Anda di halaman 1dari 8

Komersialisasi Pemeriksaan Covid-19 Pada Masa Pandemi

Identifikasi Masalah:
Berdasarkan data WHO (World Health Organization), usia rentan penderita virus
Covid-19 yang semula berada pada usia dewasa di atas 45 tahun, sekarang mulai menyasar
segala umur dikarenakan banyaknya mutasi dari virus Covid-19 tersebut. Oleh karena itu,
untuk dapat memutus rantai penyebaran virus Covid-19, pemeriksaan Covid-19 seperti
Genose, Rapid Test Antigen, Rapid Test Antibodi, maupun Polymerase Chain Reaction (PCR)
Test, memiliki peranan yang sangat penting.

Gambar 1. Statistik Kasus Baru dan kematian Covid-19

Tidak hanya untuk mengetahui bahwa seseorang terpapar virus Covid-19 atau tidak,
tetapi juga sebagai salah suatu syarat apabila hendak bepergian baik di dalam maupun ke luar
negeri. Dengan alasan-alasan tersebut di atas, pemeriksaan Covid-19 menjadi suatu komoditi
yang memiliki nilai ekonomi karena menjadi kebutuhan masyarakat. Pada kondisi tersebut,
beberapa pihak memperoleh kesempatan untuk melakukan komersialisasi pengujian
tersebut untuk mendapatkan keuntungan secara khusus dibidang Industri kesehatan seperti
perusahaan penyedia alat kesehatan hingga klinik atau rumah sakit sebagai operator
penyedia jasa pemeriksaan Covid-19.

Di sisi lain, pada awal pandemi Covid-19, relatif banyak masyarakat menurunkan
aktivitasnya untuk melakukan pengobatan secara langsung ke rumah sakit karena khawatir
tertular Covid-19. Akibat dari menurunnya jumlah pasien rumah sakit akibat dari pandemi
Covid-19, relatif banyak rumah sakit yang mengalami penurunan pendapatan yang sangat
signifikan. Berdasarkan survey dari Mark Plus Inc., sejumlah 64.5% orang memilih untuk
memulihkan kesehatannya secara mandiri dibandingkan melalui proses pemulihan di rumah
sakit. Hanya sekitar 20% dari pasien non-Covid-19 yang mau memeriksakan diri ke rumah
sakit. Kemudian 71.8% dari 110 reseponden mengaku tidak lagi mengunjungi rumah sakit
sejak adanya pandemi Covid-19 ini, dimana sebelum pandemi Covid-19, kurang lebih 31.8%
melakukan kunjungan ke rumah sakit minimal satu kali dalam satu tahun.
(www.dhealth.co.id).

Dampak dari menurunnya jumlah pasien non-Covid-19 yang dirawat maupun


melakukan pemeriksaan di rumah sakit, yaitu penurunan yang cukup signifikan dari
pendapatan rumah sakit pada kwartal dua Tahun 2020, seperti terlihat pada Gambar 2. Hal
tersebut sesuai dengan kondisi di mana kwartal kedua Tahun 2020 merupakan awal
peningkatan kasus penyebaran Covid-19 di masyrakat, khususnya di Indonesia. Salah satu
rumah sakit di Makassar bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan-
karyawannya, karena jumlah pasien non-Covid-19 yang dirawat maupun melakukan
kunjungan pemeriksaan rutin mengalami penurunan secara signifikan. Hal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3, yang menunjukan titik terendah dari untung/ rugi empat rumah sakit
terkemuka di Indonesia, yaitu terjadi pada kwartal dua tahun 2020.

Gambar 2. Kondisi Revenue Empat Rumah Sakit Pada Masa Pandemi Covid-19
Sumber: https://www.idnfinancials.com
Gambar 3. Kondisi Profit Empat Rumah Sakit Pada Masa Pandemi Covid-19
Sumber: https://www.idnfinancials.com

Pemikiran Kritis dan Analisa:


Dengan adanya kebutuhan yang besar dari masyarakat untuk melakukan pemeriksaan
Covid-19, sehingga penyedia alat kesehatan dan penyedia jasa yaitu rumah sakit atau klinik,
mulai melihat peluang bisnis yang besar dan mulai mematok harga yang beragam. Pada awal
pandemi Covid-19 terjadi, harga pemeriksaan Covid-19 relatif tinggi karena meningkatnya
kebutuhan sedangkan ketersediaan layanan masih relatif rendah. Pada Bulan Juli Tahun 2020,
tarif pemeriksaan Covid-19 berkisar antara Rp2.000.000,- sampai Rp2.500.000,- untuk
pemeriksaan dengan hasil yang keluar di hari yang sama. Dua faktor utama yang
menyebabkan relatif mahalnya tarif pemeriksaan Covid-19, yaitu relatif belum transparanya
komponen biaya bahan baku tes PCR yang masih bergantung pada impor dan relatif
bervariasinya harga reagen.

Sejak awal bulan Juli Tahun 2021, pemerintah Indonesia menerapkan Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Hal tersebut secara langsung
meningkatkan syarat terbang penumpang pesawat yang keluar wilayah Jawa-Bali, semula
hanya mewajibkan pemeriksaan Antigen menjadi wajib pemeriksaan PCR. Sedangkan untuk
jenis kendaraan lainnya mewajibkan pemeriksaan Antigen. Pada kondisi tersebut, baik
institusi kesehatan maupun oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab mulai
memanfaatkan kesempatan yang ada. Mulai dari penetapan harga pemeriksaan Covid-19
yang sangat variatif, hingga adanya pembuatan surat keterangan pemeriksaan Covid-19 palsu
dan pemakaian alat tes bekas untuk keperluan pemeriksaan Covid-19. Padahal sudah dari
beberapa waktu yang lalu pemerintah telah menetapkan tarif tertinggi pemeriksanaan PCR
yaitu Rp900.000,- sesuai Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor
HK.02.02/I/3713/2020 tahun 2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Namun, relatif banyak tempat pemeriksaan Covid-19
belum patuh kepada kebijakan tersebut karena masih tingginya kebutuhan pemeriksaan PCR.
Hal tersebut sudah bertentangan dengan etika bisnis kesehatan yaitu memberikan layanan
kepada masyarakat untuk memperoleh kesempatan hidup sehat dan sejahtera. Menurut
buku “Business Ethics and Social Responsibility” karangan O.C Ferrel, Geoffrey A. Hirt dan
Linda Ferrel, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi Etika Bisnis. Proses pembentukan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Ketiga komponen tersebut tidak boleh diabaikan untuk
dapat tetap mencapai standar kualitas yang optimal, meskipun terdapat peluang untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari proses bisnis yang dilaksanakan maupun
tuntutan kondisi usaha yang sedang terhimpit kesulitan ekonomi secara khusus dalam
pandemi Covid-19.

Gambar 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Etika Bisnis

Peranan pemerintah menjadi sangat penting ketika kondisi pasar mulai


mempermainkan harga pemeriksaan Covid-19. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
menjaga aktivitas pasar tetap berlangsung sesuai kode etik, diantaranya adalah perlunya
penegakan hukum yang menentukan batasan tarif tertinggi untuk penyedia jasa pemeriksaan
Covid-19. Mereka yang melanggar aturan ini akan mendapatkan sanksi dari dinas kesehatan
masing-masing provinsi.

Melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020, Kemenkes menetapkan batasan


tarif tertinggi pemeriksaan Rapid Tes Antibodi yaitu maksimal Rp150.000. Kemudian pada
Tanggal 18 Desember 2020, Kementerian Kesehatan RI melalui Direktorat Jenderal Pelayanan
Masyarakat menetapkan batasan tarif tertinggi Pemeriksaan Rapid Tes Antigen-Swab sebesar
Rp250.000,- untuk Pulau Jawa dan Rp275.000,- untuk di luar Pulau Jawa sesuai Surat Edaran
No HK.02.02/I/4611/2020. Meskipun untuk Pemeriksanaan RT-PCR dalam Surat Edaran No
HK.02.02/3713/2020 telah ditetapkan batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR adalah
Rp900.000,- namun pada Tanggal 16 Agustus 2021, dalam Surat Edaran No
HK.02.02/I/2845/2021, batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR di Pulau Jawa dan
Bali diperbaharui menjadi sebesar Rp495.000,- sedangkan di luar Pulau Jawa dan Bali sebesar
Rp525.000,- (covid19.go.id)

Tabel 1. Perbandingan Harga Pemeriksaan PCR dari Waktu ke Waktu


Nama Sebelum Diterapkan Setelah Diterapkan Setelah Diterapkan
Rumah Batasan Tarif Tertinggi Batasan Tarif Tertinggi Batasan Tarif Tertinggi 2
Sakit 1
Rumah
Sakit
Pondo
k Indah
Group

Rumah
Sakit
Siloam

Sumber: rspondokindah.co.id, facebook: siloamhospitalsgroup, dan siloamhospitals.com

Pemecahan Masalah:
Untuk memberikan kenyamanan yaitu berupa keterjangkauan harga bagi penggunaan
jasa Pemeriksanaan Covid-19 dan keberlanjutan bagi penyedia jasa pemeriksaan tersebut,
sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi harga secara berkala. Pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan pada
Tanggal 16 Agustus 2021, untuk pemeriksaan RT PCR telah mengalami evaluasi dari
sebelumnya Rp900.000,- menjadi Rp495.000,- untuk pulau Jawa dan Bali, serta Rp525.000,-
untuk luar Pulau Jawa dan Bali, atau turun mencapai 45% dari harga sebelumnya. Harga
tersebut saat ini menjadi harga termurah kedua di ASEAN setelah Negara Vietnam. Adapun
daftar harga Test PCR di beberapa negara di ASEAN yaitu Rp1.300.000,- sampai dengan
Rp2.800.000,- di Thailand, Rp1.600.000,- di Singapura, Rp437.000,- sampai dengan Rp.
1.500.000,- di Filipina, Rp510.000,- di Malaysia, dan Rp460.000,- di Vietnam
(https://sehatnegeriku.kemkes.go.id). Dalam penerapan kebijakan tersebut, pemerintah
melalui dinas-dinas terkait perlu melakukan pengawasan hingga penegakkan hukum sehingga
harga tes PCR sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Saat ini Indonesia belum mampu memproduksi tes PCR secara besar di dalam negeri
karena teknologi PCR Indonesia yang telah diproduksi dalam negeri dilakukan dalam skala
kecil. Selain itu, jumlah pabrik dan laboratorium juga relatif masih terbatas, sehingga
persaingan pasar khususnya dalam pembentukan harga Pemeriksanaan Covid-19 relatif
mahal dan tergantung pada ketersediaan bahan baku dari impor yang dinilai beberapa
penyedia jasa relatif lebih murah bila dibandingkan diproduksi dalam negeri dalam skala kecil.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah sebaiknya tidak hanya mendorong penyedia jasa untuk
menyesuaikan harga batas tertinggi, tetapi juga pada waktu mendatang harus mampu
mewajibkan penyedia jasa untuk menggunakan teknologi terbaru untuk meningkatkan
efisiensi biaya pemeriksanaan serta kewajiban penggunaan teknologi dengan Tingkat
Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan batas jumlah tertentu. Sebagai contoh dalam
penerapan, teknologi mesin PCR dengan kapasitas besar dan otomatis seperti yang dimiliki
laboratorium kesehatan di Daerah Jawa Barat dan di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
yang dibeli saat awal pandemi. Penggunaan kapasitas pengolahaan yang relatif besar dan
otomatis mampu menurunkan processing cost. Penurunan biaya juga dapat dilakukan dengan
penambahan TKDN, yaitu melalui penggunaan reagen yang sebagian besar dapat diproduksi
oleh industri dalam negeri. Hal tersebut terbukti dengan semakin bervariasinya harga reagen
yaitu dari harga Rp180.000,- hingga Rp375.000,- per paket sehingga menciptakan persaingan
pembentukan harga pemeriksaan Covid-19 dan menjadi peluang di waktu yang akan datang
untuk harga pemeriksaan yang akan relatif semakin murah (https://www.idxchannel.com/).
Pada awal pandemi Covid-19 relatif banyak bantuan kesehatan yang masuk ke
Indonesia diantaranya yaitu mesin PCR (https://www.beritasatu.com/). Pada saat ini
peralatan tersebut tentunya dikelola oleh pemerintah baik oleh Kementerian Kesehatan
maupun kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena itu, potensi biaya
pemeriksanaan Covid-19 memiliki peluang untuk direduksi, tidak hanya karena peralatan
relatif banyak tersedia dari bantuan luar negeri, tetapi juga karena pengoperasian dilakukan
oleh pemerintah atau BUMN. Beberapa kendala lainya dalam memantau kebenaran hasil
pemeriksaan Covid-19 dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pendaftaran rumah sakit
atau klinik yang dinilai memiliki kredibilitas hasil pemeriksaan, sehingga pemerintah akan
lebih mudah dalam melakukan pelacakan hasil dan penerapan biaya di setiap rumah sakit
atau klinik. Upaya mempermudah pelacakan tersebut dapat dilakukan dengan sistem online,
dimana sebagai contoh syarat untuk penumpang pesawat sebelum penerbangan dapat
langsung terpantau dari aplikasi secara end-to-end yaitu dari rumah sakit kepada pihak
bandara untuk meminimalkan kecurangan baik dari petugas pemeriksaan Covid-19 maupun
surat keterangan palsu yang dimiliki oleh penumpang.
Selain itu, pemerintah sebaiknya dapat secara langsung memantau penerapan tarif
pemeriksanaan Covid-19 dengan adanya sistem pendaftaran mitra rumah sakit dan klinik,
serta dapat segera melakukan penegakan hukum bila terjadi pelanggaran, karena identitas
setiap pihak, baik pemberi maupun penyedia jasa, terekam dengan baik melalui sisten
digitalisasi.
Penerapan digitalisasi dapat membantu pemerintah dalam pelaksanaan program 3T,
yaitu tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) dengan kondisi sebaran masyarakat di Indonesia pada
wilayah yang relatif sangat luas. Penyelesaian kendala lainya secara khusus bagi masyarakat
relatif kurang mampu secara ekonomi yaitu dengan memberikan akses subsidi untuk
melakukan pemeriksaan (Covid-19 https://www.cnnindonesia.com/). Melalui sistem
digitalisasi, pemerintah dapat memantau masyarakat yang membutuhkan bantuan
pemeriksaan Covid-19 dengan relatif lebih cepat dan murah, karena saat ini secara nyata
relatif banyak masyarakat terpapar Covid-19 tidak melakukan pemeriksaan Covid-19 karena
biaya yang relatif mahal. Adanya pemantauan secara digital diharapkan tidak hanya untuk
pelacakan pergerakan masyarakat terhadap penyebaran Covid-19 tetapi juga pelacakan bagi
masyarakat yang membutuhkan subsidi pemeriksaan Covid-19. Hal tersebut diharapkan
mampu membantu program pemerintah khusunya dalam hal penelusuran (tracing), sehingga
pemerintah dapat menurunkan tingkat penyebaran Covid-19 dan secara tidak langsung
memberikan efek berganda pada pemulihan kembali beberapa sektor aktivitas ekonomi
masyarkat secara khusus yang secara signifikan paling terdampak yaitu industri pariwisata
dan industri transportasi.

Anda mungkin juga menyukai