Papua yang terletak di wilayah paling timur dari kesatuan
Republik Indonesia masuk dalam NKRI pada tanggal 19 Nopember 1969 melalui resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua ke Indonesia menurut hukum internasional. Akan tetapi sejak menjadi bagian NKRI, sebagian penduduk Papua merasa kurang puas karena secara fakta mereka masih marginal dan miskin. Papua yang luasnya empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki sumber daya alam yang sangat besar seharusnya mampu membuat rakyatnya hidup sejahtera. Kondisi kemiskinan tersebut tampak pada terisolirnya kehidupan sekitar 74% penduduk Papua. Tempat tinggal mereka tidak memiliki akses sarana transportasi ke pusat pelayanan ekonomi, pemerintahan dan pelayanan sosial. Ketidakpuasan secara ekonomis itulah, yang memunculkan semangat untuk memerdekakan diri. Pemerintah Pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di Papua, apalagi dengan diadakannya Operasi Militer oleh Pemerintah Pusat untuk mengatasi pemberontakan separatisme di Papua yang dalam faktanya justru banyak menimbulkan pelanggaran HAM. Tahap 1. Verifikasi, Penentuan dan Detail Masalah
Akar penyebab konflik Papua, yang harus diselesaikan pemerintah untuk
memenangkan dukungan rakyat Papua? Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah merumuskan empat akar permasalahan yang menyebabkan konflik di Papua, yaitu: [21] 1. Sejarah integrasi Papua ke Indonesia yang dilakukan melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 terindikasi adanya kecurangan yang dilakukan pemerintah Indonesia karena tidak sesuai dengan isi dari Perjanjian New York, yaitu “one man one vote”;[22] 2. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan negara yang berlangsung hingga saat ini; 3. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua yang terus meningkat; serta 4. Kegagalan pembangunan infrastruktur sosial yang terjadi di Papua, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, serta ekonomi rakyat. Selain itu, di dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 telah dituliskan akar masalah Papua yang meliputi: 1. peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia, 2. tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, 3. proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas, 4. siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas, 5. pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai. Tahap 2. Menetapkan Kriteria Evaluasi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar:
1. Presiden memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap anggota yang diduga terlibat dalam kasus ini; 2. Presiden menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini dijalankan pemerintah di Papua sehingga memutus spiral kekerasan yang terjadi. 3. Lembaga negara independen (Komnas HAM, Ombudsman RI, Kompolnas, dll) secara aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini sesuai cakupan wewenangnya; 4. Komnas HAM melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus ini; 5. Kapolri segera melakukan evaluasi total penggunaan kekuatan dalam tugas-tugas pemolisian; 6. Presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang penggunaan kekuatan kepolisian dan eksesnya terhadap keamanan warga negara; 7. Presiden dan DPR segera mendorong agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja- kerja kepolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel. Tahap 3. Identifikasi Kebijakan Alternatif
Dalam perspektif negara, tujuan utama penanganan kasus Tembagapura adalah
mengembalikan stabilitas dan keamanan secara menyeluruh. Namun bila pemulihan keamanan dilakukan secara berlebihan apalagi dengan invasi militer, maka pemerintah Indonesia akan menuai kritikan sebagai pihak yang tidak konsisten dalam membangun Papua, apalagi bila terjadi pelanggaran HAM. Dinamika di Papua sangat lekat dengan isu dan kepentingan politik. Konflik kepentingan selama ini telah menciptakan kecurigaan, bahkan rasa tidak percaya (distrust) yang semakin dalam antara pemerintah dengan orang Papua. Distrust semakin menguatkan justifikasi sepihak yang diskriminatif dan hitam putih. Misalnya klaim aktivis pro-kemerdekaan bahwa Papua adalah “koloni Indonesia”, dan sebaliknya stigmatisasi Papua sebagai separatis oleh para nasionalis. Upaya pemerintah untuk memperbaiki situasi dan kondisi di Papua kerap dicap sebagai peminggiran oleh aktivis HAM dan sebagian warga Papua. Pemerintah beserta investor juga dikritik telah merampas tanah adat masyarakat Papua. Tahap 4. Evaluasi Alternatif Kebijakan
para pembuat kebijakan jangan terburu-buru dalam melakukan operasi
militer, yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menjaga keamanan dan stabilitas di Papua adalah: 1. tidak perlu bersikap berlebihan. Kasus Tembagapura kemungkinan besar sarat dengan pragmatisme dari pihak-pihak yang terlibat. 2. pemerintah perlu mengimbangi pendekatan keamanan negara dengan pendekatan keamanan manusia. Keselamatan masyarakat yang tidak terlibat dalam konflik ini secara langsung harus menjadi yang utama tanpa membeda-bedakan suku dan ras antara penduduk asli dan pendatang. 3. dalam jangka panjang pemerintah perlu membangun dialog dan negosiasi menuju rekonsiliasi. Secara bertahap atau simultan perlu diupayakan ruang-ruang dialog untuk mencegah meluasnya kecurigaan dan rasa tidak percaya, khususnya antara masyarakat pendatang dan penduduk asli Papua maupun antara pihak aparat dengan masyarakat. 4. pemerintah daerah, baik gubernur dan bupati perlu lebih proaktif dan bekerja sama dengan aparat kepolisian dalam mengembalikan dan menciptakan kembali suasana yang kondusif. 5. tiga pilar di Tanah Papua (pemerintah daerah, DPR Papua, Majelis Rakyat Papua) perlu membangun koordinasi dan sinergi dalam membangun kesejahteraan Tahap 5. Tampilkan dan Bedakan diantara kebijakan alternative
Hal utama yang sangat diperlukan untuk
mewujudkannya adalah dengan membangun common ground dan kepentingan bersama bagi Papua yang lebih demokratis dan sejahtera. Ini bukan semata-mata untuk menjaga keutuhan Indonesia, namun terlebih untuk menghargai dan menghormati martabat Papua di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Tahap 6. Memantau dan Mengevaluasi kebijakan yang diimplementasikan
Para pembuat kebijakan belum sepenuhnya
memerhatikan asas kecermatan dalam merumuskan arah hukum dan kebijakan keamanan untuk Papua. Implikasinya, bukan saja menimbulkan kebingungan di kalangan pejabat negara, tetapi juga mengorbankan masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan. Lihat saja arah kebijakan dan hukum terkait Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dituduh melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat dan aparat keamanan. Kesatuan sikap dan kecermatan memilih nomenklatur sangat penting bagi petinggi negara dalam menentukan arah hukum dan kebijakan. Pilihan nomenklatur memiliki implikasi kebijakan berbeda yaitu perihal “tumpas habis” meski tak merujuk pada hukum yang spesifik tetapi bisa diartikan sebagai arah kebijakan negara untuk bertindak keras dengan menghabisi sasaran yang dituju, KKB. Pendekatan ini menilai KKB “musuh negara” yang mengancam kedaulatan, integritas teritorial, atau keselamatan segenap bangsa. Terjemahan kebijakan dari pernyataan ini adalah pengerahan kekuatan militer (deployment of military force). Pada akhirnya pendekatan koersif lah yang harus merupakan langkah terakhir (last resort) untuk mencegah jatuhnya korban jiwa yang besar, jika benar- benar diperlukan (necessary) dalam sebuah masyarakat demokratis, proporsional, serta bisa dimintai pertang - gungjawaban secara hukum. Selain itu, para pemimpin bangsa dan negara di dunia— termasuk Indonesia—yang semula memilih jalan perang akhirnya memilih jalan damai melalui otonomi khusus, pemerintahan-sendiri, referendum, dan perjanjian damai yang menyelamatkan banyak jiwa masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan.