Anda di halaman 1dari 30

Draft

Naskah Akademik

JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:

BADAN NASIONAL
PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA

BNP3
Oleh
Drs. Bambang Purwoko, MA
- Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM -
- Ketua Gugus Tugas Papua UGM -
Draft
Naskah Akademik

JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:

BADAN NASIONAL
PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA

BNP3
Oleh
Drs. Bambang Purwoko, MA
- Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM -
- Ketua Gugus Tugas Papua UGM -
Draft Naskah Akademik
JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA: PEMBENTUKAN
BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA
(BNP3)

Oleh:

Drs. Bambang Purwoko, MA


Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Ketua Gugus Tugas Papua UGM

ii | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


Daftar Isi

Bab I Pendahuluan 1
A. Papua Pegunungan 2
B. Wilayah Pantai 3

Bab II Problema Papua dan Kebijakan


Kelembagaan 6

Bab III Kerangka Pengembangan


Kelembagaan Baru 10
A. Landasan Pembentukan Kelembagaan 10
B. Prinsip Dasar Kelembagaan Baru 14

Bab IV Bentuk Kelembagaan: Nomenklatur


dan Struktur 16
A. Karakter Kelembagaan Baru 16
B. Struktur Kelembagaan dan Nomenklatur 17

Bab V Penutup 22

Daftar Referensi 23

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | iii


iv | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:
Bab I
Pendahuluan

P
erlahan tetapi pasti, masalah ketertinggalan pembangunan di
wilayah Papua bergulir menjadi isu internasional berbarengan
dengan semakin gencarnya ekspose media mengenai isu
pelanggaran HAM, tindakan represif aparat keamanan, dan
pengabaian terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP). Meski
berbagai kebijakan sudah dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
akar permasalahan ketertinggalan Papua seolah belum tersentuh dan
bahkan semakin memunculkan rasa frustasi di sebagian besar masyarakat
Papua. Rasa frustasi ini dipicu oleh dua sebab: lambatnya respon Pemda
terhadap tuntutan masyarakat setempat, dan kebijakan Pusat yang tidak
sensitif terhadap kebutuhan khusus masyarakat Papua.

Meskipun secara khusus Persiden Jokowi memberikan perhatian yang


istimewa terhadap Papua, semua yang dilakukan Pemerintah dianggap
belum mencukupi kebutuhan masyarakat Papua karena beberapa alasan.

Pertama, semangat dan kebijakan Presiden untuk akselerasi


pembangunan Papua belum sepenuhnya diikuti dengan dukungan
kebijakan yang kuat secara sektoral oleh para pembantu Presiden di
masing-masing Kementerian.

Kedua, fokus perhatian dan kebijakan kepada pembangunan


infrastruktur dianggap tidak menyelesaikan kebutuhan riil masyarakat
Papua yang juga sangat tertinggal dalam bidang-bidang lain yaitu
pendidikan, kesehatan, perekonomian, sosial dan budaya.

Ketiga, kalaupun perhatian dan kebijakan Pemerintah secara riil sudah


dilakukan untuk percepatan pembangunan bidang infrastruktur,
pendidikan, kesehatan, dan perekonomian; masih ada tuntutan
masyarakat yang juga harus dipenuhi: penyelesaian masalah HAM,
pemenuhan kebutuhan akan rasa aman, perlindungan terhadap

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) |1


perempuan, penghargaan terhadap hak-hak dasar secara politik, dan
pengakuan terhadap identitas kepapuaan.

Munculnya berbagai persoalan di bidang politik dan pemerintahan, keamanan,


ekonomi, sosial budaya, HAM, dan pelayanan publik di Papua lebih banyak
bersumber dari diabaikannya kebutuhan dasar masyarakat. Karena itu,
diperlukan kebijakan strategis untuk pemenuhan kebutuhan dasar primer
berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan akan
rasa aman baik secara sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.

Berdasarkan penelitian lapangan dan berbagai kegiatan pendampingan


yang dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan 2016, juga wawancara
mendalam dengan para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda
dan perempuan, tokoh Gereja, aktifis LSM, akademisi dan pejabat Papua
tentang kondisi kehidupan masyarakat, di bawah ini secara ringkas
dipaparkan keadaan di Papua dan Papua Barat.

A. Papua Pegunungan
Secara umum, kondisi masyarakat di wilayah pegunungan Papua selama
beberapa tahun terakhir bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Sebagian besar masyarakat kecewa terhadap kinerja Pemerintah
dan Pemerintah Daerah karena masih mahalnya harga-harga
kebutuhan pokok dan bahan bangunan akibat keterisolasian
daerah. Belum tersedianya infrastruktur transportasi dan
komunikasi yang memadai di wilayah Pegunungan Tengah
meyebabkan biaya angkut kebutuhan pokok dan bahan bangunan
menjadi sangat mahal sehingga memperberat biaya hidup
masyarakat. Sulitnya akses transportasi dan komunikasi ini
menyebabkan upaya penguatan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi sangat terhambat.
2. Di beberapa wilayah di Pegunungan Tengah dikenal adanya
beberapa kelompok masyarakat bersenjata. Kondisi ini berdampak
pada terjadinya berbagai tindak kekerasan, baik kekerasan antar
warga masyarakat maupun kekerasan antara warga masyarakat
dengan aparat keamanan. Masyarakat juga kecewa dan marah
dengan seringnya terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh
aparat kemanan.
3. Salah satu kelompok masyarakat yang sangat rentan menjadi
korban dari berbabagi bentuk kekerasan tersebut adalah

2 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


kelompok perempuan Papua yang justru sering terabaikan dan
tidak mendapatkan perhatian selayaknya dari pemerintah.
4. Banyaknya kelompok warga sipil yang memiliki senjata karena
dipicu oleh adanya rasa tidak aman dengan banyaknya kehadiran
aparat keamanan yang seringkali bertindak over-acting. Sebagian
pihak juga secara kritis mempertanyakan keberadaan kelompok
bersenjata dan dari mana kiranya mereka memperoleh senjata
dan amunisi yang sudah sekian lama seolah tak ada habisnya.
5. Di wilayah-wilayah di mana tidak terdapat aparat keamanan
atau jumlah aparat keamanan yang terbatas kondisi keamanan
masyarakat justru relatif lebih baik.
6. Keberadaan aparat keamanan non-organik mempunyai dua
implikasi negatif, yaitu menimbulkan rasa tidak aman bagi
masyarakat dan menambah beban anggaran yang sangat berat
bagi Pemerintah Daerah. Tindak kekerasan yang terjadi di Papua,
khususnya dari aparat keamanan terhadap warga masyarakat,
selalu berkembang meluas dan dengan mudah diangkat sebagai
isu politik internasional yang merugikan citra NKRI.

