Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326571286

ETOS KERJA ISLAMI 1

Article · July 2018

CITATION READS

1 7,599

4 authors, including:

Nur Kholis Kholis Mo Sh


Universitas Islam Indonesia Military Technical College
28 PUBLICATIONS 92 CITATIONS 7 PUBLICATIONS 32 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Nur Kholis Kholis on 24 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ETOS KERJA ISLAMI1
Nur Kholis, S.Ag, M.Sh.Ec
ABSTRACT
This paper is about the concept of Islamic work ethos elaborated from
Al-Quran and al-Sunnah. The concept of work ethos in Islamic economic
perspective discovered by applying tafsir maudlu’i as a method of analysies.
The paper found that the foundations of Islamic work ethos divided
into three responsibilities, namely (a) responsibility to Allah SWT, (b)
responsibility to himself, and responsibility to others. All of the
responsibilities explained in this paper entirely. Every muslim must work
guided by the Islamic work ethos.

Keywords: etos kerja islami, tafsir maudhu’i


A. Pendahuluan
Suatu fakta yang lazim didapati dalam kehidupan duniawi yaitu bahwa
masalah pemenuhan kebutuhan material sering menjadi faktor yang dominan dalam
kehidupan manusia yang bahkan kadang-kadang menempati prioritas utama dalam
kehidupan. Hampir dapat dipastikan bahwa pemilikan yang menonjol terhadap
kekayaan material, di samping faktor fungsi, kharisma, keturunan, selalu membawa
pemiliknya kepada penerimaan status sosial tertentu.2
Dengan demikian, tidak mengherankan jika sejarah kehidupan manusia
selalu diwarnai oleh persaingan yang ketat dalam lingkup persoalan ini. Setiap
manusia berjuang untuk mempertahankan hidup dan juga untuk mendapatkan
kekayaan material. Manusia selalu mempunyai keinginan untuk memenuhi
kebutuhan materialnya, bahkan kalau bisa lebih dari sekedar cukup.
Kecenderungan untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan material
adalah “bawaan naluriah” dan bagian dari sisi emosi manusia. Dalam hubungan ini,

1
Paper ini dimuat dalam Journal Mukaddimah (accredited), Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY, No. 22,
Th. XIII, 2007.

Penulis adalah Dosen Tetap Universitas Islam Indonesia, Prodi Ekonomi Islam, Fakultas Ilmu Agama
Islam UII Yogyakarta. Ia menyelesaikan program pascasarjana (S2) di Department of Syariah Economic,
University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Pada 17-19 April 2007 telah mempresentasikan
papernya dalam “The First International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development:
Enhancing Islamic Financial Services for Micro and Medium Sized Enterprises”, di The Empire Hotel
and Country Club, Brunei Darussalam. Pada 3-5 April 2006 juga telah mempresentasikan papernya dalam
International Colloquium “INCEIF ISLAMIC BANKING AND FINANCE EDUCATIONAL
COLLOQUIUM 2006, Creating Sustainable Development of Human Capital and Knowledge in Islamic
Finance Through Education, di Kuala Lumpur Convention Center, Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini
diamanahi untuk menjadi ketua program studi ekonomi Islam FIAI UII.
2
Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, (New York: Columbia University Press, 1958), h.
129-134.

1
Max Weber memperlihatkan suatu sikap tentang perilaku manusia untuk memenuhi
kebutuhan materialnya dengan konsep “semangat kapitalisme”, kata lain untuk
menunjukkan manusia sebagai “homo economicus”.3
Selain sebagai “homo economicus”, pada hakikatnya manusia juga disebut
sebagai homo religius.4 Penyebutan manusia sebagai hewan berpikir, atau hewan
yang memenuhi ekonominya serta hewan yang beragama pada akhirnya dapat
dilekatkan dengan pola dan karakter tiap-tiap manusia.
Manusia dengan segala petensi yang dimilikinya, merupakan subjek dari
maju mundurnya sebuah peradaban. Di samping manusia menjadi subjek, ia bahkan
menjadi pemilik sah dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang.
Sebagai homo economicus, manusia berusaha memenuhi kebutuhan ekonomi, entah
makanan atau harta untuk dirinya sendiri, keturunannya atau untuk orang lain.

Dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dan membangun peradaban itu,


manusia Indonesia dinilai memiliki daya saing Indonesia yang lemah dibanding
negara-negara lain. Berdasarkan acuan sembilan pilar yakni 1) institusi publik baik
dari pemerintah maupun swasta, 2) infrastruktur, 3) ekonomi makro, 4) kondisi
pendidikan dan kesehatan.5) pendidikan tinggi, 6) efisiensi pasar, 7) penguasaan
teknologi, 8) jaringan bisnis, dan 9) inovasi, telah disusun daya saing bangsa oleh
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing Global
(Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2006-2007. Dalam laporan itu,
posisi Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 125 negara. Ini menunjukkan
bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah. Di antara lima negara-
negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat
ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Namun peringkat Indonesia masih
lebih baik dibanding dengan Filipina (ke-71).5

3
H.H. Gerth and C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, translated and edited by H. H.
Gerth and C. W. Mills, (New York: Oxford University Press, 1967), h. 3-31. Lihat juga Syamsuddin
Abdullah, “Max Weber, Hidupnya, Karya-karyanya dan Sumbangannya”, (Yogyakarta: Percet. UII,
1979), h. 32-51; Gordon Marshall, In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s
Protestan Ethic, (New York: Columbia University Press, 1982), h. 23.
4
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 86; Toshihiko Izutsu,
Konsep-konsep Etika Religius dalam AI-Al-Quran, (Terj.) Agus FH, dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993), h. ix.
5
Harian Umum REPUBLIKA, Senin, 05 Maret 2007.

2
Perilaku ekonomi termasuk di dalamnya etos kerja dan daya saing,
dinyatakan berkaitan dengan ajaran agama tertentu. Dalam tesisnya tentang “Etika
Protestan” (Protestant Ethic) dan hubungannya dengan “semangat kapitalisme”,
Max Weber mengatakan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku
ekonomi, yakni keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan yang terjadi pada pranata-pranata yang membentuk masyarakat.6 Dengan
suatu fakta statistik, ia menjelaskan fenomena di dunia Eropa modern. Ia
menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin perusahaan dan para pemilik modal, atau
mereka yang tergolong sebagai buruh terampil (ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi
karyawan-karyawan perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis
dan niaga, kebanyakan memeluk agama Protestan.7
Dengan demikian, perkembangan di bidang ekonomi, terutama dengan
munculnya semangat kapitalisme modem di dunia Barat, telah dipandang sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri. Menurut Weber, kapitalisme modern timbul sebagai
hasil kumulatif kekuatan sosial, politik dan ekonomi, serta agama yang berakar jauh
di dalam sejarah Eropa. Akan tetapi sejak masa reformasi sampai kira-kira abad ke-
18, pengaruh dari agama sangat menentukan. Weber telah menempatkan agama -
khususnya agama Protestan -sebagai aktor determinan. Agama merupakan faktor
yang berdiri sendiri dan berpengaruh. Inilah pendapatnya yang membedakan Weber
dan Marx yang menempatkan agama pada posisi nomor dua dan dependen.8
Dari paparan di atas, tampak alur tesis Weber tentang agama Protestan.
Weber berkeinginan keras untuk mempertanyakan, atau mungkin lebih dari itu,
mencari hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku. Weber
setidak-tidaknya telah mengarahkan pada suatu model pemikiran atau pendekatan,
yakni faktor struktural dan pola-pola pemikiran (ide dan nilai) harus dianalisis
secara bersamaan dengan cermat. Antara perilaku perilaku agamis dan perilaku-
perilaku ekonomi harus dipahami dengan sebaik-baiknya.

6
Abdullah, Taufik (ed), “Tesis Weber dan Islam di Indonesia dalam Agama”, dalam Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi, cet. IV (Jakarta LP3ES, 1988), h. 4
7
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons, (New
York: Charles Scribners, 1958), h. 35.
8
Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, diterjemah oleh GA
Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press), h. 7.

3
Islam sebagai agama dan ideologi memang mendorong pada umatnya untuk
bekerja keras, tidak melupakan kerja setelah beribadah,9 dan, hendaknya kamu takut
pada generasi setelah yang ditinggal dalam kesusahan iman dan ekonomi.10 Hadis
Nabi juga menyatakan pentingnya generasi (umat) yang kuat ketimbang yang lemah
dan tidak boleh menggantungkan diri pada orang lain (HR Turmudzi), serta
beberapa ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk menjalankan kegiatan atau
aktivitas ekonominya secara baik, profesional, sistematis, dan kontinyuitas.
Misalnya, ajaran Islam yang telah menempatkan kegiatan usaha perdagangan
sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat dianjurkan,11 dengan
menggunakan cara-cara yang halal. Islam juga menempatkan prinsip kebebasan
pada tempat yang sentralnya guna mengejar tujuan keduniawian, namun serta merta
juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis
besar telah disuratkan dan disiratkan dalam al-Quran dan al-Hadis. Dari norma
tersebut tampak bagian dan rangkaian sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk
bekerja keras.
Mencermati usaha pembangunan nasional Indonesia, tampak dengan jelas
suatu cara dalam menilai peranan agama di dalamnya. Bahwa hakikat pembangunan
itu bukan semata-mata bersifat fisik, melainkan dinamika dan gerak majunya suatu
sistem sosial dalam keseluruhan. Dalam konsepsi pembangunan semacam ini
manusia dan motivasinya dalam bertindak di masyarakat dan dengan sendirinya
juga agama sebagai motivasi sosial, mengambil suatu tempat yang sangat penting.12
Agama tidak cukup dilihat sebagai fenomena historis semata-mata, tidak cukup
potensi dinamika sosialnya saja yang dilihat dari luar, karena itu perlu dilihat dan
diselami dari dalam (ajarannya). Besarnya peranan agama dalam pembangunan,
memerlukan penelitian kehidupan beragama di Indonesia secara lebih seksama,
mengingat kehidupan beragama merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Keberhasilan kerja seseorang di antaranya ditentukan oleh adanya etos kerja
yang tinggi dan berakar dalam dirinya. Dengan cara memahami dan meyakini
ajaran-ajaran agama yang berhubungan dengan penilaian ajaran agama tersebut
terhadap kerja, akan menumbuhkan suatu etos kerja pada diri seseorang. Pada
9
QS Al-Jumuah: 10
10
QS An-Nisa: 9.
11
QS An-Nisa: 29.
12
Soejatmoko, “Iman, Amal dan Pembangunan” dalam Sen Prisma, Agama dan Tantangan zaman
(Jakarta: LP3ES, 1985), h. 4.

4
perkembangan selanjutnya etos kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan
kerjanya. Persoalannya bagaimana konsep etos kerja dalam Islam yang digali dari
al-Quran dan al-Hadis.
Berdasar latar belakang tersebut di atas, penulis merumuskan pokok persoalan
yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana konsep etos kerja Islami? Dengan
demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan konsep etos kerja Islami secara
komprehensif yang digali dari nash al-Quran dan al-Hadis yang didukung penjelasan-
penjelasan dengan menggunakan ilmu bantu yang relevan dengan tema etos kerja.
Oleh karena itu data dan informasi yang digali dari berbagai sumber di perpustakaan
kemudian dianalisis dengan metode tematik (tafsir maudu‘i) yang dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menghimpun ayat-ayat al-Al-Quran yang relevan dengan tema.
b. Menyusun secara sistematis menurut kerangka pembahasan yang telah
disusun.
c. Memberikan uraian dan penjelasan dengan menggunakan ilmu bantu yang
relevan dengan tema yang dibahas, dengan memahami sebab turunnya dan
munasabat ayat selama tidak mempengaruhi pengertian yang ditonjolkan,
dibantu dengan pejelasan dari al-Hadis.
d. Melahirkan konsep yang utuh dari al-Al-Quran tentang etos kerja.13

B. Makna dan Hakikat Etos Kerja


Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak, karakter. 14 Toto
Tasmara memaknai ethos dengan sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta
persepsi terhadap nilai bekerja.15 John M. Echols dan Hasan Shadily memaknai
ethos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, atau kepercayaan dan seterusnya yang
bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok orang atau manusia.16
Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu: (1) suatu aturan

13
Shihab, Quraish, Membumikan al-Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hl. 114-115. Lihat pula Mustofa
Muslim, Mabahis fi al-Tafsir al-Maudlu’i, (Damaskus: Daar al-Qalam, 1989), h. 114-115.
14
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. (London: Oxford University
Press, 1974), h. 292.
15
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 25.
16
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 109.

5
umum atau cara hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku, (3) penyelidikan tentang jalan
hidup dan seperanngkat aturan tingkah laku.17
Dari kata ethos, terbentuklah kata ethic yaitu pedoman, moral dan perilaku,
atau dikenal pula etiket yaitu cara bersopan santun. Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).18
Menurut Verkyuil, perkataan etika berasal dari perkataan ethos sehingga muncul
kata-kata etika. Perkataan ethos dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin
atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan.19 Sedangkan menurut
James J. Spillane SJ, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku
manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau
menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk
menentuka kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang
lain.20
Menurut Hamzah Ya’kub, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik
dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuiatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran.21 Menurut Herman Soewardi, etika dapat
dijelaskan dengan membedakan dengan tiga arti, yaitu (1) ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) (2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (3) nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.22 Etika dalam tulisan ini
lebih menekankan pada makna kedua.
Pembicaraan tentang etika selalu berkaitan dengan agama, karena etika
merupakan salah satu sumber etika yang diakui manusia secara universal. Tidak ada
agama yang menempatkan etika pada posisi marginal yang tidak mengikat. Etika
selalu menjadi inti ajaran yang harus diikuti dan diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.23

17
Musa Asy’ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Lesfi dan IL, 1997),
h. 34.
18
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 278.
19
Rudolf Pasaribu, Teori Etika Praktis, (Medan: Pieter, 1988), h. 2.
20
Budi Susanto, dkk, Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 42;
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h. 82.
21
Hamzah Ya’kub, Etika Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1983), h. 13.
22
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Dedikbud, 1988), h. 7
23
Imran Ganang, “Menggugah Proesionalitas dan Etika Bisnis”, dalam Manajemen, Mei, 1994, h. 4.

