1. Bahwa PT PELNI (Persero) yang selanjutnya disebut ‘PELNI’ memiliki aset lahan
dengan sertifikat HGB 620/Slipi di Jl. K.S Tubun seluas 62.271 m2, yang di atasnya
berdiri Rumah Sakit PELNI.
2. Bahwa pada tahun 1999 PELNI menjual sebidang tanah dan bangunan, yang masih
termasuk dalam bagian areal HGB 620/Slipi, kepada Sdr. Soeprapto senilai Rp
220.373.488,02. Pelunasan pembayaran jual-beli tanah tersebut dilaksanakan oleh
keluarga Soperapto pada tahun 2011, namun penjualan tanah dan bangunan
tersebut tidak dituangkan dalam akta otentik serta tidak ditindaklanjuti dengan
pendaftaran peralihan hak atas tanah di kantor pertanahan setempat/ balik nama,
sehingga bagian bidang tanah yang telah dijual kepada Sdr. Soeprapto tersebut tidak
dikeluarkan dari Sertifikat HGB 620/Slipi;
3. Rumah Sakit PELNI melakukan spin-off dari PELNI dan menjadi badan hukum
perseroan terbatas bernama PT Rumah Sakit PELNI (‘RS PELNI’) pada tahun 2007
yang pemegang sahamnya terdiri dari PELNI dan Yayasan Kesehatan Pensiunan PT
(Persero) Pelayaran Nasional Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2018 PELNI
memasukkan lahan HGB 620/Slipi sebagai penyertaan modal/inbreng pada RS
PELNI.
4. Kemudian dalam rangka Pengembangan Merial Tower RS PELNI demi
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas layanan, RS PELNI berniat untuk membeli
lahan-lahan yang berada di sekitar RS PELNI yang ditempati warga, dimana salah
satunya merupakan lahan yang pada tahun 1999 telah dijual PELNI kepada
Soeprapto. Namun RS PELNI mengalami kendala dalam pembelian tanah Soperapto
tersebut karena saat ini tanahnya masih merupakan bagian dari HGB 620/Slipi yang
telah menjadi milik RS PELNI berdasarkan inbreng dari PELNI.
Pertanyaan:
1. Bagaimana status hukum inbreng aset tanah HGB 620/Slipi PELNI kepada RS
PELNI, yang didalamnya termasuk tanah dan bangunan yang telah
ditransaksikan oleh PELNI kepada sdr. Soeprapto ?
Jawab :
Imbreng adalah transaksi yang memasukkan aset non tunai seperti tanah dari para
pemegang saham untuk dijadikan modal perusahaan
- Pasal 34 Ayat 1 UU PT (dasar hukum imbreng)
- Pasal 34 Ayat 2 UU PT (tata cara pelaksanaan imbreng)
- PT. PELNI dan Sdr. Soprapto lalai untuk membuat akta jual beli dan tidak
mendaftarkan peralihan hak milik, sehingga lahan masih milik PT. PELNI.
- Sdr. Soprapto diberikan kesempatan untuk menyanggah (Pasal 34 Ayat (3) UU
PT) tpi tidak dilakukan.
- Kesimpulan inbreng sah menurut hukum
2. Apakah jual-beli antara PELNI dengan Sdr. Soeprapto sah secara hukum ?
3. Sehubungna dengan permasalahan di atas, apa saja yang perlu dilakukan
oleh PELNI dalam rangka pemenuhan tata kelola perusahaan yang baik ?
Jelaskan analisa saudara.
KASUS II
KASUS III
1. Bahwa pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan Lumpur Sidoarjo di Desa Siring
Dusun Balongnongo, Desa Renokrongo, Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo
Jawa Timur. Semburan Lumpur tersebut mengakibatkan banyak warga yang berada
di dalam maupun di luar Peta Area Terdampak (PAT) kehilangan tempat tinggal dan
harus mengungsi ke tempat lain.
2. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya disebut “Perpres No.14/2007”),
ditentukan bahwa Lapindo Brantas Inc./PT Minarak Lapindo Jaya (LBI/MLJ)
bertanggungjawab membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan Lumpur
Sidoarjo, dengan pembayaran secara bertahap sesuai PAT 22 Maret 2007 dengan akte jual
beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh
Pemerintah;
3. Bahwa dari keluruhan wilayah yang menjadi tanggung jawab LBI/MLJ, LBI/MLJ
hanya sanggup melaksanakan ganti rugi tanah dan bangunan milik masyarakat yang
berada di dalam PAT 22 Maret 2007 senilai 2.797.442.841.586,- (Dua triliun tujuh
ratus sembilan puluh tujuh milyar empat ratus empat puluh dua juta delapan ratus
empat puluh satu ribu lima ratus delapan puluh enam rupiah). Sehingga masih
terdapat sebagian wilayah di dalam PAT 22 Maret 2007 yang belum dilaksanakan
ganti rugi oleh LBI/MLJ.
4. Dalam rangka penyelesaian dampak sosial yang menjadi tanggungjawab BI/MLJ,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2015 tentang
Pemberian Dana Antisipasi Untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Milik
Masyarakat Yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo Dalam Peta Area Terdampak 22
Maret 2007 (selanjutnya disebut “Perpres 76 Tahun 2015”). Dana Antisipasi adalah
dana yang disiapkan Pemerintah sebagai pelunasan pembayaran langsung kepada
masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan dalam PAT 22 Maret 2007 lumpur
Sidoarjo, yang apabila digunakan akan menjadi pinjaman LBI/MLJ kepada
Pemerintah.
5. Pemberian Dana Antisipasi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan
penandatanganan Perjanjian antara Negara c.q. Pemerintah RI dan Lapindo Brantas Inc
dan PT MLJ Nomor PRJ-16/MK.01/2015 dan Nomor 402/P/TSS/L15 dan Nomor
37-AGR/MLJ/ADS-DIRUT/VII/2015 tanggal 10 Juli 2015 Tentang Pemberian Pinjaman
Dana Antisipasi Untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan
Lumpur Sidoarjo Dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 (selanjutnya disebut
“Perjanjian Dana Antisipasi”).
6. Pinjaman Dana Antisipasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada LBI/MLJ adalah
sebesar Rp.781.688.212.000,- (Tujuh ratus delapan puluh satu milyar enam ratus
delapan puluh delapan juta dua ratus dua belas ribu rupiah). Pinjaman tersebut
diberikan dengan ketentuan LBI/MLJ wajib menyerahkan jaminan yang nilainya
lebih besar dari pinjaman yang diberikan, serta LBI/MLJ wajib mengembalikan
secara bertahap (setiap tahun) dan melunasi selambat-lambatnya 4 tahun sejak
Perjanjian Dana Antisipasi di tandatangani. LBI/MLJ dikenakan bunga pinjaman
sebesar 4,8% (empat koma delapan persen) per tahun, dan apabila tidak dapat
melunasi pinjaman dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak Perjanjian Dana
Antisipasi ditandatangani dan/atau melewati waktu tahapan
Pengembalian/Pelunasan pinjaman maka dikenai denda berupa uang sebesar
1/1000 (satu per mil) per hari dari nilai pinjaman. Apabila tidak dapat melunasi
pinjaman dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak Perjanjian Dana Antisipasi
ditandatangani, maka jaminan yang diberikan oleh LBI/MLJ kepada Pemerintah,
beralih kepada dan dalam penguasaan sepenuhnya Pemerintah.
7. Pemerintah dan LBI/MLJ menyepakati nilai jaminan sebesar Rp. 2.797.442.841.586,
berdasarkan nilai buku jual-beli tanah dan bangunan milik masyarakat yang berada
dalam Peta Area Terdampak (PAT) 22 Maret 2007.
8. Bahwa sampai dengan Perjanjian Dana Antisipasi berakhir, LBI/MLJ belum dapat
melunasi seluruh nilai pinjaman dan hanya sekali melakukan pembayaran sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) pada tanggal 20 Desember 2018, sehingga
masih terdapat kewajiban pembayaran baik terhadap pokok, bunga dan denda yang
sampai saat ini belum dilaksanakan oleh LBI/MLJ.
9. Berdasarkan valuasi terakhir Pemerintah terhadap jaminan yang telah
diserahterimakan, diketahui bahwa nilai jaminan saat ini lebih rendah dari nilai
pinjaman. Di sisi lain terdapat perbedaan pandangan antara Pemerintah dengan
LBI/MLJ mengenai penafsiran Perjanjian Dana Antisipasi perihal mekanisme
perhitungan bunga dan denda.
Pertanyaan:
1. Apakah mekanisme perhitungan denda yang dikenakan pada setiap
keterlambatan tahapan/angsuran pembayaran sebesar 1/1000 (satu per mil)
dihitung dari masing-masing nilai kewajiban tahapan/angsuran yang
tertunggak, ataukah dihitung dari seluruh nilai pinjaman ?
2. Apakah mekanisme pengalihan jaminan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat
(2) Perjanjian Dana Antisipasi belaku serta merta setelah Perjanjian Dana
Antisipasi berakhir sebagai bentuk Pembayaran/ Pelunasan pinjaman Dana
Antisipasi LBI/MLJ kepada Pemerintah ?
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Perjanjian Dana Antisipasi, apakah
tagihan denda dan/atau bunga dikenakan sampai dengan berakhirnya jangka
waktu Perjanjian Dana Antisipasi ataukah tetap dikenakan sampai dengan
LBI/MLJ melunasi seluruh nilai pinjaman ?
4. Dalam hal Pemerintah akan mengeksekusi jaminan sesuai Pasal 10 ayat (2)
Perjanjian Dana Antisipasi, apakah jaminan tersebut dapat diterima
berdasarkan kesepakatan nilai buku jual-beli tanah dan bangunan, ataukah
wajib dinilai ulang berdasarkan nilai pasar ?
Jelaskan Analisa saudara
Pasal 7
(1) “Jaminan yang diberikan oleh PIHAK KEDUA kepada Pemerintah melalui
PIHAK PERTAMA adalah dalam bentuk tanah dan bangunan milik
masyarakat yang berada dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 yang
sudah diganti rugi dengan cara jual beli oleh PIHAK KEDUA dan/atau aset
dalam bentuk lainnya yang sudah dimiliki maupun yang akan dimiliki oleh
PIHAK KEDUA”.
(2) Nilai jaminan yang diberikan PIHAK KEDUA harus lebih besar dari nilai
Dana Antisipasi yang dipinjamkan PIHAK PERTAMA kepada PIHAK
KEDUA".
Pasal 9
(1) “Pengembalian/Pelunasan pinjaman ditambah bunga dan/atau denda oleh
PIHAK KEDUA dilakukan secara langsung dengan menyetorkan ke rekening
Pemerintah yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
(2) Pengembalian/Pelunasan pinjaman ditambah bunga dan/atau denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 4 (empat) tahap secara
prorata, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. tahap pertama dilakukan paling lama 1 (satu) tahun setelah
ditandatanganinya Perjanjian ini;
b. tahap kedua dilakukan paling lama 2 (dua) tahun setelah ditandatanganinya
Perjanjian ini;
c. tahap ketiga dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun setelah ditandatanganinya
Perjanjian ini;
d. tahap keempat dilakukan paling lama 4 (empat) tahun setelah
ditandatanganinya Perjanjian ini;
… dst”.
Pasal 10
(1) PIHAK KEDUA wajib melunasi pinjaman selambat-lambatnya 4 (empat) tahun
sejak ditandatanganinya Perjanjian ini.
(2) Dalam hal PIHAK KEDUA tidak dapat melunasi pinjaman selambat-
lambatnya 4 (empat) tahun sejak ditandatanganinya Perjanjian ini, jaminan
yang diberikan PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA, beralih kepada
dan dalam penguasaan sepenuhnya PIHAK PERTAMA.
Pasal 11
(1) “Bunga pinjaman ini ditetapkan sebesar 4,8% (empat koma delapan persen)
per tahun dari jumlah pinjaman.
(2) … dst.
(3) Dalam hal PIHAK KEDUA tidak dapat melunasi pinjaman dalam jangka waktu 4
(empat) tahun sejak ditandatanganinya Perjanjian ini sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan/atau melewati waktu tahapan Pengembalian/Pelunasan
pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) PIHAK KEDUA dikenai
denda berupa uang sebesar 1/1000 (satu per mil) per hari dari nilai
pinjaman.
2. Laporan Hasil Verifikasi BPKP Nomor : LAP-145/PW13/2/2015 tanggal 24 Maret
2015, tentang Kewajiban Pembayaran atas Pembelian Tanah dan Bangunan Milik
Warga Peta Area Terdampak (PAT) 22 Maret 2007, pada pokoknya menyatakan
Bahwa nilai realisasi pembayaran pembelian tanah dan bangunan yang menurut MLJ
adalah sebesar Rp. 3.036.004.999.969,00, setelah dipertimbangkan kewajarannya
berdasarkan penerimaan berkas periode 22 Maret 2007 s/d 31 Juli 2009 sebanyak
13.290 berkas adalah sebesar Rp. 2.797.442.842.586,00. Nilai realisasi tersebut
dapat dipertimbangkan sebagai acuan penetapan nilai jaminan atas dana
talangan atau “dana antisipasi” yang akan diberikan/dipinjamkan pemerintah
kepada MLJ guna penyelesaian pembayaran pemblian tanah dan bangunan
warga PAT 22 2007.
KASUS IV
1. Jelaskan disertai dasar hukumnya tentang hapusnya perikatan karena perjumpaan
utang dengan percampuran utang ?
2. Jelaskan pandangan saudara mengenai kegiatan usaha penitipan dengan
pengelolaan (Trust) ditinjau berdasarkan KUHPerdata ?
====================== S E L A M A T B E K E R J A ========================