Anda di halaman 1dari 9

Nur Khasanatun Ni’mah

NIM 13010223410006

Magister Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Diponegoro
1.1. ULASAN MATERI DIKTAT SASTRA BANDINGAN OLEH NOOR REDYANTO

Penelitian sastra adalah salah satu jenis penelitian yang menjadikan sastra sebagai objek

material penelitian. Istilah sastra dalam konteks ini tidak terbatas pada karya sastra saja, tetapi

mencakup semua unsur yang mempunyai kaitan langsung dengan karya sastra. Sebab, harus

diperhatikan bahwa karya sastra hakikatnya tidak berdiri sendiri. Karya sastra diciptakan oleh

pengarang dan dibaca oleh orang banyak, baik yang sezaman maupun yang berbeda kurun waktunya.

Penelitian sastra biasanya lebih banyak dilakukan terhadap karya (teks) sastra. Hal itu terbukti

oleh banyaknya hasil penelitian terhadap karya (teks) sastra, baik yang tertuang dalam bentuk buku,

laporan penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi. Mungkin hal itu disebabkan oleh banyaknya aspek

yang dapat diteliti dalam sebuah teks, misalnya aspek bahasa, struktur, nilai-nilai sosial, hubungan

antaraspek struktur, dan sebagainya. Juga banyaknya buku-buku karya (teks) sastra yang setiap waktu

selalu bertambah, seiring dengan munculnya pengarang-pengarang baru, meningkatnya produktivitas

pengarang, lahirnya konvensi-konvensi baru, baik cerpen, puisi, drama maupun novel. Semua itu

menyebabkan karya (teks) sastra menjadi objek material penelitian yang tidak pernah habis, lapangan

penelitian karya (teks) sastra tidak akan pernah selesai diolah.

Penelitian terhadap pengarang dilakukan dengan anggapan bahwa ada hubungan erat antara

kehidupan pengarang dengan teks yang diciptakannya. Penelitian pengarang dapat dilakukan terhadap

pengarang yang masih hidup (dengan wawancara, surat-menyurat, sumber tertulis), atau yang sudah

meninggal (sumber tertulis, informasi, dokumen). Aspek-aspek yang dapat diteliti meliputi latar

belakang sosial pengarang yang mencakup pendidikan, pengalaman hidup, pandangan hidup, ideologi,

motivasi kepengarangan, proses penciptaan, konsep sastra, hubungan dengan teks ciptaannya, dan

lain-lain.

Penelitian terhadap pembaca penting artinya dalam rangka memberi makna atau kedudukan sebuah

teks. Penelitian terhadap pembaca dianggap lebih rumit/kompleks dibanding penelitian terhadap

pengarang. Sebab, jumlah pembaca relatif lebih banyak, kurun waktu pembacanya tidak selalu

bersamaan (diakronik), tempatnya tersebar, usia, profesi, tingkat pendidikan, dan lain-lainnya sangat

heterogen.
Upaya mengenal konsep tentang sastra sejauh yang dapat dilakukan adalah dengan mengenali sifat-

sifatnya sebagai sebuah sistem, yaitu sistem sastra.

Sifat pertama sistem sastra dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Sistem bahasa sastra

bersifat secondary modelling system (model bahasa sampingan), yang berbeda dengan bahasa sehari-

hari yang lebih bersifat natural or ordinary language system (model bahasa alamiah, bentuk bahasa

pertama) (Lotman melalui Soeratno, 2011:61). Sifat kedua sistem sastra adalah fungsinya, yaitu fungsi

komunikasi. Bahasa yang digunakan secara istimewa dalam sastra hakikatnya adalah sarana

komunikasi untuk menyampaikan informasi. Sifat ketiga sistem sastra adalah struktur, yaitu “struktur

teks”. “Struktur teks” sastra yang khas memungkinkan terjadinya interaksi dinamis dengan pembaca.

Dari pandangan sifat ketiga ini terlihat bahwa dalam kegiatan interaksi “struktur teks” dengan

“pembacaan teks yang terstruktur” merupakan dua kutub yang bergerak dalam irama dinamis.

Menurut Sapardi Djoko Damono, pada hakikatnya setiap penelitian menggunakan langkah

membanding-bandingkan, karena hanya dengan langkah itulah orang bisa sampai pada suatu

pemahaman masalah. Mengukur sesuatu atas dasar dirinya sendiri tentu tidak akan pernah membawa

orang ke mana pun. Hanya dengan membandingkannya dengan sesuatu yang berada di luar dirinyalah

orang bisa menyatakan hal penting sehubungan dengan apa yang ditelitinya (Damono, 2005:1). Lebih

lanjut Damono menjelaskan bahwa sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak

memerlukan teori tersendiri, dan tidak pula menghasilkan terori tersendiri. Menurut Sapardi Djoko

Damono, teori apa pun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan, yang penting sesuai

dengan objek dan tujuannya (Damono, 2005:2). Misalnya teori formalisme, strukturalisme,

dekonstruksi, posmodernisme, poskolonialisme, feminisme, psikoanalisis, semiotika, stilistika,

estetika, resepsi, intertekstual, dan sebagainya, semuanya bisa dimanfaatkan secara tersendiri atau

bahkan secara simultan. Justru permasalahan yang selalu muncul apabila berbicara tentang sastra

bandingan adalah apa saja yang bisa dibandingkan.

Dalam penelitian sastra bandingan objek material yang dapat dikaji sekurang-kurangnya terdiri

atas unsur internal karya (teks) sastra dan unsur eksternal di luar karya sastra. Unsur internal karya

(teks) sastra mencakup genre (puisi, fiksi, drama dengan berbagai variabelnya), form (bentuk), style

(gaya), tema, motif, mitos, dan sebagainya. Adapun unsur eksternal karya (teks) sastra antara lain

proses dan produk pengaruh semacam terjemahan, saduran, adaptasi, dan sebagainya.
Menurut Remak, sastra bandingan merupakan kajian (penelitian) karya sastra di luar batas

negara, mencakup hubungan karya sastra dengan karya sastra atau karya sastra dengan bidang

ilmu/karya lain seperti seni (seni rupa, seni musik, seni tari), sejarah, filsafat, politik, ekonomi,

sosiologi, psikologi, agama, dan lain-lain. Jadi, kajian (penelitian) sastra bandingan bertujuan

membandingkan karya sastra sebuah negara dengan karya sastra negara lain, atau membandingkan

karya sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan (Clements, 1978:5;

Stallknecht, 1990:1).

Menurut Remak, yang penting bahwa kajian (penelitian) sastra bandingan adalah studi sastra yang

melintasi batas-batas negara (secara geopolitik), tanpa memperhatikan segi bahasa (Clements, 1978:6;

Stallknecht, 1990:3). Contohnya, kajian (penelitian) bandingan karya sastra Amerika dengan Inggris

atau Australia dianggap lebih sah dibanding kajian (penelitian) karya sastra Belgia yang ditulis dalam

bahasa Belanda dan Prancis oleh pengarang yang berasal dari dua bangsa itu.

Menurut Damono (2005:3-4), dalam kenyataan sesungguhnya batas politik yang menentukan

keberadaan suatu negara tidak ada sangkut pautnya dengan beragam tidaknya kebudayaan di negara

yang bersangkutan. Di Eropa karya sastra berbahasa Belanda dan Perancis hidup dan berkembang baik

di Belgia. Di India sejumlah karya sastra ditulis dalam bahasa daerah (Urdu, Hindi, Bengali, dan

Malayalam). Di Indonesia, karya sastra berbahasa Jawa yang bertumpu pada kebudayaan Jawa

tentunya tidak dapat dianggap sama dengan karya sastra berbahasa Sunda yang bertumpu pada

kebudayaan Sunda. Oleh sebab itu, menurut Damono, kajian (penelitian) bandingan karya sastra Jawa

dengan karya sastra Sunda lebih sah dibanding kajian (penelitian) bandingan karya sastra Malaysia

dengan karya sastra Riau.

Bagi teori sastra, kajian (penelitian) sastra bandingan hasilnya memberi peluang untuk merevisi

teori-teori sastra yang sudah ada. Kajian (penelitian) sastra bandingan menemukan gejala atau bukti

perkembangan (perubahan) karya sastra yang berupa konversi, deviasi, ekspansi, dan transformasi

dalam semua jenis dan bentuk karya sastra sebagai akibat terjadinya pengaruh, kemiripan, saduran,

terjemahan, adaptasi, edisi, versi dari karya yang satu terhadap atau dengan karya yang lain (Wellek:

literature produce literature).


Untuk sejarah sastra, hasil kajian (penelitian) sastra bandingan memberi bahan masukan

penting bagi penyusunan sejarah sastra, baik sastra nasional maupun sastra dunia. Kajian (penelitian)

sastra bandingan dapat menelusuri asal-usul suatu karya sastra berikut perubahannya tahap demi tahap.

Kajian (penelitian) sastra bandingan juga mempelajari munculnya aliran, gerakan, angkatan, mazhab,

zaman, generasi, orisinalitas sastra beserta perkembangannya, pengaruhnya, dan hubungan

dialektiknya.

Bagi kritik sastra, hasil kajian (penelitian) sastra bandingan memberi jaminan asli tidaknya

(orisinalitas) suatu karya, kekhasan suatu karya sastra, kelebihan dan kekurangan suatu karya sastra

dibanding karya sastra lain, yang sejenis maupun tidak. Kajian kritik tidak memperoleh nilai

selengkap-lengkapnya jika tidak disertai upaya membanding-bandingkan karya sastra yang dinilai

dengan karya-karya sastra lain.

Menurut Remak, objek material kajian (penelitian) sastra bandingan terdiri atas karya sastra

umum, karya sastra nasional, dan karya sastra dunia. Karya sastra terjemahan dalam bahasa Inggris

dari mana pun asalnya termasuk objek material kajian (penelitian) sastra bandingan (Clements, 1978:8;

Stallknecht, 1990:4). Menurut Damono, karya sastra apa pun dapat dijadikan objek material kajian

(penelitian) sastra bandingan, tidak terbatas pada karya agung seperti tersebut pada karya sastra dunia.

Objek material kajian (penelitian) sastra bandingan juga tidak terbatas pada mazhab/aliran atau segi-

segi tertentu saja. Menurut Damono, dalam kajian (penelitian) sastra bandingan tidak dibutuhkan

pendekatan, metode atau teori tersendiri. Prinsipnya dapat memanfaatkan pendekatan, metode atau

teori-teori sastra yang sudah ada, yang penting harus ada usaha dan aktivitas membanding-bandingkan

(2010:5).

Genre sastra secara tradisional dibedakan atas drama, puisi, dan fiksi. Drama adalah genre yang

paling tua, sedang fiksi merupakan genre yang paling modern. Dalam perkembangannya, tiga (3) genre

itu mengalami perubahan terus-menerus sehingga muncul bentuk-bentuk baru. Dalam drama dikenal

adanya teater, opera, pantomim, selain juga drama-drama tradisional yang ada di seluruh

wilayah/negara di dunia, seperti kabuki (Jepang), wayang (Jawa), dan lain-lain. Bahkan zaman

sekarang drama dapat disajikan dengan bantuan teknologi, misalnya dalam bentuk film atau sinetron.

Namun, bentuk-bentuk itu tidak dapat dikatakan sebagai genre baru karena semua tetap

memperlihatkan prinsip-prinsip dasar drama, yaitu visualisasi lakon yang terikat oleh tiga (3) kesatuan,
yaitu kesatuan gerak, kesatuan tempat, dan kesatuan waktu 1). Menurut Damono, kalaupun ada bentuk

baru yang benar-benar menyimpang mungkin hanya dapat disebut sebagai subgenre. Dalam drama

dikenal misalnya subgenre komedi, tragedi, operette, sendratari, dan sebagainya 2).

Pengertian periode sebenarnya tidak menunjukkan prinsip yang jelas; apakah zaman, angkatan,

atau mazhab? Yang dikenal umum, periode mengacu pada zaman, yaitu mencakup masa tertentu yang

cukup pangjang batasannya adalah waktu. Namun, dalam suatu zaman ada kecenderungan yang sangat

dominan. Kecenderungan itu menjadi persoalan yang menonjol, misalya zaman Victoria, zaman

Elizabeth, zaman Renaissance, dan sebagainya. Contohnya, di Inggris pada zaman Elizabeth

perkembangan seni sangat semarak karena bangsa Inggris melahirkan banyak sekali gagasan baru

setelah membuka diri terhadap dunia luar. Sebelumnya bangsa Inggris tidak mau mengenal dunia luar;

orang Inggris tidak mau belajar bahasa lain karena menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa

internasional yang harus ada di mana-mana.

Menurut Sapardi Djoko Damono, zaman juga dapat dikaitkan dengan pandangan dunia (vision

du monde). Misalnya, sekarang adalah zaman “strukturalisme”, yakni di segala bidang ada

kecenderungan dilandasi oleh konsep relasi antarunsur. Pandangan dunia semacam ini setiap kurun

waktu selalu bergerak, tetapi adakalanya suatu zaman didominasi oleh pemikiran dikotomis 10). Jadi,

periode dapat disamakan dengan zaman, meskipun sebenarnya periode relatif lebih pendek. Zaman

penentuannya didasarkan pada suatu kecenderungan kuat yang mengisi rentang waktu, sedang periode

Yang menjadi dasar studi pengaruh dalam kajian sastra bandingan, menurut Noer Toegiman,

adalah teori literature produce literature yang dikemukakan oleh Rene Wellek 12). Karya sastra itu

merupakan “kolase” karya sastra sebelumnya; seorang penyair yang akan menulis sajak di kepalanya

telah “antre”: ribuan sajak yang pernah dibacanya. Oleh sebab itu, sajak yang paling jelek adalah sajak

yang ditulis oleh orang yang tidak pernah membaca sajak. Dengan dasar teori itu orang beranggapan

bahwa proses pengaruh sangat mudah terjadi dalam penciptaan karya sastra, sehingga jika terdapat

kemiripan sedikit saja antara dua karya sastra maka disimpulkan bahwa ada hubungan pengaruh antara

keduanya. Masalahnya adalah bagaimana membuktikan adanya pengaruh itu?; adakah kriteria objektif

yang dapat mengukur kadar pengaruh itu?


Pengaruh dibedakan atas pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, saduran, dan

terjemahan. Pengaruh langsung disebut juga meminjam langsung, misalnya Shakespeare meminjam

langsung plot drama Plautus untuk plot drama-dramanya; atau Rendra meminjam drama-drama

Sophokles. Pengaruh tidak langsunmg disebut juga meminjam tidak langsung, yaitu meniru cerita

dengan mengambil versinya. Misalnya, hampir semua karya sastra Jawa merupakan pinjaman tidak

langsung karya sastra dari India. Adapun saduran ialah pinjaman karya sastra yang terbatas pada

kerangka cerita saja, misalnya petualangan seorang tokoh di suatu lingkungan sosial budaya

dipindahkan ke lingkungan/wilayah/zaman yang lain tanpa membawa akar sosial budaya asalnya.

Contoh, kisah-kisah Pinokio, Robinhood, Love Story, dan sebagainya. Terjemahan ialah alih bahasa

karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain. Meskipun hanya alih bahasa bukan berarti dengan

sendirinya lepas dari bermacam-macam perbedaan, besar maupun kecil.

Prinsip-prinsip terjemahan karya sastra tentunya berbeda dengan prinsip-prinsip terjemahan

karangan ilmiah. Menerjemahkan karya sastra tidak sekadar mengartikan bahasa secara leksikal,

melainkan juga menafsirkan isi karya sastra itu dan memakai ungkapan tersendiri untuk menimbulkan

efek estetik sesuai dengan aslinya. Oleh sebab itu, Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa

terjemahan karya sastra yang baik adalah terjemahan yang tidak setia kepada bahasa aslinya 14).

Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis

kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa

lain, tetapi juga bisa dialihwahanakan, yaitu diubah ke jenis kesenian lain, misalnya puisi diubah

menjadi lukisan atau musik; novel diubah menjadi tarian, drama, film, sinetron, dan sebagainya. Begitu

pula sebaliknya, puisi bisa ditulis berdasarkan lukisan atau musik; novel misalnya bisa ditulis

berdasarkan drama atau film 16).

Alih wahana sebagai objek material dapat dikaji (diteliti) dari berbagai perspektif, baik aspek

struktur maupun sosiologis. Dari judul atau tema yang sama, antara novel dan film tentu mempunyai

alur, tokoh, latar, sudut pandang penceritaan yang berbeda, justru karena teknik representasi

(penyajian) keduanya berbeda yang disebabkan oleh perbedaan media.

Dengan demikian, sesungguhnya bahan pembicaraan masalah alih wahana memberikan

peluang yang tidak dera, maka pada intinya semua usaha untuk membandingkan sastra dengan segala
yang berkaitan dengan panca indera merupakan kajian (penelitian) yang berguna dalam upaya

memahaminya lebih luasakan ada habisnya bagi kajian (penelitian) sastra bandingan. Sebagaimana

dikatakan Sapardi Djoko Damono bahwa perkembangan teknologi modern yang pada gilirannya

mempengaruhi media akan membuka kemungkinan lebih luas bagi kajian (penelitian) sastra

bandingan.

2.1. SASTRA BANDINGAN MENURUT SAPARDI DJOKO DAMONO

Kata “bandingan” berasal dari kata “banding” dalam konteks ini ada juga yang menyebut sastra

perbandingan. “Bandingan” berarti ‘tara/timbangan’ atau ‘imbangan’. Bandingan dapat diartikan

pula membanding (to compare) dari berbagai aspek. Adapun sastra bandingan juga dapat dimengerti

sebagai upaya membandingkan dua karya atau lebih. Sampai detik ini konsep sastra bandingan

memang belum mantap. Ketidakmamntapan ini seringkali “dimanfaatkan” oleh orang yang kurang

paham, sehingga menganggap sastra bandingan sebagai disiplin yang kurang pekerjaan. Padahal,

jika di luar sastra ada studi bandingan agama, misalnya, sebenarnya keberadaan sastra

bandingan juga tak perlu diragukan. Bandingan tentu tentu akan member wawasan lebih luas dan

objektif terhadap sebuah fenomena. Sastra bandingan, dalam penelitian umum serta dalam kaitannya

dengan sejarah ataupun dalam bidang ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat

upaya bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh

antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah penelitian

dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari

benang merahnya. Terkadang perpindahan ini bias dari segi lafadz- lafadz bahasa, tema, serta

gambaran yang diperlihatkan sastrawan dalam tema, ataupun hubungan dengan karya seni lain. Unsur

bahasa menjadi mutlak bagi pemerhati sastra bandingan, baik nusantara maupun tingkat dunia.

Selain itu sastra bandingan bisa mencakup penelitian hubungan karya sastra dengan berbagai bidang di

luar kesusastraan, seperti ilmu pengetahuan, agama, dan karya seni lain. Penelitian sastra bandingan

berangkat dari asumsi bahwa karya sastra tidak mungkin terlepas dari karya-karya yang telah

ditulis sebelumnya. Bisa dikatakan penelitian sastra bandingan tak mungkin dilepaskan dari unsur

kesejarahannya. Karya sastra lahir pada masyarakat yang

memiliki konvensi, tradisi, pandangan tentang estetika, dan tujuan berseni, yang kemungkinan

justru merupakan “rekaman” terhadap pandangan masyarakat tentang seni. Yang lebih penting
lagi, sastra amat mungkin berasal dari karya sebelumnya yang dianggap mainstream. Karya-karya

besar biasanya yang mengilhami karya sastra selanjutnya. Akan tetapi bisa juga sebaliknya, karya

besar justru lahir karena terinspirasi karya kecil yang dicipta sebelumnya.

Asumsi dasar sastra bandingan yang paling penting adalah (1) hadirnya unsur tambhan atau

pengurangan dalam karya sastra; (2) terjadinya persilangan kreativitas di otak pengarang, sering

ada “tabrakan” dan “persilangan”, hingga muncul kawin silang dalam sebuah karya; (3) sadar atau

tidak, pengarang adalah orang yang gemar meramu bacaan-bacaan masa silam; serta (4) pengarang

tidak selau suci, bersih, atau steril dari bacaan dan pengalaman masa lalu. Dari asumsi ini jelas ada

konsep pengaruh antara karya satu dan yang lain. Oleh karena itu perlu adanya bandingan yang

kritis.

3.1. ALIH WAHANA MENURUT SAPARDI DJOKO DAMONO

Anda mungkin juga menyukai