6
Kerja adalah segala kegiatan ekonomis yang dimaksudkan untuk
memperoleh upah, baik berupa kerja fisik material atau kerja intelektual.24
Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah segala aktifitas dinamis dan
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di
dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk
mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian dirinya kepada Allah
SWT.25 Sedangkan kerja keras berarti bekerja dengan segala penuh kesungguhan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Menurut Toto Tasmara, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan
sebagai kerja karena di dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya
secara nalar, yaitu:
1. Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu
sehingga timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya
atau produk yang berkualitas.
2. Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu yang
direncanakan.26
Bekerja sebagai aktivitas dinamis mengandung pengertian bahwa seluruh
kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim harus penuh dengan tantangan, tidak
monoton, dan selalu berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mencari terobosan-
terobosan baru dan tidak pernah puas dalam berbuat kebaikan.27
Istilah yang paling dekat pengertiannya dengan kerja keras adalah jihad,
yang artinya berjuang di jalan Allah. Asal katanya jahada artinya bersungguh-
sungguh. Sehingga jihad dalam kaitannya dengan kerja berarti: usaha yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil optimal.
Islam memandang bekerja secara halal juga merupakan jihad, sebagaimana
hadits Rasulullah yang artinya: Mencari yang halal bagian dari jihad (HR Turmuzi).
Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting. Hal ini di antaranya
terdapat dalam An-Nisa’: 95. Dan Al Qur’an memandang orang yang bekerja keras
berarti sedang meniti jalan untuk menemui Tuhannya (Al Insyiqaq: 6).

24
Mubarak Muhammad, Al-Iqtishad: Mabadi wa Qawa'id ‘Ammah, (TTP: TP, 1997), h. 35.
25
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja yang Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 27.
26
Ibid.,h. 24-25.
27
Musa Asy’ari, (1997), op.cit.,h. 25.

7
Apabila etos ini dihubungkan dengan kerja, maknanya menjadi lebih khas.
Etos kerja adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata dengan arti yang
menyatu. Makna khas itu adalah bahwa eos kerja merupakan concern pragmatis. Ia
membentuk perilaku individual dan social masyarakat. Dapat pula bermkana
semangat kerja yang menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.28
Selain itu juga sering diartikan sebagai setiap kegiatan manusia yang dengan sengaja
diarahkan pada suatu tujun tertentu. Tujuan itu adalah kekayaan manusia itu sendiri,
entah itunjasmani atau rohani atau pertahan terhadap kekayaan yang telah diperoleh.
Dengan demikian etos kerja merupakan sikap atau pandangan manusia terhadap
kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-nilai
itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta peraturan
perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.
Dengan kata lain, etos kerja dapat juga berupa gerakan penilaian dan
mempunyai gerak evaluatif pada tiap-tiap individu dan kelompok. Dengan evaluasi
itu akan tercipta gerak grafik mennajak dan meningkat dalam waktu-waktu
berikutnya. Ia juga bermakna cermin atau bahan pertimbangan yang dapat dijadikan
pegangan bagi seseorang untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil
kemudian.29 Ringkasnya, etos kerja adalah double standar of life yaitu sebagai daya
dorong di satu sisi, dan daya nilai pada setiap indiividu atau kelompok pada sisi
yang lain. Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti sikap atau pandangan atau
semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang agama yang dianutnya.

C. Konsep Etos Kerja Islami


Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya merupakan agama yang
memiliki ajaran yang bersifat universal, abadi, dan sesuai untuk segala zaman dan
tempat. Islam juga adalah agama yang mengatur dan memberikan petunjuk dalam
tatanan hidup manusia dengan sempurna,30 tidak terkecuali masalah-masalah
bekerja yang erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Ekonomi dalam ajaran Islam bagaimanapun pentingnya tidak lebih hanya
merupakan satu bagian dari keseluruhan aspek kehidupan manusia, sekalipun

28
Depdikbud, 1988, op.cit., h. 272.
29
Taufik Abdullah, 1988, op.cit., h. 3.
30
Q.S Ali Imran: 3

8
memang diakui sebagai bagian pokok dan amat berpengaruh. Namun demikian,
ekonomi bukan satu-satunya unsur yang ada dalam kehidupan manusia di dunia.31
Satu hal yang fundamental dalam ajaran Islam yang berbeda dengan ajaran lain
adalah bahwa kegiatan ekonomi seperti juga kegiatan lainnya hanya sebagai sarana
untuk mencapai kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat32 dan eksistensi
manusia akan memiliki makna jika keseluruhan aktivitas hidupnya didedikasikan
kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT yaitu:

‫من عمل صالحا من ذكر اوانثى وهو مؤمن فلنحيينه حيوة طيبة ولنجزينهم اجرهم‬
)79 : ‫(النحل‬ ‫باحسن ماكانوا يعملون‬
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS An-Nahl:
97).
Dalam ayat-ayat al-Quran terdapat ayat-ayat yang mengemukakan tentang nilai-
nilai dan etika yang merupakan pedoman etos kerja dalam Islam. Di antara kandungan
ayat-ayat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
NILAI DAN ETIKA AYAT & SURAT
A. NILAI-NILAI PRIBADI
(AKHLAQ SYAKHSYIYYAH)
1. Jalan yang lurus 1:6, 10:105, 11:112, 2:103, 33:60, 61:10-
11
2. Beriman, bertaqwa dan tawakkal 3:120, 3:125, 3:130, 5:2, 64:16, 20:132,
20:132, 20:135, 23:3, 58:10
3. Bercakap benar 2:10, 3:17, 45:7, 58:14, 70:33, 92:9, 96:16
4. Tiada dengki dan khianat 2:10, 3:19, 3:161, 8:27, 16:92, 16:94, 59:10
5. Ikhlas 2:264, 74:6
6. Sabar 2:45, 2:153, 2:155-156, 90:17, 3:17, 3:120,
8:65-66, 20:114, 22:35
7. Selalu bersyukur 2:172, 39:49, 57:23, 108:2

31
Muhammad Qutb, Jahiliyah Masa Kini, (terj.) (Bandung: Pustaka Bandung, 1985), h. 18.
32
Q.S. al-Qasas: 27

9
8. Hemat, cermat dan tidak boros 17:26-27, 25:67
9. Murah hati atau tidak bakhil 2:195, 2:268, 3:180, 25:67, 57:24, 59:9
10. Jujur pada diri sendiri dan orang lain 2:9, 10:44, 10:54, 19:54
11. Pemaaf 2:263, 3:134, 45:14,
12. Yakin 2:10, 68:10, 72:6, 102:5
13. Adil 2:282, 4:58, 4:135, 5:8, 70:33, 6:152, 16:90
14. Tawadhu’ 2:212, 2:263, 4:5, 2:264, 107:6, 4:142,
7:206, 8:47, 15:88
15. Amanah 4:58, 23:8, 70:32
16. Berpengatahuan/berilmu 4:162, 17:36, 61:3&5
17. Sederhana 7:31, 17:110, 25:6, 55:8
18. Waspada dan berhati-hati 7:205, 9:69, 11:112, 8:22, 103:2, 17:11,
19:39, 21:1, 21:3, 103:3
19. Terus meningkatkan kualitas diri 2:160, 9:112, 2:186, 2:195, 17:29
20. Bersegera dalam melakukan kerja 18:23
21. Menjaga kehormatan diri 23:5, 33:35, 70:29
22. Tidak tamak dan loba 89:20, 100:8
23. Bersih 91:9-10
B. MENGURUS HARTA
1. Sumber harta yang halal 2:168, 2:172, 2:188, 3:75, 4:29, 4:161,
5:42, 5:42, 5:62, 9:34, 20:81
2. Membelanjakan harta untuk kebaikan, 2:195, 3:17, 4:95, 58:13, 74:6, 9:34, 2:83,
berzakat, dan bersedekah 2:110, 2:177, 98:5, 2:261, 2:267-272,
89:18, 3:92, 3:134, 64:16, 8:3
3. Wasiat harta 2:180
4. Harta anak yatim 4:2, 17:34
5. Berusaha mencari rezeki 4:32, 17:29, 28:77, 29:62, 30:23
6. Harta merupakan perhiasan hidup, 18:24, 18:32-42, 64:15, 111:2, 29:64, 36:9,
tidak boleh menjadi tujuan 57:20
7. Tidak menggunakan harta untuk hal- 31:6, 104:1-4
hal yang tidak bermanfaat
C. MENJALANKAN PERNIAGAAN
1. Fokus 2:45, 73:6
2. Tidak memberi suap 2:188
3. Tidak melakukan riba 2:275-276, 3:130, 4:161

10
4. Tepat dalam menimbang dan menakar 6:152, 17:35, 26:181-182, 55:9, 83:1-3
5. Menuliskan transaksi, terutama 2:282
transaksi hutang
6. Memenuhi janji 2:83, 2:177, 3:76-77, 23:8, 5:1, 16:91-94
7. Tidak ambil keuntungan 3:130
berlipatganda
8. Tidak memfitnah 8:73, 33:60
9. Ada saksi dalam perjanjian 2:282-283
10. Mampu membuat skala prioritas 8:7, 62:9-11
11. Melayani customer dengan baik 12:59
12. Memanaj waktu 10:67, 17:12, 27:86, 30:23
13. Cermat dalam buat keputusan 49:6

C. INTERAKSI DENGAN
MASYARAKAT
1. Sikap toleran terhadap penghutang 2:280
2. Hormat menghormati 4:86, 17: 28, 24:28, 49:11, 58:11
3. Jangan dendam 5:2, 5:8
4. Tidak bersumpah palsu 5:44, 16:95
5. Saling membantu 8:73, 61:4, 68:25-29
6. Berkata baik 17:53, 31:18, 93:10
7. Bermusyawarah 42:38
8. Tidak merugikan orang lain 26:183
9. Tidak berburuk sangka 49:12
10. Menyantuni anak yatim 89:17, 93:9, 107:2
11. Saling menasehati 90:17
Sumber: Wan Sabri Wan Hussin (2003:5-87) dengan berbagai modifikasi dari penulis
Berdasarkan paparan tabel tersebut di atas, etos kerja dalam Islam dapat
diuraikan secara ringkasnya sebagai berikut:
Dalam bekerja, seorang individu akan dihadapkan pada tiga tanggung jawab, yaitu,
tanggung jawab terhadap Tuhannya (Allah SWT), tanggung jawab terhadap diri sendiri,
dan tanggung jawab terhadap orang lain. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab
terhadap Allah, dapat diperincikan sebagai berikut:
1. Iman sebagai landasan bekerja

11
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan kata lain, poros dari kerja adalah
tauhid. Hal ini didorong oleh firman Allah:

‫قل كل يعمل على شا كلته فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيال‬

Dalam ayat ini terkandung perintah (amar) yang berarti bahwa hal itu
hukumnya wajib dilaksanakan. Ini artinya siapa pun mereka yang secara pasif
berdiam diri, tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah
Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut sedang menggali kubur
kanistaan bagi dirinya sendiri. Iman kepada Allah mendasari setiap aktivitas kerja
seseorang.

Mengingat Allah melalui shalat, dengan menghentikan kegiatan bekerja


bahkan di tengah-tengah kesibukan kita seperti diisyaratkan oleh ayat tersebut,
mengandung rahasia tertentu.33 Salah satu manfaatnya adalah menenangkan pikiran
dan memberi kesempatan kepada seseorang untuk mampu mengendalikan diri, dari
mabuk kerja (workaholic) yang mungkin dialami seseorang. Bahkan dengan
ketenangan dan perenungan nilai-nilai yang luhur bisa terjadi proses penjernihan
pikiran, kreativitas dan gagasan inovatif.34
Dalam tekanan pekerjaan sehari-hari, pikiran seseorang seringkali terhanyut
dan terdesak untuk menyelesaikan berbagai tugas yang datang silih berganti, dan pada
saat bersamaan memikirkan langkah-langkah lain yang juga harus segera diatasi satu
persatu. Hal ini membuat seseorang tampak bodoh dan serba salah. Ia tampak panik
dan tertekan dengan berbagai tuntutan pekerjaan.
Pada saat-saat semacam itulah seseorang sangat membutuhkan relaksasi,
mengistirahatkan pikirannya sejenak untuk mencerdaskan kembali pikirannya dan
memulihkan kecerdasannya untuk mendapatkan prestasi puncak. Relaksasi tersebut
dilakukan dengan melaksanakan shalat sebagai sarana untuk mengingat Allah dan
mendengar lagi suara-suara hati yang acapkali memberikan bisikan-bisikan ilahiyah
sehingga kita akan menjadi bergairah dan peka kembali.35

33
Lihat uraian dan gambaran yang lebih lengkap dan panjang lebar dalam Ary Ginanjar Agustian,
Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, (Jakarta: Penerbit Arga, 2001) dan
juga Moh. Sholeh, Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran, (Yogyakarta: HIMANDA
dan Pustaka Pelajar, 2001).
34
M. Dawam Rahardjo, 1996, op.cit., h. 589.
35
Ary Ginanjar Agustian, 2001, op.cit., h. 194-195.

12
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti email, fax, telepon,
seluler, surat, telex, dan sebagainya membuat orang selalu merasa terdesak dan
urgent. Kadang pada saat yang bersamaan ketika seseorang sedang sibuk bekerja,
tiba-tiba telepon berdering, dan sekaligus fax masuk, pada saat itu juga ia harus
mengalihkan pikirannya. Setelah selesai ia harus mengembalikan konsentrasinya pada
pekerjaannya semula. Ini akan seperti ombak lautan yang terus menerus
menghantamdirinya secara berkesinambungan dan tiada henti. Jika hal ini terus
berkelanjutan terjadi tanpa pemecahan, maka akibatnya ia akan mengalami depresi,
dan ia akan tampak bodoh bahkan secara jangka panjang kecerdasan otaknya akan
menurun, bukan hanya kecerdasan emosinya saja yang terganggu. Kondisi stress
tersebut ditambah lagi dengan masalah-masalah pribadinya di rumah seperti anak
yang sedang saki, uang belanja yang sudah hampir habis padahal baru pertengahan
bulan, tagihan telepon dan listrik yang belum terbayar, dan ditambah teguran atasan
karena ia berbuat kesalah di kantor. Ini semua akan menjadikan semakin stressnya
orang tersebut.
Padahal menurut pendapat para ahli yang dikutip Ary Ginanjar, “Dalam
hubungan anatomi antara otak dan tubuh yang baru ditemukan, yang menghubungkan
keadaan mental kita dengan kesehatan fisik, pusat-pusat emosi memainkan peran yang
penting, terutama melalui jaringan penghubung yang sangat kompleks baik ke sistem
kekebalan tubuh maupun sistem kardiovaskuler. Hubungan biologis ini menjelaskan
mengapa perasaan-perasaan yang menekan, __sedih, frustasi, marah, tegang, cemas
berlebihan__ melipatgandakan resiko penyakit jantung sampai ke tingkat yang
membahayakan selama ia mengidap perasaan-perasaan tersebut.36
Ary mengutip dari Cooper dan A. Sawaf (1998: 31) bahwa saat kelelahan dan
ketegangan otot meningkat, tidak sedikit manusia yang kemudian terjebak dalam
suasana hati yang tidak menyenangkan, sehingga kehilangan semangat dan keuletan.
Masalah kecil terasa menjadi hambatan besar, penundaan semenit serasa satu jam,
komentar main-main terasa sebagai celaan yang menyakitkan hati. Reaksi-reaksi itu
menyebabkan hilangnya kewaspadaan. Hilangnya kewaspadaan, secara otomatis akan
mempengaruhi kemampuan untuk memperhatikan apapun atau siapapun secara teliti
dan sungguh-sungguh. Ini menyebabkan turunnya kecerdasan intelektual maupun

36
Ibid.

13
kecerdasan emosi dan dapat mengganggu hubungan dengan orang lain walaupun
orang tersebut tidak bermaksud demikian.
Itu semua membuktikan bahwa bekerja yang dilandasi keimanan yang
diimplementasikan dengan mengamalkan tuntutan keimanan, misalnya berupa shalat,
dapat meningkatkan produktivitas dan optimalisasi kerja. Hal ini karena shalat akan
berfungsi laksana wahana relaksasi yang menurut berbagai teori yang dikemukakan
para pakar tersebut di atas, dapat mengembalikan vitalitas dan kecerdasan intelektual
maupun emosional seseorang.
Motivasi kerja dan optimisme untuk mencari rezeki bisa pula timbul bila
mengingat firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Mulk: 15 yang artinya: “Dialah
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjuru dan
carilah sebagian rezekinya”.37
Keimanan yang mendasari keyakinan bahwa Tuhan menciptakan bumi dan
seisinya yang secara mudah diperuntukkan manusia, dan Tuhan telah menyiapkan di
segala penjuru bumi itu rezeki bagi manusia yang mau berusaha dengan gigih untuk
meraihnya, maka menjadikan manusia tidak mudah putus asa bila tidak berhasil dalam
usahanya, karena yakin Tuhan masih menyediakan rezeki yang lain untuknya.
Sebaliknya bila berhasil ia tidak mudah sombong karena keberhasilan itu bukan
semata-mata disebabkan usahanya sendiri melainkan ada campur tangan Tuhan yang
telah menyiapkan bumi untuk diri manusia.
Landasan keimanan juga menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi
terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya
rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan
ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi melampaui
batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan cenderung melampaui
batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah melapangkan rezeki-rezeki
kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi,
Padahal Allah mengatur apa yang dikehendakinya dengan ukuran-ukuran”.38 Oleh
sebab itu, manusia harus bisa mengendalikan dirinya, antara lain dengan cara

37
QS. Al-Mulk: 15.
38
QS As-Syuro: 27.

14
bersyukur yang berarti menyadari karunia Allah yang murah itu sehingga ia mampu
bertindak rasional.39
2. Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang
diperolehnya,40 bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan nikmat
kehidupan.41 Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihan-kelebihan
yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan dari Allah yang diberikan
kepadanya.42 Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia diperintahkan untuk
menunaikan shalat dan berkorban.43 Dari perspektif psikologis, perasaan bersyukur
akan memberi kepuasan pada diri sendiri, selanjutnya akan menghilangkan rasa resah
jika memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Islam juga mengajarkan agar manusia
melihat ke bawah yaitu mereka yang kurang bernasib baik supaya jiwa mereka
tenang. Pengaruh kejiwaan terbesar yang muncul dari rasa bersyukur adalah
ketenangan jiwa yang tidak bisa dibeli atau dinilai dengan uang.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada diri sendiri
dapat diperincikankan sebagai berikut:
1. Bekerja sebagai kewajiban
Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Bekerja bukanlah bertujuan untuk
mendapatkan uang semata sehingga mampu belanja apa saja atau memaksimalkan
konsumsi, akan tetapi bekerja merupakan media untuk membuktikan bahwa manusia itu
adalah khalifatullah yang patuh mengikuti perintah Allah SWT, sesuai dengan
perjanjian manusia dengan Allah SWT di alam roh.
Dalam hadis disebutkan, yang artinya “Seseorang yang keluar mencari kayu bakar
(lalu hasilnya dijual) untuk bersedekah dan menghindari ketergantungan kepada
manusia, itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, baik
diberi atau pun ditolak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas (memberi) itu lebih
baik daripada tangan di bawah (meminta).'' (HR Muslim).
Khalifah Umar Ibn Khattab pernah mengusir orang yang beribadah di dalam
masjid yang membebankan nafkah untuk diri dan keluarganya kepada adiknya. Kata
Sayyidina Umar r.a., adik orang itu adalah lebih baik dari orang itu yang tidak bekerja.
39
QS. Al-Baqarah: 152.
40
QS al-Baqarah: 172
41
QS al-Zumar : 49
42
QS al-Hadid: 23.
43
QS al-Kausar: 2

15
Orang itu diusir dari masjid agar bekerja dan menanggung nafkahnya dan keluarganya
sendiri.
Kalau dilihat dari perspektif negara, bekerja adalah penting. Jika rakyat suatu
negeri bekerja, maka berarti pengangguran berkurang. Jika pengangguran berkurang,
maka masalah ekonomi dan sosial negara pun berkurang. Oleh karena itu, bekerja
berfungsi mengurangi pengangguran. Berkurangnya pengangguran berkorelasi positif
terhadap penghapusan kemiskinan dan meningkatkan kesetaraan ekonomi. Itu semua
menjadi faktor penting dalam membangun negara. Dengan meningkatnya pekerjaan dan
kurangnya pengangguran, pendapatan bruto negara akan meningkat. Dengan begitu,
negara itu dapat dikatakan ada perkembangan dan pembangunan.
1. Bekerja harus halal dan baik
Dalam hadis disebutkan bahwa bekerja mencari rezeki yang halal hukumnya
adalah wajib. Ini dimaksudkan agar manusia dengan berbagai unsurnya yaitu jasmani
dan rohani dapat hidup secara sehat. Untuk sehat jasmani dan rohani, antara lain
makanan harus thayyib dan halal. Thayyib artinya baik, bersih, dan tidak basi, masih
valid, dan sebagainya. Ini syarat untuk sehat jasmani. Sementara halal, makanan yang
halal adalah syarat untuk menjadi sehat rohani. Yang menjadi persoalan, karena
besarnya KKN, terutama korupsi di Indonesia, maka di negara kita pasti sangat banyak
makanan yang dibeli dari uang yang tidak halal.
2. Menempuh jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim)
Pada umumnya setiap manusia memiliki tujuan mulia yaitu menjadi manusia
bermanfaat dan hidup secara sempurna serta berkecukupan. Banyak ayat al-Quran yang
mendorong manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebenaran dengan senantiasa
beramal baik menuju harapan dan cita-citanya. Dalam mewujudkan cita-cita, manusia
harus tetap berpegang teguh pada jalan Allah yang merupakan jalan yang lurus. Allah
berfirman yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.44 Jalan lurus yang
dimaksud adalah “Jalan yang telah diberi nikmat Allah ke atas mereka, dan bukan jalan
yang dimurkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat”.45
Untuk mendapatkan jalan yang lurus ini, al-Quran telah menjelaskan adanya tiga
dasar yaitu: (1) mempercayai ajaran yang ghaib (rukun iman), (2) mengerjakan shalat

44
QS al-Fatihah: 6.
45
QS al-Fatihah: 7

16
dan (3) membelanjakan harta pada jalan kebajikan.46 Jalan yang lurus dalam kehidupan
dan perdagangan akan mendorong seseorang untuk berfikir secara strategis dan
mempunyai fokus yang konsisten. McClelland telah membuktikan bahwa pedagang
yang suskes adalah pedagang yang mempunyai motivasi untuk mencapai tahap
kesuksesan tertinggi (high need for achievement).47
Orang yang berada pada jalan yang lurus juga ikhlas dalam beramal. Bahkan
dapat dinyatakan bahwa ikhlas dalam beramal merupakan sebagian ciri orang yang
berada pada jalan yang lurus. Ini tercermin dari firman Allah yang artinya, ”dan (aku
telah diperintahkan): Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik”.48
3. Sabar
Sabar merupakan sifat terpuji yang sangat sering disebut dalam al-Quran. Dalam
menjalani kehidupannya, manusia tentu akan menghadapi berbagai macam peristiwa,
baik peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Di antara peristiwa
yang menyedihkan seperti kesempitan rezeki, kelaparan, bencana, dan lain-lain. Dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, manusia diminta bersabar.49 Jika
manusia berdukacita menghadapi kesusahan-kesusahan, Allah memerintahkan mereka
untuk menunaikan shalat, berdoa kepada Allah dan bersabar.50 Apabila ditimpa
musibah, hendaknya mengucapkan dan menghayati firman Allah:

‫انا هلل وانا اليه راجعون‬


”Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jua kami kembali”.
(QS al-Baqarah: 156).
Tujuan mengucapkan dan menghayati kalimat tersebut (istirja’) adalah agar
mendapatkan ketenangan.
4. Sederhana, tidak boros dan tidak membazir
Salah satu sifat buruk manusia yang diceritakan dalam al-Quran adalah sifat
suka melampaui batas,51 lalu Allah berseru agar manusia sederhana pada pakaian dan
makan minum,52 bersederhana suara sewaktu berdoa,53 sederhana dalam berbelanja.54

46
QS al-Baqarah: 3
47
McClelland, Human Motivation. (Gleenview III: Scott Foresman, 1985), h. 129.
48
QS Yunus: 105.
49
QS al-Baqarah: 155; QS al-Hajj: 35; QS al-Ruum: 37; QS Luqman: 17; QS al-Fajr: 1).
50
QS al-Baqarah: 45 dan 153.
51
QS al-’Alaq: 6
52
QS al-A’raf: 31

17
5. Jujur
Sikap jujur merupakan sikap ditekankan Islam dalam semua aspek kehidupan.
Penegasan al-Quran mengenai hal ini tercermin dalam firman Allah yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akadmu”.55 Pada ayat yang lain,
Allah berfirman yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan
dimintai pertanggung-jawapan”.56 Ini semua menunjukkan bahwa seseorang yang
berjanji, harus memenuhi janjinya. Pemenuhan janji ini merupakan karakterisrik sifat
jujur. Orang-orang yang tidak jujur, oleh al-Quran disebut sebagai orang-orang yang
mencoba untuk menganiaya dan mendhalimi diri sendiri.57
6. Berkeyakinan dan optimis
Keyakinan akan menghilangkan perasaan ragu (syak) di dalam diri manusia58
dan syak adalah salah satu sifat orang munafik. Pendirian yang dimiliki seseorang
haruslah dipegang teguh, jangan mudah terombang-ambing dan dipengaruhi oleh orang-
orang yang justru berniat akan merusakkannya.59
Untuk mendapatkan keyakinan dan sifat optimis ini, al-Quran telah memberikan
guidance yaitu hendaknya seseorang itu mempunyai tujuan dan visi hidup yang jelas
serta memiliki informasi yang memadai mengenai masa depan.60 Keyakinan yang
kokoh dan sikap optimis dalam memandang masa depan akan mendorong seseorang
untuk senantiasa berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT.61
7. Berupaya terus meningkatkan kualitas diri
8. Berilmu

Orang yang memiliki ilmu cenderung lebih bijaksana dalam semua tindak
tanduknya serta sikap dan keputusannya. Ilmu diperoleh melalui disiplin dan
kesungguhan belajar. Orang yang tidak berilmu atau kurang ilmu cenderung merasa
minder atau rendah diri. Orang yang memiliki banyak ilmu, tidak disangsikan lagi
akan dapat menghasilkan tafakur yang berbobot. Oleh karena itu, Islam meletakkan
Ilmu diatas segala-galanya. Dalam Al Qur'an, Allah telah berfirman yang artinya, "

53
QS al-Isra’: 110
54
QS al-Furqan: 67
55
QS al-Maidah: 1.
56
QS al-Isra’: 34.
57
QS al-Baqarah: 9; QS Yunus: 44.
58
QS al-Baqarah: 10.
59
QS al-Qalam: 10.
60
QS al-Takasur: 5
61
QS al-Jin: 6

18
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan Orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ".62

9. Bersifat waspada
Sikap waspada sangat penting dimiliki oleh siapa saja, tujuannya agar terhindar
dari kecelakaan dan kerugian serta hal-hal negatif lainnya yang merugikan. Oleh karena
itu, al-Quran menyeru agar jangan lalai,63 yaitu lalai dari beribadah kepada Allah
SWT,64 lalai karena harta65 dan terlupa akan datangnya hari pembalasan.66
10. Tidak menunda pekerjaan dan menjaga kehormatan
11. Bersih
Kebersihan adalah sifat-sifat yang dimiliki orang yang sukses.67 Kebersihan ini berkait
dengan kebersihan luar (jasmani) maupun dalam (ruhani).68 Kebersihan adalah sebagian
dari iman sehingga orang yang menyatakan beriman kepada Allah harus menyucikan
jiwanya dari pikiran-pikiran jahat untuk (bisa) menerima kenikmatan Allah.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada orang lain
dapat diperincikankan sebagai berikut:
1. Berzakat dan berinfaq
Kemauan untuk berzakat dan berinfaq merupakan wujud tidak kikirnya
seseorang. Rezeki yang didapatkan dari hasil kerja, sebagiannya ada yang berfungsi
sosial yang instrumennya antara lain zakat dan infaq.
Menafkahkan harta ditetapkan sebagai perbuatan baik, dan berpahala besar
sebab sangat bermanfaat, baik bagi orang lain (kesalehan sosial) maupun bagi yang
berinfak (kesalehan individu). Dengan infak itu kegiatan dakwah bisa dipertahankan,
fakir miskin bisa terbantu, dan kehidupan rumah tangga bisa ditegakkan. Keutamaan
kesalehan sosial itu ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW yang artinya: “Orang yang
mengusahakan bantuan bagi janda dan orang miskin ibarat berjihad di jalan Allah dan
ibarat orang yang sholat malam. Ia tidak merasa lelah dan ia juga ibarat orang berpuasa
yang tak pernah berbuka” (Hadis Bukhori).

62
QS. Al Mujadilah: 11
63
QS al-A’raf: 205
64
QS al-Ma’un: 5
65
QS al-Munafiqun: 9; QS al-Takasur: 1
66
QS Maryam: 39; QS al-Anbiya’: 1; al-Qalam: 33
67
QS al-Syams: 9
68
QS al-Syams: 10.

19
Zakat merupakan salah satu antara ajaran Islam yang memiliki dimensi ganda
yaitu spiritual dan material. Ajaran ini berdimensi sosial, yang berarti bahwa
pemenuhan kebutuhan material, bukan hanya berorientasi pada situasi individual tetapi
juga sosial. Dalam kerangka inilah prinsip zakat menjadi alternatif dalam membangun
kekuatan ekonomi umat sekaligus menciptakan kesejahteraan dan iklim solidaritas
sesama manusia. Untuk mencapai maksud tersebut, diperlukan perhatian pada dua
tingkat, yaitu: Pertama, pada tingkat pelaksanaan zakat, dan kedua, pada tingkat
pendayagunaannya.