B. Wilayah Pantai
Kondisi masyarakat di wilayah pantai di wilayah Barat, Timur, Utara
maupun Selatan Papua pada umumnya lebih maju dibanding masyarakat
di Pegunungan. Namun demikian, juga terdapat beberapa isu yang
memerlukan perhatian khusus yaitu:
1. Muncul ketakutan akan semakin tersingkirnya OAP karena
banyaknya migrasi spontan dari luar Papua yang dipicu oleh
semakin tingginya aktifitas perekonomian sebagai dampak
membanjirnya dana Otonomi Khusus.
2. Masyarakat asli belum sepenuhnya bisa menikmati kesejahteraan
sebagaimana dinikmati masyarakat pendatang (yang jumlahnya
bisa mencapai 45-55% dari total penduduk kabupaten / kota di
wilayah pantai). Muncul tuntutan dari MRP dan DPRP / DPRPB agar
kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat lebih berpihak terhadap
OAP, dan ada pemilahan data antara penduduk Pendatang dengan
OAP sehingga kebijakan afirmatif bisa lebih tepat sasaran.
3. Penanganan aparat keamanan terhadap tindakan kriminal yang
dilakukan oleh masyarakat seringkali berujung pada tindak

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) |3


kekerasan yang sangat meresahkan masyarakat. Masalah tindak
kekerasan dan isu pelanggaran HAM oleh aparat keamanan tetap
menjadi isu utama dan menjadi salah satu pemicu propaganda
anti NKRI dan menguatnya tuntutan “merdeka”.
4. Sebagaimana terjadi di Pegunungan, masyarakat Pantai juga selalu
merasa berada dalam ketakutan bahwa gerak-gerik dan aktifitas
mereka selalu diawasi oleh aparat kemanan dan sewaktu-waktu
bisa berurusan dengan mereka yang pada akhirnya berujung pada
“todongan senjata”.

Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang terhadap keberadaan aparat


keamanan di Papua, baik wilayah Pantai maupun Pegunungan. Semakin
banyaknya aparat keamanan tidak berdampak pada meningkatnya rasa
aman, sebaliknya justru menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat.
Perlu dipertimbangkan kebijakan untuk mengurangi atau bahkan menarik
habis keberadaan aparat keamanan (khususnya non-organik) dari wilayah
Papua.

Buruknya kondisi keamanan dan tingginya tingkat kekerasan yang


terjadi di Papua berbanding lurus dengan rendahnya keberhasilan di
bidang pembangunan. Besarnya anggaran APBN dan APBD serta dana
otonomi khusus yang disalurkan ke Papua belum berhasil meningatkan
kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur masih jauh
tertinggal. Kondisi pendidikan, kesehatan, dan perekonomian masyarakat
juga masih sangat buruk.

Sudah saatnya Pemerintah melakukan kebijakan terobosan dengan


mengedepankan pendekatan “human security”, yaitu pemenuhan
kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan dasar masyarakat sebagai
solusi permasalahan Papua. Pendekatan ini sangat relevan dan signifikan
untuk diterapkan di semua wilayah Papua.

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, sudah saatnya


Pemerintah merancang kebijakan strategis untuk meningkatkan
aksesabilitas dan availabilitas pelayanan publik dasar, penyelesaian
masalah pelanggaran HAM, mengurangi tingkat kemahalan harga-harga,
dan untuk pemenuhan hak-hak dasar bagi OAP. Kebijakan strategis ini
juga harus bisa menjamin bahwa akselerasi pembangunan ekonomi tidak
berdampak negatif terhadap kearifan tradisi dan budaya orang asli Papua.

Untuk menjamin kebijakan strategis tersebut dapat terwujud serta


dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat Papua, Pemerintah
perlu membentuk kelembagaan baru yang secara khusus bertugas

4 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


mengelola kompleksitas permasalahan Papua serta melakukan penguatan
dan percepatan program-program pembangunan.

Pembentukan kelembagaan baru ini sekaligus untuk membuktikan


kesungguhan janji Pemerintah bahwa negara memang benar-benar hadir
di Papua. Perlu ada pembuktian bahwa “merah putih” memang bisa hadir di
hati orang Papua, bahwa NKRI ada untuk melindungi dan mensejahterakan
masyarakat Papua secara demokratis.

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) |5


Bab II
Problema Papua dan
Kebijakan Kelembagaan

S
ebagai respon terhadap tuntutan masyarakat terkait pemenuhan
kebutuhan dasar dan hak-hak politik Orang Asli Papua, serta
sebagai bentuk kesungguhan pemerintah dalam mewujudkan
kemajuan di provinsi Papua dan Papua Barat, pada tahun 2001
telah disahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua yang kemudian diperkuat dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.

Dengan diberlakukannya kedua UU tersebut, pemerintah provinsi Papua dan


Papua Barat memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan otonomi khusus memberi
peluang luas bagi penyelenggaraan pemerintahan menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Masyarakat
menjadi subyek utama dalam mewujudkan percepatan ekonomi, penegakkan
keadilan dan HAM, perlindungan perempuan, serta peningkatan kesejahteraan
dan kemajuan daerah dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan laju
pembangunan setara dengan kemajuan provinsi lain.

Melalui kebijakan Otsus, pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat juga
mendapatkan alokasi dana sangat besar yang khusus diperuntukkan bagi
percepatan pembangunan bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun demikian, kewenangan dan
alokasi anggaran yang besar ternyata belum secara signifikan berdampak
terhadap kemajuan Papua.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2011-2014 provinsi Papua Barat dan


Papua selalu berada di peringkat terakhir secara nasional (BPS, 2014). Data
BPS (2014) menunjukkan bahwa, jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua

6 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


mencapai 864.113 jiwa (27.80%) dan Provinsi Papua Barat mencapai 225.463
jiwa (26.26%), menempatkan kedua provinsi tersebut dalam peringkat
pertama jumlah populasi masyarakat miskin terbesar di Indonesia.

Di bidang kesehatan, hingga tahun 2013 Papua Barat memiliki tingkat


prevalensi balita kekurangan gizi tertinggi di Indonesia yaitu 30,9%
(Kemenkes, 2014). Papua juga merupakan provinsi tertinggi terdampak
penyakit HIV/AIDS (BPS, 2013; Kemenkes, 2014). Di bidang pendidikan,
hingga tahun 2015 Provinsi Papua masih memiliki APS terendah di
Indonesia (73, 71%), jauh di bawah rata-rata APS Nasional yang berkisar
88,14% (BPS, 2015). Karena data statistik tersebut bersifat perkiraan, maka
bisa dipastikan bahwa kondisi nyata masyarakat Papua jauh lebih buruk.

Berbagai upaya pemerintah untuk mendukung akselerasi pembangunan di


Papua terus dilakukan. Salah satu wujud ikhtiar tersebut adalah keluarnya
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Peraturan Presiden
No. 66 Tahun 2011 yang menetapkan pembentukan Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dengan masa kerja 2011-
2014. Ketika itu UP4B diharapkan bisa berfungsi sebagai fasilitator yang
mampu meningkatkan koordinasi, sinergi, dan singkronisasi perencanaan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menjalankan
akselerasi pembangunan Papua.

Dalam pelaksanaannya, strategi UP4B berfokus pada kegiatan yang


bersifat cepat terwujud (quick wins), diantaranya adalah:
1. Kegiatan pengembangan dan pembangunan infrastruktur dasar
(penyediaan energi listrik, penyediaan air, peningkatan frekuensi
udara perintis, pembangunan dermaga, dsb);
2. Pelayanan kesehatan;
3. Pelayanan pendidikan;
4. Pemberdayaan ekonomi rakyat;
5. Pemihakan kepada Orang Asli Papua (OAP).

UP4B diharapkan bisa menjadi solusi taktis dalam percepatan pembangunan


di Papua di era pemerintahan sebelumnya. Terkait keberadaan UP4B,
dalam kajian Inisiasi Penyusunan Peta Jalan Percepatan Pembangunan di
Papua dan Papua Barat Pasca Berakhirnya Mandat UP4B (Bappenas – UNDP,
2013) disebutkan adanya tiga temuan:

Pertama, dari sisi proses dan aktivitas, telah ada sejumlah capaian
penting pada kelima area yang diberi fokus perhatian khusus di atas.

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) |7


Capaian tersebut sangat bervariasi, mulai dari aktivitas yang sangat
berhasil implementasinya hingga aktivitas yang sama sekali belum
bisa dilaksanakan karena berbagai sebab. Masih terdapat sejumlah
pekerjaan rumah penting di semua area terutama aktivitas yang
menuntut perubahan yang besar, baik perubahan fisik maupun
perubahan nilai-nilai kultural.

Kedua, secara sistemik, nampak belum ada perubahan yang berarti


terutama jika kondisi Papua dan Papua Barat dibandingkan dengan
daerah lain di Indonesia. Dari sisi angka kemiskinan, capaian
pendidikan dan capaian kesehatan misalnya, Papua dan Papua
Barat masih tetap berada di urutan akhir dibandingkan dengan provinsi
lain di Indonesia. Hal ini menimbulkan kondisi deprivasi relatif di mana
pemerintah dan masyarakat Papua selalu marasa tertinggal dari daerah
lain di Indonesia, walaupun secara absolut sudah ada kemajuan.

Ketiga berkaitan dengan peran dan keberadaan UP4B. Di tengah pro kontra
yang masih terus berlanjut, ditemukan bahwa lembaga semacam UP4B
masih sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan di Papua.
Dari berbagai pandangan yang ada, muncul dukungan dan desakan
agar UP4B atau lembaga sejenisnya terus diperkuat.

Temuan ketiga sangat penting untuk dikaji karena akan sangat relevan
dengan rencana pembentukan kelembagaan baru untuk pengelolaan
otonomi khusus Papua. Secara empiris, kebutuhan akan hadirnya lembaga
baru bukan hanya sesuai dengan temuan ketiga di atas, tetapi juga menjadi
tuntutan para stakeholders Papua yang seringkali dimunculkan dalam
berbagai kesempatan, baik dalam berbagai forum pertemuan di Jakarta
maupun di wilayah Papua.

Agar rencana pembentukan lembaga baru dengan tugas khusus penguatan


dan percepatan pembangunan Papua bisa terlaksana dengan baik, sangat
penting untuk mencermati beberapa faktor yang dianggap sebagai sebab
kegagalan UP4B. Terdapat beberapa hal yang dianggap meleset dari tujuan
awal pembentukan UP4B ini untuk mempercepat pembangunan di Papua
melalui pemberdayaan (empowerment).

Berdasarkan kajian di atas dan wawancara dengan para pegiat Papua,


beberapa faktor yang mempengaruhi melesetnya tujuan dari lembaga ini
antara lain adalah:
1. Minimnya ruang partisipasi/pelibatan orang asli Papua (OAP)
dalam setiap penyusunan agenda percepatan pembangunan di
daerahnya sendiri.

8 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


2. Perspektif pembangunan yang digunakan dalam setiap program-
kegiatan tidak sesuai dengan perspektif lokal setempat.
3. Corak sentralistik yang dianut UP4B menimbulkan paradoks
pembangunan. Kebijakan UP4B cenderung bersifat top-down dan
mengabaikan partisipasi Daerah.
4. Pembagian wewenang dan ranah kerja dengan Pemerintah Daerah
(Provinsi maupun Kabupaten /Kota) kurang tegas sehingga
menyebabkan timbulnya miss-communication terkait pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat antara UP4B dengan Pemerintah Provinsi.
5. Lembaga UP4B kurang diterima oleh pejabat dan masyarakat
Papua. Salah satu sebab adalah karena kurangnya perencanaan
bersama dengan stakeholders setempat. Sebab lain juga terkait
dengan figur dan sistem kerja UP4B.
6. Lembaga UP4B belum menjadikan kebijakan yang berkaitan dengan
pemeliharaan keamanan dan penegakkan HAM menjadi prioritas
kebijakan pembangunan. Maraknya kondisi ketidakamanan akibat
tindakan separatisme dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua
telah menjadi sorotan dunia internasional, dan juga menjadi salah
satu faktor penghambat terbesar dalam pelaksanaan program
percepatan pembangunan itu sendiri.

Keenam faktor tersebut hendaklah bisa menjadi bahan pertimbangan untuk


pembentukan kelembagaan baru dalam rangka akselerasi pembangunan
sekaligus pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak politik masyarakat
Papua.

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) |9


Bab III
Kerangka Pengembangan
Kelembagaan Baru

A. Landasan Pembentukan Kelembagaan


Berdasarkan rangkaian pemikiran di atas, dan belajar dari kelebihan serta
kekurangan lembaga UP4B, perlu dipertimbangkan kebijakan strategis
pembentukan kelembagaan baru dengan mandat untuk mengawal agenda
pembangunan Papua.

Dalam hal ini diusulkan pembentukan Badan Nasional Percepatan


Pembangunan Papua (BNP3) yang merupakan lembaga percepatan
pembangunan yang telah disempurnakan mulai dari konsep tata kelola
kelembagaan, perspektif dan pendekatan lembaganya, hingga kejelasan
pembagian wewenang dan hubungan dengan intitusi/lembaga lainnya.1
BNP3 merupakan sebuah lembaga yang lebih komprehensif untuk
mengatasi ketertinggalan pembangunan di Papua.

Jika pembentukan lembaga baru merupakan wujud komitmen konkret


pemerintah pusat untuk mengakselerasi pembangunan di Papua dan
Papua Barat, maka pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana
konsep dasar kelembagaan ideal yang bisa menjawab kebutuhan tersebut?

Pembentukan kelembagaan ini harus diletakkan pada dua titik pijak yaitu
kerangka substantif-kontekstual dan kerangka regulatif.

1 Nomenklatur BNP3 atau nama lainnya bisa dikaji lagi secara


mendalam, khususnya jika dikaitkan dengan cakupan tugas,
kewenangan, kedudukan, dan posisi lembaga ini dalam sistem
pemerintahahan.

10 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


Pertama, dari sisi subtantif, pembentukan kelembagaan diletakkan pada
spirit sebagai berikut:
1. Menjawab persoalan-persoalan Papua dengan berbagai
permasalahannya. Lembaga ini tidaklah hadir dalam ruang
kosong, sebaliknya berada dalam sebuah tata sosial-politik
masyarakat yang sudah mapan, baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
2. Lembaga baru harus mampu menghayati dan memetakan
problematika dan konteks lokal Papua dan Papua Barat mulai
dari persoalan ketertinggalan pembangunan, pelanggaran HAM,
lemahnya tatakelola sumber daya alam, serta kondisi ekonomi
dan sosial budaya masyarakatnya.
3. Lembaga baru dibentuk bukanlah sebagai tujuan, namun sebagai
instrumen untuk mengatasi problematika yang ada selama ini
sehingga harus terbentuk linkage antara permasalahan dengan
kelembagaan sebagai alat yang akan dimanfaatkan untuk
menyelesaikannya.
4. Proses harus kontekstual, inklusif dan bottom-up, sehingga
pembentukan lembaga ini bukan sekedar pekerjaan instalasi
teknokratis dan dilakukan demi memenuhi target-target
instan pemerintah nasional. Untuk itu, kebijakan membangun
kelembagaan baru harus disesuaikan dan didasari semangat
untuk merespon kebutuhan khusus Papua.

Selain mempertimbangkan pemikiran di atas, agar bisa menghasilkan tata


kelola kelembagaan yang bisa bekerja maksimal (effective institutional
governance), maka pembentukan kelembagaan nasional untuk kepentingan
daerah harus berbasis pada strategi yang relevan dengan persoalan
daerah. Dalam kaitannya dengan provinsi Papua dan Papua Barat,
strategi pembentukan dan pengisian kelembagaan daerah hendaknya
memperhatikan dua strategi, yaitu:
1. Pembetukan kelembagaan baru harus berpijak pada konsensus
sosial-politik yang sudah ada, yaitu kebijakan Otonomi Khusus
sebagai ruh yang harus melekat dalam tata kelembagaan dan
aktifitas institusi pemerintahan.
Rumusan Otsus adalah intisari dari common will (keinginan)
masyarakat Papua untuk memperoleh makna substansif atas
keterikatannya dengan Indonesia. Strategi pembentukan lembaga
ini akan menjadi tidak tepat jika dibelenggu dengan logika aturan
kelembagaan nasional. Regulasi nasional hanya diperlakukan

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | 11


sebagai koridor yang menyisakan ruang untuk manuver sesuai
dengan konteks spesifik yang mesti direspon oleh Papua.
2. Pembentukan lembaga baru harus dilakukan secara simultan dengan
pengembangan SDM, baik SDM aparatur ataupun SDM masyarakat.
Pengembangan SDM aparatur adalah mutlak, karena berbagai
keterbatasan kapasitas dan kapabilitas birokrasi telah menyebabkan
amanat Otsus tidak mampu direspon secara maksimal.
Strategi pengembangan SDM aparatur tersebut tidak hanya
menyentuh dimensi jumlah (kuantitas), namun yang terpenting
juga kualitas dan mentalitas, sebagai bagian dari proses
incremental mengembangkan kinerja. Lembaga baru hendaknya
menjadi pusat penempaan dan berkumpulnya SDM Pengelola
yang memiliki komitmen, dedikasi, loyalitas, dan totalitas untuk
membangun Papua.

Dalam konteks regulasi, pembentukan kelembagaan baru dalam rangka


percepatan pembangunan Papua juga diposisikan sebagai instrumen
untuk mengimplementasikan spirit kerangka regulasi yang ada, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua
UU 21 Tahun 2001 mendelegasikan kewenangan untuk
menyelenggarakan Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua
Barat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerahnya. UU ini sekaligus memberikan tindakan afirmatif atau
jaminan kepada Orang Asli Papua (OAP) untuk sepenuhnya
mendapat kesempatan yang sama untuk meningkatkan taraf
hidup, pelayanan publik yang baik, pemenuhan hak-hak dasar,
dan penyelesaian serta perlindungan Hukum dan HAM terhadap
masyarakat Papua. Spirit yang terkandung dalam UU 21 Tahun
2001 adalah spirit percepatan pembangunan dan perlindungan
terhadap identitas adat masyarakat Papua dan Papua Barat.
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara
UU 39 /2008 mengatur pendelegasian kewenangan dari presiden
kepada lembaga fungsional pembantu presiden (Kementrian)
dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan guna
mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam
pembukaan undang-undang dasar. Lembaga Kementerian melekat
fungsi-fungsi eksekutif dan koordinatif. Beberapa bidang urusan
pemerintahan yang diatur dalam UU 39/2008 dalam pengelolaan
di bawah Kementerian adalah urusan agama, hukum, keuangan,

12 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan,
sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan,
energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi,
perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara,
kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan,
kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi,
komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
kelautan, dan perikanan.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
UU 23/2014 mengatur tentang pemerintahan daerah mulai dari
jenis kewenangan dan tugasnya. Sebagai representasi pemerintah
yang paling dekat dengan warga masyarakat, Pemerintah Daerah
memiliki tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah
yang ditujukan sebesar-besarnya untuk melindungi, melayani,
memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, UU 23/2014
melandasi kerja pemerintah daerah dengan prinsip otonomi daerah
dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
daerahnya masing-masing.

Pembentukan lembaga baru ini juga sangat urgent, penting dan mendesak
untuk dilakukan agar bisa melakukan tugas-tugas sebagai berikut:
a. Koordinasi dan sinkronisasi antar Kementrian / Lembaga di Pusat
sehingga menghasilkan kebijakan yang sensitif, adaptif dan
akomodatif terhadap kepentingan masyarakat Papua. Kebijakan
sektoral yang tidak secara khusus bermanfaat bagi masyarakat
Papua dan tidak sejalan dengan kebijakan Presiden sebaiknya
segera dihentikan.
b. Koordiniasi dan sinkronisasi antara Kementrian / Lembaga di satu
sisi dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota di Papua
di sisi yang lain. Harus diakui bahwa salah satu kesulitan yang
dialami Pemerintah Daerah di Papua adalah melakukan koordinasi
dan sinkronisasi kebijakan secara transparan dan akuntabel
dengan K/L di Jakarta sehingga program-program pembangunan
yang direncanakan di K/L bisa lebih efektif dan efisien dalam
implementasinya serta sesuai dengan kebutuhan daerah.
c. Koordinasi dan sinkronisasi dalam mobilisasi dan distribusi
sumber-sumber anggaran secara lebih terencana dan terprogram
sehingga lebih berdayaguna dan berhasil guna bagi kepentingan
pembangunan Papua dan Papua Barat.

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | 13


B. Prinsip Dasar Kelembagaan Baru
Pembentukan kelembagaan dalam rangka percepatan pembangunan
Papua harus juga diletakkan dalam dua pegangan penting, yaitu:

Pertama, efektifitas dan efisiensi fungsi lembaga dalam memobilisasi


sumber daya untuk kemajuan Papua.

Kedua, penguatan kapasitas Pemerintah Daerah agar bisa menjalankan


fungsi pelayanan publik serta memajukan dan mensejahterakan
masyarakat secara demokratis. Karena itu, lembaga baru ini juga harus
berupaya mendorong perbaikan pelayanan publik oleh Pemerintah
Daerah.

Harus pula dipahami bahwa pembentukan struktur kelembagaan BNP3 ini


juga merupakan bagian dari institututional building yang menyangkut lima
aspek yaitu: leadership, doctrine, programme, resources, internal structure.

Gambar 3.1.
Aspek-Aspek Institutional Building

Leadership

Doctrine Programme
Institutional
Building

Internal
Resources
Structure

Sumber: diadopsi dari Eaton (et.al, 1972:22)

14 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


Berdasarkan skema di atas, pembentukan BNP3 tidak hanya berkaitan
dengan aspek pembentukkan struktur kelembagaan tetapi juga mencakup
lima aspek sebagai dasar dalam mendesain kelembagaan baru, yaitu:

Pertama, doctrine. Pembentukan kelembagaan baru membutuhkan


basis nilai dan norma sebagai acuan bekerjanya komponen
kelembagaan. Nilai dan norma menjadi panduan lembaga dalam
menentukan visi dan misi ke depan.

Kedua, programme. Adanya visi misi yang diejawantahkan dari basis


nilai tersebut harus terwujud dalam rincian rencana program yang
akan dilaksanakan oleh lembaga tersebut.

Ketiga, leadership. Kelembagaan baru memerlukan kepemimpinan yang


mampu mengerjakan mandat lembaga secara tepat. Pada saat yang
sama aspek kepemimpinan mensyaratkan adanya figur yang mempu
mewujudkan harmoni antar elemen intra maupun inter lembaga yang
ada.

Keempat, resources. Keberadaan sumber daya merupakan aspek


penting dalam pembentukan kelembagaan. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, pembentukan kelembagaan ini berupaya sebaik untuk
bersifat bottom-up dan iklusif.

Kelima, internal structure. Pembentukan kelembagaan baru tidak


lepas dari pembentukan design struktur organisasi sebagai kerangka
bekerjanya empat aspek lain dari institutional building.

Kelima aspek tersebut menjadi panduan untuk pembentukan kelembagaan


baru bernama Badan Nasional Percepatan Pembangunan Papua (BNP3).
Adanya design struktur kelembagaan bukanlah akhir dari pembentukan
kelembagaan tapi merupakan langkah awal yang harus dilengkapi dengan
adanya basis nilai, program, kepemimpinan, dan sumber daya yang tepat.

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | 15


Bab IV
Bentuk Kelembagaan:
Nomenklatur dan
Struktur

A. Karakter Kelembagaan Baru


Karakter lembaga baru yang akan menjalankan fungsi dan peran penguatan
dan percepatan pembangunan Papua ini antara lain adalah:
• Pertama, lembaga ini harus bersifat decisive, bukan sekedar
lembaga koordinatif yang tidak memiliki kewenangan eksekusi
dan implementasi kebijakan. Dengan demikian, lembaga ini
harus memiliki struktur anggaran tersendiri dan tidak hanya
menggantungkan diri dari anggaran K/L ataupun pihak lain di luar
dirinya.
• Kedua, lembaga baru juga harus memiliki cakupan dan rentang
kendali kewenangan yang jelas. Artinya, semua yang berkaitan
dengan Papua harus dan hanya dikelola oleh Lembaga ini,
dengan tetap menjalin kerjasama secara sinergis dengan Badan
Percepatan Pembangunan Wilayah Papua sebagai upaya untuk
penguatan Pemda. Dalam hal ini Lembaga baru sebagai Lembaga
ad-hoc juga harus menyiapkan “exit strategy” berupa penguatan
kelembagaan di tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota jika sewaktu-
waktu Lembaga baru ini berhenti atau diberhentikan dari tugas-
tugasnya.
• Ketiga, lembaga baru harus bersifat inklusif, tidak hanya menjadi
representasi Pejabat Pusat untuk mengurus Daerah, tetapi

16 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


menjadi lembaga yang memungkinkan para profesional yang
memiliki kepedulian dan kompetensi tentang Papua untuk terlibat
dalam Lembaga ini, baik mereka yang berasal dari lingkungan
pemerintahan, akademisi, lembaga swadaya masyarakat maupun
organisasi lain. Juga, baik mereka yang berasal dari Pusat ataupun
Daerah.
• Keempat, lembaga baru harus bertanggungjawab dan mempunyai
akses langsung kepada Presiden, tidak melalui Kementrian /
Lembaga sebagaimana terjadi pada UP4B.

Jika disepakati bahwa nomenklatur lembaga baru ini adalah BNP3 (Badan
Naional Percepatan Pembangunan Papua), harus dipahami bahwa Badan
baru ini adalah lembaga yang dibentuk dalam situasi khusus, karenanya
sangat penting untuk menghindari adanya struktur kelembagaan yang
gemuk dan terlalu banyak orang/pejabat yang terlibat.

Dalam penyusunan Lembaga baru, sangat penting untuk memperhatikan


postur dan figur, yaitu postur kelembagaan yang ramping dan fungsional,
dan figur yang kompeten, akuntabel, dan akseptabel. Figur pimpinan
haruslah mereka yang bisa berhubungan langsung dengan Presiden dan
para Menteri, memiliki skill manajerial yang kuat, kemampuan komunikasi
politik yang hebat, kemampuan negosiasi dan lobby yang mumpuni.

Secara teknis, jika Lembaga ini sudah terbentuk, adalah sangat penting
agar Surat Keputusan pembentukan kelembagaan ini bisa dibacakan
langsung oleh Presiden, dan sangat penting adanya pernyataan Presiden
bahwa: “Segala urusan terkait dengan politik, pemerintahan, pembangunan,
ekonomi dan sosial budaya di Papua akan dikelola oleh Badan ini”.

B. Struktur Kelembagaan dan Nomenklatur


Mengacu kepada serangkaian pemikiran dan argumen yang sudah
diuraikan di atas, khususnya dengan memperhatikan aspek-aspek terkait
kerangka pengembangan, prinsip dasar, dan karakter kelembagaan baru,
di bawah ini disampaikan usulan nomenklatur dan struktur kelembagaan
dimaksud.

Nama lembaga adalah “Badan Nasional Percepatan Pembangunan Papua”,


dengan beberapa argumen sebagai berikut:
1. Nomenklatur “Badan” mengindikasikan bahwa lembaga ini
bertugas untuk menjalankan fungsi koordinasi, sinkronisasi

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | 17


dan pelyanan internal, baik antara lembaga pemerintah di Pusat
maupun antara lembaga pemerintah di Pusat dengan lembaga
Pemerintah di daerah termasuk unit-unit kerja setingkat SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah).
2. Penyebutan “Badan Nasional” adalah penegasan terhadap
nomenklatur, struktur sekaligus tugas pokok dan fungsi lembaga
ini sebagai Lembaga Tingkat Nasional yang jangkauan tugasnya
secara khusus adalah wilayah Papua yang terdiri dari Porvinsi
Papua dan Papua Barat.
3. Nomenklatur “Percepatan Pembangunan Papua” menggambarkan
tugas pokok dan fungsi riil dari lembaga ini yaitu melakukan
percepatan pembangunan melalui tugas-tugas koordinasi,
sinkronisasi antar Kementrian Lembaga di Pusat dan antara
Kementrian Lembaga di Pusat dengan Pemerintah Daerah di
Papua dan Papua Barat.
4. Sesuai dengan misi utamanya, target capaian kinerja lembaga
baru ini tidak semata-mata pada prioritas pembangunan fisik
(infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perekonomian) namun juga
pada upaya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah HAM,
perlindungan terhadap perempuan, pemenuhan hak-hak dasar
OAP, dan peningkatan kesejahteraan sosial budaya masyarakat.
5. Dalam pelaksanaan tugasnya lembaga ini melaksanakan tugas-
tugas khusus dari Presiden dengan tetap melakukan koordinasi,
singkronisasi, dan sinergi dengan Kementrian/Lembaga dan
secara aktif pula berkoordinasi dengan Gubernur/MRP/DPRP dan
Bupati/Walikota di provinsi Papua dan Papua Barat.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka berikut adalah usulan


struktur kelembagaan BNP3:

18 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


Gambar 4.1.
Usulan Struktur Badan Nasional
KELEMBAGAAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA Percepatan Pembangunan Papua (BNP3)
Badan Nasional Percepatan Pembangunan Papua
BNP3 adalah alternatif bentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan khusus dan Implikasi Kelembagaan
fleksibel dalam sistem manajemen dan implementasi kegiatan untuk percepatan
Ÿ Menambah struktur kelembagaan dan beban anggaran pemerintah pusat,
pembangunan (Penyempurnaan UP4B)
serta regulasi
Ÿ Dibangun jalur koordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk memastikan
program/kegiatan dan anggaran K/L bisa dilaksanakan sesuai kebutuhan
Daerah
Dana
Pembangunan
Papua
Pengembangan Infrastruktur

Dana Otonomi Khusus


(sebagian) Pengembangan SDM dan
PRESIDEN Ekonomi Masyarakat
Alokasi APBN K/L untuk Papua

Hibah CSR Pengembangan dan


KEPALA ADVISORY BOARD
BUMN/Swasta, dst. KEMENTERIAN / LEMBAGA Pengendalian SDA
WAKIL KEPALA Gubernur - MRP - DPRP

SUPERVISORY BOARD SEKRETARIAT


Ÿ Sinkronisasi pelaksanaan
program kegiatan K/L sesuai
dengan kebutuhan dan
Deputi I Deputi II Deputi III Deputi IV kepentingan Daerah
INFRASTRUKTUR EKONOMI, SOSIAL, SUMBER DAYA ALAM HAM, HUMUM, Ÿ Memperkuat koordinasi dan
DAN BUDAYA DAN POLITIK
sinergi pelaksanaan program
Ÿ Bertanggung jawab langsung kepada prioritas lintas K/L dan
Presiden Daerah
Ÿ Beranggotakan perwakilan Pemerintah

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3)


dan Profesional

| 19
Ÿ Menerapkan standar dan diskresi
kebijakan khusus untuk Papua, yang
berbeda dengan standar nasional
Pembagian fungsi secara
Ÿ Menangani bidang pembangunan sektoral berpotensi
tertentu memunculkan resistensi dari
Ÿ Periode penugasan tertentu (2016 – 2021) Kementrian Lembaga
Usulan struktur kelembagaan BNP3 tersebut terdiri dari seorang Kepala
dan Wakil Kepala, Advisory Board, Dewan Pengawas (Supervisory Board),
dan Sekretariat. Sedangkan pada level kedeputian terdapat empat Deputi
yaitu:
1. Deputi Bidang Pengembangan Infrastruktur;
2. Deputi Bidang Pengembangan SDM, Ekonomi, Sosial, dan Budaya;
3. Deputi Bidang Pengendalian Sumber Daya Alam; serta
4. Deputi Bidang HAM, Hukum, dan Politik.

Terdapat beberap catatan penting terkait struktur kelembagaan tersebut,


yaitu:
1. Kepala dan Wakil Kepala BNP3: secara hirarkis pucuk pimpinan
BNP3 mempunyai akses langsung kepada Presiden. Pada sisi
yang lain Kepala dan Wakil Kepala BNP3 juga mempunyai akses
langsung kepada Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat.
Keberadaan Kepala dan Wakil Kepala BNP3 ini juga memainkan
peran intermediary antara Papua dan Papua Barat dengan Jakarta
(Pemerintah Pusat).
2. Advisory Board: keberadaan unit ini diperlukan sebagai wadah bagi
para pemimpin eksekutif dan legislatif di Papua yaitu Gubernur,
Pimpinan MRP, dan Pimpinan DPRP. Para unsur dalam unit ini
mempunyai akses langsung dan bisa memberikan masukan dan
pertimbangan terhadap Kepala dan Wakil Kepala BNP3. Posisi
Advisory Board ini sejajar dengan Kepala dan Wakil Kepala BNP3.
Pada saat tertentu Advisory Board juga bisa menjadi envoy BNP3
bagi kalangan dunia internasional. Ketugasan envoy ini penting
untuk melakukan klarifikasi terhadap isu-isu Papua di masa lalu dan
melaporkan progress dan kinerja pembangunan masa sekarang.
3. Supervisory Board (Dewan Pengawas): Dewan Pengawas terdiri
dari beberapa pihak yang mempunyai pengetahuan yang luas
tentang Papua dan mempunyai pemikiran kritis untuk kemajuan
Papua. Keberadaanya berfungsi sebagai pengawas bagi kinerja
BNP3 secara umum khususnya pada level kedeputian.
4. Sekretariat adalah unit kerja pendukung utama yang melakukan
fungsi-fungsi administrasi dan manajemen bagi kelancaran
tugas BNP3. Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris Utama
dengan beberapa pejabat di bawahnya yang mengurusi bidang-
bidang yang disesuaikan dengan program kerja BNP3.
5. Deputi Bidang Pengembangan Infrastruktur: Deputi ini difungsikan
sebagai unit yang bertanggungjawab terhadap koordinasi, sinergi,

20 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


dan implementasi kebijakan pembangunan yang selama ini
dilakukan oleh K/L untuk alokasi kebijakan di Papua dan Papua
Barat dalam bidang infrastruktur baik transportasi, telekomunikasi,
perumahan, air bersih, maupun infrastruktur pelayanan publik
dasar lainnya.
6. Deputi Bidang Pengembangan SDM, Ekonomi, Sosial, dan
Budaya: Kedeputian ini secara khusus menangani sektor-sektor
SSM (misalnya pendidikan dan kesehatan), perekonomian yang
meliputi berbagai pembangunan ekonomi masyarakat lokal,
pembangunan urusan sosial, pemberdayaan perempuan, serta
pembangunan dalam bidang kebudayaan dan pariwisata.
7. Deputi Bidang Pengembangan dan Pengendalian Sumber Daya
Alam. Kedeputian ini mempunyai mandat dalam pengelolaan dan
pengendalian pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Papua
dan Papua Barat baik dalam sektor pertambangan mapuan sektor
alam lainnya.
8. Deputi Bidang HAM, Hukum, dan Politik. Kedeputian ini mempunyai
tugas memastikan penegakkan hak asasi manusia, perlinduangan
perempuan dan berbagai urusan politik dan hukum di Papua dan
Papua Barat.

Disamping beberapa poin penting pada setiap unit dalam tubuh BNP3 tersebut,
juga terdapat beberapa hal yang menjadi agenda penting BNP3, yaitu:

Pertama, keberadaan BNP3 pada tingkat pusat perlu ditopang oleh Kantor
Perwakilan yang berkedudukan di daerah (Jayapura dan Manokwari)
sehingga BNP3 juga bisa berhubungan baik dengan Pemerintah Provinsi
Papua dan Papua Barat dan pada saat yang bersamaan tetap mempunyai
kekuatan koordinasi dan sinkronisasi di Pusat.

Kedua, pembentukan kelembagaan ini juga perlu menjadi satu-satunya


simpul atau pintu masuk bagi Pemerintah Daerah di Papua dan Papua
Barat dalam koordinasi dengan K/L di Pusat sehingga para Kepala Daerah
dan Kepala SKPD tidak perlu lagi berkoordinasi dan sinergi dengan
kementerian secara tersebar. Dengan demikian, aspek sosialisasi dan
konsolidasi baik di tingkat Pusat ke semua Kementerian maupun di tingkat
daerah ke berbagai pemerintah daerah menjadi agenda yang mendesak.

Langkah-langkah tersebut merupakan tahapan yang harus dilalui secara


simultan dengan berbagai penyiapan SDM dan operasional kelembagaan.

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | 21


Bab V
Penutup

R
angakaian pemikiran tentang problematika pembangunan di
Papua dan Papua Barat yang disusul dengan rekomendasi
pembentukan kelembagaan baru adalah strategi kebijakan
nasional yang didasarkan pada dua alasan substantif.

Pertama adalah pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua agar


bisa hidup layak dan bermartabat, terhindar dari rasa takut, dan
menikmati kedamaian di lingkungan daerah yang lebih maju dalam
naungan NKRI.

Kedua adalah pelaksanaan kewajiban negara untuk mensejahterakan


masyarakat Indonesia secara demokratis. Negara wajib hadir ke
tengah masyarakatnya. Negara wajib hadir di Tanah Papua, dan bentuk
kehadiran negara yang paling nyata terwujud dalam bentuk tersedianya
pelayanan publik dasar yang bisa diakses oleh segenap masyarakat
Papua: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.

Realisasi dari kebijakan strategis di atas akan sangat tergantung dari


kemauan politik yang kuat dari Pemerintah, dan dukungan konkret dari
Kementerian/Lembaga di Pusat. Dukungan dari K/L bearti kesediaan untuk
berbagi kebijakan dan pekerjaan dengan lembaga baru ini, juga kesediaan
untuk melepas ego sektoral demi terwujudnya kegiatan pembangunan
yang lebih berdayaguna dan berhasil guna untuk kemajuan Papua.

Selain itu, kebijakan strategis ini juga memerlukan dua faktor penting
sekaligus, yaitu proses instalasi legal formal agar sesuai dengan regulasi
nasional namun tetap akomodatif terhadap kekhususan Papua; dan
dukunga politik yang kuat dari para politisi di Lembaga Legislatif, baik di
Pusat maupun di Daerah.***

22 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


Daftar Referensi

Agung Djojosoekarto, Rudiarto Badan Pusat Statistik. 2015. Provinsi


Sumarwono dan Cucu Suryaman. Papua Barat Dalam Angka 2015.
2008. Kebijakan Otonomi Khusus (Manokwari: Badan Pusat Statistik
Papua. (Jakarta: Kemitraan bagi Provinsi Papua Barat)
Pembaruan Tata Pemerintahan di
Indonesia) Eaton, Joseph W (et.al), 1972. Institutional
Building and Development. SAGE
Armando Mahler dan Nurhadi Sabirin. Publications, INC: California
2008. Dari Grasberg sampai
Amamapare. (Jakarta: Gramedia Fearon, James D. 1999. What Is Identity
Pustaka Utama) (As We Now Use The Word)?. (USA:
Department of Political Science
Badan Pemeriksa Keuangan. 2016. Ikhtisar Stanford University)
Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun
2015. (Jakarta: Badan Pemeriksa Human Development Report 2014 Team.
Keuangan) 2014. The 2014 Human Development
Report: Sustaining Progress:
Badan Pusat Statistik. 2014. Indeks Reducing Vulnerabilities and Building
Pembangunan Manusia Metode Baru Resilience. (New York: United
2010-2014. (Jakarta: Badan Pusat Nations Development Programme)
Statistik)
Indonesia: Dynamics of Violence in Papua.
Badan Pusat Statistik. 2015. Angka Crisis Group Asia Report N°232 – 9
Partisipasi Sekolah (APS) menurut August 2012. (International Crisis
Provinsi tahun, 2011-2015. (Jakarta: Group)
Badan Pusat Statistik)
Kartikasari, Sri Nurani, Andrew J. Marshall
Badan Pusat Statistik. 2015. Jumlah dan Bruce M. Beehler. 2012. Ekologi
Penduduk Miskin Menurut Provinsi Papua. (Jakarta: Yayasan Pustaka
2013-2015. (Jakarta: Badan Pusat Obor Indonesia dan Conservation
Statistik) International)

Badan Pusat Statistik. 2015. Papua Dalam Kedeputian I Bidang Koordinasi


Angka 2015. (Jayapura: Badan Kerawanan Sosial dan Dampak
Pusat Statistik Provinsi Papua) Bencana. 2015. Sistem Nasional

PEMBENTUKAN BADAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA (BNP3) | 23


Pemantauan Kekerasan (SNPK): Negeri, Direktorat Penataan Daerah,
Laporan Tahunan 2014. (Jakarta: Otonomi Khusus dan Dewan
Kementerian Koordinator Bidang Pertimbangan Otonomi Daerah)
Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan RI) Purwoko, Bambang, 2015. Penyusunan
Pedoman NSPK Bidang Pendidikan
Manik, Rustam F dan Bambang Purwoko, di Papua, (Kementerian Dalam
2015. Sistem Akuntabilitas Negeri, Direktorat Penataan Daerah,
Pengelolaan Keuangan Daerah Otonomi Khusus dan Dewan
dan Pengelolaan Dana Otonomi Pertimbangan Otonomi Daerah)
Khusus di Papua, (Kementerian
Dalam Negeri, Direktorat Penataan Rizzo, Susanna. 2004. From Paradise
Daerah, Otonomi Khusus dan Dewan Lost To Promised Land: Christianity
Pertimbangan Otonomi Daerah) and The Rise of West Papuan
Nationalism. (PhD Thesis: University
Mansoben, Joshzua R. 1995. Sistem Politik of Wolonggong)
Tradisional di Irian Jaya, Indonesia
Studi Perbandingan. (Jakarta: Sekretariat Jenderal Kementerian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Kesehatan RI. Profil Kesehatan
Indonesia (LIPI)-Leiden University) Indonesia Tahun 2013. (Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI)
Numberi, Freddy. 2013. Quo Vadis Papua.
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer) Suwae, Habel Melkias, Heru Nugroho
dan Djoko Suryo, 2012. Konstruksi
Peet, Richard dan Elaine Hartwick. Identitas Kepapuaan Dalam Dinamika
2009. Theories of Development Arus Demokrasi. (Yogyakarta:
Contentions, Arguments, Alternatives Sekolah Pascasarjana Universitas
(Second Edition). (London and New Gadjah Mada)
York: The Guilford Press)
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK
Penerbit Buku Kompas. 2014. Ekspedisi 2015, 2016. Laporan Tahunan 2015:
Tanah Papua Laporan Jurnalistik Menolak Surut. (Jakarta: Komisi
Kompas. (Jakarta: Penerbit Pemberantasan Korupsi)
Kompas-Gramedia Group)
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Purwoko, Bambang, 2015. Bureaucracy Papua Barat. 2013. Rencana Aksi
and The Politics of Identity: A Study Percepatan Pelayanan Pendidikan
On The Influence of Ethnicity on The dan Kesehatan Provinsi Papua dan
Bureaucracy Restructuring Process Provinsi Papua Barat (Frontline
in Sorong Selatan Regency, West Education and Health Care Services).
Papua, Indonesia. (Thesis: The (Jayapura: Unit Percepatan
University of Western Australia, Pembangunan Papua dan Papua
School of Social Sciences, Political Barat)
Science and International Relation)
Visser, Leontine (ed), 2012. Governing New
Purwoko, Bambang, 2015. Optimalisasi Guinea: An oral history of Papuan
Model Pemberdayaan Masyarakat administrators, 1950-1990. (Leiden:
di Papua, (Kementerian Dalam KITLV Press)

24 | Draft Naskah Akademik - JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:


Draft
Naskah Akademik

JALAN BARU PENGELOLAAN OTSUS PAPUA:

BADAN NASIONAL
PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA

Drs. Bambang Purwoko, MA


- Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM -
- Ketua Gugus Tugas Papua UGM -

Anda mungkin juga menyukai