwakili
2. Teori mandat bebas, dimana si wakil mempunyai kebebasan dalam menentukan
apa yang akan dilakukan di lembaga perwakilan.
3. Teori mandat representatif, dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan
sudah memiliki kesadaran bernegara. Rakyat memberikan mandatnya pada badan
perwakilan secara keseluruhan untuk melaksanakan kedaulatan tersebut. Wakil
tidak mempunyai hubungan langsung dan tidak bertanggungjawab pada yang
diwakilnya.
Praktik demokrasi dalam masyarakat majemuk mensyaratkan adanya suatu proses
pemilihan yang mencerminkan komposisi dari berbagai kepentingan, kelas sosial, rasa
tahu golongan di masyarakat. Diperlukan sebuah sistem pemilihan umum yang dapat
menjamin kepentingan rakyat, bukan saja yang mayoritas, untuk terwakili secara adil.
Menurut Black’s Law Dictionary, pemilihan umum (general election) berarti: 1. An
election that occurs at a regular interval of time (regular election) 2. An election for all


163
Amir dan Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, hlm. 11-12

111
seats, as contrast with a by-election. Pemilihan umum sebagai mekanisme penyaluran
kekuasaan/kedaulatan rakyat bertujuan untuk: (1) untuk memungkinkan terjadinya
peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai, (2) untuk memungkinkan
terjadinya penggantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga
perwakilan, (3) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, dan (4) untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.164
Penyelenggaraan pemilu setiap negara memiliki sistem pemilu yang berbedabeda
memperhatikan serangkaian kondisi dalam negara tersebut. Kondisi ini yang
membimbing pemerintah dan parpol guna menetapkan sistem pemilu yang akan dipakai.
Paling tidak menurut Donald L. Horowitz, sistem pemilu harus mempertimbangkan
beberapa hal antara lain:
1. Perbandingan Kursi dengan Jumlah Suara;
2. Akuntabilitasnya bagi Konstituen (Pemilih);
3. Memungkinkan pemerintah dapat bertahan;
4. Menghasilkan pemenang mayoritas;
5. Membuat koalisi antar-etnis dan antar-agama; dan
6. Minoritas dapat duduk di jabatan publik165
Secara umum dikenal dua cara untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan,
yaitu: melalui pemilihan organis dan mekanis. Dalam pemilihan organis, rakyat dianggap
sebagai individu-individu yang bergabung dalam beberapa persekutuan-persekutuan
hidup, baik berdasarkan lapisan sosial, profesi maupun asal atau keturunan, misalnya
kelompok tani, guru, pekerja dan lain-lain. Dalam persekutuan ini memiliki hak politik
untuk menunjuk wakilnya di lembaga perwakilan sesuai dengan yang diminta oleh
konstitusi atau undang-undang yang mengatur mengenai lembaga perwakilan tersebut.
Dalam pemilihan mekanis, rakyat dianggap sebagai individu-individu yang berdiri
sendiri, dimana satu orang mempunyai satu suara (one man one vote). Pada sistem ini
biasanya dikenal dua cara, yaitu: sistem perwakilan distrik atau biasa disebut sistem


164
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo, 2005),
hlm. 741
165
Donny Tri Istiqomah, Pemilihan Umum Sebagai Sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
Setelah Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Menuju Pemilihan Umum Demokratis (Tesis Magister,
Universitas Indonesia, 2011), hlm. 42.

112
mayoritas (single member constituency), dan sistem perwakilan proporsional (multi
member constituency)166.
Sistem pemilihan ini sangat berkaitan dengan sifat perwakilan yang mendasari
perwakilan tersebut. Lembaga perwakilan yang pesertanya adalah partai politik disebut
dengan perwakilan politik (political representation). Perwakilan politik tidak bisa
mewakili seluruh kepentingan rakyat, sehingga untuk menutupi kelemahan ini dibentuk
perwakilan yang berdasarkan pada fungsi atau jabatan atau golongan seseorang yang
disebut perwakilan fungsional, atau perwakilan yang dipilih untuk mewakili kepentingan
daerah/ regional yang biasa disebut perwakilan daerah/teritorial.167
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa sistem yang digunakan untuk mengisi jabatan
yang berbeda. Pengisian jabatan anggota DPR di Indonesia sebelum perubahan UUD
1945 tidak disebutkan secara langsung, melainkan diserahkan kepada UU untuk
mengaturnya. Sementara setelah perubahan kedua, jelas disebutkan bahwa Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.168 Mengenai pembentukan
DPD, gagasan ini muncul dari kesepakatan untuk mempertahankan unsur Utusan
Golongan, namun setiap anggotanya harus dipilih langsung oleh rakyat, lebih lanjut calon
anggotanya juga tidak mewakili partai politik tertentu. Valina Singka Subekti
mengatakan perlunya penegasan Utusan Daerah sebagai lembaga parlemen yang
berdampingan dengan DPR. Maka dari itu, diperlukan pelembagaan Utusan Daerah
menjadi Dewan Perwakilan Daerah. Mengenai mekanisme pengisian jabatannya, dengan
lebih jelas sudah dirumuskan pada UUD 1945, bahwa Anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum, dan anggota dari setiap provinsi jumlahnya sama. Jadi
ketentuannya lebih pasti ketimbang ketentuan pemilihan anggota DPR, yaitu sistem
pemilihan distrik atau lebih khusus sistem single non-transferable vote.

3.10 Struktur Parlemen Bikameral


Parlemen di seluruh dunia pada umumnya terdiri atas sistem bikameral dan sistem
unikameral. Di Amerika Serikat contohnya, terdapat Congress yang terdiri atas Senate
dan House of Representatives, di Inggris ada House of Lords dan House of Commons, di


166
Istiqomah, “Pemilihan Umum Sebagai Sarana Pelaksanaan..”, hlm. 44-45.
167
Safa’at, “Kedudukan DPD dalam Struktur Parlemen…” hlm. 69-70
168
Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 Amandemen kedua

113
Belanda ada Eerste Kamer dan Tweede Kamer dan di Indonesia ada Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Walaupun parlemen terdiri atas dua kamar,
biasanya wewenang untuk membentuk undang-undang hanya ada di salah satu kamar. Di
Indonesia contohnya, kewenangan untuk membentuk dan mensahkan undang-undang
hanya dimiliki oleh DPR.
Mengenai sistem bikameral, terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teorinya,
salah satunya adalah Arend Lijphart. Ia menjelaskan kewenangan formal, metode seleksi
dan hubungannya dengan legitimasi demokratis dan kategori warga negara yang diwakili
oleh anggota-anggota di masing-masing kamar.169 Lijphart mengklasifikasikan sistem
bikameral yang kuat (strong bicameralism), bikameral sedang-kuat (medium-strength
bicameralism), dan bikameral lemah (weak bicameralism). Lijphart mengemukakan teori
ini berdasarkan penelitiannya terhadap sistem parlemen di 36 negara. Dari penelitiannya
tersebut, ia menyatakan bahwa kriteria yang menentukan suatu parlemen memiliki sistem
bikameral kuat atau lemah dapat dilihat dari beberapa ciri berikut:
1. Kekuatan yang dimiliki kedua kamar berdasarkan kewenangan formalnya diatur
dalam Undang-Undang Dasar atau konstitusi. Umumnya adalah bahwa terdapat
subordinasi dari kamar kedua kepada kamar pertama. Contoh pengaturan kamar
kedua yang bersifat subordinat dari kamar pertama adalah diabaikannya
ketidaksetujuan kamar kedua terhadap suatu RUU oleh kamar pertama. Terlebih
lagi di sebagian besar negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer,
kabinet bertanggungjawab kepada kamar pertama, bukan kamar kedua.
2. Kriteria lain adalah legitimasi demokratis atau metode seleksi dari kedua kamar
tersebut. Berdasarkan dua kriteria itu—kewenangan formal dan legitimasi
demokratis yang dinilai dari metode seleksi anggota—sistem bikameral dapat lagi
dibagi menjadi bikameral simetris dan bikameral asimetris. Bikameral yang
simetris adalah di mana kekuatan konstitusional yang dimiliki kedua kamar setara
atau setidaknya hanya sedikit perbedaannya dan terdapat legitimasi demokrasi.
Sistem bikameral yang asimetris adalah sistem di mana kewenangan-kewenangan
formal dan legitimasi demokratis yang dimiliki masing-masing kamar sangat
tidak setara. Namun apabila para anggota kamar kedua tidak dipilih secara


169
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries, (New Haven dan London: Yale University, 1999), hlm. 205-207.

114
langsung oleh rakyat, sistem bikameral dapat dikatakan simetris bila kewenangan
formal kamar pertama juga lebih besar daripada kamar kedua. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kesimetrisan sistem bikameral dapat dinilai dari
proporsi kewenangan formal dan legitimasi demokratisnya.
3. Ciri lainnya adalah komposisi anggota masing-masing kamar. Terdapat skema di
mana kamar kedua memiliki metode seleksi yang berbeda dan dengan demikian
memberi ruang lebih bagi wakil dari kaum minoritas. Apabila pengaturannya
demikian, maka komposisi anggota kedua kamar berbeda dan kamar-kamar
tersebut menjadi incongruent.
Dari tiga kriteria tersebut maka dapat diklasifikasikan bahwa bikameral yang kuat
(strong bicameralism) adalah di mana kamar-kamar di parlemen bersifat simetris dan
incongruent. Kemudian bikameral yang sedang-kuat (medium-strength bicameralism)
adalah bila sifatnya simetris dan congruent atau asimetris dan incongruent dan bikameral
yang lemah (weak bicameralism) adalah apabila karakteristiknya asimetris dan
congruent.170 Selain itu, Lijphart juga menyampaikan bahwa terdapat enam perbedaan
penting antara kamar pertama dan kamar kedua namun dari enam perbedaan tersebut,
khususnya hanya tiga yang penting untuk mengetahui apakah sistem bikameral adalah
institusi yang signifikan untuk parlemen. Tiga perbedaan penting tersebut adalah:
1. Kamar-kamar kedua cenderung lebih kecil jumlah anggotanya dibandingkan
dengan kamar-kamar pertama. Hampir di semua negara demokrasi kecuali
Inggris, pasti jumlah anggota kamar pertama lebih banyak daripada kamar kedua.
2. Masa jabatan para anggota kamar kedua cenderung lebih lama dibandingkan
dengan masa jabatan anggota kamar-kamar pertama.171
3. Pemilihan umum anggota kamar-kamar kedua biasanya tidak teratur. Contohnya
adalah di Australia dan Jepang, setengah dari anggota kamar keduanya
diperbaharui setiap tiga tahun. Di Amerika Serikat dan India, sepertiga dari
anggota kamar keduanya dipilih ulang setiap dua tahun.
Ketiga perbedaan tersebut mempengaruhi bagaimana kedua kamar tersebut
beroperasi di bidang legislatif. Secara spesifik, kamar kedua yang bentuknya relatif lebih


170
Ibid., hlm. 211.
171
Arend Lijphart, Patterns of Democracy, (New Haven dan London: Yale University, 1999), hlm.
204.

115
kecil dapat melaksanakan tugasnya dengan cara yang lebih informal dan santai
dibandingkan dengan kamar pertama.172 George Tsebelis dan Jeannette Money juga
mengemukakan teori mengenai sistem bikameral, fokus mereka adalah ke arah justifikasi
sistem tersebut. Bagi Tsebelis dan Money, dua aspek yang dapat menjustifikasi sistem
bikameral adalah aspek politik dan efisiensi. Bila dilihat dari segi politik, sistem
bikameral secara kelembagaan menyediakan hak veto untuk mencegah tirani
mayoritas.173 Sistem bikameral juga mencegah tirani minoritas dengan adanya dua kamar
berbeda dengan golongan konstituen yang berbeda memberikan dasar konstituen yang
luas untuk mendukung pembentukan undang-undang. Sistem bikameral juga mencegah
potensi tirani pemimpin individual karena proses pembentukan suatu undang-undang
harus menghadapi berbagai alternatif yang diajukan oleh kamar kedua. Pilihan penentu
agenda legislatif harus dapat bertahan sebagai pilihan utama di antara alternatif-alternatif
yang ada. Dengan demikian, sistem bikameral mengurangi kekuasaan yang dimiliki oleh
penentu agenda legislatif. Kemudian dari aspek efisiensi sistem bikameral dapat
dijustifikasi karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Dengan sistem ini pembuat undang-undang bersifat lebih efisien dan akan
menghasilkan legislasi yang lebih baik dan lebih stabil dalam penerapan. Sistem
bikameral ini pada intinya membedakan anggota-anggota yang menduduki posisi
di kamar pertama dan di kamar kedua. Anggota di kamar pertama biasanya
disyaratkan untuk berumur lebih tua daripada anggota-anggota di kamar kedua.
Terlebih lagi biasanya disyaratkan juga untuk memiliki bidang keahlian tertentu,
sedangkan syarat tersebut lebih flexible bagi calon anggota kamar kedua. Dengan
adanya perbedaan tersebut, sumber-sumber instabilitas legislatif menjadi
berkurang.174
2. Sistem bikameral juga menciptakan skema kontrol kualitas yang dapat
dimengerti karena pertama, adanya kamar kedua dapat mencegah terjadinya
kesalahan-kesalahan karena ada pihak lain yang dapat mengawasi. Kedua, karena
dengan adanya dua kamar tercipta sistem untuk mengkoreksi kesalahan-
kesalahan yang telah dibuat. Terlepas dari tingkat keahlian dan kebijaksanaan

172
Ibid., hlm. 205.
173
George Tsebelis dan Jeannette Money, Bicameralism, (London: Cambridge University Press,
1997), hlm. 35.
174
Ibid., hlm. 37.

116
yang dimiliki oleh anggota kamar kedua, keberadaan kamar kedua itu sendiri
telah memungkinkan mekanisme quality-control ini.
3. Sistem ini juga dapat mengurangi korupsi dan memperlambat proses legislasi
untuk alasan yang baik. Hadirnya dua kamar dapat mengurangi korupsi karena
lebih banyak kolusi yang muncul dengan semakin banyaknya anggota yang
memiliki peranan. Sistem dua kamar juga memperlambat proses legislasi untuk
alasan yang baik karena adanya kontrol terhadap kesalahan dan untuk
menghentikan dampak buruk yang dibawa oleh rakyat terhadap dirinya sendiri
sampai akal sehat, keadilan dan kebenaran mendapatkan kembali otoritasnya di
atas pikiran umum.
4. Sistem bikameral juga dianggap dapat mengurangi biaya-biaya yang dibutuhkan
untuk mengambil suatu keputusan karena adanya mekanisme conference
commitees yang dapat dibentuk apabila terdapat ketidaksetujuan antara dua
kamar. Conference commitees ini merupakan komite ad hoc dan lebih kecil
daripada suatu badan legislatif.
Agar sistem bikameral dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan asumsi-asumsi
yang ada baik dari segi politik maupun efisiensi, pengaturan mengenai kewenangan
formal yang dimiliki kedua kamar, metode pemilihan anggota masing-masing kamar,
syarat-syarat bagi calon anggota masing-masing kamar, dan metode penyelesaian
ketidaksetujuan antar kamar harus diatur dengan jelas. Hanya apabila pengaturan tersebut
memberikan ruang bagi sistem bikameral untuk berfungsi pada potensi terbaiknya,
barulah sistem ini dapat menguntungkan bagi rakyat dan negara.
Mengenai kewenangan formal yang dimiliki oleh masing-masing kamar dan
hubungannya dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan, Giovanni Sartori
mengemukakan suatu teori mengenai kategori sistem bikameral. Menurut Sartori,
pengaturan mengenai sistem bikameral memiliki dua variable yaitu equal-non equal
power dan similarity-differentiation dalam hal sifat dan komposisi masing-masing kamar.
Sartori mengemukakan bahwa apabila kewenangannya tidak setara maka sistemnya
disebut weak (asymmetric) bicameralism. Apabila kewenangannya hampir setara maka
tergolong sebagai strong (symmetric) bicameralism dan apabila kewenangan keduanya
sama maka ia tergolong sebagai perfect bicameralism. Kesetaraan kewenangan ini dapat
dinilai dari apakah kamar kedua hanya memiliki hak untuk menunda atau juga memiliki

117
kewenangan untuk menolak atau veto power. Hak veto ini dapat berupa hak mutlak tanpa
syarat, hak mutlak dalam hal-hal tertentu, dapat dikesampingkan oleh mayoritas anggota
kamar kedua yang memenuhi syarat atau dapat dikesampingkan oleh mayoritas ditambah
satu suara. Sartori menyampaikan bahwa sistem bikameral yang strong atau perfect
adalah sistem yang memberikan hak untuk menolak usulan kepada masing-masing
kamar. 175
Mengenai variable similarity-differentiation adalah persoalan pemilihan anggota
masing-masing kamar. Suatu sistem bikameral disebut similar bicameralism apabila para
anggota dipilih dengan sistem pemilihan umum yang sama dan dengan demikian terdapat
kesamaan komposisi dan penduduk yang diwakili. Apabila mekanisme pemilihan umum
bagi kedua kamar tersebut berbeda, maka sistemnya disebut sebagai differentiated
bicameralism. Variabel similarity-differentiation ini penting bila dikaitkan dengan
kemungkinan munculnya konflik karena apabila dalam pemilihan anggota kedua kamar
tersebut berbeda maka lebih besar kemungkinan adanya mayoritas yang berbeda dan
bertentangan.176
Kemudian apabila dikaitkan dengan bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara,
Sartori menyatakan bahwa kemungkinan timbulnya konflik dengan digunakannya sistem
bikameral yang strong atau perfect akan berbeda di negara dengan sistem pemerintahan
presidensil dan sistem pemerintahan parlementer. Penggunaan kedua sistem bikameral
tersebut di negara dengan sistem pemerintahan presidensiil maupun parlementer tidak
akan menimbulkan banyak konflik apabila kedua kamar dikuasai oleh kelompok
mayoritas yang memiliki kesamaan. Perbedaan kelompok mayoritas antar kedua kamar
dapat diatasi dalam sistem pemerintahan presidensiil karena pemerintahan tidak
bergantung pada parlementer dan konflik dalam parlemen tidak terlalu mempengaruhi
jalannya pemerintahan. Perbedaan ini menjadi sangat relevan dan krusial di negara
dengan sistem pemerintahan parlementer karena kabinet yang menjalankan tugas
pemerintahan bergantung pada parlemen. Apabila terjadi perselisihan di dalam parlemen,
dampaknya membahayakan posisi kabinet karena dapat berujung pada dead lock.177


175
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering An Inquiry into Structures,
Incentives and Outcomes, ed. 2, (New York: New York University Press, 1997), hlm. 185.
176
Ibid., hlm. 184.
177
Ibid., hlm. 185-186.

118
3.11 Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat
Demokrasi memiliki arti pemerintahan rakyat, maksudnya adalah pemerintahan dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Di negara demokrasi berarti negara yang
pemerintahannya dijalankan oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat. Rakyatlah yang
paling berkuasa, atau kekuasaan tertinggi di negara demokrasi ada di tangan rakyat.
Rakyat menentukan siapa-siapa wakilnya yang menjalankan roda pemerintahan di negara
tersebut. Dengan kata lain, di negara demokrasi rakyatlah yang paling berkuasa, artinya
rakyat memiliki kekuasaan. Kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh Juniarto
mempunyai arti mampu untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain.178 Hal ini berarti
bila rakyat yang berkuasa maka rakyat itulah yang menentukan kehendaknya, rakyat yang
menentukan kemauan kepada pihak yang dikuasai. Dengan demikian kekuasaan yang
tertinggi yang menentukan kehendak di dalam negara tersebut adalah rakyat. Rakyatlah
yang menentukan jalannya pemerintahan dan rakyat pulalah yang menentukan siapa yang
memerintah negeri ini.
Negara demokrasi Indonesia sejak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di
dalam konstitusinya (UUD 1945) telah dinyatakan bahwa pemegang kedaulatan negara
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, sehingga MPR ini dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Namun dalam perjalanan sejarah bangsa
ini lembaga MPR mengalami reposisi melalui kekuatan politik era reformasi yang pada
intinya bahwa kedaulatan negara dikembalikan kepada rakyat, bukan kepada lembaga
negara seperti MPR sebagai penjelmaan rakyat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 (Perubahan) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

MPR menurut UUD 1945 sebelum perubahan


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai sebuah nama dalam struktur
ketatanegaraan Republik Indonesia sudah ada sejak lahirnya negara ini. Pada awal
disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 MPR memiliki posisi sebagai
lembaga negara tertinggi. Sebagai lembaga negara tertinggi saat itu MPR ditetapkan


178
Juniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm.
11.

119
dalam UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan
rakyat MPR mempunyai wewenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden untuk jangka waktu 5 (lima) tahunan. Oleh karena mempunyai wewenang
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, maka MPR mempunyai
wewenang pula memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sebelum masa jabatannya
berakhir apabila Presiden dan Wakil Presiden dianggap melanggar haluan negara.
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa MPR terdiri atas
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-
golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan Pasal
2 ayat (1) UUD 1945 ini dapat dikatakan bahwa MPR merupakan perluasan dari DPR
setelah ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.179 Menurut Pasal 3 UUD 1945
sebelum perubahan dinyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar dari
pada haluan negara. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUD 1945 sebelum
perubahan tersebut dapat diketahui siapa saja anggota MPR itu dan apa kewenangan MPR
itu, namun dari kedua pasal tersebut belum nampak kedudukan MPR itu sendiri. Hal ini
akan nampak bila dikaitkan dengan ketentuan pasal- pasal UUD 1945 yang lain, antara
lain:
1. Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
MPR dengan suara yang terbanyak.
2. Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan demikian nampak bahwa MPR menurut UUD 1945 sebelum perubahan
merupakan lembaga negara tertinggi dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bahkan Penjelasan UUD 1945 dalam Sistem Pemerintahan Negara angka Romawi III
dinyatakan bahwa “Kekuasaan negara tertinggi ada di tangan MPR.” Kedaulatan rakyat
dipegang oleh badan bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis
ini menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan menetapkan garis-garis besar haluan
negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara
(wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang


179
Ibid., hlm. 46

120
Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah
ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis. Ia adalah ‘mandataris’ dari majelis, ia wajib
menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak ‘neben’, akan tetapi
‘untergeordnet’ kepada Majelis.
Sebagai lembaga negara tertinggi menjadikan kekuasaan MPR berada di atas segala
kekuasaan lembaga-lembaga negara yang ada di negara Republik Indonesia. Hal ini
sebenarnya dapat dipahami, sebab MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat
Republik Indonesia, dan sejak didirikan oleh founding fathers Republik Indonesia
memanglah dikonstruksikan sebagai negara demokrasi, yaitu bahwa negara dimana
kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Kekuasaan rakyat inilah yang dijelmakan MPR.
Oleh karenanya seluruh anggota MPR merupakan wakil-wakil rakyat sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD
1945 sebelum perubahan, MPR sebagai lembaga negara tertinggi menetapkan kebijakan
tentang garis-garis besar dari pada haluan negara, dan melalui garis-garis besar dari pada
haluan negara ini pemerintahan dijalankan.180 Garis-garis besar dari pada haluan negara
merupakan pedoman pemerintah (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan. Jadi
Presiden dalam menjalankan pemerintahan berpedoman pada garis-garis besar haluan
negara yang ditetapkan oleh MPR. Apabila Presiden melanggar garis-garis besar haluan
negara yang ditetapkan oleh MPR, maka Presiden dapat diberhentikan oleh MPR. Hal ini
dianggap wajar sebab Presiden adalah mandataris MPR, maksudnya MPR memberikan
mandat kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahan, bila Presiden melanggar
mandat yang diberikan oleh rakyat maka rakyat dapat memberhentikan Presiden.
Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga yang dilontarkan oleh Ir.
Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945, sebuah keinginan untuk menjelmakan
aspirasi rakyat di dalam bentuk yang berupa perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan
Rakyat.181 Soepomo juga mengemukakan gagasannya yang mendasarkan pada prinsip
musyawarah dengan istilah ”Badan Permusyawaratan” pada dasar Indonesia merdeka.


180
Pasal 3 UUD 1945 sebelum Amandemen: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara”
181
Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm. 69.

121
Indonesia yang akan berdiri tidak bersistem individualisme seperti pada negara-negara
Barat, tetapi berdasar pada kekeluargaan. Kekeluargaan yang dimaksudkan Soepomo
yakni bahwa warganegara merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pemegang
kekuasaan di dalam negara atau dengan istilah “manunggale kawulo gusti.” Warga negara
tidak dalam kedudukan bertanya apa hak saya dengan adanya negara tetapi yang harus
selalu ditanyakan adalah apa kewajiban saya terhadap negara. Dalam konstruksi yang
demikian diharapkan dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi dalam negara
akan diselesaikan atas dasar kebersamaan dan musyawarah antara rakyat dengan
penguasa, dan badan permusyawaratan sebagai wakil-wakil rakyat yang paling berperan
dalam hal ini, sedangkan kepala negara akan senantiasa mengetahui dan merasakan
keadilan rakyat dan cita-cita rakyat.182

MPR menurut UUD 1945 setelah perubahan


Gagasan terhadap perubahan UUD 1945 muncul bersamaan dengan gerakan
reformasi di segala bidang yang menentang rezim pemerintahan Suharto yang dianggap
telah menyimpang dari substansi isi UUD 1945 melalui penafsiran sepihak penguasa.
Dari alasan inilah agar isi UUD 1945 tidak menimbulkan penafsiran yang dapat
digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan seperti masa pemerintahan
Suharto, maka pembenahan terhadap isi UUD 1945 perlu dilakukan. Inilah yang menjadi
salah satu agenda reformasi yaitu melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan
salah satu latar belakang perubahannya adalah meninjau kembali tentang kekuasaan
tertinggi di tangan MPR. Dampak reformasi telah dirasakan terhadap kedudukan lembaga
MPR, dan bahkan ada yang menyatakan sebagai salah satu lompatan besar perubahan
UUD 1945 yaitu restrukturisasi MPR untuk ’memulihkan’ kedaulatan rakyat dengan
mengubah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD.
Dalam perubahan UUD 1945, MPR tetap dipertahankan keberadaannya dan
diposisikan sebagai lembaga negara, namun kedudukannya bukan lagi sebagai lembaga


182
Ibid., hlm. 71-72

122
tertinggi (supreme body) tetapi sebagai lembaga negara yang sejajar posisinya dengan
lembaga-lembaga negara yang lain. Predikat MPR yang selama ini berposisi sebagai
lembaga tertinggi negara telah dihapuskan (die gezamte staatgewalt liegi allein bei der
Majelis). MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat, hal
ini dikarenakan pengalaman sejarah selama Orde Baru lembaga MPR telah terkooptasi
kekuasaan eksekutif Suharto yang amat kuat yang menjadikan MPR hanyalah sebagai
’pengemban stempel’ penguasa dengan berlindung pada hasil pemilihan umum yang
secara rutin setiap 5 tahun sekali telah dilaksanakan dengan bebas, umum dan rahasia.
Dari pengalaman sejarah pemerintahan Orde Baru itulah reposisi MPR perlu dilakukan.
Perubahan mendasar dari MPR yang semula sebagai lembaga yang menjalankan
kedaulatan rakyat menjadi lembaga yang oleh sementara pihak disebut sebagai sebatas
sidang gabungan (joint session) antara anggota DPR dan anggota DPD. Yang perlu
mendapat catatan terhadap posisi MPR setelah perubahan UUD 1945 adalah bahwa
kewenangan MPR menjadi dipersempit, maksudnya MPR hanyalah memiliki satu
kewenangan rutin yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan
umum,183 selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR, seperti memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar (Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 Perubahan), mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan) serta kewenangan insidental lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan.184
Perbedaan kewenangan rutin dengan kewenangan insidental ini adalah bahwa
kewenangan rutin pasti dilaksanakan yaitu setiap 5 (lima) tahun sekali, sedangkan
kewenangan insidental akan dilaksanakan jika terjadi sesuatu hal yakni bila ada keinginan
untuk mengubah UUD ataupun bila terjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti

183
Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 Perubahan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden.(***/****)”.
184
- Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 Perubahan: “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden,
selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan
sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.(***)”
- Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 Perubahan: “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negerti, dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulakn oleh partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya.(****)”

123
melakukan pelanggaran hukum atau sudah tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan reposisi MPR setelah perubahan UUD
1945, MPR sendiri memiliki kedudukan yang tidak jelas apakah sebagai permanent body
(lembaga tetap) atau kah sebagai joint session (lembaga gabungan). Dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) dinyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR
dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini memosisikan bahwa MPR merupakan
gabungan anggota DPR dan anggota DPD (joint session) bukan gabungan lembaga DPR
dan lembaga DPD (bukan terdiri dari dua kamar atau bukan bikameral). Namun menjadi
tidak jelas lagi jika merupakan gabungan anggota DPR dan anggota DPD yang berarti
memiliki kewenangan gabungan dari kewenangan anggota DPR ditambah dengan
kewenangan anggota DPD dan itulah yang seharusnya menjadi kewenangan MPR, tetapi
dalam ketentuan Pasal 3 UUD 1945 (Perubahan) diuraikan bahwa kewenangan MPR
bukanlah gabungan dari kewenangan anggota DPR dan kewenangan anggota DPD. Jadi
merupakan kewenangan tersendiri sebagai lembaga tetap/permanent body.185

3.12 Konsep Dewan Perwakilan Rakyat


Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu lembaga perwakilan rakyat yang dikenal
di Indonesia dan satu-satunya yang dapat dibuktikan oleh sejarah, mampu menjadi bentuk
lembaga perwakilan rakyat yang cocok bagi masyarakat Indonesia. Dalam sejarah
perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bentuk negara dan sistem
pemerintahan mengalami perubahan-perubahan namun konsep Dewan Perwakilan
Rakyat mampu bertahan. Bahkan pada saat bentuk kesatuan negara Indonesia berubah
menjadi federasi, Republik Indonesia Serikat, Dewan Perwakilan Rakyat tidak
tergantikan.
Pembentukan konsep Dewan Perwakilan Rakyat dimulai pada saat Indonesia masih
berstatus sebagai negara jajahan Jepang. Pada saat Batavia jatuh, Jepang datang ke


185
Pasal 3 UUD 1945 Perubahan:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar.(***)
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.(***/****)
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat haya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.(***/****)

124
Indonesia dengan janji kemerdekaan. Oleh karena itu, terbentuklah Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dengan Maklumat Gunseikan Nomor 23
tentang pembentukan badan untuk menyelidiki usaha-usaha kemerdekaan (Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai).186 BPUPK mengadakan rapat-rapat untuk membahas pembentukan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Struktur parlemen mulai dibahas pada sidang
pertama BPUPK tanggal 29 Mei 1945 di mana Muhammad Yamin mengajukan parlemen
sistem bikameral terdiri atas Balai Pertemuan dan Balai Perwakilan Rakyat. Kemudian
pembahasan mengenai parlemen tidak berkembang banyak sampai pada tanggal 11 Juli
1945, Muhammad Yamin kembali mengutarakan pendapatnya untuk membentuk sistem
parlemen bikameral yang terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pada sidang tersebutlah konsep DPR pertama kali dicetuskan. Namun
mengenai cara kerja MPR dan DPR belum begitu jelas ditetapkan dalam sidang tersebut.
Konsep DPR menjadi jelas pada rapat besar tanggal 15 Juli 1945. Soekiman, pada rapat
tersebut, menegaskan bahwa Indonesia menggunakan sistem parlemen sendiri di mana
DPR mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada MPR karena kewenangan DPR
untuk membuat UU biasa sedangkan MPR berwenang untuk membuat UUD. DPR juga
disusun daripada dan oleh MPR sehingga terdapat dua badan yang menjadi mandataris
MPR yaitu DPR dan juga Presiden. Mengenai MPR dikemukakan bahwa anggotanya
dipilih secara langsung.
Pada awal kemerdekaan Indonesia sampai dengan masa Orde Baru, MPR merupakan
lembaga tertinggi. DPR adalah lembaga yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan
juga pengawasan. Namun perlu ditekankan bahwa anggota MPR dapat juga menjadi
anggota DPR dan ketua MPR juga adalah ketua DPR. DPR pada waktu itu menjadi
setingkat dengan Presiden, di mana keduanya berada di bawah dan menjadi bertanggung
jawab kepada MPR. Namun sistem parlemen tersebut yang dikenal sebagai sistem satu-
setengah kamar berubah menjadi sistem trikameral yang berlaku setelah Orde Baru
sampai saat ini.
Dewan Perwakilan Rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diatur
dalam UUD NRI Tahun 1945, dipilih secara langsung oleh warga negara Indonesia


186
Tolchah Mansoer, Pembahasan

125
melalui Pemilihan Umum.187 Berbeda dengan pengaturan sebelumnya, di mana anggota
DPR ditentukan oleh MPR karena DPR menjadi salah satu mandataris MPR. Dengan cara
pemilihan langsung, jelas bahwa ada suatu hubungan antara para wakil dan yang
diwakilinya karena kedudukan yang seorang anggota DPR miliki hanya dapat diperoleh
apabila ia terpilih secara langsung oleh yang diwakilinya. Melalui pemilihan umum
terjadi suatu pemberian kewenangan langsung dari rakyat kepada para anggota DPR.
Kewenangan DPR juga diatur juga dalam UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR
memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Di
samping itu, DPR juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan juga fungsi
pengawasan. Fungsi-fungsi yang dimiliki oleh DPR RI tersebut merupakan fungsi
lembaga perwakilan rakyat seumumnya di seluruh dunia.
Menurut Carl J. Friedrich, sebagai lembaga perwakilan rakyat (representative
assemblies), fungsi utama parlemen adalah fungsi legislasi. Fungsi legislasi dalam arti
sempit, memberikan kewenangan kepada DPR untuk membentuk undang-undang, di
mana setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.188 Selain sebagai lembaga perwakilan rakyat, Friedrich juga
menyampaikan bahwa DPR adalah majelis yang melakukan pembahasan atau
deliberative assemblies, yang memiliki fungsi untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan masyarakat. Dalam fungsi tersebut, parlemen melakukan pengawasan
terhadap fiskal dan administrasi pemerintahan, dan terhadap hubungan luar negeri.
Mengenai fungsi pengawasannya terhadap fiskal, DPR berwenang untuk membahas dan
menyetujui UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pengawasan terhadap
administrasi pemerintahan dilakukan oleh DPR dengan hak-hak yang diberikan
kepadanya oleh UUD. Hak-hak tersebut adalah hak interpelasi, hak angket, hak
menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan
pendapat, dan hak imunitas.189 Kemudian dalam fungsinya mengawasi hubungan dengan
luar negeri, DPR tidak memiliki kewenangan yang cukup luas hanya memberikan


187
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD
NRI Tahun 1945, Ps. 19 ayat (1).
188
Republik Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 20 ayat (2).
189
Republik Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 20A ayat (2) dan (3).

126
persetujuan terhadap pernyataan perang, dan pembuatan perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden.190 Selain itu dalam pengawasan
hubungan luar negeri, DPR juga berhak memberikan pertimbangan tentang pengangkatan
duta dan penempatan duta negara lain191 serta memberikan persetujuan terhadap
perjanjian internasional tertentu yang dilakukan oleh Presiden.192 Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat untuk mewakili rakyat secara
nasional. Pada pelaksanaannya, sistem pemilihan umum anggota DPR berubah-ubah.
Secara umum, sistem yang digunakan adalah sistem proporsional.

3.13 Konsep Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Sebagai negara yang berbentuk kesatuan, para founding fathers telah sepakat untuk
memberikan kekuasaan otonom kepada pemerintah-pemerintah daerah demi efisiensi,
efektivitas dan hasil maksimal pengelolaan negara. Hal tersebut terejawantahkan pada
Pasal 18 UUD 1945 (Naskah Asli). Pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa
Indonesia akan terbagi atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan
pemerintahan yang akan ditetapkan oleh undang-undang. Pembagian daerah tersebut
dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan hak asal-usul
daerah-daerah yang bersifat istimewa.193 Kemudian dalam penjelasan mengenai pasal
tersebut, ditekankan bahwa karena Indonesia berbentuk negara kesatuan, maka tidak akan
ada pemerintahan di bawah pemerintah pusat yang bersifat "staat"194 atau "state"
sebagaimana di negara berbentuk federasi. Daerah-daerah di Indonesia akan terbagi
menjadi provinsi dan daerah provinsi akan dibagi lagi menjadi daerah-daerah yang lebih
kecil yaitu, sekarang, kabupaten dan kota. Daerah-daerah tersebut bersifat otonom atau
administrasi belaka dan di dalamnya akan diadakan badan perwakilan daerah karena di
daerah pun pemerintahan tetap dijalankan atas dasar permusyawaratan.195 “Pemerintahan
di daerah yang dijalankan secara demokratis dengan bersendi atas dasar


190
Republik Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 11 ayat (1).
191
Republik Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 13 ayat (3) dan (4).
192
Republik Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 11 ayat (2).
193
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, UUD 1945, LN No. 75 Tahun 1959, Ps. 18.
194
Republik Indonesia, Penjelasan UUD 1945, Ps. 18.
195
Ibid.

127
permusyawaratan” tersebut menjadi landasan dasar terbentuknya lembaga legislatif di
daerah yang telah berkembang menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).196
Sebelum lembaga legislatif daerah bernama dan berbentuk DPRD, pembentukannya
dahulu di mulai dengan sebutan Komite Nasional Daerah. Komite Nasional Daerah
dibentuk setelah berdirinya Komite Nasional Pusat. Komite Nasional Pusat, sebagaimana
diatur pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan
pembantu Presiden dalam kewenangannya untuk menjalankan tugas MPR, DPR dan DPA
sebelum lembaga-lembaga tersebut dapat dibentuk. Secara lebih pastinya, kedudukan dan
tugas Komite Nasional Pusat ditetapkan dalam rapat PPKI tanggal 23 Agustus 1945 yang
intinya dapat diambil dari pidato Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa Komite
Nasional baik di pusat maupun daerah-daerah merupakan penjelmaan kebutuhan tujuan
cita-cita bangsa Indonesia, untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang
berkedaulatan rakyat. Suatu kesimpulan dari pernyataan tersebut yang dapat ditarik
adalah bahwa Komite Nasional merupakan penjelmaan pemerintahan demokratis.
Kemudian pada tanggal 16 Oktober 1945 keluarlah Maklumat Wakil Presiden No. X yang
memberikan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Pusat karena pada saat itu
dibutuhkan suatu lembaga lain untuk bertanggung jawab terhadap nasib Indonesia selain
Pemerintah. Komite Nasional Pusat, sebagaimana dimaksud dalam Maklumat tersebut
selain memiliki kekuasaan legislatif, juga ikut menetapkan garis-garis besar haluan
negara sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat.197 Melalui Pasal Aturan Peralihan dan Maklumat Wakil Presiden No. X, dapat
disimpulkan bahwa Komite Nasional Pusat pada waktu itu dianggap dan berfungsi
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat.
Perkembangan Komite Nasional Daerah terjadi sebelum Maklumat Wakil Presiden
No. X yang memberikan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional. Pada tanggal 19
Agustus 1945, pembentukan Komite Nasional Daerah ditetapkan dan tugasnya adalah
untuk membantu gubernur dan residen.198 Dengan Maklumat Wakil Presiden No. X
tersebut, kedudukan dan tugas Komite Nasional Daerah pun berubah. Pada tanggal 20


196
B.N. Marbun, DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, ed. revisi (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 7.
197
Ibid., hlm. 11.
198
Ibid., hlm. 12.

128
Oktober 1945, Badan Komite Nasional Pusat menetapkan penjelasan mengenai
kedudukan, kewajiban dan kekuasaan badan pekerja yang secara garis besar berisi:
1. Turut menetapkan GBHN bersama-sama dengan Presiden namun tidak ikut
campur terhadap kebijakan Presiden sehari-hari;
2. Menetapkan, bersama-sama dengan Presiden, undang-undang yang boleh
mengenai segala urusan pemerintahan. Namun yang menjalankan undang-undang
tetap Presiden dengan bantuan menteri-menteri dan pegawai-pegawai di
bawahnya. Komite Nasional tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenaan
dengan tindakan pemerintah.
Dengan kedudukan yang demikian, maka kedudukan Komite Nasional Pusat adalah
sebagai pembantu Presiden. Komite Nasional Daerah mengikuti perubahan pada pusatnya
dan oleh karena itu juga menjadi pembantu pemerintah, namun di tingkat daerah. Seiring
berjalannya waktu, pengaturan mengenai kedudukan legislatif daerah telah berubah-ubah
dengan penetapan berbagai undang-undang. Contohnya Undang-Undang No. 1 Tahun
1945 tentang Komite Nasional Daerah yang mengubah kedudukannya menjadi badan
legislatif dan bahwa ia diadakan di keresidenan, kota otonom, kabupaten dan lain-lain
daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.199 Terlebih lagi, Pasal 2 UU
tersebut juga mengubah nama Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Badan Perwakilan Rakyat Daerah ini dipimpin oleh Kepala Daerah dan
bersama dengannya melaksanakan tugas rumah tangga daerah.200 Dengan diubahnya
peran Komite Nasional Daerah menjadi badan legislatif, maka selanjutnya badan tersebut
hanya memiliki tugas untuk membuat peraturan daerah dan tidak lagi mengurus soal
pemerintahan sehari-hari sebagaimana dulu sebagai pembantu Kepala Daerah. Urusan
yang dapat diatur dalam peraturan daerah, menurut isi Berita Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Pembatasan jumlah uang yang dapat dibawa seseorang ke dalam suatu daerah;
2. Pendaftaran perusahaan-perusahaan;
3. Pendaftaran partai-partai dan perkumpulan-perkumpulan lainnya;
4. Pendaftaran bagi orang-orang yang berasal dari daerah lain;


199
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Komite Nasional Daerah, UU No. 1 Tahun 1945,
Ps. 1.
200
Ibid., Ps. 2.

129
5. Kewajiban lapor bagi para peninjau yang datang dari luar daerah;
6. Larangan mengangkut barang-barang rumah tangga ke luar daerah;
7. Pendaftaran tenaga ahli;
8. Pendaftaran koperasi;
9. Larangan mengeluarkan dari daerah dan menimbun bahan-bahan penting;
10.Larangan spekulasi perdagangan kapas;
11.Pengawasan terhadap kematian dan sebab-sebabnya;
12.Pengumpulan dana dan ketetapan harga palawija; dan
13.Susunan dan prosedur pemilihan Komite Nasional Daerah.201
Melalui pengaturan tersebut, dapat dilihat bahwa kewenangan Badan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagai badan legislatif juga terbatas pada lingkup kewenangan yang
diberikan kepadanya oleh pemerintah pusat. Badan legislatif daerah berubah lagi dengan
Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini
memberi penjelasan dan kepastian yang lebih tentang pemerintahan daerah termasuk
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hak dan kewenangan yang dimiliki oleh DPRD di
dalam UU tersebut, cukup luas yang kurang lebih mencakupi kewenangan untuk
mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah kepada pemerintah pusat, kewenangan
untuk menjadi atasan Dewan Pemerintah (eksekutif) dan Kepala Daerah dan lain-lain.
Namun UU tersebut tidak berlangsung lama karena perubahan konstitusi dan bentuk
negara. Setelah berhasil melewati permasalahan tersebut, berlaku kembali UUD 1945 di
Indonesia dan lahirlah UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah.
Undang-undang tersebut memperkenalkan sistem otonomi riil di Indonesia. Menurut
penjelasan UU tersebut, sistem otonomi riil adalah suatu sistem ketatanegaraan dalam
penyelenggaraan desentralisasi yang berdasarkan keadaan dan faktor-faktor yang nyata,
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang nyata dari daerah-daerah.202 Ide ini
diciptakan oleh Mr. Kuntjoro Purbopranoto yang berpendapat bahwa otonomi yang
dilimpahkan harus berupa otonomi riil, digantungkan pada kepentingan dan kemampuan
(dalam arti kecakapan dan tenaga manusia) sehingga terdapat keseimbangan yang sehat
antara fungsi dan kemampuan.203

201
B.N. Marbun, DPRD, ed. revisi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 20.
202
Republik Indonesia, Penjelasan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah,
Penjelasan UU No. 1 Tahun 1957, Ps. 31 ayat (3).
203
B.N. Marbun, DPRD, ed. revisi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 26.

130
Saat ini, mengenai hak dan wewenang DPRD diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU tersebut mengatur bahwa DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum
yang dipilih melalui pemilihan umum204 dan bahwa DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang memiliki kedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.205 Fungsi yang
dimiliki DPRD juga telah berubah di mana sekarang fungsinya adalah di bidang legislasi,
anggaran dan pengawasan,206 sebagaimana fungsi DPR.
Perbedaan antara DPR dan DPRD terletak pada sesungguhnya kekuasaan apa yang
dimilikinya. DPR memiliki kekuasaan legislatif yang tidak perlu dipertanyakan. Namun
kekuasaan legislatif yang dimiliki DPRD patut dipertanyakan karena DPRD tidak
memiliki wewenang untuk menghasilkan norma-norma baru sebagaimana wewenang
yang dimiliki lembaga perwakilan rakyat daerah di negara federasi. DPRD dapat
menciptakan peraturan-peraturan namun peraturan tersebut merupakan bagian dari
penyelenggaraan pemerintahan eksekutif. DPRD hanya membuat peraturan-peraturan di
bawah undang-undang bahkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang
mengatasinya. Peraturan-peraturan daerah yang diciptakan tidak dapat bertentangan
dengan peraturan di atasnya, sehingga DPRD tidak berwenang untuk menciptakan
“hukum”. Bila dilihat kewenangannya dari segi tersebut, DPRD sebenarnya memiliki
kekuasaan eksekutif, sebagai pembantu pemerintah.
Fungsi-fungsi DPRD sebelum era Reformasi, saat berlakunya UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
adalah fungsi memilih dan menyeleksi, pengendalian dan pengawasan, pembuatan
peraturan daerah, debat, dan representasi. Di antara fungsi-fungsi tersebut, fungsi debat
merupakan suatu fungsi yang sangat menarik dan menentukan standar anggota DPRD.
Fungsi debat menuntut standar tertentu dari para anggota DPRD. Menurut B.N. Marbun,


204
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 17 Tahun
2014, LN No. 182 Tahun 2014, TLN No. 5568 Tahun 2014, Ps. 314 dan 363.
205
Ibid., Ps. 315 dan 364.
206
Ibid., Ps. 316 dan 365.

131
seseorang hanya mungkin berdebat secara produktif apabila memenuhi persyaratan yang
antara lain adalah:
1. kematangan berpikir;
2. latar belakang pendidikan yang memadai;
3. kemampuan berpikir logis dan konseptual;
4. penguasaan teori dan praktek yang memadai;
5. kemampuan berbicara secara komunikatif; dan
6. menguasai teknik berdebat yang positif.207
Kemampuan-kemampuan tersebut dibutuhkan oleh setiap anggota DPRD untuk dapat
menjalankan fungsi debat dengan baik dan dengan demikian menjalankan fungsi
pembuatan peraturan daerah serta fungsi lain selayaknya. Perdebatan menjadi penting
karena bila dikaji lebih dalam, kesempatan untuk berdebat akan menghasilkan pikiran-
pikiran matang, mendalam, dan asli atau bahkan inovatif. Tidak mudah untuk melakukan
perdebatan yang dapat menghasilkan pemikiran demikian, oleh karena itu setiap anggota
DPRD dituntut untuk memiliki kemampuan-kemampuan tersebut. Dengan anggota-
anggota yang memiliki kemampuan secara intelektual, produk-produk DPRD menjadi
hasil argumen yang nyata demi kesejahteraan masyarakat yang diwakilinya.208 Debat-
debat yang positif tersebut, baik antar anggota DPRD atau antara anggota DPRD dengan
pihak eksekutif, akan merefleksikan kemampuan, integritas, dan rasa tanggung jawab
nasionalis setiap anggota DPRD sehingga dapat dilihat bahwa DPRD merupakan lembaga
yang hidup dan dinamis.209 Inti sari dari pemilihan secara langsung dan pembentukan
suatu lembaga yang mewakili rakyat sebenarnya ada di sini. Lembaga perwakilan rakyat
daerah dipilih secara langsung oleh rakyat karena lembaga ini ada sebagai organ yang
menyuarakan aspirasi rakyat. Dalam memilih wakilnya, rakyat harus mengetahui bahwa
wakil tersebut dapat melakukan kuasa yang diberikan kepadanya dengan baik, serta
dengan itikad baik untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat yang diwakilinya.
Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian, masyarakat tidak mengenal wakilnya
dan wakilnya tidak cukup peka untuk mencari tahu aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Untuk itu, kiranya suatu hubungan masyarakat DPRD perlu dijalankan. Dengan mengutip


207
Ibid., hlm. 90.
208
Ibid.
209
Ibid., hlm. 91.

132
langsung B.N. Marbun, “banyak anggota DPRD yang lupa bahwa setiap diri mereka
masing-masing sebenarnya adalah dan haruslah bertindak sebagai Humas DPRD.”210

3.14 Konsep Dewan Perwakilan Daerah


DPD merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya pada penekanan posisi anggota DPD
sebagai wakil dan representasi daerah (provinsi). Pembentukan DPD sebagai salah satu
institusi negara bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah
untuk ikut mengambil kebijakan dalam tingkat nasional, khususnya yang terkait dengan
kepentingan daerah.211 Pembuatan lembaga DPD semula dimaksudkan dalam rangka
mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dengan struktur bikameral itu
diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang
memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan
dengan basis sosial yang lebih luas. Dewan Perwakilan Rakyat merupakan cermin
representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip
representasi teritorial atau regional (regional representation).212
Untuk optimalisasi fungsi DPD dalam membawakan misi daerah-daerah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan penguatan-penguatan tertentu, yaitu sebagai
lembaga negara yang memiliki kewenangan salah satu kamar di MPR, keberadaan dan
eksistensi kelembagaan harus jelas, bukan sebagai bagian dari organ DPR, sebagaimana
dikatakan oleh Bagir Manan bahwa ondergesclikt terhadap DPR. Dengan demikian
posisi DPD mutlak dan sejajar dengan DPR. Sistem dua kamar (bikameral) dalam
lembaga perwakilan rakyat efektivitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan
antar-kamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen. Perimbangan dalam fungsi legislasi
menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Bagaimanapun,
dengan perimbangan itu, terutama dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk
melaksanakan checks and balances antar kamar di lembaga perwakilan rakyat.


210
Ibid., hlm. 117.
211
Arifin, Firmansyah, et.al., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005), hlm. 75.
212
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 140.

133
Pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat
menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan
pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini
semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu
memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.213
Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk
adanya dua dewan dalam satu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-
undang yang melalui dua dewan antar kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis
Rendah.214 Dari segi produktivitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan
lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar
tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.215 Berdasarkan penjelasan-
penjelasan tersebut di atas, maka sudah sepantasnya diadakannya penguatan terhadap
lembaga DPD dalam menjalankan fungsi kekuasaan legislatif yang bersentuhan langsung
dengan daerah. Yakni yang meliputi otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran serta penggabungan daerah, perimbangan keuangan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.

3.15 Sistem Presidensial


Sejarah Sistem Presidensial
Sebelum MPR mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, MPR membentuk Badan
Pekerja MPR yang mempunyai tugas mempersiapkan rancangan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Badan Pekerja MPR ini kemudian membentuk
Panitia Ad Hoc III (pada masa sidang tahun 1999) dan Panitia Ad Hoc I (pada masa
sidang 1999-2000, tahun 2000-2001, tahun 2001-2002, dan tahun 2002-2003). Dalam
prosesnya, Panitia Ad Hoc I menyusun kesepakatan dasar yang berkaitan dengan


213
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, dalam: Saldi Isra, “Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat:
Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Konstitusi Vol. 1 (2004), hlm
119
214
Suyoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, dalam:
Saldi Isra, Ibid
215
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Perumusan dan Undang-Undang
Pelaksanaanya, (Karawang: Penerbit UNSIKA, 1993), hlm. 2-3.

134
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
digunakan sebagai acuan dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945 hingga saat
ini. Terdapat lima butir kesepakatan yang dirumuskan, yaitu:216
1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
4. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).
5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
Salah satu yang menjadi tujuan utama dalam melakukan amandemen terhadap UUD
1945 adalah penegasan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini dimaksudkan untuk
memperkuat sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis. Sistem pemerintahan
presidensial telah dipilih oleh para founding father sebagai sistem pemerintahan
Indonesia karena dianggap paling sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu,
amandemen UUD 1945 dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
penyelenggaraan negara agar lebih demokratis dan berjalan dengan baik.

Konsep Sistem Pemerintahan Presidensial


Sebagaimana dikatakan Kranenburg dalam Joeniarto bahwa, demokrasi modern dapat
dibagai dalam tiga kelas, tergantung pada hubungan antara organ-organ pemerintahan
yang mewakili tiga fungsi yang berbeda. Klasifikasi tersebut yaitu:
1. Pemerintahan rakyat melalui perwakilan dengan sistem parlementer.
2. Pemerintahan rakyat melalui perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan.
3. Pemerintahan rakyat melalui perwakilan dengan disertai pengawasan langsung
oleh rakyat.217
Sedangkan Miriam Budiardjo membedakan kedua sistem ini kedalam dua kelompok,
yaitu: Sistem parlementer (parliamentary executive) dan sistem presidensil dengan fixed


216
Faridah T, Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
http://www.lpmpsulsel.net/v2/attachments/131_Amandemen%20UUD%201945.pdf, (diakses 11 maret
2018)
217
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1982),
hlm. 69.

135
executive atau non parliamentary executive. Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam
konteks Indonesia, salah satu kesepakatan dalam pelaksanaan amandemen UUD 1945
adalah tetap mempertahankan sistem presidensiil, sekaligus menyempurnakan agar betul-
betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil.218 Sistem Presidensiil murni sebagai
model pemerintahan Amerika Serikat pada hakikatnya mempunyai ciri-ciri yaitu:
1. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal.
2. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab di samping
berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif yang lazim melekat
pada jabatan kepala negara (head of state).
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (kongres),
karena itu tidak dapat dikenai mosi tidak percaya.
4. Presiden tidak dipilih dan tidak diangkat oleh kongres, dalam praktik langsung
oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih badan pemilih (electoral college).
5. Presiden memangku jabatan empat tahun (fixed), dan hanya dapat dipilih untuk
dua kali masa jabatan berturut-turut (8 tahun). Dalam hal mengganti jabatan
Presiden yang berhalangan tetap, jabatan tersebut paling lama 10 tahun berturut-
turut.
6. Presiden dapat diberhentikan dari jabatan melalui “impeachment” karena alasan
tersangkut melakukan pengkhianatan, menerima suap, atau melakukan kejahatan
yang serius
Menurut Bagir Manan, sistem presidensiil di Indonesia sebelum amandemen UUD
1945, mempunyai ciri-ciri yang hampir mirip dengan sistem di Amerika Serikat dengan
beberapa ciri khusus, yaitu:219
1. Presiden RI dipilih oleh badan perwakilan rakyat (MPR).
2. Presiden RI tunduk dan bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat
(MPR), tetapi tidak tunduk dan bertanggung jawab kepada DPR. Selain itu,
Presiden RI dapat diberhentikan oleh MPR.
3. Presiden RI dapat dipilih kembali tanpa batas setiap 5 tahun sekali.


218
Jimly Asshiddiqie, 2005, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional, (Jakarta: Mahkamah Konsitusi RI, 2005), hlm. 10.
219
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 41.

136
4. Presiden RI bersama-sama DPR menjalankan kekuasaan membentuk undang-
undang
Meskipun demikian, sistem Presidensiil Pemerintahan RI berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945 pra-amandemen sifatnya tidak murni. Hal ini disebabkan sistem
tersebut bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu
antara lain tercermin dalam konsep pertanggungjawaban presiden kepada MPR yang
termasuk ke dalam pengertian lembaga parlemen, dengan kemungkinan pemberian
kewenangan kepadanya untuk memberhentikan Presiden dari jabatanya, meskipun bukan
karena alasan hukum. Dalam sistem presidensiil dapat disimpulkan beberapa kewenangan
Presiden yang biasa dirumuskan dalam UUD berbagai negara, yang mencakup lingkup
kewenangan sebagai berikut:220
1. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan pemerintahan
berdasarkan UUD (to govern based on the constitution). Bahkan dalam sistem
yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh presiden
haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sehingga kecenderungan discretionary power dibatasi sesempit
mungkin wilayahnya.
2. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau
publik (to regulate public affair based on the law and the constitution). Dalam
sistem pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur
ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika
lembaga eksekutif merasa perlu mengatur, maka kewenangan mengatur di tangan
eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak
boleh menetapkan suatu peraturan yang bersifat mandiri.
3. Kewenangan yang bersifat yudisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait
dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan
pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan
kewenangan pengadilan. Dalam sistem parlementer yang mempunyai kepala
negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada


220
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), hlm. 75-77.

137
di tangan kepala negara. Tetapi dalam sistem presidensiil, kewenangan untuk
memberikan grasi, abolisi dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.
4. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan
negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar
negeri, baik dalam keadaan perang dan damai.
5. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan
orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara.
Hal ini disebabkan pula karena presiden juga merupakan kepala eksekutif.
6. Kewenangan dalam bidang keamanan, yakni untuk mengatur polisi dan angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam
negeri.221

Sistem Presidensil di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945


Beberapa kondisi yang menandakan dianutnya sistem presidensiil di Indonesia,
yaitu:222
1. Digunakannya istilah ‘Presiden’ sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala
negara. Tidak dikenal adanya pemisahan dua fungsi tersebut, sebagaimana
lazimnya dalam budaya demokrasi parlementer.223
2. Dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan, sebagaimana dilihat dalam Pasal 1 ayat
(2), kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini
menandakan, tidak ada satu lembaga pun yang lebih tinggi dari lembaga lainnya.


221
Miriam Budardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm.
297.
222
Dinoroy Marganda Aritonang, Penerapan Sistem Presidensil di Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Mimbar Hukum, Volume 22 (juni 2010), hlm. 396.
223
Terhadap hal ini, Jimly berpendapat, dalam sistem presidensil saat ini tidak perlu ada lagi
pembedaan terhadap kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebab sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan negara didalamnya terkandung status kepala negara (head of state)
sekaligus kepala pemerintahan (head of government) yang menyatu dan tidak terpisahkan. Namun jika
dipandang dari paham negara hukum, dan prinsip rule of law, dapat dikatakan secara simbolik, yang
dinamakan kepala negara dalam sistem presidensil itu adalah konstitusi. Dengan kata lain, kepala negara
dari negara konstitusional Indonesia adalah UUD. Presiden dan wapres cukup disebut sebagai presiden dan
wapres saja, tidak perlu membedakan kapan berperan sebagai kepala pemerintahan dan kapan berperan
sebagai kepala negara seperti dalam kebiasaan sistem parlementer. Dalam sistem kenegaraan constitutional
democratic republic, kedudukan konstitusi pada dasarnya merupkan Kepala Negara yang sesungguhnya.
Lihat Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, http://www.jimly.com,
www.jimly.com/pemikiran/getbuku/9, diakses pada tanggal 11 maret 2018.

138
Semua lembaga negara yang termasuk main organ berada dalam kedudukan yang
setara dengan fungi masing-masing.
3. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan menggunakan sistem pemilihan
langsung oleh rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A. Format pemilihan
umum yang terpisah antara pemilu legislatif dan Presiden dan Wapres turut
menandakan dianutnya sistem presidensiil. Sebab, jika pada pemilu legislatif
salah satu partai menguasai kursi parlemen (meskipun tidak mayoritas), tidak
otomatis menjadikan pemimpin partai tersebut menjadi seorang kepala
pemerintahan. Sebagaimana lazimnya dalam budaya demokrasi parlementer.
4. Kewenangan Presiden dalam legislasi yang hanya menjadi pengusul sebuah RUU
kepada DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1). Hal ini berbeda dengan
format kewenangan legislasi yang sebelumnya diatur dalam UUD 1945 pra-
amandemen, di mana kekuasaan legislasi pada dasarnya berada di tangan
Presiden.
5. Pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Presiden
tanpa perlu mekanisme persetujuan dari DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 17
ayat (2). Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintahan sepenuhnya berada di
tangan Presiden.
6. Penggunaan “fixed tenure of office” untuk Presiden dan Wakil Presiden yaitu 5
(lima) tahun. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7.
7. Lama jabatan tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 3 ayat (3), yang menyatakan
bahwa, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut UUD. Yang tidak lain adalah mekanisme
impeachment, sebagaimana diatur pula dalam Pasal 7A.
8. Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu tetapi langsung
kepada rakyat pemilihnya. Sebagai konsekuensi legal dan politis dari dianutnya
sistem pemilihan secara langsung bagi Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun
secara praktek, Presiden pada setiap akhir tahun tetap membacakan laporan
kinerja di hadapan DPR. Namun hal itu bukan merupakan mekanisme
pertanggungjawaban sebagaimana eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen
dalam sistem parlementer.

139
Negara demokrasi seperti Indonesia tentu saja menjunjung tinggi penyaluran aspirasi
masyarakat dalam jalannya kehidupan bernegara. Karena hal itulah inti dari demokrasi,
dari, oleh dan untuk rakyat itu sendiri. Salah satu bentuk penyaluran aspirasi rakyat adalah
melalui partai politik. Dalam perjalanan sejarah, banyak sekali peran partai politik dalam
membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Seiring berjalannya waktu, partai
politik pun bertambah. Di satu sisi, ada yang mensyukuri banyaknya partai politik karena
mengindikasikan penyaluran aspirasi berjalan dengan lancar. Namun ada pula yang
menolak dengan alasan bahwa semakin banyaknya partai politik maka semakin banyak
pendapat yang berbeda sehingga menghambat jalannya pemerintahan.
Di negara yang bersifat heterogen seperti Indonesia, multipartai merupakan
konsekuensi logis akibat banyaknya pendapat yang ada. Banyaknya partai yang ada
seharusnya tidak perlu dipikirkan. Pembatasannya pun hanya akan memotong hak
konstitusional masyarakat untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Yang perlu
dibenahi adalah bagaimana mengelola multipartai itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu
pengaturan ulang mengenai mekanisme pengambilan suara di parlemen agar
pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

140
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Integrasi Rezim Pemilu


Diskursus mengenai Pilkada yang masuk dalam rezim Pemilihan Umum atau tidak
bermula pada pengalihan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari
Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi yang seharusnya hanya diberikan
kewenangan konstitusional berupa penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum,
bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-73/PUU-II/2004, yang mana
dalam halaman 114 angka 6 putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan
antara lain, sebagai berikut, "Sebagai akibat logis dari pendapat Para Pemohon yang
menyatakan bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 maka
perselisihan mengenai hasil pemilu, menurut Para Pemohon harus diputus oleh
Mahkamah Konstitusi. Tentang permohonan Para Pemohon untuk menyatakan Pasal
106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) sebagai bertentangan dengan UUD 1945,
Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat
saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945, sehingga oleh karena itu,
perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi
dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang
juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal
yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan
sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal
24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang."”
Meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut di atas Mahkamah tidak secara tegas
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung termasuk dalam kategori
pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, namun
Mahkamah memberi ruang kepada pembentuk Undang-Undang untuk memperluas

141
makna pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 dengan
memasukkan pemilihan kepala daerah. Pun dalam putusan Mahkamah tersebut, terdapat
tiga hakim konstitusi yaitu H. M. Laica Marzuki, A. Mukthie Fadjar dan Maruarar
Siahaan yang memberikan dissenting opinion yang memasukkan pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat sebagai bagian dari rezim hukum pemilihan umum.
Berdasarkan putusan Mahkamah itulah kemudian pembentuk Undang-Undang melalui
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
memasukkan pemilihan kepala daerah dalam rezim pemilihan umum, kemudian
mengalihkan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke
Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009
menambahkan satu kewenangan lain dari Mahkamah Konstitusi yaitu menyelesaikan
perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Namun walaupun Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang kebebasan bagi
pembentuk Undang-Undang untuk memasukkan atau tidak memasukkan pemilihan
kepala daerah sebagai bagian dari rezim pemilihan umum berdasarkan putusan
Mahkamah tersebut di atas, akan tetapi Mahkamah Konstitusi kemudian
mempertimbangkan kembali segala aspek yang terkait dengan pemilihan kepala daerah
dari segi original intent, makna teks, dan sistematika pengaturannya dalam UUD 1945,
maupun perkembangan putusan Mahkamah dalam rangka membangun sistem yang
konsisten sesuai dengan UUD 1945. Hal ini menjadi sangat penting mengingat ketentuan
mengenai lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945 dan kewenangannya
masing-masing harus secara rigid mengikuti norma konstitusi. Dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, Mahkamah antara lain mempertimbangkan
sebagai berikut:
“Selain itu dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut
hubungan antar lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD
1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga
tersebut. Dalam hal Mahkamah terpaksa harus melakukan penafsiran atas
ketentuan yang mengatur sebuah lembaga negara, maka Mahkamah harus
menerapkan penafsiran original intent, tekstual, dan gramatikal yang
komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas

142
tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang kewenangan lembaga
negara yang ditetapkan oleh UUD 1945."
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalam memahami
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
harus kembali melihat makna teks, original intent, makna gramatikal yang komprehensif
terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas,
pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945, harus dimaknai secara limitatif yaitu
pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DRPD, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Makna
tersebut dipegang teguh dalam Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 antara lain,
"Apabila diteliti lebih lanjut, makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan
UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Presiden adalah
dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Pada bagian lain,
putusan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 22 ayat (2) UUD 1945
yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu
tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.”
Berdasarkan putusan tersebut yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun
sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD,
serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali. Dengan
demikian jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan
umum, akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali
karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan
waktu yang berbeda-beda.224 Hubungan antara sistem pemilu, kepartaian dan demokrasi
presidensial sangat erat satu sama lain. Hubungan itu antara lain terlihat dari: pertama,
apakah pemilu menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen atau minimal
menumbuhkan bentuk koalisi yang lebih stabil dalam melahirkan sistem presidensial
yang kuat dan efisien. Kedua, apakah sistem pemilu—dalam ruang bikameral (DPR dan


224
Mahkamah Konstitusi, “Bukan Kewenangan Konstitusional”,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12810#.Wq__
WqhubIU

143
DPD) semakin memperkokoh bangunan demokrasi presidensial. Ketiga, apakah hasil
pemilu melahirkan perwakilan politik yang mendorong stabilitas politik dalam upaya
checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Keempat, apakah partai sebagai salah
satu pilar utama demokrasi presidensial bekerja dan berperan dalam kerangka sistem
kepartaian—dalam berkompetisi dan bekerja sama—dalam ruang sistem presidensial,
yang didalamnya terdapat proses intermediasi yang menghubungkan antara pembilahan
sosial dan pemerintahan, masyarakat dan negara, serta dalam proses-proses distribusi
kekuasaan negara. Namun secara hakikat dan ideal menurut Prof. Topo Santoso,
pemilihan kepala daerah pun merupakan bagian dari rezim pemilu.225 Hal ini akan secara
efektif berimplikasi pada penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui badan
peradilan pemilihan umum yakni Mahkamah Pemilu yang dicanangkan Tim Perumus.

4.2 Sistem Pemilu


Landasan mengenai pemilihan umum di Indonesia dapat ditemukan secara tersirat
dalam Pembukaan UUD 1945 khususnya paragraf keempat yang berisikan Pancasila. Sila
keempat berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan." Sila tersebutlah yang memberikan dasar demokratis
berasaskan pancasila terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Ketentuan
konstitutional dalam Pancasila, Pembukaan dan juga Batang UUD 1945 mengisyaratkan
proses atau mekanisme kegiatan nasional dengan siklus 5 tahunan. Salah satu mekanisme
kegiatan nasional atau program nasional adalah Pemilu yang harus dilaksanakan tiap 5
tahun, betapapun mahalnya harga Pemilu itu.226
Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, ketentuan mengenai pemilu
hanya diatur dan dapat dikembangan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Pasal 7 UUD 1945,
Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 dan Pasal 19 UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnay oleh MPR. Syarat kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum. Kemudian
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Penjelasan Pasal 3



          
226
Sri Soemantri M., "Sistem Pemilu dalam Ketatanegaraan Indonesia," dalam Majalah
PERSAHI, No. Ketiga, Januari 1990.

144
UUD 1945 menyatakan bahwa sekali dalam lima tahun Majelis memperhatikan segala
hal yang terjadi. Dari Pasal 7 dan Pasal 3 UUD 1945 dapat dikembangkan bahwa
pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Lalu Pasal 19 UUD
1945 menetapkan bahwa susuan DPR ditetapkan dengan undang-undang dan undang-
undang yang dimaksud di sini berarti mengatur pemilihan umum.
Setelah dilakukannya Perubahan UUD 1945 oleh MPR pada Sidang Tahunan
2001, masalah pemilihan umum mulai diatur secara tegas dalam UUD 1945 Bab VIIB
tentang Pemilu. Pasal 22E menetapkan sebagai berikut:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.227
Ketentuan-ketentuan mengenai pemilihan umum tersebut diperjelas lagi dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009. Putusan MK tersebut menyatakan
ketentuan UUD 1945 memberikan rambu-rambu mengenai Pemilu yang meliputi:
a) Pemilu dilaksanakan secara periodik lima tahun sekali;
b) Pemilu menganut asas luber dan jurdil;
c) Tujuan Pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD,
serta Presiden dan Wakil Presiden;
d) Peserta Pemilu meliputi partai politik dan perseorangan;
e) Tentang penyelenggara Pemilu.


227
Republik Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 22E.

145
Selain itu, Putusan MK tersebut juga menyatakan bahwa hal-hal lain seperti yang terkait
dengan sistem Pemilu, daerah pemilihan, syarat peserta, dan sebagainya didelegasikan
kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan kebijakan hukum. Kebijakan
hukum (legal policy) tersebut dapat dibuat sepanjang tidak bertentangan atau
menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, persamaan, keadilan, dan nondiskriminasi
sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. 228
Selain dalam Pasal 22E, ketentuan mengenai Pemilihan Umum juga diatur dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengenai pemilihan kepala daerah. Pasal tersebut
menegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.229 Adanya
ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memberi
landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu metode pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan yang ditetapkan melalui Undang-undang
Dasar tentu penyelenggaran pemilu secara teratur reguler yaitu per lima tahun, proses dan
mekanisme serta kualitas penyelenggaran pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil dapat terjamin.
Di Indonesia seringkali orang mencampuradukkan antara electoral laws dengan
electoral processes. Di ilmu politik, yang disebut dengan electoral laws adalah "those
which govern the processes by which electoral preferences are articulated as votes and
by which these votes are translates into distribution of governmental authority (typically
parliamentary seats) among the competing political parties."230 Dapat diartikan dari
kutipan tersebut bahwa electoral laws adalah sistem pemilihan dan aturan yang menata
bagaimana Pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihan umum. Sedangkan electoral
process adalah mekanisme yang dijalankan di dalam pemilihan umum, seperti
mekanisme penentuan calon, dan cara melakukan kampanye. Menurut Affan Gafar,
sistem pemilihan tidak mempunyai kaitan dengan sistem kepartaian di Indonesia. Proses
dan mekanisme pemilihanlah yang mempengaruhi dan membawa konsekuensi terhadap


228
Janedri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konpress, 2012), hlm. 26.
229
Republik Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ps. 18 ayat (4).
230
Affan Gafar, "Sistem Pemilihan Umum di Indonesia Beberapa Catatan Kritis," dalam Dahlan
Thaid dan Ni'matul Huda (ed.), Pemilu dan Lembaga Perwakilan dalam Ketatanegaraan Indonesia,
(Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII, 1992), hlm. 31.

146
sistem kepartaian. Gafar memiliki dua alasan yang mendasari pendapat tersebut yaitu
pertama, sejak tahun 1973 Indonesia sudah menganut sistem tiga partai yang merupakan
hasil reformasi sistem kepartaian yang dibuat oleh pemerintah, bukan suatu kejadian yang
terjadi secara alamiah. Akibatnya karena adanya peraturan tersebut, maka sudah tidak
mungkin untuk membentuk partai politik yang baru kecuali apabila undang-undangnya
diubah. Kedua adalah mekanisme dan proses pemilihan umum yang tidak kompetitif telah
berhasil membuat hegemoni partai politik. Proses pemilihan umum tersebut mencakup
rekrutmen calon-calon yang tidak terbuka teutama untuk partai-partai politik yang non-
pemerintah. Dalam proses rekrutmen, partai yang non-pemerintah tidak memiliki
kebebasan untuk menampilkan calon-calon yang mempunyai kualitas tinggi dengan
kharisma tinggi sehingga mampu menarik dukungan massa yang diharapkan dan
dibutuhkan. Hal tersebut terjadai karena besarnya peran Lembaga Pemilihan Umum dan
Kopkamtib dalam menyaring calon-calon yang diajukan oleh suatu partai.
Setelah adanya perubahan situasi politik ke arah Reformasi mulai pada tahun
1998, dilaksanakanlah pemilu pada tahun 1999 yang disiapkan dalam waktu singkat,
terlaksana relatif secara bebas, jujur dan adil apabila dibandingkan dengan pelaksanaan
Pemilu pada rezim Orde Baru. Walaupun demikian, Pemilu pada tahun 1999 tersebut
meruapakn pancangan awal menuju terbentuknya tatanan politik baru yang demokratis;
tatanan politik yang mampu menjamin pemenuhan hak-hak politik rakyat sebagai suatu
pencerminan prinsip kedaulatan rakyat.
Pemilihan umum 1999 hanya langkah awal dan belum mampu menjadi sarana
partisipasi politik rakyat. Pemilu harusnya merupakan aktualisasi nyata demokrasi di
mana rakyat bisa menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintahan. Melalui
Pemilu ini rakyat menentukan siapa yang menjalankan dan mengawasi jalannya
pemerintahan negara. Rakyat memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-
wakilnya di sini. Permasalahannya pada Pemilu 1999 hanya karena persiapan perangkat
undang-undangnya masih memihak status quo dan tidak mencerminkan amanat
reformasi. Pemilu tersebut disiapkan secara tergesa-gesa sehingga tidak memberi
kesempatan kepada partai politik untuk melakukan sosialisasi program kepada
masyarakat luas. Perangkat perundang-undangan yang disiapkan masih banyak
kepentingan partai Orde Baru.
Mengenai sistem pengisian anggota badan perwakilan, secara teoritis cara yang

147
biasa dianut adalah melalui pengangkatan atau penunjukan. Sistem tersebut biasanya
disebut sistem pemilihan organis dan pemilihan umum yang biasa disebut sebagai sistem
pemilihan mekanis. Wolhoff menyampaikan bahwa dalam sistem organisme rakyat
dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna
persekutuan hidup seperti genealogi, dan teritorial, fungsional spesial, dan lapisan-
lapisan. Masyarakat dipandang sebagai suatu organisasi yang terdiri dari organ-organ
yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam kesatuan persekutuan-
persekutuan hidup tersebut. Persekutuan hidup ini adalah pengendali hak pilih atau lebih
tepatnya lagi sebagai hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan rakyat. Badan
perwakilan menurut sistem organisme ini bersifat badan perwakilan kepentingan-
kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif.231 Menurut
Wolhoff dalam sistem pemilihan mekanis, rakyat dipandang sebagai massa individu-
individu yang sama. Individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif karena masing-
masing dapat mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan untuk satu lembaga
perwakilan. Sistem pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan tiga sistem
pemilihan umum yaitu:232
16.Sistem Distrik:
Dalam sistem ini, daerah pemilihan dibagi ke dalam wilayah-wilayah (distrik)
pemilihan berdasarkan kesatuan geografis atas dasar perhitungan jumlah
penduduk tertentu. Pembagian atas dasar jumlah penduduk itu dilakukan secara
seimbang misalnya setiap 50.000 penduduk diwakili oleh seorang wakil tunggal
(single member constituency) yang dipilih atas dasar perhitungan suara terbanyak.
Segi positif dari sistem distrik ini adalah bahwa hubungan antara si pemilih dan
wakilnya menjadi dekat dan oleh karena itu, partai-partai politik tidak berani
untuk mencalonkan wakil yang tidak populer dalam distri tersebut. Karena itu,
terpilihnya seorang wakil adalah karena kualitas dan popularitasnya, popularitas
partai politiknya menjadi tidak relevan. Selain itu, sistem distrik mendorong
bersatunya partai-partai politik karena calon yang terpilih hanya satu, karena itu


231
Ni'Matul Huda dan Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca-
Reformasi, ed. 1 (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 46.
232
Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 1996), hlm.
26-28.

148
beberapa partai politik lain terpaksa bergabung untuk mencalonkan seorang yang
lebih populer dan berkualitas. Terlebih lagi, karena partai politik menjadi tidak
begitu relevan dalam sistem ini, akan terjadi penyederhanaan jumlah partai
politik. Terakhir, organisasi penyelenggara pemilihan dengan sistem distrik lebih
sederhana sehingga tidak perlu banyak orang untuk menyelenggaran pemilihan.
Namun terdapat beberapa sisi negatif juga dari sistem distrik yaitu kemungkinan
besar banyaknya suara yang terbuang dan akan menjadi sulit bagi partai-partai
kecil dan golongan minoritas untuk mempunyai wakil di Lembaga
Perwakilan233;
27.Sistem Proporsional:
Sistem pemilihan proporsional adalah suatu sistem di mana kursi yang tersedia di
parlemen dibagikan kepada partai-partai politik sesuai dengan imbangan
perolehan suara yang didapat partai politik atau organisasi peserta pemilihan
bersangkutan. Sistem pemilihan ini juga sering disebut sebagai sistem berimbang.
Dalam sistem proporsional, wilayah suatu negara dibagi-bagi dalam daerah-
daerah pemilihan. Daerah-daerah pemilihan ini akan mendapat sejumlah kursi
yang harus diperebutkan, memiliki luas daerah pemilihan, pertimbangan politik
dan sebagainya. Karena jumlah kursi yang dimiliki tiap daerah pemilihan lebih
dari satu maka sistem pemilihan proporsional juga disebut "multi-member
constituency". Sisa suara yang dimiliki masing-masing peserta pemilihan umum
di daerah pemilihan tertentu tidak dapat digabungkan dengan sisa suara di daerah
pemilihan lainnya.234 Beberapa hal positif mengenai sistem proporsional ini
adalah suara yang terbuang lebih sedikit dan partai-partai politik kecil atau
minoritas kemungkinan besar mendapatkan kursi di parlemen. Sisi negatif dari
sistem ini yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1).
4. mempermudah fragmentasi partai politik yang akan menimbulkan partai-
partai politik baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi golongan-
golongan masyarakat justru memiliki kecenderungan untuk mempertajam


233
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998), hlm. 180.
234
Sri Soematri M., "Pelaksanaan Pemilu Indonesia (Menelusuri UU Pemilihan dan UU Partai
Politik dan Golkar)," dalam Dahlan Thaib dan Ni'matul Huda (ed.), Pemilu dan Lembaga Perwakilan dalam
Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII, 1992), hlm. 22.

149
perbedaan yang ada dan karena itu kurang terdorong untuk mencari dan
memanfaatkan persamaan; 
2).
5. setiap calon yang terpilih menjadi anggota parlemen akan merasa dirinya lebih
terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang merasakan
loyalitasnya kepada rakyat yang secara teori diwakilinya;
3).
6. banyaknya partai politik mempersulit pembentukan pemerintah yang stabil,
terlebih lagi dalam sistem pemerintahan parlementer karena pembentukan
pemerintah/kabinet harus dilakukan dengan kerja sama antara berbagai partai
politik itu;235
8.Sistim Campuran:
3
Dalam sistem ini, kelemahan kedua sistem di atas dicoba untuk diatasi. Misalnya
menerapkan sistem distrik dengan menyediakan kursi mutlak untuk minoritas
seperti yang diterapkan di Singapura atau seperti di Jerman dimana setengah dari
anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengahnya lagi dipilih
dengan sistem proporsional.
Dalam sejarah politik Indonesia, dapat dilihat bahwa usaha-usaha untuk
menggunakan sistem pemilihan umum mayoritas untuk memilih anggota parlemen atau
DPR selalu tidak membuahkan hasil yang maksimal. Dalam Pasal 22E ayat (3) Perubahan
Ketiga UUD 1945, telah ditetapkan bahwa peserta pemilu untuk anggota DPR dan DPRD
adalah partai politik. Dengan ketentuan tersebut, secara implisit dapat ditarik kesimpulan
bahwa sistem yang dianut di Indonesia adalah sistem pemilihan proporsional.236 Di
Indonesia, sistem yang digunakan adalah List Proportional Representation with Open
List System. Dalam sistem list proportional representation ini, proses mentransfer suara
ke kursi bisa dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan rata-rata tertinggi atau dengan
pembagi (devisor) dan suara sisa terbesar (largest remainder) atau kuota.237 Indonesia
mengadopsi cara largest remainder dalam mentransfer suara menjadi kursi di legislatif.
Langkah-langkahnya adalah dengan menentukan kuota suara dan besarnya kursi yang


235
Ni'Matul Huda dan Imam Nasef, Penataan Demokrasi..., ed. 1 (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.
47.
236
Andrew Reynold dan August Mellaz, Pemilu Indonesia: Mendiskusikan Penguatan Sistem,
(Jakarta: IDEA, 2011), hlm. 2.
237
Dian Agung Wicaksono, "Metode Konversi Suara Menjadi Kursi dalam Pemilihan Umum
Legislatif di Indonesia," dalam Jurnal Rechts Vinding, Vol. 3 No. 1, Apr 2014, hlm. 76.

150
diperoleh masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sisa suara
yang belum terbagi akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai suara
terbesar.238 Dengan demikian, lebih sedikit suara yang terbuang dan partai politik kecil
atau minoritas dapat terwakili di lembaga perwakilan.
Dalam tulisan Andrew E., pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga 2004
menganut sistem proposional dengan metode perhitungan Largest Remainder. Pemilu
tersebut adalah bagi pemilu legislatif yaitu anggota DPR dan DPRD. Sedangkan untuk
pemilu DPD diselenggarakan dengan sistem distrik berwakil banyak.239 Cara perhitungan
metode hare quota dapat dilakukan dengan dua tahapan yaitu menentukan kuota atau
Bilangan Pembagi Pemilih di Indonesia dan kemudian sisa kursi dibagi kepada pemilik
sisa suara terbesar dan seterusnya, sampai suaranya habis.

4.3 Penarikan Kembali Wakil Rakyat oleh Warga Negara (Constituent Recall)
Recall secara harafiah berarti penarikan kembali secara resmi. Dalam kerangka
hukum ketatanegaraan, recall juga dikenal sebagai recall election, recall referendum atau
representative recall sebagai prosedur dari mana pemilih dapat “menurunkan” seorang
pejabat terpilih melalui pemilihan langsung sebelum masa kerja pejabat tersebut telah
berakhir.240 Di beberapa negara lain, recall dilakukan terhadap para wakil-wakil rakyat
yang tidak hanya mencakup anggota legislatif namun juga kepala daerah seperti walikota
dan gubernur. Konstitusi Kolombia mencantumkan pengaturan recall referendum pada
tahun 1991 untuk menyikapi pergerakan yang dikenal sebagai “la septima papeleta”
sebuah tuntutan dari rakyat Kolombia untuk reformasi konstitusi agar menghentikan
kekerasan, terorisme yang berkaitan dengan narkotika, korupsi, dan meningkatnya
ketidakpedulian warga negara. Para kandidat wakil rakyat harus menyerahkan rancangan
pemerintahan yang menjadi dasar dari recall apabila dikehendaki oleh rakyat. Kehendak
rakyat sendiri disalurkan melalui petisi, dan mekanisme recall hanya dapat dipicu apabila


238
Ibid., hlm 77.
239
Ni'Matul Huda dan Imam Nasef, Penataan Demokrasi..., ed. 1 (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.
49.
240
RM. A.B. Kusuma, 2011, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensial
“Orde Reformasi”, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 102.

151
jumlah partisipan dalam petisi tersebut melebihi ambang batas (threshold) yang
ditetapkan. Threshold tersebut berubah-ubah berdasarkan undang-undang.241
Dalam Pasal 14 konstitusi Latvia, jika sepersepuluh dari pemilih memulai suatu
referendum untuk menarik kembali Saiema (parlemen) maka mekanisme recall dapat
dilakukan dengan beberapa ketentuan lain seperti kapan referendum nasional untuk
menarik keseluruhan parlemen dapat dilakukan. Namun rakyat tidak memiliki hak untuk
menarik anggota individual dari Saiema. Sedangkan di Pasal 10 konstitusi Filipina, rakyat
dapat menarik kembali pejabat daerah. Mekanisme tersebut dimulai dengan minimal 25%
para pemilih dalam satu daerah menandatangani petisi. Dalam pengaturan ini, wilayah
Mindanao dikecualikan.242
Meskipun di Indonesia sendiri belum ada padanannya secara langsung, namun
mekanisme “penarikan kembali” dimaknai di Indonesia sebagai pemberhentian seorang
anggota parlemen melalui penggantian antar waku (PAW) atas dasar Pasal 22 B Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan
bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan ketentuannya diatur dalam undang-undang.” Mekanisme tersebut
diperinci lebih lanjut243 dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Berdasarkan kerangka hukum yang ada, kendali recall anggota-anggota parlemen berada
di tangan partai politik. Hal tersebut menegaskan kembali peran partai politik yang
signifikan dalam kancah demokrasi dan dinamika politik Indonesia dan seakan-akan


241
Yanina Welp &Juan Pablo Milanese, Playing by the rules of the game: partisan use of recall
referendums in Colombia, Democratization
242
Michael Bueza, “Fast Facts: The recall process,” Rappler,
https://www.rappler.com/newsbreak/iq/70044-fast-facts-process-recall diakses pada 18 Maret, 2018
243
PAW hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: meninggal dunia; mengundurkan diri sebagai
anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Untuk
dapat diberhentikan sebagai anggota DPRD terdapat beberapa kriteria yaitu: tidak dapat melaksanakan
tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota DPRD;
dinyatakan melanggar sumpah/janji, kode etik DPRD, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai
Anggota DPRD; melanggar larangan rangkap jabatan; dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana
serendah-rendahnya lima tahun penjara. Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerha, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
UU Nomor 17 tahun 2014, LN XXX TLN XXX, Ps. 239

152
mereduksi peran rakyat yang hanya menjadi pelengkap saat masa-masa pemilihan umum.
Begitu seorang wakil rakyat terpilih, tali yang menghubungkannya dengan rakyat
menjadi begitu tipis sehingga para elite partai politik menjadi alpa untuk
memperhitungkan kepentingan dan aspirasi dari konstituen politik mereka. Peran rakyat
hanya sebagai salah satu pihak yang dapat mengadukan perilaku menyimpang dari
anggota lembaga-lembaga perwakilan, sehingga efektivitas partai politik dan kesesuaian
kinerjanya dengan keinginan maupun kebutuhan rakyat sejatinya bergantung sepenuhnya
pada kehendak dan responsivitas partai dalam mendengar aspirasi masyarakat.
Sayangnya, dalam realitanya partai justru sering digunakan sebagai tameng yang
melindungi anggotanya yang bermasalah dengan hukum dan tidak mengikuti konsep
ideal partai politik sebagai manifestasi spektrum politik rakyat.
Sehingga dapat diidentifikasi kritik utama terhadap hak recall yang berada di tangan
partai politik yaitu bahwa hal tersebut membuktikan adanya inkonsistensi paradigma
sistem kedaulatan rakyat yang dibangun melalui pemilihan umum. Mekanisme pergantian
antar waktu yang ada bahkan dapat dibilang menyimpang dari sila keempat Pancasila
yang mensyaratkan adanya tiga unsur krusial yaitu kedaulatan rakyat, permusyawaratan,
dan pelaksanaannya dengan hikmat-kebijaksanaan dalam pelaksanaan demokrasi
perwakilan.244 Posisi rakyat sebagai pemilih yang dianugerahkan oleh hak berpolitik yang
melekat pada eksistensi tiap-tiap orang seharusnya dijalankan secara paripurna dari awal
life-cycle politik seorang wakil rakyat sampai akhir dari siklus tersebut, ini termasuk
apabila adanya pelanggaran, penyelewengan, kegagalan pemenuhan ekspektasi oleh
wakil rakyat tersebut sehingga siklus tersebut harus terhenti sebelum waktu semestinya.
Jika didalami, landasan dari hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam tiap fase politik
wakilnya didasari atas hak untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara
sebagaimana diberikan oleh Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945.245


244
Iswatul Hasanah, Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H.m Tunggul Anshari S.N., S.H., M.H., “Recall
Partisipatif (Paradigma Asas Musyawarah Mufakat dalam Mekanisme Pemberhentian Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)”
245
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam hal ini memilih pemimpin merupakan salah
satu upaya untuk membangun bangsa dan negara, dan secara konstitusional dilindungi oleh undangundang
dasar.” Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28C ayat (2)

153
Professor Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa sistem recall sepatutnya ditinjau
kembali dan menggantikan party recall yang dianut dengan sistem constituent recall.246
Hal tersebut agar para wakil-wakil rakyat yang menduduki posisi pemangku kekuasaan
tidak menjadi bulan-bulanan dari pergejolakan politik internal partai yang cenderung
arbitrer mengikuti kehendak pihak yang memangku kekuasaan dan pengaruh paling
banyak. Untuk mencegah adanya disparitas kedudukan akibat ketimpangan kekuasaan
antara para wakil rakyat dan rakyat yang memilihnya sehingga diperlukan suatu
keputusan aktif untuk meletakkan hak recall pada warga negara agar dapat terbentuknya
suatu pola interaksi dan relasi poitik yang tidak eksploitatif sebagaimana ditegaskan oleh
K.H Abdurrahman Wahid. Pentingnya penyetaraan “lapangan bermain” (playing field)
antara para wakil rakyat dengan konstituen politik yang memilihnya juga diutarakan oleh
Held yang mensyaratkan unsur “kebebasan” dan “kesetaraan” yang dapat diwujudkan
dengan implementasi recall warga negara. Gagasan recall warga negara juga harus
dikaitkan dengan lima kriteria pemerintahan demokratis menurut Dahl.
1. Dalam hal partisipasi yang efektif seluruh anggota masyarakat harus mempunyai
kesempatan yang efektif untuk memberikan opini dan pandangan mereka sebelum
suatu kebijakan diterapkan. Mekanisme constituent recall dapat merealisasikan
hal tersebut karena tali partisipasi masyarakat menjadi lebih pendek dan bersifat
langsung. Dalam arti lain, akuntabilitas dari para wakil rakyat dapat lebih mudah
dicermati dan dituntut oleh masyarakat apabila tidak diperantarai oleh partai
politik yang mempunyai agenda dan kepentingan permainan politiknya tersendiri.
2. Dalam hal persamaan suara, tiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang
sama untuk memberikan suara dan tiap suara harus diperhitungkan sama. Apabila
rakyat lalu berpendapat bahwa suara yang telah ia berikan untuk seorang wakil
rakyat sudah tidak sepantasnya diberikan, maka mekanisme constituent recall
dapat memberikan jalur suatu realisasi suara rakyat dalam bentuk lain.
3. Dalam hal pemahaman yang cerah atas kebijakan-kebijakan alternatif yang
relevan, constituent recall akan mendorong rakyat untuk lebih aktif mempelajari
kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan. Tingkat akuntabilitas yang tinggi
dikarenakan penerapan constituent recall juga dapat mendorong para wakil-wakil


246
Jimly Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), hlm. 64-67

154
rakyat untuk meningkatkan kinerjanya dalam perumusan kebijakan-kebijakan
yang pada akhirnya akan diterapkan pada masyarakat,
4. Dalam hal pengawasan agenda, constituent recall dapat menjadi cara
pengawasan dari rakyat agar kebijakan-kebijakan negara tetap selalu terbuka dan
berada dalam kendali rakyat alih-alih menjadi produk permainan politik partai
belaka.
Demokrasi pada suatu negara tentunya terus mengalami perubahan seiring dengan
berkembangnya masyarakat. Lapisan-lapisan yang ada dalam demokrasi perwakilan tidak
sejatinya harus jumud, dan dengan adanya perkembangan akses informasi dan teknologi,
jarak yang ada antara wakil rakyat dengan konstituennya dapat perlahan-lahan dikecilkan
dan menjadi suatu hubungan yang intim dan akuntable. Hubungan tersebut dapat
ditingkatkan kualitasnya dengan penerapan constituent recall. Constituent recall dapat
dipandang sebagai manifestasi dari hak berpolitik yaitu hak asasi manusia generasi kedua
yang patut dijamin secara aktif oleh negara. Sehingga, hak warga negara untuk menarik
kembali wakil rakyat yang dipilihnya sudah sepatutnya dijaga dalam konstitusi.
Mekanisme tersebut menegaskan demokrasi perwakilan yang hidup dalam masyarakat
Indonesia dan mengantisipasi pertumbuhan budaya demokrasi yang semakin lama
semakin terbuka di dunia yang semakin lama kian terbuka pula.

4.4 Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Perwakilan


“For me, a better democracy is a democracy where women do not only have the right to
vote and to elect but to be elected.”—Michelle Bachelet, head of UN Women, former
president and defense minister of Chile
Sebagai suatu negara demokrasi yang bangga, Indonesia patut secara aktif melibatkan
perempuan dalam kancah politiknya dengan tujuan untuk membangun suatu negara
demokrasi yang lebih baik seperti diutarakan oleh Michelle Bachelet. Keterlibatan
perempuan dalam sistem politik dibutuhkan untuk mengintegrasikan pertimbangan-
pertimbangan gender ke dalam kebijakan suatu negara agar dapat mengentaskan
permasalahan-permasalahan yang menghambat kemajuan perempuan. Produk kebijakan
dan instrumen hukum yang sensitif terhadap gender diperlukan apabila Indonesia berniat
untuk melaksanakan pembangunan bangsa yang mengikutsertakan semua elemen

155
masyarakat tanpa pandang suku, ras, agama maupun gender, dan ini dapat dicapai dengan
melibatkan perempuan sebagai pembuat kebijakan.
Patut dicatat bahwa tumbuhnya bibit-bibit keterlibatan perempuan dalam politik
Indonesia telah ditandai oleh kongres perempuan pertama di Yogyakarta pada tahun 1928
dan diwarnai oleh berbagai organisasi perempuan sampai menjelang masa kemerdekaan.
Penjaminan dan partisipasi perempuan dalam politik juga telah diejawantahkan pada
pemilu tahun 1955 di mana perempuan Indonesia mempunyai hak untuk dipilih dan
memilih247. Dewasa ini terdapat beberapa kerangka hukum penting yang dapat menjamin
hak-hak politik perempuan di Indonesia, dari Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), ratifikasi Convention on the Political Rights of Women (1953) dengan Undang-
Undang Nomor 68 Tahun 1958, dan ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women (1979) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa perkembangan dari hak-hak tersebut belum
tampak dan walaupun pergerakan perempuan dalam politik telah berlangsung selama
delapan puluh sembilan tahun, di negara dengan persentase perempuan mencapai
setengah dari seluruh populasi248, keterwakilan perempuan dalam politik tidak
proporsional, sebagaimana diilustrasikan oleh tabel di bawah ini:

Perbandingan Jumlah Pemilih dan Anggota DPR RI


Pemilu Jumlah Pemilih Jumlah Anggota DPR RI
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
1999-2004 66.291.000 (57%) 50.009.000 44 (8.8%) 455 (91.2%)
(43%)
2004-2009 65.957.990 (53%) 58.491.049 65 (11.8%) 485 (88.2%)
(47%)
2009-2014 87.854.388 (49.8%) 88.560.046 103 (18.1%) 456 (81.9%)
(50.2%)


247
Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 155
248
Badan Pusat Statistik, Persentase Penduduk menurut Provinsi dan Jenis Kelamin, Tahun 2009-
2013, https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1601, diakses pada 18 Oktober, 2017

156
2014-2019 93.886.517(49.98%) 93.980.181 97 (17.3%) 463 (82.7%)
(50.02%)
Sumber: Data diambil dari Buku Data dan Infografik Pemilu Anggota DPR RI & DPD RI dari tiap-tiap
periode yang dapat diakses di www.kpu.go.id, diakses pada 18 Oktober 2017.
Dari tabel tersebut, tampak bahwa representasi perempuan di parlemen tidak
proporsional dengan jumlah penduduk dan pemilih perempuan yang diwakilinya.
Rendahnya partisipasi politik perempuan dalam legislatif mencerminkan bahwa budaya
patriarki yang menempatkan perempuan sebagai gender yang lebih rendah masih
mempunyai akar-akar yang kuat. Perempuan masih dipandang sebagai gender yang tidak
tegas, lamban mengambil keputusan, dan pada dasarnya tidak cocok menempati suatu
posisi politik yang didominasi oleh laki-laki.249 Untuk mengubah status quo dari
keterwakilan perempuan dalam politik dibutuhkan suatu upaya modifikasi anggapan
sosial dengan menerapkan suatu kebijakan yang disebut sebagai affirmative action.
Affirmative action dapat diartikan sebagai suatu tindakan institusi/organisasi yang
memastikan bahwa tidak terjadi diskriminasi berdasarkan gender, namun affirmative
action sendiri harus dibedakan dari equal opportunity atas dasar bahwa suatu affirmative
action bersifat proaktif dalam memitigasi diskriminasi250. Sebagai suatu bentuk
diskriminasi positif, affirmative action berfungsi untuk menyeimbangkan kedudukan
perempuan dan laki-laki khususnya saat ada suatu kondisi underrepresentation dalam
bidang kerja. Dalam ranah politik, penetapan kuota perwakilan perempuan dalam
lembaga legislatif telah dianggap sebagai suatu bentuk affirmative action251.
Dalam UUD NRI 1945, hak-hak perempuan dalam berbagai ranah termasuk dalam
perumusan Bab XA UUD NRI 1945 secara khusus yang diderivasikan dari Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945, namun dalam praktik penyelenggaraan negara
kaum perempuan masih saja termarjinalkan. Ratio legis dari jaminan perlindungan
tersebut adalah ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 di mana dalam bagian
konsiderans tertera bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam


249
Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, hlm. 163
250
Faye J. Crosby, Aarti Iyer, dan Sirinda Sincharoen, “Understanding Affirmative Action,”
Annual Reviews Psychol. 2006, hlm. 587.
251
Ronnie Eklund, Gender-based Affirmative Action, hlm. 29,
http://arbetsratt.juridicum.su.se/Filer/PDF/ronnie%20eklund/eklund%20lex%20ferenda.pdf, diakses pada
18 Oktober, 2017.

157
hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” Jika
hal tersebut dikaitkan dengan ketentuan dalam UUD NRI 1945 maka untuk memperbaiki
rendahnya kehadiran wakil perempuan dalam lembaga perwakilan dibutuhkan tindakan
afirmatif berupa perlakuan khusus sehingga kedudukannya dapat disetarakan dengan
laki-laki. Patut dicatat bahwa upaya tersebut berupa diskriminatif positif (reverse
discrimination) yang dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum HAM internasional dan
UUD NRI 1945.252
Pada taraf undang-undang, upaya pertama untuk menerapkan suatu bentuk tindakan
afirmasi terhadap perempuan dalam politik pertama kali dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sistem kuota yang
termaktub dalam undang-undang tersebut mengalami perubahan dengan dibentuknya
undang-undang pengganti yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang tersebut pun mengalami perubahan
dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan pada akhirnya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum. Perubahan-perubahan tersebut tentu bertujuan untuk
menyetarakan derajat kompetisi antara perempuan dan laki-laki dengan harapan bahwa
perempuan akan memiliki tingkat keterwakilan yang lebih proporsional. Secara khusus
dalam pengaturan terbaru, ketentuan yang dapat dipersepsikan sebagai upaya untuk
menggenjot keterwakilan perempuan dalam ranah politik tercantum pada Pasal 173.
Namun, berdasarkan data jumlah perempuan yang sekarang menjabat sebagai wakil
rakyat, jelas bahwa masih banyak hambatan-hambatan yang ditemui di tingkat
implementasi.253 Hambatan-hambatan tersebut mencakup hambatan teologis, sosial-
budaya, sikap-pandang, dan historis yang pada intinya melekatkan stereotip-stereotip
pada sosok perempuan dan menghalangi perempuan untuk berkecimpung dalam politik

252
Nalom Kurniawan, “Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008” Jurnal Konstitusi Volume 11, Nomor 4, Desember
2014, hlm. 721-723
253
Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, hlm. 157.

158
kenegaraan.254 Karena sistem kuota dalam parlemen tampaknya belum bisa
menanggulangi hambatan-hambatan tersebut, maka dirasa perlu bahwa UUD NRI 1945
patut mencantumkan dengan jelas perumusan yang menegaskan kehadiran perempuan
dalam lembaga perwakilan Indonesia.

4.5 Mekanisme Pergantian Antar Waktu


Sebuah Negara yang menganut paham demokrasi paling tidak terdapat beberapa hal
yang mutlak keberadaannya, yakni mengharuskan mengharuskan adanya pemilihan
umum, rotasi atau kaderisasi kepemimpinan nasional, kekuasaan kehakiman yang
independen, representasi kedaulatan rakyat melalui kelembagaan parlemen yang kuat dan
mandiri, penghormatan dan jaminan hak asasi manusia, serta konstitusi yang memberikan
jaminan hal-hal tersebut berjalan.255 Negara demokrasi tentunya membenarkan
keberadaan Partai Politik sebagai pilar dari demokrasi atau pelaksanaan kedaulatan
rakyat. Partai politik pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang
sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi karena memainkan peran yang penting
sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the
citizens).256
Partai politik adalah pilar demokrasi. Jika pilar ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat,
maka hal itu merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasi di
Indonesia. Dengan demikian, mengembalikan partai politik kepada jalur yang benar
dalam arus demokratisasi di Indonesia menjadi tanggung jawab kita semua. Partai politik
juga hanya bukan sekedar organisasi tempat berkumpulnya politisi, tetapi juga dapat
menjalankan fungsinya bagi kepentingan masyarakat. Dengan demikian dalam sistem
demokrasi, partai memegang peranan yang sangat penting.
Pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk menentukan wakil rakyat yang
akan duduk dalam badan perwakilan rakyat. Menjadi perwakilan politik dalam kerangka
kerja suatu sistem demokrasi membawa beban dan tanggung jawab serta konsekuensi


254
Sali Susiana, ed. Perempuan Indonesia Menyongsong Abad 21: Kajian tentang Kedudukan dan
Peran dalam Pembangunan, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR
RI, 2000), hlm. 62.
255
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1992, hlm. 60.
256
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta,
BIP, 2007), hlm. 710.

159
politik yang relatif besar. Karena itu, disamping jeratan hukum karena pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan yang dapat dibuktikan secara materi di
pengadilan umum, anggota dewan menghadapi tantangan untuk digugat secara politis
baik oleh partai politik induknya maupun konstituen dan masyarakat pada umumnya.257
Kenyataannya, Indonesia cenderung menganut model diversifikasi dimana anggota DPR
merupakan wakil dari partai politik. Hal ini berarti anggota DPR harus mewakili
kepentingan partai politik dan menyuarakan suara partai politik. Adanya sistem
Penggantian Antar Waktu (PAW) yang digunakan oleh partai politik terhadap anggota
DPR yang berasal dari partai politik yang bersangkutan memperkuat hal tersebut.
Penggantian Antar Waktu (PAW) sempat ditiadakan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penghapusan
Penggantian Antar Waktu (PAW) tersebut sebagai imbas dalam rangka untuk penguatan
parlemen. Namun, hal ini pun menjadi polemik, karena sejumlah anggota dewan yang
berbuat tidak pantas, misalnya pindah partai politik, melakukan perbuatan amoral, atau
melakukan pelanggaran kode etik tidak mendapatkan sanksi tegas. Sedangkan tuntutan
masyarakat menginginkan anggota dewan yang accountable, baik kinerja politiknya
maupun etika perilakunya. Oleh karena itu Penggantian Antar Waktu (PAW)
dimunculkan kembali dengan diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Tetapi dalam perjalanannya, wewenang
Penggantian Antar Waktu (PAW) ini pun disalahartikan oleh petinggi-petinggi partai.
Anggota dewan yang bersebrangan pendapat dengan partai mendapat sanksi dan
diberhentikan melalui mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW). Padahal anggota
dewan tersebut menyuarakan aspirasi rakyat.

4.5.1 Penggantian Antar Waktu (PAW)


Dalam bahasa sehari-hari, Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR
diasosiasikan sebagai recall. Secara etimologis, kata recall dalam bahasa Inggris


257
Sebastian Salang, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: PT. Penebar
Swadaya, 2009), hlm. 269.

160
mengandung beberapa pengertian. Setidaknya menurut Peter Salim (dalam The
Contemporary English-Indonesia), yakni mengingat, memanggil kembali, menarik
kembali atau membatalkan. Penggantian Antar Waktu (PAW) diartikan sebagai
proses penarikan kembali atau penggantian kembali anggota DPR oleh induk
organisasinya yang tentu saja partai politik.258
Recall yang terdiri kata “re” yang artinya kembali, dan “call” yang artinya
panggil atau memanggil. Jika kata ini disatukan maka kata recall ini akan berarti
dipanggil atau memanggil kembali. Kata recall ini merupakan suatu istilah yang
ditemukan dalam kamus ilmu politik yang digunakan untuk menerangkan suatu
peristiwa penarikan seorang atau beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga
perwakilan (melalui proses pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini
recall merupakan suatu hak yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya.259
Pengertian recall di Indonesia berbeda dengan pengertian recall di Amerika
Serikat. Di Amerika serikat istilah recall, lengkapnya Recall Election yang
digunakan untuk menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan
wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir.260 Penggantian Antar Waktu (PAW)
juga diartikan sebagai proses penarikan kembali anggota lembaga perwakilan rakyat
untuk diberhentikan dan digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa
jabatan anggota yang ditarik tersebut.261 Penggantian Antar Waktu (PAW) adalah
suatu proses penarikan kembali atau pergantian DPR oleh induk organisasinya
Penggantian Antar Waktu (PAW) berfungsi sebagai mechanism control dari partai
politik yang memiliki wakilnya yang duduk sebagai anggota parlemen.
Hak Penggantian Antar Waktu (PAW) didefinisikan oleh sejumlah ahli, salah
satunya oleh Mh. Isnaeni mengatakan: Hak Penggantian Antar Waktu (PAW) pada
umumnya merupakan suatu ‘pedang Democles’ bagi tiap-tiap anggota DPR. Dengan
adanya hak recall maka anggota DPR akan lebih banyak menunggu petunjuk dan
pedoman pimpinan fraksinya dari pada ber-oto-aktivitas. Melakukan oto-aktivitas


258
BN. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. 417.
259
Haris Munandar, Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Gramedia, 1994), h. 128.
260
Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, (Jakarta: MK RI,
2006),
h. 156.
261
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 318.

161
yang tinggi tanpa restu pimpinan fraksi kemungkinan besar melakukan kesalahan
fatal yang dapat berakibat recalling. Karena itu untuk keamanan keanggotaannya
lebih baik menunggu apa yang diinstruksikan oleh pimpinan fraksinya.262 Moh. Hatta
juga pernah mengatakan: Hak Penggantian Antar Waktu (PAW) bertentangan
dengan demokrasi apalagi dengan demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak
membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya
pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian
adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak PAW ini
hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat otoriter.263 Adapun Moh.
Mahfud MD, mengartikan Penggantian Antar Waktu (PAW) adalah hak untuk
mengganti anggota lembaga permusyawaratan/ perwakilan dari kedudukannya
sehingga tidak lagi memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut.264

4.5.2Sejarah dan Perkembangan Penggantian Antar Waktu (PAW)


Penggantian Antar Waktu (PAW) berkembang sejak tahun 1903 di
California, ada 117 kali percobaan untuk melengserkan para Anggota legislatif. Ada
7 kali yang sampai pada pemungutan suara pemilih, tetapi tidak ada satupun yang
berhasil. Pada umumnya warga negara Amerika Serikat berpendapat bahwa masa
jabatan anggota legislatif yang hanya dua tahun itu tidak cukup untuk menilai
keberhasilan seseorang. Bila seorang representatif di anggap tidak berhasil maka dia
tidak akan dipilih kembali. Penggantian Antar Waktu (PAW) untuk eksekutif hanya
berhasil melengserkan Gubernur North Dakota, Lynn J. Frazier pada tahun 1921 dan
Gubernur California Gray Davis pada tahun 2003.265
Di Amerika Serikat, prosedur Penggantian Antar Waktu (PAW) dimulai dari
inisiatif rakyat pemilih yang mengajukan petisi kepada para anggota Badan
Perwakilan. Bila Badan Perwakilan Rakyat menyetujui petisi pemilih (konstituen),
maka diadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait


262
Mh. Isnaeni, MPR-DPR sebagai Wahana Mewujudkan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Yayasan
Idayu, 1982), h. 57-58.
263
Deliar Noer, Mohammad Hatta Suatu Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1989), h.305-306
264
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik
terhadap Produk Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: FH UGM Press, 1993), h. 324.
265
http://www.hukumonline.com/Mempertanyakan Hegemoni Penggantian Antar Waktu (PAW)
Anggota DPR di Tangan Partai Politik, diaskes pada 12 Maret 2018.

162
akan lengser atau tetap di jabatannya. Penggantian Antar Waktu (PAW) adalah hak
dari konstituen, bukan hak dari wakil rakyat (representatif).266
Pada dasarnya wacana mengenai Penggantian Antar Waktu (PAW) terkait
erat dengan partai politik (parpol) baik struktur organisasi maupun fungsinya. Hak
Penggantian Antar Waktu (PAW) berada di tangan pengurus parpol darimana
anggota legislatif bersangkutan berasal. Dengan demikian peranan pengurus parpol
dalam penggunaan hak Penggantian Antar Waktu (PAW) sangat menentukan.267
Dewasa ini Penggantian Antar Waktu (PAW) menjadi alat efektif untuk
menyingkirkan anggota dewan yang berseberangan dengan kepentingan pengurus
partai politik, akibatnya eksistensi anggota dewan sangat tergantung dengan selera
pengurus partai politik, sehingga menggeser orientasi anggota dewan menjadi
penyalur kepentingan pengurus partai politik, padahal keberadaan anggota dewan
karena dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang bersifat langsung,
bebas, jujur dan adil.
Hak Penggantian Antar Waktu (PAW) dapat dilakukan partai politik terhadap
para anggotanya yang duduk sebagai anggota parlemen, baik di tingkat pusat maupun
di tingkat daerah. Penggantian Antar Waktu (PAW) sendiri tidak lepas dari eksistensi
partai politik. Keberadaan partai politik merupakan salah satu dari bentuk
perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas
dalam masyarakat demokratis. Karena itu, keberadaan partai politik berkaitan erat
dengan prinsip-prinsip kemerdekaan berpendapat (freedom of expression),
berorganisasi (freedom of association), dan berkumpul (freedom of assembly.

4.5.3Penggantian Antar Waktu Lintas Masa


Perkembangan Penggantian Antar Waktu (PAW) di Indonesia secara historis
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 dimana terkandung maksud
politis yang sangat kental dalam mengimplementasikan Undang-Undang ini, yakni
untuk menyingkirkan anggota-anggota Parlemen yang masih setia kepada Soekarno.


266
Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, (Jakarta: MK RI,
2006),
h. 156.
267
Indra Samega, Menata Negara, Usulan LIPI tentang RUU Politik, (Bandung: Mizan, 1998), h.
59.

163
Secara filosofis, regulasi ini jelas menabrak Pancasila dan UndangUndang Dasar
1945 yang berkedudukkan sebagai nilai positif yang tertinggi. Ketika masa orde baru
berakhir, dan masuk pada masa reformasi, hak Penggantian Antar Waktu (PAW)
kembali diorbitkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009.268
Keberadaan hak Penggantian Antar Waktu (PAW) di masa Orde Baru diatur
dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 yang menyatakam bahwa
anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut:18 a).
Anggota dari calon Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang
bersangkutan; b). Anggota Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan
satu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang
bersangkutan; c). Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi
dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi
yang bersangkutan.
Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme
Penggantian Antar Waktu (PAW) oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif
digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan ‘lawan politik’ di tubuh
partainya, tidak lagi diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Di Pasal 5 ayat (1) ditegaskan
anggota MPR berhenti antar waktu sebagai anggota karena:269 a). Meninggal dunia;
b). Permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR; c). Bertempat tinggal
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d). Berhenti sebagai anggota
DPR; e). Tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3
ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib; f). Dinyatakan melanggar
sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat dengan keputusan MPR; g). Terkena
larangan penangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (1).
Akan tetapi pengaturan Penggantian Antar Waktu (PAW) kembali muncul
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD. Di Pasal 85 ayat (1) ditegaskan anggota DPR berhenti antar


268
Bintan R. Siragih, Peranan DPR-GR Periode 1965-1971 dalam Menegaskan Kehidupan
Ketenagakerjaan yang Konstitusional Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Fakultas Universitas Padjajaran,
Bandung, 1992), h.324
269
Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No.4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD.

164
waktu karena; a). Meninggal dunia; b). Mengundurkan diri sebagai anggota atas
permintaan sendiri secara tertulis; dan c). Diusulkan oleh partai politik yang
bersangkutan.
Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu dalam ayat (2)
270
karena:
1. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota DPR;
2. Tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota DPR sebagaimana
dimaksud dalam UU tentang Pemilu;
3. Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan
kehormatan DPR;
4. Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
5. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman
pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.

4.5.4Hak Penggantian Antar Waktu (PAW) oleh Partai Politik


Fungsi partai politik adalah menciptakan mekanisme artikulasi kepentingan
masyarakat, agar kepentingan-kepentingan tersebut dapat diakomodir secara luas
oleh pemerintah yang pada gilirannya akan menjadi pola yang sinergis antara
pemerintah dengan masyarakat. Dengan demikian diharapkan partai politik
mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi kepada para pemilihnya, oleh
karenanya harus menyesuaikan dengan keinginan serta kebutuhan masyarakat.
Bahkan harus rela berkorban demi kepentingan pendukungnya.271
Mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW) menjadi hak prerogatif partai
politik. Sehingga memungkinkan seorang anggota parlemen yang merupakan wakil
(representation) rakyat yang dipilih melalui mekanisme demokratis yaitu pemilihan


270
Lihat Pasal 85 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR
dan DPRD.
271
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000), h.21

165
umum yang berdasarkan kekuasaan atau kedaulatan rakyat dapat diberhentikan oleh
partai politiknya.
Keberadaan seorang anggota partai politik di parlemen merupakan
pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai wujud pelaksanaan demokrasi tidak langsung
atau demokrasi perwakilan karena keberadaan parlemen sebagai perlembagaan
kedaulatan rakyat. Eksistensi seorang anggota parlemen khususnya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang berada dalam lembaga perwakilan rakyat. Secara umum,
Mekanisme Penggantian Antarwaktu yang saat ini menjadi hukum positif di
Indonesia masih menjadi kewenangan Partai Politik. Dalam rancangan amandemen
ke lima Undang-Undang Dasar NRI 1945 ini , tim perumus menambahkan
mekanisme Penggantian Antarwaktu (recall) partisipatif yang melibatkan konstituen
(constituent recall). Hal ini penting untuk diatur sebagai mekanisme kontrol yang
lebih ketat kepada wakil rakyat dan memberikan ruang partisipasi kepada pemilih
untuk mengontrol wakilnya dan memfasilitasi konstituen yang merasa kepentingan
politik dan sosialnya tidak terwakili oleh wakil rakyat yang mewakili daerah
pilihnya.

4.6 Badan Peradilan Pemilu


Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ketentuan tersebut memberikan
landasan yang sangat kuat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional,
karenanya partisipasi rakyat di dalam pelaksanaan pemerintahan menjadi persyaratan
utama, khususnya dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Serta secara eksplisit
memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan dan memilih pemimpinnya. Terkait
dengan hal tersebut, Pasal 25 huruf b International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) menentukan bahwa “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan
kesempatan, tanpa pembedaan dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk memilih
dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang
universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk
menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih“.

166
Dalam rangka memberikan daulat kepada rakyat, sistem ketatanegaraan Indonesia
mengenal sistem pemilihan secara langsung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E
UUD NRI Tahun 1945. Pemilihan langsung tersebut merupakan manifestasi dari adanya
kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat. Terkait dengan pemilihan umum, Miriam
Budiarjo272 menyatakan bahwa pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon
bagi suatu negara demokrasi modern, dimana melalui pemilihan umum warga negara
menyerahkan sementara hak politiknya yakni hak berdaulat untuk turut serta menjalankan
negara. Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum
karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan
rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan
kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses
politik.273
Pasca reformasi, pelaksanaan kedaulatan rakyat (demokrasi) tidak hanya
dimanifestasi dalam pemilihan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E UUD
NRI Tahun 1945. Namun, demokrasi telah dimanifestasi dalam kehidupan politik lokal
melalui pendesentralisasian politik kepada daerah-daerah otonom. Salah satu isi
kebijakan dari desentralisasi politik tersebut adalah adanya pemilihan secara demokratis
terhadap jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 18
ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih
secara demokratis.”
Ketentuan mengenai dipilih secara demokratis tersebut, kemudian dimanifestasi
dengan adanya pengaturan mengenai Pilkada langsung yang berfungsi sarana bagi rakyat
untuk berpartisipasi di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pilkada langsung
tersebut merupakan suatu keniscayaan demokrasi sebagai manifestasi dari daulat rakyat.
Dalam pelaksanaan Pilkada langsung tersebut tidak tertutup kemungkinan akan
menimbulkan sengketa, yang salah satu bentuknya adalah sengketa hasil Pilkada
langsung. Sengketa hasil Pilkada langsung tersebut harus diselesaikan dengan tata cara
yang sesuai dengan hukum (due process of law) termasuk lembaga yang berwenang.

272
Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jakarta: Jurnal Ilmu Politik, No.
10, 1990), hlm. 37
273
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta:
Liberty, 1993), hlm. 94

167
Terkait dengan hal tersebut, beberapa peraturan perundangundangan yang terkait dengan
hal tersebut memiliki politik hukum (legal policy) yang berbeda-beda.
Pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015) memberikan
kewenangan kepada Pengadilan Tinggi (PT) yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Kemudian ketentuan tersebut, diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, di dalam ketentuan Pasal 157 menentukan
bahwa yang berwenang adalah badan peradilan khusus. Namun sebelum terbentuk badan
peradilan khusus tersebut, Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
menentukan bahwa penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung diselesaikan kembali
oleh Mahkamah Konstitusi.
Perubahan-perubahan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa hasil
Pilkada langsung tersebut tidak memberikan kepastian hukum. Pada status quo saat ini
perihal pembentukan badan peradilan khusus juga tidak memberikan kepastian hukum,
karena tidak langsung dibentuk dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Bahkan
ketentuan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak memberikan
solusi hukum yang komprehensif, karena menunjuk kembali Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yang berwenang. Padahal Mahkamah Konstitusi melalui putusannya
telah menyatakan dirinya tidak berwenang, karena kewenangan tersebut tidak diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah berimplikasi terhadap perubahan sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah
adanya penguatan atas pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18
UUD NRI Tahun 1945, yang memberikan kewenangan otonomi yang seluas-luasnya
kepada daerah otonom. Otonomi tersebut memberikan kewenangan kepada daerah
otonom untuk mengatur (regelendaad) dan mengurus (bestuurdaad) urusan pemerintahan
yang menjadi kewengannya. Otonomi merupakan the right of self government274 Dengan


274
Hanry Campbell Black, Black Law Dictionary, (USA: ST. Paul Mint. West Pu-blishing Co.,
1979), hlm. 154

168
kata lain bahwa otonomi merupakan pendesentralisasian kewenangan pemerintahan oleh
pusat kepada daerah otonom275 Dengan adanya otonomi, daerah-daerah otonom diberikan
kebebasan dan kemandirian untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.276
Pemberian otonomi tersebut tidak hanya terbatas pada pemberian urusan
pemerintahan, namun juga harus disertai dengan adanya pendesentralisasian kehidupan
politik lokal. Hal tersebut diwujudkan dalam Pilkada langsung dalam pengisian jabatan
Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal tersebut secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 18
ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan bahwa “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan
kota dipilih secara demokratis.” Frase “dipilih secara demokratis” tersebut secara umum
dapat diartikan bahwa pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota
harus dipilih dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat
tersebut dapat dilakukan, baik secara langsung melalui Pilkada langsung maupun secara
perwakilan melalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Esensi dari frase “dipilih secara
demokratis” tersebut adalah tertelak pada proses pengisian jabatan kepala daerah yang
harus dilakukan secara demokratis. Frase “dipilih secara demokratis” tersebut tidak
menunjuk pada model, apakah langsung ataupun perwakilan. Namun demikian,
Taufiqurrahman Syahuri menyatakan bahwa frase “dipilih secara demokratis” hanya
dapat dimaknai dengan pemilihan secara langsung.277
Atas dasar Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 di atas, Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Dari
ketentuan tersebut, maka Gubernur, Bupati atau Walikota dipilih secara langsung oleh
rakyat. Pilkada langsung tersebut merupakan perwujudan daulat rakyat untuk ikut serta
di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pilkada langsung tersebut merupakan
keniscayaan demokrasi yang harus dilaksanakan.


275
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1967), hlm. 109
276
Philipus M. Hadjon, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara (Analisis Hukum Tata Negara),
(Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga), hlm. 6
277
Taufiqqurahman Syahuri dalam Yusak Elisa Reba, Kompetensi Mahkamah Konstitusi Dalam
Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, (Papua: Jurnal Konstitusi, PSK-FH,
Uncen, Vol. 1 No. 1 Juni 2009), hlm. 66

169
Dari aspek hak warga negara, Pilkada langsung merupakan wujud dari adanya
pemenuhan hak warga negara. Untuk mewujudkan hak tersebut, maka Pilkada langsung
memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang
demokratis. Pemerintahan daerah yang demokratis tersebut ditandai dengan adanya
partisipasi masyarakat di dalam pengisian jabatan kepala daerah. Terkait dengan hal
tersebut, Amien Rais menyatakan bahwa ciri utama negara demokratis adalah partisipasi
masyarakat dalam pembuatan keputusan bernegara.278 Bahkan substansi dari sistem
demokratis adalah adanya peran serta atau partisipasi aktif warga negara dalam proses
pengambilan keputusan bernegara.279
Oleh karena itu, Pilkada langsung harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi dan good governance dengan bertitik tolak pada pelaksanaan Pilkada langsung
yang berkeadilan, terbuka dan dapat memberikan kepastian hukum. Bahkan lebih dari itu,
Pilkada dilaksanakan dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pilkada langsung dan demokrasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Artinya bahwa Pilkada langsung harus diwujudkan dengan prinsipprinsip demokrasi,
sedangkan demokrasi diwujudkan melalui Pilkada langsung. Karenanya, Robert A Dahl
menyatakan bahwa: Dalam pelaksanaan demokrasi, harus diperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi yaitu:
1. Adanya prinsip hak yang sama dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu
dengan yang lainnya;
2. Adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang
sama bagi rakyat untuk mengekspresikan prefensinya dalam keputusan-keputusan
yang diambil;
3. Adanya pengertian yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan paham
terhadap keputusan-keputusan yang diambil negara, tidak terkecuali birokrasi;
4. Adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat, yang menunjukkan bahwa
rakyat mempunyai kesempatan istimewa untuk membuat keputusan dan


278
Amien Rais dalam Agus Wijayanto Nugroho, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Sengketa Pemilu Legislatif (Sebuah Pembelajaran Dalam Mewujudkan dan Menjaga Kedaulatan Rakyat),
(Banjarmasin: Jurnal Konstitusi, PKK-FH, Lambung Mangkurat, Vol. II No. 1 Juni 2009), hlm. 65
279
I Gde Panca Astawa, “Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD
1945”, (Bandung: Disertasi Doktor PPS Universitas Padjajaran, 2000), hlm. 84

170
dilakukan melalui proses politik yang dapat diterima dan memuaskan berbagai
pihak;
5. Adanya inclusiveness yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang
berdaulat adalah seluruh rakyat.
Walaupun Pilkada didasarkan pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil, namun dalam pelaksanaannya sangat berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran
dan sengketa. Salah satu jenis sengketa yang dapat muncul dalam penyelenggaraan
Pilkada langsung adalah sengketa hasil Pilkada langsung. Sengketa hasil Pilkada
langsung dapat diartikan sebagai sengketa yang muncul akibat yang ditetapkannya hasil
Pilkada langsung oleh penyelenggara Pilkada langsung. Secara tekstual, sengketa hasil
Pilkada langsung sebenarnya hanya bersifat kuantitatif yakni terkait dengan kekeliruan
perhitungan atas hasil Pilkada langsung. Akan tetapi, dalam perkembangannya ditemukan
bahwa sengketa hasil tidak hanya berupa sengketa kuantitatif, namun terkait juga dengan
sengketa kualitatif, dimana proses Pilkada langsung yang mempengaruhi hasil dapat diuji.
Sengketa hasil pilkada langsung tersebut harus diselesaikan sesuai dengan hukum (due
process of law). Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menentukan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karenanya, sebagai sebuah
negara hukum, maka sengketa hasil Pilkada langsung harus diselesaikan melalui lembaga
dan menurut tata cara yang telah ditentukan oleh hukum. Selain itu, sengketa hasil Pilkada
langsung harus diselesaikan secara melembaga dan damai, sehingga tidak mengurangi
legitimasi penyelenggaraan Pilkada langsung. Hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai
positif dan unsur-unsur universal dari demokrasi sebagai landasan penyelenggaraan
Pilkada langsung, yakni adanya penyelesaian perselisihan dengan damai dan
melembaga.280
Dengan adanya penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung yang demokratis, due
process of law dan melembaga, maka akan mencegah terjadinya konflik sosial di tengah-
tengah masyarakat. Penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung tersebut dapat
memberikan kepercayaan kepada rakyat, bahwa suara yang mereka salurkan melalui
Pilkada langsung tidak dicurangi oleh siapapun. Selain itu, penyelesaian sengketa hasil


280
Henry B. Mayo dalam Taufiqurrohman Syahuri, Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun
2003, (Bengkulu: Jurnal Konstitusi, PKK-FH, Universitas Bengkulu, Vol. II No.1 Juni 2009), hlm. 10

171
Pilkada langsung bertujuan untuk tetap menjaga suara rakyat secara konsisten demi
tegaknya kedaulatan rakyat melalui Pilkada langsung yang demokratis. Terkait dengan
hal tersebut, maka penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung telah dikenal semenjak
diadopsinya Pilkada langsung di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut memberikan kewenangan
kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Hal tersebut
ditentukan di dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan
bahwa (1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan
dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. (3)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud, pada ayat (1)
disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah kabupaten/kota. Dengan dasar tersebut, Mahkamah Agung semenjak tahun
2005 menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung.
Namun, terminologi Pilkada langsung tersebut berubah menjadi Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, menentukan bahwa: “Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu
untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Perubahan tersebut pada dasarnya bermula sejak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-73/PUU-II/2004, tanggal 22 Maret 2005.
Dalam putusan tersebut, ratio decidendi Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
“Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat Para Pemohon yang menyatakan
bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD
1945 yang dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai
hasil pemilu, menurut Para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Tentang
permohonan Para Pemohon untuk menyatakan Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7)
sebagai bertentangan dengan UUD NRI 1945, Mahkamah berpendapat bahwa secara

172
konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung
itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E
UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari
kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu
bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga
perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung
sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Dalam ratio decidendi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi sebenarnya
memberikan ruang kepada pembentuk undang-undang untuk dapat memperluas makna
Pemilu yang terdapat dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI 1945. Namun demikian, pada
hakikatnya perluasan makna Pilkada menjadi Pemilukada bertentangan dengan Pasal 22E
UUD NRI Tahun 1945. Karenanya, perubahan tersebut bertentangan tentang ketentuan
Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945, karena tidak melalui prosedur formal yang telah
ditentukan. Terkait dengan hal tersebut, Yusak Elisa Reba menyatakan bahwa Pasal 18
ayat (4) UUD NRI 1945 tidak secara tegas mengkategorikan pemilukada sebagai rezim
pemilu, karena Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah walaupun memegang jabatan
selama lima tahun, namun dari aspek waktu masa jabatan tidak sama antara Bupati atau
Gubernur di seluruh Indonesia dan pemilihan terhadap kepala daerah berkarakter lokal
karena tidak mengikutsertakan wilayah lain di Indonesia. Namun, Widodo Ekatjahyana
menyatakan bahwa, melalui konvensi ketatanegaraan tersebut, ketentuan Pasal 22E ayat
(2) UUD 1945 telah mengalami perubahan yakni dengan cara memperluas pengertian
pemilu, sehingga Pemilukada masuk menjadi rezim pemilu.281
Perubahan terminologi tersebut membawa perubahan mendasar atas lembaga yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung, yakni dari Mahkamah
Agung ke Mahkamah Konstitusi. Perpindahan tersebut didasarkan pada adanya


281
Widodo Ekatjahyana, Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Penyelesaian Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur Jawa Timur Putaran Kedua Tahun 2008 dan Implikasi Hukumnya, (Jambi: Jurnal
Konstitusi, PSKP-FH Universitas Jambi, Vol. II No. 1 Juni 2009), hlm. 90

173
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang
menetapkan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk …, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.”
Atas dasar ketentuan tersebut, maka berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 ditentukan bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan
hasil Pilkada langsung tersebut dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstutusi.
Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menentukan: “Penanganan sengketa
hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan
bulan) sejak undang-undang ini diundangkan.” Peralihan kewenangan penyelesaian
sengketa hasil Pilkada langsung telah menimbulkan perdebatan pro dan kontra di
kalangan ahli hukum tata negara. Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 24C
UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa
hasil Pemilu yang secara gramatikal dan original intent adalah pemilihan umum yang
ditentukan di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, banyak
ahli menyatakan bahwa pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada
langsung ke Mahkamah Konstitusi adalah inkonstitusional.
Di isi yang lain, sebagian ahli hukum tata negara juga menyatakan bahwa peralihan
kewenangan tersebut merupakan konstitusional dan merupakan perubahan yang sangat
penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Walaupun timbul perdebatan secara
akademis, Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh
Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut. Di sisi yang lain, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 juga memberikan dasar hukum bagi kewenangan
Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung. Dengan
demikian, dengan dasar tersebut Mahkamah Konstitusi untuk pertama kali menggunakan
kewenangannya tersebut di dalam perkara perselisihan hasil sengketa hasil pemilukada
Jawa Timur yang tetuang dalam putusan No. 41/PHPU-D-VI/2008. Perdebatan pro kontra
tersebut berakhir pada tahun 2013, dimana MK menyatakan bahwa MK tidak berwenang
untuk mengadili sengketa hasil Pilkada langsung. Hal tersebut dituangkan dalam Putusan

174
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013 tersebut didasarkan pada ratio decidendi sebagai berikut:
a. Bahwa Pasal 236C UU 12/2008, dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009
memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengadili perselisihan
hasil Pemilukada, padahal dalam Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 tidak memberikan kewenangan tersebut; b. Bahwa Pemilukada
bukan termasuk dalam ruang lingkup pemilihan umum, sehingga penanganan
perselisihannya bukanlah menjadi ruang lingkup Mahkamah. Hal tersebut
telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyalahi asas “lex superiori
derogat legi inferiori”, karena Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 sebagai norma
hukum yang lebih tinggi tidak memberikan kewajiban kepada norma yang
lebih rendah untuk mengatur penyelesaian sengketa Pemilukada diberikan
kepada Mahkamah;
b. Bahwa pemisahan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi dapat dimaknai
pemilihan kepala daerah bukanlah merupakan bagian dari pemilihan umum,
karena secara jelas telah diatur dalam konstitusi penyelenggaraan pemilihan
umum tidak termasuk pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, Pasal 236C
UU 12/2008 telah menyalahi pengertian pemilihan umum yang telah
ditentukan dalam UUD 1945 yang kemudian diakomodasi oleh Pasal 29 ayat
(1) huruf e UU 48/2009 dengan memberikan ketentuan kewenangan lain dari
Mahkamah Konstitusi;
c. Bahwa kewenangan dan kewajiban Mahkamah telah ditentukan secara
limitatif oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945. Kewenangan Mahkamah tersebut meliputi mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban Mahkamah adalah
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945,

175
ketentuan lebih lanjut mengenai Mahkamah Konstitusi hanya dapat diatur
dengan Undang-Undang yaitu khusus mengenai pengangkatan dan
pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi. Dari segi original intent, penggunaan kata
“dengan undang-undang” dalam Pasal 24C ayat (6) tersebut dimaksudkan
bahwa harus diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
Adapun maksud frasa “ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi” adalah
ketentuan mengenai organisasi atau hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan fungsi dan
wewenang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat
(6) tersebut, dibentuklah UU MK yang dalam Pasal 10 menentukan kembali salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum; d.
Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilihan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus dikaitkan
makna pemilihan umum dalam Pasal 22E UUD 1945 yang secara khusus dengan
mengatur mengenai pemilihan umum.
Paling tidak terdapat empat prinsip mengenai pemilihan umum dalam Pasal 22E UUD
1945, yaitu:
1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali;
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden,
serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai
politik dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan;
dan
4. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 tersebut, dengan menggunakan
penafsiran sistematis dan original intent, yang dimaksud pemilihan umum menurut UUD
1945 adalah pemilihan yang dilaksanakan sekali dalam setiap lima tahun untuk memilih
anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Oleh karena itu, sudah

176
tepat ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU MK yang menegaskan bahwa perselisihan hasil
pemilihan umum yang menjadi kewenangan Mahkamah yaitu perselisihan hasil
pemilihan umum anggota DPR, DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Pasal
74 ayat (2) tersebut menentukan bahwa permohonan penyelesaian hasil pemilihan umum
hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara
nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden;
c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan;
Bahwa pada sisi lain, pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD
1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Menurut
Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original intent
maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan
secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis dalam Pasal
18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua)
pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat
menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun
oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh
rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu
adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan. Pembentuk
Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat
di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan
menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan
secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika
perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh
rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk UndangUndang dan juga

177
terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat
istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang
lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada
pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat.
Baik sistem pemilihan secara langsung (Direct Democracy) maupun sistem pemilihan
secara tidak langsung atau perwakilan (Indirect Democracy) sama-sama masuk kategori
sistem yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati
menggunakan kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena pemilihan
kepala daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan
daerah adalah tepat Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU 32/2004) mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah dan
penyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah tidak
menutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri,
tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum sebagaimana
dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk
menentukan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau
dipilih oleh DPRD atau model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan
kewenangannya, pembentuk undang-undang menentukan pemilihan kepala daerah
dilakukan oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal
itu membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan
umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.
Demikian juga halnya walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa
pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta
penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Logika demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan
kepala desa yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai
sebagai pemilihan umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ratio decidendi di atas, diktum putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 menentukan bahwa pemberian kewenangan
penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung kepada Mahkamah Konstitusi yang
diberikan melalui ketentuan Pasal 263C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan P

178
asal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah inkonstitusional
dan harus dicabut, karena bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 serta tidak memiliki keuatan Hukum yang mengikat. Berdasarkan
diktum di atas, maka Mahkamah Konstitusi tidak lagi memiliki kewenangan untuk
mengadili, memeriksa dan memutus sengketa hasil Pilkada langsung. Alasan utama
putusan tersebut adalah karena Pilkada langsung tidak dapat dipersamakan dengan rezim
Pemilu yang diatur di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sehingga
pemberian kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung kepada Mahkamah
Konstitusi adalah inkonstitusional dan harus dicabut, karena bertentangan dengan Pasal
24C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan dasar putusan
tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan keleluasaan kepada pembentuk UU untuk
menentukan lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil
Pilkada. Namun, diktum Nomor 2 Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 menentukan
bahwa: “Mahkamah Konstitusi masih berwenang berwenang mengadili perselisihan hasil
pemilhan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur
mengenai hal tersebut”. Diktum tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum,
sehingga pembentuk undang-undang dituntut untuk segera menentukan lembaga
peradilan apa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya bersifat sementara dan merupakan
win-win solution, walaupun masih menimbulkan perdebatan ketatanegaraan. Pasca
putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 di atas, pembentuk UU (wetgever/ legislator)
menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.
Pasal 157 UU No. 1 Tahun 2015 menentukan bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan
penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh
Mahkamah Agung”. Artinya dari ketentuan tersebut, maka yang memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung adalah pengadilan tinggi yang
ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Namun demikian ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang-
Undang Nomor Tahun 2015 tersebut tidak berlaku lama, karena pembentuk Undang-
Undang (wetgever/legislator) menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Perubahan undang-undang tersebut juga membawa perubahan kepada lembaga peradilan

179
mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung. Terkait
dengan hal tersebut, Pasal 157 undang-undang tersebut mengatur mengenai lembaga
peradilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Pasal 157
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menentukan bahwa: (1) Perkara perselisihan hasil
Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Badan Peradilan Khusus. (2) Badan peradilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak
nasional. (3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa
dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. (4)
…dst.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terjadi pengalihan mengenai lembaga peradilan yang
berwenang untuk menyelesaikan hasil sengketa Pilkada langsung, dimana sengketa hasil
Pilkada diselesaikan oleh Badan Peradilan Khusus. Namun demikian, badan peradilan
khusus apa yang dimaksud, Pasal 157 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tidak
menentukan secara limitatif. Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
hanya menentukan bahwa badan peradilan khusus tersebut akan dibentuk sebelum
pelaksanaan pilkada serentak nasional. Ketentuan tersebut merupakan perumusan yang
kurang tepat mengingat Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan dirinya tidak
berwenang lagi untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung. Hal ini disebabkan
ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang menggantung mengingat ketentuan Pasal
201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menentukan bahwa pemilihan kepala
daerah serantak serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2027. Artinya, bahwa
ketentuan tersebut secara substansif bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
yang memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk menunjuk
lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung
Akibat ketidakjelasan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil
pilkada langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015, maka untuk mengisi kekosongan hukum (recht vacum), Pasal 157 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung sampai terbentuknya
badan peradilan khusus yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa
hasil pilkada langsung. Ketentuan tersebut memang ditentukan dalam diktum nomor 2
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menentukan bahwa:

180
“Mahkamah Konstitusi masih berwenang berwenang mengadili perselisihan hasil
pemilhan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur
mengenai hal tersebut”. Norma hukum yang ada dalam diktum nomor 2 putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan Pasal 157 ayat (3) UU No. 8 Tahun
2015 terdapat beberapa kekurangan yang sangat mendasar, karena bertentangan dengan
diktum nomor 1 putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Diktum nomor
1 putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 menentukan bahwa norma
Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan norma Pasal 29 ayat (1) huruf e
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI 1945 serta tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak lagi
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung.
Sehubungan dengan itu, menjadi tidak logis apabila melalui Pasal 175 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung. Walaupun hal tersebut
sangat dimungkinkan oleh diktum nomor 2 putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013, namun seharusnya pembentuk undang-undang memahami bahwa
diktum tersebut bersifat sementara. Karenanya, seharusnya dalam undang-undang
tersebut ditentukan lembaga peradilan yang berwenang. Apabila menunggu sampai
dibentuknya badan peradilan khusus, maka kewenangan MK yang diberikan melalui
Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak bersifat sementara, karena
butuh waktu sampai tahun 2027. Hal tersebut tidak memberikan kepastian hukum di
dalam praktek ketatanegaraan khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia.
Oleh karena itu, dalam konklusi lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil pilkada langsung telah mengalami perubahan dan
peralihan. Hal ini terjadi karena ketidakjelasan arah politik hukum dalam penyelesaian
sengketa hasil pilkada langsung. Selain eksistensi MK, salah satu lembaga lain yang
sudah lama diamanatkan atau diberi tempat secara khusus oleh UU adalah “Badan
Peradilan Khusus”. Memang Badan ini tidak secara langsung disebut secara yuridis
(berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) akan menangani sengketa pilkada
langsung, akan tetapi bisa dibentuk untuk menjadi solusi yuridis atas problem yuridis
tertentu di tengah masyarakat, diantaranya pilkada langsung.

181
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa
“Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam
undang-undang”. Lebih lanjut Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
menentukan bahwa “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25”. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memberikan kewenangan
kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk badan peradilan khusus, termasuk
badan peradilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
hasil Pilkada langsung. Badan peradilan khusus penyelesaian sengketa Pilkada tersebut
harus dibentuk di bawah 4 (empat) badan peradilan yang ada. Oleh karena itu, badan
peradilan khusus yang ditentukan dalam Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 sebaiknya dibentuk di bawah peradilan tata usaha negara, mengingat
sengketa hasil Pilkada langsung merupakan sengketa administratif yang menilai
keabsahan keputusan penyelenggara Pilkada langsung terkait hasil Pilkada langsung.
Kalau Badan Peradilan Khusus bisa dibentuk, tentu saja diantaranya dengan belajar pada
paradigma dan sistem penyelesaian perselisihan pilkada langsung yang pernah ditangani
MK, maka barangkali hal ini akan menjadi solusi terbaik untuk “mengurangi” beban
Mahkamah Konstitusi, yang idelitasnya terfokus pada penanganan problem
konstitusional yang menjadi kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi (Pasal 23
C ayat (1) dan (2)).
Lembaga penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung telah berubah-berubah, yakni
dari Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
berpindah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 236C
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Namun demikian, melalui putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 236C Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga
MK tidak berwenang lagi untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung.
Merespon hal tersebut, pembentuk UU melalui Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 menyerahkan kewenangan tersebut kepada Pengadilan Tinggi dan
kemudian dirubah melalui Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

182
menjadi kewenangan badan peradilan khusus. Sebelum badan peradilan khusus tersebut
terbentuk, Mahkamah Konstitusi masih tetap berwenang untuk menyelesaikan sengketa
hasil Pilkada langsung sebagaimana ditentukan dalam diktum nomor 2 putusan MK
Nomor 97/PUU-XI/2013 dan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan kewenangan konstitusional yang
bersifat sementara, dan pada hakikatnya bertentangan dengan substansi putusan
Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Oleh karenanya, pembentuk Undang-Undang harus
segera membentuk badan peradilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil Pilkada langsung.
Oleh karena itu Tim Perumus merekomendasikan agar segala sengketa terkait
pemilihan umum diselesaikan dalam Peradilan Pemilu, dengan demikian menghapuskan
kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk mengadili sengketa hasil
pemilihan umum dengan berdasarkan kajian evaluatif berikut:

4.6.1Pemilihan Umum sebagai Kunci Menuju Negara yang Demokratis


Kehadiran pemilu yang bersih merupakan keharusan dalam negara yang
demokratis. Sebagaimana dikatakan oleh Abraham Lincoln, demokrasi merupakan
suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.282 Oleh karena itu
untuk menjamin berjalannya demokrasi, keberadaan pemilu yang bebas dan tidak
memihak merupakan keharusan dalam suatu negara yang demokratis. Hal ini juga
diperkuat dengan pendapat dari Internasional Comission of Jurist yang merumuskan
bahwa salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis adalah adanya pemilu
yang bebas dan tidak memihak.283 Terutama saat ini dengan semakin luasnya wilayah
negara maka demokrasi hanya dapat dijalankan dengan sistem perwakilan melalui
wakil, sebab tidak mungkin mengikutsertakan seluruh rakyat dalam pemerintahan,
hanya dengan adanya pemilu untuk memilih para wakil dari rakyat yang akan duduk


282
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 15.
283
Ibid.

183
di pemerintahan, para wakil yang dipilih tersebut akan bertanggungjawab kepada
rakyat.284
Begitu pentingnya keberadaan pemilu dalam suatu negara yang demokratis
juga dapat kita amati dari tujuan pemilu seperti yang dirumuskan oleh Jimly
Asshiddiqie, yaitu:285
1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan secara tertib
dan damai;
2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
4. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan warga negara.
Melihat bahwa begitu pentingnya pemilu dalam menentukan berjalannya
demokrasi, maka untuk menjamin berjalannya pemilu dengan benar yang nantinya
akan melahirkan wakil-wakil yang sesuai dengan kehendak rakyat maka
diperlukanlah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat
pelanggaran dalam proses pemilu. Sengketa pemilu atau electoral dispute itu sendiri
sebagaimana dikemukakan oleh International IDEA memiliki arti sebagai:
“any complaint, challenge, claim or contest relating to any stafe of the electoral
process”286
berdasarkan pengertian yang didefinisikan oleh International IDEA, dapat dikatakan
bahwa cakupan dari electoral dispute sangat luas dan mencakup seluruh proses
pemilu.287 Sebab sebagai sebuah proses politik maka proses pemilu sangat rentan
dengan pelanggaran-pelanggaran seperti pelanggaran peraturan tentang pemilu
terutama yang menyangkut kampanye, permasalahan tindak pidana pemilu,
permasalahan money politics, serta kecurangan-kecurangan dalam perhitungan suara


284
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, “Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan
Umum”, dalam Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996), hlm. 67.
285
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.
199.
286
International IDEA, Electoral Justice: The International IDEA Handbook, (Stockholm: Bull
Graphics, 2010), hlm. 199.
287
Bisariyadi, “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara
Penganut Paham Demokrasi Konstitusional”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 3 (September 2012), hlm. 539.

184
yang sangat mungkin mempengaruhi hasil pemilu.288 Sehingga sangat diperlukan
mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pemilu tersebut.
Proses pemilu sendiri memiliki beberapa tahapan sebagaimana digambarkan
oleh International IDEA melalui skema electoral cycle, yaitu:

berdasarkan electoral cycle tersebut, maka proses pemilu dapat dikatakan terbagi
dalam tiga tahap. Dari ketiga tahapan yang terdapat dalam proses pemilu tersebut
maka dapat dikatakan bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C UUD 1945 merupakan salah satu bentuk dari
sengketa pemilu yaitu yang termasuk dalam kategori post-electoral period, karena
perselisihan hasil pemilu di MK ini menyangkut penetapan hasil pemilu secara
nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membuat
seorang yang seharusnya terpilih untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD, hingga


288
Rahayu Prasetianingsih, “Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah
Konstitusi sebagai Upaya Hukum Terakhir dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 1, No. 1 (November 2009), hlm. 43.

185
calon Presiden dan Wakil Presiden gagal dikarenakan terjadinya kekeliruan
perhitungan suara hasil pemilu baik itu yang disengaja maupun tidak disengaja.289
Namun saat ini terjadi perluasan mengenai makna perselisihan hasil pemilu
yang dapat ditangani oleh MK, dimana berdasarkan tafsiran MK dalam Putusan
Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 apabila terdapat pelanggaran yang bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi hasil pemilu, maka
pelanggaran tersebut dapat diproses oleh MK, yang berarti bahwa pelanggaran yang
dapat mempengaruhi hasil tersebut tidak hanya dalam arti sempit berupa perhitungan
suara, akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai pelanggaran yang terjadi baik dalam
perhitungan maupun dalam proses yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.290

4.6.2 Pemberian Kewenangan Memutus Sengketa Pemilu kepada Lembaga


Peradilan
Pada umumnya penyelesaian sengketa pemilu (Electoral Dispute Resolution)
memiliki empat model utama yang dibagi berdasarkan lembaga yang
291
menyelesaikannya yaitu:
1. Legislative Body;
2. Judicial Body;
3. Electoral Management Body with Judicial Power:
a. Regular courts of the judicial branch,
b. Constitutional court or council,
c. Administrative courts,
d. Specialized electoral courts;
4. Ad Hoc bodies created with international involvement or as an internal
national institutional solution to a specific electoral process.
Awalnya penyelesaian sengketa pemilu tidak diberikan kepada lembaga
peradilan, melainkan kepada lembaga legislatif, seperti Inggris yang memberikannya
kepada Parlemen sampai dengan tahun 1868, atau Perancis yang sejak abad ke 18


289
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.
38.
290
Sidik Pramono, Penanganan Sengketa Pemilu, (Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata
Pemerintahan di Indonesia, 2011), hlm. 26.
291
IDEA, Electoral Justice, hlm. 60.

186
memberikannya pada Etats Generaux hingga berlakunya Konstitusi Republik kelima
pada 1958. Alasan pemberian mekanisme penyelesaian sengketa pemilu kepada
lembaga legislatif saat itu juga sangat dipengaruhi oleh prinsip pemisahan kekuasaan
yang cenderung kaku saat itu, dimana tiap cabang kekuasaan dianggap independen
dari cabang kekuasaan lainnya dan tidak dapat membuat keputusan yang
mempengaruhi komposisi cabang kekuasaan lainnya.292 Namun kini dalam
perkembangannya banyak negara yang memberikan kewenangan memutus sengketa
pemilu kepada lembaga peradilan baik itu pengadilan biasa, pengadilan konstitusi,
pengadilan administratif, maupun pengadilan khusus pemilu. Dengan
mempercayakan pada lembaga peradilan hal itu diharapkan dapat menjamin segala
sengketa yang terjadi dapat diselesaikan secara hukum dan berdasarkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam konstitusi,293 karena negara-negara di dunia
beranggapan bahwa dalam pemilu terdapat hak-hak dari warga negara yang
merupakan HAM dan kebanyakan diakui oleh konstitusi negara-negara di dunia,
sehingga untuk menjamin hak tersebut ditegakkan maka penyelesaian sengketa
pemilu harus diberikan kepada pengadilan. Hak-hak tersebut menurut International
IDEA terdiri dari:
1. The right to vote and to run for elective office in free, fair, genuine and
periodic election conducted by universal, free secret and direct vote;
2. The right to gain access, in equal conditions, to elective public office;
3. The right to political association for electoral purposes; dan
4. Other rights intimately related to these, such as right to freedom of
expression, freedom of assembly and petition, and access to information
on political electoral matters.

4.6.3 Penyelesaian Sengketa Pemilu sebagai Bentuk Judicialization of Politics


Dengan munculnya anggapan bahwa penyelesaian sengketa pemilu memiliki
fungsi utama untuk menjamin HAM yang dimiliki oleh warga negara dan diakui oleh
konstitusi, maka kini banyak negara yang memberikan kewenangan memutus
sengketa pemilu sebagai bagian dari kewenangan lembaga peradilan terutama


292
Ibid., hlm. 63-64.
293
Ibid, hlm. 62.

187
pengadilan konstitusinya, dan Indonesia kini menjadi contoh salah satu negara yang
memberikan kewenangan memutus salah satu tahap sengketa pemilu kepada
pengadilan konstitusinya yaitu MK, bahkan kini tidak hanya terjadi di Indonesia
perkara-perkara sengketa pemilu juga mulai masuk ke dua pengadilan konstitusi
paling berpengaruh di dunia yaitu Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Contohnya dapat kita lihat dalam kasus Bush
v. Gore yang tersohor dan diputus oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, serta
kasus Hessen Election Review yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi Federal
Jerman.294 Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa masuknya penyelesaian
sengketa pemilu ke dalam lingkup kewenangan pengadilan di seluruh dunia
merupakan sesuatu yang lazim saat ini.
Namun sebenarnya, meski masuknya penyelesaian sengketa pemilu kepada
lembaga peradilan dimaksudkan untuk menjaga hak-hak asasi warga negara sesuai
dengan yang dijamin oleh konstitusi, akan tetapi tidak dapat kita kesampingkan pula
bahwa sengketa pemilu merupakan perkara yang memiliki unsur politis yang kuat,
sedangkan pengadilan itu sendiri tentu harus menjaga independensinya dan
membatasi diri terhadap perkara-perkara yang memiliki unsur politis yang kuat.
Dengan diberikannya lembaga peradilan kewenangan untuk memutus sengketa
pemilu yang merupakan perkara yang memiliki unsur politis tinggi maka dapat
dikatakan bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk judicialization of politics atau
suatu fenomena dimana terjadi perpindahan kewenangan dalam memutus pembuatan
kebijakan publik yang bersifat politis dari lembaga politik seperti legislatif maupun
eksekutif, kepada lembaga peradilan yang tidak representatif dan tidak akuntabel.295
Saat ini dengan melihat contoh-contoh di berbagai negara maka fenomena
judicialization of politics tersebut dapat dikatakan merupakan sesuatu yang lazim
dalam suatu negara demokrasi konstitusional,296 akan tetapi tidak sedikit pula yang
bersifat skeptis terhadap fenomena tersebut dan mengkritiknya dikarenakan dengan
masuknya perkara-perkara politik tersebut maka pengadilan akan menggunakan


294
Russel A. Miller, “Lords of Democracy: The Judicialization of Pure Politics in the United States
and Germany”, Washington and Lee Law Review, Vol. 587, (Januari 2004), hlm. 599.
295
Ibid., hlm. 595.
296
Jonghyun Park, “The Judicialization of Politics in Korea”, Asian-Pacific Law & Policy Journal,
Vol. 10, No.1 (2008), hlm. 100.

188
pertimbangan politik dalam pengambilan keputusannya, atas dasar itulah Jonghyun
Park dalam tulisannya menyatakan bahwa fenomena judicialization of politics dapat
menghancurkan nilai-nilai negara hukum (rule of law).297

4.6.4 Judicialization of Politics dalam Kewenangan MK Memutus Perselisihan


Hasil Pemilu
Di Indonesia sendiri, terdapatnya fenomena judicialization of politics dalam
kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pemilu memang tidak dapat
dilepaskan dari tujuan dibentuknya MK itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat
bahwa pertimbangan dibentuknya MK kental dengan muatan politis.298 Salah satu
alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak dapat dilepaskan dari
konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya Indonesia
baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi, dimana
pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu
kekuatan politik yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah
UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah
Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya,
apabila semakin terbaginya lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang
saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran
pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik yang
kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran pengadilan akan
semakin lemah.299 Maka dari itu dengan terdapatnya banyak partai dan tidak
terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan ketika dibentuknya MK, tak heran
apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-masalah


297
Ibid., hlm. 66.
298
Wicaksana Dramanda, “Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”, http://pleads.fh.unpad.ac.id/?p=152 diakses pada 1 Februari 2018.
299
Tom Ginsburg, “Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East
Asia”, Global Jurist Advance, Vol. 2, No. 2, (2002), hlm. 17.

189
politik, sebagaimana hal itu tercermin dimana begitu banyaknya perkara perselisihan
hasil pemilu yang diputus oleh MK.
Di Indonesia melalui kewenangannya memutus perkara perselisihan hasil
pemilu yang merupakan bentuk judicialization of politics, maka terbuka kemungkinan
bagi MK menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya karena pemilu itu sendiri
merupakan salah satu mekanisme bagi para pesertanya untuk dapat duduk di cabang
kekuasaan lain yaitu legislatif maupun eksekutif. Terbukanya kemungkinan bagi MK
menjadi objek politisasi tersebut dapat kita lihat dari banyaknya perkara perselisihan
hasil pemilu yang dimohonkan kepada MK. Banyaknya perkara perselisihan hasil
pemilu yang dimohonkan tersebut membuat MK sangat kerepotan dalam
menanganinya. Bahkan sebelum ini MK tidak hanya kerepotan dalam menangani
perselisihan hasil pemilu legislatif dan presiden saja yang dilangsungkan lima tahun
sekali, tetapi juga kerepotan menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala
daerah (pilkada) akibat terlalu banyaknya perkara sengketa pilkada yang masuk.
Banyaknya perselisihan hasil pilkada yang masuk ke MK tersebut disebabkan adanya
anggapan bahwa “apabila kalah dalam pilkada maka dibawa saja ke MK” yang
membuat 90% pilkada berujung di MK.300 Puncaknya adalah ketika mantan Ketua
MK Akil Mochtar ditangkap karena menerima suap ketika menangani sengketa
pilkada sehingga akhirnya MK melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menghapus
kewenangan MK dalam memutus sengketa pilkada. Namun dapat dikatakan bahwa
akibat terungkapnya perkara suap yang menimpa ketua MK tersebut membuat
tereduksinya kepercayaan rakyat kepada MK.
Contoh tersebut tentu menunjukkan bahwa kewenangan MK memutus
perselisihan hasil pilkada telah membuat MK menjadi objek politisasi dari para
peserta pilkada. Saat ini, meskipun MK sudah tidak lagi berwenang memutus
perselisihan hasil pilkada, namun perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif
yang masuk ke MK setiap 5 tahun sekali tetap membuat MK kewalahan karena
banyaknya jumlah perkara yang masuk sebab perkara perselisihan hasil pemilu
sampai sejauh ini merupakan perkara yang paling banyak diajukan di MK dimana
dalam pemilu 2014 saja terdapat 702 kasus mengenai perselisihan hasil pemilu


300
Gatra, “Fadel: 90% Pilkada Berujung pada MK”, https://www.gatra.com/politik-1/pemilu-
1/pilkada-1/31178-fadel-90-persen-pilkada-berujung-pada-mk.html diakses pada 1 Februari 2018.

190
legislatif yang dimohonkan kepada MK, jumlah tersebut menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan dibanding pemilu tahun 2004 dimana terdapat 274 perkara, dan pemilu
tahun 2009 dengan 627 perkara.301

4.6.5 Mengalihkan Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilu kepada


Badan Peradilan Pemilu
Memang sejak awal keberadaan MK dimaksudkan untuk menyelesaikan
perkara-perkara politik dan ketatanegaraan yang salah satunya adalah mengenai
perselisihan hasil pemilu, dengan begitu diharapkan permasalahan mengenai pemilu
dapat diselesaikan secara hukum sesuai prinsip-prinsip yang terdapat dalam
konstitusi. Namun, harus diingat pula bahwa kewenangan MK dalam memutus
perselisihan hasil pemilu merupakan suatu bentuk judicialization of politics yang
harus diimbangi melalui prinsip pembatasan diri (judicial restraint) agar MK sebagai
lembaga peradilan dapat menjaga kedudukannya dan tidak menjadi objek politisasi
dari cabang kekuasaan lainnya, dan mampu fokus pada tugas utama yang lebih minim
sarat politiknya seperti pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Oleh karena itu, kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu sudah
seharusnya dialihkan dari Mahkamah Konstitusi ke Peradilan Pemilu yang secara
khusus mengadili seluruh sengketa pemilu dengan hukum acara yang lebih singkat,
penyidik khusus, penuntut khusus, hakim khusus dan lain sebagainya. Perlunya akan
kebutuhan peradilan khusus pemilu dalam pelaksanaan pemilihan umum merupakan
sebuah cita hukum (ius constituendum) yang tujuannya untuk memproteksi hak
konstitusional warga negara dan peserta pemilihan tersebut. Pemilu dapat
memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam
penyelenggaraan tahapan pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam
kehidupan negara demokrasi, sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat
penyelesaian pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama tahapan suatu pemilu
berlangsung. Ide awal peradilan khusus Pemilu sebenarnya suatu solusi untuk
mewujudkan salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelenggaraan
pemilu diantaranya adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum,


301
Pramono, Penanganan Sengketa Pemilu, hlm. 19-20.

191
adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan peserta pemilu
menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu
penyelenggaraan pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atau merasa
dirugikan dalam penyelenggaraan tahapan suatu pemilu untuk mendapatkan kepastian
hukum, dapat mengajukan permasalahan tersebut di Peradilan Pemilu. Sehingga
dengan adanya Peradilan Pemilu, maka permasalahan-permasalahan hukum di pemilu
yang selama ini menumpuk di Mahkamah Konstitusi dapat diselesaikan dengan baik
dan terfokus.

4.7 Penguatan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia
Konsep demokrasi dalam suatu negara berarti negara tersebut menempatkan
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat,
dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Bahkan dalam sistem
participatory democracy, kekuasaan itu juga dilaksanakan ‘bersama’ rakyat. Namun
karena kebutuhan praktis, gagasan demokrasi ini perlu dilaksanakan melalui prosedur
perwakilan (representative democracy). Jadi dalam konsep demokrasi, pemerintahan
merupakan pemerintahan oleh rakyat, namun dalam pengertian masa ini pemerintahan
bersifat tidak langsung atau perwakilan (representative government). Dari sini muncul
ide adanya lembaga perwakilan rakyat, dan kedaulatan rakyat tidak berkurang hanya
karena adanya lembaga perwakilan rakyat.302
Carl J. Friedrich mengemukakan setidaknya terdapat 2 fungsi parlemen; sebagai
representative assemblies dan deliberative assemblies. Parlemen pada negara modern
tidak hanya mewakili keinginan (will) dari rakyat, tapi juga tempat membahas masalah
dalam masyarakat (deliberate). Parlemen sebagai majelis perwakilan rakyat
(representative assemblies) memiliki fungsi legislasi sebagai fungsi utamanya. Fungsi ini
lebih merupakan formal daripada politis, karena secara politis fungsi legislasi lebih
banyak dilakukan oleh birokrasi.303 Fungsi-fungsi ini dijalankan oleh parlemen dengan

302
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), hlm. 112-117.
303
Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2010), hlm. 18.

192
struktur lembaganya yang berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya. Secara umum,
struktur parlemen di dunia terdiri dari sistem satu kamar (unicameralism) dan sistem dua
kamar (bicameralism). Dalam praktek parlemen dengan kamar lebih dari 2
(multicameralism), walaupun parlemen terdiri dari 2 kamar, kewenangan membentuk
undang-undang hanya berada pada salah satu kamar atau kedua kamar. Arend Lijphart
membagi dalam 4 kategori struktur kamar dalam penelitiannya, yaitu strong,
mediumstrength, weak, dan unicameral legislatures.304
Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dengan adanya dua majelis di suatu negara
dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-
tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double
check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu
rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.305
Lebih lanjut, Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia untuk
memilih sistem dua kamar:306
1. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme
checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.
2. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan
tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang langsung mewakili
seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan
golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang
langsung mewakili seluruh rakyat.
3. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk
undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain).
Dengan demikian, segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan
sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk
menguatkan persatuan dan menghindari disintegrasi.


304
Ibid., hlm. 19-20.
305
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, dalam: Saldi Isra, “Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat:
Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi Vol. 1, Juli 2004,
hlm. 119
306
Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 60

193
4. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat
dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan
seperti DPR sekarang.
Salah satu perubahan substansial yang terjadi pada perubahan pertama hingga
keempat UUD NRI 1945 adalah penegasan sistem presidensial di Indonesia. Untuk itu
dilakukan penegasan posisi Presiden dalam sistem ketatanegaraan disertai penguatan
lembaga legislatif. Maka perubahan UUD NRI 1945 telah melahirkan sebuah lembaga
baru dalam struktur ketatanegaraan, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan
DPD pada Perubahan UUD NRI 1945 diarahkan sebagai kamar kedua parlemen dalam
sistem bikameralisme.307 Dibentuknya DPD dilatarbelakangi tuntutan demokrasi untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah dan memperluas serta meningkatkan
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional.308 Setidaknya terdapat tiga tujuan
dibentuknya DPD pada Perubahan UUD NRI 1945, antara lain untuk :309
1. Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerahdaerah
dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah;
3. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara
serasi dan seimbang.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sudah pernah dikenal adanya perwakilan
teritorial disamping pewakilan politik. Pada masa awal kemerdekaan hingga saat
diterapkannya konstitusi RIS, lembaga perwakilan rakyat dilaksanakan oleh KNIP
dimana 8 dari 25 orang anggotanya dipilih dari daerah. Pada saat Konstitusi RIS,
Indonesia menerapkan sistem dua kamar yang terdiri dari perwakilan politik oleh DPR
dan perwakilan teritorial oleh Senat RIS. Anggota Senat RIS berjumlah 32 orang di mana
setiap daerah diwakilkan oleh dua orang senat. Pada saat Indonesia kembali ke bentuk
negara kesatuan, diberlakukan UUDS 1950 di mana lembaga perwakilannya adalah DPR


307
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 3.
308
Kelompok DPD di MPR RI, Untuk Apa DPD RI (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006),
hlm. 37.
309
Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007), hlm. 103

194
yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Pada masa ini perwakilan daerah dihapuskan,
namun gagasan sistem dua kamar belum punah. Dalam upaya penyusunan konstitusi baru
oleh Konstituante, sistem bikameral tetap menjadi salah satu opsi bentuk lembaga
perwakilan rakyat.
Akibat gagalnya Konstituante, Presiden mengumumkan Dekrit Presiden yang
memberlakukan kembali UUD NRI 1945. Pada masa ini Presiden membentuk MPRS
yang terdiri atas anggota DPR-GR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan
Golongan. Utusan Daerah ini berjumlah 94 orang yang mewakili 24 daerah provinsi
dengan tiap provinsinya direpresentasikan oleh 3-5 orang. Pada masa Orde Baru, MPR
merupakan lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR ditambah
utusan golongan-golongan dan utusan daerah-daerah. Setelah Perubahan keempat UUD
NRI 1945, MPR tidak lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya
daripada lembaga negara yang lain. MPR sebagai lembaga tinggi negara setara tingkatnya
dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Perubahan ini juga mengubah struktur
kelembagaan MPR dengan menghapus unsur Utusan Golongan dan mengubah unsur
Utusan Daerah menjadi DPD. Sehingga MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.
Berbeda dengan DPR yang mencerminkan representasi politik (poltical representation),
DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional
310
representation).
Terjadi perubahan nomenklatur Utusan Daerah menjadi Dewan Perwakilan Daerah.
Katin Subiyantoro, juru bicara F-PDIP pada Rapat PAH I BP MPR ke-38 mengatakan
bahwa penambahan kata ‘dewan’ menggambarkan penguatan kelembagaan DPD sebagai
badan yang mempunyai peran dan kedudukan hukum pasti. Perubahan kata ‘utusan’
menjadi ‘perwakilan’ menggambarkan bahwa DPD sungguh-sungguh menjadi wakil
rakyat dari daerah yang tidak sekedar diangkat, tetapi dipilih langsung oleh rakyat.311
Utusan Golongan dalam MPR sebelum perubahan UUD NRI 1945 mewakili
kelompok-kelompok fungsional yang aspirasinya tidak mungkin dapat diwakili oleh
perwakilan politik. Oleh karena itu dikenal adanya perwakilan fungsional disamping


310
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 140.
311
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD NRI 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 1121.

195
perwakilan politik dan perwakilan regional.312 Terkait hal ini dalam pembahasan
perubahan UUD NRI 1945, Valina Singka dari F-UG mengatakan bahwa Utusan
Golongan dihapus karena pandangan bahwa melalui perwakilan regional (baca: DPD)
sebetulnya kelompok-kelompok minoritas di daerah masing-masing juga bisa
direpresentasikan.313 Ini disebabkan perbedaan hakikat kepentingan yang diwakili oleh
DPR dan DPD. DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan
untuk mewakili daerah-daerah. Kepentingan yang diutamakan dalam perwakilan regional
adalah kepentingan daerah secara keseluruhan terlepas dari kepentingan individu rakyat
yang seharusnya disalurkan melalui DPR.314
Menurut Bagir Manan, penghapusan Utusan Golongan lebih didorong oleh
pertimbangan pragmatik daripada konseptual yaitu karena tidak mudah menentukan
golongan yang diwakili dan cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara
golongan yang diangkat dan yang mengangkat.315 Sedangkan pembentukan DPD
dimaksudkan untuk mendapatkan sistem politik yang pas dan sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang heterogen karena mustahil apabila satu sistem kelembagaan
politik saja akan mampu menampung seluruh perbedaan itu.316 Lagi menurut Bagir
Manan, pembentukan DPD dilatarbelakangi oleh beberapa dasar konseptual, yaitu:317
1. Sebagai unsur sistem perwakilan dua kamar di samping DPR yang keduanya
merupakan unsur-unsur MPR;
2. Sebagai pengganti utusan daerah di MPR yang tidak jelas kedudukan dan
fungsinya;
3. Memperkuat kekuasaan legislatif dengan memperluas keterwakilan rakyat (bukan
hanya representasi politik oleh DPR), sebagai faktor pengimbang (check and
balances) yang meningkatkan kualitas hasil kerja, dan saling mengawasi; dan
4. Sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah yang tidak selalu mendapat
perhatian yang cukup dari pusat.


312
Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, hlm. 142-143.
313
Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan…, hlm. 1086
314
Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, hlm. 142-147.
315
Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru (Yogyakarta: FH UII Press, 2003),
hlm. 75.
316
Kelompok DPD, Untuk Apa DPD RI, hlm. 3-4.
317
Bagir Manan, Membedah UUD NRI 1945 (Malang: UB Press, 2012), hlm. 17-18.

196
Sementara menurut Kelompok DPD di MPR Republik Indonesia, latar belakang
dibentuknya DPD bisa dilihat dari:318
1. Segi filosofis, yaitu didorong oleh kepentingan mewarnai kebijakan pemerintahan
nasional dengan memberikan ruang baru bagi kepentingan masyarakat daerah.
Pengertian daerah di sini bukanlah daerah per daerah melainkan wilayah
geokultural dalam bingkai yang majemuk;
2. Segi historis, yaitu hubungan pusat dan daerah yang selalu mengalami ketegangan
sejak kemerdekaan Indonesia; dan
3. Segi yuridis, yaitu dibutuhkannya suatu sistem yang lebih baik agar keterwakilan
politik di Indonesia sebagai wilayah luas dengan keragaman etnis dan budaya
dapat berjalan dengan baik.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan DPD
diharapkan mampu menjamin keterwakilan rakyat daerah dalam memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya, memperjuangkan pembangunan dan kemajuan daerah,
serta memperkuat pelaksanaan check and balances.

4.7.1 Status Quo Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah RI


Saat ini, ketentuan mengenai DPD diatur dalam BAB VIIA berjudul Dewan
Perwakilan Daerah, Pasal 22C dan 22D. Secara garis besar, Pasal 22C mengatur
tentang kelembagaannya seperti metode seleksi, keanggotaan, jumlah sidang, serta
susunan dan kedudukannya; sedangkan Pasal 22D mengatur tentang kewenangannya.
Pasal 22C ayat (1) secara khusus mengatur tentang pengisian jabatan DPD, yaitu
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Metode
seleksi anggota DPD berbeda dengan anggota Utusan Daerah untuk menegaskan
bahwa anggota DPD merupakan perwakilan dari daerahnya, bukan sekedar utusan.319
DPD merupakan sebuah lembaga territorial representation yang melaksanakan jenis
perwakilan in presence dan in ideas.320 Dikatakan representasi in presence karena


318
Kelompok DPD, Untuk Apa DPD RI, hlm. 5-21
319
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD NRI 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 199-2002, Buku II tentang Sendi-sendi/Fundamen Negara
(Jakarta: Seketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 69.
320
Dayanto, Peraturan Daerah Responsif: Fondasi Teoritik dan Pedoman Pembentukannya
(Yogyakarta: Penerbit Depublish, 2015), hlm. 220.

197
secara formal merupakan keterwakilan dari segi kehadiran secara fisik dalam
parlemen. Sedangkan DPD sebagai respresentasi in ideas jika dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 22E ayat (4), bahwa anggota DPD adalah perseorangan. Pasal 22C
ayat (2) mengatur tentang sistem rekrutmen anggota DPD. Dalam literatur hukum dan
politik dikenal tiga sistem rekrutmen utama, yaitu:321
1. Sistim Distrik: Dalam sistem ini, daerah pemilihan dibagi ke dalam wilayah-
wilayah (distrik) pemilihan berdasarkan kesatuan geografis atas dasar
perhitungan jumlah penduduk tertentu. Pembagian atas dasar jumlah
penduduk itu dilakukan secara seimbang misalnya setiap 50.000 penduduk
diwakili oleh seorang wakil tunggal (single member constituency) yang dipilih
atas dasar perhitungan suara terbanyak;
2. Sistim Proporsional: Dalam sistem ini, daerah pemilihan dibagi ke dalam
wilayah-wilayah besar untuk memilih beberapa orang wakil sekaligus (multi
member constituency). Misalnya ditentukan bahwa untuk setiap 50.000
penduduk akan dipilih 5 orang wakil yang berasal dari partai-partai yang
memenangkan suara di daerah pemilihan tersebut. Dengan demikian, untuk
setiap 100.000 suara yang dihimpun partai politik yang bersangkutan akan
memenangkan satu kursi di parlemen;
3. Sistim Campuran: Dalam sistem ini, kelemahan kedua sistem di atas dicoba
untuk diatasi. Misalnya menerapkan sistem distrik dengan menyediakan kursi
mutlak untuk minoritas seperti yang diterapkan di Singapura atau seperti di
Jerman dimana setengah dari anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik
dan setengahnya lagi dipilih dengan sistem proporsional.
Dapat disimpulkan dari Pasal 22C Pasal (2) bahwa sistem rekrutmen anggota
DPD menggunakan sistem distrik. Saat ini terdapat empat orang anggota DPD dari
tiap-tiap provinsi.322 Pasal 22C ayat (3) mengatur bahwa jumlah sidang yang harus
dilakukan DPD dalam setahun sedikitnya sekali. Sedangkan ayat (4) menjelaskan
bahwa susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Pasal 22D


321
Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 1996), hlm.
26-28.
322
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

198
mengatur tentang kewenangan konstitusional DPD dalam menjalankan fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, fungsi
representasi dan legislasi menjadi utama. Fungsi legislasi dalam lembaga perwakilan
rakyat terdiri dari prakarsa, pembahasan, dan persetujuan atas pengesahan undang-
undang serta pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas persetujuan
internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.323 Namun
apabila dilihat dari kewenangan dalam Pasal 22D, fungsi legislasi DPD sangat lemah.
Banyak pendapat mengatakan bahwa dengan rumusan tegas fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan oleh DPR, telah memberi garis demarkasi yang sangat
tegas bahwa kekuasaan membuat undang- undang hanya menjadi monopoli DPR.
Tidak hanya kewenangannya yang terbatas, UUD NRI 1945 juga sangat rancu dan
tidak jelas mengatur fungsi-fungsi DPD dan memberikan restriksi kekuasaan yang
tidak proporsional kepada DPD sebagai lembaga negara dan sebagai lembaga
legislatif kedua setelah DPR.
DPD telah lahir sebagai sebuah lembaga baru berdasarkan Pasal 3 UUD NRI
1945 (hasil amandemen keempat). Sebagai institusi negara yang baru, peran DPD
belum begitu berarti, setidaknya karena empat hal:324
1. Fungsi, tugas, wewenang dan hak DPD belum terumus dengan baik, dan juga
hak-hak dari anggota DPD;
2. Sebagai lembaga negara baru, tentunya masih dicari sebuah sistem yang
memungkinkan berperannya DPD secara optimal;
3. Lembaga-lembaga negara negara yang sudah ada sebelumnya, khususnya
DPR-RI belum sepenuh hati memberikan peran yang menentukan bagi DPD,
sehingga wibawa politik dan kewenangan yang dimilikinya sangat lemah; dan
4. Karena Indonesia belum memiliki pengalaman yang luas mengenai sistem
bikameral.
Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPD dapat
mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta


323
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, hlm. 34.
324
John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Penguatan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (Jakarta: Pelangi Cendikia, 2009), hlm. 181

199
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sebelum diadakan penafsiran melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, pelaksanaan
ketentuan pasal ini diatur berdasar UU No. 27 tahun 2009, dan UU No. 12 tahun 2011,
serta Tata Tertib DPR. Pengajuan RUU oleh DPD harus terlebih dahulu melewati
DPR karena DPR yang menentukan apakah RUU tersebut masuk ke dalam lingkup
kewenangan DPD.325 Selain itu, pengajuan RUU oleh DPD mesti dilakukan
berdasarkan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan
undang-undang di Indonesia.326 Padahal dalam proses penyusunan Prolegnas, Badan
Legislasi DPR hanya menginventarisasi usulan DPD seperti halnya komisi atau
fraksi.327 Dengan adanya Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, ditegaskan kembali
Peran DPD terlibat dalam pembuatan Prolegnas serta Peran DPD berhak mengajukan
RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana halnya
bersama-sama dengan DPR dan Presiden.
Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPD ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Selain itu, DPD memberi pertimbangan atas RUU anggaran APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Sebelum diadakan penafsiran melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012,
kewenangan DPD untuk ikut membahas tidak berjalan dengan baik karena wewenang
untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan ada di DPR.328 Artinya kehadiran
DPD dalam pembahasan RUU bukan karena inisiatifnya, melainkan karena diundang
oleh DPR. Pandangan dan pendapat DPD dalam tahap pembahasan RUU juga tidak


325
Pasal 104 ayat (5) Tata Tertib DPR tahun 2009.
326
Pasal 101 Tata Tertib DPR tahun 2009.
327
Pasal 60 huruf d jo. Pasal 104 ayat (1) Tata Tertib DPR tahun 2009.
328
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib.

200
menentukan sama sekali. DPR tidak memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan
pandangan DPD, bahkan pembahasan RUU tetap dilanjutkan dalam pembahasan
tingkat II walaupun DPD tidak memberikan pandangannya. DPD tidak benar-benar
hadir dalam dua tingkat pembicaraan padahal di situlah terjadi tawar menawar politik
dalam menentukan perumusan pasal undang-undang yang akan mengikat seluruh
rakyat di daerah. DPD juga hanya bisa memberi pertimbangan mengenai RUU APBN
dan yang mengenai pajak, pendidikan, dan agama. Berbeda dengan pembahasan
bersama, pemberian pertimbangan hanya bisa dilakukan oleh DPD secara tertulis.329
Pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Fungsi anggaran DPD ini hanya terbatas
pada memberi pertimbangan terhadap RUU APBN.
Kata dapat mengajukan, ikut membahas, dan dapat melakukan pengawasan
pada Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), dalam ilmu tafsir (interpretasi) dipahami sebagai
sesuatu yang juga dapat tidak dilakukan dalam proses legislasi nasional atau dalam
proses pembuatan undang-undang330 Sehingga kemudian dapat kita tarik kesimpulan
bahwa UUD NRI 1945 tidak memberikan original power kepada DPD. Makna kata
dapat dalam Pasal 22D ayat (1) hanya menempatkan DPD sebagai lembaga negara
yang membantu DPR dalam menjalankan fungsi legislatifnya. Kemudian, makna kata
ikut membahas dalam ayat (2) hanya mempromosikan DPD sebagai lembaga negara
yang tidak sepenuhnya menjalankan fungsi pembahasan RUU. Kata ikut
mengimplikasikan bahwa DPD merupakan sub-ordinat DPR. Lalu, pengertian dapat
melakukan pengawasan dalam ayat (3) dapat ditafsirkan bahwa menempatkan DPD
pada posisi yang lemah pada mekanisme checks and balances. Kata dapat
mengindikasikan DPD tidak perlu berkewajiban mengajukan RUU kepada DPR,


329
Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 29/DPD/2005 tentang Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Daerah.
330
John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Penguatan Dewan Perwakilan…, hlm. 184.

201
apalagi kalau DPD menganggap itu tidak terlalu penting, atau itu hanya sebuah
rumusan yang tidak mengikat DPD untuk mengajukan RUU kepada DPR.331

4.7.2 Perubahan Terhadap Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah RI


Pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dengan dibentuknya DPD dalam
rangka restrukturisasi lembaga perwakilan rakyat, telah terbentuk sebuah struktur
parlemen dua kamar (bikameralisme). Namun kedua kamar dewan perwakilan
tersebut tidak dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat. Misalnya dalam fungsi
legislatif, DPD hanya memberikan pertimbangan mengenai Rancangan Undang-
undang tertentu kepada DPR yang dengan tegas memegang fungsi legislatif. Karena
alasan ini, struktur parlemen Indonesia sering disebut soft bicameralism. Namun,
Menurut Jimly Asshiddiqie, struktur parlemen Indonesia sama sekali tidak bisa
disebut sistem bikameral.332 Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali tidak diberi
kewenangan legislatif, meskipun hanya sederhana sekalipun. DPD hanya memberi
saran atau pertimbangan, dan sama sekali tidak berwenang mengambil keputusan apa-
apa di bidang legislatif. Kedua, Pasal 2 ayat (1) UUD NRI1945 menyatakan bahwa
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, tidak seperti Kongres Amerika
Serikat yang dikatakan terdiri atas DPR dan Senat, atau Staten Generaal Belanda
yang terdiri atas Eereste Kamer dan Twede Kamer. Ketiga, ternyata lembaga MPR
juga mempunyai kewenangan-kewenangan dan Pimpinan tersendiri. Dari kedua hal
itu, MPR dapat disebut sebagai kamar tersendiri, sehingga struktur parlemen
Indonesia dapat disebut sebagai parlemen tiga kamar (trikameralisme).
Ketimpangan kewenangan antara dua kamar sebenarnya bukan hal yang
negatif, karena sebetulnya tujuan pembentukan DPD, sebagaimana disebutkan di
awal, seluruhnya hanya berkaitan berkaitan dengan kepentingan daerah. Inilah yang
sebelumnya kita sebut sebagai bikameral asimetris. Namun di Indonesia kewenangan
DPD bukan hanya asimetris tetapi sangat terbatas dan tidak mandiri. Jika kita
bandingkan dengan praktek bilateral negara lain, dari 22 negara yang diteliti oleh
Fatmawati, hanya 2 negara yang kamar keduanya tidak memiliki kewenangan


331
Ibid., hlm. 185.
332
Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, hlm. 150.

202
membentuk undang-undang.333 Dari penelitian yang sama, tidak ada satu pun negara
yang metode seleksi anggota kamar keduanya dipilih secara langsung yang
membatasi kewenangan kamar keduanya hanya berkaitan dengan kepentingan
daerah. Jadi terlihat bahwa negara-negara yang kewenangan dalam fungsi legislasi
kamar keduanya hanya terkait kepentingan daerah, metode seleksi anggotanya tidak
dipilih secara langsung, seperti di RIS, Federal Republic of Germany, dan Republic
of South Africa.334 Sungguh aneh jika di Indonesia, dimana DPD memiliki legitimasi
demokrasi, tapi kewenangannya terbatas hanya terkait kepentingan daerah tanpa
kewenangan menyetujui undang-undang. Jika dipertahankan demikian, akan lebih
efisien jika sistem Parlemen Indonesia dipertegas sebagai unikameral.
Untuk menentukan struktur parlemen yang ideal pada suatu negara, Arend
Lijphart mengaitkannya dengan teori bentuk demokrasi. Lijphart menggagas dua
model demokrasi yang disebutnya sebagai Westminster/Majoritarian Model of
Democracy dan Consensus Model of Democracy. Penggolongan ini didasari paradoks
dilematis pada pelaksanaan demokrasi bahwa demokrasi yang sepenuhnya menjadi
kekuasaan milik mayoritas tanpa memperhatikan hak-hak minoritas. Sebaliknya,
bukan merupakan demokrasi jika pemerintahan bertentangan dengan kehendak
mayoritas. Untuk itu diperlukan diskusi berkelanjutan untuk menghasilkan kompromi
sebagai bagian alami dalam demokrasi. Diskusi ini terjadi pada lembaga perwakilan
rakyat, sehingga terkait struktur parlemen, Lijphart mengatakan:335
“The pure majoritarian model of democracy calls for the concentration of
legislative power in single chamber; The pure concensus model of democracy
is characterized by a bicameral legislature in which power is devided equally
between two differently constituted chambers.”
Gagasan dasar dari Demokrasi Majoritarian adalah bahwa mayoritas yang
paling berhak memerintah. Model demokrasi yang dipromosikan Lijphart ini
merupakan gambaran dari praktek dan tradisi pemerintahan Inggris yang


333
Fatmawati, Struktur dan Fungsi…, hlm. 285.
334
Fatmawati, Struktur dan Fungsi…, hlm. 167-168, 200-201, 286.
335
Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty Six
Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1999), hal. 200.

203
parlemennya bertemu di Palace of Westminster, sehingga nama Demokrasi
Majoritarian dipakai secara bergantian dengan Demokrasi Westminster.336
Terdapat beberapa ciri khas yang menggambarkan model Demokrasi
Westminster;
1. Konsentrasi kekuasaan pada eksekutif, dimana terdapat satu partai yang
berkuasa dalam kabinet;
2. Penggabungan kekuasaan dan dominasi oleh kabinet. Kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan parlemen, dimana pembentukan dan
kontrol terhadap kabinet sangat bergantung pada mosi percaya atau mosi
tidak percaya dari parlemen;
3. Sistim dwi-partai;
4. Sistem pemerintahan kesatuan (unitaris) dan sentralistis;
5. Konstitusi yang tidak tertulis dan kedaulatan parlemen;
6. Sistem demokrasi perwakilan yang eksklusif.
Model demokrasi yang berhadapan dengan model Demokrasi Majoritarian
adalah Demokrasi Konsensus. Dasar pemikiran dari model ini adalah bahwa
mayoritas tidak boleh dibiarkan menjadi tirani atau diktatur bagi kelompok minoritas.
Pada model ini, terdapat pula beberapa ciri khas yang menggambarkannya:
1. Adanya pembagian kekuasaan eksekutif dengan dibangun sebuah koalisi
besar;
2. Pemisahan kekuasaan secara formal maupun informal;
3. Sistem multipartai;
4. Federasi teritorial dan non teritorial serta desentralisasi. Federasi lebih
dikenal dalam pemberian otonomi pada kelompok berbeda dalam
masyarakat;
5. Konstitusi tertulis dan hak veto dari kelompok minoritas.
Pengkategorian ini merupakan sebuah spektrum, sehingga dimungkinkan
sebuah negara yang termasuk model Demokrasi Majoritarian memiliki beberapa ciri
Demokrasi Konsensus, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan 10 karakteristik model
demokrasi baik executives-party dimension dan federal-unitary dimension yang


336
Lijphart, Patterns of Democracy, hlm. 9.

204
dikemukakan oleh Lijphart, demokrasi di Indonesia adalah consensus model. Oleh
karena itu secara teoritis selayaknya Indonesia menganut sistem parlemen bikameral,
bahkan strong bicameralism jika Indonesia adalah negara ‘pure Consensus Model of
Democracy.337 Untuk menuju struktur parlemen bikameral, perlu diadakan perubahan
mendasar dengan pemahaman masalahnya apakah terdapat pada rumusan pasal UUD
atau terdapat pada tingkat pelaksanaannya. Sebelumnya sudah dilakukan identifikasi
masalah status quo DPD RI. Dapat dimengerti bahwa permasalahan terdapat pada
rumusan pasal UUD yang memperlihatkan ketimpangan antara kedudukan DPD dan
DPR dalam fungsi legislasi. Selain itu rumusan pasal mengenai kewenangan DPD
menggunakan kata rancu yang dalam ilmu tafsir dapat diartikan berbeda dari maksud
aslinya.
Maka dari itu, ditawarkan solusi dengan mempertegas dan memperkuat
kewenangan DPD dalam fungsi legislasi. Dengan demikian DPD bisa mengajukan,
membahas, dan memberi persetujuan dalam proses legislasi undang-undang yang
berkaitan dengan kepentingan daerah. Pertimbangan yang diberikan DPD pada
pembahasan undang-undang saat ini tidak begitu bernilai karena ia tidak memiliki
kewenangan untuk memberi persetujuan. Dengan kewenangan DPD memberikan
persetujuan terhadap rancangan undang-undang, DPD memiliki bargaining position
dalam proses pembahasan undang-undang. Lebih jauh, harus pula diadakan
perubahan rumusan pasal terkait frasa-frasa ‘dapat mengajukan’, ‘ikut membahas’,
dan ‘dapat melakukan pengawasan’ sehingga tidak ada permasalahan dalam
penafsiran.
Sebagai akibat, diharapkan DPR dapat bekerja sama dengan DPD mulai dari
penyusunan Prolegnas hingga pengesahan undang-undang terkhusus yang berkaitan
dengan kepentingan daerah. Kewenangan DPD dalam struktur bikameral sudah
semestinya demikian. DPD diharapkan dapat memberikan ruang baru bagi
kepentingan masyarakat daerah di pusat. Untuk itu, diharapkan juga bagi DPD untuk
bisa membangun hubungan aspiratif dengan berbagai pihak sebagai konstituennya,
bukan hanya dengan pemerintah daerah. Terlebih DPD tidak hanya dimaksudkan
mewakili warga negara di daerah, tetapi juga kepentingan daerah sebagai satu


337
Muchamad Ali Safa’at, DPD Sebagai Lembaga Perwakilan Daerah dan Proses Penyerapan
Aspirasi, Disampaikan sebagai bahan pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009.

205
kesatuan geografis. Maka dari itu diperlukan wakil yang berdomisili di provinsi yang
bersangkutan serta perangkat baik di daerah maupun di pusat.

4.8 Penguatan Sistem Presidensial


Menurut Miriam Budiardjo, partai politik merupakan suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan berebut
kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-
kebijaksanaan mereka.338 Sedangkan menurut Carl J. Friedrich, partai politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir serta stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan kekuasaan. Raymond Gartfield mengatakan bahwa partai politik terdiri
dari sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai
suatu kesatuan politik.339 Partai politik dalam arti modern adalah sebagai salah satu
organisasi masa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak
kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin serta mengejar penambahan anggota.340
Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik sejatinya
merupakan sekumpulan orang yang terorganisir atau teratur, yang memiliki suatu tujuan
yang berkaitan dengan kekuasaan dan politik di suatu negara. Partai politik memiliki
beberapa fungsi, diantaranya adalah:341
1. Sebagai sarana komunikasi politik: Yaitu berfungsi sebagai komunikator politik
berkaitan dengan kapasitas dan kebijakan pemerintah dalam menyampaikan
aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat. 
2. Sebagai rekrutmen politik:Mencari anggota yang berkompeten dalam
menjalankan kegiatan partai. Fungsi merupakan kelanjutan dalam mencari dan
mempertahankan kekuasaan. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan
kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk mencari anggota. 


338
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.
403.
339
H.B. Widagdo, Management Pemasaran Partai Politik Era Reformasi (Jakarta: PT Gramedia,
1999), hlm. 206.
340
Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia (Medan: FISIP USU, 2002), hlm. 106.
341
Ramlan Subekti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 161.

206
3. Sebagai pengatur konflik:Dalam kehidupan yang demokratis tiap negara dan tiap
kelompok masyarakat berhak menyampaikan aspirasi serta memperjuangkan
kepentingan masing-masing. Akibat dari kehidupan yang demokratis tersebut
dapat menimbulkan pergeseran, perbenturan, pertentangan antar kepentingan
dalam masyarakat. Pengatur konflik juga bertujuan untuk mengakumulasikan
berbagai aspirasi dan kepentingan melalui dialog antar kelompok untuk
memusyawarahkan dan mencari keputusan politik yang memuakan kepentingan
berbagai kelompok.
4. Sebagai sosialisasi politik: Yaitu proses pembentukan dari orientasi politik para
anggota masyarakat terhadap kehidupan politik yang berlangsung. Proses ini
mencakup proses dimana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai
dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Proses sosialisasi ini dapat dilakukan
melalui pendidikan formal dan non-formal.
Dalam kehidupan bernegara, partai politik menduduki tempat yang penting. Terutama
dalam hal demokrasi, adanya partai politik merupakan perwujudan atas partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Partai politik pula merupakan manivestasi dari Pasal 28
UUD 1945, yang melegitimasi perlindungan terhadap kebebasan berkumpul dan
berserikat. Kebebasan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi ini pun diwujudkan salah
satunya dengan hadirnya partai politik di negara. Sehingga partai politik ini sendiri
menjadi vital dalam negara yang menganut demokrasi, sebagai penyalur suara rakyat.

4.8.1 Sistem Kepartaian dan Sistem Pemerintahan


Menurut Ramlan Subekti, sistem kepartaian merupakan pola perilaku dan
interaksi diantara partai politik dalam suatu sistem politik. Tidak jauh berbeda,
Riswanda Imawan, seorang politikus Indonesia, mengartikan sistem kepartaian
sebagai pola interaksi partai politik dalam suatu sistem politik yang menentukan
format dan mekanisme kerja satu sistem pemerintahan. Berdasarkan definisi
tersebut, dapat dilihat bahwa interaksi antar partai politik dalam suatu negara
dapat menentukan dan berpengaruh terhadap pemerintahannya. Maurice
Duverger dalam bukunya, Political Parties, membagi sistem kepartaian menjadi
3 macam, yaitu: sistem partai tunggal (one-party system), sistem dwi partai (two
party system), dan sistem multi partai (multi-party system).

207
Sistem partai tunggal merupakan istilah yang dipakai untuk partai yang
benar- benar merupakan satu-satunya partai di dalam suatu negara, ataupun yang
memiliki kedudukan dominan diantara partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat
di beberapa negara Afrika, Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian dalam pola
ini adalah non- kompetitif dikarenakan partai-partai yang ada harus menerima
pimpinan dari partai yang dominan. Sistem dwi partai diartikan bahwa adanya dua
partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai.
Terdapat partai yang berkuasa (partai yang memenangkan pemilihan umum) dan
partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilihan umum). Pola ini ditemukan di
negara Inggris, Amerika Serikat dan Filipina. Sistem dwi partai biasanya
didukung dengan sistem pemilihan single- member constituency (sistem distrik)
di mana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Lain
halnya dengan sistem multipartai, dimana terdapat banyak partai (lebih dari dua
partai) yang hidup dan bertarung dalam pemilihan umum di suatu negara. sistem
multipartai ini dianggap sebagai konsekuensi dari masyrakat dengan komposisi
yang beranekaragam. Sistem ini dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia,
Belanda, Perancis, dan sebagainya. Biasanya sistem multipartai diperkuat dengan
sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang
memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.342
Sistem pemerintahan terdiri dari dua kata, yaitu “sistem” dan
“pemerintahan”. Sistem adalah susunan yang terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu dengan lainnya dengan teratur dan terencana untuk mencapai tujuan
tertentu. Jika satu bagian tidak seimbang dengan lainnya atau terganggu fungsinya
akan berpengaruh pada bagian lainnya.343 Sedangkan pengertian pemerintahan
menyangkut tugas dan kewenangan. Pemerintahan dalam arti luas berarti seluruh
fungsi negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif.344 Menurut Mahfud MD,
sistem pemerintahan merupakan suatu sistem hubungan tata kerja antar lembaga-


342
Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hlm. 35.
343
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 56-57.
344
Subekti, Memahami Ilmu Politik, hlm. 169.

208
lembaga negara.345 Terdapat dua macam sistem pemerintahan yang umum
dikenal, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidensial.
Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan
dimana parlemen memiliki peranan dalam pemerintahan. Dalam pemerintahan
parlementer, terdapat seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang
memiliki kewenangan dalam pemerintahan. Presiden hanya menjadi simbol
kepala negara sedangkan perdana menteri menjadi kepala pemerintahan yang
menjalankan pemerintahan. Sistem pemerintahan parlementer, cabang eksekutif
bergantung pada dukungan dari cabang legislatif atau parlementer baik secara
langsung atau tidak langsung, yang biasa dikemukakan dalam sebuah veto
keyakinan. Parlementer dapat menjatuhkan pemerintah dengan cara
mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Dalam hal ini, tidak adanya
pemisahan yang jelas antara eksekutif dengan legislatif. Salah satu negara yang
menerapkan bentuk sistem pemerintahan ini adalah Negara Inggris, bahkan
Inggris dianggap menjalankan dengan baik sistem parlementernya sehingga
disebut sebagai mother of parliaments.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem
pemerintahan presidensial badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukannya
sendiri dan independen atau terpisah satu sama lain. Hal ini karena adanya
pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang merupakan ajaran Trias Politica dari
Montesquieu. Badan legislatif dan eksekutif dipilih oleh rakyat secara langsung
dan terpisah, yang mengakibatkan legitimasi keduanya adalah sama sehingga
tidak ada lembaga yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Legislatif dan
eksekutif tidak dapat saling menjatuhkan. Presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan, dipilih langsung oleh rakyat dengan masa jabatan yang tetap
atau tertentu (fixed term). Presiden dapat mengangkat menteri, yang akan
membantu tugas presiden dan akan bertanggung jawab kepada presiden pula.


345
Mohammad Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rineka
Cipta, 2001), hlm. 93.

209
Contoh negara yang menerapkan sistem ini dan dianggap berhasil menerapkan
presidensial adalah Amerika Serikat.
Sistem multipartai sendiri biasanya dipasangkan dengan sistem
parlementer. Hal ini karena dalam sistem parlementer terdapat beberapa kelebihan
yang dapat mengurangi kelemahan dari sistem multipartai itu sendiri. Misalnya
saja dalam hal koalisi. Dalam sistem parlementer, koalisi partai politik lebih
bersifat permanen karena dibangun setelah pemilu. Anggota parlemen dari koalisi
partai politik pendukung pemerintah yang tidak mendukung kebijakan pemerintah
akan dikeluarkan dari parlemen. Selain itu, jika anggota-anggota tidak
mendukung program-program pemerintah agar berhasil, perolehan kursi mereka
akan terancam pada pemilu berikutnya. Sehingga suksesnya pemerintah terbentuk
juga akan mempengaruhi citra partai politik pendukungnya. Dengan koalisi yang
permanen maka pemerintahan pun cenderung akan stabil.346
Meskipun demikian, ada pula yang mengawinkan sistem multipartai
dengan sistem presidensial. Walaupun banyak negara yang menerapkannya,
namun hanya sedikit yang berhasil diantaranya yaitu negara Brazil dan Chile.347
Scott Mainwaring, dalam studinya, meneliti sistem pemerintahan dan kepartaian
pada 31 negara maju dan berkembang, menemukan bahwa presidensialisme,
multipartisme, demokrasi adalah kombinasi yang menyulitkan. Ada tiga hal yang
menjadi temuan dalam studi ini:348
1. Presidensialisme multipartai lebih berpotensi menimbulkan kebuntuan
eksekutif atau legislatif daripada sistem parlementer atau presidensial dua
partai (bipartisme). Presidensialisme tidak memiliki mekanisme untuk
menjamin legislatif mayoritas. Dukungan legislatif yang minim bisa
menyebabkan kesulitan bagi eksekutif untuk mendorong isu dan
perubahan kebijakan. 


346
Koordinator Peneliti CETRO (Center for Electoral Reform), “Sistem Multipartai, Presidensial
dan Persoalan Efektivitas Pemerintah,” Jurnal Legislasi Vol. 5 (1).
347
Isharyanto, “Cerita Sukses Koalisi Multipartai dan Sistem Presidensial,” diambil dari
http://www.kompasiana.com/isharyanto/cerita-sukses-koalisi-multipartai-dan-sistem-
presidensial_54f7a7f6a333119a1d8b4676 diakses pada 8 Maret 2018.
348
Christian Marides Marpaung, “Analisis Kebijakan Parliamentary Threshold (PT) 3,5% pada
UU Pemilu No. 8 Tahun 2012 dalam Sistem Multipartai dan Sistem Presidensial di Indonesia,” Tesis
(2013), hlm. 119-120.

210
2. Multipartisme tidak sejalan dengan presidensialisme karena terjadinya
pengutuban ideologi yang terlalu banyak. Longgarnya syarat-syarat partai
politik masuk parlemen (entry-barries) memungkinkan kemudahan
masuknya partai yang berideologi radikal hingga bisa menyulitkan
tercipatnya stabilitas demokrasi.
3. Kombinasi presidensialisme dan mulipartisme bisa menimbulkan
kesulitan- kesulitan membangun koalisi antar partai dalam demokrasi
presidensial.
Koalisi dalam sistem presidensial dibangun sebelum pemilihan umum
dilaksanakan. Akibatnya, beberapa partai politik dapat berpindah dukungan.
Partai politik mendukung pada awal pencalonan akan tetapi tidak mendukung
ketika calon tersebut terpilih. Berpindahnya dukungan ini dapat disebabkan,
misalnya, tidak terwakilinya partai tersebut di kabinet.349 Karena beberapa
kekurangan tersebut, maka pemerintahan yang menganut sistem multipartai dan
presidensial cenderung lebih tidak stabil.

4.8.2 Partai Politik di Indonesia


Perkembangan partai politik di Indonesia sendiri dimulai sejak
Pemerintahan Hindia Belanda mencanangkan politik etis pada tahun 1908, dan
berdiri organisasi kemasyarakatan yang merupakan pelopor berdirinya partai
politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo. Kemudian sesudah kemerdekaan,
dengan Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945 dan Maklumat
Pemerintah 3 November 1945, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan munculnya 25 partai politik. Namun pada tahun 1974, dilakukan
penyederhanaan partai politik yang menghasilkan tiga partai politik saja yaitu
golkar, PPP, dan PDI sehingga pada Pemilu tahun 1977 hanya terdapat 3 perserta
pemilu.350
Indonesia sudah mengalami beberapa kali sistem kepartaian yang
berubah- ubah. Pada awal munculnya partai politik, sistem kepartaian yang
digunakan adalah multipartai dengan banyakya partai yang menjadi peserta


349
CETRO, “Sistem Multipartai, Presidensial, dan Persoalan Efektivitas Pemerintah”, hlm. 20.
350
Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, hlm. 75-76.

211
pemilihan umum. Kemudian bergeser menjadi hanya tiga partai politik besar saja
yang ada, hingga saat ini kembali lagi ke sistem multipartai. Tercatat hingga 2016,
sudah ada 75 partai politik yang sudah berbadan hukum dalam daftar Kementrian
Hukum dan Ham Indonesia351 dan hanya 10 partai politik yang ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum tahun 2014 kemarin oleh KPU.352

4.8.3 Sistem Multipartai di Indonesia


Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang menerapkan sistem
presidensial dalam kehidupan bernegaranya. Hal ini dijelaskan dalam UUD 1945
melalui Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 4 ayat (1) :
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.”

Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) :


(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara(2) Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden(3) Setiap menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan”
Untuk sistem kepartaiannya sendiri, Indonesia menerapkan sistem
kepartaian multipartai. Hal ini memang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam
UUD 1945, namun tersirat dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi :
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum.”
Frasa gabungan partai politik disini mengisyaratkan adanya paling tidak
dua atau lebih partai politik yang bergabung untuk mencalon seorang presiden
dan/atau wakil presiden. Sehingga nantinya dalam pemilihan umum, akan diikuti
oleh minimal tiga partai politik atau lebih. Pengawinan antara sistem


351
MI, 75 Parpol Terdaftar sebagai Badan Hukum, diambil dari
http://mediaindonesia.com/news/read/70938/75-parpol-terdaftar-sebagai-badan-hukum/2016-10-08
diakses pada 14 Maret 2018.
352
Komisi Pemilihan Umum Pelindung Suara Rakyat, KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu
2014, diambil dari http://kpu.go.id/dmdocuments/Suara%20KPU%20Januari%202013.pdf diakses pada 14
Maret 2018.

212
pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian multipartai merupakan suatu
pasangan yang rumit dan sebuah anomali. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa hal ini dapat menyulitkan pemerintah dalam menjalankan
pemerintahannya. Banyaknya partai politik yang bergabung dalam pemerintahan
dianggap akan menyulitkan kerja dari pemerintah itu sendiri karena beberapa
alasan. Oleh sebab itu, mulai diberlakukan ambang batas atau Threshold.
Berdasarkan pasal 202 ayat (1) UU legislatif, besar ambang batas atau
Parliamentary Threshold untuk dapat menduduki kursi di legislatif adalah sebesar
2,5% suara. Sehingga hanya partai politik yang mencapai ambang batas suara
tersebut saja yang dapat masuk ke legislatif.
Hasil dari pemilu legislatif ini juga dapat mempengaruhi pemilu Presiden
dan Wakil Presiden. Karena banyaknya partai yang bersaing untuk mendapatkan
dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum maka yang sering
terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai untuk dapat
mencapai persen Threshold atau ambang batas. Tentunya dalam melakukan
koalisi, dilakukan konsensus atau tawar menawar (praktek dagang sapi) yang
dilakukan antar partai yang berkoalisi. Tawar menawar ini biasanya berupa
jabatan atau kedudukan tertentu.353 Karena tidak ada suara mayoritas, maka
Presiden terpilih harus membangun koalisi dalam pemerintahannya. Koalisi yang
didalamnya rawan akan praktek dagang sapi ini pun biasanya akan bersifat rapuh
karena perbedaan pandangan setiap partai maupun perbedaan kepentingan
didalamnya. Dalam koalisi pun biasanya para anggota partai politik yang berada
di dalamnya, terkungkung oleh dua kepentingan yaitu kepentingan partai
politiknya serta kepentingan menjalankan pemerintahan. Sehingga sering sekali
kebijakan Presiden tidak didukung, baik dalam arti tidak sependapat maupun tidak
setuju.354
Contohnya pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Dalam sistem presidensial dan multipartai, mungkin saja
terjadi presiden terpilih tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.


353
Subekti, Memahami Ilmu Politik, hlm. 126-127.
354
Suko Wiyono, “Pemilu Multi Partai dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial di Indonesia,”
Jurnal Konstitusi Vol. II No. 1 (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2009), hlm. 14-15.

213
Presiden SBY merupakan presiden yang berasal dari partai politik yang memiliki
suara dan kursi yang kecil, Partai Demokrat hanya mendapatkan suara 7,45%.
Padahal dalam sistem presidensial, dukungan parlemen kepada presiden sangat
berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan
kebijakan dan program-program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen
kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan
semakin efektif. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil dukungan parlemen maka
efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan akan semakin
berkurang. Selain itu, koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial dan
multipartai dilakukan setelah pemilihan umum presiden dilaksanakan, sehingga
koalisi yang dilakukan bersifat rapuh karena partai dapat menarik dukungannya
kepada presiden terpilih. Hal ini pun terjadi pada saat kepemimpinan Presiden
SBY. PAN sebagai partai pendukung SBY, tiba-tiba menarik dukungannya
ditengah perjalanan. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk
mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai
politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari
pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak
popular, maka partai politik cenderung melakukan oposisi.355
Karena kelemahan-kelemahan tersebut, maka sistem presidensial yang
dipasangkan dengan sistem multipartai dianggap banyak bermasalah dan tidak
cocok sehingga jalannya pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik.

4.8.4 Sistem Dua Barisan Sebagai Penguatan Sistem Presidensiil


Partai politik merupakan salah satu cara penyaluran aspirasi masyarakat.
Partai politik pun memiliki tempat yang penting dalam jalannya suatu
pemerintahan. Namun dengan banyaknya partai politik yang ada, hal ini dianggap
sebagai bencana. Setiap partai politik pun memiliki pandangan yang berbeda satu
sama lain. Kebijakan pemerintah tidak dapat berjalan dengan mulus akibat terlalu
banyaknya pendapat yang berbeda-beda tersebut. Akibatnya, pemerintahan bisa
mengalami stagnansi.


355
Koordinator Peneliti CETRO (Center for Electoral Reform), “Sistem Multi Partai Presidensial
dan Persoalan Efektivitas Pemerintah”, hlm. 30.

214
Namun disisi lain, banyaknya partai politik yang muncul merupakan
sebuah anugerah. Sistem multipartai merupakan konsekuensi dari sifat negara
yang heterogen seperti Indonesia. Dengan banyaknya partai politik yang ada,
mengindikasikan bahwa aspirasi rakyat tersalurkan dengan sebagaimana
mestinya. Kebebasan untuk berkumpul dan berserikat pun terlaksana dengan baik.
Sehingga dirasakan tidak perlu untuk membatasi jumlah partai politik yang ada
karena hanya akan memotong jalannya demokrasi. Selain itu, sistem multipartai
presidensial di Indonesia memiliki potensi dan sisi positif. Tingginya tingkat
kompetisi antarpartai dapat mendorong partai politik bekerja lebih keras guna
menarik suara, semakin banyak pilihan partai politik untuk publik, dan semakin
stabilnya pemerintah karena presiden tidak mudah untuk dijatuhkan oleh
parlemen seperti pada awal reformasi Indonesia.
Di sisi lain, Jose Antonio Cheibub memperbaiki studi yang dilakukan oleh
Scott Mainwaring. Ia mengatakan bahwa hubungan antara sistem pemerintahan
dan kepartaian tidak sesederhana yang disebutkan oleh Mainwaring. Sistem
parlementer multipartai terlihat lebih efektif dalam proses legislasinya karena
perdana menteri dalam sistem parlementer, sangat berhati-hati dalam mengajukan
usulan kebijakan atau undang-undang karena berada di bawah ancaman
pemakzulan. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden tidak perlu terlalu
takut mengajukan kebijakan karena tidak ada ancaman pemakzulan yang serius
dari parlemen. Oleh sebab itu, keberhasilan meloloskan undang-undang jauh lebih
tinggi dalam sistem multipartai presidensial.
Daripada membatasi lebih baik mengatur atau mengelola apa yang sudah
ada agar menjadi lebih baik kedepannya. Sistem multipartai yang ada ini
sebaiknya dikelola dengan baik agar dapat meminimalisir kekurangan yang
muncul. Bagaimana mekanisme pengambilan suara dalam parlemen merupakan
hal yang justru lebih butuh untuk diatur. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya,
Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, memperkenalkan sistem dua
barisan sebagai mekanisme pengambilan suara di dalam parlemen.
Prof. Jimly menerangkan bahwa dalam struktur organisasi dan tata tertib
persidangan DPR, harus dilembagakan adanya dua barisan anggota DPR dan
partai politik. Barisan pertama terdiri atas anggota DPR dari partai politik

215
pendukung pemerintahan atau kabinet, dan barisan kedua terdiri atas anggota
DPR dari partai politik non-pemerintah. Hal ini tentu saja bertujuan untuk
mempermudah dan membuat mekanisme pengambilan keputusan menjadi lebih
sederhana. Kedua barisan ini dapat disebut pula sebagai kelompok mayoritas dan
juga kelompok minoritas. Ketua DPR cukup terdiri dari dua orang, yaitu satu
orang mewakili kelompok mayoritas sebagai ketua dan satu orang mewakili
kelompok minoritas sebagai wakil ketua. Dengan sistem ini, mekanisme
pengambilan keputusan demokratis akan lebih sederhana dan efisien, sehingga
mekanisme hubungan antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk
kepentingan rakyat akan menjadi semakin lancar. Sistem pemerintahan juga
menjadi lebih stabil dan pasti karena keputusan politik dalam rangka
pembentukan kebijakan publik (public policy making) yang dituangkan dalam
bentuk undang-undang dapat diprediksikan dengan rasional dan objektif, semata-
mata untuk kepentingan seluruh rakyat. Semua pilihan kebijakan dapat
diperdebatkan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan partisipasi publik
yang luas dan substantif.

4.8.5 Pemilu Serentak


Pemilihan umum merupakan wujud dari adanya demokrasi. Rakyat
melaksanakan apa yang menjadi haknya dalam negara demokrasi, yaitu ikut serta
dalam pemerintahan melalui pemilihan umum. Masyarakat secara langsung
memilih pemimpin dan wakilnya yang akan melaksanakan pemerintahan
nantinya. Pesta rakyat ini diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Pada ayat (1)
dikatakan bahwa:
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”
Dalam konstitusi memang tidak dicantumkan berapa kali seharusnya
pemilihan umum dilakukan dalam 5 tahun. Sehingga penafsiran pada pasal ini pun
dapat bermacam-macam. Pada pelaksanaannya saat ini, pemilihan umum
dilakukan sebanyak dua kali setiap lima tahunnya, yaitu pemilihan umum
legislatif untuk memilih anggota legislatif dan pemilihan umum presiden untuk

216
memilih presiden dan wakil presiden. Pemilihan umum legislatif dilakukan
terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemilihan umum presiden.
Wacana untuk menyatukan kedua pemilihan umum tersebut, pemilihan
umum legislatif dan presiden, telah banyak disuarakan. Hal ini karena pemisahan
kedua pemilihan umum ini mengakibatkan presiden terkungkung dengan
koalisinya. Koalisi dibangun sebelum dilaksanakannya pemilihan umum.
Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik terlebih
dahulu dengan partai politik, sebagai bagian dari konsekuensi logis dukungan
demi terpilihnya sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan
pemenrintahan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan
di kemudian hari. Pada kenyataannya pun, koalisi ini lebih banyak bersifat taktis
dan sementara, sehingga presiden menjadi sangat tergantung partai politik.
Menurut Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamid Muluk, dengan
sistem pemilihan yang terpisah ini maka presiden akan selalu tersandera dengan
koalisi yang dibangun dalam dukungan saat pencalonannya sehingga dapat
mereduksi posisi presiden dalam menjalankan pemerintahan.356 Beberapa ahli
menyatakan bahwa original intent dari UUD 1945 adalah menghendaki pemilihan
umum tersebut dilakukan secara serentak sehingga setiap lima tahun sekali hanya
akan ada satu kali pemilihan umum untuk memilih legislatif dan eksekutif.
Dengan mekanisme pemilihan pimpinan eksekutif dan anggota lembaga
legislatif secara serentak, banyak manfaat yang dapat diperoleh untuk
memperkuat sistem pemerintahan. Diantaranya adalah sistem pemerintah
diperkuat melalui “political separation” (decoupled) antara fungsi eksekutif dan
legislatif yang memang sudah seharusnya saling imbang mengimbangi. Para
pejabat dikedua cabang kekuasaan ini dibentuk secara sendiri-sendiri dalam
waktu yang bersamaan, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan ataupun
potensi sandera menyandera yang akan menyuburkan politik transaksional.357
Dengan pemilihan serentak (concurrent elections), presiden terpilih akan
mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat dan mendapatkan dukungan yang


356
Oscar Ferri, “Keuntungan Pemilu Serentak,” diambil dari
http://news.liputan6.com/read/808175/keuntungan-pemilu-serentak diakses pada 19 Maret 2018.
357
Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, hlm. 153-154.

217
kuat dari parlemen. Di dalam masyarakat atau negara yang menganggap
pemilihan presiden lebih penting dibandingkan dengan pemilihan legislatif,
pemilih akan cenderung memilih partai politik yang mencalonkan presiden yang
didukungnya. Akibatnya partai politik yang mendukung calon presiden terpilih
akan memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilu legislatif. Dengan
demikian, mayoritas anggota parlemen berasal dari partai tersebut sehingga akan
menciptakan pemerintahan yang efektif.358 Hal ini juga diamini oleh Pipit
Rochijat Kartawidjaja, seorang pengamat masalah pemerintahan, yang
mengatakan bahwa dengan adanya pemilihan umum serentak maka dapat
menghasilkan suara mayoritas untuk dua atau tiga partai di parlemen. Presiden
yang terpilih nantinya akan mendapat dukungan mayoritas sehingga dapat lebih
leluasa dalam berkoalisi. Hasilnya adalah efektifnya jajaran pemerintahan yang
terpilih setelah pemilu. Begitu pula dengan suara yang terkumpul di legislatif,
dapat meminimalisasi ketersinggungan saat pembuatan kebijakan pemerintah.359
Pengamat politik, Ray Rangkuti, juga mengatakan bahwa dengan
pemilihan umum serentak akan merubah kultur demokrasi yang terbangun. Kultur
koalisi partai politik yang selama ini didasarkan terhadap alasan pragmatis dan
temporal, perlahan akan menuju ke arah koalisi permanen. Dengan begitu koalisi
akan lebih solid, terarah, dan banyak didasarkan pada pertemuan isu dan
kepentingan substansial. Hal yang sama diutarakan oleh pengamat politik lainnya,
Fadjroel Rahman, bahwa orang tidak akan lagi melihat koalisi berdasarkan jumlah
kursi atau jumlah uang yang dimiliki. Tetapi mengembalikan demokrasi pada
nilai-nilai yang substantif, yaitu visi, nilai, dan program. Pemilihan umum
serentak juga akan mengurangi konflik sosial atau gesekan horizontal dalam
masyarakat. Dengan sistem pemilihan umum serentak, maka sisi presidensial
akan diperkuat. Sehingga hal ini sesuai dengan rencana amandemen yang
bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial Indonesia.


358
Koordinator Peneliti CETRO (Center for Electoral Reform), “Sistem Multipartai, Presidensial,
dan Persoalan Efektivitas Pemerintah,” hlm. 31.
359
Budi Setiawanto, “Multipartai Dalam Sistem Presidensial” diambil dari
https://www.antaranews.com/berita/405505/multipartai-dalam-sistem-presidensial diakses pada 19 Maret
2018.

218
BAB V
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

219
BAB V
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945

BAB I: BENTUK DAN KEDAULATAN


UUD NRI BAB I
1945 BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1)Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik.
(2)Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. ***)
(3)Negara Indonesia adalah negara hukum. ***)

Perubahan BAB I
Kelima UUD BENTUK DAN KEDAULATAN
NRI 1945 Pasal 1
(1)Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik.
(2)Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. ***)
(3)Negara Indonesia adalah negara hukum. ***)
Hamdan Zoelva dari F-PBB dalam Rapat Perubahan UUD 1945 menyampaikan
bahwa,

..kemudian, dalam batang tubuh itu sendiri tidak kita ubah mengenai pasal bentuk
negara. Jadi, kami pikir bentuk negara itu adalah sudah final, bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jadi tidak akan kita ubah sampai kesana. Boleh
kita tinjau pasal lain, tapi tidak mengenai itu.1

1
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD NRI 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

220
Pernyataan tersebut memperkuat bahwa bentuk negara merupakan pembahasan
yang sudah ajek. Karena, hal ini menyangkut dengan penyelenggaraan suatu negara
dalam memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya. Pembahasan ini merupakan cita-
cita para founding fathers yang telah dengan matang dan secara futuristil melihat
dampak baik dan buruk mempersiapkan Indonesia sebagai negara yang siap
ditempati.
Sehingga, perlu peran penerus bangsa untuk memperjuangkan dan menggali
sedalam mungkin bagaimana keputusan ini diciptakan karena hal ini dapat
berdampak terhadap perkembangan bangsa yang lebih baik.
Lebih lanjut telah disepakati oleh anggota MPR bahwa terdapat hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam perubahan UUD NRI 1945, yaitu:473

1. pembukaan UUD NRI 1945;


2. bentuk negara kesatuan Republik Indonesia;
3. bentuk pemerintahan Sistem Presidensil;
4. dimasukkannya norma-norma kenegaraan yang terdapat dalam Penjelasan
UUD NRI 1945; dan
5. perubahan dilakukan dengan cara adendum atau amandemen.
Sehingga menurut Tim Perumus Pasal 1 UUD 1945 tetap dipertahankan dan
tidak dilakukan perubahan.
BAB II: MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

UUD NRI BAB II


1945 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 199-2002, Buku II tentang Sendi-sendi/Fundamen Negara
(Jakarta: Seketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 69.
473
A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 28.

221
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang. ****)
(2)Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam lima tahun di ibukota negara.
(3)Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan
dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3
(1)Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar. ***)
(2)Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden.***/****)
(3)Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)

Perubahan BAB II
Kelima MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
UUD NRI Pasal 2
1945 (1)Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. ****)
(2)Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam lima tahun di ibukota negara.
(3)Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan
dengan suara yang terbanyak.

222
Pasal 3
(1)Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar. ***)
(2)Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden.***/****)
(3)Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)

Dalam bab ini tim perumus tidak melakukan perubahan.

223
BAB III: KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

UUD NRI BAB III


1945 KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

Pasal 4
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu
orang Wakil Presiden.

Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. *)
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya.

224
Pasal 6
(1)Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden. ***)
(2)Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur
lebih lanjut dengan undang-undang. ***)

Pasal 6A
(1)Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat. ***)
(2)Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
(3)Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden. ***)
(4)Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat

225
secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. ****)
(5)Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
lebih lanjut diatur dalam undang-undang. ***)

Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan.*)

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. ***)

Pasal 7B
(1)Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyarawatan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/

226
atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. ***)
(2)Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut
ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(3)Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. ***)
(4)Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari
setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi. ***)
(5)Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyarawatan Rakyat. ***)
(6)Majelis Permusyarawatan Rakyat wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat

227
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak
Majelis Permusyarawatan Rakyat menerima usul tersebut. ***)
(7)Keputusan Majelis Permusyarawatan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil
dalam rapat paripurna Majelis Permusyarawatan Rakyat yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyarawatan Rakyat. ***)

Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat. ***)

Pasal 8
(1)Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan
oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. ***)
(2)Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis
Permusyarawatan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh
Presiden. ***)
(3)Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan
adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh

228
hari setelah itu, Majelis Permusyarawatan Rakyat
menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih
pertama dan kedua suara dalam terbanyak pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. ****)

Pasal 9
(1)Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama dan kepercayaan, atau berjanji
dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyarawatan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):


“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan Bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. *)

229
(2) Jika Majelis Permusyarawatan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis
Permusyarawatan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan
Mahkamah Agung. */*****)
Pasal 10

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,


Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Pasal 11

(1)Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat


menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain. ****)
(2)Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(3)Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang. ***)
Pasal 12

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya


keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.

230
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)

(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan


memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)

Pasal 14
(1)Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. *)
(2)Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)

Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
yang diatur dengan undang-undang. *)

Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang
selanjutnya diatur dalam undang-undang. ****)

Perubahan BAB III


Kelima KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
UUD NRI
1945
Pasal 4
(1)Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
(2)Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu
orang Wakil Presiden.

231
Pasal 5
(1)Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. *)
(2)Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Pasal 6
(1) Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak
pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan
jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden. ***/*****)
(2) Syarat-syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
***/*****)

Pasal 6A
(1)Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. ***)
(2)Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
(3)Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah

232
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden. ***)
(4)Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat
secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. ****)
(5)Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
lebih lanjut diatur dalam undang-undang. ***)

Pasal 6B
Presiden dan Wakil Presiden harus melepaskan diri dari jabatan
partai politik sesaat setelah dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden terpilih. *****)

Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. *)

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

233
Pasal 7B
(1)Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyarawatan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)
(2)Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut
ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah
Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota DPR. ***)
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus
dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum

234
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyarawatan Rakyat. ***)
(6)Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***)
(7)Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil
dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7/8 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 7/8 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.***/*****)
Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

Pasal 8
(1)Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
***)

235
(2)Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh
Presiden. ***)
(3)Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam
Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis
Permusyarawatan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih pertama dan kedua suara dalam
terbanyak pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya. ****)
Pasal 9
(1)Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan Majelis Permusawaratan Rakyat sebagai
berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-

236
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan Bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”*/*****)
(2)Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat mengadakan
sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan
oleh Pimpinan Mahkamah Agung. */*****)
Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Pasal 11
(1)Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain. ****)
(2)Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

237
(3)Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang. ***)
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. *****)
Pasal 13
(1)Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2)Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)
(3)Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)
Pasal 14
(1)Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. *)
(2)Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)
Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
yang diatur dengan undang-undang. *)
Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,
yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. ****)

238
Perubahan yang terjadi pada Pasal 6 ayat (1) adalah kata “calon” dihilangkan.
Tim Perumus menimbang bahwa syarat untuk menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden tidak perlu dicantumkan dalam konstitusi karena syarat ini bersifat dinamis
atau dapat berubah mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan Tim Perumus merasa
perlu untuk mengatur syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden di dalam konstitusi
karena syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden bersifat statis atau tetap.
Sehingga tepatlah apabila yang diatur dalam konstitusi adalah syarat untuk menjadi
Presiden dan Wakil Presiden, bukan syarat untuk menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden. Perubahan pada Pasal 6 ayat (2) adalah penambahan kata “calon”. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, syarat untuk menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden bersifat dinamis dan dapat berubah mengikuti perkembangan yang ada.
Sehingga tepat apabila syarat yang bersifat dinamis tersebut diatur lebih lanjut dalam
undang-undang.
Perubahan selanjutnya adalah terdapat penambahan pasal baru yaitu Pasal 6B.
Tim Perumus menambahkan pasal baru yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
harus melepaskan diri dari jabatan partai politik sesaat setelah dinyatakan sebagai
Presiden dan Wakil Presiden terpilih”. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya, bahwa Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dalam pencalonan ini, koalisi dan tawar menawar jabatan
merupakan hal yang biasa. Hal ini menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih
nantinya akan terkungkung oleh dua kepentingan, yaitu kepentingan negara dan
kepentingan partai politiknya sendiri. oleh sebab itu, sudah saatnya menegakkan
prinsip “my loyalty to the party ends when my loyalty to the country begins”. Demi
mencegah timbulnya konflik kepentingan dalam jabatan pemerintahan dengan jabatan
kepartaian, maka perlu dipisahkan secara tegas agar pemerintah dapat bekerja secara
optimal. Selain itu, pemisahan ini dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensil

239
Indonesia.
Perubahan pada Pasal 7B ayat (7) terjadi pada jumlah yang dibutuhkan dalam
keputusan MPR atas usul pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada Pasal 7A telah disebutkan alasan-alasan sehingga Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan. Salah satu alasan tersebut adalah melakukan perbuatan
tercela. Dari alasan lainnya, alasan melakukan perbuatan tercela merupakan alasan
yang paling multitafsir dan dapat menjadi jebakan bagi Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Dengan alasan ini, mungkin saja Presiden dan/atau Wakil Presiden akan
sering atau mudah untuk dijatuhkan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Tim Perumus
memperketat kuorum dan jumlah minimal suara dalam pengambilan keputusan untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini bertujuan untuk
mempersulit proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Daerah. Jumlah kuorum diubah dari
sebelumnya sekurang-kurangnya 3/4 menjadi 7/8. Perubahan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan partisipasi anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam pemakzulan.
Meskipun menurut konstitusi bahwa MPR bukan terdiri atas lembaga DPD dan DPR
melainkan anggota-anggota dari kedua lembaga tersebut, dengan ketentuan dalam
konstitusi yang mengatur bahwa jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah
anggota DPR, dapat saja dengan ketentuan jumlah kuorum yang lama yaitu 3/4 DPR
mengadakan sidang pemberhentian dalam kerangka MPR sendiri tanpa
mengikutsertakan anggota DPD. Perubahan jumlah minimal kuorum ke dalam angka
7/8 dari jumlah anggota MPR membuat DPR mau tidak mau harus mengikutsertakan
anggota DPD dalam sidang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketentuan mengenai pengambilan sumpah Presiden dan/atau Wakil Presiden


diatur dalam Pasal 9 mengalami perubahan. Dalam hal ini, Tim Perumus
menghapuskan sidang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai alternatif forum
pengambilan sumpah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pengahapusan ini dilakukan
karena Dewan Perwakilan Rakyat tidak diberi kewenangan untuk melantik Presiden
dan Wakil Presiden. Hal ini juga beririsan dengan kewenangan Majelis

240
Permusyawaratan Rakyat yang diberi kewenangan oleh konstitusi untuk melantik
Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi :

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil


Presiden”

Oleh karena itu, Tim Perumus menghapuskan kata “Dewan Perwakilan


Rakyat” agar tidak membuat kewenangan DPR melampaui yang telah ditentukan oleh
konstitusi, yakni fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Perubahan selanjutnya terjadi pada Pasal 12 yang mengatur wewenang Presiden
untuk menetapkan keadaan bahaya. Perubahan dilakukan hanya dengan menghapus
kata “nya” yang melekat pada kata “akibatnya”. Penghapusan tersebut dilakukan untuk
mebuat kalimat rumusan pasal tersebut menjadi lebih efektif dan tidak janggal secara
ketatabahasaan.

BAB IV: DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG (DIHAPUSKAN)


Pada BAB IV tetap diadakan namun tentang Dewan Pertimbangan Agung Tim
Perumus berpendapat bahwa DPA tidak perlu diadakan lagi. Karena hal ini didasarkan
pada pengalaman praktek-praktek ketatanegaraan, khususnya selama orde baru, karena
disaat itu anggota-anggota DPA yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden tidak
memiliki wibawa politik dan lembaga ini menjadi sub-ordinasi dari Presiden.

BAB V: KEMENTERIAN NEGARA


UUD NRI 1945 BAB V
Setelah KEMENTERIAN NEGARA
Perubahan Pasal 17
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.*)
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.*)

241
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian
negara diatur dalam undang-undang.***)
Perubahan BAB V
Kelima UUD KEMENTERIAN NEGARA
NRI 1945 Pasal 17
(1)Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2)Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.*)
(3)Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.*)
(4)Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang.***)

Dalam bab ini tim perumus tidak melakukan perubahan.

BAB VI: PEMERINTAH DAERAH

UUD NRI 1945 BAB VI


PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. **)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah

242
kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
**)
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis. **)
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan

243
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat. **)
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. **)
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang. **)
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten
dan kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. **)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang. **)
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.**)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak

244
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.**)

Perubahan Kelima
BAB VI
UUD NRI 1945
PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 18
(1)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. **)

(2)Pemerintahan daerah provinsi, daerah


kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah


kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.**)

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing


sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis
melalui pemilihan umum. *****)

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi


seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan

245
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat. **)
(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. **)
(7)Tata cara pemiihan kepala daerah, susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang- undang dengan
memerhatikan kekhususan daerah dan asas
otonomi daerah. **/*****)
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah. **)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang- undang. **)
Pasal 18B
(1)Negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang.**)
(2)Negara mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.**)

246
Dalam bagian ini tim perumus mengubah pasal 18 ayat (4) menjadi:
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis melalui pemilihan
umum.”
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan, Perubahan ini kami lakukan
dengan dasar pemikiran bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik secara
subtansial dan secara formil dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan umum
yang dipilih langsung oleh rakyat.

247
BAB VII: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
UUD NRI BAB VII
1945 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pasal 19
(1)Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui
pemilihan umum.**)
(2)Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-
undang.**)
(3)Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun**)
Pasal 20
(1)Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang undang.*)
(2)Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.*)
(3)Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.*)
(4)Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.*)

248
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.**)
Pasal 20A
(1)Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan.**)
(2)Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat.**)
(3)Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat, serta hak imunitas.**)
(4)Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat
dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam
undang-undang.**)
Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul
rancangan undang-undang.*)
Pasal 22
(1)Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
(2)Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

249
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah
itu harus dicabut.
Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-
undang diatur dengan undang-undang. **)
Pasal 22B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-
undang.**)
Perubahan BAB VII
Kelima DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
UUD NRI Pasal 19
1945 (1)Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui
pemilihan umum. **)
(2)Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-
undang. **)
(3)Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun. **)
(4) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur pada ayat
(2) memperhatikan keterwakilan perempuan.*****)
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur lebih lanjut
dalam undang-undang.*****)
Pasal 20
(6)Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang undang. *)
(7)Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. *)
(8)Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

250
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. *****)
(4)Jika rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau
Dewan Perwakilan Daerah masa itu. */*****)
(5)Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. */*****)
(6)Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan. **/*****)

251
Pasal 20A
(1)Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. **)
(2)Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat. **)
(3)Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat, serta hak imunitas. **)
(4)Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat
dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam
undang-undang. **)
Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul
rancangan undang-undang. *)
Pasal 22
(1)Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
(2)Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)Jika peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah
itu harus dicabut. *****)

Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-
undang diatur dengan undang-undang. **/*****)
Pasal 22B
(1)Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya oleh rakyat. **/*****)

252
(2)Syarat-syarat dan tata cara pemberhentian anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat diatur lebih lanjut dalam undang-
undang. *****)

Terkait dengan Bab Dewan Perwakilan Rakyat dikarenakan tidak dapat dipisahkan
pembahasanya dengan Dewan Perwakilan Daerah maka pembahasan tentang
perubahan kelima akan dibahas pada bagian Bab VIIA Dewan Perwakilan Daerah
dibawah ini.

BAB VIIA: DEWAN PERWAKILAN DAERAH

UUD NRI BAB VIIA***)


1945 DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C

(1)Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap


provinsi melalui pemilihan umum.***)
(2)Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3)Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun.***)
(4)Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur
dengan undang-undang.***)

253
Pasal 22D
(1)Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.***)
(2)Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.***)
(3)Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.***)

254
(4)Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan
dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur
dalam undang-undang.***)

Perubahan BAB VIIA***)


Kelima
DEWAN PERWAKILAN
UUD NRI
DAERAH
1945
Pasal 22C
(1)Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum.***)
(2)Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3)Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun.***)
(4)Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur
dengan undang-undang.***)
(5) Susunan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana diatur pada
ayat (4) memperhatikan keterwakilan perempuan.*****)
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (5) diatur lebih lanjut
dalam undang-undang.*****)

Pasal 22D

(1)Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan


membentuk undang-undang bersama Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. ***/*****)

255
(2)Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara serta yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama. ***/*****)
(3)Dewan Perwakilan Daerah melakukan pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat
dan daerah, pajak, pendidikan, dan agama, serta
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara. ***/*****)
(4)Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
diberhentikan dari jabatannya oleh rakyat.****)
(5)Syarat-syarat dan tata cara pemberhentian anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat diatur lebih lanjut
dalam undang-undang. *****)

Perubahan yang diadakan oleh Tim Perumus pada dasarnya terkait dengan
penguatan kewenangan DPD terutama dalam fungsi legislasi, baik perubahan pada
Bab Dewan Perwakilan Rakyat maupun pada Bab Dewan Perwakilan Daerah.
Dengan semangat mempertahankan bentuk dan struktur asli UUD NRI 1945, Tim
perumus tetap mempertahankan kedua bab ini secara terpisah. Perubahan yang lebih
radikal dan mendasar terhadap UUD NRI 1945 bisa menempatkan DPR dan DPD
pada bab yang sama karena pada pola pikir yang menempatkan DPD sebagai mitra
dan lembaga negara yang setara dengan DPR.

Pada pasal 19 dan 22C, tim perumus menambahkan 2 ayat yang merupakan
implementasi dari keterwakilan perempuan yang sudah dijelaskan pada bab
pembahasan. Keterwakilan perempuan merupakan bagian dari Affirmative Action
dan bentuk dari diskriminasi positif.

256
Pada Pasal 20, Tim Perumus menambah satu ayat sehingga pembahasan
rancangan undang-undang tertentu membutuhkan persetujuan dari DPD, sehingga
pembahasan dan persetujuan menjadi bersifat tripatrit. DPD bersama DPR dan
Presiden membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah untuk mendapat persetujuan bersama ini mengimplikasikan
bahwa DPD kini memegang fungsi legislasi yang kuat walau tidak sekuat DPR, sebagai
kamar legislatif kedua di parlemen Indonesia Penambahan ini dibuat karena perihal
pembentukan peraturan perundang-undangan diatur pada Bab Dewan Perwakilan
Rakyat, sebagai upaya penguatan posisi DPD dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang selanjutnya akan diatur pada babnya tersendiri.
Terdapat perubahan-perubahan lain yang diadakan Tim Perumus pada Bab
Dewan Perwakilan Rakyat. Misalnya penambahan frasa ‘dan/atau Dewan Perwakilan
Daerah’ pada Pasal 20 ayat (4). Penambahan frasa ini berusaha menegaskan bahwa
pembahasan sebenarnya dilakukan oleh tiga lembaga. Kemudian juga ada penambahan
frasa ‘peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)’ untuk mempertegas
kalimat pada ayat tersebut. Sebelumnya penyusunan gramatikal ayat ini kurang baku
karena ketidakjelasan apa hal yang ‘tidak disetujui’.
Tim perumus menambahkan pasal 22B dan 22D ayat (4) dan (5) yang
merupakan wujud constituen recall. Berangkat dari semangat demokrasi dan prinsip
keterwakilan, rakyat pada dasarnya memiliki kedaulatan tertinggi yang sudah
seharusnya memiliki sarana untuk mengawasi dan mengontrol wakilnya yang dirasa
kinerjanya tidak sesuai dan tidak mewakili daerah pemilihan nya.
Dalam Pasal 22D ayat (1), Tim Perumus menggunakan kata “memegang
kekuasaan membentuk undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat…..”. Hal
ini dimaksudkan untuk memperkuat wewenang DPD dalam proses legislasi. Dengan
pengaturan bahwa DPD memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama
DPR, DPD bisa mengajukan, membahas, dan memberi persetujuan dalam proses
legislasi undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Lebih jauh,
diperlukan sebuah badan kelengkapan yang mencakup DPR dan juga DPD. Badan
kelengkapan ini yang akan mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas dan

257
keikutsertaan DPD dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang.

Pada Pasal 22D ayat (2), diatur kewenangan DPD terkait rancangan undang-
undang APBN, dan undang-undang yang terkait pajak, pendidikan, dan agama. Tim
perumus merasa kewenangan DPD memberikan pertimbangan sudah cukup dalam
kapasitasnya. Karena DPD masih bisa memberikan pertimbangan dalam upaya
melindungi kepentingan daerah, namun DPD tidak dapat memengaruhi pembentukan
undang-undang yang sebetulnya adalah kewenangan mutlak dari pemerintah pusat.
Terkait dengan fungsi pengawasan, Tim Perumus menghilangkan kata ‘dapat’ serta
menghilangkan frasa ‘menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti’. Pada dasarnya
undang-undang yang diawasi pelaksanaannya oleh DPD sangat berkaitan dengan
kepentingan daerah yang diwakilinya. Perubahan ini merupakan bagian penguatan
kewenangan DPD dalam fungsi pengawasan. DPD diharapkan lebih mengetahui
pelaksanaan undang-undang ini di setiap daerah-daerah. Dengan perumusan pasal yang
demikian, DPD diharapkan bisa menindaklanjuti hasil pengawasannya bersama-sama
dengan DPR dengan mekanisme penindaklanjutan yang lebih jelas. Sehingga hasil
pengawasan yang dilakukan DPD dengan berbagai riset dalam daerah tidak hanya
dijadikan tumpukan kertas di gedung DPR RI.

BAB VIIB: PEMILIHAN UMUM


UUD NRI BAB VIIB***)
1945 PEMILIHAN UMUM
Pasal 22E
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ***)
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. ***)

258
(3)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik. ***)
(4)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
(5)Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
***)
(6)Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang ***)

Perubahan
Kelima
BAB VIIB***)
UUD NRI
1945 PEMILIHAN
UMUM
Pasal 22E
(1)Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ***)
(2)Pemilihan umum terdiri atas pemilihan umum nasional dan
pemilihan umum lokal, yang diselenggarakan secara
serentak.
*****)
(3)Pemilihan umum dilaksanakan dengan sistem
proporsional.*****)
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur
dengan undang-undang. *****)

Pasal 22 F
(1)Pemilihan umum nasional diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Presiden dan Wakil Presiden. *****)
(2)Peserta pemilihan umum nasional untuk memilih anggota

259
Dewan Perwakilan Rakyat adalah perseorangan dari partai
politik. *****)
(3)Peserta pemilihan umum nasional untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. *****)
(4)Peserta pemilihan umum nasional untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden adalah pasangan calon Presiden dan
Wakil presiden yang diajukan oleh partai politik atau gabungan
partai politik. *****)
Pasal 22 G
(1) Pemilihan umum lokal diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota. *****)

(2) Peserta pemilihan umum lokal untuk memilih anggota


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan
dari partai politik. *****)

(3) Peserta pemilihan umum lokal untuk memilih Gubernur


dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota adalah pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota yang diajukan oleh
partai politik atau mengajukan diri secara mandiri. *****)
Pasal 22 H
(1) Pemilihan umum diselengarakan oleh suatu Komisi
Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. *****)

(2) Komisi Pemilihan Umum berwenang


menyelenggarakan pemilihan umum, mengawasi
penyelenggaraan pemilihan umum, menegakkan kode
etik penyelenggaraan pemilihan umum, dan

260
kewenangan lain yang berkaitan dengan pemilihan
umum.*****)

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang lembaga pemilihan


umum diatur dengan undang-undang. *****)

Pada Bab Pemilihan Umum, Tim Perumus menambahkan beberapa pasal dan ayat
baru. Dalam hal ini, Tim Perumus memasukkan pula rezim Pemilihan Kepala Daerah
dalam Bab Pemilihan Umum. Jika dilihat dari faktor historis, amandemen UUD 1945
menghasilakan rumusan baru mengenai pemilihan kepala daerah yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi :

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah


daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

Dalam risalah sidang MPR pada saat amandemen UUD 1945 yang
merumuskan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, para perumus UUD 1945 memang
menghendaki dan bersepakatan bahwa pemilihan gubernur, bupati dan walikota
dilakukan secara demokratis. Namun perumus UUD 1954 tersebut berkeinginan untuk
memberikan kesempatan bagi para pembentuk Undang-Undang untuk mengatur
pemilihan kepala daerah lebih lanjut sesuai dengan kondisi keragaman daerah, situasi
daerah, serta kondisi daerah asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Terdapat dua penafsiran dari frasa “dipilih secara demokratis”. Pertama,
yang menafsirkan frasa “diplih secara demokratis” sebagai pemilihan umum secara
langsung oleh rakyat. Pendapat ini didasarkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945
yakni “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”, begitu juga dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang diplih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pada
saat amandemen UUD 1945, Fraksi PPP adalah salah satu fraksi yang menafsirkan
frasa “dipilih secara demokratis” sebagai pemilihan umum secara langsung. PPP
menyebutkan bahwa arti penting pilkada langsung yakni “Gubernur, Bupati, dan
Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang selanjutnya diatur oleh UU, hal ini
sejalan dengan keinginan kita untuk pemilihan Presiden juga dipilih secara

261
langsung”2. Karena Presiden itu dipilih langsung maka pada pemerintahan daerah pun
Gubernur, Bupati dan Walikota diplih juga langsung oleh rakyat. Undang-Undang nya
dan tata caranya nanti akan kita atur. Dengan Undang-Undang nanti akan terkait
dengan Undang-Undang otonomi daerah itu sendiri”. Kedua, golongan yang
menafsirkan frasa “dipilih secara demokratis dengan cara dipilih secara tidak langsung
melalui DPRD. Pelaku sejarah yang merupakan golongan ini adalah Patrialis Akbar
dan Lukman Hakim Saifudin sebagai Panitia Ad Hoc 1 BP MPR yang membahas
amandemen Pasal 18 UUD 1945 di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam keteranganya
pada perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut:

“Latar belakang pemikiran Pasal 18 ayat (4) saat itu adalah bahwa sistim
pemilihan yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistim
perwakilan (pemilihan dilakukan oleh DPRD) atau melalui sistim pemilihan
secara langsung (pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat). Tujuanya adalah
agar ada fleksibilitas bagi masyarakat dalam menentukan sistim pemilihan
kepala daerah. Hal itu terkait dengan penghargaan konstitusi terhadap
keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang
berbeda-beda. Ada daerah yang lebih condong untuk menerapkan sistim
pemlihan tidak langusng (demokrasi perwakilan) dan ada pula daerah yang
cenderung lebih menyukai sistim pemilihan langsung (demokrasi langsung)
dalam hal memilih gubernur, bupati, dan walikota. Baik sistim pemilihan secara
langsung maupun sitim pemilihan secara tidak langsung sama-sama masuk
kategori sistim yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian
disepakati menggunakan kata demokratis dalam artian karena ayat (7) Pasal 18
itu susunan dan penyelenggaran pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang. Undang-undang lah yang menentukan apakah pemilihan kepala daerah
itu dilakukan langsung oleh rakyat atau sebagaimana sebelumnya dilakukan
oleh DPRD yang penting prinsip dasarnya demokratis.3

2
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Rapat Panitia AdHoc I, hlm.255.
3
Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 072/PUU-II/2004, Pengujian terhadap UU
Nomor 32 Tahun 2004.

262
Dapat diketahui bahwa terdapat dua tasfiran dari frasa “dipilih secara
demokratis”, yaitu dalam arti pemilian kepala daerah secara langsung oleh rakyat dan
pemilihan yang dilakukan oleh DPRD.

Tim Perumus akhirnya menentukan bahwa frasa “dipilih secara demokratis” adalah
pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
yuridis bahwa dalam amandemen UUD NRI 1945 sesuai dengan Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar” hal ini menunjukan bahwa pengertian pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat dapat diartikan bahwa pemerintah harus bersumber dari
rakyat. Rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan dalam menentukan sikap yang harus
menjadi kepala daerahnya. Hal ini berlandaskan dari dampak amandemen UUD NRI
1945 terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang yang menjelaskan bahwa DPRD hanya
diberi peran minimal yakni sebatas mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
kepala daerah.
Secara umum dapat dikatakan juga bahwa pemilihan Kepala Daerah secara
langsung itu lebih demokratis. Setidaknya ada tiga alasan mengapa pemilihan langsung
itu dinggap perlu. Pertama, untuk lebih membukan pintu bagi tampilnya Kepala
Daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat sendiri. Kedua, untuk mejaga
stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan4. Pemilihan
kepala daerah secara langsung merupakan proses politik yang tidak saja merupakan
mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui pemilu), tetapi juga
sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi politik yang
sesungguhnya. Ketiga, Pemilihan kepala daerah secara langsung lahir dari keinginan
agar kepala darah terpilih benar-benar representatif, artinya seroang Gubernur
misalnya, terpilih atau diplih bukan hasil rekayasa politik anggota DPRD yang pada
akhirnya kepala daerah bukanlah hasil keinginan rakyat yang sebenarnya.5

Oleh sebab itu, dalam Bab Pemilihan Umum ini Tim Perumus membagi pemilihan

4
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm. 240.
5
Noor M Aziz, Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukm
dan Hak Asasi Manusia %, 2011, hlm. 69.

263
umum kedalam dua macam yaitu Pemilihan Umum nasional dan pemilihan umum
lokal. Pemilihan umum nasional diperuntukkan memilih anggota DPR, DPD, serta
Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan pemilihan umum lokal diperuntukkan
memilih anggota DPRD tingkat kabupaten atau kota serta pasangan Bupati dan Wakil
Bupati atau pasangan Walikota dan Wakil Walikota. Pemisahan ini dilakukan agar
perhatian masyarakat dapat terfokus pada masing-masing pemilihan umum. Seringkali
isu pemilihan nasional menutupi isu pemilihan lokal, yang sejatinya juga penting bagi
daerahnya masing-masing. Namun pemisahan ini hanyalah sebatas pemisahan nama
saja agar masyarakat dan komisi pemilihan umum nantinya mudah dalam
pelaksanaannya. Penyelenggaraan kedua pemilihan umum ini dilakukan secara
serentak sebagaimana Tim Perumus sebutkan dalam Pasal 22E ayat (2). Pemilihan
umum serentak ini dilakukan untuk memberikan efisiensi baik dari segi anggaran
maupun waktu. Selain itu, salah satu keuntungan dari pemilihan umum serentak ini
adalah dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensil sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam bab sebelumnya.

Tim perumus kemudian menormakan sistem pemilu dengan proporsional


dalam undang-Undang Dasar. Hal ini merupakan hanya penegasan yang merupakan
konsekuensi logis dari dianutnya sistem kepartaian dalam negara dmeokrasi. Buah
pemikiran mengenai ini tim perumus tuangkan dalam pasal 22E ayat (3).

Hal fundamental lain yang tim rumuskan adalah mengenai kelembagaan


pemilihan umum yang menjadikan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga
eksklusif untuk melakukan penyelanggaraan pemilu, pengawasan serta penegakkan
kode etik dalam penyelenggaraan pemilu.

264
BAB VIII: HAL KEUANGAN
UUD NRI BAB VIII
1945 HAL KEUANGAN

Pasal 23
(1)Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. ***)
(2)Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah. ***)
(3)Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara yang
diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. ***)
Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara diatur dengan undang-undang. ***)
Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. ***)

265
Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
***)
Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan
undang-undang. ***)

Perubahan BAB VIII


Kelima HAL KEUANGAN
UUD NRI
1945 Pasal 23
(1)Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. ***)
(2)Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah. ***)
(3)Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara yang
diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. ***)
Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara diatur dengan undang-undang. ***)
Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. ***)

266
Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
***)
Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan
undang-undang. ***)

Tim perumus tidak melakukan perubahan terhadap bab ini.

BAB VIIIA: BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


UUD NRI BAB VIIIA***)
1945 BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Pasal 23 E
(1)Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan
yang bebas dan mandiri.***)
(2)Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya.***)
(3)Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.***)

267
Pasal 23 F
(1)Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.***)
(2)Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh
anggota.***)
Pasal 23G
(3)Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara,
dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.***)
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan
diatur dengan undang-undang.***)

Tim Perumus tetap mengikuti Naskah Konstitusi dan tidak perlu diadakan usulan
perubahan terhadap Pasal 23E, 23F, dan 23G karena secara substansi Pasal diatas sudah
memadai dan oleh karena itu tidak perlu diubah.

BAB IX: KEKUASAAN KEHAKIMAN


UUD NRI BAB IX
1945 KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
(1)Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. ***)
(2)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)

268
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. ****)
Pasal 24A
(1)Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang. ***)
(2)Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum ***)
(3)Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
***)
(4)Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh
hakim agung. ***)
(5)Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang. ***)
Pasal 24B
(1)Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. ***)
(2)Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. ***)
(3)Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

269
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undang-undang. ***)

Pasal 24C
(1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. ***)
(2)Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. ***)
(3)Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
***)
(4)Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi. ***)
(5)Hakim konstitusi harus memiliki intgeritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara. ***)

270
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang. ***)

Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang.

Perubahan BAB IX
Kelima KEKUASAAN KEHAKIMAN
UUD NRI Pasal 24
1945 (1)Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. ***)
(2)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)
(3)Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. ****)
Pasal 24A
(1)Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang. ***)
(2)Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum ***)

271
(1)Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
***)
(2)Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh
hakim agung. ***)
(3)Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang. ***)
Pasal 24B
(1)Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. ***)
(2)Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. ***)
(3)Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(4)Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undang-undang. ***)
Pasal 24C
(1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan memutus
pembubaran partai politik.***)

272
(2)Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. ***)
(3)Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
***)
(4)Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi. ***)
(5)Hakim konstitusi harus memiliki intgeritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara. ***)
(6)Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang. ***)

Pasal 24D *****)

(1)Mahkamah Pemilu berwenang mengadili pada tingkat


pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan
mengikat untuk memutus tentang pelanggaran administrasi,
sengketa proses pemilihan umum, tindak pidana pemilu yang
memengaruhi hasil serta sengketa tentang hasil pemilihan
umum. *****)
(2)Mahkamah Pemilu mempunyai sembilan orang anggota
hakim yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Mahkamah Konstitusi, dan tiga orang oleh Komisi Yudisial.

273
*****)

(3)Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Pemilu dipilih dari dan


oleh hakim Pemilu. *****)
(4)Hakim Mahkamah Pemilu harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara. *****)
(5)Pengangkatan dan pemberhentian hakim Mahkamah Pemilu,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Peradilan Pemilu diatur dengan undang-undang. *****)

Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang.

Terhadap Bab Kekuasaan Kehakiman, Tim Perumus melakukan


perubahan terhadap pasal 24 C ayat (1) dengan mereduksi salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi yakni kewenangan memutus sengketa hasil pemilihan
umum. Implikasi dari direduksinya kewenangan tersebut, tim perumus
menambahkan pasal 24 D tentang Mahkamah Pemilu. Mahkamah Pemilu
merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang bertugas untuk
menyelesaikan segala sengketa yang mempengaruhi hasil pemilihan umum.

274
BAB X: WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
UUD NRI BAB X
1945 WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Pasal 26
(1)Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2)Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia.** )
(3)Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan
undang-undang.** )
Pasal 27
(1)Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
(3)Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.**)
Pasal 28

275
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang.

Tim Perumus tetap mengikuti Naskah Konstitusi dan tidak perlu diadakan
usulan perubahan terhadap Pasal 26, 27, dan 28 karena secara substansi Pasal diatas
sudah memadai dan oleh karena itu tidak perlu diubah.
BAB IXA: WILAYAH NEGARA
UUD NRI BAB X
1945 WILAYAH NEGARA **)
Pasal 25A****)
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.**)

Tim Perumus memutuskan untuk tidak melaksanakan perubahan. Khususnya


dalam frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagai bentuk negara dan bentuk
pemerintahan Indonesia dan frasa negara kepulauan. Tim Perumus berpegang dengan
konsep negara kepulauan dikarenakan konsep negara kepulauan Indonesia telah diakui
oleh dunia internasional melalui United Nations Conference on the Law of the Sea 1982
(UNCLOS). Dengan diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan oleh masyarakat
internasional, maka akan menaikan eksistensi Indonesia di kancah internasional.

BAB XA: HAK ASASI MANUSIA


UUD NRI BAB XA
1945 HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A

276
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya. **)

Pasal 28B
(1)Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah. **)
(2)Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.**)

Pasal 28C
(1)Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia. **)
(2)Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya. **)

Pasal 28D
(1)Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum. **)
(2)Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3)Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan. **)

277
Pasal 28E
(1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak
kembali. **)
(2)Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya. **)
(3)Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. **)

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia. **)

Pasal 28G
(1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi. **)
(2)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yangmerendahkan derajat martabat menusia dan
berhak memperoleh suaka politik darinegara lain. **)

278
Pasal 28H
(1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. **)
(2)Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan. **)
(3)Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat. **)
(4)Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapa pun. **)

Pasal 28I
(1)Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang
berlaku surut, adalah HAM yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun. **)
(2)Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu. **)
(3)Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)

279
(4)Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. **)
(5)Untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. **)

Pasal 28J
(1)Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
**)
(2)Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. **)
Perubahan BAB XA
Kelima UUD HAK ASASI MANUSIA *****)
1945 Pasal 28A
Pasal 28A
Setiap orang berhak
Setiap orang berhak untuk
untuk hidup
hidup serta
sertaberhak
berhakmempertahankan
mempertahankan
hidup hidup dan**)
dan kehidupannya. kehidupannya. **)
Pasal 28B
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
keturunan melalui perkawinan yang sah. **)
**)

280
(2) Setiapanak
(2)Setiap anakberhak
berhakatas
ataskelangsungan
kelangsunganhidup,
hidup,tumbuh
tumbuh dan
berkembang
dan sertaserta
berkembang berhak atas perlindungan
berhak dari kekerasan
atas perlindungan dari
dan diskriminasi.**)
kekerasan dan diskriminasi.**)

Pasal 28C
28C
(1)
(1) Setiap orang berhak
Setiap orang berhakmengembangkan
mengembangkan diri diri melalui
pemenuhan kebutuhan
melalui pemenuhan dasarnya,
kebutuhan berhak mendapat
dasarnya,
pendidikan
berhak dan memperoleh
mendapat manfaat daridan
pendidikan ilmu pengetahuan
dan teknologi,
memperoleh seni dari
manfaat dan ilmu
budaya, demi meningkatkan
pengetahuan
kualitas hidupnya seni
dan teknologi, dan demi
dan kesejahteraan
budaya, demiuman manusia.
**)
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
(2) Setiap orang uman
kesejahteraan berhak untuk **)
manusia. memajukan dirinya dalam

(2) memperjuangkan haknya


Setiap orang berhak untuk secara
memajukankolektif untuk
membangun masyarakat,
dirinya dalam bangsa, danhaknya
memperjuangkan negaranya. **)

secara kolektif untuk membangun


Pasal 28D
masyarakat, bangsa, dan negaranya. **)
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
Pasal 28D
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan,
perlakuan yang sama di hadapan hukum. **)
jaminan, perlindungan, dan kepastian
(2) Setiap
hukumorang
yang berhak untuk
adil serta bekerjayang
perlakuan sertasama
mendapat imbalan
dan perlakuan
di hadapan yang **)
hukum. adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3)
(2) Setiap
Setiapwarga
orangnegara berhak
berhak untukmemperoleh kesempatan yang
bekerja serta
sama dalamimbalan
mendapat pemerintahan. **)
dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28E
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
kesempatan yang sama dalam
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
pemerintahan. **)
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
Pasal 28E
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya,
(1) Setiap orang kembali.
serta berhak bebas memeluk
**) agama dan

281
(2) beribadat menurut
Setiap orang agamanya,
berhak atas memilih kepercayaan,
kebebasan meyakini
pendidikan
menyatakan danpikiranpengajaran,
dan sikap, memilih
sesuai dengan hati
pekerjaan,
nuraninya. **)memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
meninggalkanya, serta berhak kembali. **)
dan mengeluarkan pendapat. **)
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
Pasal sesuai
28F dengan hati nuraninya. **)
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
pendapat. **)
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
Pasal 28F
yang tersedia. **)
(1)Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk
Pasal 28G
mengembangkan pribadi dan lingkungan
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
sosialnya, serta berhak untuk mencari,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
memperoleh, memiliki, menyimpan,
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
mengolah dan menyampaikan informasi
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
dengan menggunakan segala jenis saluran
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)
yang tersedia. **)
(2)28G
Pasal Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan
(1)Setiap orangyang merendahkan
berhak derajat martabat
atas perlindungan diri menusia
dan berhak
pribadi, memperoleh
keluarga, suakamartabat,
kehormatan, politik dari
dannegara lain. **)
harta benda yang di bawah kekuasaannya,
Pasal 28H
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
asasi. **)
kesehatan. **)
(2)Setiap orang berhak untuk bebas dari

282
(2) penyiksaan atau
Setiap orang perlakuan
berhak yangmerendahkan
mendapat kemudahan dan perlakuan
derajat martabat
khusus untuk menusiakesempatan
memperoleh dan berhak
dan manfaat yang
memperoleh suaka politik
sama guna mencapai darinegara
persamaan lain. **)
dan keadilan.
**)
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
Pasal 28H
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
(1) Setiap
manusiaorang
yangberhak hidup sejahtera
bermartabat. **) lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. **)
wenang oleh siapa pun. **)
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh
Pasal 28I
kesempatan dan manfaat yang sama guna
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
mencapai persamaan dan keadilan. **)
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
memungkinkan pengembangan dirinya secara
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)
berlaku surut, adalah HAM yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan
(4) Setiap apa pun.
orang berhak **)
mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
diambil alih secara sewenang- wenang oleh
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
siapa pun. **)
mendapatkanperlindungan terhadap perlakuan yang
Pasal 28I
bersifat diskriminatif itu. **)
(1)Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
(3) kemerdekaan
Identitas budaya dan dan
pikiran hak hati
masyarakat
nurani, dihormati
hak selaras
dengan perkembangan
beragama, zaman
hak untuk tidak dan peradaban.
diperbudak, hak **)

(4) untuk diakui pemajuan,


Perlindungan, sebagai pribadi di hadapan
penegakan, dan pemenuhan HAM
hukum,
adalah tanggung jawab negara, terutamaatas
dan hak untuk tidak dituntut pemerintah. **)
dasarhukum yang berlaku surut, adalah HAM
Perlindungan,
(5) yang pemajuan,
tidak dapat penegakan,
dikurangi dan pemenuhan HAM
dalam keadaan
adalah
apa pun.tanggung
**) jawab negara, terutama pemerintah. **)

(2)Setiap orang berhak bebas dari perlakuan

283
Pasal yang
28J bersifat diskriminatif atas dasar apa pun
(1) dan
Setiapberhak mendapatkan
orang wajib menghormati perlindungan
HAM orang lain dalam
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
itu.
**)**)
(3)Identitas budaya dan
(2) Dalam menjalankan hak kebebasannya,
hak dan masyarakat setiap orang
dihormati selaras
wajib tunduk kepadadengan perkembangan
pembatasan yang ditetapkan dengan
zaman dan peradaban.
undang-undang **) maksud semata-mata untuk
dengan
menjamin pengakuan
(4)Perlindungan, sertapenegakan,
pemajuan, penghormatan
dan atas hak dan
kebebasan HAM
pemenuhan orang adalah
lain dan untuk memenuhi
tanggung jawab tuntutan
yangadil
negara, sesuaipemerintah.
terutama dengan pertimbangan
**) moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
(5)Untuk menegakkan dan melindungi HAM
masyarakat demokratis. **)
sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan HAM
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. **)

Pasal 28J
(1)Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
**)
(2)Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. **)

Tidak ada perubahan yang tim perumus lakukan pada bab tentang HAM ini dan
tetap mempertahankannya.

284
BAB XI: AGAMA
UUD NRI BAB XI
1945 AGAMA
Pasal 29
(1) Negara berdasar
(1)Negara berdasar atas
atas Ketuhanan
KetuhananYang
YangMaha
MahaEsa.
Esa.
(2) Negara menjamin
(2)Negara menjamin kemerdekaan
kemerdekaantiap-tiap
tiap-tiappenduduk
penduduk
penduduk untuk
untuk
untuk
memeluk
memeluk
agama
agama
agama serta
serta
serta beribadat
beribadat
beribadat menurut
menurut
menurut agama
agamaatau
agama atau
kepercayaannya
kepercayaannya
tersebut
kepercayaannya tersebut
tersebut.

Perubahan BAB XI
Kelima UUD AGAMA
NRI 1945 Pasal 29
(1) Negara berdasar
(1)Negara berdasar atas
atas Ketuhanan
KetuhananYang
YangMaha
MahaEsa.
Esa.
(2) Negara menjamin
(2)Negara menjaminkemerdekaan
kemerdekaantiap-tiap
tiap-tiappenduduk
penduduk untuk
untuk
memeluk agama
memeluk agamaserta beribadat
serta menurut
beribadat agamaagama
menurut atau atau
kepercayaannya tersebut
kepercayaannya tersebut

Tidak ada perubahan yang tim perumus lakukan dalam bab tentang Agama ini.

285
BAB XII: PERTAHANAN DAN KEAMANAN
UUD NRI BAB XII
1945 PERTAHANAN DAN KEAMANAN**)
Pasal 30
(1)Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan Negara. **)
(2)Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan
pendukung.**)
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara

bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara


keutuhan dan kedaulatan negara.**)
(4)Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. **)
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat
keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan
dan keamanan diatur dengan undang-undang.**)

Tim Perumus tetap mengikuti Naskah Konstitusi dan tidak perlu diadakan
usulan perubahan terhadap Pasal 30 karena secara substansi Pasal diatas sudah
memadai dan oleh karena itu tidak perlu diubah.

286
BAB XIII: PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UUD BAB XIII
NRI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****)
1945 Pasal 31
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.****)
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.****)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.****)

287
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggapan pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.****)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.****)

Pasal 32
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.****)
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kebudayaan nasional.****)

Tim Perumus tetap mengikuti Naskah Konstitusi dan tidak perlu diadakan
usulan perubahan terhadap Pasal 31 dan Pasal 32 karena secara substansi Pasal diatas
sudah memadai dan oleh karena itu tidak perlu diubah.

BAB XIV: PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN


SOSIAL UUD NRI TAHUN 1945
UUD
UUDNRINRI BABBAB
XIV XIV
1945
1945 PEREKONOMIAN
PEREKONOMIAN NASIONAL
NASIONAL DANDAN KESEJAHTERAAN
KESEJAHTERAAN
SOSIAL****)
SOSIAL****)
PasalPasal
33 33
(1) Perekonomian
(1) Perekonomian disusun
disusun sebagai
sebagai usahausaha bersama
bersama berdasar
berdasar atas asas
atas asas
kekeluargaan.
kekeluargaan.

288
(2)Cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.****)
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.****)

Pasal 34
(1)Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
****)
(2)Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)
(3)Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.****)

Perubahan BAB XIV


Kelima UUD PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN
NRI 1945 SOSIAL****)
Pasal 33

289
(1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2)Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.****)
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.****)
Pasal 34

(1)Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.****)

(2)Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat


dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)

(3)Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan


kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam


undang-undang.****)

Tidak ada perubahan yang tim lakukan dalam bab ini.

290
BAB XV: BENDERA, BAHASA,
DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN**)
UUD NRI BABXV
1945 BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA
LAGU KEBANGSAAN**)
Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah sang merah Putih.

Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.

Pasal 36A
ialah Garuda
Lambang Negara ialah GarudaPancasila
Pancasiladengan
dengansemboyan
semboyanBhineka
Bhineka
Tunggal Ika.**

Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.**)

Pasal 36C
lebihlanjut
Ketentuan lebih lanjutmengenai
mengenai Bendera,
Bendera, Bahasa
Bahasa dan lambang
dan Lambang
lagu Kebangsaan
Negara, serta Lagu Kebangsaandiatur
diaturdengan
denganundang-undang.**)
undang-undang.**)

Tim Perumus tidak melakukan perubahan pada Bab XV UUD 1945 karena
bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan merupakan atribut negara

291
Indonesia yang memberikan identitas wujud eksistensi Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang dilaksanakan berdasarkan asas persatuan, kedaulatan,
kehormatan, kebangsaan, ke-bhinekatunggalika-an, ketertiban, kepastian hukum,
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.485 Bab ini mencerminkan ideologi,
kharakteristik, dan perjuangan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan persatuan dan
kesatuan di bawah payung ke-bhinneka-an. Maka dari itu, perubahan pada bab ini dapat
dikatakan identik dengan merubah jiwa dan nilai-nilai yang terkandung di dalam
masyarakat Indonesia.
BAB XVI: PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
UUD NRI BAB XVI
1945 PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 37
(1)Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat
diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****)
(2)Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian
yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. ****)
(3)Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. ****)
(4)Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima
puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****)

485
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan.

292
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. ****)
Perubahan BAB XVI
Kelima PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
UUD NRI Pasal 37
1945 (1)Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat
diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****)
(2)Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian
yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. ****)
(3)Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7/8 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. ****/*****)
(4)Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 7/8 dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
****/*****)
(5)Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. ****)

Dalam rangka menguatkan kedudukan dan peran DPD dan MPR dalam susunan
ketatanegaraan Indonesia, maka Tim Penulis pun melakukan perubahan pada ketentuan
Pasal 37 UUD. Perubahan dalam Pasal 37 ini dilakukan dalam rangka menguatkan
fungsi DPD. Pengaturan perubahan yang ada pada UUD NRI 1945 sekarang ini seakan
sengaja dibuat untuk tidak memasukkan DPD. Perubahan tersebut hanya meliputi batas
kuorum anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang harus hadir dalam sidang
perubahan UUD yaitu dari 2/3 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi 7/8

293
anggota. Hal ini didasarkan kepada rasio bahwa dalam rangka penguatan kedudukan
dan peran DPD maka partisipasi DPD harus dipastikan ada pun dalam hal perubahan
UUD. Selaras dengan adanya perubahan pada batas kuorum kehadiran anggota MPR
dalam sidang impeachment Presiden, maka dalam hal perubahan UUD juga Tim
Penulis mengadakan perubahan dalam pasal ini. Jumlah anggota MPR pada periode
2014-2019 mencapai 687 orang dengan komposisi 132 orang merupakan anggota DPD
dan 555 orang merupakan anggota DPR486. Dengan batas kuorum kehadiran yang ada
saat ini yaitu 2/3 maka dengan sendirinya peran DPD tidak diperlukan untuk
melakukan perubahan UUD karena yang dibutuhkan hanyalah 458 orang anggota MPR
yang mana sudah terpenuhi dengan jumlah anggota DPR saat ini yaitu 555 orang.
Kuorum ini bisa saja dipenuhi oleh anggota DPR saja tanpa mengikutsertakan anggota
DPD. Begitu pula dengan pemberian persetujuan, 50% ditambah satu dari anggota
MPR memiliki arti bahwa hanya dengan 345 anggota MPR sudah bisa membuat
perubahan UUD NRI 1945. Hal inilah yang Tim Penulis ingin hindari sehingga
mengubah batas kuorum kehadiran menjadi 7/8 yaitu 601 kehadiran anggota MPR.
Selanjutnya, dalam memberikan persetujuan terhadap perubahan UUD maka Tim
Penulis pun menambah batas kuorum menjadi 2/3 karena didasari alasan bahwa lagi-
lagi peran DPD harus disertakan dalam memberikan persetujuan terhadap perubahan
UUD tersebut. Padahal dalam UUD NRI 1945 ini tidak hanya memuat peraturan-
peraturan yang mengandung kepentingan politik tetapi juga kepentingan teritorial yang
disampaikan melalui lembaga DPD.
Oleh karena itu, Tim Perumus mengubah batas kuorum menjadi 7/8 yaitu 601
anggota MPR. Dengan asumsi bahwa sidang dihadiri oleh seluruh anggota DPR, masih
diperlukan setidaknya 46anggota DPD lagi untuk menyelenggarakan Sidang Paripurna
MPR. Begitu juga dengan persetujuan atas perubahan UUD NRI 1945, 601 anggta
MPR harus memberikan persetujuannya untuk mengegolkan usul perubahan. Dengan
begitu diharapkan bahwa hasil dari perubahan UUD NRI 1945 benar-benar sesuai

486
Hukum Online, “Anggota MPR, DPR dan DPD Periode 2014-2019 Resmi Dilantik”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt542bb3537f5a8/anggota-mpr--dpr-dan-dpd-periode-2014-
2019-resmi-dilantik, Diakses pada 1 Juli 2016

294
dengan kebutuhan seluruh rakyat Indonesia bukan hanya kepentingan beberapa
golongan saja.
Mengenai Pasal 37 UUD NRI 1945 tentang Perubahan UUD NRI 1945 ini, Tim
Perumus merumuskan bahwa Perubahan UUD NRI 1945 dapat dilakukan dengan
usulan paling sedikit 1/3 dari keseluruhan anggota MPR. Pengajuan usul itu harus
dilakukan secara tertulis dan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya. Jika dibandingkan dengan ketentuan sebelum perubahan, ketentuan Pasal
37 UUD NRI 1945 pascaperubahan juga mengatur mekanisme pengambilan putusan
yang lebih ketat. MPR hanya dapat bersidang untuk membahas dan mengambil putusan
terkait perubahan UUD NRI 1945 jika dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota MPR. Jika sebelum perubahan ditentukan bahwa putusan mengubah UUD
1945 dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari anggota yang hadir, Pasal 37 UUD NRI
1945 setelah perubahan mensyaratkan lebih berat yaitu harus disetujui oleh sekurang-
kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.

ATURAN PERALIHAN
ATURAN
PERALIH Pasal I
AN Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
UUD NRI selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
1945 ini.****)

Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang
untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan Belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. ****)

Pasal III

295
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus
2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung. ****)

Perubahan ATURAN PERALIHAN


Kelima
UUD NRI Pasal I
1945 Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini.****)

Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang
untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan Belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.****)

Pasal III
Dihapuskan*****)

Tim Perumus menghilangkan Pasal III karena Mahkamah Konstitusi telah


terbentuk sehingga tidak perlu lagi ada Pasal aturan peralihan yang mengatur tentang
tanggal pembentukan Mahkamah Konstitusi.

ATURAN ATURAN TAMBAHAN


TAMBAHAN UUD Pasal I
1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

296
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.****)
Pasal II
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal****)
Perubahan Kelima ATURAN TAMBAHAN
UUD NRI 1945 Pasal I
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal*****)
Pasal II
Dihapus*****)

Tujuan awal dibentuknya aturan tambahan adalah sebagai jaminan bagi


kelangsungan Pemerintahan Republik Indonesia setelah berakhirnya peperangan Asia
Timur Raya sekaligus memberikan ruang bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
melakukan perubahan atas UUD. Baik Konstitusi RIS maupun UUDS 1950 tidak
memiliki aturan tambahan, yang ada adalah ketentuan penutup. Sama seperti aturan
peralihan, pembahasan aturan tambahan dimulai sejak proses amandemen kedua UUD
1945 tetapi baru mengalami perubahan dan pengesahan pada proses amandemen
keempat UUD 1945. Pembahasan aturan tambahan sebagian besar mengenai relevansi
keberadaan aturan tambahan dalam UUD 1945 dan materi yang dianggap substantif
untuk dimasukkan ke dalam aturan tambahan. Ketentuan-ketentuan dalam aturan
peralihan dan aturan tambahan bersifat sistemik secara teknis, tetapi juga secara
kesatuannya sesungguhnya adalah demokratis dan merupakan dasar bagi suatu proses
demokratisasi dan reformasi yang berkelanjutan.
Tim perumus melakukan penghapusan pada pasal I aturan tambahan yang
membebankan tugas kepada Majelis Permuswayaratan Rakyat untuk melakukan

297
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (TAP MPRS) dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP MPR) karena tugas tersebut telah terlaksana.

298
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Pembahasan mengenai idealitas kenegaraan menjadi awal diskursus lebih lanjut
mengenai pemilihan umum sebagai salah satu elemen vital dari demokrasi perwakilan
yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Pemilu yang demokratis esensiil bagi transisi
demokrasi Indonesia sehingga sepatutnya memperhatikan pluralism politik dan
partisipasi sipil secara terbuka dan mandiri. Untuk mewujudkan hal tersebut maka
beberapa elemen-elemen yang dijamin dalam konstitusi berkaitan dengan pemilu perlu
ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Secara ringkas, salah satu evaluasi yang harus dilakukan adalah terhadap ruang
lingkup rezim pemilihan umum yang perlu dipertegas dan memperhitungkan pemilihan
kepala daerah yang secara materiil sama dengan perumusan pemilihan umum dalam UUD
NRI 1945. Namun dengan catatan bahwa daerah-daerah yang memiliki suatu rangkaian
pemilihan yang khusus juga tetap dapat diselenggarakan dengan memperhatikan unsur
demokrasi. Selain itu penyesuaian-penyesuaian norma mengenai pemilu dalam konstitusi
juga harus dilakukan untuk mempertegas sistem pemilu yang berlaku dalam Indonesia
agar dalam perkembangan sistem tersebut tetap memiliki fondasi yang kuat dan
konsistensi yang dapat dipegang. Maka secara langsung dalam amandemen kelima UUD
NRI 1945 perlu dicantumkan mengenai sistem yang berlaku yaitu sistem proporsional.
Mengenai apakah yang diterapkan sistem proporsional terbuka, tertutup atau suatu
gradasi tertentu dari kedua pilihan tersebut sudah seharunsya dibiarkan menjadi open
legal policy bagi perumus undang-undang dengan tetap memperhatikan perkembangan
budaya demokrasi dan pemilu masyarakat.
Aspek kelembagaan juga perlu dikaji ulang agar penyelenggaraan pemilu dapat dibuat
lebih efektif secara fundamental. Perumus mengajukan institusionalisasi secara formal
atas Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu, sehingga KPU memiliki
kewenangan-kewenangan yang diatur dalam konstitusi dan kedudukan sebagai suatu
lembaga tinggi sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. Pemilu tidak hanya
menyangkut mengenai pemahaman dan parameter atas pemilu serta kelembagaan namun
juga apa yang terjadi pada ujung lain dari siklus politik demokrasi. Hal tersebut terkait
dengan penjaminan pertanggungjawaban yang tepat bagi wakil rakyat terhadap rakyat
sebagai pemilih melalui perumusan constituent recall dalam konstitusi, penguatan peran
299
Dewan Perwakilan Daerah, sistem presidensial yang berlaku di Indonesia serta peran
perempuan dalam lembaga konstitusi dengan perwujudan melalui norma dalam
amandemen kelima UUD NRI 1945. Aspek terakhir menyangkut penyelesaian sengketa
dalam hasil pemilihan umum, perumus juga mengajukan adanya sentralisasi penyelesaian
sengketa di dalam lembaga Mahkamah Pemilu untuk mempermudah pencari keadilan
yang merasa haknya terlanggar dalam rangkaian penyelenggaraan pemilu. Keberhasilan
dan keberlangsungan pemilu bergantung pada penyelenggaraan yang sesuai prinsip-
prinsip universal demokrasi. Dalam konteks Indonesia, untuk membangun kepercayaan
publik kepada keseluruhan proses pemilu, maka dibutuhkan rekonstruksi normative yang
berangkat dari pemahaman philosophische grondslag dari penyelenggaraan pesta
demokrasi tersebut.

6.2 Saran
UUD NRI 1945 sebagai kontrak sosial di Indonesia juga dipandang sebagai hukum
tertinggi yang berpedoman kepada Pancasila. Pedoman utama dalam berbagai kegiatan
berbangsa dan bernegara tersebut memang bersifat fundamental namun tidak berarti
bahwa dengan seiringnya perkembangan zaman tidak dibutuhkan penyesuaian-
penyesuaian yang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya sendiri. Terlebih lagi
apabila hal tersebut berkaitan dengan pemilu sebagai sebuah jalan utama bagi rakyat
untuk berpartisipasi dalam demokrasi perwakilan yang hidup di Indonesia. Penyesuaian-
penyesuaian tersebut justru dibutuhkan untuk melanggengkan Republik Indonesia dan
pencapaian tujuan-tujuannya yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat. Sehingga perubahan kelima UUD 1945 harus dilakukan, antara lain dengan
poin-poin berikut:
1. Definisi ruang lingkup rezim pemilihan umum untuk mengikutsertakan pemilihan
kepala daerah;
2. Penegasan berlakunya sistem pemilu proporsional;
3. Penetapan hak warga negara untuk menarik kembali wakil rakyat yang terpilih;
4. Penetapan Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu lembaga yang diatur
secara rinci dalam konstitusi;
5. Penetapan Mahkamah Pemilu sebagai badan penyelesaian sengketa yang
berkaitan dengan hasil pemilihan umum dalam konstitusi;

300
6. Penguatan peran dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia;
7. Penguatan jaminan atas keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.

301
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU

Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan: Konstitusi Sembilan
Negara., PT Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Abu Daud Busroh, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineke Cipta, Jakarta, 1994.

Achmad Roestandi dan Zul Afdi Ardian, Tata Negara, C. V. Armico, Bandung, 1986.

Achmad Sentosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001.

Ahmad Muflih Saefuddin, Pengembangan IPTEK Berwawasan Kemanusiaan, Jendela,


Yogyakarta, 2003.

Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.

Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrondwet, Jalasutra, Yogyakarta,


2011.

Alder, John dan English, Peter, Constitutional And Administrative Law, Macmillan,
London, 1989.

Alder, John, Constitutional and Administrative Law, MacMillan, United States of


America, 1989.

Amiroeddin Syarif, Perundang-Undangan:Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya, Rhika


Cipta, Bandung, 1987.

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.

Andreae Fockema, Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983.

Anonim, Profil Lembaga Negara Rumpun Legislatif. Asisten Deputi Hubungan Lembaga
Negara dan Lembaga Non Struktural Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan
Kemasyarakatan, Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, 2011.

302
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995.

Arifin P. Soeria Atmadja, Kedudukan dan Fungsi BPK dalam Struktur Ketatanegaraan
RI, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universtias Indonesia,
Depok, 2000.

Arifin P. Soeria Atmadja. Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum: Teori, Praktik dan
Kritik, Rajawali, Depok, 2013.

Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.

___________, Lembaga Kepresidenan, UII Press, Yogyakarta, 2003.

___________, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD NRI 1945 Baru, FH UII Press,
Yogyakarata, 2003.

___________, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum FH UII kerjasama dengan


Gama Media, Yogyakarta, 1999.

___________, Membedah UUD NRI 1945, UB Press, Malang, 2012.

___________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum


Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2005.

Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous, Perspektif Budaya: Kumpulan Tulisan
Koentjaraningrat Memorial Lectures I-V/2004-2008, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2009.

Binsar M. Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di


Indonesia, Kompas Gramedia, Jakarta, 2015.

Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgwell, International Law & the Environment,
Oxford University Press, Oxford, 2009.

303
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 5th.Ed., West Publishing Co, United
States of America, 1979.

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Edisi ke-2, 2005, Alumni, Bandung, 2005.

Bowels, Nigel, Government and Politics of the United States, Macmillan Press Ltd,
London, 1998.

Bramel, Theodore, Education for The Emerging Age, Evanston and London: Harper &
Row Publisher, New York, 1965.

Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1982.

Burhanuddin Salam, Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik), PT. Rineka


Cipta, Jakarta, 1996.

Burn, James McGregor (et. al.), Government By The People, Prantice Hall, New
Jersey,1994.

Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama,


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

C.F Strong. “Modern Political Constitution”, dalam: Bagir Manan, (eds.), Memahami
Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.

C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Jakarta, 1988.

Cameroon, Edwin, “Constitutionalism, Rights, and International Law: The Glenisor


Decision”, Duke Journal of Comparative and Intenational Law, United States of
America, 2013.

CESDA, Laporan Seminar Demokratisasi: Implementasi Pasal 27 dan 28 UUD 1945,


Jakarta: LP3ES, 1993.

304
Chaidir Basrie, Bela Negara: Implementasi dan Pengembangannya (Penjabaran Pasal 30
UUD 1945), UI-Press, Jakarta, 1998.

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Dahlan Thalib (et. al). Teori dan Hukum Konstitusi. Rajawali Press, Jakarta, 2013.

Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional , Kajian Teori dan Praktik
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010.

Damos Dumoli Agusman, Treaties Under Indonesian Law, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2014.

Darmawan Tribowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, 2006.

Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudyaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa


Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1988.

Dian Puji N. Simatupang. Determinasi Kebijakan Anggaran Negara Indonesia. Papas


Sinar Sinanti, Jakarta, 2005.

Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan

Diulio, Theory and Problems of Money and Banking, Erlangga, Jakarta, 1993.

Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, PT.
Grasindo, Jakarta, 2007.

Dr. Mohammad Hatta, et. al., Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Mutiara, Jakarta, 1977.

Elizabeth A. Martin, A Dictionary of Law, Oxford University Press, London, 2003.

Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Pustaka LP3ES (Lembaga


Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta, 1988.

305
F. Budi Hadiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang “Negara Hukum” dan “Ruang
Publik” dalam Teori Diskursus Jurgen Habernas, PT. Kanisius, Yogyakarta, 2009.

Firmansyah Arifin (et.al.), Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga


Negara,Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, 2005.

Friedman, Lawrence M, American Law, an Introduction, Second Edition, terjemahan


dalam bahasa Indonesia oleh Wishnu Basuki, Jakarta: PT. Tatanusa, cetakan. 1,
2001.

H. Bohari, Hukum Anggaran Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995.

H. M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945,


Ubhara Press, Surabaya, 1998.

Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Pemberhentian Presiden Menurut UUD


1945, Konpress, Jakarta, 2014.

_____________, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden


Menurut UUD 1945, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2014.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russell & Russel, 1945.

___________, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,
cet. 5, Nusa Media, Bandung, 2010.

Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbergriffe,


Benziger, Einsiedeln/Zurich/Koln, 1948

Harjono, Transformasi Demokrasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah


Konstitusi, Jakarta, 2009.

Harun Al-Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, 1999.

Harun Nur Rosyid (et.al), Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat, Proyek


Pelesatrian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2004.

306
Indra J. Piliang. Bikameral Bukan Federal. Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Semarang, 1977.

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen dan Pemilihan Presiden
Secara Langsung, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi


Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, Pustaka LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta, 2015.

__________________, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009.

__________________, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia, Setjen MKRI, Jakarta, 2005.

__________________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,


Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2002.

__________________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,


Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2002.

____________________, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, 2010.

__________________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.

___________________, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, UI-


Press, Jakarta, 1996.

___________________, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2011.

307
____________________, Perkembangan dan Konsolidasi Antar Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI, Jakarta, 2006.

Jimly Asshidiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.

Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

________________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

_________________, Sengketa Konstitusional Lembaga Negara,Konpress, Jakarta,


2006

__________________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press,


Jakarta, 2006.

__________________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.

___________________. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:


Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press, Jakarta, 1996.

____________________. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:


Telaah Perbandingan. Konstitusi Berbagai Negara. UI-Press, Jakarta, 1996.

_____________________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta, 2006.

____________________. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Reformasi., Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

308
John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Penguatan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2009.

KC, The Modern Constitutions, Oxford Univeristy Press, London, 1975.

K.C. Wheare, “Modern Constitution”, dalam: Bagir Manan, (eds.), Memahami


Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.

Ki Hadjar Dewantara, Bagian II: Kebudayaan, Offset Tamansiswa, Yogyakarta, 1994.

Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, Taman Siswa, Yogyakarta, 1962.

Klabbers, Jan, Introduction to International Institutional Law, Cambridge: Cambridge


University Press, 2002.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta,


1974.

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,


Yogyakarta, 2002.

Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi


Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden menurut Undang-
Undang Dasar 1945), Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
1998.

Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak Azasi Manusia dan Pantjasila, Pradnja Paramita,


Jakarta, 1969.

Linderfalk, Ulf, On the Interpretation of Treaties: The Modern Intenational Law as


Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Dordrecht:
Springer, 2007.

Lowi, Theodore dan Benjamin Ginsberg, American Government, W.W


Norton&Company, London, 1990.

309
Luhut M. P. Pangaribuan, Kemandirian Kekuasaan Keakiman dan Pertanggungjawaban
Publik: Satu Catatan Garis-Garis Besar dalam Perspektif Reformasi Hukum menuju
Masyarakat Madani, Jakarta,

M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1997.

Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2011.

Majda El-muhtaj, HAM dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2007.

Makmuri Sukarno, Rekonstruksi dan Revitalisasi Pendidikan Indonesia Menuju


Masyarakat Madani, LIPI Press, Jakarta, 2015.

Maluwa, Tiyanjana, The Incorporation of International L;aw and its Interpretional Role
in Municipal Legal System in Africa: An Explolatory Survey, SAYIL, 1998.

Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, Materi Muatan.


Kanisius, Jakarta, 2007.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Masyarakat Transparansi Indonesia, Pembatasan Kekuasaan Presiden RI : Kajian


Terhadap Mekanisme Pelaksanaan Kekuasaan Presiden dalam Hukum Positif
Indonesia , Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 1999.

Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2011.

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,


Bandung, 2015.

Mochtar Lubis dan Scott, James, Bunga Rampai Karangan-Karangan Mengenai Etika
Pegawai Negeri, Bhratara Karya, Jakarta, 1977.

310
Moh Kusnardi dan Haramaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Jakarta, 1988.

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama
Jakarta, 1994.

_________________________. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut


Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1980.

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, Pustaka Antara,
Jakarta, 1960.

Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama,


Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959.

Molan, Michael, Constitutional Law: Machinery of Government, Old Bailey Press,


London, 2003.

Mrydal, Gunnar, Asian Drama an Inquiry into the Property of Nations, Penguin Books,
Australia, 1977.

Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Pustaka Eurika,


Surabaya, 2005.

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press,
Yogyakarta, 2007.

____________, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan


UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2000.

_____________. Hukum Tata Negara Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005.

_____________, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review. UII Press,


Yogyakarta, 2005.

311
Nina Pane, Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-Atmadja, Kompas, Jakarta, 2015.

Noor M. Azis, Pemilihan Kepala Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional dan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2011.

Padmo Wahyono, Kuliah-kuliah Ilmu Negara, IND-Hill-C, Jakarta, 1996.

Parulian Donald, Menggugat Pemilu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.

Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Sinar
Grafika, Jakarta, 2013.

Phillips, Hood, (et.al), Constitutional and Administrative Law, Sweet & Maxwell,
London, 2011.

Punardi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab,
Rajawali Pers, Jakarta, 1982.

R. M. AB Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensiel


“Orde Reformasi”, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2011.

_____________________, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 Memuat Salinan


Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan
Kemerdekaan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2004.

R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar Lembaga Negara. Gramedia , Jakarta,
2007.

Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilu untuk membangun Tata Politik


Demokratis, Kemitraan, Jakarta, 2008.

Reni Dwi Purnomowati. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. PT.
RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2005.

312
Robbins, Stephen, Organizational Behaviour: Concepts, Controversies and Applications,
Prentice Hall, United States of America, 1990.

Rozikin Daman, Hukum Tata Negara Suatu Pengantar, P. T. Rajagrafindo Persada,


Jakarta, 1993.

Safri Nugraha (et.al), Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2005.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legilasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Saldi Isra, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, Andalas
University Press, Padang, 2006.

Saldi Isra. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia. Rajawali Pers, Jakarta, 2013.

Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968.

Samekto FX, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004.

Samijo, Ilmu Negara, C. V. Armoci, Bandung, 1992.

Satjipto Rahardjo, Hukum Adat dalam Negara Kesatuan RI, Makalah Bahan Bacaan
Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2006.

_____________, Pendayaan Asas Hukum oleh Legislatif – Sisi-sisi Lain Dari Hukum di
Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

Satya Arinanton, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.

Sayidiman Suryohadiprojo, Si Vis Pacem Para Bellum: Membangun Pertahanan Negara


yang Modern dan Efektif, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

313
Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, LeIP, Jakarta, 2012.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945: 1999 – 2002 Tahun Sidang 1999, Sekretariat
Jenderal MPR RI, Jakarta, 2008.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I, Buku Kedua Jilid 3,
Jakarta, 2000.

Shinta Agustine, (Et.al), Obstruction of Justice,Themis Books, Jakarta, 2015.

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Nasional, Airlangga


University Press, Surabaya, 2005.

Soedarso, Korupsi di Indonesia, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1969.

Soegarda Poerbakawatja, Suatu Pemikiran mengenai Pendidikan di Indonesia, Idayu,


Jakarta, 1975.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.

Sri Edi Swasono, “Mewaspadai Otoritarianisme dan Tirani Ekonomi: Tentang


Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi,” Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia, Depok, 2008.

Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Penerbit


Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

Sri Soemantri M., Prosedur dan Sitem Perubahan Konstitusi, P. T. Alumni, Bandung,
2006.

____________________, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,


Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

____________________, Supremasi Hukum dalam Perspektif Kepribadian Warga


Negara, dalam Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan, Bagian Proyek

314
Peningkatan Tenaga Akademik tDirektorat Jenderal Pendidikan TInggi
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2002.

_____________________, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Alumni,


Bandung, 2006.

St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Binacipta, Bandung,


1980.

Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Bambang iriana Djaja Atmatja,
Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Stewart, Richard dan James E. Krier, Environmental Law and Policy, The Bobbs Merril
Co. Inc, New York, 1978.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Sunaryati Hartono (et.al.), Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Kewajiban Asasi
Manusia ditinjau dari Instrumen Hukum Internasional di Bidang HAM, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002.

Suwidi Tono, et al., Bank Indonesia: Menuju Independensi Bank Sentral, Mardi Mulyo,
Jakarta, 2000.

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.

The World Commission on Environment and Development, Our Common Future, Oxford
University, Oxford, 1987.

Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2015.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses da Hasil Perubahan UUD NRI 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

315
Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 199-2002, Buku II
tentang Sendi-sendi/Fundamen Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

______________________________________________________________________
___, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan,
Jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2008.

______________________________________________________________________
___, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang,Proses, dan Hasil Pembahasan
1999-2002, Buku IV tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

______________________________________________________________________
__, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 199-2002,
Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008.

______________________________________________________________________
___, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,
Bab VII Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

______________________________________________________________________
____, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,
Buku VIII tentang Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

316
______________________________________________________________________
___, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,
Bab IX Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.

______________________________________________________________________
____, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,
Buku X Perubahan UUD, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD ’45, Angkasa,
Bandung, 1983.

Treasury Board of Canada, The Ethics Infrastructure In The Public Administration,


Treasury Board of Canada Secretary, Canada, 2002.

Verdun, Amy, The Euro: European Integration Theory and Economic and Monetary
Union , Rowman and Littlefield Publishers, Inc., United States of America, 2002.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, P. T. Ereso, Jakarta, 1981.

Wurm, Stephen, Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing, Paris: United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization, United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Ogranization, Paris, 2001.

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, PT


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

K.C. Wheare, “Modern Constitution”, dalam: Bagir Manan, (eds.), Memahami


Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, hlm.
29.

317
C.F Strong. “Modern Political Constitution”, dalam: Bagir Manan, (eds.), Memahami
Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.

II. ARTIKEL DALAM JURNAL

Purwo Santoso. “Amandemen Konstitusi untuk Mengelola Kebhinnekaan Indonesia”,


Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 1.0, Nomor
3, Maret 2007.

William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism (3rd


edition, 1968) menyatakan: “The members of a political community have, but
definition, common interests which they seek to promote or protect though the
creation and use of the compulsory politica mechanisms we call the State”, Van
Nostrand Company, New Jersey, hlm. 9.

Bagir Manan, “Kinerja DPR, DPD, dan MPR Pasca Perubahan UUD NRI 1945”, Varia
Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVIII No.318, Mei 2012, hlm. 17.

Disertasi Dr. Fatmawati, “Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem
Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara”,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Indra Sucipta, “Strategi Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia,” dalam buku Jendela
Informasi Hukum di Bidang Perdagangan, yang disusun oleh Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia, Biro Hukum Sekretariat Jenderal , Jakarta, 2014.

Bagir Manan, Perubahan UUD 1945, Forum KeadilanNo. 30, 1999.

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti (artikel), “Pengelompokan Hak Asasi Manusia
dalam UUD 1945 Berdasarkan Karl Vasak, J.Donnellu, Francois Venter, dan Roy
Gregory-Philip Giddings”, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX,
No. 335, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2013, hlm.25.

Hendra Nurtjahjo, Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary
Agencies) di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2012.

318
Miftah Thoha, Desentralisasi di Negara Kesatuan, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 43,
Desember 2013.

Moh. Mahfud MD, Data dan Analisis Pendekatan Hukum Tentang Hal Ini, Jurnal
Analisis CSIS, Vol.34, No.4, 2005.

Ramlan Surbakti, “Defisiensi Berbagai Aspek Kebijakan Otonomi Daerah”, Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Edisi 43, 2013.

Robert Endi Jaweng, Kritik terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia,


Analisis CSIS: Politik Kekerabatan di Indonesia,Centre for Strategic and
International Studies.Jakarta, 2005.

Tri Ratnawati, Pentingnya Revitalisasi Dekonsentrasi Untuk Mendukung Keberhasilan


Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 43, 2013

Andi Sandi dan Agustina Merdekawati, ”Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang


Ratifikasi Terhadap Keterikatan Pemerintah Indonesia Pada Perjanjian
Internasional”, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, 2012, hlm. 460.

Roland. R. Foulke, “Treaties” Colombia Law Review, Volume 18, Nomor 5, hlm. 389.

I Wayan Parthiana, “Perjanjian Internasional” Paper disampaikan pada Expert Group


Meeting tentang Perjanjian Internasional, Depok, 9 Januari 2007, hlm. 4.

Jimly Asshiddiqie , “Institut Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan”,


orasi ilmiah dalam rangka peluncuran Institut Peradaban, Jakarta-Indonesia, 16 Juli
2012.

Mahfud MD, “Politik dan Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia”, disampaikan


pada Sosialisasi UU No, 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang
Diselenggarakan oleh Depkominfo di Hotel Mercure, Batam-Indonesia, 8 Juni
2007, hlm. 3.

Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum Konstitusi”,


Jurnal Hukum No. 3 Vol. 1, Juli 2009, hlm. 360.

319
Andi Sandi dan Agustina Merdekawati, ”Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang
Ratifikasi Terhadap Keterikatan Pemerintah Indonesia Pada Perjanjian
Internasional”, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, 2012,

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti (artikel), Pengelompokan Hak Asasi Manusia dalam
UUD 1945 Berdasarkan Karl Vasak, J.Donnellu, Francois Venter, dan Roy
Gregory-Philip Giddings”, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX,
No. 335, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 2013.

Bagir Manan, “Kinerja DPR, DPD, dan MPR Pasca Perubahan UUD NRI 1945”, Varia
Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVIII No.318, Mei 2012.

Bagir Manan, Perubahan UUD 1945, Forum KeadilanNo. 30, 1999.

Robert Endi Jaweng, Kritik terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia,


Analisis CSIS: Politik Kekerabatan di Indonesia,Centre for Strategic and
International Studies.Jakarta, 2005.

Purwo Santoso. Amandemen Konstitusi untuk Mengelola Kebhinnekaan Indonesia,


Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 1.0,
Nomor 3, Maret 2007.

Ramlan Surbakti, “Defisiensi Berbagai Aspek Kebijakan Otonomi Daerah”, Jurnal


Ilmu Pemerintahan, Edisi 43, 2013.

Tri Ratnawati, Pentingnya Revitalisasi Dekonsentrasi Untuk Mendukung Keberhasilan


Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 43, 2013

Mahfud MD, “Politik dan Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia”, disampaikan


pada Sosialisasi UU No, 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang
Diselenggarakan oleh Depkominfo di Hotel Mercure, Batam-Indonesia, 8 Juni
2007.

Hendra Nurtjahjo, Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary
Agencies) di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2012.

320
I Wayan Parthiana, “Perjanjian Internasional” Paper disampaikan pada Expert Group
Meeting tentang Perjanjian Internasional, Depok, 9 Januari 2007,

Indra Sucipta, “Strategi Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia,” dalam buku Jendela
Informasi Hukum di Bidang Perdagangan, yang disusun oleh Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia, Biro Hukum Sekretariat Jenderal , Jakarta, 2014.

Jimly Asshiddiqie , “Institut Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan”,


orasi ilmiah dalam rangka peluncuran Institut Peradaban, Jakarta-Indonesia, 16
Juli 2012.

Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum


Konstitusi”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 1, Juli 2009.

Miftah Thoha, Desentralisasi di Negara Kesatuan, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 43,
Desember 2013.

Moh. Mahfud MD, Data dan Analisis Pendekatan Hukum Tentang Hal Ini, Jurnal
Analisis CSIS, Vol.34, No.4, 2005.

Disertasi Dr. Fatmawati, “Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem
Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara”,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

III. PERUNDANG-UNDANGAN DAN INSTRUMEN HUKUM


INTERNASIONAL

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.

Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 29/DPD/2005 tentang Peraturan Tata


Tertib Dewan Perwakilan Daerah.

Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 29/DPD/2005 tentang Peraturan Tata


Tertib Dewan Perwakilan Daerah.

321
Keputusan Pimpinan DPRGR Nomor 10/Pimp/I/65-66 dan Keputusan Pimpinan
DPR-GR Nomor 13/Pimp/I/1965-1966.

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

Lampiran Peraturan Markas Besar Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010 tentang


Doktrin Tentara Nasional Indonesia Tridarma Ekakarma (Tridek).

Maklumat Nomor X 18 Oktober 1945. Berita Republik Indonesia Tahun I No. 2.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional


Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2012.

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan Majelis


Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Tata Tertib.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun


2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkawa Nomor 072/PUU-II/2004, Pengujian


terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.11 /PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-


Undang Nomor 22 Tahun 2007.

Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003.

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 48/PUU-XI/2013.

322
Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/11/DKSP Perihal Kewajiban Penggunaan Rupiah di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

The Constitution of The United States.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Naskah Asli).

Undang-Undang nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,


Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,


Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 tentang Sistem Nasional Penelitian,


Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden

Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan


Keamanan Negara Republik Indonesia.

323
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan.

Undang-Undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan


Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah


Konstitusi

Undang-Undang Republik Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi


Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia.

United Nation Covention Against Corruption.

Universal Declaration of Human Rights.




324
325
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PEMBUKAAN
( P r e a m b u l e)

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

326
UNDANG-UNDANG DASAR

BAB 1

BENTUK DAN KEDAULATAN

Pasal 1

(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.


(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. ***)
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum. ***)
BAB II

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan


Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. ****)
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun
di ibukota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang
terbanyak.
Pasal 3

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan


Undang-Undang Dasar. ***)
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden.***/****)
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar.***/****)

327
BAB III

KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

Pasal 4

(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan


menurut Undang-Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu Orang Wakil
Presiden.
Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. *)
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya.
Pasal 6

(1) Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden
dan Wakil Presiden. ***/*****)

(2) Syarat-syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden diatur lebih
lanjut dengan undang-undang.***/*****)
Pasal 6A

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat. ***)

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum. ***)

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah

328
jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.***)

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyatterbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden. ****)

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang. ***)
Pasal 6B

Presiden dan Wakil Presiden harus melepaskan diri dari jabatan partai politik
sesaat setelah dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. *****)
Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan. *)
Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa


jabatannya oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyarawatan Rakyat hanya
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

329
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil


Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
***)

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah


Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPR. ***)

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan


seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling
lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu
diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau


Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada Majelis Permusyarawatan Rakyat. ***)

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk


memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga
puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
***)

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian


Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna

330
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
7/8 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 7/8 dari
jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.***/*****)
Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan


Perwakilan Rakyat. ***)

Pasal 8

(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya. ***)

(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat- lambatnya dalam
waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon
yang diusulkan oleh Presiden. ***)

(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyarawatan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan
calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih pertama dan kedua suara
dalam terbanyak pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya. ****)
Pasal 9

(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah


menurut agama, atau berjanji dengan sungguh- sungguh di hadapan Majelis

331
Permusawaratan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik


Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang- undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden):

“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden


Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya
serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”*/*****)
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden
dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung. */*****)
Pasal 10

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan


Laut dan Angkatan Udara.
Pasal 11

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,


membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. ****)

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan


akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur


dengan undang-undang. ***)

332
Pasal 12

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan


bahaya ditetapkan dengan undang-undang. *****)
Pasal 13

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.

(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)

(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)
Pasal 14

(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan


Mahkamah Agung. *)

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan


Dewan Perwakilan Rakyat. *)

Pasal 15

Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan undang-undang. *)
Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-
undang. ****)
BAB V
KEMENTERIAN NEGARA
Pasal 17

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.*)


(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.*)
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.***)

333
BAB VI

PEMERINTAHAN DAERAH

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. **)

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota- anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.**)

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis melalui
pemilihan umum. *****)

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan


pemerintahan

yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **)

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-


peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)

(7) Tata cara pemiihan kepala daerah, susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang dengan memerhatikan
kekhususan daerah dan asas otonomi daerah. **/*****)
Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **)

334
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang- undang. **)
Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.**)

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.**)
BAB VII

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 19

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. **)
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang- undang. **)
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. **)
(4) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur pada ayat (2)
memperhatikan keterwakilan perempuan.*****)
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur lebih lanjut dalam undang-
undang.*****)
Pasal 20

(6) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang.


*)
(7) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. *)
(8) Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden untuk mendapat persetujuan

335
bersama. *****)
(4) Jika rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah masa itu. */*****)
(5) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang. */*****)
(6) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. **/*****)
Pasal 20A

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan. **)
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. **)
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang- Undang Dasar ini, setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. **)
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. **)
Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-
undang. *)
Pasal 22

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

336
*****)
Pasal 22A

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang- undang diatur
dengan undang-undang. **/*****)
Pasal 22B
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya oleh
rakyat. **/*****)
(2) Syarat-syarat dan tata cara pemberhentian anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat diatur lebih lanjut dalam undang-undang. *****)

BAB VIIA***)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Pasal 22C

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.***)
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.***)
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-
undang.***)
(5) Susunan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana diatur pada ayat (4)
memperhatikan keterwakilan perempuan.*****)
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (5) diatur lebih lanjut dalam undang-
undang.*****)
Pasal 22D

(1) Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan membentuk undang-undang


bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

337
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***/*****)
(2) Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan rancangan undang-
undang anggaran pendapatan dan belanja negara serta yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama. ***/*****)
(3) Dewan Perwakilan Daerah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan
daerah, pajak, pendidikan, dan agama, serta undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara. ***/*****)
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya oleh
rakyat.****)
(5) Syarat-syarat dan tata cara pemberhentian anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat diatur lebih lanjut dalam undang-undang. *****)
BAB VIIB***)
PEMILIHAN UMUM
Pasal 22E

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali. ***)
(2) Pemilihan umum terdiri atas pemilihan umum nasional dan pemilihan umum
lokal, yang diselenggarakan secara serentak.
*****)
(3) Pemilihan umum dilaksanakan dengan sistem proporsional.*****)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan undang-
undang. *****)

Pasal 22 F

(1) Pemilihan umum nasional diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan


Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden dan Wakil
Presiden. *****)
(2) Peserta pemilihan umum nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat adalah perseorangan dari partai politik. *****)

338
(3) Peserta pemilihan umum nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. *****)
(4) Peserta pemilihan umum nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
adalah pasangan calon Presiden dan Wakil presiden yang diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. *****)
Pasal 22 G

(1) Pemilihan umum lokal diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. *****)

(2) Peserta pemilihan umum lokal untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah perseorangan dari partai politik. *****)

(3) Peserta pemilihan umum lokal untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
adalah pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang diajukan oleh partai politik
atau mengajukan diri secara mandiri. *****)
Pasal 22 H

(1) Pemilihan umum diselengarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. *****)

(2) Komisi Pemilihan Umum berwenang menyelenggarakan pemilihan umum,


mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum, menegakkan kode etik
penyelenggaraan pemilihan umum, dan kewenangan lain yang berkaitan
dengan pemilihan umum.*****)

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang lembaga pemilihan umum diatur dengan
undang-undang. *****)

BAB VIII

HAL KEUANGAN

Pasal 23

(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan

339
keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. ***)
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. ***)
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. ***)
Pasal 23A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur
dengan undang-undang. ***)
Pasal 23B

Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. ***)


Pasal 23C

Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. ***)

Pasal 23D

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,


tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. ***)

BAB VIIIA***)

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 23 E

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.***)
(2) Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sesuai dengan kewenangannya.***)
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau
badan sesuai dengan undang-undang.***)

340
Pasal 23 F

(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden.***)
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.***)
Pasal 23G

(3) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi.***)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan
undang-undang.***)

BAB IX

KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang. ****)
Pasal 24A

(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. ***)

(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum ***)
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden.

341
***)

(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
***)
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. ***)
Pasal 24B

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan


hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. ***)
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di
bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. ***)
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang. ***)
Pasal 24C

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang dan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan memutus pembubaran partai
politik.***)
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden.
***)

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim

342
konstitusi. ***)
(5) Hakim konstitusi harus memiliki intgeritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara. ***)
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang.***)

Pasal 24D *****)

(1) Mahkamah Pemilu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final dan mengikat untuk memutus tentang pelanggaran
administrasi, sengketa proses pemilihan umum, tindak pidana pemilu yang
memengaruhi hasil serta sengketa tentang hasil pemilihan umum. *****)

(2) Mahkamah Pemilu mempunyai sembilan orang anggota hakim yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Mahkamah Konstitusi, dan tiga orang oleh Komisi Yudisial.*****)

(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Pemilu dipilih dari dan oleh hakim Pemilu.
*****)
(4) Hakim Mahkamah Pemilu harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. *****)
(5) Pengangkatan dan pemberhentian hakim Mahkamah Pemilu, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Peradilan Pemilu diatur dengan undang-
undang. *****)
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.
BAB X

WARGA NEGARA DAN PENDUDUK

Pasal 26

(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-

343
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal
di Indonesia.** )
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-
undang.** )
Pasal 27

(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan


pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.**)
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
BAB X
WILAYAH NEGARA **)
Pasal 25A****)
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang.**)

BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. **)
Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. **)

344
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.**)

Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan


dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia. **)

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. **)
Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. **)

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. **)

Pasal 28E

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak
kembali. **)
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **)
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. **)
Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk


mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan

345
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **)
Pasal 28G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi. **)

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yangmerendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik
darinegara lain. **)

Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. **)

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan. **)

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapa pun. **)
Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang
berlaku surut, adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
**)

(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu. **)

346
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban. **)

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung


jawab negara, terutama pemerintah. **)

(5) Untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. **)
Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
**)
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. **)
BAB XI
AGAMA
Pasal 29

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta
beribadat menurut agama atau kepercayaannya tersebut

BAB XII

PERTAHANAN DAN KEAMANAN**)


Pasal 30

(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan Negara. **)
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian

347
Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai
kekuatan pendukung.**)
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.**)
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. **)
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-
syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur
dengan undang-undang.**)
BAB XIII

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****)

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.****)

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.****)
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang.****)
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggapan
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran
pendidikan nasional.****)
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

348
kesejahteraan umat manusia.****)
Pasal 32

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia


dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya.****)
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kebudayaan
nasional.****)
BAB XIV

PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL****)

Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.****)
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.****)
Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.

****)

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. ****)
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)

349
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.****)
BABXV

BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU


KEBANGSAAN**)
Pasal 35

Bendera Negara Indonesia ialah sang merah Putih.


Pasal 36

Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.


Pasal 36A

Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.**
Pasal 36B

Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.**)


Pasal 36C

Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.**)

BAB XVI

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 37

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam


sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****)
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara
tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya. ****)
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang- kurangnya 7/8 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****/*****)
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan

350
persetujuan sekurang-kurangnya 7/8 dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
****/*****)
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan. ****)
ATURAN PERALIHAN
Pasal I

Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama


belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.****)
Pasal II

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan Belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.****)
Pasal III
Dihapuskan*****)
ATURAN TAMBAHAN

Pasal I

Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-
pasal*****)
Pasal II
Dihapus*****)

351
352

Anda mungkin juga menyukai