Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT ILMU EKONOMI ADALAH

BAGIAN INTEGRAL DARI FILSAFAT ILMU


PENGETAHUAN (PHILOSOPHY OF SCIENCE)

Oleh:
RIANTI LASMARITA PURBA
1715100427

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS SOSIAL SAINS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,yang


telah memberikan rahmatnya kepada saya,sehingga penyusunan
makalah ini dapat diselesaikan.

Makalah ini telah disusun untuk memudahkan dalam


melakukan proses pembelajaran Metafisika.

Saya menyadari,kemungkinan masih banyak kekurangan dalam


makalah ini,dan saya sangat mengharapkan kritik dan sumbang
sarannya agar lebih sempurna dalam penyusunan makalah lainnya.

Akhirnya,semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmad


dan karunianya kepada saya dan pengguna makalah ini,serta
memberikan manfaat kepada kita semua baik didunia maupun
diakhirat,Amin.

Medan, Juli 2019


Rianti Lasmarita Siboro

NPM : 1715100427

2
FILSAFAT ILMU EKONOMI ADALAH BAGIAN INTEGRAL DARI
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN (PHILOSOPHY OF SCIENCE)

Pendahuluan
Refleksi filosofis ilmu ekonomi mungkin telah berkembang seiring dengan
perjalanan sejarah hidup manusia seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx
bahwa pangkal dari semua kegiatan manusia adalah hubungan produksi 1. Akan
tetapi menurut Backhouse (2002), pembahasan ini baru mengemuka sejak
aktivitas ekonomi menjadi objek kajian tersendiri di abad ke-18, misalnya dalam
karya yang dikemukakan oleh Cantillon (1755), David Hume (1752), dan paling
berpengaruh adalah karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations (1776). Pada masa- masa awal, ilmu ekonomi dipandang
sebagai bagian tak terpisahkan dari moral science, sehingga pembahasan
filosofisnya pun ditinjau dari perspektif filsafat moral2. Dalam konteks
perkembangan ilmu ekonomi kontemporer, pembahasan aspek filosofis ilmu
ekonomi semakin kompleks dengan berkembangnya beragam aliran pemikiran
ekonomi3. Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodox
dan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian
yang cukup banyak4. Adanya keragaman ini telah menjadi tantangan tersendiri
bagi para ekonom maupun filosof dalam membahas filsafat ilmu ekonomi.
Filsafat ilmu ekonomi meliputi pembahasan tentang aspek konseptual,
metodologi, dan etika yang berkaitan dengan disiplin ilmu ekonomi (Hausman,
2008; Caldwell, 1993). Fokus utamanya adalah aspek metodologi dan
epistemologi yang meliputi metode, konsep, dan teori yang dibangun oleh para
ekonom untuk sampai pada yang disebut “science” tentang proses ekonomi.
Filsafat ekonomi juga berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika menjadi
bagian argumentasi dalam ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan
adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Pertanyaan yang
selanjutnya mengemuka adalah apakah dimensi filsafat ilmu ekonomi tersebut
menghasilkan pengetahuan empiris yang menjadi dasar teoritis ilmu ekonomi
sehingga dapat diklaim bahwa filsafat ekonomi adalah bagian integral dari filsafat

3
ilmu pengetahuan. Pembahasan tentang pertanyaan ini telah berlangsung lama dan
menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ekonom dan filosof hingga saat ini.
Perdebatan tentang apakah filsafat ekonomi mengikuti pola metodologis
dan epistemologis seperti halnya dalam filsafat ilmu atau memiliki pola tertentu
yang terpisah sudah terjadi sejak abad ke 18, dan menjadi lebih intensif di tahun
1970-an terutama ketika ideologi Kuhnsian, Popperian, dan Lakatonian masuk
dalam pembahasan tentang ekonomi (Blaugh, 1992). Banyak yang mencoba
menjelaskan perdebatan tersebut dan hasilnya lebih condong kepada pandangan
bahwa filsafat ekonomi memiliki klaim yang kuat sebagai bagian dari filsafat ilmu
pengetahuan5. Sekalipun demikian, terdapat beberapa pandangan minor yang tetap
‘menyangsikan” kesimpulan tersebut, dan memandang bahwa pembahasan
tentang filsafat ekonomi harus dilakukan secara terpisah dari filsafat ilmu
pengetahuan, misalnya Hutchison (2000). Dalam makalah ini, penulis mencoba
menyajikan perdebatan tersebut dan menguraikan tantangan yang dihadapi filsafat
ilmu ekonomi dalam mengokohkan klaim ‘scientific’ ilmu ekonomi dari
perspektif filsafat ilmu pengetahuan. Bagian pertama akan menjelaskan tentang
permasalahan metodologis dan epistemologis yang dihadapi ilmu ekonomi dalam
perspektif ilmu pengetahuan sebagai dasar pembahasan. Bagian kedua adalah
tinjauan literatur tentang filsafat ekonomi dan sejumlah perdebatan yang terjadi di
kalangan ekonom dan filosof terkait hubungan antara filsafat ekonomi dan filsafat
ilmu pengetahuan. Bagian ketiga adalah kesimpulan yang sekaligus juga
menyajikan pandangan pribadi penulis tentang keterkaitan filsafat ekonomi dan
filsafat ilmu pengetahuan.

Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Ilmu Ekonomi

Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara
substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari
peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Filsafat ilmu pengetahuan berkaitan dengan pembahasan bagaimana disiplin ilmu
tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta
pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu6. Dengan kata lain, filsafat
ilmu pengetahuan merupakan telaah secara filsafati yang ingin menjawab

4
beberapa pertanyaan mengenai hakikat sains empirikal, seperti (1) Obyek apa
yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Pertanyaan -
pertanyaan ini disebut landasan ontologis, (2) Bagaimana proses yang
memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? Cara/
teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan ini disebut landasan epistemologis, (3) Untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-
norma moral/profesional? pertanyaan-pertanyaan ini adalah landasan aksiologis.
Jika didefinisikan, filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, pengetahuan,
metode-metode ilmiah, serta sikap etis yang harus dikembangkan oleh para
ilmuwan, yang berfungsi sebagai sarana pengujian penalaran sains; merefleksi,
menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan; serta memberikan landasan
logis terhadap metode keilmuan (Judistira, 2006; Salmon et. al., 1992; dan
www.wikipedia.org).
Pembahasan tentang ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu
pengetahuan berkaitan dengan apakah ilmu ekonomi memiliki klaim kuat sebagai
sebuah disiplin ilmu tertentu yang memiliki aspek metodologis dan epistemologis
yang menghasilkan pengetahuan empiris. Aspek kritis yang menjadi perdebatan
tentang hal tersebut adalah terkait dengan struktur dan justifikasi teori dalam ilmu
ekonomi. Secara umum, terdapat 6 (enam) permasalahan utama yang terkait
dengan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, yaitu (Hausman, 2008):
Pertama, positive versus normative economics. Eksistensi pertimbangan normatif
dalam ekonomi menimbulkan pertanyaan metodologis dari perpektif ilmu
pengetahuan yang bersifat positivisme. Sebagian besar ekonom mencoba

5
mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan pembahasan ilmu ekonomi dalam
bentuk positive science untuk menghindari bias metodologis. Akan tetapi, banyak
kalangan menilai bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan
cenderung lemah karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan
individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif (Mongin,
2006; Haussman and McPherson, 2006; Machlup, 1969; Marwel and Ames, 1981;
Frank et al, 1993; Marx, 1867).
Kedua, reasons versus causes. Teori ekonomi mengasumsikan bahwa individu
bertindak rasional dan melakukan pilihan-pilihan berdasarkan alasan-alasan
tertentu. Alasan-alasan ini menjadi justifikasi mengapa seseorang melakukan
pilihan tertentu, dan alasan tersebut harus dimengerti oleh individu yang
bersangkutan. Asumsi ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya
kemungkinan bahwa individu bertindak karena adanya hubungan kausal, yang
disebabkan oleh kondisi tertentu sehingga tidak bertindak berdasarkan alasan
rasional. Individu yang bertindak rasional didasari oleh asumsi bahwa mereka
memiliki informasi yang sempurna terhadap sejumlah fakta yang relevan dengan
pilihan-pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya kondisi ini tidak
pernah terjadi, dan hal tersebut menjelaskan mengapa ilmu ekonomi tidak parallel
atau berbeda dengan ilmu alam (Buchanan and Vanberg, 1989, Von Mises, 1981).
Ketiga, Social Scientific Naturalism. Dari semua ilmu sosial, ilmu ekonomi adalah
yang paling mirip dengan ilmu alam. Pandangan untuk membedakan antara ilmu
sosial dan ilmu alam umumnya terkait dengan tiga pertanyaan, yaitu (1) apakah
ada perbedaan fundamental antara struktur dan konsep dalam hal teori dan
penjelasan pada ilmu alam dengan ilmu sosial? (masalah ini terkait dengan
reasons versus causes seperti telah diuraikan sebelumnya), (2) Apakah ada
perbedaan fundamental dalam tujuan antara ilmu ekonomi dan ilmu alam?
Sejumlah kalangan menyatakan bahwa ilmu ekonomi memiliki tujuan untuk
memberikan penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi sehingga menciptakan
adanya pengertian dan respon terhadap fenomena tersebut. Tujuan ini
mengakibatkan adanya unsur subjektivitas, yang tidak terjadi dalam ilmu alam,
(3) Pentingnya pilihan manusia (atau mungkin free will), menimbulkan
pertanyaan apakah fenomena sosial terlalu tidak teratur sehingga sulit

6
digambarkan dalam suatu kerangka hukum dan teori? Dengan karakter manusia
yang bersifat free will, mungkin perilaku manusia sulit diprediksi. Akan tetapi,
dalam kenyataannya banyak perilaku manusia yang menunjukkan keteraturan,
disamping adanya ketidakteraturan. Kondisi ini juga terjadi pada ilmu alam yang
memiliki banyak ketidakteraturan dalam hubungan kausal.
Keempat, Abstraction, idealization, and ceteris paribus clasuses in economics.
Dalam perspektif ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi banyak menimbulkan
pertanyaan terkait dengan adanya abstraksi, idealiasasi, dan klaim kebenaran teori
yang ceteris paribus. Sejumlah pertanyaan mengemuka, tentang seberapa banyak
simplikasi, idealisasi, dan abtraksi dapat dilegitimasi? Bagaimana legitimasi
asumsi ceteris paribus dalam ilmu pengetahuan? Sejumlah pertanyaan tersebut
telah menjadi perdebatan metodologis yang mempertanyakan “scientific” dari
ilmu ekonomi.
Kelima, Causation in economics and econometrics. Generalisasi dalam ilmu
ekonomi didasarkan pada hubungan kausal, misalkan tentang hukum permintaan.
Hubungan kausal ini juga dapat diidentifikasi dengan ekonometrika. Akan tetapi,
terdapat kemungkinan adanya pertentangan analisis hubungan kausal antara yang
dihasilkan oleh perubahan ekonomi dan komparatif statik terkait dengan
keseimbangan ekonomi, sehingga menimbulkan pertanyaan metodologis tentang
hubungan kausal mana yang akan dipilih.
Keenam, Structure and strategy of economics. Perdebatan aspek metodologis
terkait dengan aspek ini adalah masuknya filosofi Kuhnsian (Kuhn, 1970) dan
Lakatonian (Lakatos, 1970) dalam pembahasan tentang ekonomi.
Permasalahan-permasalan yang terkait dengan aspek metodologis tersebut
telah menimbulkan banyak perdebatan tentang klaim “scientific” ilmu ekonomi
dalam hal generalisasi. Bolehkah suatu ilmu pengetahuan menghasilkan
generalisasi yang salah? Jika klaim tersebut tidak dapat digeneralisasi secara
universal, apa dasar logis yang mendasarinya? Bagaimana mengetahui klaim yang
dihasilkan dari proses tersebut salah atau bagaimana pengujian yang harus
dilakukan sehingga klaim tersebut dapat diterima atau ditolak? Pertanyaan-
pertanyaan ini telah menjadi topik intensif yang terus mengemuka hingga saat ini.
Filsafat Ilmu Ekonomi: Upaya Mengatasi Permasalahan Metodologis dan
Epistemologis serta Membuktikan Klaim “Scientific” Ilmu Ekonomi

7
Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan, sejumlah
ekonom telah berupaya mengatasi permasalahan metodologis tersebut untuk
menunjukkan “scientific” ilmu ekonomi. Dari era Nassau Senior dan John Stuart
Mill di tahun 1830-an hingga era Lionel Robbins di tahun 1930-an, terdapat
konsepsi dominan di kalangan para ekonom bahwa premis atau postulat yang di
kemudian hari lebih populer disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang
sebagai sesuatu kebenaran yang mampu menggambarkan hubungan kausal dalam
aktivitas ekonomi. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan metode a priori.
Perkembangan selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak kelemahan
terutama terkait dengan prediksi teori ekonomi yang tidak selalu didukung oleh
bukti empiris karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Mill bahwa secara
abstrak suatu teori ekonomi mungkin benar jika faktor pengganggu lainnya
diabaikan. Dalam kenyataannya, faktor penganggu tersebut selalu ada dan
memberikan pengaruh terhadap hubungan kausal yang terjadi. Akibatnya,
konfirmasi terhadap teori ekonomi condong pada bahwa premis tersebut benar
dibandingkan dengan memeriksa implikasi prediksi teori tersebut terhadap bukti
empiris. Selanjutnya berkembang pendekatan lain, misalnya yang dilakukan
ilmuwan Jerman dan Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan Amerika (di awal abad
ke-20), yang berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang berkembang tidak
selalu mencerminkan realitas, sehingga diperlukan banyak studi empiris dan
generalisasi hanya dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan temuan yang
diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan tidak
menemukan titik temu (Hausman, 2008).
Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung
implikasi prediksi lebih mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau kutub yang
mengusung tradisi Millian. Perkembangan baru ini dipelopori oleh Machlup
(1955) dan Friedman (1953) yang menyatakan bahwa asumsi-asumsi yang
mendasari model ekonomi tidak harus realistis, yang terpenting adalah
kemampuan dari implikasi model tersebut dalam memprediksi kenyataan. Selama
lebih dari dua dekade, pandangan Friedman banyak mendominasi tentang
pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi.

8
Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun 1970-an,
ketika filosofi Popperian, Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam pembahasan
tentang ekonomi (Hausman, 2008). Popperian menolak metode induksi dan
memperkenalkan metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian tersebut
memberikan ruang tentang legitimasi simplifikasi atau bagaimana teori ekonomi
dapat menemukan klaim scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang
mensyaratkan bahwa formulasi teori harus logically falsifiable dan testable,
menyebabkan adanya kemungkinan penolakan terhadap sebagian besar bahkan
seluruh teori ekonomi karena adanya ceteris paribus dan asumsi-asumsi yang
sering kurang realistis yang mendasari teori ekonomi (Marchi, 1988; Caldwell,
1991; Boland, 1992). Kelemahan ini selanjutnya diatasi oleh Imre Lakatos (1970)
yang kemudian dikenal dengan Lakatonian, yang memperkenalkan konsep
theoretically progressive. Lakatos menekankan pada appraising historical series
of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat appraising theories.
Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada pembahasan aspek
metodologis dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan Popperian. Sekalipun
demikian, pandangan Lakatos ini belum dapat menyajikan penjelasan yang
memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk menyatakan klaim
tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam ilmu alam.
Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi memunculkan sejumlah
pandangan radikal diantaranya adalah bahwa ilmu ekonomi memang tidak dapat
melewati persoalan metodologis tersebut. Pelopor pandangan ini adalah
Alexander Rosenberg (1992) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi hanya dapat
menghasilkan prediksi umum yang tidak tepat, dan tidak dapat menghasilkan
perubahan. Lebih lanjut, menurut Rosenberg teori ekonomi hanya bernilai sebagai
matematika terapan bukan sebagai teori empiris. Pandangan ini relatif memiliki
dasar argumentatif mengingat ilmu ekonomi tidak dapat mencapai kemajuan
sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi, banyak kalangan
menilai bahwa klaim ilmu ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan prediksi
kuantitatif cenderung lemah. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah kemampuan
para ekonom kontemporer yang dapat memprediksi harga saham lebih baik
dibandingkan dengan para ekonom di masa lalu. Pandangan radikal lainnya yang

9
berlawanan dengan Rosenberg adalah Deidre McCloskey’s (1994) yang
menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus memenuhi sejumlah standar
metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-satunya kriteria yang relevan
untuk menilai praktik dan produk yang dihasilkan oleh ilmu ekonomi adalah apa
yang diterima oleh praktisi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi dapat mengabaikan
standar metodologis yang dikemukakan oleh para filosof. Pandangan ini dikenal
dengan istilah ekonomi retoris. Banyak karya berharga dan berpengaruh yang
dihasilkan oleh McCloskey’s dengan pandangan ekonomi retoris ini. Akan tetapi
masalah yang dihadapi adalah kesulitan untuk mempertahankan argumentasi-
argumentasi dalam studi tersebut karena tidak memiliki standar epistemologis.
Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi
adalah realisme. Terdapat dua bentuk pandangan realisme yang berkembang yaitu
(1) Pandangan realism yang dikemukakan oleh Uskali Maki (2007), yang
mengeksplorasi beragam realisme implisit dalam pernyataan metodologis dan
bangunan teoritis yang dikemukakan oleh para ekonom, (2) Pandangan realisme
yang dikemukakan oleh Tony Lawson (1997) dan Roy Bhaskar (1978) yang
menyatakan bahwa seseorang yang menelusuri kekurangan yang terdapat dalam
ilmu ekonomi tidak cukup hanya dengan ontologi. Menurut Lawson, fenomena
ekonomi yang sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor yang berbeda, dan
seseorang dapat mencapai pengetahuan ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan
kecenderungan yang berkaitan dengan variabel yang diobservasinya.
Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek kritik dari
aspek sosiologis dan metodologis. Kritik sosiologis misalnya dikemukakan oleh
Karl Marx yang mengkritik ekonomi klasik. Menurut Marx, ekonomi klasik
memiliki sejumlah bias ideologis dalam teori dan kebijakan ekonomi-nya
sehingga akan selalu memunculkan kritik yang takkan pernah berakhir. Pengaruh
ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya yang dihadapkan pada kesulitan
metodologis dalam ilmu ekonomi telah memunculkan pandangan untuk
merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan refleksi metodologis dari perpektif
sosiologis. Pelopor pandangan ini antara lain D. Wade Hands (2001), Hands and
Mirowski (1998), Philip Mirowski (2002), dan E. Roy Weintraub (1991).

10
Sekalipun demikian, seberapa baik pandangan ini masih banyak menimbulkan
perdebatan.
Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi
adalah penerapan pendekatan strukturalis teori ilmiah dalam ilmu ekonomi, yang
antara lain dikemukakan oleh Sneed (1971), Stegmüller et al (1981), dan Balzer
and Hamminga (1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah pandangan
terkait adanya keragaman dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menilai
teori ekonomi. Selama tidak ada konsensus terkait aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi, maka ketika praktisi ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah
mereka yang memiliki memahami filosofi tetapi kurang memiliki pengetahuan
ekonomi dapat menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya, menurut
pandangan ini mereka yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih
banyak memainkan peran dibandingkan dengan pihak lainnya.
Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah penggunaan
pendekatan eksperimental dan non-eksperimental. Kombinasi pendekatan tersebut
dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori ekonomi dan bukti empiris.
Akan tetapi, sejumlah kalangan masih menyangsikan apakah pendekatan
eksperimental dapat digeneralisasi dalam konteks non-eksperimental, termasuk
kemungkinan apakah pendekatan eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005;
Kagel and Roth, 2008).

Normative Economics

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sejumlah kalangan berpendapat


bahwa sulit memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan membedakan aspek
positivisme dan aspek normatif karena selama teori ekonomi berkaitan dengan
kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek
normatif. Kondisi ini membawa konsekuensi pada perlunya pemahaman tentang
pembahasan ekonomi normatif yang berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika
dan moral menjadi bagian argumentasi dalam membangun ilmu ekonomi seperti
kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang
tersedia.
Pertanyaan sentral dalam filsafat moral adalah menentukan secara intrinsik
hal-hal apa yang baik bagi manusia. Pembahasan topik ini mendapatkan tempat

11
yang utama mengingat pandangan moral menempatkan kesejahteraan manusia
sebagai sesuatu yang penting. Konsepsi ini juga berlaku pada pandangan
utilitarian maupun non utilitarian yang memiliki tujuan memaksimumkan
kepuasan individu. Dalam konteks ini, ekonomi positif dapat dipertemukan
dengan ekonomi normatif dengan menyamakan kesejahteraan dalam ekonomi
normatif dengan kepuasan preferensi dalam ekonomi positif. Akan tetapi, terdapat
sejumlah kalangan yang keberatan tentang kesamaan kesejahteraan dengan
kepuasan preferensi. Menurut pandangan ini, kepuasan preferensi dapat didasari
oleh suatu keyakinan yang keliru dari pengalaman masa lalu atau distorsi
psikologis sehingga sulit melakukan perbandingan kesejahteraan antar individu.
Selain itu, menyamakan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi berarti
menempatkan kesejahteraan individu tertentu berdasarkan preferensi individu
lain, sementara kesejahteraan cenderung pada suatu konsensus kolektif tertentu
yang disepakati. Diantara ekonom yang mendukung kesamaan antara
kesejahteraan dengan kepuasan preferensi adalah Amartya Sen (1992). Sekalipun
demikian, sebagian besar ekonom berargumen bahwa kepuasan preferensi bukan
proksi empiris yang baik untuk menggambarkan kesejahteraan, walaupun mereka
beranggapan bahwa kesejahteraan dapat mencerminkan kepuasan preferensi.
Konsepsi lainnya dalam ekonomi normatif adalah efisiensi. Konsepsi ini
memiliki pembahasan yang cukup luas dalam ekonomi dalam hubungannya
dengan kesejahteraan. Dua teorema tentang ekonomi kesejahteraan, yaitu first
fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang
kompetitif dapat mencapai pareto optimum (alokasi sumber daya yang efisien)
dalam pasar yang sempurna. Teorema ini merepresentasikan konsepsi Adam
Smith tentang invisible hand. Dalam kenyataannya, pasar yang sempurna tidak
pernah terjadi atau terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah
second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa
dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki
properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Eksistensi
dua teorema telah menjadi bahan perdebatan dalam menentukan apakah akan
menerapkan mekanisme pasar secara total (laissez-faire) atau kalaupun adan
intervensi pemerintah, seberapa besar intervensi tersebut. Pembahasan lainnya

12
terkait dengan efisiensi adalah analisis biaya dan manfaat yang sering digunakan
sebagai instrument praktis dalam analisis kebijakan (Adler and Posner, 2006).
Sekalipun ekonomi kesejahteraan dan efisiensi mendominasi ekonomi
normatif, para ekonom tidak hanya memfokukan pada pembahasan tersebut.
Melalui kolaborasi dengan para filosof, ekonom normatif telah menghasilkan
sejumlah kontribusi penting dalam karya kontemporer di bidang etika dan filsafat
normatif dalam ilmu sosial dan politik. Diantaranya adalah teori pilihan sosial dan
teori permainan. Selain itu, ekonom dan filosof juga berhasil menyajikan
karakteristik formal tentang kebebasan yang menunjang analisis ekonomi.
Sebagian lainnya juga berhasil mengembangkan karakterisasi formal tentang
kesetaraan sumber daya, kesempatan, dan outcome serta telah menganalisis
kondisi yang memungkinkan memisahkan tanggung jawab individu dan sosial
terhadap kesenjangan. Beberapa ekonom lainnya yang juga banyak memberikan
kontribusi penting adalah Roemer, Amartya Sen, dan Nussbaum (Hausman,
2008). Singkatnya, ada interaksi yang intensif antara ekonomi normatif dan
filsafat moral.

Kesimpulan

Filsafat ilmu ekonomi berkaitan dengan pembahasan yang menjelaskan


landasan yang mendasari konsepsi, metodologi, serta etika dalam disiplin ilmu
ekonomi. Oleh karenanya, filsafat ekonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari
filsafat ilmu pengetahuan yang membahas bagaimana disiplin ilmu tertentu
menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta
pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu. Sekalipun demikian,
terdapat beragam perdebatan yang sangat intensif dan terus berkembang dalam
upaya mengokohkan filsafat ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu
pengetahuan khususnya terkait dengan aspek metodologis, rasionalitas, etika dan
aspek normatif yang terdapat dalam ilmu ekonomi. Telaah yang lebih mendalam
dalam aspek-aspek ini sangat diperlukan dalam mengokohkan klaim “scientific”
ilmu ekonomi di masa mendatang.

13
Notes:
1
Menurut Marx, sistem masyarakat yang ada pada masa kapan pun sebenarnya
merupakan akibat dari kondisi ekonomi (hubungan produksi). Perubahan-perubahan yang
terjadi dapat dikembalikan pada satu sebab, yaitu perjuangan kelas (class struggle) dalam
rangka memperbaiki kondisi ekonomi tersebut. Aristoteles juga telah membahas sejumlah
masalah yang terkait ekonomi, tetapi dalam ruang lingkup kecil yang lebih kecil yaitu
rumah tangga sehingga pada zaman itu ekonomi dimaknai sebagai persoalan mengelola
rumah tangga.
2
Alvey (1999), menunjukkan bahwa hingga permulaan abad ke-20 ilmu ekonomi masih
dipandang dalam perspektif moral science, dan menyatakan bahwa perkembangan ilmu
ekonomi kontemporer yang teralienasi dari aspek moral telah melupakan akar sejarah
disiplin ilmu ini.
3
.Umumnya, para ekonom mengklasifikasi pemikiran ekonomi dalam tiga kelompok,
yaitu neoklasik ortodoks, institusionalis, dan radikal. Duhs (2006) menyebutkan bahwa
pembagian ini misalnya dilakukan oleh Ward (1979); Cole, Cameron and Edwards
(1983).
4 Sejumlah varian mainstream economics misalnya keynesian economics, monetarists,
new classical economics, rational expectations theory, real business cycle, dll.
Keragaman mainstream economics disebabkan oleh perbedaan pandangan terhadap
pertumbuhan, moneter, ketenagakerjaan, pertanian, sumber daya alam, perdagangan
internasional, dll. Sedangkan varian orthodox economics misalnya agency theory,
Chicago School, public choice, Austrian Economics,institutionalist economics Marxian
Economics, socio-economists, behavioral economists, post-keynesians, neo-ricardians,
neuroeconomics. Untuk pembahasan detail, lihat Davis, Hands, and Maki (1998).
5
Sejumlah ekonom dan filosof yang memiliki kontribusi penting dalam mengkonstruksi
filsafat ekonomi sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan antara lain (Buchanan,
1985), (Hausman, 2008), (Hausman & McPherson, 1996), (Little, 1995), (Sen, 1987), dan
(Rosenberg, 1992).
6
Terdapat beragama metode untuk memverifikasi validitas reasoning yang mendasari
suatu ilmu, antara lain empirical verification, induction, test of an isolated theory
impossible, coherentism, ockham's razor, dll.

14
Daftar Pustaka

Alvey, James E. 1999. A Short History of Economics as a Moral Science,”


Journal of Markets and Morality, Vol. 2, No. 1, 1999 pp. 53-73.
Backhouse, Roger. 2002. The Ordinary Business of Life. Princeton University
Press.
Blaug, Mark. 1992. The Methodology of Economics or How Economists Explain,
2nd Edition. New York: Cambridge University Press.
Buchanan, Allen E. 1985. Ethics, Efficiency, and the Market, Rowman &
Allanheld Texts in Philosophy. Totowa, New Jersey.
Caldwell, B., ed. 1993. The Philosophy and Methodology of Economics.
Cheltenham: Edward Elgar.
Davis, John, D. Wade Hands, and Uskali Mäki, eds. 1998. The Handbook of
Economic Methodology. Cheltenham: Edward Elgar.
Duchs, LA. 2006. Is Economic Philosophy a Subject Worth Teaching?
Australasian Journal of Economics Education Vol. 3. Numbers 1 & 2, 2006
Friedman, M. 1953. “The Methodology of Positive Economics,” pp. 3-43
of Essays in positive economics. Chicago: University of Chicago Press.
Hausman, D., 2008. The Philosophy of Economics. 3rd edition. Cambridge
University Press. New York
Hausman, D. and Michael S. McPerson. Economic Analysis and Moral
Philosophy, Cambridge Surveys of Economic Literature. Cambridge
University Press. New York
Hutchison, T. 2000. On the Methodology of Economics and the Formalist
Revolution. Cheltenham: Edward Elgar
Judistira, Garna K..2006. Filsafat Ilmu. Judistira Garna Foundation dan Primaco
Akademika. Bandung
Little, Daniel, 1995. On the Reliability of Economic Models: Essays in the
Philosophy of Economics. Kluwer Academic Publisher. Boston.
Machlup, F. 1955. “The Problem of Verification in Economics”, Southern
Economic Journal 22: 1-21
Marx, K. 1867. Capital, vol. 1, tr. S. Moore and E. Aveling. New York:
International Publishers, 1967.
Mäki, U. 2007. Realism and Economic Methodology. London: Routledge.
McCloskey, D. 1994. Truth and Persuasion in Economics. Cambridge University
Press. Cambridge.
Rosenberg, A. 1992. Economics—Mathematical Politics or Science of
Diminishing Returns. University of Chicago Press. Chicago
Salmon, Merrilee; John Earman, Clark Glymour, James G. Lenno, Peter
Machamer, J.E. McGuire, John D. Norton, Wesley C. Salmon, Kenneth F.

15
Schaffner. 1992. Introduction to the Philosophy of Science. Prentice-Hall.
USA
Sen, Amartya. 1987. On Ethics and Economics. Basil Blackwell. New York
Sen, A. 1992. Inequality reexamined. Harvard University Press. USA
www.wikipedia.org

16

Anda mungkin juga menyukai