2. Bercakap benar
Bercakap benar adalah salah satu tanda orang beriman, sedangkan orang yang
bersumpah dusta, disebut sebagai orang munafik.69 Orang munafik disebutkan oleh al-
Quran sebagai orang yang bersalah70 dan orang yang mendustai kebenaran.71 Hal ini
berlaku karena di dalam diri mereka ada penyakit syak dan hasad. 72 Mereka akan
menerima balasan berupa siksa sebab dosa yang mereka lakukan. 73 Sesungguhnya
orang-orang yang dikasihi Allah SWT ialah orang-orang yang benar perkataannya,74
dan yang memberi keterangan dengan adil dan benar sebagai saksi.75
3. Menjauhi sifat hasad, tidak bakhil, amanah, adil, dan pemaaf
Dalam pelaksanaan transaksi, Islam juga telah memberikan panduan yang jelas
agar menghasilkan transaksi yang halal dan tayyib, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun
akad, adanya saling rida76 dan menghindari larangan-larangan dalam bertransaksi. Islam
telah menggariskan jenis-jenisnya yaitu:
(1) Membuat dan menjual barang-barang yang najis, seperti bangkai, babi, anjing, arak,
tahi, kencing dan lain-lain. Barang-barang tersebut adalah haram li zatihi, karena
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT jika mengharamkan suatu
barang, maka harganya pun haram juga”. (HR Ahmad dan Abu Daud).

69
QS al-Mujadilah:14
70
QS al-‘Alaq: 16
71
QS al-Lail: 9
72
QS al-Baqarah: 10
73
QS al-Jatsiyyah: 7
74
QS Ali Imran: 17
75
QS al-Ma’arij: 33
76
QS An-Nisaa: 29

20
(2) Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam (membawa kepada
mafsadat dan maksiat) atau yang mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan
seseorang individu itu lupa untuk beribadah kepada Allah.
(3) Transaksi yang mengandung unsur riba,77
(4) Transaksi yang mengandung unsur gharar,78
(5) Transaksi yang mengandung unsur perjudian79
(6) Bay‘ ma‘dum
(7) Melakukan penipuan dalam transaksi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis.
Pada suatu hari Rasulullah SAW mengadakan inspeksi pasar. Rasulullah
memasukkan tangannya kedalam tumpukkan gandum yang nampak baik, tetapi
beliau terkejut karena ternyata yang di dalam tidak baik (basah). Rasulullah pun
bersabda : “Juallah ini (yang baik) dalam satu bagian dan yang ini (yang tidak baik)
dalam bagian yang lain. Siapa yang menipu kami bukanlah termasuk golongan
kami”. (HR Muslim).
(8) Membeli di atas belian orang lain.
(9) Melakukan penimbunan (ihtikar), dan lain-lain.80

D. Kesimpulan
Dari paparan yang telah dikemukakan, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam
sebagai agama dan ideologi mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, namun tidak
melupakan beribadah. Islam sebagai agama yang syamil dan kamil juga memberikan
guideline tentang etos kerja yang menjadikan kerja itu bukan hanya sebagai mencari
rezeki akan tetapi lebih dari berdimensi transendental dan sekaligus identitas
kemanusiaannya itu sendiri. Etos kerja dimaknai sebagai sikap atau pandangan manusia
terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-
nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta
peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.
Tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai kerja karena di
dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu (1)
aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga
77
QS al-Baqarah: 275
78
Q.S. al-Nisa’ (4): 29
79
Q.S. al-Ma’idah (5): 90
80
‘Abd al-Haq Humaisy dan al-Husein Syawat, Fiqh al-‘Uqud al-Maliyyah. (‘Amman (Jordan): Dar al-
Bayariq: 2001), h. 52-59.

21
timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang
berkualitas. (2) Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu
yang direncanakan. Oleh karenanya kerja adalah segala aktifitas dinamis dan
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di
dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk
mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.

Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya taat pada agamanya yang telah
memberikan guidance prinsip-prinsip kerja Islami yaitu kerja harus ditegakkan diatas
dasar taqwa, kerja menentukan nilai manusia, kerja ditentukan oleh kualitas bukan
kuantitas, kerja harus dilakukan dengan ilmu, dan kerja melahirkan ilmu.

Pada sisi yang lain, sebagai seorang muslim, juga sudah seharusnya dalam
bekerja selalu didasari oleh etos kerja Islami, yang berporoskan pada tiga tanggung
jawab, yaitu, tanggung jawab terhadap Tuhannya (Allah SWT), tanggung jawab
terhadap diri sendiri, dan tanggung jawab terhadap orang lain. Dalam kaitannya dengan
tanggung jawab terhadap Allah, di antaranya adalah bahwa landasan bekerja adalah
keimanan (kerja merupakan manifestasi keimanan) dan senantiasa bersyukur.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada diri sendiri antara
lain: bekerja merupakan kewajiban, bekerja harus halal dan thayyib, menempuh jalan
yang lurus (sirat al-mustaqim), sabar, sederhana, tidak boros dan tidak membazir, jujur,
berkeyakinan dan optimis, berupaya terus meningkatkan kualitas diri, berilmu, bersifat
waspada, tidak menunda pekerjaan dan menjaga kehormatan, dan bersih.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada orang lain
antara lain: berzakat dan berinfaq, Bercakap benar, Menjauhi sifat hasad, tidak bakhil,
amanah, pemaaf, dan adil. Dalam pelaksanaan transaksi juga harus memenuhi standar
pemenuhan transaksi yang halal dan tayyib, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun akad,
adanya saling rida dan menghindari larangan-larangan dalam bertransaksi sebagaimana
tersebut di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya.
‘Abd al-Haq Humaisy dan al-Husein Syawat, Fiqh al-‘Uqud al-Maliyyah. (‘Amman
(Jordan): Dar al-Bayariq: 2001)
Abdullah, Syamsuddin, “Max Weber, Hidupnya, Karya-karyanya dan Sumbangannya”,
(Yogyakarta: Percet. UII, 1979)

22
Abdullah, Taufik (ed), “Tesis Weber dan Islam di Indonesia dalam Agama”, dalam Etos
Kerja dan Perkembangan Ekonomi, cet. IV (Jakarta LP3ES, 1988)
Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ, (Jakarta: Penerbit Arga, 2001)
Ahmad, Zainal Abidin, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Ahmadi, Abu, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuannya, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1980)
al-Buraey, Muhammad Ahmad, Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan, (terj.) (Jakarta: Rajawali Press, 1986)
al-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir, Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-
Mannan, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2002)
Asy’ari, Musa, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta:
Lesfi dan IL, 1997)
Budi Susanto, dkk, Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, (Yogyakarta: Kanisius,
1992)
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, (terj. dari Islam and the Economic
Challenge) (Surabaya: Risalah Gusti, 1999)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Dedikbud, 1988)
Ganang, Imran, “Menggugah Proesionalitas dan Etika Bisnis”, dalam Manajemen, Mei,
1994)
Giddens, Athony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisa Karya Tulis
Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan untuk edisi Indonesia oleh
Suheba Kamadibrata, (Jakarta: UI Press, 1985)
H.H. Gerth and C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, translated and
edited by H. H. Gerth and C. W. Mills, (New York: Oxford University Press,
1967)
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. (London:
Oxford University Press, 1974).
Ignas Kleden, “Oposisi dalam Politik Indonesia”, dalam TIM MAULA, Jika Rakyat
Berkuasa, Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius dalam AI-Al-Quran, (Terj.) Agus FH,
dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993)
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2000)
Kahf, Monzer, “A Contribution to the theory of Consumer Behaviour in Islamic
Society” dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic
Perspective. (Petaling Jaya: Longman Malaysia, 1992).
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIIT dan Karim Bisnis Consultan,
2002)
Katsir, Ismail bin Umar bin, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyad: Darussalam, cet. V, 2001)
Khamami Zada, Zakat dan Transformasi Masyarakat, Kompas, 14 Desember 2001.
Khan, M. Fahim, “Theory of Consumer Behaviour in Islamic Perspective”, dalam
Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective.
(Petaling Jaya: Longman Malaysia, 1992)
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997)
M.B Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. (Yogyakarta: EKONISIA,
2003).
Maksum, H.M Nur, Tesis, Magister Studi Islam UII Yogyakarta, 2001

23
Marbun, B. N., Seri Manajemen, No. 54 (Jakarta: LPPM, 1980), diolah oleh M. Dawam
Rahardjo, Etika Ekonomi & Manajemen, cet. 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
Marshall, Gordon, In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s
Protestan Ethic, (New York: Columbia University Press, 1982)
McClelland, Human Motivation. (Gleenview III: Scott Foresman, 1985).
Michael C. Hudson, “Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito (ed.),
Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara Sedang Berkembang, (Yogyakarta:
PLP2M, 1985)
Mubarak Muhammad, Al-Iqtishad: Mabadi wa Qawa'id ‘Ammah, (TTP: TP, 1997)
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, Edisi
IV, cet. 1, 2000)
Muhamad, Ali Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1998)
Nopirin, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, (Yogyakarta: BPFE, 1996)
Nur Sholihin El-Pas, Mempersoalkan Hubungan Zakat, Pajak Dan Negara,
http://www. pikiran-rakyat.com/prcetak/122001/20/0801.htm, 20 Desember 2001.
Pasaribu, Rudolf, Teori Etika Praktis, (Medan: Pieter, 1988)
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976)
Qutb, Muhammad, Jahiliyah Masa Kini, (terj.) (Bandung: Pustaka Bandung, 1985)
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Sasono, Adi, dkk, Solusi Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1998)
Shihab, Quraish, Membumikan al-Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hl. 114-115.
Lihat pula Mustofa Muslim, Mabahis fi al-Tafsir al-Maudlu’i, (Damaskus: Daar
al-Qalam, 1989)
Sholeh, Moh., Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran, (Yogyakarta:
HIMANDA dan Pustaka Pelajar, 2001)
Sobary, Mohamad, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi, (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 1995)
Soejatmoko, “Iman, Amal dan Pembangunan” dalam Sen Prisma, Agama dan
Tantangan zaman (Jakarta: LP3ES, 1985)
Suhaili, Abdullah, Dasar-dasar Ekonomi dalam Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984)
Syawat, ‘Abd al-Haq Humaisy dan al-Husein, Fiqh al-‘Uqud al-Maliyyah. (‘Amman
(Jordan): Dar al-Bayariq, 2001)
Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995)
___________, Membudayakan Etos Kerja yang Islami, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002)
Taufiqullah, Zakat, Pajak Dan Ekonomi Islam, http://www.pikiran-rakyat.com/prcetak/
122001/04/0801.htm, 4 Desember 2001.
Turner, Bryan S., Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber,
diterjemah oleh GA Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press)
Wach, Joachim, The Comparative Study of Religion, (New York: Columbia University
Press, 1958)
Weber, Max, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcott
Parsons, (New York: Charles Scribners, 1958)
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1983)

24
BIODATA SINGKAT PENULIS

Nur Kholis, lahir di Blitar, 1 Nopember 1977

Pekerjaan : Dosen tetap UII dan Aktivis Pusat Studi Islam UII (PSI-UII)
Alamat Kantor : Prodi Ekonomi Islam FIAI UII,
Jl. Kaliurang km 14,5 Yk telp. (0274) 898462, HP:08156883480
Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Blitar. Selama menyelesaikan pendidikan
dasar dan menengah tersebut, juga menempuh pendidikan di madrasah diniyah dan pondok
pesantren MADIS Kasim Selopuro Blitar. Kemudian melanjutkan studi dengan mondok di
pesantren modern yang dikenal sebagai MAPK di Jember, lulus tahun 1996. Setelah itu
melanjutkan studi ke Pesantren Unggulan Universitas Islam Indonesia angkatan pertama, di
samping kuliah di Fakultas Ilmu Agama Islam UII, lulus tahun 2000 dengan predikat wisudawan
terbaik dan tercepat, IPK 4,00. Pada tahun 2004, melanjutkan studi S2 ke Program Pascasarjana
Departemen Syariah Ekonomi, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 2004 –
2005, (selesai 3 semester), lulus tercepat dengan IPK 3,92. Saat ini diamanahi untuk menjadi
ketua program studi ekonomi Islam FIAI UII.
Penulis telah terlibat dalam diskursus ilmiah tingkat internasional yang dibuktikan
dengan telah dipresentasikannya paper karyanya dalam “The First International Conference on
Inclusive Islamic Financial Sector Development: Enhancing Islamic Financial Services for Micro and
Medium Sized Enterprises”, di The Empire Hotel and Country Club, Brunei Darussalam, 17-19
April 2007 yang lalu. Pada 3-5 April 2006 juga telah mempresentasikan papernya dalam
International Colloquium “INCEIF ISLAMIC BANKING AND FINANCE EDUCATIONAL
COLLOQUIUM 2006, Creating Sustainable Development of Human Capital and Knowledge in Islamic
Finance Through Education, di Kuala Lumpur Convention Center, Kuala Lumpur, Malaysia.
Pendidikan informal yang pernah ditempuhnya antara lain: Pendidikan Kader Ulama
Majlis Ulama Indonesia (PKU-MUI) Tingkat Nasional Angkatan Ke-7 di Jakarta, tahun 1997 –
1998 (lulus dengan predikat wisudawan terbaik, IPK 4,00), The Summer Camp of Student
Leadership from the Universities of the Islamic World di Jordan, tahun 1999, Pelatihan
Kepengacaraan oleh ISMAHI se-Indonesia di UNDIP Semarang, tahun 1999, Pelatihan Kuasa
Hukum di Lingkungan Peradilan Agama Angkatan IV di Parung Bogor, tahun 2000, Daurah
Mukassafah li kibari al Du’at yang diselenggarakan Kedubes Arab Saudi di Bogor, tahun 2002,
dan lain-lain. Aktif mengikuti berbagai seminar, pelatihan, dan penataran.
Karir menulisnya dimulai sejak di MAPK, kemudian dikembangkan pada masa kuliahnya,
dengan menjadi Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) mahasiswa Tingkat Nasional, tahun
1999, Juara I Lomba Esai Mahasiswa Tingkat Nasional, tahun 2000, Juara I LKTI tingkat UII,
tahun 1999 dan Juara I LKTI tingkat FIAI UII. Hingga sekarang aktif menulis, sebagian tulisannya
dimuat di harian Nasional Jawa Pos, Radar Jogja, Republika, Jurnal MILLAH Magister Studi Islam
UII, Jurnal AL MAWARID, Jurnal Mukaddimah, Buletin ISLAMIYAH, Bulletin Religia, Majalah
Pilar Demokrasi, Buletin Responsif, dan lain-lain.
Sejak April 2001 menjadi dosen tetap UII. Selain mengajar sebagai dosen UII, juga
melakoni peran sebagai aktivis Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia. Pernah menjadi

25
Program Officer untuk Penguatan Nilai-nilai Demokrasi dan Pluralisme pada MPK UII
(kerjasama PSI dan The Asia Foundation) Sept 2003 - Mei 2004. Selain mengajar di program
sarjana, penulis juga dipercaya untuk mengajar program pascasarjana MSI UII konsentrasi
Hukum Bisnis Syariah sejak pertengahan 2006.
Demikian sekilas biodata penulis yang disusun dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, 26 April 2007
Hormat saya,

Nur Kholis, S.Ag, M.Sh.Ec

26

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai