Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344692721

Filsafat Ilmu Ekonomi dan Manajemen UMKM

Preprint · October 2020


DOI: 10.13140/RG.2.2.23020.59528

CITATIONS READS

0 2,164

1 author:

M. Elfan Kaukab
Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo Indonesia
152 PUBLICATIONS   82 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Same-Sex Love as Challenge to American Cowboy’s Masculinity Presented in Ang Lee’s Brokeback Mountain View project

Pre-pandemic and Post-pandemic Outlook of Indonesian Digital Economics Future 2022: FDI and SME Competitiveness View project

All content following this page was uploaded by M. Elfan Kaukab on 16 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FILSAFAT ILMU EKONOMI DAN MANAJEMEN UMKM

M. Elfan Kaukab
Fakultas Ekonomi, Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Indonesia
Email: elfan@unsiq.ac.id

Abstrak
Pembahasan tentang ilmu ekonomi dan manajemen dari perspektif filsafat ilmu
pengetahuan berkaitan dengan apakah ilmu ekonomi dan manajemen memiliki klaim
kuat sebagai sebuah disiplin ilmu tertentu yang memiliki aspek metodologis dan
epistemologis yang menghasilkan pengetahuan empiris. Aspek kritis yang menjadi
perdebatan tentang hal tersebut adalah terkait dengan struktur dan justifikasi teori
dalam ilmu ekonomi dan manajemen.
Kata kunci: filsafat ilmu, ilmu ekonomi, ilmu manajemen, UMKM

I. PENDAHULUAN
Buku karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations (1776), merupakan pangkal dari kajian Ilmu Ekonomi pada abad ke-18.
Sebelumnya Karl Marx juga mengungkapkan bahwa awal dari semua kegiatan
manusia adalah berhubungan dengan produksi. Menurut Marx, sistem masyarakat
yang ada pada masa kapanpun sebenarnya merupakan akibat dari kondisi ekonomi
(hubungan produksi). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat dikembalikan pada
satu sebab, yaitu perjuangan kelas (class struggle) dalam rangka memperbaiki kondisi
ekonomi tersebut. Aristoteles juga telah membahas sejumlah masalah yang terkait
ekonomi, tetapi dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu rumah tangga sehingga
pada zaman itu ekonomi dimaknai sebagai persoalan mengelola rumah tangga.
Pada masa-masa awal, ilmu ekonomi dipandang sebagai bagian tak terpisahkan
dari moral science, sehingga pembahasan filosofisnya pun ditinjau dari perspektif
filsafat moral (Alvey, 1999). Dalam konteks perkembangan ilmu ekonomi
kontemporer, pembahasan aspek filosofis ilmu ekonomi semakin kompleks dengan
berkembangnya beragam aliran pemikiran ekonomi yang umumnya para ekonom
mengklasifikasi pemikiran ekonomi dalam tiga kelompok, yaitu neoklasik ortodoks,
institusionalis, dan radikal. Duhs (2006) menyebutkan bahwa pembagian ini
misalnya dilakukan oleh Ward (1979); Cole, Cameron, and Edwards (1983). Bahkan,
kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodox dan mainstream, masing-
masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian yang cukup banyak misalnya
keynesian economics, monetarists, new classical economics, rational expectations
theory, real business cycle, dll. Keragaman mainstream economics disebabkan oleh
perbedaan pandangan terhadap pertumbuhan, moneter, ketenagakerjaan, pertanian,
sumber daya alam, perdagangan internasional, dll. Sedangkan varian orthodox
economics misalnya agency theory, Chicago School, public choice, Austrian Economics,
institutionalist economics Marxian Economics, socio-economists, behavioral economists,
post-keynesians, neo-ricardians, neuroeconomics. Adanya keragaman ini telah menjadi

1
tantangan tersendiri bagi para ekonom maupun filosof dalam membahas filsafat ilmu
ekonomi.
Fokus utama dalam filsafat ilmu ekonomi adalah aspek metodologi dan
epistemologi yang meliputi metode, konsep, dan teori yang dibangun oleh para
ekonom untuk sampai pada yang disebut “science” tentang proses ekonomi. Filsafat
ekonomi juga berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika menjadi bagian
argumentasi dalam ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-
off di antara pilihan-pilihan yang tersedia. Argumen ini menjadi dasar munculnya
cabang-cabang ilmu ekonomi diantaranya ekonomi kerakyatan yang berlandaskan
kesejahteraan dan keadilan.
Perkembangan filsafat ekonomi menjadi lebih luas saat pola kehidupan manusia
berkembang. Di negara-negara yang masih berkembang keberadaan ilmu ekonomi
kerakyatan masih memiliki andil besar dalam mengatur sendi-sendi kehidupan dari
tingkat paling rendah sampai tingkat atas. Dalam artikel ini penulis mencoba
menyajikan paparan mengenai beberapa pandangan tentang Filsafat Ilmu Ekonomi
dan Manajemen UMKM dalam beberapa pembahasan, yaitu:
 Bagian pertama akan menjelaskan tentang filsafat ilmu pengetahuan dan
perkembangan ilmu ekonomi.
 Bagian kedua adalah keterkaitan ekonomi normatif dan filsafat moral
 Bagian ketiga adalah ekonomi normatif mendasari munculnya ekonomi
kerakyatan
 Bagian keempat adalah filsafat ilmu manajemen dan UMKM

II. FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN DAN PERKEMBANGAN ILMU EKONOMI


Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial
maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat ilmu
pengetahuan berkaitan dengan pembahasan bagaimana disiplin ilmu tertentu
menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta pemahaman
yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu. Dengan kata lain, filsafat ilmu
pengetahuan merupakan telaah secara filsafati yang ingin menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat sains empirikal, seperti:
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Pertanyaan-pertanyaan ini disebut landasan ontologism.
2. Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu? Apa
kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan ini disebut landasan
epistemologis.

2
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/profesional? pertanyaan-pertanyaan ini adalah
landasan aksiologis.
Jika didefinisikan, filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, pengetahuan, metode-
metode ilmiah, serta sikap etis yang harus dikembangkan oleh para ilmuwan, yang
berfungsi sebagai sarana pengujian penalaran sains; merefleksi, menguji, mengkritik
asumsi dan metode keilmuan; serta memberikan landasan logis terhadap metode
keilmuan (Judistira, 2006; Salmon et. al., 1992; dan www.wikipedia.org).
Pembahasan tentang ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan
berkaitan dengan apakah ilmu ekonomi memiliki klaim kuat sebagai sebuah disiplin
ilmu tertentu yang memiliki aspek metodologis dan epistemologis yang menghasilkan
pengetahuan empiris. Aspek kritis yang menjadi perdebatan tentang hal tersebut
adalah terkait dengan struktur dan justifikasi teori dalam ilmu ekonomi. Secara
umum, terdapat 6 (enam) permasalahan utama yang terkait dengan aspek
metodologis dalam ilmu ekonomi, yaitu (Hausman, 2008):
 Pertama, positive versus normative economics. Eksistensi pertimbangan normatif
dalam ekonomi menimbulkan pertanyaan metodologis dari perpektif ilmu
pengetahuan yang bersifat positivisme. Sebagian besar ekonom mencoba
mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan pembahasan ilmu ekonomi
dalam bentuk positive science untuk menghindari bias metodologis. Akan tetapi,
banyak kalangan menilai bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan
dan cenderung lemah karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan
individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif (Mongin,
2006; Haussman and McPherson, 2006; Machlup, 1969; Marwel and Ames, 1981;
Frank et al, 1993; Marx, 1867).
 Kedua, reasons versus causes. Teori ekonomi mengasumsikan bahwa individu
bertindak rasional dan melakukan pilihan-pilihan berdasarkan alasan-alasan
tertentu. Alasan-alasan ini menjadi justifikasi mengapa seseorang melakukan
pilihan tertentu, dan alasan tersebut harus dimengerti oleh individu yang
bersangkutan. Asumsi ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya
kemungkinan bahwa individu bertindak karena adanya hubungan kausal, yang
disebabkan oleh kondisi tertentu sehingga tidak bertindak berdasarkan alasan
rasional. Individu yang bertindak rasional didasari oleh asumsi bahwa mereka
memiliki informasi yang sempurna terhadap sejumlah fakta yang relevan dengan
pilihan-pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya kondisi ini tidak
pernah terjadi, dan hal tersebut menjelaskan mengapa ilmu ekonomi tidak parallel
atau berbeda dengan ilmu alam (Buchanan and Vanberg, 1989, Von Mises, 1981).
 Ketiga, Social Scientific Naturalism. Dari semua ilmu sosial, ilmu ekonomi adalah
yang paling mirip dengan ilmu alam. Pandangan untuk membedakan antara ilmu

3
sosial dan ilmu alam umumnya terkait dengan tiga pertanyaan, yaitu (1) apakah
ada perbedaan fundamental antara struktur dan konsep dalam hal teori dan
penjelasan pada ilmu alam dengan ilmu sosial? (masalah ini terkait dengan reasons
versus causes seperti telah diuraikan sebelumnya), (2) Apakah ada perbedaan
fundamental dalam tujuan antara ilmu ekonomi dan ilmu alam? Sejumlah kalangan
menyatakan bahwa ilmu ekonomi memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan
mengapa suatu fenomena terjadi sehingga menciptakan adanya pengertian dan
respon terhadap fenomena tersebut. Tujuan ini mengakibatkan adanya unsur
subjektivitas, yang tidak terjadi dalam ilmu alam, (3) Pentingnya pilihan manusia
(atau mungkin free will), menimbulkan pertanyaan apakah fenomena sosial terlalu
tidak teratur sehingga sulit digambarkan dalam suatu kerangka hukum dan teori?
Dengan karakter manusia yang bersifat free will, mungkin perilaku manusia sulit
diprediksi. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak perilaku manusia yang
menunjukkan keteraturan, disamping adanya ketidakteraturan. Kondisi ini juga
terjadi pada ilmu alam yang memiliki banyak ketidakteraturan dalam hubungan
kausal.
 Keempat, Abstraction, idealization, and ceteris paribus clasuses in economics. Dalam
perspektif ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi banyak menimbulkan pertanyaan
terkait dengan adanya abstraksi, idealiasasi, dan klaim kebenaran teori yang
ceteris paribus. Sejumlah pertanyaan mengemuka, tentang seberapa banyak
simplikasi, idealisasi, dan abtraksi dapat dilegitimasi? Bagaimana legitimasi asumsi
ceteris paribus dalam ilmu pengetahuan? Sejumlah pertanyaan tersebut telah
menjadi perdebatan metodologis yang mempertanyakan “scientific” dari ilmu
ekonomi.
 Kelima, Causation in economics and econometrics. Generalisasi dalam ilmu ekonomi
didasarkan pada hubungan kausal, misalkan tentang hukum permintaan.
Hubungan kausal ini juga dapat diidentifikasi dengan ekonometrika. Akan tetapi,
terdapat kemungkinan adanya pertentangan analisis hubungan kausal antara yang
dihasilkan oleh perubahan ekonomi dan komparatif statik terkait dengan
keseimbangan ekonomi, sehingga menimbulkan pertanyaan metodologis tentang
hubungan kausal mana yang akan dipilih.
 Keenam, Structure and strategy of economics. Perdebatan aspek metodologis terkait
dengan aspek ini adalah masuknya filosofi Kuhnsian (Kuhn, 1970) dan Lakatonian
(Lakatos, 1970) dalam pembahasan tentang ekonomi.
Permasalahan-permasalan yang terkait dengan aspek metodologis tersebut
telah menimbulkan banyak perdebatan tentang klaim “scientific” ilmu ekonomi dalam
hal generalisasi. Bolehkah suatu ilmu pengetahuan menghasilkan generalisasi yang
salah? Jika klaim tersebut tidak dapat digeneralisasi secara universal, apa dasar logis
yang mendasarinya? Bagaimana mengetahui klaim yang dihasilkan dari proses
tersebut salah atau bagaimana pengujian yang harus dilakukan sehingga klaim
tersebut dapat diterima atau ditolak? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi topik
intensif yang terus mengemuka hingga saat ini.

4
Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan, sejumlah ekonom
telah berupaya mengatasi permasalahan metodologis tersebut untuk menunjukkan
“scientific” ilmu ekonomi. Dari era Nassau Senior dan John Stuart Mill di tahun 1830-
an hingga era Lionel Robbins di tahun 1930-an, terdapat konsepsi dominan di
kalangan para ekonom bahwa premis atau postulat yang di kemudian hari lebih
populer disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang sebagai sesuatu
kebenaran yang mampu menggambarkan hubungan kausal dalam aktivitas ekonomi.
Pendekatan ini kemudian dikenal dengan metode a priori. Perkembangan
selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak kelemahan terutama terkait
dengan prediksi teori ekonomi yang tidak selalu didukung oleh bukti empiris karena
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mill bahwa secara abstrak suatu teori ekonomi
mungkin benar jika faktor pengganggu lainnya diabaikan. Dalam kenyataannya,
faktor penganggu tersebut selalu ada dan memberikan pengaruh terhadap hubungan
kausal yang terjadi. Akibatnya, konfirmasi terhadap teori ekonomi condong pada
bahwa premis tersebut benar dibandingkan dengan memeriksa implikasi prediksi
teori tersebut terhadap bukti empiris. Selanjutnya berkembang pendekatan lain,
misalnya yang dilakukan ilmuwan Jerman dan Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan
Amerika (di awal abad ke-20), yang berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang
berkembang tidak selalu mencerminkan realitas, sehingga diperlukan banyak studi
empiris dan generalisasi hanya dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan temuan
yang diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan tidak
menemukan titik temu (Hausman, 2008).
Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung implikasi
prediksi lebih mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau kutub yang mengusung
tradisi Millian. Perkembangan baru ini dipelopori oleh Machlup (1955) dan Friedman
(1953) yang menyatakan bahwa asumsi-asumsi yang mendasari model ekonomi
tidak harus realistis, yang terpenting adalah kemampuan dari implikasi model
tersebut dalam memprediksi kenyataan. Selama lebih dari dua dekade, pandangan
Friedman banyak mendominasi tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi.
Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun 1970-an, ketika
filosofi Popperian, Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam pembahasan tentang
ekonomi (Hausman, 2008). Popperian menolak metode induksi dan memperkenalkan
metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian tersebut memberikan ruang tentang
legitimasi simplifikasi atau bagaimana teori ekonomi dapat menemukan klaim
scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang mensyaratkan bahwa formulasi
teori harus logically falsifiable dan testable, menyebabkan adanya kemungkinan
penolakan terhadap sebagian besar bahkan seluruh teori ekonomi karena adanya
ceteris paribus dan asumsi-asumsi yang sering kurang realistis yang mendasari teori
ekonomi (Marchi, 1988; Caldwell, 1991; Boland, 1992). Kelemahan ini selanjutnya
diatasi oleh Imre Lakatos (1970) yang kemudian dikenal dengan Lakatonian, yang
memperkenalkan konsep theoretically progressive. Lakatos menekankan pada
appraising historical series of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat

5
appraising theories. Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada
pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan
Popperian. Sekalipun demikian, pandangan Lakatos ini belum dapat menyajikan
penjelasan yang memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk
menyatakan klaim tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam
ilmu alam.
Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi memunculkan sejumlah
pandangan radikal diantaranya adalah bahwa ilmu ekonomi memang tidak dapat
melewati persoalan metodologis tersebut. Pelopor pandangan ini adalah Alexander
Rosenberg (1992) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi hanya dapat menghasilkan
prediksi umum yang tidak tepat, dan tidak dapat menghasilkan perubahan. Lebih
lanjut, menurut Rosenberg teori ekonomi hanya bernilai sebagai matematika terapan
bukan sebagai teori empiris. Pandangan ini relatif memiliki dasar argumentatif
mengingat ilmu ekonomi tidak dapat mencapai kemajuan sebagaimana yang
dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi, banyak kalangan menilai bahwa klaim ilmu
ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan prediksi kuantitatif cenderung lemah.
Salah satu bukti dari hal tersebut adalah kemampuan para ekonom kontemporer
yang dapat memprediksi harga saham lebih baik dibandingkan dengan para ekonom
di masa lalu. Pandangan radikal lainnya yang berlawanan dengan Rosenberg adalah
Deidre McCloskey’s (1994) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus
memenuhi sejumlah standar metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-
satunya kriteria yang relevan untuk menilai praktik dan produk yang dihasilkan oleh
ilmu ekonomi adalah apa yang diterima oleh praktisi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi
dapat mengabaikan standar metodologis yang dikemukakan oleh para filosof.
Pandangan ini dikenal dengan istilah ekonomi retoris. Banyak karya berharga dan
berpengaruh yang dihasilkan oleh McCloskey’s dengan pandangan ekonomi retoris
ini. Akan tetapi masalah yang dihadapi adalah kesulitan untuk mempertahankan
argumentasi-argumentasi dalam studi tersebut karena tidak memiliki standar
epistemologis.
Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi adalah
realisme. Terdapat dua bentuk pandangan realisme yang berkembang yaitu (1)
Pandangan realism yang dikemukakan oleh Uskali Maki (2007), yang mengeksplorasi
beragam realisme implisit dalam pernyataan metodologis dan bangunan teoritis yang
dikemukakan oleh para ekonom, (2) Pandangan realisme yang dikemukakan oleh
Tony Lawson (1997) dan Roy Bhaskar (1978) yang menyatakan bahwa seseorang
yang menelusuri kekurangan yang terdapat dalam ilmu ekonomi tidak cukup hanya
dengan ontologi. Menurut Lawson, fenomena ekonomi yang sebenarnya banyak
dipengaruhi oleh faktor yang berbeda, dan seseorang dapat mencapai pengetahuan
ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan kecenderungan yang berkaitan dengan
variabel yang diobservasinya.
Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek kritik dari aspek
sosiologis dan metodologis. Kritik sosiologis misalnya dikemukakan oleh Karl Marx
yang mengkritik ekonomi klasik. Menurut Marx, ekonomi klasik memiliki sejumlah

6
bias ideologis dalam teori dan kebijakan ekonomi-nya sehingga akan selalu
memunculkan kritik yang takkan pernah berakhir. Pengaruh ilmu sosiologi dan ilmu
sosial lainnya yang dihadapkan pada kesulitan metodologis dalam ilmu ekonomi telah
memunculkan pandangan untuk merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan
refleksi metodologis dari perpektif sosiologis. Pelopor pandangan ini antara lain D.
Wade Hands (2001), Hands and Mirowski (1998), Philip Mirowski (2002), dan E. Roy
Weintraub (1991). Sekalipun demikian, seberapa baik pandangan ini masih banyak
menimbulkan perdebatan.
Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi adalah
penerapan pendekatan strukturalis teori ilmiah dalam ilmu ekonomi, yang antara lain
dikemukakan oleh Sneed (1971), Stegmüller et al (1981), dan Balzer and Hamminga
(1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah pandangan terkait adanya
keragaman dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menilai teori ekonomi.
Selama tidak ada konsensus terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, maka
ketika praktisi ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah mereka yang
memiliki memahami filosofi tetapi kurang memiliki pengetahuan ekonomi dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya, menurut pandangan ini mereka
yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih banyak memainkan peran
dibandingkan dengan pihak lainnya.
Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah penggunaan
pendekatan eksperimental dan non-eksperimental. Kombinasi pendekatan tersebut
dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori ekonomi dan bukti empiris. Akan
tetapi, sejumlah kalangan masih menyangsikan apakah pendekatan eksperimental
dapat digeneralisasi dalam konteks non-eksperimental, termasuk kemungkinan
apakah pendekatan eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005; Kagel and Roth,
2008).

III. KETERKAITAN EKONOMI NORMATIF DAN FILSAFAT MORAL


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sejumlah kalangan berpendapat
bahwa sulit memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan membedakan aspek
positivisme dan aspek normatif karena selama teori ekonomi berkaitan dengan
kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif.
Kondisi ini membawa konsekuensi pada perlunya pemahaman tentang pembahasan
ekonomi normatif yang berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika dan moral
menjadi bagian argumentasi dalam membangun ilmu ekonomi seperti kesejahteraan,
keadilan, dan adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia.
Pertanyaan sentral dalam filsafat moral adalah menentukan secara intrinsik hal-
hal apa yang baik bagi manusia. Pembahasan topik ini mendapatkan tempat yang
utama mengingat pandangan moral menempatkan kesejahteraan manusia sebagai
sesuatu yang penting. Konsepsi ini juga berlaku pada pandangan utilitarian maupun
non utilitarian yang memiliki tujuan memaksimumkan kepuasan individu. Dalam
konteks ini, ekonomi positif dapat dipertemukan dengan ekonomi normatif dengan
menyamakan kesejahteraan dalam ekonomi normatif dengan kepuasan preferensi

7
dalam ekonomi positif. Akan tetapi, terdapat sejumlah kalangan yang keberatan
tentang kesamaan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi. Menurut pandangan
ini, kepuasan preferensi dapat didasari oleh suatu keyakinan yang keliru dari
pengalaman masa lalu atau distorsi psikologis sehingga sulit melakukan
perbandingan kesejahteraan antar individu. Selain itu, menyamakan kesejahteraan
dengan kepuasan preferensi berarti menempatkan kesejahteraan individu tertentu
berdasarkan preferensi individu lain, sementara kesejahteraan cenderung pada suatu
konsensus kolektif tertentu yang disepakati. Diantara ekonom yang mendukung
kesamaan antara kesejahteraan dengan kepuasan preferensi adalah Amartya Sen
(1992). Sekalipun demikian, sebagian besar ekonom berargumen bahwa kepuasan
preferensi bukan proksi empiris yang baik untuk menggambarkan kesejahteraan,
walaupun mereka beranggapan bahwa kesejahteraan dapat mencerminkan kepuasan
preferensi.
Konsepsi lainnya dalam ekonomi normatif adalah efisiensi. Konsepsi ini
memiliki pembahasan yang cukup luas dalam ekonomi dalam hubungannya dengan
kesejahteraan. Dua teorema tentang ekonomi kesejahteraan, yaitu first fundamental
theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat
mencapai pareto optimum (alokasi sumber daya yang efisien) dalam pasar yang
sempurna. Teorema ini merepresentasikan konsepsi Adam Smith tentang invisible
hand. Dalam kenyataannya, pasar yang sempurna tidak pernah terjadi atau terjadi
kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah second fundamental theorem of
welfare economics yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar,
ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai
melalui lumpsum transfer. Eksistensi dua teorema telah menjadi bahan perdebatan
dalam menentukan apakah akan menerapkan mekanisme pasar secara total (laissez-
faire) atau kalaupun adan intervensi pemerintah, seberapa besar intervensi tersebut.
Pembahasan lainnya terkait dengan efisiensi adalah analisis biaya dan manfaat yang
sering digunakan sebagai instrument praktis dalam analisis kebijakan (Adler and
Posner, 2006).
Sekalipun ekonomi kesejahteraan dan efisiensi mendominasi ekonomi normatif,
para ekonom tidak hanya memfokukan pada pembahasan tersebut. Melalui
kolaborasi dengan para filosof, ekonom normatif telah menghasilkan sejumlah
kontribusi penting dalam karya kontemporer di bidang etika dan filsafat normatif
dalam ilmu sosial dan politik. Diantaranya adalah teori pilihan sosial dan teori
permainan. Selain itu, ekonom dan filosof juga berhasil menyajikan karakteristik
formal tentang kebebasan yang menunjang analisis ekonomi. Sebagian lainnya juga
berhasil mengembangkan karakterisasi formal tentang kesetaraan sumber daya,
kesempatan, dan outcome serta telah menganalisis kondisi yang memungkinkan
memisahkan tanggung jawab individu dan sosial terhadap kesenjangan. Beberapa
ekonom lainnya yang juga banyak memberikan kontribusi penting adalah Roemer,
Amartya Sen, dan Nussbaum (Hausman, 2008). Singkatnya, ada interaksi yang
intensif antara ekonomi normatif dan filsafat moral.

8
IV. EKONOMI NORMATIF MENDASARI MUNCULNYA EKONOMI KERAKYATAN
Salah satu konsep yang digunakan dalam ekonomi normative adalah konsep
efisiensi yang memiliki pembahasan yang cukup luas dalam hubungannya dengan
kesejahteraan rakyat. Pemahaman tentang pembahasan ekonomi normatif yang
berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika dan moral menjadi bagian argumentasi
dalam membangun ilmu ekonomi seperti kesejahteraan dan keadilan.
Dengan menitikberatkan konsep kesejahteraan dalam kegiatan ekonomi dapat
dijadikan dasar bagi bidang ilmu ekonomi kerakyatan. Munculnya system ekonomi
kerakyatan tak lepas dari gejolak sejarah dalam ranah perekonomian yang tidak
stabil di beberapa Negara pada abad ke-18. Sebelum Indonesia mengalami
pergolakan ekonomi pra dan pasca kemerdekaan, tentunya revolusi industry di
inggris juga sebagai awal dari pemicu munculnya konsep-konsep ekonomi yang tidak
memilki keberpihakan pada salah satu golongan.

V. FILSAFAT ILMU MANAJEMEN DAN UMKM


1. Ilmu Manajemen dan Perkembangannya
Manajemen sebenarnya sama usianya dengan kehidupan manusia, mengapa
demikian karena pada dasarnya manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak bisa
terlepas dari prinsip-prinsip manajemen, baik langsung maupun tidak langsung, baik
disadari ataupun tidak disadari. Ilmu manajemen ilmiah timbul pada sekitar awal
abad ke 20 di benua Eropa barat dan Amerika. Dimana di negara-negara tersebut
sedang dilanda revolusi yang dikenal dengan nama revolusi industri yaitu perubahan-
berubahan dalam pengelolaan produksi yang efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan
masyarakat sudah semakin maju dan kebutuhan manusia sudah semakin banyak dan
beragama sejenisnya. Sekarang timbul suatu pertanyaan “siapa sajakah yang
sebenarnya memakai manajemen “ apakah hanya digunakan di perusahaan saja atau
apakah di pemerintahan saja. Manajemen diperlukan dalam segala bidang. Bentuk
dan organisasi serta tipe kegiatan. Dimana orang-orang saling bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno ménagement, yang memiliki
arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang
mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan
manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain
untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W.Griffin mendefinisikan manajemen
sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.
Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara
efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan
sesuai dengan jadwal.
Perkembangan teori menajemen terjadi saat ini adalah sangatlah pesat. Oleh
karena itu, kita harus mempelajari tentang manajemen mengenai sasaran,dan
bagaimana proses perkembangan teori teori manajemen dan prinsip prinsip

9
manajemen itu sendiri. Ada terdapat aliran-aliran pemikir tentang manajemen, sebagai
berikut:
Tabel 1 Sejarah Perkembangan Teori Manajemen
Periode Waktu Aliran Manajemen Kontributor
1870-1930 Manajemen Ilmiah Fedrick w taylor
Frank dan Lilian Gilbreth
Henry Gannt
Harington
Emerson
1900-1940 Teori Organisasi Klasik Henti Fayol
Jame J Mooney
1930-1940 Hubungan Manusiawi Hawthorne Studies
Eltion Mayo
Fritz Roenhlisberger
Hugo Monsterberg
1940- Sekarang Manajemen Modern Abraham Maslow
Chris Argyris,Douglas
Mcgregor,Edgar schien,David
Mcclelend,Robert Blake dan Jane
Mauton,Ernest Dale,Peter Drucker
dan sebagainya,
serta ahli-ahli operation research
(Management science)

2. Sejarah Perkembangan Ekonomi Kerakyatan


Untuk memahami sejarah ekonomi kerakyatan di Indonesia harus mengetahui,
bahwa penjajahan Belanda di Indonesia saat itu dan penjajahan bentuk apapun
dibidang ekonomi berintikan modal kolonial (Kolonial Kapital) yang bermula dari
kolonial VOC, Cultur Stelsel dan pelaksanaan undang-undang agraria yang
diskriminatif sampai beroperasinya investasi swasta asing lainnya dari benua barat
harus dihindarkan.
Sejarah munculnya ekonomi kerakyatan di Indonesia, diawali ketika Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1799 gulung tikar semua kegiatannya,
kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan sejak itu usahanya
ditekankan pada eksploitasi ekonomi yang dibarengi penetrasi politik. Sampai
dengan tahun 1930 pemerintah mencoba-coba jenis eksploitasi mana yang sesuai dan
banyak menghasilkan keuntungan.
Hal ini berakibat diperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi guna
menunjang pemasukan uang melalui sistem sewa tanah, akan tetapi usaha ini
mengalami kegagalan dan keuangan pemerintah habis untuk membiayai perang
Diponegoro (1825-1830). Pada tahun tersebut pemerintah melaksanakan tanam
paksa (Cultur Stelsel) dengan mengintensifkan sistem tradisional yang terdapat
dalam ikatan feodal. Seiring dengan perubahanperubahan yang terjadi setelah
pertengahan abad XIX mendorong pemerintah untuk menyesuaikan perkembangan

10
zaman, perluasan kepentingan ekonomi yang harus diiringi tambahan tenaga
administrasi, pemerintahan militer dan lain-lain.
Namun dengan adanya perbedaan kondisi ekonomi negara-negara Eropa
menyebabkan perbedaan pandangan terhadap fungsi koloni, bagi Inggris yang sudah
berkembang industrinya memerlukan daerah jajahan untuk memasarkan barang
industrinya, sebaliknya Belanda yang tidak mempunyai industri akan memanfaatkan
daerah jajahan untuk dieksploitasi. Pada saat ini pemerintah mengusahakan
beberapa jenis perkebunan yang hasilnya laku di pasar Eropa. Maka pada awal abad
XX pemerintah menggantikannya dengan cara baru, yaitu politik balas budi (Politik
Etis).
Sehingga untuk memahami ekonomi politik kolonial Belanda, hubungan
Indonesia-Belanda pada saat itu perlu dijadikan dasar konsepnya, terutama mengenai
perkembangan dan situasi ekonomi serta pasar Eropa, maka dari sini akan diperoleh
kegiatan mengenai pola dan kecendrungan ekonomi politik kolonial Belanda.
Liberalisme yang berkembang di Eropa pada abad XIX yang kemudian dari ketekunan
usaha itu mereka menghasilkan akumulasi kapital, selanjutnya kapitalisme itulah
yang menimbulkan kolonialisme dan imprialisme yang ditentang kemudian oleh
lahirnya sosialisme, aliran ini yang kemudian mengutuk semua bentuk politik
imprialisme, karena dianggap sebagai alat kapitalisme.
Seiring dengan perjalanan sejarah tersebut, ratusan tahun sebelum masehi para
cerdik pandai sudah mulai membahas berbagai masalah ekonomi. Namun demikian,
cara pembahasan masalah-masalah ekonomi itu masih dilakukan secara insidentil
dan lagi pula terlepas satu sama lain. Sebab ajaranajaran dalam bidang ekonomi pada
waktu belum dapat merupakan suatu ilmu, pandangan orang atas masalah-masalah
ekonomi yang dianggap penting dan prinsipil pada umumnya bersifat sosial etis pada
permulaanya, untuk kemudian mengarah pada pandangan yang lebih bersifat
ekonomis.
Penulisan masalah ekonomi yang bersifat ilmiah akhirnya memunculkan
pembagian periodesasi dalam sejarah perekonomian, sebagaiman diuraikan oleh
Sumitro Djojohadikusumo, membaginya atas zaman pra-klasik, zaman klasik dan
madzab neo-klasik. Usaha untuk mengubah landasan-landasan pokok sebagai soko
guru dari ilmu ekonomi lama atau klasik itu sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun
1920. Tetapi mulai tampak pada tahun 1930-an dan baru mencapai hasilnya pada
sekitar tahun 1936, yakni pada saat Jhon Maynard Keynes mengeluarkan bukunya
yang berjudul “The General Theory of Employment, Interest and Money”. Pada saat ini
orang baru mengatakan ekonomi modern sebagai lawan ekonomi klasik telah
dilahirkan dan sebagai bapak adalah Jhon Maynard Keynes (1883-1946) guru besar
Cambridge Inggris.
Di Indonesia salah satu tokoh pelopor dan pembarunya adalah Bung Hatta,
sebagaimana pada tahun 1933 ia sebagai salah seorang pendiri republik Indonesia
menulis dengan judul “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”. Tulisan ini telah menjadi
dasar konsep ekonomi kerakyatan sebagai tandingan untuk mengenyahkan sistem
ekonomi kolonial Belanda yang didukung, dibantu oleh kaum aristokrat dalam sistem

11
feodalisme didalam negeri dan pihak-pihak swasta asing tertentu sebagai komprador
pihak kolonial Belanda, sehingga usaha untuk mengenyahkan sistem kolonial ini
adalah landasan utama perjuangan Indonesia saat itu.
Maka agaknya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa sistem ekonomi
(yang berjiwa kerakyatan) tidak lahir dalam era reformasi akhir-akhir ini, apalagi di
era rezim transisi sebelumnya, tetapi sudah sejak gerakan kemerdekaan dan
kebangkitan nasional 1908 dan 1928, melalui pidato Bung Karno dan Bung Hatta
pada saat memimpin perjuangan nasional melawan penjajah.

3. UMKM Sebagai Refleksi Ekonomi Kerakyatan


Dasar dari munculnya Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) tidak lepas
dari pemikiran mengenai sistem ekonomi kerakyatan yang menjadi akar bagi
perekonomian setiap Negara. Seperti di Indonesia, dengan dibuatnya Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, tentu tidak lepas dari pemikiran bahwa masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan
demokrasi ekonomi. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka
Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberdayakan sebagai
bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi
strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang,
berkembang, dan berkeadilan.
UMKM seyogyanya diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan
berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian
kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-
luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan
peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan
kemiskinan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari pemikiran di atas tentunya penting dalam mengembangkan keilmuan
dalam bidang manajemen UMKM agar dalam pelaksanaannya dapat dijalankan
dengan baik dan benar sesuai dengan tujuan awal yaitu pemberdayaan masyarakat
menengah bawah. Selain langsung dapat menyentuh perekonomian masyarakat,
UMKM dalam jangka panjang juga dapat berperan penting dalam memperkuat
perekonomian suatu Negara. Dengan berkembangnya perekonomian rakyat
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan
kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan.
Sementara itu, sejarah menunjukkan bahwa UMKM memiliki peran yang cukup
besar dalam memberikan kontribusi pembangunan ekonomi bangsa. Terbukti pada
tingginya proporsi para pelaku ekonomi yang terdapat pada bisnis itu, dengan
proporsi yang jauh lebih besar dibanding dengan entitas bisnis skala besar (UB), yaitu

12
sebesar 99,8% dari total pelaku ekonomi yang ada, sementara sisanya, yaitu sebesar
0.2% merupakan pelaku usaha besar. Selain itu UMKM juga memiliki tingkat daya
serap tinggi terhadap tenaga kerja, hingga mampu mencapai 88,3% dari total
angkatan kerja di Indonesia. Dan juga mampu menjadi salah satu sub-sektor bisnis
yang mampu bertahan dalam terpaan krisis ekonomi 1998 di Indonesia.
(http://ukmcenter.net)

VI. KESIMPULAN
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Salah satu permasalahan utama yang terkait dengan aspek metodologis dalam
ilmu ekonomi yaitu positive versus normative economics. Eksistensi pertimbangan
normatif dalam ekonomi menimbulkan pertanyaan metodologis dari perpektif ilmu
pengetahuan yang bersifat positivisme. Sebagian besar ekonom mencoba mengatasi
persoalan tersebut dengan melakukan pembahasan ilmu ekonomi dalam bentuk
positive science untuk menghindari bias metodologis. Akan tetapi, banyak kalangan
menilai bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan cenderung
lemah karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan atau
masyarakat, maka pasti mengandung aspek normative yang memiliki konsep
efisiensi. Konsepsi ini memiliki pembahasan yang cukup luas dalam ekonomi dalam
hubungannya dengan kesejahteraan.
Dengan menitikberatkan konsep kesejahteraan dalam kegiatan ekonomi dapat
dijadikan dasar bagi bidang ilmu ekonomi kerakyatan. Munculnya system ekonomi
kerakyatan tak lepas dari gejolak sejarah dalam ranah perekonomian yang tidak
stabil di beberapa Negara pada abad ke-18. Sebelum Indonesia mengalami
pergolakan ekonomi pra dan pasca kemerdekaan, tentunya revolusi industry di
inggris juga sebagai awal dari pemicu munculnya konsep-konsep ekonomi yang tidak
memilki keberpihakan pada salah satu golongan.
Dari pemikiran di atas tentunya penting dalam mengembangkan keilmuan
dalam bidang manajemen UMKM agar dalam pelaksanaannya dapat dijalankan
dengan baik dan benar sesuai dengan tujuan awal yaitu pemberdayaan masyarakat
menengah bawah. Selain langsung dapat menyentuh perekonomian masyarakat,
UMKM dalam jangka panjang juga dapat berperan penting dalam memperkuat
perekonomian suatu Negara. Dengan berkembangnya perekonomian rakyat
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan
kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alvey, James E. 1999. A Short History of Economics as a Moral Science,” Journal of


Markets and Morality, Vol. 2, No. 1, 1999 pp. 53-73.
Arief Sritua. Ekonomi Kerakyatan Indonesia (Mengenang Bung Hatta Bapak Ekonomi
Kerakyatan Indonesia). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Backhouse, Roger. 2002. The Ordinary Business of Life. Princeton University Press.
Blaug, Mark. 1992. The Methodology of Economics or How Economists Explain, 2nd
Edition. New York: Cambridge University Press.
Buchanan, Allen E. 1985. Ethics, Efficiency, and the Market, Rowman & Allanheld Texts
in Philosophy. Totowa, New Jersey.
Caldwell, B., ed. 1993. The Philosophy and Methodology of Economics. Cheltenham:
Edward Elgar.
Davis, John, D. Wade Hands, and Uskali Mäki, eds. 1998. The Handbook of Economic
Methodology. Cheltenham: Edward Elgar.
Duchs, LA. 2006. Is Economic Philosophy a Subject Worth Teaching? Australasian
Journal of Economics Education Vol. 3. Numbers 1 & 2, 2006
Friedman, M. 1953. “The Methodology of Positive Economics,” pp. 3-43 of Essays in
positive economics. Chicago: University of Chicago Press.
Hausman, D., 2008. The Philosophy of Economics. 3rd edition. New York: Cambridge
University Press.
Hausman, D. and Michael S. McPerson. Economic Analysis and Moral Philosophy,
Cambridge Surveys of Economic Literature. New York: Cambridge University
Press.
Hutchison, T. 2000. On the Methodology of Economics and the Formalist Revolution.
Cheltenham: Edward Elgar
Judistira, Garna K. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Judistira Garna Foundation dan
Primaco Akademika.
Little, Daniel, 1995. On the Reliability of Economic Models: Essays in the Philosophy of
Economics. Boston: Kluwer Academic Publisher.
Machlup, F. 1955. “The Problem of Verification in Economics”, Southern Economic
Journal 22: 1-21
Marx, K. 1867. Capital, vol. 1, tr. S. Moore and E. Aveling. New York: International
Publishers, 1967.
Mäki, U. 2007. Realism and Economic Methodology. London: Routledge.
McCloskey, D. 1994. Truth and Persuasion in Economics. Cambridge: Cambridge
University Press.
Rosenberg, A. 1992. Economics—Mathematical Politics or Science of Diminishing
Returns. Chicago: University of Chicago Press.
Salmon, Merrilee; John Earman, Clark Glymour, James G. Lenno, Peter Machamer, J.E.
McGuire, John D. Norton, Wesley C. Salmon, Kenneth F. Schaffner.
1992. Introduction to the Philosophy of Science. USA: Prentice-Hall.
Sen, Amartya. 1987. On Ethics and Economics. New York: Basil Blackwell.
Sen, A. 1992. Inequality reexamined. USA: Harvard University Press.
http://www.wikipedia.org
http://ukmcenter.net

14

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai